Upload
doantu
View
264
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERUBAHAN BENTUK, FUNGSI,
DAN MAKNA TARI SRIMPI LUDIRAMADU
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Derajad Magister Program Studi
Kajian Budaya
Minat Utama : Perubahan Sosial Budaya
Oleh :
SAWITRI
S701008007
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Berdirilah di jalan-Nya, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu.
(QS. AL. Mujadillah:11)
Cita-cita dapat terwujud berawal dari mimpi, dan dibarengi dengan doa dan usaha
yang tidak mengenal putus asa.
(Penulis)
“Makin besar dan mulia suatu tujuan yang akan dicapai, makin jauhlah jalannya
dan makin banyak rintangannya menuju kepada cita-citanya itu”
(Imam Ghazali)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :
1. Drs. Narman, MM, Kepala Sekolah SMA N 1 Mojolaban
2. Drs. Djiwandono, M.Pd, dan Nurnaningsih, S.S, M.Hum selaku Kaprodi,
dan Sekprodi Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Bangun Nusantara
Sukoharjo
3. Sukinem Yoko Suparto, Ibunda yang sangat saya cintai dan hormati serta
Ayah yang telah tiada
4. Agus Mariyadi, Varageta Leileta Ramadhani dan Nadeo Gibran Pandu
Ramadhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya,
penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Perubahan Bentuk, Fungsi dan
Makna Tari Srimpi Ludiramadu”, untuk memenuhi sebagian persyaratan
menyelesaikan studi pada Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, Program Studi Kajian Budaya di Surakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, niscaya penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Drs. Riyadi Santoso, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum, selaku Pembimbing I, yang dengan tekun
dan sabar telah memberikan pengarahan serta petunjuk yang sangat
berharga
4. Dr. Warta, M.Hum, selaku Pembimbing II, yang penuh perhatian dalam
memberikan bimbingan sejak awal hingga selesainya penulisan Tesis ini
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengampu Program Kajian Budaya
Pascasarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
6. Wahyu Santoso Prabowo, S.Kar, M.S, memberikan informasi sejarah asal-
usul dan keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu di era sekarang.
7. I Nyoman Chaya, S.Kar, M.S, dengan sabar memberikan data yang
dibutuhkan dalam penulisan Tesis ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
8. I Nyoman Putera Adyana, S.Kar, M.Hum, dengan ikhlas memberikan data
yang membantu terselesainya tesis dan memberikan dorongan yang berarti
bagi penulis
9. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2010 Program Studi Kajian Budaya
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
11. Sukinem Yoko Suparto, Ibundaku tercinta yang telah memberikan
dorongan
12. Agus Maryadi, Suamiku tercinta yang banyak berkorban demi
terselesainya studi penulis di Perguruan Tinggi
13. Anak-anakku tercinta Varagetha Leiletha Ramadhani, Nadeo Gibran
Pandu Ramadan
Dan segenap rekan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu,
yang telah turut memberikan dorongan bagi terwujudnya tesis ini. Semoga amal
dan kebaikan beliau-beliau dapat berkenan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini jauh dari kata sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua
pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis mahasiswa Program Studi
Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret dan umumnya bagi pemerhati Seni
Tradisi.
Surakarta, Februari 2012
Sawitri
S701008007
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRAK
Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu (Sawitri, 2012, 246 halaman). Tesis, S.2, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta merupakan salah satu varian kebudayaan Jawa yang kaya akan bentuk seni tradisi klasik. Surakarta yang berdampak pada keberadaan seni tradisi keraton. Oleh sebab itu penelitian ini untuk mengetahui sejarah dan asal-usul Tari Srimpi Ludiramadu dan perubahan dalam masyarakat pendukungnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna sebelum berubah dan setelah mengalami perubahan termasuk faktor-faktor yang membuat dampak dalam perubahan. Selain itu juga untuk mengetahui proses perubahan dan mengetahui bentuk, fungsi, dan makna. Tari Srimpi Ludiramadu dalam rangka untuk pengembangan wawasan ilmu pengetahuan dibidang seni, dan khususnya untuk melihat keanekaragaman budaya di Indonesia. Manfaat yang lain sebagai identifikasi diri dan sebagai komunikasi lewat kebudayaan.
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif yang dilandasi oleh tiga teori, yaitu estetika, teori perubahan sosial, dan teori struktural fungsional. Teori estetika digunakan untuk melihat masyarakat Jawa khususnya Surakarta melihat kebudayaan khususnya pada seni tradisional klasik lewat seni pertunjukan tari. Teori strauktural untuk melihat dan menjelaskan perubahan fungsi seni tradisi klasik pada masyarakat pendukungnya dan teori perubahan sosial budaya untuk mengungkap keberadaan seni tradisi keraton yang mengalami perubahan pada makna sehingga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap seni tersebut dan untuk memberikan warna penelitian kajian budaya (culture studies).
Untuk memperoleh data dilakukan tiga cara : observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Lokasi penelitian secara kewilayahan berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah khususnya Karesidenan Surakarta yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, Karanganyar.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Seni Tradisi Klasik Keraton dapat mengalami pada perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. Perubahan pada bentuk disebabkan pada kebutuhan fungsi pertunjukan tari untuk pementasan sebagai pariwisata budaya, festifal seni, misi kesenian, materi perkuliahan, materi anak SMK, pekan seni pertunjukan, dan apresiasi seni. Bentuk berubah juga pada pengurangan vokabuler-vokabuler gerak dengan cara dirubah dengan proses pemadatan tari, pengurangan pada sekaran-sekaran, intensitas gerak. Pada iringan mengalami perubahan pada pengurangan gendhing-gendhing yang dirasa terlalu diulang-ulang dengan proses pemadatan fungsi ritus / ritual akhirnya berubah. Perubahan juga terjadi pada rias dan busana karena menyesuaikan fungsi untuk acara yang akan dipentaskan misal untuk acara dikeraton dan di luar keraton mengalami perbedaan yang sangat mencolok di luar lebih untuk kebutuhan praktis, ekonomis dan provan sehingga kebutuhan mistis / religius tidak ada. Perubahan juga terjadi pada durasi waktu pementasan yang awalnya 2-3 jam sampai hanya 15-18 menit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Adapun faktor yang mempengaruhi dan berdampak pada perubahan pada faktor internal, penonton dan seniman serta faktor eksternal, politik, ekonomi, sosial, konotasi, dan teknologi sehingga keberlanjutan Tari Srimpi Ludiramadu tidak lepas dari kalangan pemerhati / pecinta budaya untuk berupaya melestarikan sehingga unsur pelaku seni, penonton, penyelenggaraan, dan tokoh masyarakat serta masyarakat Jawa sangat penting.
Seni Tradisional Klasik yang berwujud Tari Srimpi Ludiramadu kehadirannya selain untuk hiburanyang estetik (indah), namun juga untuk pengungkapan makna yang religius, sakral, magis tergantung masyarakat yang memaknai dan kembali pada individu masyarakat.
Perkembangan kehidupan Tari Srimpi Ludiramadu yang mengangkut pelestarian seni diawali pada tahun 1970. Adapun perkembangan yang berdampak perubahan menyangkut bentuk, fungsi, dan makna. Pada bentuk berdampak adanya perubahan bentuk penyajian, pengurangan sekaran-sekaran, gerak. Bentuk sajian yang hadir untuk berbagai kepentingan dan fungsi yaitu pariwisata, materi kuliah, lomba, apresiasi seni, dan festifal. Pada fungsi sebagai hiburan untuk berbagai keperluan pada lingkup yang lebih luas. Pada makna, berdampak makna yang semakin menipis bahkan tidak bermakna, dengan hadirnya nuansa berbagai kepentingan pribadi dan golongan serta kalangan akademika. Kata kunci : Seni Tradisional Klasik Keraton, Perubahan, Bentuk, Fungsi dan Makna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
ABSTRACT The Change of Form, Function, and Meaning of Srimpi Ludiramadu Dance (Sawitri, 2012, 246 pages). Thesis, S.2, Faculty of Letters and Fine Arts, Cultural Study, Surakarta Sebelas Maret University.
Surakarta is one variant of Javanese cultures rich of classical traditional art form. Surakarta affects the existence of court traditional art. For that reason, this research aims to find out the history and origin of Srimpi Ludiramadu Dance and the change of its supporting community.
This research aims to find out the form, function, and meaning before and after changing including the factors contributing to the change. In addition, it also aims to find out the process of change and to find out the form, function and meaning of Ludira Srimpi Dance in the attempt of developing insight into art field and particularly of seeing the cultural variability in Indonesia. Another advantage of this research is as self identity and as the communication means through culture.
This research employed a descriptive qualitative method based on three theories: esthetic, social change, and structural functional. The esthetic theory was used to see the Javanese society particularly Surakarta to see the cultural particularly the classical traditional art through dance performance art. The structural theory to see and to explain the change of classical traditional art function in its supporting community and the social cultural change theory to reveal the existence of court traditional art undertaking change of meaning thereby affecting the community’s perspective on the art and coloring the culture studies.
To collect the data, three methods were used: observation, interview, and library study. The research was taken place in Central Java Province, particularly Surakarta Residency including Sukoharjo, Sragen, Boyolali and Karanganyar Regencies.
Based on the result of research, it could be concluded that the Court Classical Traditional Art can change in form, function, and meaning. The change of form was due to the need for dance performance function as the cultural tour, art festival, art mission, lecture material, vocational middle school material, performing art fair, and art appreciation. The form also changed in the reduction of movement vocabularies, by means of compressing the dance, reducing sekaran, and movement intensity. In the term of accompanying music, it changed by reducing the gendhing considered as too much repeated with the process of ritual function compression. The change also occurred in makeup and fashion to adjust with the function of event that would be performed, for example, for the event inside or outside the court that had large difference because that for outside the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
court was more for practical, economic and profane needs so that there was no mystical and religious need. The change also occurred in duration of performance from 2-3 hours to only 15-18 minutes.
The factors affecting and contributing to the change included internal factor: spectator and artist, and external factors: political, economical, social, connotation, and technology so that the sustainability of Srimpi Ludiramadu Dance was not separated from the cultural lovers to attempt to preserve it so that art performer, spectator, organization, and public figure as well as Javanese society were very important.
The existence of Classical Traditional Art in the form of Srimpi Ludiramadu Dance, in addition to be an esthetical (beautiful) entertainment, served to reveal the religious, sacred, and magic meanings depending on the community defining it and returned back to the individual society.
The development of Srimpi Ludiramadu Dance life pertaining to the art preservation was began in 1970. The development affecting the change of meaning, function, and meaning. In the term of form, it affected the change of presentation form, sekaran-sekaran reduction, and movement. The presentation form present for a variety of interest and functions such as tourism, lecture material, competition, art appreciation, and festival. In the term of function, it served as an entertainment for a wide range of needs. In the term of meaning, the meaning of it increasingly attenuated, in the presence of nuance of various personal and class as well as academician interests.
Keywords: Court Classical Traditional Art, Change, Form, Function and Meaning
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2. Masalah Penelitian ........................................................................ 9
1.2.1. Identifikasi Masalah ......................................................... 9
1.2.2. Pembatasan Masalah ....................................................... 9
1.2.3. Perumusan Masalah ......................................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 10
1.3.1. Tujuan Umum .................................................................. 10
1.3.2. Tujuan Khusus .................................................................. 11
1.4. Sistimatika Penulisan ................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 14
2.1. Kajian Pustaka................................................................................ 14
2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................... 33
2.3. Kerangaka Pemikiran..................................................................... 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 39
3.1. Bentuk dan Strategi ...................................................................... 39
3.2. Sumber Data .................................................................................. 40
3.3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 42
3.4. Validitas Data ............................................................................... 46
3.5. Teknik Analisis Data dan Penyajian Data .................................. 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 50
4.1. Asal-Usul dan Proses Penciptaan Tari Srimpi ludiramadu ........ 50
4.2. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Bentuk, Fungsi, dan
Makna yang Lama ke makna yang Baru ..................................... 52
4.3. Proses Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Lama ke Makna
Yang Baru Tari Srimpi Ludiramadu ............................................ 81
4.4. Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Bentuk, Fungsi,
dan Makna Pada Tari Srimpi Ludiramadu .................................. 139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 145
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 145
5.2 Saran .............................................................................................. 149
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 150
GLOSARIUM ........................................................................................................ 156
LAMPIRAN
NARA SUMBER
BIODATA PENULIS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Paket pariwisata budaya ....................................................................... 76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 38
Gambar 2. Trianggulasi ..................................................................................... 47
Gambar 3. Bagan proses analisis data .............................................................. 49
Gambar 4. Gawang Srimpi Ludiramadu ......................................................... 91
Gambar 5. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Maju Beksan .............................. 165
Gambar 6. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Sekaran Jengkeng ...................... 165
Gambar 7. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Tolehan Menthang Asto .............. 166
Gambar 8. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Gerak Engkyek Ludira ................. 166
Gambar 9. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Gawang Gingsul ........................... 167
Gambar 10. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Kebyok Sampur .......................... 167
Gambar 11. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Maju Beksan ............................... 168
Gambar 12. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Duduk Trapsila ........................... 168
Gambar 13. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Nekuk Sampur ............................ 169
Gambar 14. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ukel Seblak Sampur .................. 169
Gambar 15. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Menthang Asta ............................ 170
Gambar 16. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ridhong Sampur ......................... 170
Gambar 17. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Kipat Srisik ................................. 171
Gambar 18. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Beksan Laras ............................... 171
Gambar 19. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ukel Adu Manis .......................... 172
Gambar 20. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Trap Netra Kenseran ................. 172
Gambar 21. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Umpang Asto .............................. 173
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Gambar 22. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Mundur Beksan .......................... 173
Gambar 23. Srimpi Lagudhempel sajian untuk wisatawan mancanegara di
Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ...................... 174
Gambar 24. Srimpi Sangapati yang dikenal sebagai “srimpi gelas” gaya
Kasunanan Suakarta ....................................................................... 174
Gambar 25. Wireng Bandayuda sajian tari untuk wisatawan mancanegara di
Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ...................... 175
Gambar 26. Wireng Lawung sajian tari kemasan di Bangsal Smarakata
Keraton Kasunanan Surakarta ....................................................... 175
Gambar 27. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk paket wisata di Bangsal
Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ..................................... 176
Gambar 28. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk penyambutan tamu untuk
upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta .............................. 176
Gambar 29. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk penyambutan tamu untuk
upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta .............................. 177
Gambar 30. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk Pager Ayu Pada saat pasrah
manten untuk upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta ...... 177
Gambar 31. Penari Srimpi Ludiramadu sedang melakukan gerakan
jengkeng di depan para tamu undangan di Pendopo ISI
Surakarta ......................................................................................... 178
Gambar 32. Penari Srimpi Ludiramadu sedang berfoto bersama kedua
mempelai di Pendopo ISI Surakarta .............................................. 178
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Peneliti ..................................................... 162
Lampiran 2. Gambar Srimpi Ludiramadu di Keraton ............................... 165
Lampiran 3. Srimpi Ludiramadu Di Luar Keraton (Pembawaan dan
Tugas Akhir Mahasiswa ISI Surakarta dan Siswa SMKN 8
surakarta) ................................................................................ 168
Lampiran 4. Repertoar Untuk Paket Pariwisata di Keraton Kasunanan
Surakarta ................................................................................. 174
Lampiran 5. Diskripsi Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu Utuh
Sebelum Mengalami Perubahan ............................................. 179
Lampiran 6. Diskripsi Tari Srmpi Ludiramadu setelah mengalami
Perubahan (Pemadatan) .......................................................... 188
Lampiran 7. Diskripsi Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu Padat ........... 195
Lampiran 8. Rekapitulasi Makna dan Fungsi setelah Mengalami
Perubahan ............................................................................... 203
Lampiran 9. Rias dan Busana ...................................................................... 218
Lampiran 10. Perubahan Fungsi ................................................................... 220
Lampiran 11. Matrik Hasil Penelitian Tari Srimpi Ludiramadu ................ 221
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya di bidang kebudayaan yang berwujud
Tari, upacara tradisional peninggalan sejarah, peninggalan yang berwujud Tari
Tradisional Klasik banyak ragam : misal Bedhaya dan Srimpi yang di dalamnya
dengan berbagai ragam bentuk, fungsi, dan makna yang mencerminkan budaya
Indonesia yang kental dan mengakar pada keraton.
Kebudayaan merupakan suatu sistem dari tatanan kehidupan manusia,
karena kebudayaan suatu masyarakat dengan anggota masyarakatnya sendiri
tidaklah terpisahkan sebagai salah satu hasil dari kebudayaan suatu masyarakat
adalah kesenian, karena hasil dari masyarakat adalah kesenian itu sendiri tentunya
tidaklah terlepas dari berbagai segi tata kehidupan manusia dan masyarakat.
Dalam hal ini Umar Kayam menjelaskan sebagai berikut :
“Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri masyarakat yang menyangga kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian-mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru”. (Umar Kayam, 1981:38) Kesenian dapat dipahami dalam konteks makna sosial yang terkandung
didalamnya yang mencerminkan keserasian antara kesenian dengan nilai-nilai
yang mendasar atau pandangan hidup masyarakat sebagai mana keberadaan tari
tradisi Jawa tidak terlepas dari tatanan kehidupan masyarakatnya, baik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
bersifat sakral atau hubungan manusia dengan sesuatu yang dikeramatkan atau
disakralkan / suci maupun profan atau hubungan manusia dengan manusia lain.
Keanekaragaman khasanah kesenian yang berwujud seni tradisi keraton
yang mengandung sifat-sifat sakral pada dasarnya terkait dengan adanya
ungkapan-ungkapan yang tercipta pada peristiwa-peristiwa upacara yang masih
dipengaruhi budaya keraton dan adanya kepercayaan lama.
Tari Tradisional yang kita kenal sekarang terdiri dari Tari Tradisional
Surakarta dan Yogyakarta. Menurut karya sastra yang menyertai asal-usul
penciptaannya selalu dikembalikan kepada raja-raja yang berkuasa pada saat itu,
seperti panembahan senopati, Sultan Agung, Hamengku Buwana dan
Mangkunegaran Pakubuwana. Hal in sangat erat kaitannya dengan ciptaan tari
yang diciptakan oleh raja memiliki kedudukan yang lebih tinggi, karena dipercaya
kedudukan raja bersifat sama seperti dewa, yang berkuasa pada negara
makrokosmos dan mikrokosmos (Deliar Noer Penter, 1982:16).
Semua hasil karya seni penciptaannya dikembalikan kepada raja karena
raja adalah pusat kekuasaan, raja di atas segalanya. Raja sebagai tokoh besar
dinasti Mataram Baru, dianggap sebagai pencipta Tari Tradisional Jawa yang kita
kenal sekarang salah satunya Tari Srimpi Ludiramadu (Wahyu Santoso Prabowo,
1990:2).
Tari Srimpi Ludiramadu merupakan salah satu karya seni yang lahir pada
masa pemerintahan Paku Buwana IV (1618-1748) Jawa atau 1790-1820 Masehi).
Tari ini diciptakan oleh Hamengkunagara III (Putra Paku Buwana IV) setelah naik
tahta bergelar Paku Buwana V, memerintah pada tahuun 1820-1823 Masehi).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Secara implisit diungkapkan oleh pradja pangrawit bahwa tari Srimpi Ludiramadu
diciptakan oleh Hamengkunagara III penciptaannya diawali dengan penciptaan
Gendhing Ludiramadu dan dianggap sebagai tari Srimpi yang pertama di Keraton
Kasunanan Surakarta (PrajaPangrawit 1990:110-111).
Karya Seni Tari, Karawitan, Sastra, Kriya diciptakan Hamengkunagara III
dan karya tari memiliki ciri dan karakter hampir sama. Hal tersebut tidak jauh
menyimpang dari pemaparan Herbert Read bahwa karya seni terpengaruh tiga hal,
yaitu periode, generasi dan individu seniman (Read 1973:40). Tari Srimpi
Ludiramadu secara konvensional diyakini sebagai salah satu karya
Hamengkunagara III. Kemungkinan memiliki ciri dan sifat yang secara umum
melekat pada karya seni yang lahir pada masa Paku Buwana IV. Diungkapkan
oleh Pradjapangrawit bahwa hampir sebagian besar karya Hamengkunagara III
yang lahir pada masa Pakubuwana IV memiliki rasa halus, gecul dan prenes
(lincah, kenes) disini seperti watak kijang yang lincah. Hal ini cenderung
dipengaruhi oleh individu seniman (Hamengkunagara III) (Pradjapangrawit
1990:110).
Hasil kebudayaan apalagi yang berhubungan dengan karya selalu
berkembang menyesuaikan ruang dan waktu. Tari Srimpi melewati perjalanan
sejarah melewati waktu ke waktu hingga zaman kemerdekaan bahkan kini telah
memasuki era modern dimana perkembangan dinamika, kehidupan berbudaya
mengalami perubahan yang begitu drastis memberi dampak terhadap
perkembangan segi-segi kehidupan budaya yang senantiasa harus tunduk pada
perubahan nilai-nilai kehidupan zaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu, pasti akan berubah dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada kebebasan tertentu pada para individu memperkenalkan varisai dalam cara-cara berlaku dan variasi itu yang pada akhirnya dapat menjadi milik bersama dengan demikian di kemudian hari menjadi bagian dari kebudayaan (Ihromi, 1981:32). Seni tradisi sebagai bentuk karya seni warisan budaya telah mengalami
proses perjalanan yang panjang sudah barang tentu dalam perjalanannya banyak
mengalami perubahan an perkembangan sesuai dengan zaman. Seperti disebutkan
Humardani dalam buku “kumpulan kertas tentang tari”:….
Kesenian kita, juga tari tradisi sekarang, yaitu kegiatan kita dalam kehidupan kesenian sekarang, demikian adalah dan tidak dapat lain dari kegiatan budaya kita sekarang, yaitu kami dan kontemporer sifatnya. Kesenian sebagai wujud garap medium merupakan sarana bagi seniman
dalam menyampaikan pesan atau pengalaman jiwa kepada orang lain. Dengan
demikian wujud/bentuk dan kehidupannya tidak akan dapat dipisahkan dengan
manusia sebagai pelaku budaya pada zamannya.
Seperti halnya pada tari tradisi sebagai salah satu cabang seni tradisi,
keberadaan dan kehidupannya akan selalu menyesuaikan dengan kehidupan
manusia pada zamannya. Bertolak dari pemikiran tersebut diatas tari tradisi yang
hidup sekarang merupakan kesinambungan atau kelanjutan dari tradisi masa
lampau dalam hal ini adalah tari tradisi kraton untuk itu pengkajian atau
pembahasan masalah tari tradisi baik dari segi konsep maupun wujud garapnya
tidak akan dapat dilepaskan dari akarnya, yaitu tradisi masa lampau.
Kehidupan Tari tradisi kita mengenal bentuk, jenis garap, fungsi yang ada
pada Tari Srimpi (Srimpen). Bentuk garap tari mulanya lahir dan berkembang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dilingkungan kraton. Tari Srimpi yang ditarikan empat orang penari putri dengan
rias dan busana sama yang merupakan kerabat keraton, disebutkan Nanuk Rahayu
dalam buku laporan penelitian tentang “Tari Tradisi Keraton”. Pada perjalanan
waktu Tari Srimpi kini menyebar dan hidup subur diluar tembok keraton, bahkan
kini banyak srimpen yang disusun oleh seniman-seniman muda diluar tembok
keraton tembok keraton diantaranya Srimpi Singasari disusun Dwi Maryani,
Srimpi Rarasati disusun Dewi Kristianti, Srimpi Jayaningsih, disusun oleh
Sunarno dan lain-lain.
Seni yang awalnya hidup didalam tembok keraton menyesuaikan zaman
karena seni cenderung fleksibel sehingga bentuk, fungsi dan maknapun
mengalami berbagai perubahan begitu juga perkembangan yang terjadi pada
Srimpi Ludiramadu yang banyak mengalami perubahan.
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa setiap karya seni tidak dapat
diepaskan dengan lingkungan sosial budaya. Dengan kata lain bahwa antara
senman, kaya seni dan masyarakat ada pengaruh timbal balk dan tak dapat
dipisah-pisahkan. Hal ini juga berlaku dalam dunia pewayangan. Dapat dikatakan
bahwaseni selalu menyertai perjalanan hidup manusia sepanjang sejarah tidak
mungkin ditemuan kehidupan masyarakat tanpa seni, demkan ula seni tanpa
makna sosial, sampai dengan saat ini (Read dalam Sutopo, 1991:2.)
Perkembangan Seni Tari Keraton dewasa ini menunukkan kecenderungan
lebih subur ke arah hiburan dibanding dengan aspek siritual (kejiwaan yang
kreatif). Perkembangan penyajian Tari Srimi Ludiramadu yang demkian elah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
dimulai sejak + setelah 1945 dan sekitar tahun 1970 pemerintahan tidak lagi
ditangan raja melainkan pemerintah /walikota.
Modernisasi merupakan proses yang mengadaptasi institusi-institusi yang
berkembang dalam sejarah kepada fungsi-fungsi yang berubah dengan cepat yang
mencerminkan pertumbuhan pengetahuan manusia, suatu hal yang belum pernah
terjadi sebelumnya (Notosusanto, 1985:51) berbagai masalah timbul akibat proses
modernisasi. Dalam warisan budaya tradisioal tejadi perongrongan, sehingga
menimbulkan ketidakpastian fundamental dibidang norma dan nilai. Oleh sebab
itu masyarakat yang mengalami perubahan sosial yang cepat menyebabkan
warganya kehilangan identitasnya, atau menurut Sartono Kartodirjo masyarakat
kita sedang kebingungan.
Pergaulan kebudayaan makin hari semakin komplek dan cenderung
mengarah globalissi sehingga muncul kekhawatiran bahwa bentuk-bentuk
kesenian tradisional kemungkinannya akan tenggelam dilanda arus informasi,
komunikasi, dan globalisasi yang pada gilirannya bangsa itu akan kehilangan jati
dirinya. Produk karya seni berbeda dengan produk jasa atau barang-barang
komoditi. Kalau produk jasa/industri harus selalu berotientasi atau menurti selera
pasar global, apakah karya seni termasuk seni Tari Tradisi harus demikian. Seni
Tari Tradisi merupakan pengungkapan ekspresi jiwa manusia yang mendalam
yang diwujudkan dalam gerak.
Perubahan itu disebabkan faktor-faktor modernitas dan globalisasi selain
itu faktor seniman sendiri yang menghendaki perubahan karena kebutuhan misal
Srimpi Ludiramadu sebagai tari yang digunakan untuk materi kuliah, misi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
kesenian, apresasi seni, upacara penyambutan tamu (upacara perkawinan),
pariwisata budaya. Pemadatan yang dilakukan oleh ASKI dan PKJT atas prakarsa
Humardani. Perubahan yang terjadi dapat diamati pada bentuk, fungsi, makna Tari
Srimpi Ludiramadu yang berubah pada susunan tari, susunan karawitan, dan
waktu penyajian, seperti diungkap oleh Nanuk, bahwa perubahan menyebabkan
operubahan bentuk yaitu penggunaan vokabuler gerak, susunan tari, dan beberapa
unsur garab lainnya perubahan yang melekat pada penggunaan vokabuler gerak
meliputi vokabuler gerak pada susunan tari, penggarapan volume, tempo, irama
dan tekanan gerak tari. Hal ini akan berkaitan dengan penggarapan karawitan tari
dan waktu penyajiannya, walaupun penyajian tidak semua gerak berubah
(1982:22).
Kemajuan teknologi komunikasi membuat jarak dunia semakin kecil dan
kebudayaan-kebudayaan yang semula tumbuh dan berkembang di lingkungannya
sendiri tetapi sekarang terjadi percampuran dan silang budaya. Hal itu terjadi oleh
karena pengaruh kebudayaan industri yang progresif berdasarkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknlogi.
Kehidupan kesenian juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan modern,
dan tidak jarang bentuk-bentuk kesenian diciptakan untuk keperluan pasar, artinya
kesenian itu disajikan mementingkan unsur hiburan dangkal. Demikian pula
dalam pertunjukan Tari Tradisional itu juga terjadi. Pertunjukan Tari Tradisi
sekarang ini ada kecenderungan mengikuti selera pasar dan cenderung pada hal-
hal yang glamor (mewah/wah) dan mengabaikan nilai estetis (keindahan). Kita
maklumi bahwa seniman tari dan penari memiliki hak untuk mempertahankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
hidupnya, namun demikian mereka perlu mengembangkan wawasan seni yang
positif, yaitu bahwa seni merupakan ekspresi jiwa yang estetis.
Dengan adanya perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi
Ludiramadu sehingga banyak pertanyaan yang perlu diungkap pada Tari Srimpi
Ludiramadu mengalami berbagai hal dengan faktor-faktor yang mendrong terjadi
perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna sebagaimana disebutkan
pradjapangrawit. Dalam Tari Srimpi Ludiramadu memiliki sifat dan watak alus,
gecul, prenes, Wedha pradanggo. (Pradjapangrawit 1990:110)
Sehubungan dengan hal di atas, perlu adanya studi yang membahas Tari
Srimpi Ludiramadu mengalami perubahan disebabkan aspek-aspek apa saja dan
bentuk, fungsi, dan makna setelah mengalami perubahan apakah mempengaruhi
kelangsungan dan perkembangan pada Tari Srimpi Ludiramadu. Fenomena yang
terjadi dalam jagad seni tari tradisi sekarang ini mengisyaratkan adanya
pergeseran cara pandang masyarakat baik para seniman dan penari serta pelaku
budaya.
Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, penulis ingin mengetahui
lebih mendalam mengenai perubahan bentuk, fungsi dan makna Tari Srimpi
Ludiramadu yang dipengaruhi berbagai aspek perubahan. Perubahan yang dialami
Tari Srimpi Ludiramadu membuat keeksisan dan keberadaan Tari Srimpi
Ludiramadu diharapkan menjadi lebih baik atau sama sekali tidak memiliki
pengaruh baik didalam atau diluar tembok keraton.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1.2 Masalah Penelitian
1.2.1. Identifikasi Masalah
Penelitian Tari Srimpi Ludiramadu sebenarnya sudah banyak yang menulis
yang dihasilkan oleh para ilmuan. Perhatian para ilmuan pada umumnya masih
ditujukan pada perubahan bentuk tarinya. Akan tetapi untuk mengungkap
pengetahuan pada Tari Srimpi Ludiramadu serta perubahan pada bentuk, fungsi,
dan makna yang tersimpan dalam kebudayaan Jawa yang ditulis pada gendhing
srimpi ludiramadura dan dinamai srimpi ludiramadu masih sedikit.
Analisis mengenai bentuk, fungsi, dan makna salah satu usaha untuk
menutupi kekurangan dari berbagai penelitian Tari Srimpi Ludiramadu yang
mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan makna untuk melihat seberapa
pengaruh dalam perubahan yang terjadi pada makna yang terkandung dalam mitos
Tari Srimpi yang sakral di keraton dengan melakukan pendekatan pada bentuk,
fungsi, dan makna. Bahwa disini perubahan sosial budaya dapat diungkap dengan
perubahan makna yang terjadi pada bentuk gerak, rias, costum, perubahan fungsi
pertunjukan, dan juga tanggapan masyarakat mengenai makna itu di era yang
sekarang.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, permasalahan yang berkaitan dengan
Tari Srimpi Ludiramadu yang sesungguhnya ada perubahan pada bentuk, fungsi,
dan makna dan disitu secara tidak sadar masyarakat Jawa merubah semua makna
yang ada pada bentuk, fungsi, dan makna sehingga perlu diketahui dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
menggunakan analisis makna yang berhubungan dengan mitos dari Roland
Barthes dan perubahan pada segi sosial budaya oleh William, sehingga penelitian
ini lebih ditekankan pada analisis yang berhubungan pada bentuk, fungsi, dan
makna yang menggunakan teori perubahan sosial budaya, estetika, mitos,
struktural fungsional, dan perubahan oleh Micheal Foucault.
1.2.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah asal-usul dan proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu?
2. Bagaimanakah faktor-faktor yang mendorong perubahan pada bentuk, fungsi
dan makna dari lama yang ke baru?
3. Bagaimanakah proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi
Ludiramadu?
4. Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap perubahan bentuk, fungsi, dan
makna Tari Srimpi Ludiramadu
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan
budaya pada masyarakat tradisi yang keberadaan di keraton yang mengalami
perubahan bentuk, fungsi, dan makna sering perkembangan waktu sekarang dalam
pengembangan seni tradisi dapat digunakan untuk pariwisata budaya, festifal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
resepsi pernikahan, pertunjukan tari. Pada dasarnya seni tradisi untuk dapat
menemukan dan memperjelas perubahan dalam rangka memperkaya budaya
nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan dalam upaya mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang kebudayaan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian dengan arah kajian budaya (culture studies) ini
bertujuan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam
penelitian ini, yakni sebagai berikut:
1.3.2.1. Untuk mengetahui asal-usul dan proses penciptaan Tari Srimpi
Ludiramadu
1.3.2.2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mendorong perubahan bentuk,
fungsi dan makna yang baru
1.3.2.3. Untuk mengetahui proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna yang baru
1.3.2.4. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap perubahan bentuk,
fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan digunakan adalah sebagai berikut:
Pertama, menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi tonggak yang
diperlukan dalam penelitian dan merupakan landasan untuk pembahasan bab-bab
berikutnya. Pembahasan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
belakang masalah dijelaskan alasan-alasan mengapa perubahan bentuk, fungsi,
dan makna Tari Srimpi Ludiromadu dapat dipaparkan latar belakang masalah
dengan menjelaskan perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi
Ludiromadu perlu diteliti. Dari latar belakang yang ada kemudian dirumusan
masalah selanjutnya menentukan tujuan penelitian yang ingin dicapai sesuai
rumusan masalah yang ada. Manfaat penelitian berisi harapan semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya kajian budaya. Dalam sistimatika tulisan berisi tentang rincian isi yang
akan disajikan dalam penulisan.
