Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
ANGGARA FAISAL
NIM: 120200256
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat–Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
ANGGARA FAISAL
NIM: 120200256
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan. SH.,M.H
NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof.Dr. Alvi Syahrin. SH., M.S Dr. Marlina. SH., M.H
NIP. 19630331198703100 NIP. 197503072002122002
ABSTRAK
Anggara Faisal*
Alvi Syahrin*
Marlina**
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur dari
kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan reproduksi adalah suatu
keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental, dan kehidupan sosial
yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi. Segala sesuatu yang
bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan reproduksi adalah dilarang oleh
hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi atau bahasa ilmiahnya adalah
Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling sering digunakan mengakhiri
kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun merupakan cara yang paling
berbahaya.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana
pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi berdasarkan kitab
undang-undang hukum pidana dan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan
hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta
berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
Hasil penelitian ataupun kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan
bahwa Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat
di dalam pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi
yaitu sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku
tindak pidana aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan
kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga terpenuhi
karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu untuk
tanggung jawab.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Aborsi1
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan
pembangunan manusia.2 Dengan tidak adanya kesehatan, manusia tidak akan
produktif untuk hidup layak baik secara ekonomi maupun pendidikan yang baik.
Tanpa ada ekonomi yang baik, manusia tidak akan mendapat pelayan ataupun
pendidikan yang baik, begitu pula sebaliknya. Ketiganya ini saling berhubungan
dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur
dari kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3
Berkaitan dengan permasalahan kesehatan, kesehatan reproduksi menjadi
bagian yang penting untuk tetap dijaga oleh setiap insan. Kesehatan reproduksi
merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak
semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa:
2 Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan,
2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 3Ibid, hal 3.
“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana
pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,
termasuk keluarga berencana.”
Segala sesuatu yang bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan
reproduksi adalah dilarang oleh hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi
atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling
sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun
merupakan cara yang paling berbahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
aborsi /abor.si/ berarti pengguguran kandungan.4 Dalam arti kriminalis, aborsi
adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Aborsi dalam Bahaasa Inggris disebut abortion dan dalam bahasa latin
disebut abortus, yang berarti keguguran kandungan. Dalam bahasa arab, aborsi
disebut isqat al-haml atau ijhad, yaitu pengguguran janin dalam rahim. Menurut
istilah kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28
minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram.5
Pengaturan bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu
dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,
persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai
tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada
4 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 3 5 Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih, PT. Remaja
Rosdakarya Offset : Bandung, 2006. Hal.54
sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupkan Abortus Provocatus
Therapeuticus.
Tindak pidana aborsi sebagai suatu perbuatan terlarang, sudah sepantasnya
pelaku tindak pidana aborsi ini mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi
biarpun kasus ini sering terjadi, tidak diketahui bagaimana pertanggungjawaban
dokter atau pelaku terhadap pasien yang menjadi korban aborsi, sulit untuk
membuktikannya karena ketidakterbukaan dokter dan tenaga medis lainnya
terhadap masyarakat umum.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul: “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan aborsi menurut hukum di Indonesia?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi?
C. Manfaat dan Tujuan Penelitan
Tujuan Penulisan yaitu:
1. Untuk mengkaji ketentuan aborsi yang legal menurut hukum di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindak
pidana aborsi.
Manfaat Penulisan yaitu:
1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi
penulis, sehingga dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu
hukum dan dapat memperluas khazanah perbendaharaan keputusan
bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana pada perpustakaan
Universitas Sumatera Utara.
2. Secara praktis
a. Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban pidana terhadap
tindak pidana aborsi.
b. Untuk mengetahui aturan tentang aborsi dalam hukum di Indonesia
dalam menanggulangi tindak pidana aborsi oleh dokter sudah tepat
pemberlakuaanya.
BAB II
METODE PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Aborsi yang Legal
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal-Pasal dalam KUHP dengan jelas tidak memperbolehkan suatu
aborsi di Indonesia. KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus
provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang,
termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan
korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342
KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga
dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan
suatu pembunuhan terahadap anak.
Hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam
dua undang-undang yaitu KUHP pasal 299, 346, 347, 348, 349 dan 535 yang
dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun serta dalam UU RI No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75,76,77,78 melarang aborsi tetapi masih
mengijinkan tindakan aborsi atas indikasi medis dan trauma psikis dengan syarat
tertentu.
Tindakan aborsi menurut KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai
tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.Pasal-
pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah pasal 229, 346, 347, 348, 349 dan 535.
Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang
mernperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik,
sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang
melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan
alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
yang menegaskan tentang dibolehkannya melakukan tindakan aborsi sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya, jenis aborsi ini secara
hukum dibenarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2),6 namun ada beberapa hal yang dapat dicermati
dari aborsi ini yaitu bahwa ternyata aborsi dapat dibenarkan secara hukum apabila
dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau
tenaga kesehatan yang mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan
menggunakan pertimbangan demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya, aborsi
ini dapat dilakukan atas persetujuan ibu hamil atau suami atau keluarganya dan
pada sarana kesehatan tertentu.
