Upload
truongkhanh
View
241
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DITINJAU DARI KAJIAN VICTIMOLOGI
(Studi Putusan No. 20/Pid.B/2017/PN.Mdn)
SKRIPSI
OLEH
JHOVINDO SITORUS
NPM : 14.840.0084
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN
2018
Universitas Medan Area
Universitas Medan Area
Universitas Medan Area
Universitas Medan Area
Universitas Medan Area
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DITINJAU DARI KAJIAN VICTIMLOGI
(Studi Putusan No : 20/Pid.B/2017/Pn Mdn)
OLEH
JHOVINDO SITORUS
NPM : 148400084
Victimologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi korban dan sistem peradilan. Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencurian adalah perlindungan menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan ini diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Berikut ini adalah hak-hak korban dan saksi dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5. Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pencurian dan pengaturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencurian dengan studi putusan nomor : 20/Pid.B/2017/PN Mdn. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori keadilan yaitu teori tentang kebajikan utama dalam institusi sosial,sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah metode normatif yang mengumpulkan data kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan,buku-buku hukum, putusan hakim, media massa dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Hasil dan pembahasan penelitian ini adalah mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana pencurian berdasarkan nomor putusan : 20/Pid.B/2017/Pn Mdn, berdasarkan asas atau teori keadilan tidaklah adil karena tidak adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, dan pertimbangan hakim adalah memperhatikan hal-hal yang meringankan dan memberatkan serta memperhatikan tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 2 tahun terhadap pelaku. Kata kunci :Perlindungan Hukum, Tindak Pidana Prncurian, Korban.
Universitas Medan Area
ABSTRACT
LEGAL PROTECTION ON THE VICTIMLOGY VICTIMLOGI STATEMENT OF
CRIMINAL SIGNIFICANTS
(Study of Decision No: 20 / Pid.B / 2017 / Pn Mdn)
BY
JHOVINDO SITORUS
NPM : 148400084
Victimologi is the study of victims including the relationship between the victim and the perpetrator, as well as the interaction of the victims and the justice system.Protection of the victims of the crime of theft is the protection by law number 13 year 2006 on the protection of witnesses and Victims are all the efforts the fulfillment of rights and the granting of aid to provide a sense of security to the victim who mandatory implemented by institutions of witness protection and Victim (LPSK) or any other institution in accordance with the provisions.This protection is afforded in all stages of criminal justice proceedings in the judicial environment.The following are the rights of victims and witnesses in laws number 13 Year 2006 on the protection of witnesses and Victims article 5.All efforts are aimed at providing a sense of security to the sacrifice made by the family, social institutions, advocates, police, prosecutors, the courts, or the other party either temporarily or on the basis of the determination of the Court. The problems in this research are about legal protection against victims of crime of theft and legal arrangement regulating criminal acts of theft with the study of the verdict number: 20 / Pid.B / 2017 / PN Mdn. The theory used in this research is the theory of justice is the theory of the main virtues in social institutions, as the truth in the system of thought.
The method of research in this writing is a normative method that collects literature data that is legislation, law books, judges verdict, mass media and scientific journals related to the problems discussed in this thesis.
The result and discussion of this research is about the protection of victims of criminal theft based on decision number: 20 / Pid.B / 2017 / Pn Mdn, based on the principle or theory of justice is not fair in the absence of restitution or compensation to the victim, and judge consideration is pay attention things that lighten and burden and pay attention to the absence of justification and forgiving reasons for imposing a criminal punishment of 2 years imprisonment against the perpetrator.
Keywords:Legal Protection, Criminal act of the theft, Victim
Universitas Medan Area
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan berkat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana
Pencurian Ditinjau Dari Kajian Victimologi, (Studi Putusan No :
20/Pid.B/2017/Pn Mdn)” yang disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
untuk pendidikan Strata 1 (S-1) Ilmu Hukum pada Universitas Medan Area.
Penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung
maupun tidak langsung sebagai bantuan dan motivasi terhadap penulisan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan. Penulis dengan
rendah hati akan menerima saran dan petunjuk yang bersifat membangun yang
ditujukan untuk menyempurnakan skripsi ini.
Selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Medan Area dan menyusun
skripsi ini, penulis banyak memperoleh pendidikan, bimbingan, dan bantuan baik
secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan
ini dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dadan Ramdan M.Eng, M.Sc selaku Rektor Universitas
Medan Area.
2. Bapak Dr. Rizkan Zulyadi SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Medan Area. Sekaligus sebagai dosen pembimbing I penulis yang
Universitas Medan Area
iv
telah banyak memberikan dukungan dan saran, dan pengarahan sehingga
skripsi ini selesai.
3. Ibu Anggreni Atmei Lubis, SH, M.Hum Selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik Fakultas Hukum Universitas Medan Area.
4. Bapak Ridho Mubarak, SH, MH Selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan
5. Ibu Hj. Wessy Trisna, SH, MH, selaku Ketua Bagian Hukum Kepidanaan
Fakultas Hukum Universitas Medan Area. sekaligus Pembimbing II yang
telah banyak memberikan dukungan, bimbingan dan pengarahan dengan
penuh perhatian hingga skripsi ini selesai.
6. Bapak Riswan Munte SH.MH, Selaku Sekretaris dalam skripsi penulis yang
telah memberikan dukungan, saran, dan pengarahan sehingga skripsi ini
selesai.
7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area yang telah
membimbing dan mendidik penulis serta seluruh staff pegawai yang telah
memberikan bantuan dan pelayanan selama perkuliahan.
8. Penulis berterimakasih atas cinta, dukungan, perhatian, pengorbanan serta
bimbingan yang diberikan oleh orang tua penulis Bapak J. Sitorus dan Ibu R.
Br. Simangunsong. Mereka adalah motivator, inspirator serta teladan bagi
penulis. Penulis juga tidak lupa berterimakasih kepada saudara penulis yaitu
Jhimmy Sitorus SE, Suprianto Sitorus, dan Jhekson Sitorus yang telah
menjadi pendorong dan penyemangat.
Universitas Medan Area
v
9. Buat yang tersayang Anggia Sarah Octasapm Simanungkalit yang telah
memberi warna dalam hidup penulis serta mendorong dan memberi semangat
dalam penulisan skripsi ini.
10. Buat teman-teman yang telah membantu dan memberikan support dalam
menyelesaikan skripsi ini yaitu Adek Vicky Andrean Pohan SP, Adek
Tumpak Manurung SH, Adek leo aditya Panjaitan SH, Pak Andrianto Purba
SH, pak Chandra Hutagalung SH, Pak Fredy Sihombing SH, dkk, dan
khususnya Mahasiswa Fakultas Hukum Stambuk 2014 dan Stambuk 2013
pagi di Universitas Medan Area.
11. Buat teman-teman kontrakan Reimondo sintinjak Spd, Hermanto Sinaga Spd,
Bona Situmorang Spd, Jondris Sitinjak Spd, dan Denil Sitinjak AKP, yang
telah memberi motivasi dan dorongan untuk membuat skripsi ini hingga
selesai.
