Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI DALAM JUAL BELI OBJEK HAK
TANGGUNGAN YANG DILAKUKAN KREDITUR DENGAN SURAT KUASA JUAL
Tania Wijayanti
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Dr. Yudho Taruno Muryanto, S.H.,M.Hum
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Dr. M. Irnawan Darori, SH., MM
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Abstract
The power of attorney to sell given by the debtor to the creditor to sell the object of security of
mortgage is not in accordance with the provisions of Law Number 4 Year 1996 regarding
Mortgage of land and objects related to the land. In the practice of credit binding by the bank
with the debtor, the bank no longer prepares a power of attorney to sell, because there is
already a mortgage right institution that has permanent legal force, but the bank always
includes the requirement for a power of attorney to sell in every credit binding, due to the bank
really needs a letter of power of attorney to sell in order to ensure the sustainability of the
credit that the bank has provided to the debtor.
Keywords: legal protection of creditor an debtor, power of attorney to sell,
mortgage right in the settlement of non performing loans
BAB I
A. Pendahuluan
Pada zaman sekarang ini, pertumbuhan ekonomi semakin pesat yang membuat
pula semakin meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk mendapatkan modal dari
bank, dimana kebutuhan terhadap modal dari bank tersebut tidak lain adalah untuk
pengembangan usaha atau bisnis. Dengan fungsi bank sebagai salah satu sumber
pendanaan bagi suatu kegiatan usaha yang pada akhirnya merupakan stimulus bagi
penggerak roda perekonomian, maka peranan perbankan sangat penting sebagai faktor
pendorong kegiatan ekonomi. Sebagaimana ketentuan pada Pasal 1 angka 11 Undang
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank,
merupakan salah satu tugas dari bank. Adapun pengertian kredit menurut Pasal 1 Angka
11 UU Perbankan adalah ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan usaha bank dalam rangka
mengelola dana yang dikuasainya agar produktif dan memberikan keuntungan.1 Kredit
sesuai dengan kata aslinya credo, berarti kepercayaan.2 Seorang nasabah yang
mendapatkan kredit dari bank memang adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari
bank.3 Untuk memperoleh kredit dari bank seseorang debitur harus melalui beberapa
tahapan, yaitu mulai dari tahapan pengajuan aplikasi/permohonan kredit sampai dengan
tahap penerimaan kredit, setelah permohonan kredit diterima, selanjutnya dibuatlah
perjanjian kredit antara bank dengan debitur.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagaimana perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada
dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada
debitur.4 Pemberian kredit oleh bank sebagai salah satu lembaga keuangan tentunya
memiliki resiko. Bank wajib memiliki manajemen resiko, guna mengelola resiko
tersebut. Manajemen resiko diartikan sebagai serangkaian metodologi dan prosedur
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan
risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.5 Selain perjanjian kredit,
keberadaan jaminan juga penting meskipun tidak dikatakan mutlak. Dalam UU
Perbankan memberikan makna yang berbeda antara jaminan dengan agunan. Jaminan
pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian
terhadap calon debitur tersebut. Sedangkan, agunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit. Agunan
terbagi atas dua, yaitu agunan pokok adalah barang, proyek, atau hak tagih yang
1 M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers,2012, hlm. 3. 2 As.Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 23. 3 R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Adita Bakti 1989. Hal 1 4 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 71. 5 Trisadini P. Usanti, Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Kencana 2017. Hlm 189.
dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, sedangkan agunan tambahan adalah benda
yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai kredit.6
Jaminan diperlukan untuk menjamin pembayaran suatu utang. Jaminan dapat
digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri.
Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu:7
1. Jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan (baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak);
2. Jaminan imateriil (perorangan), yaitu jaminan perorangan.
Dengan adanya jaminan, bank mendapatkan kepastian bahwa kredit yang diberikan
dapat diterima kembali pada suatu saat yang telah ditentukan.8 Jaminan tersebut dapat
berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan yang dimaksud dalam
penulisan ini adalah jaminan hak atas tanah yang termasuk dalam jaminan benda tidak
bergerak. Jaminan hak atas tanah berupa hak milik yang dapat di bebani hak
tanggungan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah yaitu : “hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan
adalah : hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan.”.
