Upload
tranxuyen
View
323
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA:
PEMETAAN DAN ANALISIS GENEALOGI
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian
Oleh:
HASEP SAPUTRA
(NIM. 11.3.00.1.05.01.0052)
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014 M/ 1435 H
2
KATA PENGANTAR
Bismillāh al-raḥmān al-raḥīm.
Alḥamdu lillāh atas karunia dan pertolongan Allah SWT
disertasi ini telah dapat penulis selesaikan. Salawat dan salam untuk
junjungan alam, Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah SAW.,
untuk keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir masa.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan,
bimbingan, saran, motivasi, dan do‘a. Mereka adalah:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus sebagai
Pembimbing penulis, yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini.
3. Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua Program Doktor, dan Dr.
Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program Magister, yang telah
memberikan saran, motivasi, perbaikan dalam setiap kesempatan
dalam meningkatkan kualitas tulisan dalam disertasi ini.
4. Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA., selaku pembimbing
penulis. Saran, dorongan, dan ide yang beliau sampaikan sangat
berarti dalam penulisan disertasi ini.
5. Segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak dan Ibu dosen yang telah membuka
wawasan intelektual penulis, dan karyawan Sekolah Pascasarjana
yang menciptakan suasana penuh kekeluargaan, keramahan, dan
sistem pelayanan yang optimal. Itu semua sangat pantas untuk
diingat.
6. Ayah, H. Magek Abas dan Ibu, Ertini, S.Pd., yang telah mendidik
dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, serta tulus
mendo‘akan dari kejauhan.
7. Istri tercinta: Roza Eva, SKM., dan putri tercinta Qowiyya Lathifa
Qamra, yang rela berpisah untuk waktu yang lama demi kesuksesan
bersama. Begitu juga mertua penulis, yang selalu memberikan
semangat untuk menyelesaikan disertasi ini.
3
8. Kakanda, Muhammad Irzan, ST., dan juga kakak ipar Meri JB serta
si kecil ―dedek ais‖; Adinda, Rizki Ema Wulan Sari, Fandi Juliarta,
atas do‘a dan motivasi kalian yang tiada henti.
9. Kawan-kawan seperjuangan, Milki Aan yang telah banyak sekali
memberikan bantuan secara moril dan materil. Nicolas Habibi,
Bobi A. Rahman, Marjan Fadil, Mufdil, Taufik, Rifyal, dan kawan-
kawan yang lainnya, terima kasih atas dukungan kalian.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Kepada semuanya, Jazākum Allāh khair wa-Aḥsan al-Jazā‟. Mohon
maaf atas kekurangan dan keterbatasan penulis dalam disertasi ini.
Ciputat, 14 Oktober 2014
Penulis
HASEP SAPUTRA
4
ABSTRAK
Kajian hadis yang berawal dari kajian sanad hadis, ulūm al-
ḥadīth, hingga metodologi pemahaman hadis menunjukkan adanya
pergeseran kajian hadis serta perkembangan pemahaman hadis dengan
pendekatan ilmiah, logika-deduktif, dan korelasi konteks sosio-historis-
psikologis di Indonesia.
Hasil ijtihad para pengkaji hadis di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosiokultural tempat mereka
tinggal, faktor politik yang mereka dukung, latar belakang bacaan,
mazhab dan kecenderungan pemikiran yang mereka anut, serta
lingkungan pendidikan.
Penelitian ini mendukung pernyataan bahwa terdapat
perkembangan studi hadis di Indonesia. Pernyataan di atas mempunyai
persamaan dengan komunitas akademik lainnya, seperti Daniel Djuned
(2002), R. Michael Feener (2002), dan Muhammad Dede Rodliyana
(2003). Pada sisi lain, pernyataan tersebut kontradiktif dengan
pandangan sebagian kelompok akademik lainnya, seperti Ramli Abdul
Wahid (2006), Khairul Rafiqi (2012), dan Martin van Bruinessen
(1995) yang menyebutkan bahwa pengkajian atau karya-karya yang
berkaitan dengan hadis di Indonesia sangat jarang dan tidak
berkembang.
Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pergeseran dan
perkembangan studi hadis di Indonesia, khususnya dalam metodologi
pemahaman hadis oleh pengkaji hadis di Indonesia pada masa
sekarang.
Dalam meneliti pemikiran dari ulama hadis di Indonesia penulis
menggunakan metode hermeneutik. Pendekatan hermeneutik ini dapat
berperan menguak cara berpikir ulama hadis di Indonesia secara rinci
pada beberapa pemikirannya yang dinilai mengandung unsur
pembaharuan. Kajian ini juga dilengkapi dengan pendekatan sosio-
historis yang ditekankan pada latar belakang kehidupan yang dapat
mempengaruhi pemikiran mereka dan historico-critical-method
(metode kritik sejarah) yang ditekankan pada penemuan fakta-fakta
objektif dan nilai-nilai yang terdapat dalam pemikiran ulama hadis di
Indonesia.
5
ABSTRACK
Study of hadīth from Sanad al-Ḥadīth, Ulūm al-Ḥadīth, until
methodology of ḥadīth studies indicated that there were development in
study hadīth with a scientific approach, deductiv logic, and corellation
of socio-historical contex-psychological in Indonesia.
Ijtihad scholars ḥadīth in Indonesia cannot be separated from
socio-cultural, political factor, background readings, education,
madhhab and trends of thought that he holds.
This study supports the notion that there is development of
ḥadīth studies in Indonesia. The above statement has similarities with
other academic communities, such as Daniel Djuned (2002), R.
Michael Feener (2002 ), and Muhammad Dede Rodliyana ( 2003). On
the other hand, the statement contradictory of some other academic
groups, such as Ramli Abdul Wahid (2006), Khairul Rafiqi (2012), and
Martin van Bruinessen (1995) explained that the tradition of hadith
studies was rare in Indonesia.
This study prove that there is development of study ḥadīth in
Indonesia, particularly in the methodology of ḥadīth in Indonesia at
present.
In researching the thought of ḥadīth scholars in Indonesia is
used the method of hermeneutic. This hermeneutic approach can
contribute to uncover ways of thinking ḥadīth scholar in Indonesia in
detail at some of his thinking is considered an element of renewal. This
study is also equipped with a socio-historical approach that focused on
the background of the lives that may affect their thinking and historico-
critical method is focused on the discovery of objective facts and values
contained in the ḥadīth scholars thought in Indonesia .
6
يهخص انبحث
كر حغريت دراسث احلريد اىيت حتخي ىلع دراسث السر، عيم احلريد ع ادخالف املاز اىعييث، حن املز وطسق ف احلريد وحطر ف
واتلارديث وعي املطييق، واىعالكات ةني اىلسائ االسخاعيث -االستخايج انلفس يف إرويسيا.
وال خيي أن يكن اسخاد املحرذني اإلرويسني خز حأذري ابليئث االسخاعيث احلضاريث حيد يعيشن فيا. وكزالم األستاب السياسيث ومما كسؤوا نرريا الهخب، و يهل إىل املزاب واىفهس،
وأيضا ابليئث اىرتبيث. زا ابلحد اىلل ةأن دراسث احلريد كر حطرت يف إرويسيا. وأير
(، ر. ايكو فرن 2002ر )يدايال سويف فس األمس يكن اىطالب رو مافلني ة. وىك اىلم خياىف رو (2002(، حمر ديري راضياا )2002)
حير ) وذنسوا وارح فان ةسوينس (، 2002(، دري السافيق )2002رميل عتر ال أن ادلراسات واملؤىفات املخعيلث ةا يف إرويسيا ادرة وسانث.
وأذتج زا ابلحد ىلع أن اك إزاحات يف دراسث احلريد ةإرويسيا، داصث فيا يخعيق ةطسق ف احلريد عر املحرذني ايلم.
ويف حبر اسخذرم ابلاحد املز اتلفسرييكي خنض ة دضا حرذني املخشردة. وسسخعو أيضا في املفاي اإلسخاعيث عيلا أفاكر امل
. وال نىس اسخعال يو ةاواتلارديث اىيت حت ديفيات حياح فخؤذس أفاكر. دة يف أفاكر س ز لر اتلاريخ في يف الكائع احلليلث واىلي امل
7
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Konsonan
b = ب Z = ص F = ف
t = ث S = ط Q = ق
th = ث Sh = ش K = ك
j = ج ṣ = ص L = ل
ḥ = ح ḍ = ض M = و
kh = خ ṭ = ط N =
d = د ẓ = ظ H =
dh = ع = ‗ ر W =
r = س Gh = ؽ Y =
Vokal Pendek : a = ‗ i = u =
Vokal Panjang : ā = ا ī = ū =
Diftong : ay = ا aw ا =
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
ABSTRAK ......................................................................................... iv
ABSTRACK ...................................................................................... v
انبحثيهخص ........................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................... 16
1. Identifikasi Masalah ................................................... 16
2. Pembatasan Masalah................................................... 17
3. Perumusan Masalah .................................................... 18
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................. 18
D. Tujuan Penelitian .............................................................. 22
E. Manfaat Penelitian ........................................................... 22
F. Metodologi Penelitian ...................................................... 22
G. Sistematika Penulisan ....................................................... 28
BAB II. KAJIAN HADIS PADA MASA MODERN
A. Paradigma Kajian Hadis ................................................... 29
B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana
Barat dan Sarjana Timur. .................................................. 40
1. Kajian Hadis di Timur Tengah ................................... 40
2. Kajian Hadis di Barat ................................................. 47
3. Kajian Hadis di Indonesia........................................... 53
C. Kajian Hadis dilihat dari Beberapa Literatur
Keilmuan .......................................................................... 60
1. Historiografi ............................................................... 60
2. Linguistik .................................................................... 64
D. Konsep Genealogi dan Pemetaan Studi Hadis ................. 67
9
BAB III. DINAMIKA PEMIKIRAN PENGKAJI
HADIS DI INDONESIA ABAD XXI
A. Awal Perkembangan Studi Hadis di Indonesia ................ 74
B. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia ............ 82
C. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis
pada Abad XXI di Indonesia ............................................ 100
1. Muhammad Syuhudi Ismail ....................................... 100
2. Said Agil Husin al-Munawar ...................................... 105
3. Ali MusthafaYa‘qub ................................................... 109
4. Kamaruddin Amin ...................................................... 115
BAB IV. DINAMIKA KAJIAN HADIS MASA
MODERN DI INDONESIA
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia. ......................... 121
1. Hereditas ..................................................................... 122
2. Lingkungan ................................................................. 125
3. Politik dan Mazhab ..................................................... 130
4. Pendidikan .................................................................. 131
B. Pemetaan Secara Sinkronis dan Diakronis
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia. ......................... 135
C. Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di
Indonesia ........................................................................... 141
BAB V. GENEALOGI PERKEMBANGAN STUDI
HADIS DI INDONESIA A. Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis di Indonesia
dengan Pengkaji Hadis Lainnya ....................................... 162
B. Keontetikan Karya Pengkaji Hadis di Indonesia .............. 179
C. Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis di
Indonesia. .......................................................................... 190
1. Signifikansi Pergeseran Kajian Hadis ........................ 190
2. Signifikansi Perkembangan Metode
Pemahaman Hadis ...................................................... 197
D. Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia ............................ 204
BAB VI. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 219
B. Saran ................................................................................. 220
10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 222
LAMPIRAN ...................................................................................... 236
GLOSARIUM ................................................................................... 243
INDEKS ............................................................................................. 248
BIODATA PENULIS ....................................................................... 251
11
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan desain penelitian yang menggambarkan
secara umum latar belakang penelitian, hasil yang akan dicapai, dan
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian.
Pembahasannya dibagi menjadi tujuh sub bab, dimulai dengan sub-sub
bab yang mengungkap penentuan wilayah penelitian, yaitu latar
belakang masalah, permasalahan, tujuan serta kegunaan penelitian.
Serta sub bab yang menginformasikan perdebatan akademik dan karya
tulis yang berkenaan dengan tema penelitian. Sub bab selanjutnya
mengemukakan rasionalisasi pencapaian tujuan penelitian serta
metodologi penelitian yang menunjang. Pembahasan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan ilmu hadis, karya tulis ulama hadis dunia
sudah sangat banyak diteliti oleh para penulis atau peneliti, baik segi
metode maupun pemikiran dari ulama hadis itu sendiri. Berbeda
dengan pengkaji hadis yang ada di Indonesia yang belum banyak
diteliti dan diketahui karya tulis mereka, kecuali hanya beberapa yang
sudah dikenal oleh masyarakat.1
Dari beberapa pengkaji hadis di Indonesia ada beberapa orang
yang mencoba membuat perubahan atau rekonstruksi dalam memahami
1 Perbedaan penyebutan ulama hadis, muhadīth, pengkaji hadis, dan ahli
hadis. Pertama, Ulama hadis adalah ulama yang menguasai ilmu hadis, mengenal dan
hafal banyak hadis, mengetahui bobot ke-ṣaḥīḥ-annya, asbāb al-wurūd-nya (situasi
datangnya hadis), dan sebagainya yang berkaitan dengan kaidah dan uṣūl pemahaman
hadis; Kedua, Muhadīth adalah orang yang hafal banyak hadis dan juga meriwayatkan
hadis; Ketiga, Pengkaji hadis adalah penelaah atau peneliti hadis secara mendalam;
dan Keempat, Ahli hadis adalah orang yang ahli dalam seluk beluk hadis atau orang-
orang yang memperhatikan hadis Rasulullah SAW baik dari segi riwayah maupun
dari segi dirayah, mereka mencurahkan tenaganya untuk mengkaji hadis-hadis Nabi
SAW dan periwayatannya mengikuti isinya berupa ilmu dan amal serta menjalankan
sunnah dan menjauhi bid‘ah. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 660; dan Jamāl al-Dīn ibn Manẓur,
Lisan al-„Arab (Beirut: Dar Shadir, t.th.), 163, 798. Dalam penelitian ini, dipakai kata
istilah ―pengkaji hadis‖ untuk menyebutkan beberapa akademisi yang meneliti
tentang hadis di Indonesia, karena menurut penulis pemakaian istilah ―pengkaji hadis‖
lebih cocok dan pas sesuai dengan pengertian di atas.
1
12
hadis, yang mungkin berbeda dengan metode yang dipakai oleh ulama
lain, dan semakin berkembangnya zaman maka berkembang pula ilmu
pengetahuan, maka semakin komplitlah permasalahan yang dihadapi
pada masa modern ini. Seperti hal dalam memahami hadis, metode-
metode lama2 untuk memahami hadis dianggap kurang relevan dalam
menjawab permasalahan kekinian.3 Karena itu, perlu ada pendekatan
lain seperti hermeneutik.
Pendekatan hermeneutik untuk memahami hadis digunakan oleh
ahli hadis di Indonesia karena dianggap relevan untuk menjawab
permasalahan masa kekinian, dikarenakan pendekatan ini dalam
memahami hadis lebih kepada substansi hadis itu sendiri dengan
melihat dimensi historis, filosofis, ilmiah dan sosiologis.4
2 Empat metode yang lazimnya digunakan yaitu: metode tahlilī, ijmalī,
mauḍū‟ī dan muqarran. Keempat metode ini pada dasarnya juga bisa digunakan
dalam memahami hadis Nabi SAW. Kitab syarah yang ada pada umumnya memiliki
keistimewaan dan ciri-ciri tersendiri yang menggambarkan kecendrungan dan metode
yang digunakan dalam memahami hadis Nabi SAW tersebut.Lihat Buchari M.
Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani,
1999). 36-37; Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
(Padang: IAIN IB Press, 1999), 111; dan Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran
al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 151. 3 Contohnya adanya penolakan terhadap hadis-hadis misogini, atau hadis
yang tampak melemahkan peran wanita dalam Islam dan juga beberapa hadis yang
tampak bertentangan dengan logika dan sains. Hadis yang secara sanad bernilai ṣaḥīḥ,
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan sain atau logika nalar manusia, ternyata para
ulama berbeda pendapat yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)
kelompok.
Kelompok pertama memandang bahwa hadis tersebut tetap berkualitas
ṣaḥīḥ, hanya saja manusia yang belum bisa menemukan rahasianya, serta akal
manusia belum dapat sampai/menjangkaunya. Sedang kelompok kedua memandang
bahwa hadis-hadis tersebut tidak ṣaḥīḥ, sebab ada illah yang mencacatkannya dan ada
pula kejanggalan artinya. Lihat: Yusuf al-Qaraḍāwī, al-Khaṣaiṣ wa al-Ḥayāh al-
Mu‟āṣirah (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, t.t), 220-221; Musṭafa al-Sibā‘ī, al-Sunnah al-
Nabawiyyah wa Makanatuha fī al-Tasyri‟ al-Islāmī (Beirut: al-Maktab al-Islami,
1976), 285; dan Hasbi ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976),128. 4 Metode hermeneutik digunakan oleh pengkaji hadis di Indonesia, salah
satunya adalah Buchari M. dalam karyanya Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian
Hermeneutika. Jika kita melihat karya Buchari M, ia menulis tentang perlunya metode
hermeneutik dalam memahami hadis, Menurut Buchari, hermeneutik dapat digunakan
dalam tatanan mafhûm al-naṣ (pemahaman teks), bukan dalam mengukur
keontentikan naṣ. Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 36.
13
Dalam mukadimahnya Muhammad al-Ghazalī mengatakan
bahwa dengan pandangan yang sempit terhadap pemahaman hadis Nabi
SAW maka sudah pasti akan timbul problem-problem sosial.5 Seperti
memahami hadis tentang bid‘ah atau hadis tentang dunia merupakan
penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.6 Jika hadis-hadis
seperti ini dipahami secara sempit maka tentunya akan menimbulkan
permasalahan di dalam masyarakat.
Daniel Djuned dalam bukunya menjelaskan bahwa sesuai
dengan misi Rasulullah SAW sendiri sebagai pembawa rahmah,
tuntunan hadis atau sunnah merupakan faktor terciptanya kedamaian.
Kedamaian yang merupakan misi utama dari keberadaan Rasulullah
dapat terwujud dalam kenyataan, jika warisan yang didapatkan dari
beliau dipahami dengan baik. Sebaliknya, jika tuntunan dimaksud tidak
dipahami dengan baik, maka bukan rahmat dan kedamaian yang
didapat, tetapi malah pertengkaran yang membawa kepada perpecahan
umat.7
Menurut penulis, metode pemahaman hadis yang dipakai oleh
ulama terdahulu mempunyai kekurangan yaitu belum bisa menjawab
permasalahan kekinian, contohnya adanya penolakan terhadap hadis-
hadis yang nampak bertentangan dengan sains dan logika.8
5 Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritik Atas Hadis Nabi SAW antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (diterjemahkan dari buku al-Sunnah al-
Nabawiyyah: Baina ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth) (Bandung: Mizan, 1998), 19. 6 Hadisnya adalah
انذا صج انؤي جت انكافش )سا يضهى(
Artinya: Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir
(HR. Muslim).6
Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, teks hadis tersebut dapat dipahami
sebagai berbentuk tamthil dan dapat pula dipahami sebagai bukan berbentuk tamthil.
Kedua pemahaman itu dapat saling melengkapi. Secara tekstual, hadis tersebut
menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya,
selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan.
Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala telah berada
dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir, hidup di dunia ini adalah surga.
Di akhirat, orang kafir berada dalam neraka. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 16-17. 7 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Aceh: Citra Karya,
2002), 5. 8 Seperti hadis tentang mencelupkan lalat ke dalam air minum, hadis-hadis
yang melemahkan wanita, dan hadis-hadis yang dianggap bertentangan dengan
logika-deduktif, ilmiah, dan lain sebagainya.
14
Hadis tidak hanya dipahami dengan pendekatan tekstual saja,
akan tetapi hadis harus dipahami dari berbagai dimensi. Di samping itu,
harus diperhatikan situasi dan kondisi kejadiannya, sering Nabi SAW
mengeluarkan sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau
hadapi. Beliau menemukan hal yang sangat berpadanan dengan
keadaan orang yang beliau hadapi itu. Kepada seorang yang
menanyakan tentang perbuatan terbaik dan disukai Tuhan, Nabi
menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya,
sehingga hadis tidak hanya dipahami berupa memakai baju gamis
pendek dan janggut yang lebat akan tetapi memahami substansi hadis
yang menjadikan kita mempunyai akal yang cerdas, hati yang lebih
tulus, akhlak yang lebih bersih, fitrah yang lebih sehat dan perilaku
yang lebih bijaksana.9
Menurut Ibn al-Athir (544-606 H), Nabi Muhammad SAW.
adalah seorang yang fasih bicaranya, mudah dipahami bahasanya,
lembut tutur katanya, dan jelas dialek yang digunakannya.10
Kemampuan Nabi SAW berkomunikasi bahasa Arab yang berbeda-
beda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis,
tetapi terutama pada pemahaman matan hadis,11
selain memberikan
9 Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah: 1)
Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya, 2) Amal yang paling baik
dan disukai Allah adalah membaca al-Qur‘an sepanjang waktu, 3) Amal yang paling
utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, 4) Amal yang paling utama adalah
menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia, 5) Amal yang paling baik
adalah memberikan makanan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada
siapa saja.
Hadis-hadis tersebut tidak dapat hanya dipahami secara harfiah-literal-
atomistis, namun dapat dipahami latar belakang sejarahnya, bagaimana dan dalam
situasi apa Nabi SAW mengucapkan sabda hadis tersebut. Selain itu juga harus
dipahami apakah ketentuan yang pernah disabdakan oleh Nabi tersebut berlaku umum
atau merupakan ketentuan khusus dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain dan di
tempat lain. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)
(Yogyakarta: Teras, 2008), 6. 10
Abū Alī Muḥammad ‗Abd al-Raḥmān ibn Abd al-Raḥīm al-Mubarakfurī,
Muqaddimah Tuḥfat al-Ahwādhi (Beirut: Dar al-fikr, 1979), 230. 11
Pengujian redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah dilakukan sejak awal
sekali, bahkan dari kalangan sahabat sudah terlihat pengujian-pengujian yang mereka
lakukan. Dari beberapa kasus yang dicermati, terlihat bahwa pengujian hadis yang
dilakukan sahabat adalah dengan al-Qur‘an serta hadis-hadis yang lebih kuat dan
masyhur yang terkadang diperkuat dengan argumen rasional dalam bentuk analogi.
Pengujian hadis dengan al-Qur‘an ini, bahkan pernah dilakukan oleh Aisyah terhadap
hadis yang sedang disampaikan oleh Rasulullah sendiri.
15
peluang yang relatif luas terjadinya periwayatan makna, hal itu juga
dapat menyebabkan adanya lafaz gharīb12
dalam matan hadis.
Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecenderungan
pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut
representasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan
umat Islam, yakni restriction of traditionalist dan modernist
scripturalism.13
Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri
pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa
mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok
modernist scripturalism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi
mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks.
Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari kedua kelompok
Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa yang dihisab pasti akan diazab‖. Aisyah
menyela: ―Bukankan Allah telah berfirman: ―Mereka (orang beriman) akan dihisab
dengan hisab yang sangat mudah (al-Insyiqaq: 8).‖ Rasul lalu bersabda kembali: ―Itu
hanya sepintas, tetapi orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara. Ṣalahuddīn Ibn Ahmad al-Adlabi, mencatat beberapa orang sahabat yang
melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Mereka antara
lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khaṭṭab, Alī ibn Abī Ṭalib, Abdullāh ibn Mas‘ūd,
dan Abdullāh ibn ‗Abbas. Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian
terhadap hadis ini, yang paling intens adalah Siti Aisyah. Lihat karya Muḥammad
Fuād ‗Abd al-Bāqī, Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān (Beirut: Dār al-Fikri, t.t), 299, dan Ṣalah
al-Dīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004), 85. 12
Lafaz gharīb dalam hadis adalah lafaz yang terdapat pada matan hadis
yang sulit dipahami. Ke-gharīb-an suatu hadis disebabkan oleh dua faktor, yakni lafaz
tersebut sendiri sulit dipahami, kecuali dengan pemahaman yang mendalam atau ada
petunjuk dari Nabi SAW. dan lafaz tersebut asing bagi periwayat, baik karena jarang
digunakan ataupun karena perkembangan bahasa. Al-Sayyīd al-Ṣarīf ‗Alī ibn
Muḥammad ibn Alī al-Sayyīd al-Zain Abū al-Ḥasan al-Ḥusainī al-Jurjanī al-Ḥanafī,
al-Ta‟rīfāt (Kairo: Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa Ṣurakahu, 1938), 229. 13
Restriction of traditionalist adalah pola pemikiran keagamaan tradisional
yang sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi ulama masa lampau,
dimana hasil pemikiran ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus referensi bagi
setiap persoalan kemasyarakatan yang muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran
yang demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas masyarakat tradisional yang
membanggakan tradisi, seperti kelompok pengikut pola bermazhab dalam keagamaan.
Sedangkan, modernist scripturalism adalah tipe pola gerakan yang menamakan
dirinya kelompok modern. Lihat Ahmad Arifin, Pergulatan Pemikiran Fiqh
“Tradisi” Pola Mazhab (Jakarta: elSAQ Press, 2010), 3.
16
tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman
tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.14
Teori yang digunakan oleh kelompok tekstual adalah teori
tekstual-legalistik-normatif. Teori ini menekankan pada aspek
gramatika bahasa. Argumen yang dijadikan dasar adalah merujuk
kepada struktur kebahasaan Arab. Karena hadis tertuang dalam bahasa
Arab, maka cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah
dengan merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu sendiri. Struktur
kebahasan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika bahasa
dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi pemahaman hadis,
teori ini merupakan akibat dari pengaruh yang kuat dalam sejarah
pemikiran ilmu bahasa yang melahirkan dua mazhab, yaitu mazhab
Kufah dan Basrah.15
Teori pemahaman hadis yang direpresentasikan oleh kelompok
modernist scripturalism adalah historis-kontekstual.16
Teori ini
mencoba memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-
tekstual ke wilayah kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya
14
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual yang Kontekstual: (Telah
Ma‘ani al-Hadis yang Universal, Temporal, dan Lokal) (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), 17. 15
Mazhab Kufah lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang memiliki
akar dan karakter yang khas sehingga kalau menemukan beberapa kata dan kalimat
yang sulit dalam hadis, maka pemahamannya harus ditelurusi pada tradisi bahasa
Arab klasik sebagaimana orang Arab dahulu memahaminya. Adapun mazhab Basrah
yang ditekankan adalah logika universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani
(Aristoteles), bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,
hadis sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia tentunya
memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter lokal. Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 210. 16
Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual saja. Mereka
mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-kontekstual, yakni untuk
memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang
digunakan, konteks sosial dan psikologis ketika Nabi Muhammad SAW bersabda
serta kepada siapa ucapan itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar
belakang sosial-budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan,
maka pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara
literal dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh
dari yang dikehendaki oleh pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih
diperlukan lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum.
pemahaman yang demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam
memahami hadis. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)
(Yogyakarta: Teras, 2008),10.
17
bahasa Arab sangat diperlukan dalam memahami hadis. Tanpa kedua
aspek tersebut, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Persoalan
yang muncul kemudian adalah hadis yang datang dari Nabi adalah
berbentuk pesan dalam bahasa Arab, namun bahasa Arab yang
dijadikan wahananya sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke
dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan
juga mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer
(kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis
tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh
pembacanya, meskipun pembacanya ahli dalam ilmu bahasa. Dalam
hadis mudah dijumpai kata ataupun kalimat yang menimbulkan multi
makna, karena dari segi bahasa memang memungkinkan. Multi makna
yang bersifat semantikal ini diperkuat oleh perbedaan tingkat akademis,
psikologis, dan kepentingan politik pencari makna hadis, sehingga kita
menyaksikan munculnya berbagai mazhab atau aliran pemikiran dalam
Islam, baik dalam bidang hukum, teologi, filsafat, tasauf maupun
politik. Berbagai isu yang diperselisihkan oleh para ulama tidak
mungkin diselesaikan dengan cara penyeragaman makna hadis karena
hadis membuka diri untuk ditafsirkan.17
Pada zaman dahulu, sebagian ulama sudah merasa puas dengan
menyatakan wa Allāh a‟lām (Allah yang mengetahui maksud-Nya).
Akan tetapi, tatkala problem sosial dan ilmu pengetahuan semakin
kompleks seperti sekarang ini, maka literalisme seringkali tidak
memuaskan pemikiran banyak pihak. Bahkan pada gilirannya
berpotensi untuk memunculkan sikap keraguan dari sebagian orang
terhadap otentisitas hadis Nabi SAW, karena isinya secara literal
bertentangan dengan sains, logika, atau nalar manusia. Padahal hadis
tersebut diriwayatkan oleh para perawi hadis yang diakui
kredibilitasnya dalam periwayatan hadis.
Pengkaji hadis di Indonesia berusaha untuk merekonstruksi
metode pemahaman hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat
diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia. Di
antara pengkaji hadis yang mencoba merekonstruksi metode
pemahaman hadis, yaitu dari tamatan Timur Tengah yaitu Said Agil al-
Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Daud Rasyid Sitorus dan Lutfi
Fathullah; dari tamatan Barat yaitu, Kamarudin Amin; dan dari
17
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 165.
18
Indonesia yaitu Muhammad Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, Buchari M
dan lain-lain.
Berdasarkan sejarah perkembangan ilmu-ilmu hadis, secara
umum sejak abad ke-10 H. sampai abad ke-14 H. ijtihad dalam masalah
tersebut di atas terhenti dan tidak ada usaha untuk mengembangkannya,
kecuali ada beberapa kitab ilmu-ilmu hadis dalam bentuk syair yang
merupakan susunan ulang dan syarahan tanpa ada pengembangan.18
Pada permulaan abad ke-14 H, para ulama hadis mulai bangkit
membahas ilmu-ilmu hadis dan mengaitkannya dengan perkembangan
pengetahuan modern sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam
dengan dunia Barat.19
Perlunya kajian ulang terhadap proses
pembakuan hadis, tanpa perlu menghilangkan otensitas spritualitas oleh
perubahan kehidupan masyarakat modern dalam era teknologi dan
informasi yang begitu cepat. Ulama yang tergolong tanggap akan
masalah ini, antara lain al-Qasimī,20
Maḥmūd al-Ṭahān,21
Abū
Ṣuhbah,22
Subḥi al-Ṣalīh,23
Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb,24
M.M.
18
Nūr al-Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-Ḥadīth (Damsyiq: Dar al-
Fikr, 1979), 56. 19
Pertemuan umat Islam yang dalam kemundurannya dengan Barat yang
maju mengakibatkan timbulnya pemikiran untuk meningkatkan kembali kehidupan
umat Islam. Disisi lain, timbul pula masalah di kalangan umat Islam dengan
munculnya ―intelektual baru‖ yang sering disebut ―cendekiawan sekular‖ yang lebih
berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Azyumardi Azra, Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 53. 20
Nama lengkapnya adalah al-Sayyīd Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qasimī,
antara lain menyusun buku yang berjudul: Qawā‟id al-Taḥdīth min Funūn Musṭalah
al-Ḥadīth, diterbitkan oleh Isā al-Bābu al-Halabī wa Shurakah. 21
Maḥmūd al-Ṭahan, antara lain menulis buku berjudul: Taisīr Musṭalah al-
Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Qur‘ān al-Karīm, Beirut dan Uṣūl al-Takhrīj wa
Dirāsah al-Asānīd yang diterbitkan oleh al-Maṭba‘ah al-‗Arabīyah. 22
Nama lengkapnya adalah Muḥammad Abū Ṣuhbah, antara lain menulis
buku yang berjudul Difa‟ān al-Sunnah wa Radd Shubah al-Mushtashriqīn wa al-
Kutub al-Mu‟aṣirīn yang diterbitkan oleh Maṭba‘ah al-Arabīyah 23
Ṣubhī al-Ṣalīh menulis buku berjudul: „Ulūm al-Ḥadīth wa Musṭalaḥuhu
yang diterbitkan oleh Dār al-‗Ilm lī al-Malayin, Beirut. 24
Nama lengkapnya adalah Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb telah menyusun
buku, antara lain: al-Sunnah Qabl al-Tadwīn yang diterbitkan oleh Maktabah
Wahbah, Kairo, Abū Huráirah Rawīyah al-Islām, dan Uṣūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa
Musṭalaḥuhu yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Beirut.
19
Azamī,25
Musṭafā al-Ṣibā‘ī,26
Nūr al-Dīn ‗Itr,27
dan Naṣiruddīn al-
Albanī.28
Tetapi setelah berlalu beberapa generasi, sebagian hadis-hadis
Nabi mulai tampak sulit dipahami (mushkīl), baik karena kata-kata
yang ada dalam redaksi hadis itu sulit dipahami karena asing atau juga
karena sulit dipahami ketika berada dalam konteks redaksi tertentu
(gharīb) maupun karena dipandang bertentangan satu sama lainnya
(mukhtalīf).29
Tiba pada abad modern saat ini, hadis-hadis tidak hanya
dipandang bertentangan satu sama lainnya, tetapi juga dipandang
bertentangan dengan logika dan pengetahuan modern.
Hadis Nabi SAW merupakan sumber pokok ajaran Islam
setelah al-Qur‘an.30
Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis harus
dipahami secara baik dan benar agar pemahaman yang diambil darinya
dapat dipertanggungjawabkan, karena pemahaman tersebut mempunyai
25
Muḥammad Musṭafa al-Azamī telah menulis buku yang terkenal, yaitu
Studies in Hadith Methodology and Literature yang diterbitkan oleh Islamic Teaching
Centre, Indiana dan Manhāj al-Naqd „inda al-Muḥaddithīn yang diterbitkan oleh
Shirkah al-Ṭiba‘ah al-‗Arabiyyah al-Sa‘udiyyah, Riyaḍ. 26
Musṭafa al-Ṣibā‘īy, antara lain menulis buku berjudul: al-Sunnah wa
Makānatuha fī al-Tashrī‟ al-Islamiyyah yang diterbitkan oleh al-Dār al-Qaumiyyah 27
Nūr al-Dīn ‗Itr, antara lain menulis buku yang berjudul: Manhāj al-Naqd fī
„Ulūm al-Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Damsyiq, al-Jamī‟ al-Ṣaḥiḥ lī
Imām al-Turmudzī wa al-Muwazanah bainahu wa baina al-Ṣaḥiḥain dan al-Madkhal
ilá „Ulūm al-Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Damaskus. 28
Naṣiruddīn al-Albanī banyak menulis buku tentang hadis, seperti
mawḍu‟at, dan lain-lain. 29
Secara bahasa mukhtalif (يختهف ) adalah bentuk isim fā‟il (subjek) dari
kata اختالفا yakni bentuk maṣḍar dari kata اختهف. Menurut Ibn Mandhūr, ihktilāf
merujuk pada makna نى تفك (tidak serasi/tidak cocok) dan كم يانى تسا (segala sesuatu
yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur‘ân surat al-An‘ām ayat
141: ش يتشاب غ يتشابا ا ي انش ت انض سع يختهفا أكه انض انخم (pohon korma, tanam-
tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya) dan tidak sama (rasanya). Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukarram ibn
Mandhūr al-Afriqī al-Mishrī, Lisān al-„Arab (Beirūt: Dār Fikr, 1990), Jilid IX, 91.
Secara istilah Ḥadīth mukhtalif ialah Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth ḥasan yang
secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth
ḥasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh
Ḥadīth tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat
dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjīh.
Edi Safri, al-Imam al-Shafi‟ī; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif (Padang:
IAIN IB Press, 1999), 81-82. 30
Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, al-Sunnah fī Makānatihā wa fī Tarīkhinā (Kairo:
Dār al-Kutub al-Arabī, 1967), 26.
20
dampak eskatologis, yang menyangkut keselamatan di dunia dan di
akhirat.31
Berhubungan dengan fiksasi wacana lisan dalam bentuk tulisan
sebagaimana disebut di atas, dengan perkembangan writing tradition
(tradisi tulisan), maka bahasa tulis cenderung menggeser oral tradition
(tradisi lisan) dalam komunikasi keilmuan. Perkembangan ini sekaligus
mengantarkan kebangkitan strukturalisme,32
subyek menjadi hilang dan
teks cenderung otonom.
Setelah Rasulullah wafat, upaya pemahaman hadis sangat
diperlukan dan proses pemahaman tersebut berkembang terus hingga
sekarang. Jika pemahaman hadis hanya sekedar dalam ruang lingkup
tekstualitas dan tidak melihat substansi variabel konstekstual historis,33
31
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik)
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 5. 32
Untuk pembahasan tentang strukturalisme lebih lanjut lihat Jean Piaget,
Strukturalisme, penerjemah Hermoyo, judul asli ―Le Structuralisme‖(Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995), 2-10. 33
Kedua pemahaman ini (tekstual dan kontekstual) telah terjadi semasa Nabi
SAW. yang dilakukan oleh sahabat. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW.
memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah.
Sebelum berangkat, beliau berpesan:
... ظت ب شإالفأحذانؼص الصه ..لشArtinya: “…Janganlah ada salah seorang di antara kamu mengerkajan shalat „Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraizhah…”.
Ternyata perjalanan ke perkampungan tersebut begitu jauh, sehingga mereka
khawatir bahwa sebelum mereka tiba di tempat yang di tuju, waktu ‗Ashar telah
habis. Di sini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata
sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat
tiba di sana pada waktu masih ‗Ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang
melarang shalat ‗Ashar kecuali setelah sampai di sana (Perkampungan Bani
Quraizhah). Dengan demikian mereka boleh shalat ‗Ashar walaupun belum tiba atau
sampai di tempat yang dituju. Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman
secara kontekstual.
Namun sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu,
mereka baru melakukan shalat ‗Ashar setelah waktu ‗Ashar berlalu, karena mereka
baru tiba di perkampungan Bani Quraizah setelah waktu ‗Ashar berlalu. Lihat karya
Abū ‗Abd Allāh Muhammad ibn Ismā‘īl ibn al-Mughīrat ibn Bardizbat al-Bukhārī,
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), Juz 1, 227, dan Muhammad al-Ghazali,
Studi Kritik atas Hadis Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
Judul Asli: Al-Sunnat al-Nabawiyyat; Baina Ahl al-Fiqh wa al-Hadīth, Penerjemah:
Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1993), Cet. III, 8-9.
21
prinsip Islam sebagai raḥmat li al-ālamīn akan diragukan apabila
pemahaman terhadap hadis tersebut tidak baik dan benar.34
Kajian terhadap hadis-hadis Nabi, tidak hanya terbatas pada
kajian ilmu riwayah, yakni ilmu yang mempelajari tentang periwayatan
hadis atau ilmu dirayah, yakni berupa kaedah-kaedah yang bertujuan
untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat
yang bersumber dari Nabi (maqbūl) atau tidak (mardūd).35
Tetapi
secara lebih luas meliputi berbagai aspek-aspek kajian lainnya, seperti:
aspek kesejarahan, aspek pemahaman, aspek literatur-literatur, para
tokoh, dan kajian Barat terhadap hadis. Meskipun demikian, kajian
ilmu dirayah dan riwayah hadis lebih populer dibanding dengan aspek-
aspek kajian hadis lainnya. Hal ini terlihat dari banyaknya karya-karya
tentang ilmu dirayah dan riwayah hadis yang muncul sejak awal
pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis itu sendiri.
Hal ini wajar, karena kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis
sangat mendesak dan mendasar dalam menyiapkan hadis-hadis Nabi
yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran agama. Di samping itu,
ilmu dirayah dan riwayah hadis tumbuh dan berkembang secara
simultan dengan periwayatan hadis itu sendiri. Sampai pada masa
kodifikasi hadis, ilmu dirayah dan riwayah semakin menempati posisi
yang sangat penting bagi para pengkodifikasi. Imam al-Bukhārī
misalnya, yang bersafari selama lebih kurang 16 tahun dalam
mengumpulkan dan mengkodifikasi hadis-hadis Nabi dari satu daerah
ke daerah lainnya, menetapkan dan mengembangkan beberapa kriteria
dalam menerima dan mengklasifikasikan hadis-hadis dalam kategori
maqbūl. Karena itu, dari 600.000 hadis yang diperolehnya, hanya 4.000
hadis yang dimuat dalam kitabnya ―Al-Jamī‘ al-Ṣaḥīḥ-nya‖ yang
dipandang layak dari segi validitas sanadnya.36
Demikian pula Imam
Muslim dan beberapa imam hadis lainnya.
Dilihat dari bentuk matannya, hadis Nabi ada yang berupa
jawami‟ al-kalīm (ungkapan yang singkat namun padat makna), tamthil
(perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan,
34
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik)
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 8. 35
Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatib, Uṣūl al-Ḥadīth „Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu
(Beirut: Dār al-Fikr, 1989),7-8.Yang menawarkan ilmu hadis riwayah dan dirayah
yaitu Muhmammad ibn Ibrahim ibn Said al-Sinjari al-Anshari (w. 749 H) dalam
bukunya yang berjudul ―Irshad al-Qasid ‖. 36
Muḥammad Muḥammad Abū Shuhbah, Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam,
Terjemahan Maulana, 1991, 47-48.
22
ungkapan analogi, dan lain-lain.37
Perbedaan bentuk matan hadis
menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus
berbeda-beda.
Pengkajian ilmu hadis pada aspek pemahaman hadis secara
umum masih sangat terkurung pada aspek historis (analisis sanad). Ini
bermakna bahwa berbagai penyelesaian persoalan hadis sering
dianggap selesai dengan pendekatan kritik sanad dan matan untuk
menentukan ṣaḥīḥ tidaknya sebuah hadis atau menentukan ṣaḥīḥ dan
lebih ṣaḥiḥ. Jika ada kasus hadis yang terkesan paradoks (mukhtalif),
maka jalan yang ditempuh langsung masuk kepada upaya men-tarjīh
satu sanad dan me-marjūh yang lain. Tindakan seperti ini
mengakibatkan pemakai hadis akan mengamalkan sebuah hadis yang
dianggap lebih atau paling ṣaḥīḥ dan meninggalkan hadis-hadis lain
yang juga berkualitas ṣaḥīḥ.
Loncatan jauh kepada tarjīh ini agaknya disebabkan oleh
kenyataan bahwa kajian ilmu hadis dipandang sudah sampai puncak
jika sudah dapat melakukan studi kritik sanad dengan menerapkan
kaedah-kaedah jarah dan ta‟dīl dan beberapa aspek tentang kritik
matan. Adapun yang berhubungan dengan pemahaman teks kalaupun
ada hanya bersifat sekilas dan dangkal tanpa memasukkan analisis
tentang penyebab terjadi berbagai bentuk mushkīl atau ikhtilāf hadis
(komparasi antara dua hadis atau lebih) ataupun ikhtilāf fī fahm al-
Ḥadīth (teks tertentu dalam sebuah hadis), serta kaedah-kaedah yang
sangat patut diperhatikan seperti kaedah-kaedah yang berhubungan
dengan gharīb, majaz, isti‟ārah, kinayah, al-jam‟u, khash, ‗am,
jawamī‟ al-kalīm, asbāb al-wurūd, tanawwū‟ fī al-„ibadah, amal rawī,
amal sahabat, ta‟awwūl al-Qur‟ān, dan sejumlah kaedah lain. Semua
kaedah dimaksud seharusnya sudah digunakan sebelum loncat ke
dalam pendekatan nasakh dan selanjutnya tarjīh.38
Semangat kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang telah
tumbuh dan berkembang dapat diimbangi dengan penguasaan kerangka
keilmuan dan metode pemahaman kedua sumber ajaran agama tersebut.
Tanpa keseimbangan ini, semangat yang bermuatan positif sebagai
yang dimaksudkan di atas, sesuai dengan sejumlah kasus di lapangan,
37
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 9. 38
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Aceh: Citra Karya,
2002),10.
23
akan melahirkan kontra-produktif terhadap pesan-pesan ruhaniah al-
Qur‘an dan hadis tersebut. Sejumlah kasus khilafiah dalam masyarakat
Islam, terutama dalam konteks kekinian di Indonesia lebih disebabkan
oleh keminiman analisis filosofis terhadap ilmu hadis dan hadis itu
sendiri dalam sebuah kerangka keilmuan yang jelas dan sistematis.39
Kenyataan lain, keminiman ilmu dan kekakuan tekstual dalam
pemahaman hadis, gerakan yang berupaya memurnikan ajaran Islam,
kadang kala tidak tepat dikatakan ―pemurnian‖, melainkan telah
terjebak ke dalam ―pengikisan‖ sebagian ajaran Islam itu sendiri.
Akibatnya, apa yang dihasilkan gerakan kembali kepada al-Qur‘an dan
hadis dalam memahami agama tidak lebih baik dari pada hasil ijtihad
para ulama yang sudah ada.40
Pengkaji hadis di Indonesia antara lain M. Syuhudi Ismail, Said
Agil Husin al-Munawar, Ali Musthafa Ya‘qub, Kamarudin Amin, Daud
Rasyid Sitorus, Muhammad Lutfi Fathullah, Muhammad Dede
Rodliyana, Daniel Djuned, dan Buchari M.41
Menurut asumsi penulis
mereka lebih kepada pengembangan terhadap pemahaman hadis atau
studi hadis itu sendiri, yang sesuai kenyataan belum banyak ditulis.
R. Michael Feener dalam karyanya menjelaskan bahwa selama
dekade pertengahan abad kedua puluh, sarjana Muslim Indonesia
berpartisipasi dalam gerakan untuk menciptakan pembaharuan. Begitu
juga perkembangan dalam ilmu hadis. Perkembangan belum pernah
39
Kenyataan di India juga ikut mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia
dan lebih terasa lagi di kawasan Malaysia. Sayangnya, pengaruh yang masuk ke
Nusantara ini bukan pola pemahaman hadis sebagai yang dicetuskan tokoh sebangsa
al-Dahlawī. Yang masuk kesini justru pola pengamalan sunnah yang sangat tekstual
sebagai yang dikembangkan oleh Dār al-Arqam dan yang terakhir Jama‘ah Tablig.
Kedua kelompok ini dengan basis yang sama ditilik dari sudut pandang semangat
keagamaan yang sangat menggembirakan. Akan tetapi dilihat dari sisi pandang
pemahaman keagamaan, terutama hadis sungguh sangat menyedihkan. Kelompok ini
nyaris sama sekali tidak dapat membedakan hadis ṣaḥīḥ dan ḍa‟if. Dari sisi lain,
mereka terjebak pada aspek-aspek agama yang bersifat marginal, seperti masalah
serban, jenggot, makan setalam, pakaian yang tidak wangi yang bebas alkohol dan
sebagainya. Daniel Djuned, Paradigma Baru, 16. 40
Daniel Djuned, Paradigma Baru, 11. 41
Alasan kenapa mereka disebut dengan pengkaji hadis karena mereka
banyak membuat karya tulis mengenai hadis, dan mereka sangat berkompeten dalam
hadis sesuai dengan pengakuan dari akademik dan masyarakat.
24
terjadi sebelumnya, terjadi dalam konteks modernitas, ketika Indonesia
sedang menghadapi tantangan oleh pemikiran reformis Islam.42
Dalam beberapa kasus pemahaman hadis para ulama Indonesia
mencoba menerapkan metodologi pemahaman hadis agar hadis bisa
dipahami secara benar oleh masyarakat, seperti halnya hadis:
43ال تسافر المرأة ثالثا اال مع ذي محرم
Artinya: Wanita jangan bepergian selama tiga hari kecuali didampingi
mahramnya.
Berdasarkan latar belakang kondisi alam di tanah Arab
umumnya merupakan tanah gersang dan banyak padang pasir yang sepi
dari kehidupan. Pada masa awal Islam moral masyarakatnya belum
seluruhnya terbina dengan baik, masih banyak manusia yang
melakukan pencurian, perampokan, penodongan, pelecehan atau
pemerkosaan dan perbuatan maksiat lainnya. Dalam kondisi ini dapat
dipahami bahwa larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram di atas
bersifat kondisional.
Dalam memahami hadis di atas Daniel Djuned menggunakan
pendekatan geografis, daerah Arab sangat berbeda dengan daerah di
Indonesia, mahram menjadi persyaratan jika kondisi tidak aman, dalam
kondisi aman seperti keadaan Indonesia hari ini, mahram dimaksud
bukan hal yang mengikat. Jika di tempat tertentu di zaman modern
sekarang ini juga tidak aman maka hukumnya seperti masa lalu.44
Persoalan mahram bagi wanita ini mencuat kembali di zaman
modern karena akan banyak wanita yang harus tetap tinggal selamanya
di suatu tempat, karena tidak boleh bepergian tanpa mahram, dengan
memahami hadis dengan menggunakan pendekatan geografis maka
hadis di atas dapat dipahami secara benar oleh umat Islam.45
42
R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National
Madhhab'. Journal of Islamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,
http://www.jstor.org/stable/3399202 .(Accessed: March 16, 2012). 43
Al-Bukharī, Ṣaḥī al-Bukharī, 369. 44
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 140 -141. 45
Hukum diungkapkan hanya melalui hadis dan karenanya tidak perlu untuk
sebuah genre terpisah yurisprudensi (fiqh). Kemudian menunjukkan meningkatnya
kesadaran perlunya hadis sebagai bukti dalam diskusi hukum. Lihat Robert Gleave,
Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī Collections of Akhbār, Journal of
Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 3 (2001), 350, http://www.jstor.org/
stable/3399449. (Accessed: March 14, 2012).
25
Di atas merupakan salah satu kasus dari beberapa kasus yang
membutuhkan pendekatan yang tepat untuk memahaminya, agar
substansi dari hadis Nabi Muhammad SAW dapat dipahami oleh umat
Islam.46
Dalam membahas pemikiran-pemikiran ahli hadis di Indonesia,
terasa bahwa mereka menggiring persepsi dan pikiran kita kepada
pertumbuhan dan perkembangan hadis terutama di Indonesia.47
Metode
yang mereka gunakan dalam memahami hadis mengarah kepada kajian
hermeneutik hadis, terutama kalau kita cermati buku-bukunya, seperti:
Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis,
Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik), Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, dan karya yang lainnya.
Adapun alasan penulis mengangkat tokoh ini adalah karena
walaupun mereka belum dikenal oleh masyarakat akan tetapi menurut
penulis kontribusi mereka dalam perkembangan ilmu hadis sangatlah
besar.48
Ini terbukti ketika mereka bisa membuat karya-karya dalam
ilmu hadis.
46
Begitu juga kasus terhadap kekerasan yang berkedok agama, Muhammad
Khalid Mas‘ud menjelaskan bahwa banyak hadis yang menerangkan tentang
kekerasan, dimana hadis tersebut haruslah dipahami secara baik dengan metodologi
yang baik pula. Muhammad Khalid Mas‘ud, Hadith and Violence, Istituto per
l‟Oriente Journal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5, http://www.jstor.org/
stable/25817809.(Accessed March 16, 2012). 47
Di antaranya adalah Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil Husin al-
Munawwar, Ali Mustafa Ya‘qub, Kamaruddin Amin, Daniel Djuned, Buchari M, dan
pengkaji hadis lainnya. 48
Daniel Djuned pernah menerjemahkan beberapa buku bahasa Arab ke
dalam bahasa Indonesia, dan kitab sya‘ir bahasa melayu kuno ke dalam bahasa
Indonesia. Ia termasuk salah seorang penulis entri untuk buku ensiklopedi Islam
terbitan Depertemen Agama RI. Beliau juga produktif dalam menghasilkan beberapa
karya Ilmiyah khususnya dalam bidang Tafsir, Hadis, Fikih dan masalah-masalah
sosial keagamaan lainnya, baik dalam bentuk buku, artikel, rubrik, makalah, baik
untuk dipublikasikan maupun untuk dipersentasikan dalam berbagai seminar regional
dan Nasional bahkan Internasional, serta dimuat dalam berbagai surat kabar dan
jurnal ilmiah seperti harian umum serambi Indonesia, Aceh Expres, Mimbar Hukum
(Jakarta), Jurnal Ar-Raniry, Media syariah, Subtansiah, dan lain-lain.
Buchari M disamping sebagai dosen hadis di IAIN Imam Bonjol Padang ia
juga banyak membuat karya-karya ilmiyah dan mengisi seminar regional maupun
nasional, dan ia juga mengajar hadis di Universitas Malaysia, dan diantara karya-
karyanya adalah Kaidah Keshahihan Matan Hadis, Metode Pemahaman Hadis
(Kajian Hermeneutik), dan lain-lain.
26
Kehadiran pengkaji Hadis di Indonesia dalam peta pemikiran
terhadap hadis Nabi SAW seolah-olah merupakan jawaban atas krisis
metodologi hadis Nabi SAW. Dalam sejumlah karya penelitiannya,
mereka menekankan aspek-aspek metodologi disamping aspek-aspek
lainnya, baik berkaitan dengan metodologi ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan
matan hadis maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman hadis
Nabi. Penekanan pada aspek-aspek tersebut sekaligus mendasari dan
menopang usaha pembaharuan pemikiran terhadap hadis Nabi.
Menurut asumsi penulis, meningkatnya pengaruh intelegensia
muslim (ahli hadis di Indonesia), baik secara intelektual, sosial dan
politik, menghadirkan wawasan-wawasan baru dalam hal ilmu hadis.
Perlu adanya penelitian tentang hal ini, salah satunya dengan
cara memetakan dan menganalisis lewat perspektif genealogi.49
Oleh
karena itu, penulis ingin meneliti dan mengkaji lebih dalam pemikiran
dari ahli hadis ini dengan judul ―Perkembangan Studi Hadis di
Indonesia: Pemetaan dan Analisis Genealogi‖.
B. Permasalahan
Pada pembahasan ini penulis membagi dalam tiga pembahasan
yang bertujuan untuk melihat permasalahan yang timbul dari penelitian
ini, kemudian diambil salah satu permasalahan yang telah diuraikan,
dan mencari penyelesaiannya, adapun pembahasannya sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan diselesaikan dalam disertasi ini
adalah terdapat anggapan bahwa metodologi pemahaman hadis
yang dikembangkan oleh pengkaji hadis di Indonesia ini
tergolong kepada pembaharuan pemikiran dalam ilmu hadis.
Hal ini menginsipirasi penulis untuk mengkaji pemetaan dan
analisis genealogi dari perkembangan metodologi hadis di
Indonesia. Beberapa problem yang terdapat dalam disertasi
49
Genealogi adalah studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok
orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk
memerhatikan gerak perkembangan diakronis dan rantai intelektual antar-generasi
dari pemikiran ulama hadis di Indonesia mengenai metodologi pemahaman hadis.
Lihat Yudi Latif, Intelegensia Musilm dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 7, dan juga penjelasan bahwa
genealogi berkaitan dengan silsilah dan kerabat. Lihat Robert J. Parkin,Genealogy and
Category: An Operational View, The Journal of Ehess, No. 139 (1996), 87,
http://www.jstor.org/stable/25156776, (Accessed April 25, 2013).
27
sangat kompleks, adapun permasalahan yang teridentifikasi
dalam tema ini adalah:
a. Genealogi perkembangan hadis di Indonesia.
b. Pemahaman hadis menurut ahli hadis serta kontribusinya
bagi perkembangan dan pembaharuan ilmu hadis di
Indonesia.
c. Perbedaan antara metode pemahaman hadis yang dibuat
oleh ahli hadis di Indonesia dengan ulama hadis yang
lainnya.
d. Pemetaan metode pemahaman hadis di Indonesia.
e. Kontribusi baru yang diberikan oleh ahli hadis di Indonesia
dalam ilmu hadis.
f. Perkembangan ilmu hadis di Indonesia
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembatasan masalah hanya diambil dua
permasalahan yaitu pemetaan dan analisis genealogi metodologi
pemahaman hadis di Indonesia, dan perkembangan studi hadis
di Indonesia.
Karya ini juga dibatasi oleh referensi yang digunakan
dalam penelitian ini. Adapun referensi utama yang digunakan
yaitu Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual
Asbāb al-Wurūd yang ditulis oleh Said Agil Munawwar, Telaah
Ma‟ani al-Hadis yang ditulis oleh M. Syuhudi Ismail,
Rethinking Hadith Critical Methods yang ditulis oleh
Kamaruddin Amin,dan Kritik Hadis oleh Ali Mustafa Ya‘qub.
Dalam penelitian ini tidak dikaji secara keseluruhan dari
perkembangan studi hadis tetapi penulis lebih menekankan
kepada mengkaji dan meneliti tentang perkembangan dalam
segi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia.
Dalam penelitian ini tidak akan menjelaskan masing-
masing tokoh secara khusus, sebab dianggap bahwa kajian
seperti itu telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelum
penulis. Tetapi, gagasan-gagasan dari setiap tokoh yang
terhimpun dalam karya-karya mereka yang menjadi kajian
penulis untuk dilihat sejauh mana signifikansi dari pembaharuan
pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan ide
pengembangan dan pembaharuan dari metodologi pemahaman
hadis. Sehingga dengan kajian seperti itu diperoleh gambaran
28
tentang pemikiran pemahaman hadis di Indonesia jika
dihubungkan dengan pemikiran studi hadis yang berkembang
sebelumnya, apakah bersifat produktif, introduksi, dekonstruksi,
atau bahkan reduksi. Pemikiran yang dimaksud dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada pemikiran metodologi dalam
memahami hadis dan pengembangan cabang kajian studi hadis,
tidak akan membahas isi atau materi ilmu hadis itu sendiri.
Karya-karya yang dijadikan fokus kajian, sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas, sehingga hanya meneliti tokoh
hadis yang karyanya bersifat melakukan pembaharuan dalam
studi hadis, yaitu M. Syuhudi Ismail, Said Agil Munawar, Ali
Mustafa Ya‘qub, Kamarudin Amin, dan Muhammad Lutfi
Fathullah.
Adapun alasan penulis memilih para pengkaji hadis ini
adalah, di samping karya-karya mereka membahas tentang
metodologi pemahaman hadis Nabi SAW, karya-karya yang
mereka tulis juga digunakan di beberapa negara dan
mengandung unsur pembaharuan dalam kajian hadis.
Sedangkan karya-karya lain yang masih dalam kajian
hadis hanya akan dijadikan sebagai bahan kajian yang bersifat
sekunder.
3. Perumusan Masalah
Dalam merumuskan masalah ini lebih memberi
perhatian kepada konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi
metode pemahaman hadis oleh pengkaji hadis di Indonesia. Hal
yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah Perkembangan
dan kontribusi yang dilakukan oleh pengkaji hadis di Indonesia
jika dipetakan dan dianalisis lewat perspektif Genealogi.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam bidang ilmu hadis penulis telah membaca beberapa
karya tulis mengenai metodologi pemahaman hadis. Adapun
perpustakaan yang telah diselidiki di antaranya perpustakaan
Pascasarjana, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pembahasan ini, penulis tidak menemukan adanya penelitian
atau karya tulis mengenai pembahasan yang penulis teliti, kecuali ada
penelitian yang fokus kepada pemikiran Syuhudi Ismail dalam hadis
saja.
29
Secara tematik belum ditemukan pembahasan maupun
penelitian yang secara khusus membahas genealogi metode
pemahaman hadis di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti
penelitian tentang hadis dan seputar permasalahan yang mengitarinya
belum pernah dilakukan. Sebelumnya sudah ada beberapa tulisan, buku
maupun penelitian yang berkaitan dengan hadis, baik dari sisi
pandangan, pemahaman dan lain sebagainya.
Adapun perdebatan akademik dalam masalah ini yaitu menurut
Daniel Djuned dalam bukunya ―Paradigma Baru Studi Hadis”, bahwa
Fiqh al-Ḥadīth merupakan ilmu hadis yang sangat jarang dibahas dan
Karya-karya modern di bidang Ulūm al-Ḥadīth, sebut saja misalnya
Uṣūl al-Ḥadīth ‗Ajjaj al-Khatib dan Mabahīth fī Ulūm al-Hadīth
Shubhi al-Ṣalih, isinya hanya mengenai bahasan tentang ilmu sanad,
sementara yang berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas
disebutkan nama ilmunya saja. Sentakan dan hentakan ke arah fiqh al-
Ḥadīth ini justru muncul dari tokoh-tokoh yang bukan spesialis Ulūm
al-Ḥadīth, seperti Muḥammad al-Ghazalī dan Yusuf al-Qarḍawī.
Sedangkan di Indonesia terdapat perkembangan yang sangat signifikan,
tidak hanya dalam bahasan tentang ilmu sanad akan tetapi lebih kepada
rekonstruksi pemahaman hadis itu sendiri.50
Menurut R. Michael Feener dalam karyanya yang berjudul
―Indonesian Movements for the Creation of a 'National Madhhab‖
bahwa selama dekade pertengahan abad kedua puluh, sarjana Muslim
Indonesia berpartisipasi dalam gerakan untuk menciptakan
pembaharuan. Begitu juga perkembangan dalam ilmu hadis,
perkembangan belum pernah terjadi sebelumnya, terjadi dalam konteks
modernitas dimana Indonesia sedang menghadapi tantangan oleh
pemikiran reformis Islam.51
Muhammad Dede Rodliyana dalam karyanya Pergeseran
Pemikiran „Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran
„Ulūm al-Hadith di Indonesia, menjelaskan bahwa dalam catatan
sejarah perkembangannya, para ahli hadis, baik sejak masa sahabat
ketika dimulainya perkembangan periwayatan terhadap hadis maupun
50
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Hadis , 3. 51
R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National
Madhhab', Journal ofIslamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,
http://www.jstor.org/stable/3399202 .(Accessed: March 16, 2012).
30
di masa sekarang ini, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru
seputar ilmu hadis.52
Ramli Abdul Wahid dalam karyanya berjudul Perkembangan
Kajian Hadis di Indonesia, menjelaskan bahwa kajian hadis di
Indonesia dapat dikatakan masih dalam permulaan. Hal ini tercermin
dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur hadis, jumlah
para sarjana dan pakar Hadis yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat. Keterbatasan kajian Hadis di Indonesia juga tercermin
pada metode dan hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi Islam dan lembaga-lembaga yang berwenang
memberikan fatwa.53
Khairul Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi
Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, menulis bahwa sulit kiranya
melacak perkembangan hadis di Indonesia dikarenakan sedikitnya
referensi yang ada. Berbeda dengan cabang ilmu yang lain seperti
tafsir, fikih, akidah, dan filsafat yang bukunya senantiasa memenuhi
perpustakaan-perpustakaan yang ada di Indonesia.54
Martin van Bruinessen dalam karyanya Kitab Kuning,
Pesantren, dan Tarekat, ia menjelaskan bahwa pengkajian atau karya-
karya yang berkaitan dengan hadis dan ilmu hadis di Indonesia masih
sangat jarang.55
Dalam teori sejarah pemikiran terjadi perdebatan, yaitu R.G.
Collingwood dalam bukunya yang berjudul ―The Idea of History”
bahwa pemikiran sejarah hanya melakukan kembali (re-enacment)
pikiran masa lalu itu.56
Teori ini menjelaskan bahwa setiap pemikiran
menjelaskan pemikiran yang telah lalu, secara tidak langsung
menjelaskan bahwa pemikiran ulama hadis di Indonesia yang
52
Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadis dan
Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Hadis di Indonesia‖ (Disertasi: UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), 2. 53
Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia, Accademy
of Islamic Studies University of Malaya Journal of al-Qur‟an and Hadith Vol 4
(2006), 63-78. http:/albayanjournal.com. (Accessed: Mei 11, 2013). 54
Khairul Rafiqi, Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, KMA
Journal of Ḥadīth, (2012), 2. http://kmamesir.org. (Accessed: Mei 11, 2013). 55
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung:
Mizan, 1995), 161. 56
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford University Press,
1956), 302-315.
31
dituangkan dalam karyanya menjelaskan pemikiran ulama hadis yang
sebelum mereka.
Sedangkan Menurut Michel Faucault sejarah ide-ide adalah
analisa tentang kepermanenan yang terdapat dibalik perubahan-
perubahan yang nampak, analisa tentang formasi-formasi lamban yang
berasal dari begitu banyak kompleksitas, analisa tentang totalitas figur
yang secara gradual berkumpul dan tiba-tiba mengeras menjadi satu
titik jadi fokus karya.57
Adapun penelitian disertasi tentang masalah ini yaitu penelitian
disertasi Mujiyo yang berjudul Syarah hadis dalam tradisi keilmuan
Islam: genealogi dan metodologi, disertasi ini menyimpulkan bahwa
syarah hadis tumbuh dan berkembang bersama ilmu-ilmu keislaman
lainnya, terutama usul fiqh yang di antara pokok bahasannya adalah
kaidah-kaidah untuk memahami makna dan petunjuk al-Qur‘an dan
hadis.
Penelitian disertasi yang ditulis oleh Arifudin Ahmad yang
berjudul Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi Muhammad
SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail),
penelitian ini hanya meneliti pemikiran dari Muhammad Syuhudi
Ismail yang bersifat membawa pembaharuan dalam ilmu hadis.
Penelitian disertasi yang ditulis oleh Muhammad Dede
Rodliyana yang berjudul Pergeseran Pemikiran „Ulum al-Ḥadīth dan
Pengaruhnya Terhadap Pemikiran „Ulum al-Ḥadīth di Indonesia,
penelitian ini lebih kepada pengkajian terhadap perkembangan ilmu
hadis di Indonesia.
Ardiansya dengan judul skripsinya Kajian Hadis Di Indonesia:
Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M, penelitian ini
hanya meneliti literatur dari karya ahli hadis di Indonesia pada tahun
1955-2000 M.
Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu hadis, fiqh al-ḥadīth
merupakan dimensi yang tak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan
musṭalah al-ḥadīth. Hal ini karena fiqh al-ḥadīth, adalah kajian yang
mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam
hadis-hadis Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak
hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah dan Rasul
serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu,
yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang
57
Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Yogyakarta: IRCSoD, 2012),
249.
32
terkandung di balik redaksi al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi.
Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan
dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan
ṣaliḥ lī kullī zaman wa makan (selalu selaras dengan ruang dan waktu
manapun).
Hasil penelitian yang relevan dan buku-buku yang telah
diterbitkan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yang ada
kaitannya dengan penelitian ini menjadi rujukan dalam penulisan
disertasi ini, buku-buku di atas belum memuat substansi tentang
perkembangan metodologi pemahaman hadis di Nusantara ini, terutama
yang bermuatan pemetaan dan analisis metodologi pemahaman hadis
lewat perspektif genealogi. Untuk melihat bagaimana hubungan
perkembangan pemahaman hadis di Indonesia dengan ulama hadis
lainnya dilakukan dengan melihat genealogi, terjadinya dinamika
perkembangan pemahaman hadis caranya dengan memetakan dan
menganalisis dari buku-buku atau karya ulama hadis dengan beberapa
sumber sekunder untuk melihat hubungan dengan ulama hadis yang
lainnya. Disinilah signifikansi penelitian ini untuk dilanjutkan.
Penelitian ini hanya membahas beberapa ahli hadis di Indonesia
terutama ahli hadis yang banyak berkontribusi dalam hal
perkembangan kajian hadis di Indonesia, dan berkemungkinan juga
akan membahas ulama hadis pada masa awal perkembangan hadis
karena pembahasan ini dilakukan dengan melihat genealoginya.
Upaya untuk memahami kesinambungan dan perubahan-
perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembangan ilmu hadis di
Indonesia merupakan suatu yang penting untuk dilakukan agar kita bisa
memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan dalam
pembuatan metodologi kajian hadis oleh ahli hadis di Indonesia dan
pemikirannya terhadap hadis.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu ingin meneliti pemetaan dan analisis
studi hadis di Indonesia lewat perspektif geneologi. Penelitian ini juga
ingin melihat sejauh mana kontribusi pengkaji hadis dalam
perkembangan dan pergeseran ilmu hadis di Indonesia. Untuk
mendapatkan informasi yang bisa menjelaskan pemetaan pemikiran
pengkaji hadis di Indonesia dalam bidang ilmu hadis, apakah pemikiran
mereka itu memiliki corak pemahaman yang berbeda dari pemikiran-
pemikiran yang telah dikemukakan oleh para ahli sebelumnya di luar
33
Indonesia, sehingga dapat dikesan bahwa karya ulama Indonesia dalam
bidang metodologi pemahaman hadis adalah orisinil dan baru atau bisa
hanya terjemah dan saduran dari pemikiran-pemikiran ulama di luar
Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Disertasi ini sangat bermanfaat khususnya dalam bidang hadis,
diantara manfaatnya yaitu:
1. Dapat melihat pemikiran ahli hadis di Indonesia mengenai ilmu
hadis.
2. Mengetahui bagaimana kontribusi ahli hadis dalam
perkembangan dan pembaharuan ilmu hadis di Indonesia
3. Mendeskripsikan metode-metode yang digunakan ahli hadis di
Indonesia.
4. Memetakan geneologi metodologi pemahaman hadis di
Indonesia
5. Menganalisis metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat
perspektif geneologi.
F. Metodologi Penelitian
Untuk menghasilkan kajian yang lebih utuh dan komprehensif,
akan dipilih pendekatan dan analisis tertentu seperti yang akan
dijelaskan pada bagian metodologi berikut ini.
1. Sumber Data
Untuk mendapatkan data dan fakta yang obyektif dalam
penelitian ini, penulis menggunakan data kepustakaan (library
research) murni, dalam arti semua bersumber kepada
kepustakaan seperti buku-buku, jurnal-jurnal, kitab-kitab klasik,
bahkan bacaan yang bermanfaat bagi penelitian ini. Di samping
itu, metode ini dipakai dengan dasar bahwa kajian yang
dilakukan penulis dengan study case (studi kasus) yaitu dengan
melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh hadis yang diteliti.
Adapun sumber buku primer yang menjadi pegangan
penulis adalah Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-
Kontekstual Asbāb al-Wurud yang ditulis oleh Said Agil
Munawwar, Telaah Ma‟ani al-Hadis yang ditulis oleh M.
Syuhudi Ismail, Kritik Hadis yang ditulis oleh Ali Mustafa
Ya‘qub, dan Rethinking Hadith Critical Methods yang ditulis
34
oleh Kamarudin Amin. Sedangkan sumber buku sekundernya
adalah buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sesuai dengan tujuan penulisan ini, sebagai sumber-
sumber dalam penelitian ini, disamping buku-buku yang
disebutkan di atas, adalah kitab-kitab hadis yang sembilan,
Ṣahīh al-Bukhārī, Ṣahih al-Muslim, Sunan Abī Dāud, Sunan al-
Tirmidhī, Sunan al-Nasāī, Sunan Ibn Majah, Muwaṭṭa‟ Malik,
Musnad Aḥmad, dan Sunan al-Dārimī.
