Upload
dangthien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELARI TERHADAP
PERJANJIAN BAKU DALAM AJANG BALI MARATHON
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Iqbal Hardian Rusbianto
11140480000115
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440/2019 M
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELARI TERHADAP PERJANJIAN
BAKU DALAM AJANG BALI MARATHON
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Iqbal Hardian Rusbianto
11140480000115
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440/2019 M
ABSTRAK
Iqbal Hardian Rusbianto. NIM 11140480000115. PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PELARI TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM AJANG BALI
MARATHON. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440
H/2019 M. Isi: ix + 78 halaman + 4 halaman lampiran + 3 halaman daftar pustaka.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan deengan cara
menelaah peraturan-peraturan dalam ajang Bali Marathon yang diselenggarakan oleh
PT. Bank Maybank Indonesia.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana bentuk perlindungan hukum
bagi pelari terhadap perjanjian baku dalam ajang Bali Marathon. Dalam perjanjian
baku, isi perjanjian diterapkan secara sepihak oleh pihak yang posisinya lebih kuat
dalam ekonomi yaitu pelaku usaha tanpa melalui proses negoisasi (tawar-menawar).
Tujuan pihak pelaku usaha menerapkan perjanjian baku adalah untuk menghemat
biaya dan waktu karena konsumen hanya mempunyai dua pilihan saja yaitu menerima
atau menolaknya. Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi permasalahan dalam
perjanjian baku adalah bukan perjanjian baku, melainkan terdapatnya perjanjian baku
(standard contract) yang bersifat klausula eksonerasi (pengalihan tanggung jawab)..
Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi dapat ditemui dalam
pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dari
hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa peraturan-peraturan dalam ajang
Bali Marathon mencantumkan perjanjian baku yang bersifat eksonerasi. Perjanjian
baku yang mengandung klausula eksonerasi (pengalihan tanggung jawab) berakibat
batal demi hukum.
Kata Kunci : Perjajian Baku, Klausula Eksonerasi, Perlindungan Konsumen, Bali
marathon.
Pembimbing : Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1992 Sampai Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELARI
TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM AJANG BALI MARATHON”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat yang telah membawa kita keluar
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang saat ini. Semoga kita
diberikan syafaatnya pada yaumil akhir kelak. Aamiin.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari bahwa sangat sederhana karya tulis ini
dan jauh dari kata sempurna. Namun juga peneliti tidak menutup mata akan peran
berbagai pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan , arahan dan
bimbingan, sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih
yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan berupa saran
dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Syafrudin Makmur, S.H., M.H., dosen pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran, arahan,
masukan, serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Kedua Orang Tua tercinta yaitu Bapak Sibun Hartono dan Ibu Rusiyah, yang
selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis, serta telah memberikan
dukungan moril maupun materil kepada penulis tanpa lelah.
vii
5. Kakak dan Adik kanung penulis, Sylvia, Ruvika, Rahmia, dan Fadli karena
telah memberi dukungan moril maupun materil kepada penulis hingga dapat
terselesaikannya skripsi.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi saya, sehingga saya mampu untuk
memahami keilmuan hukum serta perkembanganya pada saat ini.
7. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan
referensi untuk melengkapi hasil penelitian saya.
8. Penulis artikel, jurnal, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam
proses penyusunan.
9. Sahabat-sahabat yang selalu bersama dan menjadi tempat bercerita sejak awal
semester awal hingga saat ini, terutama sahabat 78 timur dan cordova yang
telah banyak memberikan motivasi dan masukan kepada penulis
10. Teman-teman seangkatan Ilmu Hukum 2014 yang selalu meberikan semangat
dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.
11. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini, dan juga menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Jakarta, 02 Januari 2019
Penulis,
Iqbal Hardian Rusbianto
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ ii
LEMBAR PENGESEHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................................. 8
D. Metode Penelitian .................................................................................................... 9
E. Rancangan Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II TEORI PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DAN PERJANJIAN
BAKU
A. Kerangka Konseptual ............................................................................................. 15
B. Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen
1. Teori Perlindungan Hukum .............................................................................. 16
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen .................................................... 19
3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ....................................................... 22
4. Hak dan Kewajiban Konsumen ........................................................................ 26
5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .................................................................... 30
C. Tinjauan Umum Perjanjian Baku
1. Perjanjian Pada Umumnya................................................................................ 32
2. Pengertian Perjanjian Baku ............................................................................... 33
3. Ciri-Ciri Perjanjian Baku .................................................................................. 35
4. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ............................................................ 37
5. Klausula Eksenorasi .......................................................................................... 39
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................................... 40
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN
BAKU DALAM AJANG BALI MARATHON
ix
A. Profil Penyelenggara Ajang Bali Marathon (Maybank Indonesia ) ............... 42
B. Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
1. Pengertian dan Latar Belakang .................................................................... 45
2. Kedudukan dan Tugas .................................................................................. 46
3. Visi dan Misi ................................................................................................. 47
C. Hubungan Hukum antara Pihak Penyelenggara dengan Pelari Dalam Ajang Bali
Marathon ................................................................................................................. 48
D. Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Klausula Eksonerasi Dalam
Ajang Bali Marathon ........................................................................................... 51
BAB IV UPAYA HUKUM DAN AKIBAT PERJANJIAN BAKU DALAM AJANG
BALI MARATHON
A. Penyimpangan Penggunaan Klausula Eksonerasi Pada Peraturan Peserta
Ajang Lomba Lari terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen ..... 58
B. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Konsumen terhadap Pelanggaran yang
Dilakukan oleh Pelaku Usaha ............................................................................ 63
C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Ajang Lomba Lari Marathon dengan
Klausula Eksonerasi ............................................................................................. 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 76
B. Rekomendasi ........................................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 79
LAMPIRAN............................................................................................................................ 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Olahraga pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap manusia di dalam
kehidupan, agar kondisi fisik dan kesehatannya tetap terjaga dengan baik.
Olahraga dapat meningkatkan kesehatan dan mencegah timbulnya berbagai
macam penyakit. Dengan melakukan olahraga secara teratur juga bermanfaat
untuk mengurangi depresi, stres dan kecemasan, meningkatkan kepercayaan
diri, serta memperbaiki kualitas tidur. Olahraga sudah menempati posisi yang
penting dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah sendiri menjadikan olahraga
sebagai pendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat. Hal
tersebut terbukti dengan menempatkan olahraga sebagai salah satu arah
kebijakan pembangunan,yaitu menumbuhkan budaya olahraga guna
meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat
kesehatan dan kebugaran yang cukup. Selain itu, pemerintah juga
menyediakan berbagai fasilitas olahraga yang dapat dimanfaatkan untuk
masyarakat umum.
Di zaman modern saat ini, berbagai macam jenis olahraga mulai populer di
masyarakat luas. Salah satu olahraga yang populer yaitu olahraga lari
marathon yang banyak digemari oleh anak-anak, orang dewasa maupun orang
tua. Olahraga tersebut sering dilombakan di berbagai daerah di Indonesia.
Dengan diadakannya lomba tersebut membuat minat masyarakat terhadap
olahraga kian bertambah, karena selain mendapat kebugaran juga dapat
menyalurkan bakatnya. Dalam perkembangannya olahraga ini dapat
dilakukan sebagai kegiatan yang menghibur atau juga dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan prestasi. Masyarakat mempunyai apresiasi yang
tinggi terhadap perkembangan dunia olahraga.
Beberapa tahun belakangan, banyak para pelaku usaha menyelenggarakan
ajang lomba lari marathon. Ajang tersebut selalu ramai diikuti oleh para
runner, dari kalangan anak-anak sampai orang tua. Bahkan pesertanya tidak
2
hanya dari dalam negeri tetapi dari luar negeri juga ikut berpartisipasi.
Namun, para runner (pelari) yang sudah terdaftar menjadi peserta harus
mengetahui bahwa pihak penyelenggara sering mencantumkan klausula baku
berisi pelepasan hak menuntut atau sering disebut waiver yang harus disetujui
para runner bersamaan pembayaran kepesertaan. Waiver ini ternyata
bermasalah dari segi hukum perlindungan konsumen. Para runner sebaiknya
mengetahui dengan baik hak-haknya sebagai konsumen yang dilindungi
hukum sebelum memutuskan mengikuti ajang lomba lari.1 Konsumen
memiliki resiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain
hak-hak konsumen sangat rentan dan mudah untuk dilanggar. Konsumen
memiliki sejumlah hak hukum yang perlu mendapat perlindungan dalam
pemenuhannya. Hak-hak itu perlu mendapat pemahaman dan penghargaan
dari semua pihak, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.2
Para pelari perlu menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen yang
dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga dapat
melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan
pemerintah. Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam
melakukan kegiatan mengonsumsi barang dan/atau jasa, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan
agar upaya perlindungan konsumen di Indonesia untuk dapat lebih
diperhatikan sekaligus mengintegrasikannya dapat memperkuat penegakan
hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini memuat aturan-aturan yang dijadikan payung
hukum yang menyangkut konsumen.
1 http:/www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a180bfa92abf/aspek-perlindungan-hukum-bagi-
irunner-i-dalam-ajang-lomba-lari (diakses pada tanggal 5 Februari 2018 pukul 19.43 WIB)
2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2014), h. 2.
3
Hubungan hukum antara pelari dan pihak penyelenggara adalah konsumen
dan pelaku usaha. Hubungan hukum antara pihak penyelanggara dengan
pelari telah terjadi ketika pihak penyelenggara sebagai pelaku usaha
memberikan janji-janji serta informasi terkait acara lomba lari marathon
tersebut, selain itu adanya transaksi tiket pembayaran peserta lomba lari
marathon untuk sejumlah fasilitas yang dijanjikan juga menjadi salah satu
alasan kuat bahwa hubungan hukum antara pihak penyelenggara dengan
pelari adalah hubungan hukum antar pelaku usaha dengan konsumen.
Peristiwa hukum yang terjadi terhadap pelaku usaha dengan konsumen
tersebut adalah perdagangan berupa jasa
Menurut Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya
lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi
klausula baku seringkali merugikan pihak yang menerima klausula tersebut,
yaitu pihak konsumen, karena dibuat secara sepihak. Apabila konsumen
menolak klausula tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa
yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemui ditempat lain.
Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula
baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan
cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-
tele. Bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan
karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun
dengan berat hati.3
3 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), h. 6.
4
Menurut Ahmad Miru perjanjian baku adalah perjanjian yang mengikat
para pihak yang menandatanganinnya, walaupun harus diakui bahwa klausula
yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung
gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun
setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para
pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut,
kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.4 Perjanjian baku (standar) itu sebagai perjanjian yang hampir
seluruh klausula-klausula dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk meminta perubahan. Adapun
yang belum dibakukan adalah beberapa hal lainnya yang sifatnya sangat
spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian baku
(standar) adalah perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh
produsen/pelaku usaha/penjual yang mengandung ketentuan yang berlaku
umum (massal) sehingga pihak konsumen hanya mempunyai dua pilihan saja
yaitu menyetujui atau menolaknya.
Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi permasalahan dalam
perjanjian baku adalah bukan perjanjian baku, melainkan terdapatnya
perjanjian baku (standard contract) yang bersifat eksonerasi (klausula
eksonerasi). Rikjen mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula
yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak
menghindarkan diri umtuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi
seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melawan hukum.5
Perjanjian baku atau standar contract memiliki karakteristik sebagai ciri-
ciri dari suatu perjanjian baku sebagai berikut:
4 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 108.
5 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 47.
5
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat.
2. Masyarakat (debitur/konsumen) sama sekali tidak bersama-sama
menentukan perjanjian.
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur/konsumen terpaksa menerima
perjanjian itu.
4. Bentuk tertentu (tertulis).
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.6
Dalam ajang lomba lari bali marathon yang diselanggarakan oleh PT.
MayBank Indonesia ditemukan klausul-klausul eksonerasi yang pada
hakikatnya dilarang oleh Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian baku yang diterapkan dalam
ajang lomba lari marathon mengandung klausula eksonerasi di dalamnya
yang sudah pasti merugikan konsumen. Perjanjian baku dengan klausula
eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan
merugikan konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak
mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan
dengan dominasi konsumen, disini posisi konsumen lemah yang hanya
menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja. Beban yang
seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena
adanya klausula eksonerasi tersebut.