Kedua, pada bab dua, tinjauan pustaka terdiri dari kajian pustaka,
penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. Kajian pustaka merupakan konsep-
konsep teori sesuai dengan perubahan bentuk, fungsi, dan makna dalam penelitian
ini. Penelitian terdahulu berisi perbandingan penelitian dengan tema yang sama
mengenai Tari Tradisional Srimpi Ludiramadu namun berbeda fokus masalahnya
berbeda kerangka pemikiran menjelaskan arah dan kerangka pemikiran dalam
penelitian ini.
Ketiga, pada bab tiga, metode penelitian dari bentuk dan strategi, sumber
data, teknik pengumpulan data, validitas data, teknik analisis dan penyajian data.
Bentuk yang diambil adalah diskriptif dengan strategi stulegi studi kasus tunggal.
Dalam sumber data akan dijelaskan data diperoleh dari sumber mana saja dan
bagaimana teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini. Setelah data
diperoleh kemudian dilakukan validitas data sebelum data disajikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Keempat, pada bab empat, hasil penelitian dan pembahasan berisi tentang
hasil penelitian yakni gambaran umum Tari Srimpi Ludiramadu, pencipta tari,
sejarah penciptaan tari, faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat.
Data-data tersebut kemudian dianalisis menggunakan konsep teori sesuai dalam
bab dua tinjauan pustaka.
Kelima, pada bab lima, penutup berisi kesimpulan dari pembahasan bab
sebelumnya. Saran disampaikan dengan harapan dapat bermanfaat bagi
pengembangan seni dan budaya Jawa.
Halaman berikutnya daftar pustaka dan lampiran dimana dalam halaman
tersebut dituliskan sumber-sumber rujukan yang diambil dalam penelitian ini,
lampiran pendukung penelitian yang berupa dokumentasi/foto yang berkaitan
dengan penelitian ini dan daftar informan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
Kajian tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang dilakukan dalam disiplin
ilmu kajian budaya merupakan kajian mengenai perubahan bentuk, fungsi, dan
makna sebagai sebuah simbol budaya masyarakat di luar keraton. Dalam kajian
ini tidak mengandalkan pengertian srimpi, bentuk srimpi secara umum atau
perwujudan srimpi dalam bentuk penyajian saja, tetapi dikembangkan lebih lanjut
pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan.
2.1.1. Makna Simbolik Tari Srimpi Bagi Masyarakat Tradisi
Geertz dalam studinya tentang konsep kebudayaan menunjukkan dengan
cukup konsisten bahwa konsep kebudayaan selalu terdiri dari dua bagian utama
yaitu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, sistem makna dan sistem nilai.
Bagian pertama dinamakan aspek kognitif kebudayaan, sedangkan bagian lainnya
dinamakan aspek evaluatif kebudayaan.
Aspek kognitif ini sebagai sebuah bentuk sentasi dinamakan model of,
sedangkan aspek representasi dinamakan model for. Model yang pertama model of
mempresentasikan kenyataan yang ada, seperti halnya dalam hal ini adalah Tari
Srimpi Ludiramadu di keraton Surakarta yang memiliki struktur gerak, pola lantai,
costum, rias adalah rias pada Tari Tradisi Jawa yang memerankan gerak adalah
manusia. Sebaliknya sistem nilai atau evaluatif berupa model for tidak
merepresentasikan suatu kenyataan yang sudah ada melainkan suatu kenyataan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
yang masih harus dibentuk atau diwujudkan dalam arti sebuah Tari Srimpi
Ludiramadu dalam kelompok seniman, koreografer atau kesenian sebagai
pariwisata budaya, apresiasi seni, yang harus dibanun atau diwujudkan.
Disini suatu struktur non simbolis atau struktur fisik (Tari Srimpi
Ludiramadu) harus disesuaikan dengan struktur simbolis berupa pariwisata
budaya, festifal seni, apresiasi seni bukan pada kapasitas penghayatan seni
melainkan disesuaikan seniman dan koreografer yang menata dan yang
menggunakannya. Sistem simbol memungkinkan interpretasi. Adapun titik
pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol
dinamakan makna (system of meaning). Melalui makna sebagai suatu instansi
perantara maka sebuah simbol dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi
suatu sistem pengetahuan (Geertz, pengantar Kleden, 2008: XIV-XV).
Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri
yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000:17). Lebih
lanjut Herusatoto mengartikan sim dapat diartikan penyatuan dua hal yang lebih
menjadi satu. Dalam simbolisme subyek menyatukan dua hal yang menjadi satu.
Simbul dan simbolisasi dapat diartikan dua macam pemikiran yang menjadi satu
yang imanen (Van Peursen, 1976). Dirasa pada diri manusia serba terkurung,
masih terpengaruh unsur lain. Di pihak lain ada pemikiran yang mengatakan
bahwa simbol itu transenden dan dalam dialog dengan yang lain akan ditemukan
jawaban. Menurut pandangan pihak ini simbol tidak hanya berdimensi horisontal
imanen melainkan juga berdimensi transjenden, dapat dikatakan wilayah simbol
berdimensi metafisika (Sumiyati, 1989:3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Berapa pakar antropologi termasuk Hans J. Daeng (2000) menyetujui
pendapat Ernst (assier bahwa manusia-manusia disebut animal symbolicum. Hal
ini karena manusia sesuai struktur anatominya mempunyai reseptor dan sistem
efektor. Sistem reseptor berfungsi menerima rangsangan dari luar. Sedangkan
sistem efektor berfungsi sebagai pareaksi terhadap rangsangan dari luar. Kedua
sistem itu dalam satu ikatan yang sama disebut lingkaran fungsional binatang.
Lingkaran fungsional itu dapat berubah secara kuantitatif maupun kualitatif.
Faktor itulah yang membedakan manusia dengan binatang.
Oleh karena itu manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan
simbol-simbol (Sumiyati, 1989:2). Micheal Faucault menekankan pada bahwa
manusia berkomunikasi dengan sesama menggunakan tanda-tanda dan kode-kode
yang tersusun secara realitas yang diciptakan oleh penari, pencipta tari, penonton,
dan penghayat. Memahami suatu karya tidak akan terlepas dari bentuk karya itu
sehingga digunakan untuk komunikasi dengan sesama dan sebagai penunjuk yang
berisikan tentang pengetahuan, (dalam Budiman, 2004:55-57)
Perubahan juga dipopulerkan oleh Micheal Foucault dalam pandangannya
perubahan yang diterima oleh masyarakat merupakan sebuah kebenaran
(Foucault, 2002:143) secara umum manusia berada dibawah kekuatan kekuasaan
yang lebih tinggi dan bagai terpenjara adanya aturan-aturan sebagai pengontrol
dari masyarakat. Kata perubahan memiliki prospektif yang sangat beragam terkait
dengan disiplin tertentu karena adanya pandangan yang berbentuk kekuasaan
sehingga mampu untuk mentransformasi keyakinan dari masyarakat bahwa
perubahan itu benar. Meurut Chrish Braker (2008:83) bahwa Micheal Foucault
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
telah menyatukan perubahan yang ada dimasyarakat yang juga yang terjadi pada
kalangan penguasa sehingga dapat merubah pandangan masyarakat sehingga
makna obyek nanti akan berpengaruh pada perubahan sosial masyarakat hal ini
sebagai struktur yang bergerak dalam praktek sosial budaya sehingga adanya
kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial budaya masyarakat. Hal ini
disebabkan adanya kebenaran yang diyakini yang membentuk individu-individu
yang saling mempengaruhi dan akhirnya perubahan itu benar-benar fakta dan
patut untuk ditiru dan dijalankan di masyarakat.
Perubahan sesuai dengan perkembangan manusia atau masyarakat
disesuaikan dalam alam pikiran anggota kelompok, perubahan pada perilaku pada
awalnya dilarang tetapi pada suatu saat kemudian diperbolehkan. Proses
perubahan berawal adanya daya pikir dan motivasi anggota kelompok sosial
dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan menjelaskan tentang
fungsi kebudayan bagi masyarakat sebagai hasil karya dari perilaku, nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik perilaku
manusia yang tercermin dalam perilaku kebudayaan William A Haviland,
(1988:331). Dalam pandangan Soedarsono 1989-1990 bahwa perubahan yang
dialami pada seni pertunjukan Jawa merupakan masa transisi beranjak pada segi
masa lampau yang dikemas terkait dengan usaha pengembangan budaya untuk
keberadaan kebudayaan agar tetap lestari walaupun mempengaruhi perubahan
pada bentuk, fungsi, dan makna pada tari tradisi Jawa cenderung sebagai satu
gejala komersialisasi seni budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Karya Tari Srimpi Ludiramadu menggambarkan putri yang memiliki watak
seorang prajurit. Ditarikan empat orang gadis yang menggunakan busana yang
sama dan melakukan gerak yang sama pula, Tari Srimpi Ludiramadu berwatak
prajurit : “beksan enggal wau kaparingan nama beksan srimpi, punika
aggambaraken putri awatak prajurit.” (Praja Pangrawit, 1965:24). Terjemahan
dari serat : tari diberi nama srimpi, menggambarkan empat penari putri yang
berkarakter prajurit.
Tari Srimpi Ludiramadu berkarakter agung, berwibawa dan halus menurut
pendapat Tasman juga memiliki rasa sigrak, gagah dan prenes. Penyusunan Tari
Srimpi Ludiramadu, Hamengkunagara III dibantu oleh abdi dalem Langen
Mataya Kadipaten. Hamengkunagara III secara langsung memberikan contoh dan
tuntunan pada proses latihan Tari Srimpi Ludiramadu dalam Soemantri
Soemosapoetra, (1956:25).
Bentuk merupakan isi dari tari misal bentuk gerak, bentuk rias, kostum dan
juga pada bentuk pola lantai penari serta tempat yang digunakan untuk menari
pada Tari Srimpi Ludiramadu. Pada Tari Srimpi Ludiramadu bahwa tari ini hidup
dan berkembang pada lingkungan keraton sejajan dengan tari-tari srimpi yang
lainnya misal :
1. Srimpi Ludiramadu
2. Srimpi Dhempel
3. Srimpi Gandhakusuma
4. Srimpi Anglir Mendung
5. Srimpi Lobong
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
6. Srimpi Bondan
7. Srimpi Tameng Gita
8. Srimpi Gambir Sawit
9. Srimpi Glondongpring
10. Srimpi Sangupati
Pada Tari Srimpi Ludiramadu terdapat pada buku serat pasinden bedhaya
srimpi oleh sastra kartika (1985:419) dapat diungkap srimpi-srimpi yang sering
dipentaskan untuk pelestarian dan pengembangan karya seni tari tradisi. Nama
Srimpi diambil dari nama gendhing (iringan yang mengiringnya), ada juga
pinciptaanya misal srimpi ludiramadu dengan gendhing ludiramadura, srimpi
dhempel gendhing dhempel, srimpi lobong dengan gendhing lobong dan Srimpi
Glondong Pring dengan gending juga glondong pring dan lain sebagainya.
Penari Srimpi ada empat penari yang memiliki nama masing-masing yaitu
Batak, Gulu, Dhadha dan Buncit. Nama tersebut menurut pandangan orang Jawa
ada kaitan dengan bagian tubuh manusia. Batak digambarkan sebagai kepala yang
mewujudkan pikir dan jiwa, Gulu menunjukkan bagian leher; Dhadha
menunjukkan bagian dada dan buncit menunjukkan bagian organ bawah yaitu
dubur atau anus (organ pengeluaran).
Manusia hidup pada kenyataannya dipengaruhi empat nafsu yang saling
berebut. Adakalanya nafsu supiah mempengaruhi nafsu aluamah, nafsu aluamah
mempengaruhi nafsu mutmainah, nafsu-nafsu tidak ada yang kalah dan tidak ada
yang menang. Di dalam makalah Koes Murtiah 23 Juli (1991:3) menyebutkan
bahwa Tari Srimpi juga mengandung sifat “edukatif” ialah manusia sedapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mungkin harus dapat mengendalikan nafsu yang kurang baik agar tidak
mempengaruhi hidup manusia.
Perilaku yang kurang baik pada Tari Srimpi Ludiramadu pada saat gerakan
perang, panahan, menggambarkan bahwa manusia terpengaruh nafsu yang kurang
baik, manusia harus berusaha menambah keyakinan serta kepercayaan, bahwa
sesungguhnya manusia harus dapat berperilaku seimbang sehingga tidak dikuasai
hawa nafsu jahat.
Di samping itu jumlah empat pada penari srimpi juga bisa dihubungkan
dengan kelahiran manusia, menurut kepercayaan orang Jawa/falsafah Jawa bahwa
pajupat diartikan dengan yang mengelilingi hidup manusia, pancer atau yang ada
di tengah / pusat diartikan manusia. (Nanik Sri Hartini, 1988:10-11). Sebetulnya
manusia sejak lahir dan menghirup udara yang pertama kali ia tidak sendiri tetapi
sudah memiliki saudara; yaitu :
1. Kakang kawah, sebagai saudara tua atau kakak karena lahir terlebih dahulu.
2. Adi ari-ari, adalah adik, karena ari-ari lahir setelah bayi
3. Getih putih (darah putih)
4. Getih abang (darah merah)
Jumlah empat pada srimpi ludiramadu bahwa empat melambangkan napsu
yang terdapat dalam diri manusia, yaitu :
1. nafsu amarah : manusia memiliki sifat mudah marah sulit mengendalikan
emosi sehingga grusa grusu (tergesa-gesa) memutuskan berbagai hal atau
masalah, cepat mengambil tindakan tanpa berfikir yang matang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2. nafsu aluamah : manusia biasa sulit menyeimbangkan kehidupan didunia dan
akhirat. Kebutuhan di dunia kadang lebih dipentingkan dibanding kehidupan
di alam kelanggengan (kekal). Nafsu serakah pada diri manusia sulit
dikendalikan apalagi minimnya iman pada diri manusia
3. nafsu supiah : manusia memiliki sifat pelupa (lupa dengan yang menciptakan /
Tuhan akhirnya bersikap sombong, congkak selalu merasa dirinya pintar,
cantik, yang paling kaya, dan lain-lain).
nafsu mutmainah : manusia harus memiliki sifat mutmainah sebagai penyeimbang
sikap-sikap yang diatas sehingga kehidupan akan seimbang dan manusia akan
sabar dengan segala cobaan, rintangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi
sehingga hidup didunia dipersiapkan dengan baik apalagi kehidupan yang akan
datang (akhirat).
2.1.2. Tari Srimpi Ludiramadu Bagian Konsep Tradisi Besar
Konsep tradisi besar menurut Umar Kayam dalam Anis Sujana, 2007
menggambarkan sebagai kebudayaan yang berada didalam keraton yang
menciptakan karya-karya dan kebudayaan adalah Raja dan kerabat keraton atau
putra-putri raja (Sujana, 2007:263). Tari Srimpi Ludiramadu masuk pada budaya
keraton yang tradisi besar karena kebudayaan yang berasal dari raja dan hidup dan
proses penciptaan tari ada di keraton.
Tari srimpi dikatakan budaya keraton karena yang menciptakan Tari
Srimpi Ludiramadu adalah hasil karya Hamengkunagara III lahir pada
pemerintahan Paku Buwana IV. Pada masa itu beliau belum naik tahta sehingga
bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat disimak pada Wedhapradangga yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
secara eksplisit menyebutkan sebelum menjadi raja, Hamengkunagara III banyak
menciptakan karya seni : “Ingkang Sinuhun wau wiwit kala dereng jumeneng nata
sampun kathah iyasan-iyasan utawi anggitan dalem”. Terjemahan : sinuwun
memiliki bakat dalam penciptaan seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi
raja dan kemampuan sudah kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya.
(Pradjapangrawit, 1990:11). Ungkapan ini secara lisan dikuatkan oleh
K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar karya Paku
Buwana V. Karya-karya Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku
Buwana IV : artinya, karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V
semasa menduduki jabatan Pangeran Adipati Anom / Putra Mahkota (Wahyu
Santoso Prabowo, Wawancara 5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan
tersebut pada pemaparan selanjutnya penulis cenderung menggunakan sebutan
Hamengkunagara III setelah menjadi raja dengan gelar Paku Buwana V.
Kegiatan berkesenian Hamengkunagara III dapat terungkap di
Wedhapradangga sebagai berikut :
Kacariyos kala raksih jumeneng kanjeng gusti pangeran adipati anom, saben pasewakan ing dinten senen miwah kemis, saderengipun miyos dalem, kanjeng gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus ang rawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (sampeyan balem ingkang dinuhun Paku Buwana IV) sampun katinga/lenggah ing kajogan prabasuyaso, kanjeng gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbalkacengkukaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang kanjeng gusti, lajeng sami tumungkul ajrih (Pradjapangrawit, 1990:1170.
Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap ada latihan karawitan yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati.
Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini
dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV.
Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imbal
(pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan panutan pada
bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai
berikut :
Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbal-imbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118) Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari tayub/ngibing).
Diungkapkan oleh Wahyu Santoso Probowo bahwa Hamengkunagara III
memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa
pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara III,
karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Pemaparan tersebut ditegaskan
oleh Dipokusumo bahwa pada masa pemerintahan Paku Buwana IV hampir
seluruh kriya seni yang ada adalah karya Hamengkunagar III. Bahkan karya Paku
Buwana IV mendapat pengaruh dari karya Hamengkunagara III dan juga karya
Hamengkunagara III dipersembahkan sebagian besar untuk Paku Buwana IV
(Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 5 Desember 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Penciptaan karya seni Hamengkunagara III dalam bentuk gendhing
(iringan gamelan Jawa), misal : Sendhon, Bancak, Santiswara (gendhing trebang),
gendhing gambir sawit (Pradja Pangrawit, 1990:113).
Hamengkunagara III selain menciptakan karya yang erupa tari keraton
juga menciptakan karya-karya yang lain berupa sastra, keris, gendhing-gendhing
tari sampai tari-tari yang bersifat lucu dan gejul. Karya-karya Hamengkunagara
yang sampai sekarang diyakini memiliki kreativitas yang sangat tinggi karena
diciptakan oleh putra raja, karya-karyanya sebagai berikut:
1. Sastra : Serat Centhini / Suluk Tembang Raras (Ajaran Agama Islam dan
berbagai budaya tradisi Jawa yang meliputi ngelmu (ilmu), gendhing
(iringan), beksan (tari), masakan, petung Jawa (perhitungan hari), legenda
(cerita).
2. Kriya (Undhagi dan Tosan Aji : Keris/Tosan Aji, topeng, perahu dengan
hiasan canthik berwujud patung muka Rajamala setelah selesai, diberi nama
Kyai Rajamala dan perahunya disebut Perahu Rajamala.
3. Karawitan (gendhing-gendhing)/iringan : Gendhing gambirsawit Pancerana
pelog nem, Ayun-ayun pelog nem, sumyar pelog barang, Ladrang Manis
pelog lima, Gegot pelog nem, Bribil slendro manyura, loro-loro slendro
manyura.
Gendhing Trebang : kembang gayam pelog lima, kaum dhawuk pelog barang,
kidung-kidung pelog barang, dan kayon pelog barang. Gendhing trebang
disebut santi swara
4. Tari : Karya Tari Penthul (lucu/gecul), Tari Srimpi Ludiramadu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2.1.3. Tari Srimpi sebagai Tari Sakral
Tari memiliki makna yang sakral karena hidup dan berkembang pada
wilayah keraton dan digunakan untuk upacara pada acara-acara penting di
keraton, dibilang sakral karena pementasannya selalu menggunakan ritual sesaji
yang lengkap misalnya pisang, sambal goreng, nasi wuduk, tumpeng, cenggereng,
jadah wajik, ingkung, dan lain-lain.
Di tempat pertunjukan diberi tempat tungku berbentuk kembang setaman
dan juga dupa. Sebelum pertunjukan dimulai ada pawang yang berasal dari
keraton menyalakan dupa itu supaya upacara yang ada dikeraton yang
menggunakan Tari Srimpi Ludiramadu dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Kesakralannya dikarenakan bahwa tari ini hasil karya putra raja sehingga
makna yang ada dalam tari memiliki makna yang sangat dalam. Kesakralan juga
dikarenakan pada waktu pementasan raja jumeneng di singgasananya sehingga
pada saat pementasan keadaannya hening (sunyi senyap) hal ini membuat kesan
suasananya terkesan magis.
2.1.4. Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu bagi Keraton
Dalam Keraton Surakarta tari srimpi digunakan untuk wetonan raja
ingkang sinuwun sehingga menggunakan prosesi secara lengkap dan sesaji
lengkap. Wetonan bagi pihak keraton suatu prosesi yang mutlak di laksanakan
karena untuk memperingati hari kelahiran raja ke dunia fana. Sehingga harus
selalu di peringati untuk tidak lupa akan kelahiran dan umur yang sudah diberikan
kepada-Nya dan sebagai ucapan rasa syukur diberikan nikmat kesehatan yang
tidak ternilai sehingga tidak dapat dinilai denang uang dan apapun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Bentuk sesaji dalam wetonan: sesuai gudangan / urap yang terdiri sayuran
kangkung, kenikir, kacang panjang, thokolan (kecambah), wortel, buncis,
mbayung dan lain-lain, ayam Jawa (ingkong) harus ayam jantan, telur, jenang
abang (merah) dan putih (warna putih), tumpeng menyesuaikan jenis kelamin
laki-laki berbentuk kerucut dan perempuan berbentuk ceper (leter), memakai alas
dan pisang diletakkan di nampan atau (tampah) selain itu menggunakan sesaji nasi
uduk, golong asahan, sambel goreng, peyek, serundeng, kerupuk, lentho, apem
jawa dan lain-lain.
Berfungsi juga untuk penyambutan tamu kerajaan Tari Srimpi Ludiramadu
merupakan Tari Klasik keraton yang juga berfungsi untuk penyambutan tamu
kerajaan misalkan ada tamu dari kerajaan Malaysia, Belanda bahkan dari kerajaan
Yogyakarta ataupun tamu-tamu penting misalnya: Presiden, Menteri pejabat
pemerintah, Walikota.
2.1.5. Perubahan Makna dan Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu
Kebudayaan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu kebudayaan itu
diciptakan, dilestarikan, atau bahkan dirubah (Abdullah, 2006:4). Yang bertujuan
untuk orientasi nilai baru dalam bentuk lain yang berhubungan dengan tata ruang
yang telah menunjukkan pergeseran kekuasaan dan kepentingan. Kalau
kebudayaan sebenarnya memiliki kedudukan yang mapan dan bagus sehingga
memiliki kekuatan dominan sehingga dapat sebagai penentu karakter dari suatu
bentuk ruang sosial, negara pada akhirnya dapat beralih fungsi dan juga sebagai
pengambil peran dengan redivinsi ruang untuk mendukung suatu hubungan
kekuasaan, Giddens (dalam Abdullah, 2006:4) menyebut ini sebagai reproduction
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
of locality, yaitu suatu proses pendefisian ulang ruang atau bahkan pembangunan
ruang dengan tujuan-tujuan untuk menjamin pelestarian dari kekuasaan kelompok
yang memerintah.
Dalam perubahan kekuasaan membuat mementingkan kepentingan
perseorangan / individual dan kelompok, sehingga berakibat hasil karya
kebudayaan dimanfaatkan untuk kepentingan legitimasi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Simbol-simbol kebudayaan-kebudayaan kemudian, tidak lagi
mendapatkan suatu pengaruh generiknya sebagai pedoman atau acuan bagi
tingkah laku. Simbol dan maknanya menjadi suatu obyek yang kehadirannya
dihasilkan suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah konsultasi dengan
kepentingan masing-masing. Menurut Friedman dan Miller, (dalam Abdullah,
2006:5) Kebudayaan yang dibentuk kemudian dilihat sebagai budaya diferensial
yang tumbuh akibat dari adanya intraksi yang terus menerus mengalami
perubahan. Manusia dalam hal ini dapat dikatakan sebagai aktor yang menentukan
pilihan-pilihan dan mebuat keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri pendapat
ingold (dalam Abdullah, 2006:5). Di sisi lain harus diperhatikan secara seksama
bahwa di satu sisi pilihan-pilihan yang tersedia selalu sesuai dengan yang
dibutuhkan dan diharapkan, dan disisi lain keputusan harus tunduk dikarenakan
tekanan. Dalam hal ini kelas, usia, status, gender, adalah suatu pokok sebagai
pusat untuk yang perlu diperhatikan, sehingga makna kebudayaan menjadi suatu
yang batas-batasnya tidak tegas tergantung pada posisi struktur masing-masing
orang atau kelompok (Abdullah, 2006:6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Kebudayaan tidak dapat lari dari kenyataan bahwa zaman akan terus
berkembang kearah yang modern tidak berhenti pada satu titik saja, terjadi
perubahan pada bentuk, fungsi dan makna yang awalnya berbentuk dengan durasi
waktu + 2 jam, costum pakem, rias alat dan bentuk tradisi ditentukan, sekarang
terjadi perubahan menjadi menyesuaikan fungsinya dan maknapun disesuaikan
pada siapa dan kebutuhan apa makna digunakan. Tari Srimpi berfungsi sebagai
wetonan dan penyambutan tamu beralih menjadi pariwisata budaya, apresiasi,
pertunjukan, festifal bahkan untuk upacara mantenan (mantu) bahkan Tari Srimpi
dengan garab iringan, costum, rias membuat seni tradisi yang menghibur.
Pada dasarnya bentuk gerak pada tari tradisi memiliki gerak yang
diciptakan sesuai dengan kebutuhan sehingga dipengaruhi oleh materi, energi, dan
waktu. Menurut Tasman (1996:70) ciri gerak antara lain:
2.1.4.1. Perpindahan materi yang mengandung energi dalam suatu ruang dalam
ukuran waktu.
2.1.4.2. Dorongan energi pada suatu materi dalam ruang dan waktu
2.1.4.3. Penggunaan ruang oleh suatu materi yang berenergi dalam ukuran waktu
2.1.4.4. Cara menggunakan waktu dan ruang oleh suatu materi yang bertenaga
Perwujudan kebudayaan, kesenian tradisional juga memiliki peranan atau
fungsi yang penting dalam masyarakat pendukungnya. Dengan mengetahui fungsi
akan diketahui pula peranannya. Kesenian tradisional memiliki fungsi yang
berbeda-beda. Perbedaan itu berhubungan erat dengan sejarah kesenian itu
diciptakan. Peran yang dimainkan bersifat sakral, magis dan religius digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
untuk kepentingan upacara keagamaan, upacara tradisi, seni pertunjukan atau
untuk hiburan.
Seni memiliki fungsi yang beraneka ragam untuk kehidupan manusia
bahkan bangsa dan negara dan untuk kesejahteraan masyarakat. Seni berfungsi
menurut Meriem dalam Jazuki (1994:95) membagi fungsi seni menjadi beberapa
bagian, yaitu : (1) Sebagai sarana upacara; (2) Sebagai respon fisik; (3) sebagai
hiburan; (4) sebagai sarana komunikasi; (5) untuk persembahan; (6) enjaga
keseimbangan membuat harmonisasi dari segi norma dalam masyarakat; (7)
pondasi kehidupan institusi sosial; (8) kestabilan budaya; (9) integrasi
kemasyarakatan.
Tari tradisi sebagai apresiasi seni, seni pertunjukan, festifal, dan pariwisata
dengan mempertimbangkan nilai estetis.
Unity atau keutuhan adalah menunjukkan adanya sesuatu yang utuh, yaitu
adanya hubungan yang berarti, bermakna antara semua unsur-unsurnya, yang satu
memerlukan kehadiran yang lain, dan saling mengisi.
Intensity atau penonjolan pada bentuk karya seni mempunyai maksud
mengarahkan perhatian orang yang menikmatinya kesuatu hal yang dipandang
lebih penting dari yang lain. Penonjolan dapat dicapai dengan cara misalnya
mengeraskan suara pada musik dan melakukan perubahan kecepatan gerak pada
sebuah tari. Dengan terarah, yang akan menimbulkan suatu daya tarik atau
kekuatan pada karya. Kekuatan atau penonjolan ini yang akhirnya akan
memberikan rasa indah dan juga memberikan ciri pada suatu karya seni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Complexity atau kerumitan yang ada pada suatu karya seni menurutnya
juga merupakan salah satu yang menyebabkan karya seni menjadi lebih bermutu.
Kerumitan dapat dihadirkan dengan cara diantaranya membuat adanya hal-hal
yang menjadikan sesuatu menjadi kontras, seperti kuat dan tidak kuat, seimbang
dan tidak seimbang. Keseimbangan dalam bentuk karya seni terjadi oleh adanya
dua bagian yang sama seperti misalnya tubuh manusia, pinang dibelah dua, sayap
kupu-kupu dan sebagainya. Keseimbangan semacam ini dapat memberikan rasa
tenang juga memberi kesan stabil. Sebalinya kerumitan juga dapat dihadirkan oleh
adanya ketidak seimbangan, yang menimbulkan kesan tidak stabil dan ada rasa
dinamis, seolah-olah akan berubah, berkesan akan bergerak. Dengan faktor inilah
ketidakseimbangan juga mempunyai daya tarik bagi orang yang menyaksikannya.
De Witt H. Parker (1945) menyebutkan, keseimbangan sebagai sebuah prinsip
bentuk estetik adalah persamaan dari elemen-elemen yang bertentangan atau
berlawanan.
Dalam keseimbangan yang dimaksud, walaupun elemen-elemen tersebut
bertentangan, namun yang satu memerlukan kehadiran yang lain dan secara
bersama-sama menciptakan kesatuan. Seperti halnya dalam tari berpasangan yang
masing-masing bergerak ke arah yang berlawanan, dan bertentangan, perbedaan
ini untuk mencapai keseimbangan dalam ruang.
Unsur penonjolan atau intensity yang dapat memberikan kekuatan pada
karya seni yang dikemukakan monroe ini digunakan untuk mengkaji nilai estetik
yang ada pada seni Tari Srimpi Ludiramadu. Unsur keutuhan (unity) dan unsur
kerumitan (complexity) digunakan untuk melihat bentuk dan makna Tari Srimpi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Ludiramadu dari yang sebelum berubah sampai yang sudah mengalami perubahan
pada vokabuler-vokabuler gerak, perubahan sekaran-sekaran gendhing,
pengurangan pada waktu pertunjukan, rias dan busana yang sudah menyesuaikan
pada kebutuhan pertunjukan untuk pariwisata budaya, untuk misi kesenian, untuk
festifal, untuk resepsi dalam pernikahan dan lain-lain.
Perubahan yang terjadi pada tari juga dapat diungkap menggunakan teori
tentang mitos menurut Barthes, pengertian mitos yang ada dalam Tari Srimpi
Ludiramadu yang diungkapkan dalam simbol-simbol memang memiliki tugas
untuk memberikan justifikasi alamiah kepada maksud-maksud historis, tetapi
masyarakat sebagai pengguna, pelaku, pencipta diberikan hak untuk memberikan
makna dan menggunakan makna, sehingga masyakakat pengguna dan penikmat
Tari Srimpi Ludiramadu diberikan wewenang untuk memaknai makna yang ada
dalam Tari Srimpi Ludiramadu. (Barthes, 1972:155).
Hal itulah yang menjadi dasar tanda merupakan yang bergerak dan
dipahami dari benda yang dikonsepkan untuk memahaminya. Pemaknaan tanda
dari Saussure dengan mengacu pada “oposisi” (baik x buruk) dari setiap benda
akan menentukan eksistensinya cara ini dapat dimungkinkan terjadi interpretasi
yang hanya dugaan semata. Semiotika menjadi ilmu yang sangat luas karena
tanda-tanda dapat bergerak kemana saja. Disekeliling kehidupan, akan ditemukan
banyak sekali tanda bergerak, sejauh manusia itu mencermatinya. Apapun bisa
menjadi tanda ketika adanya hubungan fenomena dengan fenomena lain
membentuk makna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Masyarakat merupakan yang menciptakan tanda sehingga akan terbentuk
tanda baru Ferdinand de Saussure (1993:146) memahami bahwa bahasa yang ada
pada Tari Srimpi Ludiramadu yang akan tercipta makna merupakan warisan yang
akan selalu turun temurun sebagai bahasa primer dan juga bahasa sekunder.
Seiring dengan perkembangan jaman akan selalu berubah-ubah menyesuaikan
adanya panata sosial, kesepakatan pada masyarakat akhirnya akan merubah
pemikiran masyarakat dan terjadinya perubahan pada sosial budaya masyarakat.
Karya tari merupakan realitas yang telah direkonstruksi oleh pencipta
kekuatan tanda-tanda yang diungkapkan oleh makna sehingga dapat ditelaah
secara mendalam sehingga dapat mengacu pada teori sosial dalam masyarakat.