Pada proses pinjaman kredit, bank sangat berhati-hati untuk menentukan debitur
mana yang pantas mendapatkan pinjaman kredit. Namun, dalam berjalannya waktu,
tidak semua debitur bisa menyelesaikan masa pinjaman kredit dengan lancar. Ada
kalanya, kegiatan usaha debitur menurun atau bahkan pailit. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi sehingga debitur menjadi tidak mempunyai kemampuan untuk
membayar kembali pinjaman yang telah diberikan kreditur. Akibatnya menjadikan
kredit terhenti atau macet. Kredit macet adalah “suatu keadaan dimana seorang
nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.”.9 Dengan
kata lain debitur melakukan wanprestasi. Pada saat debitur wanprestasi, kreditur
biasanya akan melakukan penyelamatan kredit yang bermasalah tersebut. Penyelamatan
kredit bermasalah merupakan suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui
perundingan kembali antara kreditur dengan debitur. Perundingan yang dimaksud
adalah dengan restrukturisasi kredit.10 Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, yang dimaksud dengan
restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap
debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan
antara lain melalui :11
1. Penurunan suku bunga kredit;
2. Perpanjangan jangka waktu kredit;
6 Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 7 HS Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 23. 8 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, Jakarta: Alfabeta CV, Hal 142. 9 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta : Djambatan,1995, hlm. 92. 10 Novrilanimisy, “Pelaksanaan Restrukturisasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Dan
Hambatannya Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Binjai”, USU Law Journal,Vol 2 No.3, Desember 2014, hal
136 11 Pasal 1 ayat 26 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Aktiva Kredit
3. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
4. Pengurangan tunggakan pokok kredit;
5. Penambahan fasilitas kredit; dan/atau
6. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Namun, apabila pada proses penyelamatan kredit, debitur tetap melakukan
wanprestasi. Maka jalan yang harus ditempuh oleh kreditur adalah menjual atau
melelang jaminan pinjaman kredit tersebut. Tanah sebagai jaminan suatu kredit,
didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah guna pelunasan utang yang
kedudukan krediturnya diutamakan daripada kreditur lain. Sehingga apabila debitur
cidera janji, kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dapat menjual obyek Hak
Tanggungan melalui penjualan dimuka umum atau pelelangan. Pada dasarnya
perjanjian Hak Tanggungan merupakan perjanjian ikutan (accessoir) yang mengikuti
perjanjian pokok.12
Namun, dalam praktek pinjaman kredit dengan jaminan tanah yang akan di
bebankan hak tanggungan, kreditur juga mensyaratkan adanya surat kuasa jual. Yang
mana surat kuasa jual tersebut dibuatkan oleh notaris. Surat kuasa jual disiapkan oleh
bank melalui notaris terlebih dahulu pada setiap pemberian kredit kepada debitur. Surat
kuasa jual tersebut berisi, debitur sebagai pemberi kuasa memberikan kekuasaan atau
kewenangan kepada bank sebagai penerima kuasa, untuk melakukan transaksi jual beli,
termasuk perbuatan-perbuatan yang dibutuhkan dalam melakukan transaksi jual beli.