Akhir kata, penulis harapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca,
dan semoga Tuhan Yesus Kristus selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita
semua. Amin.
Medan, 2 Juli 2018 Penulis
JHOVINDO SITORUS
14 840 0084
Universitas Medan Area
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Identifikasi Masalah ........................................................................ 13
1.3. Pembatasan Masalah ....................................................................... 13
1.4. Perumusan Masalah ........................................................................ 14
1.5. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15
2.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum .............................. 15
2.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian ............................................ 16
2.3. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Pencurian .................. 21
2.4. Tinjauan Umum Tentang Korban .................................................... 24
2.5. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian ditinjau dari
kajian victimologi ............................................................................. 26
2.6. Teori Keadilan .................................................................................. 28
2.7. Kajian-kajian Dalam Ilmu Victimologi Dalam Tindak Pidana
Pencurian .......................................................................................... 34
2.7. Kerangka Pemikiran.......................................................................... 39
2.8. Hipotesis ........................................................................................... 39
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 40
3.1. Jenis, Sifat, Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 40
Universitas Medan Area
v
3.1.1. Jenis Penelitian ..................................................................... 40
3.1.2. Sifat Penelitian ...................................................................... 41
3.1.3. Lokasi Penelitian .................................................................... 41
3.1.4. Waktu Penelitian ................................................................... 42
3.2. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 42
3.3. Analisis Data ................................................................................... 43
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 45
4.1. Hasil Penelitian ................................................................................. 45
4.1.1. Faktor Penyebab Terjadinya Korban Dalam Tindak Pidana
Pencurian ...................................................................................... 45
4.1.2. Kendala Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Tindak Pidana Pencurian ............................................................. 52
4.2. Pembahasan....................................................................................... 55
4.2.1. Pengaturan Hukum Yang Mengatur Tentang Korba Tindak
Pidana Pencurian ......................................................................... 55
4.2.2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Dalam Tindak
Pidana Pencurian .......................................................................... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 64
5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 67
5.2. Saran ................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Medan Area
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.
Dalam KBBI yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, dan perbuatan
melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau yang data
berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara).
Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan
martabat manusia serta pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di bidang hukum.1
Setiap orang berhak memiliki perlindungan hukum, berhak atas perlakuan hukum yang
adil tanpa diskrimasi. Seperti kejahatan tindak pidana pencurian, perlindungan hukumnya harus
dilindungi dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk diskrimasi. Hal ini juga dapat diartikan bahwa perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subjek hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah
yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya, berarti hukum memberi perlindunga
terhadap hak-hak korban yang mengakibatkan tidak terpenuhnya hak-hak tersebut.2
Perlindungan hukum sebagai korban kejahatan, korban berhak mendapatkan
perlindungan hukum, dalam memberikan perlindungan hukum ini harus secara maksimal
khususnya korban-korban yang bergolongan lemah ekonomi. Perlindungan hukum yang
dimaksud dapat berupa kompensasi, restitusi dan bantuan hukum yang diatur dalam peraturan,
1 Rena Yulia, Victimologi : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2010, hal. 160 2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal..74
Universitas Medan Area
2
pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada
saksi dan korban. Dalam kejahatan dunia cyber, korban lebih tepat mendapatkan restitusi.
Menurut pasal 1 angka 5“ restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran
ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau pengganti biaya untuk tindakan
tertentu”.3
Unsur-unsur perlindungan hukum sebagai berikut:
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.
2. Jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
Bentuk perlindungan hukum menurut R. La Porta,4 dalam Jurnal of Financial
Economics, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat,
yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction). Bentuk perlindungan
hukum yang paling nyata adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan,
kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian diluar pengadilan (non-litigasi)
lainnya.
Menurut Munchsin,5 perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-
subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
3 Rena Yulia, Op Cit, hal. 51 4 Rafael La Porta, “Investor Protection and Cororate Governance; Journal Of Financial Economics”, No.
58, (Oktober 1999) : hal. 9. 5 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta, Universitas Sebelas
Maret, 2003, hal. 20
Universitas Medan Area
3
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum
terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan
maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-
batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Reprensif
Perlindungan hukum reprensif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, 6 sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu :
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif ini
Pada pelindungan hukum preventif subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
defenitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif
sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak
kerna dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia
belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan
perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia
termausk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpuh dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sarjana dari barat, lahirnya konsep-konsep
6 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya1987, hal. 30
Universitas Medan Area
4
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyrakat dan pemerintah. Prinsip kedua
yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah adalah prinsip negara
hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.
Viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya
korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu
kenyataan sosial.7 Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan
sebagai hasil perbuatan manusia dan menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuan
adalah untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para korban dan
hubungan mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap
orang mempunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya, dan lain-lainnya. Dalam rangka memberikan pengertian yang lebih
baik agar orang lebih waspada dalam menciptakan rasa aman dan kehidupan yang aman juga
meliputi pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan menghindari bahaya.
Ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang
ditentukan oleh suatu viktimity yang tidak selalu berhunungan dengan masalah kejahatan,
termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan.8
Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah:
1. Menganalisa berbagai aspek yang berkaitan dengan korban
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab terjadinya viktimisasi
7 Op Cit . hal. 43 8 J. E. Sahetapy, Bungai Rampai Viktimisasi, Bandung, Eresco, 1995, hal. 25.
Universitas Medan Area
5
3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.9
Manfaat viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari
manfaat studi korban, yaitu:
1. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukum.
2. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana.
3. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.10
Menurut Arief Gosita,11 beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari
viktimologi, yaitu sebagai berikut:
a. Viktimologi merupakan hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya
viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi.
Akibat pemahaman itu, akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal, dan
konsep-konsep mengenai usaha-usaha yang preventif, represif, dan tindak lanjut dalam
menghadapi dan menaggulangi permasalahan viktimisasi kriminal diberbagai bidang
kehidupan dan penghidupan.
b. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat
tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan sosial. Tujuannya
tidaklah untuk menyanjung korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan
mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak
lain. Kejelasan ini sangat pentinga dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam
viktisasi demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat
langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktisasi.
9 Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 2007, hal. 82 10 Ibid, hal. 39 11 Arief Gosita, Viktimologi dan KUHP, Jakarta, Akademi Presindo, 1986, hal. 330
Universitas Medan Area
6
c. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan
pekerjaan mereka.
d. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung. Misalnya
efek politik pada penduduk dunia ketiga akibat penyuapan oleh suatu korporasi
internasional, akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi
ekonomi, politik, dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam
pemerintahan untuk keuntungan sendiri.
e. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal,
pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan
reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.12
Aspek viktimologi dalam hukum nasional dapat dilihat terutama dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), selain itu dengan telah dibentukknya pengadilan
tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang telah melaksanakan secara efektif pada tahun 2002,
yang didasarkan atas Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Selanjutnya implementasi Undang-
undang tentang HAM tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 butir 3 yang berbunyi sebagai berikut: “ Korban adalah orang
perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, ppengurangan atau perampasan hak-
12 Arief Gosita Ibid. hal .330
Universitas Medan Area
7
hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah
ahli warisnya”.13
Adapun pengaturan mengenai perlindungan saksi ditemukan dalam Undang-Undang No.