Sebuah karya tari juga akan memunculkan makna yang baru sebagai upaya
persebaran pengetahuan sebagai kebebasan penonton, penghayat, dan masyarakat
pada umumnya yang sama sekali tidak tahu tentang kebudayaan keraton
khususnya tari keraton. Hal ini dapat diungkap dengan teori semiotika tanda.
Teori struktural fungsional Talcot Persons, digunakan untuk melihat
keberadaan bentuk dan fungsi seni Tari Tradisional Klasik pada masyarakat
pendukungnya. Teori sistem sosial ini menganggap, masyarakat merupakan
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, Herbert Spenser menyebut
masyarakat adalah laksana organisme hidup, untuk itu Spenser membahas
masyarakat sebagai suatu organisme hidup sebagai berikut :
1. Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2. Semakin besar suatu struktur sosial semakin banyak pula bagian-bagiannya
seperti halnya dengan sistem biologis
3. Tiap bagian didalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial
memiliki fungsi dan tujuan tertentu
4. Dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian
akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan akhirnya di dalam sistem
secara keseluruhan
5. Bagian-bagian walaupun saling berkaitan merupakan suatu struktur mikro
yang dapat dipelajari secara terpisah (Margaret M. Polomo, 1994: 23-25)
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat
dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung
satu sama lain-lain. Apabila salah satu bagian tidak bekerja, maka sistem tersebut
akan terganggu karena tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Seni Tari Tradisi sebagai suatu wujud yang dibentuk oleh kesatuan unsur-
unsur tertentu, dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Demikian pula Tari Tradisi
sebagai bagian dari kebutuhan hidup manusia. Fungsi dan makna sebagai
penolong kehidupan masyarakat yang merupakan unsur yang terlibat kedalam
sistem kehidupan seni dalam masyarakat.
2.2. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Pujiani (1987) yang berjudul Tari Srimpi Ludiramadu
sebagai analisis gerak dan karakter garap padat. Tari yang berdurasi lama dapat
dipadatkan menjadi singkat dengan mengurangi gerak dan vokabuler yang ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
dan mengurangi sekaran-sekaran pada gendhing. Dalam tata garap iringan dan
gerak tari, karena dapat digarap berdasarkan proses pemadatan dengan
pengurangan di bagian maju beksan, beksan dan mundur beksan menggunakan
pendekatan struktur garap medium gerak dan musik iringan.
Penelitian tersebut membahas vokabuler gerak tari srimpi yang berdurasi
lama dibuat lebih singkat dengan perubahan struktur dan medium gerak
sedangkan penelitian ini, yang mengkaji. Tari Srimpi Ludiramadu sebagai
perubahan sosial budaya dikarenakan adanya perubahan rias, busana, fungsi, dan
makna. Pada penelitian ini akan mengkaji secara keseluruhan perubahan pada
bentuk, fungsi dan makna dikarenakan berbagai faktor kebutuhan dan fungsi dan
mengikuti selera masyarakat dan penonton baik untuk kepentingan apresiasi,
festifal, seni pertunjukan sampai kepentingan pariwisata.
Hasil penelitian Soedarsono (1989/1990) berjudul Seni Pertunjukan Jawa
Tradisional dan Pariwisata di daerah Istimewa Yogyakarta, membahas tentang
pariwisata budaya di daerah Yogyakarta seni pertunjukan sebagai sarana
pariwisata budaya. Pada penelitian ini seni tradisi keraton difungsikan atau beralih
fungsi sebagai produck pariwisata. Dipaparkan berbagai jenis tari tradisi yang
berbentuk bedhaya, srimpi, wireng. Pada penelitian ini seniman/koreografer
sebagai pencipta industri dalam produck pariwisata budaya sehingga keraton serta
seniman mendapatkan kesejahteraan dengan peningkatan pendapatan tidak hanya
sebagai seniman yang eksis dibidang seni melainkan dapat memperhatikan dan
melestarikan budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan pada bentuk, fungsi seni
tradisional yang dipaket sebagai pariwisata budaya menggunakan teori estetika
dari Thong Maguet dan Teori Komodifikasi.
Kebudayaan dalam antropologi dikatakan sebagai sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan ningrat (1993:5) berpendapat bahwa dalam kebudayaan ada tiga wujud
yaitu : (1) sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. (2) sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dan masyarakat, (3)sebagai benda-benda dan hasil karya
manusia. Dari ketiga wujud kebudayaan itu jelas bahwa, wujud pertama adalah
buddah dari akal dan budi manusia, wujud kedua adalah tindakan manusia, dan
yang ketiga merupakan buah atau hasil dari karya manusia. Kebudayaan terdiri
dari tujuh usnur : (1) sistem religi dan upacara keagamaan ; (2) sistem dan
organisasi masyarakat; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6)
sistem mata pencarian; (7) sistem teknologi dan peraturan (Koentjoroningrat,
1993:2)
Koentjaraningrat (1980:31) dalam suatu teori evolusi sosial universal
mengatakan bahwa manusia selalu bergerak ke arah kemajuan, sehingga di dunia
ini telah berkembang dari tingkat sederhana ke tingkat yang makin tinggi serta
kompleks. Hal ini tentunya kita kaitkan dengan perkembangan dalam dunia seni
pertunjukan, yaitu terkait dengan keinginan manusia untuk menyesuaikan dengan
perkembangan budaya yang makin mengglobal, termasuk didalamnya upaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menciptakan sebuah paket-paket khusus yang dikemas untuk komsumsi
wisatawan yang berakar dari Seni Tradisional Jawa.
Pradjapangrawit dalam Wedhapradangga mengungkapkan tradisi besar
yang berlaku atas raja-raja Jawa di Surkarta dalam berkesenian. Sumber in banyak
menyampaikan informasi sejarah yang disusun berdasarkan penuturan lisan /
gotek diciptakan gendhing, gamelan, tari, ataupun wayang, mengbahis
karakteristik karya dengan periode, generasi, dan individu senimannya. Sumber
ini membantu penulis memahami kehidupan kesenian Hamengkunagara III pada
Masa Paku Buwana IV.
Nasib seni tradisi menjelang era tinggal landas sebuah laporan penelitian
yang ditulis oleh R.M. Soedarsono dalam jurnal ilmu-ilmu humaniora yang
diterbitkan oleh Gajah Mada University Press tahun 1991. Dalam laporan
penelitian diuraikan secara panjang lebar keberadaan seni pertunjukan Indonesia,
termasuk seni tari tradisi. Membahas tentang seni tradisi dari suatu masyarakat itu
sendiri dan produk seni yang dibuat oleh suatu kelompok masyarakat untuk
masyarakat lain oleh J. Maquet, yaitu : art by destination dan art of occulturation.
Soemantri Soemasaportra dalam buku Sunan Sugih mengungkap riwayat
kehidupan Hamengkunegara III lengkap dengan biografi, aktivitas dalam
ketatanegaraan, dan aktivitas dalam berkesenian. Diperoleh data mengenai
gambaran umum kehidupan kesenian pada zaman Paku Buwana IV serta bentuk
dan corak karya seni Hamengkunagara III yang lahir pada masa Pak Buwana IV,
didalam kebudayaan tidak ada sifat yang selalu tepat karena menyesuaikan laju
keadaan jaman dimana kebudayaan itu ada dan diciptakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Karya tari keraton identik dengan bentuk, fungsi dan makna baik kekinian
maupun makna yang telah ada sejak jaman dulu, dalam mengungkap hal tersebut
perubahan yang berupa gejala sosial budaya, struktur gerak/vocabuler bentuk
gerak tari keraton Surakarta. Struktur ekonomi tradisional masyarakat Jawa pada
masa lalu menurut Levi-Straus dalam (Ahim Saputra, 2006:445). Disitu seni
tradisional yang berasal dari keraton identik adanya hal diatas berupa bentuk,
fungsi dan makna pada tari.
Soedarsono, RM Depdikbud, (1989/1990) dalam tulisannya memaparkan
kehidupan Seni Pertunjukan Jawa Tradisional berkenaan dengan perkembangan
pariwisata. Menunjukkan keberadaan Seni Pertunjukan Jawa dalam masa transisi
yang dianggab mengalami perubahan pada fungsi dan nilai yang terkandung
didalamnya. Dari segi bentuknya sudah mulai beranjak pada segi masa lampau
yang dikemas terkait dengan usaha pengembangan pariwisata sehingga dapat
mempengaruhi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Tradisi Jawa
karena industri pariwisata sebagai satu gejala komersialisasi seni budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2.3. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tari Srimpi Ludiramadu di
Keraton Surakarta
Bentuk, fungsi dan makna
Faktor pendorong perubahan bentuk, fungsi, dan makna dari lama ke baru
Proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna lama ke baru
Festifal pariwisata lomba-lomba resepsi
perubahan
Tanggapan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Bentuk dan Strategi
3.1.1. Bentuk Penelitian
Bentuk yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Kualitatif menurut Taylor dalam Molkong (2000:3) adalah penelitian
yang menggunakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
yang tertulis atau kesan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam penelitian ini akan menyajikan data secara deskriptif kualitatif yang
dihasilkan dari wawancara, observasi dilapangan yang didukung studi pustaka
dengan mendiskripsikannya di dalam tulisan yang mudah dipahami dan
dimengerti. Secara narasi deskriptif akan dipaparkan sajian data temuan di
lapangan, kemudian di analisis agar terjawab rumusan masalah yang ada.
3.1.2. Strategi Penelitian
Strategi dalam penelitian ini menggunakan studi kasus. Studi kasus pada
intinya adalah meneliti kehidupan satu atau beberapa komunitas, organisasi atau
perorangan yang dijadikan unit analisis, dengan menggunakan pendekatan
kualitatif (Pawito, 2007:141). Study kasus dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal karena akan dibatasi pada kasus tunggal yang difokuskan pada perubahan
bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
3.2. Sumber Data
3.2.1. Informan
Penelitian ini dalam menentukan informan dengan menggunakan kriteria,
yakni informan yang akan diwawancarai adalah orang yang harus memenuhi
persyaratan wawancara yang diperlukan dalam penelitian. Oleh karena itu, kriteria
yang digunakan dalam teknik penentuan informan. Informan yang dipilih adalah
informan yang bisa diajak berkomunikasi, mengetahui tentang Tari Srimpi
Ludiramadu yang ada di keraton Surakarta, dan informan yang memiliki
pemahaman dan pengetahuan tentang gendhing Tari Srimpi Ludiramadu.
Gendhing yang melalui proses pemadatan dan yang tidak dipadatkan.
Informan-informan yang diwawancarai dalam kerja penelitian ini
dikelompokkan menjadi tiga yaitu informan dari keluarga keraton abdi dalem
informan dari kalangan akademika ISI Surakarta, SMK 8, TBS (Taman Budaya
Surakarta Jawa Tengah), informan dari pihak pemerintah yang menjalin kerja
sama keraton dan dinas pariwisata sehingga dapat memberikan informasi
mengenai pariwisata budaya.
3.2.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di keraton Surakarta yang berada dalam wilayah
administrasi yang dipimpin oleh Walikota masuk wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Yang menjadi fokus lokasi penelitian tentang Tari Srimpi Ludiramadu ini di
keraton Surakarta dan di luar keraton untuk melihat pada perubahan yang terjadi
pada srimpi ludiramadu sehingga lokasi di luar keraton meliputi masyarakat
sekitar, kalangan seniman, penari, akademika dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Keluarga keraton menggunakan Tari untuk upacara wetonan dan
penyambutan tamu kerajaan, seiring perkembangan zaman bahwa kreativitas
seniman atau seorang koreografer tidak pernah berhenti sehingga Tari Srimpi
Ludiramadu dimanfaatkan sebagai produck budaya yang digunakan untuk
pariwisata, festifal, resepsi pernikahan, apresiasi seni. Faktor keunikan pada
gerak, costum iringan gendhing srimpi yang menggunakan seperangkat gamelan
Jawa.
Penelitian yang mengambil lokasi di Keraton Surakarta dengan berbagai
aspek didalamnya. Penelitian ada yang difokuskan pada bangunan keraton
manuskrip Jawa, sejarah berdirinya Keraton, Tari Wireng, Tari Bedhaya, Srimpi
Tamenggita, Srimpi Sangupati, Srimpi Gondo Kusumo, Anglir Mendung dan juga
kehidupan yang ada di keraton yang terkesan sakral. Pada penelitian ini berbeda
akan mengambil fokus pada Tari Srimpi Ludiramadu yang ada di keraton
akhirnya ke luar sehingga terjadi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna.
3.2.3. Arsip atau Dokumen
Sumber data yang berupa dokumen diperoleh di dalam serat wedha
pradangga dalam prajapangrawit disitu ada paparan buku-buku yang ada pada
iringan Tari Srimpi Ludiramadu yang belum ada pemadatan tari, dalam Pujiani
hasil sekripsi yang ada arsip bahwa Tari Srimpi pernah mengalami perubahan
dengan proses pemadatan pada gerak dan gendhing. Dalam serat wedha taya dapat
diungkap tentang keluwesan gerak penari, tari, dan hal-hal yang berhubungan
dengan karya tari (wileg, laya, laras, wiraga, wirama, wirasa, hening, gandhes,
kewes, prenes, batak, gulu, buncit, dada) dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Dokumen juga di dapat brosur keraton Surakarta dan paket pariwisata
budaya yang ada di keraton yang disertai jenis tari, serta sumber dari internet
melalui beberapa website.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data tentang Tari Srimpi Ludiramadu lebih
mengutamakan penggunaan alat-alat berikut.
Pertama, pedoman wawancara. Instrumen ini digunakan sebagai paduan
dalam melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang
diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian.
Kedua, alat perekam gambar (kamera, handycome) dan alat perekam
suara. Alat perekam gambar digunakan untuk memperoleh data visual dari obyek-
obyek amatan, alat perekam suara digunakan dalam upaya merekam informasi
yang didapat dari wawancara dengan informan.
Ketiga, alat-alat tulis, alat ini banyak digunakan untuk proses pencatatan
sebagai bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan
studi dokumen.
Ataupun detail kerja teknik masing-masing dapat dipaparkan sebagai
berikut:
3.3.1. Observasi Langsung
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari data berupa
pariwisata, perilaku, aktivitas, tempat dan lokasi penelitian, dan serta rekaman
gambar (Sutopo, 2006:75). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
observasi langsung dengan berperan aktif di lokasi penelitian. Observasi berperan
aktif dilakukan dengan mendatangi lokasi penelitian kemudian berperan aktif
mengamati kehidupan kesenian di keraton, melihat bentuk Tari Srimpi ludiramadu
yang ada di keraton dan yang ada di luar keraton, mengamati proses latihan,
costum, gerak dan iringan gendhing yang digunakan, berinteraksi dengan
informan/nara sumber tentang hal-hal yang mengarah pada jawaban di rumusan
masalah yakni bentuk, fungsi, dan makna. Tari Srimpi Ludiramadu yang
mengalami perubahan. Dalam penelitian ini, hasil observasi diposisikan sebagai
data primer. Kendala dari teknik observasi disini adalah penelitian dituntut untuk
melakukan pendekatan secara personal terhadap keluarga keraton, penari,
pengrawit, dan pihak kalangan akademika, dinas pariwisata kebudayaan.
Observasi langsung untuk mengetahui seluk beluk Tari Srimpi Ludiramadu dan
keberadaannya di keraton dan dalam kehidupan tari di luar keraton, dan juga
dalam hal seni budaya untuk mendapatkan dokumentasi durasiw aktu, bentuk
gerak, costum, iringan, jumlah penari dan pola lantai pada Tri Srimpi Ludiramadu.
3.3.2. Wawancara Mendalam
Wawancara, yaitu suatu percakapan yang memiliki makna yang dapat
dilakukan minimal dua orang atau lebih yang diarahkan oleh salah seorang dengan
tujuan untuk mengetahui pengetahuan, pengalaman, perasaan, pendapat, persepsi,
pandangan dan penginderaan seseorang (Mulyana, 2002:180). Wawancara
mendalam dilaksanakan dalam tahapan yaitu, menentukan atau menyeleksi
informan yang diwawancarai, kemudian melakukan pendekatan informan terpilih
untuk diwawancarai. Sebelum wawancara dipersiapkan instrumen pendukung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
yaitu alat perekam suara, alat tulis, dan pedoman atau materi wawancara. Dalam
proses wawancara berusaha memelihara hubungan baik agar tetap kondusif dan
produktif sehingga tidak terkesan kaku dan memperoleh data yang hasilnya
kemudian dirangkum.
Penelitian kualitatif ini informan ditentukan dengan cuplikan yang diambil
lebih bersifat selektif. Cuplikan yang diambil didasarkan pada keterkaitan masalah
dengan teori yang digunakan, sehingga didapat data yang diperlukan dengan
tehnik non acak menggunakan metode purposive sampling yaitu informan dipilih
berdasarkan pada karakteristik yang dianggab mengetahui perihal penelitian yang
sudah diketahui sebelumnya (Umar, 2005:92).
Diawali dengan menggunakan purposive sampling dengan memilih
informan yang dianggab mempunyai sangkut paut tentang penelitian ini yakni staf
pengelola dinas pariwisata dan kebudayaan, keluarga keraton yang mengerti dan
bertanggung jawab keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu di keraton, dan dari
kalangan akademika merupakan salah satu wadah yang diberi tanggung jawab
supaya seni tradisi agar tetap lestari dan dari perwakilan masyarakat di luar
keraton bahkan masyarakat umum.
Wawancara yang dilakukan bersifat mendalam (in-depth-interview).
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat “open
ended” dan mengarah pada kedalaman informasi. Wawancara dapat dihentikan
ketika peneliti sudah mendapatkan data yang lengkap, peneliti menggunakan
wawancara dengan berhadapan secara langsung dengan nara sumber atau
informan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Wawancara digunakan untuk mengetahui data dari informan tentang
perubahan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu yang
merupakan seni tradisi klasik keraton yang notabene keberadaannya di dalam
keraton, sehingga dapat diketahui perubahan bentuk, fungsi makna lama menjadi
makna yang baru / sekarang di era modern serta proses perubahan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna Tari
Srimpi Ludiramadu serta tanggapan masyarakat setelah terjadi perubahan. Hasil
yang diperoleh sebagai data primer yang diperoleh dalam penelitian.
3.3.3 Studi Dokumen
Dengan obyek utama adalah Tari Srimpi Ludiramadu menjadi sangat
penting untuk dilakukan karena dalam Tari Srimpi Ludiramadu ada gerak ada rias
ada bentuk iringan yang didalamnya ada makna ada fungsi yang dapat
mempengaruhi pada kehidupan sosial masyarakat. Pada hakikatnya bahwa obyek
yang berupa sebuah teks tari, gerak, gendhing selalu mengalami perkembangan
yang akhirnya ada hubungannya pada realitas sosial masyarakat Jawa yang
melingkupinya. Analisis dokumen tidak hanya dilakukan untuk memaknai pada
bentuk, fungsi melainkan juga memaknai semua gerak yang bermakna akhirnya
akan memiliki makna yang ganda denotasi dan konotasi itulah yang dibilang
menungkap yang berhubungan dengan produksi makna sesuai dengan interpretasi
masing-masing individu yang memaknai. Dalam pengumpulan data tentang
dokumen dapat berupa tulisan, naskah, gambar, rekaman suara, dan rekaman
gambar yang terkait dalam penelitian ini, studi kepustakaan merupakan tindakan
awal untuk mengetahui apakah permasalahan dalam penelitian ini sudah pernah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dilakukan oleh peneliti lain. Maka dari itu peneliti telah mencari dan memperoleh
data-data pustaka dari berbagai tempat, antara lain perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta, Perpustakaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia sekarang ISI (Institut Seni
Indonesia Surakarta), Perpustakaan S2 dan S3 Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Studi dokumen dapat diperoleh dari brosur paket pariwisata budaya di
keraton, dinas pariwisata, kalangan akademika yang menggunakan Tari Srimpi
Ludiramadu untuk materi perkuliahan di ISI, SMK 8 materi mata pelajaran seni
tari tradisi Jawa juga didapat dari internet. Data lain yang merupakan dokumentasi
akan diperoleh dari foto keraton, kalangan akademika bahkan foto yang berasal
dari masyarakat umum yang memiliki dokumen Tari Srimpi Ludiramadu bahkan
foto yang diperoleh peneliti sebagai hasil dokumen pribadi yang diperoleh pada
saat menghadiri resesi pernikahan dengan penyambutan tamu Srimpi Ludiramadu.
3.4. Validitas Data
Validitas data digunakan untuk memantapkan dan menyimpulkan tafsir
makna dari sebuah hasil penelitian (Sutopo, 2006:92). Cara yang akan digunakan
untuk pengembangan validitas (kesuhihan) data dalam penelitian yaitu dengan
teknik trianggulasi dengan dua teknik: trianggulasi data sumber dan trianggulasi
metode. Tekik trianggulasi sumber dengan menggunakan satu jenis sumber yakni
dari informan. Informan atau nara sumber yang ditentukan dengan kelompok atau
tingkatan yang berbeda. Nara sumber akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
nara sumber dari keluarga keraton. Pengelola pariwisata budaya dan dinas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
pariwisata dan kebudayaan. Dari ketiga data kelompok tersebut akan
dibandingkan data sejenis yang diperoleh dari para nara sumber yang mungkin
memiliki pengalaman dan persepsi yang berbeda-beda. Selain itu digunakan
teknik trianggulasi dengan menggali informasi dari sumber-sumber data yang
berbeda jenisnya yaitu dari hasil wawancara mendalam, hasil observasi langsung
di lapangan, serta sumber tertulis.
Skema atau gambar trianggulasi data yang digunakan dalam penelitian ini.
Pada gambar :
Gambar 2. Trianggulasi Sumber (Sutopo, 2006:94)
Trianggulasi data atau sumber dari hasil wawancara yang diperoleh dari
tiga kelompok informan dibandingkan dan dicek berulang-ulang apakah jawaban
yang diberikan sama atau berbeda sehingga mendapatkan kesahihan
informasi/data wawancara dari dua informan memberikan jawaban/pendapat yang
sama. Trianggulasi dapat untuk ngecek data mengenai perubahan pada bentuk,
fungsi, dan makna dan faktor-faktor pendorong bentuk, fungsi, dan makna
Data Wawancara
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Data
Wawancara
Sumber tertulis
Observasi
Informan
Dokumen dan internet
Aktifitas/perilaku/gambar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
berubah dengan proses perubahan dan tanggapan masyarakat terhadap perubahan
tersebut.
Metode trianggulasi digunakan untuk mengecek validitas dari hasil
jawaban dengan menggunakan 3 metode yaitu wawancara, sumber tertulis, dan
observasi. Dari ketiga metode tersebut apakah mendapatkan jawaban akan
rumusan masalah yang sama atau berbeda, data yang diperoleh saling terkait satu
sama lain.
3.5. Teknik Analisis Data dan Penyajian Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
kualitatif yang berupa deskripsi secara mendalam terhadap Tari Srimpi
Ludiramadu dengan bentuk, fungsi, dan makna dulu sebelum berubah bagi
Keraton Surakarta dan warga masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu dan
Tari Srimpi Ludiramadu dengan bentuk, fungsi, dan makna baru yang sekarang,
proses perubahan dan tanggapan masyarakat terhadap fenomena baru tersebut.
Dilakukan dengan teknik trianggulasi atau chek and re chek data yang diperoleh
melalui pencocokan data yang diperoleh, dari sumber tertulis dan tidak tertulis
dari pengamatan langsung, wawancara secara mendalam dengan informan, dan
dokumen terkait dengan penelitian, disusun ke dalam pola serta terfokus pada
permasalahan pokok penelitian. Semua catatan yang diperoleh dalam
pengumpulan data, direduksi dan dimasukkan ke dalam pola yang terfokus yang
mengacu pada rumusan masalah dari penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Hasil data direduksi selanjutnya di display secara tertentu untuk pola atau
tema masing-masing yang hendak dipahami dan dimengerti dalam konteks
kegunaannya dalam penelitian ini. Prosedur yang ditempuh dengan analisis adalah
interaktif, yaitu lebih seperti siklus rantai makanan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan sendiri-sendiri. Diawali dengan pengumpulan data yang direduksi (data
reduction) dengan memilih dan memilah kedalam satuan konsep-konsep, dan
tema penelitian. Hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk skets,
sinopsis, dan matriks (display data) untuk lebih memudahkan pemaparan dan
simpulan (conclution drawing and verification). Alur dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3. Bagan proses analisis data (Sutopo, 1996:23)
Teknik penyajian hasil dari analisis adalah dengan menggunakan dua cara
yaitu formal dan informal, bar, bagan, atau foto-foto yang didapat untuk
melengkapi serta pendukung hasil analisis, informal merupakan penyajian hasils
ecara naratif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Asal-Usul dan Proses Penciptaan Tari Srimpi ludiramadu
Karya Hamengkunagara III lahir pada pemerintahan Paku Buwana IV. Pada
masa itu beliau belum naik tahta sehingga bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat
disimak pada Wedhapradangga yang secara eksplisit menyebutkan sebelum
menjadi raja, Hamengkunagara III banyak menciptakan karya seni : “Ingkang
Sinuhun wau wiwit kala dereng jumeneng nata sampun kathah iyasan-iyasan
utawi anggitan dalem”. Terjemahan : sinuwun memiliki bakat dalam penciptaan
seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi raja dan kemampuan sudah
kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya. (Pradjapangrawit, 1990:11).
Ungkapan ini secara lisan dikuatkan oleh K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan
bahwa hampir sebagian besar karya Paku Buwana V. Karya-karya
Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV : artinya,
karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V semasa menduduki jabatan
Pangeran Adipati Anom / Putra Mahkota (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara
5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut pada pemaparan selanjutnya
penulis cenderung menggunakan sebutan Hamengkunagara III setelah menjadi
raja dengan gelar Paku Buwana V.
Kegiatan berkesenian Hamengkunagara III dapat terungkap di
Wedhapradangga sebagai berikut :
Kacariyos kala raksih jumeneng kanjeng gusti pangeran adipati anom, saben pasewakan ing dinten senen miwah kemis, saderengipun miyos
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dalem, kanjeng gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus ang rawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (sampeyan balem ingkang dinuhun Paku Buwana IV) sampun katinga/lenggah ing kajogan prabasuyaso, kanjeng gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbalkacengkukaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang kanjeng gusti, lajeng sami tumungkul ajrih (Pradjapangrawit, 1990:1170.
Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap ada latihan karawitan yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis. Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati.
Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini
dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV.
Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imbal
(pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan panutan pada
bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai
berikut :
Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbal-imbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118) Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari tayub/ngibing).
Diungkapkan oleh Wahyu Santoso Probowo bahwa Hamengkunagara
III memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara
III, karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Pemaparan tersebut
ditegaskan oleh Dipokusumo bahwa pada masa pemerintahan Paku Buwana
IV hampir seluruh kriya seni yang ada adalah karya Hamengkunagar III.
Bahkan karya Paku Buwana IV mendapat pengaruh dari karya
Hamengkunagara III dan juga karya Hamengkunagara III dipersembahkan
sebagian besar untuk Paku Buwana IV (Wahyu Santoso Prabowo,
Wawancara, 5 Desember 2011)
Penciptaan karya seni Hamengkunagara III dalam bentuk gendhing
(iringan gamelan Jawa), misal : Sendhon, Bancak, Santiswara (gendhing
trebang), gendhing gambir sawit (Pradja Pangrawit, 1990:113).
4.2 Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna
yang Lama ke makna yang Baru
4.2.1 Faktor Ekonomi
Faktor yang mendorong perubahan yang dikehendaki oleh keluarga
keraton (Raja), abdi dalem dikarenakan banyak hal. Apalagi masa pemerintahan
tidak lagi di tangan Raja, setelah tahun 1945 kekuasaan Raja dialihkan ke
Republik (walikota) sebagai pemerintah baru.
Pada saat itu keadaan di keraton terjadi konflik internal yang membuat
kekuasaan Raja berpindah ke Republik Indonesia. Di keraton ada 2 kubu yang
masing-masing mempunyai alasan untuk bergabung ke Republik Indonesia atau
Raja tetap memiliki kekuasaan pemerintahan yang disebut DIS (Daerah Istimewa
Surakarta) seperti di Yogyakarta, ada juga yang ingin begabung dengan Republik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Indonesia, pada akhirnya presiden Soekarno memutuskan untuk menonaktifkan
Raja untuk memerintah, hanya keraton sebagai pusat kebudayaan. Keadaan
keraton semakin tidak dapat dikendalikan menyebabkan ekonomi keraton morat-
marit. Pemerintah hanya memberikan subsidi untuk menyelenggarakan acara-
acara keraton tidak lagi memiliki kekuasaan untuk mengelola keuangan atau
pemerintahan.
Pemasukan dari pabrik tebu, pajak (upeti) yang berupa bahan pangan
(padi, jagung, sayuran dan uang kepeng / rupiah) dari rakyat (Sragen, Sukoharjo,
Wonogiri, Boyolali, Karanganyar) otomatis terhenti. Pengelolaan pabrik tebu dan
hasil sebagian diserahkan ke pemerintah Republik Indonesia. (Wahyu Santoso
Prabowo, wawancara, 5 Desember 2011).
Dengan keadaan keraton yang tidak kondusif mempengaruhi regenerasi
penari keraton. Putri keraton sdikit yang berlatih menari disebabkan keadaan
keuangan di keraton gonjang-ganjing, banyak yang putri keraton yang bekerja
tidak hanya menjadi putri keraton saja. Masuknya penari di luar tembok keraton
untuk memenuhi jumlah penari keraton yang sangat sedikit jumlahnya pada
akhirnya regenegarasi penari keraton sedikit mengalami kesulitan. Pada saat
keraton menerima tamu dari luar (Belanda, Inggris, Amerika, Jepang). Untuk
penyambutan tamu pihak keraton menyajikan Tari Srimpi Ludiramadu dan
mengambil penari dari luar (rakyat biasa) yang diambil dari mahasiswa STSI yang
sekarang bernama ISI Surakarta.
Keadaan ekonomi keraton berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi,
dan makna. Keraton sekarang tidak cukup uang untuk memberikan kesejahteraan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
bagi abdi dalem (pesuruh atau pembantu) dan juga kerabat keraton sebagai penari
keraton. Putra dan putri raja tidak semua menekuni tari sebagai mata pencaharian
karena tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga kekurangan penari
mengambil penari dari luar keraton yang sama sekali tidak ada hubungan
persaudaraan ataupun aliran darah dengan keraton.
4.2.2 Faktor sosial berpengaruh juga pada perubahan bentuk, fungsi, dan
makna Tari Srimpi Ludiramadu.
Pihak keraton merasa sangat membutuhkan pihak luar dalam membantu
melestarikan budaya Jawa karena keraton tidak mampu untuk melakukan sendiri.
Rasa prihatin yang ada di benak Raja bahwa penari keraton sedikit dikhawatirkan
masyarakat umum tidak mengetahui kesenian tradisi keraton, khususnya tari
keraton yang berbentuk Srimpi. Keinginan raja setelah tidak memerintah ingin
membaur dan dekat dengan rakyat dan mengenal masyarakat di luar tembok
keraton. (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 5 Desember 2011).
Keterbukaan Raja dan keluarga membuka diri, dalam menggali kesenian
tradisi, yang diawali pada tahun 1970 dengan memanggil pengelola ASKI
Surakarta Gendhon Humardani untuk ikut dalam melestarikan kesenian tradisi dan
memberikan tempat untu latihan tari yang berbentuk (wireng, srimpi), kecuali
bedhaya ketawang srimpi digali pada tahun 1971 di Sasana Mulyo, PKJT (Pusat
Kesenian Jawa Tengah), pada masa pemerintahan Paku Buwana XXII, dan
sitinggil diserahkan untuk kampus ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia)
yang sekarang menjadi ISI Surakarta (Institut Seni Indonesia Surakarta).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
4.2.3 Faktor seniman keraton
Perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu juga dipicu oleh kreativitas yang
berkembang dari seorang seniman untuk berkreasi dan menciptakan kebudayaan
atau karya yang baru karena sudah dipengaruhi oleh tempat individu hidup dan
bekerja (Selo Soemardjan, 1983:91) demikian halnya Tari Srimpi Ludiramadu
juga mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Faktor pihak keraton, seniman keraton yang terbuka dalam pembaharuan
dengan kekuasaan tidak lagi ditangan raja, seniman keraton lebih bebas berkreasi,
berimajinasi dengan pengungkapan jiwa yang disesuaikan dengan kepribadian,
selera, tujuan dan sistem nilai yang dianut dengan pengungkapan pada karya
disini gerak Tari Srimpi Ludiramadu menyesuaikan seniman yang menggali.
(Nanuk Rahayu, wawancara, 6 Desember 2011).
4.2.4 Faktor politik
Perkembangan kebudayaan yang terjadi tidak lepas adanya beberapa
sejarah masyarakat, warisan dan dasar politik didalam negara, man-power dengan
mentalitasnya (Phil Astrid, 1977:223) Peralihan Pemerintaan dari tangan Raja ke
tangan negara republik Indonesia mempengaruhi keberadaan kesenian tradisi
disini Tari Srimpi Ludiramadu tidak dipergunakan untuk upacara wetonan Raja
hanya digunakan misal ada tamu kerajaan, misi kesenian ke Inggris, Belgia,
Perancis, Arab, Singapura, Jepang, Amerika (Wahyu Santoso Prabowo,
wawancara, 6 Desember 2011).
Keluarga keraton disibukkan dengan kegiatan di luar keraton misal :
Kepartaian sebagai anggota DPRD, DPR, Pegawai Negeri Sipil bahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
usaha/bisnis dibidang lain selain keraton. Usaha untuk tetap mempertahankan
kesenian tradisi tetap berada didalam keraton dan bersifat adi luhung menjadi
pudar. Keadaan politik mempengaruhi kekuasaan Raja yang tidak memiliki kuasa
penuh menjalankan roda pemerintahan dan hanya sebagai cagar budaya yang
perlu dilestarikan keberadaannya (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 6
Desember 2011).
4.2.5 Faktor pariwisata budaya
Pariwisata budaya pada tahun 1970-an yaitu dunia kepariwisataan menjadi
salah satu industri terbesar di dunia dan industri yang paling cepat berkembang
terkait dengan masalah itu pemerintah Indonesia telah menentukan sikap pada
tahun 1978 untuk mengembangkan kepaiwisataan. Hal tersebut dikuatkan dalam
TAP MPR No. II/MPR/1993, tentang Garis Besar Haluan Negara, khususnya
dalam melaksanakan pembangunan lima tahun keenam. Disini disebutkan bahwa :
Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara, serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional. Dalam pembangunan kepariwisataan harus dijaga dan tetap terpeliharanya kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor lain yang terkait dalam suatu keutuhan usaha kepariwisataan yang saling menunjang dan saling menguntungkan, baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Pengembangan pariwisata nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan wisata mancanegara perlu ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan benda dan khazanah bersejarah yang menggambaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
ketinggian budaya dan kebesara bangsa, serta didukung dengan promosi yang mengikat. (Soedarsono, 1989 / 1990:14). Pada tahun 1990 terkena dampak globalisasi yang terkena dampak tidak
hanya bidang pemerintahan, ekonomi, sosial masyarakat, bahkan kebudayaan
tidak luput terkena dampak globalisasi. Hal ini dikenal dengan kebudayaan
mengalami modernitas budaya. Kesenian tradisi keraton ikut mengalami misal
wireng, bedhaya bahkan Tari Srimpi Ludiramadu. Keraton memiliki cara untuk
tetap melestarikan kesenian tradisi walaupun wujud tari tidak sama persis seperti
yang berada di dalam keraton/masa lampau. Keraton membuat paket budaya
dengan memadukan tari dan kuliner khas Jawa misal Serabi Notosuman, ledre,
tiwul sampai alat transportasi Jawa (Andong). Pemerintah juga mengadakan
transportasi untuk mengelilingi cagar budaya di Surakarta. Alat transportasi selain
sepeda ontel, bis kota Trans yang bernuansa batik sampai sepur lokomotif khas
tempo dulu.
Tari Srimpi Ludiramadu sekarang digunakan sebagai paket pariwisata
budaya berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi
Ludiramadu. Pengembangan warisan budaya keraton menjadi kemasan atraksi dan
objek wisata budaya salah satu alternatif yang memungkinkan diperolehnya
sumber dana untuk kegiatan pelestarian dan pengembangan warisan budaya secara
berkelanjutan.
Wisata budaya berbentuk pertunjukan pada tari dilaksanakan pada malam
hari yang dinikmati oleh wisatawan mancanegara yang dikelola yayasan
pawiyatan keraton Kasunanan Surakarta yayasan ini dipimpin oleh G.R.Ay.
Koesmurtiyah Wirabhumi, Putri Paku Buwana XII. Wisata budaya yang diadakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pada malam hari sangat diminati para wisatawan dari Perancis, Inggris, Spanyol,
Italia, Belanda, Amerika dan lain-lain. (dalam Wahyu Santoso Prabowo 1983:80)
Keraton melakukan pelestarian dengan paket pariwisata dipadukan dengan
makanan keraton yang disukai Raja-Raja pada jaman dulu. Sebelum menikmati
Tari mereka disambut oleh pemandu wisata dan tuan rumah (keluarga
keraton/kerabat keraton) menuju Sasana Handrawina untuk makan malam dengan
makanan khas keraton misal : Garang asem, ayam bakar, Mangut, dan makanan
berbentuk serabi, ledre, tiwul dan lain-lain setelah itu baru ke Bangsal Smarakata
melihat pementasan Tari Srimpi, Wireng.
Kunjungan wisata malam hari di keraton diselenggarakan satu kali dalam
seminggu yaitu pada hari Rabu malam dengan rata-rata kunjungan lumayan
banyak, menghasilkan pemasukan bagi keraton dan kelangsungan pelestarian hasil
kebudayaan tetapi dibalik itu semua Tari Srimpi Ludiamadu perubahan dalam
bentuk, fungsi, dan makna karena menyesuaikan paket wisata budaya yang
dibilang sekedar untuk hiburan / refresing sehingga tidak membutuhkan waktu
lama tetapi para wisatawan hanya mengetahui gleger (bentuk global) Tari Srimpi
mereka tidak mengerti bahwa Tari Srimpi Ludiramadu memiliki fungsi yang
sakral, magis, religius pada zaman dulu.
Penyingkatan waktu atau durasi yang dilakukan untuk pariwisata budaya
berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna karena untuk pariwisata
Tari Srimpi Ludiramadu dipentaskan hanya + 15 menit saja. Supaya penonton /
wisatawan mancanegara tidak jenuh untuk melihatnya tetapi merasa terhibur dan
berkesan sehingga lain waktu bersedia untuk datang lagi ke Solo / Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Kesadaran wisatawan Mancanegara dengan kebutuhan Budaya dan
Rekreasi perkembangan peradaban manusia menjadikan manusia sadar akan
kekurangan-kekurangannya dan mengagumi berbagai kegiatan kebudayaan baik
kegiatan, kebudayaan di daerahnya maupun di luar daerah. Sehingga manusia
berusaha melakukan mobilitas untuk minat nengunjungi kebudayaan orang lain
serta melakukanaya dengan berrekreasi. Lalu suburlah, kini manusia melakukan
kunjungan-kunjungan kebudayaan lain dan rekreasi yang kedikenal dengan
Istilah. tourisme atau. pariwisata (dalam arti luas).
Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya kegiatan berpariwisata. Baik
berpariwisata yang bersifat rekreasi ngenggar-enggar penggaalih, wisata
olahraga, wisata pendidikan, study tour, wisata ritual seperti Waisak di Mendut,
do'a Rosari di Goa Maria Sendangsono , Yakowiyu di jatinom Klaten, sekaten di
Keraton, dan lain-lain. Juga wisata yang bersifat politis seperti kegiatan-kegiatan
pergelaran dan workshop kesenian yang dimaksudkan terjadi diplomasi budaya,
sehingga masyarakat suatu negara dapat mengenali perilaku dan karakter
peradaban bangsa lain. Dengan demikian. luas pulalah kepariwisataan dewasa ini.
Pengertian mengenai istilah pariwisata, tetapi menurat peneliti, yang
paling penting dan umum mengenai pariwisata adalah suatu kegiatan manusia
yang berhubungan dengan mobilitas / perjalanan / berpergian dengan harapan dan
tujuan (baik tujuan utama maupun tujuan sampingan) untuk mendapatkan
kepuasan dan kebabagiaan. Jadi yang jelas pasti berhubungan dengan perjalanan
dan usaha mencari kenikmatan dari perjalanan itu. Dengan demikian berbagai
motivasi tujuan mobilitas manusia dapat pula menjadi dorongan tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kepariwisataan, baik sebagai tujuan utama maupun sampingan seperti telah
disebutkan diatas.
Pengertian wisatawan di negeri kita ini mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan. Hal ini dapat terjadi karena sifat dari suatu perjalanan
kepariwisataan itu sendiri mengalami perkembangan. Pemerintah Republik
Indonesia menanggapi masalah-masalah kepariwisataan sebagai hal yang serius,
sebab pemerintah sadar bahwasanya kepariwisataan pada suatu ketika dapat
dijadikan sebagi suatu industri yakni "Industri Pariwisata".
Kita dapat menafsirkan pengertian industri disini yakni suatu badan usaha
yang berorientasi pada suatu produksi tertentu dan merupakan penawaran jasa
yang harus ditanggapi dengan hal keuntungan. Jadi suatu kesadaran untuk
menggarap pariwisata untuk kepentingan ekonomi negara.
Oleh karena itu pemerintah menurunkan keputusan-keputusan resmi
mengenai pengertian wisatawan tersebut. Pada tahun 1969 pemerintah
menurunkan Intruksi Presiden Republik Indonesia No. IX menyebutkan bahwa,
"Wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya
untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungan”
(Prayoga 197 6; 9).
Adapun batas pengertian mengenai wisatawan secara internasional telah
dibicarakan di Perserikatan Bangsa-Baagsa (PBB) yang diadakan di Roma (Italia)
tahun 1965. Pembicaraan itu atas usulan I.U.O.T.O (The International Union of
Official Travel Organization) guna menemukan keseragaman pengertian
mengenai perjalanan / kunjungan dan kepariwisataan internasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Perkembangan berikutnya pada tahun 1968 batasan mengenai (tourist) sedikit
mengalami perubahan yakni istilah. pengunjung (visitor). Pengertian tersebut
sudah mencakup setiap orang yang berkunjang ke negara lain (bukan negara
tempat mereka tinggal) dengan maksud bekerja untuk mendapatkan upah
(Prayoga 1976: 10).
Pengertian pengunjung dibedakan dalam dua kategori wisatawan (tourist)
dan pelancong (excurtourst), Yang dimaksud dengan wisatawan ialah,
pengunjung sementara yang tinggal lebih dari 24 jam guna menikmati perjalanan.
Kategori wisatawan ini ialah yang bersifat pesiar yakni untuk keperluan rekreasi
hiburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan olah raga. Ada pula yang bersifat
hubungan yaitu hubungan dagang, sanak keluarga, handai tolan, konperensi, misi
atau bentuk-bentuk diplomasi budaya lewat pertunjukan-pertunjukan bersama dan
latihan bersama. Sedangkan yang dimaksud dengan pelancong adalah pengunjung
sementara yang tinggal kurang dari 24 jam dan pengunjung tersebut berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain termasuk pengunjung dalam pesiar
walaupun pengunjung tersebut lebih dari 24 jam.
Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunagaran masing-masing mempunyai
dua jenis kunjungan wisata yaitu, kunjungan wisata siang hari dan kunjungan
wisata malam hari. Kunjungan wisata siang hari adalah wisatawan domestik dan
wisatawan mancanegara. Kunjungan wisata malam hari diselenggarakan khusus
untuk wisatawan mancanegara. Oleh karena pusat perhatian pada penelitian ini
adalah tari kemasan wisata untuk wisatawan mancanegara, maka sebagai bahan
utama pembicaraan pada bab ini adalah jenis kunjungan wisata yang kedua, yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
kunjungan wisata malam hari. Sebagai tempat kunjungan wisata, masing-masing
istana mempunyai kesamaan pengelolaan di samping terdapat juga perbedaan-
perbedaannya. Hal tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini.
Dengan tidak menutup kemungkinan bantuan dari berbagai pihak,
pelestarian semua warisan budaya keraton merupakan tanggung jawab langsung
keluarga dan kerabat keraton. Hal ini menyangkut berbagai upucara adat
tatacara, fisik bangunan, dan kelangsungan kehidupan keseniannya.
Pengembangan warisan budaya keraton menjadi kemasan atraksi dan objek
wisata budaya, merupakan salah satu alternatif yang memungkinkan diperolehnya
sumber dana untuk kegiatan pelestarian dan pengembangan warisan budaya
tersebut secara berkelanjutan.
Wisata kunjungan malam hari untuk wisatawan mancanegara adalah salah
satu kegiatan yang dikelola oleh Yayasan Pawiyatan Karaton Kasunanan
Surakarta. Yayasan ini dipimpin oleh G.R.Ay. Koesmurtiyah Wirabhumi, putra
Paku Buwana XII. Membicarakan kesenian, utamanya tari-tari keraton, tidak
akan lengkap tanpa menbicarakan peran sertanya. Koesmurtiyah dikenal sebagai
penari bedhaya dan srimpi yang andal. Penguasaannya terhadap sejumlah tari
bedhaya dan srimpi menjadikan dia sebagai nara sumber primer untuk berbagai
bentuk penelitian, khususnya tentang tari tradisional keraton. Kepakarannya di
bidang tari keraton khususnya tarian putri, dapat dilihat pada hari latihan yang
diadakan pada setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, dari pukul 14.00 sampai
16.00 di Bangsal Surakarta. Dalam waktu latihan garingan (latihan tanpa
karawitan), dia melatih secara langsung penari yunior dengan bantuan para penari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
dan mantan penari senior (perlu diketahui bahwa dilingkungan tradisi keraton, bila
mana seseorang penari yang kemudian menikah, maka status kepenariannya
secara otomatis ditanggalkan). Apabila tari bertemu dengan karawitan, peran dia
berfungsi ganda yaitu tebagai pengeprak. Pengeprak adalah orang yang bertugas
memukul alat yang terdiri atas kotak, ukuran kecil terbuat dari kayu yang salah
satu sisinya terbuka, dan pada salah satu sisi papannya tergantung dua atau tiga
lempengan logam yang ditumpuk. Alat ini disebut keprak.
Fungsi keprak pada sajian tari-tarian istana kalau tidak dapat disebut vital
adalah sangat penting. Pada keprak bergantung aba-aba atau tanda tentang dimulai
dan akhir dari suatu gerak tari, berfungsi sebagai ilustrasi setiap gerak tari,
memberi tanda kepada pengrawit (pemain gamelan) untuk memulai atau
mengakhiri suatu gendhing, dan juga memegang peranan untuk memperlambat
dan mempercepat laya (irama) gendhing. Untuk pentas formal, peran dia sebagai
pengeprak didelegasikan kepada salah seorang mantan penari senior yang juga
berkedudukan sebagai salah satu pembantu pelatih tari di keraton.
Kesadaran yang tinggi dari pihak keraton tentang industri pariwisata,
khususnya kunjungan malam hari, telah dipersiapkan dengan maksimal guna
menarik minat wisatawan pada kunjungannya yang pertama dan demi kunjungan-
kunjungan yang akan datang. Persiapan tersebut meliputi kendaraan jemputan,
menu makan malam berikut makanan kecil beserta minuman dingin atau panas,
dan penempatan tempat duduk wisatawan.
Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke keraton datang dari negara
Perancis, Inggris, Spanyol, Amerika, Malaysia, Jepang, Australia, Singapura, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Italia. Jumlah mereka antara 20 orang hingga 30 orang. Mereka kebanyakan
terbang dengan pesawat maskapai Air Silk menuju Indonesia turun di Bandara
Polonia Medan. Perjalanan mereka sampai di Surakarta ditangani oleh biro
perjalanan Nataya Tours and Travel. Di Surakarta mereka bermalam di Hotel
Sahid Raya yang mempunyai kualifikasi bintang empat.
Keberangkatan wisatawan dari hotel Sahid Raya menuju keraton
berkendaraan andhong (kereta rodo empat yang ditarik kuda) yang akan tiba pada
pukul 18.00 WIB. Sesampainya di keraton, mereka disambut oleh pemandu
wisata dan tuan rumah menuju Sasana Handrawina untuk makan malam. Waktu
pementasan dimulai pukul 19.30 WIB. di Bangsal Smarakata. Apabila terjadi
keterlambatan relatif lama, kedatangan wisatawan tidak langsung makan malam,
melainkan setelah menyaksikan pementasan tari pertama yang biasanya disajikan
tari srimpi. Pada saat penyajian tari srimpi ini wisatawan tidak mendapatkan
jamuan yang berujud apapun. Hal ini juga berlaku bagi wisatawan yang datang
tepat waktunya. Tata cara ini dimaksudkan agar wisatawan ikut menghormati
sajian tari srimpi sebagai salah satu atribut kehormatan keraton. Sebelum
dimulainya sajian tari yang kedua, wisatawan dijamu makanan kecil berikut
minuman panas atau dingin. Sesaat sebelum tari pertama maupun tari kedua
disajikan, terlebih dahulu dibacakan latar belakang tari bersangkutan oleh salah
seorang yang telah ditunjuk pihak penyelenggara.
Untuk satu paket sajian seperti telah terurai di atas, setiap orang wisatawan
mengeluarkan beaya sebesar $ 28 U.S - $ 35 U.S. Adapun honorarium untuk
seorang penari sebesar Rp. 50.000,-, demikian juga para swarawati (pesindhen)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
dan pemain kendhang (pengendhang). Honorarium bagi pengrawit khusus untuk
tindhih (pemimpin karawitan) sebesar Rp. 30.000,- dan pangrawit yang lain
mendapat rata-rata Rp. 20.000,-. Pada era sekarang mengikuti perkembangan
rupiah dan kurs dollar untuk honor penari dan pengrawit Rp. 200.000,- sampai
Rp. 500.000,-
Dari hasil pengamatan, tari kemasan wisata di keraton didukung oleh para
penari rata-rata berkualitas baik, demikian pula para pengrawitnya. Sejumlah
delapan puluh persen asal penari dari luar lingkungan tembok keraton. Khususnya
para penari putra adalah para mahasiswa dan alumni Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta. Para pengrawit. pada umumnya telah mempunyai
status sebagai abdi-dalem keraton dengan masa kerja yang beragam.
Dalam mencapai hasil yang maksimal, dua atau tiga hari sebelum pentas
diadakan latihan guna memenuhi target waktu 15 menit untuk satu sajian tari.
Latihan ini hanya berlaku untuk tari srimpi yang penggarapannya lebih kompleks
daripada tari-tari putra pada umumnya. Satu tarian srimpi paling tidak terdiri atas
tiga gendhing pokok yang memerlukan banyak waktu dalam memainkanya
ditambah dua bentuk pathetan. Adalah suatu kesulitan tersendiri ketika durasi
tari srimpi yang sebenarnya rata-rata tiga-puluh hingga empat puluh menit beralih
menjadi singkat dengan durasi waktu lima belas menit. Selain itu juga harus
dipertimbangkan aspek rasa tari yang tetap kuat dengan ciri kelembutan gerak
tarinya dan jauh dari rasa tergesa-gesa. Untuk itu, meskipun tari-tari srimpi
tersebut telah dibakukan untuk sajian wisatawan, latihan sebelum pementasan
tetap disyaratkan. Garap gendhitig tarian putra pada umumnya tidak serumit garap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
gendhing pada tari srimpi. Rata-rata tarian putra terdiri atas dua gendhing pokok
yang relatif tidak memerlukan waktu yang lama untuk memainkannya, ditambah
bentuk ada-ada atau pathetan.
Promosi budaya keraton telah sering dilakukan di dalam maupun di luar
negeri. Promosi yang dilakukan untuk masyarakat luar negeri antara lain ke
negara Jepang, Hongkong, dan Amerika. Materi untuk lawatan ke luar negeri
selain mementaskan tari-tarian keraton juga menggelarkan upacara adat pengantin
keraton. Para bangsawan keraton cukup terbuka melihat perkembangan tari di luar
tembok keraton. Sikap keterbukaan ini merupakan salah satu dukungan
penyelenggaraan festival-festival kesenian. Kolaborasinya dengan pihak luar yang
pernah dilakukan adalah berjudul Passage Through the Gong (1993) dengan
Sardono Dance Company. Karya tari ini untuk memenuhi undangan Next Wave
Festival di Amerika Serikat. Kota-kota yang disinggahi pementasannya meliputi
Brooklyn, New York, San Fransico, dan Los Angeles. Karya yang sama
dipentaskan juga di Hongkong dalam forum Hongkong Arts Festival 1996.
Kunjungan wisata malam hari di keraton diselenggarakan satu kali dalam
seminggu yaitu pada tiap hari Rabu malam. Adapun jumlah kunjungan tahun 1993
sebanyak 18.367 orang; tahun 1994 sebanyak 11.813 orang; dan tahun 1995
sebanyak 8.852 orang.
Sebagaimana sifat budayanya (tradisi), tarian istana Surakarta yang
dilestarikan hingga sekarang merupakan hasil dari proses 'belajar-mengajar' secara
turun-temurun dari generasi sebelutnnya ke generasi berikutnya. Cara
penyampaiannya (transmisinya) yang dikenal paling tidak ada tiga macam yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
pertama, 'metode' tradisional; kedua, 'metode' campuran antara metode tradisional
dengan 'metode' hitungan; dan ketiga membaca catatan. Pertama, metode
tradisional merupakan cara yang lazim digunakan oleh para empu tari. Pada
metode ini guru menari di depan dan murid menirukan di belakangnya, baik
bersamaan dengan karawitan langsung maupun tidak langsung. Kedua, metode
campuran adalah cara yang banyak digunakan pada sekolah-sekolah seni dan
sanggar-sanggar tari. Pada metode ini selain guru memberi contoh di depan untuk
ditirukan oleh murid, juga meminjam bentuk dan struktur karawitannya untuk
diganti dengan hitungan guna memudahkan penerimaan bagi murid. Ketigar
membaca catatan tari. Metode Ini hanya digunakan oleh penari-penari tingkat
lanjut lewat bimbingan atau tidak oleh guru. Hal demikian disebabkan oleh sifat
catatan tari yang banyak menggunakan peristilahan (terminologi) tari. Kegiatan
ini khususnya untuk naskah-naskah tari kuna yang biasa disebut sebagai
penggalian tari.
Dari ketiga cara yang telah disebut dihasilkan tiga bentuk tarian, yaitu
bentuk tarian lengkap, bentuk tarian padat, dan bentuk tarian ringkas atau singkat.
Pengertian bentuk tarian lengkap adalah menyajikan kembali suatu tari berikut
konsep koreografi tradisi yang menyertainya, antara lain konsep keseimbangan
dalam bentuk pengurangan sekaran (satuan gerak tari), konsep ruang dalam
bentuk penjelajahan ke empat arah mata angin, dan sebagainya.
Pengertian bentuk tarian padat adalah suatu tari yang secara fisik masih
mengacu kepada bentuk tari yang lama dalam garap padat. Konsep atau garap
padat adalah keterpadunn antara wujud lahir atau wadah (tempat) dengan isinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Sesuai dengan kata padat dalam arti harfiahnya yaitu singsat (Jawa: singset),
bernas, mattes, maka Larian bentuk padat ini lebih kecil dibandingkan dengan
bentuk aslinya. Untuk mencapai bentuk padat terdapat beberapa konsekuensi
antara lain, perubahan pada laya gendhing tari, penghilangan pengulangan
sekaran tari, dan perubahan pola lantai.
Pengertian tarian bentuk ringkas atau singkat adalah tarian yang secara
stuktur atau urut-urutan sekaran tari dan laya gendhing masih mengacu kepada
tari aslinya, tetapi terdapat pemangkasan atau pemotongan pada sekaran tari,
bentuk perangan (apabila tari tersebut sebagai tari perang), dan pengurangan pola
lantai. Khusus tarian yang disebut terakhir, meskipun dalam bentuk ringkas atau
singkat, masih bernuansa eksotik yang merupakan daya tarik tersendiri untuk
wisatawan. Selain itu relatif tidak terlalu memerlukan waktu yang lama untuk
penyajiannya. Pada kenyataannya hanya bentuk tarian ringkas atau singkat ini
sebagai sajian wisata, maka wajarlah bila disebut sebagai tari kemasan wisata, di
samping keperluan pelestarian sebagai ide pokoknya.
Tari kemasan untuk wisatawan mancanegara di Karaton Kasunanan dan
Pura Mangkunagaran Surakarta telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Hal
tersebut tercermin dalam setiap pementasannya yang senantiasa menjaga kualitas
pertunjukannya. Baik di keraton maupun di pura, masing-masing menyajikan dua
repertoan tari pada setiap malam kunjungan wisatawan. Hal yang sama, penyajian
tari diselenggarakan setelah jamuan makan malam yang merupakan bagian dari
keseluruhan paket kunjungan. Sesaat sebelum pertunjukan berlangsung, para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
wisatawan dijamu makanan kecil dan minuman panas, yang barangkali suatu hal
yang tidak biasa dilakukan oleh mereka.
Khususnya di Karaton Kasunanan Surakarta, paket wisata untuk
wisatawan mancanegara ini diselenggarakan satu kali seminggu pada setiap hari
Rabu malam. Para wisatawan datang dari negara Perancis, Spanyol, dan Inggris
dengan pesawat Silk Air. Untuk kunjungan ke keraton, mereka dikenakan beaya
setiap orang $ 28 U.S - $ 35 U.S. Jumlah rata-rata setiap kali kunjungan sebanyak
28 – 35 wisatawan.
Karaton Kasunanan Surakarta menyiapkan empat repertoar tari untuk
kunjungan wisatawan mancancgara. Koempat lari tersebut terdiri alas dua
repertoar tari jenis putri yaitu tari Srimpi Lagudhempel dan tari Srimpi Lobong
dan dua repertoar tari jenis putra yaitu Wireng Bandayuda dan Wireng Lawung.
Pada setiap pementasan disajikan dua repertoar tari yang diambil dari empat
repertoar tari yang telah dipersiapkan di atas, yakni tari srimpi (sebagai sajian tari
pertama) dan wireng (sebagai sajian tari kedua). Keempat repertoar tari tersebut
merupakan materi pokok dalarn arti sering dipentaskan untuk sajian wisatawan.
Repertoar tari lain sebagai cadangan adalah Wireng Bugis Keinbar dan Pethilan
Perang Kembang. Pada pementasannya tidak terdapat pembakuan apakah satu
repertoar tari srimpi tertentu habis bersamaan atau berdampingan dengan repertoar
tari wireng atau tari pethilan tertentu.
Gambaran repertoar tari untuk sajian wisatawan mancanegara dimaksud
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
1. Srimpi Gendhing Lagudhempel.
Menurut Catatan gendhing ini karya Paku Buwana VIII di Surakarta.
Secara umum yang ada pada tari srimpi adalah tarian tersebut dilakukan oleh
empat orang penari putri dengan kualitas gerak halus dan cenderung lembut.
Masing-rnasing penari mempunyai nama-nama tertentu yaitu batak, guhi, dhadha,
dan buncit. Selain itu nama tari srimpi selalu mengambil dari nama gendhing
(musik tari) yang mengiringinya.
Keempat penari Srimpi Lagudhempel mengenakan tata rias dan tata busana
yang sama. Tata rias yang digunakan adalah rias korektif putri (mempertegas garis
wajah dengan pensil rias, bayangan mata, dan pemerah pipi) yang dilengkapi
dengan segokan dan godhek.
Gendhing Srimpi Lagudhempel diawali pathetan slendro sanga untuk
masuk penari menuju gawang (tempat menari/pentas) yang dilanjutkan posisi
duduk paju-pat (keempat arah penjuru angin). Kemudian dilanjutkan Gendhing
Lagudhempel buka (intro) rebab, sementara itu para penari mulai menari dengan
gerak tari mangenjali (melakukan gerak sembah) dengan sikap gerak duduk.
Gendhing srimpi ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian merong, bagian minggah
ladrangan, dan bagian Ketawang Mijil Lagudhempel.
Ceritera yang ada pada cakepan (syair sindenan) di bagian merong dan
minggah ladrangan melukiskan Idiarisma Prabu Sri Dasarata raja Ngayodya. la
sebagai seorang raja yang benaiak iviku yang selalu berbuat baik dan jauh dari
prasangka buruk pada scsamanya. Oleh karena itu, raja-raja dari negara lain
semuanya tunduk tanpa peperangan segan oleh kebesaran atau keagungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
budinya. Pada bagian Ketawang Lagu Dhempel berisi petuah tentang kehidupan.
Petuah atau nasihat itu antara lain, bahwa jagad yang digelar ini semuanya adalah
ilmu. Demikian pula semua peristiwa merupakan pengalaman yang harus
direnungkan untuk mencari benar dan salah mau pun baik dan buruk.
2. Srimpi Gendhing Lobong
Seperti halnya gendhing terdahulu, gendhing ini yasan Paku Buwana VIII
di Surakarta. Dengan diawali pathetan laras slendro manyura. sementara para
penari berjalan menuju gawang tari untuk duduk pada arah keempat penjuru
angin.
Keempat penari mengenakan rias korektif putri dan mengenakan tata
busana yang sama. Tata busana yang menghias kepala meliputi jamang, sumping,
cundhuk-wulu, dan kanthong-gelung. Leher mengenakan kalung pananggalan dan
lengan atas mengenakan kelat-bahu serta pergelangan tangan mengenakan gelang.
Kemudian berturut-turut baju tak berlengan, sampur, slepe, dan kain parang.
Gendhing Srimpi Lobong sebagai berikut. Dengan diawali oleh lagu atau
pathetan slendro manyura kemudian buka rebab sebagai awal dari bagian merong.
Sesudah itu minggah Pareanom dan dilanjutkan Ladrang Kandhamanyura.
Gendhing Srimpi Lobong ini semula menggunakan laras pelog pathet nem, dan
pada tahun 1774 oleh Pakubuwana VIII diganti laras slendro pathet manyura.
Ceritera yang ada pada cakepan menggambarkan perang Bharatayuda
antara Pandawa melawan Ngastina telah selesai. Situasi yang berangsur-angsur
damai tiba-tiba dikotori oleh Aswatama yang ingin membunuh Parikesit dengan
pusaka Cundhamanik milik Bhatari Wilutama. Dengan pusaka tersebut Aswatama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
dapat masuk ke pembaringan bayi Parikesit lewat lorong di bawah tanah
(ngesong: Jawa) yang dibuatnya. Parikesit tidur tanpa ditunggui oleh ibunya
maupun inangnya, melainkan sebuah panah pusaka Pawpati milik kakeknya,
Janaka. Tuhan melindungi bayi Parikesit. Ketika Aswatama akan menancapkan
pusaka ke tubuh Parikesit, tiba-tiba tanpa disengaja panah Pasopati yang
disandingnya melesat oleh jejakan kaki Parikesit sehingga mengenai dada
Aswatama hingga tewas bersama lepasnya pusaka Cimdamanik dari tangannya.
3. Wireng Bandayuda.
Tari perang ini yasan Susuhunan Paku Buwana IV (1787-1820) di
Surakarta. Tari ini diilhami oleh tari Wireng Lawung yang diciptakan oleh Sultan
Agung di Mataram (1613-1645), yang intinya mengungkapkan latihan perang
dengan senjata tombak.
Para penari Wireng Bandayuda berias korektif laki-laki dengan
mempertegas garis wajah dengan menggunakan pensil rias untuk alis dan garis
mata serta godhek; warna merah (rouge) pada pipi dan lipstick pada bibir, dan
mengenakan kumis pasangan. Penari mengenakan kain modang atau alas-alasan
kombinasi warna merah dengan putih, celana panjen merahhati, sabuk cindhen,
sampur hiring, epek hitam, timang kuning, dan kalung kaceh warna merah.
Kepala mengenakan kodhok-bineset dan leher mengenakan kalung ulur. Peralatan
yang digunakan adalah tongkat berukuran pendek dan tameng yang terbuat dari
rotan. Mereka mengenakan asesori keris.
Gendhig Wireng Bandayuda diawali dengan lagu ada-ada pelog barang
untuk mengawali seluruh gendhing tari ini. Maju beksan menggunakan Lancaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Singanebah laras pelog pathet barang dan dilanjutkan Ladrang Bimakurda pelog
barang. Pada bagian perang-perangan kembali pada lancaran semula, demikian
pula pada beksan bagian kedua kembali pada ladrang. Pada bagian akhir yaitu
mundur beksan kembali ke Lancaran Singanebah.
Salah satu ciri wireng di Surakarta adalah tidak adanya penokohan. Namun
demikian, apabila di lihat dari cakepan (syair teks) ada-ada (lagu dengan iringan
dhodhogan) pada tari ini, terdapat nama-nama tokoh yaitu Jayengsari dan
Macanwulung yang terdapat pada ceritera Panji. Pada dasarnya tarian ini
mengungkapkan latihan perang dengan senjata yang sama yaitu tongkat berukuran
pendek dan tameng.
4. Wireng Lawung.
Berkaitan dengan asal mula Wireng Lawung ini, diketemukan dua sumber
tertulis yang berbeda. Sumber tertulis pertama menginformasikan bahwa tari
tersebut adalah yasan Paku Buwana XI di Surakarta. Sumber tertulis kedua
menginformasikan bahwa Wireng Lawung ini adalah salah satu warisan karya
Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Karaton Mataram (1613-1645).
Keempat penari mengenakan tata rias dan tata busana sama. Tata rias
wajah karakter gagah, dengan menebalkan alis, garis mata, dan godhek dengan
pensil hitam, pemerah pipi, dan kumis pasangan. Tata busana kepala mengenakan
ikat kepala kodhok-bineset dan summing. Kedua lengan mengenakan klat-bau dan
gelang tangan. Busana badan terdiri atas kalug-kaceh, sabuk-cinde, epek-timang,
kain-jarit, sampur, dan uncal. Mereka juga mengenakan celana panjen cinde dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
binggel (gelang kaki). Punggung bagian bawah mengenakan asesori keris yang
diselipkan di antara lipatan sabuk, dan membawa properti tombak.
Gendhing Wireng Lawung sebagai berikut; Tayungan maju beksan
menggunakan Gangsaran laras 6 slendro manyura sebagai gendhing pertama.