Dibuatnya surat kuasa jual bertujuan agar pada saat debitur wanprestasi, bank sebagai
penerima kuasa tersebut dapat dengan mudah menjual objek jaminan. Namun, adanya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, seharusnya dalam
praktek pengikatan kredit oleh bank dengan debitur, bank tidak lagi mempersiapkan
surat kuasa jual, karena sudah ada Hak Tanggungan. Tetapi, kenyataan yang terjadi
adalah bank sebagai kreditur tetap mensyaratkan adanya pengikatan hak tanggungan
dan surat kuasa jual terhadap objek jaminan kredit. Objek tersebut akhirnya pula mudah
untuk diperjual-belikan kepada pihak ketiga (pembeli). Dimana harga jual jaminan
tersebut biasanya dibawah standar yang seharusnya, dikarenakan objek tersebut menjadi
jaminan yang berasal dari pinjaman kredit tunggakan. Tentu hal ini akan menarik
perhatian para pembeli untuk membeli tanah tersebut. Namun, apa benar objek yang
dibeli oleh pembeli tersebut aman dan bebas dari sengketa serta bagaimana
perlindungan hukumnya apabila ada sengketa dikemudian hari, karena proses jual beli
hanya menggunakan surat kuasa jual. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
tertarik untuk menulis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam
Jual Beli Objek Hak Tanggungan Yang Dilakukan Kreditur Dengan Surat Kuasa
Jual”.
12 Dimas Nur Arif Putra Suwandi. “Perlindungan Hukum Bagi Bank Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Kedua
Dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan”, Media Iuris, Vol. 1 No. 3, Oktober 2018, hlm 421
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli dalam jual beli objek hak
tanggungan yang dilakukan kreditur dengan surat kuasa jual?
2. Mengapa kreditur menggunakan surat kuasa jual dalam jual beli objek hak
tanggungan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum bagi kreditur dan pembeli
dalam jual beli objek hak tanggungan dengan surat kuasa jual.
2. Untuk mengetahui mengapa kreditur menggunakan surat kuasa jual dalam jual beli
objek hak tanggungan.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
yuridis normatif, yaitu meneliti sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan topik
penelitian, meliputi penelitian, sumber- sumber hukum, peraturan perundang-
undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang
dibahas. Data-data yang diperoleh kemudian di analisis secara deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta
yang ada dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai penggunaan surat kuasa jual dalam penjualan hak tanggungan.
E. Pembahasan
1. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Jual Beli Objek Hak Tanggungan Yang
Dilakukan Kreditur Dengan Surat Kuasa Jual
Dalam praktik perbankan di Indonesia, pemberian kredit umumnya diikuti
penyediaan jaminan oleh pemohon kredit, sehingga pemohon kredit yang tidak
bisa memberikan jaminan sulit untuk memperoleh kredit dari bank.13 Dengan
adanya jaminan pemberian kredit tersebut maka akan memberikan jaminan
perlindungan bagi keamanan dan kepastian hukum kreditur bahwa kreditnya akan
tetap kembali walaupun debitur wanprestasi, yaitu dengan cara mengeksekusi objek
jaminan kredit bank yang bersangkutan.
Menurut Salim HS menjelaskan bahwa perjanjian kredit itu adalah perjanjian
yang dibuat antara kreditur dan debitur, dimana kreditur berkewajiban untuk
memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk
membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu
yang telah disepakati antara keduanya.14
Objek yang menjadi jaminan di bank yang dimaksud dalam penulisan kali ini
adalah tanah dan atau bangunan diatasnya. Dalam literatur hukum, tidak mengenal
istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai
Zekerheidsrechten berarti hak, sehingga Zekerheidsrechten adalah hak-hak
jaminan.15 Dengan demikian maka hukum jaminan dapat dirumuskan sebagai
13 Asriadi Zainuddin, “Kedudukan Hukum Surat Kuasa Menjual terhadap Objek Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan”, Jurnal AL-Himayah, Vol 1 Nomor 2, Oktober 2017, hlm 300 14 HS Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia , Op.cit., hlm 30 15 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.54
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya,
maksudnya jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.16
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak jelaskan apa yang
dimaksud dengan jaminan, meskipun demikian dari ketentuan tersebut diketahui
bahwa jaminan erat hubungannya dengan utang. Perjanjian jaminan tidak bisa
berdiri sendiri. Perjanjian utang piutang menjadi perjanjian pokok dan perjanjian
jaminan bersifat accessoir, maka saat perjanjian pokok berakhir, perjanjian jaminan
juga berakhir.