Dalam melihat adanya hubungan atau keterkaitan
dengan ulama hadis lainnya buku yang dipakai adalah al-Sayyīd
Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qasimī, Qawā‟id al-Taḥdīth min
Funūn Musṭalah al-Hadīth; Maḥmūd al-Ṭahan, Taisīr Musṭalah
al-Hadīth dan Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd;
Muḥammad Abū Shuhbah, Difa‟ān al-Sunnah wa Radd Shubah
al-Musytasyriqīn wa al-Kutub al-Mu‟aṣirīn; Subhī al-Ṣalīh
„Ulūm al-Hadīth wa Musṭalaḥuhu; Muḥammad ‗Ajjaj al-
Khatīb, al-Sunnah Qabl al-Tadwīn, Abū Huráirah Rawīyah al-
Islām, dan Uṣūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu;
Muḥammad Musṭafá al-Azamī, Studies in Hadīth Meṭodology
and Literature dan Manhāj al-Naqd „inda al-Muḥadithīn;
Musṭafā al-Ṣibā‘īy, al-Sunnah wa Makānatuha fī al-Tasyrī‟ al-
Islamiyyah; Nūr al-Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-
Hadīth, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ lī Imām al-Turmudzī wa al-
Muwazanah bainahu wa baina al-Ṣaḥiḥain dan al-Madkhal ila
„Ulūm al-Hadīth.
Sebagai dasar rujukan untuk mengetahui maksud untuk
kata-kata tertentu dari hadis Rasulullah digunakan buku , antara
lain, Lisān al-„Arab, susunan Ibn Manẓur al-Anṣarī (1232-1311
M). Sedangkan untuk mengetahui syarah klasik didapat dari
kitab-kitab syarah, seperti al-Kawakib al-Durarī fī Sharḥ al-
Bukhārī, karya Shams al-Dīn Muhammad ibn Yusūf ibn ‗Alī al-
Karminī (w. 786 H); Fatḥ al-Barī bī Sharḥ Ṣahīh al-Bukhārī,
karya Abū al-Faḍl Aḥmad ibn ‗Alī ibn Muḥammad ibn
Muḥammad ibn Ḥajar al-‗Asqalanī (w. 852 H); Umdat al-Qārī,
karya Badr al-Dīn Muḥammad ibn al-‗Ainī al-Hanafī (w. 855
H); Irsyād al-Sārī ilā Ṣahīh al-Bukhārī, karya Shihāb al-Dīn
Aḥmad ibn Muḥammad al-Khatīb al-Miṣrī al-Shafi‘ī, populer
dengan nama al-Qaṣṭalanī (w. 922 H) untuk Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
al-Minhāj fī Sharh Muslim ibn al-Ḥajjāj, karya Abū Zakaria
35
Maḥy al-Dīn Yaḥya ibn Sharaf al-Nawawī al-Shafi‘ī (631-676
M) untuk Ṣaḥīḥ Muslim; dan lain-lain yang menginformasikan
tentang interpretasi klasik yang dimaksud. Untuk mengetahui
kata-kata garīb dipergunakan buku al-Nihāyat fī Garīb al-
Ḥadīth, karya al-Zamakhsarī dan buku Garib al-Ḥadīth, karya
al-Harawī. Ini dimaksudkan agar pembahasan kata-kata dalam
hadis lebih lengkap dan mendalam.
Untuk memonitor asbāb wurud al-ḥadīth (sebab
kemunculan hadis) dipergunakan kitab-kitab, seperti al-Bayān
wa al-Ta‟rif fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-Sharif, karya Ibrāhīm
ibn Muḥammad ibn Kamal al-Dīn, populer dengan nama ibn
Hamzah al-Ḥusainī al-Dimasyqī (w. 1120 H) dan Asbāb Wurūd
al-Ḥadīth atau al-Luma‟ fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth, karya Jalāl
al-Dīn ‗Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī (w. 911 H), dan
lain-lain.
Guna melacak hadis-hadis dipergunakan sebagai buku
al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīth al-Nabawī, dan
tema-tema hadis dipergunakan sebagai pegangan buku Miftāh
Kunūz al-Sunnah, masing-masing karya A.J. Weinsinck dan
Muhammad Fu‘ād ‗Abd al-Bāqī.
2. Metode Pendekatan dan Analisis
Untuk menentukan corak pemikiran pengkaji hadis di
Indonesia dan mengetahui tentang cara berpikir, berperilaku,
dan cara memandang M. Syuhudi Ismail, Said Agil Munawar,
Kamaruddin Amin, Ali Mustafa Ya‘qub terhadap suatu kasus,
penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik58
. Dengan
pendekatan ini, sosok dan corak pemikiran mereka dapat
diketahui dengan jelas. Pendekatan hermeneutik ini dapat
berperan menguak cara berpikir ahli hadis di Indonesia secara
rinci pada beberapa pemikirannya yang dinilai mengandung
58
Hermeneutika dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang
sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan
pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologi di dalam manusia. Gadamer
merencanakan untuk memahami pemahaman yang komprehensif. Ia berpendapat
bahwa tugas paling fundamental dari hermeneutika tidaklah mengembangkan suatu
prosedur pemahaman, tetapi meneliti ―apa yang selalu terjadi‖ manakalah dipahami.
Hermeneutika adalah penelitian tentang semua pengalaman pemahaman. Gadamer
merumuskan pemahaman sebagai suatu masalah ontologism. W. Poespoprodjo,
Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94.
36
unsur pembaharuan. Kajian itu juga dilengkapi dengan
pendekatan sosio-historis yang ditekankan pada latar belakang
kehidupan yang dapat mempengaruhi pemikiran mereka dan
historico-critical method59
(metode kritik sejarah) yang
ditekankan pada penemuan fakta-fakta objektif dan nilai-nilai
yang terdapat dalam pemikiran ulama hadis di Indonesia.
Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama
hadis di Indonesia dengan ulama hadis yang lainnya, penulis
juga menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis.
Penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronis
(perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yang
diakronis (lama-sinambung).60
Studi atas momen-momen sinkronis akan bisa
memperlihatkan kondisi-kondisi historis dari sebuah bangunan
sosial, studi atas waktu diakronis akan bisa mengungkapkan
jaringan jejak-jejak dan kenangan-kenangan dari sebuah sejarah
yang berlangsung lebih panjang.
Dalam penelitian ini tidak akan menjelaskan atau
menganalisis individu atau tokoh secara khusus, dengan tujuan
untuk lebih memfokuskan pada gagasan dari setiap individu itu
yang tertuang dalam karyanya. Sebab, sebagaimana metode
yang digunakan Daniel Brown dalam Rethinking Tradition in
Modern Islamic Thought, untuk melihat suatu sejarah gagasan
pemikiran tidak mesti menganalisis individunya.
59
Historico-critical method (metode kritik sejarah) merupakan sebuah
pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta
objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (value) tertentu yang terkandung di
dalamnya. Montgomery Watt, Islamic Fondamentalism and Modernity (London:
Routledge, 1988), 86. 60
Penekanan Saussurean dan Foucaldian mengenai pentingnya mempelajari
momen-momen yang bersifat sinkronis, dalam penelitian ini akan diimbangi dengan
memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronis yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, 8. Dalam
kasus hukum Michaela Haasse menjelaskan bahwa model suatu hukum dapat
diperluas dengan model dari suatu kasus khusus ideal, dan perluasan model suatu
hukum dapat dilihat dengan cara pendekatan sinkronis dan diakronis. Lihat Michael
Haasse, Differences between Synchronic and Idealized Diachronic Theory-Elements:
A Reply to Marti Kuokkanenand Timo Tuomivaara, Journal for General Philosophy
of Science, Vol. 28, No. 2 (1997), 359-366. http://www.jstor.org/stable/25171097
(Accessed April 27, 2013).
37
3. Langkah-langkah penelitian
Berdasarkan asumsi awal tentang upaya memetakan dan
menganalisis metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat
perspektif genealogi, maka ditemukanlah masalah inti yang
akan menjadi objek kajian. Bertolak dari permasalahan tersebut,
penulis membuat langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, menjelaskan tentang pengertian studi
hadis serta perkembangan hadis di Indonesia.
Langkah kedua, mendiskripsikan biografi dari ulama
ahli hadis di Indonesia, dengan cara menjelaskan riwayat
pendidikan, karya-karyanya serta menjelaskan tentang
lingkungan yang mempengaruhi pemikiran mereka.
Langkah ketiga, memetakan metodologi pemahaman
hadis di Indonesia lewat perspektif genealogi.
Dalam memetakan metodologi pemahaman hadis yang
dipakai oleh ulama hadis di Indonesia, terlebih dahulu penulis
melihat sejarah perkembangan hadis dari awal hingga ke masa
modern saat ini, kemudian melihat biografi dari ulama hadis
tersebut dan melihat siapa guru-guru atau silsilah dari ulama
hadis itu, kemudian melihat karya mereka dalam mengutip
suatu buku atau karya dari ulama hadis yang lainnya.
Langkah kelima, mengadakan studi analitis kritis
terhadap metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat
perspektif genealogi.
Dalam menganalisis pemahaman ahli hadis di Indonesia
ini penulis lebih menekankan kepada mencari orisinalitas dari
karya ahli hadis di Indonesia, apakah ahli hadis ini membuat
suatu karya baru, saduran dari pemikiran atau perluasan dari
karya-karya ulama hadis lainnya.
Langkah-langkah penulis dalam menganalisis karya-
karya ahli hadis yang dipilih sebagai sumber penelitian adalah
menggali dan menganalisa dari beberapa factor yang
mempengaruhi pemikiran mereka dan dari sisi manhaj yang
digunakan dari setiap karya yang dikaji, dan mengkaji tema-
tema khusus yang menjadi titik perbedaan dari masing-masing
karya tersebut. Sehingga dengan hal itu penulis bisa memetakan
tema-tema yang menjadi arah pergeseran dari pemikiran
pemahaman hadis dari awal pembukuannya sampai pada
pemikiran yang berkembang di Indonesia.
38
Langkah keenam, mengemukakan kesimpulan dari
seluruh bahasan sebelumnya dan sekaligus menjawab
permasalahan pokok yang dikemukakan di atas. Disinilah akan
terjawab mengenai masalah, bagaimana pemetaan serta analisis
metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat perspektif
genealogi.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematikan penulisan karya ini terdiri dari enam bab
yang terdiri dari:
BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang, Permasalahan,
Penelitian Terdahulu yang Relevan, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II tentang Kajian Hadis Pada Masa Modern yang
menjelaskan tentang Paradigma Perkembangan Studi Hadis, Perbedaan
Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Timur, Kajian
Hadis dilihat dari beberapa Literatur Keilmuan, dan Konsep Genealogi
dan Pemetaan Studi Hadis.
BAB III tentang Dinamika Pemikiran Pengkaji Hadis di
Indonesia Abad XXI, menjelaskan tentang Awal Perkembangan Studi
Hadis di Indonesia, Kriteria Studi Hadis Masa Modern di Indonesia,
dan Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di
Indonesia.
BAB IV tentang Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di
Indonesia, menjelaskan tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Studi Hadis di Indonesia, Pemetaan Secara Sinkronis
dan Diakronis Perkembangan Studi Hadis di Indonesia, dan
Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia.
BAB V tentang Genealogi Perkembangan Studi Hadis Di
Indonesia yang menjelaskan tentang Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis
di Indonesia dengan Ulama Hadis Lainnya, Keontetikan Karya
Pengkaji Hadis di Indonesia, Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis
di Indonesia, dan Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia.
BAB VI. Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
39
BAB II
KAJIAN HADIS PADA MASA MODERN
Pada bab ini penulis ingin menjelaskan tentang paradigma
kajian hadis, dan juga menjelaskan tentang perdebatan akademik serta
bagaimana perbedaan metodologi pengkajian hadis antara sarjana Barat
dan sarjana Timur.
Dalam bab ini juga dijelaskan tentang kajian hadis yang dilihat
dari beberapa literatur keilmuan, serta analisis kajian hadis pada masa
modern.
A. Paradigma Kajian Hadis
Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang ada
saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. Hanya
saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara
sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis
sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis
Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup.
Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua
kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang
langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Kajian terhadap hadis-hadis Nabi, tidak hanya terbatas pada
kajian ilmu riwayah, yakni ilmu yang mempelajari tentang periwayatan
hadis atau ilmu dirayah, yakni berupa kaedah-kaedah yang bertujuan
untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat
yang bersumber dari Nabi (maqbūl) atau tidak (mardūd).61
Tetapi
secara lebih luas meliputi berbagai aspek-aspek kajian lainnya, seperti:
aspek kesejarahan, aspek pemahaman, aspek literatur-literatur, para
tokoh, dan kajian Barat terhadap hadis.62
61
Meskipun demikian, kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis lebih populer
dibanding dengan aspek-aspek kajian hadis lainnya. Ini terlihat dari banyaknya karya-
karya tentang ilmu dirayah dan riwayah hadis yang muncul sejak awal pertumbuhan
dan perkembangan ilmu hadis itu sendiri. Muhammad ‗Ajjaj al-Khatib, Uṣul al-
Ḥadīth: Ulumuhu wa Musṭalahuhu (Beirut: Dār al-Fikri , 1989), 7-8. 62
Hal ini wajar, karena kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis sangat
mendesak dan mendasar dalam menyiapkan hadis-hadis Nabi yang dapat dijadikan
sebagai sumber ajaran agama. Di samping itu, ilmu dirayah dan riwayah hadis
tumbuh dan berkembang secara simultan dengan periwayatan hadis itu sendiri. Dan
tiba pada masa kodifikasi hadis, ilmu dirayah dan riwayah semakin menempati posisi
29
40
Setelah berlalu beberapa generasi, sebagian hadis-hadis Nabi
mulai tampak sulit dipahami (mushkil), baik karena kata-kata yang ada
dalam redaksi hadis itu sulit dipahami karena asing atau juga karena
sulit dipahami ketika berada dalam konteks redaksi tertentu (gharib)63
maupun karena dipandang bertentangan satu sama lainnya
(mukhtalif).64
Pada abad modern saat ini, hadis-hadis tidak hanya
dipandang bertentangan satu sama lainnya, tetapi juga dipandang
bertentangan dengan logika dan pengetahuan modern.
Hadis-hadis ini dan juga beberapa hadis lain, adalah kontekstual
dan komunikatif pada zamannya. Tetapi setelah begitu jauh berlalu
jarak antara masa Nabi dengan dunia modern sekarang ini membuat
sebagian hadis-hadis tersebut terasa tidak lagi komunikatif dengan
realitas zaman kekinian. Hal ini wajar karena hadis lebih banyak
sebagai penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur‘an
dalam merespons persoalan dan pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan
demikian ia merupakan interpretasi Nabi SAW yang dimaksudkan
untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-
ayat al-Qur‘an.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka menguatkan kembali
Fiqh al-Ḥadīth dengan berbagai metode dan pendekatan untuk
memahami kembali hadis-hadis Nabi dalam dunia modern dirasa cukup
mendesak. Pemahaman kembali terhadap hadis-hadis Nabi ini
dimaksudkan dalam rangka mempertahankan dan membela hadis-hadis
selama hadis-hadis tersebut secara ilmu hadis dapat dikatakan dapat
diterima validitasnya sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah
yang sangat penting bagi para pengkodifikasi. Muhammad Muhammad Abu Shuhbah,
Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam, Terjemahan Maulana Hasanuddin, Judul Asli: Fī Rihabi al-
Sunnah al-Kutub al-Ṣiḥaḥ al-Sittah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1991), 47-48. 63
Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri,
atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muḥaddithin, yang
dimaksud dengan hadis gharīb adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya baik
menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati hadisnya maupun
menyendiri karena jauh dari rawi lain, yang bukan imam sekalipun. Lihat Nūruddīn
‗Itr, Manhaj an-Naqd Fī„Ulūm al-Ḥadīth, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1994), 186. 64
Hadis Mukhtalif adalah hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan
kaidah-kaidah yang baku sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan
dengan naṣ shara‟ yang lain. Nūruddīn ‗Itr, Manhaj an-Naqd Fī Ulūm al-Ḥadīth, terj.
Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), 114.
41
(maqbūl).65
Pemahaman juga bertujuan tidak hanya sebatas
mengkomunikatifkan dengan realitas zaman, tetapi juga
mengembangkan makna-makna sejauh yang dapat dijangkau oleh
redaksi hadis.
Karena itu, memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin
ilmu merupakan langkah positif dan maju dalam memahami kembali
hadis-hadis Nabi dalam dunia modern. Perkembangan ilmu-ilmu sosial,
seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah dan filsafat sangat
membantu dalam memahami kembali hadis-hadis Nabi ini.
Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunah terancam
dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat
bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunah telah menjadi sisi
paling penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas
keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam wacana
keagamaan muslim.
Namun semua ini berubah pada masa modern, ketika tekanan
untuk mereformasi, mereformulasi, dan mengenalkan kembali hukum
Islam muncul dan membuat studi hadis relevan kembali. Setelah
pertengahan abad kesembilan belas, pada prakteknya mazhab-mazhab
klasik digantikan oleh peraturan hukum sekuler yang diilhami Barat,
dan kebanyakan masyarakat Muslim ditantang oleh gerakan seperti
hadis salafiyah. Akibat tumbangnya dominasi mazhab-mazhab hukum
klasik, terbukalah ruang bagi pengkajian kembali sumber-sumber
hukum Islam dan kedudukan sunnah. Sejak terbebasnya masyarakat
Muslim dari dominasi kolonial setelah tahun 1940-an, gerakan untuk
memperkenalkan kembali hukum Islam dalam bentuk tertentu telah
memunculkan urgensi praktis untuk mempertanyakan sumber-sumber
syari‘ah, dan metode untuk menghidupkan kembali syari‘ah.66
Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan
dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak
pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama
dihadapkan pada lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas
65
Al-Qalb menurut bahasa berarti memalingkan sesuatu dari jalurnya.
Menurut istilah, hadis maqlub adalah hadis yang rawinya menggantikan suatu bagian
darinya dengan yang lain, baik dalam sanad atau matan, dan bila karena lupa atau
sengaja. Nūruddīn ‗Itr, Manhāj an-Naqd Fī Ulūm al-Ḥadīth, terj. Mujiyo (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), 237. 66
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
25.
42
sekali bahwa tantangan ini bukan berangkat dari anggapan bahwa
lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak
rasionalisme,67
tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada
perlu di-modifisir dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini
betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa
kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi.68
Kajian sarjana muslim modern cenderung kepada pengkajian
persoalan kritik teks yang pada akhirnya akan meragukan beberapa
catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Riḍa,
Maḥmoud Abū Rayyah, Aḥmad Amīn, dan Ismā‘īl Aḥmad Aḍam.69
Para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap
gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber
67
Rasionalisme ialah faham yang mengedepankan logika. Istilah ini dipakai
untuk beberapa pengertian: (a). Faham yang berpandangan bahwa segala yang ada
mempunyai sebab keberadaannya. Dalam arti, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi di
alam ini melainkan pasti ada alasan penciptaannya secara rasional. (b). Faham yang
berpandangan bahwa pengetahuan berasal dari prinsip-prinsip logika. Mirip seperti
metode eksperimen yang mengatakan bahwa semua yang ada di benak atau pikiran,
adalah lahir dari perasaan dan eksperimen. (c). Faham yang mengatakan bahwa
keberadaan akal merupakan syarat untuk melakukan eksperimen. (d). Kepercayaan
pada akal dan kemampuannya untuk menemukan kebenaran. Sebabnya menurut kaum
rasionalis –bahwa undang-undang logika bersesuaian dengan undang-undang yang
menghukum masalah-masalah eksternal. Dan bahwa segala yang ada adalah masuk
akal dan segala yang masuk akal ada. (e). Rasionalisme menurut sebagian ‗ulama
agama ialah faham yang mengatakan bahwa kepercayaan imani sesuai dengan
hukum-hukum akal. Secara umum, rasionalisme berpandangan bahwa semua yang
ada harus dikembalikan kepada prinsip-prinsip logika, seperti mazhab Descartes.
Lihat Jamil Syaliba, Al-Mu‟jām al-Falsafi (Beirut: Dār al Kitab al Lubnāni, 1973),
cet. I, Juz II, 90-91. 68
Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan
pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik.
Sunnah Nabi—praktek normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah—merupakan
bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol
kewenangan Nabi saw sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-
Qur‘an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenanya,
diskusi-diskusi tentang sunah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan
dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya (muḥadithīn) tapi
juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof. Lihat Fazlur
Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 313. 69
Membahas kritik matan, tidak dapat menerima hadis jika hadis-hadis
tersebut tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis atau jika hadis-hadis itu
bertentangan dengan hadis.
43
klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk
memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma
sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.70
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah
masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif
Nabi Muhammad SAW.). karena status Nabi Muhammad sebagai
utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar
Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur‘an. Oleh
karena itu, imitatio Muhammadi menjadi dasar bagi hukum Islam.71
Itulah penjelasan pembahasannya yang dibahas oleh banyak
kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim modern yang
menurutnya muḥadithīn masa awal telah memberikan tekanan terhadap
isnad dan saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telah
mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima
dan keliru, dan sesungguhnya para muḥadithīn sudah melakukan
pengritikan baik dari segi sanad maupun matannya.
Dalam pemahaman kontekstual hadis di Indonesia, mengusung
term dan konsep sosial dan politik. Untuk memahami sebuah teks pada
masa kontemporer, khususnya di Indonesia tidak hanya bisa digunakan
pendekatan hermeneutik saja, akan tetapi juga menggunakan beberapa
pendekatan yang memungkinkan untuk pemahaman teks sehingga
sesuai dengan perkembangan zaman.72
Hadis Nabi Muhammad SAW bukanlah suatu perkembangan
yang telat, akan tetapi hadis berkembang dengan skala yang besar
sehingga hadis memerlukan banyak sekali pendekatan untuk dipahami
sehingga tercapai pemahaman yang diinginkan sesuai dengan masa
modern pada saat sekarang ini.73
Lahirnya syarah kontemporer juga bisa dikarenakan adanya
kemunduran dalam keinginan memahami suatu hadis sesuai kebutuhan
70
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern
(Bandung: Mizan, 1996), 15. 71
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers (Colorado: Westview Press, Inc., 1994), 45. 72
Mark R. Woodward, Textual Exegesis as Social Commentary: Religious,
Social, and Political Meaning of Indonesian Translation of Arabic Hadith Texts, The
Journal of Asian Studies, Vol.52, No.3 (1993), 566. Association for Asian Studies.
http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accesed 27/01/2014). 73
Ahmad Hasan, The Sunnah-its Early Concept and Development, Journal
Islamic Studies, Vol.7. No. 1, 50. Islamic Research Institute, International Islamic
University, Islamabad.http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed 27/01/2014).
44
masyarakat. Pemahaman terhadap hadis terus berkembang sampai
kemudian bermunculan beberapa metode, misalkan metode
hermeneutik, yang di asumsikan juga turut mewarnai beragamnya
metode pensyarahan, dipandang cukup memberikan solusi pembacaan
yang cukup sesuai dengan problem masyarakat.
Kehadiran metode hermeneutik merupakan angin segar dalam
pensyarahan hadis. Masalah yang berkembang sekarang terlalu banyak
dan membuat untuk menyegerakan penjabaran dan pembahasan dengan
landasan yang ada. Metode hermeneutik dan dalam bingkai tematik
agaknya mendesak dilakukan saat itu, seperti merespon kepemimpinan
perempuan dalam ranah publik. Kehadiran hermeneutik juga tidak
terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa
dalam wacana filsafat dan keilmuan lain.74
Pengkaji hadis di Indonesia juga berusaha untuk merekonstruksi
metode pemahaman hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat
diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia. Di
antara pengkaji hadis yang mencoba merekonstruksi metode
pemahaman hadis, yaitu: dari tamatan Timur Tengah yaitu Said Agil al-
Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Daud Rasyid Sitorus dan Lutfi
Fathullah; dari tamatan Barat yaitu, Kamarudin Amin; dari Indonesia
yaitu Muhammad Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, dan Buchari M.
Pengkaji hadis di Indonesia tersebut,75
menurut asumsi penulis
mereka lebih kepada pengembangan terhadap pemahaman hadis atau
studi hadis itu sendiri, yang sesuai kenyataan belum banyak ditulis. Hal
ini senada dengan pernyataan R. Michael Feener dalam karyanya
menjelaskan bahwa selama dekade pertengahan abad kedua puluh,
sarjana Muslim Indonesia berpartisipasi dalam gerakan untuk
menciptakan pembaharuan. Begitu juga perkembangan dalam ilmu
74 Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan
kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan
mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan
patokan sebagai acuan melakukan studi kritik. Berkenaan dengan hal
ini, sebenarnya kaum muslimin telah memiliki metodologi yang
komprehensif, sebuah teori kritik yang tiada duanya. Lihat Salahuddīn
ibn Aḥmad al-Adabī, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004), 4. 75
Alasan kenapa mereka disebut dengan pengkaji hadis karena mereka
banyak membuat karya tulis mengenai hadis, dan mereka sangat berkompeten dalam
hadis sesuai dengan pengakuan dari akademik dan masyarakat.
45
hadis. Perkembangan belum pernah terjadi sebelumnya, terjadi dalam
konteks modernitas dimana Indonesia sedang menghadapi tantangan
oleh pemikiran reformis Islam.76
Muhammad Dede Rodliyana dalam karyanya Pergeseran
Pemikiran „Ulūm al-Ḥadīth dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran
„Ulūm al-Ḥadīth di Indonesia, mengatakan bahwa dalam catatan
sejarah perkembangannya, para ahli hadis, baik sejak masa sahabat
ketika dimulainya perkembangan periwayatan terhadap hadis maupun
di masa sekarang ini, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru
seputar ilmu hadis.77
Kitab-kitab hadis yang telah ditulis hingga sekarang merupakan
hasil pemahaman hadis secara normatif, ditulis oleh para ulama ahli
hadis guna menyelesaikan problem pemahaman yang dihadapi oleh
sebagian umat Islam pada zamannya. Terlepas dari segala
kekurangannya, kitab-kitab tersebut merupakan karya ilmiah yang
secara metodologis telah berkembang memenuhi tuntutan zamannya.78
Wajar apabila para ulama kontemporer merasa perlu mengembangkan
lagi metodologi pemahaman hadis guna menjawab berbagai tuntutan
kontemporer.
Setelah Rasulullah wafat, upaya pemahaman hadis sangat
diperlukan dan proses pemahaman tersebut berkembang terus hingga
sekarang. Pemahaman hadis, seperti dalam syarah-syarah terhadap
kitab hadis yang sembilan, khususnya, banyak yang terpaku kepada
gramatika bahasa dan konstekstual-historis. Belakangan ada yang
memahaminya secara filosofis.79
Contohnya dalam sebuah riwayat
bahwa Rasulullah SAW melarang wanita sebagai pemimpin.80
Banyak
76
R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National
Madhhab' Journal of Islamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,
http://www.jstor.org/stable/3399202. (Accessed: March 16, 2012). 77
Muhammad Dede Rodliyana,―Pergeseran Pemikiran ‗Ulūm al-Ḥadīth dan
Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulūm al-Ḥadīth di Indonesia‖(Tesis: UIN Syarif
Hidayatullah, 2003), 2. 78
Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi dan
Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 41. 79
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 8-9. 80
Dalam riwayatnya yang lengkap dijelaskan bahwa:
Usman ibn al-Haisam menyampaikan (riwayat) kepada kami, bahwa ‗Auf
menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari al-Ḥasan, (riwayat
itu) dari Abū Bakrah, (dia) berkata: ―Allah memberikan kepadaku manfaat
dengan ungkapan yang saya dengan ungkapan yang saya dengar sebelumnya
46
ulama secara teoritis, melarang perempuan menjadi pemimpin
berdasarkan hadis di atas larangan ini, menurut penulis, berasal dari
metode pemahaman yang bersifat tekstual, dengan tidak melihat
substansi variable kontekstual-historis.81
Bila dilihat realitas pada masa Rasulullah sampai akhir parohan
kedua abad ke-20, apalagi dengan adanya prinsip egalitarian dimana
perempuan menuntut kemitrasejajaran dengan laki-laki maka pesan
hadis tersebut sulit dan bahkan tidak bisa direalisasikan. Implikasinya
Islam akan ditinggalkan karena tidak mampu memberi jawaban
terhadap problema zaman. Dengan demikian, prinsip Islam sebagai
raḥmat li al-ālamīn akan diragukan apabila pemahaman terhadap hadis
tersebut tidak baik dan benar.82
Dari segi metodologi telah terjadi pergeseran yang cukup
signifikan di antara para ahli hadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan
kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada. Perkembangan
penyusunan kitab ‗Ulūm al-Ḥadīth memiliki siginifikansi perbedaan
yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap periode memiliki karakteristik
tertentu yang masing-masing memiliki maksud dan tujuan yang tertentu
pula. Sebelum periode Ibn Ṣalah, manhaj penyusunan seperti itu
didasari rasa prihatin akan kondisi yang terjadi pada zamannya dan
kemunduran dalam perlakuan ilmiah terhadap periwayatan hadis. Juga,
dimaksudkan untuk mengoreksi kecendrungan tersebut. Oleh sebab itu,
dalam manhaj penyusunannya dimulai dengan gambaran yang berupa
memberikan rangsangan pada pembacanya untuk kembali
memperhatikan dan mempelajari hadis.83
dari Rasulullah SAW. Pada perang Jamal ketika saya hampir bertemu
dengan pasukan unta dan berperang dengan mereka. (Abū Bakrah) berkata:
―Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia
menjadikan anak perempuan Kisra menjadi Ratu, (Rasulullah) bersabda:
―Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk
memimpin) urusan mereka kepada perempuan.‖
Abū ‗Abdullāh Muḥammad ibn Ismā‘il al-Bukhāri, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar min Umūr Rasulullah SAW wa Sunanih wa Ayyāmih (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t), Juz IV, 228; Abū ‗Abdullāh Ahmad ibn Hanbal, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal
(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1979), Jilid V, 38. 81
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,10. 82
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,10. 83
Hal tersebut sangat didukung pula dengan kondisi mereka yang masih
dekat dengan tahun-tahun ketika korelasi besar riwayat dikumpulkan, dan mereka
tetap menjadi rekan dalam karya-karya yang berisi pelengkap atau pengoreksi atas
koleksi-koleksi ini. Lihat Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum
47
Namun perlu disadari bahwa tradisi kenabian jauh lebih
kompleks dibanding penuturan sebuah hadis. Karena dalam sebuah teks
(within text) terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang
tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar pembaca lebih
mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disajikan
Rasulullah SAW. Dikatakan demikian, karena hadis hanyalah sebagian
personifikasi Rasulullah dan sahabatnya, sehingga jika hadis ditarik dan
dipisahkan dari asumsi-asumsi sosial sangat mungkin terjadi distorsi
informasi atau bahkan salah paham. Jadi, tanpa memahami motif dan
tujuan dibalik penyampaian sebuah hadis, suasana sosio-historis-
psikologis, dan audien yang dihadapi oleh Rasulullah, maka sangat
mungkin pembaca akan salah paham ketika membaca sebuah hadis.
Apalagi, ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan
dalam teks maka sangat potensial akan melahirkan salah paham
dikalangan pembaca.84
Analisis pada tataran komparasi historis belum dapat dikatakan
pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika seorang pengamal
hadis hanya terkurung pada analisis historis ini, maka setiap ada
perbedaan lafal atau makna sekecil apapun pada sejumlah hadis
langsung saja melakukan tarjih untuk penyelesaiannya. Ketika ada dua
hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan yang
dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini
terkadang juga terlihat sikap pemakai hadis hanya berpegang kepada
tertib urut martabat kitab-kitab hadis yang bersifat umum (jumlatan),
bukan bersifat hadis perhadis (tafṣilan).85
Menurut Daniel Djuned dalam karyanya ia menjelaskan bahwa
segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaedah-
kaedah Fiqh al-Ḥadīth sesungguhnya bagi seorang analis ilmu hadis
atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit
untuk merumuskan kaedah-kaedah baru. Semuanya sudah ada dalam
khazanah masa lalu. Cuma saja kaedah-kaedah dimaksud terberai
dalam kitab-kitab fikih dan Uṣūl al-Fiqh, kitab-kitab hadis, kitab-kitab
syarah hadis dan kitab-kitab tafsir, tidak tersusun secara sistematis
dalam sebuah kitab khusus. Karena itu, ketika umat Islam zaman
al-Ḥadīth dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Ḥadīth di Indonesia‖ (Tesis:
UIN Jakarta, 2003), 102-103. 84
Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,14. 85
Daniel Djuned, Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-
Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), 21.
48
modern ini hendak kembali kepada hadis, kaedah-kaedah dimaksud
kurang diperhatikan.86
Upaya sistematisasi kaedah-kaedah pemahaman
hadis ini dirasa sangat mendesak. Para ahli hadis khususnya di
Indonesia mencoba merintis jalan ke arah sistematisasi keilmuan di
bidang ilmu hadis yang secara fakta belum banyak ditemukan dan
dibuat oleh ahli hadis lainnya, baik oleh ahli hadis di Timur Tengah
ataupun di Barat sekalipun.
Penelitian terhadap hadis sangat diperlukan, karena hadis
sampai kepada umat Islam melalui jalur dan jalan periwayatan yang
panjang. Sehingga wajar apabila terdapat kesalahan-kesalahan terhadap
pemahaman hadis Nabi SAW tersebut. Hadis tidak bertambah
jumlahnya setelah wafatnya Rasulullah SAW sedangkan permasalahan
yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam memahami hadis
diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang
komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual dengan berbagai
bentuk dan kaedah-kaedahnya.87
Dan kemungkinan pemakaian
metodologi baru dalam memahami hadis pada kondisi permasalahan
masyarakat Indonesia yang komplek sangatlah mungkin terjadi.
Dengan melihat keadaan yang melatarbelakangi munculnya
suatu hadis, maka terkadang sebuah hadis bisa dipahami secara
tekstual maupun kontekstual, atau dipahami secara historis maupun
normative. Oleh karena itu, Fazlurrahman menyebutkan hadis Nabi
sebagai sunah yang hidup. Formalisasi sunah atau verbalisasi sunah,
dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Hadis Nabi harus
86
Hadis sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian
banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar
kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan
oleh Rasul. Tanpa memahami motif di balik penyampaian sebuah hadis, suasana-
psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham
dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis
dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran
yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali. Sebuah idealisme kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang tidak dibarengi
dengan penguasaan kaedah-kaedah dimaksud telah melahirkan fakta kontra produktif
yang menunjukkan umat sendiri sebagai yang telah disebutkan di atas. Daniel Djuned,
Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis (Banda Aceh: Citra
Karya, 2002), 22. 87
Yunahar Ilyas dan M. Mas‘udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadis (Yogyakarta: LPPI, 1996), 3-4.
49
ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi
dewasa ini.88
Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki
banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami, sahabat dan
lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Maḥmud Shaltut,
mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada
fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.89
Hadis sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan
dalam sebuah bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai
sebuah bahasa keagamaan tentu sedikit tidaknya berbeda dengan
bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu ciri yang paling menonjol
dalam bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian bahasa
metaforis. Hal ini agaknya tak dapat dihindari karena untuk
membahasakan dan mengekspresikan tentang Tuhan dan objek yang
abstrak, manusia tak bisa tidak mesti menggunakan ungkapan yang
familiar dengan dunia indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-
simbol. Bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa
mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif
sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan
merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang ucapan itu sendiri.
Bahasa metaforis ini tampaknya cukup efektif menghancurkan
kesombongan masyarakat Jahiliah.90
Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat
diungkapkan sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang
diperuntukkan baginya (bukan makna aslinya) karena adanya hubungan
(‗alaqah) diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan
makna asli tersebut.91
Jadi pengalihan makna hakiki kepada majazi
dilakukan karena adanya ‗alaqah (korelasi) dan qarinah (tanda-tanda)
yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.
Bertolak dari kenyataan di atas, kiranya sangat mendesak upaya
mencari format baru untuk studi dan pengembangan metoda
pembelajaran ilmu yang bernilai strategis ini. Dengan itu, semangat
88
Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, 1984), 38. 89
Maḥmūd Shaltut, Al-Islām „Aqidah wa Shāri‟ah (Kairo: Dār al-Qalam,
1996), 513. 90
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 82. 91
Aḥmad Ḥashimi, Jawāhir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 290.
50
kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang tumbuh dan berkembang
dapat diimbangi dengan penguasaan kerangka keilmuan dan metode
pemahaman kedua sumber ajaran agama tersebut. Tanpa keseimbangan
ini, semangat yang bermuatan positif sebagai yang dimaksudkan di
atas, sesuai dengan sejumlah kasus di lapangan, akan melahirkan kontra
produktif terhadap pesan-pesan ruhaniah al-Qur‘an dan hadis
tersebut.92
Sejumlah kasus khilafiyah dalam masyarakat Islam, terutama
dalam konteks kekinian di Indonesia lebih disebabkan oleh keminiman
analisis filosofis terhadap ilmu hadis dan hadis itu sendiri dalam sebuah
kerangka keilmuan yang jelas dan sistematis. Kenyataan lain, keminian
ilmu dan kekakuan tekstual dalam pemaknaan hadis, gerakan yang
berupaya memurnikan ajaran Islam, kadangkala tidak tepat dikatakan
―pemurnian‖, melainkan telah terjebak ke dalam ―pengikisan‖‖
sebagian ajaran Islam itu sendiri. Akibatnya, apa yang dihasilkan
gerakan kembali kepada al-Qur‘an dan hadis dalam memahami agama
tidak lebih dari pada ijtihad para ulama yang sudah ada.
B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan
Sarjana Timur
Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian
banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti
hingga sekarang, kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut
kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya
terus berkembang.
Ada perbedaan antara antara kajian sarjana Barat dengan sarjana
Timur dalam metodologi pemahaman hadis, yaitu:
1. Kajian Hadis di Timur Tengah
Merujuk kepada kitab syarah dari al-Kutub al-Sittah
(kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, al-Jāmi‟ al-Ṣaḥīḥ, Sunan Abī Dāud,
Sunan al-Tirmidhī, Sunan al-Nasā‟ī, dan Sunan Ibn Mājah)
dapat disimpulkan bahwa kecenderungan ulama dalam
memahami hadis Nabi SAW adalah dengan menggunakan
empat metode:
1) Metode tahlilī (analitis)
Tahlilī berasal dari bahasa Arab تحهال -حهم –حهم yang
berarti mengurai. Dalam bukunya Sejarah Ulum dan al-Qur‟an,
92
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-
Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), 11.
51
M. Quraish Shihab mengartikan metode tafsir tahlilī yaitu
sebuah metode penafsiran dengan cara menyoroti ayat-ayat al-
Qur‘an dengan memaparkan segala makna dan segala aspek
yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang
terdapat dalam al-Qur‘an mushaf ‗Uthmānī. 93
Adapun yang dimaksud dengan metode tahlilī (analitis)
dalam memahami hadis ialah memahami hadis-hadis Rasulullah
SAW dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam hadis-hadis yang dipahami serta menerangkan makna-
makna yang tercakup di dalam hadis tersebut sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan pensyarah.94
2) Metode Ijmālī (global)
Metode ijmālī maksudnya adalah memahami hadis
secara ringkas, tapi merepsentasikan makna literal hadis dengan
bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca
dengan sistematika penulisannya menurut susunan hadis dalam
kitab.95
Aplikasi metode ini di antaranya dapat dijumpai pada
kitab Sunan al-Nasā‟ī bi Sharh al-Suyūṭī Hasiyat al-Sindī.
93
Muhammad Quraish Shihab, Sejarah Ulūm dan al-Qur‟an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), 172. 94
Pada dasarnya cara kerja penafsiran al-Qur‘an yang menggunakan metode
tahlilī juga ditemukan dalam metode tahlilī untuk memahami hadis. Langkah-langkah
kerja metode ini dapat diketahui dari kitab-kitab syarah yang menggunakan metode
ini di antaranya Fath al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karangan al-Asqalānī dan
kitab Irshad al-Sarī li Sharh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karangan al-Qasṭalanī. dengan
menganalisa kitab syarah ini secara umum, penulis mengetahui bahwa langkah yang
ditempuh pengarangnya dalam memahami hadis di antaranya adalah menuliskan
hadis yang akan dijelaskan; memahami hadis kata demi kata, kalimat demi kalimat,
hadis demi hadis. Maksudnya adalah memahami hadis dengan mengambil makna
secara mendetail, dalam arti kata seorang peneliti harus memahami maknanya satu
demi satu, baik berasal dari kata, kalimat maupun beberapa hadis; menjelaskan asbāb
al-wurūd (latar belakang munculnya) hadis jika ada; mengungkapkan pemahaman-
pemahaman yang pernah diberikan Nabi SAW, sahabat dan ulama sesudah itu;
Menjelaskan munasabah (hubungan antara satu hadis dengan hadis lainnya);
Memberikan syarahan/pemahaman terhadap hadis menurut versi pensyarah. Namun,
pada umumnya syarahan ini tidak berasal dari pribadi pensyarah sendiri tapi juga
merujuk kepada pendapat ulama-ulama lainnya. Buchari M. Metode Pemahaman
Hadis sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 26. Dan Abd al-
Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah
Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah), 23-37. 95
Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 36-37, Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī
52
Metode ini memiliki ciri bahwa pensyarah langsung
menjelaskan hadis dari awal hingga akhir tanpa perbandingan
dan penetapan judul. Hadis dijelaskan dengan bahasa yang
singkat, padat dan ringkas, sehingga membaca syarah dengan
metode ini seolah-oleh membaca teks hadis karena metode
ijmaliy tidak memberikan cukup ruang yang luas bagi orang-
orang yang mensyarah hadis untuk memasukkan interpretasinya
lebih jauh dan dalam.
3) Metode Muqaran (komparatif)
Memahami hadis dengan metode muqaran (komparatif)
maksudnya adalah memahami hadis (mensyarah) dengan cara
membandingkannya dengan hadis yang memiliki redaksi yang
sama atau mirip dalam kasus yang sama dan membandingkan
berbagai pendapat ulama dalam mensyarah hadis.96
Ṣaḥīḥ al-
Muslim bi Sharh al-Nawāwī adalah salah satu kitab yang
menggunakan metode ini.
Memahami hadis dengan menggunakan metode ini
mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya membandingkan
hadis dengan hadis melainkan juga membandingkan pendapat
para pensyarah. Hal tersebut juga memiliki ruang lingkup
masing-masing. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi
dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya serta mencakup perbandingan antara kandungan
makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Di
samping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan
oleh hadis yang diperbandingkan.
Aspek yang kedua meliputi perbandingan pendapat para
pensyarah yang juga memiliki ruang lingkup yang sangat luas
karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik
menyangkut kandungan makna hadis maupun korelasi antara
hadis dengan hadis.
al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah
Jumhuriyah), 38. 96
Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 43, Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-
Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah),
39.
53
4) Metode Mauḍū‟ī (tematis)
Memahami hadis, pada dasarnya diawali dengan
pendekatan lughawi sesuai dengan kaedah kebahasaan. Artinya
terlebih dahulu hadis-hadis tersebut harus dipahami dengan
makna lahiriahnya supaya lebih mudah ditangkap. Akan tetapi
pemahaman ini sering tidak tepat, karena kesimpulan yang
ditarik cenderung berbeda dengan pemahaman hadis dan
terkadang bertentangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya
pendekatan pemahaman yang komprehensif terhadap hadis
Nabi SAW, sehingga tidak ditemukan lagi pertentangan dan
kerancuan pemahaman. Pemahaman secara parsial, namun
menyeluruh dengan menghimpun hadis-hadis yang berbicara
tentang satu tema. Pemahaman seperti ini dikenal dengan
pemahaman tematis-korelatif.
Pemahaman hadis secara tematis-korelatif ini
merupakan padanan dari istilah tafsir mauḍū‟ī dalam kajian
tafsir. Yang dimaksud dengan pemahaman tematis-korelatif
adalah metode pemahaman terhadap hadis-hadis Rasulullah
SAW, dimana hadis-hadis yang terkait dalam satu tema atau
menyangkut suatu masalah tertentu dikaji dan dipahami dengan
memperhatikan keterkaitan makna antara yang satu dengan
lainnya sehingga dengan demikian akan di dapat pemahaman
yang komprehensif.97
Metode ini memuat berbagai aspek yang terkait
dengannya seperti asbāb al-wurūd, kosa kata dan dalil-dalil
yang mendukung. Dengan menggunakan metode tematis ini
usaha untuk memahami hadis dan menjelaskannya akan terlihat
lebih rinci dan tuntas karena yang menjadi ciri utama dari
metode ini adalah menonjolkan tema atau judul serta topik
pembahasan.
Keempat metode ini pada dasarnya digunakan dalam
memahami hadis Nabi SAW. Kitab syarah yang ada pada
umumnya memiliki keistimewaan dan ciri-ciri tersendiri yang
97
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
(Padang: IAIN IB Press, 1999), 111. Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-
Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah),
39.
54
menggambarkan kecenderungan dan metode yang digunakan
dalam memahami hadis Nabi SAW tersebut.98
Menurut Daniel Djuned dalam bukunya ―Paradigma
Baru Studi Hadis”, ia menyatakan bahwa Fiqh al-Ḥadīth
merupakan ilmu hadis yang sangat jarang dibahas dan karya-
karya modern di bidang Ulūm al-Ḥadīth, sebut saja misalnya
Uṣūl al-Ḥadīth ‗Ajjaj al-Khatib dan Mabahīth fī Ulūm al-
Ḥadīth Subhi al-Ṣalih, isinya hanya mengenai bahasan tentang
ilmu sanad, sementara yang berhubungan dengan
pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya saja.
Sentakan dan hentakan ke arah fiqh al-ḥadīth ini justru muncul
dari tokoh-tokoh yang bukan spesialis ulūm al-ḥadīth, seperti
Muḥammad al-Ghazalī dan Yusūf al-Qaraḍawī.99
Sebagai seorang pemerhati dan juga termasuk salah
seorang ahli hadis, Yusūf al-Qaraḍāwī turut menawarkan cara
untuk memahami hadis selain yang telah dipaparkan di atas.
Menurutnya, untuk memahami hadis dengan baik adalah dengan
cara.100
1) Memahami sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an
2) Mengimpun hadis dalam satu tema
3) Mencoba mengkompromikan atau men-tarjih hadis-hadis
mukhtalif
4) Memahami hadis dengan bantuan sebab munculnya dan
tujuan (maqashid-nya)
5) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan
yang tetap
6) Membedakan hakikat dan majazi
7) Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib
8) Memastikan kandungan lafaz.
Langkah-langkah dalam memahami hadis yang
diterapkan oleh Yusuf al-Qaraḍawī ini juga dipakai oleh ulama
lain seperti Muhammad al-Gazalī yang beliau tuangkan dalam
98
Rajā‘ Musṭafa Ḥazīz, I‟lām al-Muḥadithīn wa Manāhajihim fī Qurun al-
Thānī wa al-Thālithah al-Hijrī (Keiro: t.t., t.th.), 1-25. 99
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Hadis, 3. 100
Yusuf al-Qaraḍawī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Terj. Judul
Asli: Kaifa Nata‘amalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah, Penterjemah: Muhammad al-
Baqir) (Bandung: Karisma, 1994), Cet. Ke-3. 92-195
55
bukunya as-Sunnah al-Nabāwiyah Abinan Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadīth.
Ada pun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya
dalam memahami hadis terutama hadis-hadis aḥkam (hadis-
hadis yang berkaitan dengan hukum syari‘at) adalah pendekatan
kaidah uṣul, yaitu memahami hadis-hadis Rasulullah SAW
dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau
kaidah-kaidah uṣul terkait yang telah dirumuskan oleh para
ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena untuk
memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-istinbaṭ-
kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat
kaitannya dengan kajian ilmu uṣul.101
Pendekatan dengan
memperhatikan kaidah uṣul ini telah dipraktekkan oleh Imam
al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan permasalahan pemahaman
hadis-hadis mukhtalif.
Usaha memahami hadis Nabi SAW ternyata
menghembuskan angin segar di kalangan ulama, karena mereka
laksana mendapatkan ilham dan sekaligus telah membuka
wacana pemikiran bagi intelektual muslim hingga abad ini.
Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk memahami hadis
dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang benar. Semua
usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan
panduan dalam kehidupan.
Teori yang digunakan oleh kelompok tekstual di Timur
Tengah adalah teori tekstual-legalistik-normatif. Teori ini
menekankan pada aspek gramatika bahasa. Argumen yang
dijadikan dasar adalah meskipun hadis diyakini sebagai sabda
Nabi SAW, namun karena tertuang dalam bahasa Arab, maka
cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah dengan
merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu sendiri. Struktur
kebahasan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika
bahasa dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi
pemahaman hadis, teori ini merupakan akibat dari pengaruh
101
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
(Padang: IAIN IB Press, 1999), 98
56
yang kuat dalam sejarah pemikiran ilmu bahasa yang
melahirkan dua mazhab, yaitu mazhab Kufah dan Basrah.102
Pada permulaan abad XIV H, para ulama hadis mulai
bangkit membahas ilmu-ilmu hadis dan mengaitkannya dengan
perkembangan pengetahuan modern sebagai akibat persentuhan
antara dunia Islam dengan dunia Barat.103
Perlunya kajian ulang
terhadap proses studi hadis, tanpa perlu menghilangkan
otensitas spritualitas oleh perubahan kehidupan masyarakat
modern dalam era teknologi dan informasi yang begitu cepat.
Ulama yang tergolong tanggap akan masalah ini, antara lain al-
Qasimī, Maḥmūd al-Ṭahhān, Abū Shuhbah, Subḥi al-Ṣalīh,
Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb, M.M. Azamī, Musṭafá al-Ṣibā‘ī,
Nūr al-Dīn ‗Itr, dan Naṣiruddīn al-Albanī.
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam
merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang
dihadapi umat Islam pada masanya.104
Kemunduran progressif
kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam,
setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam
di kalangan warga Arab dipinggiran Imperium itu, yang
102
Mazhab Kufah lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang memiliki
akar dan karakter yang khas sehingga kalau menemukan beberapa kata dan kalimat
yang sulit dalam hadis, maka pemahamannya harus ditelurusi pada tradisi bahasa
Arab klasik sebagaimana orang Arab dahulu memahaminya. Adapun mazhab Basrah
yang ditekankan adalah logika universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani
(Aristoteles), bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,
hadis sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia tentunya
memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter lokal. Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 210. 103
Pertemuan umat Islam yang dalam kemundurannya dengan Barat yang
maju mengakibatkan timbulnya pemikiran untuk meningkatkan kembali kehidupan
umat Islam. Disisi lain, timbul pula masalah di kalangan umat Islam dengan
munculnya ―intelektual baru‖ yang sering disebut ―cendekiawan sekular‖ yang lebih
berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Azyumardi Azra, Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 53. 104
Dalam sejarah Islam, periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-
19, yang ditandai dengan mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern ke dunia Islam. Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-
ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan
sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-
pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 2.
57
terpenting diantaranya adalah gerakan Wahhabi, sebuah gerakan
reformis puritanis. Gerakan ini merupakan sarana yang
menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20
yang lebih bersifat intelektual.105
Dalam pemahaman hadis
Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah, telah banyak
ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusūf
Qaraḍawī, Muḥammad al-Ghazalī, dan lain-lain.106
Pendekatan filosofis dapat memberikan perspektif baru
tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan
(madlul/hadaf) yang terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa
disana disebutkan media (wasilah) sebagai wadah bagi
terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis
dengan pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik
tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.
2. Kajian Hadis di Barat
Hadis Nabi, atau yang sering juga disebut sebagai
sunnah Nabi, ternyata tidak hanya menarik perhatian umat
Islam dan para sarjana muslim untuk mempelajari dan
mengkajinya. Sejumlah sarjana Barat (non-muslim) juga terlihat
105
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
25. 106 Pendekatan filosofis ini, bukanlah hal baru dalam wacana Islam. Uṣul al-
Fiqh sebagai metode memahami kitab suci dan khazanah Islam yang ditulis dalam
bahasa Arab, bisa disebut sebagai kajian filosofis. Sebab di dalam Uṣul al-Fiqh
terdapat pembahasan Qiyas (analogi) yang cara kerjanya lebih luas dan sistematik dari
metode logika yang ditawarkan Aristoteles, misalnya. Di samping itu, terdapat pula
kaidah-kaidah syari`ah yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik
segenap aturan formal. Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari‘ah
ini disebut dengan prinsip maṣlaḥah. Dalam kajian Uṣūl al-Fiqh, kajian tentang pendekatan filosofis telah banyak
ditempuh oleh ulama, antara lain Imam al-Shāṭibī melalui karyanya ―al-Muwāfaqāt fī
Uṣūl al-Sharī‟ah‖ atau yang dilakukan oleh Syekh ‗Alī Aḥmad al-Jurjawī melalui
karyanya ―Hikmah Al-Tashrī‟ wa Falsafatuhu‖. Di dalam buku-buku tersebut,
pengarangnya berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran
agama Islam, seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan
sebagainya. Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah, tujuannya
antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan
orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan
lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan
berbagai contoh lainnya. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 31.
58
memiliki perhatian serius terhadap masalah ini. Mereka banyak
mengkaji hadis Nabi, terutama menyangkut soal otentisitasnya.107
Ada tiga peradaban yang mempunyai peranan penting
terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik
Barat: Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani dan Islam. Masing-
masing peradaban ini memberikan sumbangan yang khas.
Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban Barat
dewasa ini lahir dari puing-puing kehancuran peradaban
Yunani-Romawi. Peradaban Barat merupakan kelahiran
kembali peradaban Yunani-Romawi ―With disintegration, kata
Toynbee, comees rebirth”. Apa yang disebut ‗dunia Barat‘
dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi
Bizantium yang terbelah menjadi dua: Bizantium Barat
(Western Byzantium) dan Bizantium Timur (Eastern
Byzantium),atau Konstatinopel.108
Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani-
Romawi, sebagaimana kedua peradaban terakhir berhutang budi
pada peradaban-peradaban kuno Mesopotamia, Mesir, India,
Kreta, dan Persia. Barat berhutang budi kepada Yunani-Romawi
hampir dalam semua aspek peradaban dan tradisi keilmuan-nya:
seni, sains, filsafat, etika, politik, kedokteran, matematika dan
lain-lain. Pandangan hidup Barat (western way of life) dewasa
ini, pada satu sisi, bisa dilihat sebagai kelanjutan pandangan
hidup orang-orang Yunani; cita-cita kebebasan, optimisme,
107
Sarjana Barat sudah lama tertarik dengan kajian hadis dan penulisan teks
hadis, terutama terhadap isu keontetikan dan originalitas. Pendekatan yang digunakan
oleh sarjana Barat ini terhadap hadis adalah fokus terhadap matan (teks) dari materi
hadis, dan juga mereka juga fokus terhadap sanad (perawi hadis), pendekatan ini
mereka sebut dengan studi analisis sanad (isnad-analytical study). Lihat Halit Ozkan,
The Common Link and Its Relation The Madar, Journal Islamic Law and Society,
Vol.11, No.1 (2004), 42. http://www.jstor.org/stable/3399380. (Accessed:
27/01/2014). 108
Ada kekuatan sejarah yang memungkinkan terjadinya ‗kelahiran kembali‘
sebuah peradaban, yaitu terdapatnya minoritas kreatif dalam puing-puing suatu
peradaban yang mampu merespons secara positif terhadap tantangan lingkungan.
Semakin canggih kemampuan minoritas kreatif itu merespons tantangan, semakin
canggih pula bentuk peradaban yang dilahirkan kembali itu. Asumsi teoritis inilah
yang oleh Toynbee dinamakan teori tantangan-Response (Challenge-response
theory). Lihat Arnold Toynbee, Civilization on Trial (London, New York, and
Toronto: Oxford University Press, 1949), 5.
59
sekulerisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta
pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan Barat
saat ini juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan
Yunani Kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat
duniawi, praktis, mengabdi pada kepentingan manusia (bukan
Tuhan).109
Jika dilihat historinya tidak ada keterangan jelas, kapan
dan siapa yang sebenarnya orang Barat yang pertama kali
mempelajari Islam. Para pakar berbeda pendapat, ada yang
mengatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu‘tah (8
H) kemudian perang Tabuk (9 H), di mana terjadi kontak
pertama kali antara orang-orang Romawi dengan orang-orang
Muslim. Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu
terjadi ketika peperangan antara kaum Muslimin dan Nashrani
di Andalus (Spanyol), terutama setelah Rasa Alphonse VI
menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M.110
Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa orang-orang
seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070-
1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de
Gremona (1114-1187 M), Leonardo Fibonacci (1170-1241 M)
dan lain-lain pernah tinggal di Andalus, dan mempelajari Islam
di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla, dan lain-lain.
Sepulang dari Andalus mereka menyebarkan ilmunya ke daratan
Eropa.111
Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada
pertengahan abad ke- 19 M., yaitu pada tatkala hampir seluruh
bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman
109 Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan kepada Barat
metode-metode eksperimental dan spekulatif yang peranannya sangat fundamental
dalam pengembangan pengetahuan. Melalui karya-karya para sarjana dan filosof
Yunani-Romawi, Barat mengenal Empirisme dan Rasionalisme. Yunani yang
mengajarkan kepada Barat agar menempatkan akal di atas segalanya, akal sebagai
sumber kebenaran dan lain-lain. Lihat Edward Manshal and Philiph Lee Ralph, World
Civilization from Ancient to Contemporary (New York: Norton a co., 1964), 242. 110
Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat
merasa terdesak oleh ekspansi Islam, terutama setelah jatuhnya Istanbul pada tahun
857 H ke tangan kaum Muslimin di mana kemudian mereka masuk ke Wina. Orang-
orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus untuk
mempertahankan eksistensi kaum Nashrani. Lihat Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 7. 111
Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 7.
60
kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Pertanyaan tentang
autentisitas, originalitas, authorship, asal muasal, keakuratan
serta kebenaran hadis muncul, dan menjadi isu pokok dalam
studi Islam, khususnya yang menyangkut hukum Islam.
Pertanyaan ini muncul dari sarjana Barat dan juga sarjana
Muslim. Abu Rayyah, misalnya berpendapat bahwa hadis Nabi
telah rusak atau dengan kata lain hadis Nabi telah telah hilang
karena riwayah bi al-ma‟nā (periwayatan secara makna, bukan
lafal).112
Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa orang yang
pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam adalah
Alois Sprenger. Hal tersebut didasarkan kepada ungkapan
beliau dalam pendahuluan bukunya yang berjudul ―Die Sunna‟
Das Leben und die Lehre des Mohammad‖ ia telah mengklaim
bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita
bohong tapi menarik). Ia juga menyatakan keragu-raguannya
terhadap keakuratan hadis sebagai sumber sejarah. Klaimnya
tersebut juga diikuti oleh rekan satu misinya William Muir,
orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi
Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. 113
Kajian Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat
pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi ke-Islaman
secara umum, termasuk bidang sastera dan sejarah. Baru pada
masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara
khusus kepada bidang hadis Nabawi.
Pada abad XIX dan XX, para sarjana Barat, seperti
Goldziher, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas
teori kritik hadis yang digunakan oleh para sarjana muslim dan
sekaligus mempertanyakan otentisitas hadis Nabi yang terdapat
dalam kitab-kitab hadis kanonis.114
Sebagai kelanjutannya,
112
Mahmud Abu Rayyah, Aḍwa „alā As-Sunnah Al-Muhammadiyah (Kairo,
t.tp., 1958), 55. 113
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema
Insani, 2008), 28. 114 Josep Schacht misalnya merumuskan teori common link
untuk meneliti asal usul dan otentisitas hadis Nabi. Dan masa
berikutnya teori ini dikembangkan oleh Juynboll, salah seorang sarjana
Barat yang juga memiliki perhatian besar terhadap hadis Nabi. Tokoh
ini bahkan telah lebih dari dua puluh tahun melakukan penelitian atas
61
mereka mulai merumuskan teori teori baru yang diharapkan
akan betul-betul mampu menyeleksi dan memisahkan hadis-
hadis palsu dari yang ṣaḥīḥ. Di antaranya mereka menggunakan
metode common link dalam kajian hadis.
Konsep common link dan implikasi metodologisnya
digunakan secara sistematis dalam kesarjanaan hadis Muslim, ia
secara ekstensif telah digunakan sebagai sebuah alat penelitian
yang sangat kuat dalam kesarjanaan hadis Barat, meskipun
beberapa sarjana Barat menolaknya. Namun demikian, common
link telah ditafsirkan secara berbeda. Perbedaannya terletak
bukan hanya pada bagaimana menentukan common link tetapi
juga pada apakah common link dianggap sebagai originator
(pemrakarsa atau pembuat) dari sebuah hadis tertentu. Yang
cukup menarik, dengan menggunakan teori common link,
sejumlah sarjana Barat akhir-akhir ini berhasil memberi
penanggalan sejumlah hadis lebih awal dari yang dilakukan oleh
Schacht, kampiun dari konsep ini, sementara sarjana Barat yang
lain memberi penanggalan lebih belakangan. Sementara itu,
penggunaan sejumlah sarjana Barat atas konsep the argumentum
berbagai hadis Nabi dengan menggunakan teori common link, Juynboll
sampai pada kesimpulan bahwa sejumlah hadis Nabi yang terdapat
dalam kitab kitab kanonis tebukti tidak memiliki klaim kesejarahan. Ini
berarti bahwa hadis hadis tersebut adalah palsu (tidak benar benar
berasal dari Nabi). Meskipun teori dan metode Schacht telah banyak mendapatkan kritikan
dan sanggahan, namun teori tersebut tetap diadopsi dan dikembangkan oleh Gauthier
Juynboll. Menurut Juynbll, hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukharī
atau Ṣaḥīḥ Muslim sekalipun belum tentu berarti hadis itu otentik dan punya landasan
sejarah yang pasti, karena metode kritik hadis yang digunakan sarjana Muslim
memiliki banyak kelemahan dan belum mampu untuk membuktikan kemurnian dan
keaslian sebuah hadis. Atas dasar itu, Juynboll menawarkan metode kritik hadis
common link sebagai ganti dari metode kritik hadis para sarjana Muslim. Metode
common link ternyata tidak hanya bermaksud untuk merevisi metode kritik
konvensional para ahli hadis, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi
pijakan bagi metode itu. Sebagaimana diketahui metode kritik hadis konvensional
berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya berpijak
pada kualitas periwayat namun berpijak pula pada kuantitas periwayatnya. Lihat Ali
Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,
2007), 2.
62
e silentio terbukti ―berbahaya‖ atau tidak akurat, khususnya
mengenai penelitian masa awal Islam.115
Dalam pemahaman hadis, ahli hadis di Timur Tengah
biasanya menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami
hadis, berbeda halnya dengan pendekatan yang digunakan oleh
pengkaji di Barat yang kecenderungannya lebih kepada
kontekstual.
Sebenarnya, ulama-ulama salaf terdahulu, telah
membentuk suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan al-
Qur‘an dan hadis dengan konteks mereka. Namun, ketika
dibawa kepada konteks yang berbeda, metodologi itu tidak
115
G.H.A. Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena
common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan
bukan penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk
kepada Schacht seraya menyetakan bahwa dialah pembuat istilah common link dan
yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian, Schacht
ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan
perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak awal, fenomena common link ini sudah dikenal oleh para ahli hadis di
kalangan Islam. Al-Tirmidhi dalam koleksi Hadisnya menyebut hadis-hadis, yang
menunjukan adanya seorang periwayat tertentu. Si a misalnya, sebagai common link
dalam isnad-nya, dengan ―hadis-hadis si A‖. Istilah tekhnis yang dipakai al-Tirmidhi
untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah imadar (poros). Hadis-hadis itu
membentuk sebagian besar hadis gharib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat tunggal pada ṭabaqah (tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi, kelihatannya
para ahli hadis dikalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala
tersebut terhadap problem penanggalan hadis.
Schacht mengatakan bahwa teori common link dapat dipakai untuk
memberikan penanggalan terhadap hadis-hadis dan doktrin-doktrin para ahli fikih.
Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya mengubah sikap
penerimaan yang tidak kritis terhadap keaslian isnad. Selain itu, ada kemungkinan
bahwa nama common link hanya digunakan oleh orang lain yang tidak dikenal, dan
dengan demikian kemunculannya hanya sebatas sebagai terminus a quo, khususnya
pada periode tabiin. Lebih jauh mengatakan bahwa penomena semacam ini juga
terjadi pada hadis-hadis yang terkait dengan sejarah.
Robson menilai teori ini sebagai sumbangan yang sangat bernilai terhadap
studi perkembangan hadis karena metode itu tidak hanya memberikan penanggalan
terhadap hadis yang disandarkan kepada nabi, tetapi juga menjelaskan nilai jalur
isnad secara pasti bahwa bagian isnad yang timbul belakangan adalah otentik,
sementara isnad bagian awal yang kembali kepada Nabi adalah palsu. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika Juynboll ingin mengembangkan dan menerapkan teori
ini dalam skala lebih luas. Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Metode Kritik
Hadis (Jakarta: Mizan Publika, 2009), 477.
63
mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan
konteks yang baru. Untuk menjadikan keduanya terus berbicara,
maka dibutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi
perkembangan zaman sehingga keduanya menjadi elastis dan
fleksibel. Dan hermeneutik, sebagai kajian interpretasi teks yang
berasal dari Barat, mengundang perhatian dikalangan para
pemikir Islam untuk menjadikannya sebagai kajian terhadap al-
Qur‘an dan hadis.116
Dalam segala permasalahan hadis, pengamat dari
kalangan Muslim selama ini memang hanya dapat memasuki
pada bagaimana caranya mengidentifikasi yang ṣaḥīḥ dari yang
ḍaif atau ḥasan. Sedangkan minat Barat justru mengkaji hadis
satu persatu dengan mengidentifikasi tanggal lahir dan kematian
para rij l al-ḥadīth (transmittor) yang ada. Dengan demikian,
antara keduanya memang terdapat perbedaan pendekatan yang
amat jauh. Namun, upaya pengamat Barat sebagaimana
dilakukan Goldziher dan Schacht merupakan sumbangan
berharga, paling minimal mengundang suara kritis dan tajam
seperti apa yang dikatakan A‘zami, meskipun tidak sedikit pula
yang hanya sekedar sampai pada nada reaktif
116
Dari definisi yang telah penulis kemukakan, dapatlah ditarik sebuah
pengertian bahwa hermeneutik adalah suatu ilmu yang mencoba menggambarkan
bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat
dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan
kata lain, hermeneutik merupakan teori pengoperasian pamahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam hal ini ada 3 unsur/
pilar utama hermeneutik, yaitu: (1) Penggagas, (author) komunikator atau subjek
yang menyampaikan apa yang ada dalam benaknya dan hendak disampaikan kepada
audiens melalui bahasa; 2) Teks (text), bahasa yang menjadi alat penyampaian, yang
menjadi tanda bagi maksud ujaran tersebut; 3) Pembaca (reader), atau audiens yang
menjadi sasaran pengujaran komunikator.
Namun dalam kajian hermeneutik, bukan hanya gramatika bahasa yang
ditekankan, pendekatan historis, sosiologis dan antropologis juga harus dikedepankan.
Dengan begitu, untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui
latar belakang sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks itu muncul.
Lihat Yunahar Ilyas dan M. Mas‘udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis
(Yogyakarta: LPPI, 1996), 3-4, dan Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur‟an:
Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), 179.
64
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis muslim dan
hadis barat adalah perbedaan fundamental pendekatan tradisi
Islam secara keseluruhan.117
3. Kajian Hadis di Indonesia
Melacak perkembangan pemikiran di Indonesia, tidak
akan terlepas dari perkembangan hubungan antara Muslim di
kepulauan Nusantara itu dengan pusat pendidikan Islam yang
ada di Timur Tengah, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18
merupakan masa yang paling dinamis dalam sejarah sosio-
intelektual kaum muslim.118
Di Nusantara, upaya revitalisasi ajaran Nabi SAW yang
terkandung di dalam hadis sudah berlangsung sejak paruh kedua
abad ke-17, seiring dengan masuknya gagasan pembaharuan
yang menekankan pada al-Qur‘an dan hadis sebagai ajaran
Islam.119
Para ulama mengkaji hadis dari inspirasi dan wawasan
mengenai cara memimpin masyarakat muslim menuju
rekonstruksi sosial moral. Meskipun demikian, sampai masa
awal abad XX kajian hadis di Indonesia masih kurang
populer.120
Selain itu Howard M. Federspiel juga menyimpulkan
hal yang sama, bahwa di Indonesia hadis masih sebagai bagian
dari kajian fikih, bukan kajian hadis tersendiri.121
117
Para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode
untuk menentukan keaslian hadis berdasarkan sanad. Mereka cenderung
menginginkan untuk kembali kepada matan atau muatan dari sebuah hadis. Karena
mereka memiliki alasan untuk meragukan adanya hadis yang tidak berasal dari Nabi
karena hadis itu membicarakan persoalan-persoalan setelah masa kewafatan Nabi. Hal
ini didukung oleh fakta bahwa sebagian kaum muslim belakangan berusaha untuk
menemukan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka dengan menyandarkan
pandangan mereka kepada Muhammad. 118
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 15. 119
Penjelasan secara mendetail pada bab selanjutnya yang menjelaskan awal
perkembangan studi hadis di Indonesia. Pada bab ini penulis hanya menekankan pada
penjelasan perbedaan kajian hadis di Indonesia dengan Timur Tengah dan Barat. 120
Agung Danarto, Kajian Hadis di Indonesia Tahun 1900-1945 (Telaah
terhadap Pemikiran Beberapa Ulama tentang Hadis),(Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 2000), 8. Dan Muhajirin, ―Transmisi Hadis di Nusantara‖(Disertasi: UIN
Syarif Hidayatullah, 2009), 101. 121
Howard M. Federspiel, The Usage of Traditions of the Prophet in
Contemporary Indonesia (Arizona State University, 1993), 2.