Beksan bagian pertama yang dimulai dari sembahan jengkeng menggunakan
gendhing Ladrang Lawunggedhe kenahang kalih (kendhang dua) sebagai
gendhing kedua. Sesaat sebelum perangan garap gendhing sirep dan ketika
perangan kembali kepada gendhing pertama. Beksan kedua kembali kepada
gendhing yang kedua. Untuk mundur beksan kembali lagi kepada gendhing
pertama yaitu Gangsaran laras 6 slendro manyura.
Di lihat dari garap tari dan garap perangan Wireng Lawung termasuk tari
prajuritan. Tari ini rnencoba mengungkapkan kegagahan prajurit dengan
bersenjatakan tombak. Di dalamnya tidak ada penokohan.
Sejak tahun 1966 Indonesia mulai berbenah diri dan prioritas utama yang
diprogramkan adalah mengatasi masalah ekonomi dengan mengaktifkan lagi
pertanian yang sudah mulai tidak tergarap dan mengembangkan industri. Sejak
Pelita V sekitar mulai tahun 1988 industri Pariwisata mulai diperhatikan
potensinya di dalam program pembangunan Indonesia, jadi sangat tepat saatnya
dimana Keraton Kasunanan turun eksistensinya dan Indonesia menggalakkan
industri wisata budaya, sehingga untuk mempertahanksn eksistensi. Keraton
Kasunanan yang telah menjadi keraton yang tinggal musium (gleger) akhirnya
melangkah dengan jalur wisata, sejalan dengan langkah pemerintah Indonesia.
Untuk kepentingan itu, kerabat Keraton Kasunanan membentuk Team
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Management Pariwisata Keraton Kasunanan. Team Itu dibentuk karena Keraton
Kasunanan kosong pimpinan dan team tersebut membiayai Istana Keraton
Kasunanan termasuk Juga Langen Praja yang mengelola bidang seni budaya.
Sejak tahun 1988 itu pula Team Management Pariwisata Keraton Kasunanan
memasarkan seni budaya Keraton Kasunanan melalui jalur wisata dan bergerak di
luar Biro Pariwisata yang ada di Keraton. Dua badan pariwisata keraton bergerak
sendiri-sendiri. Sedangkan Biro Pariwisata bertanggung jawab pada Keraton pada
waktu itu masih kosong kepemimpinan dan selanjutnya dipegang oleh Gray Koes
Moertiah sampai sekarang. Team ini membiayai istana tetapi memprioritaskan
kegiatan Langenprajan yang mengelola kegiatan kesenian yang meliputi latihan
dan penggalian tarif karawitan klenengan, gamelan pakurmatan, pedalangan dan
di luar Langenprajan adalah perpustakaan, dan sekarang juga mengelola untuk
paket pariwisata budaya.
Pada tahun 1988 Team Management Pariwisata mengadakan hubungan
dengan biro perjalanan Vista di Jakarta untuk menyalurkan para pelanggan
touristnya agar diantarkan singgah ke Keraton Kasunanan, maka pada tahun
tersebut itu ada 72 pemberangkatan dari De Buur En Wendel yang akan singgah
di Keraton Kasunanan Surakarta. Adapun tourist De Buur En Wendel itu obyek
wisata yang dinikmati ialah, masuk keraton, ramah tamah dan makan malam serta
diakhiri dengan melihat tari Keraton di pendapa Smarakata. Suasana yang akrab
ini menjadi gaya kepariwisataan yang dikelola oleh Team Management
Pariwisata, sehingga pelayanan ini menjadi sangat menyenangkan para tamu yang
lebih merasa akrab seperti kunjungan keluarga bila dibandingkan pelayanan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
dunia internasional pada umumnya termasuk di Indonesia (Saskia, wawancara 19
Desember 2011).
Kepariwisataan di Indonesia terus berkembang dengan menggunakan
paket-paket yang saling menguntungkan antara wisatawan dan obyek wisata
(tempat wisata yang dikunjungi / wisata budaya). Di bawah ini beberapa ciri
pariwisata budaya yang berhubungan dengan karya seni tari akan tetap laku dan
diminati wisatawan.
Tabel 1. Paket pariwisata budaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
No Ciri Seni Pertunjukan Bentuk Sajian 1 Tiruan dari aslinya Bentuk tiruan 2 Singkat atau padat dalam penyajian Durasi waktu + 15 menit 3 Penuh variasi Garap bervariasi 4 Tanpa nilai sakral / magis / religius Sesaji dan dupa dipergunakan
hanya untuk wisata 5 Murah Sesuai dengan kemampuan
wisatawan baik lokal maupun mancanegara
Sumber : Mulyatno, 1992 dan pengembangan penulis
Tari di Keraton yang mengalami perubahan yang digunakan untuk
pariwisata budaya di bawah ini. Daftar nama tari yang digunakan untuk
pariwisata budaya di Keraton.
Bentuk Putra Alus / Putra Gagah :
1. Palguna – Palgunadi
2. Janaka – Supala
3. Sancaya – Kusuma Wicitra
4. Klana – Jayengsari
5. Wira Pratama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
6. Gatutkaca Gandrung
7. Bandawala
8. Bandabaya
9. Bandayuda
10. Tohjaya – Bugis
11. Panji – Bugis
12. Handaya – Bugis
13. Lawung Alus
14. Harjuna – Newatakawaca
15. Harjuna Sastrabahu – Sumantri
16. Bambangan Cakil
17. Golek Clontong
18. Langendriyan Menakjingga lena
19. Langendriyan Damarwulan
20. Langendriyan Damarwulan Ngenger
21. Golek Lambangsari (Tari Gaya Yogya)
22. Mandrarini
23. Gambyong Campursari
24. Gambyong Pangkur Langen Kusuma
25. Gambyong Parenom
26. Srikandi Larasati
27. Srimpi Moncar
28. Langen Mandra Asmara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
29. Adanenggar
30. Adenenggar Kalaswara
31. Gambyong Simyar
32. Topeng Kelana
33. Bedhaya Bedah Madiun
34. Topeng Gunung Sari
35. Perang Kembang
36. Topeng Sekartaji
37. Srikandi Cakil
38. Srikandi Mustakaweni
39. Bambang Cakil
40. Yuda Asmara
41. Taman Soka
42. Drama Tari Narpada Krama
43. Drama Tari Topeng Narpada
44. Drama Tari Harjuna Wibawa
45. Werkudara Boyadenata
46. Gatutkaca Dadung Kuwuk
47. Sugriwa Subali
48. Srimpi Dempel
49. Srimpi Gondokusumo
50. Tameng Gita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
4.2.6 Teknologi dan komunikasi
Temuan dari hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa kesenian
Tari Tradisi dewasa ini ada kecenderungan makin berkembang menjadi bentuk-
bentuk hiburan dan sebagai komoditi dagangan (komersial) yaitu menekankan
pada kemampuan komunikasi dari pada penghargaan kritis dari khalayak
(penonton). Sang seniman dan penari cenderung menekankan pada estetika
resepsi (estetika menurut penoton) daripada estetika kreasi (berisi nilai moral
universal). Keindahan cenderung untuk memenuhi selera dan memenuhi
permintaan masyarakat dengan kebutuhan nyata (publik).
Perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat membawa
implikasi yang sangat besar terhadap kehidupan kesenian termasuk Tari Tradisi.
Dengan hadirnya teknologi komunikasi dapat menghantarkan pertunjukkan tari
dirumah penduduk lewat media audio visual (televisi), internet di telpon genggam,
laptop, netbook, komputer dapat mengakses seni tradisi baik Tari, Musik
Karawitan, Pedalangan, dan lain-lain secara mudah. Perkembangan teknologi
komunikasi ternyata menawarkan berbagai macam pertunjukan tanpa keluar
rumah, keluar uang banyak tetapi dengan teknologi membuat daya apresiasi seni
masyarakat terhadap pertunjukkan Tari Tradisi semakin menurun.
Sejak zaman Orde Baru, berbagai teknologi komunikasi modern
merambah seluruh pelosok Indonesia. Tidak hanya itu saja peradaban modern
juga mulai diterapkan masyarakat Indonesia seperti sistem perekonomian modern,
sistem birokrasi dan administrasi modern, membangun negara yang demokratis
(Umar Kayam, 2000:385), dan lain sebagainya / semenjak Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
memproklamirkan kemerdekaannya, sistem sosial semakin longgar dan tampak
jelas.
4.2.7 Faktor Masyarakat Sebagai Penikmat Seni
Hadirnya peradaban Barat dibumi Indonesia seperti administrasi modern,
sistem komunikasi modern, birokrasi modern, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan terjadinya perubahan yang mendasar
yaitu perubahan sistem nilai. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
merubah pemikiran masyarakat dari dunia mistik-magis kedunia empirik rasional.
Hal yang demikian itu membawa kecenderungan masyarakat pada yang realistis,
dan sesuatu yang dapat dibuktikan. Kecenderungan masyarakat akan hal yang
realistis itu nampaknya memberikan pengaruh pula terhadap perubahan Tari
Tradisi keraton pada masa sekarang. Mempengaruhi kepercayaan masyarakat
bahwa Tari yang berada di dalam keraton yang bermakna sakral, magis tidak
dapat dibuktikan dengan pikiran/rasio yang realistis.
Masyarakat dewasa ini adalah satu masyarakat yang bergerak amat cepat,
seiring perubahan nilai dan perubahan sistem sosial yang terjadi. Dalam kondisi
seperti itu sebenarnya masyarakat kita sedang mengalami perbauran yang luar
biasa antar subkultur, antar kultur dan antar nilai-nilai. Pembauran itu terjadi
antara lain hadirnya pendidikan, pengetahuan, perkawinan antar suku, antar
negara. Maka kebudayaan yang awalnya masyarakat Jawa yang menikmati
sekarang masyarakat luar (Jawa), bahkan orang luar (bule) dengan perkawinan
mereka akhirnya berbaur dengan masyarakat Jawa. Pandangan masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
modern berbeda dalam memandang kesenian tradisi. Perbincangan antar mereka
melahirkan konsep-konsep baru dalam memandang Seni Tradisi.
Masyarakat sebagai penikmat seni dahulu ditambahi dengan rasa
penghayat seni menjadi pudar dan bahkan berpandangan berbeda pengalaman dan
pengetahuan akan kehidupan yang berwawasan kedepan membuat kesadaran
mereka menjadi bertambah pula sehingga kepercayaan pada kesenian tradisi
keraton hanya kesenian tradisi yang bersifat menghibur.
4.3 Proses Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Lama ke Makna Yang
Baru Tari Srimpi Ludiramadu
Perkembangan kehidupan Tari Srimpi diawali pada tahun 1952 Tari
Srimpi pertama kali dipentaskan atau dipergelarkan di luar keraton. Pergelaran
tersebut diselenggarakan oleh Himpunan Budaya Surakarta agar Tari Srimpi dapat
dilihat oleh kalangan masyarakat umum di luar keraton sehingga masyarakat
mengetahui keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu.
Seniman berkeinganan untuk membuang atau meninggalkan warisan
tradisi itu untuk mencari bentuk baru. Dengan unsur-unsur tradisi itu berhasil
berkreasi membuat pemadatan tari sebagai bentuk baru pertunjukan tari. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh (George Simmel, 1986:287) sebagai berikut :
Individu-individu kreatif yang merasa terkungkung tidak leluasa oleh bentuk-bentuk budaya yang sudah mapan tidak pernah dapat membuang begitu saja warisan budaya yang masih hidup dan mulai lagi dari permulaan salah satu alasan, terlepas dari bahwa itu tidak mugkin, adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan kehidupan subyektif individu dan kemampuan kreatifnya menurut individu itu untuk mendarah-dagingkan paling tidak beberapa elemen kebudayaan yang masih hidup. Seseorang yang kreatif mungkin akhirnya mengatasi atau malah menolak bentuk-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
bentuk kebudayaan yang masih hidup itu masih relevan sebagai titik tolak untuk menciptakan bentuk-bentuk yang baru. Dalam proses mendarah dagingkan dasar budaya yang masih hidup ini, seseorang mengambil resiko bahwa kreativitas subyektif dapat ditekan dan dipaksa untuk sesuai dengan bentuk-bentuk yang sudah ada.
Pemadatan tari juga merupakan salah satu wujud ungkapan ketidakpuasan
terhadap Tari yang sudah ada yang berbentuk Tari ritual keraton dengan waktu +
90 menit bahkan + 120 menit pada warisan budaya leluhurnya. Tampaknya ia
tidak begitu saja menerima warisan itu sebagaimana adanya, tetapi ia berusaha
mengubah warisan itu agar dapat tetap hidup pada zamannya. Hal ini
menunjukkan bahwa ia ingin memberikan sumbangan warisan budaya kepada
zamannya dan generasi berikutnya. Seperti yang dikemukakan oleh (Duverger,
1981:356). “Tidak ada generasi yang puas dengan warisan pusaka (dalam hal ini
kesenian) yang diterimanya dari masa lalu, dia membuat sumbangannya sendiri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Brakel yang menyatakan bahwa :
Dewasa ini tari-tarian keraton oleh penari puteri itu pasti ditarikan pula diluar, oleh karena tari-tarian itu sekarang diajarkan di Akademi karawitan, Tari dan instansi pemerintah. Tetapi pengetahuan yang benar tentang tari-tarian keraton itu biasanya tetap berada ditangan para ahli, yang dididik erat hubungannya dengan keraton. Disamping itu komposisi posisi yang diubah untuk sesuatu konteks khusus dalam kehidupan keraton biasanya mengalami perubahan di sana sini yang sedikit banyak drastis, apabila komposisi tersebut hendak ditarikan dilingkungan yang lain (Clara Brakel, 1991:431). Berbagai macam cara manusia untuk melestarikan karya seni diantaranya
adalah menempatkan sebuah karyaseni itu di dalam murium dikemas rapi tidak
ada orang yang boleh menyentuh karena akan berakibat fatal terhadap karya seni
tersebut. Ini dilakukan kepada karya seni yang bersifat statis, seperti karya-karya
seni rupa. Namun, berbeda dengan pelestarian terhadap karya seni tari, karawitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
dan pedalangan. Pelestariannya justru dengan melibatkan diri, menyerahkan
kreativitas kita untuk meneruskan perjalanan karya seni tersebut, dalam hal ini
seni tradisi termasuk pemadatan tari juga bisa dikatakan sebagai usaha pelestarian
terhadap karya seni tradisi seperti yang dikemukakan oleh Humardani yang ditulis
oleh Ristopo sebagai berikut:
“…. Pemadatan Seni Tradisi adalah suatu tingkat komposisi tari. Pemadatan Seni Tari sewajarnya adalah pemadatan pernyataan. Waktu yang singkat adalah hasil, bukan tujuan. Yang dipertahankan dalam pemadatan Tari Tradisi bukan bentuk-bentuk lahirnya, melainkan kualitas yang muncul dari bentuk yang padat. Pemadatan pernyataan ini sifatnya sesuai dengan nafas sekarang. Dengan itu pemadatan Tari Tradisi adalah merupakan salah satu bentuk nyata dalam usaha pelestarian Tari Tradisi…..” (dalam Rustopo, 2001:182-183) Berawal dengan program penggalian dan pemadatan yang dilakukan oleh
PKJT dan ASKI Surakarta tahu 1970-an atas prakarsa Humardani. Secara jelas di
singgung oleh Sunarno bahwa dari program penggalian dan pemadatan tersebut
berhasil dipadatkan beberapa jenis tari srimpi, diantaranya Sangupati, Anglir
mendung, Gandakusuma, Dhempel dan tari berbentuk wireng. (1982:36).
Pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu dilakukan oleh A. Tasman dengan dibantu
oleh beberapa orang penari diantaranya Tantin Sri Marwanti, Rusini, Endang
Sulistyawati, dan Maryatin, sedangkan pelatih Tari Srimpi dan Bedhaya Keraton
yaitu Yudhadiningrat, Sulomo, Darso Saputro, (Wahyu Santoso Prabowo,
wawancara, 6 Desember 2011)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:634) disebutkan bahwa
isilah “padat” dapat berarti (1) sangat penuh hingga tidak berongga, padu,
mampat, pejal, (2) penuh sesak, penuh tempat (3) rapat sekali. Memadatkan
menjadikan padat, menjejal (mengisi, mengurangi, memasukkan) jadi, ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
persoalan yang menyangkut dua hal yaitu temat atau wadah dan isinya. Dalam
konteks pembicaraan yang berkenaan dengan konsep pemadatan tari, kiranya
terdapat kesesuaian dengan pengertian diatas sebab dalam hal ini permasalahan
menyangkut “isi” dari sebuah karya seni tari secara konseptual, dalam tari ada
perbedaan atau pemisahan antara “wadah” dan “isi”. Wadah yang dimaksud
merupakan sarana ungkap atau bentuk fisik dari sebuah karya seni tari. Sedangkan
“isi” adalah apa yang hadir dari wujud visual yang telah dituangkan melalui
bentuk fisiknya. Dengan kata lain, “wadah” adalah sesuatu yang ditangkap indera
sebatas proses pengamatan, dan “isi” adalah hasil hayatan yang ditangap melalui
proses penghayatan dengan penjelajahan seluruh kemampuan jiwa. Wadah dan isi
dalam karya seni selalu melekat hadir secara bersamaan dan saling bergantungan
satu sama lain sebagai satu kesatuan yang utuh. Sebagaimana diungkapkan bahwa
“….. suatu ciri keberhasilannya karya seni ada suatu kesatuan bentuk (wadah) dan
“isi” (Humardani, 1978 / 1979:32). Persoalan “wadah” dan “isi” menjadi penting
dan mendasar ketika memperbincangkan masalah pemadatan dalam tari.
Pemadatan diterapkan pada karya-karya yang telah ada, dalam hal ini
kesenian tradisi / tari tradisi Jawa berbentuk Tari Srimpi Ludiramadu. Seni tradisi
mengalami perjalanan sejarah panjang diwariskan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi berikutnya. Di tinjau dari segi penggarapannya, biasanya seni
tradisi memiliki pola-pola atau semacam aturan tertentu yang sering disebut
sebagai vokabuler. Secara teknik, bentuk,bentuk pemadatan yang telah dilakukan
senantiasa masih berpijak dari pola-pola yang telah ada dengan pengembangan-
pengembangan pada unsur-usnur garap tertentu misalnya : dengan mengurangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
pengulangan-pengulangan, pengembangan bentuk sesuai dengan kemantapan rasa
garapan, atau sengaja menghilangkan unsur-unsur garap yang sama sekali
dianggap tidak menunjang.
Menurut Tasman, pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu didasarkan pada
konsep pelestarian dan pengembangan tari tradisi gaya Surakarta, terutama tari
bedhaya dan srimpi. Konsep pemadatan itu sendiri bertolak dari waktu penyajian
Tari Srimpi Ludiramadu untuk yang dirasa terlalu panjang (waktu + 55 menit – 90
menit), sehingga perlu beberapa perubahan agar dapat dinikmati dalam waktu
yang lebih singkat oleh masyarakat sekarang. (wawancara, 6 Desember 2011)
Proses pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu ini menimbulkan perubahan
struktur garap madiumnya. Secara umum perubahan yang terjadi pada proses
pemadatan tari srimpi meliputi aspek garap karawitan tari dan garap medium
pokok gerak. Penggarapan pada gerak meliputi aspek volume, tempo, irama dan
tekanan dinamik (Sunarno 1982:52)
Perubahan Tari Srimpi Ludiramadu berupa pengurangan tehadap
pengulangan ragam gerak yang dirasakan menimbulkan rasa bosan pada penyajian
tarinya. (I Nyoman Chaya, wawancara, 7 Desember 2011). Dijelaskan oleh
Tasman bahwa dalam proses pemadatan tari srimpi ludiramadu ada beberapa
perubahan, yaitu : waktu penyajian, pengurangan bentuk, pengurangan vokabuler
dan bentuk karawitan tari, tempo (kecepatan gerak). (wawancara, 7 Desember
2011)
Selanjutnya Tari Srimpi Ludiramadu dijadikan salah satu materi
perkuliahan untuk praktek tari putri gaya Surakarta di ASKI / STSI Surakarta dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
SMK 8 atau SMKI Surakarta. Tari Srimpi Ludiramadu sekarang juga berfungsi
untuk apresiasi seni / pertunjukan tari, lomba-lomba seni tradisi, acara
penyambutan tamu pada acara resepsi pernikahan/punya gawe (mantu), misi
kesenian, pariwisata budaya.
Pada tahun 1978 Keraton (raja + abdi dalem) bekerja sama dan
berkolaborasi menggarab kesenian tradisi keraton (wireng, bedhaya, srimpi)
dengan tujuan mementaskan seni tradisi / tari untuk dikirim sebagai wakil
Indonesia dalam bidang kebudayaan keberbagai negara. Pihak keraton
mewakilkan beberapa penari dan putri keraton ditambah penari diluar tembok
keraton (lembaga / PKJT). Mahasiswa dan dosen jurusan tari dan karawitan dulu
dikenal dengan nama ASKI Surakarta. Materi tari mengambil Srimpi Ludiramadu
waktu dipadatkan lagi karena untuk pertunjukan + 15 menit – 18 menit.
Pemadatan dilakukan untuk misi kesenian berawal pada tahun 1979 mengirim
perwakilan kebudayaan ke Inggris berlanjut tahun 1980 ke negara Singapura,
tahun 1982 ke negara Belgia, tahun 1983 ke negara Perancis, tahun 1984 ke
negara Inggris, 1985 ke negara Thailand, 1986 ke negara Belanda, tahun 1987 ke
negara Cina, tahun 1988 ke negara Malaysia, tahun 1989 ke negara Jepang, tahun
1990 ke negara Vietnam sampai tahun 1997, Arab dan 1998 kembali ke Jepang.
Tari Srimpi Ludiramadu selalu berkembang mengikuti zaman
menyesuaikan ruang dan waktu pada masa kebudayaan itu ada hal ini sesuai
pernyataan Edi Sedyawati (1982:25) dan menurut Wahyu Santoso Prabowo,
kesenian tradisi/tari tradisi tidak pernah mandek, berjalan terus dari hari ke hari,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
tahun dan dekade serta era kebudayan yang mengikuti, zaman dulu sekarang atau
zaman yang akan datang. (wawancara, 7 Desember 2011)
Kesenian yang keluar keraton pada akhirnya berubah pada bentuk, fungsi
dan makna. Terbukti Srimpi Ludiramadu sekarang digunakan untuk apersiasi seni,
lomba tari tradisi, lomba (pekan seni / porseni SD, SMP, SMA), hiburan /
pertunjukan, resepsi pernikahan, pariwisata budaya.
Perubahan bentuk, fungsi, dan makna dapat dilihat melalui proses dalam
tembok keraton dan keluar tembok keraton. Pemadatan untuk mata
kuliah/pelajaran SMKI / STSI / ISI / berlanjut sebagai misi kesenian. Apresiasi,
festival seni, lomba-lomba, pertunjukan/hiburan, resepsi pernikahan di masa
sekarang. (I Nyoman Chaya, wawancara, 7 Desember 2011)
Proses panjang Tari Srimpi Ludiramadu menggeser makna pada tari
karena tergesernya zaman. Kepercayaan masyarakat pada kesenian keraton,
makna kesakralan tari hanya dianggab sebuah kreatifitas seniman mengekpresikan
karya dalam sebuah tari, tingkatan rasa penari, bentuk gerakan, iringan sebagai
apresiasi seni yang menarik dan layak dilihat dan ditonton. Pemaknaan batak,
gulu, dhadah, buncit dianggab sebagai jumlah penari empat karena ada gerakan
yang mengharuskan berhadapan, kelompok tari. Kehidupan di keraton dapat
sebagai simbol sifat / watak manusia supiah, almanah, mutmainah dianggab hanya
manusia sekarang tidak zaman dulu berkarakter sama baik dan buruk / jahat, putih
/ hitam, putih / merah, langit / bumi, air / udara, surga / neraka, cantik / jelek, kaya
/ miskin, dan lain-lain. Makna ada dua konotasi dan denotatif, menurut Batles.
Makna disini bisa dianggab sebagai makna yang sebenarnya dan makna yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
tidak sebenarnya atau kiasan / penyerupaan (I Nyoman Chaya, wawancara, 7
Desember 2011).
Penulis mendiskripsikan bentuk Tari Srimpi Ludiramadu setelah
mengalami perubahan waktu / durasi, tempo, iringan karawitan, vokabuler gerak,
tata busana, tata rias sebagai berikut :
4.3.1 Perubahan Pola Susunan Gerak Pada Tari Srimpi Ludiramadu
4.3.1.1 Pola susunan gerak tari
Perubahan pada dewasa ini ada kecenderungan dikondisikan oleh minat
dan keinginan masyarakat pendukungnya. Apabila dicermati secara lebih
mendalam minat tersebut memiliki kecenderungan bersifat gayeng (guyup/ramai),
sangat menghibur yang mampu memberikan kepuasan pada penonton.
Proses perubahan merupakan usaha yang dilakukan untuk penyesuaian
bentuk kesenian. Tari tradisi yang lebih kekinian. Penyesuaian dilakukan supaya
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan hiburan.
Perubahan yang timbul secara alamiah dan organik dari tubuh tradisi,
tetapi ada juga perubahan yang merupakan akibat dari proses dominasi atau
subversi budaya ada perubahan yang memperluas wawasan atau memperdalam
kemampuan suatu kesenian, tetapi ada juga perubahan yang mendangkalkan,
memiskinkan dan menyempitkannya. Menurut Philip Yampolsky (2006:236). Ini
dilihat dari perubahan fungsi yang ditujukan untuk kepentingan upacara-upacara
di keraton berubah untuk kepentingan hiburan / apresiasi seni, lomba-lomba,
pariwisata budaya dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Gerak pada Tari Srimpi Ludiramadu dilihat oleh apa saja yang ada dalam
lingkungan kehidupan manusia. Hal ini tampak jelas pada istilah-istilah yang
digunakan untuk menyebut vokabuler gerak tari seperti sekar suwun, mucang
kanginan, lincak gagak, merak kesimpir, wedi kengser, jala-jala, gajah-gajah,
ombak banyu, secara jelas menunjuk adanya pendekatan visual. Wujud vokabuler-
vokabuler tari yang mengacu pada lingkungan alam seperti diatas, imitatif
(abstrak). Beberapa gerak menirukan gerak alam. Gerak-gerik alam disekitar
manusia ditinggalkan dan digayakan dengan imajinasi seniman hingga tarian sama
sekali tidak realitas melainkan sangat abstrak (Clifford Greeats 1983:381)
Susunan Tari Srimpi Ludiramadu sekarang memiliki pola susunan tari :
maju beksan ; beksan : dan mundur beksan. Maju beksan adalah bagian awal
suatu susunan tari, yakni penari mulai masuk menuju pelataran pentas (gawang
beksan). Pada bagian ini penari berjalan kapang-kapang dalam posisi urut kacang
nari batak berjalan paling depan, disusul penari gulu penari dada, dan penari
buncit setelah sampai gawang beksan duduk trapsila dengan gawang rakit. Tari
srimpi ludiramadu sekarang penari tidak diharuskan masuk ke tempat menari yang
berbentuk pendopo, gedng pertunjuan tidak dari posisi harus dari kanan karena
Raja yang berkuasa, diagunggung tidak lagi duduk di dampar kedhaton /
singgasana raja pada saat ini menggunakan gawang penari maju beksan.
Sajian Srimpi di keraton menurut fungsinya berkaitan dengan upacara
dengan upacara keraton. Kehadiran raja menjadi satu pertimbangan estetis dalam
garap madium gerak, sehingga Tari Srimpi selalu diawali dengan posisi duduk sila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
dan melakukan gerakan menyembah dua kali sebelum menari dan satu kali
sesudah menari.
Demikian juga dengan garap ruang ada kaitannya dengan tempat menari.
Kiblat papat lima pancer digunakan sebagai patokan, sehingga pola lantai pada
Srimpi bentuknya sistemis dan seimbang, sedang bentuk pada yang ada pada
Srimpi adalah rakit / susunan paju pat belah ketupat, ada pola berderet kebelakang
yang disebut urut kacang (Prabowo, 1990:34,5)
Sebelum masuk pada gambar pola lantai, pengertian pola lantai adalah
garis-garis lintasan yang dilalui para penari didalam ruang pentas. Dijelaskan juga
oleh K.R.T. Harjonagoro untuk pola lantai Tari Srimpi banyak menggunakan
garis lengkung dan lingkaran. Garis-garis tersebut diartikan dengan penggambaran
liku-liku hidup manusia di dunia (sedih, senang, kaya, miskin, dan lain-lain)
Berbicara pola ruang menurut pengamatan penulis berbentuk pola ruang
simetris atau bangun setangkup dan sesuai dengan pernyataan Sal Murgianto
(1986:24). Bunga setangkup apabila diamati dari depan atau samping merupakan
bentuk bayangan cermin, pola ruang bunga setangkup akan punya kesan yang
kokoh dan kuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Gambar sebagai berikut ini :
Gambar 3. Gawang Srimpi Ludiramadu
Sumber : Pujiani, 1992:46
Keterangan :
> : Arah hadap
Bt : Batak
Gl : Gulu
Dd : Dhadha
Bc : Buncit
Bt
Gl
Dd
Bc
Bt Gl
Dd Bc
a. Gawang urut kacang b. Gawang rakit
Bt
Gl Dd
Bc
c. Gawang urut kacang d. Dua-dua sehadap
e. Posisi Gendongan f. Posisi Gending
Gl Bt
Bc Dd
Gl
Bt
Dd
Bc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Beksan adalah bagian inti susunan tari. Bagian ini selalu diawali dan
diakhiri dengan gerak sembaha. Pada tengah bagian beksan biasanya terdapat
bagian yang mengungkapkan perang. Perang pada bagian ini, biasanya
diwujudkan dengan menggunakan garap ruang yang berbeda dan menarikan suatu
vokabuler yang biasa digunakan untuk mengungkapkan perang, seperti gerak
pistulan dan panahan.
Pada tari srimpi ludiramadu ada dua rangkaian vokabuler gerak. Artinya,
bagian inti susunan tarinya terbagi menjadi dua bagian: beksan bagian pertama
tersusun atas rangkaian vokabuler gerak tanpa menampilkan perang beksan;
sedangkan beksan bagian kedua tersusun atas rangkaian vokabuler gerak yang di
dalamnya terdapat perang beksan. Bagian kedua ini dapat disebut bagian perang
beksan atau perang gendhing. Setiap rangkaian beksan atau perang gendhing.
Setiap rangkaian beksan selalu diawali dan diakhiri sembahan, serta di antara
beksan bagian pertama dengan beksan bagian kedua diselingi dengan singgetan.
Tari Srimpi yang memiliki dua struktur rangkaian vokabuler gerak adalah Tari
Srimpi dhempel, Gandakusuma, Anglirmendung, dan Srimpi Ludiramadu.
Mundur Beksan adalah bagian akhir seluruh susunan tari. Pada bagian ini
penari berjalan meninggalkan lantai pentas (gawang beksa) dengan posisi urut
kacang. Selanjutnya diungkapkan pola susunan Tari Srimpi Ludiramadu, sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
4.3.1.2 Maju Beksan
Pada bagian ini penari berjalan menuju lantai pentas dengan posisi gawang
urut kacang. Penari batak paling depan disusul penari gulu, penari dhadha, dan
penari buncit. Pada bagian ini menggunakan bentuk pathetan.
4.3.1.3 Beksan
Pada bagian ini penari mulai menarikan ragam gerak yang telah ditentukan
dalam susunan tari. Adapun urutan ragam gerak yang ditarikan oleh penari, dapat
dipaparkan menjadi dua bagian, yaitu : beksan bagian pertama dan beksan bagian
kedua.
4.3.1.4 Mundur beksan
Pada bagian ini penari mulai berjalan debeg gejug mundur pada posisi
gawang rakit, kemudian berjalan kapang-kapang menjadi gawang urut kacang
untuk meniggalkan pentas. Penari masuk, keluar pentas tidak harus lewat sisi kiri
Raja, menyesuaikan Tari Srimpi dipentaskan dalam acara apa dan berfungsi untuk
apa.
4.3.1.5 Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu
Maju Beksan : Pathetan barang ngelik pelog pathet barang, suwuk
Beksa I : Buka – merong – inggah – ludrang – suwuk
Interval : Pathetan Barang jugag, pelog pathet barang
Beksan II : Buka celok-ladrang kendang I – suwuk
Mundur Beksan : Pathetan barang ngelik pelog pathet barang suwuk
Adapun pola karawitan tari Srimpi Ludiramadu pada pokoknya
menggunakan bentuk gendhing kethuk papat kerep, yang terdiri atas: (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
gendhing maju beksan; (2) gendhing beksan, meliputi gendhing beksan bagian
pertama dan gendhing beksan Dagian kedua; dan (3) gendhing mundur beksan.
