Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
319
PERUBAHAN PENGGUNAAN SEMAK BELUKAR PADA LAHAN GAMBUT DITINJAU DARI ASPEK DINAMIKA CADANGAN KARBON TANAMAN
ABOVE GROUND CARBON STOCK DYNAMICS ASSOCIATED WITH THE USE CHANGE OF PEAT SHRUB
Erni Susanti1, Ai Dariah2
1 Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No. 1A PO Box. 830, Bogor
16111.
2 Balai Penelitian Tanah Jl. Tentara Pelajar No 12, Bogor 16114.
Abstrak Optimalisasi lahan semak belukar menjadi lahan pertanian selain
bisa meningkatkan keuntungan ekonomi, juga berpeluang untuk
meningkatkan sekuestrasi karbon oleh tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dinamika perubahan cadangan karbon akibat perubahan
penggunaan semak belukar ke komoditas pertanian (khususnya sawit, karet,
dan nenas). Penelitian dilakukan pada lahan gambut di Desa Lubuk Ogong,
Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau; Desa Rasau Jaya I,
Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat,
dan Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Pengukuran cadangan karbon pada semak belukar dan nenas dilakukan
dengan metode destructive, sedangkan pengukuran cadangan karbon pada
tanaman kelapa sawit dan karet dilakukan secara non detructive. Hasil
penelitian menunjukkan Cadangan karbon dalam semak belukar sangat
bervariasi. Cadangan karbon pada semak belukar di Riau adalah 61,4 ± 34,5
t/ha, sedangkan di Kalimantan Barat 6,0 ± 2,0 t/ha t/ha. Hasil simulasi
menunjukkan jika semak belukar di Riau dialihfungsikan menjadi kelapa
sawit sampai tahun ke 23 masih terjadi defisit cadangan karbon tanaman
sebesar 8 t/ha. Namun jika menjadi perkebunan karet pada tahun ke 25
kehilangan cadangan karbon tanaman sudah bisa diganti, bahkan terjadi
surplus 4 t/ha. Pada kondisi semak belukar dengan cadangan rendah seperti di
lokasi penelitaian di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan lahan ke
tanaman nenas tidak menyebabkan terjadinya defisit cadangan karbon
tanaman, bahkan terjadi sekuestrasi sebanyak 8 t/ha, sedangkan perubahan
semak belukar menjadi sawit dan karet menyebabkan terjadinya sekustrasi
lebih dari 40 t/ha selama siklus hidup sawit dan karet.
Abstract Optimization of shrub to agriculture in addition can increase the
economic benefits, is also likely to increase carbon sequestration by plants.
This research purpose to study the dynamics of changes in carbon stocks due
to the change of use of agricultural commodities shrubs (oil palm, rubber, and
pineapple). The research was conducted on peatland in the Lubuk Ogong
Village, Bandar Seikijang District, Pelalawan, Riau; Rasau Jaya I Village
24
Erni Susanti, Ai Dariah
320
Rasau Jaya District Kubu Raya, West Kalimantan Province, and Arang-
Arang Village, Kumpeh District, Muaro Jambi, Jambi Province. Measurement
of carbon stocks of pineapple and shrubs was conducted by destructive
method, while the measurement of carbon stocks on plant oil palm and rubber
by non destructive method. The results showed carbon stocks vary widely in
the shrub. Carbon stocks in the shrub in Riau was 61.4 ± 34.5 t / ha, while in
West Kalimantan 6.0 ± 2.0 t / ha t / ha. Simulation results show if the shrubs
in Riau converted into palm oil up to 23 years is still a deficit of plant carbon
stocks of 8 t / ha. But if it becomes a rubber plantation in the year to 25 loss of
carbon stocks of plants may be closed, even the surplus of 4 t / ha. In
conditions of low carbon stock of shrubs such as in research in West
Kalimantan, the changes of shrub to pineapple plants did not result carbon
stocks deficit, even sequestration occurs as much as 8 t / ha, and if it changes
into palm and rubber plantation cause sequestration more than 40 t / ha
during the life cycle of oil palm and rubber.
PENDAHULUAN
Salah satu penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya gas rumah kaca
(GRK), akibat aktivitas manusia yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, seperti : penggunaan bahan bakar fosil yang
terus meningkat, penebangan hutan yang menyebabkan berkurangnya tanaman yang dapat
menyerap CO2; peningkatan laju dekomposisi dan pembakaran bahan organik;
penggunaan pupuk urea yang menyebabkan emisi N2O, emisi dari kotoran dan sendawa
ternak yang menyumbang CH4 ke atmosfer, dan peningkatan pembukaan dan drainase
lahan gambut yang tidak menurut aturan .