Faktor utama yang menjadikan konsumen lemah adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Posisi konsumen sebagai pihak yang
lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi
Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/248 Tahun 1985 Tentang Pedoman
untuk Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), yang
menghendaki agar konsumen mempunyai hak-hak dasar tertentu yakni hak
mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk
6 Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: PT. Sinar
Grafika, 2003), h. 146.
6
didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan
kebutuhan dasar manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan
hak untuk mendapatkan pendidikan dasar.7
Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi dapat kita
temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan
larangan pencantuman klausula eksonerasi karena berupaya membebaskan
atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain
dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya. Tujuan lain
dari larangan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian
dimaksudkan untuk menempatkan para pihak setara di hadapan hukum yaitu
dalam hal perjanjian. Bila kondisi ini terjadi maka posisi kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidak lagi setara sesuai asas kebebasan
berkontrak. Menurut asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang
terikat dalam perjanjian berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu
sama lain.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, peneliti
tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan mengambil judul
Perlindungan Hukum Bagi Pelari Terhadap Perjanjian Baku Dalam
Ajang Bali Marathon.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka identifikasi masalah yang muncul dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen telah diatur klausula baku.
7 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia Group,2015), h. 2-3.
7
b. Perjanjian baku boleh saja digunakan oleh pelaku usaha asalkan tidak
mengandung klausula eksonerasi
c. Pelaku usaha mengabaikan pelarangan pencantuman klausula baku
yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
d. Konsumen banyak dirugikan atas pengalihan tanggungjawab oleh
pihak pelaku usaha atas pencantuman klausula eksonerasi yang
tercantum dalam ajang Bali Marathon
e. Terjadi ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pihak konsumen
dan pelaku usaha .
f. Bagaimana perlindungan hukum pelari terhadap pencantuman
perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi
g. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pelari terhadap perjanjian
baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam ajang Bali
Marathon
2. Pembatasan Masalah
Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya
dengan apa yang sebenarnya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang
tersedia, antara harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen
dengan das sein.8 Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah yang akan
diteliti dan hanya berfokus pada perlindungan hukum konsumen terhadap
perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam ajang Bali
Marathon.
3. Perumusan Masalah
Beberapa tahun belakangan, banyak para pelaku usaha
menyelanggarakan ajang lomba lari marathon. Dalam ajang lomba lari di
Bali Marathon ditemukan klausul-klausul eksonerasi yang pada hakikatnya
8 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 103.
8
dilarang oleh Pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Pihak Penyelenggara mengabaikan larangan
pencantuman klausula baku dalam Pasal 18 UUPK . Beban yang
seharusnya dipikul oleh pelaku usaha menjadi beban konsumen karena
adanya klausula eksonerasi tersebut, maka dari itu dapat dijabarkan lagi
beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dikaji lebih lanjut dan
mendalam, yakni sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan perjanjian baku terhadap pelari dalam ajang
Bali Marathon?
b. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan pelari dalam memperoleh
perlindungan terhadap perjanjian baku yang mengandung klausula
eksonerasi dalam ajang Bali Marathon?
c. Bagaimana akibat hukum terhadap pelari atas perjanjian baku yang
mengandung klasula eksonerasi yang merugikan konsumen?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dijabarkan di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian
baku ajang Bali Marathon.
b. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumen
terhadap perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam
ajang Bali Marathon.
c. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi dalam ajang Bali Marathon.
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yang baik yang tidak hanya untuk peneliti, tetapi juga untuk akademis dan
masyarakat umum.
9
a. Manfaat Akademis
1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti
lain serta perkembangan ilmu hukum kedepannya, khususnya
dalam hukum bisnis
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi
peneliti berikutnya dalam melakukan penelitian lebih lanjut
dibidang perlindungan konsumen
b. Manfaat Praktis
1) Sebagai bahan masukan bagi pihak penyelenggara ajang lari
marathon dan pelari dalam melakukan kegiatan ajang lari
2) marathon serta resiko dan langkah-langkah untuk memperoleh
kepastian hukum
3) Sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sejenis
tentang perlindungan konsumen dalam perjanjian baku lomba lari
marathon
4) Sebagai bahan masukan bagi para konsumen dalam melakukan
upaya hukum untuk memperoleh haknya apabila terjadi sesuatu
yang diluar kehendak pihak penyelenggara dan pelari
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis
adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya
hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.9
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum
9 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 30.
10
dengan penedekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma hukum yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut
kebiasaan yang berlaku di masyarakat.10
Sifat dari penelitian yang
digunakan peneliti adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan prosuder pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan
subyek atau obyek pada saat sekarang berdasarkan dengan fakta yang
nampak.
2. Pendekatan Masalah
Berkaitan dengan tipe penelitian yang peneliti lakukan, peneliti
menggunakan penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)11
Dalam hal pendekatan menggunakan perundang-undangan (Statute
Approach) peraturan perundang-undangan yang digunakan khususnya
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus diterapkan dalam mengamati kasus yang telah
terjadi yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.
3. Sumber Data
Sumber pada penelitian skripsi ini antara lain mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum (tersier).
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
11 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III, (Jawa Timur:
Bayumedia Pubishing, 2007), h. 302.
11
a. Bahan hukum primer
Baham hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.12
Bahan hukum primer merupakan bahan utama. Bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yakni bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder merupakan bahan
hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, yang berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil
penelitian, buku-buku, teks, jurnal, media cetak, dan media
elektronik.13
c. Bahan non- hukum (tersier)
Bahan non-hukum (tersier) adalah bahan diluar bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-
hukum (tersier) dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi,
Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, ( Jakarta: Kencana Prenadamedia,
2005), h. 181.
13 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Hukum Normatif dan Empiris,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 157-158.
12
non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif
menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi
kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum maupun non
hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik kepustakaan
(library research) yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari
dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan,
artikel, dan serta jurnal hukum yang tentunya relevan dengan penelitian
agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau dalam memecah
suatu masalah.14
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan adalah mengelola data
sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara
sistematis. Sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan
menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada.
6. Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini akan dikaji dengan analisis kualitatif. Analisis kualitatif
artinya dianalisis dengan data-data yang sudah ada. Metode analisis dan
secara kualitatif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang djadikan rujukan dalam
menyajikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.15
Data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis secara deduktif, yang
selanjutnya dikaitkan dengan norma-norma hukum, doktrin-doktrin
hukum, dan teori ilmu hukum yang ada. Penelitian secara kualitatif ini
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
14
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera, 2009), h.
56.
15 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h. 107.
13
undanfan dan putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.16
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam
menyusun skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang
terdapat dalam buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017”.
E. Rancangan Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi ini secara menyeluruh ke dalam penulisan
yang sistematis dan terstruktur,maka skripsi ini disusun dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut:
BAB I: Dalam bab ini menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan
judul, diuraikan juga mengenai Latar Belakang Masalah,
Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan
Sistematika Penulisan.
BAB II: Dalam bab ini menguraikan kerangka konseptual, tinjauan tentang
hukum perlindungan konsumen, tinjaun tentang perjanjian, dan
tinjauan (review) kajian terdahulu, yang sama sama membahas
mengenai perlindungan konsumen.
BAB III: Dalam bab ini berisi profil penyelenggara ajang Bali Marathon,
tinjauan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, hubungan
hukum antara pelari dengan pihak penyelenggara, dan
perlindungan hukum bagi pelari terhadap perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi.
16
Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), h. 103.
14
BAB IV: Dalam bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi yaitu berisi
analisis hasil penelitian mengenai perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi.
BAB V: Dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian skripsi,
berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang
didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
15
BAB II
TEORI PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DAN PERJANJIAN
BAKU
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah merupakan pedoman yang lebih konkrit dari
kerangka teori yang berisi definisi operasional yang menjadi pegangan dalam
penelitian skripsi1 Sumber yang digunakan untuk menentukan definisi
diambil dari perundang-undangan dan penelitian perpustakaan sehingga
metode yang digunakan adalah metode paraphrase2 yaitu menjelaskan arti
dengan menggunakan kalimat yang lain.
1. Perlindungan Konsumen
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merumuskan
bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen
Konsumen menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku Usaha
Pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 133.
2 Paraphrase adalah istilah linguistic yang berarti pengungkapan kembali suatu konsep
dengan cara lain dalam bahasa yang sama, namun tanpa mengubah maknanya. Paraphrase
memberi kemungkinan kepada sang penulis untuk memberi penekanan yang agak berlainan
dengan penulis asli.
16
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai badan ekonomi.
4. Jasa
Jasa menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Klausula Baku
Klausula baku menurut Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah setiap aturan dan ketentuan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
6. Bali Marathon
Bali Marathon merupakan ajang lomba lari marathon berbayar yang
diselenggarakan oleh PT. Maybank Indonesia sejak tahun 2012 di Bali.
Ajang tersebut diselenggarakan dengan jarak 42,195 Kilometer (full
marathon), 21,00975 Kilometer (half marathon) dan 10 Kilometer.
B. Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen
1. Teori Perlindungan Hukum
Pada zaman sekarang ini hukum banyak diwarnai dan dibahas dengan
berbagai topik tak terkecuali pembahasan mengenai perlindungan hukum.
Berbicara mengenai perlindungan hukum, hal tersebut merupakan salah
satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting
karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang
mengatur tiap-tiap warga negaranya.
Sudah lazim untuk diketahui bahwa suatu negara akan terjadi suatu
hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri. Dalam hal tersebut
akan melahirkan suatu hak dan kewajiban satu sama lain. Perlindungan
hukum akan menjadi hak tiap warga negaranya. Namun, disisi lain dapat
dirasakan juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi
17
negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan
hukum kepada warga negaranya.
Pada teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang menjelaskan
tentang bahasan pada teori ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto
Raharjo, Philips M. Hadjon dan Lily Rasyidi.
Fitzgerald telah mengutip istilah teori perlindungan hukum dari
Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam
suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu
dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain
pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan
manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus
melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap
mewakili kepentingan masyarakat.3 Menurut Satjipto Rahardjo,
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum.4
Selanjutnya menurut Philipus M. Hadjon memberikan definisi
mengenai perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah
yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan
tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasar diskresi dan perlindungan yang represif adalah bertujuan untuk
3 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2000), h. 53.
4 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum..., h. 69.
18
mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga
peradilan.5 Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa
hukum dapat didisfungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,melainkan juga predektif dan
antisipatif.6
Berdasarkan pendapat dari 4 tokoh diatas, ada persamaan dan
perbedaan tentang perlindungan hukum. Persamaannya adalah para tokoh
diatas sepakat bahwa kita sebagai rakyat wajib mendapatkan perlindungan
hukum agar hak-hak kita tidak dilanggar. Selanjutnya perbedaannya
adalah Fitzgerald dan Satjipto Rahardjo hanya berpendapat mengenai apa
itu perlindungan hukum dan bagaimana cara mendapatkan perlindungan
hukum tersebut, sedangkan Philipus M. Hadjon, Lili Rasjidi, dan I.B.
Wyasa Putra berpendapat lebih detail bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.
Jadi bertujuan untuk mencegah adanya sengketa dan cara menanganinnya
setelah terjadi sengketa, sehingga hukum dapat didisfungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan
fleksibel, melainkan juga predektif dan antisipatif
Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum
adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan
dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa.
Selain itu, berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Pengertian perlindungan hukum menurut Undang-Undang nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu adalah segala daya upaya
yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga
pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
5 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum..., h. 54.
6 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem, (Bandung: Remaja
Rusdakarya, 1993), h. 118.
19
penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak
asasi yang ada.
Hukum harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai
dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang
sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum
dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula
hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum atau
segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh hukum.
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan
implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara
hukum yang berdasarkan pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus
mendapatkan perlindungan dari hukum.
Dapat dilihat secara keseluruhan, bahwa perlindungan hukum adalah
segala upaya perlindungan yang dilakukan oleh seseorang/ pemerintah/
swasta terhadap korban/ saksi/ pihak yang merasa dirugikan berdasarkan
aturan dan prosedur hukum yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak
tertulis dalam rangka memenuhi hak-hak korban yang dirugikan oleh
oknum sehingga tercipta rasa aman bagi korban.
