Upload
hadan
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Ada hal menarik ketika mengawali perkembang an airliner dunia. Tercatat, bahwa sekalipun kedua
bersaudara Wright telah memerkenalkan pada
dunia, Flyer, pesawat terbang pertama bertenaga
mesin, pada 1903 di Kitty Hawk, North Carolina, Amerika Serikat, namun awal operasi perjalanan
cepat lewat udara di dunia justru lahir di Eropa dan
menggunakan “airship” atau “dirigible”. Kapal udara dengan konstruksi “lighter-than-air” berbasis
prinsip balon udara yang sama sekali bukanlah
pesawat terbang seperti pada konsep dari kedua bersaudara itu.
Tampaknya, faktor-faktor seperti enjin yang
bukan tuntutan utama, mudah dikendalikan dan
kemampuan angkut yang lebih baik ketimbang pesawat terbang nondirigible masa itu, membuat
airship unggul, untuk sementara.
Sejarah penerbangan kemudian menunjukkan bahwa konsep “heavier-than-air” Wright mampu
bertahan dan malah mendominasi sepenuhnya
teknologi aeronautika hingga hari ini. Istilah pesawat terbang (aircraft) tanpa embel-embel,
identik konsep ini, adalah sebuah bukti.
Malahan perkembangan mengagumkan
propulsi (lihat tulisan Suharto Propulsi hlm 19)—diawali justru oleh internal combustion engine 4
silinder inline buatan Charlie Taylor khusus untuk
Flyer itu—berperan penting bagi kemajuan dunia penerbangan termasuk industri airliner yang tidak
lepas dari industri airline itu sendiri.
Benoist XIV atau LZ.7 Deutschlandd: Airliner
Pertama Dunia?
Adalah airship Zeppelin LZ.7 Deutschland,
yang dioperasikan oleh perusahaan DELAG mengangkut 23 penumpang (sebagian besar jurnalis
untuk peliputan) mengudara dari Duselldorf,
Jerman, pada 28 Juni 1910, tercacat sebagai operasi transpor udara yang pertama di dunia. Tidak heran,
DELAG pun dalam sejarah penerbangan sipil
dinobatkan sebagai airline pertama dunia.
DELAG (Deutsche Luftschiffahrts AG/Aktiengesellschaft; German Airship Transportation
Company, Ltd) didirikan pada 1909 oleh Alfred
Colsmann pimpinan eksekutif dari Zeppelin Company yang merupakan perusahaan pembuat
airship rancangan Count Ferdinand von Zeppelin.
Jadinya, DELAG adalah bagian dari Zeppelin Company.
Tercatat enam Zeppelin seri LZ lainnya di
bawah DELAG selama 4 tahun hingga pecah
Perang Dunia Pertama (PD I), membukukan sekitar
170.000 mil total penerbangan dengan kurang lebih 35.000 penumpang yang diangkut tanpa satu pun
cedera. Sebuah pencapaian luar biasa untuk saat itu.
Mengingat sebagian besar airship itu berujung jatuh, hancur atau meledak seperti Hindenburg (1937)—
menandai akhir era transportasi airship tersebut.
Namun, seolah benih kompetisi Eropa-AS
mulai tertebar, ketika di Amerika, tempat kelahiran pesawat terbang, mencatat rekor lain lagi.
Pada 1 Januari 1914 sebuah pesawat terbang
nondirigible “Benoist XIV Flying-Boat” terbang selama 23 menit, 5 kaki di atas air dari St
Petersburg ke Tampa, berjarak 22 mil, keduanya di
Florida. Mengangkut Mayor purnawiran Abe Pheil yang membayar $ 400 untuk terbang perdana itu.
Berjadwal 2 kali sehari atau 4 penerbangan
pulang pergi sehari (bertarif $ 5 atau lebih bila
beratnya di atas 200 lb), meski kemudian berakhir beberapa bulan berikutnya karena tidak ekonomis,
rute udara St Petersburg-Tampa (SPT) tersebut
adalah sebuah tonggak sejarah penerbangan sipil. Awal dimulainya era bisnis transpor udara sipil,
pelayanan airline terjadwal pertama di dunia—
menggunakan “fixed-wing aircraft”. Operatornya SPT Airboat Line pun dijuluki airline pertama di
dunia yang terjadwal dengan pesawat sayap tetap.
Tetapi, apakah pesawat biplane berenjin
Roberts 75 DK (daya kuda)/Sturtevant 70 DK 6 silinder in-line, berat 1.299 lb, pilot dan satu
PERKEMBANGAN AIRLINER
Kop sebuah blog proyek pembuatan
update Benoist XIV menyambut
peringatan 100 tahun penerbangan
perdananya pada 2014.