Pengurangan emisi GRK di atmosfer ditempuh melalui berbagai cara mulai dari
pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, penambatan karbon ke dalam jaringan tanaman.
Suhendang (2002) dalam Roesyane dan Saharjo (2011) memperkirakan bahwa hutan
Indonesia yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap karbon dan
menyimpan karbon sekitar 15,05 milyar ton karbon. Indonesia sebagai negara yang
memiliki potensi hutan tinggi baik hutan alam maupun hutan tanaman memiliki
kemampuan yang besar untuk menyerap atau menyimpan karbon. Oleh karena itu alih
fungsi lahan hutan berpotensi menurunkan simpanan karbon, karena cadangan karbon
dalam tanaman non hutan relatif lebih rendah .
Lahan gambut juga merupakan penyimpan karbon terestrial terbesar di Indonesia
cadangan C tanah gambut Indonesia berkisar antara 27-36 Gt (Agus et al. 2013). Karbon
yang tersimpan di dalamnya sangat mudah teremisi menjadi CO2 apabila ekosistem hutan
gambut diganggu. Gangguan utama terhadap simpanan karbon pada hutan gambut adalah
bila hutannya ditebang dan didrainase (Dariah et al., 2013). Akan tetapi pembukaan dan
drainase hutan gambut sulit ditiadakan seiring dengan semakin berkurangnya ketersediaan
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
321
sumberdaya lahan bertanah mineral untuk pengembangan perekonomian. Terlebih pada
era di mana belum adanya komitmen berkekuatan hukum (legally binding commitment)
negara industri untuk memberikan kompensasi kepada negara yang menyediakan jasa
berupa penurunan emisi GRK. Namun terlepas dari ada atau tidaknya pasar karbon
(kompensasi terhadap penyedia jasa penurunan emisi), Pemerintah Indonesia tetap
berkomitmen untuk berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca, salah satunya dengan
menerbitkan Inpres No. 06/2013 tentang jeda atau penundaan ijin baru pembukaan hutan
alam/primer dan lahan gambut, serta penyempurnaan tata kelola hutan alam/primer dan
lahan gambut. Oleh karena itu, selama Inpres ini berlaku pemanfaatan lahan gambut saat
ini diprioritaskan pada optimalisasi lahan gambut yang telah dibuka, salah satunya dengan
memanfaatkan lahan gambut terlantar, yaitu gambut yang telah dibuka, namun tidak
diusahakan untuk kegiatan produktif dan umumnya hanya ditumbuhi semak belukar.
Hasil identifikasi yang dilakukan Wahyunto et al., (2013) menunjukkan luas lahan
gambut yang saat ini dalam kondisi terlantar/ditumbuhi semak belukar adalah sekitar 3,74
juta hektar, sekitar 3 juta hektar di antaranya potensial untuk pertanian. Perubahan lahan
belukar menjadi lahan pertanian pada lahan gambut, kemungkinan tidak akan merubah
tingkat emisi akibat dekomposisi gambut secara signifikan, karena lahan belukar
umumnya juga telah dilakukan drainase, namun demikian disamping manfaat ekonomi
yang menjadi lebih besar, peluang penurunan emisi masih bisa terjadi jika perubahan
lahan terjadi ke arah penggunaan dengan cadangan karbon tanaman lebih tinggi dibanding
belukar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika perubahan cadangan karbon
akibat perubahan penggunaan semak belukar ke komoditas pertanian (khususnya sawit,
karet, dan nenas).
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Pengukuran cadangan karbon pada tanaman belukar dilakukan di dua lokasi yaitu
di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dengan
letak koodinat 00020’59,3’’-00021’05,8’’ LS dan 101041’15,6’’-101041’22,9’’ BT dan
Desa Rasau Jaya I Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan
Barat dengan letak geografi UTM 9973035-9973500 Selatan dan 323100-323425 Timur.
Berdasarkan hasil pengamatan lapang, lahan belukar di lokasi penelitian Riau berubah ke
arah penggunaan sawit, oleh karena itu pada lasekap yang sama, dilakukan pula
pengukuran cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit. Sebagai pembanding dilakukan
pula pengukuran cadangan sawit di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten
Muaro Jambi terletak antara 1040’40.79’’-1041’00.85’’ LS dan 97048’48.56’’-
97049’33.63’’BT.