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan oleh
banyak orang. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu
menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Selama masih banyak yang
dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu,
permasalahan perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan
dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Pada
intinya hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum
konsumen dan tidak dapat dipisahkan. Pada dasarnya, baik hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen memberikan hal yang
20
sama, yakni kepentingan hak-hak (hukum) konsumen. Bagaimana hak-hak
konsumen itu diakui dan diatur didalam hukum, serta bagaimana di
implementasikan dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah
penyediaan penggunaan produk (barang dan/ jasa) antara penyedia dan
penggunaannya dalam kehidupan masyarakat, sedangkan hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara
penyedia dan penggunannya dalam kehidupan masyarakat.7 Sedangkan
hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya
dengan penyediaan dan penggunaanya dalam kehidupan masyarakat.8
Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan, dengan dua
alasan/pertimbangan yaitu:9
a. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen
atau hukum dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen,
maka keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak
konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau
kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.
b. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah
sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan
7 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2007) h. 22.
8 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar..., h. 22.
9 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), h. 33.
21
Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis
memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan
di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu
dibedakan.
Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari lingkup
berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum Perdata),
maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi
Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini mempertegas
kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum
ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang tidak hanya
melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang bersamaan juga
melibatkan aspek hukum publik.
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Menurut Az. Nasution kepastian hukum itu meliputi segala
upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan
atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen tersebut.10
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat
dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.11
10
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Impelementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h. 4.
11 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013)
h. 21-22.
22
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:12
a. Perlindungan terhadap barang yang diserahkan kepada konsumen
yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati atau melanggar
ketentuan undang-undang.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.
Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan
perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya
untuk memperoleh barang dan/atau jasa dari kemungkinan timbulnya
kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen
dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian
perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya
sebagai konsumen.
3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai
hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan
dibelakag setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut.13
Hubungan antar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah yang
seimbang menjadi harapan bagi terwujudnya perlindungan konsumen di
Indonesia. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan
12
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 22.
13 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), h. 25.
23
pemerintah berdasarkan lima asas, yaitu menurut Pasal 2, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah:14
a. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan ;
Asas ini mempunyai makna bahwa dalam menerapkan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat kepada
pihak-pihak yang bersangkutan yaitu konsumen dan pelaku usaha
sehingga tidak ada satu pihak yang merasa kedudukannya lebih tinggi.
b. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan
konsumen masing-masing memperoleh keadilan dan melakukan
kewajiban dan keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
c. Asas Keseimbangan
Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, konsumen, dan
pemerintah.
Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah agar dapat terwujud secara seimbang.
Tidak ada pihak yang merasa dirinya lebih dilindungi dari pihak lain.
14
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) h. 25-26.
24
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Kerja
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan;
Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau
digunakan. Bahwa produk yang akan dimanfaatkan atau digunakan
tidak akan mengancam ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta
bendanya.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam
hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut;
Asas ini dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum yang berlaku dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-
hari agar memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara menjamin
akan adanya kepastian hukum tersebut.
Memperhatikan substansi pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen demikian, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
filosofis pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya yang berlandaskan kepada falsafah Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan pada pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu;
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen.
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum
25
Asas kepastian dan keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas
keadilan, mengingat bahwa hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah
juga keadilan bagi kepentingan masing-masing para pihak, yakni
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Sedangkan menyangkut asas
keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas
manfaat, karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri
merupakan bagian dari manfaat penyelenggara perlindungan yang
diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara
keseluruhan.15
Selain merumuskan asas dalam perlindungan konsumen, Undang-
Undang Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan perlindungan
onsumen. Perlindungan Konsumen perlu diwujudkan dalam kegiatan
ekonomi yang berhubungan dengan kepentingan konsumen sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
bertujuan untuk mewujudkan, yaitu;
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan/atau
jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta ekses untuk
mendapatkan informasi;
15
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 26.
26
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini bermaksud untuk
melindungi kepentingan konsumen. Yang dimaksud kepentingan
konsumen adalah “setiap kepentingan dari benih hidup dalam rahim ibu
sampai dengan tempat pemakaman dan seluruh kepentingan diantara
keduanya”.16
Mengamati asas-asas dan tujuan yang terkandung dalam UUPK
diatas, jelaslah bahwa undang-undang tersebut membawa misi yang besar
dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Hak dan Kewajiban Konsumen
Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna,
dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan tertentu.17
Sedangkan pengertian konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 Angka 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk
diperdagangkan. Dengan demikian, konsumen bisa orang-perorangan atau
sekelompok masyarakat maupun makhluk hidup lain yang membutuhkan
barang dan/atau jasa untuk dikonsumsi oleh yang bersangkutan, atau
dengan kata lain barang/jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan.18
16
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar..., h. 25.
17 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 30.
18 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Edisi Revisi
Cet. 9, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016) h. 194.
27
Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen” yang
mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya, pengertian konsumen
dapat terdiri dari 3 (tiga) pengertian, yaitu:
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial.
Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut,
konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha yang berbentuk
badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha
publik, dan dapat terdiri dari penyedia dana, pembuat produk akhir
yang digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia
atau penjual produk akhir seperti supplier, atau pedagang.
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijkepersoon) yang
mendapatkan barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan
memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah
tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah konsumen akhir, yakni pengguna terakhir atau
pemanfaat akhir suatu produk (end user).19
Sebagai payung undang-
undang (umbrela act), Undang-Undang Perlindungan Konsumen
seharusnya dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara komprehensif.
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus
diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang
dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak
tersebut.
Dari pengertian di atas, konsumen dalam hal ini mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dilindungi dan diperhatikan. Istilah “perlindungan
konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu,
19
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 7.
28
perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan dengan
perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara
umum ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:
(a) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right safety);
(b) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed);
(c) Hak untuk memilih (the right to choose);
(d) Hak untuk didengar (the right to be heard).20
Empat hak dasar yang diakui secara internasional dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam
The International Organization of Consumer Union (IOCU)
menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak untuk mendapatkan
pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.21
Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:22
a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang diajukan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhnya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
20
Shidrata, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2006), h. 16-17.
21 Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 31.
22 Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 33-40
29
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara
tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Mengingat bahwa pelaku usaha berada dalam kedudukan yang lebih
kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan dibanding dengan
konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta
upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan
itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan
dengan baik.
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak konsumen
yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh
produsen karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi
konsumen dari kerugian.23
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya
penyelesaian sengketa secara patut itu perlu ditegaskan dalam suatu
perundang-undangan sehingga semua pihak, baik konsumen itu sendiri,
pelaku usaha, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam
mewujudkannya. Ini berkaitan dengan upaya hukum dalam
mempertahankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang
dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan
prosedur yang diatur di dalam suatu perundang-undangan. Menurut
peneliti, bagian inilah yang paling penting, yaitu bagaimana seorang
konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat
23
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 14-15.
30
memperoleh haknya kembali. Ini merupakan inti dari penyebutan dan
penegasan tentang adanya hak-hak konsumen. Menetapkan hak-hak
konsumen dalam suatu perundang-undangan tanpa dapat dipertahankan
atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidaklah cukup karena hanya
berfungsi sebagai huruf-huruf mati dan tidak bermanfaat bagi konsumen.
Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance konsumen juga
mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesain hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian barang dan/atau jasa demi keamanan
dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Adapun
pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan
peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak
membaca peringatan yang telah dismpaikan kepadanya. Pengaturan
kewajiban ini memberikan konsekuensi pelaku usaha yang tidak
bertanggungjawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian
akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Undang-Undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur
mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya
hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling
ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah
31
seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi
yang seimbang.
Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 Ayat (3) adalah setiap perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku
usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang bertitikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan
lainnya.
Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha telah diatur dalam
Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
32
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
doperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
C. TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BAKU
1. Perjanjian pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu
hubugan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.24
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang
mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain
atau lebih, Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
24
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), h. 1.
33
pengikatan, seperti telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata
oleh Pasal 1320 KUH Perdata dirumuskan dalam bentuk:25
a. Kesepakatan yang bebas;
b. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk
bertindak;
c. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu;
d. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh
hukum, kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu
klausa yang halal).
Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara
bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di
atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan
aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan
selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
2. Pengertian Perjanjian Baku
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perjanjian baku berasal dari
dua kata yaitu kata “perjanjian” dan kata “baku”. Perjanjian adalah
persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masimg-masing
bersepakat dalam menaati apa yang disebut dalam perjanjian itu.
Sedangkan baku adalah tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau
kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan standar.
Definisi perjanjian baku (klausula baku) menurut para ahli memang
bermacam-macam, sebagaimana peneliti uraikan dibawah ini:
a. Prof. Sutan Remi Sjahdeni, S.H.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-
klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
25
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 52.
34
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan.26
b. Ahmad Miru dan Sutarman Yodo
Perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak
yang menandatanganinnya, walaupun harus diakui bahwa klausula
yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban
tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak
lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan
tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab berdasarkan
klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan
klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.27
c. Munir Fuady
Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh
satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali kontrak tersebut
sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu
oleh satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di
tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegoisasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh
salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat
sebelah.28
26
Sutan Reny Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h. 66.
27 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 118.
28 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h.76
35
Perjanjian standar atau yang biasa disebut perjanjian baku (klausul
baku) sebenarnya telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347
SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang
harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual. Dalam
perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh
produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga,
tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang
yang diatur dalam perjanjian standar pun semakin bertambah luas.
Tujuan dibuatnya perjanjian standar atau perjanjian baku yaitu untuk
memberikan kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena
itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam Darul Badrulzaman mendefinisikan
perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan
dituangkan dalam bentuk formulir.29
3. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri
perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan
tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut yakni:30
a. Bentuk Perjanjian Tertulis
Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan
dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-
kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-
syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di
bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang
memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau susunan
kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil
kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat.
Contoh perjanjian baku ialah perjanjian jual beli, perjanjian polis
29
Shidarta, Hukum Perlindugan Konsumen..., h.146.
30 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
(Bandumg: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), h. 2.
36
asuransi, charter party, sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian
ialah konsumen, nota pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan.
b. Format Perjanjian Dibakukan
Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini
dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya,
sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain
karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah
perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan
naskah syarat-syarat perjanjian yang memuat syarat-syarat baku.
Contoh format perjanjian baku ialah polis asuransi, akta pejabat
pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit dan
sertifikat obligasi.
c. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha
Syarat-syarat perjsnjisn yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena
syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya
cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal
ini tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung
jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen.
Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui
format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka
di tanda tanganilah perjanjian tersebut.
d. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang
disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut.
Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul
beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika
konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang
disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan
itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.
37
e. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan
Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian
sengketa. Jika terjadi sengketa dalam dalam pelaksanaan perjanjian,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada
pihak yang menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian
sengketa melalui Pengadilan Negeri.
f. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha
Kenyataan menunjukkan bahwa kecenderungan perkembangan
perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis
biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat
lengkap dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang
tidak terpisah dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen
bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian
baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha menguntungkan
pengusaha berupa;
1) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;
2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir
atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
3) Penyelesain cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau
menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;
4) Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
4. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku
Prof Mariam Darus Badrulzaman membedakan macam-macam jenis
perjanjian dengan klausula baku dalam 4 (empat) jenis yaitu;
a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang
kuat di disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi
(ekonomi) kuat dibanding pihak kreditor;
b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya
ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjan baku yang
pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya
38
buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,
misalnya dalam perjanjian buruh kolektif;
c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku
yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai
obyek hak-hak atas tanah;
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula adalah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang
minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam
kepustakaan Bealanda, jenis keempat ini disebut dengan kontrak
model.31
Secara umum bentuk perjanjian dengan syarat-syarat baku atau
klausula baku terdiri dari 2 bentuk, bentuk dokumen dan bentuk
persyaratan-persyaratan dalam perjanjian. Lebih lanjut Az. Nasution
menjabarkan menjadi:
1) Dalam bentuk dokumen
Perjanjian baku dalam bentuk dokumen mempunyai bentuk-bentuk
lain, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi,
tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada
papan pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau
di lapangan atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam
kemasan atau wadah produk yang bersangkutan.