Zeppelin LZ-7 Deutchland
14
Walaupun awal perkembangannya memberi
kesan kurang meyakinkan, tetapi setelah
melewati pematangan dalam dua Perang
Dunia, pesawat terbang menjadi moda
transportasi yang paling tangguh, efisien dan
strategis.
penumpang ini, otomatis menjadi airliner pertama di dunia? Ataukah airship LZ.7 Deutchland?
Tampaknya bukan kedua-duanya. Pasalnya,
airlinenya, DELAG dan SPT Airboat Line, relatif
lebih kesohor menyandang predikat “pertama dunia” terkait itu ketimbang kedua “aircraft”
tersebut. Mungkin karena istilah “airliner” yang
dipahami sebagai “pesawat yang dioperasikan airline untuk mengangkut passengers” atau
didefinisikan sebagai “a large passenger aircraft
operated by airline”. “Aircraft” yang dalam konteks ini tentunya bukan jenis “lighter-than-air”
seperti airship. Tetapi sekaligus “fixed wing” jenis
yang mampu mengangkut “banyak penumpang”.
PascaPD I: Lungsuran Pesawat Perang untuk
Sipil
Yang pasti, upaya-upaya untuk
mengembangkan pesawat terbang yang lebih besar
dengan kapasitas penumpang yang bertambah serta
kinerja dan keandalan yang lebih baik, sudah dilakukan jelang PD I itu.
Dan lagi-lagi di Eropa. Pada 1913, Igor
Sikorsky, dari Rusia, berhasil menerbangkan rancangannya sendiri: Bolshoi Baltiskiy (Russian
Knight) atau Le Grand (The Great One)—sebutan
dalam bahasa Prancis, negara yang sejak dikunjungi Wilbur Wright pada 1908, merupakan “home of
European aviation” kalau bukan pusat aviasi dunia.
Le Grand adalah pesawat berenjin empat pertama di
dunia (masing-masing Argus 4 silinder inline 100 DK), dibuat oleh Russo-Baltic Carriage Works.
Berkapasitas 8 tempat duduk, rentang sayap 27 m,
beratnya sekitar 4 ton.
Tetapi PD I menyebabkan kegiatan terkait
transportasi udara terhenti. Tapi sekaligus maraknya kelahiran pesawat-pesawat militer;
seiring makin berkembang dan tersedianya motor-
motor piston inline type maupun Vee-type termasuk jenis unik rotary engine Gnome yang booming di
masanya itu (simak Propulsi). Baru di antara
rentang 5 tahunan pascaPD I itu, kegiatan
penerbangan sipil pada umumnya mulai menggeliat kembali.
Namun awal perkembangan (kembali)
penerbangan sipil dunia tercacat bukan didorong oleh faktor penumpang, tapi justru oleh kebutuhan
pengiriman surat dan paket yang lebih cepat. Di
samping tersedianya lungsuran pesawat-pesawat
militer, baik tempur maupun pembom eks PD I yang redundan itu.
Pada Februari 1919, dengan menggunakan eks
pesawat pembom Angkatan Udara Inggris (RAF) Airco D.H. 9 (de Havilland 9; enjin Amstrong
Siddeley Puma 6 silinder inline 230 DK) dengan
operator Air Transport and Travel (AT&T)memerkenalkan pengiriman udara antara Folkstone,
Inggris dan Ghent, di Belgia. Di mana pengiriman
paket pada awal-awal penerbangan itu berupa
pakaian dan makanan yang sangat dibutuhkan Belgia pascaPD I.
Dan pada Agustus tahun yang sama, AT&T
meresmikan layanan reguler barang dan penumpang antara London-Paris. Antara Hounslow Heath
Aerodrome dan bandara Le Bourget, menggunakan
pesawat Airco D.H.4A kemudian de Havilland D.H.16.
Layanan ini, merupakan kali pertama di dunia,
penerbangan penumpang komersial internasional
terjadwal reguler, setiap harinya. Dan masih pada 1919—tahun yang menorehkan
pencapaian-pencapaian aviasi bersejarah—Dr Hugo
Junkers dari Jerman memproduksi rancangan Otto Reuter: Junkers F 13.
Sebuah airliner pertama yang seluruhnya metal,
cantilever-low wing monoplane, 2 awak dan 4
penumpang, berenjin Mercedes D IIIa 6 silinder inline 170 DK. Pesawat yang dari segi desain
enjinering seolah “melampaui zamannya” yang
biplane, berbahan kayu-kain, dan seterusnya. Tetapi versi modifikasi Junkers J 10 di bawah operator
Junkers Luftverkehr yang melayani Dessau-
Weimar diyakini sebagai airliner pertama all-metal aeroplane.