Erni Susanti, Ai Dariah
322
Di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan belukar lebih mengarah ke tanaman
semusim yaitu tanaman nenas, tanaman pangan, dan sayuran. Sehingga pada lansekap
yang sama dilakukan pula pengukuran cadangan karbon di lokasi ini. Dalam menghitung
dinamika perubahan cadangan karbon digunakan juga hasil pengukuran cadangan karbon
di lokasi lain, karena di lokasi sulit untuk menemukan hamparan kelapa sawit dengan
umur yang berbeda.
Karet merupakan tanaman pertanian lainnya yang banyak diusakahan di lahan
gambut, oleh karena itu, dilakukan pula pengukuran cadangan karbon tanaman karet pada
lahan gambut di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah, dengan letak koordinat 2030’30’’LS dan 114009’30’’ BT.
Metode Pengukuran cadangan karbon tanaman
Tanaman semak belukar
Pengukuran cadangan karbon pada semak belukar dilakukan secara destructive
(dirusak) dan non destructive. Pengukuran cadangan karbon semak belukar dengan
diameter > 5 cm dilakukan secara non destruktif, sedangkan pada tanaman dengan
diameter <5 cm (termasuk tanaman bawah) dilakukan secara destructive. Pada lahan
semak belukar dilakukan pula pengukuran cadangan karbon dalam nekromas dan serasah.
Teknik pengukuran cadangan karbon di Riau dilakukan dengan cara membuat plot utama
berukuran 5 x 40 m sebanyak 4 ulangan. Pada masing-masing plot utama dibuat 6 buah
subplot berukuran 1 m x 1m untuk pengambilan sample tanaman bawah dan serasah.
Pada plot utama dilakukan pengukuran diameter setinggi dada pada semua
tumbuhan hidup atau pohon berukuran diameter > 5 cm. Estimasi berat kering tanaman
dilakukan dengan menggunakan persamaan alometri untuk tanaman bercabang dan tidak
bercabang. Persamaan alometri untuk tanaman bercabang adalah sebagai berikut
(Kettering, 2001):
BK=0,11*ρD2,62
Dimana BK=berat kering (kg/pohon), ρ = berat jenis kayu (g/cm3), D= diameter (cm)
Sedangkan persamaan alometri untuk tanaman yang tidak bercabang adalah sebagai
berikut (Hairiah 1999):
BK=πρ HD2/40
Dimana BK=berat kering (kg/pohon), ρ = berat jenis kayu (g/cm3), D= diameter (cm),
H=tinggi pohon (cm)
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
323
Pengukuran tanaman bawah dan serasah pada subplot berukuran 1 m x 1 m
dilakukan secara destruktif, seluruh tanaman ditimbang, dan diambil contohnya secara
komposit untuk analisis kadar air. Nekromas yang diukur pada plot utama adalah yang
berdiameter > 30 cm dan panjang > 0.5 m, sedangan nekromas kayu yang diukur pada
subplot adalah nekromas yang berdiamneter 5-30 cm . Nekromas dengan diameter < 5 cm
dimasukan dalam kelompok serasah. Konversi berat kering semak belukar/serasah ke
hektar dilakukan dengan menggunakan persamaan: Cadangan karbon tanaman= berat
kering tanaman x 0.46, (Hairiah, 2007).
Tanaman kelapa sawit
Pengukuran cadangan karbon pada kelapa sawit dilakukan dengan metode non
destructive (tanpa pengrusakan), parameter yang diukur untuk menghitung cadangan
karbon adalah tinggi tanaman kelapa sawit yang diukur dari pangkal pohon bagian bawah
(permukaan lahan sampai ujung pohon bagian atas, sejajar dengan tandan buah paling
bawah). Pengukuran cadangan karbon tanaman sawit di Riau dilakukan pada 4 blok
kebun tanaman sawit, pada masing-masing blok dilakukan pengukuran pada 32 tanaman
sample, sehingga jumlah tanaman yang diukur sebanyak 128 pohon. Pengukuran
cadangan karbon tanaman sawit di Jambi dilakukan pada 8 blok tanaman sawit (karena
letaknya lebih terpencar) pada masing-masing blok diukur 32 tanaman sample sehingga
total tanaman yang dikur adalah 256 pohon. Berat kering tanaman kelapa sawit diduga
dengan menggunakan persamaan allometrik yang dikembangkan oleh ICRAF, sebagai
hasil kegiatan carbon footprint on Indonesian oil palm production, dengan persamaan
sebagai berikut :
BK = (0.0976*H)+0.0706,
dimana: BK=berat kering tanaman dalam Mg/pohon, H=tinggi pohon dalam m.