Aborsi yang dilakukan bersifat legal, dan dengan kata lain vonis medis
oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan
tindak pidana atau kejahatan.Dari penjelasan tersebut didapatkan gambaran
6Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Media Centre, H. 16
mengenai aborsi legal menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa
aborsi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Berdasarkan indikasi medis
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya
4. Sarana kesehatan tertentu
Sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk
tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.
3. Hukum Islam
Penguguran berlatar belakang alasan medikpun ada ketentuannya.Boleh
dilakukan aborsi dengan catatan janin yang dikandungnya belum berumur dua
belas minggu (tiga bulan). Secara kedokteran sejak usia ini baru dapat didengar
bunyi jantung. Bentuknya sudah lengkap hanya ukurannya masih sangat
kecil.Sebelum mencapai itu belum dinyatakan hidup karena belum ada denyut
jantung.Sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surah As sajadah ayat 9, pada
usia tersebut Allah SWT. Meniupkan ruh, baru janin itu dianggap hidup ; “hidup”
dalam arti seperti manusia tetapi sedang dalam kandungan dan kalau ini diaborsi
berarti pembunuhan.7 Firman Allah SWT. Sebagaimana tersurah dalam As
Sajadah ayat 9, sebagai berikut :
7Dadang Hawari, 2006 Aborsi Dimensi Psikoreligi, Balai Penerbit Fakultas kedokteran
UI, Jakarta, hal. 67.
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya
ruh (ciptaan)-Nya danDia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Namun jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin
nantinya akan membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para
ulama berbeda pendapat:
Pendapat Pertama :
Menyatakan bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya
tetap haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan
keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh Mayoritas
Ulama.
\Pendapat Kedua :
Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh
kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu
dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada
menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara
yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya
terakhir.(Mausu’ah Fiqhiyah : 2/57 )Prediksi tentang keselamatan Ibu dan janin
bisa dikembalikan kepada ilmu kedokteran, walaupun hal itu tidak mutlak
benarnya. Wallahu A’lam.
B. Aborsi yang Ilegal
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan
pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku
kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX
Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap
nyawa
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, maka
permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit,
dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi,
meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan
kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun Undang-Undang melarang
praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan
pengaturan aborsi dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan
dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.
3. Hukum Islam
Aborsi menurut bahasa Arab disebut dengan al-Ijhadh yang berasal dari
kata “ajhadha – yajhidhu” yang berarti wanita yang melahirkan anaknya secara
paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya.Atau juga bisa berarti bayi
yang lahir karena dipaksa atau bayi yang lahir dengan sendirinya. Aborsi di dalam
istilah fikih juga sering disebut dengan “isqhoth” (menggugurkan) atau “ilqaa”
(melempar) atau “tharhu” (membuang ).8
Pada teks-teks al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara
khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa
orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt :
“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan
Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya
adzab yang besar( Qs An Nisa’ : 93 )
Begitu juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasanya
Rosulullah saw bersabda :
“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di
dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh
hari kedua, terbentuklah segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh
hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah
mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk
menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta
nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia.“ ( Bukhari dan
Muslim)
Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Roh. Dalam hal ini, para ulama
berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat :
Pendapat Pertama :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh.Bahkan
sebagian dari ulama membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat.(
Hasyiat Al Qalyubi : 3/159 )
8 Kitab al-Misbah al-Munir, H.72
Pendapat ini dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’I, dan
Hambali. Tetapi kebolehan ini disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya,(
Syareh Fathul Qadir : 2/495 )
Mereka berdalil dengan hadist Ibnu Mas’ud di atas yang menunjukkan
bahwa sebelum empat bulan, roh belum ditiup ke janin dan penciptaan belum
sempurna, serta dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan.
Pendapat kedua :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh.Dan jika
sampai pada waktu peniupan ruh, maka hukumnya menjadi haram.
Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, maka
tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh , demi
untuk kehati-hatian . Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi
dan Imam Romli salah seorang ulama dari madzhab Syafi’I .( Hasyiyah Ibnu
Abidin : 6/591, Nihayatul Muhtaj : 7/416)
Pendapat ketiga :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya
bahwa air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum
wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah
tindakan kejahatan . Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir , Imam Ghozali dan
Ibnu Jauzi ( Syareh Kabir : 2/ 267, Ihya Ulumuddin : 2/53, Inshof : 1/386)
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan),
telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun
disholati.
A. Unsur Kemampuan Bertanggungjawab dalam Tindak Pidana Aborsi
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah di
tentukan dalam undang-undang. Di lihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-
tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada
peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsground atau alasan
pemaaf) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka
hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat
dipertanggungjawabkan pidanakan.
Dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya,
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggung
jawab mencakup :
a. Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair)
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, limbecile, dan
sebagainya), dan
3. Tidak terganggunya karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,
mengganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya
1. Dapat menginsyafi hakekat tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak; dan
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan, tidaklah ada gunanya
untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila
perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat
pula di katakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya
perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula
dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:
a. Melakukan perbuatan pidana;
b. Mampu bertanggung jawab;
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika keempat unsur tersebut diatas ada
maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat
dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.
B. Unsur Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana Aborsi
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu dapat
dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana
tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana
terhadap seseorang tidak cukup dengan dilakukan tindak pidana saja, tetapi selain
dari itu harus ada pula kesalahan atau menurut Moeljatno sikap bathin yang
tercela. Siapa yang melakukan kesalahan, maka dia lah yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini dikenal suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (qeen straf zonder
shuld).9
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus
non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,
maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud
pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat
tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga
mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur
kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang
terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam
suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut
dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua
unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa
perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en
wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah
9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal 153
menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah
mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Dalam hukum pidana, kesalahan dibagi menjadi kesengajaan dan
kealpaan. Kesengajaan terbagi atas tiga, yaitu :10
a. kesengajaan sebagai maksud ( opzet als oogmerk);
b. kesengajaan sebagaikepastian(opzet bijzekerheidsbewuztzijn);
c. kepastian sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, of
voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).
Kesengajaan sebagai maksud, si pelaku memang benar-benar
menghendaki perbuatan dan akibatnya. Kesengajaan sebagai sadar kemungkinan
baru dianggap ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana, tetapi dia tahu bahwa
akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya. Kesengajaan sebagai kemungkinan
adalah keadaan tertentu yang semua mungkin terjadi, kemudian benar-benar
terjadi.
C. Unsur Tiada Alasan Pemaaf dalam Tindak Pidana Aborsi
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.
Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang
yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga di pidana tergantung pada
soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak
10 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,1992, hlm.
159.
apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai
kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan terlarang dan tercela, dia
tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”,
merupakan tentu dasar daripada dipidananya si pembuat.11
Alasan penghapusan pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan
pembenar. Alasan pemaaf ditujukan kepada keadaan diri si pelaku, sedangkan
alasan pembenar ditujukan kepada keadaan perbuatan pelaku.
1) Alasan pemaaf.
a. Mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, pembentuk undang-undang membuat
peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut :
1. Yang cacat dalam pertumbuhannya;
2. Yang terganggu karena penyakit
b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP).
c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP.
d. Perintah jabatan yang tidaksah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
2) Alasan pembenar.
a. Keadaan darurat.
b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP).
11 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertamggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia) hlm.75
c. Melaksanakan perintah perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).
d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1) KUHP)
Apabila terdakwa/pelaku sehat jasmani dan rohani sehingga dianggap
mampu bertanggung jawab. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan unsur
kesengajaan, dan perbuatannya secara sah dan meyakinkan bersifat melawan
hukum, dan hakim tidak melihat adanya alasan penghapusan pidana, baik
terhadap diri pelaku, maupun terhadap perbuatan pelaku.
D. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan KITAB Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Hukum (pidana) dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga
pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter
atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban
pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang
terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak
menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik
kedokteran.
Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
adalah sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal
194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga
Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap
Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran
kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab
XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal
346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap
nyawa. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992, maka permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara
eksplisit, dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur
mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi
dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun
Undang-Undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu
terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.
2. Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat di dalam
pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi yaitu
sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku tindak
pidan aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan
kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga
terpenuhi karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu
untuk nertanggung jawab.
A. Saran
1. Di dalam melakukan praktek kedokteran sebaiknya semua belah pihak
yang terlibat di dalamnya agar lebih memeperhatikan segala prosesnya
baik itu pihak rumah sakit, dokter maupun pasien. Hal ini harus dilakukan
berdasarkan kesadaran semua pihak agar tidak terjadi Tindak kriminal
seperti aborsi yang dimana itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum dan dapat meminimalisir kegiatan aborsi untuk hal-hal yang
memiliki tujuan tertentu.
2. Penerapan sanksi bagi pihak yang melakukan aborsi baik itu dokter
ataupun rumah sakit agar dipertegas lagi penerapan sanksinya. Jangan
hanya berupa peringatan saja atupun teguran, karena hal tersebut tidaklah
membuat efek jera bagi si pelaku aborsi illegal. Karena kebanyakan dari
kasus aborsi yang terjadi sekarang apabila ketahuan hanya dilakukan saja
peringatan yang dimana para pelaku aborsi tidaklah takut untuk melakukan
aborsi yang illegal dan kemudian menjadikan kegiatan aborsi illegal
menjadi suatu perbuatan yang mudah untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdurrahman, 2006, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset)
Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia)
Dadang Hawari, 2006 Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas kedokteran UI)
Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama)
Moeljatno 1993, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta)
Sri Siswati, 2013, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif
Undang-Undang Kesehatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada)
Undang-Undang :
Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan