Upload
lamquynh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948
SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH
DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun Oleh:
Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
Perjuangan komando daerah muria tahun 1948 sebagai pengembangan materi
pembelajaran IPS Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus
Disusun oleh:
Nanik Purwaningsih NIM : S860208009
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D __________ ______
Pembimbing II Drs. Saiful Bachri, M.Pd __________ ______
Mengetahui
Ketua Prodi Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M.Hum NIP. 131633898
PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948
SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH
DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
Disusun oleh:
Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Warto, M.Hum __________ _______ (NIP 131633898)
Sekretaris Dr. Suyatno Kartodirdjo __________ _______ (NIP 130324012)
Anggota Penguji: 1. Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D __________ _______ (NIP
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd __________ _______ (NIP
Mengetahui Surakarta,
Direktur PPS UNS Ketua Program Studi
Pendidikan Sejarah
Prof. Drs.Suranto, M.Sc.,Ph.D Dr. Warto, M.Hum NIP 131472192 NIP 131633898
PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948
SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH
DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
Disusun oleh:
Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D __________ ______
Pembimbing II Drs. Saiful Bachri, M.Pd __________ ______
Mengetahui
Ketua Prodi Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M.Hum NIP. 131633898
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nanik Purwaningsih
NIM : S. 860208009
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul Perjuangan Komando
Daerah Muria Tahun 1948 Sebagai Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah di
SMP Wilayah Kabupaten Kudus, adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Surakarta, Mei 2009 Yang membuat pernyataan Nanik Purwaningsih
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah bahwa atas limpahan rahmat dan karunia dari
Allah SWT, penulis dapat menyusun tesis ini. Penulis menyadari bahwa selama
proses penyusunan tesis ini banyak bantuan, bimbingan dan masukan atau pun saran
dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. KJ (K), Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program
Pascasarjana.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Direktur Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan prasarana pendidikan sehingga
memperlancar penyelesaian tesis ini.
3. Dr. Warto, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang banyak memberikan pengarahan dan
persetujuan atas permohonan penyusunan tesis ini.
4. Dra. Sutiyah, M.Pd, M.Hum, Sekretaris Program Studi Pendidikan Sejarah yang
banyak memberi petunjuk dan arahan atas penyusunan tesis ini.
5. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku Penasehat Program Studi Pendidikan Sejarah
yang banyak memberi petunjuk dan arahan atas penyusunan tesis ini.
6. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D, Pembimbing I yang telah berkenan
memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan
tesis ini.
7. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan
sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
8. Dewan Penguji Tesis yang telah menguji dan memberi penilaian secara objektif
serta masukan yang sangat berharga demi kesempurnaan tesis ini.
9. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kudus beserta unit
instansi terkait yang telah memberikan ijin penelitian guna mempermudah
pengumpulan data di lapangan.
10. Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) beserta para guru IPS Sejarah di
lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kudus yang
telah bersedia diwawancarai dan memberikan masukan pada tesis ini.
11. Ucapan terima kasih secara pribadi disampaikan kepada Bapak (Soekemi), Ibu
(Hj. Soekanah), Hadi Saptana (suami), Hendra, Yudha, Hendy (anak), serta
saudara-saudara penulis yang selalu mendoakan, memberikan bantuan, dan
dorongan semangat untuk keberhasilan studi ini.
Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan tesis ini banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii
PENGESAHAN TESIS ............................................................................... iii
PERNYATAAN ........................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xiii
ABSTRAK ................................................................................................... xiv
ABSTRACT ................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
1. Tujuan Umum ................................................................... 9
2. Tujuan Khusus................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 10
1. Manfaat Teoretis................................................................ 10
2. Manfaat Praktis.................................................................. 10
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ............................ 11
A. Kajian Teori ............................................................................. 11
1. Perjuangan Untuk Memperoleh Kemerdekaan ................... 11
a. Pengertian Perjuangan ................................................ 11
b. Perjuangan Mencapai Kemerdekaan ........................... 11
c. Kemerdekaan.............................................................. 16
d. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan................ 18
e. Sistem Pertahanan Negara........................................... 24
1) Pengertian Pertahanan Negara.............................. 24
2) Peran dan Tanggung Jawab Daerah dalam
Mempertahankan kemerdekaan............................ 28
2. Pembelajaran Sejarah......................................................... 29
a. Tujuan Pembelajaran Sejarah...................................... 32
b. Fungsi Pembelajaran Sejarah ...................................... 33
c. Pengembangan Materi Pembelajaran........................... 36
1) Pengertian Materi Pembelajaran........................... 36
2) Cara Mengembangkan Materi Pembelajaran ........ 37
3) Kriteria Pemilihan................................................ 40
B. Penelitian yang Relevan .......................................................... 45
C. Kerangka Pikir ......................................................................... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................. 50
A. Lokasi Penelitian ...................................................................... 50
B. Bentuk dan Strategi Penelitian.................................................. 50
C. Sumber Data ............................................................................. 51
D. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 52
E. Teknik Cuplikan ....................................................................... 53
F. Validitas Data............................................................................ 54
G. Teknik Analisis Data ................................................................ 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 58
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 58
1. Deskripsi Latar .................................................................. 58
a. Sekilas Daerah Kudus ................................................. 58
b. Pertahanan di Kudus Menjelang Agresi Militer II ....... 60
c. Perkembangan Pendidikan di Kudus............................ 63
2. Sajian Data ........................................................................ 67
a. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando
Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP
Wilayah Kabupaten Kudus.......................................... 67
b. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria
yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa ............................. 70
c. Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas
Pendidikan Terhadap Upaya Memasukkan Sejarah
Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran
Sejarah........................................................................ 73
d. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi
Pembelajaran dengan Memasukkan Sejarah
Perjuangan Komando Daerah Muria ........................... 76
B. Pokok-Pokok Temuan .............................................................. 77
1. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah
Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah
Kabupaten Kudus ................................................................. 77
2. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria
yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa....................................... 79
3. Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan
Terhadap Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah
Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah................................. 79
4. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran dengan
Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah
Muria.................................................................................. 80
C. Pembahasan.............................................................................. 80
BAB V PENUTUP ................................................................................... 91
A. Simpulan .................................................................................. 91
B. Implikasi .................................................................................. 92
C. Saran ........................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 96
LAMPIRAN ……………………………………………………………... .. 100 DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1: Kerangka Pikir............................................................................ 49
Gambar 2: Trianggulasi Sumber................................................................... 55
Gambar 3: Model Analisis Interaktif ............................................................ 56
Gambar 4: Wawancara dengan Bapak H. Abdul Madjid (Kusnadi)………… 118
Gambar 5: Wawancara dengan Bapak Aida Mustofa ……………………… 118
Gambar 6: Wawancara dengan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan
Kabupaten Kudus ……………………………………………... 119
Gambar 7: Wawancara dengan Guru-guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog ….. 119
Gambar 8: Wawancara dengan Kepala Sekolah dan Guru IPS di SMP
Negeri 2 Gebog ………………………………………………… 120
Gambar 9: Wawancara dengan Guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog ……….. 121
Gambar 10: Peta Aksi Gerilya Komando Daerah Muria …………………… 148
Gambar 11: Struktur Organisasi Pasukan Macan Putih …………………… 151
Gambar 12: Struktur Organisasi Resimen 28 Pati …………………………. 152
Gambar 13: Mayor Kusmanto .…………………………………………….. 153
Gambar 14: Para Komandan dari Pasukan STM Pati ...……………………. 153
Gambar 15: Monumen Komando Daerah Muria ………………………….. 154
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Keadaan Guru IPS di SMP 1 Gebog Menurut Latar Belakang
Pendidikan .................................................................................... 106
Tabel 2: Keadaan Siswa SMP Negeri 1 Gebog............................................ 106
Tabel 3: Keadaan Guru IPS di SMP 2 Gebog Menurut Latar Belakang
Pendidikan .................................................................................... 107
Tabel 4: Keadaan Siswa SMP Negeri 2 Gebog............................................ 107
Tabel 5: Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX SK.2 ..... 108
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Pedoman Wawancara .............................................................. 100
Lampiran 2: Daftar Informan/Nara Sumber ................................................. 105
Lampiran 3: Keadaan Guru IPS dan Peserta Didik di SMP Negeri 1 Gebog 106
Lampiran 4: Keadaan Guru IPS dan Peserta Didik di SMP Negeri 2 Gebog 107
Lampiran 5: Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX SK.2 108
Lampiran 6: Silabus .................................................................................... 109
Lampiran 7: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ........................................ 111
Lampiran 8: Dokumentasi Kegiatan Wawancara ......................................... 118
Lampiran 9: Contoh Materi (bahan Ajar) Sejarah Perjuangan Komando
Daerah Muria Tahun 1948 ...................................................... 121
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia, berlangsung dari masa ke masa
dalam kondisi yang berbeda. Dari masa yang penuh dengan kesengsaraan dan
penderitaan akibat penindasan penjajahan Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh
Jepang, sampai ke masa revolusi Indonesia, sehingga menumbuhkan kesadaran
bahwa bangsa Indonesia dapat hidup kembali menurut kepribadian dan identitasnya
di dalam alam kemerdekaan, hanya dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, perjuangan bangsa Indonesia
memasuki tahapan yang baru, yaitu perjuangan membela dan mempertahankan
kemerdekaan terhadap ancaman kembalinya penjajahan. Berbagai cara dan usaha
telah dilakukan oleh Belanda agar dapat kembali menguasai Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda menyerang dari segala jurusan dan
menduduki kota Yogyakarta (Soejitno Hardjosoediro,1992: 163). Seiring dengan
penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19
Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan bahwa Belanda tidak
lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah
Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI Yogyakarta
yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer II Belanda telah dimulai. Belanda
konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”.
(http://id.wikipedia.org/wiki/AgresiMiliterBelandaII).
Setelah penyerangan terhadap bandar udara Maguwo pasukan Belanda
bergerak menuju istana negara. Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, Wakil
Presiden Drs. Mohammad Hatta dan beberapa menteri ditangkap dan diasingkan.
Para pemimpin militer RI kemudian meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin
gerilya dari luar kota. Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal
Soedirman memimpin perjalanan gerilya selama tujuh bulan dengan menempuh jarak
lebih kurang 1000 km dalam kondisi sakit keras, sehingga harus ditandu atau
digendong.
Ternyata serangan Belanda tidak hanya ditujukan ke ibukota negara, tetapi ke
seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kudus yang
merupakan wilayah RI berdasarkan perjanjian Renville mendapat serbuan Belanda
dari arah kota Semarang (Moechdi, 1960: 16), pasukan darat melaju cepat menyusuri
jalan utama Semarang-Demak-Kudus, sedangkan pasukan udara terbang cepat
menuju udara daerah Kudus. Mereka melakukan pemboman terhadap beberapa
tempat penting. Selanjutnya dikisahkan oleh M. Moechdi (1984: 33), pada tanggal
19 Desember 1948 jam tujuh pagi sebuah pesawat terbang cocor merah milik
Belanda terbang rendah di atas udara kota Kudus. Seperempat jam kemudian muncul
tiga pesawat Yogger dengan gencar memuntahkan serentetan tembakan metraliur dan
granat ke arah bukan saja basis militer, tetapi juga ke sasaran umum seperti stasiun
kereta api, pabrik gula Rendeng, pabrik rokok di Kudus Wetan dan Kudus Kulon.
Pemboman pesawat-pesawat tempur Belanda menimbulkan kehancuran dan
kebakaran di gedung-gedung tersebut. Kepulan asap membubung di udara. Rakyat
panik dan berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri.
Tempat lain yang juga menjadi sasaran pemboman adalah Masjid Besar yang
terletak di sebelah barat alun-alun, instalasi listrik negara di Jati, rumah kepala desa
Pasuruhan yang disangka markas militer Batalyon Basuno dan beberapa sarana
transportasi seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda yang berada di tepi-tepi jalan
kota Kudus. Pemboman itu berlangsung dari jam tujuh pagi hingga jam duabelas
siang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Belanda menyerang Kudus pada saat
Agresi Militer II Belanda yaitu:
1. Kudus merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah Karesidenan Pati, oleh
karena itu Belanda yang ingin menguasai wilayah tersebut harus menduduki
daerah Kudus terlebih dahulu, baru menyusul daerah lain seperti Jepara, Pati,
Rembang, dan Blora.
2. Wilayah Kudus berdasarkan perjanjian Renville berbatasan dengan garis
Demarkasi Van Mook, yaitu sepanjang sungai Serang di sebelah selatan kota.
Dengan demikian, maka berarti Kudus merupakan daerah yang berbatasan
langsung dengan wilayah pendudukan Belanda. Kudus wilayah Republik
Indonesia dan Demak wilayah pendudukan Belanda.
3. Secara ekonomis Kudus saat itu sudah makmur, perkembangan ekonominya
tinggi, karena berkembangnya beberapa perusahaan yang cukup besar seperti
perusahaan rokok cap Bal Tiga, perusahaan rokok cap Menakjinggo, dan
perusahaan batik. Selain itu perkebunan tebu peninggalan Belanda di Kudus
Utara masih luas. Penguasaan daerah produktif sangat berarti, karena ini
merupakan faktor penunjang kehidupan tentaranya di Indonesia.
Setelah mengetahui adanya serangan udara Belanda, Mayor Kusmanto selaku
Komandan Batalyon Kudus memimpin seluruh TNI untuk melakukan pencegatan di
sebelah utara jembatan Tanggul Angin. TNI bersiap-siap untuk menggempur musuh
bila melewati jembatan tersebut, dengan mengerahkan dan menyatukan seluruh
pasukan Batalyon Kusmanto dan sebagian pasukan Batalyon Basuno (Aida Mustofa,
1995: 40).
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap dan modern
menyebabkan TNI mengambil siasat mundur bergerak ke Gunung Muria. Pasukan
Belanda yang bertugas di Kudus terus mengadakan pembenahan dan menduduki
beberapa tempat penting seperti stasiun kereta api, pom bensin, pabrik gula Rendeng,
mendirikan markas militer di gedung bekas pabrik rokok cap Bal Tiga, Markas
Inlichting Vereniging Gebied atau markas organisasi mata-mata Belanda dan
memusatkan kekuatan militernya di gedung Asisten Residen, Rendeng (Lisiyas,
1994: 38).
Sementara di kota Pati dan Jepara setelah mendapat telegram pemberitahuan
dari TNI di Kudus tentang adanya Agresi Militer II Belanda segera melakukan
persiapan pembumihangusan terhadap gedung-gedung yang diperkirakan akan
dipakai oleh Belanda serta melakukan persiapan pencegatan di tempat-tempat yang
strategis. Menurut A.H. Nasution (1979: 107), waktu tentara Belanda masuk ke Pati,
pegawai polisi Republik tidak ada di tempatnya. Pegawai pamongpraja juga tidak
seorang pun yang tinggal di tempatnya. Dikabarkan bahwa bupati, patih, dan residen
lari ke Telogowungu dan dari sana mereka menuju Gunung Muria.
Pendudukan Belanda atas Karesidenan Pati memunculkan strategi baru bagi
Komandan Sub Teritorial Militer atau STM Pati, Letkol dr. Gunawan untuk
melaksanakan Perintah Siasat No.1 Panglima Besar Jendral Sudirman yaitu tentang
pembentukan kantong gerilya di pegunungan atau tempat pengasingan (Team
Penyusun Sejarah Perjuangan dan Pembuatan Monumen Glagah, Kudus,1973: 8).
Letkol dr Gunawan yang sedang berada di tempat pengungsian di Desa Bageng,
Gembong Pati kemudian membentuk organisasi perjuangan yang bernama Komando
Daerah Muria atau Komando Muria Kompleks. Komando perjuangan ini merupakan
wadah organisasi TNI dan laskar-laskar perjuangan rakyat yang berada di Jepara,
Kudus, dan Pati bagian Utara. Organisasi ini merupakan pecahan dari Sub Teritorial
Militer atau STM Karesidenan Pati. Organisasi inilah yang telah memberikan andil
besar dalam rangka perjuangan menentang pendudukan Belanda di daerah Kudus
pada masa Agresi Militer II Belanda.
Perjuangan Komando Daerah Muria yang dilakukan oleh TNI bersama rakyat
di Kudus tentu merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan
perjuangan pada umumnya di Indonesia untuk mengusir kolonial Belanda. Makna
perjuangan tersebut antara lain (1) mempertahankan basis-basis sektor ekonomi; (2)
membatasi ruang gerak militer Belanda; dan (3) mempertahankan garis komando
secara militer. Peristiwa yang bersejarah itu, meskipun sifatnya lokal dan sangat
penting untuk diketahui masyarakat Kudus khususnya, namun belum pernah
diperhatikan dan diterangkan dalam proses sejarah nasional. Sartono Kartodirdjo
(1982: 27) menjelaskan bahwa: “ Sejarah nasional bukan jumlah dari sejarah lokal
tetapi peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal perlu
diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional”.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo itu
penekanannya pada adanya derajad interdependensi antara unit tertentu, sehingga
lebih tampak integrasi suatu bangsa. Kudus merupakan bagian yang integral dari
daerah-daerah di Indonesia, ikut berperan dan sekaligus memberi bukti historis atas
perjuangannya melawan kolonialisme Belanda.
Pentingnya perjuangan Komando Daerah Muria sebagai bagian integral
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1948, memiliki nilai
historis yang perlu dipahami terutama oleh guru-guru sejarah, kemudian dapat
diajarkan kepada siswa/generasi muda sebagai pengembangan materi pembelajaran
sejarah di sekolah-sekolah, agar generasi penerus bangsa dapat merefleksi
perjuangan dari para tokoh pejuang yang telah mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Pada umumnya siswa kurang mengenal sejarah daerahnya. Generasi muda
Kudus tidak boleh diasingkan dari sejarah daerahnya sendiri. Mereka perlu tahu
bahwa banyak pahlawan besar dari Kudus yang terbukti memberikan kontribusi yang
signifikan bagi tegaknya harga diri, kedaulatan bangsa dan negara ini. Jika tidak
maka generasi muda/siswa sekarang dan mendatang akan buta dengan sejarah
daerahnya, buta dengan nilai-nilai luhur yang sepatutnya dilestarikan, sehingga akan
sukar mengenal identitas dirinya.
Generasi muda saat ini telah berada sangat jauh dari rentang waktu peristiwa
perjuangan tersebut. Seiring dengan mengentalnya arus globalisasi, identitas
kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air terus memudar. Bahkan pengembangan
pendidikan makin meninggalkan ruh moral dan nilai-nilai kebangsaan. Kedua hal
tersebut tergantikan oleh kebutuhan globalisasi dan pasar industri dari negara-negara
kaya, akibatnya kemudian membuat generasi muda tidak terlalu peduli dengan
semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme yang seharusnya dilestarikan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membangkitkannya kembali, selanjutnya
menanamkan semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme tersebut sejak
dini melalui sesuatu yang lebih menarik dan lebih dekat dengan keberadaan generasi
muda. Dengan demikian diharapkan generasi muda dapat merefleksikannya dalam
realitas kehidupannya.
Apalagi dengan adanya perubahan paradigma, dimana kurikulum yang
tersentralisasi telah diubah menjadi terdesentralisasi dengan berlakunya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sangat memberi peluang terhadap
masuknya kearifan lokal. Dalam KTSP guru diberi wewenang yang lebih luas untuk
mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum tersebut dimulai dengan
menjabarkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) ke dalam
sejumlah indikator yang relevan dengan konteks tempat guru mengajar. Indikator
dalam SK dan KD sangat tergantung dari kemampuan guru sejarah dalam
menjabarkannya. Termasuk dalam memilih materi ajar sejarah yang akan digunakan,
guru juga diberi kebebasan asal standar minimal terpenuhi.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka sejarah perjuangan Komando
Daerah Muria di daerah Kudus pada masa Agresi Militer II Belanda sangat menarik
untuk dikaji. Dalam materi pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia, deskripsi
tentang perjuangan organisasi tersebut belum diuraikan secara rinci, sehingga perlu
disusun sebagai materi pembelajaran sejarah, supaya dapat digunakan untuk
pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah khususnya dan diketahui oleh
masyarakat Kudus secara umum.
.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah
pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948 belum
menjadi bagian dari materi pembelajaran IPS sejarah di SMP wilayah
Kabupaten Kudus?
2. Aspek-aspek manakah dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang perlu
diajarkan kepada siswa?
3. Bagaimana tanggapan guru-guru IPS di SMP dan pejabat Dinas Pendidikan
Kabupaten Kudus terhadap upaya memasukkan sejarah perjuangan Komando
Daerah Muria ke dalam pembelajaran sejarah?
4. Bagaimana guru mempersiapkan/menyusun materi pembelajaran sejarah dengan
memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan-permasalahan yang disebutkan di atas,
maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami
perjuangan Komando Daerah Muria di daerah Kudus dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia pada masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948, dan
pentingnya dijadikan pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah di SMP.
Tujuan Khusus
Sebagai tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjelaskan:
1. Perlunya sejarah perjuangan Komando Daerah Muria menjadi bagian dari
materi pembelajaran IPS Sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus.
2. Aspek-aspek dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang perlu diajarkan
kepada siswa.
3. Mengetahui tanggapan guru-guru IPS di SMP dan pejabat Dinas Pendidikan
Kabupaten Kudus terhadap upaya memasukkan sejarah perjuangan Komando
Daerah Muria ke dalam pembelajaran sejarah.
4. Mengetahui cara guru mempersiapkan/menyusun materi pembelajaran sejarah
dengan memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoretis maupun
praktis bagi guru dan siswa SMP di Kabupaten Kudus khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Manfaat teoretis
Secara teoretis manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
yang telah ada, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap teori mengenai
pengembangan materi pembelajaran di SMP yang berkaitan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
Manfaat Praktis:
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menambah pengetahuan tentang sejarah lokal Kudus yang berhubungan dengan
perjuangan rakyat Kudus, khususnya perjuangan Komando Daerah Muria pada
masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948.
b. Memberikan kesadaran historis bahwa daerah Kudus memiliki sejarah yang
bermakna yang perlu dipahami oleh masyarakat, khususnya generasi muda
dalam rangka menumbuhkan kesadaran sejarah.
c. Menjadi bahan kajian dan perbandingan bagi penulis-penulis sejarah lokal
khususnya sejarah lokal Kudus.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi lembaga
pendidikan khususnya sekolah-sekolah untuk dijadikan pengembangan materi
pembelajaran sejarah.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian teori
1. Perjuangan Untuk Memperoleh Kemerdekaan
a. Pengertian Perjuangan
Susanto Tirtoprojo (1982: 7) menjelaskan bahwa perjuangan mempunyai arti
yang luas, sehingga apa yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan seperti,
Diponegoro, Tengku Umar, Imam Bonjol, Hasanuddin, dan sebagainya itu
merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia.
Perjuangan berarti pula suatu usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan
demi kemuliaan dan kebaikan. Pada masa penjajahan, perjuangan adalah segala
usaha yang dilakukan dengan pengorbanan, peperangan dan diplomasi untuk
memperoleh atau mencapai kemerdekaan, sedangkan pada awal kemerdekaan
perjuangan dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan.
b. Perjuangan Mencapai Kemerdekaan
Hadirnya golongan asing yang memiliki kebudayaannya sendiri menimbulkan
kesadaran akan perbedaan-perbedaan yang makin lama makin terasa karena
diskriminasi di semua bidang-bidang kehidupan. Dengan adanya diskriminasi-
diskriminasi ini rakyat menjadi sadar akan keadaan mereka yang terbelakang serta
tidak adanya persamaan hak. Kehadiran kolonial di bumi Indonesia menyebabkan
rakyat Indonesia sadar bahwa mereka telah dikuasai (Sartono Kartodirdjo, 1967: 45).
Sebagai reaksi dari kesadaran tersebut, salah satunya adalah timbulnya
semangat nasionalisme. Ruslan Abdulgani (1964: 6) menjelaskan bahwa
“Nasionalisme Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme”, karena apa yang
dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah melenyapkan bentuk kekuasaan penjajah.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1967: 20), nasionalisme adalah aktivitas dari
pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu
berjuang melawan kekuasaan kolonial. Sedangkan Benedict Anderson (2001: 7-8),
berpendapat bahwa nasionalisme adalah suatu kesetiakawanan, persaudaraan yang
bersedia dan berani mati demi kepentingan bangsanya dalam perjuangan ke arah
pembentukan Indonesia. Menurut Suhartono (2001: v), nasionalisme Indonesia
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan nasionalisme mana pun di penjuru dunia
ini. Nasionalisme Indonesia murni merupakan bentuk perlawanan terhadap
kolonialisme.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa semangat
nasionalisme dapat dikaitkan dengan suatu perang atau revolusi. Mengingat sejarah
Indonesia pada masa lalu, tidak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang tidak
pernah melakukan pemberontakan melawan kolonialisme namun belum
menunjukkan keberhasilan, karena belum adanya persatuan sebagai modal
perjuangan. Keadaan ini merupakan salah satu faktor yang mempercepat dan
memperkuat keinginan untuk bersatu di antara suku bangsa di Indonesia. Menurut
Suhartono (2001: 8), situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat tanah jajahan
untuk secara kolektif mempersatukan diri guna mengubah situasi sosiopolitik
kolonial ke arah kebebasan secara global. Keadaan ini mendorong timbulnya
kesadaran nasional, perasaan nasional dan kehendak nasional yang dinyatakan
dengan berbagai cara
Menurut Sartono Kartodirdjo (1998: 29) bahwa prinsip nasionalisme adalah
kesatuan, maka teknologi sosial diarahkan untuk memicu integrasi. Oleh karena itu
nasionalisme menuntut kesetiaan atau penyerahan diri seseorang kepada
masyarakatnya dan lebih luas lagi kepada bangsa dan negaranya.
Akira Nagazumi (1989: 94) menjelaskan bahwa Budi Utomo sebagai awal
bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Dengan demikian menjelang dan awal
kemerdekaan bangsa Indonesia telah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dalam
(1) menghadapi musuh bersama (common enemy) yaitu penjajahan. Akibat musuh
bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang tinggi untuk menghadapi dan
mengusir musuh; (2) bangsa Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka, dan (3) bangsa Indonesia merasa
senasib sepenanggungan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing.