65
Beberapa karya tentang hadis pada abad ke-17 sampai
dengan ke-18 diantaranya yaitu Bustan al-Ṣalatin, Ṣiratal-
Mustaqīm ditulis oleh Nuruddin al-Raniri; Sharah Latīf „alā
Arbā‟īn Ḥadīth lī Imam Al-Nawawī, dan Al-Mawā‟iz al-Badi‟ah
ditulis oleh Abd al-Ra‘uf al-Sinkili; Sabīl al-Muhtadīn lī
Tafaquh fī Amriddīn ditulis oleh Syeikh Arsyad al-Banjari;
Naṣiḥah al-Muslīm wa Tazkirah al-Mukminīn fī Faḍa‟īl al-
Jihād fī Sabīlillāh wa Karimah al-Mujahidīn fī Sabīlillāh ditulis
oleh Abdul Samad al-Palimbani; Tanqih al-Qaul al-Ḥadīth
Sharah Lubāb al-Ḥadīth, al-Dūrur al-Bahiyyaj fī Sharah al-
Khaṣāiṣ al-Nabawiyyah ditulis oleh Nawawi al-Bantani; Tanqi
al-Qaul, Sharaḥ Lubāb al-Ḥadīth, Naṣāih al-Ibād ditulis oleh
Mahfudz al-Tirmasi; Al-Qawa‟id al Asasiyyah li Ahl al-Sunnah
wa al Jama‟ah ditulis oleh Ahmad Masduki Mahfuzh; al Hadith
dan Aqidah Ahl al-Sunnah wal Jama‟ah ditulis oleh Syeikh Haji
Muhammad al-Khalidi; Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah fī
Hadīth al Mautā wa Ashrath al-Sa‟ah wa Bayan Mafhūm al-
Sunnah wa al Bid‟āh ditulis oleh KH. Muhammad Hasyim
Asy‘ari; Ḥashiyah al-Nafahat „alā Sharḥ al-Waraqat lil Maḥallī
ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Jika dilihat dari beberapa karya hadis pada abad ke-17
sampai dengan ke-18 terdapat sekitar 16 tokoh hadis yang
membuat karya tentang hadis, dan karya tokoh-tokoh ini lebih
cenderung kepada penelitian sanad hadis dan kumpulan-
kumpulan hadis saja. Pada abad ke-17 kecenderungan pada
masa itu di Indonesia adalah banyaknya ajaran-ajaran tarekat
dan tasawuf sehingga umat Islam ingin mengamalkan ajaran
Islam dengan merujuk kepada al-Qur‘an dan sunnah, dan juga
ulama terus berusaha mengklasifikasikan antara hadis yang
ṣaḥīḥ dengan hadis yang palsu, sehingga banyak ulama hadis
membuat karya tentang sanad hadis dan kumpulan-kumpulan
hadis.122
122
Karakteristik dari karya-karya hadis di Indonesia lebih banyak bersifat
pengantar dari pada pembahasan, apalagi yang bersifat analisa. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dengan sedikitnya informasi ketika menjelaskan hal-hal pokok yang
berkaitan dengan hadis. Kecenderungan untuk mengkaji kajian sejarah lebih dominan
daripada kajian hadis yang sesungguhnya, sehingga sekalipun masuk pada kategori
karya dengan karakteristik pembahasan, kajian sejarah masih dominan daripada
kajian hadis.
66
Adapun karya hadis pada abad ke-19 sampai dengan ke-
20 diantaranya yaitu Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,
Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2002 Mutiara Hadis,
Koleksi Hadis-Hadis Hukum ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddieqy;
Ilmu Musṭalah Hadis ditulis oleh Mahmud Yunus; Ikhtisar
Musthalahul Hadis, Hadis-Hadis tentang Peradilan Agama
ditulis oleh Fatchurrahman; Himpunan Hadis Pilihan (Hadis
Shahih al-Bukhari) ditulis oleh Husen Bahreisy; 123 Hadis
Pembina Iman dan Akhlak ditulis oleh Mustagfiri Asror;
Keutamaan Budi dalam Islam: Ihya Sunatullah wa Rasulih
ditulis oleh Fachruddin HS; Terjemahan Nail al-Authar ditulis
oleh Mu‘amal Hamidy; Tarjamah Bulug al-Maram ibn Hajar
al-Asqalani ditulis oleh A. Hassan; Hadis Arbain al-Nawawiyah
ditulis oleh Umar Hasyim; Mutiara al-Qur‟an dan Hadis ditulis
oleh AA. Masyhuri; Terjemahan Hadis Shahih Muslim ditulis
oleh HA Razak; Himpunan 405 Intisari Hadis (Tarjamah
Jamius Shagr) ditulis oleh Mahfulli Sahli; Butir-Butir
Pendidikan dalam Hadis ditulis oleh Muhammad Thalib; al-
Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah Aliyah / PGA ditulis
Muslich Marzuki; Ilmu Hadis ditulis oleh Utang Ranuwijaya.
Pada abad ke-20 ini, karya hadis lebih didominasi
tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan hadis, karya
tentang ilmu hadis pada abad ke-20 ini bertujuan untuk
membuat buku pelajaran hadis untuk sekolah dan perguruan
tinggi. Kurangnya karya tentang ilmu hadis sebagai
pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam di Indonesia
membuat para tokoh hadis pada abad ke-20 membuat karya
tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan hadis, sehingga
pelajar dan mahasiswa mengerti tentang ilmu hadis.123
Karya hadis pada abad ke-21 ini seperti Studi Kritis
Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-Wurud
ditulis oleh Said Agil Munawwar; Telaah Ma‟ani al-Hadis
123
Pengaruh manhaj modern disebabkan adanya kesamaan dalam bentuk
tujuan pembukuan, yaitu sebagai dasar acuan untuk pembelajaran materi hadis, tetapi
dari segi materi berbeda. Materi dari periode modern minimal sebagai buku bersifat
pembahasan, bahkan banyak yang bersifat analisis, sedangkan di Indonesia lebih
dominan pengantar dan bahkan mereduksi bagian-bagian kajian hadis itu sendiri.
Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum Hadith‖, 135.
67
ditulis oleh Muhammad Syuhudi Ismail; Kritik Hadis ditulis
oleh Ali Mustafa Ya‘qub; Pahala dan Keutamaan Haji, Pribadi
Rasulullah saw: Telaah Kitab Taudhih al-Dala‟il fi Tarjamat
Hadis al-Syama‟il ditulis oleh Lutfi Fathullah; Rethinking
Hadith Critical Methods ditulis oleh Kamarudin Amin; al-
Sunnah fi Indonesia : Baina Ansariha wa Khusumiha ditulis
oleh Daud Rasyid Sitorus; Memahami Hadis Nabi: Metode dan
Pendekatannya ditulis oleh Nizar Ali; Rekonstruksi Metodologi
Pemahaman Hadis, dalam wacana studi hadis kontemporer
ditulis oleh Suryadi; Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran
Metodologis Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis)
ditulis oleh Muhammad Zuhri; Kaidah Keshahihan Matn al-
Ḥadis dan Metodologi Pemahaman Hadis (Suatu Kajian
Hermeneutik) ditulis oleh Buchari M; Paradigma Baru Ilmu
Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis ditulis oleh Daniel
Djuned; Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu
Hadis ditulis oleh Abdul Majid Khon; dan lain-lain.
Berbeda dengan pada masa sekarang bahwa terdapat
perkembangan yang cukup signifikan dalam studi hadis. Jika
kita melihat literatur hadis di Indonesia pada saat ini, ada
beberapa pengkaji hadis yang sudah mulai memahami hadis
dengan beberapa metode dan pendekatan seperti Said Agil
Munawar yang memahami hadis dengan pendekatan sosio-
historis-kontekstual, dan Buchari M memahami hadis dengan
menggunakan pendekatan hermeneutik dan banyak lagi yang
lainnya pengkaji hadis di Indonesia yang menerapkan beberapa
metode dan pendekatan dalam memahami hadis.
Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis
di Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis
diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela,
pengingkar dan pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis
Nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al hadis
tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan lokal.
M. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual
yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan
Ulumul Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode
pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul
68
Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al
hadis tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan local.
Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami
secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami
secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan
bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,
temporal dan lokal.
Seperti yang dicontohkan oleh Muhammad Syuhudi
Ismail dalam memahami hadis yang melarang tentang ―bedah
plastik‖. Hadisnya adalah:
ػ لال نؼ هللا اناشاث انستشاث ػ اب يسؼد سض هللا
انتصاث انتفهجاث نهحس انغشاث خهك هللا يان ال أنؼ ي
)سا انبخاس( نؼت سسل هللا صه هللا ػه سهى ف كتاب هللا
Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud r.a. katanya: Allah telah melaknat
orang-orang yang memakai tahi lalat palsu dalam bentuk tato,
orang yang mencukur alisnya, dan meratakan gigi dengan kikir
untuk mempercantik diri dengan mengubah apa yang telah
dijadikan Allah. (Kata Ibnu Mas‟ud)), “Saya tidak punya
(alasan) untuk tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah
saw sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an. (HR. al-
Bukharī).124
Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi
plastik yang dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk
perbuatan yang dilaknat oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi jika
hal tersebut dimaksudkan untuk pengobatan atau
menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan, maka
hukumnya boleh. Sejalan dengan Syuhudi, Muhammad Yusuf
al-Qaraḍawī membolehkan operasi terhadap bagian tubuh
karena mengalami gangguan fungsional, baik karena bawaan
lahir maupun akibat kecelakaan, seperti bibir sumbing (operasi
plastik konstruksi). Adapun operasi plastik pada bagian tubuh
yang tak mengalami gangguan fungsional, hanya bentuknya
124
Al-Bukharī, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, 43.
69
kurang sempurna atau ingin diperindah, seperti hidung pesek
dimancungkan (operasi plastik estetika), hukumnya haram.125
Menurut Syuhudi Ismail, kita memang harus hati-hati
dalam menetapkan illat suatu hukum, dan untuk memahami
hadis di atas, kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab
terjadinya hadis tersebut dan latar belakang penetapan hukum
yang dikehendaki oleh Nabi SAW. Illat keharaman pembuatan
tahi lalat palsu dan sebagainya untuk kepentingan kecentikan
adalah karena perbuatan itu telah mengubah apa yang telah
ditetapkan (dijadikan) oleh Allah. Harum-haruman, perhiasan,
dan atau semir rambut sama sekali tidak mengubah jasad
manusia. Karena itu, hal tersebut tidak dapat dianalogikan
dengan operasi plastik untuk maksud kecantikan.126
Dalam hal ini, Muhammad Syuhudi Ismail cenderung
tekstual, bersikap sangat hati-hati, tetapi tegas dalam memahami
hadis tentang bedah plastik.
Ali Mustafa Ya‘qub lebih mengedepankan kritik sanad,
untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima, dan
sebaliknya harus ditolak. Ini terlihat dari caranya dalam
mengkritik sebuah ungkapan, yang oleh orang banyak dikatakan
sebagai hadis. Dan ini terlihat dari karya-karyanya seperti
Hadis-Hadis Bermasalah, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik
dalam Ilmu Hadis, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum
Islam, Islam Masa Kini.
Seperti Ali Mustafa Ya‘qub mencontohkan dalam
penelitian terhadap hadis ―Siapa yang mengenali dirinya, ia
mengenali Tuhannya‖. Menurut Syaikh Muhyi al-Din
125
Muhammad Yusuf al-Qarāḍawī, Halal dan Haram dalam Islam
(Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 118-119. Kata Abdul Hamid Qudah, operasi estetika
mengandung faktor tidak mensyukuri nikmat Allah yang nyata-nyata berfungsi baik.
Padahal, yang ditekankan di dalam Islam adalah usaha mencari sebab kesembuhan
dari penyakit yang menimpa dengan cara-cara yang dibenarkan syara‘. Lihat Abd al-
Hamid Qudah, Abhās fī al-Adwā wa al-Ṭibb al-Wiqā‟ī (Mekah: Rabitah al-‗Alam al-
Islāmī, 1987), 12. 126
Syuhudi tidak mengingkari orang yang telah menjadi cantik karena
operasi plastik itu makan bertambah besar rasa percaya diri dan ketenangannya.
Tetapi dia mempertanyakan akibat buruk yang ditanggung oleh yang bersangkutan.
Nabi SAW menegaskan bahwa pemanfaatan anggota tubuh termasuk salah satu hal
yang perlu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Muhammad Syuhudi
Ismail, ―Bedah Plastik‖, Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 4 Desember 1988 M.
70
mengatakan bahwa hadis ini meskipun tidak ṣaḥīḥ dari segi
riwayat, namun bagi kami hadis itu ṣaḥīḥ berdasarkan metode
kashf. Berbeda dengan Ali Mustafa Ya‘qub menjelaskan bahwa
tidak dibenarkan menggunakan metode kashf untuk
membuktikan otentisitas hadis. Apabila metode kashf ini
dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya
memiliki metode ini, dan pada gilirannya hadis-hadis palsu
dapat berubah menjadi hadis ṣaḥīḥ.127
Buchari M, menulis tentang Metode Pemahaman Hadis
(Sebuah Kajian Hermeneutik), dan Kaidah Keshahihan Matan
Hadis. Dalam karyanya Buchari M, menggunakan metode
hermeneutik dalam memahami sebuah hadis, dan ia
mencontohkan beberapa hadis yang bisa digunakan metode
hermeneutik dalam memahami hadis tersebut.128
Sedangkan
Daniel Djuned, menulis tentang Paradigma Baru Studi Ilmu
Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, di dalam karyanya
Daniel Djuned memberikan sebuah solusi terhadap pemahaman
hadis, ia mencoba merekonstruksi metode pemahaman hadis
agar hadis mudah diterima oleh masyarakat Indonesia
khususnya.129
Menurut asumsi penulis, di Indonesia terdapat
perkembangan dan pergeseran yang sangat signifikan, tidak
hanya dalam bahasan tentang ilmu sanad akan tetapi lebih
kepada konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman
hadis itu sendiri.
127
Ali Mustafa Ya‘qub, Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2007), 79. 128
Jika kita melihat karya Buchari M ia menulis tentang perlunya metode
hermeneutik dalam memahami hadis, Menurut Buchari, hermeneutik dapat digunakan
dalam tatanan mafhūm al-naṣ (pemahaman teks), bukan dalam mengukur
keontentikan naṣ. 129
Daniel Djuned dalam karyanya Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, di
dalam bukunya ia menjelaskan bagaimana caranya memahami hadis yang benar.
Beberapa pendekatan yang digunakan oleh Daniel Djuned dalam memahami hadis
adalah dengan menggunakan pendekatan geografis, sosio-kultural, antropologis, dan
sebagainya. Dalam penggunaan pendekatan geografis ia mencontohkan tentang hadis
dilarangnya wanita bepergian selama tiga hari kecuali didampingi oleh mahram-nya.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan latar belakang kondisi alam dapat dipahami bahwa
larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram di atas bersifat kondisional. Mahram
menjadi persyaratan jika kondisi tidak aman. Dalam kondisi aman seperti keadaan
dunia hari ini, mahram dimaksud bukan hal yang mengikat.
71
C. Kajian Hadis dilihat dari Beberapa Literatur Keilmuan
1. Historiografi
Secara semantik kata ―historiografi‖ merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu histori yang berarti sejarah dan
grafi yang berarti deskripsi atau penulisan.130
Historiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan
historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam
pertama kali disampaikan Nabi Muhammad saw sampai abad
ke-3 H. Perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas
Muslim itu sendiri.131
Perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas
Muslim itu sendiri. Seperti kita ketahui, ketika Nabi masih
hidup berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim
dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur‘an atau Nabi
Muhammad SAW sendiri. Tetapi segera setelah Rasulullah
wafat, ketika kaum Muslim menghadapi persoalan-persoalan
baru dan tidak dapat menemukan bimbingan eksplisit dari al-
Qur‘an, atau ketika terdapat perbedaan penafsiran ayat al-
Qur‘an di kalangan Muslimin, maka otoritas terbaik adalah
perbuatan dan perkataan Nabi, yakni hadis (sunnah). Kemudian,
selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk
langsung kepada hadis Nabi, karena mereka menyaksikan
langsung kehidupan beliau. Tetapi ketika semakin banyak
sahabat yang wafat, sejalan dengan kian banyaknya masalah
yang muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang,
kaum Muslim semakin merasakan perlunya mengumpulkan
informasi tentang Nabi. Begitulah, usaha mengumpulkan dan
130
History berasal dari kata benda Yunani ―istoria‖ yang berarti ilmu. Akan
tetapi dalam perkembangan zaman, kata latin yang sama artinya, yakni ―scientia‖
lebih sering digunakan untuk menyebutkan pemaparan sistematis non-kronologis
mengenai gejala alam, sedangkan kata ―istoria‖ diperuntukkan bagi pemaparan
mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia, dalam urutan kronologis.
Sekarang ―history‖ menurut defenisi yang paling umum berarti ―masa lampau umat
manusia. Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 1. 131
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), 19.
72
menyusun hadis secara tertulis terus menemukan
momentumnya.132
Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak
kegiatan, diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi,
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses simbolis.133
Ketika
pertama kali hendak mempelajari ilmu-ilmu hadis yang kini
begitu luas dan beragam, tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah
awal kajian ilmu tersebut. Tanpa ini, para pengkaji akan sangat
sulit menangkap apa yang sesungguhnya ilmu hadis tersebut.
Dalam hubungan ini, yang pertama ditentukan adalah bahwa
kajian ini berada dalam kapling sejarah, karena yang dipelajari
adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah saw
dan para periwayat hadis.134
132
Literatur hadis, dengan demikian, sangat krusial apakah sebagai sumber
pokok kedua ajaran Islam maupun sebagai tambang informasi bagi historiografi awal
Islam. Hadis mempunyai peran amat penting dalam penulisan sejarah Islam di masa
awal. Tulisan ini mencoba mengungkapkan peranan dan pengaruh hadis terhadap
perkembangan historiografi awal Islam. Kita juga mencoba meninjau secara singkat
bentuk dan metode historiografi awal Islam. Azyumardi Azra, Historiografi Islam
Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 20. 133
Proses simbolis yaitu kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang
menunjuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari, proses simbolis
meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa. Lihat
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 3. 134
Hadis maupun sejarah menempati posisi yang istimewa dalam jantung
kesadaran komunitas muslim. Hadis merupakan rekaman terhadap ucapan, tindakan,
persetujuan, dan ihwal Nabi SAW yang masih terus menjadi rujukan umat Islam
sampai kini. Sementara sejarah Islam merupakan rekaman terhadap seluruh aspek
kehidupan Nabi SAW, sahabat, dan umat Islam di masa lampau yang seringkali
dijadikan contoh teladan dalam kehidupan umat Islam dari dahulu hingga kini.
Dengan demikian, hadis dan sejarah Islam bukanlah data-data kesejarahan yang mati
atau hanya merupakan bagian dari masa silam, tetapi lebih dari itu keduanya
merupakan fenomena yang terus hidup dalam jantung kesdaran komunitas muslim.
Karenanya, tadwin hadis dan histogriografi Islam merupakan persoalan klasik yang
senantiasa aktual dibicarakan.
Hadis dan sejarah Islam pada dasarnya merupakan dua cabang disiplin ilmu
yang mempunyai keterkaitan erat. Lebih jauh, kajian sejarah Islam pada awalnya
merupakan cabang dari studi hadis. Sehingga hampir dapat dipastikan jika
historiografi Islam yang lebih awal banyak dipengaruhi oleh studi hadis.
Ketika kata hadis hendak diberi batasan maknanya, maka satu hal yang
langsung tergambar atau terlintas dalam pikiran adalah bahwa adanya sosok
Muhammad Rasulullah SAW yang membimbing umat dengan ucapan, perbuatan atau
73
Rasulullah SAW dalam segenap kondisi dan
kapasitasnya tergambar sebagai seorang guru atau pendidik,
pendakwah dan pembimbing manusia ke jalan yang diridhai
Allah SWT dapat pula tergambar Rasulullah SAW dalam
kedudukannya sebagai Nabi, seorang pemimpin, panglima
perang, sebagai manusia biasa, sebagai seorang suami, dan
sebagai orang Arab dengan segenap atribut budaya dan
sosialnya. Secara umum, dapat digambarkan adanya Rasulullah
SAW yang ummi penyampai dan pensyarah al-Qur‘an sebagai
pelaku sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut
dan sasaran risalahnya. Semua hal yang berhubungan dengan
Rasulullah ini, baik berkaitan dengan misi kerasulannya atau
tidak, menjadi kekayaan memorial para sahabat dalam kapasitas
mereka sebagai teman, sebagai murid, sebagai prajurit, dan
sebagainya; dan fakta inilah kemudian dikristalkan ke dalam
batasan makna hadis oleh ulama ahli hadis.135
Rasulullah pada kata hadis akan menggiring pengkaji
kepada pertanyaan bagaimana proses hadis-hadis tersebut
terekam dari Rasulullah SAW dan tersampaikan dengan baik
dari generasi awal abad pertama hijriah kepada generasi
selanjutnya di abad kedua dan seterusnya. Bagaimana hadis-
hadis tersebut kemudian tersusun rapi dalam kitab-kitab hadis
pada abad kedua, tiga dan keempat. Bagaimana pula
perkembangan selanjutnya di abad ke lima dan seterusnya. Apa
batasan makna hadis pada masa awal pentadwinan hadis
dimaksud serta bagaimana upaya para ulama menilai,
mengkritik atau memilih dan memilah antara ribuan hadis yang
bukan hanya bersumber dari Rasulullah SAW melainkan juga
dari sahabat dan tabi‘in. bagaimana mereka memilah yang tidak
ṣaḥīḥ dan yang ṣaḥīḥ. Ketika mereka hendak memilah yang
ṣaḥīḥ dan yang tidak ṣaḥīḥ. Ketika mereka hendak melihat
keabsahan sebuah riwayat, apa pula yang menjadi sasaran
pertama dan utama dalam kajiannya. Bagaimanapula mereka
sikap beliau lima belas abad yang lalu. Ini bermakna bahwa kata hadis lepas dari
makna etimologisnya sangat erat hubungannya dengan Rasulullah SAW. Lihat
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), 6-7. 135
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 19.
74
merumuskan berbagai macam dan bentuk istilah teknis untuk
kepentingan sistematisasi keilmuan dan sebagainya.
Menjawab pertanyaan di atas, dalam bagian ini pokok-
pokok bahasan keilmuan di dekati lewat pendekatan kronologi
historis sejak hadis itu keluar dari sumber pertamanya
Rasulullah hingga mengalir (dalam proses riwayat) dan
menggenangi waduk-waduk besar (kitab-kitab hadis) di abad
kedua, ketiga dan keempat. Tema-tema pokok yang perlu
mendapat uraian dalam analisis historis ini adalah penulisan
hadis zaman Rasulullah SAW dan zaman sahabat.136
Kondisi
sosio politis abad pertama, riwayat hadis dan berbagai hal;
kedua sistematisasi ilmu hadis dan kristalisasi istilah-istilah
teknis dalam analisis ilmu hadis, ilmu dalam makna substantif
dan dalam makna sistematis, perumusan makna hadis, ilmu
hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah, berbagai aspek yang
berhubungan dengan kritik sanad dan kritik matan, dan berbagai
aspek yang berhubungan dengan takhrīj al-Ḥadīth.
Selanjutnya, dalam analisis historis terutama pada proses
kritik matan sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan
makna hadis sudah pernah dilakukan. Ketika sebuah hadis
misalnya dinyatakan shaz, disitu sudah berlangsung sebuah
proses komparatif yang diakibatkan oleh adanya sejumlah
matan dalam kasus yang sama bertentangan (dan tidak dapat
dikompromikan) maknanya. Namun dalam hal ini,
penyelesaiannya masih lebih terkurung pada analisis historis.
Karena penyelesaiannya dilakukan dengan membandingkan
kualitas sanad dalam pendekatan tarjih. Sanad yang lebih kuat
dinyatakan rajah dan matannya mahfuz sementara yang lain.
Karena bertentangan dengan sanad yang lebih kuat dinyatakan
136
Analisis historis yang puncaknya proses kritik sanad dan matan
mengantar kepada kita puluh ribu hadis yang ṣaḥīḥ atau minimal ḥasan. Persoalan
selanjutnya, bagaimana khazanah hadis ini dipahami untuk dapat diamalkan atau
dijadikan pegangan hidup. Hadis-hadis yang dinyatakan telah memenuhi kriteria
ṣaḥīḥ atau dalam pengertian lebih luas maqbul sebagai hasil analisis historis ulama
ahli hadis di atas, tidak seluruhnya berhubungan dengan agama atau dengan risalah
atau tidak semua hadis yang ada bersumber dari Rasulullah SAW setelah menjadi
rasul. Ketika hadis hendak dijadikan sumber ajaran, hal-hal yang berhubungan dengan
cakupan mana hadis ini perlu ada perumusan khusus. Lihat Daniel Djuned,
Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 19.
75
shaz. Hadis shaz ini merupakan hadis yang marjuh, ḍa‟if dan
ghair maḥfuzin serta ghair ma‟mul bih.
Analisis pada tatanan komparasi historis ini belum dapat
dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika
seorang pengamal hadis hanya terkurung pada analisis historis
ini, maka setiap ada perbedaan lafal atau makna sekecil apapun
pada sejumlah hadis langsung saja melakukan tarjih utuk
penyelesaiannya.137
Kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi
bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah
Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang
ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini
diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah
sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak
mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadis.138
2. Linguistik
Kemampuan manusia untuk berpikir, demikian juga
merasakan, merupakan perkembangan awal dalam memberikan
makna yang lebih berarti terhadap manfaat bahasa yang
dimilikinya. Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia
memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjelaskan suatu
benda dengan sesuatu yang lain.139
137
Ketika ada dua hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan
yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini terkadang
juga terlihat sikap pemakai hadis yang hanya berpegang kepada tertib urut martabat
kitab-kitab hadis yang bersifat umum, bukan bersifat hadis per hadis. Daniel Djuned,
Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 20-21 138
Perkembangan literatur Islam mencapai puncaknya pada abad ketiga
hijriyah. Berbagai karya literatur Islam merupakan sumber informasi penting tentang
sejarah Islam. Hadis yang dipahami sebagai suatu laporan atau informasi tentang
nilai-nilai keberagaman yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW merupakan
salah satu bagian penting yang dapat menunjukkan sejarah perkembangan literatur
Islam. Periwayatan hadis yang sudah berjalan sejak masa Nabi sampai dibukukan
secara resmi pada abad ketiga merupakan kumpulan informasi yang secara sinergis
dapat dibuktikan originalitasnya malalui isnad. Lihat Fazlur Rahman, Islam
(Bandung: Pustaka, 1984), 68. Dan juga M. Dede Rodliyana, Hegemoni Fiqh
Terhadap Penulisan Kitab Hadis, Journal Qur‟an dan Hadith Studies Vol I, No.I,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 119. 139
Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2007), 38.
76
Para ahli baik psikolog, antropolog, filsuf maupun
teolog telah banyak yang mengkaji asal usul bahasa. Secara
umum pendapat mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga
teori, yaitu teologis, naturalis dan konvesionalis.140
1) Pendukung aliran Teologis mengatakan bahwa manusia bisa
berbahasa karena anugerah Allah pada mulanya Allah
mengajarkannya kepada Adam, nenek moyang seluruh
manusia.
2) Teori Naturalis beranggapan bahwa kemampuan manusia
berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana
kemampuan melihat, mendengar maupun berjalan.
3) Teori Konvensionalis, beranggapan bahwa bahasa pada
awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil
konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh
masyarakatnya.
Manusia menjadi makhluk yang paling sempurna,
karena eksistensinya dimuka bumi ini dibuktikan dengan
pengoptimalan akal yang dianugerahkan kepada manusia,141
yang mampu menampung sekaligus memberikan solusi bagi
keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Kemampuan untuk mempergunakan bahasa adalah satu
sifat khusus bagi manusia. 142
Tanpa bahasa tertulis, tidak ada
kemajuan dan juga dalam perkembangan bahasa telah
memungkinkan bertambahnya pengetahuan secara cepat serta
bercabangnya dalam bidang-bidang khusus yang bermacam-
macam, dengan tercapainya keuntungan-keuntungan besar,
terjadi pula problem-problem baru.
Bahasa memang sarana utama bagi kehidupan
bermasyarakat dan alat untuk saling memahami antar sesama
140
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: sebuah kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 29-31. 141
Pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa adalah proses yang berlangsung di
dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language
learning). Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Putra, 2003),
167. 142
Bahasa adalah system simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi
(dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai
sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan
pikiran. Lihat Wahyu Wibowo, Manajemen Bahasa (Jakarta: Gramedia, 2001), 3.
77
anggotanya, dan lebih jauh lagi untuk mengatur urusan-urusan
administrasi, politik, pendidikan, juga aspek-aspek kehidupan
lainnya.143
Bahasa sangat erat kaitannya dengan pengalaman
manusia, lebih daripada yang bisa diakui. Seperti halnya hadis
yang tidak terlepas dari bahasa, karena Rasulullah SAW dalam
menyampaikan hadis dengan bahasa yaitu bahasa Arab.144
Ahmad al-Iskandari menjelaskan bahwa bahasa Arab
adalah salah satu bahasa Samiyah yang merupakan bahasa
bangsa Arab purbakala. Selanjutnya al-Iskandarī membagi
bangsa Arab secara garis besar menjadi tiga bagian:145
1) Arab Purbakala (Baidah), yakni bangsa-bangsa Arab yang
telah punah, karenanya informasi akurat tentang bangsa ini
sangat terbatas, seperti dari al-Qur‘an atau Hadis Nabi SAW
di antara suku yang popular dari bangsa Arab kelompok ini
adalah seperti kaum „Aād, Thamud, Jadis, Ṭosm, „Imliq,
„Abdu Dlahm.
2) Arab ‗Aribah, yaitu bangsa Arab keturunan Qaṭan tinggal di
sepanjang sisi sungai Eufrat lalu pindah ke daerah Yaman.
Diantara kabilah yang popular adalah Kahlan dan Himyar.
3) Arab Musta‟ribah, yakni bangsa-bangsa Arab keturunan
Isma‘il yang dikenal dengan bani Adnan. Diantara kabilah
yang terkenal adalah Rabi‟ah, Muḍar, dan Iyad.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
bahasa Arab sudah sangat tua dan para sejarawan sepakat
bahwa Nabi Ismail adalah moyang bangsa Arab modern.
143
Hubungan antara bahasa dan masyarakat sangat erat. Bahasa adalah salah
satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain
seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Lihat Abdul Chaer,
Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 3. 144
Bahasa Arab adalah salah satu bahasa Samiyah, yang dimaksud dengan
bahasa Smiṭ adalah bahasa yang digunakan oleh anak keturunan Sam ibn Nuh as.
Yang tinggal di antara dua sungai (Tigris dan Eufrat) dan semenanjung Arab
termasuk wilayah syam. Adapun kelompok bahasa Smiṭ yang popular adalah Arab,
Suryani, Finiqi, Ibrani, Asyuri, Babili, dan Habasyah. Namun yang hingga kini masih
lestari adalah bahasa Arab, Habasyah, Ibrani dan Suryani. Lihat Jurji Zaidan, Tarikh
Adab al-Lughah al-Arabiyah, Juz 1 (Beirut: Dar a-Fikr, 1996), 26. 145
Aḥmad al-Iskandarī dan Musṭafa ‗Ananī, al-Waṣit fi al-Adab al-Arabī wa
Tarīkhihi (Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1916), 5.
78
Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Arab
akhirnya berkelompok menjadi dua kelompok besar, yaitu Arab
Selatan (Qahṭan) dan Arab Utara (Adnan). Kedua kelompok
bangsa ini sering terjadi perselisihan, hingga pada akhirnya
bangsa Arab Utara berhasil mendominasi kelompok selatan.146
Sejak itu bahasa Arab kelompok utara menjadi bahasa bagi
seluruh penduduk jazirah Arab. Sedang sebelumnya, kedua
kelompok Arab tersebut mempunyai bahasa sendiri. Bahasa
Arab Selatan ini lebih dekat ke bahasa Suryani, sedang
hurufnya lebih dekat ke bahasa Punisia.147
Sebagaimana dikenal umum, bahwa bangsa Arab sejak
dahulu kala memiliki tradisi klasik yakni berhaji tiap tahun. Dan
sejak suku Quraish menjadi penjaga Mekah, maka dengan
sendirinya suku Quraish dominan dikalangan bangsa-bangsa
Arab lainnya. Kemudian, setelah Islam datang, secara otomatis
agama ini menghilangkan kata-kata atau kalimat-kalimat Arab
yang tidak Islami, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat
Jahiliyah, seperti kata mirba‟, nashiṭah, fuḍul, dan sejenisnya.
Sebaliknya Islam mengokohkan penggunaan kata-kata baru
yang ada hubungan dengan ajaran Islam seperti kata mu‘min,
munafiq, shalat, zakat, dan sebagainya.148
D. Konsep Genealogi dan Pemetaan Studi Hadis
Setiap disiplin ilmu tumbuh berkembang melalui tahap-tahap
tertentu dan secara historis dapat ditelusuri genealoginya, yaitu asal-
146
Abdal-Ghafar Ḥamid Hilāl, Aṭwarul Lughah al-Arabiyah, 157. 147
Bahkan menurut Ghafar, ketika menegaskan bahasa kedua kelompok itu
berbeda, mengutip perkataan Abī Amr ibn ‗Alā: ―antara kedua bahasa Arab tersebut
tidak ada hubungan, karena bahasa Arab Selatan bukan bahasa Arab kita‖. Namun
meskipun berbeda tetapi asalnya sama, yang menyebabkan berbeda, karena kabilah
pengguna bahasa Arab tersebut hijrah ke wilayah selatan lalu tinggal di lingkungan
yang berbeda dengan lingkungan Arab Utara. Lihat Abd al-Ghafar Ḥamid Ḥilāl,
Aṭwarul Lughah al-Arabiyah, 157, dan juga Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta:
Pustaka Nasional, 2005), 76-77. 148
Di Arab, bagi anak muda yang ingin belajar bahasa Arab asli, ia harus
tinggal di luar kota di kampung-kampung atau gurun-gurun untuk bergabung dengan
masyarakat Badui yang budayanya masih asli Arab, belum tersentuh budaya lain.
Lihat Jalāluddīn al-Suyuṭi, Kitābul Iqtirakh fī „Ilmī „Uṣulin Nakhwi (Dā‘irah al-
Ma‘ārif al-Uthmāniyah, t.th), 14-20.
79
usulnya dan jaringan keilmuannya, terutama dengan disiplin ilmu-ilmu
yang berada dalam rumputan keilmuan yang sama.149
Rosenthal telah membagi isi karya historiografi sebagai berikut:
(a) Genealogi (nasab); (b) biografi; (c) geografi dan kosmografi; (d)
astrologi; (e) filsafat; (f) Ilmu sosial dan politik; dan (g) penggunaan
dokumen, prasasti, dan koin. Pembagian itu juga disetujui oleh Muin
Umar.150
Istilah genealogi merupakan ungkapan bahasa yang mempunyai
makna asal muasal sesuatu. Jika kata genealogi disandingkan dengan
kata manusia, maka yang dimaksud adalah garis keturunan manusia di
dalam hubungan keluarga sedarah. Karenanya yang dimaksud dengan
genealogi pemikiran seseorang adalah mencari benang merah
orisinalitas pemikiran seseorang dalam mengembangkan sumber Islam
beserta metodologinya.151
Pemikiran seseorang mempunyai karakter yang berbeda beda
dipengaruhi oleh beberapa pengetahuan dan kondisi empiris yang
dialami.152
Menurut Michael Faucault bahwa kemunculan periode-
periode panjang sejarah ini bukan berarti ―kembali ke filsuf-filsuf
sejarah, kembali pada masa-masa keemasan dunia, atau kembali pada
149
Istilah ―sejarah‖ dari kata Arab ―shajarah” yang berarti ―pohon‖.
Pengembalian istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa ―sejarah‖-
setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut
tentang, antara lain, shajarat al-nasāb, pohon genealogis, yang dalam masa sekarang
agaknya bisa disebut ―sejarah keluarga‖ (family history). Atau boleh jadi juga karena
kata kerja shajarah juga punya arti ―to happen‖, ―to develop‖. Namun selanjutnya,
―sejarah‖ dipahami mempunyai makna yang sama dengan ―tarīkh‖ (Arab),
―istoria”(Yunani), ―history” atau ―geschichte” (Jerman), yang secara sederhana
berarti ―kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam‖. Lihat Azyumardi
Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 72. 150
Historical Narative adalah salah satu referensi dari referensi sistem dari
sesuatu yang dapat dibaca dan direkonstruksi struktur dan genealogi maknanya
mengenai pengaruh kebudayaan. Lihat Franz Rosenthal, A History of Muslim
Historiography (Leiden: E.J Brill, 1968), 245. Dan Claudia Lenz, Genealogy and
Archeology: Analyzing Generational Positioning in Historical Narratives, Journal of
Comparative Family Studies, 2001, 324. http://proquest.org.(Accessed: 3/10/2014). 151 Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis (Studi
Pemikiran Fazlur Rahman) (Semarang: Putaka Rizki Putra, 2012), 249. 152 Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis (Studi
Pemikiran Fazlur Rahman) (Semarang: Putaka Rizki Putra, 2012), 249.
80
catatan-catatan tentang timbul tenggelamnya berbagai peradaban.‖153
Secara umum, sejarah ide-ide bersentuhan dengan wilayah
diskursus sejauh dia merupakan domain yang memuat dua nilai; elemen
apa pun yang ditempatkan disitu bisa dikenali sebagai ―yang lama‖ atau
―yang baru‖; tradisional atau original; berkaitan dengan tipe rata-rata
atau tipe yang lain dari biasanya. Oleh sebab itu, kita bisa membedakan
dua kategori formulasi: pertama, yang memiliki nilai lebih dan jarang,
muncul pada kali pertama dan tidak memiliki antesenden yang sama,
menjadi model bagi yang lain dan berdasarkan kenyataan ini bisa
dipandang sebagai proses penciptaan; dan yang kedua, formulasi-
formulasi yang bersifat biasa-biasa saja, terdapat dalam keseharian kita,
dan terhujam kokoh dalam rutinitas, tidak bertanggung jawab atas
dirinya sendiri dan diturunkan dari apa yang telah dikatakan, bahkan
kadang kala berdasarkan kata per kata.154
Sejarah ide-ide dapat memberikan semacam status kepada
kedua kelompok ini; dan dia tidak menggiring kedua kelompok tersebut
ke dalam ranah analisis yang sama; dalam mendeskripsikan kelompok
pertama, sejarah ide-ide menjelaskan penemuan, perubahan,
153 Kesan itu hanyalah efek metodologis dari perkembangan
rangkaian-rangkaian persitiwa sejarah. Sebaliknya, dalam sejarah ide,
pemikiran dan sains mutasi yang sama malah memberikan dampak
berbeda, yaitu mencerai-beraikan rangkaian-rangkaian yang dibentuk
oleh kemajuan kesadaran (consciusness). Dia lebih memusatkan
perhatian pada masalah-masalah proses pertemuan dan kulminasi antar
ide, pemikiran dan sains serta telah melihat ketidakmungkinan
terciptanya satu totalitas utuh. Dia cenderung mencari kekhasan yang
ada pada masing-masing rangkaian yang mungkin bisa disejajarkan,
diurutkan atau disilangkan dengan rangkaian lain tanpa mereduksinya
menjadi sebuah skema linear. Oleh sebab itu, dengan adanya kronologi
rasio yang berkesinambungan dan asal-usulnya tidak mungkin dilacak
dengan pasti, maka muncullah skala-skala yang jelas, bisa dibedakan
dengan yang lain dan tidak bisa direduksi menjadi keajegan tunggal.
Sejarah apa pun mesti memiliki kekhasan masing-masing dan tidak bisa
direduksi menjadi bentuk umum kesadaran yang selalu mendapatkan
sesuatu, bergerak maju dan akan selalu diingat. Lihat Michel Faucault,
Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 25-26. 154
Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012), 253-254.
81
transformasi; dia memperlihatkan bagaimana kebenaran melepaskan
diri dari kesalahan, bagaimana kesadaran bangun dari tidur panjangnya,
bagaimana bentuk-bentuk baru mulai bersemi untuk kemudian
menghasilkan kerangka pandang seperti yang kita kenal saat ini; yang
menjadi tugas para sejarawan adalah menemukan kembali berdasarkan
titik-titik yang diisolasi ini, retakan-retakan suksesif, garis kontinyu
evolusi. Sedangkan kelompok kedua mengedepankan sejarah sebagai
sebuah keberlimpahan dan muatan penuh, sebagai akumulasi pelan-
pelan masa lalu, proses pengendapan diam-diam dari apa yang telah
dikatakan; di dalam kelompok kedua ini, pernyataan-pernyataan harus
ditangani berdasarkan muatan dan sesuai dengan anggapan umum
terhadap pernyataan itu sendiri; dengan sendirinya, keunikan proses
kemunculan pernyataan-pernyataan harus ditangani berdasarkan
muatan dan sesuai dengan anggapan umum terhadap pernyataan itu
sendiri; dengan sendirinya, keunikan proses kemunculan pernyataan
tersebut menjadi ternetralisir; arti penting identitas pengarang, waktu
dan tempat kehadirannya juga terabaikan; sebaliknya yang harus diukur
dan dihitung adalah ekstensinya, yaitu ekstensi perulangannya dalam
waktu dan ruang, jaringan-jaringan yang dilalui ketika berdifusi,
kelompok-kelompok tempat mereka beredar; horizon umum yang
mereka ciptakan dalam pemikiran manusia, batasan-batasan yang
mereka cangkokan ke dalam pemikiran tersebut; dan ketika
menentukan periode-periode tertentu, bagaimana mereka bisa
membedakan diri dari yang lain; dengan begitu orang kemudian
mendeskripsikan seluruh figur yang terlibat. Ada tiga konsep yang diterapkan oleh Michel Faucault dalam
penelitian sejarah ide,155
yaitu:
1) Susunan pertama-tama mengandung bentuk suksesi.
Susunan rangkaian penyampaian (apakah dalam susunan
penalaran inferensi, implikasi suksesif dan demonstratif;
susunan deskriptif, skema generalisasi atau spesifikasi progresif
di mana mereka menjadi subjek, distribusi spasial yang mereka
cakup; atau susunan penjelasan-penjelasan deskriptif dan cara
peristiwa-peristiwa ditempatkan ke dalam suksesi linear
pernyataan-pernyataan).
155 Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012), 108-111.
82
2) Konfigurasi wilayah penyampaian juga melibatkan bentuk-
bentuk koeksistensi.
Ini berarti memerlukan satu wilayah kehadiran (untuk
memahami seluruh pernyataan yang telah diformulasikan dan
memasukkannya ke dalam sebuah diskursus, dianggap benar,
melibatkan deskripsi jernih, penalaran yang lurus atau
pengandaian-pengandaian tertentu; kita juga memperhatikan
pernyataan-pernyataan yang dikritisi, diperdebatkan dan dinilai
sebagaimana juga terhadap pernyataan-pernyataan yang
ditolak); di wilayah kehadiran ini, relasi-relasi yang terjadi
dapat berasal dari susunan-susunan verifikasi eksperimental,
validasi logika, pengulangan, justifikasi berdasarkan tradisi atau
otoritas, komentar, penyelidikan makna-makna tersembunyi,
analisa kesalahan; relasi-relasi ini bisa dalam bentuk eksplisit
(kadang-kadang diformulasikan dalam bentuk pernyataan-
pernyataan khusus; seperti referensi-referensi, diskusi-diskusi
kritis dan sebagainya) atau implisit dan terdapat dalam
pernyataan-pernyataan biasa. 3) Menentukan prosedur-prosedur intervensi yang mungkin
diterapkan pada pernyataan-pernyataan.
Prosedur ini tidak sama untuk setiap formasi diskursif, prosedur
dipakai (untuk menyisihkan formasi-formasi yang tidak
dikehendaki), relasi-relasi yang menghubungkannya dengan
kesatuan yang memungkinkannya mendapat kekhasan masing-
masing.
Deskripsi arkeologis tentang perubahan, apapun bentuk kritik
teoritis yang dilakukan orang terhadap sejarah tradisional ide-ide, dia
tidak akan meletakkan fenomena temporal suksesi dan rentetan
peristiwa sebagai tema utamanya, menganalisanya berdasarkan skema
evolusi, dan kemudian mendeskripsikan penyebaran historis diskursus-
diskursus. Arkeologi ketika menangani sejarah hanya ingin
menyegarkannya (to freeze). Di satu sisi, dengan mendeskripsikan
formasi-formasi diskursif, dia tidak terlalu mengindahkan relasi-relasi
temporal yang termanifestasi di dalam formasi-formasi tersebut; dia
hanya mencari aturan-aturan general yang valid, dengan cara
mendeskripsikan, dan di tiap titik waktu: tidaklah arkeologi melekatkan
sosok sinkronis yang telah terciutkan ke dalam perkembangan yang
83
barangkali akan memperlambat lajunya perkembangan itu sendiri dan
tidak dapat diketahui.156
Dalam konteks studi sejarah, pengukuran terhadap pengaruh
sendiri pada dasarnya merupakan proses yang bersifat subjektif.
Walaupun begitu, Louis Gottschalk telah mengajukan konsiderasi-
konsiderasi yang dapat menegaskan bahwa suatu tokoh, benda, dan
peristiwa sejarah memberikan pengaruh atau kontribusi terhadap yang
lain:157
1) Jika A mempunyai pengaruh terhadap B, maka A tentunya
merupakan anteseden (hal yang mendahului) atau minimal
bersamaan dengan waktunya dengan B.
2) Kemiripan pikiran atau perilaku B dengan A mungkin pula
merupakan indikasi mengenai adanya pengaruh, namun secara
intrinsik dalam dirinya sendiri tidak cukup untuk membuktikan hal
itu.158
3) Pengakuan B mengenai pengaruh A, mungkin pula membantu
dalam menegaskan pengaruh, tetapi pengaruh itu mungkin saja
dapat bekerja secara efektif meski tidak diketahui dan karenanya
juga tidak diakui.159
4) Karena semua bentuk pengujian tersebut, kecuali ujian waktu, tidak
bersifat memastikan, padahal waktu hanya memberikan kepastian
apabila dapat dibuktikan adanya suatu anakronisme dalam urutan
156 Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012), 296. 157
Dalam konteks penelitian sejarah, defenisi pengaruh (influence) sendiri
yaitu suatu bentuk efek yang bersifat teguh dan membentuk terhadap pemikiran dan
tingkah laku manusia, baik secara perorangan ataupun kolektif. Louis Gottschalk,
Understanding History: A Premier of Historical Method (New York: Alfred A.
Knopf, 1964), 249-250. Dan juga Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 18-19. 158
Begitupun ketidakmiripan bukan merupakan bukti tentang tidak adanya
pengaruh, karena pengaruh itu mungkin merupakan suatu protes atau reaksi nyata
yang menghasilkan seperangkat gagasan atau perilaku yang tidak dapat diterangkan
dengan cara lain. Lihat Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 18. 159
Di lain pihak, suatu pengaruh mungkin diakui secara tulus, namun dalam
kenyataannya lebih merupakan imajinasi daripada realitas, misalnya apabila
pengarang memperlihatkan preferensi dan kesetiaan sastra atau seni, atau apabila
pengarang mempergunakan kutipan untuk memperoleh efek retoris. Lihat Saifuddin,
Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 18.
84
sebab akibat, maka bukti yang paling baik bahwa B dipengaruhi
oleh A adalah mengeliminasi sebab akibat lain yang muncul pada
pikiran dan tindakan B.
Penulis juga mengkaji para pengkaji hadis pada permulaan
pengkajian hadis di Indonesia yaitu pada abad XIIV. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat pengaruh ahli hadis sebelumnya terhadap
pengkaji hadis pada abad XXI ini untuk menentukan adanya pengaruh
pengkaji hadis pada abad ini.
Langkah pertama yang penulis tempuh adalah mendiskripsikan
biografi dari ulama ahli hadis di Indonesia, dengan cara menjelaskan
riwayat pendidikan, karya-karyanya serta menjelaskan tentang
lingkungan yang mempengaruhi pemikiran mereka. Kemudian
memetakan metodologi pemahaman mereka lewat perspektif genealogi.
Dalam memetakan metodologi pemahaman hadis yang dipakai
oleh ulama hadis di Indonesia, terlebih dahulu penulis melihat sejarah
perkembangan hadis dari awal hingga ke masa modern saat ini,
kemudian melihat biografi dari ulama hadis tersebut dan melihat siapa
guru-guru atau silsilah dari ulama hadis itu, kemudian melihat karya
mereka dalam mengutip suatu buku atau karya dari ulama hadis yang
lainnya.
Langkah selanjutnya mengadakan studi analitis kritis terhadap
metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat perspektif genealogi.
Dalam menganalisis pemahaman ahli hadis di Indonesia ini penulis
lebih menekankan kepada mencari orisinalitas dari karya ahli hadis di
Indonesia, apakah ahli hadis ini membuat suatu karya baru, saduran
dari pemikiran atau perluasan dari karya-karya ulama hadis lainnya.
Langkah-langkah penulis dalam menganalisis karya-karya ahli
hadis yang dipilih sebagai sumber penelitian adalah menggali dan
menganalisa dari beberapa factor yang mempengaruhi pemikiran
mereka dan dari sisi manhaj yang digunakan dari setiap karya yang
dikaji, dan mengkaji tema-tema khusus yang menjadi titik perbedaan
dari masing-masing karya tersebut. Sehingga dengan hal itu penulis
bisa memetakan tema-tema yang menjadi arah pergeseran dari
pemikiran pemahaman hadis dari awal pembukuannya sampai pada
pemikiran yang berkembang di Indonesia.
Kemudian mengemukakan kesimpulan dari seluruh bahasan
sebelumnya dan sekaligus menjawab permasalahan pokok yang
dikemukakan di atas. Di sinilah akan terjawab mengenai masalah,
85
bagaimana pemetaan serta analisis metodologi pemahaman hadis di
Indonesia lewat perspektif genealogi.
Dengan penelitian seperti ini maka dapat dilihat keorisinalitas
pemikiran dari pengkaji hadis di Indonesia pada masa sekarang, karena
sesuai dengan pendapat Faucault setiap pemikiran itu mempunyai
pemikiran yang baru atau terdapat ide baru di dalamnya.160
160
Menurut Michel Faucault sejarah ide-ide adalah analisa tentang
kepermanenan yang terdapat dibalik perubahan-perubahan yang nampak, analisa
tentang formasi-formasi lamban yang berasal dari begitu banyak kompleksitas,
analisa tentang totalitas figur yang secara gradual berkumpul dan tiba-tiba mengeras
menjadi satu titik jadi fokus karya. Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan
(Yogyakarta: IRCSoD, 2012), 249.
86
BAB III
DINAMIKA PEMIKIRAN PENGKAJI HADIS
DI INDONESIA ABAD XXI
Pada bab ini, dijelaskan tentang awal perkembangan studi hadis
di Indonesia dan kriteria metodologi pemahaman hadis di Indonesia.
Dalam bab ini juga dijelaskan tentang para pengkaji hadis pada masa
sekarang di Indonesia.
D. Awal Perkembangan Studi Hadis di Indonesia
Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat
penting dalam sejarah Indonesia. Tampaknya, para pedagang muslim
sudah ada di sebagian wilayah Indonesia selama beberapa abad
sebelum Islam menjadi agama yang mapan dalam masyarakat lokal.161
Dari kajian-kajian yang berhasil ditelusuri, terutama tentang
perkembangan studi hadis di Indonesia pada abad XVII-XVIII,
memberikan gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang
menjadi disiplin tersendiri, Karena kajian hadis baru pada dataran
praktis, belum tersusun secara teoritis.162
Menurut Azyumardi Azra, para perintis gerakan pembaharuan
Islam di Nusantara pada abad ke-XVII di antaranya, Nuruddīn al-
Raniri,163
Abd al-Ra‘uf al-Sinkili,164
dan Muhammad Yusuf al-
161
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2005), 27. 162
Berbeda dengan penulisan hadis di dunia Islam pada masa awal,
penulisan kitab-kitab hadis di Indonesia tidak ditemukan yang bersanad. Meski
penulis yakin bahwa beberapa pengkaji hadis Indonesia mempunyai dan menjaga
sanad hadis-hadis yang musalsal, namun belum dapat ditemukan dalam bentuk buku.
Mayoritas penulis hadis di Indonesia hanya berbentuk tematis, masih sedikit sekali
yang menulisnya dalam bentuk kritik hadis. 163
Nama lengkapnya adalah Nur al-Dīn Muhammad ibn Alī ibn Hasanji al-
Ḥamid (al-Humayd) al-Syafi‘ī al-Aydarusi al-Raniri dilahirkan di Ranir (Modern:
Randir), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Lepas dari tempat kelahirannya,
al-Raniri secara umum dianggap lebih sebagai seorang alim Melayu-Indonesia
daripada India atau Arab. Tahun kelahirannya tidak diketahui. Tetapi kemungkinan
besar menjelang akhir abad ke-16. Dikatakan, ibunya adalah seorang melayu, tetapi
ayahnya berasal dari keluarga imigran Haḍrami yang mempunyai tradisi panjang
berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Al-Raniri adalah penulis produktif dan terpelajar. Menurut berbagai sumber,
dia menulis tidak kurang dari 29 karya. Tetapi, tidak semuanya ditulis semasa
kariernya tujuh tahun di Aceh. Misalnya salah satu karyanya yang paling banyak
ditelaah membicarakan tentang tasawuf, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan
87
Maqassari.165
Ketiga ulama ini termasuk ulama yang berperan dalam
mengembangkan kajian hadis.
Penyebaran Islam diduga sudah mulai menyentuh wilayah
Nusantara sejak abad ke-13 M, maka kenyataan di atas cukup
memprihatinkan. Sebab hal ini akan menimbulkan persepsi kurang baik
bagi sejarah intelektual Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya,
dinamika intelektual umat Islam sebelum abad ke-19 M memiliki
intensitas yang cukup tinggi.166
Khusus mengenai hadis,167
wilayah ini tampaknya tidak
mencatat perkembangan yang cukup signifikan. Berbeda dengan
agama. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 201-206. 164
Nama lengkapnya adalah ‗Abd al-Ra‘uf ibn ‗Alī al-Jawi al-Fansuri al-
Sinkili, sebagaimana terlihat dari namanya, adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil
(modern: Singkel), di wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Dia dilahirkan sekitar
1024/1615 M.
Sepanjang kariernya di Aceh, al-Sinkili mendapat perlindungan dari para
Sultanah. Dia menulis sekitar 22 karya yang membahas tentang fiqih, tafsir, hadis,
dan tasawuf. Untuk hadis al-Sinkili mengambil bahan dari buku-buku standar dari
Sharh Ṣaḥīḥ Muslim karya al-Nawāwi dan karya yang lainnya. Dengan sumber-
sumber ini, al-Sinkili menjelaskan hubungan dan koneksi intelektualnya dengan
jaringan ulama. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII &XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 241-246. 165
Nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf ibn ‗Abd Allāh Abū al-
Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Maqassari, juga dikenal di Sulawesi sebagai ―Tuanta
Salamaka ri Gowa‖ (Guru Kami yang Agung dari Gowa), menurut sejarah Gowa,
dilahirkan pada 1036/1627 M.
Al-Maqassari adalah ulama yang luar biasa. Dalam kaitannya dengan karier
dan ajaran-ajarannya al-Maqassari tak pelak lagi merupakan salah seorang mujadid
terpenting dalam sejarah Islam di Nusantara. Al-Maqassari menulis karya-karyanya
dalam bahasa Arab yang sempurna, persinggahannya yang lama di Timur Tengah
memungkinkannya menulis dalam bahasa itu. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII (Bandung: Mizan,
2004), 260-263. 166
Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini.
Namun menurut Azyumardi Azra, teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan
kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Lihat Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
&XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 14. 167
Hadis dan Sunnah bukan sesuatu yang baru bagi umat Islam. Tema hadis
dan sunnah mempunyai makna dan penamaan yang sama yaitu tradisi kenabian. Akan
tetapi jika dipahami secara lebih mendalam tema ini akan menunjukkan bahwa makna
antara hadis dan sunnah tidaklah indentik. Sunnah bermakna jalan, praktek, aksi, atau
kegiatan kehidupan. Tema sunnah berimplikasi terhadap praktek yang biasa dilakukan
88
disiplin-disiplin lain seperti tasawuf, fikih, tafsir, dan filsafat. Namun
tidak berarti hadis tidak berkembang sama sekali, karena kajian hadis
pada saat itu baru bersifat antologi yakni berupa kumpulan-kumpulan
dari berbagai tema yang berkaitan dengan kajian fikih, jadi masih
tercampur dengan disiplin lain.
Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di
Indonesia belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis
intens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur‘an, fikih, akhlak
dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan berkembang sangat
lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama
Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak abad ke-17. Namun
demikian, seperti terlihat kemudian, tulisan-tulisan tersebut tidak
dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah itu mengalami
kemandekan hampir satu setengah abad lamanya. Untuk itulah,
perhatian para pengamat terhadap kajian hadis Indonesia masih sangat
kurang. Kalaupun ada pengamat yang menaruh perhatian, perhatiannya
masih parsial dan tidak komprehensif.
Di samping itu, menurut Roolvink, literatur Indonesia sejak
masa awal dapat diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-cerita
yang di ambil dari al-Qur‘an (Kuranic‟s tales) atau cerita tentang Nabi
dan person lain yang namanya disebut dalam al-Qur‘an. Contoh karya
ini seperti Hikayat Anbiyā‟, Hikayat Yusuf, dan sebagainya. Kedua,
cerita khusus tentang Nabi Muhammad SAW. Ketiga cerita tentang
orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi (sahabat atau lainnya).
Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang
terkenal, seperti Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya. Kelima, karya-
karya yang berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut
Roolvink, umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga
pilar Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf.168
Bentuk
hadis sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak dijumpai dalam
kategori ini.
sehari-hari, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan yang tidak baik, dilakukan
sendiri maupun secara kelompok. Lihat Ahmad Hasan, The Sunnah-Its Early Concept
and Development, Journal Islamic Studies, Vol. 7, No.1, (1968), 47. Published by
Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad.
http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed: 27/01/2014). 168
Roolvink, R., Encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, t.th.), 1230-
1235.
89
Sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anak-anak muda
dari Jawa yang tinggal menetap beberapa tahun di Makkah dan
Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka. Bahkan banyak di
antara mereka menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah
atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini akhirnya turut aktif
dalam alam intelektualisme dan spritiualisme Islam yang berpusat di
Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di
Nusantara. Dan dengan makin kuatnya keterlibatan mereka dalam
kehidupan intelektual dan spritual Timur Tengah, Islam di Nusantara,
dan semakin jelas di Jawa, makin kehilangan sifat-sifatnya yang lokal
dan titik beratnya pada aspek tarekat semakin berkurang.169
Pada akhir abad ke-19 tersebut terdapat beberapa ulama
kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka
menjadi pengajar tetap di Masjid al-Haram di Makkah, seperti Syeikh
Nawawi (dari Banten) dan Syeikh Mahfudz (dari Tremas).170
Ada beberapa literatur tentang perkembangan hadis pada abad
ke-19 sampai dengan abad ke-20 di Indonesia ini,171
yaitu:
169
Bertambahnya pengetahuan serta pengalaman mereka dalam hal
perbedaan praktek-praktek ritual dan doktrin, menyebabkan watak keislaman yang
lebih toleran, tapi juga lebih seirama dengan watak Islam di Timur Tengah. Ini tidak
berarti bahwa Islam di Jawa sama sekali terlepas dari watak lokal. Namun dapat
disimpulkan bahwa Islam tradisional di Jawa menjadi lebih kuat terikat dengan
pikiran Islam tradisional yang telah mapan dan paling banyak pengikutnya di dunia.
Dengan kata lain, ketradisionalan mereka tidaklah karena terlalu banyaknya elemen-
elemen non-Islam (baik yang berasal dari kepercayaan animisme dan Hindu Budisme)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz. Tapi karena keterikatan mereka
terhadap aliran ulama Islam tradisional di seluruh dunia. Muhammad Dede
Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap
Pemikiran ‗Ulum al-Hadith di Indonesia‖ (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah, 2003),
114-115. Dan Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press of Glencoe,
1960), 177. 170
Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah, bahwa para
pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan pelajaran di Mekah
biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka setelah memperoleh
bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa ini. Hal ini menyumbang
kepada proses hegemonitas kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren,
khususnya di Jawa, yang berimbas pada proses hegemonitas faham keagamaan dan
kehidupan kultural. Bahkan pengaruh Syeikh Mahfudz sangat kuat dalam
perkembangan pendidikan ulama Indonesia selanjutnya untuk mengkaji Hadis. Lihat
Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith‖, 116. 171
Karya di atas merupakan perkembangan mutakhir yang terkait dengan
pendidikan formal, gerakan dakwah dan ketaatan beragama dikalangan umat Islam.
Karya-karya tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan materi bagi pendidikan
90
1. IZ Abidin, Musthalah Hadis: Dirayah dan Riwayah, Bandung:
Setia Karya, 1984
2. M. Anwar, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya: al-Ikhlas, 1981.
3. AQ. Hasan,172
Ilmu Musthalah Hadis, Bandung: Diponegoro,
1983.
4. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,173
Pokok-Pokok Ilmu DIrayah Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
tinggi Islam, seperti IAIN, madrasah dan pesantren. Selain karya itu digunakan pula
oleh para da‘i sebagai sumber pengajaran dalam rangka merevitalisasi dan
menguatkan peran Islam dalam keyakinan dan perilaku masyarakat di Indonesia.
Begitu pula, karya-karya tersebut digunakan pula sebagai bahan bacaan di keluarga
muslim atau kelompok kecil masyarakat yang ingin meningkatkan pemahaman
mereka tentang keyakinan dan praktek Islam. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, menurut Federspiel, literature hadis sampai akhir 1980-an terlihat masih
dalam proses pembentukan, dimana berbagai karya baru terus bermunculan yang
genrenya belum terbentuk secara utuh.
Karya-karya ini diambil dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti
penelitian Disertasi Muhammad Dede Rodliyana dengan judul Pergeseran Pemikiran
„Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran „Ulūm al-Hadith di
Indonesia; Ramli Abdul Wahid dalam karyanya berjudul Perkembangan Kajian
Hadis di Indonesia; Khairul Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi
Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia; dan Ardiansya dengan judul Kajian Hadis
Di Indonesia: Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M. 172
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir Hasan. Ia adalah anak lelaki tertua
dari pendiri Persis Ahmad Hasan. Ia adalah penerus dari Ahmad Hasan di Bangil,
pernah belajar ke Mesir. Lihat Daud Rasyid Harun, Juhud „Ulama (Jakarta: Pustazet,
1988), 67. 173
Mempunyai nama lengkap Prof Dr. Tubagus Muhammad Hasby Ash-
Shiddiqie. Ia lahir di Lho‘ Semawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Masa
kelahiran dan pertumbuhannya bersamaan dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan
pemikiran di Jawa yang meniupkan semangat kebangsaan Indonesia serta anti-koloni.
Sementara di Aceh, peperangan dengan Belanda kian berkecamuk. Proses bimbingan
ilmiahnya dimulai di bawah pengajaran sang ayah yang juga memiliki pesantren.
Banyak mendapat bimbingan dari ulama Muhammad ibn Sallim al-Khalili. Pada
tahun 1927, ia melanjutkan studinya di al-Irsyad Surabaya. Pada tahun 1928, ia
dipercaya untuk memimpin al-Irsyad di Lho‘Semawe. Pada tahun 1930, ia menjadi
Kepala Sekolah di Krung Mane, mengajar di HIS dan Mulo Muhammadiyah, Ketua
Yong Islamieten Bond di Aceh Utara. Tahun 1940-1942, menjadi Direktur Darul
Mualim Muhammadiyah Kotaraja, membuka Akademi Bahasa Arab. Pada zaman
pendudukan Jepang Ash-Shiddiqie menjadi anggota Konstituante dan tahun 1968
menjadi utusan Collagium Islam Internasional di Lahore, Pakistan. Karirnya di bidang
pendidikan antara lain Dekan Fakultas Syari‘ah al-Raniri Aceh, Dekan pada Fakultas
Syari‘ah di Universitas Sultan Agung Semarang, menjadi Guru Besar dan Dekan
Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Rektor Universitas al-Irsyad
Solo. Pada tahun 1963-1968, ia pernah menjadi Wakil Ketua Lembaga Penerjemahan
91
5. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Problematika Hadis Sebagai Dasar
Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
6. TM. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
7. Barmawie Umarie, Status Hadis Sebagai Dasar Tasyri‟,
Salatiga: Siti Sjamsiyah, 1965.
8. Mahmud Yunus dan H. Ahmad Aziz, Ilmu Musthalah Hadis,
Jakarta: Djaja Murni, 1972.
9. Fatchurrahman,174
Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: al-
Ma‘arif, 1981.
10. Husen Bahreisy, Himpunan Hadis Pilihan: Hadis Shahih
Bukhari, Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
11. Mustaghfiri Asror, 123 Hadis Pembina Iman dan Akhlaq,
Semarang: Wicaksana, 1984.
12. Salim Bahresy, Tarjamah Riyadhus Shalihin, Bandung: al-
Ma‘arif, 1985.
13. Fachruddin HS, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
14. M. Fudloli, Keutamaan Budi dalam Islam: Ihya Sunatullah wa
Rasulih, Surabaya: al-Ikhlas, t.t.
15. Fatchurrahman, Hadis-Hadis tentang Peradilan Agama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
16. AN Firdaus, Jalan ke Surga: 325 Hadis Qudsi Pilihan, Jakarta:
Yayasan al-Amin, 1984.
dan Penafsiran al-Qur‘an Departemen Agama, Ketua Lembaga Fikih Islam Indonesia
(LEFISI), anggota Majelis Ifta‘ wa Tarjih DPP al-Irsyad. Pada tanggal 22 Maret 1975
ia mendapat gelar Honoris Causa dalam ilmu syari‘at dari Universitas Islam
Bandung.
Hasby wafat pada tanggal 9 Desember 1975 dalam usia 71 tahun di Jakarta.
Aktivitas Hasby dalam menulis telah dimulai sejak tahun 1930-an. tulisan yang
pertama diterbitkan berupa sebuah booklet yang berjudul ―Penoetoep Moeloet‖ dan
terakhir adalah Pedoman Haji pada tahun 1975. Seluruh karya tulisannya berjumlah
73 judul buku, terdiri dari 6 tafsir, 8 hadis, 36 fiqh, 5 tauhid/kalam, 17 tahun umum
dan lebih dari 49 artikel dibaca kaum muslimin penduduk wilayah Asean yang
berbahasa Melayu. Biografi Hasbi dapat dibaca di Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Departemen Agama, 1993), Vol II, 767-771; Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1993), Vol.II, 94-96; Daud Rasyid Harun, Juhud „Ulama (Jakarta:
Pustazet, 1988), 183-184. 174
Drs. Fatchur Rahman alumnus Fakultas Syari‘ah IAIN Jogjakarta
kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Jogjakarta mengajar Ilmu
Musṭalah al-Ḥadīth.
92
17. Mu‘amal Hamidy, Imron AM dan Umar Fanary, Terjemahan
Nail al-Authar, Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya: Bina
Ilmu, 1985.
18. Hamidy, Shahih al-Bukhari, Jakarta: Wijaya, 1983.
19. A. Hassan, Tarjamah Bulug al-Maram ibn Hajar al-Asqalani,
Bandung: Diponegoro, 1984.
20. Umar Hasyim, Hadis Arbain al-Nawawiyah, Surabaya: Bina
Ilmu, 1984.
21. AYQ Koho, Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu,
Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
22. AA. Masyhuri, Mutiara Qur‟an dan Hadis, Surabaya: al-Ikhlas,
1980
23. MA Rathoni, Shahih Bukhari, Surabaya: al-Asriyah, 1981.
24. HA Razak dan H. Rais Lathief, Terjemahan Hadis Shahih
Muslim, Jakarta: 1981.
25. M. Rofiq, Sistim Sanad, Bandung: al-Ma‘arif, 1980.
26. Mahfulli Sahli, Himpunan 405 Intisari Hadis, (Tarjamah
Jamius Shagir Oleh Jalaludin al-Suyuthi), Surabaya: al-Ikhlas,
1978.
27. Muslich Shabir, 400 Hadis Pilihan tentang Akidah, Syari‟ah
dan Akhlak, Bandung: al-Ma‘arif, 1986.
28. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
29. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum,
Bandung: al-Ma‘arf, 1981.
30. Muhammad Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulug al-Maram: Fiqh
Berdasarkan Hadis, Bandung: al-Ma‘arif, 1984.
31. Abdul Mujid Tamim, Terjemah Hadis Arba‟in al-Nawawi,
Surabaya: Sinar Wijaya, 1984.
32. M. Thalib, Butir-Butir Pendidikan dalam Hadis, Surabaya: al-
Ikhlas, t.t.
33. M. Aloi Usman, A. Dahlan dan MD. Dahlan, Hadis Qudsi: Pola
Pembinaan Akhlak Muslim, Bandung: Diponegoro, 1975.
34. Muhammad Zuhri, Koleksi Hadis Qudsi, Jakarta: Yulia Karya,
t.t.
35. Dja‘far Amir, Bidang Studi al-Qur‟an dan al-Hadis untuk
Madrasah Ibtidayah, Yogyakarta: Kota Kembang, 1982.
36. Dja‘far Amir, Al-Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah
Tsanawiyah, Solo: Siti Syamsiyah, 1978.
93
37. Muslich Marzuki, Al-Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah
Aliyah/PGA, Semarang: Thaha Putra, 1980.
38. Utang Ranuwijaya,175
Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1996.
Karakteristik dari karya-karya hadis di Indonesia lebih banyak
bersifat pengantar dari pada pembahasan, apalagi yang bersifat analisa.
Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sedikitnya informasi ketika
menjelaskan hal-hal pokok yang berkaitan dengan hadis.
