27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya pelayanan negara yang berupa menjaga kepentingan rakyatnya, dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan hidupnya. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal. Dari pemaparan yang secara singkat di atas mengenai perpajakan, maka kami tertarik untuk membuat makalah ini. Penulis berusaha menyusun makalah ini semenarik mungkin agar para pembaca menyukainya. 1

PERPAJAKAN 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah perpajakan

Citation preview

Page 1: PERPAJAKAN 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau

keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan

pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa

pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan

uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan

berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,

jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan

menggunakan uang yang berasal dari pajak.

Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk

tercapainya pelayanan negara yang berupa menjaga kepentingan rakyatnya, dalam

bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan hidupnya.

Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam

masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

Dari pemaparan yang secara singkat di atas mengenai perpajakan, maka

kami tertarik untuk membuat makalah ini. Penulis berusaha menyusun makalah

ini semenarik mungkin agar para pembaca menyukainya. Sehingga para pembaca

dapat mengenal dan mengerti serta dapat menambah wawasan pembaca tentang

perpajakan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :

1. Bagaimana sejarah perpajakan itu ?

2. Apakah pengertian pajak, retribusí dan sumbangan ?

3. Apa peranan dan fungsi pajak dalam Pembangunan ?

4. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tata hukum nasional ?

5. Apa saja syarat-syarat undang-undang pajak bagi suatu negara ?

6. Apa itu The Four Maxims dari Adam Smith ?

1

Page 2: PERPAJAKAN 1

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam pembuatan makalah ini yaitu :

1. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Perpajakan 1.

2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perpajakan itu.

3. Untuk dapat mengetahui dan membedakan anatara pajak, retribusí dan

sumbangan.

4. Untuk mengetahui peranan dan fungsi pajak dalam Pembangunan.

5. Untuk mengetahui kedudukan hukum pajak dalam tata hukum nasional.

6. Untuk mengetahui syarat-syarat undang-undang pajak bagi suatu negara.

7. Untuk mengetahui apa The Four Maxims dari Adam Smith.

2

Page 3: PERPAJAKAN 1

BAB II

ISI

1.1 Sejarah Perpajakan

Secara umum pemungutan pajak telah dikenal pada masa kolonial. Pada

mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya

merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan. Tetapi pada masa kerajaan

dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan itu dipersembahkan kepada

raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, rakyat memberikan upetinya

kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman

lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.

Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau

kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang

dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan

sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang

lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi

hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat

itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk

kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,

pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum

lainnya.

Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang

semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat

suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun

unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka

rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang

nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

3

Page 4: PERPAJAKAN 1

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan

cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu

sebagai berikut:

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No.13);

2. Aturan Bea Meterai (Stbl. 1921 No. 498);

3. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No.291);

4. Ordonansi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932No. 405);

5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl.1934 No. 718);

6. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 671);

7. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671);

8. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 No. 17);

9. Undang-undang Pajak Radio (UU No. 12 Tahun1947);

10. Undang-undang Pajak Pembangunan I (UUNo. 14 Tahun 1947); dan

11. Undang-undang Pajak Peredaran (UU No.12 Tahun 1952).

Dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, maka diundang undangkan lagi

beberapa UU, yaitu :

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No.2 Tahun 1968;

2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan UU No. 10

Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga. Dividen, dan Rayalti;

3. UU. No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;

4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; dan

5. UU NO. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK dan PPs atau

Tata Cara MPS-MPO

Pada Tahun 1983 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat

melakukan reformasi UU Perpajakan karena adanya beberapa UU tidak memenuhi rasa

keadilan dan hanya untuk kepentingan Belanda saja. Dan mengundangkan 5 paket UU

Perpajakan dari Sistem Perpajakan yang semula Official Assessment diubah menjadi Self

Assessment.

4

Page 5: PERPAJAKAN 1

1. UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(KUP);

2. UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);

3. UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan

Penjualan atas Barang Mewah (PBB); dan

4. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM).