Objek jaminan dalam perjanjian kredit tersebut barulah dapat digunakan apabila
telah diikat dan didaftar sesuai mekanisme yang telah diatur dan ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan khusus untuk itu. Objek jaminan yang berbentuk
tanah haruslah diikat atau dibebani dengan Hak Tanggungan. Hak tanggungan
dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, menyebutkan pengertian hak tanggungan adalah: “Hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu
untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur terhadap kreditur- kreditur lainnya.”
Pasal 20 ayat 1 Jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan mengatur:
“Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak
menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut
peraturan perudangan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjulan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur- kreditur
lainnya yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak
tanggungan dengan peringkat lebih rendah.”
Dari pasal tersebut maka kreditur memiliki hak untuk menjual objek jaminan
yang telah dibebankan hak tanggungan tersebut apabila debitur wanprestasi. Yang
mana hasil dari penjualan objek jaminan tersebut untuk pelunasan pinjaman debitur.
Namun, kreditur tidak serta merta langsung melakukan eksekusi objek jaminan hak
tanggungan apabila debitur wanprestasi. Kreditur akan melakukan penyelamatan
kredit dengan cara restrukturisasi, yang tentu saja atas kesepakatan kedua belah
pihak. Ketika restrukturisasi tidak bisa juga menyelamatkan kredit, barulah kreditur
akan mengeksekusi objek hak tanggungan tersebut. Eksekusi hak tanggungan dapat
dilakukan melalui 3 cara, yaitu :
a. Eksekusi melalui pengadilan
Eksekusi jaminan utang dapat melalui pengadilan, sebab dalam akta
atau sertifikat hak tanggungan terdapat titel “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang membuat
sertifikat hak tanggungan tersebut punya kekuatan eksekutorial (dapat
dieksekusi) seperti putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
16 Ibid. Hlm 4
tetap.17 Cukup mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan
Negeri di mana objek tanah (jaminan) berada. Atas dasar permohonan
tersebut, Ketua Pengadilan akan melakukan aanmaning (peringatan)
kepada debitur dan kemudian melakukan pelelangan dengan bantuan kantor
lelang.
b. Eksekusi atas kekuasaan sendiri
Eksekusi atas kekuasaan sendiri, maksudnya anda bisa mengeksekusi
(menjual) tanah tersebut atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
dan hasilnya di ambil untuk melunasi utang debitur kepada kreditur.18
Dalam eksekusi atas kekuasaan sendiri, tidak perlu meminta penetapan
Ketua Pengadilan Negeri setempat. Cukup mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk dilaksanakan
pelelangan umum atas tanah (objek hak tanggungan) tersebut.
c. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan
Artinya, bisa menjual objek (tanah) tersebut di bawah tangan, tanpa harus
melalui penetapan pengadilan ataupun melalui kantor pelelangan umum.
Hal ini bisa dilakukan selama ada kesepakatan/persetujuan antara pemberi
(debitur) dan pemegang hak tanggungan (kreditur), dan dengan cara
tersebut akan diperloleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak.19 Caranya, dengan mencantumkan dalam perjanjian kredit tersebut,
bahwa kreditur berwenang menjual sendiri tanah tersebut secara di bawah
tangan, atau minta debitur memberikan Surat Kuasa Khusus yang
memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk dapat menjual sendiri tanah
tersebut secara di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi di bawah tangan
hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya-dikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan
dan/atau media masa setempat, serta tidak ada yang menyatakan
keberatan.20
Pelaksanaan penjualan obyek jaminan hak tanggungan dengan cara di bawah
tangan dilakukan dengan adanya kesepakatan antara kreditur dengan debitur dan/
atau penjamin untuk menjual obyek jaminan, serta didapat kesepakatan harga yang
wajar dan menguntungkan semua pihak, yaitu cukup untuk memenuhi kewajiban
debitur kepada kreditur, maka kreditur akan menyerahkan hak-hak debitur untuk
mendapatkan hak atas tanahnya kepada pembeli obyek jaminan hak tanggungan
sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan bersama. Hasil penjualan merupakan
hasil kesepakatan dan keputusan bersama diantara para pihak sehingga memberikan
jaminan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi kreditur atau debitur maupun
17 Pasal 14 ayat 2 dan 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 18 Pasal 20 ayat 1 huruf a Jo Pasal 6 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 19 Pasal 20 ayat 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 20 Pasal 20 ayat 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
pembeli. Proses pengalihan obyek jaminan dilakukan lebih cepat, dengan prosedur
yang lebih sederhana,dan diselesaikan dalam satu proses dengan penyeleseian
kreditnya.21 Mekanisme penjualan obyek hak tanggungan yang demikian sejalan
dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan.