13 tahun 2016 tentang perlindungan saksi dan korban (UUPSK), sesuai ketentuan pasal 4
UUPSK, perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi/korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Peran korban dalam
terjadinya kejahatan dalam kajian viktimologi terdapat prespektif dimana korban bukan saja
bertanggung jawab dalam kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki keterlibatan dalam terjadinya
kejahatan.
Menurut Stephen Schafer,14 ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri
mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut :
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi
korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada
dipihak korban.
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu
terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan
pelaku secara bersama-sama.
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku
melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang dari bank dalam jumlah besar yang tanpa
pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk
merampasnya. Aspek ini pertanggung jawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
13 Bambang Poernomo, Hukum dan Viktimologi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Pidana Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2001-2002, hal. 16 14 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Denpasar, 2007,
hal. 124.
Universitas Medan Area
8
4. Biologycally weak victims adalah kejahatan yang disebabkan adanya keadaan fisik korban
seperti wanita, anak-anak dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban
kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau
pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepda korban yang tidak
berdaya.
5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan
seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu,
pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6. Selvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau
kejahatan tanpa korban. Pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena
sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Sedangkan ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka
Ezzat Abdel Fattah, 15 menyebutkan beberapa bentuk , yakni sebagai berikut :
1. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/menolak kejahatan dan
penjahat tetapi tidak turun berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2. Latent or Predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung
menjadi korban pelanggaran tertentu.
3. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain
sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
15 Lilik Mulyadi, Ibid, hal. 124
Universitas Medan Area
9
Selain dari perspektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai suatu
perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang dikemukakan oleh Sellin dan
Wolfgang, 16 sebagai berikut :
1. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya adalah
orang perorangan (bukan kelompok).
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya adalah badan
hukum.
3. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas.
4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah sipelaku sendiri, misalnya pelacur,
perzinahan dan narkotika.
5. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak
segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil
korupsi.
Masalah korban sebenarnya bukanlah masalah yang baru, karena hal-hal tertentu kurang
diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati masalah kejahatan menurut proporsi
yang sebenarnya secara dimnesional, maka perhatian kita tidak akan lepas dari peranan korban
dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya
suatu kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan
dalam terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan pejabat yang berakibat pada
penderitaan korban. Korban tindak pidana sudah dipastikan akan mengalami kerugian ekonomi
karena pencurian merupakan kejahatan yang bertujuan untuk memiliki barang orang lain secara
melawan hukum,17.
16 Lilik Mulyadi, Ibid, hal. 156 17 Rena Yulia, Op Chit, hal. 79
Universitas Medan Area
10
Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi
calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan.
Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan, mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita
kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial, justru harus pula dianggap sebagai pihak yang
mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk
memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. 18
Hentig, 19 seperti yang dikutip Bambang Waluyo beranggapan bahwa peranan korban
dalam menimbulkan kejahatan adalah :
1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh sikorban untuk terjadi.
2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan sikorban untuk memperoleh
keuntungan yang besar.
3. Akibat yang merugikan sikorban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si
korban.
4. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.
Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang diatur dalam
Bab XXII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan merupakan masalah yang
tak habis-habis nya. Pencurian sudah merajalela dikalangan masyarakat, baik di desa, di kota,
maupun di negara lain.
Menurut KUHP pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang merupakan milik
orang lain dengan cara melawan hak,dan untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada pasal 362
KUHP. Pasal 362 KUHP yang berbunyi20 :
18 Lilik Mulyadi, Ibid, hal. 156 19 Bambang Waluyo, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Sinar Grafindo,
Jakarta, 2011, hal. 9
Universitas Medan Area
11
“Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak enam puluh rupiah”
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-
raguan (multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi suatu sistem norman dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan
dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasinorma, reduksi norma, atau distorsi
norma.21
Adanya aturan semacam itu dan pelaksaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan dan dua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan. Perlindungan hukum terhadap korban
juga harusla ditegakkan terhadap korban seperti pada posisi kasus pengadilan negeri medan
dengan NO : 20/Pid.B/2017/PN Mdn dengan kronologi sebagai berikut.
20 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan HOGE
RAAD, Rajawali Pers, Jakarta.2011, hal.223 21 Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana, 2008, hal.157- 159
Universitas Medan Area
12
Bahwa pada hari jum’at tanggal 19 Agustus 2016 sekira pukul 15.00 Wib di dalan
Dwiwarna Gang Pisang Kelurahan Beringin Kecamatan Medan Selayang, terdakwa datang
menemui ibu saksi korban yang berada di depan rumah, dimana waktu itu terdakwa mengatakan
kepada ibu saksi korban untuk menumpang tinggal dirumah orang tua saksi beberapa hari untuk
menunggu kiriman uang dari Kampung terdakwa sehingga ibu saksi korban merasa kasihan dan
langsung mengizinkan terdakwa tinggal dirumah tersebut. Kemudian pada hari jum’at tanggal 02
September 2006 sekira pukul04.30 Wib, terdakwa terbangun dan timbul niat terdakwa untuk
mengambil barang-barang yang ada dirumah tersebut, kemudian terdakwa masuk kedalam kamar
saksi MUSTIKA DELIMA dan mengambil handphone merk VIVO yang diletakkan disebelah
dinding dan setelah itu terdakwa mengambil kunci sepeda motor Yamaha RX KING BK 5876
DA milik korban INDRA KELANA PUTRA dari dalam kamar lalu terdakwa membawa sepeda
motor korban dengan keluar dari pintu belakang dalam keadaan tidak hidup dan terdakwa sorong
sampai kejalan besar, setelah sampai kejalan besar kemudian terdakwa menghidupkan sepeda
motor milik korban dan selanjutnya pergi membawa sepeda motor milik korban ke Kuta Buluh
di Tanah Karo, oleh karena terdakwa tidak ada memegang uang sampai di Bandar Baru terdakwa
berhenti dan menjualkan handpone milik saksi MUSTIKA DELIMA kepada orang yang tidak
dikenal ditempat tersebut seharga Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah), setelah menjual
handphone tersebut kemudian terdakwa melanjutkan perjalanan ke Kuta Cane dengan naik bis
dan setelah sampai Kuta Cane terdakwa menghabiskan uang hasil penjualan sepeda motor
tersebut bersama dengan teman-temannya. Kemudian setelah uang terdakwa habis lalu terdakwa
berangkat lagi kemedan dan sampai dimedan terdakwa tinggal di Sembahe Baru Kecamatan
Pancur Batu. Kemudian pada hari Rabu tanggal 09 November 2016 sekira pukul 13.00 Wib
Universitas Medan Area
13
terdakwa ditangkap oleh korban di Jalan Simpang Pos Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan
Medan Johor, selanjutnya terdakwa di bawa ke Polsek Sunggal untuk diproses lebih lanjut.
