Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Dekan koordinator riset grup “Pelayanan Publik Berbasis Human Governance” FISIP UNS, anggota peer group Pusat PenelitianKependudukan dan Gender LPPM UNS
PERKAWINAN USIA ANAK
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni
OUTLINE PERKAWINAN USIA ANAK01
PENYEBAB PERKAWINAN USIA ANAK
02
DAMPAK DAN RESIKO03PERAN KELUARGA, MASYARAKAT & NEGARA04
INOVASI MENCEGAH PERNIKAHAN USIA ANAK05
PERKAWINAN USIA ANAK
Konsep, regulasi dan fakta
PERKAWINAN USIA ANAK
Pernikahan usia anak adalah pernikahan yang terjadi sebelum anak berusia 18 tahun serta belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan psikologis untuk mempertanggungjawabkan pernikahan dan anak hasil pernikahan tersebut, serta sah menurut agama dan negara (Erulkar, 2013; Bomantama, 2018; Fadlyana & Larasaty, 2009).
PENGERTIAN
q Peringkat Indonesia di dunia terkait pernikahan usia anak menurut UNICEF (2018) berada di peringkat 7, sedangkan untuk wilayah ASEAN berada pada peringkat ke-2, dengan angka pernikahan usia anak 27,6 persen atau sekitaR 23 juta anak yang menikah di Indonesia tahun 2018 (KPPPA, 2018).
STUDI STATISTIK UNICEF:üdi Asia Selatan, di mana lebih dari 48 per persen
anak berusia 15-24 tahun menikah sebelummereka mencapai usia 18 tahun.
üDi Afrika 42 persen (meskipun ini meningkatmenjadi lebih dari 60 persen di beberapa bagianAfrika Timur dan Barat), dan
üdi Amerika Latin dan Karibia angkanya 29 persen. üDi Timur Tengah, pernikahan anak adalah hal biasaüdi Yaman dan Palestina, üdan di sini sekitar setengah dari anak di bawah 18
tahun sudah menikah. üStatistik tentang prevalensi perkawinan anak
mengungkapkan sektor atau wilayah negara -seperti kelompok etnis, agama atau sosial-ekonomi- di mana sebagian besar remaja perempuanmenikah sebelum ulang tahun kelima belasmereka. (Rumble., et al., 2018)
JUMLAH KEJADIAN
q UU Nomor 7 Tahun 1974 PS. 1Perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun,
q Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan wanita mencapai umur 19 (sembilan belas)
q Pernikahan usia anak dapat dilaksanakan apabilamendapatkan persetujuan dispensasi dariPengadilan.
REGULASI
01
02
03
0504
FAKTOR PENYEBAB
KRITIK SOSIAL Anggapan bahwa anak di atas 15 tahun 18 tahun yang belum menikah dianggap aib bagi keluarganya, sehingga keluarga akan segera mencarikan jodoh untuk anak perempuannya
BUDAYA/ TRADISI/ KEPERCAYAAN Perempuan masih dianggap sebagai entitas yang harusdiawasi, dilindungi, dan diarahkan, sehingga pernikahan usiaanak dianggap sebagai wadah yang sah bagi sebagianmasyarakat untuk dilaksanakan dengan dasar melindungiharkat dan martabat anak perempuan
TINGKAT PENDIDIKANv Tingkat pernikahan pada anak perempuan lebih rendah pada anak
perempuan yang mampu menyelesaikan pendidikan menengah atas atau lebih tinggi.
v Menyelesaikan sekolah hingga wajar 12 tahun, bahkan dilanjutkan ke perguruan tinggi, dapat melindungi anak perempuan dari pernikahan usia anak
KEMISKINANv Utang keluarga maupun kemiskinan secara
langsung dibebankan orang tua pada anak perempuan yang dianggap sebagai aset untuk segera dinikahkan agar beban keluarga berkurang .
PERJANJIAN ANTARA ORANGTUA KETIKA ANAK MASIH DALAM KANDUNGAN, KEMAUAN SENDIRI, KEHAMILAN TAK DIKEHNDAKI
FAKTOR PENYEBAB
Di masyarakat di mana pernikahan anak lazimterjadi, ada tekanan sosial yang kuat pada keluarga
untuk menyesuaikan diri. Kegagalan untukmenyesuaikan diri seringkali dapat menyebabkanejekan, ketidaksetujuan atau rasa malu keluarga.