Secara konseptual nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang
mendorong bangkitnya semangat untuk mencapai cita-cita nasional. Secara harfiah
nasionalisme berasal dari dua kata “nation” atau bangsa dan “ism” atau paham.
Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan sebagai paham kebangsaan atau
keinginan untuk menjadi satu bangsa.
Berkaitan dengan keinginan untuk membentuk suatu bangsa menurut konsep
nasionalisme, terdapat beberapa teori tentang pembentukan nation seperti
dikemukakan oleh Suhartono ( 2001: 7) sebagai berikut:
1) Teori kebudayaan (Culture), suatu bangsa adalah sekelompok manusia dengan
persamaan kebudayaan.
2) Teori negara (Staat), menurut teori ini yang menentukan terbentuknya suatu
negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa.
3) Teori kemauan (wills), menurut teori ini syarat mutlak untuk menjadi satu bangsa
adalah adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup
bersama dalam suatu ikatan, tanpa memandang perbedaan kebudayaan,
suku, dan agama.
Beberapa teori tentang terbentuknya nation yang disebut di atas, yang cocok
bagi Indonesia adalah teori berdasar keinginan (wills). Semangat kebangsaan yang
merupakan psychological state of mind harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan.
Karena itulah nasionalisme harus dipupuk setiap saat (Suhartono, 1994: 8)
Sejalan dengan konsep dan teori tersebut, jelas bahwa tumbuhnya suatu
bangsa tidak terlepas dari proses perjalanan panjang sejarah. Setiap individu yang
cinta bangsanya akan memiliki motivasi dan kehendak untuk mempelajari proses
tumbuh dan berkembangnya bangsa sebagai titik tolak bagi diri dan bangsa menuju
ke proses selanjutnya. Konsep nasionalisme menjadi arah bagi tumbuhnya suatu
bangsa yang berorientasi lebih luas ke depan yaitu suatu negara yang dapat berdiri
kokoh.
Bersama-sama dengan berbagai bentuk kesadaran berbangsa dalam
menghadapi situasi kolonial, bangsa Indonesia masih dapat menunjuk jawaban
psikologis sebagai akibat dari kondisi-kondisi sosial di dalam masyarakat kolonial,
tetapi yang tidak berhubungan langsung dengan kecerdasan, perasaan rendah diri,
takut, benci, kebutuhan akan keamanan, perlindungan, perasaan kekeluargaan dan
sebagainya. Faktor-faktor emosional ini menjadi semangat yang membentuk tenaga
pendorong bagi perjuangan. Sartono Kartodirdjo (1967: 48), menunjuk sebagai
faktor afektif ialah reaksi-reaksi emosional yang biasanya ditandai oleh: simpati,
antipati, benci, takut, marah, sayang dan sebagainya.
Menurut Suhartono (1994:7), “nasionalisme timbul karena kombinasi dua
faktor, yaitu subjektif berupa kemauan, sentimen, apirasi, dan lain-lain, dan faktor
objektif karena kondisi ekonomi, geografi, historis dan lain-lain”.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan yang
dikehendaki oleh nasionalisme di Indonesia pada prinsipnya sama, yaitu cita-cita
mencapai kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono
Kartodirdjo (1984: II), bahwa ada tiga prinsip nasionalisme yaitu: (1) kemerdekaan
(kebebasan); (2) kesatuan dan (3) kesamaan. Kemerdekaan memang sudah menjadi
prinsip nasionalisme bangsa Indonesia. Bangsa mana pun di dunia ini tetap
menginginkan suatu kemerdekaan bangsanya. Tetapi untuk memperoleh/mencapai
kemerdekaan itu, tentu harus berjuang melepaskan diri dari keterkaitan dengan
bangsa lain sepanjang bangsa itu dinilai sebagai penjajah. Syarat mutlak untuk
mendukung pencapaian itu adalah adanya rasa persatuan dan kesatuan, juga
kesamaan langkah dalam mewujudkan cita-cita mencapai kemerdekaan, harus
menjadi prinsip yang perlu ditanamkan pada jiwa bangsa. Di sini prinsip
nasionalisme memberi peluang terhadap upaya pencapaian tujuan tersebut.
c. Kemerdekaan
Kemerdekaan merupakan hak asasi manusia, salah satu hak asasi manusia
yang paling asasi adalah kemerdekaan. Kemerdekaan pada hakekatnya merupakan
kemerdekaan yang dimiliki setiap individu dan juga merupakan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Demikian pula bagi bangsa atau negara di seluruh dunia, karena
tidak ada satu pun bangsa atau negara yang mau dijajah bangsa lain.
Dalam Pembukaan Universal Declaration of Human Rights memuat kalimat-
kalimat antara lain sebagai berikut:
Mengingat bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat pada setiap umat dan terhadap hak-hak yang sama dan yang tidak boleh dirampas dari setiap orang adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia; Mengingat bahwa sikap acuh tak acuh dan sikap mencela terhadap hak asasi telah menghasilkan perbuatan-perbuatan biadab yang melukai hati nurani umat manusia dan bahwa kebangkitan satu dunia di mana orang akan menikmati kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan keyakinan serta kemerdekaan dari ketakutan dan kekurangan disambut sebagai idaman tertinggi rakyat biasa; (dalam Aryo Kartono dkk, 2004: 50). Kemerdekaan merupakan cita-cita yang harus diperjuangkan oleh seluruh
rakyat dengan menggunakan berbagai bentuk, corak dan sifat perjuangan sebagai
reaksi terhadap kolonialisme. Bangsa Indonesia dengan tegas menentang segala
bentuk penjajahan seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea pertama yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Pernyataan tersebut memuat penegasan pendirian bangsa Indonesia
menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajah. Juga mengandung pernyataan
objektif yaitu penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,
sehingga harus ditentang dan dihapuskan, serta pernyataan subjektif bahwa aspirasi
bangsa Indonesia sendiri membebaskan diri dari penjajahan. Pernyataan itu juga
merupakan landasan pokok politik luar negeri Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang panjang untuk
melepaskan diri dari dominasi etnik lain. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan berbagai cara dan
upaya akhirnya perjuangan itu memperoleh hasil. Hal ini tertuang pada alinea kedua
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (dalam Aryo Kartono, 2004 : 149).
Dalam pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa perjuangan itu telah sampai
pada tingkat yang menentukan. Momentum yang telah dicapai tersebut harus
dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan. Kemerdekaan tersebut bukan
merupakan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi untuk mewujudkan negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Kemerdekaan mempunyai arti penting bagi setiap negara, karena dengan
kemerdekaan berarti negara mempunyai kekuatan atau kedaulatan. Kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Adanya negara yang berdaulat berarti
negara itu telah memiliki kemerdekaan. Negara yang merdeka mempunyai
kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan
negara lain. Negara yang merdeka mempunyai kekuasaan atau hak untuk
mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara lain.
d. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam sejarah perjuangan bangsa, tampaknya bahwa penderitaan terhadap
penjajahan Belanda seperti tidak pernah selesai. Sejak permulaan awal abad ke-17
sampai akhir abad ke-20 kerap kali timbul perjuangan, pemberontakan dan
peperangan. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
perjuangan masih harus dilanjutkan untuk mempertahankan bangsa dan negara
dengan pengorbanan dan peperangan untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman
yang dapat meniadakan eksistensi negara yang baru berdiri.
Himawan Soetanto (2006: 363) menjelaskan bahwa, mengingat pengalaman
pahit ketika TNI demikian mudah dikalahkan oleh Belanda dalam agresi militer
pertama, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1 Panglima
Besar, dan memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk menyiapkan diri menghadapi
agresi militer Belanda berikutnya yang setiap saat dapat terjadi.
Ketika Belanda kembali melakukan agresi terhadap wilayah negara Republik
Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948, maka bangsa Indonesia berhak dan wajib
membela serta mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan negara, keutuhan wilayah,
dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman tersebut, sesuai dengan prinsip yang
dianut dalam hal mempertahankan kemerdekaan/negara. Pembelaan negara
diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara.
Dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948, Presiden menyampaikan
amanatnya antara lain: “Kemerdekaan kita yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 dan yang telah meresap pada jiwa kita, mustahil dapat
ditindas dengan kekerasan”. Sementara itu Wakil Presiden juga menyampaikan
pesan antara lain:
Rakyat harus berjuang terus dan saya percaya seluruh rakyat Indonesia bersedia meneruskan perjuangan kita ini. Perjuangan kita adalah perjuangan untuk kemerdekaan dan jangan putus-putus berjuang sebelum tercapai kemerdekaan itu, sebab kita berjuang dengan keyakinan bahwa perjuangan kita itu ialah perjuangan yang adil (Nasution, 1977: 186). Menurut Reid (1974: 150), saling curiga diperkuat pada pihak Republik oleh
kekhawatiran akan adanya ofensi Belanda yang kedua, dan pada pihak Belanda oleh
kegiatan terus menerus kesatuan-kesatuan bersenjata Republik pada sisi garis
Renville. Sedangkan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
(1993: 158), menjelaskan bahwa gejala-gejala akan datangnya suatu serangan militer
telah dirasakan oleh pimpinan Angkatan Perang, sejak Belanda mencoba mengulur-
ulur waktu mengenai perundingan pelaksanaan Persetujuan Renville. Di beberapa
tempat tentara Belanda melakukan pemindahan pasukan ke dekat garis demarkasi.
Sebagai tanggapan atas tindakan Belanda ini, pimpinan Angkatan Perang
merencanakan pelaksanaan pertahanan Republik Indonesia dengan konsepsi
Pertahanan Rakyat Semesta (total people’s defence), artinya pelaksanaan perang
bukan hanya oleh Angkatan Perang melainkan oleh seluruh rakyat dengan Angkatan
Perang sebagai intinya.
Pimpinan Angkatan Perang menjabarkan konsepsi pertahanan semesta yang
mudah dipahami dan dilaksanakan. Penjabarannya diterangkan di dalam Perintah
Siasat No. 1 dari Panglima Besar Angkatan Perang yang berisi: (1) tidak akan
melakukan pertahanan linier; (2) tugas memperlambat kemajuan dan serbuan musuh,
pengungsian total serta bumihangus total; (3) tugas membentuk kantong-kantong di
tiap-tiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya yang totaliter
(Wehrkreis) dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan; (4) tugas
pasukan-pasukan yang berasal dari daerah federal untuk ber-wingate (menyusup ke
kantong-kantong), sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi satu medan perang
gerilya yang besar.
Perintah Siasat No. 1 menegaskan bahwa strategi pertahanan baru harus
dilaksanakan. Strategi pertahanan secara linier konvensional, melakukan pertahanan
mati-matian, tidak lagi dipersiapkan. TNI harus dapat menghindarkan diri dari
serangan-serangan dahsyat Belanda, mundur ke daerah-daerah pangkal perlawanan
dan kemudian menggelar perang gerilya jangka panjang. Pasukan-pasukan yang
berasal dari daerah federal (daerah yang diduduki Belanda), seperti Divisi Siliwangi,
harus melakukan Aksi Wingate- infiltrasi jarak jauh kembali ke daerah wehrkreis
semula untuk menggelar perlawanan gerilya. Dalam Perintah Siasat No. 1 ditetapkan
lebih lanjut bahwa, perang gerilya dalam rangka perang rakyat semesta digelar di
seluruh Jawa dari Banten sampai Banyuwangi, untuk sepanjang masa (Himawan
Soetanto, 2006: 354).
Perang gerilya adalah suatu taktik dalam pertahanan, yang dilakukan dengan
cara maju untuk menghancurkan musuh dan mundur agar jangan dihancurkan
musuh, yang dilakukan sekaligus, serentak dan dengan gerakan yang cepat. Dinamis
dalam arti berpindah-pindah dengan mobilitas yang tinggi, tidak bersifat statis,
bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, berada di bawah satu kendali dan
komando. Untuk itu harus ada daerah gerilya yang dipimpin oleh seorang komandan
yang menghubungkan gerakan satu dengan lainnya, sehingga tidak merupakan
perang liar, karena mempunyai susunan tertentu dengan rencana dan garis beleid
yang tertentu pula (Nasution, 1979: 261-262).
TNI telah mempersiapkan diri dengan baik bagi apa yang diperkirakannya
sebagai serangan Belanda yang tak terhindarkan. Sewaktu pasukan payung Belanda
mendarat di Yogyakarta, Jenderal Soedirman bangkit dari ranjang di mana ia
terbaring sakit, untuk menyampaikan pesan melalui siaran radio (Reid, 1974: 152).
Menurut Himawan Soetanto (2006: 292), Panglima Besar Jenderal Soedirman
mengeluarkan Perintah Kilat No.1 tahun 1948, yang berisi instruksi kepada segenap
jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi yang telah
ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah Siasat Nomor 1
Panglima Besar. Bunyi Perintah Kilat No.1:
1. Kita telah diserang. 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang
kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. 3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. 4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di: Tempat Tanggal: 19 Desember 1948 Jam: 08.00 (dto) Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jendral Sudirman
Menurut rencana tersebut, akan dilakukan pengunduran strategis dari pusat-
pusat utama, bumi hangus, dan suatu perjuangan gerilya yang berkepanjangan di
kedua sisi bekas garis Renville. Walaupun sama seperti pada tahun 1947 terjadi
kekacauan organisasi dan kegagalan komunikasi, sebagian besar kesatuan-kesatuan
rupanya telah menuju ke posisi-posisi yang telah ditunjukkan sebelumnya (Reid,
1974: 152). Sedangkan maksud pokok dari perintah tersebut adalah mengadakan
perlawanan dengan perang gerilya yang agresif yang dilakukan oleh tentara dan
rakyat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan
sekaligus memenangkan perang. Hal ini perlu dicapai dengan: (1) pimpinan totaliter,
artinya dibentuk suatu pemerintahan militer gerilya yang dipegang oleh lurah sampai
kepada pimpinan tertinggi dalam hal ini Panglima Besar Soedirman; (2) politik non-
kooperasi dan non-kontak yang tegas. Semua aparat pemerintah dilarang melakukan
kebijaksanaan lain dalam hubungannya dengan musuh; (3) organisasi TNI dengan 3
macam tugas: a) pasukan mobil, yang bertugas tempur dengan perbandingan senjata
dan personil 1:1; b) pasukan teritorial, yang bertugas melaksanakan pembinaan
teritorial dan perlawanan statis; c) melaksanakan wingate (menyusup) ke daerah
kekuasaan musuh, yang pernah ditinggalkan karena hijrah untuk diisi dengan
kekuatan gerilya sehingga menciptakan kantong di daerah tersebut (Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 159).
Ofensi Belanda berjalan cepat dan berhasil sama seperti pada tahun 1947.
Semua kota besar di Jawa jatuh ke tangan mereka dalam seminggu, dan semua kota
besar di Sumatera kecuali beberapa pada akhir bulan Desember. Hanya Aceh tetap
merupakan benteng yang kuat bagi Republik. Namun tidak satu pun tujuan Belanda
tercapai. Sassen dan Beel telah berharap bahwa Republik akan lenyap, dan bahwa
tokoh-tokoh terkemuka dari bekas Republik akan muncul untuk mewakili wilayah-
wilayah yang baru diduduki dalam suatu struktur federal berdasarkan syarat-syarat
Belanda seperti pada tahun 1947 tidak terjadi. Intervensi segera pihak Dewan
Keamanan yang gusar memastikan bahwa Republik hidup terus sebagai suatu
kesatuan internasional. Diterimanya oleh Belanda tuntutan Dewan Keamanan tentang
gencatan senjata yang berlaku di Jawa mulai 31 Desember, merupakan permulaan
bukan akhir peperangan. Pihak Belanda terus menyerang konsentrasi pasukan
Republik di mana saja mereka menemukannya, begitu juga gerilyawan Republik
mengganggu pasukan Belanda dan kolaborator-kolaborator Indonesia. Baik bagi
pasukan reguler TNI maupun pasukan tidak reguler yang mirip gerombolan
perampok, alternatifnya sekarang hanya perang gerilya atau menyerah (Reid, 1974:
152-153).
Satu-satunya tokoh militer dengan status yang memadai untuk mengerahkan
dan mempersatukan tentara adalah Jenderal Soedirman, yang dipindah-pindahkan di
atas sebuah tandu di daerah Pacitan sebelah timur Yogya, selama masa perlawanan
gerilya (Reid, 1974: 155). Meskipun dalam keadaan sakit keras, Panglima Besar
Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya
secara total. Selama tujuh bulan Jenderal Soedirman menjadi pegangan bagi seluruh
rakyat yang melaksanakan pergulatan dahsyat untuk kelangsungan hidup Negara
Republik Indonesia. Di saat-saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa,
Soedirman merupakan obor yang memancarkan sinar ke sekelilingnya (Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 161).
Menurut Reid (1974: 155), dari segi perasaan persamaan antara orang kota
elit dan rakyat di pedesaan, zaman gerilya merupakan titik puncak seluruh proses
revolusi. Perwira-perwira militer, politisi-politisi, pejabat-pejabat dan pengungsi
yang berbagai ragam dari kota yang diduduki, harus bergantung pada sikap ramah
tamah orang desa yang tidak berpendidikan. Hubungan tersebut tidak selalu tanpa
ketegangan, namun dampaknya bagi kedua pihak sangat mendalam. Bagi banyak
orang desa hadirnya pengungsi-pengungsi ini dan pertemuan kucing-kucingan
dengan patroli Belanda merupakan pengalaman nyata pertama tentang revolusi.
Orang kota menyelenggarakan sekolah-sekolah, proyek-proyek pembangunan di
desa, dan bahkan mendorong pembagian tanah desa atau perkebunan kepada petani-
petani miskin untuk memperkuat komitmen pada perjuangan Republik. Bagi orang
kota sendiri gerilyawan merupakan lambang tertinggi penderitaan, rasa kebersamaan,
dan kesetiakawanan perjuangan bersama.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka Komando Daerah Muria termasuk
di dalamnya, merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan
perjuangan pada umumnya di Indonesia. Perjuangan Komando Daerah Muria di
wilayah Karesidenan Pati bagian utara, di mana Kudus sebagai pusat perjuangannya,
merupakan bagian dari perjuangan rakyat semesta dalam upaya mempertahankan
kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda.
d. Sistem Pertahanan Negara
1) Pengertian Pertahanan Negara
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Hakikat pertahanan
negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya
didasarkan kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada
kekuatan sendiri. Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dan dipersiapkan
secara dini dengan sistem pertahanan negara (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat menetapkan bahwa
Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berdasarkan ketentuan tersebut
dapat ditarik simpulan, bahwa melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari setiap bentuk ancaman dari luar dan/atau dari dalam negeri, pada
hakikatnya merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara.
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara menyebutkan bahwa:
Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ( dalam http://www.tempointeraktif.com,17 Januari 2009). Yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Di Indonesia, sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai "komponen utama" dengan
didukung oleh "komponen cadangan" dan "komponen pendukung". Sistem
Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga
pemerintah diluar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan
sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur unsur lain dari kekuatan
bangsa (http://id.wikipedia.org/wiki/PertahananNegara).
Yang dimaksud dengan ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan
kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan
segenap bangsa. Menurut penjelasan UU RI No 3 Tahun 2002, ancaman militer
dapat berbentuk:
(a) Agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau
dalam bentuk dan cara-cara, antara lain: (1) Invasi berupa serangan oleh
kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (2) Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan
oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (3) Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah
udara Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh angkatan bersenjata negara lain;
(4) Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat
atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia; (5) Unsur
kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya
bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian; (6) Tindakan suatu negara
yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah
persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (7) Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara
lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas.
b. Pelanggaran wilayah yang dilakukan negara lain, baik yang menggunakan kapal
maupun pesawat nonkomersial.
c. Spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia
militer.
d. Sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan objek vital nasional yang
membahayakan keselamatan bangsa.
e. Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau
yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri
yang bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
f. Pemberontakan bersenjata.
g. Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan
kelompok masyarakat bersenjata lainnya.
Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga
merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh
kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan
bangsa (UU RI No 3 Tahun 2002).
Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia, yang siap digunakan
untuk melaksanakan tugas tugas pertahanan. Komponen cadangan adalah sumber
daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Sumber daya nasional terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan
sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi,
air dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk
kepentingan pertahanan negara. Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang
telah ditingkatkan daya gunanya untuk kepentingan pertahanan negara.
2) Peran dan Tanggung Jawab Daerah dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Untuk menghadapi ancaman militer Belanda, persiapan tidak hanya dalam
bentuk dukungan politis yang berupa peraturan pemerintah tetapi juga dalam bentuk
nyata. Dalam sidang kabinet, Departemen Dalam Negeri bersama Markas Besar
Angkatan Perang telah mengatur untuk menghapuskan jabatan gubernur sipil di masa
perang. Para gubernur diangkat menjadi penasehat Gubernur Militer ( Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 160).
Bentuk pemerintahan militer di Jawa disusun sebagai berikut: Panglima Besar
Angkatan Perang membawahi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa. Selaku
Panglima Tentara membawahi 4 divisi, sedangkan selaku Panglima Teritorium
membawahi 4 orang gubernur militer. Jabatan gubernur militer se Jawa dirangkap
oleh Panglima Divisi. Gubernur Militer membawahi pasukan teritorial, yang
instansinya disusun mulai dari Sub Teritorial Commando (STC) atau Sub Teritorium
Militer (STM) untuk wilayah karesidenan, Komando Distrik Militer (KDM) untuk
wilayah kabupaten, Komando Onder Distrik Militer (KODM) untuk wilayah
setingkat kecamatan, dan akhirnya para lurah. Para lurah akan membentuk desa
sebagai pelaksana pemerintah militer yang terendah. Sedangkan Panglima Divisi
membawahi pasukan mobil, yang disusun mulai dari brigade dan batalion. Tugas
pasukan mobil ini di samping bertempur melawan musuh juga melindungi dan
memperluas daerah kekuasaan pemerintah militer.
Berdasarkan bentuk dan susunan pemerintahan militer tersebut, maka daerah
memiliki peran dan tanggung jawab dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan/negara, karena bentuk pertahanan negara bersifat semesta, dalam arti
melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana
nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan.
2. Pembelajaran Sejarah
Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai
mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari
masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 6). Pembelajaran sejarah memberikan
wawasan yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode (Puskur,
2006: 7)
Menurut Nugroho Notosusanto (1982: 2), ada dua pengertian sejarah yaitu:
(1) Sejarah sebagai peristiwa atau dengan kata lain sejarah dapat berarti peristiwa;
(2) Sejarah sebagai kisah dari peristiwa masa lampau. Peristiwa-peristiwa sejarah
menurut Nugroho Notosusanto (1982: 3) adalah “sejarah dalam arti kedua yaitu
sejarah sebagai kisah”. Pengertian sejarah dalam arti pertama sudah tidak ada lagi,
karena itu tak mungkin dapat diamati atau disaksikan. Yang selalu dihadapi adalah
sejarah sebagai kisah, yaitu pelukisan peristiwa sejarah. Sejarah sebagai kisah
tersusun dari hasil karya para sejarawan yang telah menuliskan berdasarkan hasil
penelitiannya. Sejarawan menyimpulkan berdasarkan pada peristiwa jejak-jejak
sejarah yang menjadi sumber sejarah sebagai kisah. Sumber-sumber sejarah itu ada
yang berbentuk benda, tulisan, dan dapat juga berbentuk keterangan lisan. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992:
16), bahwa setiap peristiwa meninggalkan bekas yang kemudian digunakan sebagai
saksi dan bukti.
Kondisi yang dihadapi saat ini, prospek serta tantangan di masa depan
merupakan bagian integral dari proses perkembangan yang telah terjadi sejak masa
lalu. Berdasarkan pemahaman bahwa sejarah merupakan ilmu yang mempelajari
proses perubahan dan keberlanjutan dalam dimensi waktu, maka pengajaran sejarah
di sekolah perlu dilaksanakan untuk membangun pemahaman keilmuan berperspektif
waktu, memori bersama, dan kesadaran terhadap nilai inti bangsa (Depdiknas, 2003:
5). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu, manusia
dapat berpijak lebih mantap pada masa sekarang, manusia tidak akan mengulang
kesalahan yang sama, dan dapat menatap masa depan secara lebih mantap.
Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa sejarah sangat penting untuk
dipelajari dan perlu diajarkan melalui proses pendidikan, yaitu pembelajaran sejarah
yang memperhatikan aspek-aspek didaktis. Dalam kurikulum SMP, sejarah
merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Pengetahuan Sosial. Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) meliputi bahan kajian: sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi.
Mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka
terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif
terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang
menimpa masyarakat (Nursid Sumaatmaja dalam Puskur Depdiknas, 2006: 4)
Dalam pelaksanaan pembelajaran IPS di SMP, masing-masing bahan kajian
dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
mata pelajaran IPS dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing (
sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi). Hal ini disebabkan antara lain: (1)
kurikulum IPS itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi,
melainkan masih terpisah-pisah antarbidang ilmu sosial, (2)latar belakang guru yang
mengajar merupakan guru dengan disiplin ilmu seperti geografi, sejarah, ekonomi,
dan sosiologi ( Puskur Depdiknas, 2006: 4)
Ditinjau dari Ilmu Pengetahuan Sosial secara menyeluruh, sejarah
mempunyai kedudukan yang khas, khususnya sebagai ilmu sosial yang
menghubungkan dengan masa lampau. Sejarah menampilkan perkembangan dan
perubahan dalam perikehidupan di masa lampau, maksudnya merupakan salah satu
cabang Ilmu Pengetahuan Sosial yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis
keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau, beserta
segala kejadian-kejadiannya, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh
penelitian dan penyelidikan, dan akhirnya dapat dijadikan perbendaharaan pedoman
bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah perkembangan masa depan
(Depdiknas, 2004: 6).
a. Tujuan Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh
kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah
siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan
memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami
dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman
sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di
tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia (Depdiknas, 2003: 6).
Pembelajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman
pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang
berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun
pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang. Menurut
Depdiknas (2006: 9), pada tingkat SMP pelajaran sejarah bertujuan agar peserta
didik memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya
melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
Tidak pernah ada suatu bangsa yang melupakan sejarah bangsanya, asal-usul,
dan perjuangan mereka untuk hidup dan merdeka. Tujuan yang luhur dari sejarah
untuk diajarkan pada semua jenjang sekolah adalah menanamkan semangat
kebangsaan, cinta tanah air, bangsa dan negara serta mereka sadar untuk apa mereka
dilahirkan. Pelajaran sejarah merupakan salah satu unsur pertama pendidikan politik
bangsa. Lebih jauh lagi pengajaran sejarah merupakan sumber inspirasi terhadap
hubungan antar bangsa dan negara. Siswa memahami bahwa mereka merupakan
bagian masyarakat negara di dunia.
b. Fungsi Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menyadarkan siswa akan adanya proses
perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk
membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan
menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan di tengah-
tengah perubahan dunia (Depdiknas, 2003: 6).
I Gede Widja (1989: 45) menjelaskan bahwa, menyadari guna edukatif dari
sejarah berarti menyadari makna sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau
yang penuh arti, yang selanjutnya berarti bahwa kita bisa memungut dari sejarah
nilai-nilai berupa ide-ide mau pun konsep-konsep kreatif sebagai sumber motivasi
bagi pemecahan masalah-masalah masa kini dan selanjutnya untuk merealisasikan
harapan-harapan di masa yang akan datang.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1989: 20), pengajaran sejarah berfungsi untuk:
(1) Membangkitkan perhatian dan minat terhadap sejarah tanah air; (2)Mendapatkan
inspirasi dari cerita sejarah; (3) Memupuk alam pikiran ke arah historical
mindedness; (4) Memberi pola pikir ke arah yang rasional dan kritis dengan faktual;
(5) Mengembangkan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Selanjutnya Sartono Kartodirdjo (1989: 22) mengemukakan bahwa “fungsi
pengajaran sejarah di sekolah yaitu menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi
muda dengan pengungkapan model-model tokoh sejarah dan berbagai bidang
pendidikan”. Melalui materi tersebut perbendaharaan suri tauladan, berkorban untuk
tanah air, berdedikasi tinggi, tanggung jawab sosial yang besar, kewajiban serta
keterlibatan penuh dalam hal ihwal bangsa dan tanah air, mengutamakan kepentingan
umum, dan tak kenal lelah dalam usaha untuk berprestasi. Semangat perjuangan yang
dikobarkan para generasi pendahulu diharapkan dapat memberi inspirasi generasi
sekarang dalam menghadapi tugas membangun daerah, bangsa dan negara Indonesia.
Sartono Kartodirdjo, (1989: 22) menyebutkan bahwa “ pelajaran sejarah di
sekolah tidak dapat mengabaikan fungsi didaktik terutama untuk menopang
pertumbuhan wawasan kebangsaan yang begitu fundamental bagi pembangunan
bangsa”. Hal ini menjadi penting karena para siswa adalah pewaris-pewaris negara
dan bangsa. Mereka akan menjadi generasi yang bijak dan luas pandangannya
apabila mendapat pembekalan. Kesadaran sejarah yang kritis perlu sekali dimiliki
oleh siswa, agar mereka menjadi bangsa yang menghargai hasil perjuangan dan nilai
budaya warisan nenek moyangnya. Siswa harus mengenal masa lampaunya dengan
baik, karena masa lampau manusia sangat penting untuk menghadapi masa kini dan
masa yang akan datang. Semua itu diharapkan akan bermuara pada terbentuknya
sikap, nilai, pengertian, penguasaan, serta ketrampilan memahami nilai perjuangan
bangsa, sehingga siswa memiliki peluang untuk memperdalam lebih lanjut
pengetahuan yang telah mereka peroleh.
Dalam konteks penerapan kurikulum yang memberikan keleluasaan
masuknya muatan lokal, pengenalan tokoh-tokoh pelaku sejarah lokal itu bisa
disisipkan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah. Termasuk
mentransformasikan nilai-nilai positif yang terkandung di balik peristiwa sejarah
tersebut. Perhatian kepada aspek sejarah lokal bukanlah sebagai bentuk euforia
otonomi atau pun kebangkitan kesadaran tentang lokalitas. Namun, lebih sebagai
usaha mendekatkan generasi muda dengan sejarah lokalnya sendiri sehingga mereka
bisa lebih mudah memaknai arti perjuangan bangsanya di masa lalu. (Sumatika:
2008)
Sejalan dengan penjelasan tersebut, maka aspek-aspek heroisme, patriotisme
dan nasionalisme dari perjuangan Komando Daerah Muria apabila diajarkan kepada
siswa dapat berfungsi sebagai salah satu upaya penanaman nilai kepahlawanan,
semangat patriotisme dan nasionalisme, sehingga siswa dapat merasakan semangat
perjuangan, besarnya pengorbanan dan sulitnya para pahlawan ketika merebut
kemerdekaan. Jika mereka dapat merasakan hal ini, maka semangat patriotisme dan
jiwa nasionalisme siswa akan terwujud. Pada tahap berikutnya jiwa dan semangat
nasionalisme tersebut direvitalisasi dalam upaya mempersiapkan masyarakat
Indonesia menghadapi globalisasi yang diikuti oleh dampak kemajuan iptek. Secara
khusus semangat nasionalisme diperlukan untuk menseleksi pilihan kita dalam
mempertahankan kepribadian bangsa.
Dari beberapa uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa melalui
pembelajaran sejarah dengan memahami makna yang terkandung di dalamnya, dapat
menjadi dasar bagi penanaman sikap kebangsaan, cinta tanah air, sehingga memiliki
sikap yang kuat dalam mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan
pembangunan bangsa serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Pengembangan Materi Pembelajaran
1) Pengertian Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran (instructional materials) atau bahan ajar adalah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka
mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan (Depdiknas, 2006). Materi
pembelajaran tersebut disusun secara sistematis oleh guru, selanjutnya digunakan
dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan sangat tergantung pada
keberhasilan guru dalam merancang materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada
hakekatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Silabus, yakni perencanaan,
prediksi dan proyeksi tentang apa yang akan dilakukan pada saat kegiatan
pembelajaran.
Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan
kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai
sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk
kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya
standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator
Agar guru dapat membuat persiapan yang berdaya guna dan berhasil guna,
dituntut memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan pengembangan materi
pembelajaran, baik berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip, maupun prosedur
pengembangan materi serta mengukur efektivitas persiapan tersebut.
2) Cara Mengembangkan Materi Pembelajaran
Pengembangan merupakan suatu kegiatan berupa pencanangan, perencanaan
atau rekayasa yang dilakukan dengan berdasarkan metode berpikir ilmiah guna
memecahkan permasalahan yang nyata-nyata terjadi, sehingga hasil kerja
pengembangan berupa pengembangan ilmiah dan teknologi dapat digunakan untuk
memecahkan masalah tersebut (Depdikbud, 1998: 4).
Dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan bahwa guru
diharapkan mengembangkan materi pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007
tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses
pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk
mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam
RPP adalah sumber belajar. Dengan demikian, guru diharapkan untuk
mengembangkan materi pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dan acuan
pembelajaran (http:/awan965.wordpress.com/2008/12/20).
Penjabaran SK dan KD sebagai bagian dari pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran secara umum dengan
mengembangkan SK-KD menjadi indikator, materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, sumber belajar dan penilaian. Sebagai bagian dari langkah
pengembangan silabus, pengembangan indikator merupakan langkah strategis yang
berpengaruh pada kualitas pembelajaran di kelas. Kemampuan guru dan sekolah
dalam mengembangkan indikator berpengaruh pada kualitas kompetensi peserta
didik di sekolah tersebut.
Mulyasa (2007: 225) menjelaskan bahwa, guru sebagai manajer kurikulum di
sekolah diharapkan dapat memilih dan mengembangkan materi pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan, perkembangan jaman, minat dan kemampuan serta
perkembangan peserta didik. Oleh karena itu guru dituntut inovatif dan kreatif
mampu menguasai dan mengembangkan materi, serta menerapkan berbagai variasi
metode dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat mencapai tujuan yang
dirumuskan.
Pengembangan materi pembelajaran pada hakekatnya adalah mencari dan
menentukan pokok materi formal, memperkaya dan menyempurnakan materi
pengajaran dari bahan informal, juga menentukan pokok isi pelajaran dan
mengorganisasikannya berdasar pendekatan dan ketentuan bidang studi serta
tuntutan formal (Kosasih Djahiri, 1980: 15). Banyak referensi yang dapat digunakan
sebagai bahan pengembangan materi pembelajaran, namun yang diambil hendaknya
yang bersifat pedagogis dan relevan dengan tujuan pembelajaran.
Dalam pengembangan materi pembelajaran guru harus mampu
mengidentifikasi Materi Pembelajaran dengan mempertimbangkan hal-hal berikut
ini: (a) potensi peserta didik; (b) relevansi dengan karakteristik daerah; (c) tingkat
perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik; (d)
kebermanfaatan bagi peserta didik; (e) struktur keilmuan; (f) aktualitas, kedalaman,
dan keluasan materi pembelajaran; (g) relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan
tuntutan lingkungan; dan (h) alokasi waktu (Depdiknas, 2006).
Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu
diidentifikasi aspek-aspek keutuhan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasai
peserta didik. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap standar kompetensi dan
kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan
pembelajaran. Harus ditentukan apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang harus dikuasai peserta didik termasuk ranah kognitif, psikomotor ataukah
afektif.
Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pembelajaran yang
akan diajarkan adalah dengan cara mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar
yang harus dikuasai peserta didik. Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita
akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep,
prinsip, prosedur, aspek sikap, atau keterampilan motorik.
3) Kriteria Pemilihan
Materi pembelajaran dipilih seoptimal mungkin untuk membantu peserta
didik dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal-hal yang perlu
diperhatikan berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran adalah jenis,
cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran tersebut.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi: (a) prinsip
relevansi artinya kesesuaian, materi pembelajaran hendaknya relevan memiliki
keterkaitan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar; (b)
konsistensi artinya keajegan, adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi
dasar yang harus dikuasai siswa. Misalnya, kompetensi dasar yang harus dikuasai
siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi
empat macam; dan (c) Adequacy artinya kecukupan, artinya materi yang diajarkan
hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar
yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika
terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan
mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum yaitu pencapaian
keseluruhan SK dan KD (http:/akhmadsudrajadwordpress.com, download 13 Januari
2009).
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus
dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar
menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar
langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi : (a) mengidentifikasi aspek-aspek
yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan
atau rujukan pemilihan bahan ajar, (b) mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar,
(c) memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi., dan (d) memilih sumber bahan ajar
(Depdiknas: 2006).
Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan
sebagai berikut:
(a) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu
perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena
setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi
yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
(b) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Sejalan dengan berbagai jenis aspek
standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis
materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek
kognitif secara rinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep,
prinsip dan prosedur.
(c) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis
fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis
materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka
guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis
materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis
materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar
yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting
untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran
memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem
evaluasi/penilaian yang berbeda-beda.
(d) Memilih sumber bahan ajar. Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya
adalah menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar
dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal,
koran, internet, media audiovisual, hasil penelitian dan sebagainya.
Tidak semua bahan dari berbagai sumber tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan ajar mau pun pengembangan bahan ajar, karena ada kriteria-kriteria yang perlu
dipertimbangkan. Menurut Dakir (2004: 14), kriteria-kriteria yang perlu
dipertimbangkan adalah: (a) Bahan hendaknya bersifat paedagogis, artinya bahan
hendaknya berisikan hal-hal yang normatif; (b) Bahan hendaknya bersifat
psikhologis, artinya bahan yang disusun memperhatikan kejiwaan peserta didik yang
mempergunakannya. Bahan disesuaikan dengan perhatian, minat, kebutuhan, dan
perkembangan jiwa anak; (c) Bahan hendaknya disusun secara didaktis, artinya
bahan yang dipilih tersebut dapat diorganisir sedemikian rupa sehingga mudah untuk
diajarkan; (d) Bahan hendaknya bersifat sosiologis, artinya bahan jangan sampai
kontroversal dengan keadaan masyarakat sekitar; (e) Bahan hendaknya bersifat
yuridis, artinya bahan yang disusun jangan sampai bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945, GBHN, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah mau pun peraturan-peraturan yang lain.
Di samping kriteria-kriteria yang telah disebutkan, penyusunan bahan ajar
atau materi pembelajaran juga harus disesuaikan dengan tingkatan kelas peserta
didik. Materi pembelajaran untuk sekolah dasar kriterianya akan lebih ketat daripada
materi pembelajaran untuk sekolah menengah. Menurut Kochhar (dalam Wasino,
2009: 3), ada tiga tingkatan kemampuan peserta didik dalam penerimaan materi
kesejarahan berdasarkan tingkat berpikirnya, yaitu: (a) anak-anak pada tingkatan
sekolah dasar ditekankan pada materi pembelajaran tentang tokoh; (b) anak-anak
pada Sekolah Menengah Pertama ditekankan pada materi pembelajaran tentang
peritiwa sejarah; (c) anak-anak pada tingkatan SLTA pada materi pembelajaran yang
menekankan gagasan atau pemikiran. Standar Isi IPS Sejarah 2006 memberi ruang
gerak kepada guru untuk mengembangkan materi ajar sesuai dengan tingkat berpikir
peserta didik dan jenjang pendidikannya.
Sesuai dengan uraian tersebut, guru juga harus mempertimbangkan indikator
dalam proses pengembangan bahan ajar berikut ini:
(a) Materi pembelajaran adalah sarana yang digunakan dan bermanfaat bagi
pencapaian tujuan pembelajaran.
(b) Materi pembelajaran adalah sarana yang yang membawa siswa ke arah tujuan
yang mempunyai aspek jenis perilaku dan isi.
(c) Materi pembelajaran bersifat lebih luas daripada aspek isi dalam tujuan
pembelajaran.
(d) Materi pembelajaran yang sama dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang berbeda, dan sebaliknya.
(e) Materi pembelajaran harus sesuai dengan kepentingan dan taraf kemampuan
siswa untuk menerima dan mengolah materi.
(f) Materi pembelajaran harus dapat melibatkan siswa secara aktif dalam berpikir
dan melakukan kegiatan.
(g) Materi pembelajaran harus diberikan tepat waktu untuk dibelajarkan sesuai
dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat.
(h) Materi pembelajaran harus sesuai dengan prosedur.
(i) Materi pembelajaran harus sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan
masyarakat serta kebijakan pemerintah.
(j) Materi pembelajaran harus relevan dengan pembangunan nasional.
(k) Materi pembelajaran harus benar-benar dikuasai oleh guru
(Depdikbud, 1996: 9-10).
B. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan judul permasalahan penelitian ini
adalah:
1. Darwin Une (2006) dalam tesis yang berjudul “Organisasi Pergerakan Nasional
Cabang Gorontalo Tahun 1908 -1942 Sebagai Materi Muatan Lokal di SMA
Negeri Gorontalo” yang menjelaskan hasil penelitiannya sebagai berikut, (a)
peranan rakyat Gorontalo dalam membebaskan diri dari kolonialisme Belanda
pada abad ke- 17 banyak tergantung pada raja-raja Gorontalo, meski demikian
rakyat tidak pernah patah semangat mendukung perjuangan fisik tersebut; (b)
peranan berbagai Organisasi Pergerakan Cabang Gorontalo seperti Sinar Budi,
Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan lainnya sangat berpengaruh pada
perjuangan 23 Januari 1942, menyebabkan pemerintah Kolonial Belanda terpaksa
keluar dari bumi Gorontalo, yang selanjutnya para pemimpin pergerakan berhasil
mendirikan pemerintahan yang dikenal dengan Pucuk Pimpinan Pemerintahan
Gorontalo (PPPG); (c) materi muatan lokal khususnya sejarah perjuangan rakyat
Gorontalo belum dimasukkan pada pengajaran sejarah di SMA Gorontalo; (d)
Baik guru-guru pengajar di SMA maupun pihak Dinas Pendidikan Nasional
Gorontalo, menyambut baik atas kehadiran hasil penelitian tentang sejarah
perjuangan rakyat Gorontalo menentang kolonialisme Belanda untuk dijadikan
materi muatan lokal pada pengajaran sejarah.
Relevansinya dengan penelitian ini adalah dalam hal upaya memasukkan
peristiwa sejarah lokal sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah.
2. Emerita Wagiyah (2008) dalam tesis yang berjudul “Pelestarian Nilai-Nilai
Sumpah Pemuda Melalui Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Mewujudkan Sikap
Nasionalisme”. Dari hasil penelitiannya diperoleh simpulan (1) Kurikulum
Sekolah Menengah Pertama 2004 pengajaran sejarah terpadu dengan Geografi dan
Ekonomi dalam mata pelajaran Pengetahuan Sosial, tetapi pelaksanaan
pembelajaran dilakukan secara terpisah. Materi yang berkaitan dengan nilai-nilai
Sumpah Pemuda dan sikap nasionalisme terdapat pada kelas VIII semeter II; (2)
Pelaksanaan pembelajaran sejarah bersifat konvensional, media dan sumber yang
dimiliki tidak dimanfaatkan secara optimal, sehingga pelajaran monoton, kurang
variatif dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran sangat kurang; (3) nilai-nilai
Sumpah Pemuda sangat mendukung terhadap semangat nasionalisme, inti
pelaksanaan Sumpah Pemuda adalah cinta tanah air, bahasa dan nation yaitu
Indonesia. Pengembangan nilai-nilai Sumpah Pemuda dan semangat nasionalisme
dilakukan melalui kegiatan terstruktur, Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Palang
Merah Remaja (PMR), Polisi Sekolah, latihan baris berbaris, kepramukaan dan
kerja bakti sosial. Pembelajaran sejarah belum dapat menginternalisasikan nilai-
nilai Sumpah Pemuda dalam diri siswa; (4) Tanggapan guru terhadap kegiatan
yang mengandung nilai-nilai Sumpah Pemuda dan pengembangan semangat
nasionalisme secara umum positif dan mendapat dukungan dari pihak sekolah.
Relevansinya dengan penelitian ini adalah pada aspek-aspek penanaman
nilai-nilai kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme melalui pembelajaran IPS
Sejarah.
C. Kerangka Pikir
Dalam pembelajaran sejarah di SMP, apabila pada Standar Kompetensi:
“Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan”, dan Kompetensi Dasar:
“Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia” di
mana “Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan Indonesia” menjadi materi pembelajaran pokok,
maka perjuangan Komando Daerah Muria pada tahun 1948 yang merupakan bukti
historis dari perjuangan rakyat di Kudus dalam mempertahankan kemerdekaan perlu
menjadi bagian dari materi pembelajaran sejarah, dalam arti sangat relevan bila
dimasukkan sebagai pengembangan materi, karena berkisar pada materi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Aspek-aspek heroisme, patriotisme dan nasionalisme dari perjuangan
Komando Daerah Muria perlu diajarkan kepada siswa, karena dapat berfungsi
sebagai salah satu upaya penanaman nilai kepahlawanan, semangat patriotisme dan
nasionalisme, sehingga siswa dapat merasakan semangat perjuangan, besarnya
pengorbanan dan sulitnya para pahlawan ketika merebut kemerdekaan. Jika mereka
dapat merasakan hal ini, maka semangat patriotisme dan jiwa nasionalisme siswa
akan terwujud. Pada tahap berikutnya jiwa dan semangat nasionalisme tersebut
direvitalisasi dalam upaya mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi
globalisasi yang diikuti oleh dampak kemajuan iptek. Secara khusus semangat
nasionalisme diperlukan untuk menseleksi pilihan kita dalam mempertahankan
kepribadian.
Nilai perjuangan yang menyangkut apek-aspek tersebut dapat
dikembangkan menjadi materi pembelajaran sejarah. Diperlukan tanggapan positif
dari para guru sejarah di SMP, Kepala Sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan di
Kabupaten Kudus, berkaitan dengan upaya memasukkan sejarah perjuangan
Komando Daerah Muria sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP
wilayah Kabupaten Kudus.
Sebagai realisasi dari tanggapan positif tersebut, ditunjukkan dengan
pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP. Dalam penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), diintegrasikan dengan materi
pembelajaran pokok agar pelaksanaan pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Dengan demikian tujuan yang diharapkan pada Standar Kompetensi tersebut bisa
tercapai secara lebih optimal.
Adapun alur dari kerangka pikir ini dapat dilihat pada gambar sebagai
berikut:
Gambar 1. Kerangka pikir
Materi Pembelajaran
Pokok
Pembelajaran Sejarah
SK dan KD Tujuan
Pengembangan Materi
Pembelajaran Sejarah
Aspek Patriotisme
Aspek Persatuan
Bentuk dan proses perjuangan bangsa
Indonesia dlm usaha mempertahankan
kemerdekaan Indonesia
Perjuangan Komando Daerah Muria
Aspek
Nasionalisme
Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten
Penyusunan RPP dengan memasukkan sejarah perj. Komando Daerah Muria
Aspek Sosial
Aspek Heroisme
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kudus yang merupakan salah satu daerah
sasaran penyerangan oleh Belanda pada masa Agresi Militer II Belanda ketika
menduduki wilayah karesidenan Pati. Kudus merupakan pusat perjuangan dan
markas Komando Daerah Muria yang dijadikan sumber materi pembelajaran dalam
penelitian ini.
Dua Sekolah Menengah Pertama di Kudus telah dipilih menjadi lokasi
penelitian yaitu SMP Negeri 1 Gebog dan SMP Negeri 2 Gebog. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan efektivitas, yaitu salah satu guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog
pernah melakukan penelitian sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, dan guru
IPS di SMP Negeri 1 Gebog ada yang menjadi pengurus MGMP IPS. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan data, mendapatkan gambaran
mengenai materi pembelajaran yang diajarkan dan pelaksanaan pembelajaran IPS
Sejarah di SMP Kabupaten Kudus.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Oleh karena permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bidang
pendidikan sejarah yang berhubungan dengan keterlibatan manusia, maka bentuk
penelitian yang cocok digunakan adalah deskriptif kualitatif. Tujuannya melukiskan
kondisi yang ada pada situasi tertentu saat penelitian dilakukan dan tidak melakukan
uji hipotesis (Ary, 1982: 32). Sedangkan menurut Sutopo (2006:136)” Jenis
penelitian kualitatif mampu mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan
deskripsi teliti dan penuh nuansa yang lebih berharga daripada sekadar pernyataan
jumlah maupun frekuensi dalam bentuk angka.”
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal,
artinya penelitian dilakukan pada satu sasaran/objek yang karakteristiknya secara
umum sama. Mengingat permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam
proposal sebelum peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan, maka jenis
penelitian kasus ini secara lebih khusus disebut studi kasus terpancang atau
embedded case study research ( Sutopo, 2006: 180)
C. Sumber Data
Menurut Sutopo (2006:56) bahwa : “ Sumber data merupakan bagian yang
sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber
data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau kedalaman informasi yang
diperoleh”. Sedangkan Lofland dan Lofsand ( dalam Moleong, 1990 : 112), “ sumber
data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.
Berdasarkan uraian tersebut maka data yang diperlukan dalam penelitian ini
digali dari sumber-sumber sebagai berikut:
1. Informan, terdiri dari pelaku sejarah, orang yang pernah melakukan penelitian
sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, guru IPS, Kepala Sekolah, dan
pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten.
2. Arsip, dokumen, surat-surat penting yang relevan dengan objek penelitian
termasuk hasil-hasil penelitian yang pernah ditulis oleh peneliti terdahulu.
3. Proses pembelajaran di kelas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara dilakukan secara mendalam sifatnya lentur dan terbuka, tidak ketat
dan tidak dalam suasana formal. Terbuka berarti mengikuti selera informan, tetapi
menuntut kemampuan khusus bagi peneliti di dalam pengumpulan data. Menurut
Moleong (1990: 137) dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara
terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan
mengetahui pula apa maksud wawancara itu. Berdasarkan uraian tersebut maka
wawancara dilakukan dengan Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah Kabupaten Kudus, Kepala Sekolah, dan guru-guru IPS Sejarah di SMP
Kudus.
2. Mengkaji dokumen dan arsip (content analysis)
Mencatat dokumen, arsip, serta tulisan-tulisan yang relevan dan penting untuk
mendukung data penelitian seperti, silabus, RPP, materi pembelajaran, sumber
belajar dan sebagainya. Teknik mencatat dokumen ini oleh Yin (dalam Sutopo,
2006:81) disebut content analysis, sebagai cara untuk menemukan beragam hal
sesuai kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Dalam melakukan teknik ini perlu
disadari bahwa peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam
dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu
dalam menghadapi beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data,
peneliti harus bisa bersikap kritis dan teliti.
3. Observasi
Observasi dilakukan dengan menempuh prosedur formal dan tidak formal.
Observasi dilakukan di SMP Kudus terutama untuk mengamati proses
pembelajaran sejarah di sekolah. Dalam melakukan observasi peneliti tidak
sebagai partisipan melainkan berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2006:75),
Untuk keperluan ini peneliti melakukan observasi terhadap kelengkapan materi
yang dipersiapkan oleh guru, pengembangan bahan pengajaran yang sesuai atau
relevan, buku sumber yang digunakan oleh guru dan siswa, proses pembelajaran,
pelaksanaan penilaian hasil belajar, serta kelengkapan administrasi.
E. Teknik Cuplikan ( Sampling )
Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah cuplikan
statistik atau probability sampling, seperti dalam penelitian kuantitatif. Bentuk
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang samplingnya lebih bersifat selektif
dengan menggunakan beberapa pertimbangan berdasarkan konsep teoretis yang
digunakan, keinginan pribadi, karakteristik empiris dan lain-lain.
Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tujuan atau
pertimbangan-pertimbangan tertentu cenderung ke “Purposive Sampling”. Ini berarti
bahwa informan dipilih berdasarkan posisi dan akses tertentu yang dianggap
memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Hal ini sesuai dengan pendapat Patton
(dalam Sutopo, 2006: 64), pada penelitian yang menggunakan teknik purposive
sampling, informan yang dipilih dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi
sumber data serta mengetahui masalah secara mendalam. Dengan kriteria tersebut,
maka informan dipilih berdasarkan tingkatannya yaitu, (1) pelaku sejarah; (2)
peneliti sejarah (pernah melakukan penelitian sejarah); (3) para guru IPS; dan (4)
pejabat Dinas Pendidikan.
F. Validitas Data
Untuk lebih menjamin kemantapan data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian
kualitatif yaitu teknik trianggulasi. Dalam penelitian ini menggunakan teknik
trianggulasi data atau sumber yaitu sebagai berikut:
Trianggulasi data atau sumber meliputi sumber lisan dan sumber tertulis, hal
ini dimaksudkan agar peneliti bisa mendapatkan data dari beberapa narasumber
(manusia) yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, untuk
membandingkan informasi dari narasumber yang satu dengan informasi dari
narasumber lain.
Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui sumber lisan sangat berarti
dan dapat mengungkap secara langsung data-data yang dibutuhkan dari informan.
Adapun sumber tertulis berupa dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang
berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Modelnya berupa rekaman
tertulis, gambar dan juga berupa benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu
aktivitas peristiwa itu.
Untuk jelasnya dapat dilihat penampilan gambar trianggulasi sumber menurut
Sutopo ( 2006: 94) sebagai berikut:
wawancara informan
data content analisys dokumen/ arsip
observasi aktivitas/ perilaku
Gambar 2. Trianggulasi Sumber
(Sutopo, 2006: 94)
G. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Patton (dalam Moleong, 1999 : 103), adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan
satuan uraian dasar. Menurut Miles & Huberman (dalam Sutopo 2006 : 113), dalam
proses analisis kualitatif, terdapat tiga komponen utama yang harus benar-benar
dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Tiga komponen utama analisis tersebut
adalah (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan simpulan serta
verifikasinya. Ketiga komponen ini merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan
dan saling berinteraksi dalam hal pengumpulan data.
Proses analisis dalam bentuk interaktif ini dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut:
Gambar 3. Model Analisis Interaktif
(Sutopo, 2006:120)
Dalam penelitian ini, langkah-langkah analisis interaktif yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk dari informan yang telah
ditetapkan dengan berbagai pertimbangan, Kemudian begitu data diperoleh tanpa
menunggu data berikutnya langsung menganalisis data dimaksud. Ini artinya
analisis data dimulai pada saat pertama data-data masuk kemudian disusul analisis
data setiap kali data diperoleh. Dengan kata lain bahwa analisis dilaksanakan
bersamaan dengan pengumpulan data di lapangan.
pengumpulan data
penarikan simpulan/verifikasi
reduksi data
sajian data
(1) (2)
(3)
2 Mengolah dan menyusun data yang diperoleh, pengertian singkatan dengan
pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data.
3. Menyusun sajian data secara sistematis dengan memperhatikan semua catatan-
catatan yang diperoleh dari lapangan.
4. Menarik simpulan dengan verifikasinya yang berdasarkan semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya.
5. Apabila simpulan dianggap kurang mantap, maka data digali lagi dari fieldnote.
6. Melakukan pengumpulan data ulang terhadap kasus data yang dianggap kurang
memadai atau data yang meragukan.
7. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta verifikasi atau penarikan
simpulan ini akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut terus menerus
dilakukan sehingga diperoleh simpulan yang matang.
8. Siklus pengumpulan data sampai verifikasi untuk data-data tersebut tetap
dilakukan oleh peneliti selama data yang diperoleh meragukan atau diragukan
kesahihannya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Latar
a. Sekilas Daerah Kudus
Secara geografis Kudus terletak pada garis bujur 1100 Bujur Timur dan garis
lintang antara 60 5! dan 706! Lintang Selatan. Terletak pada ketinggian rata-rata 55
meter di atas permukaan laut, dengan iklim tropis dan temperatur sedang. Curah
hujan relatif rendah rata-rata di bawah 300mm/tahun dan lama waktu hujan
150/tahun. Suhu udara tertinggi terjadi pada bulan September yaitu 29,40 C, dan suhu
terendah pada bulan Juli 17,60 C (Lembaga Sosial Mubarot Kudus, 1990: 1). Luas
wilayah lebih kurang 425,15 kilometer persegi, memiliki 130 desa yang tersebar di
dalam 9 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kota, Kecamatan Gebog, Kecamatan Dawe,
Kecamatan Bae, Kecamatan Jekulo, Kecamatan Mejobo, Kecamatan Jati, Kecamatan
Kaliwungu dan Kecamatan Undaan.
Kudus adalah sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Batas-
batas wilayah Kabupaten Kudus adalah: Sebelah barat Kabupaten Jepara dan Demak,
sebelah utara Kabupaten Jepara dan Pati, sebelah timur Kabupaten Pati, sebelah
selatan Kabupaten Purwodadi dan Demak. Kota ini merupakan wilayah administratif
kabupaten sekaligus otonomi tingkat II di Jawa Tengah yang dibentuk dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 (Sejarah Singkat Hari Jadi Kota Kudus,
1993: 1). Letaknya yang strategis, berada di persimpangan jalan antara Semarang-
Surabaya dan Semarang-Jepara, menjadikan Kudus cepat berkembang sebagai kota
maju, terutama di bidang industri.
Kudus mempunyai sejarah pertumbuhan yang panjang. Setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kudus mengalami kemajuan yang pesat di berbagai
bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perusahaan dengan
berbagai hasil produksi seperti, sulam bordir, pakaian jadi, tenun, ubin, jenang dan
rokok bermunculan. Beberapa pabrik rokok besar seperti Jarum, Sukun dan lainnya
terdapat di Kudus. Perusahaan rokok paling banyak menyerap tenaga kerja, yaitu
sekitar 75% dari seluruh tenaga kerja di Kudus. Sehingga tidak mengherankan
apabila Kudus mendapat sebutan kota kretek.
Keadaan sosial ekonomi masyarakat Kudus pada tahun 1948-1949 hampir
sama dengan kota lain sejamannya, masih sederhana dan belum ada pembangunan
yang berarti, karena masih dalam suasana perang. Masyarakat Kudus sebagian besar
hidup sebagai petani di pedesaan, tanah pertanian masih sangat luas. Di perkotaan
masyarakatnya hidup sebagai pedagang, buruh pabrik dan pegawai pemerintahan.
Ditinjau dari segi geografis, Kudus terdiri atas tiga bagian daerah dengan
kondisi yang berbeda yaitu:
(1) Sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah, pada tahun 1948-1949
sebagian besar masih berupa rawa-rawa, belum kering seperti sekarang.
(2) Bagian tengah merupakan daerah perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan,
perindustrian dan perdagangan.
(3) Sebelah utara merupakan daerah pedesaan dan pegunungan Muria. Daerah ini
sangat subur dan sangat cocok untuk ditanami padi, palawija, dan tebu, sehingga
wilayah ini pada tahun 1948-1949 merupakan gudang beras Kudus. Di lereng
gunung Muria hutannya masih tebal cocok sekali untuk bergerilya. Kedua faktor
ini pula yang menyebabkan Komandan Batalyon Kudus pada saat itu yaitu
Mayor Kusmanto memilih daerah ini sebagai medan gerilya dan sekaligus pusat
perlawanan terhadap Belanda. Desa Glagah yang terletak di lereng Gunung
Muria adalah markas Bupati Militer Kudus yang kemudian menjadi markas
besar Komando Daerah Muria (Aida Mustofa, 1995: 24).
b. Pertahanan Kudus Menjelang Agresi Militer II Belanda
Untuk mengetahui kondisi pertahanan Kudus menjelang Agresi Militer II
Belanda, terlebih dahulu perlu melihat pertahanan Karesidenan Pati karena Kudus
masuk dalam struktur tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia merdeka. Selanjutnya
pemerintah RI yang baru saja berdiri itu membentuk Badan Keamanan Rakyat atau
BKR dengan tujuan untuk melindungi rakyat akibat peperangan. Pada tanggal 1
September 1945 tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA telah mendarat di
berbagai kota di Indonesia, dengan demikian kemerdekaan telah mendapat tantangan.
Untuk mengantisipasi hal itu, maka tujuan berdirinya BKR diperluas, tidak hanya
melindungi keselamatan rakyat tetapi juga untuk mempertahankan negara dari
serangan musuh baik itu dari dalam maupun dari luar negeri. Sementara itu rakyat
yang tahu akan terancamnya kemerdekaan kemudian mendirikan badan-badan
perjuangan seperti Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin
oleh Bung Tomo, Hizbullah dan lainnya. Tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah
membentuk tentara kebangsaan dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah yang berbunyi sebagai berikut: ”Untuk
memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan Tentara Keamanan Rakyat”.
Tentara Republik Indonesia (TRI) yang beranggotakan para perwira TKR
terbentuk pada tanggal 23 Pebruari 1946 sebagai hasil rapat Panitia Besar
Penyelenggaraan Organisasi Tentara Dalam Negeri. Selanjutnya mengadakan
pembenahan organisasi, semula Jawa terdiri dari 10 Divisi dijadikan 7 Divisi.
Karesidenan Pati, Bojonegoro dan Madiun tergabung dalam Divisi V yang
berkedudukan di Mantingan Rembang dengan komandan Jenderal Mayor GPH
Djatikoesoemo (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, 1984: 95-96)
Pada tanggal 5 Oktober 1946, Presiden Soekarno memberikan nama bagi
setiap divisi. Divisi V diberi nama Divisi Ronggolawe, terdiri atas beberapa resimen
yaitu, Resimen 28 yang berkedudukan di Pati, Resimen 29 berkedudukan di Blora,
Resimen 30 berkedudukan di Bojonegoro dan Resimen 31 berkedudukan di Madiun.
Daerah operasi pasukan mobil berada di dua tempat, yaitu Lamongan dengan nama
Front Ronggolawe I, dan di Kudus dengan nama Front Ronggolawe II. Kudus
termasuk dalam Resimen 28 di bawah pimpinan Letkol Sunandar. Pada bulan Maret
1947 kedudukan Divisi V/Ronggolawe dipindahkan ke Cepu Blora. Resimen 29
dihapuskan, sebagian anggotanya digabungkan ke dalam Resimen 28, sebagian
lainnya bergabung langsung di bawah Staf Divisi V/ Ronggolawe.
Di Karesidenan Pati, Pasukan Teritorial masuk dalam organisasi pertahanan
Sub Teritorial Militer (STM) yang dipimpin oleh mantan Komandan Resimen 28
Letkol Sunandar. Kemudian pemerintah mengisi kekosongan Pasukan Tempur di
kota Jepara, Kudus dan Pati dengan Pasukan Tempur dari Divisi VI/Panembahan
Senopati Surakarta, sedangkan di kota Rembang untuk sementara masih di bawah
Batalyon 17, sebuah batalyon lepas yang berasal dari Jawa Timur dipimpin oleh
Mayor Abdullah. Batalyon lepas adalah batalyon tempur yang tidak menetap dalam
satu kota., berpindah-pindah sesuai dengan keadaan dan situasi perang (Sejarah
Militer Cabang 073 Korem Makutarama: 77).
Di Karesidenan Pati pada waktu itu selain terdapat pasukan dari Brigade
Ronggolawe dan Brigade VI Divisi Panembahan Senopati, juga terdapat pasukan
Divisi Siliwangi yang sedang berhijrah dari Jawa Barat. Pasukan Divisi Siliwangi ini
terutama dari Batalyon Daeng, yang pada akhirnya nanti dapat menumpas
pemberontakan PKI di Karesidenan Pati.
Setelah peristiwa pemberontakan PKI, pemerintah melakukan reorganisasi
Brigade VI agar bebas dari unsur-unsur PKI, dengan susunan sebagai berikut:
Kmd STM Pati : Letkol dr. Gunawan
Kepala Staf STM Pati : Kapten Ali Machmudi
Kmd KDM Pati : Kapten Sunardi
Kmd KDM Blora : Kapten Darno
Kmd KDM Rembang : Kapten Partono
Kmd KDM Kudus : Kapten Marwoto
Kmd KDM Jepara : Kapten Iskak
Berdasarkan uraian tersebut, maka di Kudus menjelang Agresi Militer II
Belanda terdapat dua kesatuan TNI yaitu Pasukan Teritorial yang dipimpin oleh
Kapten Marwoto, dan Pasukan Mobil di bawah pimpinan Mayor Kusmanto. Pasukan
inilah yang menghadapi serangan Belanda dari Demak pada hari Sabtu tanggal 19
Desember 1948.
c. Perkembangan Pendidikan di Kudus
Beberapa sekolah yang sudah ada sejak jaman penjajahan antara lain, Sekolah
Rakyat (SR) terdapat di beberapa tempat, sekarang menjadi SD, sedangkan HIS
hanya ada 3 buah yaitu HIS Netral School sekarang menjadi SMP Al Islam, HIS
Pemerintah sekarang menjadi SMP Negeri 1 Kudus dan HIS Muhammadiyah
sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan Aliyah Muhammadiyah Kudus.
Pendidikan keagamaan berkembang dengan pesat ditandai dengan munculnya
beberapa pondok pesantren seperti pondok pesantren yang dipimpin oleh K.H.R.
Asnawi di Desa Kajeksan, pondok pesantren di desa Langgar Dalem yang dipimpin
oleh Kyai Arwani, pondok pesantren di Desa Padurenan yang dipimpin oleh Kyai
Mawardi dan lain-lain.
Perkembangan pendidikan di Kudus setelah merdeka sampai sekarang cukup
pesat. Hal ini dapat dilihat dari bertambah banyaknya jumlah sekolah mulai dari
tingkat TK/RA sampai dengan Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.
1) Gambaran Umum Keadaan SMP di Kudus
Di daerah Kudus terdapat sejumlah SMP, di samping itu banyak juga sekolah
yang sederajad seperti Madrasah Tsanawiyah, baik negeri maupun swasta.
Secara umum fasilitas pembelajaran yang dimiliki SMP di Kudus adalah sebagai
berikut:
(a) Fasilitas di Sekolah
(1) Ruang Kepala Sekolah
(2) Ruang Guru
(3) Ruang Tata Usaha
(4) Ruang Belajar
(5) Ruang Laboratorium
(6) Ruang Perpustakaan
(7) Ruang Komputer
(8) Ruang Kesenian
(9) Ruang Ketrampilan
(10) Kamar Mandi Guru dan Siswa
(11) Ruang Ibadah/Musholla
(12) Lapangan Olahraga
(b) Fasilitas di Luar Sekolah
Berbagai koleksi peninggalan sejarah diharapkan mampu menjadi sarana
komunikasi antar generasi dan dapat mengaktualisasikan dinamika kehidupan masa
lampau umat manusia. Komunikasi antar generasi menjadi satu hal yang penting
karena sebagai sarana nation building dan character building, juga sebagai sarana
pewarisan dan pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa. Adapun peninggalan-
peninggalan yang sangat besar manfaatnya sebagai sumber pembelajaran sejarah
antara lain: Masjid Menara Kudus, Musium Kretek, Situs Patiayam, Makam Sunan
Muria, Monumen Komando Daerah Muria dan lain-lain
(c) Tenaga Pengajar
Tenaga Pengajar untuk masing-masing sekolah di Kabupaten Kudus dapat
dikatakan tercukupi, terdiri dari guru PNS, guru Bantu dan guru Wiyata Bakti.
Khusus untuk guru IPS yang berlatar belakang pendidikan IPS belum ada, sehingga
guru IPS yang mengajar di SMP memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi,
yaitu berasal dari jurusan pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan
ekonomi.
2). Keadaan Sekolah yang Dijadikan Objek Penelitian
Sekolah yang dipilih untuk dijadikan objek penelitian ini adalah SMP Negeri
1 Gebog, dan SMP Negeri 2 Gebog, dengan pertimbangan bahwa guru-gurunya
khususnya guru-guru IPS bisa mewakili dalam memberikan informasi yang
dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan penelitian. Bila dilihat dari segi kuantitas
maupun kualitas, keberadaan guru di kedua sekolah tersebut cukup menunjang
proses belajar mengajar yang sangat diharapkan oleh semua pihak. Apalagi di SMP
Negeri 2 Gebog terdapat guru yang penah melakukan penelitian sejarah tentang
perjuangan Komando Daerah Muria. Sedangkan di SMP Negeri 1 Gebog terdapat
guru yang menjadi pengurus MGMP IPS Kabupaten Kudus. Guru IPS yang
mengajar di kedua sekolah masih berlatar belakang pendidikan yang bervariasi yaitu
berasal dari jurusan pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan
ekonomi, dalam arti bukan berlatar belakang pendidikan IPS terpadu, tentu sedikit
banyak tetap ada kendala dalam pembelajaran.
Sementara itu dari segi peserta didik di setiap sekolah secara kuantitas
menunjukkan jumlah yang banyak, dengan perbandingan yang hampir seimbang.
Keadaan jumlah siswa pada masing-masing sekolah menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang menyolok, karena hanya selisih beberapa siswa, meskipun SMP
Negeri 1 Gebog sudah merupakan Sekolah Berstandar Nasional (SSN) sejak tahun
pelajaran 2006/2007. Ada anggapan dari masyarakat bahwa SMP Negeri 1 Gebog
sejak dulu dalam penyelenggaraan pendidikan menunjukkan kualitas yang bagus,
sehingga animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP
tersebut cukup besar meskipun dengan seleksi yang cukup ketat, maka dapat
dipastikan peserta didik yang diterima di sekolah tersebut memiliki kompetensi yang
bagus. Untuk SMP Negeri 2 Gebog, mulai tahun pelajaran 2008/2009 juga sudah
memasuki proses untuk menjadi Sekolah Berstandar Nasional.
Sarana dan fasilitas yang tersedia di sekolah tersebut cukup menunjang proses
pembelajaran, baik yang berupa sarana pembelajaran maupun fasilitas penunjang
seperti laboratorium, perpustakaan, sarana untuk olahraga, kesehatan maupun tempat
ibadah. Khusus untuk perangkat pembelajaran seperti media cukup tersedia berupa
unit-unit computer, OHP, dan VCD, sedangkan LCD belum ada karena belum
mampu dalam hal pengadaannya. Semua media yang tersedia tersebut disiapkan oleh
sekolah agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh guru-guru pengajar
dalam proses pembelajaran, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
yang diharapkan oleh semua pihak.
2. Sajian Data
a. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam
Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses pembelajaran sejarah di SMP
terpadu dengan bidang kajian lain seperti geografi, sosiologi dan ekonomi, di dalam
mata pelajaran IPS. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru IPS yang berlatar
belakang pendidikan sejarah, mengatakan bahwa sudah mengajar IPS terpadu selama
tiga tahun berjalan, sebenarnya tidak ada kendala yang berarti meskipun keempat
bidang kajian tersebut dipadukan dalam satu mata pelajaran, karena pada dasarnya
bidang-bidang tersebut memang dapat dipadukan. Selanjutnya karena guru sudah
dipercaya untuk mengajar IPS yang terdiri dari beberapa bidang kajian tersebut,
maka tetap akan berusaha untuk melaksanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya,
agar apa yang dikehendaki dalam tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Tetapi semua itu kembali kepada kreativitas dan kemampuan guru pengajar dalam
menyampaikan materi pembelajaran (wawancara dengan Sutrisno, 2009)
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru IPS di SMP Negeri 2
Gebog, berhubungan dengan proses pembelajaran sejarah dan pengembangan materi
pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dengan memasukkan sejarah lokal,
diperoleh informasi bahwa sejarah merupakan salah satu bidang kajian dari mata
pelajaran IPS. Bidang kajian lain yang masuk dalam mata pelajaran IPS adalah
geografi, ekonomi dan sosiologi. Dalam pembelajaran guru sudah mengaitkan
sejarah lokal meskipun tidak mendetail. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menarik perhatian dan minat siswa terhadap pembelajaran sejarah (wawancara
dengan Aida Mustofa, 2009). Ini berarti sejarah lokal yang cocok untuk
pengembangan materi pembelajaran dan relevan dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar diberikan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Permasalahan yang dihadapi di sekolah-sekolah yang menjadi temuan dari
penelitian ini, seperti yang dikatakan oleh seorang guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog
adalah kebanyakan para guru mempersoalkan tidak tersedianya sumber materi yang
akan digunakan sebagai pengembangan bahan ajar, cakupan materi pokok yang
sudah cukup luas dibanding waktu yang tersedia. Tidak tersedianya bahan ajar atau
sumber materi tentang sejarah perjuangan lokal menyebabkan guru tidak menguasai
betul tentang sejarah lokal itu sendiri, akibatnya guru hanya memberikan contoh-
contoh kecil saja, sedangkan jalannya perjuangan menentang kolonial secara
kronologis tidak dijelaskan secara mendetail. Di samping itu terbatasnya waktu juga
menjadi kendala, sehingga untuk target penyelesaian materi, guru berupaya
mengkondisikan dengan pemanfaatan waktu sebaik-baiknya. Pengelolaan waktu
yang dilakukan biasanya dengan menganalisis tingkat kesulitan materi, keluasan,
kedalaman, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar, agar waktu yang tersedia bisa
mencukupi, selain itu juga memberikan pelajaran tambahan di luar jam belajar
(wawancara dengan Sutrisno, 2009).
Seorang guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog mengatakan bahwa sejarah lokal
yang berhubungan dengan materi pokok sebenarnya sangat baik apabila disisipkan
dalam pembelajaran. Dengan menyisipkan sejarah lokal yang relevan, siswa akan
semakin tertarik dengan materi yang disampaikan oleh guru, serta merasa bahwa
sejarah sebenarnya tidak asing dengan kehidupannya, karena ternyata daerahnya juga
memiliki sejarah, dan pada akhirnya bisa memberikan kesan yang mendalam sebagai
hasil dari proses pembelajaran tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa sudah pernah
mengusulkan agar sejarah perjuangan Komando Daerah Muria bisa dijadikan sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah berkaitan dengan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II
Belanda, karena banyak hal yang bisa dipetik dari peristiwa perjuangan tersebut
khususnya semangat kepahlawanan, jiwa patriotisme dan nasionalisme dari para
pejuang untuk dijadikan teladan bagi siswa, agar selanjutnya dapat dilestarikan.
Menurutnya, merosotnya rasa nasionalisme akhir-akhir ini adalah akibat dari
kurangnya keteladanan. Namun apa yang telah diusulkan tersebut belum ada tindak
lanjut, sehingga sampai sekarang belum dapat terealisasi (wawancara dengan Aida
Mustofa, 2009).
Dari hasil wawancara tanggal 15 Januari 2009 dengan beberapa guru IPS di
SMP Kabupaten Kudus, bahwa tujuan yang tertuang dalam Standar Kompetensi
mata pelajaran IPS dinilai belum sesuai dan kurang proporsional dalam
mengembangkan nilai-nilai nasionalisme, hal ini terjadi karena lebih menekankan
pada kuantitas isi materi, sehingga porsi materi lebih besar secara kuantitas
dibandingkan pada aspek penekanan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Sementara
itu alokasi waktu yang diberikan tidak sebanding dengan materi yang harus
diajarkan. Meskipun demikian seorang guru harus tetap berusaha memberikan dan
menyampaikan materi, serta menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada peserta
didik. Untuk itu semua kembali kepada kreativitas dan kompetensi guru.
Sedangkan menurut beberapa guru IPS yang lain, diperoleh jawaban bahwa
muatan materi dalam Standar Kompetensi IPS Sejarah sudah memaparkan nilai-nilai
kepahlawanan, namun dari segi kuantitas materi yang harus diajarkan dinilai masih
terlalu banyak dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia. Struktur materi
dalam Standar Kompetensi IPS dinilai sederhana dan tidak terjadi materi ganda.
Dengan materi yang banyak dan ketersediaan waktu yang terbatas, dalam
pembelajaran perlu menerapkan metode yang variatif. Pemanfaatan sumber belajar
seperti museum dan tempat-tempat terjadinya peristiwa perlu dilakukan dalam
pembelajaran sejarah. Di Kabupaten Kudus banyak terdapat tempat terjadinya
peristiwa sejarah yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar, termasuk lokasi
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tempat yang
sangat membantu dalam pemahaman nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme.
b. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan
Kepada Siswa
Para guru IPS dan Kepala Sekolah di SMP yang berhasil diwawancarai
berpendapat bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan memiliki nilai historis
sebagai sumber motivasi untuk mewujudkan cita-cita masa depan bangsa yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Menurut Aida Mustofa, sejarah
perjuangan Komando Daerah Muria memiliki peranan strategis untuk disampaikan
kepada siswa, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai perjuangan seperti, nilai sosial,
jiwa dan semangat kepahlawanan, patriotisme, persatuan maupun nasionalisme yang
dapat dijadikan teladan bagi siswa. Beberapa contoh dari aspek-aspek tersebut yang
terdapat dalam perjuangan Komando Daerah Muria antara lain:
1) Aspek sosial dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan oleh
sikap rakyat di kawasan Gunung Muria yang sangat mendukung perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Mereka menerima kehadiran para pejuang/
tentara maupun pengungsi, menyediakan bantuan pangan, tempat tinggal bahkan
tenaga untuk ikut berjuang.
2) Aspek heroisme (kepahlawanan) dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat
ditunjukkan oleh sikap para pejuang yang berani dan rela berkorban demi
membela tanah air dan bangsanya sebagai berikut, (a) Pada suatu pertempuran
yang berlangsung seru di daerah Bregat Gembong dan sekitarnya pada tanggal 20
Juli 1949, Kapten Ali Machmudi sebagai Komandan Komando Daerah Muria
berani berjibaku dalam usaha menggempur musuh, sampai akhirnya gugur dalam
pertempuran tersebut; (b) Para pejuang yang tertangkap oleh Belanda seperti H.