Hal-hal tersebut diataslah yang menyita perhatian penulis untuk membuat penelitian
berupa penulisan skirpsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak
Pidana Pencurian Ditinjau Dari Kajian Victimologi, (STUDI PUTUSAN NOMOR :
20/Pid.B/2017/PN.Mdn)”.
1.2. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang timbul dalam penelitian skripsi saya ini adalah :
1. Pertanggungjawaban terhadap pelaku pencurian tindak pidana
2. Perlindungan terhadap korban pencurian tindak pidana
3. Faktor penyebab terjadinya pencurian tindak pidana
4. Kendala dalam perlindungan hukum
5. Penerapan sanksi pidana
1.3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan hukum tentang korban dalam tindak pidana pencurian
2. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana pencurian
Universitas Medan Area
14
1.4. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang korban dalam tindak pidana
pencurian ditinjau dari kajian victimologi ?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana
pencurian ditinjau dari kajian victimologi ?
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
(1). tujuan penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perlindungan terhadap korban tindak pidana pencurian.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku
tindak pidana pencurian.
(2). Manfaat penelitian
a. Secara teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khususnya yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencurian yang ditinjau dari
kajian victimologi
b. Secara praktis
Sebagai pedoman dan masukan bagi semua pihak terutama masyarakat agar lebih
mengetahui pengaturan tentang kinerja yang di atur dalam undang-undang di bidang hukum
kepidanaan.
Universitas Medan Area
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum
Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.
Dalam KBBI yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, dan perbuatan
melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau yang data
berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara). Perlindungan hukum adalah segala bentuk
upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) di bidang hukum.1
Pelindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum
mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula
untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan
istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan
terhadap hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap
sesuatu.2
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan
keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai
dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Aparat penegak hukum wajjib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum,
1 Rena Yulia, Ibid, hal. 160 2 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hal. 38
Universitas Medan Area
16
maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan
hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang di atur oleh hukum
Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni :
a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat
diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang defenitif,
b. Perlindungan hukum refresif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan
dalam penyelesaian sengketa. .3
1.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
Sehubungan dengan perumusan tindak pidana yang mempunyai sejumlah unsur di dalam
tiap-tiap tindak pidana, maka nampak adanya jalan pikiran yang berlainan antara para ahli untuk
secara mendasar dan adanya pula pendapat yang membagi unsur-unsur perumusan tindak pidana
secara terperinci.
Pembagian secara mendasar didalam melihat unsur perumusan tindak pidana, hanya
mempunyai dua (2) unsur yaitu:
1. Unsur obyektif.
2. Unsur subyektif.
Menurut Lamintang yang dimaksud dengan unsur-unsur ’’obyektif’ itu adalah unsur-
unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan- keadaan mana
3 Ibid, hal. 39
Universitas Medan Area
17
tindakan yang dimaksud unsur ’’subyektif’ adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala yang
tergantung di dalam hatinya.4 Dalam hal ini C. S. T. Kansil mempertegasnya dengan
menyebutkan unsur-unsur obyektif tersebut adalah mengenai perbuatan, akibat, dan keadaan.
Unsur-unsur subyektif ialah mengenai keadaan dapat dipertanggungjawabkan dan schuld
(kesalahan) dalam arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).5
Satochid Kartanegara dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Kumpulan kuliah,
mengemukakan bahwa unsur-unsur obyektif adalah unsurunsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu yang berupa: 1. Suatu tertentu; 2. Keadaan yang kesemuanya dilarang dan
diancam dengan pidana atau hukuman oleh undang-undang. Sedangkan unsur-unsur subyektif,
adalah sebagaimana disebutkan oleh Simon, yaitu harus memuat unsur- unsur sebagai berikut:
“Pertama Suatu perbuatan manusia, disini dimaksudkan bahwa tidak saja perbuatan, akan
tetapi juga mengabaikan; sedangkan yang kedua yakni Perbuatan (perbuatan dan
mengabaikan) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; dan yang
ketiga yaitu Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”6
Jadi, pembagian unsur-unsur secara mendasar seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa
unsur yang obyektif adalah unsur yang terdapat diluar diri manusia yang dapat berupa kelakuan
yang bertentangan dengan hukum, sedangkan unsur yang subyektif ialah unsur-unsur yang
melekat pada diri si pelaku yang ditentukan dalam perundang-undangan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
4 P. A. F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1983, hal.84. 5 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.
284 6 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II. Balai Lektur Mahasiswa, 1989, hal.14
Universitas Medan Area
18
Pembagian perumusan tindak pidana secara terperinci, melihat unsur tindak pidana
didasarkan atas susunan perumusan dari tiap-tiap tindak pidana yang bersangkutan, sehingga
secara alternatif, setiap tindak pidana harus mempunyai unsur-unsur yang pada umumnya
dikenal dengan ilmu pengetahuan. Di dalam doktrin tidak terdapat keseragaman didalam
menentukan adanya unsur-unsur dalam suatu tindak pidana.
Apabila kita lihat rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui
adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur obyek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.7
Sedangkan, menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah:
1. Perbuatan;
2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).8
7 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana. Tindak pidana. Teori- Teori
Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). Cet. I., PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), hal. 82.
Universitas Medan Area
19
Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategorisasi tindak pidana (delik), yang dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya:
1. Menurut KUHP, dapat dibagi atas Kejahatan (misdrijven), dalam ketentuan KUHP diatur
dalam buku II, Pasal 104 sampai dengan Pasal 488. Contoh: pencurian, pembunuhan,
penggelapan. Pelanggaran (overtredingen), dalam ketentuan KUHP diatur dalam buku III,
Pasal 489 sampai dengan Pasal 569.
2. Menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, tindak pidana itu dapat dibagi menurut
beberapa sudut:
a. Berdasarkan bentuk kesalahanya, dapat dibedakan atas dolus dan culpa. Dolus, yaitu
perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam hal ini akibat
yang ditimbulkan oleh delik tersebut memang dikehendaki oleh pelaku. Culpa,
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak
sengaja, hanya karena kealpaan (ketidakhati-hatian) saja.
b. Berdasarkan wujudnya, dapat dibedakan atas:
1. Delik komisionis, yaitu delik yang terjadi karena seseorang melanggar larangan,
yang dapat meliputi baik delik formil maupun materiil.
2. Delik omisionis, yaitu delik yang teijadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak
berbuat), biasanya delik formil
3. Delik komisionis peromisionim, yaitu delik yang pada umumnya dilaksanakan
dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi
yang tampak tidak berbuat).
c. Berdasarkan pada perumusan tindak pidana, dapat dibedakan atas:
8 Ibid, hal. 79.
Universitas Medan Area
20
1. Delik materiil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
2. Delik formil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undangundang.
3. Menurut segi pandangan dari sudut-sudut lain yakni:
a. Berdasarkan sumbernya, maka tindak pidana itu dibedakan atas:
1. Delik umum, yaitu semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai
kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III KUHP).