4.3.1.6 Gendhing Maju Beksan
Gendhing maju beksan pada Tari Srimpi Ludiramadu menggunakan
bentuk pathetan. Bentuk ini dimainkan sejak penari berjalan kapang-kapang
menuju gawang beksan hingga penari duduk trapsila. Ricikan (instrumen)
gamelan yang dimainkan dalam pathetan adalah rebab, gender, gambang, dan
suling. Sesuai dengan laras dan pathet gendhingnya, pathetan pada bagian ini
menggunakan pathet barang ngelik laras pelog pathet barang disertai vokal putra
bersama atau suluk (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara 11 Desember 2011)
4.3.1.7 Gendhing Beksan
Sebagaimana pola susunan Tari Srimpi Ludiramadu, bentuk karawitan tari
Srimpi Ludiramadu terdiri dua bagian, yaitu gendhing beksan bagian pertama dan
gendhing beksan bagian kedua. Pada gendhing beksan bagian pertama digunakan
Gendhing Ludiramadura kethuk papat kerep minggah Kinanthi kethuk papat
kerep laras pelog pathet barang. Pada bagian beksan kedua digunakan gendhing
Ladrang Mijil Ludiramadura laras pelog pathet barang. Secara utuh beksan Tari
Srimpi Ludiramadu menggunakan Gendhing Ludiramadura kethuk papat kerep
minggah Kinanthi kethuk papat kerep pelog barang, kemudian suwuk (berhenti),
Setelah suwuk digunakan bentuk pathetan pelog pathet barang juga, dilanjutkan
gendhing beksan, bagian kedua yang dimulai dengan buka celuk dhawah Ladrang
Mijil Ludira laras pelog pathet barang, suwuk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
4.3.1.8 Gendhing Beksan Bagian Pertama
Gendhing beksan bagian pertama Tari Srimpi Ludiramadu dimulai dari
buka, merong, kemudian menjadi Kinanthi kethuk papat kerep, lalu suwuk atau
berhenti. Gendhing beksan pada bagian pertama ini memiliki bentuk berbeda
dengan bentuk karawitan Tari Srimpi yang lainnya.
4.3.1.9 Gendhing Beksan Bagian Kedua
Gendhing beksan bagian kedua dimulai dari buka celuk,
“Wastrangangrang tebenging patani …” dilanjutkan (dhawah) Ladrang Mijil
Ludira pelog barang, kemudian suwuk.
4.3.1.10 Gendhing Mundur Beksan
Gendhing mundur beksan pada dasarnya memiliki bentuk yang sama
dengan gendhing maju beksan, yakni menggunakan gendhing pathetan. Pada
bagian ini, pathetan berfungsi mengiringi penari untuk mundur beksan atau
meninggalkan pentas. Seperti pada umumnya tari srimpi, pada bagian mundur
beksan Tari Srimpi Ludiramadu juga menggunakan bentuk pathetan Parang
Ngelik laras pelog pathet barang. Pada perkembangan selanjutnya (garap padat
STSI/ISI Surakarta) digunakan bentuk gendhing Ladrang Singa-singa laras pelog
pathet barang. Menurut Mlaya-widodo, penggunaan bentuk gendhing tersebut
memberikan rasa dan suasana sigrak.
4.3.1.11 Rias dan Busana Tari Srimpi Ludiramadu
Penataan rias meliputi penataan rambut dan penggunaan kosmetik untuk
merias wajah. Penataan rambut berupa menata bentuk sanggul atau gelung dan
menghias rambut. Sanggul ini dapat berbentuk sanggul kadhal menek, gelung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
ageng ataupun gelung tekuk (lungsen). Selain menggunakan sanggul, biasanya tari
srimpi juga menggunakan jamang atau irah-irahan kethu).
Rias wajah pada Tari Srimpi digolongkan sebagai rias wajah putri luruh,
dengan bentu alis melengkung (nangal sapisan), mata di-celak, bibir di-pulas
dengan warna merah, dan seluruh tubuh penari diolesi denga bedak (lulur) warna
kuning. Pada era sekarang menyesuaikan kebutuhan dimana tari itu di pentaskan
dan dalam acara apa. Pementasan ada penambahan pada mata ditambah idep
(palsu) mata pada penari ditambahi contack line, dimata pakai air leaner (hitam,
hijau, biru) menyesuaikan kostum.
Rias dapat diperinci lagi sebagai berikut :
1) Alis dengan bentuk bulan sabit, caranya dengan menggunakan pensil alis.
Dahulu untuk membuat alis menggunakan tinta Cina.
2) Godek berbentuk ngudup turi (runcing, lancip) digunakan untuk jenis busana
jamang (irah-irahan) diusahan tidak tertutup oleh sumping (hiasan telinga).
Cara membuat dengan pencil alis dibagian sela-sela garis dihitamkan.
3) Bibir dengan warna merah dahulu dikeraton merah ini dibuat oleh para penari
dengan makan sirih (nginang) menggunakan kapur, gambir, suruh, jambe.
Sekarang lebih mudah caranya dengan menggunakan lipstik warna merah bisa
dibilan pewarna buatan pabrik.
4) Menambah bersinar wajah, menari menggunakan lulur yang dibuat dari
ramuan daun-daunan, kunyit dan beras sehingga akan kelihatan kuning, bersih
bercahaya. Seperti disinggung pada buku Pesinden Bedhaya dan Srimpi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
cakepan yang berbunyi : “awiwida sumunar sumunu, babo, atasikkaton
suluhing wadana, babo (Departemen P dan K 1983:759)”
Terjemahan cakepan diatas : para penari menggunakan bedak yaitu lulur
dan menimbulkan warna kuning pada kulit supaya bersinar cemerlang. Bedak
digunakan pada wajah supaya menambah gemilang dan bersih pada wajah penari.
(terjemahan penulis)
4.3.2 Busana
Pada buku Serat Pesinden Bedhaya menyinggung tentang busana Tari
Srimpi seperti cakepan sinden yang berbunyi sebagai berikut :
…. Kang busana, ambramarkata tumeja, babo, angarenyep kumitir-kitir ngujiwala, babo, sengkangira anelahi ing kalangyan, babo, akalpika tetajungan herbaskara, dhe, babo, uncal sutra mandhala tunparada, babo, arja sinjang wastra adi ing jro pura, dhe, babo ….. (Departemen P dan K 1983:759)
Cakepan tersebut maksudnya adalah : busana yang digunakan pada Tari
Srimpi kalau dilihat bersinar gemerlapan bagaikan sinarnya pelangi, sinar busana
yang gemerlapan itu diantaranya muncul dari selendang bahan dari sutera dengan
bagian tepi yang menggunakan wana keemasan yang disebut pada cakepan : uncal
sutra mandara linet parada. Selain sinar yang ditimbulkan dari busana juga pada
sinjang (jarit).
Penataan busana meliputi penggunaan perlengkapan busana pada bagian
kepala, lengan, tubuh, dan tungkai.
4.3.2.1 Perlengkapan Busana pada Bagian Kepala
Berdasarkan bentuk penataan riasnya, perlengkapan busana bagian
kepala pada tari srimpi ludiramadu sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
1. Sanggul gedhe atau gelung ageng, terdiri atas: sanggul, cundhuk jungkat,
cundhuk mentul, centhung, bunga bokor mengkurep, penetep, paes, dan
kalung.
2. Kadhal menek terdiri atas: Jungkat kadhal (melengkung), centhung logam
permata, jambul, cundhuk mentul, kokar bros, borokan tiga (kembang
tanjung dari logam), giwang, dan kalung.
3. Jamangan terdiri atas: jamang, cundhuk jungkat, jambul, cundhuk mentul,
garudha mungkur, sumping, dan kalung.
4. Irah-irahan atau kethu terdiri atas: irah-irahan, sumping, dan kalung.
4.3.2.2 Perlengkapan Busana pada Bagian Lengan
Perlengkapan busana pada bagian lengan terdiri atas: kelat bahu dan
gelang. Penggunaan kelat bahu tergantung pada penggunaan perlengkapan busana
pada bagian kepala. Apabila bagian kepala menggunakan bentuk sanggul,
biasanya tidak menggunakan kelat bahu, dan apabila menggunakan bentuk
jamangan dan irah-irahan, biasanya menggunakan kelat bahu.
4.3.2.3 Perlengkapan Busana pada Bagian Tubuh
Perlengkapan busana pada bagian tubuh meliputi: mekakan, dodotan, dan
rompi. Mekakan terdiri atas: mekak, slepe, ilat-ilatan, dan sampur. Dodotan
terdiri atas: dodot, slepe, sampur, dan buntal. Rompi terdiri atas: rompi, slepe,
dan sampur.
4.3.2.4 Perlengkapan Busana pada Bagian Tungkai (Bawah)
Perlengkapan busana bagian tungkai (bawah) menggunakan beberapa jenis
kain batik, dikenakan dengan bentuk samparan. Adapun jenis kain yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
digunakan pada tari srimpi memiliki motif batik yang khusus digunakan di
keraton.
Berdasarkan keberangan yang ada, tari Srimpi Ludiramadu diparkirakan
menggunakan dua bentuk tata rias dan busana, yaitu bentuk jamangan atau bentuk
sanggul kadhal menek. Menurut Hardjonagoro, pada dasarnya tari Srimpi
Ludiramadu menggunakan bentuk rias dan busana sanggul kadhal menek, gelug
gedhe. Tradisi lain yang berlaku di keraton, bahwa jamang selalu disimpan di
dalam istana raja dimungkinkan bahwa busana jamangan hanya boleh
dipergunakan dalam pertunjukan di istana raja. Setelah Hamengkunagara III
dinobatkan menjadi raja (Paku Buwana V), diperkirakan tari Srimpi Ludiramadu
mulai menggunakan tata rias dan busana jamangan (Wahyu Santoso Prabowo,
Wawancara, 8 Desember 2011)
4.3.3 Bentuk Sanggul Kadhal Menek
Yang dimaksud dengan sanggul kadhal menek adalah sejenis tata sanggul
rambut berbentuk lilitan yang melingkar dari bagian belakang bawah kepala
sampai bagian atas kepala (ubun-ubun). Jenis tata sanggul ini dilengkapi dengan:
jungkat kadhal (melengkung), centhung logam permata, jambul, cundhuk mentul,
kokar bros, borokan tiga (kembang tanjung dari logam), dan giwang. Busana yang
dikenakan adalah pamekak (mekak) yang dilengkapi dengan ilat-ilatan, slepe,
sampur, kalung, dan gelang, dhodhotan. Kain yang digunakan adalah kain
samparan bermotif lereng, dapat juga batik yang terpenting batik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
4.3.4 Bentuk Jamangan
Jenis busana jamangan ditandai dengan pemakaian jamang pada kepala
penari yang dilengkapi dengan: cundhuk mentul, cundhuk jungkat, jambul,
garudha mungkur, dan sumping. Kelengkapan busana lainnya menggunakan
pamekak (mekak) yang dilengkapi dengan ilat-ilatan, slepe, sampur, kelat bahu,
gelang, dan kalang. Pamekak memiliki fungsi untuk menutup bagian tubuh
penari, Kemudian pada bagian bawah, penari mengenakan kain batik (jarit)
bermotif lereng, yang pada bagian tungkai berbentuk samparan.
4.3.5 Perubahan Pada Vokabuler Gerak Tari Srimpi Ludiramadu
Pada umumnya ada kesamaan pola susunan Tari Srimpi gaya Surakarta,
yaitu maju beksan, beksan, dan mundur beksan. Meskipun demikian, hampir
setiap pola susunan Tari Srimpi memiliki struktur rangkaian vokabuler gerak yang
berbeda. Hal ini tampak pada urutan vokabuler gerak yang digunakan.
Demikian juga Tari Srimpi Ludiramadu, pola susunan tarinya memiliki
bentuk khusus yang berbeda dengan Tari Srimpi yang lain. Pada pokoknya,
bentuk khusus itu terlihat pada penggunaan jenis vokabuler tertentu dalam bentuk
rangkaian geraknya. Bentuk khusus yang melekat pada penggunaan jenis
vokabuler gerak Tari Srimpi Ludiramadu padat maupun utuh terdapat pada
beksan bagian pertama dan beksan bagian kedua. Yang terdapat pada beksan
bagian pertama adalah vokabuler gerak beksan laras dan beksan lincak gagak,
sedangkan yang terdapat pada beksan bagian kedua adalah vokabuler gerak
engkyek ludira dan sangga nampa ukel adumanis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
4.3.5.1 Beksan Laras
Berpijak dari keterangan S. Ngaliman bahwa Tari Srimpi memiliki beksan
laras yang berbeda-beda tergantung pada jenis tari Srimpi itu sendiri. Misalnya,
Tari Srimpi Anglir mendung, larasnya laras Anglir mendung, Tari Srimpi
Sangupati menggunakan laras Sangupati. Dengan demikian, beksan laras pada
Tari Srimpi Ludiramadu menjadi bentuk khusus yang tidak ada pada Tari Srimpi
yang lain. Hal tersebut tampak pada pelaksanaan geraknya.
4.3.5.2 Lincak Gagak
Seperti yang dituliskan pada Wedhapradangga sebagai berikut:
Beksan ngadeg dumugi ngajengaken gong, lajeng dipun senggaki saha keplok alok. Beksan pecat miring lajeng genjot pinjalan utawi prenjakan, dipun senggaki keplok imbal angadasih (Pradjapangrawit 1990:111).
Terjemahan : penari berdiri didepan gamelan disoraksi atau ditepuk tangan,
penari jinjit seleh jinjit seleh dengan dikeploki atau tepuk tangan dan
akhirnya sampai ada perpindahan gerak. (terjemahan penulis)
Secara Jelas ungkapan di atas menunjukkan bentuk khusus yang melekat
pada vokabuler ini. Pelaksanaan gerak licak gagak sendiri yang didukung oleh
garap gendhing karawitan tari berupa keplok alok.
4.3.5.3 Engkyek Ludira
Pada dasarnya vokabuler engkyek juga sering digunakan pada Tari Srimpi
yang lain, namun pada Tari Srimpi Ludiramadu memiliki bentuk pelaksanaan
gerak yang berbeda. Perbedaan itu tampak pada unsur pendukung pelaksanaan
gerak yang berupa bidang tubuh yang bergerak, properti (sampur) atau unsur
rangkaian geraknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
4.3.5.4 Sangga Nampa Ukel Adumanis
Sangga nampa ukel adumanis hanya ada pada susunan tari Srimpi
Ludiramadu sekarang jumlahnya dikurangi, hitungan dipersingkat, pemadatan
supaya durasi waktu sesuai, praktis, dan menghibur penonton, penikmat seni / tari
tradisi.
4.3.6 Perubahan makna Tari Srimpi Ludiramadu
Kehidupan sehari-hari kita dihadapkan berbagai permasalaan dalam
kehidupan dibidang ekonomi sosial, politik, kebudayaan. Dalam kebudayaan ada
berbagai hal yang melingkupi disekitar kita. Kesenian (Kuda Lumping, Reogan,
Upacara Tradisi, Kethoprak, Wayang Kulit, Wayang Orang, Tari Tradisi Keraton,
Tari Kerakyatan). Tari tradisi keraton tidak terlepas dari perkembangan dan
faktor-faktor pendorong pada perubahan bagitu juga pada makna tari tradisi disini
tidak luput dari perubahan makna tari itu sendiri. Tari Srimpi Ludiramadu salah
satu tari yang mengalami perubahan makna ada 2 makna, denotasi (sebenarnya),
konotasi (tidak sebenarnya atau makna kira-kira pada pemikiran manusia.
Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna dijabarkan oleh penulis sebagai
berikut misalnya : Dak sengguh : dak kira, artinya saya kira. Dalam Baoesastra
Djawa disebutkan, sengguh memiliki arti kira-kira, dugaan, perkiraan
(Prawiraatmadja, 1987:360). Sedangkan mungguh dalam pengertian sehari-hari
berarti sesuai, selaras pada tempatnya. Mungguh juga memiliki arti pantas, patut,
mapan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Dalam pembicaraan tari Jawa, sengguh-mungguh dinyatakan dalam
beberapa penafsiran. Soeryobrongto mengungkapkan bahwa sengguh berkaitan
erat dengan rasa karakter. Apabila seorang penari telah mampu menampilkan
karakter tari yang dibawakannya dengan baik, ia dapat digolongkan penari yang
memiliki sengguh yang baik (1970:13). Secara mendasar pengertian tersebut
mengandung penafsiran bahwa sengguh merupakan kemampuan penari untuk
menafsirkan dan rnenampilkan karakter tari dengan baik.
Pengungkapan di atas selaras dengan pernyataan S. Ngaliman, bahwa
sengguh merupakan kemampuan rasa penari untuk menampilkan rasa karakter tari
yang dibawakannya. Sengguh lebih bersifat kedalaman rasa sesuai juga dengan
pernyataan (Wahyu Santoso Prabowo Wawancara, 8 Desember 2011)
Mungguh dalam pembicaraan tari Jawa memiliki arti keselarasan penerapan
sikap dan pola gerak dalam karakter tertentu (empan papan dalam menerapkan
satu pola sikap gerak dalam membawakan suatu tarian). Pada dasarnya kesesuaian
tersebut terkait dengan beberapa hal, yaitu rasa karakter tari, pola gerak yang
digunakan, dan gandar (postur tubuh ) penarinya. Mungguh dikehidupan sehari-
hari penari harus cantik, seksi, kulit kuning langsat tinggi semampai.
Dengan demikian, pengertian sengguh-mungguh dalam kehidupan tari
tradisi Jawa berkaitan erat dengan karakter; pola gerak yang digunakan penafsiran
penari yang berupa penghayatan dan penuangannya dalam bentuk pelaksanaan
gerak dan gandar penarinya.
Nyoman Chaya menyatakan bahwa sengguh memiliki arti semu yang
terdapat dalam tari. Artinya, sengguh / semu merupakan jenis kekuatan ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
dari satu garap medium yang disampaikan secara halus, karakteristik, dan bersifat
kejiwaan. Misal, dalam tari alus gaya Surakarta ada greget. Greget akan tampak
apabila bentuk dan gerak yang halus dan gemulai itu mampu menyentuh kejiwaan
secara enak dan pasti. Selanjutnya, perlu digarisbawahi bahwa sengguh
merupakan kekuatan ekspresi garap medium (Wawancara, 8 Desember 2011) .
Mungguh oleh Nyoman Chaya dipaparkan sebagai bentuk ketepatan konsep
medium dengan karakter yang diinterpretasikan, diinginkan dalam ekspresi
penari. Artinya, konsep gerak setara dengan cara membawakannya. Contohnya,
Duryudana yang diperankan orang yang berbadan kecil adalah kurang tepat,
walaupun secara konsep ia berhasil dalam membawakan karakter Duryudana
dilihat dari ekspresinya (Wawancara, 9 Desember 2011)
Pengungkapan Chaya tersebut, penulis menyimpulkan bahwa mungguh
merupakan bentuk kesesuaian antara konsep karakter tari dengan wujud gandar
penari. Hal tersebut juga diungkap oleh Humardani bahwa mungguh berkaitan erat
dengan wujud tari, dalam arti karakter tari berkaitan erat dengan gandar penari.
Dalam penulisan ini penulis mencoba menggunakan sengguh-mungguh
sebagai dasar pengamatan dan penafsiran terhadap karakter gerak. Dengan
demikian, penulia lebih menekankan aspek penggrapan gerak yang dapat diamati
secara objektif pada pelaksanaan gerak ataupun sikap gerak. Namun demikian,
untuk penafsiran karakter (kesan atau rasa) gerak penari tetap didasarkan pada
pola penggunaan ragam gerak ataupun sikap gerak yang selalu terkait dengan
karakter tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
4.3.6.1 Penerapan Sengguh-Mungguh dalam Tari Srimpi Ludiramadu
Berdasarkan pengertian di atas, sengguh-mungguh pada penulisan ini
digunakan sebagai satu pendekatan dalam pengamatan dan penafsiran makna.
Dengan pendekatan sengguh-mungguh sebagai dasar interpretasi dalam makna
gerak, diharapkan dapat ditemukan kesesuaian antara interpretasi makna gerak.
Untuk itu penulis mencoba menafsirkan sengguh-mungguh secara leluasa dalam
langkah memaknai suatu makna Tari Srimpi Ludiramadu.
Penerapan sengguh-mungguh dalam makna gerak dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sengguh Jeneng
Sengguh jeneng dimaksudkan sebagai penafsiran nama vokabuler gerak.
Dengan demikian akan dipaparkan beberapa penafsiran, yaitu: (a) nama
diuraikan berdasarkan arti leksikonnya, (b) pengungkapan makna
simbolis/tidak sebenarnya dari nama vokabuler gerak. Pemaparan di atas
didasarkan pada kenyataan bahwa nama vokabuler pada tari Jawa
memiliki makna simbolis/tidak sebenarnya. Pengambilan nama vokabuler
gerak dan istilah pelaksanaan gerak, biasanya didasarkan pada rasa makna
gerak, juga diambil dari gerak-gerak alamiah. Nama vokabuler gerak,
misalnya: lincak gagak, mbantheng gambul, ngalap sari. Jenis istilah
pelaksanaan gerak misalnya ngganggeng kanyut, prenjak tinaji. mbanyu
mili, mucang kanginan. Ada juga beberapa vokabuler gerak yang memiliki
makna simbolis, misalnya: sembahan laras, dan angkring.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
b. Penyampaian deskripsi pelaksanaan gerak.
c. Analisis gerak untuk mengungkap kesan rasa gerak yang didasarkan pada
pelaksanaan gerak beserta komponen-komponen garap yang mendukung
pelaksanaan gerak.
Selanjutnya, mengenai makna gerak lebih diarahkari pada beberapa
vokabuler gerak Tari Srimpi Ludiramadu, yang memiliki pada spesifikasi gerak.
4.3.6.2 Penapsiran Makna denotasi dan Konotasi Beksan Laras
Beksan laras dilakukan setelah sembahan. Gerak ini dilakukan dalarn
posisi berdiri. Laras memiliki arti indah, menawan. Laras juga memiliki
pengertian disesuaikan, ditimbang-timbang (Prawiraatmadja 1980:92).
Dalam tari tradisi, nama beksan laras memiliki makna simbolis/tidak
sebenarnya. Inti beksan adalah selalu ingat, manembah kepada Yang Maha esa.
Laras artinya ditimbang-timbang. Secara keseluruhan beksan laras memiliki
makna bahwa manusia harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
sebelum bertindak selalu dipertimbangkan baik dan buruknya perbuatan itu.
Dalam Wedhataya diungkapkan, bahwa laras dalam tari memiliki dua
pengertian. Pertama, laras dalam arti menyesuaikan gerak tubuh sesuai dengan
karakter tari yang dibawakan. Laras ini biasa disebut laras wadhag
(panglarasipun badan pribadi) Yang kedua, larasan batin, berupa kreativitas
yang terbentuk oleh kemampuan jiwa, sehingga mampu mewujudkan karakter
(rasa) tari yang dikehendaki.
Pengugkapan di atas menundukkan bahwa laras mengandung makna
keserasian antara wujud lahir (wiraga) dengan sisi kejiwaan (rasa ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
karakter). Dengan demikian, laras merupakan bentuk ungkap keserasian, yang
secara mendasar melekat pada konsep budaya Jawa, seperti yang diungkapkan
oleh Clara Brakel, "laras merupakan ungkapan keserasian dalam konsep budaya
Jawa" ( 1991:20). Selanjutnya laras dan serasi dalam konsep budaya Jawa
hampir selalu berhubungan dengan bentuk-bentuk karawitan, kehalusan, baik
dalam etika maupun estetika (bentuk kesenian selalu mengekspresikan bentuk-
bentuk yang halus dan indah). Hal ini juga disinggung oleh Franz Magnis-Suseno
yang secara implisit meriyatakan bahwa dalam budaya Jawa pengekspresian
keindahan cenderung dalam bentuk yang halus, karena orang Jawa cenderung
menganggap bahwa sesuatu yang halus itu indah (1984:213).
Beksan laras biasanya memiliki karakter luruh, halus, dan lembut, Hal ini
tanpak pada setiap pelaksanaan gerak yang halus, tenang, dan terkendali. Seperti
yang diungkapkan oleh Clara Brakel bahwa hampir seluruh gerak tari putri lebih
mengekspresikan keindahan, kelembutan yang disertai pengekangan dan
pengendalian gravitasi tubuh (1991:20).
Menurut S. Ngaliman, istilah laras diambil dari khasanah karawitan.
Selanjutnya dijelaskan, beksan laras yang sering disebut dengan joged laras
disebut juga joged merong, karena terletak pada bagian gendhing merong (antara
buka dan inggah). Karena itu, setlap tari srimpi memiliki nama beksan
laras/joged laras yang berbeda. Nama beksan larasnya sesuai dengan nama
gendhing yang dipergunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Beksan laras dalam susunan tari Srimpi Ludiramadu memiliki dua bentuk:
(1) bentuk beksan laras yang memiiiki struktur pelaksanaan gerak yang sama
dengan bentuk beksan laras sawit.
Beksan laras di atas merupakan ciri khas beksan laras ludira. Pada
pokoknya, gerak beksan laras ludira tersebut tersusun atas gerakan nekuk
ngenceng lengan kiri yang disertai gerakan kepala berupa tolehan dan gerakan
leyek. Sikap dan gerak kepala tolehan berupa sikap dan arah pandangan mata,
menunjukkan penerapan gerak kepala dan pandangan mata yang digunakan pada
tari putri berkarakter alus luruh. Ini tampak pada pelaksanaan sikap arah
pandangan luruh yang meliputi antara ruang gerak tangan (biasanya sipat bahu
ataupun sipat jari tangan). Pola dan sikap gerak lengan yang selalu bergerak
pada ruang gerak antara di bawah dada (susu) sampai di atas pinggang, dengan
pola sikap tangan ngrayung, merupakan penerapan pola sikap dan gerak tari
putri berkualitas alus. Hal ini juga tampak pada pola sikap dan gerak tubuh
leyek yang berupa pemindahan gaya gravitasi tubuh secara perlahan dan
mengalir. Gerak leyek ini merupakan penerapan bentuk laras mucang kanginan
karena mucang kanginan yang layak digunakan oleh tari putri yang berkualitas
alus. Pola gerak dan sikap kaki yang berupa sikap tanjak kanan dan sikap adeg
dua tumit berimpitan dengan ruang gerak selebar kain yang digunakan, serta
penggunaan pola sikap adeg tambak baya dan sikap tanjak tambak sampur,
merupakan penerapan aturan dan pola gerak tari putri berkualitas alus.
Sikap dan gerak lengan kiri berupa nekuk dan ngenceng yang dilakukan
dengan tempo mengalir secara lambat dengan sikap tangan ngrayung, lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
memungkinkan rasa halus, lembut. Kesan ini juga didukung arah tolehan dan
pandangan mata yang dilakukan searah dan selalu menyertai gerakan lengan.
Seperti yang diungkapkan S. Ngaliman bahwa arah dan pandangan mata yang
dilakukan tersebut merupakan aspek penting untuk membentuk rasa tenang, halus,
dan luruh. Hal itu berkaitan erat dengan ketajaman pandangan mata dan srah
pandangan mata yang selalu menyertai gerakan lengan dalam upaya pengendalian
gerak dan pembagian irama gerak (Wawancara, 9 Desember 2011)
Sikap dan gerak leyek yang dilakukan dengan tenang, lambat dengan posisi
tungkai dhengket (tumit berhimpitan), merupakan ekspresi rasa keputrian yang
anggun dan lemah gemulai, menjadikan gerak leyek cenderung mengungkapkan
kesan ras halus dan lembut. Hal ini juga diungkapkan oleh Clara Brakel:
Dalam gaya putri semua gerak-gerik tubuh cenderung bersifat mengayun, baik gerak-gerik rnenyamping, atau ke atas dan ke bawah, dengan cara bergantian melentur dan merenggang lutut, atau mengayun berat tubuh ke suatu sisi. Kesan umum yang dikehendaki oleh gaya gerak-gerik demikian ialah memperagakan pengekangan, ketenangan, dan kelembutan (1991:86). Dari pelaksanaan gerak, berupa pengulangan gerak lengan yang diikuti
gerakan kepala serta gerak leyek, lebih memantapkan kesan rasa halus, lembut.
Bahkan pelaksanaan gerak laras tersebut di atas lebih cenderung menambah rasa
regu, ini didukung dengan pelaksanaan gerak secara bersamaan dan rampak,
dengan wiled yang sama.
Menurut Wahyu Santoso Prabowo, gerak laras Ludiramadu memiliki rasa
ungkap halus, dan lebih mantap (Wawancara, 9 Desember 2011). Oleh Nyoman
Chaya, laras Ludiramadu lebih dirasakan memiliki rasa anggun, dan lembut
(Wawancara, 9 Desember 2011). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
disimpulkan bahwa laras Ludiramadu mengungkapkan rasa halus, anggun, dan
lembut.
Secara utuh kesan rasa halus, dan lembut tersebut secara auditif didukung
bentuk gendhing karawitan tari yang rasa gendhingnya halus. Sebagaimana
diungkapkan dalam Wedhapradangga. Gendhing Ludiramadu termasuk gendhing
alus dan prenes
4.3.6.3 Beksan Lincak Gagak
Secara harfiah lincak gagak berarti meloncat-loncat tetapi dengan langkah
yang kecil-kecil (langkah kaki tidak terlalu jauh atau sangat dekat). Kata "lincak"
berarti meloncat. "Lincak-lincak" = meloncat-loncat. Dalam Baoesastra Djawa
disebutkan, "lincak" berarti meloncat, "lincak-lincak" artinya meloncat-loncat
(mumbul). "Nglincak" artinya meloncat berpindah tempat tetapi tidak jauh dan
tidak tinggi. "Lincak gagak / gagak lincak" artinya (1) meloncat dari tangan
menuju ke tempat hinggap (seperti burung galatik yang sedang belajar terbang);
(2) berpindah-pindah tempat tetapi dengan langkah loncatan kecil.
Pada Wedhapradangga gerak lincak gagak disebut dengan genjot pinjalan
atau prenjakan (Pradjapangrawit 1990:111). Istilah gerak ini didukung pernyataan
Clara Brake1 bahwa pada darsarnya pelaksanaan gerak lincak gagak sama dengan
pelaksanaan gerak gencot pinjalan atau prenjakan (1991:136—160). Persamaan
tersebut tampak pada sikap kedua tangan, langkah kaki, dan gerakan kepala.
Lincak gagak mungkin merupakan gerak yang diambi1 dari gerak yang
berasal dari gerak burung gagak yang meloncat-loncat. Gerak ini lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
mengekspresikan rasa lincah yang diwarnai dengan gerakan lincak-lincak pada
kaki.
Pada pokoknya gerak lincak gagak terdiri atas: (a) gerak kepala (dagu
ke kiri, ke kanan), (b) gerak mlurut dan ukel mlumah, (c) gerak napak
jinjit (lincak-lincak). Gerak yang mendominasi pada vokabuler lincak gagak
berupa gerak kaki dan gerak kepala (dagu).
Sikap gerak kepala berupa gerak dagu ke samping kiri dan kanan dengan
posisi arah pandang serong ke kiri, merupakan penerapan pola gerak tari putri
yang berwatak kenes (misalnya pada tari tledhek, gambyong). Sikap dan gerak
kepala tersebut layak disebut andenaya; artinya, sikap dan pandangan harus
manis, pasemon sumeh, bibir bersikap manis (ulat dan pasemon dalam menari
harus manis). Dituliskan dalam Kridhwayangga, "Andenaya punika teges
andamel ulat dados salebetipun beksa kedah manis, sumeh, dumunung ing lathi,
netra" (Sastrakartika 1925:125).
Sikap kedua tangan pada lincak gagak dapat disebut sikap silih asih, pada
sikap ini tarigan kiri ngrayung, dan tangan kanan nyempurit. Bentuk sikap kedua
tangan tersebut biasanya digunakan pada tari putri berkarakter alus dan madya.
Hal ini juga tampak pada ruang gerak kedua tangan tersebut, seperti umumnya tari
putri berkualitas alus ataupun madya. Ruang gerak kedua tangan pada sikap silih
asih ini berada di bawah dada (susu), dapat dilihat pada kenyataannya kedua
tangan tersebut terletak di depan pusat. Sikap dan gerak langkah kaki (lincak-
lincak) dilakukan dengan pola dan aturan tari putri. Ruang dan kualitas geraknya
sebatas selebar kain yang dikenakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Pelaksanaan gerak lincak gagak secara utuh dapat ditangkap rasa kenes,
kemayu, berag. Kesan ini didukung oleh gerakan lincak-lincak kedua kaki yang
dilakukan dengan cara napak jinjit secara bergantian. Gerakan tersebut rngan,
sehingga menimbulkan kesan lincah. Kesan lincah dan sigrak pada gerak kaki
cenderung mendukung timbulnya kesan kenes, manis. Demikian pula gerakan
kepala (dagu) ke kiri dan ke kanan yang dlakukan dalam posisi miring memiliki
kesan kenes.
Koordinasi gerak kepala dan gerak kaki dengan beberapa kali pengulangan
secara utuh menambah kesan kenes, kemayu. Pengulangan gerak tersebut,
terutama dari gerak kaki napak jinjit secara bergantian, menimbulkan gerakan
ayunan yang halus, lembut pada tubuh. Ayunan tubuh yang halus dan atau lembut
tersebut, lebih menyakinkan timbulnya kesan manja, sekaligus Juga mendukung
timbulnya kesan rasa kenes atau kemayu. Kesan rasa Ini terutama timbul dari
gerakan kepala dan kaki.
Sikap silih asih yang terdiri dari sikap ngrayung tangan kiri dan nyempurit
tangan kanan merupakan perpaduan sikap tangan yang memiliki watak manis,
terutama sekali ada sikap tangan kanan (nyempurit). Pada sikap lengkung jari-jari
tangan tersebut menimbulkan kesan manis. Demikian pula gerakan ukel dan
mlurut sampur mendukung kesan manis. Kesan ini timbul dari gerakan ukel dan
lintasan gerak sampur.