Sementara itu, kontes-kontes lintas-udara
Samudra Atlantik dan antarbenua berhadiah cek
tunai, meski tidak berkontribusi langsung bagi perkembangan industri airline yang baru bertumbuh
itu, ternyata berdampak. Pesawat eks pembom yang
sudah dirubah Vickers Vimy IV, misalnya. Pada Juni 1919, Kapten John Alcock dan Let-
Junkers F13
Airco D.H.9
15
nan Arthur W Brown berhasil menyelesaikan pe-nerbangan pertama dunia nonstop (16 jam 27 menit;
3.032 km) melintasi Atlantik Utara antara
Newfoundland, Kanada dan Irlandia, menggunakan
pesawat eks pembom Vickers tersebut. Mereka berhak atas hadiah £ 10.000 dari Daily Mail.
Pesawat jenis yang sama (2 enjin Rolls-Royce
Eagle VIII 12 silinder Vee-type 360 DK) enam bulan kemudian digunakan oleh dua bersaudara
Ross dan Keith Smith. Mereka menyelesaikan
penerbangan pertama dari Hounslow Heath, Inggris, melintasi antara lain Timur Tengah, India,
Bangkok, Singapura—sempat singgah di Kalijati,
Surabaya, Bima, Atambua—dan genap 28 hari
mendarat di Fanny Bay, Darwin, Australia. Memenangkan kontes lintas-udara Inggris-Australia
bertenggat 30 hari berhadiah £ 10.000 dari
pemerintah Australia. Sehingga bukanlah kejutan, bahwa pada era
pascaPD I itu, Vickers Vimy Commercial yang
telah diperbesar fuselage-nya dari desain aslinya dan berkapasitas sepuluh penumpang, disebut-sebut
sebagai salah satu contoh pengoperasian komersil
yang memicu daya tarik terhadap penggunaaan
lungsuran pesawat-pesawat pembom yang redundan waktu itu. Meski kemudian reputasi Vickers ini
sebagai airliner sangat minim.
Modifikasi serupa terjadi atas pesawat-pesawat eks pembom oleh Handeley Page di Inggris dan
Farman di Prancis. Di samping sudah sejak jelang,
pascaPD I, bahkan jauh setelah itu hadirnya para
manufaktur airliner Prancis dan Italia, seperti Breguet, Savio-Marchetti, Blériot, Potez, Bloch,
Caudron, Latécoère untuk memenuhi kebutuhan
para airline baru negara mereka.
Fokker: Tren Pesawat Triple-engine
Lalu masih di era ini, tercacat seorang Belanda
kelahiran Blitar, Jawa Timur: Anthony Fokker.
Pesawat Fokker F II bermotor tunggal (BMW IIIa 6 silinder inline 185 DK) empat penumpang yang
pertama kali terbang pada 1919, adalah awal dari
rancangan Fokker atas serangkaian airliner dalam rentang 1920-1930-an. F II adalah pesawat long
range pertama yang dibeli airline Belanda KLM
pada 1920. Desain lainnya Fokker F VIIa/3m, pesawat kayu triple-engine yang merupakan
pengembangan dari tipe single engine F VII dan F
XX, menjadi tren pesawat berenjin tiga, trimotor.
Tak pelak lagi, konfigurasi trimotor Fokker tersebut memengaruhi munculnya pesawat all-metal
trimotors 14 tempat duduk dari Ford pada 1926,
sementara Boeing memproduksi yang lebih kecil pesawat biplane trimotor Model 80 pada 1928.
Diikuti Junkers trimotor G 24 dan G 31 serta
pesawat ubikuitas (ada di mana-mana) tipe Ju 52 pada 1930, yang menggunakan corrugated metal
skinning yang pertama kali muncul pada tipe Jun-
kers F 13 seperti disinggung di atas; menjadikannya
pesawat Eropa pertama yang setara Douglas DC-3. Setahun sebelumnya, 1929, Junkers meluncurkan
pesawat besar 30 tempat duduk G 38 dengan
sebagian tempat duduk berada di sayap. Sementara di Inggris, tampilnya pesawat
bermotor empat (Bristol Jupiter X [FNM] 9 silinder
radial engine 550 DK) 24 tempat duduk Handley-
Page HP. 42 yang dioperasikan oleh Imperial Airways menandai berakhirnya era biplane dalam
desain airliner. Airline ini pada tahun 1930-an
memiliki route sampai ke India, Australia, dan Afrika Selatan menjadikannya cukup terkenal waktu
itu padahal menggunakan rancangan duralumin
skinning yang cukup ruwet. Kalau kita kembali pada „pertarungan‟ Eropa-
Amerika; sampai di sini, pada 1920-an, Eropa
unggul dalam pengembangan airliner. Tetapi
kedudukan ini berubah pada awal dekade berikutnya, ketika industri airliner Amerika
memimpin hingga beberapa dekade ke depan—
sebelum munculnya Airbus Industries pada awal 1970-an.