Hasyim, H. Zaeni, Reksodikromo, Nurhadi dan lainnya, meskipun diinterogasi
dan disiksa agar mau menunjukkan kedudukan/markas pejuang Republik namun
mereka tetap bungkam tidak mau membuka rahasia sampai akhirnya dipenjara
atau ditembak mati oleh Belanda.
3) Aspek patriotisme dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan
oleh sikap para pejuang yang teguh pada pendirian, tidak mau menyerah apalagi
bekerja sama dengan Belanda, demi membela tanah air dan bangsanya. Sebagai
contoh pada peristiwa pertempuran di desa Bremi, Letkol Gunawan tertangkap
oleh Belanda dan menerima bujukan untuk bekerja sama, kemudian menyerukan
kepada seluruh gerilyawan agar mengikuti jejaknya. Tetapi para pejuang tetap
tegar, tidak menanggapi seruan itu, bahkan memperkuat pasukan dengan
menambah personil dari pemuda-pemuda pedesaan. Belanda selalu membujuk
para pejuang untuk bekerja sama, meskipun dengan imbalan diberi kedudukan
atau jabatan, namun para pejuang tidak tertarik dengan tawaran tersebut dan lebih
memilih berjuang mempertahankan kemerdekaan meskipun harus
mempertaruhkan nyawa.
4) Aspek persatuan maupun nasionalisme dalam perjuangan Komando Daerah Muria
dapat ditunjukkan bahwa, para pejuang berasal dari unsur tentara dan rakyat. Dari
unsur tentara terdiri dari berbagai kesatuan yaitu Divisi Ronggolawe, Divisi
Panembahan Senopati, dan Divisi Siliwangi yang berasal dari berbagai daerah.
Namun karena merasa senasib sepenanggungan sehingga terbentuk rasa
solidaritas yang tinggi, bersatu dalam menghadapi musuh, dan berjuang untuk
mencapai tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia.
Nilai- nilai perjuangan yang terkandung dalam aspek-aspek tersebut perlu
ditanamkan kepada peserta didik, ditumbuhkembangkan dalam pribadi mereka, agar
mereka dapat menjadikannya sebagai teladan serta mewarisinya, sehingga mereka
dapat merasakan semangat perjuangan, besarnya pengorbanan dan sulitnya para
pahlawan ketika merebut kemerdekaan. Jika mereka dapat merasakan hal ini, maka
kepekaan sosial, jiwa dan semangat kepahlawanan, patriotisme, persatuan dan
nasionalisme peserta didik akan terwujud.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pada era globalisasi, di mana perkembangan
teknologi demikian pesatnya, serta arus informasi yang begitu cepat, maka jiwa dan
semangat nasionalisme sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian
bangsa. Hal ini disampaikan karena keprihatinan melihat situasi yang berkembang
pada masyarakat akhir-akhir ini, di mana jiwa dan semangat nasionalisme, identitas
kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air terus memudar, karena digantikan oleh
kebutuhan globalisasi, dampak kemajuan iptek, dan pasar industri dari negara-negara
kaya. Semua itu sangat berpengaruh pada menurunnya kepekaan sosial, akibatnya
kemudian membuat generasi muda tidak terlalu peduli dengan kehidupan sosial,
semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme yang seharusnya dilestarikan.
c. Tanggapan Guru-Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan terhadap
Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke
Dalam Pembelajaran Sejarah
Para guru IPS di SMP Kabupaten Kudus banyak yang beranggapan bahwa
mengajar sejarah merupakan beban yang berat, karena cakupan materinya yang
sangat luas dan saling berkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain.
Contohnya, kalau bahan ajar menyangkut sejarah nasional Indonesia, maka harus
terkait dengan sejarah lokal. Sejarah lokal tidak bisa terlepas dari sejarah nasional
karena sejarah lokal merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan
sejarah nasional. Artinya bahwa setiap peristiwa-peristiwa di daerah atau di tingkat
lokal dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting di tingkat nasional.
Oleh guru IPS di SMP persoalan materi sejarah lokal yang tidak siap diajarkan
kepada peserta didik ini yang menjadi hambatan mereka dalam memasukkan sejarah
lokal sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah.
Beberapa guru IPS di SMP yang sempat diwawancarai tentang pemahaman
mereka pada peristiwa-peristiwa penting bersejarah di Kudus khususnya mengenai
perjuangan Komando Daerah Muria menghadapi Agresi Militer II Belanda,
menyatakan bahwa mereka pernah mendengar tetapi belum pernah membaca tulisan-
tulisan yang rinci tentang perjuangan tersebut
Sehubungan dengan pernyataannya itu, ketika guru tersebut diberikan
pertanyaan kalau misalnya sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dijadikan
sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah, maka secara terbuka guru
tersebut menyatakan kesiapannya apabila ada referensi yang dapat dijadikan sebagai
sumber bahan pembelajaran.
Kepala Sekolah yang berhasil diwawancarai berpendapat bahwa peserta didik
harus mengenal sejarah daerahnya sendiri, sebelum mereka tahu tentang sejarah
nasional dan selanjutnya sejarah dunia. Apalagi dengan berlakunya kurikulum 2006
sangat memberi peluang terhadap masuknya potensi daerah di mana sekolah berada.
Berlakunya kurikulum tersebut disambut baik karena memberi peluang untuk
mengkaji materi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Namun porsi
pembelajaran sejarah dirasa belum proporsional untuk penanaman dan pelestarian
nilai-nilai nasionalisme, hal ini disebabkan kurangnya lingkup materi yang mengarah
kepada penanaman nilai nasionalisme, meskipun hal itu dapat diberikan juga pada
mata pelajaran yang lain seperti Pendidikan Kewarganegaraan, pada kegiatan
kepramukaan maupun upacara bendera. Oleh sebab itu jika melihat Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS Sejarah perlu dikembangkan
untuk memperkaya wawasan siswa. Kaitannya dengan itu maka peristiwa sejarah di
tingkat lokal yang relevan bisa disisipkan dalam pembelajaran sejarah, dan sangat
setuju apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dijadikan sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP Kabupaten Kudus.
Di lain pihak, Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten yang sempat ditemui berkaitan
dengan upaya pengembangan materi pembelajaran sejarah dengan memasukkan
sejarah lokal, menyatakan sangat setuju dan mendukung upaya tersebut, agar
generasi muda Kudus lebih mengetahui dan memahami perjuangan di daerahnya
sendiri, dan agar mereka tahu bahwa banyak pahlawan besar dari Kudus yang
memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempertahankan kemerdekaan,
kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Lebih lanjut disampaikan bahwa
perjuangan rakyat Kudus dalam mempertahankan kemerdekaan, dengan
pengorbanan harta benda bahkan nyawa patut dijadikan teladan bagi generasi muda,
agar generasi muda bisa menghargai jasa para pahlawan, dan selanjutnya bisa
membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka.
Menyikapi hal-hal tersebut di atas, maka pada prinsipnya semua sekolah dan
tenaga pengajarnya siap memasukkan sejarah perjuangan daerah sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah apabila ada referensi yang bisa dijadikan
acuan. Bagi guru IPS di SMP baik yang berlatarbelakang pendidikan sejarah atau
pun tidak, karena sudah dipercaya untuk mengajarkan bidang tersebut tetap akan
berupaya untuk menguasai materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya agar bisa
mengajarkannya kepada peserta didik dengan baik pula.
Bertolak dari pernyataan-pernyataan guru-guru tersebut dapat ditarik suatu
simpulan bahwa kebanyakan guru tidak berani memasukkan materi sejarah lokal
sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah, baik diajarkan secara tersendiri
maupun secara terintegrasi dengan materi pokok karena beberapa alasan antara lain
(1) tidak tersedianya bahan ajar atau referensi; (2) alokasi waktu; (3) tenaga pengajar
yang tidak berlatarbelakang pendidikan sejarah.
d. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran Sejarah dengan
Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria
Berdasarkan tanggapan positif guru-guru IPS di SMP Kudus terhadap upaya
memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria sebagai pengembangan
materi pembelajaran, maka mereka juga menyatakan siap menyusun perencanaan
pembelajarannya apabila tersedia bahan ajar atau referensinya.
Hasil diskusi dengan beberapa guru IPS dapat disimpulkan sebagai berikut,
penyusunan materi dimulai dari pengembangan silabus pada Standar Kompetensi
“Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan”, Kompetensi Dasar
“Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”,
Materi Pokok “Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Kemudian materi tersebut diperluas
dengan materi sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, merumuskan kegiatan
pembelajaran, mengembangkan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian
dan teknik evaluasinya, menentukan strategi pembelajarannya, serta alokasi waktu
dan sumber belajar. Tahap selanjutnya adalah menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
B. Pokok-pokok Temuan
Beberapa pokok temuan dalam penelitian mengenai upaya untuk
memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dalam mempertahankan
kemerdekaan menghadapi Agresi Militer II Belanda di daerah Kudus, sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP adalah sebagai berikut:
1. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam
Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus.
Materi sejarah lokal Kudus khususnya sejarah perjuangan Komando Daerah
Muria sampai saat ini belum dimasukkan sebagai pengembangan materi
pembelajaran sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus karena beberapa alasan:
a. Alokasi waktu yang sangat terbatas untuk mata pelajaran IPS khususnya sejarah.
Dengan materi yang sangat luas cakupannya itu tidak memungkinkan dapat
diselesaikan dalam waktu yang singkat, sehingga tidak bisa untuk secara leluasa
mengembangkan materi ajar dalam proses pembelajaran. Akibatnya upaya untuk
mengembangkan materi pembelajaran masih terkendala.
b. Kebanyakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran sejarah
masih terbatas pada materi pokok yang perlu dijelaskan kepada peserta didik,
kurang pengembangan ke arah pengetahuan yang lebih luas seperti peristiwa yang
aktual termasuk mengaitkan dengan materi sejarah lokal. Sebagai temuan dalam
penelitian ini adalah kebanyakan tenaga pengajar IPS tidak berlatar belakang
pendidikan sejarah. Dengan kondisi guru seperti ini, maka upaya untuk
memperluas materi pembelajaran sampai kepada peristiwa-peristiwa sejarah di
tingkat lokal sulit dilakukan.. Namun di lain pihak mereka optimis mampu
menjalankan tugasnya mengajar IPS khususnya sejarah apabila ada materi yang
bisa dipelajari sebagai bahan ajar, karena bagi mereka mengajar merupakan tugas
harian, apabila bahan ajarnya tersedia maka tugas tersebut akan lebih mudah
untuk dijalankan.
c. Tidak tersedianya bahan ajar tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria
yang tersusun secara lengkap dan sistematis menjadi salah satu hambatan,
sehingga belum bisa disampaikan sebagai pengembangan materi pembelajaran.
Untuk itu diperlukan referensi yang tersusun secara sistematis dan kronologis
yang disesuaikan dengan daya pikir peserta didik di SMP.
2. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan
Kepada Siswa
Setiap peristiwa perjuangan untuk mengusir kolonial, terkandung semangat
kepahlawanan, patriotisme maupun nasionalisme yang dapat dijadikan teladan bagi
peserta didik, agar mereka bisa menghargai jasa para pahlawan, dan bisa
membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka yang
selanjutnya sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian bangsa.
3. Tanggapan Guru-Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan terhadap
Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam
Pembelajaran Sejarah
Upaya untuk memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria
Tahun 1948 dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi
Militer II Belanda mendapat tanggapan yang positif dari para guru dan pejabat Dinas
Pendidikan di Kabupaten Kudus, karena banyak hal yang bisa dipetik dari peristiwa
perjuangan tersebut khususnya semangat kepahlawanan, patriotisme dan
nasionalisme untuk dijadikan teladan bagi peserta didik. agar mereka bisa
menghargai jasa para pahlawan, dan selanjutnya bisa membangkitkan semangat
patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka. Namun hal itu perlu pemikiran
karena terkait dengan kemampuan profesionalitas guru dan pengelolaan waktu yang
ada, kesiapan bahan ajar yang dibutuhkan mengingat referensi yang menjadi
pegangan guru belum tersedia, dan rata-rata belum memiliki modal pengetahuan
tentang sejarah perjuangan rakyat di Kudus.
4. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran Sejarah dengan
Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria
Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dimulai dari
pengembangan silabus pada SK “Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan”,
memperluas materi pokok dengan materi sejarah perjuangan Komando Daerah
Muria, merumuskan kegiatan pembelajaran, mengembangkan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian dan teknik evaluasinya, menentukan strategi
pembelajarannya, serta alokasi waktu dan sumber belajar.
C. Pembahasan
Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari
keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran
dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang
ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar
menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya
indikator.
Dalam paradigma baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sekolah
diberi wewenang yang luas untuk mengembangkan kurikulum, yang dimulai dengan
menjabarkan SK dan KD dalam sejumlah indikator yang relevan dengan konteks
tempat guru mengajar. Indikator dalam SK dan KD sangat tergantung dari
kemampuan guru dalam menjabarkannya. Termasuk di dalamnya untuk memilih
bahan ajar yang akan digunakan, guru diberi kebebasan asal standar minimal
terpenuhi.
Dalam penyusunan bahan ajar, sekolah diberi kewenangan sebab sekolah
sebagai lembaga pendidikan memiliki otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran termasuk mempersiapkan atau menyusun bahan ajar. Bahan ajar yang
disusun hendaknya yang dapat mengembangkan nilai, sikap, dan keterampilan.
Bahan ajar ini harus dipersiapkan oleh guru dengan sebaik-baiknya, agar dalam
penyampaiannya pada siswa tidak terjadi hambatan. Menurut Wasino
(2009: 2) mengemukakan bahwa dalam pengolahan materi kesejarahan, guru
merupakan skenario, produser, sekaligus sebagai salah satu aktor dalam
pembelajaran sejarah di kelas.
Pengembangan materi pembelajaran pada hakekatnya adalah mencari dan
menentukan pokok materi formal, memperkaya dan menyempurnakan materi
pengajaran dari bahan informal, juga menentukan pokok isi pelajaran dan
mengorganisasikannya berdasar pendekatan dan ketentuan bidang studi serta
tuntutan formal (Kosasih Djahiri, 1980: 15). Banyak referensi yang dapat digunakan
sebagai bahan pengembangan materi pembelajaran, namun yang diambil hendaknya
yang bersifat paedagogis dan relevan dengan tujuan pembelajaran.
Bahan kajian sejarah pada hakekatnya memuat kajian yang mencakup
penjelasan tentang pengetahuan faktual (apa, siapa, di mana, dan kapan/bilamana),
pengetahuan prosesual (bagaimana) dan pengetahuan problematik (mengapa). Dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, bahan kajian sejarah diajarkan dengan tiga
pendekatan, yaitu (a) pendekatan faktual; (b) pendekatan prosesual; (c) pendekatan
kausal. Pendekatan faktual bertujuan untuk memberikan fakta dari berbagai
peristiwa-peristiwa sejarah, sebagai bagian dari pengetahuan tentang peristiwa
sejarah. Pendekatan ini sangat berguna untuk memperkaya pengetahuan kesejarahan,
menambah kesadaran dan wawasan sejarah serta untuk menjawab pertanyaan tentang
apa, siapa, di mana, kapan/bilamana. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan
“mengapa” dapat dirunut melalui penelusuran terjadinya peristiwa dengan penjelasan
kausalitas.
Persoalan yang muncul berkenaan dengan pengembangan bahan ajar adalah
adanya keragu-raguan dari para guru sejarah berkaitan sumber dan bahan ajar.
Adanya beberapa buku sejarah yang dilarang oleh Mahkamah Agung terutama yang
berkaitan dengan sejarah kontemporer cukup membuat guru kebingungan.
Sedangkan kemampuan para guru dalam hal menulis buku, sekali pun untuk
keperluan sendiri sampai saat ini masih dirasakan berat. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan, ketersediaan sumber, kemauan, dan dana untuk menerbitkan.
Posisi pembelajaran sejarah sangat penting bagi pengembangan identitas
bangsa. Namun perlu disadari bahwa arti penting pembelajaran sejarah tidak dapat
berkembang sendiri tanpa usaha seorang guru untuk mewujudkannya pada peserta
didik. Diperlukan suatu perjuangan dan upaya yang terus menerus untuk
menumbuhkan suatu kesadaran yang disebut kesadaran sejarah. Menumbuhkan suatu
kesadaran sejarah merupakan landasan bagi timbulnya tanggung jawab sejarah yang
merupakan tanggung jawab generasi untuk menjawab tuntutan jaman pada saat
generasi tersebut hidup. Untuk itu diperlukan pendukung-pendukung yang sanggup
menunjang usaha-usaha ke arah pengembangan kesadaran serta tanggung jawab
sejarah. Pendukung yang punya posisi sangat menentukan adalah guru sejarah, sebab
mereka berhadapan langsung dengan peserta didik yang merupakan salah satu
sasaran utama bagi penanaman nilai-nilai historis yang diinginkan, seperti nilai-nilai
kepahlawan, nasionalisme, dan patriotisme.
Sejarah sebagai pengalaman kolektif kehidupan manusia berdasarkan
perspektif time and space. Dengan pembelajaran sejarah diharapkan peserta didik
dapat menghargai dan mengambil makna dari peristiwa-peristiwa masa lampau
secara bijak. Mempelajari sejarah berarti pula melakukan penelusuran kehidupan
umat manusia, selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis. Dengan penelaahan
yang baik, maka tidak hanya mengetahui peristiwa masa lampau saja yang bermakna,
tetapi juga peristiwa masa kini, dan mampu memprediksi kejadian-kejadian yang
akan datang. Makna peristiwa masa lampau yang mampu diserap akan memunculkan
semangat kebangsaan dan kepribadian yang akhirnya bangga sebagai warga bangsa
Indonesia. Secara filosofis, sejarah merupakan ajaran kebijakan yang dipantulkan
sinyal dan nuansa masa silam. Oleh sebab itu melalui pembelajaran sejarah memiliki
peran yang cukup strategis dalam pembangunan bangsa. Pembelajaran sejarah dapat
melatih kepekaan nurani peserta didik. Misi pembelajaran sejarah yang berhasil juga
akan melahirkan generasi muda yang berhati nurani tajam, unggul secara intelektual,
santun secara moral dan diharapkan akan kaya dengan amal perbuatan. Karakteristik
ini tidak dimiliki oleh mata pelajaran yang lain.
Untuk menumbuhkan dan melestarikan nilai-nilai kepahlawanan,
nasionalisme, dan patriotisme, karakteristik pembelajaran sejarah menyangkut tiga
ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada ranah kognitif dan afektif,
pembelajaran harus menghasilkan perubahan pada diri peserta didik berupa
perkembangan perilaku ke arah lebih positif. Dengan materi pembelajaran sejarah,
peserta didik diajarkan tentang dinamika dan perkembangan kehidupan bangsa dari
perjuangan yang bersifat kedaerahan ke perjuangan yang bersifat nasional. Materi ini
kaya akan nilai-nilai persatuan, kesatuan, bela negara, rela berkorban, solidaritas,
gotong royong dan sebagainya.
Diberlakukannya kurikulum 2006 tentang KTSP, di mana materi ajar harus
mengangkat kompetensi yang ada di lingkungan siswa untuk dimasukkan dalam
pembelajaran, maka guru harus berupaya memilih materi yang sesuai. Adanya
masukan kepada mereka berupa materi sejarah perjuangan di Kudus, yang relevan
dengan Standar Kompetensi dapat disisipkan ke dalam pembelajaran sejarah, maka
pada prinsipnya mereka siap melaksanakan yang penting bahan ajarnya tersedia.
Sementara itu pihak pejabat Dinas Pendidikan mengatakan setuju dan sangat
mendukung upaya tersebut, namun yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan guru
pengajar dan alokasi waktu. Penguasaan materi pembelajaran merupakan salah satu
kompetensi guru, berdasarkan hasil wawancara tampaknya guru belum siap
memahami materi sejarah lokal Kudus. Kebanyakan penguasaan materi ajar sejarah
masih terbatas pada yang perlu dijelaskan kepada peserta didik, dalam arti kurang
pengembangan ke arah pengetahuan yang lebih luas misalnya ke peristiwa yang
aktual termasuk mengaitkan dengan materi sejarah lokal.
Konsekuensi kesiapan guru sebagai tenaga pengajar adalah harus memiliki
kompetensi khususnya dalam mata pelajaran yang diampunya. Secara umum terdapat
beberapa kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru sebagaimana yang
dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (dalam Gede Widja, 1989: 14) yaitu: (1)
guru harus mampu mengenal setiap murid yang dipercayakan kepadanya; (2) guru
harus memiliki kecakapan untuk memberi bimbingan; (3) guru harus memiliki dasar
pengetahuan yang luas tentang pendidikan yang hendak dicapai; (4) guru harus
memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu yang diajarkan.
Khusus dalam hubungan dengan pembelajaran sejarah, seorang guru sejarah
dituntut untuk bisa memenuhi kemampuan-kemampuan atau kompetensi khusus di
bidang ilmunya. Kompetensi guru sejarah sebagaimana yang dikemukakan oleh C.
Hill (dalam Gede Widja, 1989: 17) yaitu sebagai berikut, pertama, seorang guru
sejarah hendaknya memiliki kualitas prima dalam masalah kemanusiaan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari hakikat sejarah, di mana bahan baku dari sejarah
itu tidak lain manusia itu sendiri. Kedua, guru sejarah hendaknya adalah orang-orang
yang memiliki pengetahuan luas tentang kebudayaan, atau guru sejarah yang
“messenger of man’s cultural inheritance” (penyampai dari warisan budaya
manusia). Ketiga, guru sejarah hendaknya adalah juga pengabdi perubahan. Ini
berarti bahwa guru sejarah harus selalu menyadari salah satu watak utama sejarah,
yaitu perubahan. Berpikir historis adalah berpikir bahwa segala sesuatu akan
bergerak atau berubah, cepat atau lambat. Dengan demikian seorang guru sejarah
selalu peka dan tanggap terhadap permasalahan masyarakat. Cara guru mengajar
sejarah yang hanya berkisar di lingkungan kelas dan dengan materi dari buku teks
saja akan menyebabkan murid-murid terasing dari permasalahan masyarakat.
Konsekuensinya adalah tuntutan kemampuan atau kualitas mengajar
merupakan bagian dari kualifikasi pendidikan yang harus dipenuhi oleh guru sejarah.
Kualitas guru sejarah yang demikian tidak mungkin sepenuhnya di dapat di bangku
kuliah. Cara yang paling sederhana untuk mengembangkan kemampuan adalah
dengan memupuk kesenangan membaca tentang peristiwa-peristiwa serta tokoh-
tokoh sejarah.
Untuk memahami peristiwa-peristiwa yang bersejarah baik di tingkat
nasional maupun lokal, sebenarnya modalnya adalah banyak membaca. Membaca
merupakan upaya mengembangkan kualitas dan kemampuan guru dalam persiapan
mengajar di depan peserta didik. Tanpa banyak membaca berarti guru pengajar akan
miskin dengan demensi kemanusiaan dari peristiwa sejarah. Seorang guru yang kaya
akan pengetahuan dan luas pemahamannya, akan cenderung mengembangkan
suasana pembelajaran. Menurut Harries (dalam Gede Widja, 1989: 16), menyatakan
bahwa: “Tanpa arah pengajaran hanya berkisar antara kapur, bicara dan buku
pelajaran, merupakan informasi yang kering dan tanpa arti”. Pendapat Harries ini
menjadi salah satu acuan bahwa dalam pembelajaran sejarah tanpa dibekali
pengetahuan yang jelas, pembelajaran tidak akan terarah dan bermakna apa-apa.
Melalui bacaan referensi kesejarahan, kemampuan penguasaan materi para
guru menjadi meningkat. Peningkatan penguasaan materi akan menambah
kepercayaan para guru ketika menghadapi peserta didik di depan kelas. Selain itu
juga memungkinkan banyak ilusterasi yang bisa dikembangkan sehingga ketika ada
dialog dengan peserta didik tentang persoalan materi-materi kesejarahan suasana
kelas menjadi hidup. Apabila hal ini dapat berlangsung, maka akan menumbuhkan
kesenangan dan kemampuan peserta didik dalam mempelajari sejarah.
Sesuai dengan jalan pikiran di atas, maka guru sejarah yang profesional
adalah guru sejarah yang memiliki keahlian khusus dalam bidang pelajaran sejarah.
Kemampuan ini didapatnya dari lembaga pendidikan guru sejarah, ditambah dengan
usaha terus menerus untuk menyempurnakan apa yag didapat selama pendidikan
dengan pengalaman baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.
Menurut Wasino (2009: 9), guru sejarah harus terus mengikuti wacana yang
berkembang dalam dunia keprofesionalannya. Pertama, harus selalu menyegarkan
pengetahuan kesejarahan. Dalam pengertian mengikuti perkembangan-
perkembangan temuan kesejarahan. Kalau perlu juga menjadi bagian penemu fakta
sejarah. Kedua, guru harus mengembangkan inovasi-inovasi pembelajarannya supaya
siswa sebagai konsumen senang dalam mempelajari sejarah dan dapat mengambil
manfaat dari belajar sejarah. Inovasi dapat dilakukan mulai dari perancangan
kurikulum, pengembangan bahan ajar, proses pembelajaran di kelas maupun di luar
kelas, dan akhirnya mengadakan penilaian terhadap bahan-bahan yang diajarkan.
Alokasi waktu dan materi sejarah lokal termasuk tenaga pengajar yang
memiliki kemampuan menjadi kendala dalam memasukkan materi sejarah lokal
melalui pembelajaran sejarah di SMP. Persoalan alokasi waktu terutama untuk mata
pelajaran IPS khususnya sejarah dirasa sangat terbatas, sehingga tidak
memungkinkan untuk secara leluasa mengembangkan materi ajar dalam proses
pembelajaran. Dengan kondisi alokasi waktu yang sangat terbatas ini, maka materi
sejarah yang sangat luas cakupannya itu tidak memungkinkan dapat diselesaikan
dalam waktu yang singkat, sehingga upaya untuk mengembangkan materi
pembelajaran masih terkendala. Dalam proses pembelajaran, dengan materi yang
sangat luas dan alokasi waktu yang terbatas membuat guru dalam mengajar terjebak
pada target penyelesaian materi, sehingga sering melupakan tujuan utama
pembelajaran sejarah. Kondisi yang kemudian terjadi adalah target penyelesaian
materi tercapai, tetapi tujuan pembelajaran sejarah tidak tercapai.