Berat kering biomas per hektar tanaman kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah
populasi tanaman kelapa sawit per ha dikalikan berat kering biomas per pohon. Jarak
tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian di Riau adalah 8 m x 9 m, sehingga populasi
tanaman sawit per ha adalah 137 pohon. Jarak tanam kelapa sawit di lokasi penelitian di
Jambi adalah 9 m x 9 m, sehingga jumlah populasi per ha adalah 123 pohon. Cadangan
karbon tanaman sawit juga diperkirakan 46 persen dari berat keringnya.
Tanaman karet
Pengukuran cadangan karbon tanaman karet juga menggunakan metode non
destructive, yaitu dengan mengukur lingkar batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm
dari permukaan tanah). Pengukuran dilakukan pada 4 blok pertanaman karet. Jumlah
tanaman sample yang diukur pada masing-masing blok adalah 40 tanaman yang dipilih
secara acak, sehingga total jumlah tanaman sample yang diukur adalah 160 pohon. Berat
Erni Susanti, Ai Dariah
324
kering tanaman karet diduga dari persamaan allometrik yang khusus dikembangkan untuk
pohon bercabang (Ketterings, 2001), yaitu:
BK= 0.11ρD2.62
,
Dimana: BK=;berat kering (kg/pohon); ρ= berat jenis kayu (g/cm3); dan D=diameter
pohon dalam cm.
Berat kering biomas per hektar tanaman karet dihitung berdasarkan jumlah
populasi tanaman karet per ha dikalikan berat kering biomas per pohon. Jarak tanaman
karet di lokasi penelitian di Jabiren Kalimantan Tengah adalah 3 m x 5 m, sehingga
populasi tanaman karet per ha adalah 666 pohon. Cadangan karbon tanaman karet juga
diperkirakan 46 persen dari berat keringnya.
Tanaman Nenas
Pengukuran cadangan karbon tanaman nenas dilakukan dengan metode destructive,
yaitu dengan langsung mengambil 5 contoh tanaman dalam satu hamparan. Bagian
tanaman dipisahkan bagian mahkota, buah dan daun, masing-masing ditimbang berat
basahnya dan kemudian diambil contohnya secara komposit untuk analisis kadar air. Jarak
tanaman nenas dibawah tegakan karet di lokasi penelitian di Jabiren-Kalteng adalah 8 m x
9 m, sehingga populasi nenas ada 2000 pohon. Konversikan berat kering nenas ke hektar
dilakukan dengan menggunakan persamaan : cadangan karbon tanaman= berat kering
tanaman x 0.46 (Hairiah, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cadangan Karbon Pada Tanaman Belukar
Definisi semak belukar menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah tumbuhan
perdu yg mempunyai kayu-kayuan kecil dan rendah. Pengertian lain dari semak belukar
adalah kebun atau penggunaan lain yg sudah menjadi hutan kecil, karena beberapa lama
ditinggalkan; tanah yg pernah diusahakan kemudian berubah menjadi hutan kembali.
Pengukuran cadangan karbon pada penelitian ini dilakukan di 2 lokasi dengan kondisi
semak belukar yang berbeda. Pada semak belukar di Riau banyak ditemui pohon dengan
diameter lebih dari 5 cm sedangkan pada semak belukar di Kalimantan Barat didominasi
tanaman bawah khususnya tanaman paku (Gambar 1). Semak belukar di Riau sudah lama
tidak diusahan, berdasarkan wawancara dengan pemilik lahan, areal ini sudah tidak
diusahakan lebih dari 10 tahun. Sementara semak belukar di Kalimatan Barat, sebelumnya
diusahakan untuk tanaman semusim, jika akan diusahakan untuk tanaman semusim
biasanya semak belukar dibakar dengan tujuan untuk mempercepat penyiapan lahan.