Kecenderungan untuk mengkaji kajian sejarah lebih dominan daripada
kajian hadis yang sesungguhnya, sehingga sekalipun masuk pada
kategori karya dengan karakteristik pembahasan, kajian sejarah masih
dominan daripada kajian hadis.176
Berbeda dengan model-model kajian di atas, tulisan ini
mencoba untuk menelaah perkembangan kajian hadis di Indonesia
sejak awal perkembangan hadis sampai sekarang. Telaah dimulai
dengan melihat karakteristik kajian masa awal abad XX dimana kajian
masih bersifat individual. Kemudiaan pada abad XXI dimulailah
rekonstruksi ilmu hadis dalam bidang pemahaman hadis atau fiqh al-
hadith.177
175
Ia lahir di Majalengka pada tanggal 19 Mei 1958. Menyelesaikan
Pendidikan dasarnya di SDN Nagara Kembang pada tahun 1970, PGA PUI 4 tahun
pada tahun 1976, PGA PUI 6 tahun pada tahun 1978/1979. Selain itu ia mengikuti
pendidikan di Pesantren Riad Ulum Cikijing Majalengka. Kemudian menyelesaikan
Sarjana Muda Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun
1982, Sarjana Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‘ah IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 1984, program S2 pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992 dan program S3 pada Fakultas Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1998 dengan judul disertasi Hadits-
Hadits pada Kitab al-Azhar Hamka (Analisis Sanad Hadis pada Ayat-Ayat Hukum
Bidang Perkawinan). Pekerjaannya sebagai staf pengajar di STAIN Serang, Fakultas
Tarbiyah Sekolah Tinggi Wasilatul Falah Rangkasbitung dan IAIMAN Pandeglang.
Lihat daftar riwayat hidup penulis di akhir bukunya. 176
Pengaruh manhaj modern disebabkan adanya kesamaan dalam bentuk
tujuan pembukuan, yaitu sebagai dasar acuan untuk pembelajaran materi hadis, tetapi
dari segi materi berbeda. Materi dari periode modern minimal sebagai buku bersifat
pembahasan, bahkan banyak yang bersifat analisis, sedangkan di Indonesia lebih
dominan pengantar dan bahkan mereduksi bagian-bagian kajian hadis itu sendiri.
Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum Hadith‖, 135. 177
Seiring dengan terjadinya modernisasi dalam pemikiran Islam, sejak awal
abad ke-20 Masehi berkembang paham-paham yang menggugat eksistensi hadis Nabi,
baik sebagiannya maupun keseluruhannya. Dengan demikian sejak saat itu sikap umat
94
Para pengkaji hadis pada abad XXI ini diantaranya adalah
Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil al-Munawar, Ali Musthafa
Ya‘qub, Lutfi Fathullah, Kamarudin Amin, Daniel Djuned, Edi Safri,
Buchari M, Daud Rasyid Sitorus, Nizar Ali, dan lain-lain.
Seluruh karya yang ditulis oleh pemerhati hadis di Indonesia,
dari awal sampai sekarang, baik yang bersifat utuh maupun yang
berupa makalah-makalah yang sudah diterbitkan dan terjemahan-
terjemahan, dapat dilihat secara jelas corak pemikiran mereka.
E. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia
Mengenai periwayatan hadis, karya tertua yang masih tersimpan
adalah kitab al-Risalah karya al-Shafi‘ī (w. 204 H), diikuti oleh al-
Muhadīth al-Faṣīl Baina al-Rāwī wa al-Wā‟ī karya al-Ramahurmuzi
(w. 360 H), Ma‟rifat „Ulūm al-Ḥadīth dan al-Madkhal ilā Ma‟rifah al-
Iklīl karya al-Hakim al-Naisaburī (w. 405 H), al-Kifāyah fī „Ilm al-
Riwāyah karya al-Khatib al-Baghdadī (w. 463 H), al-Ilmā‟ ilā Ma‟rifah
Uṣūl al-Riwāyah wa Taqyīd al-Samā‟ karya al-Qaḍi ‗Iyaḍ (w. 544 H).
Setelah itu, Ibnu al-Ṣalah (w.643 H) menulis buku „Ulūm al-Ḥadīth,
dengan menambahkan hasil penelitiannya tentang materi-materi yang
dikumpulkan oleh para pendahulunya. Sarjana lain yang telah menulis
buku-buku tentang ‗ulūm al-ḥadīth adalah al-Nawawī (w. 676 H), Ibnu
Hajar al-Asqalanī (w.852 H), Ibnu Kathir (w. 774 H), al-Suyuṭī (w. 911
H), dan lain-lain.
Para ahli hadis awal sampai abad ketiga hijriah tidak secara
eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dianggap ṣaḥīḥ. Mereka
hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh, misalnya:
(1) Periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali kalau diriwayatkan
oleh orang-orang yang thiqah; (2) Riwayat orang-orang yang sering
berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak memahami secara benar
apa yang diriwayatkan adalah tertolak; (3) harus diperhatikan tingkah
laku personal dan ibadah orang-orang yang meriwayatkan hadis; (4)
Islam terhadap hadis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama kaum
tradisionalis, yang menerima hadis sesuai dengan konsep ulama salaf yang ortodoks,
yaitu menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam dan memahaminya dengan
pendekatan normatif. Kelompok kedua kaum modernis, yang menerima hadis dengan
prinsip modern yang dinamis dengan menitikberatkan kepada pemahaman
kontekstual dengan pendekatan historis, sehingga cenderung menolak hadis. Lihat
M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), 41-50.dan Daniel Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern
(Bandung: Mizan, 2000), 54-55.
95
apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak melakukan
shalat secara teratur, maka riwayatnya harus ditolak; (5) Riwayat
orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis tidak
dapat diterima; dan (6) Riwayat orang-orang yang kesaksiannya
ditolak, maka riwayatnya pun tidak diterima. Kriteria-kriteria ini
berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi yang menentukan
diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian, kriteria ini
belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad autentik yang
ditetapkan kemudian, apalagi kriteria mengenai ke-ṣaḥīḥ-an matn.
Kriteria ini hanya berdasar pada penyandaran terhadap isnad.178
Sebuah hadis hanya dapat dianggap autentik apabila memiliki
isnad yang dapat ditelusuri lewat jalur yang tidak terputus sampai
kepada Nabi. Akan tetapi terdapat sejumlah persyaratan untuk validitas
seorang perawi.
Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan
yang telah meluas seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah
sebagai dasar kritik pun disusun sedemikian rupa dan cermat. Tiga
syarat berkenaan dengan sanad dan dua syarat berkenaan dengan
matan. Yang berkaitan dengan sanad, selain semua rawi-rawinya harus
bersambung (ittiṣal al-sanad), rawi-rawi tersebut juga harus memiliki
integritas kepribadian (adil), kapasitas intelektual (ḍabiṭ), keharusan
tidak adanya kejanggalan (shaz) dan cacat (illat). Sedangkan yang
berkaitan dengan matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan
(shaz) dan cacat (illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria
sebuah hadis ṣaḥīḥ, yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil
sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
Rawi-rawi yang bersambung, artinya bahwa masing-masing
rawi-rawi tersebut menerima hadis dari rawi yang terdekat sebelumnya
dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada rawi yang
pertama yang menerima hadis dari Rasul. Kebersambungan (muttaṣil)
sanad ini menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai kepada kita
dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya
keterputusan sanad mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak.
178
Bagi sebagian sarjana, tidak ada bukti yang pasti apakah para ahli hadis
abad pertama dan kedua benar-benar mengadopsi kriteria tersebut, belum lagi kriteria-
kriteria yang ditetapkan oleh uṣūl al-ḥadīth klasik. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian kritis terhadap riwayat-riwayat mereka. Kamaruddin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan Publika, 2009), 15-16. Dan
al-Razi, Kitāb al-Jarḥ wa al-Ta‟dīl (Beirut: t.t, 1952), 27-30.
96
Sementara integritas kepribadian (‗adil) bagi seorang rawi harus
tercermin dalam kemantapan agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan
kerendahan muru‟ah (etika). Karena itu ‗adil mengandung unsur-unsur:
beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta
memelihara muru‟ah.179
Sedangkan kapasitas intelektual (ḍabiṭ) adalah
kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui proses
pendengaran dan kemampuan untuk menghafal secara kontinyu hingga
pesan-pesan tersebut disampaikan kepada orang lain.180
Adapun shaz
adalah kejanggalan dalam bentuk bertentangannya sebuah riwayat yang
disampaikan rawi yang thiqah (rawi yang adil dan ḍabiṭ) dengan para
rawi yang lebih thiqah, baik pada sanad maupun pada matan.
Sedangkan ‗illat adalah cacat dalam bentuk: (1) sanad yang tampak
muttaṣil dan marfū‟ ternyata muttaṣil dan mawquf, atau mursal. (2)
terjadinya percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya, (3)
kesalahan dalam menyebutkan nama rawi.
Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang
jelas. Artinya semua persyaratan itu didasari atas argumen-argumen
yang relevan dengan maksud dan tujuan kritik sanad dan matan.
Argumen-argumen ini pada dasarnya adalah bersifat historis di
samping juga bersifat normatif. Meskipun argumen-argumen tersebut
berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan saling
memperkuat. Dari sini dapat simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya
dalam dimensi keilmuan semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan
keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila acuan-acuan kritik hadis
menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa beban
psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental.
Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad
maupun matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan
tersebut dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad
bersambung misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup
masing-masing rawi dan lambang-lambang periwayatan yang
menghubung antara satu rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut
dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya
sebatas kesezamanan (mu‟āsharah) atau pertemuan dalam kapasitas
guru dan murid (liqa‟). Kualitas pribadi (‗adil) dilakukakan dengan
mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang
179
Nuruddin Itr, mauḍū‟at, 79-80. 180
Muhammad Luqman Al-Salafi, Ihtimām al-Mahaddithūn bi Naqdi al-
Hadīth, Sanadan wa Matanan (Riyadh:t.t., 1987), 179.
97
bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi penilaian dari para
kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta‟dil. Sementara
menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis
(ḍabiṭ), dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan
menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang ḍabiṭ. Kecermatan yang
cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan matan, tampaknya
tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis Gottschalk,
menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya
bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan
menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau
berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang
tidak berpengalaman.181
Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan
cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi
kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-
rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu
sejarah.
Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah
dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri
yang disebut dengan al-Jarḥ wa al-Ta‟dīl. Yakni persyaratan bagi
seorang rawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang
diriwayatkan. Al-jarh sendiri mengandung pengertian yang berkaitan
dengan cacat-cacat seorang perawi yang menyebabkan hadisnya
ditolak. Sedangkan al-ta‟dīl berkaitan dengan adalat al-rawī yang
karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan dengan jarh wa ta‟dil ini,
seperti yang dikatakan Afif Muhammad, tampaknya sudah selesai
dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para rawi telah
dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis.182
Pernyataan ini dapat
saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang
muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu
saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah melahirkan
karya semisal Mizan al-I‟tidal, Tahzib al-Tahzib, dan Tahzib al-Kamal,
karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para
perawi hadis.
Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang
menyatakan bahwa kritik sanad mendapat prioritas dari ulama-ulama
181 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), 205. 182 Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas
Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 28. Maret-Juni 1992.
98
hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik
matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generasi pertama,
tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini,
kriteria ṣaḥīḥ-nya sebuah hadis, masih ditentukan oleh ke-ṣaḥīḥ-an
sanad-nya. al-Bukhari sendiri, memaksudkan ṣaḥīḥ di situ adalah ṣaḥīḥ
sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan
keseluruhan judul yang diberikan pada kitab ṣaḥīḥ-nya, yakni Al-Jamī‟
al-Ṣaḥīḥ al-Musnad al-Mukhtashar min „Umur Rasulillah SAW wa
Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimat
al-Jamī‟ al- Ṣaḥīḥ al-Musnad (himpunan hadis yang ṣaḥīḥ
sanadnya).183
Agaknya memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik
pada sanad ketimbang matan, meskipun pada kenyataannya
kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak dapat diragukan.
Hal ini disebabkan karena sanad hadis merupakan keharusan pertama
dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak dapat dipertahankan
validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari Rasul. Karenanya para
ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan energinya
oleh studi atas sanad hadis.
Kenyataan di atas memang mengundang persoalan.
Pernyataan-pernyataan yang sangat miring tentang ini terutama
dimajukan oleh para orientalis. Ignaz Golziher misalnya, menyatakan
bahwa kaum muslim hanya mengandalkan penelitian sanad semata,
tampa memperhatikan matan hadis. Kualitas hadis hanya ditentukan
oleh kualitas sanad. Pernyataan yang lebih tajam lagi adalah bahwa
ulama-ulama hadis tak segan-segan memasukan suatu kalimat di dalam
matan hadis.184
Tetapi, meskipun pernyataan-pernyataan Ignaz
Golziher sama sekali tak mempunyai alasan yang kuat, namun
menggugah para ulama hadis untuk melakukan kajian yang lebih dalam
dan intensif terhadap kritik sanad dan matan hadis.
Mungkin sekali terdapat banyak hadis yang dari segi sanad-
nya ṣaḥīḥ, tetapi tampak bertengan dengan al-Qur‘an. Karena itu orang-
orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. Tetapi, jelas
sekali bahwa mereka sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan
hingga membuat pernyataan yang keliru. Berbeda dengan Muhammad
al-Ghazalī, meskipun dalam sebuah karyanya mempersoalkan banyak
hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur‘an dan secara
183
Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas
Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 29. (1992). 184 Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1995), 15.
99
sengit mengecam orang yang memahami dan mengamalkannya secara
tekstual, ia mencoba mencari alternatif lain dalam memahaminya.
Pengujian matan hadis atas al-Qur‘an menjadi tolak ukur pengujian ke-
ṣaḥīḥ-an suatu hadis.
Tetapi, studi atas matan hadis memang tidak mudah dilakukan
sebab sebagian kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan,
hal-hal ghaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat
ta‟abbudi. Di sisi lain, juga pengujian atas matan hadis diperlukan
dengan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran
Islam. Dari sini penulis melihat bahwa studi kritis atas matan hadis
sebetulnya lebih bersifat relatif dan subjektif. Artinya, ketika sebuah
matan hadis dihadapkan dengan al-Qur‘an misalnya, sebagian orang
dapat saja mengatakan bertentangan dengan logika atau al-Qur‘an,
tetapi sebagian yang lain tidak menganggap bertentangan dengan
logika atau al-Qur‘an. Sebab penilaian bertentangan atau tidaknya
dengan rasio atau al-Qur‘an sangat terkait dengan pendekatan
pemahaman dan konsep teologisnya.
Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas
hadis: Pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan
proses sejarah yang melahirkannya a history. Tipologi ini dapat disebut
tekstualis. Kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-
usul (asbāb al-wurūd) hadis. Tentu saja di sini mereka memahami
hadis secara kontekstual.
Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual tidaklah dalam
dikotomi hitam putih yang dapat diletakkan dalam strata. Tetapi, kedua
pemahaman ini bersifat relatif dan kondisional. Artinya, pada hadis-
hadis tertentu, salah satu tipe pendekatan merupakan satu keharusan.
Karena itu, menurut Syuhudi Ismail, ada hadis-hadis Nabi yang tekstual
dan yang kontekstual. Menurutnya, pemahaman hadis secara tekstual
ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-
segi yang berkaitan dengannya, seperti asbāb al-wurūd hadis, tetap
menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis
tersebut. Sedangkan pemahaman kontekstual terhadap hadis-hadis Nabi
dilakukan bila hadis-hadis dimaksud terasa tidak komunikatif lagi
dengan zaman.
Tetapi kemudian, tampaknya, pemahaman tekstual lebih
mendominasi atas hadis-hadis Nabi. Padahal sebetulnya di luar bidang
ibadah, hadis pada umumnya lebih banyak bersifat kondisional.
Pemahaman kontekstual atas hadis Nabi mungkin sekali tenggelam
100
dalam pelukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang lebih suka memakai
hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini, seperti yang
dijelaskan Amin Abdullah, memang diperlukan oleh Ahlus Sunnah wal
Jama‟ah demi mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran yang telah
diterima.185
Pengaruh Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang begitu kuat dan
mengkristal menyebabkan para kaum muslim lebih suka menerima apa
adanya, seperti yang tertulis dalam kutub al-sittah. Karena itu
penjelasan-penjelasan (sharah) atas literatur-literatur hadis lebih
banyak didominasi oleh pemahaman-pemahaman tekstualis.
Jelas sekali terlihat keseganan para ulama dalam
pengembangan pemikiran terhadap hadis Nabi. Tetapi, tidak demikian
halnya dengan al-Qur‘an. Pengembangan pemikiran terhadap al-Qur‘an
tampaknya cukup intens dilakukan sehingga melahirkan banyak tafsir-
tafsir yang cukup beragam. Tidak demikian halnya dengan hadis.
Karya-karya yang memuat penjelasan-penjelasan hadis tampaknya
tidak terlalu intens dimunculkan, apalagi dengan corak yang berbeda
satu dengan yang lain.
Pemahaman kontekstual terhadap sebahagian hadis Nabi
merupakan sebuah tuntutan keharusan–karena pemahaman tekstual
tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-
persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi komunikatif lagi
dengan ruang dan waktu di mana kita berada. Sebagai contoh hadis
yang menyatakan: Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali
bersama Mahram‖, demikian pula tentang siwak: ―Siwak itu
membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha‖. Karena penjelasan-
penjelasan atas hadis yang semisal ini dilakukan dengan pemahaman
tekstual, maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadis
yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–
meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari
kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan
maqbūl (ṣaḥīḥ). Ketika menanggapi hadis tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk, kaum feminis muslim seperti Rifat
Hasan, cenderung menolak hadis ini, baik dari segi sanad maupun
matan-nya. Dari segi sanad ia mengatakan ḍa‟īf karena beberapa orang
rawinya dinilainya tidak dapat dipercaya. Tetapi mayoritas ulama
berdasarkan kaedah-kaedah ke-ṣaḥīḥ-an hadis menyatakan hadis ini
185
Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:
LPPI Universtas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996), 209.
101
berprediket ṣaḥīḥ. Sedangkan dari segi matan ia menyatakan bahwa
hadis ini mengandung elemen-elemen misoginis.186
Hadis pada umumnya adalah penafsiran kontekstual dan
situasional atas ayat-ayat al-Qur‘an dalam merespons pertanyaan atau
masalah yang dihadapi sahabat. Karena itu tampaknya ia bersifat
temporal dan kontekstual. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari
situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis Nabi secara
literal terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial
saat ini. Dengan demikian, studi kritis atas hadis Nabi pada sisi
pemahaman atas hadis merupakan satu keharusan. Karena itu upaya
atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan aspek yang
sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan.
Sayangnya, menurut Afif Muhammad,187
pendekatan kontekstual atas
hadis Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.
Ketika memahami hadis secara kontekstual, banyak sekali
pertimbangan yang dilakukan. Sebab hadis sebagai sebuah ucapan dan
teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang
tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa
mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh
Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadis,
suasana-psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita
akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan
pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan,
maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga
hal ini sangat berperan sekali.
Dengan demikian, ketika melakukan pemahaman kontekstual
atas hadis sebenarnya seorang penafsir atau pembaca memposisikan
sebuah teks (baca: hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat
sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak
gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu, tanpa mengetahui
latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah
teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.188
186
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 69-70. 187
Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas
Hadis Nabi Saw, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 25. (1992). 188 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996). 214.
102
Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah
Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman
terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas
tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini
diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah sudah tentu
akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya
ketika sama-sama memahami sebuah hadis.
Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks
hadis dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak
mungkin hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan
untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis
itu. Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain,
bahkan seperti al-Quran ―yufassiru ba‟ḍuha ba‟ḍan‖ (satu sama lain
saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab
kitab-kitab hadis telah memiliki sistematika yang baik.
Secara epistimologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat
Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‘an. Sebab ia
merupakan bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur‘an yang masih
mujmal (global), ‗am (umum) dan mutlaq (tanpa batasan). Bahkan
secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu
hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur‘an.189
Namun untuk memahami maksud suatu hadis secara baik
terkadang relatif tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadis-
hadis yang tampak saling bertentangan. Terhadap hal yang demikian,
biasanya para ulama hadits menempuh metode tarjīh (pengunggulan)
atau nasakh-mansukh (pembatalan) dan atau metode al-Jam‟u
(mengkompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak
mengamalkan hadis sampai ditemukan adanya keterangan, hadis
manakah yang bisa diamalkan. Sikap men-tawaquf-kan atau
mendiamkan hadis ini, masih bisa diberikan solusi dengan cara
memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadis
tersebut.190
189
Wahbah Zuhaili, al-Qur‟an al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri‟iyyah wa
Khadhariyyah (Beirut:Dar al-Fikr, 1993), 48. 190
Orang yang pertama kali berbicara mengenai ilmu Ta‟wīl al-Ḥadīth
adalah Imam al-Shafi‘ī (w. 204 H), beliau menyusun kitab Mukhtalif al-Ḥadīth. Lihat
Muhammad Abū Zahwu, al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithun (Mesir:Syirkah Misyriyyah,
t.th.), 471.
103
Secara metodologis upaya memahami hadis dilakukan dengan
tiga tahap, yaitu penentuan problem pemahaman hadis yang
diselesaikan, penentuan pendekatan yang relevan bagi solusi problem
yang bersangkutan beserta teknik aplikasinya, dan pengambilan
kesimpulan dengan mengungkap petunjuk dan pelajaran dari hadis
yang bersangkutan. Sebagai penyempurna langkah-langkah tersebut
dapat dilakukan perumusan petunjuk hadis secara kontekstual untuk
menjawab persoalan yang muncul pada kurun waktu yang
bersangkutan atau sebagai langkah antisipasi bagi persoalan yang
mungkin akan muncul pada masa yang akan datang.191
Perbedaan antara setting budaya yang melingkupi kehidupan
orang yang akan memahami hadis dengan setting budaya yang
melingkupi kehidupan Rasulullah SAW, maka semakin besar problem
pemahaman yang dihadapinya. Dengan demikian, sebenarnya
pemahaman hadis selalu dapat menyelesaikan problem-problem
pemahaman yang dihadapi umat pada setiap masa. Dari sisi lain, ketika
aplikasi nilai-nilai agama menuntut pembaharuan metodologis sejalan
dengan perkembangan persoalan dunia yang semakin kompleks, maka
pembaharuan metodologi pemahaman hadis pun harus dilakukan
dengan berpijak pada kaidah-kaidah ijtihad yang relatif mapan.192
191
Problem-problem pemahaman hadis terdapat dalam sanad dan matan.
Probem-problem pemahaman hadis pada sanad meliputi persoalan para periwayat di
dalamnya, yaitu identitasnya dan karakteristiknya. Sedangkan problem-problem
pemahaman hadis pada matan hadis meliputi asal-usul lafal-lafal hadis dan makna
leksikalnya, struktur kalimat dan makna gramatikalnya, serta petunjuk tekstual dan
kontekstual.
Penyelesaian setiap problem pemahaman memerlukan sejumlah pendekatan
yang relevan dan teknik benar. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan
problem pemahaman sanad dan para periwayatnya adalah dengan ilmu rijal al-ḥadīth.
Pendekatan-pendekatan dalam membahas asal-usul lafal-lafal hadis dan
menyelesaikan problem pemahaman makna leksikal adalah dengan ilmu ṣarf, syair-
syair dan kata-kata mutiara Arab Jahiliah, kamus-kamus bahasa Arab dan
ensiklopedia Arab klasik, keterangan para sahabat dan para periwayat hadis, serta
keterangan ahli di bidangnya. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan problem
pemahaman struktur kalimat dan makna gramatikalnya adalah ilmu nahw dan ilmu
balaghah. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan problem pemahaman
petunjuk hadis adalah al-Qawā‟id al-Uṣuliyyah, maqasid al-shari‟ah, dan al-qawa‟id
al-fiqhiyyah. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi
dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 249. 192
Wacana kontemporer kajian hadis dan ilmu hadis cenderung
menggunakan pendekatan historis sebagai akibat dari pengaruh pemikiran sejumlah
orientalis. Ketika Fazlurrahman kagum dengan dengan Ignaz Goldziher yang
104
Hasil ijtihad tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia dukung, latar
belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran yang ia anut,
serta lingkungan pendidikan.193
Penyebarluasan sunah disertai pemahaman yang benar
merupakan suatu kewajiban, baik secara moral, rasional, maupun
sosial, guna menciptakan iklim keterbukaan dan mengembalikan setiap
permasalahan yang diperselisihkan dalam masyarakat kepada
sumbernya, yaitu sunnah Rasulullah SAW.194
Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu hadis, fiqh al-ḥadītḥ
merupakan dimensi yang tak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan
musṭalah ḥadītḥ. Hal ini karena fiqh al-ḥadītḥ, adalah kajian yang
mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam
hadis-hadis Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak
hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah dan Rasul
serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu,
yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang
dinilainya sebagai seorang ahli yang pertama sekali berpandangan tajam mengenai
evolusi hadis, maka penghargaannya itu disambut baik oleh Daniel W. Brown dan
menjadikannya penasaran besar hingga ia melakukan penelitian ke pusat-pusat
pemikiran hadis kontemporer, yaitu Mesir dan India, hingga menghasilkan buku yang
menghebohkan, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Pemikiran
Fazlurrahman tersebut juga cukup berpengaruh kepada pemikiran sejumlah pakar
Islam kontemporer di Indonesia. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi
Keilmuan Islam: Genealogi dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010), 25, dan lihat juga Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemah
Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), 5. 193
Dengan demikian, pokok ini bersifat relatif, artinya tidak mengikat semua
orang. Penafsiran mujtahid di Mesir terhadap suatu ayat tentu akan berbeda dengan
mujtahid di Baghdad. Hukum tertentu yang berlaku di Indonesia akan berbeda dengan
di Malaysia, padahal keduanya sama-sama mengacu pada suatu ayat atau hadis. Lihat
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17
Tokoh (Jakarta: Grasindo, 2003), 2. 194
Pemahaman atau terjemah terhadap kontekstual hadis dengan
menggunakan tema dan konsep dari sosial, politik, dan diskursus agama di Indonesia.
Etnograpi merupakan salah satu pendekatan untuk memahami teks hadis pada zaman
kontemporer di Indonesia, dan penggunaan pendekatan hermeneutik tidaklah cukup
untuk memahami teks hadis. Menggunakan pendekatan-pendekatan ini dapat
menangkap pesan-pesan yang bersifat sosial dan politik di Indonesia. Lihat Mark R.
Woodward, Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political
Meaning of Indonesian Translation of Arabic Hadith Texts, The Journal of Asian
Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 569. http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accessed:
27/01/2014)
105
terkandung di balik redaksi al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi.
Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan
dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan
ṣalih lī kullī zaman wa makan (selalu selaras dengan ruang dan waktu
manapun).
Terdapat dua kegiatan pokok dalam menafsirkan dan
memahami teks, yaitu memahami dan menjelaskan. Kedua langkah
tersebut mesti berjalan seirama. Artinya seorang mufasir dan pensyarah
harus memiliki keahlian dalam memahami teks yang menjadi objek
kajiannya, sekaligus memiliki keahlian dalam menjelaskan apa yang
telah dipahaminya. Apabila kedua keahlian tersebut tidak seirama,
maka ia tidak dapat menafsirkan atau mensyarah dengan baik.195
Orang yang tidak bisa memahami teks dengan benar, ia tidak
akan bisa menafsirkan atau mensyarahnya dengan benar, meskipun ia
orang pandai dan kritis dalam hal lain. Demikian juga, orang yang
mampu memahami teks dengan benar, tapi tidak mampu menjelaskan
apa yang telah dipahaminya itu dengan benar, maka penafsiran atau
syarahnya tidak akan membuahkan pemahaman yang benar. Hal ini
menunjukkan bahwa obyektifitas dalam menafsirkan dan mensyarah
teks terletak pada pemahaman teks dengan benar dan menjelaskan
sesuai dengan pemahaman tersebut. Pemahaman seorang mufasir dan
menyampaikan sebagaimana mestinya, tidak menyimpang, tidak
menguranginya, dan tidak pula melebihinya.
Oleh karena itu, seorang ahli hadis tidak boleh mengungkap
maksud Rasulullah SAW di balik sabda-sabdanya secara spekulatif,
melainkan harus berdasarkan analisa yang seksama dengan
memperhatikan berbagai indikasi yang menunjukkannya.196
195
Persoalan yang mendasar dalam analisis semantik adalah sejauh manakah
seorang mufasir atau pensyarah dapat memahami maksud pengarang teks
(narasumber), makna teks yang terucapkan, dan informasi obyektif dari kalimat yang
terucap itu. Dalam tradisi studi hadis, Rasulullah SAW diyakini sebagai sosok yang
sempurna dan selalu benar. Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dari sabda-
sabdanya diperlukan penggunaan ilmu penunjang dan studi teks. Lalu pemahaman
yang ditopang oleh ilmu-ilmu penunjang yang memadai dinilai sebagai sebuah
kebenaran, meskipun bersifat nisbi. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi
Keilmuan: Genealogi dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2010),
35. 196
Ilmu ma‟ani merupakan media bagi para pensyarah hadis untuk
memahami suatu teks hingga menembus maksud dibalik teks tersebut. Kaidah-kaidah
dalam ilmu ma‟ani dirumuskan berdasarkan karakter bahasa Arab dari narasumber
yang disepakati sebagai pihak yang memiliki otoritas kebahasaan, yaitu Allah,
106
Pemahaman hadis yang ideal adalah mensyarah hadis dengan
berpijak pada kaidah-kaidah yang dirumuskan dan digunakan para
ulama terdahulu dan memadukannya dengan kaidah-kaidah baru yang
mendukung atau yang memperbaiki fungsinya. Maksudnya landasan
syarah yang kuat dan mekanismenya yang akurat tetap dipedomani
dengan mengakomodasi beberapa pendekatan kontemporer yang
mendukung.
Uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip metode pemahaman
hadis berpijak kepada landasan dan mekanisme warisan ulama
terdahulu, sedangkan pendekatan yang digunakan serta sistematika
pembahasan dapat menyesuaikan dengan tuntutan kemajuan
metodologis yang berkembang.
Ada banyak peneliti hadis di Indonesia pada masa sekarang,
yang mencoba merekonstruksi metodologi pemahaman hadis agar hadis
dapat dipahami dan diamalkan pada masa sekarang, diantaranya adalah
Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-
Wurūd yang ditulis oleh Said Agil Munawwar, Telaah Ma‟ani al-Hadis
yang ditulis oleh M. Syuhudi Ismail, Rethinking Hadith Critical
Methods yang ditulis oleh Kamaruddin Amin,dan Kritik Hadis oleh Ali
Mustafa Ya‘qub, dan lain-lain.
Pada awal perkembangan hadis di Indonesia, penelitian yang
dilakukan hanya sebatas penelitian sanad saja. Sedangkan pada abad
XIX sampai dengan abad XX, penelitian hadis lebih mengacu kepada
pembahasan ilmu hadis, dan ini terlihat dari beberapa karya yang
terdapat pada masa itu. Dan pada abad XXI pengkajian hadis lebih
mengacu kepada metodologi pemahaman hadis.197
Rasulullah SAW, dan para penyair Jahiliah yang terkenal keahliannya. Adapun
mekanisme pengambilan informasi atau petunjuk teks yang ditempuh para ahli hadis
adalah melalui uṣul al-fiqh. Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan:
Genealogi dan Metodologi‖, 36. 197
Karya-karya hadis di Indonesia dimulai dari karya Muhammad Mahfudz
ibn ‗Abdullah al-Tirmasi, yaitu manhaj Zawi al-Nadar berupa syarah terhadap karya
Jalāluddīn al-Suyuṭi, Manzumah „Ilm al-„Athar. Kemudian karya-karya yang
dijadikan rujukan standar untuk perkuliahan hadis di lingkungan IAIN di Indonesia,
yaitu karya Mahmud Yunus, Ilmu Musṭalah al-Ḥadīth; karya Hasby Ash-Shiddieqi,
Sejarah dan Pengantar Ulum al-Hadith, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis; karya
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadits; karya Utang Ranuwijaya dan
Munzier Suparta, Ilmu Hadits; karya A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits; karya
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits; karya Endang Soetari, Ilmu Hadis; dan
karya-karya lainnya yang bersifat pengembangan terhadap pemikiran dari cabang-
cabang ilmu hadis.
107
Pada tataran ajaran Islam inilah muncul pemikiran modern
dalam Islam. Pemikiran modern muncul sebagai akibat adanya
penafsiran baru atas ayat al-Qur‘an dan hadis Nabi SAW yang coba
disesuaikan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan yang dibawa bangsa Barat. Semua pemikir modern
berasumsi bahwa kalau Islam ingin survive dan berhadapan dengan
perkembangan modern, ia harus mengalami redefenisi, rekonstruksi,
dan reaktualisasi.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadis juga dikenal bahwa
hadis itu ada yang memiliki asbāb al-wurud khusus, ada pula yang
tidak.198
Untuk kategori pertama, yakni hadis-hadis yang memiliki
sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut
asbāb al- wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah
bagaimana jika suatu hadis tidak memiliki asbāb al-wurud secara
khusus. Disinilah pemikiran Said Agil tentang relevansi asbāb al-
wurud, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman
hadis (fiqh al-ḥadīth) dengan pendekatan historis, sosiologis,
antropologis, bahkan mungkin juga pendekatan psikologis.
Aplikasi pemahaman hadis dengan pendekatan historis-
sosiologis-antropologis adalah seperti hadis berikut:
حذثا كع حذثا االعش ع صم أب األصذ ع بكش انجزسي ع أش لال
كا ف بت سجم ي األصاس فجاء انب صهى هللا عه صهى حتى لف فأخز
يثم رنك يا ارا بعضادة انباب فمال األئت ي لشش نى عهكى حك نكى
اصتشحا سحا ارا حكا عذنا ارا عاذا فا ف نى فعم رنك يى
199. فعه نعت هللا انالئكت اناس أجع
Artinya: “Waqi‟ telah menceritakan kepada kami, A‟masy telah
menceritakan kepada kami dari Sahal Abī al-Asad dari
Bukair al-Jazarī dari Anas berkata: kami berada di rumah
salah seorang Anshar, lalu Nabi SAW datang kemudian
berdiri membelakangi pintu lalu bersabda: “Pemimpin itu
dari suku Quraish. Dan mereka mempunyai hak atas kamu
sekalian dan kamu juga mempunyai hak atas mereka.
Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk berlaku santun,
198
Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimashqi, al-Bayan wa at-Ta‟rif fi Asbābī
Wurudi al-Ḥadīth al-sharif, Jilid 1 (Beirut:Dar ast-Tsaqafahal-Islamiyyah,t.th.), 32. 199
Ahmad ibn Hanbal Abū Abdillāh asy-Syaibānī, Musnad Imam Ahmad ibn
Hanbal (Keiro: Mu‘assasah Qurtubah, tth) Jilid 3, 183.
108
maka mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka
tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku
demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari
Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya”.
Ibnu Hajar al-‗Asqālanī telah membahas hadis-hadis tersebut
secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun
kecuali dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij yang membolehkan
jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku
Quraish. Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang
menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari
suku quraish. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut
tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imamah al-„uzma).200
Menurut al-Qurṭubī, kepala negara disyaratkan harus dari suku
Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal
satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.201
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna
dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan
karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam
selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut
dikemukakan oleh Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai
Rasulullah dan berlaku secara universal.
Apabila kandungan hadis di atas dihubungkan dengan fungsi
Nabi SAW, maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu
dinyatakan, Nabi SAW berada dalam fungsinya sebagai kepala negara
atau pemimpin masyarakat. Indikasi (qarinah) antara lain adalah
ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang
suku Quraish. Hal ini tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur‘an,
misalnya yang menyatakan bahwa orang yang paling utama di hadapan
Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa.202
Jadi hadis ini
dikemukakan Nabi SAW sebagai ajaran yang bersifat temporal.
Pemahaman hadis seperti ini lebih kontekstual, akomodatif dan
dinilai lebih komunikatif dengan perkembangan zaman. Karena
memahami hadis Rasulullah SAW dengan pendekatan sosiologis,
200
Aḥmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz VI, 526-536 201
Aḥmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), 118 202
Al-Qur‘ān surat al-Hujurat ayat 13
109
antropologis dan psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan
tetapi sudah barang tentu dengan tujuan tetap mempertahankan ruh,
semangat, dan nilai yang terkandung di dalam hadis tersebut. Seluruh
ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga
keorisinilan hadis terutama dari sudut pemahamannya dan agar tujuan
syari‘at (maqāshid al-shari‟ah) sebagai rahmatan lil „ālamin dapat
dicapai.
Oleh sebab itu kebenaran pemahaman dengan cara atau
pendekatan di atas masih bersifat nisbi dan masih memiliki ruang untuk
diperselisihkan dan didiskusikan lebih lanjut.
Pendekatan pemahaman hadis kontekstual seperti ini
sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Imam al-Shafi‘ī dalam
menjelaskan hadis-hadis mukhtalīf.203
Menurutnya faktor penyebab
timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah
karena tidak mengetahui asbāb al-wurūd suatu hadis, atau dengan kata
lain karena tidak memperhatikan konteksnya.204
Dengan demikian jelaslah bahwa memahami hadis dengan
memperhatikan konteksnya tidak saja dapat mengantarkan penemuan
maksud hadis yang lebih representif melainkan juga menemukan
pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai kontradiksi
sehingga hadis dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis
yang relative lebih tepat, apresiatif dan okomodatif terhadap perubahan
dan perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami suatu hadis kita
203
Hadis mukhtalīf adalah dua buah hadis yang saling bertentangan pada
makna lahiriahnya. Maka untuk menyelesaikan keduanya dikompromikan atau
ditarjīh. Lihat Jalal al-Din Abdurrahman ibn abi Bakar al-Suyūthī, Tadrib al-Rāwī fī
Sharh Taqrib al-Nawāwī (Madinah: Maktabah Ilmiah, 1972), cet ke-2. jilid II, 196
Mengenai hadis mukhtalīf, al-Shafi‘ī tidak memberikan defenisi yang tegas.
Dalam bukunya al-‗Umm, dapat diketahui ada beberapa cara yang digunakan Imam
al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan hadis mukhtalif ini sebagai mana yang disimpulkan
oleh Edi Safri yaitu: 1) penyelesaian dalam bentuk kompromi yang mencakup
penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah uṣul, penyelesaian berdasarkan
pendekatan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif,
penyelesaian berdasarkan takwīl. 2) Penyelesaian dalam bentuk nasakh. 3)
Penyelesaian dalam bentuk tarjīh. 4) Penyelesaian dalam masalah tanawu‟ al-ibadah.
Lihat Edi Safri, Mukhtalif, 97. 204
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
(Padang: IAIN IB Press, 1999), 104.
110
tidak hanya terpaku pada zahirnya teks hadis, melainkan harus
memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW. sebagai mitra al-
Qur‘an secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk
membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam
masyarakat kontemporer sekarang.205
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam hal ini adalah
suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi
historis-empiris pada saat hadis itu di sampaikan Nabi SAW. Dengan
kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam
hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis cultural
yang mengitarinya. Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis
oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbāb
al-wurud yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa
Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkanya.206
Ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-
pertanyaan yang terjadi pada hadis disampaikan oleh Nabi SAW.207
Persoalannya adalah mengapa kita perlu mengetahui asbāb al-
wurud, tidak lain karena asbāb al-wurud dapat dijadikan sebagai pisau
bedah untuk menganalisis, menentukan takhṣīṣ (pengkhususan) dari
yang ‗am, membatasi yang mutlak, merinci yang global dan
menentukan ada tidaknya naskh (pembatasan hukum), menjelaskan
‗illat (alasan) ditetapkanya hukum dan membantu menjelaskan hadis
yang mushkil (sulit dipahami).208
Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa
Nabi SAW bersabda demikian, dan bagaimana kondisi historis-sosio-
205
Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman khulafā‟ al-
Rashidīn dan Bani Umayyah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang
menolak sunah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal
masa Bani Abbasīah (750-1258M) muncul sekelompok kecil orang yang berpaham
inkar al-sunnah. Lihat: Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar
dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),14. 206
M. Hasbi ash-Shidiqie, Sejarah Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), 163-164. 207
Defenisi tersebut merupakan analogi dari defenisi Asbāb al-Nuzūl al-
Qur‟an. Lihat al-Suyuṭī, Lubāb al-Nuqul dalam Hashiah Tafsir al-Jalalain
(Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,t.th.), 5. 208
Untuk melihat contoh-contohnya, silahkan baca Jalaluddīn al-Suyuṭī, al-
Luma‟ fī Asbāb al-Ḥadīth (Beirut: Dār al-Fikr t.th.), 5.
111
kultural masyarakat dan bahkan politik pada masa itu, serta mengamati
proses terjadinya. Adapun pendekatan sosiologi,209 menyoroti dari
sudut posisi manusia yang membawanya kepada prilaku itu. Sedangkan
antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada
tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.210
Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang
meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia
dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.211
Kalaupun kita mencoba menggambarkanya dengan pendekatan
historis, sosiologis dan antropologis secara sintetik, maka hadis yang
juga merupakan fenomena keagamaan dan yang berakumulasi pada
perilaku manusia dapat didekati dengan menggunakan ketiga model
pendekatan tersebut, sesuai konteks masing-masing.
Dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis
diharapkan akan memperoleh suatu pemahaman baru yang relatif lebih
apresiasif terhadap perubahan masyarakat (social change) yang
merupakan implikasi dari adanya perkembangan dan kemajuan sains
teknologi. Sudah barang tentu hal ini merupakan suatu ―ijtihad‖ yang
bersifat buatan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Kalaupun
benar, kebenarannya tetap relatif dan nisbi serta masih debatable (dapat
diperdebatkan), namun jika keliru, kita tetap akan dapat satu pahala.
Dengan demikian, peran seorang ahli hadis sekadar
mengungkap makna dan petunjuk hadis yang di syarah, membiarkan
hadis membimbingnya kepada suatu petunjuk dan tidak
mengganggunya dengan berbagai prakonsepsi, bukan menentukan arah
makna dan petunjuknya. Dengan demikian ia akan bisa mensyarah
dengan obyektif.212
Sedangkan dalam perspektif kajian semantik Barat
209
Sosiologi di defenisikan sebagai ―the sythesizing and generalizing science
of man in all his social relationships. The focus of attention upon social relationship
make sociology a distinctive field‖ Keterangan selanjutnya baca. Arnold W. Green,
sociology an Analysis of Life in Modern Society (New York: Toroto 1960), 1-5.
Menurut Friediche seorang sosiolog naturalisme, Nabi dari suatu agama
sesungguhnya seseorang yang mengkritik dunia sosialnya dan mendengungkan
kebutuhan perubahan (reformasi) untuk mencegah malapetaka di masa mendatang.
Lihat Margaret M. Polama, Sosiologi Kontemporer (Yogyakarta: CV Rajawali
t.th.),13. 210
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama:
Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1991),1. 211
S. Menno, Antopologi Perkotaan (Jakarta:CV,Rajawali, 1992), 10-11. 212
Muhammad Shahrur dalam karyanya al-Kitab wa al-Qur‟an menyatakan
bahwa ia mensyaratkan bagi obyektifitas penelitian al-Qur‘an dengan melakukan
112
penafsiran teks, termasuk pemahaman hadis di dalamnya, merupakan
seni pemaknaan terhadapnya. Sedangkan teks yang ditafsirkan telah
berada dalam zona otonom, bukan lagi dalam kekuasaan pengarangnya.
Oleh karena itu, seorang pensyarah memiliki otoritas penuh terhadap
makna dan petunjuk yang ia peroleh dari hadis yang dipahami. Ia tidak
perlu merasa terikat oleh pemahaman pada masa silam, termasuk
pemahaman pada saat teks hadis itu lahir, ia berhak memaknainya
dengan segala potensinya secara netral.213
F. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI
di Indonesia.
Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian
banyak orang, baik di negara Indonesia maupun di negara lainnya; baik
kalangan muslim maupun non-muslim. Terbukti hingga sekarang,
kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut kritik terhadap
otentisitasnya maupun metodologi pemahaman terus berkembang.214
Ada banyak pengkaji hadis di Indonesia pada abad XXI, akan
tetapi penelitian yang dilakukan kebanyakan mengenai tema dan studi
pemikiran terhadap ahli hadis di dunia. Hanya beberapa yang mencoba
membuat karya tentang rekonstruksi metodologi pemahaman hadis
Nabi SAW. Di antaranya adalah Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil
Al-Munawar, Ali Musthafa Ya‘qub, dan Kamarudin Amin. Para
pengkaji hadis ini mewakili dari tamatan Timur Tengah, Indonesia, dan
tamatan Barat. Hal inilah yang menyebabkan penulis ingin meneliti
tentang pemikiran mereka lebih dalam lagi.
Adapun alasan penulis memilih para pengkaji hadis ini adalah,
di samping karya-karya mereka membahas tentang metodologi
pemahaman hadis Nabi SAW, karya-karya yang mereka tulis juga
studi teks tanpa mengikutsertakan sentimen apapun. Lihat Muhammad Shahrur, al-
Kitab wa al-Qur‟an (Kairo: Sina, 1992), 30. 213
James Risser, Hermeneutic and The Voice of The Other (State University
of New York Press, 1997), 164; dan Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanton:
Northwester University Press, 1969), 5. 214
Di Kashmir pada abad sekarang, pemikiran ahli hadis mereka juga banyak
dipengaruhi oleh sosial-historis kontemporer disana, sehingga perkembangan
pemikiran dan kajian hadis juga berkembang disana. Lihat Bashir Ahmad Khan, The
Ahl-i-Ḥadīth: A Socio-Religious Reform Movemet in Kaṣmir, Journal The Muslim
World, (2000), 133. Published by University of Kashmir Department of History
Srinagar, Kashmir. http://www.proquest.org. (Accessed: 03/02/2014).
113
digunakan di beberapa negara dan mengandung unsur pembaharuan
dalam kajian hadis.
5. Muhammad Syuhudi Ismail
Muhammad Syuhudi Ismail adalah seorang yang cukup
produktif menulis, sehingga dapat dikenal oleh berbagai
kalangan, khususnya kalangan mahasiswa IAIN, bahkan secara
khusus M. Syuhudi Ismail telah mengasah insan akademik
terutama di kalangan IAIN Alauddin Ujungpandang. Karya
monumentalnya yang terbesar adalah bukuyang diangkat dari
disertasinya yang berjudul Kaidah Keshahihan Sanad Hadis
(Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Menurut
Nasaruddin Umar, buku Syuhudi Ismail itu ditemuinya di
hampir semua perpustakaan besar di Kanada, Amerika Serikat,
Eropa, dan Jepang.215
Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis
di Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis
diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela,
pengingkar dan pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis
Nabi yang tekstual dan kontekstual: telaah ma‟ani al-hadis
tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.216
215
Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖
(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 8. 216
Muhammad Syuhudi Ismail lahir di Rowo Kangkung, Lumajang Jawa
Timur pada 23 April 1943. Putra dari pasangan H. Ismail dan Sufiyatun. Syuhudi
Ismail sebagai kader PSII dan seorang intelektual muslim merupakan sosok ilmuan
murni yang penuh percaya diri. Meskipun kalangan ilmuan dan pejabat terkadang
berkomentar sinis terhadap pemikirannya. Pada prinsipnya beliau dapat menerima di
kalangan masyarakat, baik di kalangan partisipan atau intelektual. M. Syuhudi Ismail
menghembuskan nafas terakhir pada hari ahad tanggal 19 November 1995 di rumah
sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Beliau dikebumikan di kuburan Islam, Botoala,
Ujung Pandang pada hari senin.
Setelah meraih gelar Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
1987, beliau kembali ke Ujungpandang sebagai Dosen tetap pada Fakultas Syari‘ah
IAIN Alauddin dan Dosen luar biasa di berbagai Perguruan Tinggi Islam di
Ujungpandang. Selain itu menjadi Dosen di Institut Agama Islam Latifah
Mubarakiyah Surlaya Tasik Malaya Jawa Barat tahun 1988-1990, Direktur Forum
Studi Agama Islam (FSAI) IAIN Alauddin tahun 1989-1995, ketua umum Ikatan
Alumni (IKA) IAIN Ujungpandang pada tahun 1986 sampai beliau wafat. Lihat M.
114
Muhammad Syuhudi Ismail memiliki ilmu yang luas
dan dalam, antara lain dinilai tatkala mengemukakan pikiran-
pikirannya yang tajam, sebagai ahli hadis yang berhasil
menjabarkan hadis Nabi SAW secara teks dan argumentatif. Hal
ini didukung oleh banyaknya buku-buku yang beliau baca
diantaranya buku-buku sosiologi dan kemampuannya
menguasai dalil-dalil khusunya hadis Nabi SAW.217
Beliau juga seorang ulama dan intelektual yang cukup
besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan Ulūm al-
Ḥadīth. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode
pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul
Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al
hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.
Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami
secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami
secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan
bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,
temporal dan lokal.
Muhammad Syuhudi Ismail menghasilkan 164 judul
karya ilmiah, yang terbagi dalam beberapa macam, di antaranya
yaitu:
1) Pengantar Ilmu Hadis (1987)
2) Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (1988)
3) Cara Praktis Mencari Hadis (1991)
4) Sunnah Menurut para Pembelanya dan Upaya Pelestarian
Sunnah oleh para Pembelanya (1991).
5) Sunnah Menurut para Pengingkarnya dan Upaya
Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya (1991).
6) Metodologi Penelitian Hadis (1992).
7) Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani
al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal,
dan Lokal (1994).
8) Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya
(1995).
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249. 217
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249.
115
Sebagai seorang yang produktif, M. Syuhudi Ismail
telah banyak menghasilkan karya-karya yang berguna bagi
kebutuhan pendidikan.
Pemikiran beliau di dalam bidang hadis dalam masalah
sanad hadis, ia menyatakan bahwa kaedah-kaedah minor ke-
ṣaḥīḥ-an sanad hadis, sanad bersambung adalah muttaṣil atau
mawṣul yaitu hadis yang bersambung sanadnya baik
persambungan itu sampai kepada Nabi (marfu) maupun hanya
sampai kepada sahabat saja (mauquf).218
Unsur-Unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat menurut M.
Syuhudi Ismail dapat terpenuhi apabila unsur sanadnya
bersambung atau unsur periwayat bersifat ḍabiṭ benar-benar
terpenuhi. Dengan adanya unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat
dalam konteks defenisi hadis ṣaḥīḥ bersifat metodologis dan
penekanan akan keberadaan unsur-unsur bersambung ataupun
periwayat bersifat ḍabit (tam al-ḍabiṭ), namun secara konkrit
beliau memasukkan unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat
sebagai bagian unsur minor periwayat yang bersifat ḍabit bagi
ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan hadis.219
Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa ternyata ada matan
hadis Nabi yang kandungan petunjuknya harus dipahami secara
218
Para ulama hadis telah menciptakan ilmu kaedah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis
yang merupakan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang
mempunyai kualitas ṣaḥīḥ. Kaedah ke- ṣaḥīḥ -an sanad hadis dibagi menjadi dua yaitu
yang bersifat umum (kaedah mayor) dan kaedah yang bersifat khusus (kaedah minor).
Unsur-unsur kaedah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis terdiri dari; sanad bersambung, seluruh
periwayat dalam sanad bersifat adil, seluruh periwayat dalam sanad bersifat ḍabit,
sanad hadis itu terhindar dari shuzuz, dan sanad hadis itu terhindari dari ‗illat.
Nuruddin Itr, Ulūm al-Ḥadīth (Bandung: Rosda Karya, 1994), 99 dan 125. dan juga
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 249. 219
Secara implisit M. Syuhudi Ismail juga menyebutkan sebagai bagian
unsur minor sanad bersambung, yakni mahfuz bagi sanad yang terhindar dari shuzuz
dan bukan mu‟all sanad yang terhindar dari ‗illat. Jadi unsur-unsur kaedah minor
adalah: a) untuk sanad bersambung adalah; muttaṣil (mawṣul), marfu‟, mahfuzh, dan
bukan mu‟all (bukan hadis yang ber-‟illat); b) untuk periwayat bersifat adil adalah:
beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru‟ah;
c) untuk periwayat bersifat ḍabiṭ dan atau tam al-ḍabit adalah hafal dengan baik hadis
yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalkan
kepada orang lain, terhindar dari shuzuz, dan terhindar dari ‗illat. M. Syuhudi Ismail,
Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 133.
116
tekstual saja dan karenanya, tidak diperlukan pemahaman
secara kontekstual, untuk matan hadis tertentu lainnya,
kandungan petunjuknya diperlukan pemahaman secara
kontekstual.220
Dalam pada itu, ada pula matan hadis yang dapat
dipahami secara tekstual dan secara kontekstual sekaligus.
Dengan memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual,
maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang
bersifat universal, temporal, dan lokal.
Dalam melakukan pilihan pemahaman yang dinilai
tepat, diperlukan kegiatan pencarian qarinah atau indikasi-
indikasi yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan
dilihat dari segi-segi yang berhubungan dengannya. Untuk
menetapkan suatu qarinah, diperlukan kegiatan ijtihad dan
kegiatan pencarian qarinah itu barulah dilakukan setelah
diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang bersangkutan
berkualitas ṣaḥīḥ, atau minimal ḥasan.
Dengan kemungkinan adanya pemahaman secara
kontekstual, maka suatu hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun
ḥasan tidak dapat serta merta matannya dinyatakan sebagai
berkualitas ḍa‟if (lemah) ataupun mauḍū‟ (palsu) dengan alasan
karena teks matan hadis yang bersangkutan tampak tidak sesuai
dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan yang digunakan. Terhadap
hadis yang sanadnya shahih ataupun hasan, diperlukan upaya
pemahaman yang sungguh-sungguh, sehingga terhindar
penilaian terhadap suatu hadis yang sebenarnya berkualitas
ṣaḥīḥ ataupun ḥasan dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟if.221
Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi
Ismail, baik berkaitan dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan
matan hadis maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman
hadis memberikan indikasi bahwa wacana hadis Nabi sebagai
220
Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan akidah,
ibadah, dan hukum atau yang bersifat qaṭ‟ī (pasti) adalah cenderung tekstual dan
bersikap ketat atas kualitas hadis-hadisnya. Sedangkan dalam masalah-masalah sosial
politik dan sosial kemasyarakatan atau yang bersifat ẓannī (tidak pasti), maka ia
cenderung kontekstual dan bersikap longgar atas kualitas hadis-hadisnya. 221
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), 89-90.
117
suatu ilmu yang berdiri sendiri mengalami perkembangan
pemikiran.222
Pada sisi lain, implikasi pemikiran yang dikemukakan
oleh Syuhudi Ismail sangat erat kaitannya dengan pembumian
hadis Nabi dalam mengantisipasi perkembangan zaman,
terutama dalam hubungannya dengan dakwah dan penerapan
ajaran Islam. Di samping itu, implikasi pemikiran tersebut dapat
membuktikan keutamaan Nabi SAW. Dalam mempraktekkan
ajaran agama Allah di muka bumi.223
Menurut Syuhudi Ismail, ada beberapa faktor yang
menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting,
yakni (1) hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam; (2)
tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi; (3) telah timbul
berbagai pemalsuan hadis; (4) proses penghimpunan hadis yang
memakan waktu lama; (5) jumlah kitab hadis yang banyak
dengan metode penyusunan yang beragama; dan (6) telah
terjadi periwayatan hadis secara makna.224
6. Said Agil Husin al-Munawar
Said Agil Husin al-Munawar adalah ulama intelektual
yang banyak memiliki keahlian sehingga aktivitasnya pun
menjadi sangat beragam, sosok yang dibutuhkan banyak orang,
enak diajak berbicara dan suara merdu. Dia lahir di Kampung
13 Ulu Palembang pada tanggal 26 Januari 1954. Ayahnya
bernama Habib Husin ibn Agil ibn Ahmad al-Munawar adalah
seorang tokoh Habib yang dihormati di Palembang.225
222
Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah; (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa
pendekatan, selain pendekatan bahasa; (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan
kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahuan dan pendekatan yang sesuai
dengan materi hadis yang bersangkutan. Lihat Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan
Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 65. 223
Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖
(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 66. 224
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, 7-21. 225
http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-
Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan
118
Prof Dr. H. Said Agil Husin al-Munawwar, MA adalah
seorang pengajar lulusan Fakultas Syari‘ah di Universitas
Ummu al-Quro di Makkah Arab Saudi, dan ia bekerja sebagai
dosen pada beberapa perguruan tinggi sebelum menjadi
menteri, terutamanya perguruan tinggi Islam seperti Institut
Agama Islam Negeri di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu
Said Agil al-Munawwar juga pernah menjadi dosen Pendidikan
Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia pusat pada tahun
1990 hingga tahun 1998.226
Selama di Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut
ilmu di bangku kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar
kampus masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak
menyia-nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama
yang ada di sana. Tokoh-tokoh seperti Abdul Qadir ibn Ahmad
Assegaf, Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki, Syaikh Yasin
al-Fadani, merupakan guru fiqih dan hadis dari Said Agil al-
Munawar.227
Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Said Agil masih
menunjukkan kelebihannya yang lain, menghasilkan karya-
karya tulis yang berbobot. Bahkan ia tergolong penulis yang
produktif, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah
seminar. Di antara buku-buku yang pernah dihasilkannya adalah
i‟jāz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir, Uṣul al-Fiqh, Sejarah
dan Suatu Pengantar; Ilmu Takhrij Hadis, Sejarah dan Suatu
Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001), 5. 226
http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-
Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan
Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001), 5. 227
Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak
kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan syaikh Yasin, sampai
setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin
di kala itu di antaranya mengatakan demikian, ―Agil, kaki saya ini sudah bengkak-
bengkak.‖ Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah.
Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan macam-macam wasiat macam-
macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan
ijazah yang diberikannya, dimana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin
menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil
mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutub al-sittah. Lihat
http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com.
119
Pengantar; Perkembangan Hukum Islam Mazhab Shafi‘i; Studi
Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd; Dimensi-Dimensi Kehidupan
dalam Perspektif Islam.
Karya-Karya ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql
al-Dam wa Atharuhu fī al-Sharī‟ah al-Islāmiyah (Skripsi S1,
1975), al-Khamru wa Ḍararuhu fī al-Mujtamā‟ al-Insāni
(Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah, 1979), Al-Nadb wa
al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura‘ Mekkah,
1983), dan Tahqīq Kitab Hawi al-Kabir li al-Mawardi
(Disertasi doktor, Universitas Ummul Qura Makkah, 1987).
Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar, ia pun telah
banyak membuat karya-karya tentang hadis.
Adapun karya-karya ilmiah Said Agil yang lainnya
yaitu:
1. Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-
Kontekstual (2001)
2. Ilmu Takhrij Hadis
3. Asbāb Wurud al-Hadis: Suatu Tinjauan Sosiologis, Historis,
dan Antropologis (1998).
4. I‟Jaz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir (1993).
5. Ushul Fiqh, Sejarah dan Suatu Pengantar
6. Ilmu Takhrij Hadis, Sejarah dan Suatu Pengantar
7. Perkembangan Hukum Islam Mazhab Syafi‟i, Studi
Perbandungan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. (Penelitian
Individual IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
8. Dimensi-Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam
(2001).
9. Naqlu al-Dam wa Atsaruhu fi al-Syari‟ah al-Islamiyah
(1977).
10. Al-Khamru wa Adraruhu fi al-Mujtama‟i al-Insani (1979)
11. Al-Nadbu wa al-Karahah (1983)
12. Tahqiq Kitab al-Hawi al-Kabir Karya al-Mawardi (1987)
13. Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Jurnal al-Fatah, 1989)
14. Asbab al-Wurud terjemah Karya al-Suyuthi, Pengembangan
terhadap al-Sunnah
15. Kodifikasi al-Qur‟an: Suatu Tinjauan Aspek Historis (1994)
16. Membangun Metodologi Ushul Fiqh (Telaah Konsep al-
Nadb dan al-Karahah dalam Istinbath Hukum Islam).
120
17. Konsep Maslahat dalam Hukum Islam Suatu Tinjauan
sebagai Sumber Hukum (Jurnal, 1998)
18. Sejarah Perkembangan Pemikiran Hukum Islam (Jurnal,
1998).
19. Fiqh Hubungan Antar Agama.
20. Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Islam (1985)
21. Al-Qur‟an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki
22. Fungsi-Fungsi Ulama (2000)
23. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial
24. Pengamalan Tasawuf di Era Modern (2000)
25. Fiqh Haji
26. Islam dan Interaksi Sosial (Jurnal, 2000)
27. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟ani dalam Sistim Pendidikan
Nasional.
28. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyah, Mafhumuha wa Tathawwuruha wa
Dauruha fi Instinbath al-Ahkam al-Syari‟ah (Jurnal al-
Jami‘ah, 2000).
29. Dimensi-Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam
30. Al-Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Hukum Islam
(Jurnal al-Jami‘ah, 1998)
31. Pemberdayaan Umat Menuju Masyarakat Madani (Jurnal
Ilmiah Economic Resources, 2000).
32. Fiqh Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju
Masyarakat Madani (Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, 1999).
33. Pedoman Menuju Haji Mabrur (Terjemah Karya Syekh
Hasan Ayyub).
34. Asbāb Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis (1998).
Menurut Said Agil, untuk mengetahui asbāb al-wurud
mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman
(misunderstanding) dalam menangkap maksud hadis.
Sedangkan untuk hadis-hadis yang tidak mempunyai asbāb al-
wurud khusus sebagai alternatifnya, kita mungkin dapat
menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau
pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami
hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW
tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan
hampa kultural. Sebuah gagasan pemikiran, ide, termasuk sabda
121
Nabi SAW. Selalu based on historical facts. Ia pasti terkait
dengan problem histori-kultural waktu itu.228
Dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis dan
antropologis semacam itu, diharapkan akan mampu
memberikan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat,
apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami suatu hadis
kita tidak hanya terpaku pada zahirnya teks hadis, melainkan
harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra
al-Qur‘an, secara teologis juga diharapkan dapat memberikan
inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem
yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena
bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan
pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu
kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri,
yakni al-Qur‘an dan Hadis.229
Said Agil al-Munawwar mencoba untuk memberikan
tawaran baru bagaimana cara melakukan pemahaman hadis
dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh
masing-masing. Hadis-hadis yang ia kutip dalam karyanya
adalah hadis yang dianggap ṣaḥīḥ oleh para ulama hadis, yaitu
hadis imam al-Bukhari dan Muslim.
7. Ali Mustafa Ya‘qub
Ali Mustafa Ya‘qub lahir pada tanggal 2 Maret tahun
1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang,
Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat
beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali tiap hari sehabis
belajar di Sekolah Dasar di desa tempat kelahirannya, ia
228
Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 6. 229
Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman al-Khulafa‟ al-
Rashidin dan Bani Umayah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang menolak
sunnah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa
Bani Abbasiah muncul sekelompok kecil orang yang berpaham Inkar al-Sunnah.
Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 14. Dan Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 26.
122
habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di
lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.
Ayahnya bernama Ya‘qub, seorang mubaligh terkemuka
pada zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah,
misalnya menegakkan amar ma‘ruf dan memberantas
kemungkaran. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya
melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas penduduk
di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang
belum mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan
kakeknya mendirikan sebuah pondok pesantren yang para
santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa
pamrih dan hanya mengharap ridha Allah SWT.230
Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari
pemerintah Arab Saudi, Ali Musthafa Ya‘qub mencari ilmu di
Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Imam Muhammad ibn
Sa‘ud, Riyaḍ Saudi Arabia, sampai tamat dengan ijazah Licanse
(Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan studi
di Universitas King Sa‘ud Departemen Studi Islam jurusan
Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985.
Dipilihnya Fakultas Syari‘ah dan Departemen Tafsir dan Hadis
oleh Ali Musthafa Ya‘qub bukanlah suatu kebetulan, tetapi
karena dalam pandangannya kedua ilmu ini (Syari‘ah dan
Hadis) sangat diperlukan masyarakat. 231
Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Ya‘qub,
ada ketiga orang gurunya yang sangat berpengaruh dalam
hidupnya, yaitu Syamsuri Badawi,232
Idris Kamali,233
dan
Muḥammad Musṭafa al-A‘zami.234
230
Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 231
Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 232
Syamsuri Badawi adalah guru hadis dan Uṣul al-Fiqh Ali Mustafa
Ya‘qub di Pesantren Tebuireng Jombang, dari beliaulah Ali Mustafa Ya‘qub banyak
belajar sikap tawadu‘, ikhlas, dan semangat mendalami studi hadis. Dari beliau pula
Ali Mustafa Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan Ṣaḥīḥ
Muslim dengan cara Ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW melalui jalur
Hasyim Asy‘ari. Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),
21.
123
Sekarang Ali Mustafa Ya‘qub tercatat sebagai guru
besar hadis pada Institut Ilmu al-Qur‘an (IIQ) Jakarta, pengasuh
(Khadim Ma‘had) pesantren Darus Sunnah, Imam Besar Masjid
Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pen-taṣḥīḥ al-Qur‘an
DEPAG RI, anggota Dewan Syari‘ah Majlis al-Zikra, anggota
Dewan Syari‘ah Bank Bukopin Syari‘ah, pengasuh rubrik tanya
jawab majalah Amanah, Buletin Nabawi, pemateri hadis masjid
Sunda Kelapa dan sebagainya.235
Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa Ya‘qub
adalah seorang pakar hadis, tetapi karya yang telah beliau
hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian hadis saja, tetapi pada
kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fikih, Dakwah
dan Tafsir.
Dalam bidang kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa
Ya‘qub meliputi:
1) Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis
(1991);
2) Kritik Hadis (1995);
3) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999);
4) MM A‟zami Pembela Eksistensi Hadis (2002);
5) Hadis-Hadis Bermasalah (2003);
6) Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003);
7) Memahami Hakikat Hukum Islam (1986);
8) Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghafal al-Qur‟an
(1990);
9) Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (1994);
10) Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (1418 H)
233
Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir
pada gurunya Idris Kamali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali
Mustafa Ya‘qub kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ali
Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 23. 234
Muhammad Musṭafa al-A‘zami, guru besar ilmu hadis Universitas King
Sa‘ud Riyaḍ, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan
pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis.
Sumbangan penting A‘zami adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris
yang berjudul Studies in Early Hadith Literature (1996). Dan Muḥammad Musṭafa al-
A‘zami merupakan guru hadis Ali Mustafa Ya‘qub di Universitas King Sa‘ud Riyad.
Lihat Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 25. 235
Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), 240.
124
11) Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)
12) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999);
13) Kerukunan Umat dalam Perpspektif al-Qur‟an dan Hadis
(2000);
14) Islam Masa Kini (2001);
15) Kemusyrikan Menurut Mazhab Syafi‟i (2001);
16) Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan
Ahmad (2001);
17) Fatwa-Fatwa Kontemporer (2002);
18) Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003);
19) Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003);
20) Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis
(2005);
21) Imam Perempuan (2006);
22) Haji Pengabdi Setan (2006);
23) Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007);
24) Toleransi Antar Umat Beragama (2008)
25) Kiblat Menurut al-Qur‟an Hadis, Kritik atas Fatwa MUI
No.5/2010 (2011)
26) Ramadhan bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)
27) Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah Menurut al-Qur‟an
dan Sunnah (2013);
28) Cara Benar Memahami Hadis (2014);
29) Setan Berkalung Surban (2014).
Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa Ya‘qub,
yang menjadi karya monumentalnya dan sekaligus menjadi
masterpiece-nya adalah buku kriteria Halal Haram untuk
Pangan, Obat dan Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‘an dan
Hadis (2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali Mustafa
Ya‘qub untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam
dari Universitas Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli
Ma‟ayir al-Ḥalal wa al-Ḥaram fī al-Aṭ‟imah wa al-Ashribah wa
al-Adwiyah wa al-Musṭadarāt al-Tajmilah „Alā Daw al-Kitāb
wa al-Sunnah”. Buku yang dicetak dalam dua bahasa (Arab dan
Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar
Fikih dan Uṣul al-Fiqh paling populer saat ini.236
236
Ali Mustafa Ya‘qub, Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan
Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009),
vii.
125
Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa Ya‘qub
lainnya, tampak dengan jelas kalau beliau adalah seorang ahli
hadis.237
Ali Mustafa Ya‘qub dalam karyanya berjudul Kritik
Hadis menjelaskan bahwa untuk menyebut apa yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW ada dua istilah yang berkembang di
kalangan masyarakat Islam, yaitu hadis dan sunah. Dua istilah
ini terkadang dianggap kurang defenitif sehingga perlu
dipertegas lagi menjadi hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan
Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah
lain, yaitu khabar (berita), dan athar (peninggalan). Namun
kedua istilah ini tidak berkembang.238
Ali Mustafa Ya‘qub memiliki pandangan bahwa pada
dasarnya hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila
pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka
pemahaman kontekstual boleh digunakan.239
237
Men-takhrīj hadis adalah salah satu aktivitasnya yang paling menonjol.
Langkah-langkah ―takhrīj‖ yang ia tempuh merujuk kepada kitab Uṣul al-Takhrīj wa
Dirasah al-Asanid karya Maḥmud al-Ṭahan. Dalam kajiannya Ali Mustafa Ya‘qub
mengkombinasikan antara kritik sanad dan kritik matan dengan menggunakan kaedah
umum takhrij al-hadīth sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Ṭahan dan ulama-
ulama lainnya.
Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (ṣaḥīḥ, ḥasan,
atau ḍa‟if), Ali Mustafa Ya‘qub menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu seperti
al-Tirmidhi, Ibn Hibban, al-Baihaqi, Ibn al-Jauzi, dan pendapat ulama mutaakhirin
seperti al-Dzahabi, al-Zaila‘i al-Haythami, Ibn Ḥajar, al-Sakhawi, al-Suyuṭi, dan al-
Munawi. Ia juga mengutip pendapat ulama kontemporer seperti al-Albani, Aḥmad
Shakir, dan lainnya.
