Upload
andre-benzt
View
264
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN PERANAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA
UTARA DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
WILAYAH PESISIR DI SUMATERA UTARA
O l e h :
BIDANG PEMERINTAHAN DAN KEMASYARAKATAN
BALITBANG PROVINSI SUMATERA UTARA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PROVINSI SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
LAPORAN PENDAHULUAN
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................... iii
Daftar Tabel ............................................................................................... vii
Daftar Gambar ............................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.4. Sasaran dan Manfaat Kajian ............................................................. 6
1.5. Ruamg Lingkup Kajian dan Sasaran Lokasi ...................................... 7
II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8
2.1. Pembangunan Wilayah ............................................................... 8
2.1.1. Konsep Pembangunan dalam Arti Luas ............................. 10
2.1.2. Pengertian Paradigma Pembangunan Masyarakat .............. 12
2.2. Pembangunan Masyarakat Suatu Tinjauan Partisipasi ................. 15
2.3. Pembangunan yang Mengacu pada Partisipasi Masyarakat .......... 19
2.4. Memahami Konsep Desentralisasi Versus Sentralisasi ............... 24
2.4.1. Penerapan Desentralisasi dalam Konteks Evolusi
Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia ........................... 24
2.4.2. Implementasi Desentralisasi setelah Reformasi ................. 26
2.4.3. Penerapan Konsep Good Governance
(Ketatapemerintahan yang Baik) dalam Pembangunan
Daerah ................................................................................ 27
2.4.4. People Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat)
dalam Pembangunan Daerah ............................................. 29
2.4.5. Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan .................. 31
2.5. Model Kerangka Proses Berfikir ................................................ 33
2.6. Keragka Konseptual ................................................................... 34
2.7. Hipotesis .................................................................................... 36
III. METODE PENELITIAN ............................................................... 37 3.1. Jenis Penelitian ............................................................................ 37
3.2. Lokasi Penelitian ......................................................................... 37
3.3. Populasi dan Sampel .................................................................... 37
3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 38
3.4.1. Sumber Data ...................................................................... 38
3.4.2. Metode Pengumpulan Data ................................................. 39
3.5. Teknik Analisis Data .................................................................... 39
IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ............................................ 40
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Langkat ........................................ 40
4.2. Gambaran Umum Kabupaten Deli serdang .................................. 45
4.3. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ..................... 48 Daftar Pustaka ............................................................................................. 57
ii
DAFTAR TABEL
No.
Tabel
Judul Tabel Halaman
2.1 Gambaran Evolusi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia 25
2.2 Perbandingan Kharakter Paradigma Pembangunan………… 32
3.1 Distribusi Sampel Menurut Data, Lokasi/ Lembaga............... 38
4.1 Penduduk Kabupaten Langkat Menurut Golongan Usia dan
Jenis Kelamin………………………………………………... 41
4.2. Wilayah Pembangunan dan Administrasi Kabupaten
Langkat……………………………………………………… 44
4.3. Kecamatan dan Ibukota Kecamatan di Kabupaten Deli
Serdang……………………………………………………… 46
4.4. Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kabupaten Serdang
Bedagai menurut Kecamatan.................................................. 54
iii
DAFTAR GAMBAR
No.
Tabel
Judul Gambar Halaman
2.1. Interaksi Diantara Keempat Elemen Partisipasi...........................
18
2.2. Kerangka Fikir Hubungan Desentralisasi Dan Pembangunan
Masyarakat Berkelanjutan............................................................ 33
2.3. Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Desentralisasi
Dan Pembangunan Masyarakat Pesisir......................................... 35
4.1. Peta Kabupaten Langkat………………………………………... 43
4.2. Peta Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Langkat…………….. 43
4.3. Lambang Kabupaten Serdang Bedagai........................................ 48
4.4. Peta Kabupaten Serdang Bedagai................................................. 52
DAFTAR GRAFIK
4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai .. 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara sosial ekonomi, wilayah pesisir memiliki arti penting bagi
Indonesia karena sekitar 140 juta (60%) penduduk bermukim di wilayah pesisir
(Dahuri 2000). Apalagi Indonesia adalah merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia yang terdiri atas 17.528 pulau, dimana teritorial darat dan laut seluas 7,7
juta km2
dan lebih 75 % wilayahnya adalah perairan laut, pantai dan pesisir
(Dahuri). Wilayah ini mengandung potensi kekayaan alam yang cukup besar.
Berbagai jenis flora dan fauna laut, serta potensi keindahan alam yang
seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat daerah
pesisir, namun, keadaannya ”paradoksial”.Besarnya potensi wilayah pesisir,
dengan teknologi dan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang semakin
berkembang, tidak diikuti dengan tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah
pesisir dan bahkan di sisi lain lingkungan semakin rusak (Nikijuluw, 2005).
Faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian dalam persoalan ini,
bahwa orientasi pembangunan kita selama ini lebih cenderung ke wilayah
daratan. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki wilayah pesisir dan laut
yang luas, tetapi perhatian pemerintah ke sektor ini baru dimulai tahun 1988, yaitu
sejak dideklarasikannya studi yang berjudul” Indonesia’s Marine Environment: A
Summary of Policies, Strategies, Actions and Issues” sebagai kerja sama
2
BAPPENAS dan lembaga CIDA (Bengen; 2004). Sejak inilah sektor kelautan dan
pesisir mulai mendapat perhatian.
Pada sisi lain, tahun 1999 pemerintah juga telah melakukan perubahan
besar tentang sistem pemeritahan daerah sebagaimana diatur sebelumnya pada UU
No. 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No. 22 tahun 1999.Pada tahun 2004
kembali direvisi dan diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi
daerah. Perubahan aturan ini memaknai akan perubahan kebijakan pengelolaan
sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat yang dapat digaris bawahi
dari kelahiran UU tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan
laut kepada wilayah otonom.
Dengan demikian kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 serta kelahiran DKP
diharapkan dapat menjadi modal dasar bagi pengelolaan sumber daya pesisir yang
berkelanjutan melalui suatu pola manajemen kelautan yang profesional dan
berbasis masyarakat. Karena pembangunan dengan dasar otonomi daerah, akan
dapat lebih fokus kepada upaya pembangunan pedesaan melalui program-program
penyedian prasarana, pembangan agribisnis, industri kecil dan kerajian,
pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber
daya alam (Nugroho, 2004).
Selain masalah kemiskinan di wilayah pesisir juga terjadi berbagai
masalah lain, seperti; masalah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan
pelestariannya, masalah kesehatan, pendidikan dan lain-lain seperti budaya
pesisir yang diwarnai dengan sifat tunduk pada alam fisik (Saadah dkk, 2004).
3
Keadaan masyarakat pesisir di lokasi penelitian ini juga mengalami
persoalan kemiskinan. Hal ini dapat ditunjukkan dari indikator Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2001 dan BPS Provinsi Sumatera Utara
menunjukkan posisi indikator pertumbuhan ekonomi Kabupaten Langkat berada
pada ranking dua terakhir di antara kabupaten/kota se-provinsi Sumatera Utara.
Hal ini secara signifikan tergambar pada kodisi umum masyarakat pesisir yang
masih miskin (Hasil observasi 2006). Demikian juga indikator Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Perkapita berada pada Rangking 10, sedangkan indeks
daya beli berada pada rangking 13. Keadaan ini menunjukkan bahwa IPM
Langkat khususnya bagi masyarakat wilayah pesisir berada pada kategori
buruk,dengan penghasilan nelayan perhari hanya rata-rata Rp. 10.000 (Jala, 2002).
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui undang-undang No 32 tahun 2004
memberikan otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam
undang-undang (UU No 32 tahun 2004). Seiring dengan prinsip otonomi tersebut,
penyelengaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat.
Hal ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat
masyarakat di daerah, memberikan ruang politik yang lebih luas, peningkatan
kualitas demokrasi, peningkatan efisiensi pelayanan publik, peningkatan
percepatan pembangunan, penanggulangan kemiskinan dan diharapkan juga untuk
meningkatkan kualitas kepemerintahan dalam wujud kepemerintahan yang baik.
4
Akan tetapi implementasi sebuah kebijaksanaan bukanlah hal yang
sederhana, karena implementasi akan menyangkut interpretasi, organisasi,
komitmen, kesiapan aparat dan masyarakat secara sinergis untuk melakukan
pembangunan. Pemerintah daerah harus kreatif dan senantiasa menghidupkan
inisiatif, dan prakarsa masyarakat, melalui berbagai strategi yang dapat dilakukan.
Persoalannya adalah apakah pemerintah daerah dalam hal ini mampu
menggunakan peluang dan sekaligus tantangan yang diberikan oleh Undang-
Undang No 32 tahun 2004 tersebut. Untuk menelusuri persoalan pembangunan
masyarakat pesisir Provinsi Sumatera Utara yang begitu kompleks dan luas, maka
pada kesempatan penelitian kali ini akan lebih diarahkan untuk memahami
persoalan pembangunan masyarakat pesisir khususnya wilayah pantai timur.
1.2. Perumusan Masalah
Dari alur permasalahan yang telah diuraikan maka fokus penelitian yang
akan dilakukan adalah untuk mengidenifikasi berbagai kebijakan dan perilaku
birokrasi pemerintah, kreasi dan invensi kebijakan pembangunan masyarakat
wilayah pesisir yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Langkat sejak
era otonomi daerah melalui implementasi UU. No. 22/1999 Tentang Pemerintah
Daerah yang telah direvisi dengan UU. No. 32/2004 serta bagaimana wajah
pembangunan masyarakat wilayah pesisir apakah lebih baik atau malah lebih
buruk atau tidak terpengaruh sama sekali. Rumusan masalah penelitian ini lebih
difokuskan lagi pada beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut;
1 Apakah desentralisasi mempengaruhi kesiapan otonomi daerah,
kepemerintahan yang baik (Good Governance), perencanaan
5
partisipatif, kekokohan masyarakat sipil dan hubungan harmonis
dengan pemerintah yang lebih tinggi.
2 Seberapa besar pengaruh yang nyata Otonomi Daerah menurut UU
No.32 Tahun 2004 terhadap : Ketatapemerintahan yang baik,
Perencanaan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat Wilyah Pesisir
Provinsi Sumatera Utara.
3 Bagaimanakah pengaruh kepemerintahan yang baik, Perencanaan
Partisipatif, Pemberdayaan Masyarakat dan Hubungan harmonis
dengan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap Pembangunan Wilayah
Masyarakat Pesisir Provinsi Sumatera Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah:
1 Untuk mengetahui bagaimana implementasi desentralisasi dalam
pembangunan masyarakat wilayah pesisir Provinsi Sumatera Utara
yang mencakup:
1. Kesiapan Birokrasi Pemerintah;
2. Pola Desentralisasi Kebijakan;
3. Kesiapan Aparatur;
2 Untuk dapat memahami bagaimana implementasi Otonomi Daerah
menurut UU No. 32 Tahun 2004. Di wilayah pesisir Provinsi
Sumatera Utara yang mencakup:
6
1) Implikasinya terhadap upaya mewujudkan ketata pemerintahan
yang baik.
2) Kinerja perencanaan partisipatif.
3) Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
3. Untuk mengetahui pola pengaruh: kepemerintahan yang baik,
Perencanaan Partisipatif, Pemberdayaan Masyarakat dan Hubungan
harmonis dengan pemerintah yang lebih tinggi terhadap
pembangunan masyarakat wilayah pesisir di Provinsi Sumatera
Utara.
1.4. Sasaran dan Manfaat Kajian
Sasaran dan Manfaat dari pelaksanaan kajian adalah :
1) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dalam praktik implementasi
otonomi daerah, terutama di bidang pembangunan masyarakat wilayah
pesisir.
2) Sebagai bahan masukan bagi pimpinan daerah dalam memberikan
referensi pemikiran reorientasi pembangunan yang selama ini lebih
fokus kepada daratan. Sebaiknya dalam pelaksanaan pembangunan
perhatian terhadap daratan maupun pengembangan wilayah pesisir dan
laut haruslah seimbang.
3) Memberikan gambaran tentang faktor-faktor pendukung dan
penghambat pembangunan masyarakat wilayah pesisir, dan tantangan
7
implementasi desentralisasi pada pengembangan masyarakat wilayah
pesisir.
1.5. Ruang lingkup Kajian dan Sasaran Lokasi
Adapun ruang lingkup kajian ini adalah untuk melihat Peranan Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanaan pembangunan khususnya
pengembangan masyaraat di wilayah pesisir Sumatera Utara. Lokasi Penelitian ini
adalah Provinsi Sumatera Utara dengan sampel daerah Kabupaten / Kota,
khususnya wilayah pesisir timur.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Wilayah
Di Indonesia, pengertian wilayah didefinisikan dalam Undang-Undang
No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, sebagai ruang yang merupakan satuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya
ditetukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sejalan
dengan batasan tersebut wilayah juga dapat diartikan sebagai luasan geografis
beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang mempunyai batasan-batasan
sesuai dengan lingkup pengamatan tertentu. Dengan kata lain pengertian atau
batasan wilayah sangat ditentukan oleh tujuan dan kepentingan pendefinisian
wilayah itu sendiri.
Secara fungsional pendefenisian itu dapat dilihat dari sudut administrasi,
yang bermakna sebagai pembagian wilayah provinsi, kabupaten, kota dan
sebagainya. Sedangkan dari sudut lain adalah fungsi yang bermakna kawasan
lindung, kawasan budi daya, kawasan pertanian, perumahan dan lain-lain.
Demikian juga dari sudut kegiatan ekonomi. Oleh karena itu berbicara tentang
pembangunan wilayah haruslah dimaknai oleh berbagai substansi yang
terkandung dalam definisi wilayah (Miraza, 2005).
Dalam kajian ini wilayah pesisir akan dilihat dari ketiga sudut pandang
tersebut secara komprehensif, baik dari batasan administrasi pemerintahan,
kawasan tempat tinggal masyarakat pesisir, maupun kegiatan ekonomi.
9
Menurut Nugroho (2004) dalam konsep pembangunan wilayah tersimpan
maksud-maksud :
1. Perlindungan sosial-ekonomi sebagai akibat dari kemiskinan dan
ketimpangan serta sumber daya alam yang mengalami tekanan dan
perlindungan itu lebih ditekankan pada pihak yang lemah.
2. Adanya perhatian terhadap mekanisme pasar yang efisien serta
sustanibilitas pengelolaan sumber daya alam.
3. Pembangunan wilayah merupakan implementasi kebijakan-kebijakan
yang berbasis pada bagian-bagian ilmiah.
4. Pembangunan wilayah merupakan kerangka pembangunan yang
menyeluruh termasuk aspek kelembagaan.
Anwar (2001) menyatakan bahwa tujuan pembangunan wilayah
seharusnya diarahkan pada pencapaian: (1). Pertumbuhan ekonomi (Growth); (2)
Pemerataan sosial; (3) Keberlanjutan (Sustainability) ekosistem. Pandangan ini
menyangkut penanggulangan kemiskinan, kesenjangan maupun pengangguran.
Pernyataan Anwar ini, diarahkan untuk melengkapi pernyataan Winarto (1998)
yang mengatakan pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia memberi
penekanan pada peningkatan kapasitas masyarakat (Capacity Building),
peningkatan keadilan distribusi (Equality and Equity), pemberdayaan
(Empowerment) dan keberdayaan (Sustainability). Mengapa hal ini perlu
diperhatikan, karena setiap wilayah memiliki keunikan, demikian dengan wilayah
pesisir memiliki keunikan (1) ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis
dan mudah mengalami kerusakan/ rentan apabila dimanfaatkan manusia. (2)
10
Sumber daya pesisir yang kaya dimanfaatkan berbagai pihak untuk berbagai
kepentingan sehingga berpotensi menimbulkan konflik. (3) Perairan pesisir
terdapat pemahaman sistem pengelolaan terbuka sehingga yang kuat sering lebih
menguasai sumber daya dan akan membatasi akses bagi masyarakat pesisir dalam
pemanfaatannya.
2.1.1. Konsep Pembangunan dalam Arti luas
Pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan dari situasi nasional
yang satu ke situasi nasional yang dinilai lebih tinggi (Frank dalam Arif Budiman
1984). Dengan kata lain pembangunan menyangkut proses perbaikan. Akan tetapi
untuk lebih luas, pembangunan itu dapat dipandang dari dua segi :
1. Pembangunan sebagai suatu fenomena sosial yang mencerminkan proses
perkembangan suatu masyarakat dari suatu tingkat peradaban tertentu ke
tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian proses pembangunan itu telah
terjadi sejak peradaban manusia.
2. Pembangunan sebagai suatu perubahan sosial masyarakat yang terencana.
Ditinjau dari hal ini (planned social change) merupakan fenomena
pembangunan dalam abad dua puluh (sebelumnya didahului planned
ekonomi 117 sesudah Perang Dunia kedua dengan lahirnya negara-negara
baru).
Pada tahun 70-an dalam literatur internasional diadakan suatu pembedaan
antara development di satu pihak sebagai “pertumbuhan” dalam arti yang lebih
teknis dan di lain pihak “perkembangan” sebagai suatu pengertian kualitatif
(Nordholt, 1987), walaupun pada umumnya para ahli ekonomi memberikan arti
11
yang sama kepada kedua istilah tersebut. Akan tetapi apabila ditelusuri lebih
mendalam, sebenarnya kedua istilah itu menunjuk aspek yang berlainan.
Para ahli ilmu sosial saat ini, sangat membedakan pengertian
pembangunan ekonomi seperti yang disampaikan Sukirno;
“Kecendrungan yang membedakan kedua istilah tersebut, mengartikan
pembangunan ekonomi sebagai : (i) peningkatan dalam pendapatan
perkapita masyarakat, yaitu tingkat, yaitu tingkat pertambahan GDP pada
satu tahun tertentu melebihi dari tingkat pertambahan penduduk atau (ii)
perkembangan GDP yang berlaku dalam masyarakat dibarengi oleh suatu
perombakan dan modernisasi dalam struktur ekonominya, yang pada
umumnya masih bercorak tradisional. Sedang pertumbuhan ekonomi
diartikan sebagai kenaikan dalam GDP, tanpa memandang kenaikan itu
apakah lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertambahan penduduk, atau
apakah perubahan dalam struktur ekonomi berlaku atau tidak” (Sukirno,
1982 hal:8)
Dengan singkat dikatakan bahwa, pertumbuhan atau “growth”
menyangkut pertumbuhan dalam konteks sistem yang ada. Sedang pembangunan
atau development menyangkut proses perubahan struktural yang merubah sistem
itu. Sebagai bahan perbandingan berikut ini dikutip pendapat Milton:
“Development denotes a major societal transformation a change in
system status, a long the continuum from peasant and pastoral to industrial
organization of modern physical social technology are critical ingredients.
These qualitative changes affect values, behavior, social structure,
economic organization and political process” (Milton dalam Montgomery,
1966)
Dalam pembangunan, kemajuan ekonomi adalah suatu komponen yang
esensial walaupun bukan satu-satunya. Hal ini disebabkan karena pembangunan
itu tidak semata-mata merupakan fenomena ekonomi. Todaro (1983) menegaskan:
”Dalam pengertian yang paling mendasar pembangunan itu haruslah mencakup
masalah-masalah materi dan finansial dalam kehidupan orang”. Karena itu
12
pembangunan haruslah diselidiki sebagai multidimensional yang melibatkan
reorganisasi reorientasi dari semua sistem ekonomi sosial.
Identifikasi terhadap istilah”Development” di atas adalah sangat penting,
terutama karena sosok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah masalah
pembangunan itu sendiri.
Kompleksitas dan multidimensionalitas proses pembangunan nasional
telah mendorong timbulnya berbagai paradigma pembangunan yang menjadi
kerangka teori referensi pembangunan itu. Menurut Budiman (1995), itu semua
dapat diletakkan pada dua kutub paradigma yang berbeda secara diametral.
Paradigma modernisasi yang lebih dikenal dengan modernization theory
menduduki posisi pada kutub yang satu, sedang pada kutub paradigma yang lain
terletak posisi paradigma strukturalis atau paradigma dependensi. Di antara kedua
kutub ini terdapatlah berbagai paradigma pembangunan yang dapat ditelusuri
dengan tinjauan perspektif diakronis.
2.1.2. Pengertian Paradigma Pembangunan Masyarakat
Dari perspektif diakronis pada dua kutub paradigma yang berhadapan
secara diametris telah dijelaskan di atas, terdapat sejumlah paradigma, yaitu:
paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok, paradigma redistribusi
dengan pertumbuhan, paradigma neoekonomi, paradigma yang berpusat pada
manusia. Keseluruhan jenis paradigma itu, secara umum dapat dikelompokkan
kepada tiga kategori, yaitu: paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok,
dan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia.
13
Paradigma pertumbuhan memandang pembangunan nasional identik
dengan pembangunan ekonomi. Seperti pendapat Alfonso (1981) mengatakan
terhadap paradigma ini:
”The growth strategy seek to achieve rapid increase in the economic
value of agriculture out put by channeling resources to those farmers who
area easiest to reach in both psychological and administrative sense, the
large, modern farmer with acces to credit, capital-insentive technologies
and markets. Emphasis is on the promotion of those crops which will
produce the largest profit marginal often those for export or elite
consumption” (Alfonso 1981)
Dalam hal ini pembangunan dapat dipandang sebagai rangkaian terhadap
pertumbuhan keluaran produksi yang berteknologi modern. Dan kunci
pengembangan ini adalah terciptanya prasyarat untuk tahap tinggal landas”.
Dengan paradigma pembangunan ini, pemerintah berperan untuk memperbesar
saving ratio, artinya: mengefisiensikan proses-proses produksi nasional. Dan
sehingga, pemberantasan kemiskinan dipandang sebagai prioritas sekunder yang
dicapai melalui trickle down effect (Moeljarto, 1989). Akibatnya teori ini banyak
mengandung kelemahan.
Berbeda dengan paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok
perhatiannya terutama pada pemenuhan pokok minimal, baik yang menyangkut
konsumsi untuk keluarga (sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya)
maupun public services bagi komunitas sebagai keseluruhan (sumber air bersih,
transportasi, listrik dan sebagainya) (John Friedman dalam Sjahrir, 1988). Dengan
penegasan ini, pendekatan kebutuhan pokok pada hakekatnya adalah program
kesejahteraan atau bantuan pada orang tidak mampu.
14
Dalam paradigma ini fungsi negara adalah sebagai pemberi pelayanan
sehingga keberhasilan pemerintah memberi pelayanannya akan sangat tergantung
pada dukungan aparat dan kemampuan anggaran. Paradigma yang merefleksikan
strategi charity ini juga banyak mendapat kritik karena sifatnya yang
dehumanizing karena asumsi utama pendekatan ini ”The poor is not competent
either to determine what their own needs are or to make more then a token
contribution toward meeting them”. Dengan kata lain sosok manusia sebagai
pelaksana pembangunan menjadi kabur dalam strategi pembangunan ini.
Setelah paradigma pertumbuhan dan paradigma kebutuhan pokok
dianggap tidak memuaskan yang ditandai dengan meluaskan ketidakseimbangan
dalam aspek-aspek kehidupan baik struktur ekonomi, struktur politik dan struktur
sosial pada dekade 70-an (Alfonso, 1988). Maka tuntutan mengenai perlunya
mengutamakan wajah-wajah manusia di dalam proses pembangunan semakin
mendapat tempat. Tokoh-tokoh seperti Paul Freire (1985), Korten (1981),
Soedjatmoko (1983), dari fokus perhatiannya masing masing mereka mencoba
mengartikulasikan aspirasi kemanusiaan tersebut.
Unsur-unsur yang paling inti dan sangat mendasar terhadap minat manusia
dan perwujudan potensi manusia menurut tokoh–tokoh tersebut, dapat
dirumuskan dalam tiga nilai inti utama, yaitu: kelestarian hidup yang merupakan
suasana memungkinkan setiap manusia dapat mewujudkan potensinya sebagai
manusia, harga diri dan kebebasan.
15
2.2. Pembangunan Masyarakat; Suatu Tinjauan Partisipasi Masyarakat
dalam Pembangunan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa, pembangunan yang merupakan
upaya perbaikan dari situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lebih baik,
akan tercapai malaui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijaksanaan,
program-program pembangunan yang konsisten dan dengan rasioanalitas urutan
prioritas. Namun demikian berhasilnya pencapaian pembangunan memerlukan
keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya.
Konsep pembangunan Desa menjelaskan : pembangunan masyarakat
adalah suatu gerakan untuk memajukan suatu kehidupan yang lebih baik bagi
seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif, bahkan jika mungkin dengan
swakarsa (inisiatif) masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu bagaimana menggugah
dan menumbuhkembangkan partisipasi sangatlah diperlukan untuk proses
pembangunan masyarakat itu sendiri (DEPDAGRI, DIRJEN, BANGDES, 1981).
Dalam kamus Bahasa Inggris, ditemui kata ”participation”, sebagai kata
benda yang berarti :pengambilan bagian dan pengikutsertaan. Kemudian
”participate” sebagai kata kerja yang artinya mengikutsertakan, mengambil
bagian. Pada era pembangunan akhir-akhir ini penggunaan kata partisipasi ini
sangat populer, digunakan untuk menjelaskan: keikutsertaan seseorang atau
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. B. Davis, seorang ahli sosiologi
(Dalam Huneryager dan Heckman, 1967) menjelaskan :
”Participations, is defined as an individuals mental and emotional
involvement in a group situation that encourages him to contribute to group
goal and to share responsibility for them”. (Huneryager dan Heckman,
1967)
16
Pengertian ini mencakup keterlibatan mental dan emosi, yang harus
diwujudkan dalam suasana kerjasama, dengan demikian masing-masing didorong
untuk bersama-sama dengan keikutsertaan dalam tanggungjawab. Dalam
tulisannya Cohen dan Uphoff (1977) mencoba memberi uraian yang mendalam
tentang hakekat dan perlunya partisipasi. Penyajian maupun penalaran dilakukan
dengan menelusuri partisipasi tersebut dari berbagai dimensi antara lain dengan
mengajukan dan menjawab pertanyaan: what, who, whom, how dan lain-lain.
Dengan demikian suatu gambaran dan uraian tentang partisipasi dapat
diadakan dengan lebih sistematis dan lebih baik. Hal ini dianggap lebih penting
dari pada mendefenisikan kata partisipasi itu sendiri (Nordholt, 1987). Oleh
karena terlalu mefokuskan perhatian terhadap defenisi justru bisa membuat
kekaburan.
Cohen dan Uphoff (1997) dalam analisanya memberi kesan bahwa, ada
perbedaaan pokok antara partisipasi dalam politik dan partisipasi dalam
pembangunan pedesaaan. Perbedaaan itu tercermin dari faktor kekuasaan, dimana
pada ketegori kedua seolah-olah tidak berperan. Untuk menunjukkan perbedaaan
ini dapat kita lihat pendapat Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1976).
Berkenaan dengan partisipasi politik:
”We define political participation simply as activity by private citizens
designed to influence fovernmental decisions making....wide spread
participation in polities thus does not necessarily imply democratic,
responsible, or representative goverment”.
Dan apabila dilanjutkan telaah ini dalam uaraian, selanjutnya diperoleh
pengertian yang lebih spesifik:
”We define political participation to include not only activity that is
designed by the actor him self to influence govermental decision making, but
17
also activity is designed by some one other than the actor to influence
govermental decisions making” (Huntington dan Nelson 1976).
Jadi partisipasi bentuk pertama dalam defenisi ini dikategorikan sebagai
bentuk autonomous participations dan terakhir sebagai mobilized participations.
Pengertian Huntington ini akan sangat jauh berbeda, apabila kita bandingkan pada
penjelasan yang lebih menitikberatkan pada partisipasi dalam pembangunan
pedesaan.
”We saw, participation including peoples involment in decisons making
process about what would be done and how, their involvement in
implementing programs and decisions by contributing various resources or
cooperatif sharing in the benefits of development prograns : and /or their
involvement in effrots to evaluate such programs”. (Cohen dan Uphoff,
1977).
Dari penjelasan itu kita dapat dilihat, adanya empat macam keterlibatan
yang berhubungan pada partisipasi, yaitu: keterlibatan dalam pengambilan
keputusan (decision making), keterlibatan dalam implementasi (implementing
programs), keterlibatan dalam menikmati hasil (sharing in the benefits), dan
keterlibtan dalam evaluasi (evaluating programs). Memahami perbedaaan
pengertian, akibat perbedaaan fokus perhatian dalam defenisi, seperti dua defenisi
yang sangat berbeda di atas mencerminkan kesan bahwa, kekuasaaan sebagai
faktor utama dalam defensisi yang pertama dan untuk defenisi kedua kurang
berperan. Nordholt (1987), dalam hal ini dengan tegas sangat berkeberatan. Malah
dikatakan proyek atau program pembangunan pedesaaan senantiasa bersangkut
paut dengan kekuasaan apakah kekuasaan ekonomi ataukah menurut kacamata
barat dan kacamata politik yang lebih formal. Program itu mengubah hubungan
18
A
Decisions
making
yang ada dalam bentuk yang dapat memperkuat kedudukan pemegang kekuasaan,
atau dapat merupakan ancaman terhadap kedudukan mereka sendiri.
Terlepas dari masalah defenisi, mungkin pola ataupun sistematika sebagai
upaya untuk menelusuri masalah partisipasi ini lebih mendalam, yakni dengan
memulai pertanyaan : what participation are concerned with? Cohen dan Uphoff
(1977) dalam hal ini, mengidentifikasi empat jenis partisipasi. Adapun jenis
partisipasi itu lebih terinci adalah :
”a. Partisipasi dalam decision making; b. Partisipasi dalam
implementasi, dan c. Partisipasi dalam benefits serta yang perlu
ditambahkan kata Cohen dan Uphoff point d. Seperti berikut; d. Partisipasi
dalam evaluation” (Cohen dan Uphoff 1977).
Interaksi di antara keempat elemen partisipasi itu dapat di gambar sebagai
berikut ini.
Gambar 2.1.
Interaksi di antara Keempat Elemen Partisipasi
D
Evaluation
B
Implementation
C
Benefits
19
2.3. Pembangunan yang Mengacu pada Partisipasi Masyarakat.
Secara teoritik masyarakat telah lama ditempatkan sebagai subjek
pembangunan, akan tetapi dalam realitanya mereka senantiasa hanya diposisikan
sebagai objek. Masyarakat sebagai salah satu komponen dalam pembangunan
seharusnya diberdayakan bukan saja hanya sebagai stakeholder tetapi harus dapat
menjadi shareholder dalam pembangunan. Sangat banyak yang dapat diperoleh
dalam pembangunan yang mengacu kepada partisipasi masyarakat, seperti
dijelaskan oleh Islamy menyatakan secara politis partisipasi masyarakat dapat
memperkuat proses demokratisasi, karena dengan partisipasi masyarakat berarti
(1). Memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan tentang masalah kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari
dan memperkecil jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat (2). Memperluas
pendidikan politik sebagai landasan bagi demokrasi, dengan demikian mereka
akan terlatih dalam menyusun prioritas-prioritas kebutuhan melalui suatu pola
kompromi yang sehat (3) Akan memperkuat solidaritas komunitas masyarakat
lokal. (Islamy, 2004)
Untuk itulah menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan perlu mendapat perhatian. Menumbuhkan partisipasi masyarakat
bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan kesabaran dan waktu. Para
penggerak pembangunan dalam rangka memberdayakan masyarakat lokal agar
mau berpartisipasi dalam proses pembangunan haruslah dimulai dari pemahaman
ketidakberdayaan masyarakat. Dari sanalah penggerak pembangunan memulai
proses pemberdayaan menuju teciptanya self sustaining capacity. Untuk itu perlu
20
memperhatikan konsep yang pernah dikemukakan oleh tokoh gerakan
pembangunan masyarakat Cina Y.C. Yen seperti telah dijelaskan terdahulu dalam
(Moelyarto 1987), di dalam pendekatan pembangunan yang terbaru, partisipasi
telah dianggap menjadi sarana yang ampuh untuk menanggulangi persoalan-
persoalan kemiskinan. Asumsi dasar pendekatan baru ini adalah bahwa
pembangunan termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan, akan berhasil
bila masyarakat dilibatkan dalam prosesnya.
2.4. Memahami Konsep Desentralisasi versus Sentralisasi.
Wujud pemerintah daerah dapat dilihat dari kewenangan yang dimilikinya
mencakup kewenangan politik untuk mengambil keputusan, kewenangan
pengelolaan keuangan dan ekonomi serta administratif dalam berbagai kebijakan
publik yaitu : (1) apakah telah lebih mengutamakan kepentingan masyarakat
daerah, (2) apakah telah mampu mensinkronkan berbagai kebijakan pusat daerah
untuk kepentingan daerah dan masyarakat, (3) apakah telah mampu mewujudkan
perencanaan partisipatif yang dilandasi dengan ketata pemerintahan yang baik.
Hal ini tidak akan dapat diwujudkan tanpa kewenangan desentralisasi.
Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan pemerintahan yang berkebalikan
dengan sentralisasi. Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka
desentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. Rondinelli dan Cheema (dikutip
Riant Nugroho, 2002), desentralisasi adalah ...the transfer of planning, decisions
making, or administrative authority from the central government to its field
organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal
organizations”.
21
Imawan (2002) menyatakan, desentralisasi (devolusi) sebagai salah satu
azas penyelenggaraan pemerintahan yang sering di pertentangkan dengan
sentralisasi, mewujudkan pemerintahan lokal atau otonomi daerah, merupakan
konsekuensi dari demokrasi untuk mengujudkan good governance. Hal ini
ditandai dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas serta ruang gerak
kewenangan yang memaknai kewenangan yang diberikan. Secara umum ada dua
tujuan utama desentralisasi yaitu Eficiency Value dan Governance Value.
Efisiensi didefenisikan sebagai maksimasi kesejahteraan sosial, agar terdapat
maksimasi kesejahteraan yang merata, maka preferensi individu harus dapat
ditangkap secara maksimal. Argumentasi ini mengatakan bahwa dengan
desentralisasi, keinginan individu di daerah akan lebih terakomodasi dibanding
dengan pendekatan sentralisasi. Sementara Governance Value sebagai sisi lain,
melihat bahwa dengan desentralisasi yang menempatkan pemerintah lebih dekat
dengan masyarakat akan lebih baik dari pada sentralisasi, karena tanggung jawab
dan akuntabilitas akan lebih jelas dan nyata, demikian dengan pengenalan
keinginan masyrakat partisipasi politik masyarakat dan kepemimpinan juga lebih
baik sebab dengan desentralisasi kekusaan masyarakat lebih mengental dan
mereka merasa memiliki (Imawan, 2002).
Akibat langsung dari penerapan azas desentralisasi adalah kesiapan
pemerintah daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi dan
manajemen serta kemampuan adaptasi terhadap perkembangan, perubahan
eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya.
22
Dalam mengemban tugas tanggung jawab tersebut “birokrasi” menjadi alat
penting (Juliantara dkk, 2006).
Sebagaimana dikutip dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. “Otonomi”
berasal dari kata yunani yang terdiri dari suku kata Autos dan Nomos yang
mengandung arti; autos adalah “sendiri” dan nomos adalah “perintah” hal ini
bermakna sebagai memerintah sendiri. Artinya adalah kewenangan yang dimiliki
oleh daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri. UU Nomor 32
Tahun 2004 menegaskan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu otonomi dapat disebut sebagai derivat dari desentralisasi. Daerah
otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat
desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi tingkat desentralisasi
semakin tinggi tingkat otonomi daerah (Nugroho: 2000).
Dalam praktiknya desentralisasi kerap tidak ketemu dengan kepentingan
rakyat, sehingga desentralisasi hanya dipandang sebagai transfer kewenangan dari
pusat ke tangan pejabat di daerah. Dengan demikian, guna pemenuhan terhadap
sebuah pemerintahan yang demokratis-desentralisasi dibutuhkan beberapa prinsip
yang harus dipenuhi terlebih dahulu: (1) Pengakuan terhadap kepentingan
individual masyarakat, termasuk kepentingan hakiki masyarakat untuk terlibat
dalam setiap proses pengambilan kebijakan, (2) Penghormatan negara terhadap
persamaan kedudukan setiap warga negara dalam pemerintahan, di depan hukum
dan dalam bidang ekonomi, (3) Adanya kontrak kepentingan (necessity of
23
compromise) antara negara dengan warga negara, (4) Mekanisme/ cara rakyat
meminta dengan tegas pengembalian kebebasan individualnya (insistence of
individual freedom). Artinya peranan civil society sangat penting. Keberhasilan
negara Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Kanada menjalankan sistem
desentralisasi ini sangat diikuti oleh peranan yang kuat dari lembaga non
pemerintah (Juliantara dkk, 2006).
Sedangkan di Indonsia, untuk memahami konsep desentralisasi dalam
rangka otonomi daerah secara utuh, haruslah memahami sistem ketatanegaraan
yang terkandung dan di tetapkan dalam UUD’45 sebagai dasar negara RI.
Isi dan jiwa yang terkadung dalam pasal 18 UUD’45 beserta penjelasannya
menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pokok-pokok
pikiran yang dapat di tarik dari UUD tersebut :
1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian-
pembagian kewenangan berdasarkan asas dekonsentrasi dan asas
desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan RI.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi, sedangka daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan kota. Daerah yang dibentuk
dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanaka
kebijaka atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian daerah di luar daerah provinsi di bagi habis kedalam daerah
otonom.
24
4. Kecamatan yang menurut UU lama yaitu UU No.5 Tahun 1974 sebagai
wilyah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU yang baru
yaitu UU No.32 Tahun 2004, kedudukannya di ubah menjadi perangkat
darah kabupaten atau daerah kota.
2.4. Memahami Konsep Desentralisasi Versus Sentralisasi
2.4.1. Penerapan Desentralisasi dalam Konteks Evolusi Pelaksanaan
Pembangunan di Indonesia
Sejak awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara ini telah
menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan (Thoha, 2003). Cita desentralisasi ini senantiasa
menjadi bagian penting dalam praktek pemerintahan sejak UUD 1945. Sekalipun
ada perbedaan variasi maupun intensitasnya.