2. Delik khusus, yakni semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
Misalnya, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan psikotropika.
b. Berdasarkan faktor waktu atau lamanya tindak pidana itu dilakukan, maka dapat
dibedakan atas:
1. Delik terjadi seketika, yaitu tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa,
sehingga untuk terwujudnya atau teijadinya dalam waktu seketika atau waktu
singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya, pencurian, jika
perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara
sempurna.
2. Delik terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus, yaitu
tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana
itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih
berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana
ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang
terlarang.
Universitas Medan Area
21
c. Berdasarkan faktor syarat-syarat untuk dapat dituntut, tindak pidana itu dapat
dibedakan atas:
1. Delik aduan, yaitu tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan
disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan
pengaduan. Misalnya, tindak pidana pencabulan.
2. Delik biasa, yaitu tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana
terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.
Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini.
Misalnya, pencurian, penganiayaan.
d. Berdasarkan subyek hukum tindak pidana, tindak pidana itu dapat dibedakan atas:
1. Delik Communia, yaitu tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang
(delicta communia).
2. Delik propria, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
berkualitas tertentu (delicta propria). Misalnya, pegawai negeri (pada kejahatan
jabatan), atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dan sebagainya.
2.3. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Pencurian
Proses (pelaksanaan penegakan hukum) pidana merupakan suatu bentuk pemeriksaan
yang dilakukan menurut tatacara yang ditentukan oleh undang-undang (pasal 3 KUHAP),
undang-undang ini menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka yang ada dalam
proses dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu menjadi intinya proses.9
Pencurian biasa diatur di pasal 362 kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
pencurian dengan pemberatan di pasal 363 KUHP, dan perampokan di pasal 365 KUHP,
9 Soedirjo, jaksa dan hakim dalam proses pidana, akademika presindo, jakarta, 1985, hal 2
Universitas Medan Area
22
perampokan merupakan istilah pidana untuk pencurian yang disertai dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Pasal 362 KUHP :
“Barang siapa mengambil barang sesuatu,yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana pencara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”
Pasal 363 KUHP :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
1. Pencurian ternak
2. Pencurian “pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-
hara, pemberontakan atau bahaya perang ;
3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau
tidak dikehendaki oleh yang berhak ;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu ;
5. Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai
pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat,
atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam
butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 364 KUHP :
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan
yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih
Universitas Medan Area
23
dari dua puluh lima rupiah, diancam diancam dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
Pasal 365 KUHP :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,
atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun ;
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api
atau trem yang sedang berjalan ;
2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu ;
3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian
dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu
hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Pasal 53 KUHP :
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika nia untuk itu telah ternyata dan adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimun pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
Universitas Medan Area
24
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54 KUHP :
Pasal pidana dan perampokan masuk dalam buku kedua KUHP tentang kejahatan, maka
terhadap pelaku yang mencoba melakukan perampokan atau pencurian tetap terkena hukuman
pidana.
Dalam pasal 53 KUHP di atas tentang percobaan, yang dimaksud dengan “mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri”
2.4.Tinjauan Umum Tentang Korban
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.10
Viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya
korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu
kenyataan sosial.11 Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban
kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia dan menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan
sosial. Tujuan adalah untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para
korban dan hubungan mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran
10 Arif Gosita, Ibid, hal. 9 11 Op Cit . hal. 43
Universitas Medan Area
25
bahwa setiap orang mempunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan
lingkungannya, pekerjaannya, profesinya, dan lain-lainnya. Dalam rangka memberikan
pengertian yang lebih baik agar orang lebih waspada dalam menciptakan rasa aman dan
kehidupan yang aman juga meliputi pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan
menghindari bahaya.12
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja prang perorangan, tetapi
meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga
korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi,
lingkungan hidup, masyrakat, bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Korba perseorangan adalah setiap orag sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa,
fsik, materil, maupun nonmateril.
2. Korban institusi adalah setiap institusi megalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan swasta maupun bencana alam.
3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam didalamnya berisikan kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang
tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut
yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
12 J. E. Sahetapy, Ibid, hal. 25.
Universitas Medan Area
26
4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan
diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal
politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.13
2.5.Tinjauan Umum Tentang Tindak Pindana Pencurian ditinjau dari kajian
victimologi
Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau pengabaian yang melawan hukum yang telah
dirumuskan dalam suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang dilakukan
secar sengaja atau kelalaian oleh seseorang atau bisa disebut pelaku atau subjek tindak pidana
dan dapat dipertanggungjawabkan. Disini dijelaskan bahwa subjek hukum nya yaitu manusia dan
badan hukum yang mempunyai daya pikir.
Tindak pidana pencurian, yang berasal dari kata “curi” yang mendapatkan awalan “pe”
dan akhiran “an” yang berati mengambil secara diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa diketahui
oleh orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara melawan hukum, orang yang
mencuri milik orang lain disebut pencuri. Pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang
berkaitan dengan pencurian. Seseorang dikatakan pencuri jika semua unsur yang diatur didalam
pasal pencurian terpenuhi. Pemenuhan unsur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itu
hanyalah upaya minimal, dalam taraf akan masuk ke peristiwa hukum yang sesungguhnya.14
pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang diatur dalam
Bab XXII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan merupakan masalah yang
13 Bambang Waluyo, op.cit, hal. 11 14 Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Sinar
Grafika. Jakarta,hal. 01
Universitas Medan Area
27
tak habis-habis nya. Pencurian sudah merajalela dikalangan masyarakat, baik di desa, di kota,
maupun di negara lain.15
Pencurian mempunyai beberapa unsur, yaitu :
1. Unsur objektif, terdiri dari :
a. Perbuatan mengambil
b. Objeknya suatu benda
c. Unsur keadaan yang menyertai atau melekat pada benda, yaitu benda tersebut
sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2. Unsur subjektif, terdiri dari
a. Adanya maksud
b. Yang ditujukan untuk memiliki
c. Dengan melawan hukum suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikatakan sebagai
pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.
Mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak
(rorrend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah
terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak.
Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Mengenai
benda-benda yang tidak ada pemiliknya ini dibedakan antara lain :
1. Benda-benda yang sejak semula tidak ada pemiliknya, disebut res nulius, seperti batu
disungai, buah-buahan di hutan.
2. Benda-benda yang semula ada pemiliknya, kemudian kepemilikannya itu dilepaskan
disebut resderelictae, misalnya sepatu bekas yang sudah dibuang di kotak sampah. 16
15 R. Soenarto Soerodibroto, Ibid, hal. 223 16 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang : Bayu Media, 2003, hal. 5
Universitas Medan Area
28
Victimologi mempelajari istilah bahasa inggris victimology yang berasal dari bahasa lain
yaitu “victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti studi/ilmu pengatahuan.17 Secara
terminologi, victimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia
sebagai suatu kenyataan sosial.18
Victimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai
hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuan adalah
untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para korban dan hubungan
mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadara bahwa setiap orang
mempunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungan, pekerjaannya,
profesinya, dan lain-lain nya.19
2.6.Teori Keadilan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sehingga teori yang dipakai adalah teori
hukum. Teori hukum adalah teori dalam bidang hukum yaitu berfungsi memberikan argumentasi
yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau paling tidak,
memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis. Teori
hukum berbeda dengan hukum positif. Hal ini harus dipahami supaya terhindar dari
kesalapahaman, karena seolah-olah tidak dapat dibedakan antara teori hukum dan hukum positif,
padahal keduanya dapat dikaji secara filosofis. Tugas teori hukum adalah menjelaskan nilai-nilai
oleh postulat-postulat hukum hingga pada landasan filosofinya yang tertinggi.20 Teori hukum
yang dipakai dalam penilitian ini adalah teori keadailan.