Ali Mustafa Ya‘qub juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam
menentukan kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat
ulama jarh dan ta‟dīl tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh
wa ta‘dil mengenai kualitas seorang rawi, maka ia mengkomparasikan antara ulama
mutashaddidūn, mutawassitūn, dan mutasahilīn. 238
Ali Musthafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 32. 239
Ali Musthafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 152. Sementara itu, tokoh-tokoh mazhab lain berpendapat adanya kebutuhan
akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. Imam Shafi‘ī (204
H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolerir
dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan
yang lebih dari satu. Selain itu, dua corak pemikiran al-Shafi‘ī, Qaul Qadīm ketika ia
tinggal di Baghdad dan Qaul Jadīd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwa ia
sangat memperhartikan konteks secara serius. Adapun Abu Hanifah (150 H) lebih
dikenal sebagai tokoh madrasah ahl Ra‟y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang
126
Walaupun terlihat ada perbedaan tentang posibilitas
pemahaman kontekstual antara Ali Mustafa Ya‘qub dan tokoh-
tokoh hadis kontemporer lain, namun mereka memiliki
pandangan yang sama tentang beberapa tema hadis-hadis yang
harus dipahami secara tekstual.240
Dalam pandangan Ali Mustafa Ya‘qub, pemahaman
secara kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas
berfikir (ijtihad) yang bersifat ―human construction‖. Adapun
dalam melakukan aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh
metode yang disebut sebagai aḥsan turūq al-tafsīr terlebih
dahulu sebelum melakukan penafsiran kontekstual, yaitu tafsir
al-Qur‟an bi al-Qur‟an, kemudian tafsir al-Qur‟an bi al-
Sunnah. Ia mengingatkan bahwa tanpa memakai metode seperti
itu dikhawatirkan merupakan tindakan mendikte Allah, karena
hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi.241
Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa
Ya‘qub memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya,
apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka
harus dipahami secara kontekstual, yaitu dipahami dengan
melihat aspek-aspek di luar lafaz (teks) itu sendiri, yang
ahli hadis, sehingga mazhab Hanafi seperti diutarakan Muhammad al-Ghazali lebih
dekat dengan rasa keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. Berdasarkan
karakteristik setiap tokoh tersebut, Faruq Abu Zaid menyebut kelompok pertama
sebagai al-muhafizun, sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidun. Adapun pada
masa kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi. Lihat
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, 33; Muhammad
Jamāl al-Dīn al-Qasimī, Qawaid al-Taḥdīth min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiyyah, t.t.), 305; Muhyi al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-Majmu‟
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 139; Muḥammad Musṭafa al-A‘zami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Ya‘qub (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), 425; dan Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998), 32. 240
Tema-tema hadis tersebut dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umur al-
Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni (al-Ibadah al-Mahdah). Muḥammad Jamāl al-Dīn al-
Qasimi, Qawa‟id al-Taḥdith min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, t.t), 269; dan Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006), 21. 241
Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),
22.
127
meliputi sebab-sebab turunnya hadis,242
lokal dan temporal,243
kausalitas kalimat,244
dan sosio kultural.245
8. Kamaruddin Amin
Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. adalah
doctor dengan predikat Summa Cumlaude dalam bidang studi
Islam di Rheinischen Friedrich Wilhelms Universitaet Bonn,
Jerman. Aktif menulis sebagai pemakalah seminar maupun
menulis bagi jurnal Nasional dan Internasional. Kamaruddin
Amin menjabat sebagai pembantu rektor di bidang kerjasama
UIN Alauddin Makasar.246
242
Secara sederhana, asbāb al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab
yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi (911 H),
asbāb al-wurud berarti sesuatu yang menjadi ṭarīq (jalan) untuk menentukan maksud
suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk
menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-
belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa,
maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat. Ibnu Hamzah
al-Husaini, Asbab al-Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-
Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 27. 243
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat
tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis
yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum
tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti
ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu
menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. 244
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang
menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara konkrit
oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali
melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap kausalitas kalimat. 245
Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Syetan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 152. 246
Bagi Kamaruddin Amin yang lahir di keluarga besar 16 bersaudara yang
pernah menjadi kandidat rektor nomor urut 3 di UIN Alauddin Makasar mengaku
kalau, ibunya adalah seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan
yang ia raih hingga hari ini. Berkat bimbingan ibu, sejak kecil pria kelahiran Bontang
5 Januari 1969 ini selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Prestasi akademiknya
selalu diraihnya dengan baik sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD)
hingga meraih gelar Doktor (S3) di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet
Bonn, Germany.
Kini lulusan terbaik program magister Universitate te Leiden Belanda ini
menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam. Kamaruddin Amin menyenangi
semua pekerjaan yang dilakoninya, tidak pernah membeda-bedakan dalam memilih
teman. http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014).
128
Beliau lahir di Bontang 5 Januari 1969 saat ini menjadi
dosen, SEKDIRJEN Kemenag RI, Komisi Hubungan
Internasional MUI Sulawesi Selatan dan Project Manager of the
Development Bank. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Jerman,
dan Belanda.247
Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi
terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan
hadis. Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi
metode-metode yang digunakan para sarjana Muslim terdahulu,
mempertahankannya dari kritik para sarjana Barat, dan menolak
metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan mereka.
Sebaliknya, Kamaruddin Amin mendekati isu itu dengan
banyak skeptisisme bahkan terhadap metode-metode tradisional
dan modern dari para sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga
berseberangan dengan beberapa studi Barat tentang topik yang
menolak mentah-mentah metode-metode kritik hadis para
sarjana muslim sebagai naif dan tidak bisa dipercaya tanpa
menelaah dan mengujinya secara mendalam.248
Karya-karyanya adalah:
1) Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Hikmah
Mizan 2009.
2) Isnad Cum Matan Analysis. In Search of New Methodology,
Pustaka Mapan Jakarta 2009.
3) Rethinking Hadith Critical Methods, Pustaka Mapan Jakarta
2009.
4) The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination
of Hadith Critical Method. Journal Islamic Law and
Society, EJ. Brill: Leiden, Boston, 2004.
5) Isnad an the Historicity of Hadith, Pustaka Mapan Jakarta
2009.
6) Nasiruddin al-Albani on Muslim Shahih: A Critical Study
on His Method. Journal Islamic Law anad Society, EJ. Brill:
Leiden, Boston, 2004.
7) Non Muslim (Western) Scholars Approach to Hadith: An
Analytical Study on the Theory of Common Link. Al-
247
http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014). 248
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi.
129
Jamiah Journal of Islamic Studies, Sunan Kalijaga State
Institute of Islamic Studies, Yogyakarta, 2002.
8) The Origins of Islamic Jurispudence (Harald Motzki). A
review article. Al-Jamiah Journal of Islamic Studies, Sunan
Kalijaga State Institute of Islamic Studies, 2003.
9) The Reliability of The Traditional Science of Hadith: A
Critical Reconsideration. Al-Jamiah Journal of Islamic
Studies, 2005.
10) The Origins of the System of Isnad in The Science of Hadith
Criticism, Uswa Journal of Islamic Studies, Fakultas Adab
IAIN Alauddin Makasar, 1999.
11) The Application of Juynboll‘s Recent Method of Isnad
Analysis to Hadith Literature. A Critical Study, Jurnal
Penelitian UNHAS, 2009.
12) Islam and the West. Their Mutual Relations as Reflected in
the Fatwa Literature. An Analysis of Jad al-Haq‘s Fatwa in
Terms of Slauhtering in Islam. Jurnal Penelitian UNHAS,
2009.
13) Quo Vadis Studi Hadis dalam Kesarjanaan Barat, Jurnal
Penelitian UNHAS, 2010.
14) Simbol Periwayatan dalam Kutub a-Sitta. Sebuah Studi
Kritis Empiris atas Implikasi Teori Ilmu Hadis, Jurnal
Penelitian UNHAS, 2010.
15) The ‗adala of the Companion of the Prophet. A Pseudo-
Problem. Journal of Islamic Civilization and Culture,
Malaysia 2010.
16) Sibawayhi wa-Arauhu al-Nahwiyya fīKitabihi “al-Kitab”
(Skripsi S1). Makasar 1994.
17) The Authenticity of Hadith. A Reconsideration of the
Reliability Hadith Transmision. (Thesis). Leiden 1998.
18) The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination of
Hadith Critical Methods. (Disertasi). Bonn 2005.
19) Muslim Western Scholarship of Hadith and Western Scholar
Reaction. A Study on Fuat Sezgin‟s Approach to Hadith
Scholarship. Al-Jami‘ah 2009.
20) Naqshabandiyya Sufi Order and its Implementation in The
Netherlands. A paper presented for a seminar in Islamic
Studies at the University of Leiden. 1996.
130
21) Slaughtering Animal According to Islamic Law: A Study on
the Fatwa of Jad al-Haq. A paper presented in front of
graduate students of Islamic studies at the University of
Leiden. 1997.
22) Initiation in den islamische Mystik. A paper presented for a
seminar in Malailogi, Universitat zu Koln, Germany.
23) Menyoal Originalitas Hadis. A paper presented in a seminar
conducted by Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis
(Tafsir Hadis Student Association), Faculty of Ushuluddin
(Theology) Alaudin State Institute Makassar, Indonesia.
1999.
24) Pandangan Barat terhadap Otoritas Hadis, A Paper
Presented in front of lecturers of the Faculty of Literature
(Adab). 1999.
25) The Sufistik Thought of Yusuf al-Makassari. A paper
presented for a seminar in Malailogi, Universitat zu Koln,
Germany.
26) Metodologi Ulumul Hadis, Islam Versus Barat. A Paper
presented in a seminar conducted by IAIN Alauddin
Makasar, 1999.
27) Perkembangan dan Pendekatan Studi Hadis di Barat.
Workshop nasional dosen Ulumul Hadis PTAI Yogyakarta.
28) Quo Vadis Hadith Studies? In Search of a New Methdology.
Seminar International Qou vadis Islamic Studies di
Makasar.
29) Menyoal Metodologi Ulumul Hadis. Workshop nasional
dosen ulumul hadis PTAI, di Makasar.
30) Menyorot Kesarjanaan Hadis Barat. Workshop nasional
dosen ulumul hadis PTAI, di Yogyakarta.
31) Hadis dan Sunna dalam perspektif Barat. Workshop
nasional dosen ulumul hadis PTAI, di Jakarta.
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis
menurut Kamaruddin Amin adalah persoalan otentisitas dan
reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian
sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua
setelah al-Qur‘an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi
mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka
atas keakuratan metodologi yang digunakan bermasalah, maka
semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari
131
kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil
tersebut bisa menjadi collapse.249
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik
untuk menyandarkan sebuah hadis kepada Nabi tidak mendapat
tantangan signifikan dari sarjana Muslim modern. Memang
terdapat sejumlah sarjana modern yang mencoba menunjukkan
resistensinya terhadap Ulūm al-Ḥadīth, tetapi mereka gagal
mendapatkan simpati mayoritas sarjana muslim.
Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn
analisis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan
pada komentar ulama tentang perawi tersebut, komentar ulama
tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarly
ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.250
Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para
sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya
masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya
masa lalu, memungkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah
Nabi, sahabat tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui
sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh
lebih bagus daripada kondisi al-Bukharī yang harus mencari dan
mengumpulkan kepingan informasi tentang Nabi dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Al-Bukharī telah meninggalkan
mutiara koleksi informasi.
Menurut Kamaruddin Amin, metode analisis isnad cum
matn yang mempelajari secara serius varian-varian isnad dan
teks yang berbeda dan juga hubungan-hubungannya, telah
terbukti sebagai sebuah alat penelitian efektif untuk
merekonstruksi sejarah yang memungkinkan kita untuk
membedakan dalam beberapa kasus antara riwayat yang
249
Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif, 1. 250
Sejauh penelitian terhadap transmisi hadis, secara tradisi terdapat dua
kasus, yang pertama transmisi hadis dilaporkan secara lengkap atau yang disebut
dengan muttaṣīl, dan laporan hadis yang tidak lengkap yang disebut dengan mursal.
Lihat Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif, 6. Dan juga Mohammad Sa‘id Mitwally Ibrahim al-Rahawan,
Detecting Textial Additions of Reliable Hadith Transmitters, Journal Islamic Studies,
Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic Research Institute, International
Islamic University, Islamabad. http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed:
27/01/2014).
132
sesungguhnya dan yang palsu. Dengan kata lain, dalam meneliti
transmisi ilmu pada masa awal Islam, analisis matan, yang
membandingkan varian-varian teks, tampaknya sama
pentingnya dengan analisis isnad, fokus sarjana Muslim dan
beberapa sarjana Barat. Analisis isnad saja tampaknya tidak
cukup, karena ia dapat membawa kita kepada penyandaran
dengan salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu.251
Pemberian penanggalan adalah sebuah tugas berat yang
harus dilaksanakan. Di samping itu, ia juga merupakan isu
kontroversial. Hasil atau kesimpulan yang dicapai dapat
meyakinkan sejumlah sarjana, tetapi yang lain tidak. Metode
yang digunakan oleh sarjana adalah faktor yang menentukan
yang mendikte atau mendorong arah dan hasil sebuah
penelitian. Studi ini yang telah memberi penanggalan sebuah
hadis menurut pendekatan Muslim dan non-Muslim telah
menunjukkan fakta ini.252
Demikianlah penjelasan dan uraian tentang biografi, karya, dan
pemikiran hadis dari empat orang pengkaji hadis di Indonesia, seperti
Muhammad Syuhudi Ismail dapat memanfaatkan berbagai teori dari
berbagai disiplin pengetahuan, termasuk sosiologi, antropologi,
psikologi, dan sejarah dalam memahami hadis; begitu juga dengan Said
Agil Husin al-Munawar yang menggunakan pendekatan kontekstual
Asbāb al-Wurud; Ali Mustafa Yaqub yang melakukan kritik sanad dan
juga memahami hadis dengan pendekatan geografis, sosial, dan
psikologis;253
Kamaruddin Amin menggunakan metode isnad cum matn
dalam menentukan keontetikan hadis; dan semua ini diasumsikan
251
Kasus hadis Sa‘id ibn Mina dan Sa‘id al-Maqburi, yang secara salah telah
disandarkan kepada Sa‘id ibn Musayyāb oleh Musṭafā Muḥammad Azami, misalnya,
adalah sebuah contoh. Demikian juga, informasi yang termuat dalam literatur biografi
telah terbukti berkali-kali bermanfaat dan tepercaya. Penilaian kita pada perawi
tertentu, yang didasarkan pada analisis komparatif atas varian teks dan isnad, sering
berkesusaian dengan literatur biografis. Tetapi ini tidak berarti bahwa ketepercayaan
seorang perawi hanya dapat ditentukan secara pasti oleh para kritikus hadis klasik.
Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:
Mizan Publika, 2009), 481-482. 252
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: Mizan Publika, 2009), 482. 253
Penjabaran yang lengkap dapat dilihat dalam buku Kritik Hadis dan Cara
Benar Memahami Hadis dan karya-karya lain dari Ali Mustafa Ya‘qub.
133
mengandung unsur pembaharuan dalam pemikiran mereka tentang
hadis.
134
BAB IV
DINAMIKA KAJIAN HADIS MASA MODERN DI INDONESIA
Dalam bab ini, dijelaskan empat faktor yang mempengaruhi
perkembangan pemikiran seseorang, serta dijelaskan tentang pemetaan
secara sinkronis dan diakronis perkembangan studi hadis di Indonesia,
dan juga rekonstruksi metodologi pemahaman hadis di Indonesia yang
dilakukan dan ditulis oleh pengkaji hadis di Indonesia pada masa
sekarang.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Studi
Hadis di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan
memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain,
sehingga banyak bermunculan pemikiran–pemikiran yang dianggap
sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan para pemikir
yang bermuara pada munculnya berbagai pemikiran.254
Hasil pemikiran tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
lingkungan sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia
dukung, latar belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran
yang ia anut, serta lingkungan pendidikan.255
254
Perkembangan (Development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan
dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut
adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem
organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi
fungsinya. Termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungan.
Perkembangan disini diartikan sebagai perubahan yang dialami oleh individu
atau organisme menuju tingkat kedewasaannya (matury) yang berlangsung secara
sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik fisik maupun psikis. Oleh karena
itu, semua orang yang mendapat tugas untuk mengawasi anak harus mengerti
persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Contohnya yaitu sikap
perasaan dan emosi, minat, cita-cita dan kepribadian seseorang. Lihat T.G.R. Bower,
Human Development (USA: W.H. Freeman and Company, 1979), 3. 255
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang dapat
dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah
faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah
135
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
pemikiran studi hadis di Indonesia, yaitu:
5. Hereditas
Gen yang terdapat di dalam nukleus dari telur yang
dibuahi pada masa embrio mempunyai sifat tersendiri pada tiap
individu. Manifestasi hasil perbedaan antara gen ini dikenal
sebagai hereditas. DNA yang membentuk gen mempunyai
peranan penting dalam transmisi sifat-sifat herediter. Timbulnya
kelainan familial, kelainan khusus tertentu, tipe tertentu dari
dwarfism adalah akibat transmisi gen yang abnormal. Haruslah
diingat bahwa beberapa anak bertubuh kecil karena konstitusi
genetiknya dan bukan karena gangguan endoktrin atau gizi.
Peranan genetik pada sifat perkembangan mental masih
merupakan hal yang diperdebatkan. Memang hereditas tidak
dapat disangsikan lagi mempunyai peranan yang besar tapi
pengaruh lingkungan terhadap organisme tersebut tidak dapat
diabaikan. Pada saat sekarang para ahli psikologi anak
berpendapat bahwa hereditas lebih banyak mempengaruhi
inteligensi dibandingkan dengan lingkungan. Sifat-sifat
emosionil seperti perasaan takut, kemauan dan temperamen
lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan dengan
hereditas.
a) Jenis kelamin. Pada umur tertentu pria dan perempuan
sangat berbeda dalam ukuran besar, kecepatan tumbuh,
proporsi jasmani dan lain-lainnya sehingga memerlukan
ukuran-ukuran normal tersendiri. Perempuan menjadi
dewasa lebih dini, yaitu mulai adolesensi pada umur 10
tahun, sedangkan pria mulai pada umur 12 tahun.
b) Ras atau bangsa. Oleh beberapa ahli antropologi disebutkan
bahwa ras kuning mempunyai hereditas lebih pendek
satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan
atau kombinasi dari sifat kedua orang-tuanya. Oleh karena itu, sering kita mendengar
istilah ―buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya‖. Sedangkan faktor eksternal adalah
faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan
pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya,
yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media
audiovisual seperti TV dan VCD, atau media cetak seperti koran, majalah, dan lain
sebagainya. Lihat Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral
Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 19.
136
dibandingkan dengan ras kulit putih. Perbedaan antar
bangsa tampak juga bila kita bandingkan orang Skandinavia
yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Itali.
c) Keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam suatu keluarga
terdapat anggota keluarga yang pendek sedangkan anggota
keluarga lainnya tinggi.
d) Umur. Kecepatan tumbuh yang paling besar ditemukan pada
masa fetus, masa bayi dan masa adolesensi.
Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Rasulullah juga menjelaskan bahwa setiap orang yang hendak
menikah untuk memilih calon istrinya dengan cermat, karena
keturunan sangat mempengaruhi sifat dan perilaku seseorang.
Kecermatan ini diperlukan untuk menjaga keselamatan keluarga
dan keturunan yang dihasilkannya. Keluarga merupakan fondasi
yang menentukan kualitas masyarakat atau bangsa. Apabila
keluarga-keluarga yang membangun sebuah bangsa itu baik
maka keturunan mereka pun akan menjadi generasi yang baik.
Dengan begitu, kebaikan akan menyebar ke seluruh masyarakat.
Baik dan buruk suatu masyarakat atau bangsa ditentukan oleh
baik-buruk unit-unit terkecil yang membangunnya, yaitu
keluarga.256
Seperti halnya Muhammad Syuhudi Ismail yang berasal
dari keluarga yang taat beragama, ia merupakan putera kedua
dari pasangan H. Ismail dan Sufiyatun, keduanya adalah
saudagar yang taat beragama. Ayahnya berasal dari suku
Madura, yakni H. Ismail ibn Mustin ibn Soemohardjo, wafat
tahun 1994 M., sedangkan ibunya berasal dari suku Jawa, yakni
Sufiyatun binti M. Ja‘far, wafat 1993 M. Dengan demikian,
Syuhudi Ismail lahir dari ―pendalungan” (kawin campur) antara
suku Madura dan Jawa. Itu berarti bahwa ia memiliki
karakeristik sebagai orang Madura dan sebagai orang Jawa.257
Said Agil Husin al-Munawwar, Ayahnya bernama Habib
Husin bin Agil bin Ahmad al-Munawar adalah seorang tokoh
Habib yang dihormati di Palembang. Sedangkan ibunya
Syarifah Sundus binti Muhammad al-Munawar. Ibu said Agil
Husin Munawar adalah ibu rumah tangga yang salihah dan
256
Zaghlul Raghin al-Najjar, Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti
Mukjizat Ilmiah Sabda Rasulullah (Jakarta: zaman, 2013), 240. 257
Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖ , 27-28.
137
bijaksana, sehingga bisa mengantarkan sang anak seperti Said
Agil Husin al-Munawar menjadi seorang Hafiz, Qari‘, pakar
Fikih dan Uṣul al-Fiqh serta pengajar Pascasarjana di berbagai
perguruan tinggi.258
Begitu juga dengan Ali Mustafa Ya‘qub, Ayahnya
bernama Ya‘qub, seorang mubaligh terkemuka pada zamannya
dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah. Ayah beliau mengajar
tanpa pamrih dan hanya mengharap ridha Allah swt, berjiwa
besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah
swt, sedangkan Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustazah dan
ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya.259
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal
dari kedua orang tuanya, seperti halnya Said Agil Husin
Munawar dan Ali Mustafa Ya‘qub. Hereditas adalah proses
penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu, dari satu generasi
kegenerasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya
yang diturunkan itu adalah struktur tubuh, jadi apa yang
diturunkan orang tua kepada anak-anaknya berdasar perpaduan
gen-gen yang pada umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-
ciri sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau hasil
belajar dari lingkungan.260
Genom manusia adalah satu set lengkap gen, yang
terletak pada 23 pasang kromosom, dan menentukan keadaan
biologis seseorang. Pada tahun 2000 sebagian besar genom
manusia telah berhasil diuraikan, dalam arti manusia telah dapat
memetakannya; gen-gen ini dapat kita ketahui letaknya dalam
untaian DNA namun peta genesis ini memungkinkan kita lebih
mudah memahami kepribadian dengan mengetahui instruksi
biologis dari masing-masing gen. Studi baru yang mempelajari
258
http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-
Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan
Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001), 5. 259
Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 260
Uyoh Sadulloh, Pedagogik (Bandung: Cipta Utama, 2007), 2.
138
bagaimana gen-gen manusia mempengaruhi perilaku disebut
genom perilaku.261
Faktor-faktor genetis sangat berkontribusi terhadap
kepribadian dan perbedaan antar individu. Kemajuan ilmu
pengetahuan membuka kemungkinan bagi para psikolog
kepribadian untuk lebih mengembangkan pendapat yang masih
umum ini dan membahas pola-pola khusus dari pengaruh yang
ada secara lebih mendalam. Salah satu cara untuk mencapai hal
ini adalah mengidentifikasi suatu kualitas kepribadian secara
spesifik yang dipandang memiliki dasar biologis. Kualitas-
kualitas seperti ini sering kali mengacu pada aspek yang disebut
dengan temperamen, yaitu suatu istilah yang merujuk pada
dasar kecendrungan emosional dan perilaku biologis dan terlihat
nyata pada masa kanak-kanak awal.262
6. Lingkungan
Salah satu cara biologi dapat mempengaruhi kepribadian
adalah dengan mempengaruhi lingkungan tempat kita hidup.
Pengaruh biologis dapat menyebabkan kita mengubah situasi-
situasi tertentu, dan situasi ini mungkin juga dapat
mempengaruhi kepribadian kita.263
Pengaruh lingkungan terbesar dalam perkembangan
psikologis adalah reaksi dari orang-orang disekitar kita. Rasa
identitas seseorang sangat tergantung pada bagaimana ia
diperlakukan; jika orang tua, guru, dan teman-teman kita
menyukai kita dan memberikan harapan pada kita, kita akan
lebih mungkin memiliki citra diri yang positif. Sayangnya,
begitu juga dengan kebalikannya; karakteristik fisik diri yang
261
Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern
(Jakarta: Erlangga, 2008), 176. 262
Suatu karakteristik temperamen yang telah dipelajari dengan cara ini
adalah rasa takut dan perilaku terhambat sebagai reaksi terhadap lingkungan baru,
seperti lingkungan yang terdapat orang asing di dalamnya. Temuan-temuan yang ada
menunjukkan bahwa manusia berbeda dalam hal fungsi sistem otak pada bagian
depan dan pada sistem libik yang terlibat dalam respons rasa takut, dan pada
kecendrungan seseorang untuk mengalami rasa takut dan mengalami hambatan dalam
berperilaku dan berpikir. Lihat Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian
(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 19. 263
Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern
(Jakarta: Erlangga, 2008), 202.
139
diinginkan terkadang dapat menyebabkan munculnya reaksi
yang tidak menyenangkan, dan konsekuensinya, seseorang akan
lebih mungkin memiliki citra diri yang negatif.264
Sejak faktor-faktor genetis berkontribusi pada
perkembangan otak, tipe analisis ini membuka kesempatan pada
para psikolog kepribadian untuk memahami kaitan dari gen
terhadap sistem biologis hingga akhirnya pada perilaku melalui
suatu cara yang akurat. Suatu hal yang menarik dari pekerjaan
ini adalah bahwa pekerjaan ini juga menunjukkan adanya suatu
peran bagi lingkungan dalam perkembangan perilaku. Terdapat
beberapa bukti bahwa anak-anak yang secara temperamen
pemalu dan menjalani hidup di penitipan anak di mana mereka
harus berinteraksi dengan sejumlah anak lain setiap hari,
cenderung akan berubah menjadi tidak pemalu apabila
dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh sepenuhnya di
rumah.265
Empat pengkaji hadis yang diteliti mempunyai
lingkungan yang mendukung perkembangan pemikiran mereka
tentang hadis, seperti Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa
Ya‘qub, Muhammad Syuhudi Ismail, dan Kamaruddin Amin
hidup dalam lingkungan pesantren.
Muhammad Syuhudi Ismail, pada usia 12 tahun (1955),
menamatkan Sekolah Rakyat Negeri (SRN) di Sidorejo,
Jatiroto, Lumajang Jawa Timur. Sejak kecil, Muhammad
Syuhudi Ismail di samping sekolah di SRN pada pagi hari, pada
sore hari ia ―ngaji‖ pada ayahnya (H. Ismail) dan selanjutnya
belajar agama pada seorang Kiai, yakni kiai Mansur yang
sengaja didatangkan ayahnya dari salah satu pesantren di
Jember, Jawa Timur.266
Mayoritas psikolog berorientasi biologis meyakini
bahwa lingkungan memainkan peran penting dalam
264
Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern
(Jakarta: Erlangga, 2008), 204. 265
Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), 19-20. 266
Kiai Mansur adalah salah satu seorang kader PSSI. Namun, karena
keluasan ilmu yang dimilikinya, menurut pandangan keluarga H. Ismail, maka ia
ditugaskan menjadi kiai atau guru agama di Rowo Kangkung, khususnya di madrasah
yang didirikan oleh H. Ismail. Lihat Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran
Hadis‖, 28, dan Muhammad Syuhudi Ismail, ―Pidato Pengukuhan.‖, i.
140
perkembangan kepribadian kita. Jika kita tidak tumbuh dalam
suatu lingkungan sosial dengan orang lain, kita bahkan tidak
akan menjadi seseorang dalam hal dimana istilah ―seseorang‖
tersebut dipahami secara umum. Konsep mengenai diri, tujuan
hidup, dan nilai-nilai menjadi petunjuk kita dalam berkembang
di dunia sosial. Beberapa penentu dari lingkungan membuat
orang-orang terlihat mirip satu sama lain, sekaligus
berkontribusi terhadap perbedaan individual dan keunikan
individual. Penentu-penentu dari lingkungan yang telah terbukti
penting dalam penelitian mengenai perkembangan kepribadian
ini meliputi budaya, keluarga dan teman sebaya.
a) Budaya
Salah satu hal terpenting di antara penentu
lingkungan terhadap kepribadian adalah pengalaman-
pengalaman individual sebagai suatu hasil dari keanggotaan
mereka pada suatu kultur tertentu. Setiap kultur memiliki
pola institusionalisasi dan sanksi tertentu mengenai perilaku
yang dipelajari, ritual-ritual, dan kepercayaan-kepercayaan
tertentu. Praktek-praktek kebudayaan ini yang pada
gilirannya sering kali merefleksikan kepercayaan religius
dan filosofi yang mendalam, memberikan jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan penting mengenai sifat alamiah
seseorang, peran seseorang dalam suatu komunitas, dan nilai
serta prinsip-prinsip yang paling penting dalam kehidupan.
Sebagai hasilnya, para anggota dari suatu budaya tertentu
dapat berbagi karakteristik kepribadian yang ada. Hal yang
menarik adalah bahwa seseorang sering kali tidak
menyadari kecendrungan-kecendrungan kultural yang
mereka miliki bersama, karena mereka hanya sekedar
menerima kecendrungan-kecendrungan kultural ini.267
267
Meskipun demikian banyak bukti yang mengindikasikan bahwa orang-
orang pada bagian dunia luar mengalami nilai-nilai kebudayaan yang berbeda.
Budaya Asia terlihat lebih menghargai kontribusi seseorang terhadap komunitas
mereka dibandingkan individualise dan pencapaian personal.
Pada kenyataannya, bahkan dalam dunia Barat, kepercayaan kultural
mengenai peran individual di lingkungan telah telah berubah sepanjang sejarah. Ide
bahwa para individu saling bersaing dalam suatu pasar ekonomi untuk meningkatkan
posisi mereka dalam kehidupan adalah suatu nilai dari kelompok sosial Barat
kontemporer, namun hal tersebut tidak lagi terlihat nyata dalam kelompok sosial yang
141
Budaya dapat memberikan suatu pengaruh pada
kepribadian dan pemikiran seseorang secara terselubung
budaya dimana kita tinggal menentukan kebutuhan kita dan
makna yang kita rasakan dalam pemuasan terhadap
kebutuhan-kebutuhan tersebut, pengalaman-pengalaman
kita terhadap emosi yang berbeda dan bagaimana kita
mengekspresikan apa yang ia rasakan, hubungan kita
dengan orang lain dengan diri kita sendiri, dan apa saja yang
kita lihat sebagai suatu kesehatan dan sakit.
b) Keluarga
Keluarga merupakan ―sekolah pertama‖ tempat
anak-anak mendapatkan pendidikan mengenai nilai-nilai
pribadi, perilaku dan pembentukan pemikirannya.
Sementara, masyarakat atau lingkungan sosial di sekitar
keluarga akan meningkatkan, mempertebal, dan
meneguhkan nilai-nilai kebaikan yang telah ditumbuhkan
dalam keluarga. Sama halnya, keluarga juga bisa menjadi
faktor pendukung maupun faktor penghancur nilai-nilai
pribadi, perilaku, dan kebaikan sosial.268
Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh
dan berkembang akan sangat berpengaruh terhadap
kepribadian seorang anak. Terutama dari cari para orang tua
mendidik dan membesarkan anaknya. Sejak lama peran
sebagai orang tua sering kali tanpa dibarengi pemahaman
mendalam tentang kepribadian. Akibatnya, mayoritas orang
tua hanya bisa mencari kambing hitam-bahwa si anaklah
yang sebenarnya tidak beres-ketika terjadi hal-hal negatif
mengenai perilaku keseharian anaknya. Seorang anak
memiliki perilaku yang demikian sesungguhnya karena
meniru cara berpikir dan perbuatan yang demikian
sama sejak abad pertengahan. Lihat Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan
Penelitian (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 21-24. 268
Di tengah keluarga, yang merupakan madrasah kehidupan, seorang anak
dapat mempelajari adat dan perilaku yang buruk. Dari keluarga pula ia menerima
berbagai pelajaran mengenai kelembutan, cinta, kasih sayang, egoisme, kekerasan,
benci, dan dendam. Di dalam sekolah pertama itu terus belajar merasakan indahnya
hidup berinteraksi dan berafliasi dengan anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Zaghlul Raghin al-Najjar, Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti Mukjizat Ilmiah
Sabda Rasulullah (Jakarta: zaman, 2013), 240.
142
sesungguhnya karena meniru cara berpikir dan perbuatan
yang sengaja atau memerintahkan anak-anaknya.269
Kamaruddin Amin yang lahir di keluarga besar 16
bersaudara yang pernah menjadi kandidat rektor nomor urut
3 di UIN Alauddin Makasar mengaku kalau, ibunya adalah
seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam
keberhasilan yang ia raih hingga hari ini. Berkat bimbingan
ibu, sejak kecil pria kelahiran Bontang 5 Januari 1969 ini
selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Prestasi
akademiknya selalu diraihnya dengan baik sejak masih
duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga meraih gelar
Doktor (S3) di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet
Bonn, Germany.270
Di luar kesamaan yang ditentukan oleh faktor-faktor
lingkungan seperti keanggotaan pada budaya atau kelas
sosial yang sama, faktor-faktor lingkungan mendorong
munculnya variasi dalam fungsi kepribadian dari anggota
suatu budaya atau kelas tertentu. Salah satu faktor
lingkungan yang paling penting adalah pengaruh keluarga.
Orang tua dapat bersikap hangat dan mencintai atau kasar
dan menolak, sangat protektif dan posesif atau peka
terhadap kebutuhan sang anak untuk memiliki kebebasan
dan otonomi. Setiap pola perilaku orang tua mempengaruhi
perkembangan kepribadian dari sang anak. Para orangtua
mempengaruhi perilaku anak mereka melalui setidaknya
tiga cara utama:271
(1) Melalui perilaku mereka sendiri, orang tua
memunculkan situasi yang memicu munculnya perilaku
tertentu pada anak.
(2) Orang tua bertindak sebagai model peran untuk
identifikasi
269
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual,
Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), 20. 270
http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014). 271
Pada awalnya, kita mungkin berpikir bahwa praktik-praktik dalam
keluarga merupakan suatu pengaruh yang membuat para anggota keluarga menjadi
mirip satu sama lain.
143
(3) Orang tua memberikan hadiah atau penghargaan untuk
perilaku tertentu.
c) Teman Sebaya
Pengalaman anak dengan teman sebaya adalah hal
yang penting bagi perkembangan kepribadian dan pemikiran
seseorang. Oleh karena itu, psikolog memandang pengaruh
teman sebaya sebagai hal yang lebih penting bagi
perkembangan kepribadian dibandingkan dengan
pengalaman keluarga.
Kelompok teman sebaya melakukan sosialisasi
peraturan-peraturan perilaku yang baru terhadap individu.
Pengalaman ini dapat mempengaruhi ini dapat
mempengaruhi kepribadian secara signifikan.272
7. Politik dan Mazhab
Faktor politik dan mazhab juga termasuk faktor yang
bisa mempengaruhi pemikiran seseorang. Organisasi mengacu
pada sifat dasar struktur mental untuk mengeksplorasi dan
memahami dunia. Pikiran dalam perspektif piaget bersifat
terstruktur dan terorganir, meningkat kompleksitasnya dan
terintegrasi.
Seperti halnya Muhammad Syuhudi Ismail, Beliau
sebagai kader PSII dan seorang intelektual muslim merupakan
sosok ilmuan murni yang penuh percaya diri. Meskipun
kalangan ilmuan dan pejabat terkadang berkomentar sinis
terhadap pemikirannya. Pada prinsipnya beliau dapat menerima
di kalangan masyarakat, baik di kalangan partisipan atau
intelektual. Pemikirannya juga dipengaruhi oleh ayahnya H.
Ismail merupakan pengikut Masyumi, setelah Masyumi pecah,
ia bergabung dengan Nahdatul Ulama (NU).273
Jadi Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail banyak dipengaruhi oleh mazhab
Syafi‘ī.
272
Sebagai contoh, anak-anak yang mengalami pertemanan dengan kualitas
yang tidak bagus yang benyak melibatkan pertengkaran dan konflik cenderung
mengembangkan perilaku yang tidak mudah setuju dan peran yang antagonis. Lihat
Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian, 25. 273
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249.
144
Meskipun pada perilaku tertentu berkembang sebagai
suatu hasil dari keanggotaan dalam suatu budaya, beberapa pola
perilaku yang lain dapat berkembang sebagai suatu hasil dari
keanggotaan dalam suatu kelas sosial tertentu dalam budaya
tersebut. Banyak aspek dari kepribadian seorang individu hanya
dapat dipahami dengan mengacu kepada kelompok tempat
orang tersebut berada. Kelompok sosial seseorang baik kelas
bawah ataupun kelas atas, kelas pekerja atau profesional
memiliki tingkat kepentingan masing-masing. Faktor kelas
sosial dalam menentukan status dari peran individu, peran yang
mereka munculkan, tugas-tugas yang mereka emban, dan hak-
hak istimewa yang mereka nikmati. Faktor-faktor ini
mempengaruhi bagaimana peran individu memandang diri
mereka dan bagaimana mereka memandang anggota dan kelas
sosial lain sebagaimana mereka mencari uang dan
menghabiskannya. Penelitian mengindikasikan bahwa status
sosioekonomi mempengaruhi perkembangan kognitif dan
emosional seorang individu.274
Tingkat berfikir yang paling sederhana adalah skema,
skema merujuk kepada potensi yang ada dalam diri manusia
untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu.275
Perubahan
yang tergantung pada pengalaman. Perubahan-perubahan ini
100% merupakan hasil dari pengalaman hidup. Beberapa
pengaruh ini bersifat buruk (penelantaran, malnutrisi,
kekerasan, dan sejenisnya), mereka dapat menciptakan
persoalan-persoalan yang tidak pernah ada habisnya.276
274
Seperti faktor kultural, faktor kelas sosial ini mempengaruhi kapasitas
seseorang dan kecendrungannya, serta membentuk cara orang mendefenisikan situasi-
situasi tertentu dan bagaimana merespon situasi yang mereka hadapi. Lihat Daniel
Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian, 24. 275
Contohnya, sewaktu dilahirkan, bayi telah dilengkapkan dengan beberapa
pantulan yang dikenali sebagai skema seperti gerakan menghisap, memandang,
mencapai, merasa, memegang, serta menggerakkan tangan dan kaki. Bagi gerakan
memegang, kandungan skemanya adalah memegang benda yang tidak menyakitkan.
Oleh sebab itu, bayi juga akan cenderung memegang benda-benda yang tidak
menyakitkan seperti contohnya, jari ibu. Skema yang ada pada bayi akan menentukan
bagaimana bayi bertindak dengan sekitarnya. 276
Eric Jensen, Memperkaya Otak: Memaksimalkan Potensi Setiap
Pembelajar (Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang, 2008), 90.
145
8. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang
terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu
yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak
di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan
datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa
perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga,
masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang
benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang
belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah).
Menurut Murphy seperti dikutip oleh Sumadi
Suryabrata, proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara
organisme yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan
khusus tertentu. Sebagai hasil daripada interaksi ini maka
terbentuklah koneksi antara kebutuhan-kebutuhan dan respon-
respon, antara tegangan dengan tingkah laku yang mengubah
tegangan tersebut. Koneksi-koneksi antara kondisi-kondisi
jaringan dalam dan bentuk-bentuk tingkah laku tertentu itu
terbentuk oleh dua macam proses, yaitu kanalisasi dan
pensyaratan.277
Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada
norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada
norma kehidupan bangsa (nasional) dan norma kehidupan
antarbangsa. Etika pergaulan membentuk perilaku kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi banyak hal,
seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan
277
Istilah kanalisasi ini ditiru oleh Murphy dan Janet, namun mengenai isi
pengertian tersebut ditambahnya atau diperluasnya sendiri. Isi pengertian kanalisasi,
mirip dengan pengertian catheix pada psikoanalisis; kecuali itu juga ada miripnya
dengan pengertian fiksasi. Kanalisasi adalah proses yang memberi jalan tersalurnya
motif atau konsentrasi energi dalam tingkah laku. Seperti ahli-ahli lain Murphy
berpendapat bahwa di dalam individu terdapat pada daerah tertentu (terjadi semacam
konsentrasi energi) yang berfungsi sebagai semacam reservoir energi. Energi tersebut
terbagi ke daerah-daerah lain melewati saluran-saluran (kanal). Organisme yang telah
mengalami kanalisasi energinya telah didistribusikan ke seluruh daerah di dalam
dirinya sehingga dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Lihat Sumadi Suryabrata,
Psikologi Kepribadian (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), 356.
146
berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan
berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu
kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan
pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan
keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami
orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan
hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang
berkemampuan intelektual tinggi.
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh
orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal pengetahuan dan
berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu, anak dikirim ke
sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak
selama diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan
sekolah sebagai lembaga pendidikan diantaranya sebagai
berikut:
1) Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-
kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang
baik.
2) Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam
masyarakat yang sukar dan tidak dapat diberikan di rumah.
3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-
kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung,
menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya
mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
4) Sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika,
membenarkan benar atau salah dan sebagainya.
Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas
yang lebih besar daripada anak yang kurang pandai. Mereka
mempunyai lebih banyak gagasan baru untuk menangani
suasana sosial dan mampu merumuskan lebih banyak
penyelesaian bagi konflik tersebut.
Jika dilihat pendidikan yang dilalui oleh pengkaji hadis
di Indonesia, sangat mendukung pembaharuan pemikiran
mereka tentang hadis, di antaranya Muhammad Syuhudi Ismail,
setelah menamatkan pendidikan dasar, Syuhudi Ismail
meneruskan pendidikan ke Pedidikan Guru Agama Negeri
(PGAN) 4 tahun di Malang (tamat 1959). Setelah
menyelesaikan pendidikannya di PGAN, Syuhudi Ismail
147
diminta oleh ayahnya menjadi guru di Madrasah Rowo
Kangkung. Akan tetapi, dengan tekad yang bulat, Syuhudi
Ismail bersikeras untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang
lebih tinggi yakni pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di
Yogyakarta. Pada tahun 1983 M, Syuhudi Ismail mendapat
kesempatan mengikuti Program Studi S2 di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tamat 1985 M., dan meraih gelar doktor
dalam bidang kajian Islam, konsentrasi Ilmu Hadis (Program
Studi S3) tahun 1987 (doktor terbaik) dengan Disertasi yang
berjudul ―Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Disertasi itu berhasil
membuktikan bahwa kaidah keshahihan sanad hadis atau kritik
ekstrem yang dipakai oleh mayoritas (jumhur) ulama hadis
untuk meneliti ṣaḥīḥ dan tidak ṣaḥīḥ-nya suatu sanad hadis
memiliki tingkat akurasi yang tinggi. 278
Ali Mustafa Ya‘qub, pada pertengahan tahun 1976 atas
beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi, Ali Mustafa
Ya‘qub mencari ilmu di Fakultas Syari‘ah Universitas Islam
Imam Muhammad ibn Sa‘ud, Riyaḍ Saudi Arabia, sampai tamat
dengan ijazah Licanse (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang
sama ia melanjutkan studi di Universitas King Sa‘ud
Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat
dengan ijazah master tahun 1985. Dipilihnya Fakultas Syari‘ah
dan Departemen Tafsir dan Hadis oleh Ali Mustafa Ya‘qub
bukanlah suatu kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya
kedua ilmu ini (Syari‘ah dan Hadis) sangat diperlukan
masyarakat.279
Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa
Arab), hadis, dan tafsir pada gurunya Idris Kamali. Dengan
kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa Ya‘qub
kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab.280
Begitu juga dengan Said Agil al-Munawwar, selama di
Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut ilmu di bangku
kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar kampus masih sangat
278
Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖ , 29-30. 279
Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 280
Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 23.
148
banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak menyia-nyiakan itu,
dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di sana.
Tokoh-tokoh seperti Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Sayyid
Muhammad ibn Alwi al-Maliki, Syaikh Yasin al-Fadani, adalah
sebagian di antara sumber-sumber ilmu yang sempat ia hirup
ilmunya.281
Kamaruddin Amin merupakan lulusan terbaik program
magister Universitate te Leiden Belanda, dan mengambil
program Doktor di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet
Bonn, Germany. Membuat pemikirannya, khususnya dalam
pemikiran hadisnya berbeda dengan pemikiran pengkaji hadis di
Indonesia lainnya.
Itulah empat faktor yang mempengaruhi perkembangan
pemikiran dari pengkaji hadis di Indonesia, keempat faktor tersebut
yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan pemikiran
hadis dari pengkaji hadis di Indonesia adalah faktor lingkungan dan
pendidikan, mereka cenderung mendapatkan pelajaran hadis di
sekolah-sekolah dan dari guru-guru yang sangat kompeten dalam
bidang hadis, sehingga pemikiran hadis mereka menjadi berkembang.
E. Pemetaan Secara Sinkronis dan Diakronis Perkembangan
Studi Hadis di Indonesia.
Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama hadis
di Indonesia dengan ulama hadis yang lainnya, penulis menggunakan
pendekatan sinkronis dan diakronis. Penelitian ini akan menempatkan
keadaan-keadaan sinkronis (perubahan pada saat-saat tertentu) dalam
kerangka waktu yang diakronis (lama-sinambung).282
281
Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak
kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan syaikh Yasin, sampai
setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin
di kala itu di antaranya mengatakan demikian, ―Agil, kaki saya ini sudah bengkak-
bengkak.‖ Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah.
Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan macam-macam wasiat macam-
macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan
ijazah yang diberikannya, dimana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin
menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil
mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutubal-sittah. Lihat
http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com. 282
Penekanan Saussurean dan Foucaldian mengenai pentingnya mempelajari
momen-momen yang bersifat sinkronis, dalam penelitian ini akan diimbangi dengan
149
Jika dilihat dari sejarah awal perkembangan hadis memberikan
gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang menjadi
disiplin ilmu tersendiri,283
Karena kajian hadis baru pada dataran
praktis, belum tersusun secara teoritis. Ini dapat dilihat dari beberapa
karya dari al-Raniry, al-Sinkili, dan lain-lain. Karya mereka lebih
condong kepada penelitian sanad.284
Beberapa karya tentang hadis pada abad ke-17 sampai dengan
ke-18 di antaranya yaitu Bustan al-Ṣalatin, Ṣiratal- Mustaqīm ditulis
oleh Nuruddin al-Raniri; Sharah Latīf „alā Arbā‟īn Ḥadīth lī Imam Al-
Nawawī, dan Al-Mawā‟iz al-Badi‟ah ditulis oleh Abd al-Ra‘uf al-
Sinkili; Sabīl al-Muhtadīn lī Tafaquh fī Amriddīn ditulis oleh Syeikh
Arsyad al-Banjari; Naṣiḥah al-Muslīm wa Tazkirah al-Mukminīn fī
Faḍa‟īl al-Jihād fī Sabīlillāh wa Karimah al-Mujahidīn fī Sabīlillāh
ditulis oleh Abdul Samad al-Palimbani; Tanqih al-Qaul al-Ḥadīth
Sharah Lubāb al-Ḥadīth, al-Dūrur al-Bahiyyaj fī Sharah al-Khaṣāiṣ al-
Nabawiyyah ditulis oleh Nawawi al-Bantani; Tanqi al-Qaul, Sharaḥ
Lubāb al-Ḥadīth, Naṣāih al-Ibād ditulis oleh Mahfudz al-Tirmasi; Al-
Qawa‟id al Asasiyyah li Ahl al-Sunnah wa al Jama‟ah ditulis oleh
Ahmad Masduki Mahfuzh; al Hadith dan Aqidah Ahl al-Sunnah wal
Jama‟ah ditulis oleh Syeikh Haji Muhammad al-Khalidi; Risalah Ahl
memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronis yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, 8. Dalam
kasus hukum Michaela Haasse menjelaskan bahwa model suatu hukum dapat
diperluas dengan model dari suatu kasus khusus ideal, dan perluasan model suatu
hukum dapat dilihat dengan cara pendekatan sinkronis dan diakronis. Lihat Michaela
Haasse, Differences between Synchronic and Idealized Diachronic Theory-Elements:
A Reply to Martti Kuokkanen and Timo Tuomivaara, Journal for General Philosophy
of Science, Vol. 28, No. 2 (1997), 359-366. http://www.jstor.org/stable/25171097
(Accessed April 27, 2013). 283
Inti dari kebanyakan permasalahan tentang hadis adalah tentang
otentisitasnya. Isu ini sudah berkembang semenjak periode klasik, dan kemudian
berkembang secara intens yang dilakukan oleh sarjana Barat semenjak abad terakhir
ini. Lihat Wael B. Halaq, The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-Problem,
Journal Studia Islamica, No.89 (1999), 75. http://www.jstor.org/stable/1596086.
(Accessed: 20/04/2014). 284
Isnad bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Arab, sanad sudah
digunakan oleh orang Arab pada periode pra-Islam, dimana terdapat beberapa literatur
yang menjelaskan transmisinya. Dalam hadis sanad digunakan sebagai dokumentasi
dari sunnah yang kembali kepada sumber sunnah tersebut. Lihat Jamila Shaukat, The
Isnad in Hadith Literature, Journal Islamic Studies, Vol.24, No.4 (1985), 445.
Published by Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad.
http://www.jstor.org/stable/20839742.(Accessed: 27/01/2014).
150
al-Sunnah wa al-Jama‟ah fī Hadīth al Mautā wa Ashrath al-Sa‟ah wa
Bayan Mafhūm al-Sunnah wa al Bid‟āh ditulis oleh KH. Muhammad
Hasyim Asy‘ari; Ḥashiyah al-Nafahat „alā Sharḥ al-Waraqat lil
Maḥallī ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Jika
dilihat dari beberapa karya hadis pada abad ke-17 sampai dengan ke-18
terdapat sekitar 16 tokoh hadis yang membuat karya tentang hadis, dan
karya tokoh-tokoh ini lebih cenderung kepada penelitian sanad hadis
dan kumpulan-kumpulan hadis saja.
Adapun karya hadis pada abad ke-19 sampai dengan ke-20 di
antaranya yaitu Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis
Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-Hadis Hukum ditulis oleh
Hasbi Ash-Shiddieqy; Ilmu Musṭalah Hadis ditulis oleh Mahmud
Yunus; Ikhtisar Musthalahul Hadis, Hadis-Hadis tentang Peradilan
Agama ditulis oleh Fatchurrahman; Himpunan Hadis Pilihan (Hadis
Shahih al-Bukhari) ditulis oleh Husen Bahreisy; 123 Hadis Pembina
Iman dan Akhlak ditulis oleh Mustagfiri Asror; Keutamaan Budi dalam
Islam: Ihya Sunatullah wa Rasulih ditulis oleh Fachruddin HS;
Terjemahan Nail al-Authar ditulis oleh Mu‘amal Hamidy; Tarjamah
Bulug al-Maram ibn Hajar al-Asqalani ditulis oleh A. Hassan; Hadis
Arbain al-Nawawiyah ditulis oleh Umar Hasyim; Mutiara al-Qur‟an
dan Hadis ditulis oleh AA. Masyhuri; Terjemahan Hadis Shahih
Muslim ditulis oleh HA Razak; Himpunan 405 Intisari Hadis
(Tarjamah Jamius Shagr) ditulis oleh Mahfulli Sahli; Butir-Butir
Pendidikan dalam Hadis ditulis oleh Muhammad Thalib; al-Qur‟an
dan al-Hadis untuk Madrasah Aliyah / PGA ditulis Muslich Marzuki;
Ilmu Hadis ditulis oleh Utang Ranuwijaya. Pada abad ke-20 ini, karya
hadis lebih didominasi tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan
hadis, karya tentang ilmu hadis pada abad ke-20 ini bertujuan untuk
membuat buku pelajaran hadis untuk sekolah dan perguruan tinggi.
Karya hadis pada abad ke-21 ini seperti Studi Kritis Hadis
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-Wurud ditulis oleh
Said Agil Munawwar; Telaah Ma‟ani al-Hadis ditulis oleh Muhammad
Syuhudi Ismail; Kritik Hadis ditulis oleh Ali Mustafa Ya‘qub; Pahala
dan Keutamaan Haji, Pribadi Rasulullah saw: Telaah Kitab Taudhih
al-Dala‟il fi Tarjamat Hadis al-Syama‟il ditulis oleh Lutfi Fathullah;
Rethinking Hadith Critical Methods ditulis oleh Kamarudin Amin; al-
Sunnah fi Indonesia : Baina Ansariha wa Khusumiha ditulis oleh Daud
Rasyid Sitorus; Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatannya
151
ditulis oleh Nizar Ali; Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis,
dalam wacana studi hadis kontemporer ditulis oleh Suryadi; Telaah
Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis Hadis Nabi: Telaah
Historis dan Metodologis) ditulis oleh Muhammad Zuhri; Kaidah
Keshahihan Matn al-Ḥadis dan Metodologi Pemahaman Hadis (Suatu
Kajian Hermeneutik) ditulis oleh Buchari M; Paradigma Baru Ilmu
Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis ditulis oleh Daniel Djuned;
Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis ditulis oleh
Abdul Majid Khon; dan lain-lain.
Karya-karya ini diambil dari beberapa penelitian sebelumnya,
seperti penelitian disertasi Muhammad Dede Rodliyana dengan judul
Pergeseran Pemikiran „Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap
Pemikiran „Ulūm al-Hadith di Indonesia; Ramli Abdul Wahid dalam
karyanya berjudul Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia; Khairul
Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi Perkembangan Ilmu Hadis
di Indonesia; dan Ardiansya dengan judul Kajian Hadis Di Indonesia:
Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M.
Karya di atas merupakan perkembangan mutakhir yang terkait
dengan pendidikan formal, gerakan dakwah dan ketaatan beragama
dikalangan umat Islam. Karya-karya tersebut ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan materi bagi pendidikan tinggi Islam, seperti
IAIN, madrasah dan pesantren. Selain karya itu digunakan pula oleh
para da‘i sebagai sumber pengajaran dalam rangka merevitalisasi dan
menguatkan peran Islam dalam keyakinan dan perilaku masyarakat di
Indonesia. Begitu pula, karya-karya tersebut digunakan pula sebagai
bahan bacaan di keluarga muslim atau kelompok kecil masyarakat yang
ingin meningkatkan pemahaman mereka tentang keyakinan dan praktek
Islam. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menurut Howard
M. Federspiel, literature hadis sampai akhir 1980-an terlihat masih
dalam proses pembentukan, berbagai karya baru terus bermunculan
yang genre-nya belum terbentuk secara utuh.
Dari uraian di atas dapat dilihat adanya pergeseran dan
perkembangan kajian hadis, pada abad XVII-XVIII penelitian hadis
lebih condong kepada penelitian sanad, dan pada abad XIX-XX studi
hadis lebih banyak kepada penulisan tentang Ilmu Hadis dan
penghimpunan hadis-hadis. Sedangkan pada masa sekarang penelitian
hadis lebih banyak tentang kajian metodologi pemahaman hadis.
Di antara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan
hadis di Indonesia adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang
152
dan heterogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka penerapan
ajaran Islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang
sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan masyarakat. Jadi, di satu
segi perlu dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan di segi yang lain, para
mujtahid memikul tanggung jawab untuk memahami dan
memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin pengetahuan. Hal
tersebut didukung oleh disiplin ilmu yang dimiliki oleh pengkaji hadis
di Indonesia pada saat ini, sehingga karya hadis di Indonesia terus
berkembang.
Jika dilihat sinkronisasi dan diakronisasi Muhammad Syuhudi
Ismail, Said Agil Husin al-Munawwar, Ali Mustafa Ya‘qub, dan
Kamaruddin Amin dengan pengkaji hadis sebelumnya di Indonesia, ini
dapat dilihat siapa guru mereka dalam ilmu hadis dan kepada siapa
mereka merujuk dalam membuat karya tentang hadis.
Muhammad Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadis Nabi yang
Islam yang Temporal dan Lokal banyak merujuk kepada ulama Timur
Tengah, di antaranya Aḥmad ibn Alī Ibn Hajar al-Asqālanī,
Muḥammad Musṭafa al-Azami, Abū Muḥammad Abdullāh ibn Muslim
ibn Qutaibah, Aḥmad Muḥammad Shakir, dan ulama hadis yang
lainnya. Sedangkan rujukan karya Indonesia Muhammad Syuhudi
Ismail merujuk kepada T.M. Hasbi Ash-Shiddieqie dan Harun
Nasution.285
Berpegang pada prinsip genetika yang menegaskan sebuah
asumsi bahwa ―segala sesuatu berkembang dari yang lebih elementer
menuju yang lebih sempurna‖. Demikian pula halnya pemikiran
Syuhudi, ia tidak lahir begitu saja, tetapi merupakan kesinambungan
285
Dalam karyanya Muhammad Syuhudi Ismail merujuk kepada Harun
Nasution dalam memahami hadis tentang keimanan pezina, pencuri, dan peminum
khamar. Harun Nasution menjelaskan bahwa sebagian golongan Khawarij
berpendapat bahwa zina adalah dosa besar dan menyebabkan pelakunya keluar dari
mukmin dan karenanya, dia menjadi kafir. Golongan Murji‟ah berpendapat bahwa
perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak menyebabkan seorang mukmin menjadi
kafir. Bagi mereka, keimanan didasarkan oleh pengakuan bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Masalah dosa besar yang
telah dilakukan ditunda penyelesaiannya oleh Allah pada hari perhitungan kelak.
Menurut golongan Muktazilah, orang yang berdosa besar telah keluar dari status
mukmin, namun tidak menjadi kafir,, orang tersebut dinyatakan sebagai fasik.
Selengkapnya lihat dalam karya Harun Nasution, Teologi Islam diterbitkan di Jakarta
pada tahun 1972.
153
dan pengembangan (continuity and change) dari dan terhadap
pemikiran ilmu-ilmu hadis klasik.
Jika ditelaah secara seksama, maka pemikiran Syuhudi Ismail di
bidang hadis banyak diwarnai oleh para pemikir. Baik pemikir klasik
maupun kontemporer. Hal itu dapat dimaklumi sebab permasalahan di
bidang hadis beragam, antara lain berkaitan dengan metodologi ke-
ṣaḥīḥ-an sanad, ke-ṣaḥīḥ-an matan, dan metodologi pemahaman hadis
Nabi SAW.286
Pengaruh Harun Nasution terhadap pemikiran Syuhudi Ismail
antara lain dilihat dari sikap rasional, kritis, dan obyektif yang
ditekankan Harun dalam penelitian keagamaan. Secara kontekstual,
maka secara praktis ia terpengaruh oleh pemikiran M. Quraish Shihab.
Secara metodologis, Shihab menekankan pemahaman keagamaan,
termasuk untuk hadis Nabi, secara sistematis dengan pendekatan
tematik. Hanya saja, Quraish Shihab banyak menerapkan pendekatan
tematik untuk penafsiran al-Qur‘an, sementara Syuhudi menerapkannya
untuk pemahaman hadis Nabi.287
Said Agil Husin al-Munawwar dalam bukunya yang berjudul
Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, juga
banyak merujuk kepada ulama hadis di Timur Tengah, diantaranya
Yusūf al-Qarāḍawī, Jalāluddīn al-Suyuṭi, Muhyiddīn Abū Zakariya ibn
Sharaf al-Nawāwī, Muḥammad Alī al-Ṣabunī, Ibnu Ḥajar al-Asqalānī,
dan ulama lainnya. Sedangkan rujukan karya Indonesia adalah
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Taufik Abdullah, dan S. Menno.
Dalam merumuskan pengertian asbāb al-wurūd, Said Agil
Husin al-Munawwar mengutip pendapat Hasbi ash-Shiddieqie,288
sedangkan ia mengutip pendapat Taufik Abdullah dan S. Menno ketika
menjelaskan tentang pendekatan sosiologi dan antropologi dalam
memahami hadis.289
286
Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖, 51. 287
Penerapan pendekatan tematik terhadap al-Qur‘an yang dilakukan oleh
Quraish Shihab, terutama dalam bukunya yang berjudul Membumikan al-Qur‘an dan
Wawasan al-Qur‘an masing-masing diterbitkan oleh Mizan Bandung. 288
Hasbi ash-Shiddiqie mendefinisikan asbāb al-wurūd yaitu ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi
SAW menuturkannya. Lihat Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), 163-164. 289
Adapun pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang
membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan
terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan
154
Salah satu gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar
dalam hadis adalah ia pernah berguru kepada Syeikh Yasin al-Fadani.
Dengan syaikh Yasin, sampai setengah bulan sebelum wafatnya, Said
Agil Husin al-Munawar masih sempat bertemu dengannya, secara
khusus Syaikh Yasin menekankan kepada Said Agil Husin al-Munawar
untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil
mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutub al-sittah.290
Ali Mustafa Ya‘qub dalam bukunya Kritik Hadis, juga banyak
merujuk kepada ulama Timur Tengah dan Barat, diantaranya adalah
Muḥammad Musṭafa Azami, Aḥmad Amīn, Ibnu Hajar al-Asqālanī,
dan lain-lain. Dan ia tidak merujuk kepada karya-karya Indonesia
kecuali karya Abdurrahman Wahid tentang Sumbangan MM Azami
terhadap Penyelidikan Hadis.
Dalam perkembangan intelektual Ali Mushafa Ya‘qub, ada dua
orang gurunya (di Indonesia) yang sangat berpengaruh dalam hidupnya,
yaitu Syamsuri Badawi,291
dan Idris Kamali.292
Kamaruddin Amin dalam bukunya Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis, juga banyak mengutip karya Ulama
Timur Tengah dan Barat, diantaranya Naṣiruddīn al-Albani, Musṭafa
al-Siba‘ī, D.W. Brown, Ahmad Hasan, Ibnu Hajar al-Asqālanī, G.H.A.
Juynboll, Harald Motzki, dan lain-lain. Sedangkan rujukan terhadap
karya Indonesia yaitu Muhammad Syuhudi Ismail tentang Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis, dan karya Fuad Jabali tentang The
Companions of The Prophet. A Study of Geographical Distribution
and Political Alignment.
masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat
uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia
dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang. Lihat Taufik Abdullah,
Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),
1; dan S. Menno, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali, 1992), 10-11. 290
http://www.merdeka.com (Accessed: 21 April 2014). http://www.alkisah.
com.(Accessed: 21 April 2014). 291
Syamsuri Badawi adalah guru hadis dan Uṣul al-Fiqh Ali Musthafa
Ya‘qub di Pesantren Tebuireng Jombang, dari beliaulah Ali Musthafa Ya‘qub banyak
belajar sikap tawadu‘, ikhlas, dan semangat mendalami studi hadis. Dari beliau pula
pula Ali Mustafa Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan ṣaḥīḥ
Muslim dengan cara ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW melalui jalur Hasyim
Asy‘ari. 292
Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir
pada gurunya Idris Kamali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali
Mustafa Ya‘qub kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab.
155
Jika dilihat dari empat pengkaji hadis di atas, tidak terdapat
sinkronisasi yang signifikan antara pengkaji hadis tersebut dengan
pengkaji hadis di Indonesia (baik pengkaji hadis pada abad sebelumnya
maupun pada masa sekarang), karena mereka lebih banyak mengutip
dan berguru kepada ulama Timur Tengah dan Barat.
Hal ini diperkuat dengan melihat uraian di atas bahwa
perbedaan pengkajian antara abad XVII, XVIII, XIX, XX dan pada
abad sekarang sangat jauh berbeda, karena pada abad sebelumnya
pengkajian hadis lebih banyak kepada pengkajian sanad dan ilmu hadis,
sedangkan pada abad sekarang lebih kepada pengkajian metodologi
pemahaman hadis, khususnya empat pengkaji hadis yang diteliti.
F. Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia
Pemahaman literal terhadap teks keagamaan (al-Qur‘an dan
Hadis Nabi SAW) tidak jarang memunculkan problem atau keganjilan-
keganjilan pemikiran dalam menangkap pesan, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan kepada kenyataan sosial, hakikat
ilmiah, sains dan teknologi, atau keagamaan itu sendiri. Sebaliknya,
tidak sedikit pemahaman kontekstual juga mengalami hal yang sama,
terlalu bebas dan kadang terlepas jauh dari teks yang sesungguhnya.
Karena pemahaman hadis Nabi SAW menjadi sesuatu yang unik,
kompleks, memerlukan kejelian dan ketelitian, serta terkadang
membutuhkan perangkat keilmuan multidisiplin yang relevan.
Para ahli di dalam memahami hadis Rasul telah merumuskan
beberapa metode yang mereka gunakan,293
di antaranya sebagaimana
dikemukakan oleh Buchari M. adalah yang dimaksud dengan metode
pemahaman hadis tradisionalis adalah memahami hadis dengan
pendekatan tekstual dan kontekstual-historis.294
Dari pengertian ini, ada
293
Ada beberapa arti yang digunakan dalam memahami makna ―metode‖, di
antaranya; 1) cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai maksud
(dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); 2) cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Istilah metode dalam penelitian ini adalah sebagai cara-cara yang tersusun dengan
baik dan tepat untuk memperoleh hasil sesuai dengan yang telah ditentukan sebagai
hasil penelitian.Yang dimaksud dengan metode pemahaman hadis adalah suatu cara
yang teratur dan bersistem dalam memahami sebuah hadis Nabi SAW. Buchari M,
Metode Pemahaman Hadis, 26. 294
Jika dilihat dari terjemah dan pemahaman hadis dalam pemakaiannya
didapatkan bagaimana sejarah tradisi keagamaan yang ada pada waktu dan tempat
tersebut. Lihat Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama‘at, The
156
dua pendekatan yang digunakan yaitu tekstual dan kontekstual,295
atau
dengan kata lain, memahami maksud yang dikandung hadis dengan
memperhatikan dan mengkaji sesuai konteksnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan metode pemahaman hadis modernis adalah
memahami hadis-hadis Rasulullah dengan pendekatan ilmiah dan
logika-deduktif (filosofis).296
Buchari M di dalam bukunya tersebut
memberikan contoh, dengan hadis tentang meminum air yang telah
dihinggapi lalat.297
Journal of Asian Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 605. http://www.jstor.org/
stable/2058855. (Accessed: 20/04/2014). dan Buchari M, Metode Pemahaman Hadis,
26. 295
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teks berarti naskah yang berupa:
1) Kata-kata asli dari pengarang; 2) Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau
alasan; 3) Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan
sebagainya. Yang dimaksud dengan pemahaman dengan pendekatan tekstual adalah
pemahaman hadis berdasarkan apa yang tertulis dalam teks (memahami hadis
berdasarkan makna lahiriah dari lafal hadis). Adapun cara pemahaman seperti ini
merupakan cara yang paling sederhana dan mudah dipahami serta belum
membutuhkan interpretasi lain dalam memahami teks. Sedangkan istilah ―konteks‖
mengandung arti: 1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; 2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemahaman hadis dengan pendekatan kontekstual
adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji
keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-
hadis tersebut. Lihat Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi'iy: Metode Penyelesaian Hadis-
hadis Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), 103. (Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (selanjutnya disebut: Tim
Penyusun), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 916. 296
Yang dimaksud dengan pendekatan ilmiah ialah pemahaman hadis-hadis
dengan memakai istilah ilmiah yang terdapat dalam hadis dan mengekplorasi berbagai
ilmu dan pandangan filosofis yang dikandungnya. Sedangkan, yang dimaksud dengan
pendekatan filosofis adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan membangun
proposisi universal berdasarkan logika. Buchari M, Metode Pemahaman Hadis, 52. 297
Adapun hadis yang dimaksud adalah:
ثا بت حذ ثا لت اػم حذ إس ب ػتبت جؼفشػ ن يسهى ب ى ب ي ت ذ ػ ػب ب ن ح ي
ك ب صس شة أب ػ ش هللا سض ػ هللا صه هللا سسل أ سهى ػه لغ إرا لال
باب س أحذكى إاء ف انز فهغ نطشح ثى كه أحذ ف فإ ف شفاء جاح .داء اخش
Artinya: “Qutaibat menceritakan kepada kami, Ismā‟īl Ibn Ja‟far menceritakan
kepada kami, (riwayat itu) dari „Utbat Ibn Muslim Maulā Bani Tamīm,
(riwayat itu) dari „Ubaid Ibn Hunain Maulā Bani Zuraiq, dari Abū
Hurairah RA. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila seekor lalat
jatuh ke dalam bejana kalian, maka benamkanlah semuanya kemudian
157
Pada dasarnya kegiatan memahami hadis berangkat dari
pemahaman penulisnya terhadap hadis-hadis yang akan dipahami,
sehingga persoalan utama pemahaman adalah bagaimana
mengungkapkan pemahamannya itu dengan sebaik-baiknya agar bisa
dimengerti pembacanya dan melahirkan pemahaman yang sama.
Sehubungan dengan itu, tahap-tahap yang ia lakukan semata-mata
untuk membimbing para pembaca mengetahui problem-problem
pemahaman hadis dan langkah-langkah penyelesaiannya. Kemudian
pembaca yang memiliki dasar pengetahuan yang relevan dengan
langkah-langkah tersebut akan dapat mengikuti langkah-langkah
penyelesaian problem pemahaman terhadap hadis yang bersangkutan
dengan mudah hingga pada akhirnya ia dapat memahaminya sesuai
dengan petunjuk pembahasannya.298
buang lalat tersebut, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya
terdapat obat dan pada yang lainnya terdapat penyakit”.
Menurut hasil penelitian, hadis ini ṣahīh sanad-nya dan tidak ada terdapat
cacat, namun kalangan ilmuan kedokteran mengingkari hadis tersebut. Menurut para
ahli medis lalat bertempat dalam kotoran bercampur dengan virus penyakit. Lalat
memakan dan membawa virus-virus dengan kakinya. Apabila lalat bertengger pada
makanan atau jatuh dalam minuman, ia akan menyebarkan ke dalamnya bakteri dan
kotoran yang dibawanya, maka makanan itu terjangkit wabah penyakit sehingga tidak
baik untuk dikonsumsi.
Menurut mereka, hadis tidak sampai di situ saja, bahkan mengesankan
penambahan bakteri dengan menyuruh membenamkan kedua sayapnya dalam
makanan atau minuman kemudian mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut.
Lebih lanjut menurut mereka bagaimana mungkin hal ini mendatangkan kesehatan.