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
325
Gambar 1. Semak belukar di Riau (kiri) dan semak belukar di Kalbar (kanan)
Hasil pengukuran cadangan karbon pada semak belukar Riau menunjukkan rata-
rata cadangan karbon di lokasi ini adalah 61,4±34,5 t/ha (Tabel 1). Kondisi cadangan
karbon di lokasi ini sangat beragam, ditunjukkan nilai standar deviasi yang sangat tinggi,
sehingga kisaran cadangan karbon sangat lebar yaitu dari 20 sampai dengan lebih dari 100
t/ha. Tingkat variasi cadangan karbon utamanya disebabkan oleh perbedaan cadangan
karbon dalam nekromas berkayu yang sangat beragam antar ulangan plot pengamatan,
yakni berkisar antara 0,2-74,5 t/ha. Penebangan pohon di lokasi penelitian kemungkinan
belum lama terjadi, ditunjukkan oleh persen bahan organik yang tertinggal masih
tergolong tinggi (persen sisa pelapukan 94.8 + 7.7) dan nekromas masih dalam kondisi
relatif masih segar.
Tabel 1. Cadangan karbon pada semak belukar di Riau dan Kalimantan Barat (Kalbar)
Lokasi/Bagian
Simpanan karbon
Cadangan karbon (t/ha)
Rata-rata Standar dev. Maksimum Minimum
Belukar Riau
Pohon
Tanaman bawah
Nekromas
Serasah
21.5
2.8
31.9
2.8
2.3
2.6
31.0
2.5
24.5
6.5
74.5
5.1
19.0
0.4
0.2
0.1
Total 61.4 34.5 110.6 19.7
Belukar Kalbar
Pohon
Tanaman bawah
Nekromas
Serasah
-
3.7
-
2.3
-
1.4
0.6
-
5.3
-
3.0
-
2.9
-
1.8
Total 6.0 2.0 8.3 4.7
Posisi semak belukar di Kalimantan Barat berada disekeling lahan usahatani
tanaman semusim. Kebiasaan petani untuk memulai usaha taninya adalah dengan
melakukan pembakaran, menyebabkan nekromas berkayu tidak ditemukan lagi di lokasi
Erni Susanti, Ai Dariah
326
ini. Hasil pengukuran pada 4 sub plot pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata cadangan
karbon dalam belukar di Kalimatan Barat adalah 6,0 ± 2,0 t/ha. Terdiri dari tanaman
bawah dengan rata-rata cadangan karbon 3,7 ± 1,4 t/ha, dan serasan dengan cadangan
karbon 2,3 ± 0,6 t/ha. Berdasarkan hasil pengukuran ini menunjukkan cadangan karbon
pada lokasi penellitian di Riau dan di Kalimantan Barat sangat berbeda. Oleh karena itu
dalam menghitung dampak dinamika perubahan penggunaan lahan terhadap cadangan
karbon tanaman, keragaman ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan.
Cadangan Karbon Tanaman Sawit dan Karet
Hasil pengukuran pada empat blok pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata
cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit umur 5-6 tahun di Jambi adalah sekitar 10,7
± 0,4 t/ha, sedangkan rata-rata cadangan karbon kelapa sawit dengan umur yang sama di
lokasi penelitian di Riau 9,5 ± 0,2 t/ha (Tabel 2). Sebagai pembanding hasil pengukuran
cadangan karbon pada kelapa sawit umur 5 tahun yang dilakukan di Bengkalis adalah
sekitar 9,6 t/ha (Gambar 1), dan hasil penelitian Yulianti (2009) dengan menggunakan
metode destructive di PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara
menunjukkan bahwa cadangan karbon tanaman kelapa sawit di lahan gambut pada usia 9
tahun adalah sekitar 11.9 t /ha. Berdasarkan hasil pengukuran pada berbagai umur
tanaman kelapa sawit di Bengkalis (Gambar 2), sampai dengan umur 23 tahun, cadangan
karbon pada tanaman kelapa sawit masih mengalami penambahan yaitu rata-rata menjadi
53 t/ha (Tabel 2). Rata-rata umur siklus tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun.