2) Dalam bentuk perjanjian
Perjanjian baku dakam bentuk perjanjian merupakan suatu perjanjian
yang konsepnya atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Perjanjian ini disamping memuat aturan yang umumnya tercantum
dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan khusus berkenaan
31
Mariam Darus Badrulzaman, “Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan
Pendidikan Hukum”, Kumpulan Pidato Pengukuhan (Bandung: Alumni, 1981), h. 98.
39
dengan pelaksanaan perjanjian, syarat tentang resiko tertentu, hal-hal
tertentu yang tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain
yang menyimpang dari ketentuanyang berlaku. Berkaitan dengan
masalah berlakunya ketentuan syarat umum yang telah ditentutkan
atau ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang
ganti rugi dari jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk.32
5. Klausula Eksonerasi
Rikjen mengatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausul yang
dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak
menghindarkan diri untuk memnuhi kewajibannya membayar ganti rugi
seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melanggar hukum.33
Tidak semua kontrak baku adalah klausula eksonerasi. Jika melihat
pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, klausula
baku dan klausula eksonerasi berbeda dan tidak sama. Artinya klausula
baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya
tidak boleh mengarah kepada klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi
hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik.
Eksonerasi yang timbul karena kesengajaan pengusaha/penyedia jasa dan
menyebabkan kerugian bagi konsumen, bertentangan dengan kesusilaan.
Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi
tersebut.34
Pada umumnya syarat-syarat eksonerasi itu dituangkan dalam 3 (tiga)
macam bentuk yuridis, yaitu:
32
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar..., h. 99-101.
33 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni 1994), h. 47.
34 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis..., h. 76.
40
a. Bentuk bahwa tanggungjawab untuk akibat hukum karena tidak atau
kurang baik memenuhi kewajiban-kewajiban, dikurangi atau
dihapuskan (misalnya ganti kerugian dalam hal ingkar janji);
b. Bentuk bahwa kewajiban-kewajiban sendiri, yang biasanya
dibebankan pada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau
dihapuskan (misalnya perluasan pengertian keadaan darurat);
c. Bentuk bahwa kewajiban-kewajiban dicipta syarat-syarat pembebasan
(vrijwarings bedingen); salah satu pihak dibebankan dengan
kewajiban untuk memikul tanggungjawab pihak lain yang mungkin
ada untuk kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Syarat-syarat eksonerasi ini merupakan suatu ketentuan yang dibuat
untuk menghindari adanya ketidakadilan yang menyebabkan kerugian bagi
salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan penelitian
tentang klausula eksonerasi dalam hukum perlindungan konsumen, maka
penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu,
diantaranya penelitian-penelitian tersebut yakni :
1. Skripsi yang disusun oleh Tiara Agustavia, dari Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2016, dengan judul “Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku
Pada Jual Beli Perumahan. Penelitian ini membahas tentang perjanjian
yang mengandung klausula merugikan yang terdapat pada tranksaksi jual
beli perumahan yang berakibat pada hangusnya uang konsumen.
Perbedaannya terdapat pada objek kajian yakni pada penelitian skripsi ini
membahas tentang klausula eksonerasi yang terdapat dalam ajang lomba
lari di Bali Marathon.
2. Buku yang ditulis oleh Janus Sidabalok tahun 2014, dengan judul
“Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Dalam buku ini
dijelaskan tentang bagaimana perlindungan konsumen, hubungan hukum
antara konsumen dan pelaku usaha serta akibat hukum dari pelanggaran
41
terhadap konsumen. Perbedaannya peneliti lebih mengacu kepada
perlindungan konsumen dalam bisnis jasa. Konsumen dirugikan karena
adanya perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi.
3. Jurnal Al’adl Volume IX Nomor 3 Desember 2017 yang ditulis oleh
Zakiyah mengenai “Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen”. Jurnal ini hanya terfokus pada keberadaan klausula
eksonerasi terhadap perlindungan konsumen. Sedangkan peneliti
menjelaskan lebih detail pencantuman perjanjian baku yang mengandung
klausula eksonerasi pada ajang Bali Marathon.
42
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN
BAKU DALAM AJANG BALI MARATHON
A. Profil Penyelenggara Ajang Bali Marathon (Maybank Indonesia)
Nama : PT Bank Maybank Indonesia Tbk
Alamat Kantor Pusat : Sentral Senayan III
Jl. Asia Afrika No. 8
Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat
DKI Jakarta Raya 10270
Telepon : +62 21 29228888
Fax : +62 21 29228914
Website : www.maybank.co.id
Email : [email protected]
Tanggal berdiri : 19 Mei 1959
Bidang Usaha : Bank Umum
Status/Dasar Hukum : Ijin usaha sebagai Bank Umum melalui Surat
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 138412/U.M.II tanggal 13 Oktober
1959, yang telah diubah dengan Surat Keputusan
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan No.
18/KDK.03/2015 tanggal 23 September 2015 Ijin
usaha sebagai Bank Devisa melalui Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
21/11/Dir/UPPS tanggal 9 November 1988
Visi : Menjadi penyedia layanan keuangan terkemuka di
Indonesia, yang didukung oleh sumber daya
manusia yang berkomitmen penuh dan inovatif
untuk menciptakan nilai dan melayani komunitas
43
Misi : 1. Menyediakan akses layanan perbankan
2. Memberikan persyaratan dan harga yang
wajar
3. Memberikan advice kepada nasabah
berdasarkan kebutuhan
4. Berada di tengah komunitas
PT. Bank Maybank Indonesia Tbk (“Maybank Indonesia” atau “Bank”)
adalah salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia yang merupakan
bagian dari grup Malayan Banking Berhad (Maybank), salah satu grup
penyedia layanan keuangan terbesar di ASEAN. Sebelumnya, Maybank
Indonesia bernama PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) yang
didirikan pada 19 Mei 1959, mendapatkan ijin sebagai bank devisa pada 1988
dan mencatatkan sahamnya sebagai perusahaan terbuka di Bursa Efek Jakarta
dan Surabaya (sekarang telah merger menjadi Bursa Efek Indonesia) pada
1989.
Maybank Indonesia merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia yang
memiliki jaringan regional maupun internasional Grup Maybank. Maybank
Indonesia menyedia serangkaian produk dan jasa komprehensif nagi nasabah
individu maupun korporasi melalui layanan Community Financial Services
(Perbankan Ritel dan Perbankan Non-Ritel) dan Perbankan Global, serta
pembiayaan otomotif melalui entitas anak yaitu WOM Finance untuk
kendaraan roda dua dan Maybank Finance untuk kendaaraan roda empat.
Maybank Indonesia juga terus mengembangkan layanan dan kapasitas E-
banking melalui Mobile Banking, Internet Banking, Maybank2U (mobile
banking berbasis internet banking), MOVE (Maybank Online Savings
Opening) dan berbagai saluran lainnya.
Per 31 Desember 2017, Maybank Indonesia memiliki 407 cabang
termasuk cabang Syariah dan Kantor Fungsional Mikro yang tersebar di
Indonesia serta dua cabang luar negeri (Maurutius dan Muambai, India), 19
Mobil Kas Keliling dan 1.606 ATM termasuk CDM (Cash Deposit Machine)
yang terkoneksi dengan lebih dari 20.000 ATM tergabung dalam jaringan
44
ATM Prima, ATM Bersama, ALTO, CIRRUS dan terhubung dengan 3.500
ATM Maybank di Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Hingga akhir
tahun 2017, Maybank Indonesia mengelola simpanan nasabah sebesar Rp
121,3triliun dan memiliki total asset senilai Rp 173,3 triliun.1
Pada tanggal 30 Januari 2018, PT. Bank Maybank Indonesia Tbk
(Maybank Indonesia) mengumumkan tanggal berlangsungnya Maybank Bali
Marathon 2018 (MBM 2018) yaitu pada tanggal 9 September 2018 yang akan
dilaksanakan di Gianyar, Bali. Maybank Bali Marathon merupakan lomba lari
marathon yang diselenggarakan Maybank Indonesia sejak 2012 yang
memperlombakan ajang marathon dengan jarak 42,195 Kilometer (Full
Marathon), 21,0975 Kilometer (half marathon) dan 10 Kilometer.
Jumlah peserta Maybank Bali Marathon (MBM) 2018 yang akan
berlangsung pada tanggal 9 September 2018 meningkat dibanding
penyelenggaraan tahun sebelumnya. Hal ini dikemukakan Presiden Direktur
PT. Maybank Indonesia Tbk (Maybank Indonesia) dalam konferensi pers
yang berlangsung di Jakarta mengenai persiapan final penyelenggaraan
Maybank Bali Marathon (MBM) 2018. Tahun lalu tercatat 9.637 peserta
mendaftarkan diri di Maybank Bali Marathon. Tahun ini, lebih dari 10.000
peserta, tepatnya adalah 10.749 atau setara dengan kenaikan sebanyak 12,9
persen, papar Taswin.
Dari jumlah tersebut, 2.724 orang terdaftar sebagai peserta kategori 42,195
(full marathon), dengan 207 peserta berasal dari luar negeri. Para peserta itu
antara lain datang dari Kenya, Ethiopia, Australia, dan lain-lain. 4.912 orang
terdaftar sebagai peserta kategori 21,0975 Kilometer (half marathon), dengan
384 peserta berasal dari luar negeri. Selanjutnya, 1.113 orang terdaftar
sebagai peserta kategori 10 Kilometer, dengan 273 peserta berasal dari luar
1 https://www.maybank.co.id/about/Pages/Overview.aspx (diakses pada tanggal 17 Juni 2018
pukul 16.45 WIB).
45
negeri.2 Dari tahun ke tahun ajang Bali Marathon selalu mengalami
peningkatan jumlah peserta.
B. Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
1. Pengertian dan Latar Belakang
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah
organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan
pada tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis
konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi dirinya
sendiri, keluarga, serta lingkungannya. Tujuan berdirinya Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia adalah untuk meningkatkan kesadaran
kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat
melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. Untuk mencapai tujuannya
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia melaksanakan berbagai kegiatan
yang diorganisasikan dalam berbagai bidang berikut:
a) Bidang Penelitian
Bidang penelitian bertujuan untuk memberikan informasi yang
objektif mengenai mutu barang karena informasi yang tersedia hanya
berasal dari produsen secara sepihak.
b) Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan konsumen, misalnya, tentang hak dan kewajibannya
sebagai konsumen, bagaimana menjadi konsumen yang baik dan
bijak, dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan
bidang ini, antara lain, ceramah, menyusun materi penyuluhan,
membimbing mahasiswa dan pelajar, serta membuat karya tulis.
c) Bidang Penerbitan
Bidang penerbitan bertujuan untuk menyebarluaskan pandangan dan
2 https://olahraga.kompas.com/read/2018/08/28/16480608/maybank-bali-marathon-2018-
siap-digelar-ini-jumlah-pesertanya (diakses pada tanggal 26 Juni 2018 pukul 08.15 WIB).
46
hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tentang
produk dan soal-soal lain sekitar perlindungan konsumen.
d) Bidang Pengaduan
Bidang pengaduan, yaitu menerima pengaduan dari masyarakat dan
kemudian mencoba mencari jalan penyelesaiannya, antara lain,
dengan bekerja sama, baik dengan produsen terkait maupun dengan
pemerintah. Pengaduan yang ditindaklanjuti dapat berupa pengaduan
langsung dari konsumen ataupun pengaduan yang disampaikan melaui
media massa.
e) Bidang Umum dan Keuangan
Bidang umum dan keuangan berupa bidang yang berkaitan dengan
organisasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia sehingga dapat
berjalan sebagaimana direncanakan.
Pada awalnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia berdiri karena
keprihatinan sekelompok ibu-ibu akan kegemaran konsumen Indonesia
pada waktu itu dalam mengkonsumsi produk luar negeri. Terdorong oleh
keinginan agar produk dalam negeri mendapat tempat di hati masyarakat
Indonesia maka para pendiri Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
tersebut menyelenggarakan aksi promosi berbagai jenis hasil industri
dalam negeri.
Latar belakang berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
pada 11 Mei 1973 berawal dari kepedulian sekelompok masyarakat akan
penggunaan produk-produk dalam negeri serta bagaimana melindunginya.