Bukankah hal ini sama saja dengan ungkapan: ―Di dalam sampah yang dibuang dalam
tong sampah terdapat obat dan penyakit‖. Maka mana mungkin hadis ini ṣahīh
maknanya, dan tidak mungkin Rasulullah SAW mengatakannya. Kalau Rasulullah
mengatakannya, pastilah terdapat kesalahan atau termasuk pendapat yang tidak
ma‟ṣum. Para dokter menegaskan bahwa tentara yang besar dihancurkan oleh lalat,
dan ia menularkan virus mikroba yang dibawa dan dicampakkannya ke makanan dan
minuman mereka. Begitu juga pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa lalat
adalah faktor penyebab yang mendatangkan penyakit bagi manusia. Berdasarkan hal
itu, mereka menolak hadis di atas sebagai hadis yang benar-benar datang dari
Rasulullah SAW. Buchari M, Metode Pemahaman Hadis, 53-54. 298
Pemahaman dan Keotentikan hadis merupakan isu yang sangat komplek.
Ignaz Goldziher merupakan salah satu orang yang membuat karya yang sangat
penting terhadap produksi kritik hadis pada abad ke-19, ia berasumsi bahwa sedikit
sekali hadis yang original yang betul-betul berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Kemudian sarjana Barat lain yang menolak hadis sebagai materi yang bisa diterima
adalah A.H. John Wansbrough, Patricia Crone, dan Michael Cook. Lihat Kamaruddin
Amin, Nasiruddin al-Albani on Muslim‘s Shahih: A Critical Study of His Method,
158
Dalam pentas akademik kontemporer tafsir dan pemahaman
hadis tidak bisa menghindari pertemuannya dengan hermeneutik
dengan berbagai teorinya. Pertemuan tersebut hendaknya tidak
dipandang sebagai pertemuan yang merugikan, melainkan pertemuan
yang menguntungkan, dalam arti para ulama hadis dapat menerima dan
menyaring teori hermeneutik hingga keduanya bersinergi menghasilkan
tafsir dan pemahaman hadis yang akurat, rinci, dan kontekstual.
Pemahaman hadis yang ideal adalah mensyarah hadis dengan berpijak
pada kaidah-kaidah baru yang mendukung atau yang memperbaiki
fungsinya. Maksudnya landasan pemahaman yang kuat dan
mekanismenya yang akurat tetap dipedomani dengan mengakomodasi
beberapa pendekatan kontemporer yang mendukung.299
Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual
saja. Mereka mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-
kontekstual, yakni untuk memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya
juga dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan
psikologis ketika Nabi Muhammad bersabda serta kepada siapa ucapan
itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang sosial-
budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka
pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan
secara literer dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin
pemahaman yang muncul jauh dari yang dikehendaki oleh
pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan lagi
ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum, pemahaman
yang demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam
memahami hadis.300
Sebagian modernis Muslim mencoba mengkaji hadis dengan
pendekatan historis yang berprinsip bahwa kebenaran hanyalah sesuatu
Journal Islamic Law and Society, Vol. 11, No.2, 151. http://www.jstor.org/stable/
3399302. (Accessed: 27/01/2014). 299
Terdapat sejumlah perbedaan yang prinsipil antara kajian semantik Islam
dan semantik Barat dalam menginterpretasikan teks-teks kitab suci. Kajian semantik
Islam terhadap teks-teks kitab suci dibatasi oleh norma-norma agama; berangkat
dengan landasan iman dan bertujuan untuk memahami teks-teks suci dengan sebenar-
benarnya secara detail guna memperoleh petunjuknya hingga tuntas yang pada
gilirannya dapat memperkuat iman. Lihat Ṣalah al-Dīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Manhāj
Naqd al-Matan „inda „Ulamā al-Ḥadīth al-Nabawi (Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah,
t.t), 329-343. 300
Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)
(Yogyakarta: Teras, 2008),10.
159
yang rasional dan empiris, sehingga penjelasan Rasulullah SAW
mengenai berbagai pemahaman dan pengamalan ajaran Islam hanyalah
satu alternatif, bukan satu-satunya pemahaman dan pengamalan yang
benar. Oleh karena itu, pendekatan ini menghasilkan teori bahwa hadis
tidak harus diterima secara verbal, melainkan hanya hadis-hadis yang
telah menjadi sunnah yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Objektifitas kajian dalam pendekatan ini diukur dengan fakta sejarah
yang empiris, yakni sejauh mana masyarakat Muslim mengamalkan
hadis yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam pendekatan historis
tidak perlu syarah untuk memahami hadis, melainkan cukup dengan
memperhatikan pemahaman dan pengamalannya di tengah-tengah
masyarakat muslim. Sebagian di antara mereka mengkritisi kitab-kitab
syarah hadis dengan beranggapan bahwa karya ulama klasik yang
menekankan pendekatan bahasa dan uṣūl al-fiqh itu masih banyak
kekurangan dan kelemahannya sehingga tidak layak dinilai sebagai
hasil pemahaman yang final dengan kebenaran hakiki. Oleh karena itu,
mereka menawarkan pendekatan hermeneutik yang bernuansa historis
dan filosofis sebagai pendekatan alternatif agar pemahaman hadis
menjadi dinamis dan hadis menjadi aktual.301
Dalam beberapa kasus pemahaman hadis para ulama Indonesia
mencoba menerapkan metodologi pemahaman hadis, agar hadis bisa
dipahami secara benar oleh masyarakat, diantaranya:
1. Hadis perempuan dilarang bepergian kecuali didampingi
mahramnya.302
Berdasarkan latar belakang kondisi alam di tanah Arab
umumnya merupakan tanah gersang dan banyak padang pasir yang
sepi dari kehidupan. Pada masa awal Islam moral masyarakatnya
belum seluruhnya terbina dengan baik, masih banyak manusia yang
301
Dalam ajaran Islam akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak
dipakai, bukan dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Qur‘an sendiri. Bukanlah tidak ada
dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan
bukan Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional. Ada pula penulis-
penulis yang menyebut rasionalisme Islam.Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam
Islam (Jakarta: UI Press, 1986), 101. 302
Lafal hadisnya sebagai berikut:
مال تسافر المرأة ثالثا اال مع ذي محر Artinya: Perempuan jangan bepergian selama tiga hari kecuali didampingi
mahramnya. Lihat. Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukharī, 369.
160
melakukan pencurian, perampokan, penodongan, pelecehan atau
pemerkosaan dan perbuatan mesum lainnya. Dalam kondisi ini
dapat dipahami bahwa larangan bepergian bagi perempuan tanpa
mahram di atas bersifat kondisional.
Menurut Said Agil Husin al-Munawar, hadis tersebut tidak
mempunyai asbāb al-wurūd khusus. Sementara, jika kita melihat
kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat itu, sangat mungkin
larangan itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi SAW
akan keselamatan perempuan, jika dia bepergian jauh tanpa disertai
suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seseorang
bepergian, ia biasa menggunakan kendaraan onta, bighal, maupun
keledai dalam perjalanannya. Mereka sering kali harus mengarungi
padang pasir yang sangat luas, daerah-daerah yang jauh dari
manusia. Di samping itu, sistem nilai yang berlaku pada saat itu,
perempuan dianggap tabu atau kurang etis jika pergi jauh sendirian.
Dalam kondisi seperti itu tentunya seorang perempuan yang
bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan
keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya akan tercemar.303
Dengan demikian, disini perlu reinterpretasi baru mengenai
konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person
akan tetapi sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi
kaum perempuan itu. Pemahaman semacam ini tampaknya akan
lebih kontekstual, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan
dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan
terjebak oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat
kultural, temporal dan lokal.304
Senada dengan itu, dalam memahami hadis di atas Daniel
Djuned menggunakan pendekatan geografis, dimana daerah di Arab
sangat berbeda dengan daerah di Indonesia, mahram menjadi
303
Jika kondisi masyarakat sekarang sudah berubah, di mana jarak yang
sudah jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan sistem keamanan yang
menjamin keselamatan perempuan dalam bepergian, maka sah-sah saja perempuan
pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainya.
Lihat Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 30. 304
Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis dan
antropologis cenderung lebih lentur dan elastis. Namun kemudian hal ini, tidak berarti
kita harus kehilangan nilai yang terkandung dalam hadis tersebut. Said Agil Husin
Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 31.
161
persyaratan jika kondisi tidak aman, dalam kondisi aman seperti
keadaan Indonesia hari ini, mahram dimaksud bukan hal yang
mengikat. Jika di tempat tertentu di zaman modern sekarang ini
juga tidak aman maka hukumnya seperti masa lalu.305
Persoalan mahram bagi perempuan ini mencuat kembali di
zaman modern karena akan banyak perempuan yang harus tetap
tinggal selamanya di suatu tempat, karena tidak boleh bepergian
tanpa mahram, dengan memahami hadis dengan menggunakan
pendekatan geografis maka hadis di atas dapat dipahami secara
benar oleh umat Islam.306
Di atas merupakan salah satu kasus dari beberapa kasus
yang membutuhkan pendekatan yang tepat untuk memahaminya,
agar substansi dari hadis Nabi Muhammad SAW dapat dipahami
oleh umat Islam.307
Uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip
metode pemahaman hadis berpijak kepada landasan dan mekanisme
warisan ulama terdahulu, sedangkan pendekatan yang digunakan
serta sistematika pembahasan dapat menyesuaikan dengan tuntutan
kemajuan metodologis yang berkembang.
2. Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan.308
Hadis tentang kepemimpinan perempuan, memberikan
isyarat bahwa perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala
negara, pemimpin masyarakat, termasuk hakim atau berbagai
305
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 140 -141. 306
Hukum diungkapkan hanya melalui hadis dan karenanya tidak perlu
untuk sebuah genre terpisah yurisprudensi (fiqh). Kemudian menunjukkan
meningkatnya kesadaran perlunya hadis sebagai bukti dalam diskusi hukum. Lihat
Robert Gleave, Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī Collections of
Akhbār, BRILL Journal of Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 3 (2001), 350,
http://www.jstor.org/stable/3399449.(Accessed: March 14, 2012). 307
Begitu juga kasus terhadap kekerasan yang berkedok agama, Muhammad
Khalid Mas‘ud menjelaskan bahwa banyak hadis yang menerangkan tentang
kekerasan, dimana hadis tersebut haruslah dipahami secara baik dengan metodologi
yang baik pula. Muhammad Khalid Mas‘ud, Hadith and Violence, Istituto per
l‟Oriente Journal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5, http://www.jstor.org/
stable/25817809 .(Accessed March 16, 2012). 308
Teks hadisnya adalah:
لو نا أيشى ايشأةن فهح Artinya: Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusannya
(untuk memimpin) mereka kepada perempuan. al-Bukhari, Jilid IV, hadis No. 4163,
1610.
162
jabatan yang setingkat. Demikianlah pendapat yang diikuti jumhur
ulama.309
Menurut Said Agil Husin Munawwar, jika dilihat dari asbāb
al-wurūd-nya, ternyata hadis tersebut diucapkan Nabi sewaktu
beliau mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan
perempuan di negeri Persia pada abad ke tahun 9 H.310
Pada waktu
itu, derajat perempuan di mata masyarakat masih dipandang minor.
Perempuan tidak dipercaya untuk mengurus masalah publik lebih-
lebih masalah kenegaraan, dikarenakan pada saat itu perempuan
masih tertutup sehingga wawasan dan pengetahuannya juga relatif
masih kurang dibanding laki-laki.311
Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, dalam kondisi sosio-
historis, Nabi sebagai orang yang memiliki kearifan menyatakan
bahwa bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada
perempuan yang tidak akan sukses. Sebab bagaimana mungkin
akan sukses, jika pemimpinnya saja adalah seorang yang tidak
dihargai oleh masyarakatnya. Padahal salah satu syarat ideal
seorang pemimpin adalah kewibawaan, disamping mempunyai
leadership yang memadai. Sementara perempuan saat itu dipandang
tidak mempunyai leadership dan kewibawaan untuk menjadi
pemimpin masyarakat.312
309
Karena menurut mereka berdasarkan hadis tersebut, persyaratan khalifah
(pemimpin) antara lain ―al-Zukurah‖ yakni sifat laki-laki. Al-Khattabī misalnya,
berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi khalifah. Demikian pula al-
Syaukani dalam memahami hadis ini, beliau berpendapat bahwa perempuan tidak
termasuk ahli dalam kepemimpinan, sehingga ia tidak boleh menjadi kepala negara.
Lihat Aḥmad ibn Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī
(Beirut: Dār al-Fikr, t.th), 128. Dan Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad al-Shaukanī,
Nail al-Auṭor (Kairo: Musṭafa Babī al-Halabī, t.th), 298. 310
Menurut tradisi yang berlaku di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai
kepala negara adalah seorang laki-laki. Sedangkan pada tahun 9 H, yang terjadi justru
menyalahi tradisi biasanya, yakni mengangkat kepala negara seorang perempuan.
Perempuan tersebut bernama Buwaran binti Shairawaihi ibn Kisra ibn Barwaiz. Dia
diangkat menjadi ratu Persia karena saudara laki-lakinya terbunuh sewaktu
melakukan perebutan kekuasaan. Lihat Aḥmad ibn Alī ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-
Barī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), 128. 311
Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 36. 312
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan yang
Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 65.
163
Oleh sebab itu, jika kondisi historis sosiologis antropologis
masyarakat berubah, di mana perempuan telah memiliki
kemampuan memimpin yang baik, dan masyarakat pun telah dapat
menghargai perempuan dengan baik dan menerimanya sebagai
pemimpin, maka boleh saja perempuan menjadi pemimpin, apalagi
menjadi hakim, dan lain sebagainya. Pandangan yang melarang
perempuan –hanya karena melihat aspek keperempuannya- untuk
menjadi pemimpin dalam wacana feminisme jelas mencerminkan
pandangan yang sangat bias patriarki dan karenanya perlu
direkonstruksi, bahkan di dekonstruksi sama sekali.313
Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum
perempuan makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum
perempuan diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki.314
Al-Qur‘an sendiri memberi peluang sama kepada kaum perempuan
dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan.
Dalam keadaan perempuan telah memiliki kewibawaan dan
kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia
menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya
perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan
demikian, hadis di atas harus dipahami secara kontekstual sebab
kandungan petunjuknya bersifat temporal.315
Berkaitan dengan hadis tentang larangan kepemimpinan
perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa kapasitas Nabi SAW
saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai
Nabi SAW atau Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung
kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa
pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas
313
Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 37; dan Saskia Elenora
Wieringa, Islamization in Indonesia: Women Activists‘ Discourses, Journal Sign,
Vol. 32, No.1, (2006), 1. Published by The University of Chicago Press.
http://www.jstor.org/stable/10.1086/505274. (Accessed: 20/04/2014). 314
Tidak hanya dalam masalah kepemimpinan, dalam masalah hadis pun
perempuan banyak dilibatkan, seperti halnya dalam meriwayatkan hadis, ada ratusan
perawi perempuan yang terlibat dalam transmisi hadis. Lihat Asma Sayeed, Women
and Hadith Transmission Two Case Studies From Mamluk Damascus, Journal Studia
Islamica, No. 95 (2002), 71. http://www.jstor.org/stable/1596142. (Accessed:
20/04/2014). 315
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan yang
Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 66-67.
164
beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas
sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi‘) pada saat hadis
tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan
terjadinya konflik sosial berkepanjangan yang terjadi di kemudian
hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara
sosiologis tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
3. Hadis tentang diharamkannya bedah plastik.316
Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi plastik
yang dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk perbuatan
yang dilaknat oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi jika hal tersebut
dimaksudkan untuk pengobatan atau menghindarkan diri dari
sesuatu yang membahayakan, maka hukumnya boleh. Sejalan
dengan Syuhudi, Muhammad Yusuf al-Qaraḍawī membolehkan
operasi terhadap bagian tubuh karena mengalami gangguan
fungsional, baik karena bawaan lahir maupun akibat kecelakaan,
seperti bibir sumbing (operasi plastik konstruksi). Adapun operasi
plastik pada bagian tubuh yang tak mengalami gangguan
fungsional, hanya bentuknya kurang sempurna atau ingin
diperindah, seperti hidung pesek dimancungkan (operasi plastik
estetika), hukumnya haram.317
Sementara Umar Syihab berpendapat bahwa mempercantik
diri, termasuk operasi plastik dibolehkan di dalam Islam asal
316 Hadisnya adalah:
ػ اب يسؼد سض هللا ػ لال نؼ هللا اناشاث انستشاث انتصاث
انغشاث خهك هللا يان ال أنؼ ي نؼت سسل هللا صه هللا ػه سهى انتفهجاث نهحس
)سا انبخاس( ف كتاب هللاArtinya: Dari Ibnu Mas‟ud r.a. katanya: Allah telah melaknat orang-orang
yang memakai tahi lalat palsu dalam bentuk tato, orang yang mencukur alisnya, dan
meratakan gigi dengan kikir untuk mempercantik diri dengan mengubah apa yang
telah dijadikan Allah. (Kata Ibnu Mas‟ud)), “Saya tidak punya (alasan) untuk tidak
melaknat orang yang dilaknat Rasulullah saw sebagaimana termaktub dalam al-
Qur‟an. Lihat Al-Bukharī, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, 43. 317
Muhammad Yusuf al-Qarāḍawī, Halal dan Haram dalam Islam
(Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 118-119. Kata Abdul Hamid Qudah, operasi estetika
mengandung faktor tidak mensyukuri nikmat Allah yang nyata-nyata berfungsi baik.
Padahal, yang ditekankan di dalam Islam adalah usaha mencari sebab kesembuhan
dari penyakit yang menimpa dengan cara-cara yang dibenarkan syara‘. Lihat Abd al-
Hamid Qudah, Abhās fī al-Adwā wa al-Ṭibb al-Wiqā‟ī (Mekah: Rabitah al-‗Alam al-
Islāmī, 1987), 12.
165
dengan niat untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan ketenangan
jiwa. Illat hukum operasi plastik adalah kekhawatiran mengarah
kepada perbuatan zina. Bukankah Nabi SAW menganjurkan
memakai harum-haruman dan membolehkan menyemir rambut.
Bukankah seseorang yang ditimpa musibah (takdir), luka bakar
melakukan operasi plastik untuk mempercantik dirinya kembali
agar tumbuh rasa percara diri dan ketenangan jiwa. Karena itu,
tegas Umar Syihab, mempercantik diri atau operasi plastik tidak
dilarang dalam Islam, asal dengan niat untuk menimbulkan rasa
percara diri dan ketenangan jiwa.318
Dalam hal ini, Umar Syihab
memahami hadis riwayat Ibnu Mas‘ud di atas cenderung
kontekstual, yakni dikaitkan dengan kondisi masyarakat pada masa
itu dan illat hukum yang mengitarinya.
Sementara Nurcholish Madjid berpendapat, jika seseorang
hendak bedah plastik untuk menemukan kepercayaan diri, maka
bedah plastik yang dijalaninya dapat dibenarkan dalam Islam. Yang
tidak dibenarkan adalah bila seseorang yang telah menjalani bedah
plastik dan cantik atau gagah dari semula, kemudian menjadi
congkak, sombong, dan membenci orang jelek dari dia. Jadi, bedah
plastik itu dibenarkan atau diharamkan tergantung dari niatnya
saja.319
Menurut Syuhudi Ismail, kita memang harus hati-hati dalam
menetapkan illat suatu hukum, dan untuk memahami hadis di atas,
kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab terjadinya hadis
tersebut dan latar belakang penetapan hukum yang dikehendaki
oleh Nabi SAW. Illat keharaman pembuatan tahi lalat palsu dan
sebagainya untuk kepentingan kecentikan adalah karena perbuatan
itu telah mengubah apa yang telah ditetapkan (dijadikan) oleh
Allah. Harum-haruman, perhiasan, dan atau semir rambut sama
sekali tidak mengubah jasad manusia. Karena itu, hal tersebut tidak
dapat dianalogikan dengan operasi plastik untuk maksud
kecantikan.320
Dalam hal ini, Muhammad Syuhudi Ismail
318 Umar Syihab, ―Mempercantik Diri dibolehkan dalam Islam‖, Harian
Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 30 November 1988. 319
Nurcholish Madjid, ―Bedah Plastik dapat dibenarkan dalam Hukum
Islam‖, Harian Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 12 Januari 1989. 320
Syuhudi tidak mengingkari orang yang telah menjadi cantik karena
operasi plastik itu makin bertambah besar rasa percaya diri dan ketenangannya. Tetapi
dia mempertanyakan akibat buruk yang ditanggung oleh yang bersangkutan. Nabi
SAW menegaskan bahwa pemanfaatan anggota tubuh termasuk salah satu hal yang
166
cenderung tekstual, bersikap sangat hati-hati, tetapi tegas dalam
memahami hadis tentang bedah plastik.
4. Hadis yang berkenaan dengan budaya Arab.321
Hadis yang berkenaan dengan budaya Arab salah satunya
tentang memakai surban. Menurut Ali Mustafa Ya‘qub surban ini
menjadi simbol pakaian ulama di beberapa daerah, maka ini
termasuk dalam kategori al-„adah muhakkamah (tradisi dapat
dijadikan sebagai hukum). Karenanya, para ulama yang berada di
daerah-daerah tersebut dianjurkan untuk mengenakan surban.
Adapun apabila surban tersebut dijadikan sebagai ajaran agama
yang wajib diikuti oleh setiap muslim, maka tidak ada seorang pun
ulama yang mengatakan demikian.322
Senada dengan gurunya Samahah al-Syaikh Abd al-Aziz ibn
Abdullah ibn Baz mengatakan bahwa memakai surban bukan
bagian dari ibadah. Pakaian ini dikenakan oleh Nabi SAW karena
merupakan pakaian adat kaumnya. Tidak ada satupun dalil yang
ṣaḥīḥ mengenai keutamaan surban, kendati Nabi SAW
mengenakannya. Sebaiknya orang memakai pakaian yang biasa
dipakai oleh penduduk negerinya, selama itu tidak diharamkan.323
Ali Mustafa Ya‘qub juga berpendapat bahwa mengenakan
surban terkadang diharamkan. Hal ini terjadi ketika seseorang
memakai surban seorang diri dan berbeda dari pakaian penduduk
sekitarnya. Karena kondisi ini dikategorikan sebagai pakaian
shuhrah (popularitas) karena ada dalil yang melarangnya.
Rasulullah SAW bersabda:
perlu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Muhammad Syuhudi Ismail,
―Bedah Plastik‖, Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 4 Desember 1988 M. 321
Seperti hadis memakai surban:
فشق يا با ب انششك انعائى عهى انمالش Artinya: Perbedaan antara kita dari kaum musyrikin adalah kain surban
(yang dikenakan) di atas kopiah. Lihat Sunan Abu Daud, IV/1748; Sunan al-
Tirmidhi, IV/218
Hadis yang lainnya:
سكعتا بعايت خش ي صبع سكعت بغش عايتArtinya: Dua rakaat dengan memakai surban lebih baik daripada tujuh
puluh rakaat dengan tidak memakai surban. 322
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2014), 104-105. 323
Fatawa al-Lajnah al-Da‟imah Majmu‟ah li lajnah al-Daimah li al-
Buhuth al-Ilmiyah wa al-Ifta, dihimpun oleh Ahmad ibn Abd al-Razzaq al-Dawisy,
XXIV/42.
167
― Siapa yang mengenakan pakaian popularitas di dunia, maka
Allah akan memakaikannya kepadanya pakaian kehinaan pada hari
kiamat, lalu menyalakan api neraka di dalamnya”. (HR. Ibn
Majah).324
Pakaian popularitas (thaub shuhrah) adalah pakaian yang
dikenakan untuk tujuan agar mudah dikenal (popularitas) di
hadapan orang lain, baik kualitasnya bagus untuk menyombongkan
diri dengan gemerlap harta, maupun kualitasnya rendah untuk
memperlihatkan kezuhudannya dan riya. Maka tidak diragukan
bahwa pakaian orang banyak dikategorikan sebagai popularitas
yang dilarang.325
Demikianlah pemahaman yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia pada masa sekarang, pemahaman terhadap permasalahan di
Indonesia harus sesuai dengan konteks kemodernan dan globalisasi.326
Dalam permasalahan hadis (khususnya di Indonesia), hadis
yang secara sanad bernilai ṣaḥīḥ, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
sains atau logika nalar manusia, ternyata para ulama berbeda pendapat
yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama memandang bahwa hadis tersebut tetap berkualitas
Ṣaḥīḥ, hanya saja manusia yang belum bisa menemukan rahasianya,
serta akal manusia belum dapat sampai atau menjangkaunya. Sedang
kelompok kedua memandang bahwa hadis-hadis tersebut tidak ṣaḥīḥ,
sebab ada illat yang mencacatkannya dan ada pula kejanggalan
artinya.327
Dalam kasusnya kita contohkan terhadap hadis tentang siksa
kubur. Suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari oleh manusia setelah
kematian. Setelah menjalani kehidupan di dunia, manusia akan
meninggal dan memasuki alam baru yang dikenal dengan alam kubur
(barzakh). Semua manusia tidak dapat mengetahui kejadian di alam
kubur. Namun, yang jelas bahwa setelah mati dan diistirahatkan di
324
Sunan ibn Majah, II/1192 no. 3607. 325
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2014), 104-105. 326
Ronald A. Lukens-Bull, Two Sides of the Same Coin: Modernity and
Tradition in Islamic Education in Indonesia, Journal Anthropology dan Education
Quarterly, Vol. 32, No.3 (2001), 353. http://www.jstor.org/stable/3195992.
(Accessed: 20/04/2014). 327
Hasbi ash-Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), 128.
168
pemakaman (kuburan), manusia akan didatangi oleh malaikat
mengajukan beberapa pertanyaan. Apabila dia mukmin lagi muṣlih,
maka dia akan mudah menjawab dan memperoleh kebahagiaan dan
kenikmatan di alam kubur. Namun apabila dia kafir atau zalim, maka
dia sulit menjawab dan akan menerima siksa yang pedih. Hal ini telah
disebut dalam hadis Nabi SAW yang menyinggung persoalan siksa
kubur yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, khususnya
dalam kitab Ṣaḥīḥain (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim). 328
Meskipun siksa kubur memiliki landasan yang kuat dari hadis
Nabi SAW, akan tetapi masih terdapat orang dari kelompok
materialisme (naturalis) yang menilai hadis tersebut mushkil dari sisi
logika dan nalar manusia. Menurutnya, orang yang mati sama seperti
bangkai lain, tenang tak bergerak serta tidak memiliki rasa dan
perasaan. Bagaimana mungkin bangkai seperti itu dapat menerima
siksaan? Bagaimana mungkin bangkai dapat tanya jawab duduk
bersama dengan malaikat? Apabila bangkai itu dari orang kafir, dia
tidak bisa menjawab, kemudian malaikat memukul dengan martil besi
sehingga tulang remuk, serta apabila dia mukmin, lalu dia akan
menerima kenikmatan dan kenyamanan, maka mengapa ketika mayit
itu ditengok berkali-kali, tetap dalam keadaan utuh seperti patung kaku
328
Demikianlah pandangan dari kalangan materialisme yang menentang
pendapat adanya siksa kubur, padahal hadis Nabi SAW sangat jelas
menginformasikan hal itu seperti diriwayatkan oleh Imam al-Bukharī berikut ini:
حدثني عون بن أبي جحيفة حدثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى حدثنا شعبة قال عن أبيه عن البراء بن عازب عن أبي أيوب رضي اهلل عنهم قال خرج النبي ص م
وقد وجبت الشمس فسمع صوتا يهود تعذ ب فى قبورهاMuḥammad ibn al-Muthanna menceritakan kepada kami (berkata) Yahyā
menceritakan kepada kami (berkata) Syu‘bah menceritakan kepada kami
(yang) berkata: ―Aun bin Abī Juhaifah menceritakan kepada saya (yang
bersumber) dari Abū Ayyub ra berkata: ―Nabi keluar (rumah) pada saat
matahari terbenam, kemudian beliau mendengar suara, lalu beliau bersabda:
―(suara itu dari) seorang Yahudi yang disiksa di kuburnya.‖
Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak berta‘awuz dari siksa
kubur dari siksa kubur dalam shalat, maka shalatnya tidak sah. Lihat Abū Abdillāh
bin Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī ( Beirut: Dār ibn Kathir) Kitab al-Janaiz,
Bab al-Ta‘awudz ‗an ‗Azab al-Qabr, Hadis Nomor 1309, Juz I, 463. Dan Abdullāh
ibn Alī al-Najdī al-Qasimī, Mushkilāt al-Ahādīth al-Nabawiyyah wa Bayānuhā
(Lebanon: Dār al-Qalam, 1985), 11; dan Musṭafa al-Sibā‘ī, al-Sunnah al-Nabawiyyah
wa Makanatuha fī al-Tasyrī‟ al-Islāmī (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1976), 285.
169
yang tidak merasakan apapun? Bahkan proses berikutnya dapat
dimakan ular dan cacing sehingga rusak dan tidak berbekas. Mengapa
agama Islam sebagai agama akal dapat bertentangan dengan akal, dunia
nyata, intuisi.
Dalam diskursus pemikiran filsafat naturalis, kematian
dipandang sebagai proses perjalanan akhir dari kehidupan. Dengan
mengandalkan rasio dan indera manusia, kematian merupakan wujud
dari yang tidak berwujud (being of nothingness), artinya wujud mati itu
merupakan hakikat yang sebenarnya dari ketidakwujudan (ketiadaan).
Oleh sebab itu, ―mati‖ bersifat tidak eksis, ada, dapat dirasakan, dan ia
merupakan ada yang sebenarnya. Eksistensi manusia dapat dinikmati
karena adanya ―jiwa dan raga‖ dalam diri manusia yang memiliki
potensi merasakan dalam kehidupan. Hal ini tidak dapat ditemukan jika
―jiwa dan raga‖ manusia yang sebenarnya sudah tidak ada karena dia
sudah mati, tidak eksis. Eksistensi orang yang sudah mati dari
perspektif being-nya tidak diakui, karena apa yang melekat dalam
―sesuatu yang disebut mati‖, menjadi sebab mengapa orang mati tidak
eksis. Bertolak dari pemikiran filsafat naturalis ini, mereka menolak
ajaran ―kehidupan setelah mati‖.
Kedua kelompok tersebut masing-masing mempunyai
argumentasi. Kelompok pertama menghargai kerja para ulama
terdahulu dalam menentukan kriteria hadis ṣaḥīḥ, sehingga standar
penilaian hadis terebut dapat diterima secara ilmiah. Sebagai
konsekuensinya, jika sanad-nya ṣaḥīḥ, maka dapat dipastikan bahwa
hadis itu berasal dari Nabi SAW dan diakui kebenaran isinya, meski
kandungan isinya tidak sejalan dengan nalar. Sedangkan kelompok
kedua lebih menekankan bahwa kebenaran sebuah hadis harus sesuai
dengan kenyataan dan logika atau nalar manusia. Mereka beranggapan
bahwa tidak mungkin sesuatu yang salah diyakini datang dari Nabi
SAW, sehingga kebenaran sanad meskipn telah memenuhi standar
ilmiah harus dikesampingkan karena didapati kejanggalan kandungan
isinya dalam hubungannya dengan muara hadis, yakni Nabi
Muhammad SAW.329
Perlu dikemukakan bahwa kekeliruan yang dari Nabi SAW
hanya dapat terjadi dalam masalah keduniaan saja sebagaimana yang
pernah terjadi dalam kasus-kasus tertentu. Sedangkan dalam masalah
keagamaan tidak mungkin untuk dinilai benar dan salahnya. Dengan
329
Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)
(Yogyakarta: Teras, 2008), 4.
170
perkataan yang lain bahwa dalam masalah agama Nabi SAW pasti
benarnya, karena beliau dibimbing oleh wahyu.330
Sedangkan kaitannya dengan syarat tidak janggal dan illat yang
mencacatkannya juga masih berlaku, akan tetapi terbatas pada
hubungannya dengan ketentuan al-Qur‘an yang jelas (qaṭ‟ī) dan hadis
mutawatir dalam masalah-masalah keagamaan.
Memang harus diakui dalam menghadapi materi hadis-hadis
Nabi SAW tidaklah semudah yang diduga banyak orang, sebab dalam
hal ini diperlukan perangkat yang tidak sedikit, karena selain yang
diteliti itu berasal dari Nabi SAW dalam kedudukannya sebagai
manusia, beliau juga mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul.
Di samping itu juga harus diperhatikan situasi dan kondisi
kejadiannya. Sering Nabi SAW mengeluarkan sabdanya dengan
memperhatikan keadaan yang beliau hadapi. Beliau menemukan hal
yang sangat berpadanan dengan keadaan orang yang beliau hadapi itu.
Kepada seorang yang menanyakan tentang perbuatan terbaik dan
disukai Tuhan, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan
siapa yang bertanya.331
Kenyataan seperti itu dijumpai sangat banyak dalam hadis Nabi
SAW. Untuk itu, kelengkapan ilmu bantu yang berkaitan dengan hal itu
mutlak diperlukan dalam rangka mengetahui dan memahami hadis
330
Al-Qur‘an surat Al-Najm ayat 3-4
يا طك ػ 3 ٱن ح ح إال [٤-٣]سسة انـحـى, 4إ
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur‘an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). 331
Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:
1) Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya, 2) Amal yang paling
baik dan disukai Allah adalah membaca al-Qur‘an sepanjang waktu, 3) Amal yang
paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, 4) Amal yang paling utama
adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia, 5) Amal yang paling
baik adalah memberikan makanan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada
siapa saja.
Hadis-hadis tersebut tidak dapat hanya dipahami secara harfiah-literal-
atomistik, namun dapat dipahami latar belakang sejarahnya, bagaimana dan dalam
situasi apa Nabi SAW mengucapkan sabda hadis tersebut. Selain itu juga harus
dipahami apakah ketentuan yang pernah disabdakan oleh Nabi tersebut berlaku umum
atau merupakan ketentuan khusus dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain dan di
tempat lain. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)
(Yogyakarta: Teras, 2008), 6.
171
tersebut secara tepat. Untuk dapat memahami hadis dengan tepat,
kelengkapan-kelengkapan sebagaimana disusun oleh ulama hadis dapat
dijadikan pedoman, seperti metode pemahaman hadis yang
dikemukakan oleh Yusuf al-Qaraḍāwī.332
Pengujian redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah dilakukan
sejak awal sekali, bahkan dari kalangan sahabat sudah terlihat
pengujian-pengujian yang mereka lakukan. Dari beberapa kasus yang
dicermati, terlihat bahwa pengujian hadis yang dilakukan sahabat
adalah dengan al-Qur‘an serta hadis-hadis yang lebih kuat dan masyhur
yang terkadang diperkuat dengan argumen rasional dalam bentuk
analogi. Pengujian hadis dengan al-Qur‘an ini, bahkan pernah
dilakukan oleh Aisyah terhadap hadis yang sedang disampaikan oleh
Rasulullah sendiri. Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa yang dihisab pasti akan
diazab‖. Aisyah menyela: ―Bukankan Allah telah berfirman: ―Mereka
(orang beriman) akan dihisab dengan hisab yang sangat mudah (al-
Insyiqaq: 8).‖ Rasul lalu bersabda kembali: ―Itu hanya sepintas, tetapi
orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara.333
Ṣalahuddīn Ibnu Aḥmad al-Aḍabi, mencatat beberapa orang
sahabat yang melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat lain. Mereka antara lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khatāb,
Alī ibn Abī Ṭalib, Abdullāh ibn Mas‘ūd, dan Abdullāh ibn ‗Abbas.
Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian terhadap
hadis ini, yang paling intens adalah Siti Aisyah.334
Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecendrungan
pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecendrungan tersebut
terpresentasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan
umat Islam, yakni retriction of traditionalist dan modernist
332
Metode pemahaman hadis menurut Yusuf al-Qaraḍawi, yaitu: Memahami
sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an, Menghimpun hadis dalam satu tema, mencoba
mengkompromikan atau men-tarjih hadis-hadis mukhtalif, Memahami hadis dengan
bantuan sebab munculnya dan tujuan (maqaṣid-nya), Membedakan antara sarana yang
berubah-ubah dan tujuan yang tetap, Membedakan hakikat dan majazi, Membedakan
antara yang nyata dan yang ghaib, Memastikan kandungan lafaz. Lihat Yusuf al-
Qaraḍawī, Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dār al-Shuruq,
2006), 111. 333
Muhammad Fuād ‗Abd al-Bāqī, Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān (Beirut: Dār al-
Fikrī, t.t), 299. 334
Ṣalahuddīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Metodologi Kritik Matan Hadis (terj.
H.M.Qadirun Nur) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) 85
172
scripturalim. Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri
pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa
mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok
modernist scripturalism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi
mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks.
Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari kedua kelompok
tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman
tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.335
Teori pemahaman hadis yang dipresentasikan oleh kelompok
modernist scripturalism adalah historis kontekstual.336
Teori ini
mencoba memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-
tekstual ke wilayah kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya
bahasa Arab sangat diperlukan dalam memahami hadis. Tanpa kedua
aspek tersebut, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Persoalan
yang muncul kemudian adalah, meskipun hadis yang datang dari Nabi
adalah berbentuk pesan dalam bahasa Arab, namun bahasa Arab yang
dijadikan wahananya sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke
dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan
juga mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer
(kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis
tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh
pembacanya, meskipun pembacanya ahli dalam ilmu bahasa. Dalam
hadis mudah dijumpai kata ataupun kalimat yang menimbulkan multi
makna, karena dari segi bahasa memang memungkinkan. Multi makna
yang bersifat semantikal ini diperkuat oleh perbedaan tingkat akademis,
335
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual yang
Kontekstual: (Telah Ma‘ani al-Hadis yang Universal, Temporal, dan Lokal) (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), 17. 336
Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual saja.
Mereka mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-kontekstual, yakni
untuk memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang
digunakan, konteks sosial dan psikologis ketika Nabi Muhammad bersabda serta
kepada siapa ucapan itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang
sosial-budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka pesan
dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara literer dan
dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh dari yang
dikehendaki oleh pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan
lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum. pemahaman yang
demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam memahami hadis. Nizar
Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil) (Yogyakarta: Teras,
2008), 10.
173
psikologis, dan kepentingan politik pencari makna hadis, sehingga kita
menyaksikan munculnya berbagai mazhab atau aliran pemikiran dalam
Islam, baik dalam bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf maupun
politik. Berbagai isu yang diperselisihkan oleh para ulama tidak
mungkin diselesaikan dengan cara penyeragaman makna hadis karena
hadis membuka diri untuk ditafsirkan.337
Pada zaman dahulu, sebagian ulama sudah merasa puas dengan
menyatakan wa Allah a‟lam (Allah yang mengetahui maksud-Nya).
Akan tetapi, tatkala problem sosial dan ilmu pengetahuan semakin
kompleks seperti sekarang ini, maka literalisme seringkali tidak
memuaskan pemikiran banyak pihak. Bahkan pada gilirannya
berpotensi untuk memunculkan sikap keraguan dari sebagian orang
terhadap otentisitas hadis Nabi SAW, karena isinya secara literal
bertentangan dengan sains, logika, atau nalar manusia. Padahal hadis
tersebut diriwayatkan oleh para imam hadis yang diakui kredibilitasnya
dalam periwayatan hadis.
Manakala menghadapi pertentangan antara bunyi hadis secara
literal dengan sains atau berlawanan dengan akal, maka langkah yang
terbaik adalah:338
Pertama, Mendiagnosa hadis Nabi SAW dari aspek sanad dan
matn dengan menggunakan kaedah ke-ṣaḥīḥ-an hadis melalui kritik
eksternal (al-naqd al-kharīj) dan kritik internal (al-naqd al-dakhīl).
Diagnosis ini penting untuk menetapkan otentisitas dan validitas
sebuah hadis itu benar-benar bersumber dari sabda Nabi SAW, ataukah
berita tersebut datang dari penuturan sahabat tentang perbuatan Nabi
SAW.
Kedua, Setelah hasil diagnosa diketahui bahwa hadis tersebut
otentik dan valid berasal dari Nabi SAW serta berkualitas ṣaḥīḥ, maka
selanjutnya dilakukan analisis dengan melihat teks dan konteks di luar
teks yang meliputi latar belakang munculnya, tujuan Nabi SAW
menyabdakan, siapa yang diajak bicara dan bagaimana keadaannya,
setting sosial, bahasa yang digunakan, dalam konteks apa disabdakan.
Namun apabila dijumpai hadis tersebut otentik dan valid berasal dari
sahabat yang telah diakui keadilannya, serta berisi informasi terhadap
perbuatan yang dilakukan Nabi SAW (sunnah fi‟liyyah), maka langkah
337
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 165. 338
Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil),
(Yogyakarta: Teras, 2008), 132-134.
174
berikutnya menganalisis rasionalisasi dari isi kabar dan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat diakibatkannnya.
Ketiga, membedah substansi materi hadis mushkil yang
bertentangan dengan sains atau akal tersebut apakah disampaikan nabi
SAW untuk memberi informasi ilmu pengetahuan, ataukah hanya
sekedar menjelaskan kenyataan yang berkembang sesuai dengan
suasana pada saat itu, ataukah Nabi SAW hanya bermaksud
memberikan warning, peringatan yang dapat dijadikan i‟tibar,
pelajaran bagi umatnya.
Keempat, memilah dimensi makna kebahasaan yang digunakan
dalam hadis Nabi SAW apakah menggunakan pola sebenarnya (haqiqi)
atau kiasan (majazi).
Kelima, mempertimbangkan kedudukan Nabi SAW saat
menyabdakan hadis apakah dibimbing wahyu atau hanya memberikan
informasi keadaan yang sesuai dengan suasana masyarakat pada waktu
itu, dengan mencermati tema pembicaraan dalam hadis, seperti tema
eskatologis dan alam ghaib, yang hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa
bimbingan wahyu.
Keenam, mengelompokkan hadis Nabi SAW ke dalam beberapa
kategori: 1) hadis yang berisi ajaran pokok agama seperti akidah dan
ibadah; 2) hadis yang berisi ajaran bersifat ijtihad Nabi SAW sebagai
pemimpin seperti kepala negara, komandan peperangan, dan urusan
kemasyarakatan; 3) hadis yang bersifat tindakan keseharian sebagai
uswah hasanah (suri tauladan yang baik) seperti etika berpakaian, etika
tidur, etika pergaulan, dan sebagainya. Pengelompokkan ini
dimaksudkan untuk menempatkan hadis pada porsinya agar diperoleh
gambaran urgensi dan signifikansinya dalam kehidupan.
Ketujuh, Menggunakan landasan ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis
lain yang relevan serta pendapat ulama yang relevan untuk memperkuat
bahan analisis terhadap pemahaman yang akan dilakukan.
Demikianlah metodologi pemahaman hadis Nabi yang
seharusnya dilakukan, agar mendapatkan pemahaman yang benar dan
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar dalam memahami hadis Nabi sesuai dan selaras
dengan tujuan Nabi menyampaikan suatu hadis tersebut.
175
BAB V
GENEALOGI PERKEMBANGAN
STUDI HADIS DI INDONESIA
Dalam bab ini dibahas tentang sinkronisasi antara pengkaji
hadis di Indonesia dengan pengkaji hadis dan ulama hadis lainnya,
kemudian dijelaskan tentang keotentikan dan signifikansi
perkembangan kajian hadis di Indonesia, dan terakhir dijelaskan
pemikiran hadis pengkaji hadis di Indonesia.
E. Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis di Indonesia dengan
Pengkaji Hadis Lainnya.
Pada pembahasan terdahulu dijelaskan tentang sinkronisasi
antar pengkaji hadis di Indonesia, pada sub bab ini dijelaskan tentang
sinkronisasi pengkaji hadis di Indonesia dengan pengkaji hadis di
Timur Tengah dan di Barat.
1. Muhammad Syuhudi Ismail.
Berdasarkan uraian terdahulu, diketahui bahwa Syuhudi
Ismail tidak memiliki pengalaman luar negeri kecuali ketika ia
menunaikan ibadah haji (1993 M). Hal ini menunjukkan bahwa
sumber-sumber pemikiran Syuhudi Ismail, pada umumnya
diperoleh dari hasil telaah berbagai buku, baik yang berkaitan
langsung dengan ilmu-ilmu hadis maupun yang tidak langsung.
Syuhudi Ismail bertemu dengan berbagai ilmuan, baik alumnus
Barat maupun Timur Tengah, seperti Harun Nasution dan M.
Quraish Shihab.339
Genealogi Pemikiran Hadis M. Syuhudi Ismail.
339
Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 50.
Quraish Shihab Harun Nasution
Said Agil Husin al-
Munawwar
M. Syuhudi Ismail
Hasbi Ash-Shiddieqie Kiai Mansur Dr. Madjidi
176
Jika dilihat ranji di atas, Syuhudi Ismail tidak memiliki
pengalaman dan mempunyai guru dari luar negeri. Guru Muhammad
Syuhudi Ismail yaitu Kiai Mansur dan Dr. Madjidi berasal dari
Lumajang Jawa Timur, mereka adalah guru yang mengajarkan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hadis kepada
Syuhudi Ismail; sedangkan Harun Nasution,340
Quraish Shihab,341
dan Said Agil Husin al-Munawar merupakan gurunya ketika ia
kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang sudah menjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).342
Salah satu kekuatan Syuhudi Ismail dalam hal metodologi
adalah kemampuannya menanggapi kritik sesuai dengan pendekatan
yang digunakan oleh mereka yang dikritiknya secara sistematis dan
obyektif. Namun Syuhudi Ismail tidak mengemukakan secara
340
Dalam karyanya Muhammad Syuhudi Ismail merujuk kepada Harun
Nasution dalam memahami hadis tentang keimanan pezina, pencuri, dan peminum
khamar. Harun Nasution menjelaskan bahwa sebagian golongan Khawarij
berpendapat bahwa zina adalah dosa besar dan menyebabkan pelakunya keluar dari
mukmin dan karenanya, dia menjadi kafir. Golongan Murji‟ah berpendapat bahwa
perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak menyebabkan seorang mukmin menjadi
kafir. Bagi mereka, keimanan didasarkan oleh pengakuan bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Masalah dosa besar yang
telah dilakukan ditunda penyelesaiannya oleh Allah pada hari perhitungan kelak.
Menurut golongan Muktazilah, orang yang berdosa besar telah keluar dari status
mukmin, namun tidak menjadi kafir,, orang tersebut dinyatakan sebagai fasik.
Selengkapnya lihat dalam karya Harun Nasution, Teologi Islam diterbitkan di Jakarta
pada tahun 1972.
Pengaruh Harun Nasution terhadap pemikiran Syuhudi Ismail antara lain
dilihat dari sikap rasional, kritis, dan obyektif yang ditekankan Harun dalam
penelitian keagamaan. 341
Secara kontekstual, maka secara praktis ia terpengaruh oleh pemikiran M.
Quraish Shihab. Secara metodologis, Quraish Shihab menekankan pemahaman
keagamaan, termasuk untuk hadis Nabi, secara sistematis dengan pendekatan tematik.
Hanya saja, Quraish Shihab banyak menerapkan pendekatan tematik untuk penafsiran
al-Qur‘an, sementara Syuhudi menerapkannya untuk pemahaman hadis Nabi.
Penerapan pendekatan tematik terhadap al-Qur‘an yang dilakukan oleh Quraish
Shihab, terutama dalam bukunya yang berjudul Membumikan al-Qur‘an dan
Wawasan al-Qur‘an masing-masing diterbitkan oleh Mizan Bandung. 342
Said Agil Husin al-Munawar merupakan guru dan dosen Syuhudi Ismail
ketika kuliah, Syuhudi Ismail banyak menerima masukan tentang ilmu hadis dan
metodologi kajian hadis dari gurunya Said Agil al-Munawar. Ini nampak ketika
melihat pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang cenderung menggunakan pendekatan
kontektsual asbāb al-wurud. Seperti penjelasan hadis dalam bukunya Hadis Nabi
yang Tekstual dan Kontekstual.
177
teoritis konsep kritik sejarah terhadap hadis Nabi, sebagaimana
dilakukan oleh Fazlur Rahman terhadap metodologi pembaharuan
hukum Islam. Di samping itu, Syuhudi juga tidak mengajukan bukti-
bukti kongkrit berdasarkan hasil penelitian terhadap sumber-sumber
primer (klasik), kecuali hanya bersifat umum, sebagaimana yang
dilakukan oleh Azami. Dalam hal ini, Syuhudi Ismail tampaknya
tidak memiliki data historis tentang proses terbentuknya transmisi
hadis yang cukup, tetapi ia memiliki pengetahuan tentang metode
kritik sejarah.
Selain yang disebutkan di atas, secara tidak langsung
pengembangan pemikiran Syuhudi juga didasarkan pada pemikiran
klasik, seperti Imam al-Shafi‘ī (w. 204 H) dalam hal metodologi
penyelesaian hadis-hadis yang tampak bertentangan dan kritik atas
para pengingkar hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam,
dan Ibnu al-Salah (w. 643 H) dan al-Nawawi (w. 676 H) dalam hal
kaidah keshahihan sanad hadis.343
Hal ini menunjukkan bahwa
Syuhudi tetap menjaga kesinambungan dan pengembangan hadis
Nabi.
Perkembangan pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail juga
tidak terlepas dari bacaan dan telaah terhadap buku-buku Timur
Tengah dan Barat, ini dapat dilihat dari kutipan beliau terhadap
pengkaji hadis di Timur Tengah tentang pemahaman hadis, yaitu
Abū Ṭayib Muḥammad Shams al-Ḥaqq al-‗Aẓim, „Aun al-Ma‟būd
Sharḥ Sunan Abī Dāud (1399 H); Ṣalah al-Dīn ibn Aḥmad al-
Aḍabī, Manhāj Naqd al-Matn (1430 H); Aḥmad ibn ‗Alī Ibnu Ḥajar
al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī;344
al-Sayid al-
343
Arifudin Ahmad, Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail) (
Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), 60-62. 344
Muhammad Syuhudi Ismail banyak mengutip dari pemikiran Ibnu Hajar
al-Asqalani dan al-Qurtubī, seperti dalam memahami hadis kepala Negara dari Suku
Quraish, bahwa Ibnu Hajar al-Asqalanī menjelaskan bahwa tidak ada seorang ulama
pun, kecuali dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij, yang membolehkan jabatan
kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraish. Dalam
sejarah memang telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah,
padahal mereka bukanlah dari suku Quraish. Menurut pandangan ulama, demikian
kata Ibnu Hajar, sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara
(al-imamah al-„uzma). Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 39, dan Aḥmad ibn ‗Alī Ibnu Ḥajar
al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī (ttp: Dār al-Fikr wa Maktabah al-
Salafiah, t.th.), Juz. VI, 526-536. Fransesco Gabrieli, Arabic Historiography. Journal
178
Sharīf Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān
wa al-Ta‟rīf fi Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīth al-Sharīf; Abū
Muḥammad Abd Allāh ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta‟wīl Mukhtalaf
al-Ḥadīth; Zain al-Dīn Abū Farj ‗Abd al-Raḥmān ibn Rajab, Jamī‟
al-„Ulūm wa al-Ḥikām fī Sharḥ Khamsina Hadīth min Jawāmī‟ al-
Kalīm; Zain al-Dīn ibn ‗Abd al-Raḥman ibn Ḥusain al-‗Iraqī, al-
Taqyīd wa al-Iḍah Sharḥ Muqaddimah ibn al-Ṣalaḥ; ‗Alwī ‗Abbas
al-Malikī dan Ḥayy Sulaimān al-Nūrī, Ibānah al-Aḥkam Sharḥ
Bulūgh al-Marām; Shiḥāb al-Dīn ibn Aḥmad ibn Aḥmad ibn Idrīs
al-Qarafī, Sharḥ Tanqīh al-Fuṣūl; Muḥammad ibn Ismā‘īl al-
Ṣan‘ānī, Subūl al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām;345
Jalāl al-Dīn
‗Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rawī fī Sharḥ
Taqrīb al-Nawāwī dan Tanwīr al-Ḥawalik Sharḥ Muwaṭṭa‟ Malik;
dan Muḥammad ibn Idrīs al-Syafi‘ī, Kitab Ikhtillāf al-Ḥadīth;
Islamic Studies, Vol. 18. (1979). 81-95 http://jstor.org/stable/20847098. (Accessed:
20/04/2014).
Al-Qurṭubī (w. 671 H) menjelaskan, kepala negara disyaratkan harus dari
suku Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal satu
orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.
Dari pemahaman kedua ulama hadis di atas berbeda dengan pemahaman
Syuhudi Ismail terhadap hadis tersebut, ia berpendapat bahwa apabila kandungan
hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan
bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam fungsinya sebagai
kepala negara atau pemimpim masyarakat, yang menjadi indikasi (qarinah) antara
lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang
suku Quraish. Hal itu tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur‘an yang menyatakan
bahwa yang paling utama dihadirat Allah adalah yang paling bertakwa.
Mengutamakan suku Quraish memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang
dibawa oleh Nabi; hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal. lihat
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta:
Bulan Bintang, 2009), 40-45. 345
Syuhudi Ismail mengutip al-Sayid al-Sharīf Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn
Ḥamzah al-Ḥusainī dalam menjelaskan asbāb al-wurūd, seperti menjelaskan tentang
hadis mandi pada hari jum‘at, dan hadis yang lainnya. Dan Syuhudi Ismail juga
mengutip pemikiran Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Ṣan‘ānī salah satunya tentang mandi
pada hari jum‘at menyatakan bahwa hukum mandi pada hari jum‘at adalah wajib, ia
memahami hadis ini secara tekstual, berbeda dengan pemahaman Syuhudi Ismail
yang memahami hadis tersebut dengan kontekstual. Lihat al-Sayid al-Sharīf Ibrāhīm
ibn Muḥammad ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān wa al-Ta‟rīf fi Asbāb al-Wurūd al-
Ḥadīth al-Sharīf, 85-88, dan Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Ṣan‘ānī, Subūl al-Salām
Sharḥ Bulūgh al-Marām, Juz I, 87-88. Dan juga Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 58-59.
179
Aḥmad Muḥammad Shakir, Sharḥ alfiyah al-Suyuṭī fī Ilm al-
Ḥadīth.
Berdasarkan beberapa pemahaman beliau tentang hadis,
kecenderungan pemahaman Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis
Nabi yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan hukum atau yang
bersifat qaṭ‟ī (pasti) adalah cenderung tekstual dan bersikap ketat
atas kualitas hadis-hadisnya. Sedangkan dalam masalah-masalah
sosial politik dan sosial kemasyarakatan atau yang bersifat ẓannī
(tidak pasti), maka ia cenderung kontekstual dan bersikap longgar
atas kualitas hadis-hadisnya.
Muhammad Syuhudi Ismail mengutip pemikiran hadis
Muhammad ibn Idris al-Shafi‘ī, Muhammad Musṭafa Azami,
Muhammad Abd al-‗Aziz al-Khuli, Shihab al-Dīn ibn Aḥmad ibn
Idris al-Qarafi, ketika menjelaskan tentang hadis yang nampak
saling bertentangan.
Cara yang ditempuh Muhammad Syuhudi Ismail dalam
menyelesaikan hadis-hadis yang nampak bertentangan dengan al-
Qur‘an dan hadis lainnya berbeda dengan cara atau metode yang
dipakai oleh ulama hadis di Timur Tengah, akan tetapi walaupun
cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun hasil
penyelesaiannya sama. Dinyatakan demikian karena selain ulama
pada umumnya lebih mengutamakan cara al-jam‟u (al-taufiq atau
al-talfiq), sepanjang cara itu dapat diterapkan, juga penyelesaian
yang diberi istilah yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang
menunjukkan kesamaan.
Dengan demikian, Muhammad Syuhudi Ismail juga
terpengaruh dengan gagasan-gagasan yang dikemukakan yang
dikemukakan oleh Abduh. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan
Syuhudi terhadap pemahaman hadis Nabi yang tidak terikat pada
pemahaman hadis Nabi yang tidak terikat pada pemahaman tekstual
semata, tetapi untuk hadis-hadis yang kedudukannya bersifat tidak
pasti (ẓannī), baik dari segi wurūd-nya ataupun dari dilalah-nya
cenderung kontekstual.
Jika mencermati karya-karyanya, Muhammad Syuhudi
Ismail juga merujuk kepada karya-karya penulis Barat, seperti
Louis Goottschalk, Understanding History: A Primer of Historical
Method (1956); Carter V. Good and Douglas E. Scate, Methods of
Research Educational, Psychological, Sosiological; Bernard
Norling, Toward a Better Understanding of History (1960); Phillip
180
K. Hitti, History of the Arabs (1974);346
dan W. Montgomery Watt,
Muhammad Prophet and Statesman (1969).
Jika ditelaah secara seksama, maka pemikiran M. Syuhudi
Ismail di bidang hadis banyak diwarnai oleh para pemikir, baik
pemikir klasik maupun kontemporer. Hal itu dapat dimaklumi
sebab permasalahan di bidang hadis beragam, antara lain berkaitan
dengan metodologi ke-ṣaḥīḥ-an sanad, ke-ṣaḥīḥ-an matn, dan
metodologi pemahaman hadis Nabi SAW. Demikian pula sumber-
sumber pemikiran Syuhudi ada yang secara langsung diterimanya
dari sang pemikir, ada yang melalui karya-karya sang pemikir, dan
ada yang melalui karya orang lain tentang pemikiran seseorang,
terutama pemikir klasik.
Jika dilihat dari pemikiran sarjana Timur Tengah dan
sarjana Barat tentang hadis, ada perbedaan baik dari segi penelitian
sanad hadis maupun dalam kajian pemahaman hadis. Muhammad
Syuhudi Ismail dalam memahami hadis lebih kontekstual sesuai
dengan konteks-sosio-historis Indonesia.
2. Said Agil Husin al-Munawar.
Selama di Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut
ilmu di bangku kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar kampus
masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak menyia-
nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di
sana.
Ini terlihat adanya sinkronisasi antara Said Agil Husin al-
Munawar dengan gurunya di Timur Tengah dan Indonesia yang
mempengaruhi perkembangan pemikiran hadis Said Agil Husin al-
Munawar.
346
Muhammad Syuhudi Ismail mengutip Philip K. Hitti dengan W.
Montgomery Watt, dalam hal sejarah Rasulullah. Di dalam bukunya menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad SAW berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai
Rasulullah SAW, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan
pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung
petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi
tatkala hadis itu terjadi. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 4.
181
Genealogi Pemikiran Hadis Said Agil Husin al-Munawwar.347
347
Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1
Oktober 2014.
Abū al-Ḥamd
Abd al-Qadīr Abd al-Waḥab Ibrāhīm
Abū Sulaiman
Said Agil Husin
al-Munawar
Aḥmad Aḥmad
Ibrahīm al-Khadrawi
Maḥmud Abdul
Dā‘īm
Aḥmad Fahmi
Abū Sunnah
Yasin al-Shazilī
Abd al-Azīz Amir Ḥabib Salīm al-Khirīj
Syeikh Muhammad
Yasin Isa al-Fadani
Syeikh Sayid Muḥammad
Alawī al-Malikī
Syeikh Zakaria Bila Syeikh Ḥamid al-Kaf
Kiai H. Dahlan
Hasan Kediri
Syeikh Mukhtaruddin
Palembang
Syeikh Yasin Barhimin
Kiai H. Muhammad
Siraj Abdullah Umar
Kiai Daman Huri
Syeikh Ismā‘īl ibn
Zein al-Yamani Syeikh Aḥmad
Jābir al-Yamanī
Syeikh Abd al-Karim
Banjar
Kiai Muhammad
Tohir Banten
182
Guru-guru Said Agil al-Munawar berasal dari Mekah,
Madinah, Mesir, Yaman, dan juga Indonesia, adapun guru yang
sangat mempengaruhi terhadap perkembangan pemikiran Said Agil
Husin al-Munawar adalah Prof. Dr. Aḥmad Aḥmad Ibrahīm al-
Khadrawī, yang merupakan guru sekaligus pembimbing tesis dan
disertasi Said Agil Husin al-Munawar.348
Adapun gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar
yaitu dari gurunya di Timur Tengah diantaranya Abd al-Qadīr ibn
Aḥmad Assegaf, Sayyid Muḥammad ibn Alwī al-Malikī, Prof. Dr.
Maḥmūd Abd al-Dā‘īm, Aḥmad Faḥmī Abū Sunnah, Prof. Dr.
Aḥmad Faḥmī Abū Sunnah, Prof. Dr. Yasin al-Shazilī, Prof. Dr.
Abd al-Azīz Amir, Prof. Dr. Abū al-Ḥamd, Prof. Dr. Abd al-
Waḥab Ibrahīm Abū Sulaiman, Syeikh Ismā‘īl ibn Zein al-Yamanī,
Syeikh Aḥmad Jabir al-Yamanī, yang merupakan guru hadis beliau
ketika kuliah di Umm al-Qurrā.349
Said Agil Husin al-Munawar
mendapatkan ijazah dari guru-guru yang pernah mengajarkannya di
Timur Tengah.
Adapun gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar
dari gurunya yang berasal dari Indonesia adalah yaitu Syeikh
Muhammad Isa Yasin al-Fadani, Kiai H. Dahlan Hasan Kediri,
Syeikh Mukhtaruddin Palembang, Syeikh Yasin Barhimin, Kiai
Daman Huri, dan Kiai Muhammad Tohir Banten. Ini adalah guru-
guru Said Agil Husin al-Munawar yang berasal dari Indonesia yang
348
Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1
Oktober 2014. 349
Menurut Said Agil Husin al-Munawar bahwa pemikiran yang
komprehensif ia dapat dari berbagai guru di Timur Tengah, anggapan orang bahwa
orang Timur Tengah mempunyai pemikiran yang radikal dan cenderung tekstual di
dalam memahami teks agama adalah salah, justru guru-gurunya di Timur Tengah
mempunyai pemikiran yang sangat kontekstualis dalam memahami teks al-Qur‘an
dan hadis Nabi SAW. Ini nampak dari pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar
ketika memahami beberapa hadis, seperti hadis tentang mahram, wanita menjadi
pemimpin, pemimpin dari Quraish, dan hadis yang lainnya yang sangat kontekstual
dalam memahami hadis Nabi. Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi,
pada tanggal 1 Oktober 2014.
Keterkaitan pemahaman ini dapat dilihat pada penjelasan pada bab
selajutnya, yang akan menjelaskan perbedaan dan persamaan Said Agil Husin al-
Munawar dengan guru-gurunya dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW.
183
tinggal dan menetap di Mekah. Guru-gurunya tersebut mengajari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk mengajari hadis.350
Perkembangan pemikiran hadis Said Agil Husin al-
Munawar juga tidak terlepas dari bacaan dan telaah buku, seperti
dalam memahami hadis ia mengutip kepada ulama-ulama Timur
Tengah diantaranya, Muḥyiddīn abū Zakariyya ibn Sharaf al-
Nawāwī, Ṣaḥīḥ al-Muslim Sharḥ al-Nawāwī; Yusūf al-Qaraḍawī,
Kaifa Nata‟ammalū ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah; Aḥmad ibn
Alī ibn Ḥajar al-‗Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī;
Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad al-Shaukanī, Nail al-Auṭār;
Jalal al-Dīn al-Suyuṭī, al-Luma‟ fī Asbāb al-Hadīth,351
dan lain-lain.
Said Agil Husin al-Munawar dalam mengutip Imam al-
Nawāwī, Imam Abū Hanifah, Imam Malik, al-Auzā‘ī, dan Imam al-
Shafi‘ī dalam menjelaskan tentang beberapa hadis, diantaranya
adalah hadis yang menjelaskan tentang larangan wanita bepergian
sendirian. Imam al-Nawāwī menjelaskan bahwa suatu larangan bagi
wanita yang bepergian yang bersifat sunnah atau mubah, tanpa
disertai mahram atau suaminya. Sedangkan untuk bepergian yang
sifatnya wajib, seperti menunaikan ibadah haji, pada ulama berbeda
pendapat. Menurut Imam Abū Hanifah dan didukung oleh
mayoritas ulama hadis, adalah wajib hukumnya wanita yang mau
haji, harus disertai mahram atau suaminya. Namun menurut Imam
Malik, al-Auza‘ī, dan al-Shafi‘ī, tidak wajib. Mereka mensyaratkan
keamanan saja. Keamanan itu bisa diperoleh dengan mahram atau
suami atau wanita-wanita lain yang terpercaya (thiqat).352
Dalam pemahaman tentang mahram, Said Agil Husin al-
Munawar berbeda pendapat dengan beberapa ulama di atas, ia
menjelaskan bahwa jika pemikiran itu dikembangkan, maka konsep
350
Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1
Oktober 2014. 351
Said Agil Husin al-Munawar mengutip pendapat Jalal al-Dīn al-Suyuṭī
dalam menjelaskan tentang penjelasan asbāb al-wurūd hadis. Al-Suyuṭī menjelaskan
bahwa asbāb al-wurūd dapat dijadikan sebagai pisau bedah untuk menganalisis,
menentukan takhsīs (pengkhususan) dari yang ‗am, membatasi yang mutlak,
memerinci yang global dan menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan hukum),
menjelaskan ‗illat (alasan) ditetapkannya hukum dan membantu menjelaskan hadis
yang mushkil (sulit dipahami). Lihat Jalal al-Dīn al-Suyuṭī, al-Luma‟ fī Asbāb al-
Hadīth (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 11-17. 352
Muḥyiddīn Abū Zakariyya ibn Sharaf al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ al-Muslim Sharḥ
al-Nawāwī (Beirut: Dar al-Kitab, t.th.), 104-105.
184
―mahram‖ yang tadinya bersifat personal, dapat digantikan dengan
sistem keamanan yang menjamin keselamatan dan keamanan
wanita itu.353
Demikianlah pemikiran Said Agil Husin al-Munawar dalam
memahami suatu hadis yang berbeda dengan pemikiran ulama hadis
lainnya. dan jika dicermati dalam bukunya yang berjudul Studi
Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, ia
banyak mengutip karya Imam al-Suyuṭī dalam menjelaskan asbāb
al-wurud hadis, akan tetapi dalam memahami hadis ia terlebih
dahulu memaparkan pendapat beberapa ulama dalam menjelaskan
suatu tema hadis kemudian ia menjelaskan pendapatnya dengan
menggunakan pendekatan yang berbeda.
Said Agil al-Munawar juga mengutip secara langsung karya
Barat, diantaranya Arnold W. Green, Sociology an Analisys of Life
in Modern Society; dan Daniel L. Pals, Seven Theory of Religion.
Said Agil Husin al-Munawwar mengutip pendapat dari
Arnold W. Green dalam menjelaskan tentang penggunaan
pendekatan sosiologi dan antropologi. Arnold W. Green
menjelaskan bahwa pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut
posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. 354
Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola
perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan
masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah
ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya
yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam
kaitan waktu dan ruang. Said Agil Husin al-Munawar mencoba
menerapakn beberapa pendekatan tersebut dalam memahami hadis. Said Agil Husin al-Munawar menegaskan bahwa perlunya
pemahaman hadis dengan pendekatan historis, sosiologis dan
antropologis untuk menemukan pemahaman hadis yang relatif lebih
tepat, dinamis, akomodatif dan apresiasif terhadap perubahan serta
perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut sebagai pisau
analisis dalam memahami hadis-hadis yang tidak memiliki asbāb
al-wurūd secara khusus.
353
Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 29-30. 354
Arnold W. Green, Sociology an Analisys of Life in Modern Society (New
York: Toroto, 1960), 1-5.
185
Namun demikian, bukan berarti pendekatan-pendekatan
tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai kelemahan-kelemahan,
antara lain adanya kesan mencocok-cocokkan hadis dengan kondisi
perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga kita kadang
bisa terjebak pada pemahaman yang terlalu dipaksakan. Untuk itu,
diperlukan kecematan dalam penggunaan pendekatan tersebut. Dan
pada akhirnya, bagaimanapun upaya semacam itu merupakan
human construction yang kebenarannya tetap relatif, nisbi dan
masih bisa diperdebatkan.355
3. Ali Mustafa Ya‘qub.
Muhammad Mustafa al-A‘zami, guru besar ilmu hadis
Universitas King Sa‘ud Riyaḍ, Arab Saudi adalah salah satu ulama
pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang
banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan
penting A‘zami adalah disertasinya di Universitas Cambridge,
Inggris yang berjudul Studies in Early Hadith Literature (1996).
Dan Muḥammad Musṭafā al-A‘zamī merupakan salah satu guru
hadis Ali Mustafa Ya‘qub di Universitas King Sa‘ud Riyaḍ.356
Genealogi Pemikiran Ali Mustafa Ya‘qub.357
355
Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 39. 356
Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 25. 357
Ali Mustafa Ya‘qub, Wawancara Pribadi, pada tanggal 1 Oktober 2014.
Syamsuri Badawi Idris Kamali
M. M. Azami
Ali Mustafa Ya‘qub
Abdul Aziz ibn Baz
Kiai H. Sobari
Muhammad Abdul
Fattah al-Bayanuni
Muhammad Jameel Abd al-Rahman
al-Khumayis
186
Ali Mustafa Ya‘qub sangat akrab dengan hadis, dan gen
hadisnya sudah lama ia dapatkan ketika sekolah dulu. Ali Mustafa
Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan Ṣaḥīḥ
Muslim dengan cara Ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW
melalui jalur Hasyim Asy‘ari. Ijazah ini di dapatkan dari gurunya
Syamsuri Badawi. Metodologi dan manhaj dalam kajian hadis ia
dapatkan dari gurunya yang bernama Kiai H. Sobari.358
Dalam permasalahan sosial, Ali Mustafa Ya‘qub lebih
banyak dipengaruhi oleh Muhammad Jameel, ini terlihat dalam
karya Muhammad Jameel yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Bimbingan Islam untuk Pribadi dan
Masyarakat.
Ali Mustafa Ya‘qub pemikiran hadisnya lebih banyak
dipengaruhi oleh Muḥammad Musṭafa al-A‘zamī, ini bisa dilihat
dalam beberapa karya Ali Mustafa Ya‘qub, seperti Kritik Hadis,
dan karya yang lainnya.
Ali Mustafa Ya‘qub sama dengan pendapat Musṭafa Azami
dalam beberapa hal, seperti pandangannya terhadap orientalisme
dan tentang ingkar sunnah. Menurut Muhammad Musṭafa Azami
bahwa Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa
yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi
SAW, maka Josep Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak
ada satupun hadis yang otentik dari Nabi SAW, khususnya hadis-
hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.359
Perkembangan pemikiran hadis Ali Mustafa Ya‘qub juga
tidak terlepas dari bacaan dan telaah buku, seperti dalam
memahami hadis ia mengutip kepada ulama-ulama Timur Tengah
diantaranya adalah Ibnu Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī; Abd al-
Qahīr al-Baghdādī, al-Farq baina al-Firāq; Ibn Qutaibah al-
Dainurī, Ta‟wīl Mukhtalāf al-Ḥadīth; Muhammad al-Ghazalī, al-
Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth; Nūr al-
Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fi Ulūm al-Ḥadīth; Muḥammad ibn Alī
al-Shaukanī, Fatḥ al-Qadīr; Ṣubhī al-Ṣalīḥ, Mabahīth fī „Ulūm al-
358
Ali Mustafa Ya‘qub, Wawancara Pribadi, pada tanggal 1 Oktober 2014. 359
Muhammad Musṭafa Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publication, 1968), xvii.
187
Ḥadīth; Musṭafa al-Siba‘ī, al-Sunnah wa Makanatuha fī al-Tasyrī‟
al-Islāmī; Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rāwī;360
dan lain-lain.
Ali Mustafa Ya‘qub mengutip pendapat Ibnu Hajar al-
Asqalanī dalam menjelaskan beberapa hadis, diantaranya
menjelaskan tentang hadis Nabi disambut dengan qasidah ṭala‟ al-
Badru, Ibnu Hajar al-Asqalanī menjelaskan bahwa ketika Nabi
SAW datang ke Madinah dari Makkah, warga Madinah keluar dari
rumah, mereka memadati jalan-jalan, dan di atas rumah-rumah.
Sedangkan anak-anak dan para pembantu berteriak-teriak,
―Muhammad Rasulullah sudah datang, Allahu Akbar‖. Itulah
sambutan untuk Nabi SAW ketika beliau hijrah di Madinah.361
Sedangkan kutipan beliau terhadap karya Barat yaitu Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law dan The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Schacht menjelaskan bahwa bagian
terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Semua orang mengetahui
bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat
sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada
paruh kedua dari abad ketiga hijrah.362
Pendapat Schacht sangat
bertentangan dengan pendapat Ali Mustafa Ya‘qub tentang
keotentikan hadis. Ini dapat dilihat dari beberapa bukunya,
diantaranya adalah buku Kritik Hadis.
4. Kamaruddin Amin.
Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi
terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan
hadis. Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi metode-
metode yang digunakan para sarjana Muslim terdahulu,
mempertahankannya dari kritik para sarjana Barat, dan menolak
360
Ali Mustafa Ya‘qub mengutip pemikiran al-Suyuṭī dalam hal
menjelaskan tentang pemalsuan hadis. Al-Suyuṭī menjelaskan bahwa situasi yang
sudah dinilai sarat dengan kemaksiatan dan kemungkaran mendorong sementara
orang untuk membuat hadis-hadis palsu yang tujuannya mengajak orang-orang untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan maksiat. Biasanya para pemalsu
hadis dengan motivasi ini adalah oknum-oknum orang tasawuf. Lihat Jalāl al-Dīn al-
Suyuṭī, Tadrīb al-Rāwī (Keiro: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1966), 283. 361
Ibnu Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī (Keiro: Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah, 1978), 120. 362
Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 9.
Dan Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurspredence (Oxford: Clarendon
Press, 1975), 163.
188
metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan mereka. Sebaliknya,
Kamaruddin Amin mendekati isu itu dengan banyak skeptisisme
bahkan terhadap metode-metode tradisional dan modern dari para
sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga berseberangan dengan
beberapa studi Barat tentang topik yang menolak mentah-mentah
metode-metode kritik hadis para sarjana muslim sebagai naif dan
tidak bisa dipercaya tanpa menelaah dan mengujinya secara
mendalam.363
Genealogi Pemikiran Kamaruddin Amin
Guru-guru yang mempengaruhi pemikiran Kamaruddin
Amin lebih banyak berasal dari Belanda dan Jerman, salah satunya
adalah Harald Motzki yang merupakan guru besar hadis di
Universitas Nijmegen Belanda, yang sangat banyak mempengaruhi
pemikirannya sehingga ia bisa menggunakan suatu pendekatan
isnad cum matn dalam kajian hadis.364
Sedangkan pelajaran hadis
363
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi. 364
Untuk lebih jelasnya, penjelasan lebih mendetail pada sub bab selanjutnya
yang menjelaskan metode isnad cum matn yang dipakai oleh Kamaruddin Amin.
Harald Motzki G. Schoeler Said Agil Husin al-
Munawwar
Kamaruddin Amin
H. Berg
B.J. Dikken
A Gorke J.H. Kramers
U. Mitter
M. Muranyi
I Schneider J. Wellhausen
S. Wild
189
dan ilmu hadis ia dapatkan dari gurunya Said Agil Husin al-
Munawar ketika ia kuliah di Indonesia.
Gen pemikiran dari guru-gurunya yang lain yaitu B. J.
Dikken, I. Schneider, J.H. Kramers, A. Gorke, J. Wellhausen,
Umitter, G. Schoeler,365
dan lain-lain.
Pemikiran Kamaruddin Amin juga dipengaruhi oleh bacaan-
bacaan karya hadis dari Timur Tengah seperti, Badr al-Dīn Abū
Muḥammad Maḥmūd ibn Aḥmad al-‗Ainī, „Umdat al-Qarī Sharḥ
Ṣaḥīḥ al-Bukharī; M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology
and Literature; Ahmad Umar Hasyim, Qawa‟id Uṣūl al-Ḥadīth;
Ibnu Hajar al-Asqalanī, Nuzhah al-Naẓar, Sharḥ Nukhbah al-Fikar,
dan Hadī al-Sarī; Abdullāh ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta‟wīl
Mukhtalīf al-Ḥadīth; Ibnu Rajab, Sharh „Ilāl al-Tirmīdhi; Nūr al-
Dīn Itr, Manhāj al-Naqd fī Ulūm al-Ḥadīth; Abū Zakariya Muḥy al-
Dīn ibn Sharaf al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ Muslim bī Sharḥ al-Nawāwī; al-
Qasṭalānī, Irsyād al-Sharī li Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī; Musṭafa al-
Siba‘ī, al-Sunnah wa Makanatuha fī Tashrī‟ al-Islāmī; Jalāl al-Dīn
Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rawī fī Sharḥ
Taqrīb al-Nawāwī, dan Tanwīr al-Hawilik Sharḥ Muwaṭṭa al-Imām
Malik; al-Ṭahawī, Sharḥ Mushkīl al-Athar; Muḥammad ibn Abd al-
Bāqī al-Zurqanī, Sharḥ „alā Muwaṭṭa al-Imām Malik; dan lain-lain.
Kamaruddin Amin merupakan alumni dari Rheinischen
Friedrich Wlhems Universitaet Bonn, Germany, sehingga guru dan
kutipan dari karyanya kebanyakan dari tokoh Barat, di antaranya
yaitu:
1) N. Abbort, Studies in Arabic Literary Papyri;
2) J.M.S. Baljon, Pakistani Views of Hadith;
3) H. Berg, The Development of Exegesis in Early Islam; Review
of G. Schoeler und Authentie der Muslimischen Uberlieferung
uber das Leben Mohammeds;
4) D.W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought;
5) J.A.C. Brown, Criticism of The Proto-Hadith Canon: al-
Daraqutni‟s Adjusment of the Ṣaḥīḥain;
6) L. Caetani, Annali dell‟ Islam;
7) N. Calder, Studies in Early Musliim Jurisprudence;
365
Kamaruddin Amin mempelajari penanggalan atas dasar analisis sanad dan
matan dari G. Schoeler. Ini terlihat di dalam karyanya yang berjudul Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis.
190
8) M. Cook, Early Muslim Dogma, A Source Critical Study; The
Opponent of the Writing of Tradition in Early Islam;
Eschatology and the Dating of Traditions;
9) Crone P, Hagarism. The Making of The Islamic World;
10) E. Dickinson, The Development of Early Sunnite Hadith
Criticism: The Taqdima of Ibn Abi Hatim al-Razi;
11) B.J. Dikken, Muhammad, teh Jews and the Cristians: A. Short
Survey of the Position of the Jews and the Christians in Arabia
in Early Islam According to Muslim Tradition;
12) Y. Dutton, The Origins of Islamic Law;
13) J. Van Ess, Zwischenn Hadith und Theologie;
14) W. Graham, Divine Word and Prophetic Word in Early Islam:
A Reconsideration of the Sources, with Special References to
the Divine Saying or hadtih Qudsi;
15) J.H. Kramers, Une Tradition a Tendence Manichenne, La
Ymangeuse de verdure;
16) G. Schoeler, Charakter und Authentie de muslimischen
Uberlieferung uber das Leben Mohammeds;
17) H. Motzki, Al-Radd „ala radd- Zur Methodik der hadith
Analyse; Hadith Origin and Development;366
dan lain-lain.
366
Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap
interpretasi Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis. Karena
menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan sebagai pemalsu
hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang menunjukkan beliau sebagai
pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzki Common Link tersebut lebih relevan
dikatakan sebagai penghimpun hadis yang pertama, yang berperan sebagai perekam
dan meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah
sistem belajar yang terlembaga dan berkembang.
Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis
saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka
terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi
riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link hanya
mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling
terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common Link menambah
informan yang paling cocok apabila mereka informan yang sebenarnya.
Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori
Harald Motzki tentang jalur tunggal (Single Strand), yaitu sebagai berikut:
a. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan
b. Jalur tunggal berarti bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari
koleksinya hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling
diketahui dan dinilai paling otoritatif.
191
Kamaruddin Amin merupakan salah satu pengkaji hadis
yang merupakan sarjana alumni Barat, dan bisa jadi ia adalah satu-
satunya pengkaji hadis Indonesia yang kuliah di Barat. Sehingga
guru dan kutipan dalam bukunya kebanyakan dari Barat. Dari
pengamatan penulis, pemikiran hadis Kamaruddin Amin banyak
dipengaruhi oleh Harald Motzki dan G. Schoeler.
Harald Motzki adalah Guru Besar Hadis di Belanda, ia
menggunakan metode isnad cum matn dalam menganalisis hadis,
dan yang mendukungnya adalah Gregor Schoeler. Menurut Gregor
Schoeler common link tidak harus dipahami sebagai pemalsu hadis.
Hal tersebut dapat dibuktikan pada hadis tentang al-ifk, yang
memiliki common link al-Zuhri (w.124) dan benar-benar
informannya (gurunya) adalah ‗Urwah ibn al-Zubair (w.94) dan dia
tidak memalsukan hadis.367
Perbedaan metode yang dipakai oleh Kamaruddin Amin
dengan Harald Motzki dalam menggunakan metode isnad cum
matn, adalah ketika menganalisis hadis tentang Ṣaum, Kamaruddin
Amin analisisnya lebih akurat dan jelas dibandingkan dengan
Harald Motzki. Penanggalan hadis-hadis dengan metode isnad cum
matn yang menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks-teks
matan hadis. Dalam metode ini sanad-sanad dari versi-versi tersebut
diperiksa dengan membandingkan teks-teks dari versi-versi itu pada
level-level periwayatannya yang berbeda. Dia mengkaji secara
sistematik 163 versi hadis tentang puasa yang ditemukan dalam 39
sumber. Dia secara cermat membandingkan varian-varian teks yang
c. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang karena
Common Link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau karena
versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat Common Link.
Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang
beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang
menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya mustahil
pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak awal, sebab
praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam. Oleh karena itu,
Irene Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui bahwa Common
Link telah memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur riwayat. Lihat
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:
Mizan Publika, 2009), 85. 367
H. Motzki, Al-Radd „ala radd- Zur Methodik der hadith Analyse; Hadith
Origin and Development, 1-36. Dan lihat penjelasan dari G. Schoeler, Charakter und
Authentie de muslimischen Uberlieferung uber das Leben Mohammeds (Berlin, 1996).
192
dimiliki oleh satu bundel sanad, merekonstruksi elemen-elemen
tekstual yang dimiliki bersama dan mencatat perbedaan-perbedaan
dari versi-versi tersebut. Dengan menggunakan metode ini dapat
ditunjukkan bahwa kesamaan umum dan perbedaan versi teks-tek
tersebut dapat diberikan pada perawi-perawi tertentu dan kemudian
diberi penanggalan. Hasil penelaahan hadis tentang puasa dengan
metode ini mengidentifikasi dua cabang periwayatan yang versinya
berbeda-beda dalam cakupan tekstualnya. Kedua cabang itu
kembali kepada sahabat Abu Hurairah (w.58 H) yang dapat
dianggap sebagai perawi dari kedua versi hadis tentang puasa
tersebut.
Meskipun kritik matan mendapat perhatian sejumlah ulama
Muslim, tetapi kritik sanad-lah yang telah mendapat perhatian
utama. Kualitas periwayatan secara esensial ditentukan oleh
kualitas para perawi. Kualitas mereka kebanyakan dinilai atas dasar
penilaian para kritikus klasik, meskipun riwayat seorang perawi
harus dibandingkan dengan riwayat perawi lain.
F. Keontetikan Karya Pengkaji Hadis di Indonesia.
Sejalan dengan perjalanan waktu, umat manusia menghadapi
berbagai permasalahan yang harus disikapi dan dijalankan dengan baik.
Bagi umat Islam, permasalahan yang timbul kapan dan dimanapun
harus dikembalikan kepada pegangan hidup mereka yang telah
ditetapkan yaitu al-Qur‘an dan Hadis Nabi. Pada satu sisi, al-Qur‘an
maupun hadis dianggap pedoman yang siap kapan saja untuk dijadikan
rujukan terhadap semua permasalahan yang dihadapi. Namun, dalam
tataran prakteknya, tidak semudah mengemukakannya dalam teori
semata. Banyak ayat-ayat al-Qur‘an maupun hadis yang mempunyai
makna ganda, yang disebabkan tingginya nilai sastra yang dimiliki oleh
kedua teks tersebut. Sehingga perlu usaha yang mendalam dan serius
untuk menggali dalil-dalil tersebut agar menjadi pedoman praktis untuk
dilaksanakan dengan mudah dan meyakinkan kebenarannya.
Para ulama, tidak pernah berhenti berkarya untuk menghasilkan
suatu pedoman hidup yang bersifat praktis bagi masyarakat yang
mempunyai tingkatan intelektual yang varian dalam berbagai
lingkungan kehidupan mereka. Di antara mereka telah berusaha
menghimpun kedua teks normatif tersebut ke dalam format-format
tertentu, yang mereka anggap mudah untuk dibuka dan dipedomani
oleh segala generasi dari waktu ke waktu. Dalam tataran metodologis,
193
mereka juga telah memperkenalkan dan tidak lupa mempraktekkannya
sehingga pemahaman yang dilakukan oleh umat Islam sekarang ini
mempunyai sumber dan sandaran dalam pemahamannya. Berbagai
inovasi yang telah dipelopori tersebut menjadi modal yang cukup
memadai bagi pengembangan pemahaman dan penggalian makna
kedua teks tersebut di masa sekarang dan akan datang.368
Dalam bidang hadis juga tidak kurang frekuensinya, para ulama
hadis ternyata telah berusaha menafsirkan makna hadis-hadis yang
telah dibukukan oleh ulama sebelumnya. Upaya ulama pensyarah
tersebut menjadi inspirasi para ulama hadis yang datang pada masa
setelah mereka untuk menghasilkan buah karya dalam bidang
pemahaman makna hadis yang beragam pula. Salah satu metode yang
sebelumnya populer dalam penafsiran al-Qur‘an dan pemahaman hadis
yaitu metode mauḍu‟ī, pada masa-masa selanjutnya mulai pula dicoba
terapkan beberapa metode dalam memahami al-Qur‘an dan hadis Nabi.
Sekalipun kendala yang dihadapi cukup berarti, namun upaya tersebut
membuahkan hasil berupa karya-karya yang menjadi pedoman bagi
penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi. Upaya-upaya ilmiah
dalam segi pemahaman teks hadis ini tentunya akan terus berkembang
sesuai dengan perkembangan sekaligus kompliksnya problema yang
dihadapi dalam kehidupan umat Islam.
Hal ini dapat dilihat dari pemikiran dari pengkaji hadis di
Indonesia, seperti pemikiran Syuhudi Ismail tentang masalah-masalah
kontemporer. Yang dimaksud dengan beberapa pemikiran Syuhudi
Ismail tentang masalah-masalah kontemporer adalah pandangannya
terhadap masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat pada
368
Kitab al-Qur‘an maupun kitab-kitab yang memuat hadis Nabi, menjadi
bukti nyata keseriusan para ulama masa awal melestarikan kedua teks pedoman umat
di mana dan kapanpun. Para ulama setelahnya menyambut dengan hangat pula
dengan cara melakukan pemahaman-pemahaman yang mendalam, di samping
menutupi aspek-aspek yang mungkin masih perlu dikaji lebih lanjut. Pemahaman
terhadap teks-teks al-Qur‘an melahirkan berbagai bentuk dan corak penafsiran sesuai
dengan latar belakang keilmuan serta lingkungan tempat mereka hidup. Karya-karya
besar mereka menjadi pedoman bagi umat Islam sekarang, baik bagi mereka yang
hanya menjadikan tafsir sebagai pedoman dalam mengamalkan berbagai praktek
ibadah, maupun bagi mereka yang mengembangkan penafsiran ke arah yang lebih
beragam lagi. Lihat Abdul Wahid, Hadis Nabi dan Problematika Masa Kini
(Yogyakarta: AK Group, 2007), 2; Cristhoper Melchert, The Development of Early
Sunnite Hadith Criticism. The Taqdima of Ibn Aabi Hatim al-Razi (240/854-
327/938). Journal Islamic Law.(2003), 249-251. http://www.jstor.org/stable/3399254.
(Accessed: 20/04/2014).
194
masanya berdasarkan pemahamannya terhadap hadis Nabi, di samping
dalil-dalil lain. Beberapa pemikiran tersebut, antara lain hadis tentang
misogino, bedah plastik, sewa rahim, euthanasia dan masalah-masalah
lainnya.369
Said Agil Husin al-Munawar menyatakan bahwa dalam metode
pemahaman hadis semua hadis dipahami secara sama, tanpa
membedakan struktur dari sebuah hadis, riwayat bi al-lafaz atau bi al-
ma‟nā, bidang isi hadis yang muṭlaq dan muqayyad, yang menyangkut
akidah, ibadah dan muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam
memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil
mereka yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik
konteks historis maupun konteks antropologis yang merupakan sebuah
kemungkinan. Kemungkinan pendekatan baru nampaknya menghadapi
problema-problema yang perlu pemecahan yang bijaksana.370
369
Pemahaman beliau terhadap masalah lain yaitu, pemahaman terhadap
hadis yang menjelaskan sunnah hasanah. Arti hadisnya yaitu:
Rasulullah SAW bersabda: ―Siapa menciptakan tradisi yang baik menurut
ajaran Islam, maka ia pasti mendapatkan pahalanya dan pahala bagi orang
yang mengikuti sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari
mereka yang mengikutinya; dan siapa yang menciptakan tradisi yang jelek
menurut ajaran Islam, maka iapun pasti mendapatkan dosanya dan dosa
bagi orang yang mengikuti sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa
dari mereka yang mengikutinya. (HR. Muslim).
Al-Nawāwī (w. 676 H) menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan posisi
orang yang memulai atau menciptakan tradisi baru. Yakni, jika tradisi itu baik, maka
ia akan mendapatkan pahalanya beserta pahala tambahan dari orang yang
mengikutinya; dan jika tradisi itu jelek, maka ia akan mendapatkan dosanya beserta
dosa yang mengikutinya. Di samping itu, hadis itu merupakan takhṣīṣ (pengkhususan)
bagi hadis Nabi tentang perbuatan yang baru dinilai sebagai perbuatan bid‘ah yang
merupakan kesesatan. Lihat al-Nawawi, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz. VII, 104.
Menurut Syuhudi Ismail, apabila masyarakat mampu menciptakan berbagai
sunnah hasanah, maka hal itu berarti bahwa masyarakat mampu menciptakan budaya
yang baik dan selanjutnya menjadi salah satu penggerak dan pendorong bagi
kehidupan generasi berikutnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa keberhasilan
mengembangkan kreasi-kreasi baru dalam berbagai bentuk sunnah hasanah
merupakan pertanda dapat diredam seminimal mungkin munculnya sikap hidup
individualistis dalam masyarakat. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Sumber Daya
Manusia dalam Pembangunan menurut Perspektif Islam (Ujungpandang: Badan
Pengurus Pusat KKN IAIN Alauddin Ujungpandang, 1992), 6-7. 370
Dapat juga dilakukan pemahaman dengan menggunakan rasio walaupun
tidak begitu dominan seperti pada periode-periode setelah sahabat. Standar yang harus
diperhatikan adalah dengan memperhatikan ‗illat-nya itu sendiri, apakah ia manṣuṣah
195
Berbeda dengan Kamaruddin Amin, dalam bukunya ia
menggunakan metode isnad cum matn dalam meneliti hadis, yaitu
dengan meneliti dan mengidentifikasi siapa yang mungkin menjadi
perawi asal dari hadis yang sedang diteliti dan versi mana dan apa yang
menjadi teks aslinya. Setelah mengklasifikasi dan mengidentifikasi
siapa yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti ini dari perawi
mana, memulai penelitian dari klaim perawi-perawi termuda, yakni
para penghimpun (mukharīj). Setelah dianalisis dan membandingkan
klaim para penghimpun telah menerima hadis tersebut dari masing-
masing informannya. Demikian pula, klaim informan-informan ini
telah menyampaikan hadis dari sumbernya masing-masing
dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Prosedur ini diterapkan
dari perawi pertama sampai terakhir.371
yang bersifat ta‟ābudī atau mustanbaṭah yang ta‟āqqulī yang dapat dikembangkan
penafsirannya. Sebagai contoh ada sejumlah hadis yang memerlukan metode
pemahaman secara rasional, antara lain ialah hadis yang memerintahkan wudhu‘
kembali apabila makan sesuatu yang disentuh api; wudhu‘ bagi mereka yang
membawa jenazah; mencuci tangan kepada mereka yang bangun dari tidur, dan lain-
lain. Begitulah gambaran dari langkah-langkah yang diambil oleh para sahabat sekitar
pemahaman mereka terhadap hadis, tarjih mereka lakukan dengan proses yang begitu
dekat. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 109-113; Susan Spectorsky, Hadith and Fiqh.
The Journal Islamic Law and Society, Vol. 8 (2001). 299-302.
http://www.jstor.org/stable/3399447. (Accessed: 20/04/2014). 371
Dalam permasalahan ini, Kamaruddin Amin mencontohkan dengan
penelitian terhadap hadis Ṣaum, hadisnya adalah:
Dari Nabi SAW. Meriwayatkannya dari Tuhan-mu, ia berkata: untuk setiap
perbuatan dan kafarahnya, dan puasa (dimaksudkan) untuk-Ku dan Aku
akan membalasnya. Dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa
lebih harum daripada wewangian.
Dengan menerapkan metode isnad cum matn untuk merekonstruksi sejarah
periwayatan yang dikaji, sampai pada kesimpulan bahwa hadis-hadis tersebut sudah
beredar pada paruh pertama abad pertama hijriah. Adalah sahabat Nabi, Abu Hurairah
(w. 58/59 H), yang menyebarkan hadis tersebut. Kesimpulan ini bertentangan secara
fundamental dengan asumsi sebagian besar sarjana non muslim Barat yang
menganggap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi sebagai hasil pemalsuan
paruh pertama abad kedua hijriah dan selanjutnya. Berbeda dari asumsi ini, terdapat
banyak alasan dan justifikasi untuk menyandarkan hadis yang sedang diteliti ini
kepada Abū Hurairah. Analisis perbandingan terhadap varian teks hadis-hadis yang
disandarkan kepada Abū Hurairah oleh murid-muridnya dan perawi-perawinya
mengungkap bahwa dari 18 murid dan perawi dari Abū Hurairah, yang dilaporkan
meriwayatkan hadis-hadis tersebut darinya secara pasti atau benar-benar menerima
196
Menurut Kamaruddin Amin, wacana mengenai otentisitas,
validitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis adalah hal yang
paling fundamental dalam kajian hadis. Keraguan sebagian sarjana
Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-
Qur‘an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas
otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan
metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.
Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka
semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari
kemungkinan-kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil
tersebut bisa menjadi collapse (Roboh).372
Jika dilihat metodologi kajian hadis yang dipakai oleh sarjana
Timur Tengah, seperti yang dipakai oleh Ibnu Hajar al-‗Asqālanī telah
membahas hadis-hadis tentang pemimpin berasal dari Quraish secara
panjang lebar.373
Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali
dan meriwayatkan hadis tersebut darinya. Hadis-hadis mereka memiliki kekhasan
masing-masing, yang membedakannya dari yang lain. Kekhasannya yang substantif
menegaskan indepedensinya masing-masing.
Dengan metode isnad cum matn, tidak ada hadis lain yang dapat dijadikan
penguat terhadap hadis Abū Hurairah. Itu berarti bahwa hadis Abū Hurairah tidak
dapat dengan yakin disandarkan kepada Nabi, karena klaim Abū Hurairah telah
mendengar hadis tersebut dari Nabi tidak dapat dicek. Mungkin benar, mungkin juga
tidak. Jadi, kalau istilah hadis ‖mutawatir” diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan
secara masif dalam setiap generasi setelah Nabi sampai penghimpun hadis, hadis yang
sedang dikaji ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai mutawatir. Akan tetapi hanya
dapat dipastikan bahwa hadis-hadis tersebut adalah hadis Abū Hurairah. Lihat
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:
Mizan, 2009), 459-460. 372
Kamaruddin Amin, ―Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence
Meccan Fiqh before the Classical School‖, Al-Jami‟ah: Journal of Islamic Studies,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), 23. 373
Hadisnya adalah:
حذثا كع حذثا االعش ع صم أب األصذ ع بكش انجزسي ع أش لال كا ف بت
سجم ي األصاس فجاء انب صهى هللا عه صهى حتى لف فأخز بعضادة انباب فمال األئت
ارا ي لشش نى عهكى حك نكى يثم رنك يا ارا اصتشحا سحا ارا حكا عذنا
. عاذا فا ف نى فعم رنك يى فعه نعت هللا انالئكت اناس أجعArtinya: “Waqi‟ telah menceritakan kepada kami, A‟mash telah menceritakan kepada
kami dari Sahal Abī al-Asad dari Bukair al-Jazarī dari Anas berkata:
kami berada di rumah salah seorang Anṣar, lalu Nabi SAW datang
kemudian berdiri membelakangi pintu lalu bersabda: “Pemimpin itu
dari suku Quraish. Dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan
kamu juga mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka
197
dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan
kepala Negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku
Quraish. Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang
menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari
suku quraish. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut
tidak dapat diartikan sebagai kepala Negara (al-imamah al-„uzhma).374
Menurut al-Qurṭubī, kepala Negara disyaratkan harus dari suku
Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal
satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala Negara.375
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna
dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan
karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam
selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut
dikemukakan oleh Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai
Rasulullah dan berlaku secara universal.
Hadis ini sebenarnya tidak mushkil apabila dipahami dengan
menggunakan pendekatan bahasa dan sosiologi. Yang dimaksud
dengan pendekatan bahasa adalah memahami hadis dengan melihat
struktur bahasa yang terdapat dalam hads dan makna semantik –
dalalah-nya. Adapun pendekatan sosiologi dalam pemahaman hadis
tersebut adalah memahami hadis Nabi ini dengan memperhatikan dan
menguak realitas dan setting sosial pada saat hadis tersebut disabdakan
oleh Nabi SAW serta keterkaitannya dengan pendapat yang
berkembang seputar pemahaman teks hadis.
Hadis-hadis Nabi SAW tentang kepemimpinan Quraisy dilihat
dari kritik sanad dan matan adalah shahih. Apabila dilihat dari struktur
bahasa yang digunakan, maka bentuk dari hadis tersebut adalah hadis
dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun. Jika
mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang
tidak berlaku demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari
Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya”.
Lihat Ahmad ibn Hanbal Abū Abdillāh asy-Syaibānī, Musnad Imam Aḥmad
ibn Ḥanbal (Keiro: Mu‘assasah Qurtubah, tth) Jilid 3, 183. 374
Ahmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz VI, 526-536; Basheer M. Nafi, A Teacher of
Ibn ‗Abd al-Wahhab: Muhammad Hayat al-Sindi and the Revival of Ahab al-Hadith‘s
Methodology. Journal Islamic Law and Society, Vol. 13 (2006)
http://www.jstor.org/stable/40377907. (Accessed: 20/04/2014). 375
Ahmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), 118
198
ikhbar (informatif) dan tidak ada satupun hadis yang berbentuk
perintah. Bentuk ikhbar, meski mengandung pengertian tuntutan secara
pasti sepanjang tidak dibarengi dengan qarinah atau isyarat yang
menunjukkan penegasan. Hadis-hadis yang ada tentang hal itu tidak
disertasi qarinah apapun. Dengan demikian hadis-hadis tersebut
menunjukkah perintah sunnah (sesuatu yang apabila dikerjakan
mendapat pahala), bukan perintah wajib. Informasi ini menunjukkan
bahwa sebaiknya kepala negara itu dipilih dari kaum Quraish, sebab
secara sosiologis, mereka adalah kaum berpengaruh, berwibawa dan
cakap sehingga memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah
pada waktu itu.376
Apabila kandungan hadis di atas dihubungkan dengan fungsi
Nabi SAW, maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu
dinyatakan, Nabi SAW berada dalam fungsinya sebagai kepala Negara
atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara
lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat
mengutamakan orang suku Quraish. Hal ini tidak sejalan dengan
petunjuk al-Qur‘an, misalnya yang menyatakan bahwa orang yang
paling utama di hadapan Allah SWT adalah orang yang paling
bertaqwa.377
Jadi hadis ini dikemukakan Nabi SAW sebagai ajaran
yang bersifat temporal.
Yusuf al-Qaraḍāwī turut menawarkan cara untuk memahami
hadis selain yang telah dipaparkan di atas. Menurutnya, untuk
memahami hadis dengan baik adalah dengan cara.378
9) Memahami sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an
10) Mengimpun hadis dalam satu tema
376
Makna dalalah tersebut juga didukung dengan materi hadis lain yang
secara sosiologis, tidak menyuarakan unsur sektarian-primordial, yakni hadis yang
menyatakan bahwa keharusan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun
pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Realitas empiris yang terjadi pada kehidupan
politik, Rasulullah SAW pernah mengangkat Abdullah ibn Rawahah, Zaid ibn
Harithah, dan Usamah ibn Zaid menjadi amir, padahal mereka bukan keturunan
Quraish. Ini berarti Rasulullah SAW pernah mengangkat orang non Quraish menjadi
amir. Oleh karena itu, tindakan Rasulullah mengangkat orang selain Quraish menjadi
pemimpin menjadi dalil bahwa wewenang memerintah tidak terbatas pada kalangan
Quraish. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Yogyakarta: Teras, 2008), 94-95. 377
al-Qur‘ân surat al-Hujurat ayat 13 378
Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Bandung:
Karisma, 1994). 92-195.
199
11) Mencoba mengkompromikan atau men-tarjīḥ hadis-hadis
mukhtalīf
12) Memahami hadis dengan bantuan sebab munculnya dan tujuan
(maqaṣid-nya)
13) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang
tetap
14) Membedakan hakikat dan majazi
15) Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib
16) Memastikan kandungan lafaz.
Langkah-langkah dalam memahami hadis yang diterapkan oleh
Yusuf al-Qaraḍawī ini juga dipakai oleh ulama lain seperti Muhammad
al-Ghazalī yang beliau tuangkan dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis
Nabi SAW; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Judul asli:
as-Sunnah al-Nabāwiyah Abinan Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth,
penterjemah: Muhammad al-Baqir).
Ada pun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya dalam
memahami hadis terutama hadis-hadis aḥkam (hadis-hadis yang
berkaitan dengan hukum syari‘at) adalah pendekatan kaidah uṣul, yaitu
memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan
mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah uṣul terkait yang telah
dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena
untuk memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-istinbaṭ-
kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat kaitannya
dengan kajian ilmu uṣul.379
Pendekatan dengan memperhatikan kaidah
uṣul ini telah dipraktekkan oleh Imam al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan
permasalahan pemahaman hadis-hadis mukhtalif.
Usaha memahami hadis Nabi SAW ternyata menghembuskan
angin segar di kalangan ulama, karena mereka laksana mendapatkan
ilham dan sekaligus telah membuka wacana pemikiran bagi intelektual
muslim hingga abad ini. Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk
memahami hadis dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang
benar. Semua usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan panduan
dalam kehidupan.
Jika dilihat metodologi sarjana Barat, seperti Josep Schacht,
Juynboll, Ignaz Golziher, Harald Motzki, dan lain-lain, dalam kajian
hadis, mereka lebih banyak melakukan penelitian terhadap keotentikan
379
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
(Padang: IAIN IB Press, 1999), 98.
200
hadis. Seperti cara kerja teori common link, metode rekonstruksi dan
analisis sanad, setelah diketahui secara umum bahwa setiap hadis
terdiri dari dua bagian. Di bagian pertama terdapat rangkaian (silsilah)
nama-nama periwayat dari otoritas yang paling tua, yang dalam
berbagai koleksi hadis mewujud dalam pribadi Nabi SAW. yang
mengarah kepada para periwayat yang termuda, yaitu para penghimpun
Hadis, seperti al-Bukharī (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/ 875
M), Abū Dāud (w.275 H/889 M). At-Tirmidhi (w.279 H/892 M), al-
Nasa‘ī (w. 303 H/915 M), Ibnu Majah (w. 273 H/887 M). Rangkaian
yang berisi sejumlah nama periwayat yang menjembatani masa antara
Nabi dan para penghimpun hadis ini disebut dengan sanad. Dalam
berbagai hadis, jalur sanad tersebut rata-rata berisi lima, enam, atau
tujuh nama periwayat, tetapi dalam kitab al-Muwatha‟ Malik (w.179
H/795 M). Misalnya, jalur itu hanya terdiri dari tiga nama. Sementara
bagian kedua, yang berisi susunan kata aktual tentang apa yang
dianggap pernah dikatakan atau dilakukan oleh Nabi disebut matan
(teks hadis).
Matan hadis itu dapat dinyatakan otentik jika rangkaian para
periwayat dalam isnad memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam
metode kritik hadis. Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa
dalam meneliti laporan atau hadis, para ulama hadis lebih menekankan
penelitian isnad daripada matan. Jika isnad sebuah hadis terdiri dari
orang-orang yang dapat dipercaya maka hadis itu dinyatakan ṣaḥīḥ, dan
sebaliknya, jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dapat
dipercaya maka hadis itu tidak dapat diterima. Dalam sejarah
periwayatan hadis memang telah terjadi pemalsuan sejumlah hadis.
Akan tetapi hadis-hadis yang dianggap lemah dan palsu itu telah
dipisahkan dari yang otentik oleh para ahli dengan menggunakan
metode kritik isnad. Oleh karena itu, hadis Nabi secara keseluruhan
sudah berhasil dihimpun dalam koleksi hadis pada abad III H/IV M.
Dengan demikian proses penyeleksian antara hadis otentik dan hadis
lemah maupun hadis palsu. Menurut para ahli hadis sudah dianggap
final.
Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai hadis, khususnya yang
menggunakan teori Common Link dan metode analisis sanad, penulis
dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
201
menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu
adalah:380
1) Menentukan hadis yang akan diteliti
2) Menelususri hadis dalam berbagai koleksi Hadis
3) Menghimpun seluruh sanad hadis
4) Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur sanad dalam satu
bundel sanad.
5) Mendeteksi Common Link, periwayat yang bertanggung jawab
atas penyebaran hadis
Dalam kasus hadis yang merendahkan martabat perempuan,
Juynboll juga menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-
langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah:381
1) Mencari matan yang sejalan.
2) Mengidentifikasi Common Link yang terdapat pada matan yang
sejalan.
3) Menentukan Common Link yang tertua.
4) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadis yang
sejalan.
Sedangkan hadis menurut Harald Motzki adalah sebuah teks
yang memuat Informasi Nabi Muhammad SAW dan sahabat-
sahabatnya, yang memiliki jalur transmisi (periwayatan) dari mereka.
Keaslian teks-teks ini menjadi isu perdebatan yang utama pada
keilmuan Islam sekarang. Terutama setelah adanya teori Projecting
Back oleh Schaht yang menyatakan bahwa isnad atau mata rantai sanad
adalah buatan para ulama abad ke-2 H untuk menguatkan legitimasi
hukum-hukum yang ada pada saat itu dengan menyandarkan pada
tokoh-tokoh sebelumnya hingga pada Nabi SAW.
380
G.H.A. Juynboll, Some Notes on Islam‟s First Fuqaha‟ Distilled from
Early Hadith Literature” dalam G.H.A. Juynboll, Studies on the Origins and Use of
Islamic Hadith (Great Britain: Variorum, 1996), 1-27. Dan Muslim Tradition; Studies
in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge
University, 1983), 1-32; G.H.A. Juynboll, Hadith in Modern Islam by Roberto
Tottoli: Claudio Lo Jacono. The Journal Islamic Law and Society, Vol.11 (2004).
http://www.jstor.org/stable/3399385. (Accessed: 20/04/2014). 381
G.H.A. Juynboll, Some Notes on Islam‟s First Fuqaha‟ Distilled from
Early Hadith Literature” dalam G.H.A. Juynboll, Studies on the Origins and Use of
Islamic Hadith (Great Britain: Variorum, 1996), 1-27. Dan Muslim Tradition; Studies
in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge
University, 1983), 1-32.
202
Walaupun pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Schaht,
akan tetapi dalam hal ini, Motzki tidak setuju dengan pendapat Schaht.
Oleh karena itu, beliau meneliti sebuah Musannaf (sebuah kitab hadis
dengan corak fikih) sebagai jawaban atas otensitas hadis yang memang
benar-benar berasal dari abad pertama Hijriah atau berasal dari Nabi
Muhammad SAW.
Dalam melakukan penelitian ini, beliau menggunakan teori
dating, yaitu menentukan asal-muasal terhadap sumber sejarah yang
merupakan salah satu substansi sejarah. Beliau berasumsi, ketika data
sejarah, yakni kitab Musannaf al-Ṣan‟anī terbukti sebagai dokumentasi
sejarah pada abad pertama Hijriah yang otentik, maka apa yang ada di
dalamnya merupakan rekaman berabagai persoalan hukum Islam
(hadis-hadis) yang secara tidak langsung diakui otensitasnya.
Adapun untuk melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang
terdapat di dalam Musannaf tersebut, beliau menggunakan metode
Isnad cum Matn Analys, yaitu dengan menganalisa sanad dan matan
hadis dengan menggunakan pendekatan Traditional-Historical. Metode
ini bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi
yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya yang terpisah dan
memfokuskan diri pada meteri-materi tertentu daripada hadis-hadis
yang terkumpul pada topik-topik tertentu.382
Oleh karena kitab tersebut terdiri dari 11 Juz dengan jumlah
hadis mencapai 21.033 hadis, beliau memfokuskan diri dengan
menggunakan metode sampling. Yaitu dengan mengangkat beberapa
bagian yang penting (hadis) yang dianggap mewakili secara
keseluruhan. Dalam hal ini beliau meneliti 21 % hadis dari keseluruhan
hadis yang ada di kitab tersebut, yaitu sekitar 3810 hadis.383
Hadis-hadis tersebut mempunyai beberapa rawi yang menjadi
fokus penelitian sanad yang merupakan sumber utama untuk
mengetahui keaslian hadis tersebut bersambung pada Nabi SAW. Ada
tiga perawi yang merupakan guru-guru paling berpengaruh bagi al-
Ṣan‘anī yang menjadi fokus penelitian sanad motzki, yaitu Ma‘mar, Ibn
Juraij dan Sufyan ats Tsauri.
382 Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispudence : Meccan Fiqh before
The Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), 58-59, dan ―The Musannaf
Abdul Razaq al Shan‘aniy : a Source of Authentic Ahadith of First Century‖, Journal
of Near Estern Studies, Vol. 50, 1. 383
Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispudence : Meccan Fiqh before
The Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), 58-59,
203
Dari hasil penelitian tersebut, beliau mengungkapkan bahwa
dari segi materi hadis, al-Ṣan‘anī memiliki keunikan tersendiri. Dan
hampir tidak mungkin seorang pemalsu dapat memberikan sumber
yang begitu bervariasi. Belum lagi jika penelitian ini difokuskan pada
asal perawi dan karakter teks yang diriwayatkan.
Beliau melanjutkan, faktor lainnya adalah gaya penyajian al
Ṣan‘aniy yang terkadang secara jujur mengakui ketidakpastian sebuah
riwayat. Suatu hal yang tidak mungkin ditemui pada orang-orang yang
melakukan pemalsuan. Oleh karena itu, pada Musannaf ini jelas bahwa
sebuah hadis itu memang sudah ada sejak abad pertama hijriah dan
bersambung pada Nabi SAW. serta diriwayatkan oleh para sahabat,
hingga otensitasnya terjaga sampai pada masa kodifikasi.
Adapun kelebihan dari hasil penelitian beliau adalah beliau
mampu menjelaskan secara logis tentang otensitas hadis yang
didasarkan pada data sejarah. Selain itu, beliau juga menggunakan
literatur-literatur hadis yang sering digunakan oleh umat Islam. Dan
kekurangannya adalah kurangnya interpretasi sejarah karena beliau
hanya terfokus pada otensitas hadis. Selain itu, beliau juga hanya
terpaku pada kajian kitab Musannaf al-Ṣan‟anī yang tidak bisa
digeneralisir pada kitab-kitab hadis lainnya, karena setiap kitab hadis
memiliki ciri khas tersendiri.
Pada penjelasan di atas menampakkan keotentikan karya
pengkaji hadis Indonesia yang berbeda dengan kajian ulama lain di
Timur Tengah dan kajian sarjana Barat. Pengkaji hadis Indonesia
memakai metodologi kajian hadis yang lebih ilmiah, logika-deduktif,
dan konteks-sosio-psikologis.
G. Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia.
Dalam sub bab ini dijelaskan tentang signifikansi pergeseran
studi hadis di Indonesia, dalam hal ini dilihat dari karya-karya pengkaji
hadis di Indonesia, di antaranya Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil
Husin al-Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Kamaruddin Amin, dan
pengkaji hadis Indonesia lainnya.
1. Signifikansi Pergeseran Kajian Hadis
Seiring dengan perjalanan sejarahnya, studi hadis telah
mengalami perkembangan tanpa henti yang terus secara sinergis-
akumulatif menemukan momentumnya. Adapun di antara
perkembangan yang terjadi dalam studi hadis adalah dari segi
manhāj dan dari segi pengembangan cabang kajian hadis.
204
Pergeseran yang terjadi dalam manhāj adalah terlihatnya
perubahan sistematika penyusunan literatur hadis dari satu tokoh ke
tokoh lain di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari unsur
kepentingan serta kondisi yang mempengaruhinya. Sedangkan
pergeseran dalam mengembangkan studi hadis tidak terlepas dari
cara pandang tokoh terhadap kaidah-kaidah yang diberlakukan
untuk menjadi tolak ukur penelitian hadis.
Di samping itu, menurut Roolvink, literatur Indonesia sejak
masa awal dapat diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-
cerita yang di ambil dari al-Qur‘an (Kuranic‟s tales) atau cerita
tentang Nabi dan person lain yang namanya disebut dalam Al-
Qur‘an. Contoh karya ini seperti Hikayat Anbiya‟, Hikayat Yusuf,
dan sebagainya. kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad
SAW. ketiga, cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman
dengan Nabi (sahabat atau lainnya). Keempat, cerita tentang
pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang terkenal, seperti
Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya. Kelima, karya-karya yang
berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut Roolvink,
umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga pilar
Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. Bentuk hadis
sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak dijumpai dalam
kategori ini.384
Jika dilihat pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail dalam hal
metodologi pemahaman keagamaan, ada kesamaan antara Syuhudi
Ismail dengan Fazlur Rahman, yakni keduanya menekankan aspek
kesejarahan suatu hadis (asbāb wurūd al-ḥadīth). Hanya saja, tidak
ditemukan dalam karya-karya Syuhudi Ismail yang secara eksplisit
dan mengutip langsung metode kritik sejarah (historico-critical
method) yang dikemukakan oleh Fazlurrahman.
Salah satu kekuatan Syuhudi Ismail dalam hal metodologi
adalah kemampuannya menanggapi kritik sesuai dengan
pendekatan yang digunakan oleh mereka yang dikritiknya secara
sistematis dan obyektif. Namun, Syuhudi Ismail tidak
mengemukakan secara teoritis konsep kritik sejarah terhadap hadis
Nabi, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman terhadap
384
R. Roolvink, ―Indonesian Literature‖ dalam Encyclopedia of Islam
(Leiden: E. J. Brill, t.th.), 1230-1235; Howard Federspiel, ―Hadith‖ Literature in
Twentieth Century Indonesia. Journal Oriente Moderno, (2002).
http://www.jstor.org/stable/25817815. (Accessed: 14/05/2014).
205
metodologi pembaharuan hukum Islam. Di samping itu, Syuhudi
Ismail juga tidak mengajukan bukti-bukti konkrit berdasarkan hasil
penelitian terhadap sumber-sumber primer (klasik), kecuali hanya
bersifat umum, sebagaimana dilakukan oleh Azami. Dalam hal ini,
Syuhudi Ismail tampaknya tidak memiliki data historis tentang
proses terbentuknya transmisi hadis yang cukup ketika ia memiliki
pengetahuan tentang metode kritik sejarah.385
Kandungan inovatif pemikiran Syuhudi Ismail, antara lain
pembuktian terhadap kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis sebagai
metode ilmiah,386
merumuskan langkah-langkah sistematis tentang
385
Selain yang disebutkan di atas, secara tidak langsung, pengembangan
pemikiran Syuhudi Ismail juga didasarkan pada pemikiran ulama klasik, seperti imam
al-Shafi‘ī (204 H) dalam hal metodologi penyelesaian hadis-hadis yang tampak
bertentangan dan kritik atas para pengingkar hadis Nabi sebagai salah satu sumber
ajaran Islam, dan Ibnu Ṣalah (643 H) dan al-Nawāwī (676 H) dalam hal kaidah ke-
ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Syuhudi Ismail tetap menjaga
kesinambungan dan pengembangan hadis Nabi. Lihat Arifudin Ahmad,
―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi
atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah,
2000), 61; John O. Voll, ‗Abdallah ibn Salim al-Basri and 18th Century Hadith
Scholarship. Journal Die Welt des Islams, Vol. 42 (2002).
http://www.jstor.org/stable/1571419. (accessed: 20/04/2014). 386
Syuhudi Ismail menanggapi pendapat mayoritas ulama hadis bahwa
seluruh sahabat Nabi bersifat adil. Menurutnya, argumen-argumen yang mendasari
pandangan tersebut tidak kuat. Walaupun demikian, hasil penelaahan Syuhudi
menunjukkan bahwa sahabat Nabi pada umumnya bersifat adil kecuali mereka yang
terbukti telah berperilaku menyalahi sifat adil. Pandangan tersebut sekaligus menepis
pandangan kalangan ulama yang bersifat subyektif terhadap sahabat Nabi dan sikap
apriori sebagian umat Islam dan para orientalis yang berpendapat bahwa salah satu
kelemahan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis terletak pada pandangan bahwa seluruh
sahabat Nabi bersifat adil. Pandangan ini, jika diuji kritik sejarah, bersifat subyektif
dan karenanya tidak memenuhi kriteria metode ilmiah.
Dalam menguraikan keadilan sahabat Nabi, Syuhudi Ismail bersifat obyektif
dan argumentatif, tidak hanya mengemukakan kelemahan dalil-dalil naqli yang
dikemukakan oleh kalangan ulama, tetapi juga konsisten dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
sanad hadis yang telah dirumuskannya. Berdasarkan fakta sejarah, terdapat sahabat
Nabi yang tidak memenuhi kriteria keadilan, misalnya al-Walīd ibn Uqbah. Di sisi
lain, kriteria ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis tidak hanya terletak pada keadilan periwayat,
tetapi juga pada ke-ḍabiṭ-an periwayat. Dalam hal ini, Syuhudi menempatkan
kedudukan sahabat Nabi (sebagai saksi primer) tidak berbeda dengan periwayat yang
lain. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), 123; dan Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang
Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad
Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 62.
206
penelitian hadis Nabi,387
pemahaman hadis Nabi secara tekstual dan
kontekstual,388
dan perkembangan pemikiran hadis yang rasional.389
Implikasi pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail
di atas sangat erat kaitannya dengan pembumian hadis Nabi dalam
mengantisipasi perkembangan zaman. Terutama dalam
hubungannya dengan dakwah dan penerapan ajaran Islam.
Signifikansi perkembangan pemikiran juga dapat dilihat dari
pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar, ia berbeda
387
Salah satu aspek yang berbeda antara jumhur ulama dan hasil penelaahan
Syuhudi Ismail adalah pengorganisasian unsur-unsur kaidah mayor dan minor kaidah
ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Menurut jumhur ulama, kaidah mayor keshahihan sanad
hadis ada lima, yakni (1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; (3) periwayat
bersifat ḍabit; (4) terhindar dari shuzuz, dan (5) terhindar dari ‗illat. Sementara
Syuhudi Ismail merampingkan kaidah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis menjadi tiga, yakni
(1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifat ḍabit
atau ḍabit plus, sedangkan terhindar dari shuzuz dan illat merupakan bagian dari
unsur kaidah minor ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Terhindar dari shuzuz dan illat
merupakan unsur kaidah mayor ke-ṣaḥīḥ-an matan hadis. Lihat Syuhudi Ismail,
Kaedah Keshahihan sanad, 134; dan Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 124. 388
Keberadaan hadis Nabi yang mengandung petunjuk secara tekstual dan
kontekstual tersebut, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan Nabi di bidang
dakwah dalam rangka penerapan tahapan-tahapan ajaran Islam. Di samping itu,
kebijaksanaan Nabi itu mengandung implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan
berbagai disiplin pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, dan sejarah.
Pendapat Syuhudi Ismail tersebut memberi ruang yang luas terhadap
penerapan hadis Nabi yang oleh sebagian kalangan menganggap bahwa hadis Nabi
tidak dapat diterapkan. Bahkan bertentangan dengan kondisi dan situasi sekarang, era
modernisasi dan globalisasi. Pendapat Syuhudi Ismail yang demikian itu dapat pula
dipahami sebagai upaya pembumian hadis Nabi sebagai salah satu sumber pokok
ajaran Islam. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 90-91. 389
Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail, baik
berkaitan dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan matan hadis maupun berkaitan
dengan metodologi pemahaman hadis Nabi SAW memberikan indikasi bahwa wacana
hadis Nabi SAW sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri mengalami perkembangan
pemikiran yang rasional.
Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah: (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa
pendekatan, selain pendekatan bahasa: (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan
kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahun dan pendekatan yang sesuai
dengan materi hadis yang bersangkutan.
207
pemahaman dengan ulama lainnya dalam memahami hadis yang
kontradiksi dengan al-Qur‘an, menurutnya Abū Hanifah terhitung
paling banyak melakukan seleksi terhadap hadis-hadis tersebut
sebagaimana telah dikemukakan di dalam kitabnya yang berjudul
―al-„Alīm wa al-Muta‟allīm”, sehingga ia dituduh menolak hadis
dan mendustakannya. Berbeda dengan Imam Syafi‘ī yang
menghukumkan riwayat tersebut munqaṭi‟ah dari seseorang yang
tidak dikenal dan oleh karena itu tidak diterima. Yang demikian ini
terlihat dalam karyanya al-Risalah dan Ikhtilāf al-Ḥadīth yang
berada di Hashiah al-Umm.390
Inovatif pemikiran Kamaruddin Amin adalah ketika
meneliti hadis tentang Ṣaum, berbeda dengan penelitian hadis
ulama hadis lainnya, seperti Musṭafa Muḥammad Azami telah
membahas hadis tersebut. Akan tetapi, Azami hanya
mengumpulkan bagan isnad-nya dan menarik kesimpuan dari bagan
tersebut bahwa sistem isnad bermula sejak masa awal Islam dan
bahwa periwayatan hadis tersebut begitu luas sehingga pemalsuan
dalam skala besar dapat dinafikan sebagai penjelasan terhadap
perkembangan dan asal-muasalnya. Namun metode Azami adalah
murni penyandaran. Dia sepenuhnya mengabaikan teks hadis dan
dengan demikian dia membuat kesan bahwa teks-teks hadis tersebut
kurang lebih sama. Padahal teks-teks tersebut tidak sama.391
Perbedaan metode kajian hadis nampak berbeda dengan
metode yang dipakai oleh sarjana Barat lainnya, ketika
menganalisis hadis tentang Ṣaum, Kamaruddin Amin analisisnya
lebih akurat dan jelas dibandingkan dengan Harald Motzki.
Penanggalan hadis-hadis dengan metode isnad cum matn yang
menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks-teks matan
hadis. Dalam metode ini sanad-sanad dari versi-versi tersebut
diperiksa dengan membandingkan teks-teks dari versi-versi itu pada
level-level periwayatannya yang berbeda. Dia mengkaji secara
sistematik 163 versi hadis tentang puasa yang ditemukan dalam 39
390
Dalam memahami hadis yang kontradiktif dengan al-Qur‘an, Said Agil
Husin al-Munawar memahaminya dengan menggunakan kaedah al-ibrah bi khushusi
al-sabāb la bi „umumī al-lafaz. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 115-117. 391
Kamaruddin Amin menyebutkan bahwa sikap Musṭafa Muhammad
Azami yang mengabaikan teks-teks hadis menyebabkan ia membuat sejumlah
kekeliruan dalam menyandarkan hadis kepada perawinya. Lihat Kamaruddin Amin,
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan, 2009), 413.
208
sumber. Dia secara cermat membandingkan varian-varian teks yang
dimiliki oleh satu bundel sanad, merekonstruksi elemen-elemen
tekstual yang dimiliki bersama dan mencatat perbedaan-perbedaan
dari versi-versi tersebut. Dengan menggunakan metode ini dapat
ditunjukkan bahwa kesamaan umum dan perbedaan versi teks-tek
tersebut dapat diberikan pada perawi-perawi tertentu dan kemudian
diberi penanggalan. Hasil penelaahan hadis tentang puasa dengan
metode ini mengidentifikasi dua cabang periwayatan yang versinya
berbeda-beda dalam cakupan tekstualnya. Kedua cabang itu
kembali kepada sahabat Abu Hurairah (w.58 H) yang dapat
dianggap sebagai perawi dari kedua versi hadis tentang puasa
tersebut.
Menurut analisis kombinasi sanad dan matan, hadis tersebut
dengan demikian dapat diberi penanggalan satu abad lebih awal
daripada dengan metode Juynboll yang hanya memfokuskan pada
sanad-sanad. Juga menjadi jelas bahwa pertanyaan apakah Abu
Hurairah sungguh-sungguh mendengar hadis tentang puasa atau
bagian-bagiannya dari Nabi tidak dapat dibuktikan dengan metode
isnad cum matn. Benar, ada beberapa varian hadis ini yang konon
diriwayatkan juga leh para sahabat lainnya, tetapi versi-versi
tersebut tidak dapat dibuktikan terpercaya dengan menggunakan
metode ini. Itu juga berarti bahwa hadis ini tidak dapat dibuktikan
telah diriwayatkan secara mutawātir. Dalam hal ini, hasil
pendekatan isnad cum matn berbeda dari evaluasi yang diberikan
oleh metode-metode kritik hadis Islam.
Dalam metodologi kajian hadis, berbeda dari Schacht dan
Juynboll, Motzki cenderung menganggap common link yang
terdapat jalur periwatan hadis bukan sebagai pemalsu hadis,
sebagaimana dianggap Schact dan Juynboll, tetapi sebagai
penghimpun hadis pertama secara sistematis, yang meriwayatkan
hadis dalam kelas-kelas murid, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah sistem belajar yang terlembaga.392
Penentangan
terhadap sejumlah asumsi Schacht dan Goldziher tentang hadis
dapat ditemukan dalam karya-karya M. Siba‘i, N. Abbott, M. M.
Azami dan F. Sezgin. Mereka berpendapat bahwa praktik penulisan
hadis-hadis Nabi telah dimulai sejak masa awal secara
392
Harald Motzki, The Musannaf of Abd al-Razzaq al-San‘ani as a Source of
Authentic Ahadith of the First Century A.H, Journal of Near Eastern Studies, 50
(1991), 1-21.
209
berkesinambungan. Menurut mereka, para sahabat Nabi
menyimpan rekaman hadis tertulis, dan sebagian besar hadis ini
diriwayatkan dalam bentuk tertulis, dan sebagian besar hadis-hadis
ini diriwayatkan dalam bentuk tertulis sampai masa ketika hadis-
hadis ini dihimpun dalam kitab-kitab hadis resmi pada abad ke-3.393
Motzki dan Schoeler telah menunjukkan apa yang dimungkiri oleh
Schacht dan Juynboll, bahwa sejumlah hadis dapat ditelusuri
sampai pada abad pertama hijriah. Namun demikian, apakah hadis-
hadis tersebut dapat disandarkan kepada Nabi, mereka belum bisa
membuktikannya.394
Kenyataan bahwa terdapat sejumlah hadis palsu, di samping
yang autentik, tidak hanya disadari sejak mula oleh sarjana Barat.
Bahkan, sarjana Muslim pun telah menyadarinya pada akhir abad
pertama hijriah, atau bahkan sebelumnya. Telah diasumsikan bahwa
korpus hadis, yang berkembang pada abad pertama hijriah, adalah
kumpulan dari hadis palsu dan hadis ṣaḥīḥ. Sebagai respons,
kalangan sarjana Muslim awal membuat sebuah metode atau cara
mengevaluasi hadis untuk membedakan antara hadis ṣaḥīḥ dan
hadis palsu.395
Namun demikian, metode para kritikus hadis bukan sama
sekali tanpa kritik. Keberatan terhadap efektifitas dan keakuratan
dalam menentukan autentisitas hadis datang dari sarjana Muslim
dan non-Muslim. Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H), ketika para
ahli hadis meneliti berita-berita atau riwayat-riwayat, mereka
mendasarkan penilaiannya hanya pada pembawa berita tersebut.
Apabila pembawa berita itu dapat dipercaya, maka informasi yang
disampaikan otomatis dianggap autentik. Oleh karena itu, menurut
ibnu Khaldun, penelitian hadis yang dilakukan oleh para muhadīth
hanya terbatas pada penelitian sanad. Hal serupa dinyatakan oleh
penulis Mesir Ahmad Amin (w. 1373 H) bahwa penelitian yang
393
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, 4. 394
Untuk hadis-hadis yang diberi penanggalan pada abad pertama lihat Haral
Motzki, The Prophet and the Cat: On Dating Malik‘s Muwatta and Legal Traditions,
JSAI 22 (1998), 18-83. 395
Kitab awal yang paling terkenal adalah al-Risālah oleh Al-Shafi‘ī (204).
Setelah itu adalah al-Muḥadīth al-Faṣil baina al-Rāwī wa al-Wa‟ī karta al-
Ramahurmuzi (w. 360 H), Ma‟rifah „Ulūm al-Ḥadīth karya al-Ḥakim al-Naisaburī (w.
405H), al-Kifāyah fī Qawānin al-Riwāyah dan al-Jāmi‟ li Adab al-Rāwī wa Akhlak
al-Sami‟ keduanya karya al-Khatib al-Baghdadi (w. 463), ‗Ulūm al-Ḥadīth karya Ibnu
al-Ṣalah (w. 643 H)
210
dilakukan para ahli hadis lebih memfokuskan pada sanad
dibandingkan matan.396
Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa
para ahli hadis hanya memerhatikan aspek kesinambungan jalur
periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya
mengabaikan esensi kandungan hadis, dan bahkan mereka gagal
menangkap bukti-bukti sejarah.397
Pendapat Ibnu Khaldun, Aḥmad
Amin dan Abū Rayyah ini dibantah oleh Musṭafa al-Siba‘ī,
Muḥammad Abū Shuhbah dan Nūr al-Dīn ‗Itr. Mereka berpendapat
bahwa ulama hadis sama sekali tidak mengabaikan matan. Hal ini
dapat dilihat dari kriteria-kriteria hadis ṣaḥīḥ yang mereka buat.
Salah satu kriterianya mengatakan bahwa sebuah hadis hanya dapat
dianggap ṣaḥīḥ apabila sanad dan matannya tidah shaz (janggal)
dan bebas dari cacat atau illat (hal-hal yang dapat merusak ke-
ṣaḥīḥ-an hadis).398
Kontroversi ini mengingatkan kita akan kenyataan bahwa
isu tentang ketepercayaan dan historisitas hadis masih jauh dari titik
akhir penelitian. Di kalangan kesarjanaan Barat, sejumlah metode
penanggalan hadis telah dikembangkan dalam dua dekade terakhir:
1) Analisis sanad untuk singel traditions (hadis-hadis yang
memiliki jalur periwayatan tunggal) yang dikembangkan oleh
Juynboll; dan 2) Analisis matan hadis, yakni menelusuri dan
membandingkan keragaman teks hadis tertentu dan meneliti
korelasi antara varian matan tersebut dengan jalur periwayatannya
(sanad). Pendekatan ini dikembangkan oleh van Ess, Motzki dan G.
Schoeler.399
Dalam penelitian ini, semua metode ini akan dikaji
secara kritis lalu konfrontasikan dengan metode para muhadīth.
Dari penjelasan di atas menampakkan bahwa adanya
perbedaan antara metodologi yang digunakan oleh sarjana di Barat
dan di Timur Tengah dengan sarjana hadis di Indonesia. Ini
menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan
metodologi kajian hadis di Indonesia.
Dalam Islam gerakan pembaharuan terjadi bukan
disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan ilmuan
396
Ahmad Amin, Fajr al-Islām, 217-218. 397
Maḥmud Abū Rayyah, Aḍwā‟ alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah, 4-6. 398
Nūr al-Dīn Itr, al-Madkhal ilā „Ulūm al-Ḥadīth, 15-17; al-Siba‘ī, al-
Sunnah wa Makanatuha, 296-303. 399
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,
6-7.
211
sebagaimana di Barat, melainkan karena adanya kesadaran di
kalangan para tokoh pembaru akan keterbelakangan umat Islam
dari dunia Barat.400
2. Signifikansi Perkembangan Metode Pemahaman Hadis
Dari segi manhāj telah terjadi pergeseran yang cukup
signifikan di antara para pengkaji hadis. Hal ini disebabkan oleh
situasi dan kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada.
Perkembangan penyusunan karya tentang studi hadis memiliki
signifikansi perbedaan yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap
periode memiliki karakteristik tertentu yang masing-masing
memiliki maksud dan tujuan yang tertentu pula.
Pada reaktualisasi ajaran al-Qur‘an dan hadis dalam
kehidupan umat beragama, penyesuaian pemahaman ajaran Islam
dengan tuntutan kehidupan kontemporer dengan cara menakwilkan
atau memberikan interpretasi yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat. Dengan demikian,
ajaran Islam akan selalu sesuai dan relevan di segala tempat dan
zaman.401
Berbeda dengan penulisan hadis di dunia Islam pada masa
awal, penulisan kitab-kitab hadis di Indonesia tidak ditemukan yang
bersanad. Meski penulis yakin bahwa beberapa ulama Indonesia
mempunyai dan menjaga sanad hadis-hadis yang musalsal, namun
belum dapat ditemukan dalam bentuk buku. Mayoritas penulis
hadis di Indonesia hanya berbentuk tematis, masih sedikit sekali
yang menulisnya dalam bentuk kritik hadis.
Setelah tahun 2000 mulai bermunculan kitab-kitab hadis
yang tidak sekadar menghimpun, akan tetapi mulai mengkritik.
Selain bentuk menghimpun dengan tema yang sama, buku bentuk
400
Menurut Yusūf al-Qaraḍawī, al-Tajdīd atau Modernisasi dalam agama
diartikan memperbarui pemahaman agama, iman, dan amal, kembali seperti semula
yang dilakukan Nabi SAW, para sahabat, dan para pengikutnya. Lihat Yusūf al-
Qaraḍawī, Kaifa Nata „amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyah, 42; dan Abdul Majid
Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), 175; Ronald A. Lukens-Bull, Two Sides of the Same Coin:
Modernity in Islamic Education in Indonesia. Journal Anthropology and Education
Quarterly, Vol. 32 (2011). http://www.jstor.org/stable/ 3195992. (Accessed:
20/04/2014). 401
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu
Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), 177.
212
lain seperti syarah, nyaris tidak ditemukan kecuali apa yang
dituliskan oleh KH. Muhajir yang menulis kitab Miṣbah al-Ẓalam fī
Bulugh al-Maram yang ditulis dalam bahasa Arab juga.
Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di
Indonesia belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian
hadis intens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur‘an, fikih,
akhlak dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan
berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan
bahwa para ulama Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak
abad ke-17. Namun demikian, seperti terlihat kemudian, tulisan-
tulisan tersebut tidak dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah
itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad lamanya.
Untuk itulah, perhatian para pengamat terhadap kajian hadis
Indonesia masih sangat kurang. Kalaupun ada pengamat yang
menaruh perhatian, perhatiannya masih parsial dan tidak
komprehensif.
Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis di
Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis
diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela, pengingkar dan
pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis Nabi yang tekstual
dan kontekstual : telaah ma‟ani al hadis tentang ajaran Islam yang
universal,temporal dan lokal.
M. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual
yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan
Ilmu Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode
pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul
Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma‟ani al
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal .
Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara
tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara
tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa
kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal, temporal dan
lokal.
Ali Mustafa Yaqub lebih mengedepankan kritik sanad,
untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima, dan sebaliknya
harus ditolak. Ini terlihat dari caranya dalam mengkritik sebuah
213
ungkapan, yang oleh orang banyak dikatakan sebagai hadis. Dan ini
terlihat dari karya-karyanya seperti Hadis-Hadis Bermasalah, Imam
al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Peran Ilmu
Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Islam Masa Kini.
Said Agil al-Munawwar juga menulis tentang Study Kritis
Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud,
dalam buku ini beliau menjelaskan tentang bagaimana hadis itu
dipahami dengan memakai pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.
Asbāb al-wurūd mempunyai peranan yang sangat penting dalam
rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang
disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, kultural, bahkan
temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas
munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan dapat
menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu
hadis.402
Said Agil al-Munawar juga menjelaskan bahwa penelitian
terhadap hadis karena hadis sampai kepada umat melalui jalan
periwayatan yang panjang dan kemungkinan-kemungkinan lain
yang dapat merusak keaslian hadis tersebut. Setelah wafatnya
Rasulullah SAW hadis tidak akan bertambah jumlahnya, sedangkan
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang
seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam
memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui
pendekatan yang komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual
dengan berbagai bentuknya dan kaedah al-ibrāh bi khususi al-
sabāb la bi „umumi al-lafaz perlu mendapat perhatian dengan
beberapa catatan yang ada kaitannya dengan asbāb al-wurūd al-
ḥadīth.403
Buchari M, menulis tentang Metode Pemahaman Hadis
(Sebuah Kajian Hermeneutik), dan Kaidah Keshahihan Matan
Hadis. Dalam karyanya Buchari M, menggunakan metode
hermeneutik dalam memahami sebuah hadis, dan ia mencontohkan
402
Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbāb al-wurūd akan
cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif
terhadap perkembangan zaman. Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, 13. 403
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 115-117.
214
beberapa hadis yang bisa digunakan metode hermeneutik dalam
memahami hadis tersebut.
Adapun langkah-langkah metodologis kajian hermeneutik
menurut Buchari M. dalam rangka memahami hadis sebagai
berikut:404
1) Penentuan tema hadis yang akan dipahami
2) Penghimpunan hadis-hadis tentang tema yang dipilih
3) Penentuan orisinalitas hadis yang dijadikan sampel
4) Pemahaman makna hadis dengan meneliti:
a. Komposisi tata bahasa hadis dan bentuk pengungkapannya
b. Korelasi konteks kemunculan hadis secara sosio historis
psikologis.
5) Pengambilan spirit atau pandangan hidup yang terkandung
dalam keseluruhan hadis
Namun dalam kajian hermeneutik, bukan hanya gramatika
bahasa yang ditekankan, pendekatan historis, sosiologis dan
antropologis juga harus dikedepankan. Dengan begitu, untuk
mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui latar
belakang sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks
itu muncul.
1) Pendekatan Historis
Pendekatan ini dilakukan sebagai usaha dalam
mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadis
dimunculkan (asbāb al-wurud). Dengan mengetahui kejadian
yang mengitari, mengapa Nabi bersabda serta bagaimana
suasana dan kondisi sosio-kultural masyarakat termasuk di
dalamnya persoalan politik.405
2) Pendekatan Sosiologis dan Antropologis
Pendekatan sosiologis menyoroti sudut posisi manusia yang
membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan
antropologis adalah analisa yang dilakukan dengan
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku dalam sebuah
tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia.
Kontribusi pendekatan ini bertujuan menyajikan uraian yang
menyakinkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan
404
Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 104-105 405
Kurdi, Hermeneutika Alqur‟an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010), 374-375.
215
manusia dalam berbagai situasi hidup dalam hubungannya
dengan ruang dan waktu. Dengan begitu dapatlah diperoleh
gambaran yang utuh dalam pemahaman yang benar terhadap
hadis.406
Sedangkan Daniel Djuned, menulis tentang Paradigma
Baru Studi Ilmu Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, di dalam
karyanya Daniel Djuned memberikan sebuah solusi terhadap
pemahaman hadis, ia mencoba merekonstruksi metode pemahaman
hadis agar hadis mudah diterima oleh masyarakat Indonesia
khususnya.
Pengembangan yang dimaksud tidak bersifat mengubah
struktur keseluruhan yang sudah baku di bidang studi hadis.