Namun, dalam praktiknya bank sebagai kreditur yang mensyaratkan kepada
debitur untuk membuat Surat Kuasa Menjual yang bertujuan untuk memberi kuasa
kepada kreditur untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya
apabila debitur wanprestasi, padahal perjanjian kredit tersebut sudah diikat dengan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang didalamnya telah mengatur janji-
janji sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.
Surat kuasa jual dibuat oleh notaris. Substansi kuasa menjual yang biasanya
dibuat oleh Notaris atas pemintaan kreditur yaitu pemberi kuasa memberikan suatu
kewenangan kepada penerima kuasa untuk bertindak atas nama pemberi kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tanah, yang mana pemegang hak
atas tanah tersebut adalah si pemberi kuasa. Dalam akta kuasa menjual disebut
secara jelas dan tegas serta terinci tentang objek dari kuasa termaksud, seperti, luas
tanah; nomor sertipikat hak atas tanah; uraian surat ukur/gambar situasi; batas-
batas tanah, sebab hal ini berkaitan langsung dengan proses peralihan haknya pada
saat akan dilakukan eksekusi atau penjualan objek jaminan.22 Kewenangan
penerima kuasa untuk menjual atau mengalihkan baik kepada dirinya sendiri
maupun kepada orang lain harus ada dan melekat pada kuasa menjual tersebut. Lain
halnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan.
Pemegang Hak Tanggungan baru mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan apabila objek Hak Tanggungan
termaksud pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.23
Kewenangan dalam sebuah kuasa menjual merupakan kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum atau perbuatan hukum berupa pengalihan hak atas
tanah milik pemberi kuasa oleh penerima kuasa atau mengambil tindakan pemilikan
seperti menjual baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain/pihak lain.
Kewenangan ini diatur dan diakui oleh hukum, tetapi bukan berarti bahwa
penerima kuasa mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, karena si penerima kuasa diberi batasan-batasan yang
dibenarkan atau diatur pula oleh hukum. Batasan-batasan tersebut terutama
berkaitan dengan ketentuan hukum/peraturan yang bersifat memaksa (termasuk
Pasal 1792-1819 KUHPerdata), kesusilaan dan kepentingan umum.24
Pembuatan kuasa menjual pada objek hak tanggungan yang sering terjadi di
masyarakat, pada dasarnya tidak diatur secara jelas dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan. Kuasa menjual yang dibuat tidak memiki dasar hukum yang
21 Edy Puwanto, Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi Dengan Cara Penjualan Di bawah Tangan Atas Obyek Jaminan Hak Tanggungan, Semarang: di PT. Bank Niaga, Tbk Universitas Diponegoro, 2008. 22 Asriadi zainuddin, Kedudukan Hukum Surat Kuasa Menjual terhadap Objek Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan, Op.Cit.,hlm 305 23 Pasal 8 ayat 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 24 Asriadi zainuddin, Loc.cit.
kuat. Berdasarkan penelitian `yang dilakukan oleh Asriadi Zainuddin, beberapa
kelemahan kuasa menjual dibandingkan Hak Tanggungan, yaitu :25
a. Kuasa menjual tidak didaftar sehingga tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial apabila debitor wanprestasi atau cidera janji;
b. Kuasa menjual setiap saat dapat ditarik kembali karena sifatnya tidak
mutlak, artinya pemberi kuasa dapat saja menarik kembali kuasa yang
telah diberikannya kepada penerima kuasa apabila debitor telah
melunasi utangnya atau memenuhi prestasinya.