Perencanaan yang matang dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi,
mengakomodasi kepentingan dan nilai-nilai serta dapat membantu pembuatan
keputusan secara tertib maupun keberhasilan implikasi perencanaan tersebut. Dalam
pencapaian Standar Kompetensi, penyusunan perencanaan pembelajaran dan
penggunaan perangkat pembelajaran seperti Program Tahunan, Program Semester,
Analisis Materi Pelajaran, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah sangat penting,
tetapi dalam praktik sering dianggap sebagai rutinitas formal. Padahal perencanaan
pembelajaran sebenarnya dapat dipandang sebagai perencanaan yang strategis. Agar
dapat membuat perencanaan yang baik diperlukan pengumpulan data, materi dan
informasi secara luas, eksplorasi alternatif dan menekankan pada implikasi masa
depan dari keputusan sekarang yang dibuat.
Kecenderungan para guru dalam pembuatan perangkat pembelajaran banyak
ditentukan oleh kebijakan masing-masing sekolah. Artinya jika program penyusunan
perangkat pembelajaran itu ditradisikan oleh sekolah pada awal tahun pelajaran atau
awal semester, maka akan dapat tersusun dengan baik. Dari hasil wawancara dengan
para guru, bahwa perangkat pembelajaran sudah disiapkan sejak awal tahun
pelajaran. Ada pula yang beranggapan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
merupakan rutinitas formal. Sebab menurutnya yang terpenting dalam pembelajaran
bukan terletak pada perangkat pembelajaran yang dibuat selengkap-lengkapnya,
tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pembelajaran itu dapat terlaksana dan
diserap dengan baik oleh peserta didik.
Dalam pelaksanaan pembelajaran diperlukan strategi pembelajaran, yaitu
serangkaian tindakan yang efektif dan efisien, terencana dan terarah agar dapat
mencapai sasaran maupun tujuan dari kegiatan belajar mengajar di kelas. Unsur-
unsur pokok yang terdapat dalam strategi pembelajaran adalah guru, peserta didik
dan materi yang telah dirancang dalam perangkat pembelajaran. Guru merupakan
penanggung jawab dalam proses pembelajaran, sedangkan perangkat pembelajaran
merupakan komponen yang ikut menentukan dalam proses alih pengetahuan
(transfer of knowledge) yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Peserta
didik sebagai subjek belajar melakukan proses pembelajaran bersama guru dengan
mempelajari materi pembelajaran. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu
dengan lainnya dan harus terpadu dalam suatu strategi (Suryosubroto, 1996:31)
Untuk mendukung produktivitas pembelajaran sejarah perlu digunakan
media pendidikan yang sesuai. Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik
yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara
guru dan peserta didik dalam pembelajaran (Oemar Hamalik, 1989: 23). Dari hasil
wawancara dengan para guru IPS di SMP, pada umumnya berpendapat bahwa
penggunaan alat peraga dalam pembelajaran sejarah banyak manfaatnya, dan sangat
efektif membantu siswa dalam menyerap dan memahami materi pembelajaran. Baik
atau buruknya suatu media pembelajaran dapat dilihat dari segi kemanfaatan dari
media tersebut.
Metode mengajar pada dasarnya merupakan langkah kerja yang
dikembangkan berdasarkan pertimbangan rasional, terencana dan tepat sasaran.
Dalam pengelolaan proses pembelajaran, para guru masih berorientasi pada
penyelesaian target materi, sehingga metode yang menjadi andalan adalah metode
ceramah bervariasi, karena dianggap cocok untuk semua materi, tidak memerlukan
persiapan yang rumit, mudah dilaksanakan dan fleksibel. Proses pembelajaran yang
menggunakan metode ceramah membuat pembelajaran menjadi searah, guru
mendominasi jalannya pembelajaran. Hal ini bertentangan dengan Pembelajaran
Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang sedang dikembangkan
dewasa ini.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasar pada sajian data, pokok temuan, dan pembahasan, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948 selama ini belum
dapat dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS sejarah berkaitan
dengan materi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, disebabkan oleh
beberapa hal antara lain, terbatasnya alokasi waktu, kurangnya kesiapan tenaga
pengajar karena belum tersedianya bahan ajar tentang sejarah perjuangan rakyat
Kudus tersebut.
Sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948, merupakan bagian
integral dari perjuangan bangsa Indonesia dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda. Di dalamnya
terkandung nilai-nilai, jiwa dan semangat heroisme (kepahlawanan), patriotisme, dan
nasionalisme, yang merupakan modal perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut
kemerdekaan. Aspek-aspek tersebut dapat dijadikan teladan bagi peserta didik,
ditanamkan dan ditumbuhkembangkan dalam pribadi mereka, agar mereka bisa
mewarisinya, sehingga mereka dapat merasakan semangat perjuangan dan besarnya
pengorbanan para pahlawan. Dengan demikian kepekaan sosial, semangat
kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme peserta didik akan terwujud, karena hal
itu sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian bangsa Indonesia ketika
menghadapi era globalisasi.
Upaya untuk memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria ke
dalam pembelajaran IPS Sejarah di SMP, mendapat tanggapan yang positif dari para
guru, Kepala Sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan. Mereka setuju dan sangat
mendukung upaya tersebut apabila bahan ajar yang diperlukan tersedia.
Untuk merealisasikannya diupayakan penyusunan contoh bahan ajar, dan
selanjutnya para guru akan siap membuat/menyusun perangkat pembelajaran yang
berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), di mana untuk pelaksanaan
pembelajarannya diintegrasikan dengan materi pembelajaran pokok, sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara lebih optimal.
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka akan timbul konsekuensi
logis yang berupa implikasi dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Pengajaran IPS Sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus, selama ini
belum memanfaatkan materi sejarah lokal khususnya Perjuangan Komando Daerah
Muria pada masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948 untuk dimasukkan sebagai
pengembangan materi pembelajaran. Dengan tersedianya bahan ajar tentang
perjuangan rakyat Kudus tersebut, yang sebagian berasal dari hasil penelitian ini,
maka selanjutnya akan dimanfaatkan dalam pembelajaran dengan mengaitkannya
pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang relevan.
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus
dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar
menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar (Depdiknas, 2006).
Hal ini sesuai dengan uraian dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan
bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran, yang kemudian
dipertegas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41
tahun 2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan
proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk
mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam
RPP adalah sumber belajar. Dengan demikian, guru diharapkan untuk
mengembangkan materi pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dan acuan
pembelajaran.
Dalam peristiwa sejarah terdapat nilai edukatif yang terkandung di dalamnya.
Menyadari nilai edukatif dari peristiwa sejarah, berarti menyadari makna sejarah
sebagai masa lalu yang penuh arti. Dalam hal ini berarti sejarah harus ditafsirkan
dengan objektif agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. Dalam tafsiran tersebut
tentu terdapat contoh-contoh, nilai-nilai, serta ide-ide yang dapat memberi inspirasi
bagi mayarakat. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memotivasi usaha memecahkan
masalah-masalah masa kini dan merealisasi harapan-harapan di masa yang akan
datang dengan pendekatan historis. Sebagai contoh, pada masa kini nilai-nilai
kepahlawanan, nasionalisme, dan patriotisme sangat diperlukan untuk
mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi globalisasi yang diikuti oleh
dampak kemajuan iptek. Secara khusus nilai-nilai tersebut diperlukan untuk
menseleksi pilihan dalam mempertahankan kepribadian bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan pembelajaran sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus,
akan sangat tergantung pada guru-guru IPS Sejarah dalam menyusun perencanaan
pembelajaran, sehingga guru dapat menanamkan nilai-nilai edukatif yang terkandung
dalam sejarah perjuangan rakyat Kudus sebagai bagian dari perjuangan bangsa
Indonesia, ke dalam diri peserta didik.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi dari hasil penelitian ini, ada beberapa
saran yang dapat diajukan, sebagai berikut:
1. Saran bagi guru
a. Peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat lokal yang berhubungan dengan materi
pokok hendaknya bisa dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar,
sebagai contoh sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dimasukkan pada
Standar Kompetensi: Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan;
Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia; pada Kelas IX, Semester I.
b. Pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran hendaknya dikembangkan
dengan memasukkan peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat lokal untuk
memperkaya materi pokok.
c. Upaya penulisan sejarah lokal yang mempunyai nilai edukatif di dalamnya
perlu ditingkatkan, agar dapat digunakan untuk pengayaan bahan ajar.
d. Kudus sebagai daerah yang mempunyai banyak peninggalan sejarah, dapat
dimanfaatkan sebagai sumber, media, dan materi pembelajaran sejarah yang
baik untuk penanaman nilai-nilai dan semangat nasionalisme.
2. Saran bagi sekolah
Idealnya pembelajaran IPS terpadu dilaksanakan oleh guru yang berlatar belakang
pendidikan IPS. Belum tersedianya tenaga tersebut, maka pembelajaran IPS
terpadu dapat dilaksanakan secara team teaching agar masing-masing bidang
kajian dapat diajarkan oleh guru yang sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga
hasil yang dicapai bisa lebih optimal.
3. Saran bagi Dinas Pendidikan Kabupaten
Hendaknya bisa menerbitkan buku materi (bahan ajar) tentang peristiwa sejarah di
tingkat lokal seperti sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948, agar
bisa digunakan sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah di
sekolah-sekolah, khususnya di SMP wilayah Kabupaten Kudus. Untuk itu
sumbangan pikiran dari para narasumber/sejarawan/informan dalam bentuk
tulisan secara kronologis dan sistematis tentang sejarah perjuangan di Kudus
tersebut sangat diharapkan untuk melengkapi hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Aida Mustofa. 1995. Perjuangan Komando Daerah Muria Melawan Agresi Militer
Belanda II Di Daerah Kudus. Skripsi. Semarang: IKIP Semarang. Anderson, Benedict. 2001. Imagined Comunities: Komunitas-komunitas Terbayang.
Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: INSIST Ary, Donald. 1982. Terjemahan Arief Furchon. Pengantar Penelitian dalam
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional 1982. Aryo Kartono, dkk. 2004. Kewarganegaraan SMA Kelas X. Kudus: Pemerintah
Kabupaten Kudus. Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Darwin Une, 2006. Organisasi Pergerakan Nasional Cabang Gorontalo Tahun 1908-
1942 sebagai materi muatan lokal di SMA Negeri Gorontalo. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Depdikbud. 1996. Kurikulum SMU. Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Sejarah
Nasional Indonesia dan Umum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikdasmen Direktorat SMU.
________. 1998. Pendidikan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan
dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud.
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah SMA & MA . Jakarta:
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. ________. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas. ________. 2006. Model Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta: Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas.
________ . 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta
Wagiyah, Emerita. 2008. Pelestarian Nilai-Nilai Sumpah Pemuda Melalui
Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Mewujudkan Sikap Nasionalisme. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Gede Widja, I. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud
________ 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Depdikbud Himawan Soetanto. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948. Jendral Spoor (Operatie
Kraai) versus Jendral Sudirman (Perintah Siasat No.1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Iskandar Jayusman. 1984. Catatan-catatan yang Berserakan (Peristiwa-peristiwa
Nyata Selama Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Periode 1945-1950). Semarang: Aneka Ilmu.
Karsan Ali Muhson. 2003. “Sejarah Singkat Perjuangan Gerilya di Daerah Muria”.
Kudus: Tidak Diterbitkan. Kosasih Djahiri. 1980. Pendekatan Teknik Pengembangan Materi dan Program
Pengajaran IPS. Jakarta: P3G Depdikbud. Lisiyas, Mayor, BcHk. 1993. Sejarah Perjuangan TNI di Kudus Pada Masa Agresi
Militer Belanda II. Kudus: Kodim 0722 Kudus Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka Miles, Matthew B and A. Michail Huberman, 1984 Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Jakarta University Press. Moehdi, M. 1960. “Riwayat Singkat Perjuangan Pada Clash II di Daerah Kudus”.
Kudus: Tidak diterbitkan ________.1984. “Dalam Kancah Perang Kemerdekaan II”. Surakarta: Tidak
diterbitkan. Mohammad Roem. 1973. Bunga rampai Sejarah. Jakarta: Bintang
Moleong, Lexy J. , 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sebuah Panduan Praktis.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nagasumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-
1918. Jakarta: Putaka Utama Grafity.
Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid IX . Bandung: Angkasa.
_______ . 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid X. Perang Gerilya
Semesta. Bandung: Angkasa. Nugroho Notosusanto. 1977. Sejarah Nasional Indonesia jilid III dan IV. Jakarta:
Dep.Pend & Kebudayaan RI _______. 1982. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta : Idayu Press.
Reid, Anthony J.S. 1974. Indonesian National Revolution 1945-50. Australia: Longman Australia Pty Limited.
Roeslan Abdulgani. 1964. Penggunaan Ilmu Sejarah. Bandung: Prapanca Sartono Kartodirdjo. 1967. Kolonialisme dan Nasionalisme Indonesia Abad XIX-XX.
Yogyakarta: Seksi Penelitian Sejarah Jurusan Sejarah Fak. Sastra UGM. ________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia. ________. 1984. Pemikiran Perkembangan Sejarah. Jakarta: Gramedia.
________. 1989. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional Historika
No.I. Surakarta: BPD KPK UNS. Sejarah Militer Cabang 073 Korem Makutarama Soejitno Hardjosoediro.1987. Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan. Jakarta:
Balai Pustaka. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Budi Utomo sampai
Proklamasi (1908-1945). Jakarta: Pustaka Pelajar. Suryosubroto B. 1999. Proses Belajar Mengajar di Sekolah.Jakarta: Rineka Cipta. Susanto Tirtoprojo. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT
Pembangunan. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan terapannya
dalam penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Team Penyusun Sejarah Perjuangan dan Pembuatan Monumen Glagah , Kudus.
1973. “Sejarah Komando Muria”. Kudus: Tidak diterbitkan.
Wasino. 2009. Pembelajaran Sejarah yang Inovatif. (Makalah Seminar Nasional Peningkatan Kompetensi Penelitian untuk Pengajaran Sejarah di Era Sertifikasi dan Otonomi Daerah) Kudus.
B. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/AgresiMiliterBelandaII. Diakses tanggal 13 Mei 2008
http://www.balipost.co.id/ . Diakses tanggal 16 Desember 2008
http://akhmadsudrajadwordpress.com/PengembanganBahanAjar . Diakses tanggal 13 Januari 2009.
http://awan965.wordpress.com/2008/12/20/ktsp-pengembangan-materi-
pembelajaran/. Diakses tanggal 13 Januari 2009.
http://www.tempointeraktif.com/SistemPertahananNegara. Diakses tanggal 17 Januari 2009.
http://id.wikipedia.org/PertahananNegara Diakses tanggal 17 Januari 2009
Lampiran: 1
PEDOMAN WAWANCARA A. Pokok Kajian : Sekitar Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria
(Untuk kelengkapan penyusunan contoh materi/bahan ajar)
Informan: Pelaku sejarah, saksi sejarah (apabila masih ada), peneliti sejarah.
Permasalahan:
1. Bagaimana reaksi rakyat Kudus ketika terjadi Agresi Militer II Belanda?
2. Bagaimana perjuangan menentang pendudukan Belanda di daerah Kudus pada
waktu itu? Bagaimana peran rakyat dalam perjuangan?
3. Siapa saja pemimpin perjuangan pada waktu itu?
4. Strategi apa yang digunakan oleh para pemimpin perjuangan?
6. Bagaimana sikap masyarakat saat ini terhadap sejarah perjuangan tersebut?
7. Apa harapan Bapak/Ibu terhadap sejarah perjuangan tersebut?
B. Pokok Kajian: Keberadaan SMP Negeri di Kudus
Informan: Kepala Sekolah
Permasalahan:
1. Kapan Bapak mulai bertugas sebagai Kepala Sekolah?
2. Bagaimana kondisi pembelajaran di sekolah yang Bapak pimpin?
3. Bagaimana kesiapan guru pengajar baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun
latar belakang pendidikannya?
4. Hal-hal apa yang Bapak lakukan dalam meningkatkan SDM yang berkualitas?
5. Bagaimana memotivasi guru agar bersemangat dalam melaksanakan tugasnya?
6. Usaha apa yang biasa Bapak lakukan dalam pembinaan program pembelajaran?
7. Khusus untuk pembelajaran IPS, apa latar belakang pendidikan guru IPS?
8. Bagaimana keberadaan laboratorium, perpustakaan dan media pembelajaran
khususnya untuk mata pelajaran IPS?
9. Apa saja usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
khususnya untuk mata pelajaran IPS?
10. Menurut pendapat Bapak, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda saat
ini? Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/ menanamkan
sikap nasionalisme pada generasi muda?
11. Bagaimana tanggapan Bapak berkaitan dengan diberlakukannya KTSP?
12. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional
untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme?
13. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS
sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha
penanaman nilai-nilai nasionalisme?
14. Layakkah apabila peristiwa sejarah di tingkat lokal yang bisa membangkitkan
semangat nasionalisme dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun
Kompetensi Dasar disisipkan dalam pembelajaran sejarah?
15. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria
pada masa Agresi Militer II Belanda?
16. Setujukah Bapak apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa
Agresi Militer II Belanda dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran
sejarah di SMP?
C. Pokok Kajian: Pengembangan Materi Pembelajaran
Informan: Guru IPS
Permasalahan
1. Sudah berapa lama Bapak/Ibu mengajar IPS di SMP dan bagaimana kesan
berkaitan dengan pengajaran IPS sejarah?
2. Hambatan apa saja yang Bapak/Ibu alami selama mengajar IPS sejarah?
3. Bagaimana daya dukung sarana prasarana berupa laboratorium, perpustakaan
dan media dalam menunjang pembelajaran sejarah?
4. Apakah siswa merasa tertarik dengan mata pelajaran IPS khususnya sejarah?
5. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu berkaitan dengan diberlakukannya KTSP?
6. Apakah dalam pembelajaran sejarah Bapak/Ibu terikat dengan kurikulum
ataukah ada kebebasan untuk memasukkan unsur sejarah lokal?
7. Menurut pendapat Bapak/Ibu bisakah sejarah lokal dimasukkan dalam
pembelajaran sejarah sebagai pengembangan materi?
8. Menurut pendapat Bapak/Ibu apakah ada manfaat yang bisa diambil dari
pengajaran sejarah lokal?
9. Apakah dalam pembelajaran sejarah Bapak/Ibu sering mengaitkan dengan
sejarah lokal? Bagaimana respon siswa bila diberikan materi sejarah lokal?
10. Menurut pendapat Bapak/Ibu, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda
saat ini?
11. Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/menanamkan sikap
nasionalisme pada generasi muda?
12. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional
untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme?
13. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS
Sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha
penanaman nilai-nilai nasionalisme?
14. Layakkah apabila sejarah lokal yang bisa membangkitkan semangat
nasionalisme dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun Kompetensi
Dasar disisipkan dalam pembelajaran sejarah?
15. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah
Muria pada masa Agresi Militer II Belanda?
16. Apakah sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masaAgresi Militer II
Belanda relevan bila dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran
sejarah di SMP?
17. Aspek-aspek apa saja dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang bisa
diajarkan kepada siswa?
18. Bila guru memasukkan sejarah lokal, bagaimana guru dalam menyusun program
pembelajaran?
D. Pokok Kajian: Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah
di SMP
Informan : Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar Kabupaten Kudus.
Permasalahan:
1. Menurut pendapat Bapak, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda saat
ini?
2. Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/menanamkan sikap
nasionalisme pada generasi muda?
3. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional
untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme?
4. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS
Sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha
penanaman nilai-nilai nasionalisme?
5. Layakkah apabila sejarah lokal yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme
dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar disisipkan
dalam pembelajaran sejarah?
6. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria
pada masa Agresi Militer II Belanda?
7. Setujukah Bapak apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa
Agresi Militer II Belanda dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran
sejarah di SMP?
Lampiran: 2
Daftar Informan/Nara Sumber
1. H. Abdul Majid (Kusnadi) : Pelaku Sejarah
2. Drs. Suharyono : Kepala SMP Negeri 1 Gebog
3. Suprapto, S.Pd : Kepala SMP Negeri 2 Gebog
4. Drs. Sutrisno : Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
5. Sumiyati, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
6 Soeharto : Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
7. Tenti Anita Aries, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
8. Fery Rosyidah, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
9. Aida Mustofa : Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
10. Mahfud, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
11. Dyah Susanti, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
12. Fitriani Ning, S.Pd : Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
13. Drs. Jumadi, MM : Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar Dinas
Pendidikan Kabupaten Kudus.
Lampiran: 3 KEADAAN GURU IPS
DAN PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI KUDUS
Tabel 1
Keadaan Guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog
Menurut Latar Belakang Pendidikan
No Nama/ NIP
L/ P
Pendidikan/ Jurusan
Mulai Mengajar
Gol
1
2
3
4
5
Soeharto
Sumiyati, S.Pd
Drs. Sutrisno
Tenti Anita A.,Spd
Fery Rosyidah
L
P
L
P
P
D1 / P. Sejarah
S1 / P. Geografi
S1 / P. Sejarah
S1 / P. Sejarah
S1 / P. Ekonomi
1 Maret 1973
1 April 1986
1 April 1995
1 Januari 2007
1 Januari 2008
IV/a
IV/a
III/b
III/a
III/a
Tabel 2
Keadaan Siswa SMP Negeri 1 Gebog
Jumlah Siswa No Kelas Jumlah Kelas
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 VII 6 96 136 232
2 VIII 6 94 145 239
3 IX 6 106 133 239
Jumlah 18 296 414 710
Sumber: Data Laporan Keadaan Sekolah Januari 2009
Lampiran: 4
KEADAAN GURU IPS
DAN PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI KUDUS
Tabel 3
Keadaan Guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog
Menurut Latar Belakang Pendidikan
No Nama/
NIP
L/
P
Pendidikan/
Jurusan
Mulai
Mengajar
Gol
1
2
3
4
Aida Mustofa, S.Pd
Mahfud, S.Pd
Dyah Susanti, S.Pd
Fitriani Ning, S.Pd
L
L
P
P
S1 / P.Sejarah
S1 / P. Sejarah
S1 / P. Ekonomi
S1 / P. Ekonomi
1 Desember1994
2 Januari 2007
1 Januari 2008
1 Nopember 2007
III/d
III/a
III/a
III/a
Tabel 4
Keadaan Siswa SMP Negeri 2 Gebog
Jumlah Siswa No Kelas Jumlah Kelas
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 VII 6 119 121 240
2 VIII 6 141 105 246
3 IX 6 124 118 242
Jumlah 18 385 344 728
Sumber: Data Laporan Keadaan Sekolah Januari 2009
Lampiran: 5
Tabel 5
Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX
Standar Kompetensi: 2, Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan.
KOMPETENSI
DASAR
INDIKATOR MATERI POKOK
2.1. Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
* Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda.
* Mendeskripsikan bentuk
dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
* Mendeskripsikan peran
dunia internasional dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
* Faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-Belanda
* Bentuk dan proses
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
* Peran dunia
internasional dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
Lampiran: 7. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran : IPS Sejarah
Satuan Pendidikan : SMP Negeri Gebog
Kelas/Semester : IX / I
Alokasi Waktu : 6 X 40 menit
Standar Kompetensi
2. Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan
Kompetensi Dasar
2.1 Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Indikator
- Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-Belanda..
- Mendeskripsikan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan NKRI
- Mendiskripsikan bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan
* Mendeskripsikan perjuangan rakyat dan pemerintah di berbagai daerah, di
antaranya perjuangan Komando Daerah Muria (pengembangan materi).
- Melacak aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional.
- Mendeskripsikan peran dunia internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia –
Belanda.
- Mengidentifikasi faktor-faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia.
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah selesai melakukan kegiatan pembelajaran, siswa dapat:
1. Menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda.
2. Mendeskripsikan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan
NKRI.
3. Mendeskripsikan bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan.
4. Mendeskripsikan perjuangan rakyat dan pemerintah di berbagai daerah, di
antaranya perjuangan Komando Daerah Muria (pengembangan materi).
5. Menjelaskan aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional.
6. Mendeskripsikan peran dunia internasional dalam konflik Indonesia-Belanda.
7. Menyebutkan faktor penyebab Belanda keluar dari Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda.
2. Pengaruh konflik Indonesia-Belanda.
3. Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
4. Perjuangan rakyat dan pemerintah, di antaranya perjuangan Komando Daerah
Muria (pengembangan materi).
5. Aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional.
6. Peran dunia internasional terhadap konflik Indonesia-Belanda.
7. Faktor penyebab Belanda keluar dari Indonesia
C. Metode Pembelajaran
1. Ceramah bervariasi
2. Diskusi
3. Inquiri
4. Tanya jawab
5. Tugas
D. Langkah-Langkah Pembelajaran
1. Pertemuan Ke-1
a. Kegiatan Awal (pendahuluan)
1) Menciptakan lingkungan:
- Salam pembuka dan berdoa.
- Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2) Apersepsi:
- Memberi pertanyaan dan pretest yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
menyebabkan pecahnya konflik Indonesia-Belanda dan proses perjuangan
bangsa Indonesia secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan.
3) Motivasi:
- Guru menjelaskan pentingnya mengetahui fakta-faktasejarah tentang
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi)
Prosedur Pembelajaran:
1) Guru menjelaskan materi tentang:
- Faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-Belanda dan proses perjuangan
bangsa Indonesia secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan,
termasuk perjuangan Komando Daerah Muria di dalamnya.
- Memberi contoh bentuk sikap-sikap kepahlawanan dari para pejuang ketika
berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas:
* Tanya jawab mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
* Diskusi kelompok membahas faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-
Belanda dan proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk
perjuangan Komando Daerah Muria di dalamnya.
* Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
* Kelompok yang lain menanggapi.
c. Kegiatan Akhir (penutup)
1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok.