Pada Tahun 1994, empat dari lima UU tersebut pada tahun 1994 mengalami perubahan

dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan UU, yaitu sebagai

berikut :

1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No.9 Tahun 1994

2. UU No.7 Tahun 1983 diubah dengan UU No.10 Tahun 1994

3. UU No.8 Tahun 1983 diubah dengan UU No.11 Tahun 1994

4. UU No.13 Tahun 1983 diubah dengan UU No.12 Tahun 1994

Pada Tahun 1997, pemerintah kembali mengadakan perubahan UU Perpajakan dalam

rangka mendukung UU yang berkaitan, yaitu :

1. UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;

2. UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

3. UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

4. UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan

5. UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pada Tahun 2000, pemerintah kembali melalukan perubahan terhadap UU Perpajakan

dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak (WP), yaitu :

1. UU. No. 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 Tahun 1994

2. UU No. 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.7 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1994

3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.8 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994

4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 19975

Page 6: PERPAJAKAN 1

5. UU No. 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.21 Tahun 1997;

6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997

Dan pada tahun 2007 – 2009, pemerintah kembali sepakat bersama DPR melakukan

perubahan UU Perpajakan dalam rangka lebih memberikan keadilan dan meningkatkan

pelayanan kepada WP dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta

mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi. Perubahan UU PPh, UU

PPN dan PPnBM dilatarbelakangi agar dapat mengamankan penerimaan negara yang

netral, sederhana, stabil dan menciptakan kepastian hukum dan transparansi.

1. UU Ketentuan Hukum dan Tata Cara Perpajakan No. 16 Tahun 2000 diubah

dengan UU No.28 Tahun 2007, mulai berlaku 1 Juni

2. UU PPh No.17 Tahun 2000 diubah dengan UU No.36 Tahun 2008, mulai

berlaku 1 Januari 2009

3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah No. 18 Tahun 200 diubah dengan UU No.42 Tahun 2009,

mulai berlaku pada 1 April 2010.

Dengan dilakukan banyak perubahan atas berbagai perundang–undangan Perpajakan

menunjukkan Pemerintah selalu memperhatikan pemangku kepentingan (Stakeholders)

dalam melanjutkan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak.

1.2 Pengertian Pajak, Retribusi dan Sumbangan

1.2.1 Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

Untuk mengetahui arti pajak, Santoso Brotodiharjo,S.H., dalm bukunya,

Pengantar Ilmu Hukum Pajak, mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang

definisi pajak, beberapa diantaranya seperti dalam kutipan sebagai berikut :

a. Mr.Dr.N.J.Feldmann

“pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada

penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa

6

Page 7: PERPAJAKAN 1

adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-

pengeluaran umum.”

b. Prof.Dr.M.J.H.Smeets

“pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-

norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang

dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk

membiayai pengeluaran pemerintah.”

Dalam definisinya ia menonjolkan fungsi budgeter, baru kemudian ia

menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.

c. Dr.Soeparman Soemahamidjaja

“pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.

Ia mencantumkan istilah iuran wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa

pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan WP, sehingga perlu

pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa

terlalu berlebihan bila khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsur

paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-akan tidak ada

kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.

d. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH

Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang

langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

umum.

Unsur ‘dapat dipaksakan’ artinya bahwa bila utang pajak tidak dibayar, maka

utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan

mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan, bahkan bisa dengan

melakukan penyanderaan. Sementara itu, terhadap pembayaran pajak tersebut

tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.

7

Page 8: PERPAJAKAN 1

Dari 4 pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada 5 unsur yang melekat

dalam pengertian pajak, yaitu:

a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan

perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-

undang."

b. Sifatnya dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak

memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan

perundang-undangan.

c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh

pembayar pajak. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor

akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar

pajak kendaraan bermotor.

d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, oleh pemerintah pusat maupun daerah

(tidak boleh dipungut oleh swasta)

e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan

pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.

Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang

hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan

pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis dan besarnya

pajak yang akan dipungut. Proses persetujuan rakyat yang dimaksud tentunya hanya

dapat dilakukan dengan suatu undang-undang. Landasan yuridis adalah pada Pasal 23

ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala pungutan pajak harus

berdasarkan undang-undang”. Pihak swasta tidak diperbolehkan melakukan pungutan

pajak karena pihak swasta dalam usahnya selalu bersifat mencari keuntungan.

Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang

dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk

pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Sifat pemaksaannya

harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.

Apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melukan upaya

8

Page 9: PERPAJAKAN 1

paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar WP mau melunasi utang

pajaknya.

1.2.2 Retribusi

Retribusi menurut UU no. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah:

a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang

b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan

c. Pemungutannya dilakukan oleh negara

d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum

e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar

retribusi. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pemberian izin

tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah kepada setiap

orang atau badan, misalnya retribusi atas penyediaan tempat penginapan,

retribusi tempat pencucian mobil.

Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat

paksaannya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Artinya, apabila

seseorang atau badan tidak mau membayar retribusi, maka manfaat ekonominya

langsung dapat dirasakan. Namun, apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan,

tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat

dipaksakan seperti halnya pajak.