17 Arif Gosita, ibid, hal. 228 18 Dikdik.M. Arief Mansur. Op,Cit, hal.34 19 J.E.Sahepty, Op,Cit, hal. 25 20 Marwan Efendy, Ibid, hal. 13.
Universitas Medan Area
29
Teori Keadilan :
Sejak dicetuskannya teori hukum alam sejak zaman Socrates hingga Francois Geny,
tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum yaitu mengutamakan “The Seacrh for
Justice”. Keadilan sebagai tumpuan hukum sangatlah penting, sehingga berbagai ahli hukum
memberikan pandangannya mengenai hak dan kekebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan
kemakmuran untuk tercapainya suatu keadilan di masyarakat yang merupakan dasar pemikiran
teori tentang keadilan. Teori-teori tersebut antara lain teori keadilan plato dalam bukunya
Republict, teori keadilan Aristoteles dalam bukunya Nicomanchean Ethics dan teori keadilan
sosial Jhon Rawis dalam bukunya A Theory Of Justice serta teori hukum dan keadilan Hans
Kelsen dalam bukunya General Theory Of Law and State.21
Menurut Rena Yulia, keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati
banyak orang. Dalam pengertian ini keadilan dipersiapkan semua orang menerima hak sesuai
dengan hak yang dimilikinya.22
Berikut ini beberapa teori keadilan menurut para ahli :
1. Teori Keadilan Plato
Plato dalam makalahnya yang berjudul Georgias yang kemudian dibukukan pada buku
yang berjudul Republic memberikan doktrin tentang keadilan yang berdasarkan pada kebaikan.
Dalam mewujudkan suatu keadilan dibutuhkan suatu pembalasan tersebut dilaksanakan untuk
mewujudkan kebaikan. Plato juga menekankan pada prinsip moralitas yang tinggi yang
menekankan bahwa lebih baik menderita dalam keadilan daripada melakukannya, dan bahwa
21 Marwan Effendy Ibid, hal. 74 22 Op.Cit, hal.132.
Universitas Medan Area
30
lebih baiktunduk pada hukum yang sah daripada mengelak darinya. Lebih jauh plato berpendapat
bahwa pembalasan yang benar-benar dapat mewujudkan keadilan tidak dapat direalisasikan di
dunia ini melainkan akan ditunda sampai ke dunia lain atau sampai kedunia didunia ini.
Pandangan plato tersebut berdasarkan pandangan filsafat tentag ide.23
2. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan dapat dilihat dalam karyanya Nichomandean
Ethics, Ethics, Politics, dan Rethoric. Spesifik dilihat dalam buku Nichomandean Ethics yang
ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan pada filsafat hukum Aristoteles, meski dianggap
sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa diterapkan dalam kaitannya
dengan keadilan. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua24 :
a. Keadilan distributief
Keadilan ini artinya adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan ini menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan dan
barang-barang lainnya yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles adalah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang
berlaku di kalangan warga. Distribusi yang adil, boleh jadi merupakan distribusi yang
sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
b. Keadilan communitatief
Keadilan ini memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar-menukar barang dan jasa.
23 Op. Cit, hal.75 24 Marwan Effendy Ibid, hal. 76.
Universitas Medan Area
31
3. Teori keadilan Roscoe Pound
Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang biasa diberikannya kepada
masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan
manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Pound sendiri
mengatakan bahwa ia senang melihat “semakin meluasnya pengakuan dan pemuasan terhadap
kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan manusia melalui pengendalian sosial; semakin
meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial; suatu usaha untuk menghapuskan
pemborosan yang terus menerus dan semakin efektif serta menghindari pembenturan antara
manusia dalam menikmati sumber-sumber daya, singkatnya social engineering yang semakin
efektif”.25
4. Teori Keadilan Jhon Rawls
Jhon Rawls mengatakan, menjauhi keadilan adalah maksiat yang besar dan merusak
sistem kemasyarakatan. Keadilan dianalogikan seperti kebenaran dalam sebuah sistem
pemikiriran, karena ini sebuah masyarakat teratur baik (well-ordered) jika masyarakat yang
bersangkutan dirancang sedemikian rupa hingga membawa kemajuan bagi para anggotanya dan
juga bila orang yang bersangkutan diatur secara efektif oleh sebuah konsepsi keadilan umum.
Everyone accepts and knows that the other accept the same principles of justice, artinya adalah
setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang-orang juga menerima prinsip keadilan yang
sama dengan apa yang diterimanya.26
Rawls menentukan asas keadilan melalui semacam proses perjanjian diantara anggota-
anggota masyarakat dengan mengindahkan kerja sama manusia, moralitas yang minimal, rasa
keadilan, pilihan rasional,dan apa yang dinamakan primary good (hal-hal utama yang ingin
25 Marwan Effedy, Ibid , hal. 77 26 Loc. Cit
Universitas Medan Area
32
diperoleh semua orang). Cara pandang Rawls terhadap keadilan seperti disebut fairness. Salah
satu utama tugas keadilan sebagai fairness adalah menentukan prinsip mana yang akan dipilih
dalam posisi asal. Fairness memandang pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-
sama netarl.27
Secara garis besar, tuntutan keadilan yang diangkat oleh Rawls memberi peluang yang
besar bagi setiap individu untuk mengespresikan diri demi terwujudnya situasi penuh keadilan.
Pemberian penghargaan pada setiap pribadi mengaibatkan hak-hak yang mejadi milik setiap
pribadi mendapatkan legitimasi untuk dihargai. Namun, untuk tidak terjebak dalam subjektifisme
maka perjuangan menegakkan keadilan harus beralur pada kemampuan moral tanpa bertendesi
hanya mengejar tujuan tetapi menghargai cara pencapaian tujuan tersebut. Hal ini dimaksud agar
tidak terjebak dalam arus tujuan menghalalkan segala cara.28
5. Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, berpandangan bahwa
hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan
manusia dengan cara yang memuaskan shingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Hans Kelsen mengungkapkan tentang dua konsep keadilan yaitu29 :
a. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui
pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut
dapat dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan
mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi
menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.
27 Marwan Efendy, Ibid,hal 134. 28 Loc.Cit. 29 Op.Cit, hal 80-81.
Universitas Medan Area
33
b. Keadilan dan Legalitas
Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tatanan sosial tertentu,
menurut Hans Kelsen pengertian keadilan bermaknakan leaglitas. Suatu peratutan
umum adalah adil jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum
adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain
yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum
Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan
derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang
dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.