Tampilnya pesawat Orion dari pabrik Lockheed
pada akhir 1920, kemudian manufaktur lainnya juga
Vickers Vimy
Commercial
16
Fokker F VIIa/3m
dari Amerika, Boeing dan Douglas, yang lalu mendominasi industri airliner dunia sejak 1930-an
(simak hlm 1).
Kelahiran Boeing, Flying Boat dan DC-3
Mungkin menarik menyimak apa yang terjadi
pascaPD I di AS. Bahwa saat maraknya bisnis pos udara di Eropa setelah perang itu, rupanya Amerika
kembali “hadir”.
Pada 1916 di Lake Union, Seattle, lahir cikal bakal pabrik pesawat Boeing yang didirikan oleh
William E Boeing. Setahun kemudian manufaktur
pesawat itu secara resmi bernama Boeing Airplane
Company. Di tahun menyejarah bagi aviasi dunia, 1919,
pabrik Boeing berhasil membuat pesawat terbang
komersilnya yang pertama B-1 Flying Boat. Dengan pesawatnya sendiri itu, pada tahun yang
sama William Boeing dan pilot Hubbard
mengoperasikan layanan pos udara internasional pertama di Amerika Serikat, antara Seattle dan
Vancouver, Kanada. Seiring berkembangnya
layanan pos udara antara “coast-to-coast” di AS.
Pada 1928, berdiri airline baru sebagai bagian
dari pabrik Boeing Airplane Company, Boeing Air
Transport yang belakangan menjadi United Airlines. Pada Februari 1933, lewat United Airlines
pabrik Boeing memerkenalkan pesawat 10 tempat
duduk Boeing Model 247. Dengan kecepatan
jelajahnya 288 km/jam, membuat 247, nyaris dua kali lebih cepat ketimbang pesawat-pesawat Fokker
maupun Ford masa itu.
Setahun kemudian, 1934, rancangan “Douglas Commercial” (DC) memerkenalkan pesawat 14
tempat duduk DC-2 sebagai respons atas Boeing
Model 247. Tetapi, persyaratan sleeper version yang diajukan operator American Airlines untuk
menggantikan pesawat Condors, justru membawa
hikmah tersendiri. Pengembangan versi baru
tersebut dengan fuselage yang lebih lebar, menghasilkan sebuah pesawat yang dijuluki
“Douglas Sleeper Transport” atau “DST” yang tak
lain adalah pesawat DC-3 Dakota atau C-47 untuk versi militer. Pesawat yang terbang pertama kali
pada Desember 1935, dan setahun kemudian 30
unit DC-3 dikirim ke American Airlines. Pesawat Douglas baru ini, yang di Indonesia lebih
populer dengan sebutan “Dakota”, dengan kapasitas
lebih besar, 21 penumpang, segera menyalip Boeing
Model 247 dan menjadi rancangan airliner paling sukses di dunia.
Boeing: ‘Petarung’ Tangguh
Boeing tidak kalah sigap dan sudah sejak awal
menunjukkan dirinya sebagai „petarung‟ tangguh.
Mereka bergerak cepat menemukan kembali ikhtisar keuntungan-keuntangan yang dimiliki Boeing
Model 247, kemudian memproduksi sebuah
pesawat revolusioner Boeing Model 307 Stratoliner
yang terbang pada 1938. Stratoliner, yang dikembangkan dari pesawat pembom B-17 Flying
Fortress, merupakan airliner pertama dunia
dilengkapi pressurised, memungkinkan para penumpang “terbang mengatasi cuaca”, sebagai
suatu hal rutin yang belum terpecahkan sebelumnya.
Boeing Model 307 pertama kali beroperasi pada 1940 di bawah airline TWA dan Pan American
Airways (PAA).