Sedangkan tujuan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia adalah
memberi bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen
menuju kesejahteraan keluarga.
2. Kedudukan dan Tugas
Berdasarkan Pasal 1 Bab 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah
lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Sedangkan
47
tugasnya dalam Pasal 44 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah:
a) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan
c) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen.
d) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
e) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
3. Visi dan Misi
Seperti lembaga yang lainnya, Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia juga memiliki visi dan misi yang ingin dicapainya. Visi dari
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yaitu, tatanan masyarakat yang
adil dan konsumen berani memperjuangkan hak-haknya secara individual
dan kelompok. Sebagai organisasi yang bergerak di perlindungan
konsumen, sesuai dengan visi yang ingin dicapainya, Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia juga memiliki misi, yaitu:
a) Melakukan pengawasan dan bertindak sebagai pembela konsumen.
b) Memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok konsumen.
c) Mendorong keterlibatan masyarakat sebagai kebijakan publik.
d) Mengantisipasi kebijakan global yang berdampak bagi konsumen.3
Selain visi dan misi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
terdapat nilai-nilai dasar dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
yaitu, non partisipan, tidak diskriminatif, demokratis keadilan sosial,
keadilan gender, keadilan antar generasi, hak asasi, solidaritas konsumen,
dan independen. Keberadaan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
3 https://ylki.or.id/profil/visi-misi/ (diakses pada tanggal 13 Agustus 2018 pukul 14.24 WIB).
48
diharapkan mampu meberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa
dibatasi berbagai perbedaan sosial dan ekonomi. Kesadaran atas hal ini
ditunjukkan secara nyata melalui keterlibatan para pendiri dan simpatisan
organisasi ini yang berasal dari beragam etnis, suku, agama, dan profesi,
serta latar belakang pemikiran dan ideologi yang berbeda-beda.
C. Hubungan Hukum Antara Pihak Penyelenggara Dengan Pelari Dalam
Ajang Bali Marathon
Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek
hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak lain. Hubungan hukum memiliki syarat-
syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya peristiwa hukum.4 Hubungan
hukum dapat terjadi antara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum
yang benda. Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara
orang, orang dengan badan hukum, dan antara sesama badan hukum.
Hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda berupa hak apa yang
dikuasai oleh subyek hukum itu atas benda tersebut, baik benda berwujud,
benda bergerak, atau benda tidak bergerak.5
Pada Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalm berbagai bidang ekonomi.
Sedangkan pada Pasal 1 Angka 2, konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalm masyarakat, baik bagi kepentingan
4 Soeroso R, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h. 269-271.
5 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.
269.
49
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk
diperdagangkan.
Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus
memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan
manusia, hak itu diakui oleh masyarakat dan hak itu dinyatakan demikian dan
karena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.6 Di indonesia hak-hak
konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
terutama huruf b yang menyatakan “hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jamninan yang dijanjikan”, dan huruf c menyatakan bahwa “hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa”. Dengan menggunakan kedua ayat pada Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, maka dapat diketahui
bahwa konsumen berhak atas segala janji yang dijanjikan oleh pelaku usaha
dalam mempromosikan barang dan/atau jasa serta berhak atas segala
informasi terkait barang dan/atau jasa. Untuk itu dapat dikatakan bahwa
pelaku usaha di sisi lain berkewajiban untuk menepati janji-janji serta
memberikan segala informasi terkait barang dan/atau jasa.
Selain pengaturan mengenai hak-hak konsumen, diatur juga mengenai
kewajiban dari pelaku usaha pada Pasal 7 huruf b Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “kewajiban pelaku usaha
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan, dimana kewajiban dari pelaku usaha tersebut
dapat dilihat juga sebagai hak dari konsumen”.
Pelaku usaha dalam memberikan informasi barang dan/atau jasa harus
memperhatikan ketentuan dari Pasal 9 dan 10 Undang Undang Perlindungan
Konsumen bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan,
6 Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2008), h. 50.
50
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan sebelum konsumen membeli atau
memperoleh barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Berkaitan dengan hal tersebut, hubungan hukum antara pihak
penyelanggara dengan runner telah terjadi ketika pihak penyelenggara
sebagai pelaku usaha memberikan janji-janji serta informasi terkait acara
lomba lari marathon tersebut, selain itu adanya transaksi tiket pembayaran
peserta lomba lari marathon untuk sejumlah fasilitas yang dijanjikan juga
menjadi salah satu alasan kuat bahwa hubungan hukum antara pihak
penyelenggara dengan runner adalah hubungan hukum antar pelaku usaha
dengan konsumen, dimana pelaku usaha telah sepakat terhadap apa yang
dijanjikan pada saat memberikan janji-janji pada sebuah iklan, ataupun
selebaran, atau brosur, sehingga janji-janji rersebut akan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Peristiwa hukum yang
terjadi terhadap pelaku usaha dengan konsumen tersebut adalah perdagangan
berupa jasa. Hubungan hukum tersebut tersebut didasarkan pada Pasal 1320
dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan empat
syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Adanya objek
4. Adanya kausa yang halal.7
Namun, harus dipahami bahwa maksud dari Pasal 1320 KUH Perdata yang
merupakan hukum peninggalan kolonial Belanda adalah asas kebebasan
berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila
kedudukan para pihak tidak seimbang, penerapan asas kebebasan berkontrak
akan membawa kecenderungan terjadinya eksploitasi dari pihak yang kuat
(produsen/pelaku usaha) kepada pihak yang lemah (konsumen).8
7 Syafrudin Makmur, Hukum Kontrak Dagang, (Jakarta: FSH Press, 2016), h. 57
51
Di Indonesia, hukum perjanjian menganut beberapa asas hukum, salah
satunya yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Dengan
adanya asas ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian
diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian
yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang
dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
Sistem hukum perdata mengenal asas kebebasan berkontrak, sebagaimana
dianut dalam KUH Perdata buku III Perikatan. Asas ini disebut dengan
(freedom of contract atau laissez faire). Asas kebebasan berkontrak yang
biasa disebut dengan “sistem terbuka”, artinya bahwa setiap orang bebas
untuk mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum
diatur di dalam undang-undang.9 Asas ini terkandung di dalam Pasal 1338
KUH Perdata.
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan
tiangnya Hukum Perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan
berkontrak, yaitu:
a. Bebas membuat jenis perjanjian apapun
b. Bebas mengatur isinya
c. Bebas mengatur bentuknya.10
D. Perlindugan Hukum Konsumen Terhadap Klausula Eksonerasi Dalam
Ajang Lomba Lari Marathon
Fitzgerald telah mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara
8 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 52.
9 Syafrudin Makmur, Hukum Kontrak Dagang..., h. 5.
10 Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2012), h. 18.
52
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah
mengurusi hak dan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-
anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.11
Pengertian perlindungan hukum menurut Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu adalah segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan
kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan hukum ada dua
macam, yaitu :12
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah
mencegah terjadinya sengketa.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang refresif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan
hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena
menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
11
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2000), h. 53.
12 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987), h. 29-30.
53
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah.
Pada dasarnya perlindungan terhadap pelari sudah diawali dengan adanya
asas keseimbangan dan keselarasan yang tercantum dalam norma dasar
negara kita, yakni Pancasila khususnya sila ke lima yaitu”Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berdasarkan asas keseimbangan ini maka
tidak dikehendaki adanya suatu hubungan yang timpang diantara sesama
manusia Indonesia dimana yang satu lebih kuat dan mendominasi yang
lainnya.
Asas ini kemudian dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945, mengatur
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Ini berarti tidak ada seorang warga negara pun
yang memiliki kedudukan istimewa di muka hukum. Begitu pula halnya
terhadap runner maupun penyelenggara yang ada dalam perjanjian ajang
lomba lari Bali Marathon. Semua adalah sederajat dan memiliki hak-hak yang
seimbang satu sama lain. Namun, demikian mengingat kedudukannya sebagai
dasar negara dan UUD, perlindungan yang diberikan ini masih begitu umum
dan abstrak, sehingga masih memerlukan peraturan perundang-undangan lain
dibawahnya.
Secara garis besar, perlindungan hukum bagi pelari atas penggunaan
klausula eksonerasi dalam perjanjian baku ajang lari marathon dapat diambil
dari dua sumber hukum, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang ini tidak pernah menyebutkan dan memberikan definisi
baku dari standart contract perjanjian baku dalam ajang lomba lari
marathon, yang ada hanyalah tentang klausula baku dan secara singkat
diatur dalam Pasal 18. Namun, bukan berarti UUPK tidak memberikan
perlindungan terhadap runner atas adanya standart contract tersebut,
perlindungan itu tetap ada walaupun hanya bersifat umum. Perlindungan
54
umum yang dimaksud, disebutkan dalam Pasal 2 UUPK yang
menyebutkan adanya lima asas perlindungan konsumen, yakni asas
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta asas
kepastian hukum.
Selanjutnya, perlindungan terhadap runner ada pula dalam ketentuan Pasal
7 butir a dan b UUPK. Dalam pasal ini diurakan bahwa pelaku usaha
termasuk PT Maybank Indonesia sebagai pihak penyelenggara jasa dalam
ajang lomba lari marathon berkewajiban untuk melakukan kegiatan usaha
dengan beritikad baik dan untuk memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
Dilatar belakangi oleh kegiatan tersebut, lebih khusus UUPK memberikan
pembatasan dalam pasal 18 Ayat (1) dan (2) yang intinya pelaku usaha
dalam menawarkan produk barang dan/atau jasa yang ditujukkan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan
tanggung jawab serta pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Adapun maksud pembatasan
pencantuman klausula baku dalam standart contract ini adalah untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Sehubungan dengan
perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama
dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie
klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau
pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya
terdapat dalam jenis perjanjian tersebut. Konsep itu sudah tidak sesuai lagi,
sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum yang terus berkembang.13
13
Bure Teguh Satria, “Eksistensi Dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi”, Jurnal Lex
Privatum, Vol. 2, No. 3, Agustus-Oktober 2014.
55
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Secara substansial, hukum keperdataan yang di Indonesia secara umum
diatur dalam KUH Perdata, merupakan area hukum yang sangat luas dan
paling dinamis. Khususnya dalam lapangan hukum perjanjian yang
bersifat terbuka sehingga memberi kesempatan kepada para pihak untuk
membuat jenis perjanjian baru yang sebelumya tidak pernah ada dan tidak
diatur dalam KUH perdata itu sendiri. Perjanjian dalam lomba lari
marathon merupakan salah satu perjanjian baru yg sebelumnya pernah ada
dan diatur dalam KUH Perdata. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
perjanjian dengan jenis baru tersebut dapat membebaskan para pihak untuk
tidak tunduk pada ketentuan KUH Perdata. KUH perdata terus berlaku
sepanjang mengenai asas dan prinsip dasar dari perjanjian. Hal ini berarti
bahwa perjanjian dalam lomba marathon juga harus tunduk pada ketentuan
yang berlaku dalam hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUH
Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH perdata tentang syarat syahnya perjanjian telah
diketahui bahwa pada dasarnya setiap orang dapat membuat perjanjian
asalkan syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320
KUH Perdata telah terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah adanya
kesepakatan kedua belah pihak, cakap hukum, adanya objek, dan sebab
yang halal. Begitu pula dalam perjanjian lomba marathon, untuk dapat
berlaku sah dan mengikat diantara para pihak yang membuatnya, maka
terpenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata menjadi suatu syarat.
Akan tetapi pihak penyelenggara acapkali tidak mengindahkan apa yang
disyaratkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Disini pihak penyelenggara
lomba lari marathon sebagai pelaku usaha masih mencantumkan klausula
eksonerasi dalam perjanjian baku. Klausula tersebut sangat bertentangan
dengan asas kepatutan. Seperti diketahui, kepatutan adalah sesuatu yang
oleh masyarakat dianggap layak dan patut sehingga harus diperhatikan
dikehidupan sehari-hari. Dalam suatu perjanjian, memperjanjikan sesuatu
yang belum pasti adalah sesuatu hal yang tidak patut. Ini berarti para pihak
56
yang memperjanjikan sesuatu yang salah satu pihak belum mengerti dan
memahaminya. Ditinjau dari sisi runner, tentu saja dapat merugikan
dikarenakan bisa saja ketentuan-ketentuan yang ada di kemudian hari itu
akan sangat memberatkan posisinya, sementara pihak penyelenggara
lomba dengan berdalih pada klausula yang sama, menghendaki agar
perjanjian terus dilaksanakan. Walaupun pada akhirnya perjanjian seperti
ini disepakati oleh para piha, namun tetap saja mengandung konsekuensi
yuridis perjanjian menjadi batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi
syarat obyektif perjanjian.