Keseluruhan upaya-upaya penegakan keadilan pada akhirnya memerlukan payung
hukum yang kuat. Payung pertama yang penting adalah berupa produk perundang-undangan dan
peraturan-peraturan pemerintah. Sejalan dengan program-program penegakan keadilan, maka
produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemerintah tersebut harus mampu
memberikan jaminan bagi terselenggaranya prosedur dan kesempatan yang adil bagi setiap orang
dalam setiap program penegakan keadilan.30
Produk-produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan tersebut ada bersifat
umum, dalam arti mampu memayungi secara menyeluruh semua program penegakan keadilan,
dan ada pula yang bersifat khusus karena kekhasan program penegak keadilan yang dijalankan.
Lebih dari itu, produk-produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan tersebut harus lahir
dari prosedur yang adil serta mampu memberikan perlakuan yang adil dan hak yang sama bagi
semua orang.31
30 Op.Cit, hal 134. 31 Ibid, hal 134-135.
Universitas Medan Area
34
Keberadaan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 yang berfihak pada program
penegakan keadilan sosial berdimensi kerakyatan jelas menjadi modal awal yang sangat penting
dalam melahirkan produk-produk perundang-undangan di bawahnya. Keberadaan pasal ini
sekaligus pula memperlihatkan adanya political will negara dalam membangun keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, tinggal bagaimana pesan yang tercantum dalam konstitusi
tersebut harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Tanpa upaya sungguh-sungguh bisa jadi pasal
34 tersebut hanya akan berhenti sampai tahapan pernyataan saja dan tidak pernah bisa
diwujudkan dalam kehidupan yang sesungguhnya.32
Rena Yulia mengutarakan selanjutnya agar semua usaha penegakan keadilan dapat
berjalan dengan baik, perlu dibangun intitusi-intitusi yang khusus bertugas di bidang
penyelenggaraan sekaligus pemantauan program-program penegakan keadilan. Dengan
demikian, institusi tersebut tidak hanya diarahkan pada upaya penyelenggaraan usaha penegakan
keadilan semata, tetapi sekaligus sebagai pemantau pelaksanaan program-program penegakan
keadilan tersebut.33
2.7. Kajian-kajian Dalam Ilmu Victimologi Dalam Tindak Pidana Pencurian
Viktimologi merupakan istilah Bahasa Inggris Victimology yang berasal dari bahasa
latin yaitu “Victima” yang berarti korban dan “Logos” yang berarti studi atau ilmu pengetahuan.
Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia
32 Loc. Cit 33 Loc. Cit.
Universitas Medan Area
35
sebagai suatu kenyataan sosial. Dalam kamus ilmu pengetahuan social disebutkan bahwa
viktimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan.34
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai
hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya
adalah untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para korban dan
hubungan mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap
orang mempunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya, dan lain-lainnya. Dalam rangka memberikan pengertian yang lebih
baik agar orang lebih waspada dalam menciptakan rasa aman dan kehidupan yang aman juga
meliputi pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan bagaimana menghindari
bahaya. Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli bahwa Victim adalah orang
yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak
pidana dan lainnya. Disini jelas yang dimaksud orang yang mendapat penderitaan fisik dan
seterusnya itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.35
Ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang
ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan,
termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan.36
Tujuan viktimologi adalah :
a. Menganalisa berbagai aspek yang berkaitan dengan korban.
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab terjadinya viktimisasi.
34 Ibib. Bambang Waluyo. Hal . 9 35 Ibid. hal. 11 36 J.E. Sahetapy, Bungai Rampai Viktimisasi, Bandung, Eresco , 1995, hal 25
Universitas Medan Area
36
c. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.37
Manfaat viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam
mempelajari manfaat studi korban, yaitu :
a. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan
hukum.
b. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana.
c. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.38
Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles
of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :
1). Korban Tindak Pidana (Victim Of Crime) meliputi :
a. Korban Langsung (Direct Victims) Yaitu korban yang langsung mengalami dan
merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai
berikut :
1. Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
2. Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
3. Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4. Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims) Yaitu timbulnya korban akibat dari turut
campurnya seseorang dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut
melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak
37 Ibid. hal. 82 38 Ibid. Rena Yulia. hal. 39
Universitas Medan Area
37
pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri
atau suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
2). Korban Kekerasan (Victims Of Abuse Of Power) Korban adalah orang yang secara
individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental,
penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-pokok
hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan
pelanggaran undang-undang pidana Nasional tetapi norma- norma diakui secara
internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia.39
3. Ciri-Ciri Korban (The Caracteristic Of Victim) Dilihat dari peranan korban dalam
terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4
(empat) tipe atau ciri-ciri korban:
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk
tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang
lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai
andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak- anak, orang
tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan
sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini
tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan
tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang
39 Djoyo Supeno Bambang, Diklat Viktimologi. Semarang: Fakultas Hukum. 1997. hal 14
Universitas Medan Area
38
tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga
sebagai pelaku.
4. Lingkup Korban (The Scope Of Victim) Berbicara mengenai korban kejahatan pada
awalnya tentu korban orang per seorangan atau individu. Pandangan begini tidak
salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi dimasyarakat memang demikian.
Misalnya pembunuhan, penganiyayaan, perkosaan, pencurian dan sebagainya. Pada
tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas
dan kompleks. Persepsinya tidah hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga
korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa
korban dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.40
Lebih mendalam tentang masalah ini seperti dikutip dari buku viktimologi beranggapan
bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:
a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi
b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar
c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku
dengan si korban
d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si
korban
40 Ibid. hal. 74-75
Universitas Medan Area
39
2.8. Kerangka Pemikiran
Dalam penulisan skripsi ini, kerangka pemikiran yang digunakan yaitu Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pencurian Ditinjau Dari Kajian Victimologi (No :
20/Pid.B/2017/PN.Mdn) untuk mengetahui bentuk pencurian, perlindungan hukum tindak
pidana pencurian. Alasan pemilihan judul skripsi ini dikarenakan pencurian sudah semakin
marak dilakukan dikalangan masyarakat. Masyarakat saat ini dimana tingkat kesenjangan di
dalam masyarakat semakin tinggi, di satu sisi banyak orang kaya raya tetapi orang yang miskin
sekalipun juga semakin banyak. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang dirasakan oleh
pelaku. Tindakan korban yang memamerkan harta kekayaan juga menjadi godaan kepada pelaku
untuk melancarkan aksinya.
Seperti halnya pencurian sepeda motor, handpone yang paling sering terjadi di
masyarakat saat ini. Anggota masyarakat harus senantiasa meningkatkan kewaspadaannya serta
harus dapat memberikan keamanan kepada setiap hartanya. Kelengahan pemilik juga dapat
menciptakan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian.
2.9. Hipotesis
1. Pengaturan terhadap korban pencurian tindak pidana yang telah di atur dalam pasal
362 KUHP.
2. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana pencurian dapat
berupa kompensasi, restitusi dan bantuan hukum yang di atur dalam peraturan
pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan
kepada saksi dan korban.
