Upload
adha
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MakalahMata Kuliah Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Perubahan Perilaku Masyarakat Pedalaman Hutan terhadap Hutan Rakyat Akibat Peraturan Pemerintah
Yogie Zulni Pratama E24100070
R. Dimas Adijourgia E24100079
Rizqi Adha Juniardi E24100103
Kelas: Hasil Hutan, Kamis 08.00-09.40 di Auditorium
Dosen Pembimbing: Dr. Ir. H. Sambas Basuni, M.S.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua. Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena berkat hidayahnya, kelompok kami dapat menyelesaikan tugas
makalah dalam mata kuliah Konservasi Sumber Daya Alam Hayati mengenai
Integrasi Pendekatan Sosial dengan judul “Perubahan Perilaku Masyarakat
Pedalaman Hutan Akibat Peraturan Pemerintah”.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini. Walaupun banyak kekurangan yang terjadi pada pembuatan
makalah ini kami memohon maaf seperti pepatah, “Tak Ada Gading yang Tak Retak”.
Meskipun makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, tapi dengan
kesalahan-kesalahan yang terjadi, kami siap untuk melangkah maju dengan kritik dan
saran yang membangun dan ditujukan kepada kelompok kami. Terima kasih atas
perhatian pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, November 2011
Hormat kami,
Penyusun
1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Hutan merupakan kawasan yang memiliki ciri khas tersendiri yaitu ditumbuhi
oleh pohon-pohon. Banyaknya jenis pohon yang ada di dalam suatu kawasan hutan
merupakan pertanda bahwa keanekaragaman dimiliki oleh kawasan hutan tersebut
baik dalam segi flora maupun faunanya.
Kemampuan hutan tidak hanya menjaga keanekaragaman tetapi juga sebagai
sumber kehidupan bagi masyarakat pedalaman hutan yang dapat mensejahterakan
kehidupan mereka. Dengan adanya kawasan hutan dan keanekaragaman yang
terkandung di dalam kawasan tersebut memiliki nilai guna tersendiri karena
pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman tersebut. Pemanfaatan yang
dilakukan pun bermacam-macam yaitu mengambil sisa-sisa hutan dan
memanfaatkannya untuk membangun tempat tinggal atau untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Namun, dikarenakan ada campur tangan pemerintah atau manusia dari luar
kawasan hutan yang tidak mengerti hal-hal yang terjadi di dalam kawasan hutan
rakyat terjadi ketidakseimbangan antara masyarakat pedalaman dengan kawasan
hutan yang awalnya sudah memiliki timbal balik antara hutan dengan penduduk
sekitar.
Walaupun maksud pemerintah baik untuk memajukan nilai-nilai ekonomi
hutan, tetapi jika tidak memperhatikan interaksi-interaksi yang terjadi dengan
kawasan hutan, maka akan keuntungan bagi salah satu pihak dan kerugian di pihak
lainnya. Hal inilah yang merusak keseimbangan alam yang sudah terjadi dengan
manusia. Contohnya saja, peraturan-peraturan yang dibuat dianggap telah menjaga
hutan dari eksploitasi semena-mena namun masih dalam kawasan hutan tempat
tinggal masyarakat pedalaman. Namun, di lain pihak dikarenakan lahan pemanfaatan
hasil hutan yang terbatas, maka daerah yang dikelola oleh industri akan semakin
meluas dan mengambil daerah tempat tinggal masyarakat pedalaman.
2
Oleh karena itu, pada zaman inilah para masyarakat pedalaman dituntut untuk
mengubah gaya hidup mereka yang sepenuhnya mengandalkan hasil hutan yang
disediakan oleh kawasan kehutanan dengan menghilangkan budaya asli mereka
dalam memanfaatkan hasil hutan atau mencari titik tengah/mencampur adat istiadat
dengan keadaan yang telah berubah akhir-akhir ini sehingga kekhasan dari
masyarakat tersebut tidak punah.
II. Tujuan
Mengetahui adat-istiadat dari masyarakat pedalaman hutan yang masih
mengandalkan hutan sepenuhnya.
Mengetahui dampak peraturan-peraturan pemerintah mengenai pengelolaan
hutan.
Mengetahui dampak peraturan pemerintah terhadap aktivitas kesejahteraan
masyarakat pedalaman dikawasan hutan.