2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan
diskusi.
3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi.
4) Guru memberikan gambaran umum tentang materi untuk pertemuan yang akan
datang.
2. Pertemuan ke-2
a. Kegiatan Awal (pendahuluan)
1) Apersepsi: guru memberikan pretest yang berkaitan dengan proses
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan melalui jalur diplomasi.
2) Motivasi: guru menampilkan contoh gambar-gambar usaha keras bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan melalui jalur
diplomasi.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi)
1) Guru menjelaskan materi tentang proses perjuangan diplomasi bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas:
* Mendiskusikan proses perjuangan diplomasi bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan.
* Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
* Kelompok yang lain menanggapi.
c. Kegiatan Akhir (penutup)
1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok.
2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan
diskusi.
3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi.
4) Guru memberikan gambaran umum tentang materi untuk pertemuan yang
akan datang.
2. Pertemuan ke-3
a. Kegiatan Awal (pendahuluan)
1) Apersepsi: guru memberikan pretest yang berkaitan dengan kronologi
peristiwa-peristiwa penting antara tahun 1945-1949, keluarnya
Belanda dari Indonesia, dan peran dunia internasional dalam
membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
2) Motivasi: guru menampilkan fakta-fakta sejarah yang menunjukkan berbagai
kerugian dan penderitaan bangsa Indonesia akibat tindakan
Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi)
1) Guru menjelaskan materi tentang kronologi peristiwa-peristiwa penting
antara tahun 1945-1949, keluarnya Belanda dari Indonesia, dan peran dunia
internasional dalam membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas:
* Mendiskusikan tentang kronologi peristiwa-peristiwa penting antara tahun
1945-1949, keluarnya Belanda dari Indonesia, dan peran dunia
internasional dalam membantu menyelesaikan konflik Indonesia-
Belanda.
* Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
* Kelompok yang lain menanggapi.
c. Kegiatan Akhir (penutup)
1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok.
2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan
diskusi.
3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi.
4) Guru memberikan tugas rumah berupa tugas kelompok kepada peserta didik.
Sumber dan Media Pembelajaran
1. Dokumen Sejarah
2. Buku IPS Sejarah Kelas IX SMP
3. Buku-buku sejarah yang relevan
4. Atlas Sejarah
5. Foto atau gambar sejarah
Penilaian
1. Teknik Penilaian
a. Tes tertulis
b. Diskusi
c. Tes Penugasan
2. Bentuk Instrumen
a. Tes Pilihan Ganda
Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d di depan jawaban yang paling
tepat!
1) Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda
di antaranya ialah … .
a. Belanda membonceng NICA.
b. Belanda ingin berkuasa kembali.
c. Sekutu membantu Belanda.
d. Belanda berhasil mengalahkan Jepang.
2) Misi pendahuluan yang dikirimkan ole SEAC dipimpin oleh … .
a. Mayor A.G. Greenhalgh
b. Letjen Sir Philip Christison
c. Laksamana Muda W.R Peterson
d. C.H.O. Van der Plas
3) Berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, pasukan Inggris yang
tergabung dalam AFNEI akan mendarat di … .
a. Kalimantan dan Sulawesi
b. Maluku dan Nusa Tenggara
c. Kalimantan dan Nusa Tenggara
d. Jawa dan Sumatera
4) Tugas utama pasukan Sekutu di Indonesia adalah … .
a. membantu Belanda berkuasa kembali di Indonesia
b. mempertemukan Indonesia dengan Jepang di meja perundingan
c. melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan ke negaranya
d. mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia
5) Tindakan Belanda yang menyebabkan terjadinya insiden bendera di
Surabaya adalah … .
a. menurunkan bendera Merah Putih dari puncak hotel Yamato
b. melarang pengibaran bendera Merah Putih di Surabaya
c. melakukan perobekan terhadap bendera Merah Putih
d. mengibarkan bendera merah putih biru di hotel Yamato
b. Tes uraian:
Jawablah pertanyaan di bawah ini secara singkat dan tepat!
1. Sebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda!
2. Jelaskan tanggapanmu tentang gambar-gambar perundingan Linggarjati !
3. Sebutkan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia !
4. Berilah contoh aktifitas Indonesia di dunia Internasional untuk
mempertahankan kemerdekaan!
5. Sebutkan faktor-faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia !
c. Tugas rumah
Perintah tugas:
1. Buatlah kronologi berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat
pusat!
2. Carilah gambar peran dunia internasional dalam konflik dalam konflik
Indonesia-Belanda, dan berikan tanggapanmu!
Tindak lanjut
- Siswa dinyatakan berhasil jika tingkat pencapaian 75% atau lebih.
- Memberikan program remedial untuk siswa yang tingkat pencapaian kurang
dari 75%.
- Memberikan program pengayaan.
Contoh Materi (bahan ajar)
SEJARAH PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA
PADA MASA AGRESI MILITER II BELANDA TAHUN 1948 DI KUDUS
1. Perpindahan Pasukan Batalyon Kusmanto
Pada tanggal 11 Desember 1948 Batalyon Kusmanto yang semula
berkedudukan di Surakarta tiba di Kudus untuk menggantikan Batalyon Sutarno
yang mendapat tugas baru di Surakarta. Batalyon tersebut dipimpin oleh Mayor
Kusmanto selaku komandan batalyon yang baru.
Di Surakarta Batalyon Kusmanto termasuk dalam Divisi Panembahan
Senopati yang dipimpin oleh Mayor Jendral Sutarto. Pada waktu terjadi rasionalisasi
dan reorganisasi Angkatan Perang tanggal 15 Mei 1948 batalyon ini masih tetap
berada di Surakarta.
Perpindahan pasukan Batalyon Kusmanto dari Surakarta ke Kudus
menggunakan kereta api dengan jalur Purwodadi, Blora, Rembang, Pati. Karena
sulitnya transportasi perpindahan pasukan tidak dapat dilakukan secara serentak .
Akibatnya ketika Belanda benar-benar melakukan agresi militer di kota Kudus pada
tanggal 19 Desember 1948, Batalyon Kusmanto yang berkekuatan dua kompi,
pasukan yang sampai di Kudus baru sebanyak satu kompi.
Batalyon Kusmanto mendapat tugas utama untuk mempertahankan kota
Kudus dari Agresi Militer kedua Belanda yang diramalkan akan bergerak dari
Semarang ke Pati melalui jembatan Tanggul Angin. Ketika sampai di Kudus Mayor
Kusmanto memerintahkan pasukannya bertugas di front Tanggul Angin. Selanjutnya
Mayor Kusmanto mengadakan koordinasi dengan pejabat setempat untuk membahas
strategi yang akan ditempuh apabila Belanda benar-benar melakukan agresi
militernya ke Kudus. Hasil koordinasi tersebut diperoleh kesepakatan bahwa apabila
Belanda menyerbu, maka pemerintah sipil memberikan kekuasaan kepada militer
untuk mendirikan pemerintahan militer di pengasingan, sedangkan para pejabat sipil
tetap berada di dalam kota. Meskipun para pejabat sipil tidak ikut bergerilya, namun
tetap berjuang melawan Belanda dan membantu TNI. Pada akhirnya mereka
bergabung dalam suatu wadah perjuangan dalam kota yang disebut Komando Staf
Kota.
2. Agresi Militer II Belanda di Kudus
Kudus yang merupakan wilayah RI berdasarkan perjanjian Renville mendapat
serbuan Belanda dari arah kota Semarang, pasukan darat melaju cepat menyusuri
jalan utama Semarang-Demak-Kudus, sedangkan pasukan udara terbang cepat
menuju udara daerah Kudus. Kemudian melakukan pemboman terhadap beberapa
tempat penting.
Pada tanggal 19 Desember 1948 jam tujuh pagi sebuah pesawat terbang cocor
merah milik Belanda terbang rendah di atas udara kota Kudus. Seperempat jam
kemudian muncul tiga pesawat Yogger dengan gencar memuntahkan serentetan
tembakan metraliur dan granat ke arah bukan saja basis militer, tetapi juga ke sasaran
umum seperti stasiun kereta api, pabrik gula Rendeng, pabrik rokok di Kudus Wetan
dan Kudus Kulon. Pemboman pesawat-pesawat tempur Belanda menimbulkan
kehancuran dan kebakaran di gedung-gedung tersebut. Kepulan asap membubung di
udara. Rakyat panik dan berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Tempat
lain yang juga menjadi sasaran pemboman adalah Masjid Besar yang terletak di
sebelah barat alun-alun, instalasi listrik negara di Jati, rumah kepala desa Pasuruhan
yang disangka markas militer Batalyon Basuno dan beberapa sarana transportasi
seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda yang berada di tepi-tepi jalan kota Kudus.
Pemboman itu berlangsung dari jam tujuh pagi hingga jam duabelas siang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Belanda menyerang Kudus pada saat
Agresi Militer II Belanda yaitu:
1. Kudus merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah Karesidenan Pati, oleh
karena itu Belanda yang ingin menguasai wilayah tersebut harus menduduki
daerah Kudus terlebih dahulu, baru menyusul daerah lain seperti Jepara, Pati,
Rembang, dan Blora.
2. Wilayah Kudus berdasarkan perjanjian Renville berbatasan dengan garis
Demarkasi Van Mook, yaitu sepanjang sungai Serang di sebelah selatan kota.
Dengan demikian, maka berarti Kudus merupakan daerah yang berbatasan
langsung dengan wilayah pendudukan Belanda. Kudus wilayah Republik
Indonesia dan Demak wilayah pendudukan Belanda.
3. Secara ekonomis Kudus saat itu sudah makmur, perkembangan ekonominya
tinggi, karena berkembangnya beberapa perusahaan yang cukup besar seperti
perusahaan rokok cap bal tiga, perusahaan rokok cap Menakjinggo, dan
perusahaan batik. Selain itu perkebunan tebu peninggalan Belanda di Kudus
Utara masih luas. Penguasaan daerah produktif sangat berarti sekali, karena ini
merupakan faktor penunjang kehidupan tentaranya di Indonesia.
Setelah mengetahui adanya serangan udara Belanda, Mayor Kusmanto selaku
Komandan Batalyon Kudus memimpin seluruh TNI untuk melakukan pencegatan di
sebelah utara jembatan Tanggul Angin. TNI bersiap-siap untuk menggempur
pasukan Belanda bila melewati jembatan tersebut, dengan mengerahkan dan
menyatukan seluruh pasukan Batalyon Kusmanto dan sebagian pasukan Batalyon
Basuno.
Pada hari Sabtu tanggal 19 Desember 1948 pukul 14.00 Belanda menyerbu
kota Kudus dari arah Demak. Setelah berada di jembatan Tanggul Angin mereka
mendapat perlawanan dari TNI, tembak menembak dengan gencar terjadi. Tetapi
karena jumlah pasukan Belanda jauh lebih banyak dan bersenjata lengkap, maka
Mayor Kusmanto segera memerintahkan pasukannya mundur. sehingga Belanda
akhirnya berhasil menduduki kota Kudus.
3. Belanda Menduduki Kota Kudus
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap dan modern
menyebabkan TNI mengambil siasat mundur bergerak ke Gunung Muria. Ada
beberapa faktor lain yang menyebabkan jatuhnya pertahanan TNI di Kudus, yaitu:
a. Pada waktu itu pasukan Balalyon Kusmanto yang berpindah dari Surakarta ke
Kudus belum seluruhnya tiba termasuk sarana persenjataan dan sarana lainnya.
b. Jarak antara Kudus dengan garis demarkasi Van Mook yaitu sepanjang sungai
Serang di mana jembatan Tanggul Angin berada kurang lebih hanya 5 km.
c. Hubungan antara masyarakat Kudus dengan Batalyon Kusmanto belum begitu
akrab, karena masih ada rasa curiga mencurigai sebagai akibat dari peristiwa
merah 18 September 1948.
Siasat mundur yang dilakukan Mayor Kusmanto juga disebabkan karena
mentaati Perintah Siasat Nomor 1 dari Panglima Besar Jendral Sudirman yang
memerintahkan kepada seluruh TNI untuk memberikan perlawanan ringan dengan
tujuan menghambat gerakan musuh bila ternyata Belanda melakukan Agresi Militer.
Kemudian mengundurkan diri ke luar kota untuk membentuk kantong-kantong
gerilya. Hal ini dilakukan mengingat pasukan musuh berjumlah besar dengan
perlengkapan senjata modern sulit untuk ditahan, sehingga usaha yang dilakukan
adalah memperlambat gerakan musuh agar dapat mengungsikan alat-alat
pemerintah, pegawai dan rakyat ke kantong-kantong gerilya, selanjutnya melakukan
perlawanan secara gerilya.
Gerakan mundur pasukan TNI terbagi dalam kelompok-kelompok. Mayor
Kusmanto memimpin pasukannya untuk mundur ke gunung Muria, dengan
menempuh jalur dari Tanggul Angin menuju ke utara melewati alun-alun kota
Kudus. Di desa Purworejo pasukannya mendapat serangan mortir dari serdadu
Belanda, untuk menghindarinya maka diambil jalan ke timur menuju desa
Gondangmanis. Selanjutnya bergerak ke Gondosari melalui Dawe. Lettu Karno
memimpin kelompok pasukan dengan mengambil rute desa Prambatan, Klumpit,
Karangmalang, Besito, kemudian berhenti di desa Gondosari. Pasukan yang
dipimpin oleh Lettu Muhadi mengambil rute Tanggul Angin, Bareng, Tanjung Mojo,
mendaki Gunung Pati Ayam dan akhirnya bertemu Kepala Staf Komando Daerah
Muria Kapten Ali Machmudi di desa Bageng Gembong Pati.
Lettu Suyitno, seorang anggota Pelajar Pejuang Bersenjata dari Sekolah
Taman Dewasa memimpin seluruh pelajar Kudus untuk berjuang melawan
pendudukan Belanda. Dalam aksi mundur melalui Barongan berhasil menyerang
sebuah jip Belanda yang ditumpangi 5 serdadu, selanjutnya bergerak ke desa Mlati
Lor, Bacin, Pedawang, akhirnya bertemu pasukan Mayor Kusmanto di desa Gondang
Manis. Lettu Sucipto memimpin pasukan bergerak dari Tanggul Angin, Bareng,
Tanjungrejo, ketika sampai di Hadiwarno bertemu dengan pasukan TNI yang gagal
menyelamatkan senjata ke Pati karena lokomotif kereta api yang ditumpangi hancur
diserang pesawat tempur Belanda.
Pasukan Belanda yang bertugas di Kudus terus mengadakan pembenahan
dan menduduki beberapa tempat penting seperti stasiun kereta api, pom bensin,
pabrik gula Rendeng, mendirikan markas militer di gedung bekas pabrik rokok cap
Bal Tiga, Markas Inlichting Vereniging Gebied atau markas organisasi mata-mata
Belanda dan memusatkan kekuatan militernya di gedung Asisten Residen, Rendeng.
Setelah berhasil menguasai kota Kudus kemudian mendirikan pemerintahan
militer yang dipimpin kapten Brijjle dan menduduki tempat-tempat penting seperti
gedung pemerintah, dan tempat penting lainnya. Selain itu juga mendirikan basis
pertahanan di berbagai tempat. antara lain:
a. Markas Koedoesche Radio Vereeniging (KRV) yaitu markas pemerintahan
kolonial Belanda di Kudus yang dilengkapi sebuah stasiun radio sebagai sarana
komunikasi. Markas ini menempati bekas pabrik rokok cap “Bal Tiga”. Gedung
ini sekarang menjadi markas KODIM 0722 Kudus.
b. Mendirikan markas Inlichting Vereeniging Gebied (IVG) yaitu organisasi mata-
mata Belanda yang anggotanya terdiri orang-orang Indonesia asli dan Belanda
totok. Rumah seorang pengusaha Cina yang terletak di sebelah timur KRV
dirampas untuk dijadikan markas IVG ini. Sekarang gedung ini menjadi Kantor
Telkom Kudus.
c. Menempatkan armada perang di gedung Asisten Residen di desa Rendeng.
Gedung tersebut sekarang menjadi Gedung Wanita Ngasirah.
Belanda juga mendirikan pos-pos penjagaan di beberapa tempat seperti di
Dawe, Barongan, Jember dan Tanjungrejo dengan tujuan untuk memperkuat
pertahanan dan menjaga perkebunan tebu di daerah Kudus utara.
4. Reaksi Masyarakat Kudus Terhadap Pendudukan Belanda
Pendudukan Belanda atas kota Kudus mendapat reaksi dari semua lapisan
masyarakat. Reaksi yang timbul sebagai akibat dari pendudukan Belanda adalah
terpecahnya masyarakat menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Masyarakat yang bergabung bersama TNI mengungsi ke luar kota untuk
mendirikan kantong-kantong gerilya dan pertahanan di desa. Mereka umumnya
terdiri dari para pejabat pemerintah daerah, para pelajar dan anggota suatu
organisasi kelaskaran.
b. Masyarakat yang tetap berada di dalam kota membentuk organisasi perjuangan
khusus yaitu Komando Staf Kota. Dalam perjuangannya mereka berpura-pura
bekerja sama dan masuk dalam pemerintahan militer Belanda.
c. Masyarakat yang mau bekerja sama dengan Belanda. Mereka dijadikan pegawai,
antek dan mata-mata.
d. Masyarakat keturunan Cina sebagian bersikap netral, sebagian menjadi antek
Belanda dan sebagian lagi membantu TNI. Mereka yang ikut berjuang bersama
TNI dipelopori oleh Ang Sing Djiang, pedagang beras di desa Panjunan Kulon.
e. Masyarakat keturunan Arab dan India yang berada di Pekojan banyak yang
membantu TNI meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Masyarakat Kudus yang sudah merdeka harus kembali mengangkat senjata
untuk mempertahankan kemerdekaannya. Masyarakat yang tidak senang dengan
adanya pendudukan Belanda memilih berjuang, baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi. Mereka inilah pejuang-pejuang bangsa yang tangguh.
5. Aksi Gerilya Batalyon Kusmanto di Gunung Muria
Untuk menambah kekuatan daya tempur, TNI merekrut pemuda-pemuda desa
yang sehat jasmani dan rohani untuk menjadi anggota TNI. Mereka mendapat latihan
kemiliteran. Setelah benar-benar terlatih, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok:
a. Mereka yang terampil, cerdas, ulet, tangkas dan siap tempur, bergabung menjadi
anggota pasukan mobil.
b. Mereka yang kurang memenuhi syarat seperti tersebut di atas, ikut bergabung
dalam Pasukan Gerilya Desa atau Pager Desa, yang bertugas membantu kegiatan
para asisten wedana militer, kepala desa dan pamong praja lainnya.
Setelah cukup kuat dan terkoordinasi dengan baik, pada pertengahan bulan
Januari 1949 Mayor Kusmanto berunding dengan Mayor Basuno selaku Jepara
Tevens Troepen Comandant untuk merencanakan serangan umum terhadap
kedudukan Belanda di kota, hasil perundingan tersebut adalah:
a. Sasaran utama serangan umum terhadap Belanda di dalam kota adalah kompleks
pabrik gula Rendeng, pos penjagaan di Jember dan Barongan, stasiun kereta api
dan pom bensin.
b. Perincian pembagian tugas:
1) Mayor Kusmanto dan Mayor Basuno memimpin langsung penyerbuan terhadap
komplek pabrik gula Rendeng.
2) Lettu Karno memimpin pasukan untuk melucuti senjata para opsir yang
bertugas di pos penjagaan Jember.
3) Kapten Kahartan memimpin pasukan yang bertugas melucuti senjata opsir
Belanda di pos penjagaan Barongan.
4) Lettu Muhadi memimpin pasukan yang bertugas menyerbu stasiun kereta api.
5) Lettu Suhardiman bertugas membakar pom bensin Jati.
c. Penyerbuan segera dilaksanakan bersama-sama pada keesokan harinya.
Rencana tersebut terlaksana dengan baik, seluruh pasukan TNI bergerak
menuju sasaran yang telah ditetapkan. Penyerbuan terhadap kompleks pabrik gula
Rendeng merupakan perjuangan terberat, karena kompleks tersebut merupakan pusat
kegiatan Belanda dan IVG, di sebelahnya pusat penyimpanan senjata yang
penjagaannya lebih ketat dibanding tempat lainnya. Dengan semangat juang dan jiwa
patriotisme yang tinggi, TNI berhasil melakukan penyusupan, perlucutan senjata, dan
serangan yang hebat terhadap posisi lawan, hanya pembakaran pom bensin yang
menemui kegagalan. Namun secara keseluruhan serangan umum tersebut berhasil
dan merupakan prestasi bagi TNI.
Belanda terkejut dan melakukan serangan balasan, namun hal itu sudah
diperkirakan sebelumnya oleh TNI, sehingga Belanda gagal menemukan TNI karena
sudah menyingkir ke gunung Muria, dan sebagian berhasil menyusup berbaur dengan
penduduk dan menyamar sebagai petani.
Belanda kemudian menambah pos-pos penjagaan yang dilengkapi opsir-opsir
bersenjata, penjaga perkebunan tebu bersenjata, mata-mata yang direkrut dari orang
Indonesia, dan penjara. Dari tempat tersebut Belanda melakukan aksi penggeledahan,
patroli, serangan dan menyebar mata-mata.
Markas TNI berpindah-pindah tempat kedudukannya untuk menghindari
penggeledahan oleh Belanda. Ketika berada di desa Ternadi, pasukan Republik ini
semakin terorganisir, hubungan dengan sesama pejuang di kompleks Gunung Muria
semakin erat. Akhirnya TNI terbiasa dengan medan gerilya di Gunung Muria karena
mereka telah lama tinggal dan bergerilya di tempat tersebut bersama rakyat.
Kesetiaan rakyat terhadap pemerintah RI menumbuhkan rasa senasib dan
sepenanggungan untuk bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Bantuan rakyat adalah sesuatu yang penting bagi perjuangan suatu bangsa, tanpa
bantuan rakyat perjuangan sulit untuk mencapai keberhasilan. Setiap mengetahui
bahwa Belanda akan menggempur markas TNI, maka markas tersebut segera
dipindahkan, sehingga Belanda selalu gagal menemukan markas TNI. Untuk
melampiaskan kemarahannya, Belanda kemudian membakar rumah yang dicurigai
dan memenjarakan pemiliknya.
Setelah gugurnya Lettu Wiyotomulyo saat mempertahankan Bangsri dari
serbuan Belanda, banyak pejuang dari Jepara yang bergabung dengan pasukan
Batalyon Kusmanto. Hal ini justru makin memperkuat kedudukan TNI di Kudus,
sehingga strategi perang diubah dari pasif defensif menjadi aktif agresif, tidak hanya
menunggu serangan atau melakukan pencegatan patroli musuh, tetapi juga
menggempur musuh beserta sarana militernya. Sebagai contoh, ketika markasnya
berada di desa Japan Lor, TNI melakukan serangan besar-besaran ke pos penjagaan
Dawe, dan berhasil menewaskan 2 orang Onder Nemenwacht atau penjaga
perkebunan tebu dan 6 orang Leger Oscht Indische Compagnie atau prajurit penjaga
pos. Belanda melakukan serangan balasan dengan menggempur pesanggrahan Colo
dan rumah-tumah yang disangka markas TNI yang berakibat melukai beberapa
penduduk.
TNI berhasil melakukan strategi perang gerilya, Belanda tidak dapat
mengetahui markas pejuang, mata-matanya selalu tertangkap berkat kesigapan TNI
dan rakyat. Belanda sering kehilangan tentaranya akibat serangan mendadak maupun
pencegatan-pencegatan yang dilakukan oleh para pejuang. Hal ini membuat Belanda
marah dan mengeluarkan ultimatum agar para gerilyawan mau menyerah.
6. Pasukan Macan Putih
Pada bulan Pebruari 1949, Mayor Kusmanto membentuk pasukan tempur
khusus atau Mobil Troep yang bernama Pasukan Macan Putih. Pasukan ini
berkekuatan satu seksi atau 40 orang terdiri dari 4 regu, masing-masing regu
dipimpin oleh seorang komandan regu. Komandan Regu I adalah Sersan Sumaryo
Komandan Regu II Sersan Sutoyo, Komandan Regu III Sersan Sugimin, Komandan
Regu IV Sersan Wasimin. Mayor Kusmanto sebagai Panglima Tertinggi pasukan itu
dan Kapten Kahartan sebagai Bupati Militer Kudus merangkap Komandan Seksi.
Anggota Pasukan Macan Putih ini adalah pejuang TNI pilihan, sudah berpengalaman
di berbagai medan pertempuran, seperti di Gunung Kapur yang tandus daerah Pati
Selatan maupun hutan belantara di Purwodadi, Blora dan Gunung Lawu
Karanganyar.
Sebagai Mobil Troep atau pasukan tempur, kesatuan Pasukan Macan Putih
mempunyai tugas yang berat. Mereka harus menghadapi pasukan Belanda yang
berjumlah banyak dan bersenjata lengkap. Hanya dengan semangat juang yang tinggi
serta jiwa pengorbanan yang tebal telah menumbuhkan patriot-patriot bangsa yang
siap mati untuk membela negara.
Sejak pembentukannya, Pasukan Macan Putih selalu berhasil dalam setiap
gerakan dan aksinya seperti:
a. Serangan umum terhadap pos-pos Belanda
Serangan ini paling sering dan hampir setiap saat dilakukan dengan tujuan:
(1) untuk mendapat senjata; (2) untuk membebaskan kawan seperjuangan yang
dipenjara; (3) menculik beberapa orang Belanda atau orang kepercayaannya untuk
dijadikan sandera.
Aksi penyergapan dan perlucutan senjata merupakan cara yang yang lebih
mudah dan resikonya lebih ringan dibandingkan pencegatan atau penyerbuan. Para
pejuang melakukan aksinya pada malam hari, pada saat musuh lengah. Serangan
kilat yang tiba-tiba akan membuat mereka panik dan tidak dapat berbuat banyak.
Pasukan Macan Putih menggunakan kesempatan yang baik ini untuk mendapatkan
senjata, dan membebaskan rakyat atau kawan seperjuangan yang berada dalam
penjara.