Kemungkinan sampai akhir siklus tanaman, cadangan C tanaman masih bertambah,
namun kelapa sawit pada umur >25 tahun umumnya produktivitasnya sudah jauh
menurun, sehingga idealnya sudah dilakukan replanting (penanaman kembali). Dalam
menghitung emisi akibat perubahan penggunaan lahan, biasanya nilai cadangan pada time
average digunakan sebagai faktor emisi. Saat ini nilai faktor emisi cadangan karbon
tanaman kelapa sawit menggunakan nilai untuk perkebunan yaitu 63 t/ha (Bappenas,
2013), nilai ini didasarkan pada nilai yang dikemukan oleh Palm et al. (1999) untuk
perkebunan karet (89 t/ha); Rogi (2002) untuk kelapa sawit (60t/ha); van Noordwijk
(2010) kelapa sawit (40 t/ha). Untuk beberapa tujuan misal dalam evaluasi RAD (rencana
aksi daerah) penurunan emisi, seringkali diperlukan per tahapan waktu atau per tahun.
Sehingga diperlukan data sekuestrasi tanaman per tahapan waktu. Sehingga dinamika
emisi dan sekuestrasi karbon tanaman bisa digambarkan per tahapan waktu.
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
327
Tabel 2. Cadangan karbon tanaman sawit umur 5-6 tahun di Jambi dan Riau, serta
tanaman karet umur 7 tahun di Kalimantan Tengah.
Lokasi/tanaman Cadangan karbon (t/ha)
Rata-rata Standar deviasi Maksimum Minimum
Jambi / Sawit
Riau / Sawit
Kalteng / Karet
10.7
9.5
32.9
0,4
0,2
2,3
11,4
9,7
35,2
10,2
9,2
30,6
Gambar 2. Cadangan karbon pada berbagai tahapan umur kelapa sawit di Bengkalis,
Riau Sumber: Susanti (unpublish)
Hasil pengukuran cadangan karbon di Jambi menunjukkan rata-rata cadangan
karbon tanaman kelapa sawit adalah 10,7 ± 0,4 t/ha. Pada umur yang relatif sama, rata-
rata cadangan karbon tanaman kelapa sawit di Jambi lebih tinggi dibanding Riau, padahal
jumlah populasi tanaman sawit di Riau (137 pohon/ha) lebih tinggi dibanding di Jambi
(123 pohon/ha). Faktor kesuburan tanah kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman kelapa sawit. Hairiah (2007) menyatakan bahwa kesuburan tanah merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap cadangan karbon dalam tanaman. Jarak tanam yang
terlalu rapat juga bisa menimbulkan persaingan hara dan cahaya yang terlalu tinggi,
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi tertekan.
Pada umur yang relatif sama yaitu sekitar 7 tahun rata-rata cadangan karbon
tanaman karet adalah 32.9 ± 2,3 t/ha. Berdasarkan hasil pengukuran ini nampak bahwa
karet dapat menyerap atau mengsekuestrasi karbon relatif lebih tinggi dibanding sawit.
Hasil penelitian Rasau Jaya (Susanti et al, 2010) menunjukkan cadangan karbon tanaman
karet di lahan gambut pada berbagai umur tanaman (Tabel 3). Sampai dengan ukur 25
tahun cadangan karbon pada tanaman karet bisa mencapai 69 t/ha. Nilai time average
cadangan karbon yang dikemukakan oleh Palm et al. (1999) adalah 89 t/ha.
Erni Susanti, Ai Dariah
328
Tabel 3. Cadangan karbon pada beberapa umur karet di tanah gambut Rasau Jaya dan
Sungai Ambawang Kalimantan Barat
Umur Karet
(tahun)
Cadangan karbon
(ton C/ha)
3 8.7
8 55.5 18 52,9 25 65.8
Sumber: BBSDLP (unpublish)
Cadangan Karbon Tanaman Nenas
Cadangan karbon pada tanaman nenas yang tumbuh diantara tanaman karet dengan
rata-rata populasi per hektar 2.000 pohon adalah 0,35 ton/ha. Hasil pengukuran yang
dilakukan di lokasi yang relatif dekat yaitu Rasau Jaya menunjukkan cadangan karbon
tanaman nenas yang diusahakan secara monokultur pada kebun nenas rakyat umur 1-5
tahun 4.8 – 6.7 t/ha, sedangkan pada perkebunan nenas besar (perusahaan) berkisar antara
4.8-14.4 t/ha (Tabel 4). Aspek pengelolaan dalam hal ini sangat menentukan besarnya
cadangan karbon pada tanaman nenas. Pemupukan yang dilakukan perkebunan besar
relatif intensif, sehingga pertumbuhan nenas relatif lebih cepat, sehingga berdampak
terhadap cadangan karbon tanaman. Perkembangan populasi pada perkebunan nenas
rakyat dan perusahaan juga relatif berbeda, populasi nenas pada perkebunan rakyat tahun
pertama, kedua, ketiga sampai keenam berturut-turut adalah 10.000, 12.000, 14.000,
14,000 dan 14.000 pohon per hektar, sedangkan pada perkebunan perusahaan adalah
10.000, 20.000, 30.000, 30.000 dan 30.000 pohon/ha
Tabel 4. Cadangan karbon tanaman nenas pada beberapa tingkatan umur tanaman
Umur Nenas (tahun)
Jenis pengusahaan
Rakyat Perkebunan
0 0 0
1 4.8 4.8
2 5.8 9.6
3 6.7 14.4
4 6.7 14.4
5 6.7 14.4
Sumber: BBSDLP (unpublish)
Perubahan cadangan karbon akibat perubahan penggunaan lahan
Pemanfaatan lahan gambut terlantar seperti lahan semak belukar menjadi lahan
pertanian kemungkinan tidak terlalu signifikan dalam menurunkan emisi. Namun
demikian berpeluang akan lebih menguntungkan secara ekonomi (Agus, 2012).