Tradisi dan budaya
Perkawinan atau pertunangan anak-anak di beberapa bagian Afrika dan Asia dinilai
sebagai cara untuk mengkonsolidasikanhubungan yang kuat antara keluarga, untuk
menyegel kesepakatan atas tanah atauproperti lainnya, atau bahkan untuk
menyelesaikan perselisihan. Pernikahan juga bisa menjadi cara untuk mempertahankan
hubungan etnis atau komunitas.
IKATAN KELUARGA
Perkawinan anak dinilai sebagai strategikoping ekonomi yang mengurangi biayamembesarkan anak perempuan. Dalampengertian ini, kemiskinan menjadi alasanutama pernikahan anak karena dirasakanmanfaatnya bagi keluarga dan anakperempuannya
Strategi kemiskinan dan kelangsunganhidup ekonomi
ada tekanan besar pada orang tua untukmenikahkan anak perempuan lebih awal untukmenjaga kehormatan keluarga danmeminimalkan risiko aktivitas atau perilakuseksual yang tidak pantas
Kontrol atas seksualitas danmelindungi kehormatan keluargaBudaya patriarkal memaksa anak perempuan
dan perempuan menerima peran domestikmereka dan memiliki peran terbatas dalam
masyarakat yang lebih luas sehinggamenghasilkan ketergantungan total
perempuan pada laki-laki.
KETIDAKSETARAAN JENIS KELAMIN
01
02
03
0504
KetidakamananSituasi ketidakamanan dan kemiskinan akut, khususnya selama bencana seperti perang, kelaparan atau epidemi HIV dan AIDS, mendorong orang tua atau walimenggunakan pernikahan anak sebagaimekanisme perlindungan atau strategibertahan hidup.
DAMPAK DAN RESIKO
RESIKO KESEHATANPengantin muda memiliki keterbatasan akses penggunaan kontrasepsi sertalayanan informasi kesehatan reproduksi.
Mayoritas terpapar hubungan seksual pada usia awal dan sering serta mengalamikehamilan berulang dan melahirkan sebelum mereka matang secara fisik danpsikologis
Kematian terkait kehamilan merupakan penyebab utama kematian pada anakperempuan berusia 15-19 tahun, dan mereka yang berusia di bawah 15 tahun lima kali lebih mungkin meninggal daripada mereka yang berusia di atas 20 tahun.
Kematian bayi dua kali lebih tinggi pada bayi dari ibu yang sangat muda.
Wanita muda hamil dari komunitas yang lebih miskin delapan kali lebih kecilkemungkinannya untuk melahirkan dengan bantuan dukun terlatih
…. RESIKO KESEHATAN
Pengantin anak juga paling tidak mungkinmenggunakan layananreproduksi karenakekuasaanpengambilan keputusanyang terbatas danketergantunganekonomi mereka.
TIDAK MENGGUNAKAN LAYANAN REPRODUKSI
Tidak dapatmenegosiasikanpenggunaannyakarena takut akankekerasan daripasangan mereka, yang seringcenderung lebih tua.Peningkatankerentanan terhadapHIV/ AIDS
NEGOSIASI RENDAH
Wanita yang lebih muda, khususnya mereka yang
berusia 15-19 tahun, dengan tingkat
pendidikan yang lebihrendah memiliki risikokekerasan fisik atau
seksual yang lebih tinggiyang dilakukan oleh
seorang mitra di semuanegara studi kecualiJepang dan Ethiopia.