3
ISI
Pengertian Hutan, Jenis-jenis Hutan, dan Manfaat Hutan Menurut Hukum
Kehutanan
Hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris).
Forest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk
kepentingan di luar kehutanan seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno,
forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan,
tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan. Di samping itu, hutan juga
dijadikan tempat perburuan, tempat istirahat, dan tempat bersenang-senang bagi raja
dan pegawai-pegawainya (Black, 1979: 584), namun dalam perkembangan
selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang.
Pengertian Hutan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ada empat unsur yang terkandung dari definisi hutan di atas, yaitu:
1. unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar) yang disebut tanah hutan.
2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora, dan fauna.
3. Unsur lingkungan.
4. Unsur penetapan pemerintah.
Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan disini mengantu
konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), flora, pohon, dan
fauna. Beserta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh.
Adanya Penetapan Pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat
penting, karena dengan adanya Penetapan Pemerintah c. q. Menteri Kehutanan itu
4
kedudukan yuridis hutan menjadi kuat. Ada dua arti penting Penetapan Pemerintah
tersebut, yaitu: agar setiap orang tidak dapat sewenang-wenang untuk membabat,
menduduki, dan mengerjakan kawasan hutan. Mewajibkan kepada pemerintah c. q.
Menteri Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan
penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya serta menjaga dan melindungi hutan.
Tujuan perlindungan hutan adalah menjaga kelestarian dan fungsi hutan, serta
menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, dibedakan tiga jenis hutan,
yaitu hutan menurut pemilikannya, hutan menurut fungsinya, dan hutan menurut
peruntukannya. Hutan juga mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting
dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan hutan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat pedalaman. Menurut Ngadung, ada tiga manfaat hutan yaitu langsung dan
tidak langsung. Alasannya, bahwa manfaat lainnya dapat dikemukakan oleh Ngadung
lebih tepat digolongkan manfaat tidak langsung.
Potensi Hutan Rakyat
Hutan pastilah merupakan kawasan penanaman pohon yang memiliki areal
sangat besar sehingga memiliki cakupan singgungan yang besar. Selain memiliki
kemampuan untuk menyeimbangkan alam dan sebagai habitat biota-biota, hutan
secara tidak langsung juga memiliki potensi sebagai investasi hasil hutan rakyat
dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin
bertambah sejak disadarinya terjadi penurunan potensi hutan negara. Pemahaman dan
keyakinan itu sepatutnya disyukuri dan diwujudkan dalam bentuk perhatian dan
langkah tindak yang mengarah kepada peningkatan kinerja usaha hutan rakyat yang
selama ini telah diusahakan oleh masyarakat pedalaman secara swakarsa, swadaya,
dan swadana.
Hutan rakyat di Indonesia memiliki potensi besar baik dari segi populasi
5
maupun jumlah kelompok yang mengusahakannya yang ternyata mampu
menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas lahan hutan
rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di
Indonesia sekitar 39.416.557 m33dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi
hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 3 dengan
luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019 batang dengan
jumlah pohon siap tebang 78.485.993 batang.
Walaupun hutan rakyat mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar,
namun hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan
minimal sesuai dengan definisi hutan, dimana luas minimal harus 0,25 hektar. Hal
tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit. Dengan
sempitnya pemilikan lahan setiap keluarga, hal ini mendorong pemiliknya untuk
memanfaatkan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada
umumnya pemilik berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-
tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan cepat dalam menghasilkan hasilnya.
Hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan cukup biasanya ditemukan pada
petani yang memiliki lahan diatas rata-rata, pada lahan marginal serta pada lahan
terlantar (Hardjanto, 2000).
Permasalahan Pengusahaan Hutan Rakyat
Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek
yaitu produksi, pengolahan, pemasaran, dan kelembagaan. Aspek produksi khususnya
tentang struktur tegakan dan potensi produksi. Peneliti-peneliti menemukan bahwa
satu sisi struktur tegakan kayu rakyat menunjukkan struktur hutan normal, namun di
sisi lain ternyata pohon-pohon yang dijual mengalami penurunan kelas diameter. Hal
ini berarti mengancam kelestarian tegakan hutan rakyat dan mengancam pula
kelestariannya.
6
Aspek pengolahan yang dimaksud adalah semua jenis tindakan/perlakuan
yang merubah bahan baku menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi.
Masalah terbesar saat ini pada aspek pengolahan adalah masalah jumlah dan
kontinuitas sediaan bahan baku.
Jika permasalahan pemasaran meliputi sistem distribusi, struktur pasar
(market structure), penentuan harga, perilaku pasar (market conduct), dan keragaan
pasar (market performance). Kelembagaan yang mendukung pada setiap subsistem
juga masih perlu disempurnakan agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan
dan menjadi lebih baik.
Hubungan Peraturan Pemerintah dengan Masyarakat Pedalaman
Masyarakat lokal telah lama mengelola dan memanfaatkan hutan untuk
kehidupan mereka. Sejak Pemerintah pusat mengambil alih pengelolaan hutan dari
masyarakat, masyarakat telah menderita dan pengelolaan hutan telah gagal karena
kurangnya partisipasi masyarakat. Tulisan ini menganalisa beberapa hambatan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Kebijakan pemerintah jangka panjang (1886-1989) menganjurkan konsesi
pengusahaan hutan dan budidaya monokultur berskala besar. Pengelolaan hutan
dengan pengambilan keputusan dipusat (top-down) menyebabkan kerusakan ekonomi
dan ekologi yang serius terhadap negara secara keseluruhan. Sampai tahun 1990-an,
bagian timur laut telah mengalami kerusakan yang paling buruk akibat penebangan
berlebih dan konversi lahan hutan kedalam tanaman karet, kopi, dan buah-buahan.
Program ini juga telah memacu suku terpencil lokal untuk pindah dan menjadi
penghuni “ilegal” di tempat lain.
Meskipun konstitusi tahun 1997 mengakui pentingnya partisipasi masyarakat,
pelaksanaannya hanya melibatkan pemerintah dan sektor swasta. Sedikit yang telah
dilakukan untuk memperluas partisipasi lokal. Ada beberapa alasan dari kegagalan
ini. Pemerintah melihat pengelolaan hutan dari segi kebijakan, mengdahulukan nitisat
7
(peraturan dan perundang-undangan yang ketat) daripada ratthasat (diplomasi),
mengutamakan kepentingan pengusaha, dan pemusatan pengambilan keputusan pada
tingkat nasional dengan kurang memahami kondisi lokal. Selanjutnya, pegawai
pemerintah sering memiliki sikap yang negatif menghadapi masyarakat lokal yang
tergantung pada hutan. Mereka melihat pemanfaatan hutan sebagai pengrusakan
hutan tanpa memahami bagaimana masyarakat lokal mengelola hutan. Untuk
meningkatkan pemahaman pemerintah dan memperluas kepercayaan semua pihak,
pegawai harus ikut dalam aktivitas sosial masyarakat dan meninjau kembali
kebijakan, program, dan komitmen terhadap masyarakat.
Pengelola hutan juga dibatasi oleh kurangnya pelatihan dalam konsep,
strategi, dan metode partisipasi di dalam pengelolaan hutan. Pendidikan partisipasi
dengan mengikutsertakan pegawai pemerintah dan masyarakat lokal untuk bekerja
sama harus didorong. Akhirnya, kurangnya insentif bagi masyarakat untuk
berpartisipasi di dalam pengelolaan hutan, dan jika mereka melakukannya, mereka
tidak menerima keuntungan yang pantas. Kenyataanya, meskipun di dalam rancangan
hutan kemasyarakatan sebelum disahkan Senat, masyarakat pedalaman miskin dilihat
sebagai ancaman terhadap hutan.
Hutan kemasyarakatan bukan hanya pengelolaan hutan, tetapi cara menuju
perubahan yang luas dan penguatan lokal. Hal itu dapat menghasilkan pendapatan
dan menguatkan kemampuan lokal dalam mengelola sumberdaya hayati. Hal tersebut
membantu pembangunan sumberdaya manusia melalui peningkatan kesadaran dan
pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang baik. Akhirnya, hal
tersebut akan membantu menyeimbangkan pembuatan keputusan antara pemerintah
pusat dan masyarakat lokal.
Komunikasi yang Dapat Dilakukan Kepada Masyarakat Pedalaman
Penyuluhan adalah salah satu kegiatan penyampaian keinginan pemerintah
kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi tahu dan mengerti antara kegiatan yang
8
dilarang serta merugikan dengan kegiatan apa yang boleh dikerjakan dan bermanfaat.
Bentuk pelayanan komunikasi masyarakat di bidang kehutanan merupakan kegiatan
penting dalam mencegah berlanjutnya kerusakan hutan dan sekaligus
memberdayakan masyarakat dengan aneka kegiatan usaha obyek kehutanan untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu
mendukung pembangunan kehutanan atas dasar imam dan taqwa kepada Tuhan YME
serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
Pola penyuluhan kehutanan sudah disusun dengan telah dibentuknya Badan
Penyuluhan Kehutanan dengan kelengkapan perangkat keras dan lunaknya, di pusat
dan di daerah (Peraturan Presiden R.I. No.24 tahun 2010, tanggal 14 April 2010).
Sasaran penyuluh kehutanan adalah pertama masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan, kedua adalah masyarakat pengguna produk kehutanan, dan ketiga
adalah masyarakat lainnya, terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan.
Pendekatan oleh penyuluh dapat di lakukan kepada perorangan, kelompok
maupun kepada masyarakat langsung pada saat momentum tertentu. Ini adalah pola
normatif penyuluhan berjenjang dan berlanjut. Berjenjang artinya ada media
perantara yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dan berlanjut berarti
berkesinambungan sehingga terbentuk hubungan kepercayaan dan emosional yang
membangun, timbal balik antara penyuluh dengan individu, perorangan, kelompok
atau komunitas masyarakat disitu.
Komunikasi interaktif seperti itu memang memerlukan persiapan yang
matang, siapa sasaran masyarakat, dimana dan kapan sebaiknya di lakukan.
Masyarakat sekitar hutan dan mungkin yang sudah terlanjur bermukim di dalam
kawasan hutan, pada umumnya belum menempuh hidup yang mapan. Metode atau
sistem penyuluhan berbeda bila berhadapan dengan masyarakat adat yang sudah
turun temurun berada disitu, berpola pertanian sebagai peladang berpindah, atau
masyarakat adat yang sudah mapan dan sudah memiliki aturan pantangan apa yang
9
boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan (pamali). Begitu juga masyarakat
petani hutan rakyat, pesanggem tumpang sari dan masyarakat prural, urban dan
perkotaan, kesemuanya menjadi sasaran penyuluh kehutanan. Cukup luas memang
sasaran masyarakat yang harus dihadapi dan kesemuanya ini diperlukan adanya
pengaturan tata kerja yang betul betul efektif.
Kesinambungan penyuluhan kehutanan memerlukan jadwal kunjungan tim
penyuluh yang teratur dengan membawa perangkat yang diperlukan, dapat
disampaikan secara lisan, melalui gambar, suara, contoh, peragaan dan sedapat
mungkin di dekat atau di dalam areal demplot yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Demonstration Plot atau Demplot dapat berupa Hutan Wisata, Taman Hutan, Kebun
Bibit, Kebun Binatang, Bumi Perkemahan, Lokasi Rekreasi atau dimana saja, bahkan
kalau perlu di dalam ruangan yang sudah diisi dengan materi yang diperlukan. Yang
di pentingkan adalah isi muatan materi penyuluhan yang dapat dengan mudah
dimengerti dan membangkitkan pertanyan ingin tahu lebih jauh serta penyuluh dapat
menjelaskan dan menampung saran dan kritik. Inilah yang disebut Komunikasi
Interaktip penyuluhan kehutanan.
Sebaik apapun pelaksanaan komunikasi interaktif akan lebih sempurna bila
diikuti pelatihan dan peragaan di lapangan. Penerima atau peserta penyuluhan dapat
langsung melihat dan mengerjakan sendiri kegiatan pemanfaatan obyek kehutanan.
Mengenali apa saja isi hutan, misalnya mengenali bentuk rupa biji-bijian dari
berbagai jenis pohon dsb. Bagaimana mengatur jarak tanam pohon hutan dan
menebar bibit antar larikan pohon di areal pesanggem tumpang sari, menentukan
jenis ikan apa di areal tanaman bakau (agro silvo fishery) dan memanen rumput
diareal hutan untuk penggemukan ternak (agro silvo pastures) dan menanam palawija
dan sayur (agro silvo crop) di lereng pegunungan yang pada umumnya masuk
kawasan hutan lindung. Mengapa dilarang mempergunakan pupuk organik dan
pestisida di dataran tinggi, bahayanya dan akibat yang akan terjadi.