Selanjutnya, dalam Pasal 1338 Ayat (3) menyebutkan bahwa harus adanya
itikad baik. Menurut R. Setiawan, itikad baik dalam suatu perjanjian itu
dianggap ada apabila perjanjian di buat dan dilaksanakan menurut
kepatutan dan keadlian. Artinya itikadbaik itu tidak boleh ditafsirkan
secara sempit, yakni hanya pada saat pembuatan perjanjian saja, tetapi juga
termasuk rangkaian dari proses hubungan timbal balik yang terjadi antara
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Saat pelaksanaan perjanjian tidak
bisa dipisahkan dengan saat pembuatan atau penandatanganan perjanjian.
Demikian pula saat penandatanganan perjanjian tidak bisa dipisahkan
dengan periode negoisasi yang mendahuluinya. Oleh karena itu, itikad
baik tidak hanya disyaratkan pada pelaksanaan melainkan juga pada saat
pembuatan dan bahkan pada periode negoisasi yang mendahului lahirnya
suatu perjanjian. Selain itu, sesuatu yang diperjanjikan itu harus layak,
mengandung nilai-nilai etis, serta memberikan hak dan tanggung jawab
yang seimbang bagi semua pihak. Adanya itikad baik dalam pasal 1338
ayat 3 KUH Perdata berlaku mutlak dan tidak dapat disimpangi. Ini
berarti, walaupun para pihak telah bersepakat untuk mencantumkan
klausula-klausula eksonerasi yang berat sebelah.
57
Artinya : “Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila
telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang
menghembus pada buhul-buhul dan dari kejahatan pendengki bila ia
dengki." (Q.S Al- Falaq ayat 1-5)
Dalam Surat Al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan
dari keburukan yang samar dan mengajarkan kepada manusia hanya
kepada Allah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan. Ayat
Al-Quran pada surat ini bisa menjadi acuan perlindungan konsumen pada
umumnya.
58
BAB IV
UPAYA HUKUM DAN AKIBAT PERJANJIAN BAKU DALAM AJANG
BALI MARATHON
A. Penyimpangan Penggunaan Klausula Eksonerasi Pada Peraturan
Peserta Lomba Ajang Lomba Lari Terhadap Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan hasil penelitian, berikut ini adalah peraturan-peraturan dalam
ajang lomba lari Bali Marathon yang isinya bertentangan dengan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku, karena pihak penyelenggara
selaku kreditur telah menggunakan perjanjian baku yang mengandung
klausula eksonerasi yang dimana pencantuman klausula eksonerasi dilarang
dalam Pasal 18 Ayat (2) UUPK, berikut peraturan-peraturan dalam ajang Bali
Marathon yang mengandung klausula eksonerasi :
SYARAT DAN KETENTUAN
1. Peserta Marathon penuh wajib berusia 18 tahun atau lebih. Peserta Half
Marathon wajib berusia 17 tahun atau lebih. Peserta 10km wajib berusia
12 tahun atau lebih. Penyelenggara berhak melakukan verifikasi atas usia
peserta sebelum, pada saat, dan sesudah lomba. Pengecualian atas hal ini
hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan Penyelenggara.
2. Penyelenggara berhak menutup pendaftaran jika seluruh kuota pesertanya
telah terisi penuh.
3. Pendaftaran akan diproses setelah pembayaran pendaftaran selesai
dilakukan.
4. Pemindahtanganan dan/atau praktek jual-beli pendaftaran lomba tidak
diperbolehkan. Penyelenggara berhak untuk melakukan pembatalan
pendaftaran apabila ditemukan indikasi pemindahtanganan dan/atau
penjualan registrasi ini.
5. Penyelenggara berhak untuk membatasi dan menolak pendaftaran tanpa
alasan.
59
6. Penyelenggara berhak menghubungi dan mewawancarai Peserta melalui
telepon atau cara lain untuk mendapatkan data yang diperlukan
sehubungan dengan pendaftaran mereka.
7. Biaya pendaftaran adalah tidak dapat diminta kembali (non-refundable).
Penyelenggara berhak untuk menolak pendaftaran jika pendaftar
memberikan informasi yang salah, tidak melakukan pembayaran atau
gagal memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam form pendaftaran.
8. Jika lomba dibatalan karena alasan di luar kekuasaan Penyelenggara
(termasuk hujan deras, petir atau bencana, demonstrasi), Penyelenggara
tidak akan mengembalikan biaya pendaftaran yang telah diterima dan
Penyelenggara tidak bertanggung jawab atau kewajiban apapun atas hal
tersebut.
9. Olah raga lari bukanlah merupakan olah raga yang tidak memiliki risiko
dan karenanya masing-masing pelari wajib memastikan bahwa kondisi
kesehatannya fit sebelum dan pada saat berpartisipasi dalam lomba.
Masing-masing pelari bertanggung jawab atas kondisi kesehatannya
masing-masing. Penyelenggara bertanggung jawab atas cidera ataupun
kematian yang timbul selama atau sesudah lomba yang diakibatkan
secara langsung merupakan akibat dari kelalaian yang disengaja atau
gross negligence Penyelenggara.
10. Penyelenggara berhak untuk tidak mengizinkan atau mendiskualifikasi
peserta yang diketahui atau tidak diduga tidak fit untuk mengikuti lomba.
Jika ada peserta yang cidera pada saat lomba, dalam keadaan tertentu
sesuai dengan rekomendasi petugas kesehatan yang ditunjuk
Penyelenggara untuk mengawasi lona, peserta tersebut dapat dirawat di
rumah sakit yang ditunjuk Penyelenggara dengan biaya perawatan tidak
melebihi jumlah yang disepakati oleh Penyelenggara dan rumah sakit
tersebut.
11. Penyelenggara berhak untuk mendiskualifikasi peserta dan/atau
membatalkan hasil lomba sebagai akibat dari adanya pelanggaran atau
tidak dipenuhinya ketentuan International Association of Athletics
60
Federations (IAAF) atau PASI atau ketentuan lomba. Penyelenggara
tidak wajib mengembalikan biaya pendaftaran dalam hal tersebut.
PEMBEBASAN DAN PENGESAMPINGAN TANGGUNG JAWAB
Peserta dengan ini mengesampingkan, membebaskan, menyatakan tidak akan
menuntut Penyelenggara dan akan membebaskan Penyelenggara dan segala
pihak yangb berhubungan dengan penyelenggara atas segala tanggung jawab,
klaim, tindakan atau kerugian yang mungkin timbul atau berhubungan dengan
pendaftaran atau keikutsertaan Peserta pada event Maybank Bali Marathon.
Penyelenggara, anak perusahaan/cabang, direksi, pejabat, Karyawan, agen,
partner, dan penerima lisensi tidak bertanggung jawab atas segala kerugian
immaterial baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk namun
tidak terbatas pada kehilangan potensi profit, nama baik data ataupun hal
immaterial lainnya.
Dengan tidak mengesampingkan ketentuan sebelumnya, Peserta dengan ini
setuju bahwa maksimum penggantian kerugian yang akan diberikan oleh
Penyelenggara adalah sebesar uang yang diterima oleh Penyelenggara dari
peserta.1
Berdasarkan syarat dan ketentuan serta pembebasan dan pengesampingan
tanggung jawab dalam ajang Bali Marathon di atas bahwa peraturan tersebut
mencantumkan perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi.
Terlihat jelas pada syarat dan ketentuan nomor 8 serta hampir semua yang
terdapat pada pembebasan dan pengesampingan tanggung jawab. Hal ini
dilarang oleh pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak melarang pembuatan
perjanjian baku atau klausula baku melainkan terdapatnya klausula baku yang
bersifat eksonerasi (klausula eksonerasi) yang biasanya berisi pengalihan
1 http://www.balimarathon.com/rules/release-and-waiver-liability (diakses pada tanggal 12
November 2018 pukul 21.05 WIB)
61
tanggung jawab atau pembebasan tanggung jawab pelaku usaha pada
konsumen. Namun, dalam praktiknya masih banyak para pelaku usaha yang
membuat perjanjian baku dengan mencantumkan klausula eksonerasi, tanpa
memikirkan posisi debitur yang harus memikul tanggung jawab yang
seharusnya menjadi tanggung jawab para pelaku usaha selaku kreditur.
Ada beberapa faktor-faktor penyebab sehingga seringkali kontrak baku
menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut:
1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya
disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak
tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat
kecil.
2. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen
biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai
klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah
berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh
para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak
banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula klausula
tersebut.
3. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan
yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap menerima atau
menolaknya (take it or leave it).2
Secara hukum sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi
persoalan, mengingat kontrak baku sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.
Yang menjadi persoalan adalah apabila kontrak baku tersebut mengandung
unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi salah satu pihak.
2 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 78.
62
Keberadaan klausula baku tentu saja sangat menguntungkan bagi para
pelaku usaha, karena klausula baku sendiri dibuat dengan maksud tujuan
untuk memberikan keuntungan padanya. Proses pembuatan suatu klausula
baku pun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang pencantuman
klausula baku yang telah diatur dalam Pasal 18 UUPK.
Suatu perusahaan penyelenggara ajang lomba lari marathon dalam
melakukan kegiatan usaha seharusnya memberikan jasa pelayanan yang baik
dan maksimal kepada peserta lari. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPK,
bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
menggunakan barang dan/atau jasa. Namun, ketika pihak penyelanggara
lomba lari lalai melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan mengawasi
keberlangsungan lomba yang menyebabkan terjadinya kerugian yang dialami
oleh para peserta lomba.
Ketentuan yang mengatur tentang pencantuman klausula baku pada suatu
dokumen dan/atau perjanjian diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2) UUPK
yang menyatakan bahwa:
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyeraha kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
63
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebasan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Larangan dan persyaratan tentang penggunaan klausula baku di atas
dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen agar setara dengan
pelaku usaha dan mencegah kemungkinan timbulnya tindakan yang
merugikan konsumen karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak
seimbang, yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen terhadap Pelanggaran
yang Dilakukan oleh Pelaku Usaha
Pada dasarnya penyelesaian ganti rugi dapat dilakukan secara damai antara
konsumen dengan pelaku usaha. Penyelesaian secara damai adalah
penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa
(pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-
64
Undang Perlindungan Konsumen.3Namun, apabila upaya damai tersebut
gagal ditempuh maka upaya yang dilakukan konsumen adalah penyelesaian
sengketa sesuai yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Ketentuan tentang penyelesian sengketa konsumen diatur dalam Pasal 45
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
yang menyebutkan bahwa:
1. Setiap Konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ialah penyelesaian melalui
lembaga yang bertugas menyelesaiakan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha (yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan/atau forum lain
untuk mencapai kesepakatan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, forum
yang dimaksud adalah forum konsiliasi, mediasi, arbitrase. Sedangkan
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan ialah penyelesian melalui
pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 63.
65
Pelari yang merasa dirugikan terhadap perjanjian baku dapat melakukan
upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan terhadap haknya dengan cara
sebagai berikut:
1. Penyelesaian Langsung Kepada Pihak Penyelenggara.
Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara langsung kepada pihak
penyelenggara yaitu para pelari dapat mengajukan komplain kepada pihak
penyelenggara untuk menyelesaikan masalah perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi, dengan menunjukkan bukti-bukti yang
kuat berupa tiket pembayaraan kepesertaan dan keterangan saksi-saksi.
2. Melapor ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Para pelari yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadu
ke YLKI. Atas aduan yang diterima oleh YLKI, maka YLKI akan meneliti
kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti bahwa
pembelaan YLKI terhadap konsumen bukan dilandasi oleh keinginan
untuk menjatuhkan pelaku usaha, tetapi untuk menegakkan kebenaran dan
membela konsumen yang dirugikan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku baru
mengetahui adanya model klausula baku berupa eksonerasi (pengalihan
tanggung jawab) dalam ajang lomba lari. Menurut Mustofa dari Bidang
Pengaduan dan Hukum YLKI, klausula baku semacam itu dilarang keras
oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU
Perlindungan Konsumen).