Pada dasarnya fungsi kuasa menjual itu bagi debitur adalah untuk menjamin
pelunasan hutangnya kepada kreditur. Sedangkan bagi kreditur adalah sebagai alat
untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanah yang menjadi objek
jaminan untuk mendapatkan pelunasan hutang debitur. Namun dalam praktik
penjualan objek jaminan apabila debitur wanprestasi dilakukan setelah debitur
membuat dan menandatangani penyerahan sukarela yang berisikan bahwa debitur
sama sekali tidak keberatan untuk dijual tanah yang menjadi objek jaminan apabila
debitur wanprestasi/cidera janji dengan syarat apabila terjadi kelebihan harga dari
objek jaminan maka kelebihan harga tersebut dikembalikan kepada debitur.
Namun fungsi kuasa menjual ini menjadi tidak berarti apabila kuasa menjual itu
bersama-sama/disandingkan dengan Hak Tanggungan yang mempunyai titel
eksekutorial. Apabila terjadi debitor wanprestasi dan objek jaminan akan dieksekusi
maka secara hukum yang digunakan adalah Sertifikat Hak Tanggungan yang
mempunyai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Lain halnya jika para pihak sepakat dan setuju untuk menjual objek jaminan itu
secara dibawah tangan dengan ketentuan asal mencapai harga yang tertinggi dan
menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan Pasal 12 ditentukan suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak
boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak
tanggungan cedera janji. Apabila hal ini dicantumkan, maka perjanjian seperti itu
batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada
karena bertentangan dengan substansi Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dalam perjanjian kredit yang mana melibatkan debitur dan kreditur bank yang
merupakan warga negara dan juga badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
negara Republik Indonesia maka perlindungan hukum wajib diberikan bagi bank
selaku kreditur dan juga nasabah peminjam selaku debitur, yaitu suatu perlindungan
hukum yang diberikan oleh perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang diberikan
terhadap subjek hukum yaitu nasabah peminjam (debitur) maupun bank selaku
kreditur dengan tujuan memberikan suatu ketertiban dan kepastian hukum kepada
para pihak yang melakukan pengikatan perjanjian kredit perbankan dengan jaminan
Hak Tanggungan.26
Namun, surat kuasa jual yang digunakan oleh kreditur untuk menjual langsung
objek hak tanggungan tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi mekanisme
dari Pasal 20 UUHT, hal ini bertentangan dengan ketentuan UUHT itu sendiri.
25 Asriadi Zainuddin, ibid. Hlm 319 26 Oltje Salman, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelahan), Renada Media, Jakarta 2007. Hlm 19
Keadaan cacat hukum inilah yang akan memiliki konsekuensi tidak adanya
perlindungan hukum bagi pembeli yang akan membeli objek jaminan hak
tanggungan tersebut. Seperti yang tertulis di dalam pasal 1337 KUHPerdata,
terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Maka, perjanjian yang tidak memenuhi
syarat suatu sebab yang halal akan dinyatakan batal demi hukum.
Pemakaian dari akta kuasa untuk menjual dalam dunia perkreditan sangat tidak
sebanding, apabila akta ini ditanda tangani bersamaan dengan akta-akta lain yang
dibuat pada saat akad kredit, akan tetapi menjadi sebanding bila ditanda tangani
pada saat debitur wanprestasi dan telah menerima peringatan dari pihak kreditur.
Misalnya debitur telah melakukan wanprestasi lalu kreditur dan debitur datang
kepada notaris untuk diterbitkan akta kuasa menjual, maka akta tersebut sebanding
dengan ketentuan UUHT, karena didalamnya terdapat penyerahan secara sukarela,
akan tetapi apabila akta kuasa untuk menjual tersebut ditanda tangani bersamaan
dengan akta-akta saat akad kredit, hanya akan melemahkan posisi debitur.27
Perjanjian jual beli objek jaminan hak tanggungan tersebut dianggap tidak
pernah ada. Hal ini jelas akan merugikan pembeli nantinya, dan juga kreadibilitas
kreditur sebagai lembaga jaminan hak tanggungan yang diakui oleh negara, akan
dipertanyakan. Karena melakukan tindakan hukum tanpa memiliki perlindungan
hukum sama sekali, menyalahi aturan yang sudah ditentukan secara universal di
Indonesia. Larangan untuk adanya kuasa menjual dalam objek jaminan hak
tanggungan juga suda diatur dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 27 Februari 1989 Nomor 2660/K/Pdt/89.