Pos-pos penjagaan Belanda yang sering menjadi sasaran adalah pos
penjagaan Dawe, Jember, dan Tanjungrejo. Di antara ketiga pos tersebut yang paling
sering diserang adalah pos penjagaan Dawe karena selain letaknya paling dekat
dengan markas, juga karena di pos ini paling banyak rakyat dan TNI yang dipenjara.
b. Mengadakan penculikan terhadap mata-mata Belanda
Dalam usaha menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia, Belanda
memiliki pasukan yang tangguh bersenjata lengkap, dan menyebarkan mata-mata di
seluruh wilayah pendudukan. Mata-mata tersebut bertugas untuk mendapatkan
keterangan mengenai kekuatan, kedudukan dan aktivitas TNI. Mata-mata Belanda ini
hampir seluruhnya adalah orang Indonesia yang mau menjadi anteknya. Para
pengkhianat bangsa ini lebih berbahaya daripada orang Belanda asli. Untuk lebih
mengoptimalkan kerjanya, Belanda mempersatukan mereka dalam sebuah organisasi
yang bernama Inlichting Veilling Gebied.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Pasukan Macan Putih
melakukan pembersihan. Beberapa orang TNI yang tindakannya mencurigakan
akhirnya ketahuan, seperti Sutedjo seorang anggota Komando Onder Distrik Militer
(KODM) Kecamatan Jekulo, yang kemudian melarikan diri dan bergabung dengan
pasukan Belanda Koninklij Indie Leger (KNIL).
Pasukan Macan Putih juga melakukan upaya agar rakyat bebas dari pengaruh
Belanda, dengan cara memberikan ceramah dan pengarahan-pengarahan tentang
bahaya mata-mata Belanda, selain itu juga menyebar anggota TNI yang bertugas
sebagai mata-mata untuk mengawasi orang-orang yang dicurigai berpihak kepada
Belanda. Usaha ini sangat berhasil, hampir setiap hari datang informasi dari rakyat
mengenai orang-orang yang bekerja sama dengan musuh, dan TNI segera melakukan
tindakan. Akhirnya TNI berhasil menciptakan suasana aman, sehingga rakyat
semakin percaya akan kemampuan dan kekuatan para pejuang.
c. Pencegatan terhadap pasukan Belanda
Pasukan Macan Putih yang hanya beranggota 40 orang dikenal tangguh,
berkat ketangkasan dan pengalamannya di berbagai medan pertempuran sehingga
selalu berhasil dalam setiap pencegatan atau penghadangan patroli Belanda. Pasukan
tempur Kudus tersebut dapat memporak-porandakan konvoi pasukan Belanda antara
lain di hutan Trowelo, Dukuh Waringin, Gunung Bedah, desa Klaling, dan
Tanjungrejo.
Keberhasilan pencegatan di Dukuh Waringin merupakan prestasi tersendiri
bagi Pasukan Macan Putih. Pada waktu itu pasukan Belanda yang berkekuatan satu
seksi sedang bergerak dari Dawe menuju Glagah. Baru sampai di desa Japan Lor,
mata-mata TNI telah melihatnya dan segera memberi tahu Mayor Kusmanto.
Setelah mendapat laporan Mayor Kusmanto langsung memberikan komando kepada
seluruh pasukan agar bergerak melingkar menuju sebuah bukit yang strategis di
pinggir timur sungai Dukuh Waringin. Begitu konvoi Belanda memasuki jalan yang
terletak di pinggir barat sungai tersebut, Pasukan Macan Putih segera
menggempurnya. Pasukan Belanda yang tidak mengetahui serta tidak menyangka
akan datangnya serangan, membalas dengan sekenanya. Dalam pertempuran tersebut
Belanda kehilangan 16 orang serdadu, dan 8 orang luka-luka, sedangkan yang masih
hidup melarikan diri. Di pihak Pasukan Macan Putih tidak ada satu pun yang terluka.
Sampai dengan saat pembubarannya tanggal 27 Desember 1949, Pasukan Macan
Putih tetap utuh beranggota 40 orang dengan personil yang sama seperti pada saat
pembentukannya.
7. Komando Staf Kota
Pada saat Belanda menduduki kota Kudus, seluruh TNI dan orang-orang yang
setia kepada Pemerintah Republik Indonesia bergerak ke Gunung Muria untuk
membentuk kantong pertahanan dan Pemerintah Militer Kudus, serta berjuang secara
fisik dalam arti mengangkat senjata melawan Belanda. Sementara di dalam kota
beberapa orang yang setia kepada Pemerintah RI dan tidak ikut bergerilya, segera
menyusun kekuatan untuk membentuk barisan perjuangan. Mula-mula mereka terdiri
dari para mantan pejabat sipil pemerintah, kemudian banyak rakyat biasa yang
bergabung, akhirnya semua lapisan masyarakat dari berbagai keturunan ikut berjuang
melawan pendudukan Belanda di dalam kota.
Selanjutnya Norhadi menemui Mayor Kusmanto untuk melaporkan
keberadaan para pejuang di kota beserta organisasi yang akan disusun. Sebagai
tanggapan, Bupati Militer Kudus lalu menamakan organisasi perjuangan tersebut
Komando Staf Kota yang secara resmi berdiri pada bulan Pebruari 1949. Sebagai
pemimpinnya semula ditunjuk Lettu Eling Harjono, namun karena kesibukannya
sebagai kurir luar kota, akhirnya Norhadi ditunjuk untuk menggantikannya.
Sebagai langkah awal dan konsolidasi organisasi, adalah melakukan
pembenahan dan menyusun struktur organisasi sebagai berikut:
Pemimpin Komando Staf Kota : Norhadi
Seksi Hubungan Masyarakat : Sunarto, Djamil, Soediro, Wiryorejo, Kusnadi.
Seksi Mata-Mata : Dahlan, Koesnin
Seksi Suplai Pangan : Zaelani Syakur, Saleh Sakur, Ang Sing Djiang,
Hadi Mulyono.
Seksi Kesehatan : dr. Ramelan, dr. Soeroto, Soepaat, Soepardjo
Seksi Kurir : Nasripah, Soeradi, Mariah, Badiah, Saleh Dja’far,
H. Mohamad, Karnen.
Selain pejuang-pejuang yang tersebut di atas masih banyak lagi pejuang-
pejuang lain dari berbagai macam profesi, misalnya Marsono seorang guru Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sri Hadi, Wirasmi dan Rahmah guru Sekolah
Rakyat (SR), Soeparno dan Abdul Rakhim pegawai DPU Kudus. Ada suatu
kebanggaan bersama dalam perjuangan ini karena aktifnya beberapa orang keturunan
Cina yang masuk dalam seksi suplai pangan.
Perjuangan Komando Staf Kota berbeda dengan Pasukan Macan Putih.
Komando staf kota mengutamakan menghimpun informasi tentang keadaan musuh,
melayani kebutuhan pasukan TNI dan merawat para pejuang yang terluka
Dalam aksinya, sehari-hari bekerja seperti biasa sesuai dengan profesi masing-
masing untuk menghindari kecurigaan pihak Belanda. Namun perjuangan tidak bisa
lepas dari pengorbanan. Kegiatan mereka diketahui oleh mata-mata Belanda
sehingga Norhadi, Suryadi, Zaeni Syakur, Sasmito, Karyono dan Koesnin ditangkap
oleh KNIL dengan tuduhan menjadi mata-mata TNI. Meskipun diinterogasi dan
disiksa, jiwa heroisme dan semangat patriotisme mereka tidak padam, dan tetap tidak
mau memberikan informasi apa pun, sampai akhirnya dimasukkan dalam penjara.
Sampai pada saat pembubarannya tanggal 27 Desember 1949, Komando Staf
Kota tetap berdiri kokoh, meskipun harus kehilangan beberapa anggotanya. Mereka
yang gugur antara lain Marboko, Partono dan Darmo. Organisasi perjuangan sipil ini
telah memberikan andil besar dalam rangka mengenyahkan penjajah dari bumi
Nusantara.
8. Komando Daerah Muria
Pendudukan Belanda atas Karesidenan Pati memunculkan strategi baru bagi
Komandan Sub Teritorial Militer atau STM Pati, Letkol dr. Gunawan untuk
melaksanakan Perintah Siasat No.1 Panglima Besar Jendral Sudirman yaitu tentang
pembentukan kantong gerilya di pegunungan atau tempat pengasingan Letkol dr.
Gunawan berada di tempat pengungsian di Desa Bageng, yang terletak di lereng
timur gunung Muria, termasuk ke dalam wilayah kecamatan Gembong kabupaten
Pati. Letaknya sangat strategis, tidak jauh dari jalan utama menuju pusat kota, tetapi
tersembunyi di balik hutan Gembong dan Trowelo sehingga Belanda sulit untuk
melacaknya. Penduduk desa ini adalah penyokong dan pejuang sejati yang selalu
membantu TNI.
Lerkol dr. Gunawan kemudian membentuk organisasi perjuangan yang
bernama Komando Daerah Muria atau Komando Muria Kompleks. Komando
perjuangan ini merupakan wadah organisasi TNI dan laskar-laskar perjuangan rakyat
yang berada di Jepara, Kudus, dan Pati bagian Utara. Organisasi ini merupakan
pecahan dari Sub Teritorial Militer atau STM Karesidenan Pati. Organisasi inilah
yang telah memberikan andil besar dalam rangka perjuangan menentang pendudukan
Belanda di daerah Kudus pada masa Agresi Militer II Belanda.
Adapun susunan organisasi Komando Daerah Muria ketika dibentuk adalah
sebagai berikut Letkol dr Gunawan sebagai Komandan, Kapten Ali Machmudi
sebagai Kepala Staf merangkap Bupati Militer Pati, Mayor Kusmanto sebagai Bupati
Militer Kudus dan Kapten Iskak sebagai Bupati Militer Jepara.
Pada tanggal 26 Desember 1948 Komando Daerah Muria mengadakan rapat
pertama kali yang dihadiri oleh perwakilan dari 3 golongan yaitu, Mochtar HS
(golongan sipil), Kapten Ali Machmudi (golongan militer), dan Kyai Isran (golongan
rakyat). Rapat tersebut menghasilkan keputusan:
a. Semua gerilyawan baik TNI, Sipil maupun rakyat tidak boleh berkumpul dalam
satu desa, tetapi harus berpencar di beberapa desa.
b. Suplai pangan bagi para pejuang dibebankan kepada masyarakat semampunya.
c. Berhubung belum mendapat bantuan persenjataan dari pemerintah, maka dalam
perjuangan menggunakan senjata seadanya yang telah dimiliki.
Kedudukan TNI di desa Bageng akhirnya diketahui oleh Belanda yang
kemudian mengadakan operasi terus menerus. Setiap ada patroli atau operasi, para
pejuang telah keluar dari perkampungan menuju ke tempat-tempat yang strategis
untuk melakukan pencegatan apabila pasukan Belanda yang berpatroli kembali,
selanjutnya TNI dengan mudah dapat menggempurnya. Namun ketika pada bulan
Mei 1949 Belanda melakukan operasi besar-besaran, Letkol dr. Gunawan tertangkap
di desa Bremi. Selanjutnya Letkol dr Gunawan menerima bujukan Belanda agar mau
bekerja sama, dan menyerukan kepada seluruh gerilyawan agar mengikuti jejaknya.
Tetapi para pejuang tetap tegar, tidak menanggapi seruan itu, bahkan memperkuat
pasukan dengan menambah personil dari pemuda-pemuda pedesaan.
Kepemimpinan Komando Daerah Muria kemudian diambil alih oleh Kapten
Ali Machmudi. Pada masa kepemimpinannya koordinasi antargerilyawan di Gunung
Muria semakin baik. Untuk memperlancar komunikasi menggunakan jasa kurir.
Dalam melaksanakan tugasnya, para kurir menyamar sebagai pedagang, petani atau
profesi lain sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.
Pasukan Belanda terus melakukan operasi, TNI selalu dapat menghindar dari
penyergapan, namun pada tanggal 23 Juni 1949 seorang pejuang besar yaitu Haji
Zaeni tertangkap oleh Belanda. Beliau gugur sebagai kusuma bangsa setelah
ditembak oleh pasukan Belanda karena tidak mau menunjukkan tempat kedudukan
TNI. Kegagalan demi kegagalan dalam setiap operasi membuat pasukan Belanda
marah, lalu melampiaskannya dengan menembaki penduduk, merusak dan
membakar rumah penduduk, serta mengeluarkan ultimatum. Komando Daerah Muria
berhasil menggunakan strategi perang gerilya semesta, sehingga meskipun TNI
selalu mendapat tekanan dan sulit melakukan komunikasi antar gerilyawan, namun
perlawanan tidak pernah berhenti.
Melihat kenyataan seperti itu, Komandan STM Pati Selatan mengirimkan
bantuan pasukan berkekuatan satu seksi yang dipimpin oleh Iskandar Jayusman.
Seluruh pasukan itu berasal dari kesatuan Brigade Ronggolawe. Kedatangan pasukan
tersebut disambut gembira oleh Kapten Ali Machmudi, para gerilyawan dan seluruh
masyarakat Gembong. Mereka kemudian mengadakan koordinasi untuk menentukan
strategi.
Pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1949 pukul 05.00, Asisten Wedana Gembong,
Mochtar HS mendapat laporan bahwa pasukan Belanda bergerak menuju Gembong.
Kemudian Mochtar HS melapor kepada Kapten Ali Machmudi dan menyarankan
kepadanya agar hari itu menyingkir ke hutan Muria, tidak usah ikut menghadang
musuh, tetapi saran itu tidak diterima. Sementara itu Letda Iskandar Jayusman
beserta pasukannya segera menuju ke hutan Trowelo untuk melakukan pencegatan.
Di hutan Trowelo mereka bertemu dengan Pasukan Macan Putih dipimpin oleh
Mayor Kusmanto yang bertujuan sama. Mereka kemudian berkoordinasi dan
membagi tugas. Pada saat iring-iringan pasukan Belanda memasuki jaringan
pertempuran dan telah terkepung, TNI dengan gencar menggempurnya. Pertempuran
ini berlangsung seru, posisi TNI sangat menguntungkan karena berada di atas bukit
yang berhutan lebat, sehingga pasukan Belanda sulit melakukan serangan balasan.
Dua truk Belanda hancur, 30 serdadu Belanda tewas dan 19 lainnya terluka,
sedangkan sebuah jip dan scout car dapat meloloskan diri.
Pasukan yang lolos ini setelah sampai di dukuh Bregat dihadang oleh pasukan
Co. I yang dipimpin oleh Kapten Ali Machmudi yang kemudian dibantu oleh
pasukan Letda Iskandar Jayusman. Jip berhasil ditembak dan menewaskan serta
melukai beberapa orang yang berada di dalamnya, sedangkan scout car masih dalam
posisi siap tembak. Ketika tembak menembak berhenti, Kapten Ali Machmudi
bermaksud berjibaku dengan menarik bambu disertai pelemparan granat untuk
mengusir scout car. Ternyata granat tidak meledak dan pada saat yang bersamaan
pasukan Belanda memuntahkan serentetan tembakan yang tepat mengenai tubuhnya.
Beberapa saat kemudian Kapten Ali Machmudi menghembuskan nafas terakhir,
gugur sebagai kusuma bangsa.
Perjuangan memerlukan pengorbanan, gugurnya para pahlawan tidak
melunturkan keberanian dalam menjalankan tugas. Demikian pula halnya dengan
gugurnya Kapten Ali Machmudi, makin mengobarkan semangat heroisme dan
patriotisme para pejuang untuk tetap melanjutkan perjuangan merebut kembali
kemerdekaan yang pernah teraih.
Serangan yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 20 Juli 1949 tersebut
merupakan serangan besar-besaran yang disebabkan oleh: (a) kegagalan pasukan
Belanda menemukan TNI dalam setiap operasi yang dilakukan; (b) ketegaran hati
TNI dan rakyat yang tidak mau menyerah sesuai ultimatum mereka; (c) Belanda
mengetahui datangnya bala bantuan dari STM Pati Selatan; (d) Belanda ingin
melakukan pengejaran terhadap Pasukan Macan Putih yang telah melakukan
penyerangan terhadap pasukan Belanda dan segala fasilitasnya di pusat kota.
Pada tanggal 23 Juli 1949, Mayor Kusmanto secara resmi menjadi Komandan
Komando Daerah Muria menggantikan Kapten Ali Mahmudi. Kemudian Mayor
Kusmanto memindahkan markas besar Komando Daerah Muria ke desa Glagah
untuk memudahkan komunikasi, administrasi, koordinasi serta pengorganisasian
dalam segala gerakan atau tindakan.
Selanjutnya markas di desa Glagah dijadikan sebagai markas besar
perjuangan di Gunung Muria. Dipilihnya desa Glagah sebagai markas besar adalah
karena daerahnya sangat subur, sehingga bahan pangan cukup melimpah, berada di
sebuah bukit yang terlindung oleh dua sungai, hutannya masih tebal, selain itu
penduduknya setia kepada pemerintah Republik Indonesia.
Pada saat bermarkas di desa Glagah, Mayor Kusmanto melakukan koordinasi
dan konsolidasi pasukan serta menerapkan konsep perjuangan aktif agresif. Bupati
Militer Jepara Letda Paulus diperintahkan untuk terus menerus melakukan
penekanan yang berupa pencegatan patroli, penyerangan terhadap pos-pos penjagaan
dan instalasi militer serta sarana-sarana milik Belanda. Selain itu juga menghidupkan
kembali kantong gerilya di desa Sirahan yang berada di lereng utara Gunung Muria.
Komandan Daerah Operasi Pati Utara, Letda Iskandar Jayusman diberi tugas
untuk memperkuat pertahanan TNI di Kecamatan Tlogowungu, terutama di
perkebunan kopi Jolong, Dalam melaksanakan tugas tersebut Letda Iskandar
Jayusman bekerja sama dengan Pasukan Macan Putih Kudus. Hasilnya, pasukan
Belanda tidak berani lagi mengganggu perkebunan kopi di Jolong.
Kapten Kahartan selaku Bupati Milter Kudus mendapat tugas untuk
menyempurnakan Pasukan Macan Putih dan Komando Staf Kota baik dalam
aktivitas, senjata maupun strategi perang. Aktivitas berarti mempersering melakukan
serangan, senjata berarti menambah persenjataan dengan cara sering melakukan
penyergapan dan perlucutan senjata di pos-pos penjagaan. Senjata hasil rampasan
tersebut dipergunakan untuk memperkuat TNI dalam menjalankan perang gerilya.
Sedangkan strategi perang berarti TNI menggunakan strategi perang gerilya dengan
taktik serang menghilang, yaitu serangan cepat, mendadak, dalam waktu singkat,
setelah berhasil segera bergerak ke tempat aman. Dengan strategi ini TNI semakin
kuat, baik dari segi persenjataan maupun moril pasukan. Di pihak Belanda turun
mentalnya dan merasa terancam. Dengan strategi perang tersebut, ternyata TNI
berhasil memenangkan pertempuran di seluruh wilayah Gunung Muria.
Strategi perang gerilya semesta yang telah dicanangkan oleh Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution terbukti berhasil. Strategi
perjuangan tersebut melibatkan seluruh warga negara dari semua lapisan. Baik rakyat
maupun aparat pemerintahan saling bahu membahu dalam perjuangan. Mereka sadar
bahwa tanpa persatuan dan perjuangan, maka kemerdekaan tidak mungkin dapat
dipertahankan. Para gerilyawan TNI kebanyakan bukan asli daerah, namun perasaan
senasib, seperjuangan, sebangsa dan setanah air telah menumbuhkan persatuan dan
semangat nasionalisme di antara mereka.
Masa perjuangan Komando Daerah Muria benar-benar penuh pengorbanan
Hambatan, rintangan dan tantangan baik fisik maupun nonfisik setiap saat
menghadang. Segala daya upaya, jiwa dan raga dipertaruhkan demi organisasi dan
tetap tegaknya negara Republik Indonesia. Organisasi perjuangan Komando Daerah
Muria telah berhasil mengemban tugas sucinya yaitu menyatukan gerak langkah
seluruh gerilyawan TNI dan rakyat di kawasan Gunung Muria dalam melawan
pendudukan Belanda. Koordinasi yang baik, dilandasi rasa persatuan dan sikap
nasionalisme yang tinggi, serta jiwa patriotisme dan semangat kepahlawanan telah
mendukung dalam setiap perjuangan merebut kembali kemerdekaan.
9. Pembubaran Komando Daerah Muria
Belanda telah salah perhitungan, agresi militernya yang kedua tidak dapat
melumpuhkan TNI maupun menghapus Republik Indonesia dari peta dunia, tetapi
justru menambah semangat juang bangsa Indonesia. TNI telah mempersiapkan
segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk Agresi Militer II berdasar
pengalaman pada agresi yang pertama termasuk langkah antisipasinya.
Berlakunya pemerintahan militer untuk seluruh Jawa, keberhasilan sistem
perang gerilya semesta, sikap nonkooperatif rakyat kepada Belanda,telah menjadi
bukti kegagalan pemerintahannya di Indonesia.
Melihat kenyataan demikian, pada tanggal 6 Agustus 1949, Residen Militer
Belanda di Pati mengirimkan surat kepada Mayor Kusmanto selaku pemimpin TNI
di Gunung Muria yang berisi ajakan mengadakan perundingan perdamaian. Namun
Mayor Kusmanto tetap waspada, dia menyusun strategi berdasar kenyataan bahwa
tidak satu pun orang Belanda atau anteknya yang mengetahui pasti tentang dirinya
karena belum ada yang pernah melihat wajahnya
Mayor Kusmanto menunjuk Dwi Totok, salah seorang anggota pasukannya untuk
menjadi ketua delegasi, dengan pertimbangan apabila Belanda mengkhianati
perundingan, maka yang ditangkap ketua delegasi yang disangka Mayor Kusmanto.
Perundingan dilaksanakan tanggal 8 Agustus 1949 dengan hasil: (a) Belanda harus
mengakui daerah Republik di Muria Kompleks dengan garis status sebelah timur
desa Serut, sampai ke barat daerah Kudus utara, dan Jepara bagian Tenggara; (b)
Apabila Belanda memasuki daerah Republik harus ijin kepada TNI; (c) kedua belah
pihak tidak akan mengadakan tembak menembak; (d) semua rakyat yang ditawan
Belanda harus dibebaskan.
Kedua belah pihak menyetujui hasil perundingan itu, tetapi ternyata Belanda
sering melakukan pelanggaran seperti tetap mamasuki wilayah Republik tanpa ijin,
menggeledah rumah, menangkap dan memenjarakan penduduk. Mayor Kusmanto
memerintahkan menangkap serdadu Belanda yang berpatroli di wilayah Republik.
Sehingga perundingan kedua diadakan dengan hasil: (a) kedua belah pihak harus
membebaskan tawanannya; (b) Peraturan tukar menukar tawanan 1 : 10, dalam arti 1
orang Belanda harus diganti dengan 10 rakyat.
Setelah itu keadaan relatif tenang, TNI dan rakyat dapat menikmati suasana
damai sambil terus memantau perkembangan nasional dengan mendengarkan berita-
berita radio. Pada tanggal 3 Nopember 1949 radio menyiarkan tentang hasil
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, salah satunya adalah Belanda akan mengakui
kedaulatan Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1949.
Setelah mengetahui hal itu Mayor Kusmanto memanggil seluruh pejabat
tinggi di lingkungan Komando Daerah Muria untuk membahas rencana kegiatan TNI
berkaitan dengan pengakuan kedaulatan. Rapat menghasilkan kesepakatan:
a. Upacara pengakuan kedaulatan dari pihak Republik diwakili oleh Bupati Militer
dari masing-masing kota.
b. Pada waktu upacara tersebut, Mayor Kusmanto akan membubarkan secara resmi
Komando Daerah Muria.
c. Selama masa damai bulan Nopember dan Desember TNI tidak boleh lengah, tetap
waspada untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada tanggal 26 Desember 1949, Mayor Kusmanto mendapat surat dari
Komandan Militer Kudus Overste Van Ohl, yang berisi bahwa pengakuan kedaulatan
RI secara resmi pada tanggal 27 Desember 1947, untuk kota Kudus upacara
dilaksanakan di Markas Besar tentara Belanda di sebelah timur alun-alun.
Keesokan harinya Mayor Kusmanto diiringi seluruh TNI bergerak dengan
mengambil rute Gembong, hutan Trowelo, Kaliampo, Margoyoso, Bareng, Jekulo,
Rendeng, menuju ke Markas Tentara Belanda tempat upacara diadakan. Setelah
menerima ucapan pengakuan atas keberadaan Republik Indonesia, Mayor Kusmanto
menyampaikan amanat, antara lain pembubaran secara resmi Komando Daerah
Muria, termasuk di dalamnya adalah Pasukan Macan Putih, dan Komando Staf Kota.
Setelah upacara selesai seluruh pejuang TNI bergerak menuju pendopo
kabupaten untuk bertemu dengan teman-teman seperjuangan dan mantan pejabat
sipil. Keesokan harinya di tempat yang sama, Bupati Militer Kudus Kapten Kahartan
mengembalikan kekuasaan kepada Bupati Sipil R. Ahmad Djojosoedarmo.
Keterangan:
Contoh materi (bahan ajar) ini disusun/dikembangkan dari beberapa sumber yaitu:
1. Hasil wawancara dengan seorang pelaku sejarah yaitu Bapak H. Abdul Majid
(Kusnadi).
2. Aida Mustofa. 1995. Perjuangan Komando Daerah Muria Melawan Agresi Militer
Belanda II Di Daerah Kudus. Skripsi. Semarang: IKIP Semarang.
3. Iskandar Jayusman. 1984. Catatan-catatan yang Berserakan (Peristiwa-peristiwa
Nyata Selama Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Periode 1945-1950).
Semarang: Aneka Ilmu.
4. Karsan Ali Muhson. 2003. “Sejarah Singkat Perjuangan Gerilya di Daerah Muria”.
Kudus: Tidak Diterbitkan.