Mustofa merujuk Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen mengenai
larangan tersebut. “Sangat dilarang UU Perlindungan Konsumen, bahkan
ada ancaman pidananya,” jelasnya kepada hukumonline. Mustofa
menjelaskan bahwa yang menjadi masalah bukan soal klausula baku,
melainkan isi dari klausula bakunya. “Klausula baku itu diizinkan,
memang dipandang keniscayaan sebagai akibat makin kompleksnya
66
transaksi yang ada, tapi tidak semena-mena eksploitasi pihak yang lemah,
diatur batasannya di Pasal 18,” ungkapnya.4
3. Melapor ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Di luar peradilan umum, UU Perlindungan Konsumen membuat
terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan
dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan, yaitu
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan
dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini
berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara
kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum.
BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang
sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses
berperkara berjalan cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian
sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari
kerja, dan tidk dimungkinkan banding yang dapat memperlama
penyelesaian perkara.5 Mudah karena prosedur administratif dan proses
pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri
oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya
persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh
konsumen.6
Adapun 3 (tiga) macam bentuk upaya penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh BPSK yaitu:
a. Konsiliasi, yaitu merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
yang juga bisa ditempuh di luar pengadilan. Konsiliasi ini juga
4 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a180bfa92abf/aspek-perlindungan-hukum-
bagi-irunner-i-dalam-ajang-lomba-lari
5 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: PT. Media Grafika, 2008), h. 75.
6 Yusuf Sofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan
Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), (Jakarta: PT. Piramedia, 2004), h. 17.
67
dimungkinkan sebagai alternatif penyelesain sengketa konsumen
berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan melalui BPSK ini mempertemukan para pihak yang
bersengketa, dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak
yang bersengketa, sedangkan Majelis BPSK bersifat pasif (sebagai
pengarah).
b. Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak
yang bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak, namun Majelis BPSK bertindak sebagai mediator atau penasehat
agar proses persidangan berjalan sesuai ketentuan.
c. Arbitrase, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak
bersengketa, namun proses penyelesainnya secara penuh diserahkan
kepada Majelis BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing.
Kemudian BPSK akan memberikan kebebasan kepada para pihak yang
bersangkutan untuk memilih salah satu dari ketiga cara tersebut.
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan,
terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena
sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha, biasanya nominalnya kecil
sehingga tidak bisa mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak
sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan
dituntut.
Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka
putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan
ke pengadilan. Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban
tumpukan perkara di pengadilan.
4. Penyelesaian Melalui Peradilan Umum.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dijelaskan dalam Pasal 48
UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan
bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
68
tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperlihatkan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 45 UUPK.
Walaupun putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan
mengikat , pihak-pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputuskan dalam
waktu 21 hari dengan waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke
pengadilan negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri ini dapat diajukan
hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI yang akan diputuskan dalam waktu 30
hari, dengan waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi.7
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dalam dunia bisnis merupakan
suatu masalah tersendiri, dikarenakan dalam penyelesaian sengketa di dalam
pengadilan sangat membutuhkan biaya banyak, sedangkan kita tahu bahwa
dunia bisnis sangat menghendaki penyelesaian sengketa dengan harga murah
dan cepat. Disamping itu penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dapat
merusak hubungan pelaku usaha bisnis dengan siapa dia pernah terlibat
sengketa, dikarenakan penyelesaian sengketa dalam pengadilan akan berakhir
dengan kekalahan salah satu pihak.
Upaya-upaya hukum yang telah disebutkan di atas dapat ditempuh oleh
para pelari yang merasa dirugikan terhadap perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi dalam ajang Bali Marathon. Walaupun
terdapat upaya hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, ternyata dalam prakteknya konsumen sering mengalami kesulitan
dalam mengajukan gugatan
Apabila sudah memilih untuk menempuh forum dan cara Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, penyelesaian melalui forum dan cara
pengadilan tidak dapat lagi ditempuh sebagaimana ditentukan pada Pasal 45
ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 45 Ayat (4)
menentukan:
7 http://heyshanata.blogspot.com/2012/11/perlindungan-konsumen.html (artikel ini diakses
pada tanggal 9 November 2018 pukul 08.20 WIB)
69
“Apabila telah dipilih upaya penyelesian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Demikian halnya bahwa sengketa konsumen tidak dapat diajukan ke
pengadilan dan di luar pengadulan sekaligus, misalnya, salah satu pihak
mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan juga ke
pengadilan atau pihak yang satu mengajukan ke Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen sementara pihak lain mengajukan ke pengadilan.8
B. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Ajang Lomba Lari Marathon dengan
Klausula Baku
Hadirnya klausula baku dalam perjanjian ajang lomba lari marathon dalam
bentuk “Peserta dengan ini mengesampingkan, membebaskan, menyatakan
tidak akan menuntut Penyelenggara dan akan membebaskan Penyelenggara
dan segala pihak yangb berhubungan dengan penyelenggara atas segala
tanggung jawab, klaim, tindakan atau kerugian yang mungkin timbul atau
berhubungan dengan pendaftaran atau keikutsertaan Peserta pada event
Maybank Bali Marathon. Penyelenggara, anak perusahaan/cabang, direksi,
pejabat, Karyawan, agen, partner, dan penerima lisensi tidak bertanggung
jawab atas segala kerugian immaterial baik secara langsung maupun tidak
langsung, termasuk namun tidak terbatas pada kehilangan potensi profit,
nama baik data ataupun hal immaterial lainnya. Dengan tidak
mengesampingkan ketentuan sebelumnya, Peserta dengan ini setuju bahwa
maksimum penggantian kerugian yang akan diberikan oleh Penyelenggara
adalah sebesar uang yang diterima oleh Penyelenggara dari peserta.”
Perjanjian baku tersebut melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen.
8 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti,
2014), h. 129.
70
Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukkan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian dimana klausula tersebut akan mengakibatkan:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyeraha kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebasan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Terlepas dari beberapa pendapat dan kritikan tentang perjanjian baku, di
era globalisasi sekarang ini kehadiran perjanjian baku sudah tidak bisa
dihindarkan lagi. Dengan alasan kepraktisan dan efesiensi dari segi waktu,
biaya dan tenaga, maka perjanjian baku sudah merupakan model perjanjian
71
yang merupakan suatu wujud kebebasan individu (pelaku usaha) dalam
menyatakan kehendaknya dalam sebuah perjanjian.9
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa syarat sahnya perjanjian
diperlakukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya adalah asas esensial dalam
hukum perjanjian, asas ini dinamakan asas konsensualisme. Arti asas
konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan
perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-
hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuai formalitas.10
Pada klausula
yang terdapat pada perjanjian ajang lari marathon terdapat perbedaan posisi
para pihak ketika perjanjian baku tersebut diadakan karena tidak memberikan
kesempatan pada debitur untuk mengadakan real bargaining dengan pelaku
usaha. Konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak
dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku.
Hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak yang terdapat
pada Pasal 1338 KUH Perdata Ayat (1) yang berbunyi: “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:11
9 Zakiyah, “Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”, Jurnal Al’Adl,
Vol. 9, No. 3, Desember 2017.
10 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), h. 15.
11 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 9.
72
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
Selain itu, pada Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal tersebut
merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur
pada pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata.
Kebebasan berkontrak pada pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata harus
memperhatikan Pasal 1337 KUH Perdata yang berisi bahwa suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Selain itu, dari Pasal 1320 KUH Perdata dapat ditarik kesimpulan bahwa
klausula baku pada perjanjian seperti halnya suatu perjanjian pada umumnya
harus memenuhi baik syarat-syarat obyektif maupun syarat-syarat subyektif
dari sahnya suatu perjanjian serta memenuhi asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme serta kedudukan yang seimbang dari para pihak yang
membuat perjanjian. Jika salah satu syarat obyektif dari syarat sahnya
perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum,
yang berarti bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak
semula.
Sedangkan jika syarat subyektif yang tidak terpenuhi maka perjanjian
tersebut terancam dengan kebatalan, dengan pengertian bahwa setiap salah
satu pihak perjanjian tersebut dapat memohon agar perjanjian tersebut
dibatalkan.12
Artinya, menurut Pasal 1320 KUH Perdata perjanjian antara
para pihak dalam ajang lomba lari marathon yang mengandung klausula baku
tidak memenuhi syarat objektif karena di dalam perjanjian ajang lomba lari
12
David M.L. Tobing, Parkir & Perlindungan Hukum Konsumen, (Jakarta: PT. Timpani
Agung, 2007), h. 41.
73
marathon yang mengandung klausula baku tersebut tidak mengandung syarat
sahnya perjanjian yakni Suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang halal
dimaksud adalah melingkupi segala ketentuan pada pasal 1337 KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukkan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian dimana klausula tersebut akan mengakibatkan:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyeraha kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebasan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya, dalam Pasal 18 Ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
74
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Akibat atas pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (1) dan (2), Pasal 18 Ayat
(3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan setiap perjanjian
atau klausula baku yang memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan (2)
dinyatakan batal demi hukum dan pelaku usaha harus menyesuaikan dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Artinya, perjanjian ajang lomba lari marathon dengan klausula baku yang
memuat isi sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) dianggap
tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak. Para pihak tersebut yakni,
pelaku usaha dan konsumen yang melaksanakan transaksi ajang lomba lari
marathon tersebut.
Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 18 Ayat (3), Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Perlindngan Konsumen
selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.13
Mengenai ketentuan sanksi dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mencantumkan tiga sanksi yakni sanksi administratif, sanksi
pidana dan sanksi tambahan. Sanksi administratif dapat berupa denda maupun
pencabutan kegiatan usaha terhadap pelanggaran Pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Sanksi pidana pokok bagi pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tentang klausula baku, terdapat pada pasal 62 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Selain itu sanksi tambahan bagi pelanggar ketentuan mengenai klausula baku
yaitu dapat berupa sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang terntentu;
13
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen..., h. 57.
75
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha
عنهمب في انمكبتت شروطهم ثينهم. وقبل اثه عمر ، أو عمر كم شر وقبل جبثر ثه ط عجد هللا ، رضي هللاه
.خبنف كتبة هللا فهى ثبطم وإن اشترط مئة شرط
Artinya: “Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah (
Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori )”
Maksud dari hadist di atas adalah dalam sebuah akad harus di dasari oleh
kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi
akad tersebut atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas
masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari
pihak satu ke pihak lain.14
14
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah, (Bogor : PT. Ghalia Indonesia, 2012), h. 26.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya
maka peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa:
1. Peraturan-peraturan dalam ajang Bali Marathon yang isinya bertentangan
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah pasti merugikan
konsumen , karena pihak penyelenggara selaku kreditur telah
menggunakan perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi yang
dimana pencantuman klausula eksonerasi dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1)
dan (2) UUPK. Adapun klausula baku yang melanggar ketentuan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen adalah “Peserta dengan ini
mengesampingkan, membebaskan, menyatakan tidak akan menuntut
Penyelenggara dan akan membebaskan Penyelenggara dan segala pihak
yangb berhubungan dengan penyelenggara atas segala tanggung jawab,
klaim, tindakan atau kerugian yang mungkin timbul atau berhubungan
dengan pendaftaran atau keikutsertaan Peserta pada event Maybank Bali
Marathon. Penyelenggara, anak perusahaan/cabang, direksi, pejabat,
Karyawan, agen, partner, dan penerima lisensi tidak bertanggung jawab
atas segala kerugian immaterial baik secara langsung maupun tidak
langsung, termasuk namun tidak terbatas pada kehilangan potensi profit,
nama baik data ataupun hal immaterial lainnya. Dengan tidak
mengesampingkan ketentuan sebelumnya, Peserta dengan ini setuju
bahwa maksimum penggantian kerugian yang akan diberikan oleh
Penyelenggara adalah sebesar uang yang diterima oleh Penyelenggara
dari peserta.”