2. Alasan Kreditur Menggunakan Surat Kuasa Jual Dalam Jual Beli Objek Hak
Tanggungan
Kuasa untuk menjual merupakan salah satu bentuk dari kuasa yang sering
dalam praktek sehari-hari di kantor notaris dan biasanya terkait dengan peralihan
hak atas tanah. Surat kuasa jual tersebut berlaku setelah terjadinya akad kredit atau
paling lambat keesokan harinya. Setelah semua ditandatangani dan disetujui oleh
debitur, maka notaris akan memberikan salinannya kepada kreditur unuk digunakan
sebagaimana fungsinya. Surat kuasa jual dalam perjanjian kredit memiliki beban
biaya yang dibebankan kepada debitur dengan harga berkisar 0,25%-0,50% dari
nilai pinjaman kredit tersebut.
Pihak bank membenarkan adanya penggunaan surat kuasa jual dalam pinjaman
kredit yang mereka berikan kepada debitur. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa
debitur sudah berhutang dan melakukan wanprestasi maka wajar dan sah apabila
bank sebagai kreditur kemudian mengambil alih kepemilikan objek jaminan
tersebut. Ditambah lagi, debitur yang notabene nya sebagai orang awam akan
hukum, setuju dengan ketentuan syarat dari kreditur. Mengingat debitur sendiri
sedang dalam kondisi membutuhkan pinjaman kredit dari bank tersebut. Selain itu,
bank memiliki keyakinan bahwa surat kuasa jual yang digunakan itu sesuai dengan
27 Muhammad Eddo Afrian, “Kuasa Menjual Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kredit Macet di Kecamatan Sukajadi Kota Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum, Vol III Nomor 2, Oktober 2016, hlm 10
ketentuan yang berlaku. Karena dibuat oleh notaris, yang mana notaris memiliki
kewenangan dalam membuat akta otentik.
Akta otentik sekurang-kurangnya mempunyai tiga fungsi yaitu :
a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
b. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali
apabila ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan
bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Bank menggunakan surat kuasa jual dalam objek hak tanggungan juga atas
dasar Pasal 12 a Undang Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998 :
“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui
pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela
oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari
pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”
Yang pada akhirnya bank selalu berusaha untuk meminimalisir lelang akibat kredit
macet dan menghindari pajak lelang sebesar 10% dari nilai transaksi kredit.
F. Penutup
1. Kesimpulan
a. Surat kuasa menjual menjadi tidak berarti apabila kuasa menjual itu bersama-
sama/disandingkan dengan Hak Tanggungan. Karena saat debitur wanprestasi,
objek jaminan hak tanggungan tersebut akan dieksekusi maka secara hukum
yang digunakan adalah Sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai irah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
tidak dapat menggunakan surat kuasa jual untuk menjual objek hak
tanggungan dalam penyelesaian kedit macet debitur, ketentuan Pasal 20 ayat
2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak dapat diterjemahkan sebagai
dasar dari surat kuasa jual, ketentuan Pasal 20 ayat 2 tersebut merupakan dasar
untuk dapat dijualnya objek hak tanggungan secara bawah tangan bukan
melalui pelelangan umum, akan tetapi penjualan bawah tangan ini baru dapat
dilaksanakan dengan persyaratan, adanya kesepakatan antara nasabah debitur
dengan bank, terutama mengenai harga jual. artinya perjanjian jual beli atas
obyek jaminan hak tanggungan antara kreditur dengan pembeli yang didasarkan
atas surat kuasa jual yang tidak memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 20
Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 tidak memberikan
perlindungan hukum kepada kreditur dan pembeli. Lain halnya jika para pihak
sepakat dan setuju untuk menjual objek jaminan itu secara dibawah tangan
dengan ketentuan asal mencapai harga yang tertinggi dan menguntungkan
kedua belah pihak. Di samping itu dalam Undang-Undang Hak Tanggungan
Pasal 12 ditentukan suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh
diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak
tanggungan cedera janji. Apabila hal ini dicantumkan, maka perjanjian seperti
itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap
tidak ada karena bertentangan dengan substansi Undang-Undang Hak
Tanggungan.