Karena, struktur seperti disebutkan di atas, ternyata bermanfaat
dalam memperoleh hujah hadis yang diperlukan bagi meneladani
praktek keagamaan yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Di samping
itu, karena prestasi dalam bidang yang dimaksud sudah diuji oleh
zaman dalam masa ratusan tahun dan berlaku hingga sekarang,
selain juga belum ada penelitian lain yang telah berhasil
menggugurkannya. Arah pengembangan yang dimaksudkan dalam
konteks sistem yang padu di sini mencakup dua hal, yaitu:
a. Pencantuman sub sharḥ al-ḥadīth dan fiqh al-ḥadīth dalam
setiap penelitian hadis dengan analisis yang memanfaatkan
pendekatan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang kebermaknaan
persoalan, tetapi yang sejalan dengan pokok masalah yang
diteliti, dan
b. Masih dalam konteks di atas, dapat meminjak model bentuk
penelitian lain, tetapi yang relevan dan masih merupakan
lanjutan dari penelitian hadis itu sendiri.
Mengenai yang pertama, yaitu pencantuman sub sharḥ al-
ḥadīth dan fiqh al-ḥadīth dalam penelitian hadis dengan analisis
yang memanfaatkan pendekatan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang
kebermaknaan persoalan, namun yang sejalan dengan pokok
masalah yang diteliti. Konsep itu diperlukan mengingat adanya
fakta di sekitar perlunya penjelasan hadis (sharḥ al-ḥadīth) dan
406
Duderija, Adis. Toward Methodology of Understanding the Nature and
Scope of the Concept of Sunnah. Journal Arab Law Quarterly, Vol. 21 (2007), 269-
280. http://www.jstor.org/stable/27650590. (Accessed: 20/04/2014); Kurdi,
Hermeneutika Alqur‟an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 375.
216
pemahaman hadis. Pembaca informasi teks tidaklah otomatis jelas
dengan teks yang dibacanya, hal ini termasuk dalam pembacaan
teks hadis. Untuk mengatasi hal yang dimaksud diperlukan cara
menjelaskan suatu teks agar dipahami dengan jelas oleh
penerimanya.407
Banyak penjelasan atau syarah yang dapat dibuat berkaitan
dengan hadis, sejalan dengan beberapa cara untuk menerangkan
fakta, yaitu:
a. Menjelaskan berdasarkan bagiannya atau faktornya. Yang
dimaksud dengan penjelasan ini adalah, cara menjelaskan pada
waktu kita menganalisis sesuatu berdasarkan unsur-unsur pokok
suatu kenyataan serta hubungan pastinya antara masing-
masingnya.408
b. Menjelaskan berdasarkan keadaan dan kondisi. Menjelaskan
dengan ini adalah cara menerangkan sesuatu berdasarkan
hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan keadaan di
luar dirinya, untuk mengetahui bagaimana suatu fakta partikuler
melahirkan dan bergantung terhadap faktor lain dalam susunan
yang lebih besar dan bagaimana suatu fakta tidak akan muncul
kecuali dalam keadaan tertentu.409
c. Menjelaskan berdasarkan hubungan antara dua fakta yang
bersamaan, kita dapat juga menjumpai hubungan dua buah fakta
atau lebih dalam waktu yang berurutan, antara fakta yang tetap
terjadi lebih dahulu, dan diikuti oleh fakta lainnya pada waktu
yang lebih kemudian.410
407
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 235. 408
Menerangkan bagian (arkan) Islam yang lima, seperti yang disebut dalam
hadis yang di-takhrīj oleh al-Bukharī dan Muslim melalui riwayat Ibn ‗Umar
misalnya, akan lebih mudah dengan melakukan penjelasan dari jenis penjelasan yang
pertama ini. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 237. 409
Jika penjelasan versi pertama bersifat menjelaskan hubungan sesuatu
dengan sesuatu yang masih dalam lingkup dirinya, maka penjelasan versi kedua ini
adalah menjelaskan bagaimana hubungan sesuatu dengan sesuatu yang diluar lingkup
dirinya. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 237. 410
Misalnya, hadis tentang suruhan memperhatikan lima perkara sebelum
datangnya lima perkara, yang di-takhrij oleh al-Baihaqī, berkaitan dengan maksud ini.
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media,
2003), 238;
217
d. Menjelaskan berdasarkan fungsinya, yaitu cara menjelaskan
suatu fakta bagaimana sesuatu itu mempunyai kedudukan
terhadap fakta atau peristiwa lain. Dalam konteks ini, yang
berbeda dengan sebelumnya, yang penting adalah bagaimana
suatu fakta tertentu itu memegang peranan bagi fakta lainnya.411
Pengkaji hadis di Indonesia dalam memahami hadis sudah
diperluas dengan landasan pengetahuan asbāb al-wurūd dan
pengetahuan fakta atau data-data historis di sekitar kejadian.
Pemahaman hadis juga memerlukan pendekatan keilmuan.
Seperti dimaklumi, bahwa hadis itu dituturkan ke tengah-tengah
kehidupan adalah bermula dari bahasa lisan. Sebagai tuturan lisan,
hadis telah mengalami proses psikohistoris pada masa turunnya dari
Nabi SAW. Oleh karena itu, beberapa konglomerasi yang tak lain
dari pemaduan dari unsur-unsur dapat ditawarkan disini sebagai
opsi berkaitan dengan konsep yang keempat ini, diantaranya: 412
Pertama, pemahaman terhadap hadis dapat menggunakan
pendekatan psiko-historis. Pendekatan psiko-historis ini
dimanfaatkan, mengingat hadis yang tak lain dari suatu yang
berasal dari bahasa ujaran, dalam memahaminya memerlukan
kelengkapan. Munculnya tradisi lisan, melainkan memperkaya;
kedua, pemahaman terhadap hadis dapat menggunakan
pendekatan historis-fenomenologis. Suatu teks hadis tidak akan
lepas dari segi peristiwa kesejarahan ketika ia direkam di samping
juga kondisi di mana sahabat mengartikulasikan teks itu dalam
bentuk tuturan yang akhirnya menjadi bahan tertulis seperti yang
ada sekarang. Karena itu, pendekatan dimaksud sangat diperlukan
guna dapatnya memahami hadis secara utuh dekat dengan konteks
ketika hadis itu diperoleh dari penyampainya, yakni sahabat yang
meriwayatkan hadis dalam kondisi seperti yang dikehendaki
demikian oleh penyampainya pada masa hadis tersebut
disampaikan;
411
Jadi, cara ini digunakan untuk menangkan misalnya, benda-benda hidup
dan fakta-fakta yang terkait dengannya. Umpamanya: suatu hadis yang di-takhrij oleh
Muslim, yang diriwayatkan oleh Abī Umar ibn al-Khattab mengenai Rukun Islam,
akan menunjang maksud penjelasan apabila aktivitas menjelaskannya dilakukan
dengan menggunakan cara penjelasan nomor yang keempat di atas. Erfan Soebahar,
Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 238. 412
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 243-244, dan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 106.
218
ketiga, pemahaman terhadap hadis dapat juga menggunakan
pendekatan sosio-historis. Keadaan sosial kemasyarakatan dan
tempat serta waktu terjadinya, memungkinkan utuhnya gambaran
pemaknaan hadis yang disampaikan, sekiranya dipadukan secara
harmoni dalam suatu pembahasan. Oleh karena itu, pendekatan ini
dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh hal-hal yang bermanfaat
secara optimal dari hadis yang disampaikan.
H. Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia
Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail di dalam bidang hadis
dalam masalah sanad hadis, ia menyatakan bahwa kaedah-kaedah
minor ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis, sanad bersambung adalah muttaṣil atau
mawṣul yaitu hadis yang bersambung sanadnya baik persambungan itu
sampai kepada Nabi (marfū‟) maupun hanya sampai kepada sahabat
saja (mauqūf).413
Unsur-Unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat menurut M.
Syuhudi Ismail dapat terpenuhi apabila unsur sanadnya bersambung
atau unsur periwayat bersifat ḍabiṭ benar-benar terpenuhi. Dengan
adanya unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat dalam konteks defenisi
hadis ṣaḥīḥ bersifat metodologis dan penekanan akan keberadaan
unsur-unsur bersambung ataupun periwayat bersifat ḍabit (tam al-
ḍabiṭ), namun secara kongkrit beliau memasukkan unsur terhindar dari
shuzuz dan ‗illat sebagai bagian unsur minor periwayat yang bersifat
ḍabit bagi ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan hadis.414
413
Para ulama hadis telah menciptakan ilmu kaedah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis
yang merupakan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang
mempunyai kualitas ṣaḥīḥ. Kaedah ke- ṣaḥīḥ -an sanad hadis dibagi menjadi dua yaitu
yang bersifat umum (kaedah mayor) dan kaedah yang bersifat khusus (kaedah minor).
Unsur-unsur kaedah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis terdiri dari; sanad bersambung, seluruh
periwayat dalam sanad bersifat adil, seluruh periwayat dalam sanad bersifat ḍabit,
sanad hadis itu terhindar dari shuzuz, dan sanad hadis itu terhindari dari ‗illat.
Nuruddin Itr, Ulūm al-Ḥadīth (Bandung: Rosda Karya, 1994), 99 dan 125. dan juga
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 249. 414
Secara implisit M. Syuhudi Ismail juga menyebutkan sebagai bagian
unsur minor sanad bersambung, yakni mahfuz bagi sanad yang terhindar dari shuzuz
dan bukan mu‟all sanad yang terhindar dari ‗illat. Jadi unsur-unsur kaedah minor
adalah: a) untuk sanad bersambung adalah; muttaṣil (mawṣul), marfu‟, mahfuzh, dan
bukan mu‟all (bukan hadis yang ber-‟illat); b) untuk periwayat bersifat adil adalah:
beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru‟ah;
c) untuk periwayat bersifat ḍabiṭ dan atau tam al-ḍabiṭ adalah hafal dengan baik hadis
yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalkan
219
Dalam penelitian hadis (naqd al-ḥadīth) klasik, model
penelitian diarahkan kepada dua segi: sanad dan matan, yang dikenal
dengan ke-ṣaḥīḥ-an hadis. Dalam penelitian sanad, model yang
ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut ini.
Pertama, melakukan i‘tibar. Gunanya untuk mengetahui keadaan sanad
hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung
(corroboration) berupa periwayat yang berstatus mutabi‟ atau shaḥid.
Kedua, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Dalam
langkah ini yang lazim dilakukan adalah (1) sejumlah kriteria ke-ṣaḥīḥ-
an sanad hadis dijadikan patokan untuk menilai kualitas pribadi (‗adil)
dan kapasitas intelektual (ḍabit) periwayat yang diteliti; (2) disusul
sekilas tentang al-jarh wa al-ta‟dīl yang pada dasarnya mengeritik
celaan dan pujian terhadap periwayat hadis yang hadisnya sedang
diteliti, yang di dalam studi hadis dibahas di bawah studi „ilm al-jarh
wa al-ta‟dīl; (3) Giliran lanjut adalah persambungan sanad baik
lambang-lambang metode periwayatan maupun hubungan periwayat
dengan metode periwayatannya; (4) disusul dengan meneliti shuzuz dan
illah: mengetahui shuzuz, di antaranya dengan membanding-
bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang topik
pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan. Ketiga,
menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan
(natijah) dari pembahasan di atas, disertasi argumen-argumen yang
jelas: sebelum atau sesudah natijah itu.415
Selanjutnya, dalam penelitian segi matan, langkah-langkahnya
meliputi pentahapan berikut ini. Pertama, meneliti matan dengan
melihat kualitas sanad-nya. Beberapa hal yang dapat dijadikan
pegangan pada tahap ini, adalah (1) melakukan penelitian matan
sesudah meneliti sanad, (2) kualitas matan tidak selalu sejalan dengan
kualitas sanad-nya, dan (3) acuan yang tetap dijadikan pegangan disini
adalah kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan, yakni matan hadis yang diteliti itu
terhindari dari shuzuz (kejanggalan) dan ‗illah (cacat). Itu berarti bahwa
untuk meneliti matan, maka kedua unsur tersebut harus menjadi acuan
utama. 416
kepada orang lain, terhindar dari shuzuz, dan terhindar dari ‗illat. M. Syuhudi Ismail,
Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 133. 415
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 231-232. 416
Suatu matan hadis baru dinyatakan maqbul, yaitu diterima karena
berkualitas Ṣaḥīḥ, apabila: (1) tidak bertentangan dengan akal yang sehat; (2) tidak
220
Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa ternyata ada matan hadis
Nabi yang kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja
dan karenanya, tidak diperlukan pemahaman secara kontekstual. Untuk
matan hadis tertentu lainnya, kandungan petunjukanya diperlukan
pemahaman secara kontekstual. Dalam pada itu, ada pula matan hadis
yang dapat dipahami secara tekstual dan secara kontekstual sekaligus.
Dengan memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual, maka
menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang bersifat universal,
temporal, dan lokal.
Dalam melakukan pilihan pemahaman yang dinilai tepat,
diperlukan kegiatan pencarian qarinah-qarinah atau indikasi-indikasi
yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan dilihat dari segi-
segi yang berhubungan dengannya. Untuk menetapkan suatu qarinah,
diperlukan kegiatan ijtihad dan kegiatan pencarian qarinah itu barulah
dilakukan setelah diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang
bersangkutan berkualitas ṣaḥīḥ, atau minimal ḥasan.
Dengan kemungkinan adanya pemahaman secara kontekstual,
maka suatu hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun ḥasan tidak dapat serta
merta matannya dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟īf (lemah) ataupun
mauḍū‟ (palsu) dengan alasan karena teks matan hadis yang
bersangkutan tampak tidak sesuai dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan
yang digunakan. Terhadap hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun hasan,
diperlukan upaya pemahaman yang sungguh-sungguh, sehingga
bertentangan dengan hukum al-Qur‘an yang telah muḥkam; (3) tidak bertentangan
dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi
kesepakatan ulama salaf masa lalu; (5) tidak bertentangan dengan dalil yang telah
pasti (qaṭ‟ī): (6) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang berkualitas ke-ṣaḥīḥ-
annya yang lebih kuat. Kedua, meneliti susunan lafal matan yang semakna. Ketiga,
meneliti kandungan matan, meliputi: (1) membandingkan kandungan matan yang
tidak sejalan atau tampak bertentangan. Untuk itu, ada beberapa jenis kitab yang
dapat membantu, seperti: (a) kitab-kitab syarah hadis dan tafsir al-Qur‘an, (b) kitab-
kitab yang membahas gharīb al-ḥadīth, asbāb wurūd al-ḥadīth, mukhtalīf al-ḥadīth,
fiqh al-ḥadīth, dan musṭalah al-ḥadīth, (c) kitab uṣul al-fiqh dan fiqh, (d) kitab-kitab
sejarah Nabi SAW pada khususnya dan sejarah Islam pada umumnya, dan (e) kitab-
kitab Ilmu Kalam. Keempat, menyimpulkan hasil penelitian matan. Setelah langkah-
langkah yang dikemukakan di atas, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh
peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua
macam kesimpulan saja, yakni: ṣaḥīḥ atau sebaliknya ḍa‟īf. Dengan demikian,
kesimpulan penelitian hadis yang berkenaan dengan matan itu hanya akan berkisar
pada salah satu dari pilihan dua pilihan itu. Erfan Soebahar, Menguak Fakta
Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 233-234.
221
terhindar penilaian terhadap suatu hadis yang sebenarnya berkualitas
ṣaḥīḥ ataupun ḥasan dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟if.417
Dalam pemahaman hadis, diantaranya Muhammad Syuhudi
Ismail menjelaskan tentang hadis dunia itu penjaranya bagi orang
beriman, hadisnya yaitu:
انؤي جت انكافش )سا يضهى(انذا صج Artinya: Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang
kafir (HR. Muslim).418
Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, teks hadis tersebut dapat
dipahami sebagai berbentuk tamthil dan dapat pula dipahami sebagai
bukan berbentuk tamthil. Kedua pemahaman itu dapat saling
melengkapi. Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia
ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya, selama hidup
di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan.
Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala
telah berada dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir,
hidup di dunia ini adalah surga. Di akhirat, orang kafir berada dalam
neraka.419
Ada kalangan ulama yang menyatakan bahwa kualitas matan
hadis tersebut lemah bahkan palsu. Alasan yang diajukan ialah bahwa
kandungan matan hadis itu bertentangan dengan petunjuk umum agama
Islam yang mendorong para pemeluknya untuk bekerja keras untuk
kebaikan hidup dunia, di samping untuk kebaikan hidup akhirat.
Penilaian yang demikian itu wajar timbul karena pemahaman yang
digunakan adalah pemahaman secara tekstual. Padahal, matan hadis
tersebut sangat dimungkinkan untuk dipahami secara kontekstual.
Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas
adalah pemahaman secara kontekstual, yakni bahwa kata penjara dalam
hadis itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan
417
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), 89-90. 418
Ṣaḥīḥ al-Bukharī, Juz I, 265; Ṣaḥīḥ Muslim, Juz II, 983-984. 419
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), 16-17; Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi
Jama‘at. The Journal of Asian Stuies, Vol. 52 (1993), 584.
http://www.jstor.org/stable/ 2058855. (Accessed: 20/04/2014).
222
anjuran, di samping adanya larangan berupa hukum haram dan hukum
makruh. Bagi orang yang beriman, kegiatan hidup di dunia ini tidak
bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka dia dibatasi hidupnya
oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia adalah
surga sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan
larangan tersebut.420
Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail,
baik berkaitan dengan kaidah ke-Ṣaḥīḥ-an sanad dan matan hadis
maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman hadis memberikan
indikasi bahwa wacana hadis Nabi sebagai suatu ilmu yang berdiri
sendiri mengalami perkembangan pemikiran yang rasional.421
Pada sisi lain, implikasi pemikiran yang dikemukakan oleh
Syuhudi Ismail sangat erat kaitannya dengan pembumian hadis Nabi
dalam mengantisipasi perkembangan zaman, terutama dalam
hubungannya dengan dakwah dan penerapan ajaran Islam. Di samping
itu, implikasi pemikiran tersebut dapat membuktikan keutamaan Nabi
SAW dalam mempraktekkan ajaran agama Allah di muka bumi.422
Menurut Said Agil, untuk mengetahui asbāb al-wurūd mutlak
diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (mis-understanding)
dalam menangkap maksud hadis. Sedangkan untuk hadis-hadis yang
tidak mempunyai asbāb al-wurūd khusus sebagai alternatifnya, kita
mungkin dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,
antropologis atau pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam
memahami hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi
SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan
420
Dari pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis yang berbentuk
tamthil sebagaimana telah dikutip di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Islam
yang dikemukakannya bersifat universal. Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 18. 421
Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah; (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an
matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa
pendekatan, selain pendekatan bahasa; (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan
kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahuan dan pendekatan yang sesuai
dengan materi hadis yang bersangkutan. Lihat Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan
Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 65. 422
Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖
(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 66.
223
hampa kultural. Sebuah gagasan pemikiran, ide, termasuk sabda Nabi
SAW. selalu based on historical facts. Ia pasti terkait dengan problem
histori-kultural waktu itu.423
Salah satunya, Said Agil Husin al-Munawar mencontohkan
kepada hadis sebagai berikut:
با ف انشء ي خش ا هلل تؼان يالئكت ف األسض طك ػه أنست ب أدو
)سا انحاكى( أشش.
Artinya: Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi,
yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan
keburukan seseorang. (HR. Hakim)
Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa
kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul, bagaimana hal itu dapat
terjadi, maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Suatu
ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah.
Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut,
seraya berkata: ―Jenazah itu baik‖. Mendengar pujian tersebut, maka
Nabi berkata: ―Jenazah itu baik‖. Mendengar pujian tersebut, maka
Nabi berkata: ―wajabat‖ (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi
SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain.
Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: ―Dia itu orang
jahat‖. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: ―wajabat‖.
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka
para sahabat bertanya: ―Ya Rasul, mengapa terhadap jenazah pertama
engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua engkau ikut
mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: ―wajabat‖
sampai tiga kali. Nabi menjawab: Ya benar. Lalu Nabi berkata Abu
Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para
malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan
tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Al-Ḥākim dan al-
Baihaqī).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah
di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang
adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah
ini baik dan jenazah itu jahat.
423
Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 6.
224
Itulah salah satu contoh asbāb al-wurūd dalam memahami
hadis, sehingga dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis dan
antropologis semacam itu, diharapkan akan mampu memberikan
pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif
terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam
memahami suatu hadis kita tidak hanya terpaku pada zhahirnya teks
hadis, melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu
itu.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra al-
Qur‘an, secara teologis juga diharapkan dapat memberikan inspirasi
untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam
masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya
kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi
ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur‘an dan Hadis.424
Di dalam buku Said Agil, ia mencoba untuk memberikan
tawaran baru bagaimana cara melakukan pemahaman hadis dengan
pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-
masing. Hadis-hadis yang ia kutip dalam karyanya adalah hadis yang
dianggap ṣaḥīḥ oleh para ulama hadis, yaitu hadis imam al-Bukharī dan
Muslim.425
424
Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman al-Khulafā‟ al-
Rashidīn dan Bani Umayah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang menolak
sunah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa
Bani Abbasiah muncul sekelompok kecil orang yang berpaham Inkar al-Sunnah.
Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 14. Dan Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 26. 425
Sebagai ilustrasi, di sini dapat diberikan beberapa contoh mengenai fungsi
asbāb al-wurūd hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhṣiṣ terhadap suatu hadis
yang ‗am, misalnya hadis yang berbunyi:
―Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat
sambil berdiri” (HR. Aḥmad).
Pengertian ―shalat‖ dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat
berarti shalat fardhu dan sunat. Jika ditelusuri melalui asbāb al-wurūd-nya, maka
akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud ―shalat‖ dalam hadis itu adalah shalat
sunnat, bukan shalat fardhu. Ini lah yang dimaksud dengan takhṣiṣ, yaitu menentukan
kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbāb
al-wurūd.
225
Ali Mustafa Ya‘qub dalam karyanya berjudul Kritik Hadis
menjelaskan bahwa untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW ada dua istilah yang berkembang di kalangan
masyarakat Islam, yaitu hadis dan sunnah. Dua istilah ini terkadang
dianggap kurang defenitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi hadis
Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar
itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan athar
(peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang.426
Ali Mustafa Ya‘qub memiliki pandangan bahwa pada dasarnya
hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila pemahaman
tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka pemahaman
kontekstual boleh digunakan.427
Walaupun terlihat ada perbedaan
Asbāb al-wurūd hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat
lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, Nabi kebetulan datang
dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka
Nabi kemudian bersabda: ‖Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari
orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya
para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbāb al-wurūd tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan ―shalat‖ dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya
adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunat sambil
berdiri, namun ia memilih shalat sunnat sambil duduk, maka ia akan mendapatkan
pahala separuh dari orang yang shalat sunnat dengan berdiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan
shalat sambil berdiri, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat
dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut.
Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separuh, sebab ia termasuk golongan orang
yang memang boleh melakukan rukhṣah atau keringan syari‘at. Lihat Said Agil Husin
al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historuis-Kontekstual
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 14-15. 426
Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 32. 427
Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 152. Sementara itu, tokoh-tokoh mazhab lain berpendapat adanya kebutuhan
akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. Imam al-Shafi‘ī
(204 H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolerir
dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan
yang lebih dari satu. Selain itu, dua corak pemikiran al-Shafi‘ī, Qaul Qadim ketika ia
tinggal di Baghdad dan Qaul Jadīd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwaia
sangat memperhartikan konteks secara serius. Adapun Abū Hanifah (150 H) lebih
dikenal sebagai tokoh madrasah ahl Ra‟y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang
ahli hadis, sehingga mazhab Hanafi seperti diutarakan Muḥammad al-Ghazalī lebih
dekat dengan rada keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. Berdasarkan
karakteristik setiap tokoh tersebut, Farūq Abū Zaid menyebut kelompok pertama
226
tentang posibilitas pemahaman kontekstual antara Ali Mustafa Ya‘qub
dan tokoh-tokoh hadis kontemporer lain, namun mereka memiliki
pandangan yang sama tentang beberapa tema hadis-hadis yang harus
dipahami secara tekstual.428
Dalam pandangan Ali Mustafa Ya‘qub, pemahaman secara
kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas berfikir
(ijtihad) yang bersifat ―human construction‖. Adapun dalam melakukan
aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh metode yang disebut
sebagai aḥsan turūq al-tafsīr terlebih dahulu sebelum melakukan
penafsiran kontekstual, yaitu tafsir al-Qur‟an bi al-Qur‟an, kemudian
tafsir al-Qur‟an bi al-Sunnah. Ia mengingatkan bahwa tanpa memakai
metode seperti itu dikhawatirkan merupakan tindakan mendikte Allah,
karena hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi.429
Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa Ya‘qub
memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah
hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara
kontekstual, yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafaz
(teks) itu sendiri, yang meliputi sebab-sebab turunnya hadis,430
lokal
dan temporal,431
kausalitas kalimat,432
dan sosio kultural.433
sebagai al-muḥafiẓun, sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidūn. Adapun pada
masa kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi. Lihat
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, 33; Muhammad
Jamāl al-Dīn al-Qasimi, Qawāid al-Taḥdīth min Funūn Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut:
Dār al-Kutub Ilmiyyah, t.t.), 305; Muhyi al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-Majmū‟
(Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 139; Muḥammad Musṭafa al-A‘zami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Ya‘qub (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), 425; dan Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998), 32. 428
Tema-tema hadis tersebut dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umur al-
Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni (al-ibādah al-maḥḍah). Muḥammad Jamāl al-Dīn al-
Qasimi, Qawa‟id al-Taḥdīth min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, t.t), 269; dan Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006), 21. 429
Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),
22. 430
Secara sederhana, asbāb al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab
yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi (911 H),
asbāb al-wurūd berarti sesuatu yang menjadi ṭarīq (jalan) untuk menentukan maksud
suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, muṭlaq atau muqayyad, dan untuk
menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-
belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa,
maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat. Ibnu Hamzah
227
Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi
terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan hadis.
Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi metode-metode yang
digunakan para sarjana Muslim terdahulu, mempertahankannya dari
kritik para sarjana Barat, dan menolak metode-metode dan kesimpulan-
kesimpulan mereka. Sebaliknya, Kamaruddin Amin mendekati isu itu
dengan banyak skeptisisme bahkan terhadap metode-metode tradisional
dan modern dari para sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga
berseberangan dengan beberapa studi Barat tentang topik yang menolak
mentah-mentah metode-metode kritik hadis para sarjana muslim
sebagai naif dan tidak bisa dipercaya tanpa menelaah dan mengujinya
secara mendalam.434
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis menurut
Kamaruddin Amin adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas
metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas
peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur‘an, tidak
sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah,
tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang
digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode
tersebut tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah
bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.435
Kamaruddin Amin tidak mengunggulkan metode Barat (method
of dating a particular hadith) atas metode kritik hadis (takhrīj al-
al-Husaini, Asbāb al-Wurūd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-
Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 27. 431
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat
tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis
yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum
tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti
ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu
menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. 432
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang
menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara konkrit
oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali
melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap kausalitas kalimat. 433
Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Syetan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 152. 434
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi. 435
Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif, 1.
228
hadīth) atau sebaliknya. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan
masing masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan
tentang historisitas penyandaran hadis kepada Nabi, sahabat atau
tabi‘in. Oleh karena itu, penulis dengan penuh rendah hati ingin
menyarankan kepada Institusi perguan tinggi yang menjadikan hadis
sebagai salah satu substansi kajiannya, terutama program pascasarjana,
agar membuka diri demi pengembangan mutu akademis kedepan.
Bagaimanapun juga, metode kritik hadis baik yang dikembangkan di
dunia Islam maupun di Barat adalah hasil dari sebuah kerja intelektual
yang serius. Membiarkannya berlalu tak terakses di dunia Islam adalah
sebuah kelalaian akademis yang sangat disayangkan.436
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk
menyandarkan sebuah hadis kepada Nabi tidak mendapat tantangan
signifikan dari sarjana Muslim modern. Memang terdapat sejumlah
sarjana modern yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap
Ulūm al-Hadīth, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas
sarjana muslim.
Kamaruddin Amin menjelaskan bahwa Informasi tentang nabi
yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca
yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita
akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh
para kolektornya (misalnya al-Bukharī, Muslim, Tirmidhi, Ibn Majah,
Abū Dāud, Nasā‘ī dan lain-lain). Namun, kenyataan bahwa para
kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih
setelah Nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana
tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-
hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang
populer kita kenal dengan Ulūm al-Hadīth?
Al-Bukharī yang dikenal sebagai the man of hadith, misalnya,
tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulūm al-Hadīth
yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan
sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab
secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang
taken for granted.
Kecenderungan sebagian diantara kita adalah menolak atau
menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah
hadis disebutkan dalam ṣaḥīḥ al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau
436
Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif, 1-10
229
keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam
kutub al-sittah maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut
mayoritas sarjana Islam, ṣaḥīḥ, sehingga analisis historis terhadapnya
tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis
dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan
historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara
massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya
sampai ke masa mukhārīj), tapi pada generasi sebelumnya (paroh
pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa Nabi) diriwayatkan
secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam
dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum
literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi--satu
sahabat--satu tabi‘in--satu fulan-satu fulan--sejumlah perawi sampai ke
mukharīj (collector).
Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap
yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ilmu hadis
dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ilmu hadis di
aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun
secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ilmu hadis
mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa
dijadikan hujjah apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak
menyatakan secara tegas sumber informannya, misalnya dengan
mengatakan ‟an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut
dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqah. Mari kita menguji teori
ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus
Abū Zubair. Abū Zubair, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas
kritikus hadis sebagai mudallis.437
Dengan berpedoman pada teori
tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak
langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ‟an dan sejenisnya)
tidak bisa dijadikan hujjah (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis
lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sittah,
misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abū Zubair,
dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah langsung
dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sittah, Abū al-Zubair
meriwayatkan 360 hadis dari sahabat Jabīr ibn Abdullāh saja,438
belum
437
Al-Razi, al-Jarh wa al-tadīl, vol. 8. 75; Ibn Hajar, Tahdhib al-Tahdhib,
vol. 9, 441; 438
Kamaruddin Amin, ―The Reliability of Hadith Transmission, A
Reexamination of Hadith Critical Methods‖ (Disertasi: Bonn 2005), 1-20.
230
termasuk hadis yang diriwayatkan Abū al-Zubair dari Sahabat lain.
Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abū al-
Zubair dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut,
Muslim merekam 194, Abū Dāwud 83, Tirmidhi 52, al-Nasā‘ī 141 dan
Ibn Majah 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abū Zubair – Jabir dalam kutub
al-sittah sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis yang berulang.
Dari 194 hadis riwayat Abū al-Zubair yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ
Muslim, 125 diantaranya Abū Zubair menggunakan kata-kata „an dan
sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata
haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ilmu hadis, riwayat seperti
ini tidak bisa di jadikan hujjah. Kalau demikian halnya maka menurut
ilmu hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab
hadis termasuk dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī dan Muslim.
Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh
mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis.439
Meskipun ada juga yang memujinya sebagai fāqih dan muru‟ah, tapi ia
tetap diklaim telah melakukan tadlis.440
Terlepas dari apa yang
disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya
sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis
menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan.
Dalam kutub al-sittah saja Ḥasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang
dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī
dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis
terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī dan 12 terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim.
441 Dari 31 hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī, hanya
delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya,
yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung
dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ‟an‟ana, yang
oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung.
Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī adalah
mursal. Dalam Ṣaḥīḥ Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri
mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya.
Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan
439
Ibn Hajar al-Asqalanī memasukkannya dalam kelompok mudallis. Lihat
Ibn Hajar, Tabaqat al-mudallisin (Kairo, 1322), 8, 14. 440
Al-Mizzi, Tahdhib al-kamal, vol. 6, 109, 125; Ibn Sa‘d, Tabaqat, vol. 7,
161, 157. 441 Kamaruddin Amin, ―The Reliability of Hadith Transmission. A
Reexamination of Hadith Critical Methods‖ (Disertasi: Bonn 2005), 1-20.
231
menerapkan teori ilmu hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis
dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Ṣaḥīḥ Muslim harus ditolak,
atau paling tidak kehujjahannya harus di ‖gantung‖ sampai ada hadis
lain yang thiqah yang dapat menguatkannya.
Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn analisis
adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar
ulama tentang perawi tersebut, komentar ulama tentangnya menjadi
sekunder. Kualitas perawi primarly ditentukan terutama oleh matn atau
teks dari perawi tersebut.442
Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana
pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat
berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memungkinkan kita
untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat tabiin dan generasi
setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita
dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukharī yang harus
mencari dan mengumpulkan kepingan informasi tentang Nabi dari
suatu tempat ketempat yang lain. Al-Bukharī telah meninggalkan
mutiara koleksi informasi.
Menurut Kamaruddin Amin, metode analisis isnad cum matn
yang mempelajari secara serius varian-varian isnad dan teks yang
berbeda dan juga hubungan-hubungannya, telah terbukti sebagai
sebuah alat penelitian efektif untuk merekonstruksi sejarah yang
memungkinkan kita untuk membedakan dalam beberapa kasus antara
riwayat yang sesungguhnya dan yang palsu. Dengan kata lain, dalam
meneliti transmisi ilmu pada masa awal Islam, analisis matan, yang
membandingkan varian-varian teks, tampaknya sama pentingnya
dengan analisis isnad, fokus sarjana Muslim dan beberapa sarjana
Barat. Analisis isnad saja tampaknya tidak cukup, karena ia dapat
442
Sejauh penelitian terhadap transmisi hadis, secara tradisi terdapat dua
kasus, yang pertama transmisi hadis dilaporkan secara lengkap atau yang disebut
dengan muttaṣil, dan laporan hadis yang tidak lengkap yang disebut dengan mursal.
Lihat Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif, 6. Dan juga Moḥammad Sa‘id Mitwally Ibrāhīm al-Rahawan,
Detecting Textial Additions of Reliable Ḥadīth Transmitters, Journal Islamic Studies,
Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic Research Institute, International
Islamic University, Islamabad. http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed:
27/01/2014).
232
membawa kita kepada penyandaran dengan salah sebuah riwayat
kepada perawi tertentu.443
Demikianlah pemikiran pengkaji hadis di Indonesia, khususnya
Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa
Ya‘qub, dan Kamaruddin Amin yang pemikiran mereka berbeda
dengan pengkaji hadis lainnya, dan pemikiran mereka mengandung
unsur pembaharuan.
443
Kasus hadis Sa‘id ibn Mina dan Sa‘id al-Maqburī, yang secara salah telah
disandarkan kepada Sa‘id ibn Musayyāb oleh Musṭafā Muḥammad Azami, misalnya,
adalah sebuah contoh. Demikian juga, informasi yang termuat dalam literatur biografi
telah terbukti berkali-kali bermanfaat dan tepercaya. Penilaian kita pada perawi
tertentu, yang didasarkan pada analisis komparatif atas varian teks dan isnad, sering
berkesusaian dengan literatur biografis. Tetapi ini tidak berarti bahwa ketepercayaan
seorang perawi hanya dapat ditentukan secara pasti oleh para kritikus hadis klasik.
Lihat Rahardjo, M. Dawam. Perceptions of Culture in the Islamic Movement An
Indonesian Perspektive. Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 7 (1992),
248-273. http://www.jstor.org/stable/41056852. (Accessed: 20/04/2014). Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan Publika,
2009), 481-482
233
BAB VI
PENUTUP
C. Kesimpulan Kajian hadis yang berawal dari kajian sanad hadis, ulūm al-
ḥadīth, hingga metodologi pemahaman hadis menunjukkan adanya
pergeseran kajian hadis serta perkembangan pemahaman hadis dengan
pendekatan ilmiah, logika-deduktif, dan korelasi konteks sosio-historis-
psikologis di Indonesia. Dan hasil ijtihad para pengkaji hadis di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia dukung, latar
belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran yang ia anut,
serta lingkungan pendidikan.
Dari segi manhāj telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan
di antara para pengkaji hadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan
kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada. Perkembangan
penyusunan karya tentang studi hadis memiliki signifikansi perbedaan
yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap periode memiliki karakteristik
tertentu yang masing-masing memiliki maksud dan tujuan yang tertentu
pula.
Pada awal perkembangan hadis di Indonesia kecenderungan
penelitiannya adalah penelitian sanad hadis dan kumpulan-kumpulan
hadis, kemudian penulisan karya hadis berkembang pada abad ke-19
sampai dengan abad ke-20 yaitu penelitiannya lebih banyak tentang
pembahasan ilmu hadis, karena tujuan penulisan hadis pada waktu itu
adalah untuk pendidikan hadis di perguruan tinggi dan di madrasah-
madrasah di Indonesia, sehingga penulisan hadis lebih banyak
mengenai ilmu hadis. Pada masa sekarang perkembangan hadis lebih
signifikan, hal ini terlihat dari beberapa karya tentang hadis yang ditulis
oleh pengkaji hadis di Indonesia, seperti Muhammad Syuhudi Ismail,
Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, dan Kamaruddin
Amin.
Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecenderungan
pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut
terpresentasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan
umat Islam, yakni kelompok pertama hanya membatasi diri pada tradisi
234
yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan realitas
sosial. Sedangkan pemahaman kelompok kedua tidak membatasi pada
tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan realitas sosial
yang berada di luar teks. Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari
kedua kelompok tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman,
yakni pemahaman tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.
Pengkaji hadis di Indonesia berusaha untuk merekonstruksi
metodologi kajian hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat
diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia.
Seperti pemakaian pendekatan ilmiah, hermeneutik, sosiologi,
antropologi, dan juga metode isnad cum matn dalam penelitian hadis,
menunjukkan adanya perkembangan dan pergeseran kajian hadis di
Indonesia pada masa sekarang.
Demikianlah penjelasan dan uraian tentang biografi, karya,
genealogi dan pemikiran hadis dari empat orang pengkaji hadis di
Indonesia, yang mengandung unsur pembaharuan dalam pemikiran
mereka tentang hadis.
D. Saran
Pengkajian hadis di Indonesia diharapkan akan menemukan
momentumnya dengan ditunjang oleh metodologi pembelajaran yang
baik dan benar. Metode pemahaman hadis yang dipakai oleh ulama
terdahulu mempunyai kekurangan yaitu belum bisa menjawab
permasalahan kekinian, hadis tidak hanya dipahami dengan pendekatan
tekstual dan kontekstual saja, akan tetapi hadis harus dipahami dari
berbagai dimensi. Di samping itu juga harus diperhatikan situasi dan
kondisi kejadiannya, sering Nabi SAW mengeluarkan sabdanya dengan
memperhatikan keadaan yang Nabi hadapi. Nabi SAW menemukan hal
yang sangat berpadanan dengan keadaan orang yang beliau hadapi itu.
Kepada seorang yang menanyakan tentang perbuatan terbaik dan
disukai Tuhan, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan
siapa yang bertanya, sehingga hadis tidak hanya dipahami berupa
memakai baju gamis pendek dan janggut yang lebat akan tetapi
memahami substansi hadis yang menjadikan kita mempunyai akal yang
cerdas, hati yang lebih tulus, akhlak yang lebih bersih, fitrah yang lebih
sehat dan perilaku yang lebih bijaksana.
Penulis menyadari bahwa di balik celah-celah tulisan ini pasti
ditemukan kesalahan dan kekeliruan, maka penulis sangat
235
mengharapkan sumbangan dari para pembaca, baik berupa kritik atau
saran yang konstruktif. Hal ini dimaksudkan demi kesempurnaan
penelitian ini di masa mendatang.
236
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
‗Abd Al-Bāqī, Muhammad Fuād. Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān. Beirut: Dār
al-Fikri, t.t.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama:
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Abū Zahwu, Muhammad. al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithun. Mesir:
Syirkah Misyriyyah, t.th.
Abū Shuhbah, Muḥammad Muḥammad. Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam,
Terjemahan Maulana, 1991.
Al-Adhabi, Salahuddin Ibn Ahmad. Metodologi Kritik Matan Hadis
(terj. H.M.QadirunNur). Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
_________. Manhāj Naqd al-Matan „inda „Ulamā al-Ḥadīth al-
Nabawi. Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah, t.t.
Ahmad, Arifudin. ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi
Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad
Syuhudi Ismail)‖. Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000.
Ali, Nizar. Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil).
Yogyakarta: Teras, 2008.
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers. Colorado: Westview Press, Inc., 1994.
Al-Asqalanī, Aḥmad ibn Alī ibn Hajar. Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-
Bukharī. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Al-A‘zami, Muḥammad Musṭafa. Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, Penerjemah Ali Musthafa Ya‘qub. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
237
Azra, Azyumardi. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
__________. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
__________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
Bower, T.G.R. Human Development. USA: W.H. Freeman and
Company, 1979.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern.
Bandung: Mizan, 1996.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Bandung: Mizan, 1995.
Al-Bukhārī, Abū Abdillāh bin Ismā‘īl. Ṣahīh al-Bukhārī. Beirut: Dār
ibn Katsir.
__________. Abū ‗Abdullāh Muhammad ibn Ismā‘il. al-Jami‟ al-Ṣaḥíḥ
al-Mukhtaṣar min Umur Rasulullah SAW wa Sunanih wa
Ayyamih. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Cervone, Daniel. Kepribadian Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba
Humanika, 2011.
Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Putra,
2003.
_________. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta,
1995.
Collingwood, R.G. The Idea of History. Oxford: Oxford University
Press, 1956.
238
Danarto, Agung. Kajian Hadis di Indonesia Tahun 1900-1945 (Telaah
terhadap Pemikiran Beberapa Ulama tentang Hadis).
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000.
Djuned, Daniel. Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis. Aceh: Citra Karya,
2002.
Fathullah, Ahmad Lutfi. Pahala dan Keutamaan Haji, Umrah, Ziarah
dalam Hadis-Hadis Rasulullah SAW. Jakarta: al-Mughni Press,
2006.
___________. Membaca Pesan-Pesan Nabi dalam Pantun Betawi.
Jakarta: Mughni Press, 2008.
Fazlurrahman. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin.
Bandung: Pustaka, 1984.
Federspiel, Howard M. The Usage of Traditions of the Prophet in
Contemporary Indonesia. Arizona State University, 1993.
Friedman, Howard S. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern.
Jakarta: Erlangga, 2008.
Geertz. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe,
1960.
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritik atas Hadis Nabi SAW. Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Judul Asli: Al-Sunnat al-
Nabawiyyat; Baina Ahl al-Fiqh wa al-Hadîth, Penerjemah:
Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993.
Gottschalk, Louis. Understanding History: A Premier of Historical
Method. New York: Alfred A. Knopf, 1964.
Green, Arnold W. Sociology an Analysis of Life in Modern Society.
New York: Toroto 1960.
239
Al-Jurjanī, Al-Sayyīd al-Ṣarīf ‗Alī ibn Muḥammad ibn Alī al-Sayyīd
al-Zain Abū al-Ḥasan al-Ḥusainī al-Ḥanafī. al-Ta‟rīfāt. Mesir:
Musṭafá al-Bābī al-Halabī wa Shurakahu, 1938.
Hamka. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Pustaka Nasional, 2005.
Harun, Daud Rasyid. Juhud „Ulama. Jakarta: Pustazet, 1988.
Hasyimi, Ahmad. Jawahir al-Balaghah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Husaini, Ibnu Hamzah ad-Dimashqi. al-Bayan wa at-Ta‟rif fi
Asbābī Wurudi al-Ḥadīth al-sharif, Jilid 1. Beirut: Dar al-
Thaqafah al-Islamiyyah, t.th.
__________. Asbab al-Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Ibn Hanbal, Abū ‗Abdullāh Ahmad. Musnad Aḥmad ibn Hanbal.
Beirut: al-Maktab al-Islami, 1979.
Idris, Abdul Fatah. Hadis Hadis Prediktif dan Teknis (Studi Pemikiran
Fazlur Rahman). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.
Ilyas, Yunahar dan M. Mas‘udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadis. Yogyakarta: LPPI, 1996.
Al-Iskandari, Ahmad dan Musthafa ‗Anani. al-Washit fi Adab al-Arabi
wa Tarikhihi. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1916.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual: Telaah Ma‟ānī al-Hadith tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
__________. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan
Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
240
__________. Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan menurut
Perspektif Islam. Ujungpandang: Badan Pengurus Pusat KKN
IAIN Alauddin Ujungpandang, 1992.
‗Itr, Nūr al-Dīn. Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-Hadīth. Damsyiq: Dar al-
Fikr, 1979.
Jensen, Eric. Memperkaya Otak: Memaksimalkan Potensi Setiap
Pembelajar. Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang, 2008.
Al-Khatib, Muḥammad ‗Ajjaj. Ushūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa
Musṭalaḥuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 1989. Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan
Ilmu Hadis. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006.
_________. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Jogja,
2003.
Lubis, Akhyar Yusuf. Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori
Pengetahuan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Metodologi.
Bogor: Akademia, 2009
M.C, Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2005.
Maḥmūd, Abd al-Ḥalīm. al-Sunnah fī Makānatihā wa fī Tarīkhinā.
Keiro: Dar al-Kutub al-Arabī, 1967.
M, Buchari. Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik).
Jakarta: Nuansa Madani, 1999.
Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A. Juynboll. Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara, 2007.
Menno, S. Antopologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali, 1992.
241
Metcalf, Barbara D. Living Hadith in the Tablighi Jama‘at, The Journal
of Asian Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 605.
http://www.jstor.org/stable/2058855. (Accessed: 20/04/2014).
Al-Miṣrī, Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram Ibn Manẓūr al-
Afriqī. Lisān al-„Arab. Beirut: Dār Fikr, 1990.
Al-Mubarakfurī, Abū Alī Muḥammad ‗Abd al-Raḥmān ibn Abd al-
Raḥīm. Muqaddimah Tuḥfat al-Ahwādhi. Beirut: Dar al-fikr,
1979.
Muhajirin. Transmisi Hadis di Nusantara. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2009.
Mujiyo. ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi dan
Metodologi‖. Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Al-Munawar, Said Agil, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam
Instinbath Hukum Islam dan Aplikasinya terhadap Masalah-
Masalah Kontemporer. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001.
___________. Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-
Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
___________. al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Al-Najjar, Zaghlul Raghin. Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti
Mukjizat Ilmiah Sabda Rasulullah. Jakarta: zaman, 2013.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
__________.Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 1972.
__________.Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
242
Al-Nawāwī, Muhyi al-Dīn ibn Sharf. al-Majmu‟. Beirut: Dar al-Fikr,
1996.
Itr, Nuruddin. Ulūm al-Ḥadīth. Bandung: Rosda Karya, 1994.
Piaget, Jean. Strukturalisme, penerjemah Hermoyo, judul asli ―Le
Structuralisme‖. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995
Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: PustakaSetia, 2004.
Polama, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Rajawali,
t.th.
Al-Qaraḍawi, Yusūf. Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Kairo: Dār al-Shuruq, 2006.
______________. al-Khaṣāiṣ al-„Ammah lil Islam. Keiro: Dar al-
Ma‘rifah, t.t.
Al-Qasimī, Muhammad Jamal al-Dīn. Qawaid al-Taḥdith min Funun
Musṭalah al-Ḥadīth. Beirut: Dār al-Kutub Ilmiyyah, t.t.
Al-Qasimī, Abdullāh ibn Alī al-Najdī. Mushkilāt al-Ahādīth al-
Nabawiyyah wa Bayānuhā. Lebanon: Dār al-Qalam, 1985.
R, Roolvink. Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. Brill, t.th.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
Ratna, Nyoman Kutha. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2007.
Rodliyana, Muhammad Dede. ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith
dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Hadith di
Indonesia‖. Tesis: UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Rosenthal, Franz. A History of Muslim Historiography. Leiden: E.J
Brill, 1968.
243
Sadulloh, Uyoh. Pedagogik. Bandung: Cipta Utama, 2007.
Safri, Edi. al-Imam al-Shafi‟ī; Metode PenyelesaianHadis-Hadis
Mukhtalif. Padang: IAIN IB Press, 1999.
Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi
Intelektual 17 Tokoh. Jakarta: Grasindo, 2003.
Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Shaliba, Jamil. Al-Mu‟jam al-Falsafi. Beirut: Dār al-Kitab al-Lubnānī,
1973.
Al-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang, 1976.
___________. Sejarah Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Al-Sibā‘ī, Musthafa. al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fī al-
Tasyri‟ al-Islāmī. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1976.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual,
Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati
Diri. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah. Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1998.
Al-Suyuṭi, Jalaluddin. Kitabal-Iqtirakh fī „Ilmi „Uṣulin Nakhwi. Da‘irah
al-Ma‘arif al-Utsmaniyah, t.th.
__________. Lubāb an-Nuqul dalam Hasyiah Tafsir al-Jalalain.
Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,t.th.
244
Syaltut, Mahmud. Al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah. Kairo: Dār al-Qalam,
1996.
Al-Shaukanī. Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad. Nail al-Auṭor.Kairo:
Musṭafa Babī al-Halabī, t.th.
Ṭahan, Maḥmud. Taisir Musṭalah al-Ḥadīth. Keiro: Dār al-Fikr, t.th.
Wahid, Abdul. Hadis Nabi dan Problematika Masa Kini. Yogyakarta:
AK Group.
Watt, Montgomery. Islamic Fondamentalism and Modernity. London:
Routledge, 1988.
Wibowo,Wahyu. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2001.
Ya‘qub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997.
__________. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
__________. Kritik Hadis .Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
__________. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan
Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009.
__________. Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
__________. Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zaidan, Jurji. Tarikh Adabil Lughah al-Arabiyah. Beirut: Dār a-Fikr,
1996.
Zuhaili, Wahbah. al-Qur‟an al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri‟iyyah
wa Khadhariyyah. Beirut:Dar al-Fikr, 1993.
245
Jurnal-Jurnal
Amin, Kamaruddin. Nasiruddin al-Albani on Muslim‘s Ṣahih: A
Critical Study of His Method, Journal Islamic Law and Society,
Vol. 11, No.2, 151. http://www.jstor.org/stable/3399302.
(Accessed: 27/01/2014).
Anwar, Syamsul. Fatwa, Purification and Dynamization: A Study of
Tarjih in Muhammadiyah. Journal Islamic Law and Society, Vol.
12 (2005). http://www.jstor.org/stable/3399291. (Accessed:
20/04/2014).
Baljon, J.M.S. Pakistani Views of Hadith. Journal Die Welt des Islams,
Vol 5, (2008). http://www.jstor.org/stable/1570195. (Accessed:
20/04/2014).
Blackburn, Susan. Indonesian Women and Political Islam. Journal of
Southeast Asian Studies, Vol 39 (2008).
http://www.jstor.org/stable.20071871. (Accessed: 20/04/2014).
Brown, Jonathan A. C. How We Know Early Hadith Critics Did Matn
Criticism and Why It‘s so Hard to Find. Journal Islamic Law and
Society, Vol. 15 (2008). http://www.jstor.org/stable/40377959.
(Accessed: 20/04/2014).
Duderija, Adis. Toward Methodology of Understanding the Nature and
Scope of the Concept of Sunnah. Journal Arab Law Quarterly,
Vol. 21 (2007). http://www.jstor.org/stable/27650590. (Accessed:
20/04/2014).
Federspiel, Howard. ―Hadith‖ Literature in Twentieth Century
Indonesia. Journal Oriente Moderno, (2002).
http://www.jstor.org/stable/25817815. (Accessed: 14/05/2014).
Feener, R. Michael.Indonesian Movements for the Creation of a
'National Madhhab'. Journal ofIslamic Law and Society, Vol. 9,
No. 1 (2002), 83-115,http://www.jstor.org/stable/3399202
.(Accessed: March 16, 2012).
246
Gabrieli, Fransesco. Arabic Historiography. Journal Islamic Studies,
Vol. 18. (1979). http://jstor.org/stable/20847098. (Accessed:
20/04/2014).
Gleave, Robert. Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī
Collections of Akhbār. Journal of Islamic Law and Society, Vol.
8, No. 3 (2001), 350-382, http://www.jstor.org/stable/3399449.
(Accessed: March 14, 2012).
Haasse, Michaela. Differences between Synchronic and Idealized
Diachronic Theory-Elements: A Reply to MarttiKuokkanen and
TimoTuomivaara, Journal for General Philosophy of Science,
Vol. 28, No. 2 (1997), pp. 359-366.
http://www.jstor.org/stable/25171097 (Accessed April 27, 2013).
Halaq, Wael B. The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-
Problem, Journal Studia Islamica, No.89 (1999), 75.
http://www.jstor.org/stable/1596086. (Accessed: 20/04/2014).
Hasan, Ahmad. The Sunnah-Its Early Concept and Development,
Journal Islamic Studies, Vol. 7, No.1, (1968), 47. Published by
Islamic Research Institute, International Islamic University,
Islamabad. http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed:
27/01/2014).
Juynboll, G.H.A. Hadith in Modern Islam by Roberto Tottoli: Claudio
Lo Jacono. The Journal Islamic Law and Society, Vol.11 (2004).
http://www.jstor.org/stable/3399385. (Accessed: 20/04/2014).
Khan, Bashir Ahmad. The Ahl-i-Hadith: A Socio-Religious Reform
Movemet in Kashir, Journal The Muslim World, (2000), 133.
Published by University of Kashmir Department of History
Srinagar, Kashmir. http://www.proquest.org. (Accessed:
03/02/2014).
Hasan, Ahmad. The Sunnah-its Early Concept and Development,
Journal Islamic Studies, Vol.7. No. 1, 50. Islamic Research
247
Institute, International Islamic University, Islamabad.
http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed 27/01/2014).
Lenz, Claudia. Genealogy and Archeology: Analyzing Generational
Positioning in Historical Narratives, Journal of Comparative
Family Studies, 2001, http://proquest.org.(Accesed: 3/10/2014).
Lukens-Bull, Ronald A. Two Sides of the Same Coin: Modernity and
Tradition in Islamic Education in Indonesia, Journal
Anthropology dan Education Quarterly, Vol. 32, No.3 (2001),
353. http://www.jstor.org/stable/3195992. (Accessed:
20/04/2014).
Mas‘ud, Muhammad Khalid, “Hadith and Violence‖, Istituto per
l‟OrienteJournal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5-18,
http://www.jstor.org/stable/25817809, (Accessed March 16,
2012).
Melchert, Cristhoper. The Development of Early Sunnite Hadith
Criticism. The Taqdima of Ibn Aabi Hatim al-Razi (240/854-
327/938). http://www.jstor.org/stable/3399254. (Accessed:
20/04/2014).
Metcalf, Barbara D. Living Hadith in the Tablighi Jama‘at. The Journal
of Asian Stuies, Vol. 52 (1993). http://www.jstor.org/stable/
2058855. (Accessed: 20/04/2014).
Nafi, Basheer M. A Teacher of Ibn ‗Abd al-Wahhab: Muhammad
Hayat al-Sindi and the Revival of Ahab al-Hadith‘s
Methodology. Journal Islamic Law and Society, Vol. 13 (2006)
http://www.jstor.org/stable/40377907. (Accessed: 20/04/2014).
Ozkan, Halit. The Common Link and Its Relation The Madar, Journal
Islamic Law and Society, Vol.11, No.1 (2004), 42.
http://www.jstor.org/stable/3399380. (Accessed: 27/01/2014).
Parkin, Robert J. Genealogy and Category: An Operational View, The
Journal of Ehess, No. 139 (1996), 87-108,
http://www.jstor.org/stable/25156776, (Accessed April 25, 2013).
248
Rafiqi, Khairul. Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, KMA
Journal of Hadith, (2012). http://kmamesir.org. (Accessed: Mei
11, 2013).
Rahardjo, M. Dawam. Perceptions of Culture in the Islamic Movement
An Indonesian Perspektive. Journal of Social Issues in Southeast
Asia, Vol. 7 (1992). http://www.jstor.org/stable/41056852.
(Accessed: 20/04/2014).
Al-Rahawan, Mohammad Sa‘id Mitwally Ibrahim. Detecting Textial
Additions of Reliable Hadith Transmitters, Journal Islamic
Studies, Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic
Research Institute, International Islamic University, Islamabad.
http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed: 27/01/2014).
Rodliyana, Muhammad Dede. Hegemoni Fiqh Terhadap Penulisan
Kitab Hadith. Journal Qur‟an dan Hadith Studies Vol I, No.I,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Sayeed, Asma. Women and Hadith Transmission Two Case Studies
From Mamluk Damascus, Journal Studia Ismlamica, No. 95
(2002), 71. http://www.jstor.org/stable/1596142. (Accessed:
20/04/2014).
Shaukat, Jamila. The Isnad in Hadith Literature, Journal Islamic
Studies, Vol.24, No.4 (1985), 445. Published by Islamic Research
Institute, International Islamic University, Islamabad.
http://www.jstor.org/stable/20839742. (Accessed: 27/01/2014).
Spectorsky, Susan. Hadith and Fiqh. The Journal Islamic Law and
Society, Vol. 8 (2001). http://www.jstor.org/stable/3399447.
(Accessed: 20/04/2014).
Voll, John O. ‗Abdallah ibn Salim al-Basri and 18th Century Hadith
Scholarship. Journal Die Welt des Islams, Vol. 42 (2002).
http://www.jstor.org/stable/1571419. (accessed: 20/04/2014).
249
Wahid, Ramli Abdul. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia.
Accademy of Islamic Studies University of Malaya Journal of al-
Qur‟an and Hadith, Vol 4 (2006), 63-78.
http://www.albayanjournal.com. (Accessed: Mei 11, 2013).
Wieringa, Saskia Elenora. Islamization in Indonesia: Women Activists‘
Discourses, Journal Sign, Vol. 32, No.1, (2006), 1. Published by
The University of Chicago Press.
http://www.jstor.org/stable/10.1086/505274. (Accessed:
20/04/2014).
Woodward, Mark R. Textual Exegesis as Social Commentary:
Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian
Translations of Arabic Hadith Texts. The Journal of Asian
Studies, Vol. 52, No. 3 (1993), 565-583,
http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accessed March 16, 2012).
Zaman, Muhammad Qasim. Maghazi and the Muhaddithun:
Reconsidering the Treatment of ―Historical‖ Materials in Early
Collection of Hadith. Journal of Middle East Studies, Vol. 28,
No.1 (1996), http://www.jstor.org/stable/176112. (Accessed:
20/04/2014).
250
GLOSARIUM
Asbāb al-Wurūd : Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW
menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW
menuturkannya.
Baṭīl (Hadis) : Hadis yang tidak ada sumbernya sama sekali.
Bayan : Penjelasan fungsi hadis terhadap al-Qur‘an sebagai
mubayyin yang sekurang-kurangnya memilki tiga
fungsi; yaitu bayan taqrīr atau ta‟kīd, bayan tafsīr
atau tafṣil dan bayan tashrī‟.
Ḍabiṭ : Perawi yang kuat hafalannya terhadap apa yang
telah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan atau mereporduksi hafalan tersebut
kepada orang lain kapan saja jika diperlukan
Ḍa’īf : Hadis yang hilang syarat-syaratnya, atau salah satu
syaratnya dari hadits ṣaḥīḥ atau hasan.
Development : Bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur
dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari
proses pematangan. Perkembangan menyangkut
adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang
berkembang sedemikian rupa sehingga masing-
masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Dirayah : Sama artinya dengan ilmu Musṭalah al-Ḥadīth, ilmu
Uṣūl al-Fiqh dan Ulūm al-Ḥadīth yaitu suatu ilmu
pengethuan atau kaidah-kaidah untuk mengetahui
maqbūl dan mardūd suatu hadis.
251
Gharīb : menurut bahasa adalah orang yang menyendiri,
mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak
keluarganya. Menurut istilah muḥaddithin, yang
dimaksud dengan hadis gharib adalah hadis yang
rawinya menyendiri dengannya baik menyendiri
karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati
hadisnya maupun menyendiri karena jauh dari rawi
lain, yang bukan imam sekalipun.
Hadis : Apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya.
Ḥadīth mukhtalif : Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth ḥasan yang secara lahiriyahnya
tampak saling bertentangan dengan Ḥadīth ṣaḥīḥ atau
Ḥadīth ḥasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya
atau maksud yang dituju oleh Ḥadīth tersebut tidaklah
bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat
dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam
bentuk nasakh atau tarjīh.
Hermeneutik : Sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui
interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku
berupa teks.
Historical Narative: Salah satu referensi dari referensi sistem dari
sesuatu yang dapat dibaca dan direkonstruksi
struktur dan genealogi maknanya mengenai
pengaruh kebudayaan.
Ijazah : Salah satu cara periwayatan dan penerimaan hadis,
dengan cara seorang guru memberikan izin kepada
muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab
daripadanya
’Illat : Suatu cacat dalam hadis, yang berakibat hadis
tersebut ditolak, seperti menyebut muttaṣil terhadap
hadis yang sebenarnya munqaṭī‟
Jarh : Cacat para perawi yang disebabkan oleh sesuatu
yang merusak nilai keadilan dan ke-ḍabiṭ-annya.
252
Ilmu al-jarh artinya ialah ilmu yang membahas
tentang kecacatan para perawi
Liqa’ : Pertemuan seorang guru atau perawi hadits dengan
murid atau penerimanya, ketika meriwayatkan suatu
hadits. bukti kejadian terjadinya pertemuan ini
merupakan syarat yang diajukan oleh Bukhari untuk
menilai hadis itu bersambung atau tidak
Ma’mūl bih : Hadis ṣaḥīḥ yang dapat diamalkan
Maqbūl : Hadis yang dapat diterima kehujjahannya, yakni
hadis yang memenuhi syarat-syarat ṣaḥīḥ.
Maqlub : Hadis yang tertukar datanya, baik pada redaksi
matan maupun nama sanad-nya
Matan : Lafaz-lafaz hadis yang meliputi perkataan,
perbuatan dan taqrīr serta hal ihwal yang
disandarkan kepada Rasul SAW
Mauḍū’ : Hadis palsu
Mayor : Kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis yang lima, sesuai
dengan yang dipakai oleh ulama ahli hadis
Muhaddīth : Gelar untuk ulama yang menguasai hadis baik dari
sudut ilmu riwayah maupun dirayah-nya
Mukhtalīf : Hadis-hadis yang semula tampak bertentangan
al-Ḥadīth tetapi kemudian dapat dikompromikan.
Modernist : Tipe pola gerakan yang menamakan dirinya
scripturalism kelompok modern.
Rasionalisme : Faham yang mengedepankan logika. Istilah ini
dipakai untuk beberapa pengertian: (a). Faham yang
berpandangan bahwa segala yang ada mempunyai
sebab keberadaannya. Dalam arti, bahwa tidak ada
sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan pasti ada
253
alasan penciptaannya secara rasional. Rasionalisme
menurut sebagian ‗ulama agama ialah faham yang
mengatakan bahwa kepercayaan imani sesuai
dengan hukum-hukum akal.
Rawi : Orang yang meriwayatkan, menyampaikan atau
memberitakan hadis.
Riwayah : Ilmu pengethuan yang mencakup segala yang
disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau
Restriction of : Pola pemikiran keagamaan tradisional yang
traditionalist sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh
tradisi ulama masa lampau, dimana hasil pemikiran
ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus
referensi bagi setiap persoalan kemasyarakatan yang
muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran yang
demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas
masyarakat tradisional yang membanggakan tradisi,
seperti kelompok pengikut pola bermazhab dalam
keagamaan.
Sanad : Sandaran hadis, yang menghubungkan antara perawi
kepada sumber hadis
Shuzuz : Kejanggalan pada hadis karena matan-nya
bertentangan dengan hadis ṣaḥīḥ yang kualitasnya
lebih tinggi
Takhrīj : petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada
sumber aslinya, dengan menyebutkan sanad-nya,
kemudian dijelaskan kualitas hadis tersebut
manakala diperlukan
254
INDEKS
A
Abū Ṣuhbah, 8, 9 Al-Bukharī, 14, 60, 125, 159 Ali Mustafa Ya‘qub, 7, 8, 12, 14,
15, 18, 24, 26, 35, 51, 58, 61, 62, 91, 99, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 127, 131, 133, 141, 142, 145, 146, 149, 161, 181, 182, 183, 184, 200, 223
Al-Nawawī, 56, 143 Al-Suyuṭī, 179, 183 Aribah, 69 Arifudin Ahmad, 22, 106, 110,
130, 134, 141, 147, 171, 173, 202, 220
Asbāb al-Wurūd, 18, 99, 174, 175, 225
Athar, 99, 186 Azyumardi Azra, 8, 47, 56, 63,
64, 71, 78, 79
B
Baidah, 69 Buchari M., 2, 14, 35, 43, 150,
211
D
Daniel Djuned, 3, 8, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 35, 39, 41, 45, 59, 62, 65, 66, 67, 86, 145, 155, 212
Daniel W. Brown, 34, 96, 120, 223
K
Daud Rasyid Sitorus, 8, 14, 35, 58, 86, 145
Diakronis, 29, 143 Dirayah, 2, 57, 82, 99, 144,
162
E
Edi Safri, 2, 10, 45, 46, 86, 102, 151, 196
Fiqh al-Ḥadīth, 19, 31, 39, 45
G
Genealogi, 16, 17, 19, 29, 36, 70, 71, 96, 98, 171, 177, 181, 184
H
Harun Nasution, 32, 48, 147, 154, 171, 172
Hasbi ash-Shiddiqie, 148, 162 Hereditas, 129, 131 Hermeneutik, 6, 7, 10, 11, 15,
16, 37, 38, 41, 47, 59, 62, 68, 94, 145, 168, 211, 215
Historiografi, 62, 63, 64, 65, 71, 75
I
Ibn al-Athir, 4 Ibn Hajar al-Asqalanī, 228
J
Jarh, 227 Juynboll, 52, 53, 54, 123, 149,
187, 196, 197, 198, 205, 207
N
255
Kamaruddin Amin, 15, 18, 26, 54, 87, 99, 121, 122, 124, 125, 126, 127, 133, 136, 142, 146, 149, 152, 184, 185, 186, 187, 188, 191, 192, 193, 200, 204, 206, 208
Khairul Rafiqi, 21, 82, 145 Komaruddin Hidayat, 6, 7, 41,
47, 68, 94, 168, 215 Kontemporer, 63, 64, 71, 93,
104, 111, 118, 131
L
Louis Gottschalk, 75, 89 Lutfi Fathullah, 8, 14, 18, 35, 58,
86, 145
M
Maḥmūd al-Ṭahhān, 48 Manhāj, 8, 9, 25, 32, 153, 173,
183, 185 Matan, 5, 16, 35, 58, 62, 90, 94,
122, 145, 153, 166, 197, 211 Muḥadīth, 206 Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatib, 11 Muḥammad al-Ghazalī, 20, 45,
48, 223 Muhammad Dede Rodliyana,
14, 20, 22, 36, 38, 58, 81, 82, 86, 145
Mujiyo, 22, 31, 32, 36, 96, 98 Mukhtalīf, 185 Mushkīl, 186 Musṭafa al-Sibā‘ī, 2, 163
Syuhudi Ismail, 3, 6, 8, 12, 13, 15, 18, 19, 22, 24, 26, 35, 58,
Naṣiruddīn al-Albanī, 9, 48 Nizar Ali, 4, 7, 58, 86, 145,
153, 164, 165, 167, 168, 195
Nūr al-Dīn ‗Itr, 8, 9, 25, 48, 183, 207
O
Orientalis, 52
Q
Quraish Shihab, 42, 147, 148, 171, 172
R
R. Michael Feener, 14, 20, 35, 36
Ramli Abdul Wahid, 20, 21, 82, 145
Rasionalisme, 33, 50 Rekonstruksi, 15, 29, 39, 41,
58, 62, 145, 150, 212 Riwayah, 82
S
Said Agil Husin al-Munawar, 13, 111, 114, 115, 126, 131, 133, 148, 154, 172, 177, 178, 179, 180, 181, 185, 191, 200, 204, 210, 211, 220
Sanad, 59, 66, 84, 85, 106, 107, 108, 109, 138, 141, 149, 209, 216
Subḥi al-Ṣalīh, 9, 48
256
59, 60, 61, 86, 89, 92, 99, 103, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 115, 126, 130, 133, 134, 137, 138, 140, 145, 146, 147, 149, 157, 158, 159, 160, 167, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 190, 191, 200, 201, 202, 203, 209, 210, 215, 216, 218, 219, 220, 222
T
Tahlilī, 42
U
Uṣūl al-Fiqh, 39, 48 Uṣūl al-Ḥadīth, 11, 19, 45, 185
W
Wahbah al-Zuhaili, 118 Wahhab, 194 Y
Yudi Latif, 16, 27, 143
257
BIODATA PENULIS
Nama : Hasep Saputra
TTL : Tanjung Pauh Mudik, Kab.
Kerinci, 01 Oktober 1985
No Hp/Telp : 085272430949
Alamat : Desa Pancuran Tiga Kec. Keliling
Danau Kab. Kerinci
Email : [email protected]
Ayah : H. Magek Abas.
Ibu : Ertini, S.Pd.
Isteri : Roza Eva, SKM.
Anak : Qowiyya Lathifa Qamra.
Pendidikan:
1. SDN No.137/III Tanjung Pauh Mudik, tahun 1998.
2. MTsN Model Sungai Penuh, tahun 2001.
3. MAN 1 Sungai Penuh, tahun 2004.
4. S1. Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis IAIN Imam Bonjol
Padang, tahun 2008.
5. S2. Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 2010.
Pengalaman Organisasi :
1. Anggota Bidang Kaderisasi UKM KSI Ulul al-Bab IAIN Imam
Bonjol Padang tahun 2004-2005.
2. Sekretaris Umum Forum Kajian Riyadh al-Shalihin Fakultas
Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2005-2006
3. Ketua Kerohanian Ikatan Mahasiswa Kerinci-Padang tahun 2005-
2006
4. Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2007-2008
5. Anggota Bidang Jaringan Komunikasi Nasional Pusat Studi Islam
Mahasiswa Kerinci-Padang tahun 2007-2008.
6. Anggota Bidang Intelektual Forum Mahasiswa Ushuluddin
Nasional tahun 2006-2008.
258