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
329
Pengurangan emisi berpeluang terjadi jika perubahan penggunaan lahan mengarah ke
penggunaan dengan cadangan karbon yang relatif tinggi. Namun demikian, hasil
penelitian yang dilakukan di Kalbar dan Riau menunjukkan bahwa variasi cadangan C
tanaman belukar sangat bervariasi. Perbedaan rata-rata cadangan karbon semak belukar di
Riau dan Kalbar tinggi, yaitu : 61.4 t/ha di Riau dan 6.0 t/ha di Kalbar. Cadangan karbon
dalam lokasi yang sama yaitu di Riau juga sangat bervariasi. Oleh karena itu dampak
perubahan penggunaan lahan belukar menjadi lahan pertanian misalnya sawit, karet, atau
tanaman semusim juga akan sangan bervariasi. Gambar 2 mengilustrasikan dinamika
cadangan karbon dalam tanaman jika belukar berubah menjadi sawit. Oleh karena itu
peluang terjadinya net emisi positif atau negatif khususnya dari aspek cadangan karbon
tanaman diantaranya sangat ditentukan kondisi semak belukar sebelum dialihfungsikan
menjadi lahan pertanian.
Gambar 3 menunjukkan hasil simulasi dinamika cadangan karbon tanaman jika
semak belukar dengan dua kondisi yang berbeda berubah menjadi .lahan sawit Pada tahun
pertama, penebangan semak belukar menyebabkan hilanganya cadangan karbon sebesar
61 t/ha. Diasumsikan seluruh biomasa hilang, meskipun biomas umumnya hilang secara
bertahap, kecuali jika dilakukan pembakaran lahan, kemungkinan sebagian besar biomas
hilang teremisi dalam waktu relatif singkat. Selanjutnya secara bertahap sekuestrasi mulai
terjadi, sampai dengan tahun ke 23 masih terjadi selisih antara emisi dan sekuestrasi
sebanyak kurang dari 10 t/ha. Sementara jika perubahan terjadi dari kondisi belukar
seperti di Kalimantan Barat, maka sekuestrasi akan terjadi dalam waktu yang lebih cepat,
pada tahun ke 10 terjadi sekuestrasi sekitar 10 t/ha, dan pada tahun ke 23, terjadi
sekuestrasi sebanyak 47 t/ha (Gambar 3).
Gambar 3. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman
sawit
Erni Susanti, Ai Dariah
330
Simulasi dinamika perubahan cadangan karbon jika lahan semak belukar
dimanfaatkan untuk tanaman karet disajikan pada Gambat 4. Untuk kondisi semak
belukar seperti lokasi penelitian di Riau yang cadangan karbonnya relatif tinggi, pada
tahun ke 25 telah terjadi sekuestrasi, artinya tanaman karet sudah mampu mengembalikan
cadangan karbon yang hilang akibat berubahnya semak belukar ke perkebunan karet.
Sementara jika perubahan terjadi pada semak belukar dengan kondisi seperti di
Kalimantan Barat, maka sejak tahun ke tiga sekuestrasi karbon oleh tanaman karet sudah
bisa menutup kehilangan karbon dari belukar, dan pada tahun ke 8 sudah terjadi surplus
sebanyak 49.5 t/ha, selanjutnya pada tahun ke 25 terjadi net sekustrasi sekitar 60 t/ha.