Universitas Medan Area
40
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis, Sifat, Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam Penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yang
didukung dengan penelitian lapangan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mengkaji norma-norma yang berlaku meliputi Undang-Undang yang mempunyai relevansi
dengan permasalahan sebagai bahan hukum sumbernya.Pendekatan ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan
dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini.1
Data sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan.2Data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu dapat sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mengikat terhadap permasalahan yang akan diteliti. Adapun peraturan yang berkaitan
dengan penelitian ini antara lain : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti perundang-undangan, literature, jurnal, pendapat
1http://digilib.unila.ac.id/525/8/BAB%20III.pdf, Diakses Pada Tanggal 17 Januari 2018, Pada Pukul 10.52
WIB. 2Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2004, hal. 12
Universitas Medan Area
41
para ahli, media massa, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap data hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan website
maupun sumber hukum lainnya yang sejenis ataupun berhubungan dengan penelitian ini.
3.1.2. Sifat Penelitian
Rancangan penelitian skripsi ini bersifat penelitian deskriptif analitis yaitu analisis data
yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang
bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan
komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.3
Penulis juga menggunakan penelitian lapangan. Penelitian lapangan disini tidak seperti
penelitian hukum empiris, namun penelitian hukum dalam hal ini adalah penelitian yang
dilakukan secara langsung dengan pihak atau instansi yang terkait dengan permasalahan yang
diteliti, yaitu penelitian hukum yang dilakukan di Pengadilan Negeri Medan dengan mengambil
putusan perkara nomor: 20/Pid.B/2017/PN.Mdn dan penelitian hukum ini dilakukan dalam
bentuk suatu wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat dari para pihak yang
memiliki hubungan yang ada.
3.1.3. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini penulis
mengadakan penelitian langsung ke Pengadilan Negeri Medan yang beralamat di Jalan
3 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007, hal 38.
Universitas Medan Area
42
Pengadilan No.8, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera
Utara, dengan mengambil putusan perkara:20/Pid.B/2017/PN.Mdn.
3.1.4. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan April 2018 dengan mengambil putusan ke
Pengadilan Negeri Medan. Penelitian dipaparkan dalam tabel sebagai berikut:
No. Kegiatan Mei-2018 Jun-2018 Jul-2018 Ags-2018
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1. Pengajuan
Judul
2. Penyusunan
Proposal
3.
Seminar Proposal Skripsi
4.
Seminar Hasil Penyempurnaan
Skripsi
5. Ujian Meja
Hijau
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Penulis telah berupaya untuk mengumpulkan data-data guna melengkapi kesempurnaan
pembahasan skripsi ini, dimana penulis memepergunakan metode penelitian dengan cara sebagai
berikut:
1. Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Universitas Medan Area
43
Metode ini dilakukan dengan membaca beberapa litertur berupa buku-buku ilmiah,
peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber teoritis ilmiah yang berhubungan
dengan Perlindungan Korban Tindak Pidana Pencurian.
2. Metode Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu dengan melakukan penelitian
langsung kelapangan. Dalam hal ini penelitian langsung melakukan ke Pengadilan Negeri
Medan dengan cara melakukan pengambilan putusan nomor: 20/Pid.B/2017/PN.Mdn.
3.3. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data pada
hakekatnya dalam penelitian hukum artinya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-
bahan hukum tertulis.
Oleh karena itu,sesuai metode penulisan data yang sesuai dengan penelitian deskriptif
analisis dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu analisis data mengungkapkan
dan mengambil kebenaran yang diperoleh dari kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu dengan
menggabungkan antara peraturan-peraturan, buku-buku ilmiah yang ada hubungannya dengan
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak pidana Pencurian di tinjau dari kajian
Vicktimologi putusan No.20/Pid.B/2017/PN.Mdn, kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga
mendapat suatu pemecahannya, sehingga ditarik kesimpulan.
Rangkaian kegiatan analisis data inilah yang diperlukan dalam penelitian penulis adalah
sebagai berikut: semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan
gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
Universitas Medan Area
44
kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer
maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan
kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang
tidak penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas
kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis
induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang
menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-
data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab
permasalahan yang diajukan.
Setelah analisi data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif,
yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang
diteliti.4 Dari hasil tersebut kemudian ditariklah kesimpulan yang merupakan jawaban atas
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
4H.B. Sutopo, Metodelogi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 2002, hal 37.
Universitas Medan Area
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abussalam, 2010, Victimology, Jakarta : PTIK, Jakarta.
Alam A.S, 2010, pengantar krimonoligi, makassar.
Basuki Ismail, 1993, Negara Hukum Demokrasi Toleransi Telaah Filosofis atas John Locke, Jakarta :
Intermedia.
Bawengan G.W, 1997, Masalah Kejahatan dan Sebab Akibat, Jakarta : Pradnya Paramita
Chazawi Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana. Tindak pidana. Teori- Teori
Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). Cet. I., Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Gosita Arief, 1986, Viktimologi dan KUHP, Jakarta : Akademi Presindo.
Hadjon Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia.
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Melalui Pendekatan Hukum Progresif.
Jakarta : Sinar Grafika.
Kansil C. S. T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Kartanegara Satochid, 1989, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II. Balai Lektur Mahasiswa.
Lamintang P. A. F, 1983, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, Bandung.
Marzuki Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana.
Mertokusumo Sudikno, 2009, Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung.
Universitas Medan Area
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta : Universitas
Sebelas Maret.
Muladi & Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni.
Mulyadi Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Denpasar :
Djambatan.
Poernomo Bambang, 2001-2002, Hukum dan Viktimologi, Bandung : Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Pidana Universitas Padjadjaran.
Porta Rafael La, 1999, “Investor Protection and Cororate Governance; Journal Of Financial Economics”
Rahardjo Satjipto, 1991, Ilmu Hukum : PT. Citra Aditya Bakti.
Sahetapy J. E, 1995, Bungai Rampai Viktimisasi, Bandung : Eresco.
Sahetapy J.E, 1997, Bandung : Bungai Rampai Viktimisasi. Djoyo Supeno Bambang, Diklat Viktimologi.
Semarang: Fakultas Hukum.
Soedirjo, 1985, jaksa dan hakim dalam proses pidana, Jakarta : akademika presindo.
Soekanto Soerjono, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, Jakarta.
Soerodibroto R. Soenarto, 2011, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan
HOGE RAAD Jakarta : Rajawali Pers.
Sungguno Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sutopo H.B, 2002, Metodelogi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, Surakarta : UNS Press.
Universitas Medan Area
Waluyo Bambang, 2011, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Jakarta : Sinar
Grafindo.
Yulia Rena, 2010, Victimologi,Yogyakarta : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha
Ilmu.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang perlindungan saksi dan korban No. 13 Tahun 2016.
Undang-Undang HAM Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2006.
Undang-Undang Hukum Acara Pidana No. 26 Tahun 2000.
C. WEBSITE / JURNAL
http://digilib.unila.ac.id/525/8/BAB%20III.pdf,
http://www.bagusboedhi.blogspot.co.id/2009/03/teori.html?m=1,
Universitas Medan Area