Bentuk peragaan teknis penanggulangan kebakaran hutan adalah juga
sebenarnya sebuah cara penyuluhan terselubung dengan dibentuknya satuan gugus
10
kegiatan teknis mitigasi dan pemadaman kebakaran hutan. Kegiatan seperti ini secara
intensif dikerjakan oleh kelompok petugas Manggala Agni yang secara formal
berjumlah hampir 2000 orang, diataranya adalah petugas SMART (Satuan Manggala
Agni Reaksi Taktis) yang berjumlah 195 orang. Dari segi pandangan penyuluhan,
kelompok ini mampu menciptakan ratusan kelompok masyarakat sekitar hutan yang
disebut MPA atau Masyarakat Peduli Api. Pencegahan kebakaran tahun 2010 cukup
berhasil (di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi dan Aceh) yang
selanjutnya mendapat apresiasi negara ASEAN. Keberhasilan ini diperoleh karena
dapat mengerahkan masyarakat sekitar hutan dengan ramai-ramai bergotong royong
memadamkan kebakaran hutan. Sekarang ini saatnya mengembangkan kembali naluri
gotong royong masyarakat, yang dahulu pernah menjadi ciri budaya Nusantara.
Sifat Hukum Adat yang Tidak Statis dengan Sistem Penyesuaian Keadaan Baru
Orang pada umumnya mengetahui adanya hukum adat secara lisan. Hukum
adat mulai ditulis oleh kepala-kepala adat. Sifat hukum ada yang tidak statis dibuat
dengan sistem penyesuaian keadaan yang baru. Sebagai contoh, peraturan adat yang
dibuat oleh masyarakat pedalaman hutan selalu ditinjau kembali setiap tahunnya.
Aturan yang lama disempurnakan dengan cara menambah atau mengurangi pasal-
pasal yang telah ada, sehingga selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Hukum adat diatur terutama oleh kepala adat di desa-desa kecil sekitar hutan
dan kepala adat besar yang memimpin seluruh desa pedalaman hutan. Tokoh
masyarakat juga dilibatkan untuk mengambil keputusan bersama dalam desa maupun
wilayah adat tersebut. Jika mengambil keputusan dalam desa, urusan pemerintahan,
dan urusan luar secara umum didiskusikan bersama kepala desa. Sedangkan kalau
yang terkait dengan hutan, denda, dan urusan keluarga, ketua adat dan kepala adat
besar yang bertanggung jawab terhadap keputusan itu.
11
Pengakuan Hutan Masyarakat Pedalaman Berdasarkan Undang-undang
Negara
Pada bulan September 1999 telah berhasil dibuat Rancangan Undang-undang
Republik Indonesia tentang Kehutanan di mana dalam Rancangan Undang-undang ini
disebutkan bahwa pemerintah mengakui hutan adat dan memperhatikan hak
masyarakat hukum adat. Pasal 1 ayat (6) menyatakan sebagai berikut: “Hutan adat
adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Selanjutnya dijelaskan pada pasal 4 ayat (3) yang bunyinya sebagai berikut:
“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Kebijakan yang Dilakukan Pemerintah
Kebijakan pemerintah jangka panjang (1886-1989) menganjurkan konsesi
pengusahaan hutan dan budidaya monokultur berskala besar. Pengelolaan hutan
dengan pengambilan keputusan dipusat (top-down) menyebabkan kerusakan ekonomi
dan ekologi yang serius terhadap negara secara keseluruhan. Sampai tahun 1990-an,
bagian timur laut telah mengalami kerusakan yang paling buruk akibat penebangan
berlebih dan konversi lahan hutan kedalam tanaman karet, kopi, dan buah-buahan.
Program ini juga telah memacu suku terpencil lokal untuk pindah dan menjadi
penghuni “ilegal” di tempat lain.