Gambar 4. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman
karet
Simulasi dinamika cadangan karbon tanaman jika semak belukar berubah menjadi
usahatani nenas ditunjukkan Gambar 5. Jika kondisi cadangan karbon dalam biomas
relatif tinggi seperti pada lokasi penelitian di Riau, maka perubahan penggunaan lahan
menyebabkan terjadinya defisit cadangan karbon tanaman. Namun jika perubahan
penggunaan lahan dari semak menjadi nenas, maka terjadi penambatan/sekuestrasi karbo
Gambar 5. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman
nenas
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
331
KESIMPULAN
Cadangan karbon dalam semak belukar sangat bervariasi. Cadangan karbon semak
belukar pada lokasi penelitian di Riau adalah 61,4 ± 34,5 t/ha, sedangkan di Kalimantan
Barat 6,0 ± 2,0 t/ha t/ha. Hasil simulasi menunjukkan jika semak belukar dengan
cadangan karbon seperti di Riau dialihfungsikan menjadi kelapa sawit, maka sampai
tahun ke 23 masih terjadi defisit cadangan karbon tanaman sebesar 8 t/ha. Namun jika
menjadi perkebunan karet pada tahun ke 25 kehilangan cadangan karbon tanaman sudah
bisa ditutup, bahkan terjadi surplus sebesar 4 t/ha.
Pada kondisi semak belukar dengan cadangan rendah seperti di lokasi penelitaian
di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan lahan ke tanaman nenas tidak menyebabkan
terjadinya defisit cadangan karbon tanaman, bahkan masis mampu menambat karbon
sebesar 8 t/ha, dan jika perubahan semak belukar menjadi sawit dan karet menyebabkan
terjadinya sekustrasi yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus F, I.E. Henson, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, T.J. Killeen. 2013.
Review of emission factors for assessment of CO2 emission from land use change to
oil palm in Southeast Asia. Roundtable on sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur,
Malaysia.
Dariah, A, E. Susanti, dan F. Agus. 2012. Basele Survey: cadangan karbon pada Lahan
gambut di Lokasi Demplot Penelitian ICCTF (Riau, Jammbi, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Gambut
Berkelankutan, Bogor 4 Mei 2012
Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2013. Peat CO2 emission from oil palm
plantations, separating root respirations. Mitigation and Adaptation Strategic for
Global Change. Doi. 10. 1007/S110 21/013/95915/6.
Hairiah, K. dan S. Rahayu.2007. Petunjuk praktis pengukuran “karbon tersimpan” di
berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA
Regional Office, Bogor, Indonesia. 77 p.
ICRAF. Carbon Footprint of Indonesian Palm Oil Production: a Pilot Study (leaflet)
IPCC. 2006. IPCC Guideline for National Gas Inventories. IPCC. Genewa.
Ketterings, Q.M., Coe,R., Van Noordwijk,M., Ambagau, Y. And Palm, C. 2001.
Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting
above-ground tree biomass in ixed secondary forest. Forest Ecology and
Management146: 199-209
Roesyane, Saharjo. 2011. Potensi Simpanan Karbon Pada Hutan Tanaman Mangium
(Acacia mangium WILLD.) di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
Erni Susanti, Ai Dariah
332
dan Banten. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol 16, No 3 (2011). LPPM Intitut
Pertanian Bogor
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa
sawit. Dalam Husen et al. (Eds.). HLm. 1-17 Dalam Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.. Badan Litbang Pertanian. Kementrian
Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012.
Susanti, E. Wahyunto, A. Dariah, J. Pitono. 2010. Cadangan karbon tanaman kelapa sawit
pada berbagai umur. dalam Inventarisasi dan Identifikasi Sumberdaya Lahan
Gambut dan Sistem Pengelolaan Sawit Rakyat serta Alternatif Teknologi Untuk
Mendukung Peningkatan Produktivitas Lahan >15% dan Penurunan Emisi GRK
>15%. laporan Konsorsium Perkebunan, 2010 (un-publish).
Yulianti, N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit
Ptpn Iv Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Wahyunto dan A. Dariah. 2013. Pengelolaan lahan gambut tergedradasi dan terlantar
untuk mendukung ketahanan pangan. Dalam Politik Pengembangan Pertanian
Menghadapi Perubahan Iklim (Eds:Haryono et al.). Hlm. 329-348. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.