Selanjutnya, kesan yang timbl secara utuh pada gerak lincah gagak secara
auditur didukung bentuk karawitan tarinya, baik dari strktur gendhng ataupun
garap gendhingnya. Seperti telah diungkapkan pada bab sebelumnya, bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
beksan lincak gagak terdapat pada bagian gendhing inggah. Dijelaskan oleh
Mloyowidodo, gendhing inggah biasanya memiliki watak seseg, sigrak, bingar.
Bagian ini ditandai dengan perubahan rama, dimulainya sindhenan, koplok, dan
alok.
Bentuk gendhingnya, gerak lincak gerak didukung oleh keplok alok, serta
senggakan yang dilakukan dengan cara imbal, seperti yang diungkap pada
Wedhapradangga, "Beksan pecat miring, Lajeng gnenjot pinjalan, utawi
prenjakan dipun senggaki keplok imbal angadasih" (Pradjapangrawit 1990:111).
Keplok alok dan senggakan yang dilakukan dengan cara berimbal tersebut,
merupakan paduan variasi ritmis yang memberikan suasana dinamis. Keplok alok
dan senggakan dalam kesenian cenderung menampilkan koriotasi dan persepsi
prenes, gecul, dan ngglece. Dengan demikian, keplok alok lebih dekat dengan rasa
berag, prenes, dan mungkin juga kemayu pada bentuk tarinya. Menurut I Nyoman
Chaya, gerak lincak gagak memiliki ungkap rasa berag, kenes (Wawancara, 9
Desember 2011). Wahyu Santosa Prabowo menyatakan bahwa gerak lincak
gagak lebih mengungkapkan rasa kenes yang mantap, bahkan lebih mendekati
rasa kenes wadhag. Karena, gerakan lincak gagak pada tari Srimpi Ludiramadu,
secara ritmis manampilkan rasa wadhag (antara ritmis gerak dan ritmis keplok
alok imbal nampak tebal dan mungkus) (Wawancara, 9 Desember 2011).
Selanjutnya Wahyu Santoso Prabowo berpendapat bahwa lincak gagak pada tari
Srimpi Ludiramadu menampilkan rasa kenes (Wawancara, 9 Desember 2011).
Dengan demikian, gerak lincak gagak pada tari Srimpi Ludiramadu memiliki
ungkap rasa kenes, kemayu, berag.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
4.3.6.4 Beksan Engkyek Ludiramadu
Menurut Soedarsono, vokabuler gerak engkyek pada tari putri gaya
Surakarta (1986:41). Tari Srimpi Ludiramadu juga menggunakan vokabuler eng-
kyek, namun engkyek pada tari ini memiliki bentuk rangkaian gerak serta
pelaksanaan gerak yang berbeda dengan bentuk engkyek pada umumnya. Oleh
karena itu, engkyek yang digunakan pada susunan tari Srimpi Ludiramadu disebut
engkyek ludira.
Pelaksanaan gerak di atas, struktur gerak engkyek ludira pada pokoknya
terdiri dari: (a) gerak kepala yang terdiri atas gerak tolehan dan gedheg; (b) gerak
lengan kanan nekuk ngenceng: (c) gerak tungkai mendhak dan njujut (mancat kaki
kiri); (d) pengolahan properti berupa penggunaan sampur, yaitu miwir sampur, cul
sampur, kipat sampur, serta seblak sampur.
Gerak engkyek Ludiramadu secara utuh memiliki kecenderungan yang kuat
menimbulkan kesan rasa manis, kenes, berag, kemayu, galak. Mengenai rasa
karakter gerak tersebut juga dinyatakan oleh Wahyu Santoso Prabowo bahwa
engkyek lebih mengungkapkan rasa kemayu, galak (Wawancara, 9 Desember
2011)
Secara visual kesan yang dipaparkan di atas didukung oleh pelaksanaan
gerak engkyek Ludiramadu. Gerak nekuk ngenceng lengan kanan yang dilakukan
dengan miwir sampur menimbulkan kesan luwes, kewes. Kesan rasa ini lebih
mantap dengan dukungan sikap mendhak pada waktu melakukan gerak nekuk
lengan kanan dan sikap mancat kaki kiri njujut, pada waktu ngenceng miwir
sampur dengan disertai tolehan ke kanan searah dengan gerakan lengan. Kibasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
dan kipat sampur yang dilakukan pada awal gerakan menimbulkan kesan sigrak,
kenes.
Gerakan leher ( pacak gulu) yang dilakukan dalam posisi sikap ngenceng
memberi, sentuhan rasa kenes, kemayu pada gerak engkyek Ludiramadu. Gerak
pacak gulu yang dilakukan tersebut disebut pacak gulu ganil, biasa digunakan
pada tari putri yang memiliki watak lanyap, mbrayak, kenes. Karena itu,
rangkaian gerak ini lebih cenderung memiliki rasa dan watak kenes.
Selanjutnya gerak cul sampur (melepas sampur) yang dilakukan bersama
gerak mendhak memberikan aksen (tekanan) rasa seleh tersendiri bagi gerak
engkyek ludira. Tekanan rasa seleh tersebut lebih memantapkan sentuhan rasa
yang timbul dari rangkaian nekuk ngenceng lengan kanan yang disertai gerakan
kepala pacak gulu ganil.
Seblak nampur yang mengakhiri gerakan engkyek ludira memberikan
sentuhan rasa keres, sigrak. Hal ini timbul dari kibasan sampur.
Aspek kerampakan dan kebersamaan yang timbul dari pelaksanaan gerak
secara kelompok lebih mendukung rasa sigrak dan berag dalam gerak engkyek
ludiramadu. Secara visual, kerampakan gerak kelompok tersebut selain didukung
oleh pelaksanaan gerak secara serentak dan bersama-sama juga didukung oleh
penggunaan garap ruang (posisi gawang) jejer wayang. Posisi gawang jejer
wayang lebih memungkinkan kerampakan gerak kelompok dapat diamati secara
lebih gamblang, sehingga sentuhan rasa sigrak dan berag akan lebih menyentuh
secara mantap. Pada posisi gawang jejer wayang dapat diamati secara jelas sikap
dan gerak yang dilakukan oleh penari, sejak dari sikap dan gerak kepala, lengan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
tangan, tungkai, kaki, maupun pengolahan dan penggunaan properti. Terutama
sekali pada pengolahan dan penggunaan sampur, posisi sikap dan gerak
menunjukkan kekurangkompakan penari dalam melakukan gerak cul sampur /
lepas sampur)
Sisi auditif berupa karawitan tari menjadi komponen / pendukung yang kuat
untuk lebih memungkinkan timbulnya sentuhan rasa sigrak, berag. Ini terwujud
oleh bunyi kemanak dan keplok yang secara auditif membentuk tempo gerak
melalui ritme yang diwujudkan. Keplok yang dilakukan oleh beberapa orang
secara bersamaan pada seleh kethuk yang selalu bertepatan dengan gerak mendhak
maupun cul sampur memberikan rasa seleh yang mantap pada seleh geraknya.
Menurut penuturan lisan, gerak engkyek selalu disertai dengan bentuk garap
ricikan kendhang yang disebut kendhang engkyek. Hal ini berlaku pada setiap
gerak engkyek yang digunakan secara umum pada tari srimpi maupun bedhaya
(Mlayawidodo, wawancara 20 Desember 2011)
Penafsiran gerak engkyek Ludiramadu ini memiliki sengguh rasa kemayu,
galak, atau lebih dekat lagi rasa berag (Wawancara 10 Desember 2011). Rasa
tersebut menonjol pada gerak gulu / pacak gulu ganil serta pengolahan sampur
yang tersusun dalam rangkaian gerak engkyek ludira. Menurut Nora Kustantina
Dewi , engkyek Ludiramadu lebih mengungkapkan rasa anggun (Wawancara 10
Desember 2011). Menyimak pemaparan di atas, dapat dinyatakan bahwa engkyek
Ludiramadu memiliki rasa galak, kenes, berag, dan anggun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
4.3.6.5 Beksan Sangga Nampa Ukel Adumanis
Dalam memaparkan pengertian vokabuler ini, penulis membagi menjadi
dua kelompok suku kata . Hal ini dilakukan dengan adanya perbedaan bentuk
sikap dan gerak yang melekat pada masing-masing suku kata. Sangga nampa ukel
adumanis terdiri dari dua bentuk pelaksanaan sikap dan gerak, yaitu: (1) sikap
dan gerak sangga nampa, dan (2) sikap dan gerak ukel adumanis.
Secara harfiah pengertian sangga nampa dipaparkan sebagai berikut: kata
sangga berarti sanggup, saguh, dari kata nampa berarti menerima (Prawiraatmadja
1987: 352). Adumanis berarti bersikap manis, menyenangkan (Ibid. : 334). Secara
utuh sangga nampa ukel adumanis dapat ditafsirkan memiliki makna simbolis
yang mengungkapkan sikap sanggup menerima dengan senang hati segala yang
terjadi. Penafsiran ini didasarkan pada kebiasaan pada tari tradisi Jawa, kanan dan
kiri selalu diasosiasikan sebagai kebaikan dan kejelekan misalnya, sikap gerak
buwang-balang ditafsirkan sebagai ungkapan bahwa manusia harus membuang
dan menghindar dari perilaku yang buruk (Yogyataya 1923:4).
Dalam pembahasan ini sangga nampa ukel adumanis merupakan satu
rangkaian gerak. Adapun pelaksanaan sikap dan geraknya adalah sebagai berikut.
Pada pokoknya rangkaian gerakan sangga nampa ukel adumanis terdiri
atas: gerakan tubuh leyek kanar dan kiri, gerakan ukel mlumah kanan kiri
secara bergantian, serta ukel adumanis. Pelaksanaan gerak di atas masih mengacu
pada dasar-dasar sikap dan gerak tari putri berkualitas alus. Hal ini tampak
pada penataan sikap geraknya. Sikap pandangan mata tajam dengan arah
pandang luruh sipat pundhak dan jari tangan sejajar sau pandangan dan kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
lengan atas merapat pada kedua sisi tubuh dengan ruang gerak ukel tangan
berada di antara pinggang dan dada (di bawah susu); sikap kedua tungkai
mendhak, lutut, terbuka selebar kain yang dikenakan, tumit berhimpitan.
Demikian pelaksanaan gerak ayunan tubuh / leyek yang dilakukan dengan
tempo perlahan dan mengalir menunjukkan penerapan sikap gerak tari putri
dengan kualitas alus luruh.
Dalam Kridhwayangga sikap dan pelaksanaan gerak tersebut termasuk
pada tradisi tari alus, gerakan tubuh rersebut disebut penerapan gerak mucang
kesisan (Sastrakartika 1925:114).
Secara utuh gerak sangga nampa ukel adumanis cenderung menimbulkan
kesan rasa alus, manis, dan prenes. Kesan tersebut didukung oleh gerakan ukel
mlumah, serta gerakan ukel adumanis yang dilakukan dengan sifat gerakan halus.
Sifat halus yang melekat pada gerakan ukel itu didukung oleh gerakan leyek
gerakan ayunan tubuh berupa pemindahan gravitasi tubuh dalam tempo mengalir
lambat, sehingga rasa halus yang timbul lebih mantap.
Rasa halus tersebut juga timbul dari bentuk sikap dan arah pandangan mata
yang luruh mengikuti gerakan tangan serta gerakan tubuh. Dari sikap dan arah
pandangan mata serta tolehan tersebut, dapat diamati bentuk pengendalian gerak
tangan yang melintasi ruang gerak pada perut bagian depan (antara pinggang
dengan dada). Hal ini merupakan satu bentuk pengendalian gerak untuk tetap
berada pada ruang gerak ataupun kualitas karakter (rasa).
Sentuhan rasa manis dan prenes cenderung timbul dari pengulangan gerak
ukel mlumah tangan kiri dan kanan secara bergantian dan disertai dengan gerakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
kepala ataupun tubuh. Kesan ini juga timbul dari gerakan ukel adumanis.
Gerakan ukel adumaris tersebut dilakukan dengan memutar tangan dengan sikap
ngithing, kedua tangan diputar dan kedua pergelangan tangan bertemu sebagai
poros putarnya. Dari bentuk sikap tangan ngithing berputar dalam tempo lamban
tersebut; timbul kesan rasa manis. Pelaksanaan gerak secara kelompok yang
dilaksanakan dengan rampak memberikan sentuhan rasa prenesnya lebih mantap.
Sisi auditif yang berupa karawitan tari pada bagian ini memiliki rasa prenes
(dalam Rahayu Supanggah 23 Maret 1992:76), dengan demikian lebih
mendukung timbulnya rasa, prenes, manis yang mungkin timbul dari gerak
sangga nampa ukel adumanis yang disertai oleh rasa penari itu sendiri. Kesan
prenes, kenes dalam tari lambat lauk berubah karena penyesuaian-penyesuaian
yang tergantung pada seniman berkreasi dan berkreativitas seperti apa. Hal ini
juga berubah sesuai dengan seniman pembuat karya, dibalik ini perubahan juga
terjadi pada rias dan budana penari. Karena sifat seniman / bahwa manusia selalu
mengembangkan akal dan pikiran sehingga selalu ingin menemukan kebudayaan
baru / karya baru.
4.3.7 Rekapitulasi Makna Lama Menjadi Makna Yang Baru
Makna yang berada dalam Tari Srimpi Ludiramadu menurut Rolland
Barthes :
Barthes is writing were not the death of the writer (….) or of the subjct, or yet of the agent, but of the author the juthor. The author, who is not only taken to be auhority of the meaning of the text, but also, when possesed by authority, possessed by the fact of moral legal supremacy the power to influence the conduct or action of other, and when authorizing giving legal force to making legally valid. Thus even on the most listeral level of the dictionary the birth of the reader must be at the cost of the death of the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
author takes on difference resonance (Gayatri C, Spivak, dalam Sunardi 2004 : 329).
Kutipan diatas menjelaskan bahwa yang dimaksud kematian outhor
bukanlah kematian pengarang, namun merupakan pemegang otoritas makna final,
makna otentik. Jadi dapat dikatakan bahwa pemegang otoritas makna final atau
makna otentik itu adalah pengarang itu sendiri.
Pemberian dan keberhasilan dalam memberikan makna untuk mengetahui
konteks apa teks itu dibuat. Ketika teks dibuat oleh pencipta secara langsung
pemegang otoritas makna final, makna otentik adalah pencipta teks, memang
benar bahwa tidak langsung teks berinteraksi dengan pembaca. Ketika interaksi
berlangsung pencipta kehilangan otoritasnya sebagai pemegang makna final.
Pernyataan di atas memang benar, namun perlu diingat bahwa dalam
konteks apa dan bagaimana teks itu dibuat asih menarik untuk dikaji. Apabila
seorang pembaca memilki keinginan untuk mengetahui dalam konteks apa suatu
teks atau karya sastra diciptakan, pembaca harus menanyakan langsung kepada
pencipta teks. Hal inilah seorang pencipta teks masih memiliki otoritasnya yaitu
dalam menyampaikan pemaknaan dalam konteks produksinya. Makna teks dapat
dilihat dari tiga sudut pandang yaitu 1) Latar belakang sosio budaya seorang
pencipta, 2) Dalam rangka apa atau konteks apa seorang pencipta teks
memproduksi teks itu. Dalam teks ini yang dihasilkan adalah teks Tari Srimpi
Ludiramadu. Dapat diungkap bahwa berkaitan dengan pencipta Tari Srimpi
Ludiramadu yang dibahas pada pencipta teks yang pertama, latar belakang
pencipta teks Tari Srimpi Ludiramadu dibahas pada latar belakang budaya yang
dimiliki pencipta teks. Kedua, teks yang dihasilkan merupakan teks dalam Tari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Srimpi Ludiramadu sebagai latar belakang penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu
dan siapa penciptaanya.
Berbicara latar belakang pencipta teks Tari Srimpi Ludiramadu adalah
penting untuk mengetahui tentang teks yang dihasilkan pencipta berkaitan dengan
latar belakang budaya dari teks yang dihasilkan pencipta, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui konteks produksi teks kidung pujian. Mengenai bentuk tari,
diketahui bahwa tari srimpi menggunakan iringan gendhing Jawa sebagai
kerangka lagu. Hal ini berkaitan dengan latar belakang budaya pencipta teks yang
dituang dalam Tari Srimpi Ludiramadu.
Hamengkunagara III atau setelah jadi raja menjadi Paku Buwana IV adalah
nama yang menciptakan teks gendhing Srimpi Ludiramadu. Beberapa karya
beliau dalam tari, sastra, seni rupa ada beberapa yang digunakan untuk upacara
yang diselenggarakan di Keraton.
Pengetahuan dan pengalaman Hamengkunagara III dilahirkan di keluarga
keraton karena beliau putra Raja salah satu andil besar dalam penciptaan karya-
karya beliau dalam mengekspresikan perasaan misal : pujian, rasa cinta, marah,
sedih, haru dan lain-lain.
Mengacu pada pengertian simbol dan dibalik simbol ada makna yang dapat
diungkap baik tersirat maupun tersurat. The Liang Gie menyebutkan bahwa
simbol adalah tanda buatan bukan berwujud kata-kata untuk mewakili atau
menyingkap suatu artian apapun, serta sesuatu hal atau keadaan yang merupakan
perantara pemahaman terhadap ssuatu obyek. (Budiono Heru Satoto, 1985:11).
Oleh sebab itu dapat kita katakan bahwa simbol merupakan lambang bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
berwujud kata-kata, tetapi berupa ciri atau tanda atau ungkapan yang abstrak,
untuk menyatakan sesuatu hal kepada orang lain, serta merupakan perantara
pemahaman terhadap sesuatu obyek, mengenai mana simbolik secara umum dan
diungkap lagi menjadi makna kekinian dapat dipaparkan pada beberapa hal :
busana, waktu, sesaji / sesajen, karawitan, dan penyajiannya.
4.3.8 Pengaruh Perubahan Sosial Budaya pada Tari Srimpi Ludiramadu
Perkembangan kebudayaan menyesuaikan ruang dan waktu dimana budaya
itu berada. Perubahan karya yang berupa tari keraton tidak luput dari perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut adalah :
4.3.8.1 Perubahan dalam ritus atau ritual
Pertunjukan pementasan Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya dilakukan
berbagai macam ritual sekarang sudah mengalami perubahan dan bersifat praktis
yaitu hanya bancakan dan sesaji (sajen) untuk penari dan abdi dalem serta pada
waktu pagelaran menyalakan dupa (kemenyan). Sementara tujuan bancaan dan
penyalaan dupa hanyalah seperti suatu rangkaian tradisi. Dengan adanya
perubahan ini mengakibatkan sifat ritual pada Tari Srimpi Ludiramadu yang
sakral hilang dan religius lebih hanya sebagai pementasan sebuah karya tari.
Seorang penari Srimpi Ludiramadu tidak lagi seorang yang perawan dan
menjalani tirakat (laku prihatin) seperti pada saat srimpi diciptakan, bahkan ada
yang sudah bersuami, punya anak lebih dari satu. Usia penari tidak ada ketentuan
bahkan tidak memandang dari kalangan bangsawan, abdi dalem, rakyat biasa atau
kalangan akademika yang terpenting penari memiliki bakat dan kemampuan untuk
menarikan tari tradisi Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Penari tidak lagi melakukan berbagai ritual seperti pada masa
Hamengkunagara III yang terikat oleh aturan-aturan seperti harus puasa, tuturan,
tidak haid dan lain-lain. Pada upacara-upacara wetonan dan untuk penyambutan
tamu penari lebih cenderung lebih bebas dalam aturan dibandingkan pada jaman
dulu yaitu tidak ada keharusan harus puteri keraton, abdi dalem, kerabat keraton,
yang terpenting memiliki kemampuan dalam menari dapat bergerak yang luwes,
gandhes, kewes, prenes. Melakukan gerakan sesuai dengan estetika dalam menari
dan dapat menerapkan wiraga, wirama, wirasa selain itu juga mampu bergerak
sesuai hasta sawanda.
4.3.8.2 Perubahan fungsi
Tari Srimpi Ludiramadu sekarang ini sudah berubah fungsi yang awalnya
digunbakan untuk wetonan, penyambutan tamu raja sekarang hanya menjadi
pertunjukan sebagai atraksi pariwisata budaya, pentas seni, misi kesenian, lomba
seni dan budaya, festifal seni, sebagai materi perkuliahan, materi mata pelajaran
seni tradisi di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) sampai keresepsi pernikahan
sekarang pementasan tidak terbatas di lingkungan keraton melainkan di luar
keraton semua orang dapat melihat dan menikmati pertunjukan Tari Srimpi
Ludiramadu. Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya memiliki nilai dalam budaya
yang tinggi karena ada di dalam keraton sekarang memiliki budaya yang rendah
karena masyarakat umumpun dapat melihat secara bebas.
Perubahan dapat dilihat juga pada penonton pada saat pertunjukan Tari
Srimpi Ludiramadu ada, proses pemadatan gerak menimbulkan penonton
mengambil pertunjukan tari hanya sebagai hiburan semata tidak lagi ada unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
rasa baik rasa penari, rasa gerak, rasa gendhing, dan juga suasana karena tidak lagi
di pendopo keraton Surakarta. Kostum tata panggung, tata rias mempengaruhi
minat penonton sehingga hanya bersifat menghibur semata. Perubahan yang
terjadi pada nama masing-masing penari batak, gulu, dhadha, buncit. Nama
tersebut menurut pandangan orang Jawa merupakan tubuh orang Jawa. Batak
digambarkan sebagai kepala yang mewujudkan pikir dan jiwa, gulu menunjukkan
bagian leher, dhadha menunjukkan bagian dada, dan buncit menunjukkan bagian
organ bawah yaitu dubur atau anus (organ pengeluaran) di era sekarang berubah
batak, gulu, buncit, dhadha hanya istilah dalam bahasa untuk menunjukkan
jumlah penari tidak ada hubungannya dengan anggota tubuh manusia.
Seorang penari memiliki sifat nafsu amarah, nafsu aluamah, nafsu supiah,
nafsu mutmainah dapat dipaparkan bahwa nafsu amarah manusia memiliki sifat
yang mudah marah sulit mengendalikan emosi, mengambil emosi tampa berpikir
yang matang. Nafsu aluamah : manusia sulit menyeimbangkan kehidupan didunia
dan akhirat akhirnya bersifat serakah. Nafsu supiah : memiliki sifat pelupa, lupa
akan yang menciptakan sehingga bersifat sombong, merasa dirinya pintar, cantik,
kaya dan lain-lain. Nafsu mutmainah : nafsu ini sebagai penyeimbang sikap-sikap
kehidupan sehingga manusia bersifat sabar menrima keadaan walaupun sangat
sulit dan mempersiapkan untuk kehidupan diakhirat. Berbanding terbalik dalam
kehidupan sekarang sifat-sifat diatas sudah dimiliki manusia baik dulu maupun
sekarang.
Dalam Tari Srimpi Ludiramadu empat penari dimaksudkan sebagai kakang
kawah, adi ari-ari, getih putih, getih abang. Hal ini ada hubungannya menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
kepercayaan orang Jawa bahwa yang mengelilingi manusia adalah kakang kawah,
adi ari-ari juga istilahnya pajupat lima pancer yang ditengah atau pusat adalah
Allah, Nanik Srihartini, (1988:10-11). Di dalam kehidupan masyarakat Jawa
sekarang ini hal itu hanya sebagai sebuah cerita yang berhubungan dengan mitos
sulit untuk dibuktikan dalam kehidupan nyata sekarang ini.
Penari yang hasta sawanda, wiraga, wirama, wirasa yang memiliki arti
yang sangat dalam kehidupan penari yang harus dimiliki waktu didalam keraton
sekarang ini sudah berubah menyesuaikan kebutuhan, tuntutan jaman dan dimana
tari itu akan dipentaskan dan dalam acara apa. Hal ini makna keseluruhan
diungkap oleh penulis secara mendalam yang diberikan pada lampiran hal. …..
a) Sebagai legitimasi raja / untuk eksistensi keraton
Tari Srimpi Ludiramadu pertama kali keluar dari tembok keraton pada
tahun 1970-an, pada waktu itu ada proyek penggalian dan pengembangan seni dan
budaya keraton bekerja sama antara keraton, kalangan akademika, dan pemerintah
PKJT (Pengembangan Kesenian Jawa Tengah), pada waktu itu Tari Srimpi
Ludiramadu tidak hanya perubahan pada bentuk saja tetapi pada fungsi dan makna
banyak perubahan.
Tari Srimpi Ludiramadu semula dipentaskan didepan raja tidak sembarang
dipergelarkan disembarang tempat dan waktu. Hal ini menegaskan bahwa Tari
Srimpi Ludiramadu merupakan tari ritual magis yang tak terpisahkan oleh
keberadaan raja sebagai penguasa pemerintahan pada waktu itu. Sesuai
perkembangan bahwa keraton sekarang hanya sisa-sisa pemerintahan tradisional
sudah tidak dapat lagi memenuhi semua hal yang berhubungan dengan hak dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
kewajiban raja dibidang kekuasaan politik. Kekuasaan yang dulunya dimiliki raja
sudah lepas karena pemerintahan dipindah alihkan ke pemerintah republik
Indonesia setelah kemerdekaan pada tahun 1945, sekarang pemerintahan ditangan
walikota. Kekuasaan yang ditangan raja tidak dimiliki lagi karena pemindahan
kekuasaan. Usaha-usaha yang dilakukan pihak keraton untuk tetap
mempertahankan sisa-sisa kekuasaan dan untuk legitimasi raja walaupun keraton
hanya sekedar identitas budaya belaka, misalnya:
1) Pembuatan silsilah terlihat bahwa Hamengkunagara, Pakubuwana sampai
sekarang masih digunakan sebagai bukti bahwa mereka keturunan dari
kalangan keluarga keraton yang memiliki hak untuk tetap bertahta dan
berkuasa. Pada era sekarang hal ini hanya sebagai simbolisasi untuk
memperkuat kedudukan beliau dalam masyarakat Jawa.
2) Pengembangan budaya keraton dengan mengusahakan dan melestarikan
dengan cara menggali tari-tari srimpi keraton, tari bedhaya keraton dan yang
terpenting menggali Tari Srimpi Ludiramadu untuk menjelaskan pada
masyarakat sebagai usaha bahwa keraton sangat peduli dengan tari tradisional
yang merupakan warisan leluhur yang patut selalu ada sampai kapanpun, dulu
sekarang dan sampai nanti. Dikehidupan sekarang ini pembinaan selalu
dilakukan walupun kekuasaan raja tidak lagi dimiliki oleh keraton. Pembinaan
dan penggalian paling tidak untuk mencapai tujuan agar mereka tetap
dihormati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
Perubahan yang terjadi secara fisik pada Tari Srimpi Ludiramadu dapat
dipaparkan untuk kepentingan secara umum yang sudah tidak mempedulikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
secara ritual. Tari Srimpi Ludiramadu yang ditarikan di luar tembok keraton sudah
terlepas dari pakem hasta sawanda, wiraga, wirama, wirasa. Bahkan makna
sudah hilang akhirnya tidak memiliki makna sama sekali, kehilangan rasa para
tari yang dulunya bersifat prenes, kewes, kenes, dan gandes.
Keraton tidak hanya menggali dan memelihara pada bentuk tari srimpi
maupun bedhaya tetapi memelihara juga pada pusaka-pusaka keraton yang setiap
tahun diadakan ritual jamasan pusaka walaupun sudah berubah fungsi juga
sebagai pariwisata budaya. Tari Srimpi Ludiramadu juga merupakan pusaka yang
patut dijaga dan dilestarikan seperti menjaga pula pusaka keraton hal ini
merupakan lambang bahwa raja walaupun sudah tidak berkuasa masih
memberikan perhatian, perlindungan terhadap rakyatnya.
Tari Srimpi Ludiramadu untuk upacara resepsi pernikahan, lomba seni,
pentas seni dan budaya, festifal, misi kesenian, wisata budaya akan dikurangi dan
dirubah sesuai dengan kebutuhan. Dibawah ini hal-hal yang berubah juga pada
Srimpi Ludiramadu sebagai berikut:
1) Durasi waktu hanya 15-18 menit
2) Kostum, rias disesuaikan dengan kebutuhan seniman karena sekarang hanya
untuk profan, praktis dan menghibur tidak sampai hayatan seni.
Tari Srimpi Ludiramadu merupakan tarian kelompok yang dilakukan oleh
empat orang penari wanita dengan komposisi berpasangan, srimpi berasal dari
kata sri dan impi, sri berarti raja, impi berarti angan-angan, harapan, gagasan, dan
cita-cita sedangkan ludiramadu, ludira yang berarti darah, madu dari kata Madura
memiliki asal atau tempat merupakan letak yang berasal dari Sumenep Madura
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
jadi Srimpi Ludiramadu dapat diartikan tari yang diciptakan oleh raja yang berupa
impian dan pengharapan karena yang menciptakan tari memiliki aliran darah
Madura.
Karya Tari Srimpi Ludiramadu diciptakan Hamengkunagara III yang
memiliki aliran darah Madura dari Ibunda dan Ayah seorang Raja Surakarta yang
bernama Paku Buwana IV. Perselisihan dan perpisahan kedua orang tua yang
melatar belakangi terciptanya Tari Srimpi Ludiramadu, diawali dari pinciptaan
gendhing ludiramadu pada tahun 1718 – 1748 (1790-1820 Masehi).
(Pradjapangrawit 1990: 110-111).
Dalam Tari Srimpi Ludiramadu adalah impian seorang anak yang berharap
Ibu dan Bapak dapat kembali bersatu, rukun tidak terpisahkan oleh masalah
apapun dan keadaan apapun. Kedua orang tua Hamengkunagara III adalah
Kanjeng Ratu Anom Putri Cakraningrat, Bupati Pamekasan Madura
(Pradjapangrawit 1990:196).
Proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu tidak terlepas dari tempat /
wilayah dimana pencipta itu berada. Tari Srimpi Ludiramadu diciptakan
Hamengkunagara III beliau Putra Paku Buwana IV, waktu menciptakan belum
duduk sebagai Raja. Kemampuan berkarya diperoleh tidak serta merla melainkan
melalui proses latihan, gemblengan dan pengaruh lingkungan sebagai penentu.
Karya yang diciptakan Hamengkunagara berwujud sastra, tari, seni rupa,
karawitan. Pada tari karya yang diciptakan tari penthul (gecul) dan Tari Srimpi
Ludiramadu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Kebudayaan yang diciptakan di Keraton selalu memiliki makna dan simbol
disini makna sakral, magis, religius tidak terlepas dari kebudayaan keraton
memiliki perbedaan dengan karya budaya yang berada pada luar keraton dan di
dalam Tari Srimpi Ludiramadu mempunyai simbol-simbol yang sangat kaya
tentang falsafah manusia Jawa yang berada disekitar kosmologis Jawa.
Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa keraton dijaga oleh
kekuatan roh halus dari empat arah dan di dalam srimpi jumlah empat itu untuk
menghormati roh-roh atau biasa disebut pepundhen (roh nenek moyang zaman
dulu) diempat penjuru mata angin, semua pepundhen bertugas melindungi dan
menjaga keselamatan keraton Surakarta dan sekitarnya selain itu Tari Tradisi
Jawa juga memiliki konsep Hasta Sawanda (delapan unsur yang menjadi satu
kesatuan dan lebih penting dalam tari tradisi keraton tidak terlepas juga pada
konsep wiraga, wirama, wirasa (Prabowo, 1991:12-13)
Hal diatas yang membuat Tari Tradisi keraton disini Tari Srimpi
Ludiramadu memiliki makna dan berkonsep adi luhung yang sesuai dengan nilai-
nilai kehidupan manusia Jawa.
Masyarakat Jawa memiliki aktivitas religi yang berhubungan dengan
penguasa alam yang tujuannya untuk mengucap rasa syukur dan terima kasih
kepada penciptaNya bahwa manusia ada karena ada yang menciptakan disini
dengan melakukan berbagai upacara yang berhubungan dengan kelahiran,
kehidupan dan kematian. (Soepardi dan Atmadibrata 1977:70).
Manusia menciptakan kebudayaan karena manusia memiliki akal, pikiran,
daya, cipta dan karsa yang dapat diwujudkan dalam bentuk tari, karawitan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
upacara, sastra dan lain-lain. Selain itu sifat manusia secara lahiriah ingin
bersosialisasi hidup berkelompok, bekerja sama, dan mencipta. (Soekanto,
1982:22).
Karya kebudayaan sendiri memiliki perkembanganyang bersifat dinamis
sehingga tiap individu-individu dan generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian
dengan penyesuaian desain zaman. Tradisi dan kebudayaan masa lampau banyak
ditinggalkan, terkadang diperlukan beberapa penyelarasan, karena tidak sesuai
dengan tuntutan zaman baru. Generasi baru tidak hanya mewarisi suatu edisi
kebudayaan baru, tetapi juga suatu versi kebudayaan yang direvisi, hal ini juga
dialami pada Tari Srimpi Ludiramadu yang sebenarnya lahir, diciptakan dari
kebudayaan keraton menjadi kebudayaan yang berkembang ke luar keraton
sehingga terjadi perubahan. Perubahan dalam berbagai hal yaitu bentuk, fungsi
bahkan tidak luput dari perubahan makna. (Soemardjan, 1962:30).