2. Para pelari yang merasa dirugikan sebagai konsumen karena adanya
pencantuman klausula eksonerasi dalam peraturan-peraturan ajang Bali
Marathon dapat melakukan upaya-upaya hukum yang tercantum dalam
Pasal 45 UUPK yaitu dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
77
pengadilan. Penyelesaian melaui pengadilan prosesnya sanagat lambat dan
biaya perkaranya mahal, sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dapat
melalui komplain langsung kepada pelaku usaha, melapor ke YLKI, dan
melapor ke BPSK dengan melalui upaya tersebut penyelesaian sengketa
dapat dinyatakan secara damai karana tidak ada pihak-pihak yang merasa
menang atau kalah. Namun, penyelesaian sengketa konsumen tidak dapat
diajukan ke pengadilan dan di luar pengadulan sekaligus, misalnya, salah
satu pihak mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dan juga ke pengadilan atau pihak yang satu mengajukan ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sementara pihak lain
mengajukan ke pengadilan.
3. Hadirnya klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi melanggar
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Klausula tersebut
sangat merugikan konsumen, dan melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1)
dan (2) UUPK. Akibat hukum atas pencantuman klausula baku dalam
ajang Bali Marathon, sebagaimana Pasal 18 Ayat (3) UUPK maka
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum (nietigheid van
rechtswege).
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat berguns bagi upaya
perlindungan konsumen, khususnya dalam hal perlindungan konsumen
terhadap klausula baku yang merugikan. Adapun saran tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Para pelari agar lebih berhat-hati sebelum mengikuti ajang lari marathon
yang mencantukan klausula baku berupa klausula eksonerasi yang sudah
pasti merugikan konsumen.
2. Pihak penyelenggara sebagai pelaku usaha seharusnya memperhatikan
ketentuan-ketentuan untuk melakukan kegiatan usahanya. Klausula baku
memang diizinkan mengingat menghemat waktu, akan tetapi pelaku usaha
78
tidak boleh mencantumkan klausula baku berupa pengalihan tanggung
jawab. Ketentuan tersebut sudah pada pasal 18 UUPK.
3. Seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, lembaga swadaya konsumen
serta konsumen harus lebih aktif melakukan penelitian dan pengawasan
terhadap klausula yang merugikan konsumen.
4. Advokasi dan edukasi perlindungan konsumen harus lebih disosialisasikan
dan ditingkatkan. Hal ini bertujuan agar masyarakat paham akan hak dan
kewajibannya sebagai konsumen maupun sebagai konsumen. Selain itu,
konsumen juga dapat mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang bisa
dilakukan ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku
usaha.
5. Perlu adanya penegakan hukum (law inforcement) yang lebih baik dalam
rangka perlindungan konsumen. Dan diharapkan kepada pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat
memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang lainnya.
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci
Al-Qur’anul Karim
B. Buku
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011.
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Edisi
Revisi Cet. 9, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994.
Barkatullah, Abdul Halim, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Ahmad, Dualisme Hukum Normatif dan
Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Diantha, I Made Pasek, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Fuady, Munir , Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987.
H.S, Salim., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: PT. Sinar
Grafika, 2003.
Ibrahim, Johny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III, Jawa
Timur: Bayumedia Pubishing, 2007
Kristiyanti, Celiana Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Makmur, Syafrudin , Hukum Kontrak Dagang, Jakarta: FSH Press, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002.
80
Muhammad, Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, 2007.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah, Bogor : PT. Ghalia Indonesia, 2012.
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Impelementasinya, Cet. 3, Jakarta: Prenada Media Group,
2015.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2000.
Rasjidi, Lili dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem, Bandung: Remaja
Rusdakarya, 1993.
R, Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006.
Santoso, Lukman, Hukum Perjanjian Kontrak, Jakarta: Kompas Gramedia, 2012.
Shidrata, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2006.
Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002.
Shofie, Yusuf dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Jakarta:
PT. Piramedia, 2004.
Siahaan, N.H.T, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Jakarta: Panta Rei, 2005.
Sidabalok, Janus , Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2014.
Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera,
2009.
Sjahdeni, Sutan Reny, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1994.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2010.
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: Citra Aditya, 1999.
81
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Sutendi, Adrian, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Tobing, David M.L, Parkir & Perlindungan Hukum Konsumen, Jakarta: PT. Timpani
Agung, 2007.
Widjaja, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013.
C. Jurnal
Bure Teguh Satria, “Eksistensi Dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi”, Jurnal Lex
Privatum, Vol. 2, No. 3, Agustus-Oktober 2014.
Zakiyah, “Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”, Jurnal
Al’Adl, Vol. 9, No. 3, Desember 2017.
D. Website
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a180bfa92abf/aspek-perlindungan-
hukum-bagi-irunner-i-dalam-ajang-lomba-lari.
https://www.maybank.co.id/about/Pages/Overview.aspx.
https://olahraga.kompas.com/read/2018/08/28/16480608/maybank-bali-marathon-
2018-siap-digelar-ini-jumlah-pesertanya.
https://ylki.or.id/profil/visi-misi/.
http://www.balimarathon.com/rules/release-and-waiver-liability.
http://heyshanata.blogspot.com/2012/11/perlindungan-konsumen.html.
E. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
1/25/2019 Syarat dan Ketentuan | Maybank Bali Marathon 2018
http://www.balimarathon.com/node/49 1/4
(/)
COUNTDOWN TO MAYBANK BALI MARATHON 2018
0 weeks, 0 days, 0 hours, 0 minutes and 0 seconds left
FOLLOW (http://www.facebook.com/balimarathon) (http://www.twitter.com/balimarathon)
(http://instagram.com/balimarathon) (https://www.youtube.com/channel/UCWfv9ZueAhK7Hx_Wlhx4DZA)
Search
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
RACE RESULT(HTTPS://RESULTS.SPORTHIVE.COM/EVENTS/6445210340230545408)
HIGHLIGHTS
RACE INFORMATIONRace Day : Sunday, 9 September 2018Registration Open : Thursday, 1 March 2018Race venue : Gianyar, Bali, IndonesiaCategory : Full Marathon, Half Marathon, 10K, Children's Sprint
(https://www.maybank.co.id/promo/Documents/others/balimarathon/dowload-mbmpay.html )
BACK TOTOP
1/25/2019 Syarat dan Ketentuan | Maybank Bali Marathon 2018
http://www.balimarathon.com/node/49 3/4
1. Peserta Marathon Penuh wajib berusia 18 tahun atau lebih. Peserta Half Marathon wajib berusia 17tahun atau lebih. Peserta 10km wajib berusia 12 tahun atau lebih. Penyelenggara berhakmelakukan verifikasi atas usia peserta sebelum, pada saat dan sesudah lomba. Pengecualian atashal ini hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan Penyelenggara.
2. Penyelenggara berhak menutup pendaftaran jika seluruh kuota pesertanya telah terisi penuh.
3. Pendaftaran akan diproses setelah pembayaran pendaftaran selesai dilakukan.
4. Pemindahtanganan dan/atau praktek jual-beli pendaftaran lomba tidak diperbolehkan.Penyelenggara berhak untuk melakukan pembatalan pendaftaran apabila ditemukan indikasipemindahantanganan dan/atau penjualan registrasi ini.
5. Penyelenggara berhak untuk membatasi dan menolak pendaftaran tanpa alasan.
6. Penyelenggara berhak menghubungi dan mewawancarai Peserta melalui telepon atau cara lainuntuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan pendaftaran mereka.
7. Biaya pendaftaran adalah tidak dapat diminta kembali (non-refundable). Penyelenggara berhakuntuk menolak pendaftaran jika pendaftar memberikaninformasi yang salah, tidak melakukanpembayaran atau gagal memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam form pendaftaran.
8. Jika lomba dibatalkan karena alasan di luar kekuasaan Penyelenggara (termasuk hujan deras, petiratau bencana, demonstrasi), Penyelenggara tidak akan mengembalikan biaya pendaftaran yangtelah diterima dan Penyelenggara tidak bertanggung jawab atau kewajiban apapun atas haltersebut.
9. Olah raga lari bukanlah merupakan olah raga yang tidak memiliki risiko dan karenanya masing-masing pelari wajib memastikan bahwa kondisi kesehatannya fitk sebelum dan pada saatberpartisipasi dalam lomba. Masing-masing pelari bertanggung jawab atas kondisi kesehatannyamasing-masing. Penyelenggara bertanggung jawab atas cidera ataupun kematian yang timbulselama atau sesudah lomba yang diakibatkan secara langsung merupakan akibat dari kelalaianyang disengaja atau gross negligence Penyelenggara.
10. Penyelenggara berhak untuk tidak mengizinkan atau mendiskualifikasi peserta yang diketahui ataudiduga tidak fit untuk mengikuti lomba. Jika ada peserta yang cidera pada saat lomba, dalamkeadaan tertentu sesuai dengan rekomendasi petugas kesehatan yang ditunjuk Penyelenggarauntuk mengawasi lomba, peserta tersebut dapat dirawat di rumah sakit yang ditunjukPenyelenggara dengan biaya perawatan tidak melebihi jumlah yang disepakati oleh Penyelenggaradan rumah sakit tersebut.
11. Penyelenggara berhak untuk mendiskualifikasi peserta dan/atau membatalkan hasil lomba sebagaiakibat dari adanya pelanggaran atau tidak dipenuhinya ketentuan International Association ofAthletics Federations (IAAF) atau PASI atau ketentuan lomba. Penyelenggara tidak wajibmengembalikan biaya pendaftaran dalam hal tersebut.
TITLE SPONSOR & OWNER
(https://www.maybank.co.id/Pages/Home.aspx)
BACK TOTOP
1/25/2019 Release and Waiver of Liability | Maybank Bali Marathon 2018
http://www.balimarathon.com/rules/release-and-waiver-liability 1/2
(/)
COUNTDOWN TO MAYBANK BALI MARATHON 2018
0 weeks, 0 days, 0 hours, 0 minutes and 0 seconds left
FOLLOW (http://www.facebook.com/balimarathon) (http://www.twitter.com/balimarathon)
(http://instagram.com/balimarathon) (https://www.youtube.com/channel/UCWfv9ZueAhK7Hx_Wlhx4DZA)
Search
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
RACE RESULT(HTTPS://RESULTS.SPORTHIVE.COM/EVENTS/6445210340230545408)
RULES
Important Notice (/rules/important-notice)
Registration (/rules/registration)
Terms and Conditions (/rules/terms-and-conditions)
Official Rules (/rules/official-rules)
Course Monitoring (/rules/course-monitoring)
RACE INFORMATIONRace Day : Sunday, 9 September 2018Registration Open : Thursday, 1 March 2018Race venue : Gianyar, Bali, IndonesiaCategory : Full Marathon, Half Marathon, 10K, Children's Sprint
BACK TOTOP
1/25/2019 Release and Waiver of Liability | Maybank Bali Marathon 2018
http://www.balimarathon.com/rules/release-and-waiver-liability 2/2
RELEASE AND WAIVER OF LIABILITY
Participant hereby waive, release, covenant not to sue and forever discharge active and all other personsassociated with the event, for all liabilities, claims, actions, or damages that the Participant may haveagainst them arising out of or in any way connected with the participant’s registration and/or participationin the MAYBANK BALI MARATHON.
The Organizer, its subsidiaries/, affiliates, directors, officers, employees, agents, partners and licensorsshall not be liable to the Participant for any direct, indirect, incidental, special, consequential or exemplarydamages, including, but not limited to, damages for loss of profits, goodwill, use, data or other intangiblelosses.
Subject to the above condition, the Participant agree that active's maximum liability to the Participant, forany reason or cause whatsoever, shall not exceed the total amount of monies received by active from theParticipant.
In the case of discrepancies between the Indonesian and English versions, the Indonesianversions shall prevail.
Copyright@2012 Balimarathon.com. All rights reserved. Web Design by Swara Technology (http://www.swaratechnology.com). Hosting by Web Hosting Bali
(http://www.webhostingbali.com)
Timing Chip and BIB Number (/rules/timing-chip-and-bib-number)
Deposit Bag Facility (/rules/deposit-bag-facility)
Prize Money (/rules/prize-money)
Pictures and Documentation (/rules/pictures-and-documentation)
Ammendments / Reservations / Acknowledgements (/rules/ammendments-reservations-acknowledgements)
Release and Waiver of Liability (/rules/release-and-waiver-liability)
Release and Waiver of LiabilityHome Race Information Rules
BACK TOTOP