Jenis pos retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi:

1. Retribusi Jasa Umum : a. Retribusi Pelayanan Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan

Persampahan/Kebersihan; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk

dan Akta Catatan Sipil; d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; e.

Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; f. Retribusi Pelayanan Pasar; g.

9

Page 10: PERPAJAKAN 1

Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam

Kebakaran; i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; j. Retribusi Penyediaan dan/atau

Penyedotan Kakus; k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; l. Retribusi Pelayanan

Tera/Tera Ulang; m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan n. Retribusi Pengendalian

Menara Telekomunikasi

2. Retribusi Jasa Usaha: a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar

Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi Tempat Pelelangan; d. Retribusi Terminal; e.

Retribusi Tempat Khusus Parkir; f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g.

Retribusi Rumah Potong Hewan; h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i. Retribusi

Tempat Rekreasi dan Olahraga; j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan k. Retribusi

Penjualan Produksi Usaha Daerah.

3. Retribusi Perizinan: a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Izin Tempat

Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Izin Gangguan; d. Retribusi Izin Trayek;

dan e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

2.2.3 Sumbangan

Sumbangan adalah sebuah pemberian yang pada umumnya bersifat secara fisik

oleh perorangan atau badan hukum, pemberian ini mempunyai sifat sukarela dengan

tanpa adanya imbalan bersifat keuntungan.

Pungutan dengan nama sumbangan biasanya tidak diartikan untuk kepentingan

pengeluaran-pengeluaran yang dikelola oleh pemerintah, tetapi dilakukan oleh dan untuk

kepentingan sekelompok masayarakat tertentu dan tidak memerlukan dasar hukum

menurut undang-undang serta tidak mempunyai unsur paksaan, misalnya sumbangan

pembangunan tempat-tempat ibadah, sumbangan perbaikan jalan, dan lain-lain. Pungutan

ini lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Tidak adanya sifat paksaan

tetapi unsur sukarela, pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil

sumbangannya, tetapi pemberi sumbangan dapat juga tidak merasakannya sama sekali

jika pemberi sumbangan tersebut tidak pernah bertempat di suatu wilayah di mana jalan

atau tempat ibadah yang dibangun merupakan hasil sumbangannya sebagian.

10

Page 11: PERPAJAKAN 1

1.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan

1.3.1 Peranan Pajak

Pajak yang dibayarkan sebagai alat untuk tersedianya sarana atau fasilitas

umum yang dapat digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah

terlebih dahulu menikmati sarana umum. Kemakmuran generasi mendatang

sangat bergantung pada investasi generasi sekarang ini, yaitu berupa penyediaan

segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda

ekonomi. Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya dapat tersedia bila

ada pajak.

Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

diketahui bahwa sumber penerimaan APBN diperoleh dari 3 sumber, yaitu:

1) Penerimaan perpajakan, teridiri atas:

a. Pajak dalam negeri

b. Pajak perdagangan internasional

2) Penerimaan negara bukan pajak

3) Penerimaan hibah dari dalam negeri maupun luar negeri

Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas

pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri

terdiri atas: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Sedangkan pajak perdagangan internasional

berasal dari Bea Masuk dan Bea Keluar.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah semua penerimaan

pemerintah pusat yang diterima dari sumber daya alam, bagian pemerintah atas

laba BUMN, PNBP lainnya, dan pendapatan badan layanan umum (BLU).

Penerimaan dari sumber daya alam terdiri atas: pendapatan minyak bumi,

pendapatan gas bumi, pendapatan kehutanan.

Untuk penerimaan berupa hibah merupakan penerimaan negara yang

berasal dari sumbangan pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta

sumbangan pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu

11

Page 12: PERPAJAKAN 1

dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus-

menerus, dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.

Dari ketiga sumber penerimaan tersebut, penerimaan dari sektor pajak

ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Penerimaan

dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai

pembangunan nasional.

Besarnya peranan pajak yang demikian kiranya perlu ditanamkan dalam

diri setiap orang agar dalam pelaksanaan pembayaran pajak yang telah dilakukan

dapat menjadi satu kebanggaan tersendiri karena telah memberikan kontibusinya

dalam pembangunan nasional. Melihat pada ciri kelima dari pengertian pajak

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa peranan pajak

sangat diperlukan dalam rangka pembangunan.

1.3.2 Fungsi Pajak

a. Fungsi anggaran (budgeter)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan

melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat

diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan

rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.

Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,

yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan

pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan

pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan

dari sektor pajak.

b. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan

pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk

12

Page 13: PERPAJAKAN 1

mencapai tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan . Fungsi ini

umumnya dapat dilihat pada sektor swasta. Contohnya dalam rangka menggiring

penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai

macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam

negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

c. Fungsi Demokrasi

Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan dan

pembangunan demi keselamatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang

ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan

dari pemerintah.

d. Fungsi redistribusi pendapatan

Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam

masyarakat. Hal ini dapat terlihat, misalnya dengan adanya tarif progresif yang

mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan

besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan

lebih sedikit.

Fungsi ketiga dan keempat sering disebut fungsi tambahan karena bukan

merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.

1.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional

Hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara hukum sebagai berikut

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu

lainnya.

2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum

ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :

- Hukum Tata Negara

- Hukum Tata Usaha

13

Page 14: PERPAJAKAN 1

- Hukum Pajak

- Hukum Pidana

Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.

Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex

Specialis derogate Lex Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan

dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur

dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam

peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan

peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada

sebelumnya.

Hukum pajak menganut paham imperative, yakni pelaksanaannya tidak

dapat ditunda. Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan

dari Direktur Jenderal Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka Wajib

Pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan

yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham

oportunitas, yakni pelaksanannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain

1.5 Syarat – Syarat Undang – Undang Pajak Bagi Suatu Negara

Pembuatan undang – undang pajak hendanya memenuhi syarat–syarat berikut, yaitu :

a. Syarat Keadilan

Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu

dikenakan kepada orang – orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk

membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai dengan manfaat yang

diterimanya. Keadilan disini meliputi keadilan dalam prinsip mengenai peraturan

perundang –undangan maupun dalam praktik sehari – hari. Syarat keadilan dapat

dibagi menjadi :

1. Keadilan Horizontal

Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama

harus dikenakan pajak yang sama.

14

Page 15: PERPAJAKAN 1

2. Keadilan Vertikal

Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama

harus dikenakan pajak yang tidak sama.

b. Syarat Yuridis

Yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang – undang karena dapat

bersifat memaksa, serta hak dan kewajiban Wajib Pajak maupun petugas pajak

harus di atur didalamnya. Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan

atau kemampuan membayar Wajib Pajak. Memang keliatannya bahwa hal ini

mudah karena membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, tetapi dalam

praktek mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperhitungkan pajak. Bagi

orang yang berpenghasilan tetap tidak menjadi persoalan. Tetapi mereka yang

berpenghasilan tidak tetap akan sulit sekali untuk menentukan kemampuannya

atau daya pikulnya. Maka kepada Wajib Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya

untuk menghitung sendiri pajaknya dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan

(SPT) secara jujur sesuai dengan kenyataan. Di sisi lain, petugas pajak juga tidak

boleh bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Undang –

Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang –

Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang tidak puas untuk mengajukan

keberatan dan banding.

c. Syarat Ekonomis

Yaitu pungutan pajakharus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomis

dan janganlah menggagu kehidupan ekonomis dari Wajib Pajak. Jangan sampai

akibat pemungutan pajak terhadap seseorang, maka orang itu jatuh melarat.

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu atau menghalangi kelancaran

produksi maupun perdagangan atau perindustrian, jangan sampai dengan adanya

pemungutan pajak perusahaan-perusahaan akan gulung tikar atau pailit.

Sebaliknya, pemungutan pajak diharapkan bisa membantu menciptakan

pemeratan pendapatan atau redistribusi pendapatan.

15

Page 16: PERPAJAKAN 1

d. Syarat Financial

Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara, maka

biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Dalam hal ini diartikan bahwa

biaya yang dikeluarkan untuk pemungutan atau penetapan pajak hendaknya lebih

kecil dari penerimaan pajak supaya ada penerimaan yang masuk ke kas negara

atau daerah.

1.6 The Four Maxims Adam Smith

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang

terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan

dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap

wajib pajak.

2. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan

UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

3. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau

asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak

(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima

penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

4. Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak

diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak

lebih besar dari hasil pemungutan pajak.[5]

16

Page 17: PERPAJAKAN 1

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar - besarnya kemakmuran rakyat. Dengan

demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi

sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan

pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di

atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat

yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat

yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib

Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar

merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan.

17

Page 18: PERPAJAKAN 1

DAFTAR PUSTAKA

B. Ilyas Wirawan, Burton Richard, 2013, Hukum Pajak : Analisis, dan

Perkembangannya Edisi 6. Jakarta: Salemba Empat.

Suandy Erly, 2009, Hukum Pajak Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat.

Mardiasmo, 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta : ANDI.

18