RESIKO KEKERASAN SEKSUAL
banyak yang merasaditekan olehkeluarga untukmembuktikankesuburan merekasangat awal dalampernikahan
TIDAK MENGGUNAKAN KONTRASEPSI
Biaya Peluang Pendidikan dan Pengembangan
KehilangankesempatanPendidikan
danpembanguna
n sosial
Anak-anak dariibu muda yang
tidakberpendidikan
juga kecilkemungkinannyauntuk mencapai
tingkat pendidikanyang tinggi,
mengabadikansiklus rendahnya
tingkat melekhuruf dan peluangmata pencaharian
yang terbatas
Pendidikandan pekerjaandi luar rumah
dapatdianggap tidakrelevan atau
tidakdiinginkan
melakukantugas
domestik ataukhusus untuk
menikah
Perkawinananak
membuatmasyarakat
tidak memilikikontribusi
intelektual danfinansial /
matapencaharian
anakperempuan,
dan keturunanmereka.
MELANGGENGKAN KEMISKINAN
q Cenderung memiliki lebih banyak anak dan lebih sedikit pilihanpenghasilan mandiri
q tingkat perceraian yang lebih tinggi. q Cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tanggaq tidak memiliki kapasitas mengambil tindakan terhadap pelecehan
ini.q Melanggengkan feminisasi kemiskinan karena kebiasaan melarang
janda untuk menikah kembaliq Meskipun anak laki-laki yang dipaksa menikah dini mungkin juga
menderita secara finansial, namun mereka dapat meninggalkanistri mereka di rumah orang tua mereka dan mencari peluang kerjadi tempat lain. Opsi ini tidak tersedia untuk sebagian besar istrimuda.
PERAN KELUARGA, MASYARAKAT & NEGARA
Negara telah mengatur mengenai pernikahanusia anak, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.Namun di dalam masyarakat Indonesia, orang tua yang seharusnya mencegah pernikahan usiaanak malah mendorong anak untuk menikahlebih cepat.
Keluarga, masyarakat, dan negara harus hadir untuk menyelesaikan pernikahan usia anak
Inovasi Mencegah Pernikahan Usia Anak
Inovasi Mencegah Pernikahan Usia AnakMendidik dan memobilisasi orang tua dan anggota masyarakat
Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak perempuan
Menawarkan dukungan ekonomi dan insentif untuk anak perempuan dan keluarganya
Mengembangkan kerangka kerja hukum dan kebijakan
Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan pendukung
Malhotra et al (2011)
qMemberdayakan anak perempuan dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan pendukung
Pelatihan kecakapan hidup
Pelatihan keterampilan kejuruan dan mata pencaharian
Kampanye informasi, pendidikan, komunikasi (KIE)
Pelatihan kesehatan seksual dan reproduksi
Mentoring kelompok sebaya untuk dukungan berkelanjutan kepada anak perempuan
Ruang aman” untuk anak perempuan bertemu, berkumpul, terhubung, dan bersosialisasi di luar rumah.
Mendidik dan memobilisasi orang tua dan anggota masyarakat
Pengumuman publik dan janji oleh para pemimpin, kepala keluarga, dan anggota masyarakat yang berpengaruh
Sesi pendidikan kelompok dan masyarakat tentang konsekuensi dan alternatif untuk pernikahan anak.
Kampanye informasi, pendidikan, komunikasi (KIE)
— menggunakan berbagai platform — untuk
menyampaikan pesan tentang pernikahan anak, sekolah, hak, kesehatan
reproduksi, dan topik lainnya.
Komite dan forum orang tua dan dewasa sebagai panduan untuk kecakapan hidup dan kurikulum kesehatan seksual dan reproduksi.
Pertemuan tatap muka dengan orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mendapatkan dukungan
Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak perempuan
0102
03 04
Meningkatkan kurikulum sekolah dan melatih para guru untuk menyampaikan konten tentang topik-topik seperti keterampilan hidup, kesehatan seksual dan reproduksi, HIV / AIDS, dan sensitivitas gender
Uang tunai, beasiswa, subsidi biaya, seragam, dan persediaan sebagai insentif bagi anak perempuan untuk mendaftar dan tetap bersekolah
Mempersiapkan, melatih, dan mendukung
anak perempuan untuk pendaftaran atau
pendaftaran ulang di sekolah.