Boeing kemudian mengindikasikan strategi
jangka panjang untuk menjadi perintis rancangan
airliner besar—hal yang tak terbantahkan hari ini—dengan penerbangan perdana pada Juni 1938, flying
boat Boeing Model 314 Clipper. Pesawat Clipper
seberat 37,5 ton 74 tempat duduk dengan empat
enjin ini, dikembangkan untuk operasi trans-samudra dari airline PAA tujuan Eropa melintasi
lautan Pasifik—yang dimulai tahun berikutnya sejak
terbang pertama itu. Hal yang diikuti penerus
DC-3 Dakota atau C-47 untuk versi militer
Boeing Model 307 Stratoliner
17
Flying Boat Boeing Model 314 Clipper
Imperial Airways, BOAC (British Overseas Airways Corporation) yang mengoperasikan
Clipper pada 1941. Dan pada 1947 terbang perdana
Boeing 377 atau “Stratocruiser”: airliner besar jarak
jauh pascaPD II; derivasi B-29 Superfortress. Sementara DC-3 yang terus dijual kepada
berbagai operator di seantero dunia, Douglas
berhasil menyiapkan rancangan final pesawat berikutnya DC-4: lebih besar untuk memenuhi
persyaratan airline AS. Dengan empat enjin
merupakan airliner terbesar pertama di dunia menggunakan roda depan—pengganti tailwheel
undercarriage DC-3. Namun, pecahnya PD II,
pesanan DC-4 yang sudah definitif untuk diproduk-
si pada 1940, tipe pertamanya yang beroperasi adalah sebagai pesawat angkut militer C-54.
Airliner Eropa Semasa Suksesnya AS 1930-an
Penerbangan sipil Eropa seolah terkapar dengan
suksesnya Amerika selama 1930-an itu, walaupun
lahir beberapa rancangan penting termasuk serangkaian airliner regional kecil dari de Havilland
seperti D.H.84 Dragon dan D.H.89. Juga pesawat
produksi Junkers berenjin empat (masing-masing
BMW radial engine 830 DK) 40 tempat duduk Ju 90. Merupakan salah satu dari rancangan mereka
terakhir praperang, tapi hanya 12 unit yang dikirim
ke DLH (Deutche Luft Hansa) sebelum PD II. Sementara, airline Jerman menggunakan Focke-
Wulf Fw 200 Condor empat enjin 25 penumpang
pada pelayanan di Eropa, dan pada Agustus 1938 Condor melakukan penerbangan bersejarah, 25 jam
nonstop antara Berlin dan New York.
Manufaktur Eropa lainnya, Marcel Bloch dari Prancis, memproduksi SE 161 pada 1939, tapi
rencana produksi yang dikenal sebagai pesawat
SNCASE SE 161 Languedoc, tidak pernah
terlaksana hingga 1945. Sesudah perang, Air France tercatat sebagai operator pertama yang
menggunakan pesawat tersebut.
Pada masa kejayaan transportasi penumpang dengan airship di Eropa, ternyata Lockheed
mengembangkan suatu famili airliner kecil sebagai
kelanjutan produksi Orion, termasuk Model 10/12 Electra, dan 14 tempat duduk L14 Super Electra
pada 1937, serta pesawat 14 tempat duduk lainnya
L18 Lodestar pada 1940. Mereka juga memproduksi
berbagai varian famili “Constellation”—yang kemudian sangat terkenal antara lain L-649, L-749,
L-1049 Super (Super Constellation)—diawali
varian pertama pada 1939, Model L-049 Constellation. Pesawat yang dijuluki “Connie” ini,
bermotor empat Wright R-3350 tipe radial masing-
masing 2.200 DK dengan 60-81 penumpang. Dibuat
untuk memenuhi persyaratan operator TWA (Trans
World Airlines) pressurised aircraft dalam rencana airline tersebut (digagas pemegang saham
mayoritasnya Howard Huges) melakukan
penerbangan nonstop antarbenua dan antarsamudra pada range sekitar 3.500 mil.
Connie yang lebih besar juga lebih cepat dari
rivalnya DC-4, pertama kali terbang pada Januari 1943. Namun dengan pecahnya perang, yang
dikirim adalah versi militer C-69. Baru pada awal
1946, Connie dikirim ke TWA yang mengoperasi-
kannya di tahun yang sama pada penerbangan transatlantik antara New York dan Paris.
Willem J. Pattiradjawane
Referensi:
1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business
Information, Surrey, UK, 1998.
2. John W.R. Taylor & Kenneth Munson, History of
Aviation, Octopus Book , Ltd, 1973, UK.
3. R.G. Grant, Flight, the Complete History,
Smithsonian, National Air and Space Museum, DK
Publishing, London-New York, 2007.
Lockheed Super Constellation
18
Prototipe Junkers Ju 90-V1
Boeing Stratocruiser