Meskipun konstitusi tahun 1997 mengakui pentingnya partisipasi masyarakat,
pelaksanaannya hanya melibatkan pemerintah dan sektor swasta. Sedikit yang telah
dilakukan untuk memperluas partisipasi lokal. Ada beberapa alasan dari kegagalan
ini. Pemerintah melihat pengelolaan hutan dari segi kebijakan, mengdahulukan nitisat
(peraturan dan perundang-undangan yang ketat) daripada ratthasat (diplomasi),
mengutamakan kepentingan pengusaha, dan pemusatan pengambilan keputusan pada
12
tingkat nasional dengan kurang memahami kondisi lokal. Selanjutnya, pegawai
pemerintah sering memiliki sikap yang negatif menghadapi masyarakat lokal yang
tergantung pada hutan. Mereka melihat pemanfaatan hutan sebagai pengrusakan
hutan tanpa memahami bagaimana masyarakat lokal mengelola hutan. Untuk
meningkatkan pemahaman pemerintah dan memperluas kepercayaan semua pihak,
pegawai harus ikut dalam aktivitas sosial masyarakat dan meninjau kembali
kebijakan, program, dan komitmen terhadap masyarakat.
Pengelola hutan juga dibatasi oleh kurangnya pelatihan dalam konsep,
strategi, dan metode partisipasi di dalam pengelolaan hutan. Pendidikan partisipasi
dengan mengikutsertakan pegawai pemerintah dan masyarakat lokal untuk bekerja
sama harus didorong. Akhirnya, kurangnya insentif bagi masyarakat untuk
berpartisipasi di dalam pengelolaan hutan, dan jika mereka melakukannya, mereka
tidak menerima keuntungan yang pantas. Kenyataanya, meskipun di dalam rancangan
hutan kemasyarakatan sebelum disahkan Senat, masyarakat pedalaman miskin dilihat
sebagai ancaman terhadap hutan.
Hutan kemasyarakatan bukan hanya pengelolaan hutan, tetapi cara menuju
perubahan yang luas dan penguatan lokal. Hal itu dapat menghasilkan pendapatan
dan menguatkan kemampuan lokal dalam mengelola sumberdaya hayati. Hal tersebut
membantu pembangunan sumberdaya manusia melalui peningkatan kesadaran dan
pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang baik. Akhirnya, hal
tersebut akan membantu menyeimbangkan pembuatan keputusan antara pemerintah
pusat dan masyarakat lokal.
13
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat pedalaman hutan masih sangat bergantung pada hutan seutuhnya,
karena, hutan menunjang seluruh aspek kehidupan mereka, tidak hanya sekedar untuk
ekonomi saja tapi, dari segi sosial pun hutan sangatlah menunjang kehidupan mereka.
Peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemrintah sangat merubah aspek segala
pengelolaan hutan dan segala macam kegiatan masyarakat yang ada didalamnya.
Karena, pemerintah merupakan badan yang memiliki kekuatan untuk merubah segala
aspek, dan didalamnya termasuk kehutanan.
Dampak – dampak yang ditimbulkan oleh peraturan yang dibuat pemerintah,
sangatlah terlihat. Dari mulai dibuatnya peraturan tentang HPH, HTI dan juga
termasuk Hutan rakyat. Secara otomatis merubah pula kehidupan masyarkat hutan
didalamnya. Dari mulai pembagian hasil keuntungan, pembagian lahan, dan
sengketanya semua diatur oleh pemerintah, maka kehidupan yang dijalani oleh
masyarakat di dalam hutan secara cepat berubah menyesuaikan diri dengan peraturan
yang ada.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bruce Campbell . 1996 . The Miombo in Transition : Woodlands and Welfare in
Africa. Bogor . CIFOR
Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Carol. J. Pierce. Colfer. Masyarakat hutan dan
perumusan kebijkan di Indonesia kemana harus melangkah?. 2003.
Jakarta. Yayasan Obar Indonesia.
K.A. Vogt, dkk. 2007. Forests and Society: Sustainability and Life Cycles of
Forests in Human Landscapes. London. Cab International.
Leach, M. 1999. Plural Perspectives and Institusional Dynamics : Challenges for
Community Foresty. Makalah yang di sajikan pada seminar International
Agrarish Centrum, Decisiun Making in Natural Resources Management
with a Focus on Adaptive Management. September 1999. Wageningen.
Belanda.
Rahajaan, Emmanuel. 1992. Penyerahan Penggunaan Kawasan Hutan kepada
Pihak lain. Makalah pada Penataran Teknis-Yuridis Kawasan Hutan,
November 1992. Jakarta.
Suharjito, D. Dkk. 1999. Karakteristik Pengelolaan Hutan berbasiskan
Masyarakat. Yogyakarta, Indonesia. Studi Kolaboratif Forum Komunikasi
Kehutanan Masyarakat.