b. Bank sebagai kreditur mensyaratkan adanya surat kuasa jual disamping
perjanjian kredit dan pengikatan hak tanggungan pada objek jaminan pinjaman
kredit tersebut. Walaupun hal ini menyalahi aturan dalam UUHT, namun bank
tetap melaksanakannya karena dengan adanya surat kuasa jual, lebih mudah
melakukan eksekusi saat debitur melakukan wanprestasi. Selain itu, tidak perlu
melewati proses lelang yang berbelit-belit dan memakan biaya yang besar.
Karena bank akan selalu mencari keuntungan yang lebih besar. Maka cara yang
digunakan adalah menggunakan surat kuasa jual dalam setiap perjanjian kredit
demi menjaga keberlangsungan kredit yang telah diberikan kreditur kepada
debitur.
2. Saran
a. Sebaiknya kuasa untuk menjual tidak perlu digunakan, karena selain tidak
berguna juga menambah beban biaya (Rp.250.000,-) bagi debitur karena biaya
surat kuasa untuk menjual ditanggung oleh debitur, oleh karena itu keberadaan
kuasa untuk menjual tersebut tidak efektif dan sia-sia saja bahkan dapat
merugikan pihak debitur. Akan tetapi kuasa untuk menjual ini penting bila tidak
diikat atau dibebankan dengan hak tanggungan.
b. Kreditur dapat mencari cara lain dalam melakukan eksekusi objek jaminan dari
pinjaman kredit para debitur, yang tentu saja sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, seperti menjual objek jaminan dibawah tangan. Hal ini bisa dilakukan
asal memenuhi syarat-syarat yang ada.
Daftar Pustaka
Buku :
As.Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 23.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta :
Djambatan,1995, hlm. 92.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005, hlm. 71.
HS Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007, hlm. 23.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm.54
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers,
2012, hlm.3.
Oltje Salman, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelahan), Renada Media, Jakarta 2007. Hlm 19
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Adita
Bakti 1989. Hal 1
Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, Jakarta: Alfabeta CV, Hal 142.
Trisadini P. Usanti, Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Kencana 2017. Hlm 189.
Jurnal :
Asriadi Zainuddin, “Kedudukan Hukum Surat Kuasa Menjual terhadap Objek Jaminan yang
Dibebani Hak Tanggungan”, Jurnal AL-Himayah, Vol 1 Nomor 2, Oktober 2017, hlm
300
Dimas Nur Arif Putra Suwandi. “Perlindungan Hukum Bagi Bank Pemegang Hak Tanggungan
Peringkat Kedua Dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan”, Media Iuris, Vol. 1 No. 3,
Oktober 2018, hlm 421
Muhammad Eddo Afrian, “Kuasa Menjual Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kredit
Macet di Kecamatan Sukajadi Kota Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum, Vol III Nomor
2, Oktober 2016, hlm 10
Novrilanimisy, “Pelaksanaan Restrukturisasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia Dan Hambatannya Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Binjai”, USU Law
Journal,Vol 2 No.3, Desember 2014, hal 136
Tesis :
Edy Puwanto, Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi Dengan Cara Penjualan
Di bawah Tangan Atas Obyek Jaminan Hak Tanggungan, Semarang: di PT. Bank Niaga,
Tbk Universitas Diponegoro, 2008.
Undang-Undang :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Aktiva
Kredit
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Besert Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.