Membangun sekolah, meningkatkan fasilitas (terutama untuk anak
perempuan), dan merekrut guru
perempuan
Menawarkan dukungan ekonomi dan insentif untuk anak perempuan dan
keluarganya
Pembentukan atau reformasi usia minimum perkawinan yang sah
Advokasi di antara anggota masyarakat dan pejabat pemerintah untuk kebijakan baru dan penegakan hukum atau kebijakan yang ada
Meningkatkan kesadaran di antara kelompok-kelompok tentang konsekuensi negatif dari pernikahan usia anak.
Keuangan mikro dan pelatihan terkait untuk mendukung peningkatan pendapatan oleh gadis remaja
Insentif tunai dan non tunai, subsidi, pinjaman, dan beasiswa untuk keluarga atau anak perempuan
.
Mengembangkan kerangka kerja hukum dan kebijakan
Curriculum VitaeNama : Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si
NIP : 19610825 198601 2 001
Pangkat/Gol : Pembina Utama Madya/IV/EJabatan : Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS, Dekan FISIP UNS 2015-2019; 2019-2023,
Koordinator Riset grup “Pelayanan Publik Berbasis Human Governance”Pegiat gender pada Pusat Studi Kependudukan dan Gender, LPPM UNS
Jabatan lain q Anggota Tim Pakar Gender pada Pokja Gender-Kemdikbud RI (2005 sp sekarang)q Short Term Consultan pada World Bank dalam “Workshop Gender Budgeting” di di provinsi
Sulawesi+Papua+Jawa Timur (2012-2013)q Senior Consultant pada World Bank dalam Gender Stoctaking sebagai masukan penyusunan Draft
RPJMN 2015-2019 (2013)q Koordinator Konsultan Individu AIPD pada Prov. Jatim, NTB, Papua ((2014)q Gender Expert (sd. Sekarang)
Pendidikan : S3 Administrasi Negara Fisipol -UGM
Alamat : Ismi Dwi Astuti NurhaeniFaculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, INDONESIAGoogle Scholar Profile: https://scholar.google.co.id/citations?user=fU1I49cAAAAJScopus ID: 57190937123Sinta ID: 5981442email: [email protected]: isminurhaeniHP: 081 2262 3959 20
DAFTAR PUSTAKAAbdullah, I. (2016). Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka PelajarArianto, H. (2019). Peran Orang Tua Dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini. Lex Jurnalica, 16(1), 38-43BPS. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 -Laporan Pendahuluan. Jakarta: BPSBomantama, R. (2018). Tribun. Angka Pernikahan Usia Anak Indonesia Tertinggi Ketujuh di Dunia dan Dua se-ASEAN. Retrieved from
https://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/14/angka-pernikahan-usia-anak-indonesia-tertinggi-ketujuh-di-dunia-dan-nomor-dua-se-asean
Chae, S., & Ngo, T.D. (2017). The Global State of Evidance on Interventions To Prevent Child Marriage. New York: Population CouncilErulkar, A. (2013). Adolescence Lost: The Realities of Child Marriage. Journal of Adolescent Health, 52(5), 513-514Fadlyana, E., Larasaty, S. (2009). Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Jurnal Sari Pediatri, 11(2), 56-70Jensen, R., & Thornton, R. (2003). Early Female Marriage in the Developing World. Gender and Development, 11(2), 9-19Judiasih, S.D., Safira, L., Rubiati, B., Yuanitasari. (2018). Aspek Hukum Wajib Belajar Sebagai Upaya Penghapusan Praktik Perkawinan
Bawah Umur di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum, 3(2), 159-175KPPPA. (2018). Profil Anak Indonesia Tahun 2018. Jakarta: KPPPAMalhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., & Rife, S.L. (2011). Solution to End Child Marriage. New York: International Center for
Research on WomenMunawara, Yasak, E.M., & Dewi, S.I. (2015). Budaya Pernikahan Dini Terhadap Kesetaraan Gender Masyarakat Madura. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 4(3), 426-431Rafiah. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Dini di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Jurnal Berita Kedokteraan
Masyarakat, 25(2), 35-45Rumble,L., et al., 2018. Ending child marriage: A guide for global policy action. Londpn: IPPF. Warria, A. (2017). Forced Child Marriages as a Form of Child Trafficking. Journal of Children and Youth, 79(1), 274-279
Thank [email protected]
081 2262 3959IG: isminurhaeni