Perubahan yang dialami kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
lingkungan alam, misalnya iklim kekurangan bahan makanan atau bahan bakar
dan berkurangnya jumlah penduduk. Hal tersebut memaksa manusia untuk
beradaptasi. Mereka tidak dapat mempertahankan cara hidup lama, tetapi harus
menyesuaikan dengan situasi baru. Perubahan disebabkan juga adanya kontak
dengan kelompok masyarakat yang memiliki norma-norma, nilai-nilai, dan
teknologi berbeda. Kontak budaya dapat terjadi secara damai atau bermasalah,
sukarela atau terpaksa, dan timbal balik (hubungan perdagangan atau progam
pertukaran pelajar dan mahasiswa) atau sepihak (invasi militer).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Kebudayaan berubah disebabkan juga discovery (penemuan) dan invention
(penciptaan bentuk baru). Discovery adalah suatu bentuk penemuan baru yang
berupa persepsi mengenai hakikat suatu gejala atau hakikat hubungan antara dua
gejala atau lebih. Discovery biasanya membuka pengetahuan baru tentang sesuatu
yang pada dasarnya suda ada, misalnya penemuan untuk membangun pemahaman
manusia bahwa kebudayaan lama yang saral berubah menjadi tidak sakral,
memiliki makna bahkan tidak bermakna.
Masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material
yang telah dikembangkan oleh bangsa di tempat lain. Pengadopsian elemen-
elemen kebudayaan bersangkutan dari satu ke masyarakat lainnya, misalnya
teknologi komputer yang dikembangkan oleh bangsa Barat di adopsi berbagai
bangsa di dunia. Gejala tersebut menunjukkan adanya keterkaitan atau jaringan
antara kebudayaan yang satu dengan lainnya.
Bangsa Indonesia memodifikasi cara hidup dengan suatu pengetahuan atau
kepercayaan baru, atau disebabkan perubahan dalam pandangan hidup dan
konsepsinya tentang realitas. Perubahan tersebut berkaitan dengan munculnya
pemikiran atau konsep baru dalam pandangan hidup serta konsepsinya tentang
realitas, bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama serta kepercayaan. (Raga,
2000:23-24)
Hasil karya kebudayaan lebih khusus ke seni Tari Tradisi tidak bisa lari dari
perkembangan sehingga mengalami bentuk, fungsi, dan makna pada tari karena
pada saat itu keadaan ekonomi di keraton terjadi konflik internal yang membuat
kekuasaan raja berubah dan berpindah ke pemerintah Republik. Keraton sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
pusat kebudayaan sulit mengendalikan dan menstabilkan laju ekonomi sehingga
pada saat itu sekitar tahun 1949-1945 ekonomi keraton morat-marit. Pemerintah
hanya memberikan subsidi untuk menyelenggarakan acara-acara keraton dan
keraton sendiri tidak memiliki hak untuk mengelola keuangan apalagi
pemerintahan.
Keraton tidak lagi memiliki pemasukan dari pabrik tebu, pajak, semua
ditangani pemerintah daerah dengan keadaan keraton yang tidak konsudif lagi
ternyata mempengaruhi regenerasi penari keraton. Putri keraton dan kerabat hanya
sedikit yang (kersa) meluangkan waktu untuk berlatih menari, pada akhirnya
untuk acara penyambutan tamu dan acara-acara di keraton terpaksa mengambil
pihak luar atau penari di luar keraton untuk menutupi jumlah kekurangan pada
penari.
Sehingga berpengaruh pada perubahan makna, misal : penari harus
keturunan dan kerabat keraton, suci (gadis), belum pernah menikah, umur + - 20
tahun, sebelum menari berpuasa, bahkan harus bisa Ngadisarira Ngadi Busana.
Hal ini tidak dapat diwujudkan dengan keterbatasan jumlah penari, disini mereka
sama sekali tidak ada hubungan darah atau persaudaraan dengan keraton bahkan
mereka hanya rakyat biasa (rakyat jelata).
Keadaan ekonomi pada saat itu yang tidak mendukung akhirnya putri
keraton tidak duduk manis, tinggal diam berpangku tangan mereka akhirnya
menjadi putri keraton yang berkarier tidak hanya di dalam keraton, misalnya
kegiatan membatik, berhias, menari, memasak, akhirnya bekerja di berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
bidang negeri atau swasta, ada yang menjadi staff pengajar / dosen, politisi,
anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lain-lain. (Veeger, 1992:55).
Keraton merasa sangat membutuhkan pihak luar dalam membantu
melestarikan budaya Jawa karena keraton tidak mampu untuk melakukan sendiri
sehingga pada tahun 1970 pihak keraton memanggil pengelola ASKI (Akademi
Seni Karawitan Indonesia Surakarta) pada saat itu Gendhon Humardani untuk ikut
serta dalam melestarikan budaya Jawa sehingga beban yang ada pada pundak Raja
sedikit ringan dengan bantuan lembaga kesenian, di sini terbukti bahwa Raja yang
awalnya memiliki kekuasaan penuh untuk memerintah, mengelola dan punya
kekuatan seelah tidak duduk pada singgasana akhirnya memerlukan bantuan orang
lain dan bahkan menjalin hubungan dengan pihak luar keraton pada dasarnya Raja
dan kerabat serta abdi dalem keraton memiliki jiwa sosial dan tidak dapat hidup
tanpa bantuan orang lain sesuai dengan pernyataan (Malinowski, 1960:37).
Manusia sebagai pelaku budaya yang disalurkan dengan karya budaya yang
diciptakan karena manusia sendiri mempunyai rasa cipta untuk dapat mencukupi
berbagai kebutuhan baik batiniah atau lahiriah. Keutuhan yang bersifat lahiriah
dan batiniah diusahakan seimbang sehingga kehidupan sebagai makluk individu
dan sekaligus makluk sosial akan berjalan seimbang, manusia merupakan pencipta
budaya dengan melahirkan budaya baik meniru budaya lama, memperbarui atau
malah merusak kebudayaan yang sudah ada dengan kebudayaan yang diciptakan
dianggab benar walaupun kadang diterapkan dalam kehidupan tidak sesuai dengan
norma, nilai dan tata keakuan masyarakat Jawa. Soerjono Soekanto (dalam
Williams, 1982:177).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Pencipta karya dibidang tari, karawitan, pedalangan yang mengabdikan
hidupnya untuk seni biasa disebut seniman: faktor seniman berpengaruh dalam
perubahan bentuk, fungsi, dan makna bedhaya selain faktor ekonomi, sosial yang
ada. Setelah kekuasaan tidak lagi ditangan Raja, para seniman bagaikan burung
lepas dari sangkar, era keterbukaan dan kebebasan berseniman mulai ada. Sekitar
tahun 1970-1971 seniman tari yang berada di keraton dan di luar keraton
berlomba menciptakankarya-karya baik memperbarui karya lama dengan karya
baru atau bahkan menciptakan karya yang sama sekali lepas dari pakem baku
“Hasta Sawanda atau wiraga, wirama, wirasa. Seniman berlomba-lomba
mengungkapkan imajinasi, pengngkapan jiwa, selera pribadi bahkan menciptakan
kaya sebagai identitas diri si pekarya seni (seniman). (Soemardjan, 1964:120-123)
Perkembangan kebudayaan selalu mengikuti dimana zaman dan manusia
yang menciptakan kebudayaan itu berada, karena kebudayaan selalu mengalami
perubahan-perubahan secara kontinu, dengan kata lain, tidak ada satu kebudayaan
pun yang tidak mengalami perkembangan kecuali kebudayaan itu telah mati. Pada
hakekatnya kebudayaan mengisi serta menentukan jalan kehidupan manusia,
walaupun hal ini jarang disadari oleh manusia sendiri. Wulansari (dalam William,
2009:83).
Kebudayaan yang ada yang dicptakan lewat Tari Srimpi Ludiramadu juga
mengalami perkembangan yang secara tidak sadar mempengaruhi perkembangan
pemikiran manusia itu sendiri tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya
didalam keraton akhirnya sampai keluar keraton. Politik yang terjadi di
Indonesiab sebagai penyumbang bahkan membuat dampak pada tata kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
kebudayaan di keraton mengalami masa-masa kritis. Peralihan pemerintah
membuat kehidupan di bidang budaya menjadi kocar-kacir. Kegiatan yang
biasanya dapat dilaksanakan tanpa mengalami kendala sama sekali menjadi
permasalahan yang harus ada jawaban dan harus ada penyelesaian serta solus.
Tari Tradisi berupa Srimpi Ludiramadu pada awalnya hanya untuk wetonan dan
penyambutan tamu Raja akhirnya dengan keadaan politik yang tidak kondusif
makanya tari tidak hanya di dalam keraton waktu pentas akhirnya untuk tujuan
komersial, dipergunakan untuk lomba, misi kesenian, festival seni, apresiasi seni
bahkan hiburan.
Keraton sebagai tempat wadah kebudayaan terkena dampak politik,
keluarga keraton sendiri sibuk berpolitik dengan masuk partai sebagai solusi
untuk mencukupi kehidupan memperhitungkan tingkat kehidupan yang cukup
mentereng daripada mereka tetap sebagai putri keraton hanya menari, nyinden,
belajar gamel. Keadaan politik perpengaruh dalam hal kekuasaan Raja tidak dapat
menjalankan roda pemerintahan dan hanya cagar budaya ang hanya perlu
dilestarikan keberadaannya, sehingga keraton sendiri memutar otak untuk
mencukupi kebutuhan dan kelangsungan keraton akhirnya seni tradisi sebagai
obyek penghasil / alat untuk mendapatkan uang dengan cara pariwisata budaya.
Mengkomersilkan kebudayaan bersifat tradisi bahkan sakral, magis menjadi
sebuah paket pariwisata budaya yang memberikan hiburan tersendiri bagi para
wisatawan. Untuk kebutuhan pariwisata tidak mungkin srimpi tetap pada wujud
semula, bentuk penyajiannya akhirnya disesauikan dengan kebutuhan pasar
dimana penonton tidak jenuh tetapi terhibur dan tetap dapat melestarikan tari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
walaupun ada pertentangan istilahnya pro dan kntra mempertahankan makna atau
menghlangkan makna karena dalam pariwisata budaya makna itu hilang sama
sekali yang ada hanya apresiasi seni, bisnis saling menguntungkan. Di sini
penyelenggarakan dapat untung penari dapat honor, wisatawan dapat hiburan dan
wawasan tentang kebudayaan dan Tari Tradisi Keraton. Hal ini sesuai dengan
(Dirdjosisworo, 197:73).
Kesenian tradis yang berada pada wilayah pariwisata ada beberapa hal yang
mutlak harus ada bahwa kesenian di sini Srimpi Ludiramadu harus memiliki
sajian yang hanya berupa tiruan pada bentuk aslinya, durasi singkat, penuh variasi
pada vokabuler gerak tidak memiliki nilai sakral, magis, religius karena bersifat
profan (pertunjukan sebagai hiburan), walaupun ada sesaji di saat pertunjukan
hanya untuk kegiatan antara manusia dengan kekuatan alam sekitar dan Allah
sebagai pencipta manusia. (Rochana, 1993:82).
Perubahan pada fungsi Tari Srimpi Ludiramadu merupakan keinginan
untuk berfikir secara luas dan pandangan ke depan dengan meninggalkan
pemikiran dahulu walaupun tidak semua fungsi ditinggalkan, dengan proses
penyesuaian pada kondisi masyarakat pengguna kebudayaan tersebut.
(Selosoemardjan, 1962:379).
Tari Srimpi Ludiramadu juga mengalami perubahan tidak hanya pada
bentuk melainkan pada fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu, makna yang
dalam dari simbol-simbol dalam tari berubah menjadi makna baru bahkan menjadi
tidak bermakna karena masyarakat berfikiran realistis dengan gampangnya
mengakses teknologi komunikasi dan pemikiran ke depan dengan berfikir luas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
maju. Kebebasan berimajinasi dan menggunakan nalar yang berfikir positif
membuat pemikiran baru tentang makna pada Tari Srimpi Ludiramadu berubah.
Masyarakat Jawa sadar kebudayaan itu yang menciptakan, mengadakan adalah
manusia sehingga yang memaknaipun manusia itu sendiri sebagai pencipta dan
pelaku budaya. Perubahan makna juga dapat disebabkan adanya kontak individu
satu dengan individu lain sehingga saling mempengaruhi. Hubungan yang
dilakukan secara fisik antara kedua masyarakat, memiliki kecenderungan untuk
menimbulkan pengaruh timbal balik, artinya masing-masing masyarakat
memengaruhi masyarakat yang lainnya dan menerima pengaruh dari masyarakat
yang lain. Apabila pengaruh itu diterima tidak karena paksaan dari pihak yang
memengaruhi, maka hasilnya dalam ilmu ekonomi dinamakan demonstration
effect. Perubahan dapat terjadi mungkin dengan sadar, mungkin juga tidak sadar
oleh masyarakat dianggab tidak sesuai lagi dalam kehidupan sekarang dan perlu
diganti dengan makna baru bahkan tidak usah ada makna dalam seni tradisi
keraton. (Soemardjan, 1964:489-490).
Pada umumnya Tari Jawa merupakan “kitab adi” yang berisi muatan
pengertian-pengertian yang berupa lambang-lambang gerak. Nama-nama gerak
memiliki pengertian-pengertian yang dapat ditafsirkan sebagai suatu ajaran tata
kehidupan yang baik. Perlu disadari bahwa bangsa-bangsa Jawa sangat akrab
dengan bahasa simbol dan pralambang. Selian itu pada waktu dulu belum banyak
catatan atau buku yang dapat dibaca juga belum banyak orang yang bisa
membaca, maka sistem pendidikan informal dalam bentuk simbol-simbol gerak
dan tembang lebih effisien dan praktis. Menurut peneliti, dalam kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
sekarang hal ini tidak relevan lagi karena alat pendidikan kisi sudah banyak dan
serba canggih serta lebih praktis dan efisien. Dengan demikian tidak diperlukan
dunia simbol pada Tari Srimpi Ludiramadu karena tidak sesuai dengan kehidupan
masyarakat sekarang yang serba modern, hidup dengan peralatan yang sudah
mudah digunakan, diakses, dan tidak perlu waktu yang lama.
Masyarakat Jawa ikut berperan dan mempengarui terhadap perubahan
sosial budaya. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya fenomena dalam
masyarakat Jawa yang berkeinginan ingin bebas dan tidak terbelenggu oleh
kehidupan Tari Tradisi Keraton yang bermakna sakral, magis, religius menjadi
fungsi pariwisata, hiburan. Keberanian masyarakat Jawa menghilangkan ritus
yang berhubungan dengan semedi, rasa, manunggaling kawula gusti dengan lebih
cenderung pada profan dan menitik beratkan pada estetik keindahan untuk
menarik minat wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Partisipasi kalangan
akademika untuk menfasilitasi seniman serta penari untuk mengembangkan bakat
dan kemampuan serta memberikan wadah serta memfasilitasi demi kemajuan
kesenian.
Pengetahan seniman keraton, dan masyarakat membaca peluang bisnis yang
menjanjikan di bidang pariwisata yang bersumber pada kesenian Tradisi Keraton.
Secara tidak langsung mereka telah menerapkan aspek-aspek yang harus
dipertimbangkan dalam membuat pertunjukkan tari, kemasan tari (rias, busana,
gendhing, vokabuelr gerak, waktu) yang disesuaikan dengan pertimbangan yang
matang dengan menyesuaikan selera pasar. Hal tersebut menjadi indikator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
pengembangan Tari Srimpi Ludiramadu yang dilakukan Keraton serta masyarakat
Jawa.
4.4 Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Bentuk, Fungsi, dan
Makna Pada Tari Srimpi Ludiramadu
Perubahan sosial masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu
mengalami perubahan :
4.4.1. Tanggapan masyarakat
Masyarakat sangat menyukai apalagi wisatawan mancanegara merasa
terhibur dengan waktu yang singkat dapat mengetahui keberadaan tari keraton
dan dengan biaya yang sangat terjangkau mendapatkan pengetahuan, ilmu dan
pengalaman Tari Srimpi Ludiramadu akhirnya hanya sebagai identitas budaya
keraton di era jaman yang modern. Pandangan masyarakat yang mengetahui
sejarah Tari Srimpi Ludiramadu yang sakral merasa sangat menyayangkan
karena ritual magis hilang sama sekal ditelan jaman karena harus
menyesuaikan tuntutan budaya modern
4.4.1.1 Kalangan masyarakat yang tidak mengerti keberadaan Tari Srimpi
Ludiramadu bersikap santai, netral dan tidak peduli tari keraton dapat
keluar tembok keraton bahkan ada yang acuh tak acuh karena merasa
tidak berpengaruh untuk kehidupan masyarakat
4.4.1.2 Perubahan masyarakat memaknai dari simbol-simbol pada Tari Srimpi
Ludiramadu sebagai dua makna yaitu bisa denotasi dan konotasi
dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
luas disertai keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu
formasi sosial. Makna hanya sebagai asosiasi tanda dengan kode
makna kultural lain, menurut sub kode atau leksikon yang digunakan
sehingga makna pada Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna yang
berlipat-lipat bahkan berlapis-lapis. Konotasi membawa nilai-nilai
ekspresif yang muncul dari akumulasi rangkaian kekuatan (secara
sintagmatis) atau, lebih umum, melalui perbandingan dengan alternatif
yang tidak hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang “normal”
dan “alami”, maka ia bertindak sebagai makna konseptual yang
dengannya seseorang memahami dunianya, sehingga dapat dibuktikan
bahwa makna yang berada didalam Tari Srimpi Ludiramadu hanya
sebagai mitos hanya bermain pada wilayah tanda. Di mana ada tanda,
maka disitu ada ideologi. Barthes, mitos adalah sistem semiologis
usutan kedua atau neta bahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang
berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama
(penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi
penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif.
4.4.2 Perubahan pada nilai filosofis dalam Tari Srimpi Ludiramadu
Tari srimpi merupakan bentuk tari sakral yang memiliki makna yang
didalamnya berisi simbol-simbol yang melambangkan tentang kehidupan
manusia yang digunakan sebagai tuntunan hidup dan pandangan hidup pada
masyarakat Jawa pada masa lampau. Hal ini dapat kita ketahui dalam Tari
Srimpi Ludiramadu memiliki vokabuler gerak yang halus, anggun, prenes,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
kenes yang didalamnya juga ada simbol-simbol yang mengandung makna
pada berbagai makna formasi gerak dan pola lantai yang mengisyaratkan
pengolahan batin dengan laku prihatin masyarakat Jawa untuk mencapai
tujuan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perkembangan dengan perjalanan
panjang dari tahun ke tahun dari masa ke masa sampai di era yang sekarang
ini semua makna yang ada pada tari berubah menyesuaikan pada
perkembangan jaman dan dimana kondisi jaman itu menyertainya. Pada masa
pemerintahan Pakubuwana IV kesenian tari mengalami puncak kejayaan,
karena pada masa itu banyak karya-karya tari yang muncul yang disertai
dengan gerak, bentuk, dan iringan yang menyesuaikan pada kondisi jaman
pada saat itu tetapi di era yang sekarang Tari Srimpi Ludiramadu harus
menyesuaikan keadaan sehingga perlu disempurnakan baik bentuk, fungsi,
dan makna pada tari itu sehingga menyesuaikan keberadaannya dan fungsinya
pada era sekarang ini. Sifat sakral, religius, magis berangsur-angsur hilang
dari makna tari itu walaupun awalnya keberadaannya di keraton tetapi di luar
keraton keberadaan hilang dari makna, simbol sehingga menjadi tidak ada
makna sama sekali walaupun awalnya tari ini merupakan seni pertunjukan
keraton yang selalu disebut sebagai kagungan dalem yang secara harfiah yang
berarti bahwa Tari Srimpi Ludiramadu merupakan milik raja.
Kehidupan tari keraton merupakan hasil ekspresi dan pengungkapan
jiwa yang barang tentu kehadirannya ditentukan pemikiran para penguasa dari
suatu kelompok masyarakat pendukungnya dalam kelompok masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
istana yang mengikuti sistem patrimonial, raja merupakan penguasa tunggal
yang menentukan segala sesuatu mengenai kehidupan yang berada di dalam
istana. Seni yang berada di keraton dipengaruhi juga oleh gaya kepemimpinan
seorang raja yang memerintah. Pada saat itu raja sudah memiliki pengetahuan,
pengalaman yang maju untuk menciptakan kebudayaan yang bernilai tinggi
bisa dilihat dalam karya tari karawitan, sastra, dan juga sejarah, dengan hal ini
keraton digunakan sebagai pusat kebudayaan Jawa pada saat itu dan pada saat
sekarang keraton digunakan untuk menandai identitas kebudayaan yang dulu
pernah ada dan menjadi tanda kejayaan pada masa lampau walaupun hanya
tinggal sedikit sisa kejayaan itu masih dapat kita lihat walaupun banyak sekali
terjadi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna.
4.4.3 Perubahan makna yang dulu memiliki nilai filsafat pada Tari
Srimpi Ludiramadu
Dapat dilihat pada proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu yang
pada awalnya berfungsi untuk legitimasi kekuasaan raja yang digunakan untuk
upacara wetonan raja, penyambutan tamu raja. Tari ini salah satu tari yang
digunakan untuk memunculkan status raja yang berkuasa dan keraton yang
mereka kuasai hasil kebudayaan digunakan untuk meningkatkan pamor bahwa
raja memiliki kuasa penuh dalam pemerintahan dan juga dalam membuat hasil
karya kebudayaan. Dalam Tari Srimpi Ludiramadu yang awal penciptaannya
diawali dari impian atau mimpi seorang Hamengkunagara III yang diungkap
dalam gerak, iringan, dan dalam rias dan busana juga pola lantai pada awalnya
memiliki tujuan yang sangat agung karena didalam Tari Srimpi Ludiramadu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
juga mengandung cerita dengan awal penciptaan gendhing ludiramadura disini
dapat diungkap bahwa Hamengkunagara memiliki darah dari seorang ibu yang
berasal dari kerajaan Sumenep Madura sehingga proses penciptaan tari bahwa
mencapai tujuan hidup dengan apa yang dia inginkan harus berusaha dengan
keras.
Di dalam Tari Srimpi Ludiramadu merupakan salah satu tari kelompok
yang terdiri dari empat orang penari dengan perannya sendiri-sendiri sudah
dipaparkan penulis pada bab IV. Penari-penari itu membawakan peran sebagai
batak, gulu, dhadha, dan buncit peran-peran didalamnya bahwa batak
merupakan simbol kepala yang berarti manusia harus memiliki akal pikiran
dan berpikir yang jernih dalam melakukan sesuatu hal, gulu merupakan
perwujudan leher seorang manusia Jawa, dhadha sebagai perwujudan organ
tubuh manusia bahwa dhadah adalah tempat untuk mengendalikan hawa nafsu
dan sebagai pengendali diri, buncit adalah organ tubuh atau perwujudan
pengeluaran manusia atau anus sehingga dapat diungkap bahwa simbol empat
orang penari bisa dimaksudkan patjupat lima pancer dan yang berada
ditengah adalah yang mengendalikan manusia adalah Allah.
Tari Srimpi Ludiramadu adalah tari yang dapat menyeimbangkan
bahwa kehidupan manusia ada kekuatan makro cosmos dan mikro cosmos
yang keduanya harus dalam keadaan seimbang dan sesuai supaya ada
keseimbangan kehidupan dialam semesta sehingga manusia akan terhindar
oleh hawa nafsu supiah, aluamah, amarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Perwujudan Tari Srimpi ludiramadu di masa sekarang sudah tidak ada
pementasan yang digunakan yang memiliki hubungan dengan unsur
kekuasaan atau pemerintahan seperti masa lampau. Hal ini karena keraton
hanya sebagai tempat melestarikan nilai-nilai dan butir-butir budaya Jawa
saja. Tari Srimpi Ludiramadu setelah mengalami pemadatan pada tahun 1970
sekarang sudah digunakan untuk tujuan pariwisata budaya selain itu lebih
bertujuan ke hiburan dengan sering diadakannya festifal seni, lomba seni, misi
kesenian baik yang diadakan secara nasional maupun secara internasional.
Pertunjukan Tari Srimpi Ludiramadu yang sekarang dengan
menghilangkan vokabuler-vokabuler gerak yang dirasa tidak perlu karena
adanya pengulangan-pengulangan gerak tetapi tetap menggunakan gerak maju
beksan, beksan, dan mundur beksan walupun didalamnya sudah berubah
untuk menyesuaikan kebutuhan dimana tari itu berfungsi. Kreativitas seniman
pada masa sekarang yang memegang peran penting dalam melestarikan
budaya, dan makna yang sekarang ada adalah siapa orang yang memaknai
sehingga makna hanya pada tingkatan seseorang yang menandai makna itu
dan siapa yang menciptakan makna sehingga dapat kita ketahui siapa yang
menciptakan karya akan menciptakan makna itu pula. Di era yang sekarang
Tari Srimpi Ludiramadu melambangkan keberadaan manusia yang modern
yang cenderung pada kehidupan yang praktis, instan dan ekonomis serta
mementingkan pada segi hiburan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Keberadaan seni tradisional klasik yang pada awalnya hidup dan
berkembang di dalam keraton pada dasarnya merupakan kehidupan kultural yang
sudah berakar secara turun-temurun yang menjadi salah satu perwujudan budaya.
Rentangan sejarah keberadaan keraton sampai sekarang melatarbelakangi
kehidupan masyarakat Jawa yang berada disekitar keraton untuk ikut berperan
dalam kegiatan berkesenian sampai hasil karya seni yang notabene berada di
dalam keraton dapat keluar dari dalam keraton sehingga menjadikan seni yang
klasik yang bersifat magis, sakral, religius berubah mengikuti arus zaman.
Dari perubahan bentuk, fungsi, dan makna tari kajian tentang Tari
Tradisional Klasik yang berupa Srimpi Ludiramadu, penelitian ini menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut.
Kedua, yang berkaitan dengan perubahan bentuk, yang terdiri dari
vokabuler gerak dengan bagian maju beksan, beksan dan mundur beksan dengan
pengulangan pada sekaran-sekaran beksan laras, lincak gagak, engkyek ludira,
sangganampa ukel adu manis yang dilakukan berulang-ulang dipadatkan sehingga
tidak terjadi pengulangan pada vokabuler gerak seperti sebelum berubah.
Perubahan bentuk gerak tradisi juga pada kecepatan / tempo mengalami
peningkatan pada tempo setiap gerakan, waktu berubah dikarenakan pemadatan
gerak dan kecepatan pada tempo sekarang + 15-18 menit. Iringan yang berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
karawitan dengan garap gendhing yang mengulang-ulang dipadatkan : percepatan
tempo dalam gendhing membuat kesan Tari Srimpi Ludiramadu lebih kenes,
tregel karena penari menyesuaikan gerak dengan iringan. Bentuk rias Tari Srimpi
Ludiramadu sekarang menggunakan kosmetik buatan pabrik berbeda pada zaman
dulu waktu tari masih dalam keraton. Keberadaan langes (angus) tinta cina, jambe
(nginang), lulur dari beras dan kunir serta pandan berubah ke product buatan
pabrik. Pupur (bedak) lipstik (benges), pensil alis (celak), eye shadow (pemerah
pipi dan lulur dengan berbagai merk. Busana untuk menari Tari Srimpi banyak
mengalami perubahan dari gelung gedhe, dhodhotan (pakaian tari / kemben /
jarit). Aksesoris rambut, kepala, gelang, kalung, semua dibuat lebih menarik
dengan penyesuaian kebutuhan profan, penambahan batu-batu warna-warni, kaca-
kaca gemerlap, bulu-bulu untuk kiasan kepala, jarit sinjang (kain bawahan untuk
menari) tidak lagi harus warna coklat, hitam dengan motif menyesuaikan sendiri
dan kemauan penari dan seniman, lereng menyesuaikan penari gemuk atau
langsing. Perubahan fungsi, Tari Srimpi Ludiramadu berfungsi untuk pariwisata,
misi kesenian, festifal, seni pertunjukan, pekan seni, apresiasi seni, dan untuk
penyambutan tamu waktu resepsi pernikahan. Tari Srimpi Ludiramadu mengalami
perubahan pada makna pada awalnya sakral, magis, religius berubah menjadi
tidak sakral bahkan tidak bermakna.
Pertama : Perubahan bentuk, fungsi, dan makna dapat terjadi karena ada
hal yang mempengaruhi sehingga perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu yang
awal penciptaannya di dalam keraton dapat ke luar keraton selain itu faktor yang
mempengaruhi tidak hanya sekedar mempengaruhi tetapi menimbulkan dampak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna. Adapun faktor internal, yaitu adanya
tuntutan dari masyarakat yang sifatnya alami, karena dirasakan monoton dan
menjemukan selain itu pihak seniman berkeinginan menayangkan kreativitas dan
faktor eksternalnya adalah enonomi, politik, komunikasi, teknologi, pariwisata.
Sebagai temuan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu
diperuntukkan pada tahapan pariwisata, hiburan, hanya sekedar sebagai apresiasi
seni.
Ketiga : Keberlanjutan Seni Tari yang berwujud Srimpi Ludiramadu
merupakan bagian perjalanan budaya yang sangat ditentukan oleh seniman dan
masyarakat pendukungnya. Dalam mencermati hal tersebut, ada tiga hal yang
merupakan penyangga kehidupannya. Unsur penyangga pertama adalah
masyarakat sebagai faktor internal, terdiri atas para pelaku seni atau disebut
seniman, penonton, penyelenggara (pemilik dana), dan pendukung yaitu kalangan
budayawan dan pemerhati seni serta lembaga resmi, kalangan akademika SMKI,
ISI Surakarta, Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah, Keraton. Keteraturan
jalannya sistem yang didukung oleh unsur diatas merupakan salah satu aspek yang
menyebabkan supaya Tari Srimpi Ludiramadu akan selalu ada dan berkembang di
tengah-tengah keadaan arus zaman yang semakin tidak dapat dikendalikan
sehingga mempengaruhi keberadaan kesenian yang bersifat tradisi.
Perkembangan yang terjadi pada Tari Srimpi Ludiramadu yang
menyebabkan perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. Dengan adanya
perubahan bentuk, fungsi, dan makna, terjadi pula pada akhirnya perubahan pada
tujuan yang ingin disampaikan yang berdampak pada perubahan bentuk, fungsi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
dan makna. Lewat perubahan yang disajikan mempengaruhi pada pandangan
masyarakat dilihat makna didalamnya yang ingin disampaikan.
Mencermati perkembangan seni tradisi keraton yang dapat keluar dari
keraton secara teoritis kajian budaya (cultural studies), telah terjadi perubahan
sosial pada masyarakat terbukti adanya perubahan pandangan masyarakat
mengenai seni tradisi keraton. Namun demikian adanya perubahan yang
disebabkan berbagai faktor pendorong perubahan bukan berdampak negatif saja
karena dapat memberikan makna positif bagi perkembangan seni tradisi keaton
dapat dinikmati masyarakat umum dan masyarakat dapat ikut serta
melestarikannya.
Perubahan sosial masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu mengalami
perubahan.
· Tanggapan masyarakat
Masyarakat sangat menyukai apalagi wisatawan mancanegara merasa
terhibur dengan waktu yang singkat dapat mengetahui keberadaan tari keraton
dan dengan biaya yang sangat terjangkau mendapatkan pengetahuan, ilmu dan
pengalaman Tari Srimpi Ludiramadu akhirnya hanya sebagai identitas budaya
keraton di era jaman yang modern. Pandangan masyarakat yang mengetahui
sejarah Tari Srimpi Ludiramadu yang sakral merasa sangat menyayangkan
karena ritual magis hilang sama sekal ditelan jaman karena harus
menyesuaikan tuntutan budaya modern.
· Kalangan masyarakat yang tidak mengerti keberadaan Tari Srimpi
Ludiramadu bersikap santai, netral dan tidak peduli tari keraton dapat keluar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
tembok keraton bahkan ada yang acuh tak acuh karena merasa tidak
berpengaruh untuk kehidupan masyarakat
5.2 Saran
Untuk menambah keunikan tari dapat ditambahkan gerakan-gerakan yang
unik dengan penjiwaan tari yang maksimal. Menumbuhkan minat generasi muda
untuk tetap melestarikan tari tradisi, dibuka kerja sama antara pihak keraton
dengan masyarakat luas dengan mengadakan seminar-seminar budaya bagi guru
seni tingkat TK, SD, SMP, SMA, SMK, Perguruan tinggi sehingga terjalin
komunikasi antara semua pihak, sehingga keberadaan tari tradisi keraton akan
selalu ada di tengah perkembangan era globalisasi yang tidak terkendali.
Agar pementasan Tari Srimpi Ludiramadu lebih aktraktif lagi semakin
banyak pertunjukan yang diadakan lewat acara festifal tari tradisi, pentas seni
budaya, pertunjukan tari supaya masyarakat luas terdorong dan punya krenteg
(kemauan) untuk mempelajari tari ini secara sungguh-sungguh sehingga
regenerasi penari tradisi akan selalu ada dan Tari Srimpi Ludiramadu akan tetap
ada walaupun jaman terus berkembang.