Pada awal penerapan desentralisasi sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD
1945 yang mengatur pemerintahan di daerah telah diterapan dalam UU No.1
Tahun 1945. Undang-undang ini dikenal dengan otonomi luas asalkan dalam
prakteknya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun tidak
lama kemudian pada masa Republik Indonesia Serikat, dengan aturan konstitusi
RIS UUDS 1950, dan dasar penyelenggaraan desentralisasi diterbitkan UU No.1
Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
dalam menjelaskan urusan pemerintah daerah adalah sisa dari pada urusan pusat
dan kepentingan umum.
Akibat pergolakan politik pada waktu demokrasi liberal, RIS yang hampir
membawa RI ke jurang perpecahan dan kehancuran. Oleh karena ini, presiden RI
menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD
25
1945. Dalam penyelenggaraan desentralisasi hanya melakukan penyesuaian-
penyesuaian.
Setelah memasuki masa pemerintahan orde baru pada pemerintahan
Soeharto menggantikan orde lama, dalam penyelengaraan pemerintahan daerah
diterbitkan suatu undang-undang yang sangat populer dan mewarnai
kepemerintahan pada masa tersebut yaitu UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam prateknya otonomi daerah lebih bertumpu
ke pusat dalam artian sentralistik ketimbang pada daerah.
Seiring dengan keruntuhan kekuasaan orde baru dengan masuknya masa
reformasi, pengaturan tentang otonomi daerah pun diganti dengan UU No. 22
tahun 1999 dan telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang
baru ini, baik secara konseptual maupun normatif dapat dikatakan lebih bernuansa
desentalistis. Akan tetapi dalam praktik, tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, berbagai faktor haruslah dipersiapkan dan digerakkan dengan baik, agar
supaya otonomi daerah dimaksud dapat diaktualisasikan demi mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Apa yang dapat ditarik dari pengalaman latar belakang
sejarah perkembangan praktek desentralisasi tersebut dalam hubungannya dengan
pembangunan, apabila digambarkan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Gambaran Evolusi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia
Masa
Pemerintahan
Orde lama, orde baru
UU No.1/1945 → UU No.1/1957 UU
→ No.5/1974,
Reformasi
UUNo.22/1999 →
UU No.32 2004
kekuatan Pusat Daerah rakyat
pendekatan Sektoral regional masyarakat
perencanaan top-down bottom-up participatory
OTDA
26
Pada masa-masa orde lama maupun orde baru, praktek desentaralisasi
masih lebih ditempatkan pada pendekatan sektoral dan regional dengan
perencanaan Top-Down ataupun gabungan Top-Down dengan Bottom-Up. Tentu
model yang ideal adalah bertumpu pada masyarakat dengan mengembangkan
perencanaan partisipatif (Muluk, 2007), (Mardiasmo, 2002), (Nugroho, 2002).
2.4.2. Implementasi Desentralisasi setelah reformasi
Para ahli di bidang pembangunan pada saat ini sepakat mengatakan bahwa
pembangunan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan spesifikasi wilayah
dan sosial masyarakat setempat akan lebih bermanfaat dibanding dengan
pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu pada model-model
pembangunan tertentu (Winarno, 2005), (Korten, 1981), (Mochtar, 2005). Untuk
dapat melakukan hal ini dibutuhkan adanya desentralisasi kewenangan (otonomi)
yang fungsional.
Bersamaan dengan era reformasi tahun 1998 di Indonesia, pada dasarnya
daerah telah memiliki kewenangan tersebut, dan menjadi peluang besar untuk
melakukan reorientasi dan percepatan pelaksanaan pembangunan di berbagai
bidang.
Pemberian kewenangan yang lebih desentralistik dibanding antara. UU
Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dengan UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004,
maka dapat dikatakan desain manajemen kepemerintahan daerah telah bertumpu
ke daerah daripada ke pusat seperti pada sebelumnya.
27
Dengan latar belakang peluang dan potensi daerah yang ada pada saat ini
daerah dapat mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan yang lokal spesifik dan
memanfaatkan potensi daerah.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pada bagian menimbang (butir a)
ditegaskan :
... Pemerintahan Daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut azas otonomi dan tugas perbantuan diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU Nomor 32 tahun 2004).
Dasar kebijakan ini sekaligus menegaskan bahwa selain perlunya
mengwujudkan ketatapemerintahan (good governance) yang baik, juga perlu
perhatian pemberdayaan masyarakat (empowering people) dalam upaya
penyelenggaraan pembangunan yang berbasis kewilayahan.
2.4.3. Penerapan Konsep Good Governance (Ketatapemerintahan yang baik)
dalam Pembangunan Daerah.
Menurut World Bank, kata good governance diartikan sebagai “the way
state power is used in managing economic and social resources for development
society”. Dari pengertian ini diperoleh gambaran bahwa “governance” adalah
cara bagaimana kekuatan negara digunakan untuk mengelola sumber daya,
ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat Mardiasmo (2002). Lebih
operasional pendapat World Bank diatas diuraikan oleh UNDP dengan
memberikan defenisi governance sebagai: “The exercise of political, economic
and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”, dengan
28
demikian kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan yaitu penggunaan
wewenang politik ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah nasional
untuk semua tingkatan pemerintah termasuk pemerintah daerah. Menurut UNDP
ini, governance harus didukung oleh tiga pilar utama yaitu politik, ekonomi dan
administrasi.
Pilar yang pertama bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses
pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik baik dilakukan birokrasi
sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan politisi. Dalam
ketatapemerintahan yang baik, partisipasi masyarakat dalam setiap proses
kebijakan menjadi suatu keharusan mulai dari tahap analisis, formulasi,
implementasi dan bahkan evaluasi.
Pilar yang kedua adalah bidang ekonomi menyangkut pembuatan
keputusan dan aktivitasnya. Dalam konsep ketata pemerintahan yang baik,
pemerintah akan muncul sebagai fasilisator yang baik, dan komit dengan
pengembangan suasana kondusif pada kegiatan dan mekanisme sosial ekonomi
masyarakat, serta antisipatif terhadap gejala-gejala dan masalah ekonomi seperti
ketimpangan pendapatan, pengangguran dan persoalan kemiskinan lainnya.
Sedangkan pilar yang ketiga adalah bidang administrasi yang berisi
tanggung jawab implementasi kebijakan yang telah ditetapkan untuk
dilaksanakan.
Sejalan dengan pandangan UNDP, governance memiliki tiga domain yaitu
: 1. Negara dan pemerintah, 2. Sektor swasta atau dunia usaha, 3. Masyarakat.
29
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat diharapkan tiga domain itu
memainkan peranan yang saling mendukung sinergis.
Berkaitan dengan good governance UNDP mengajukan 9 prinsip: (1)
Participation (2) Rule of law (3) Transparency (4) Responsiveness (5) Concensus
orientation (6) Equity (7) Effectiveness and Efficiency (8) Acountability (9)
Stategic Vision.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, kalau desentralisasi untuk
menggambarkan transfer kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, maka konsepsi good governance adalah untuk menjelaskan bagaimana
transfer kewenangan dari sektor pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat
diberikan kewenangan untuk ikut serta dalam proses-proses pembangunan
(Thoha, 2003 Hal 61), (Prasojo, 2005 Hal 123).
2.4.4. People Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) dalam
Pembangunan
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan masyarakat terutama dalam
menghadapi persoalan kemiskinan sangat menuntut perhatian yang lebih khusus,
kalau tidak demikian masyarakat miskin akan senantiasa berada dalam posisi sulit
pada setiap proses pembangunan. Penanganan khusus ini bukan berarti charity
atau program-program pemberian yang malah membuat masyarakat makin
tergantung, akan tetapi haruslah dilakukan secara terencana, berkesinambungan
melalui pemahaman karakter kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam penanganan ini partisipasi masyarakat bukan hanya meningkatkan
emansipasi ekonomi dan politik tetapi menjadi wahana transformasi budaya,
30
sehingga masyarakat memiliki keyakinan atas kemampuan dirinya. Hareuman
(1997), melihat permasalahan pembangunan masyarakat senantiasa berhubungan
dengan ketimpangan partisipasi ketenaga kerjaan (employment gap), ketimpangan
akses dan kesempatan terhadap faktor produksi (homogenity gap), dan
ketimpangan informasi yang berkaitan dengan pasar (information gap)
(Hareuman, 1997 hal 36). Ketiga ketimpangan itulah yang kemudian
menimbulkan berbagai permasalahan yaitu kemiskinan, kesenjangan, kegagalan
transpormasi dan merosotnya kelembagaan lokal masyarakat (social capital).
Tujuan utama memberdayakan masyarakat adalah agar masyarakat mampu
dalam mengikuti proses pembangunan. Chambers (1995), mengatakan
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan yang merangkum
nilai-nilai sosial, mencerminkan paradigma baru pemangunan yaitu bersifat
people centered, participatory, empowering, and sustainable. Proses
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu (1) kecenderungan primer
yaitu pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian keuasaan, keuatan atau kemampuan kepada masyarakat
agar individu menjadi lebih berdaya, (2) kecenderungan sekunder yaitu
pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau
meotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menetukan apa yang menjadi pilihan hidupnya (Prijono, 1996). Hal ini
mengekspresikan perlunya Civil Society yang kuat, dan menjadi elemen penting
untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, dan membuat demokrasi bekerja
mewujudkan pembangunan masyarakat. Menurut UMP (2001) semakin banyak
31
grup/forum non government stakeholder (NGS) yang berpartisipasi, semakin
sukses good governance yang dijalankan. Dengan civil society dapat menguatkan
artikulasi kepentingan masyarakat berhadapan dengan institusi pemerintah. Civil
society yang kuat adalah institusi sosial yang berakar dalam masyarakat yang
mampu untuk melawan kontrol yang merugikan mereka termasuk yang dilakukan
oleh pemerintah.
2.4.5. Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan
Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan
pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praksis
(praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang
banyak atau publik (Nugroho & Dahuri, 2004). Karena berlandaskan ilmiah, maka
perencanaan pembangunan haruslah tetap mempertahankan dan bahkan
meningkatkan validitas keilmuan (scientific validity) dan relevansi kebijakannya.
Didorong oleh motif ini, perencanaan pembangunan mengalami perkembangan
yang cukup dinamis baik secara teoritik maupun paradigmatik. Perkembangan itu
dapat dilihat sebagai berikut:
32
Tabel 2.2.
Perbandingan Kharakter Paradigma Pembangunan
Kharakter Paradigma
Pertumbuhan
(growth)
Kebutuhan Pokok
(basic needs)
Humanis
(People centred dev.)
Fokus
Peran Pemerintah
Sumber Utama
Struktur Adm.
(Birokrasi)
Proses Perencanaan
Partisipasi
Kendala
Industri
Enterpreneur
Modal
Vertikal
Sentral
Objek
Marginalisasi
Pelayanan
Service provider
Anggaran/Administratif
Vertikal
Sentral/Desentral
Objek
Keterbatasan Anggaran
Manusia
Enabler/facilitator
Kreatifitas/komitmen
Horizontal
Desentral (Bottom up)
Partisipatif subjek
Struktur dan prosedur attitude
perlu dirubah.
Sumber: Modifikasi dari (Moeljarto, 2004, hal 41)
33
2.5. Model Kerangka Proses Berfikir
Dari uraian landasan teoritis yang telah diuraikan secara sederhana hubungan
keterkaitan antara desentralisasi dengan pembangunan masyarakat wilayah pesisir
secara berkelanjutan dapat digambarkan secara berikut:
Gambar 2.2.
Kerangka Fikir Hubungan Desentralisasi
Dan Pembangunan Masyarakat Berkelanjutan
Desentralisasi
Otonomi
Daerah
Pembangunan Masyarakat
Wilayah Pesisir Berkelanjutan
Good Governance (GG)
Perencanaan Partisipatif
(PP)
Pemberdayaan Civil
Society (PCS) / Pengemb.
Kondisi Ekternal Desentralisasi (KEDP)
Hubungan dengan pemerintah yang lebih
34
2.6. Kerangka Konseptual
Otonomi daerah adalah perwujudan desentralisasi yaitu yang merupakan
penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
hal ini Pemerintah Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, untuk mengatur
dan mengurusi urusan rumah tangganya, mulai dari kebijakan perencanaan,
implementasi dan evaluasi di berbagai bidang seperti: keuangan, kepegawaian,
kelembagaan untuk mewujudkan pelayanan dan demokrasi.
Dari konsep organisasi dan manajemen hakikat desentralisasi dan otonomi
daerah adalah efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu faktor
kesiapan otonomi daerah yang tercermin dari kesiapan birokrasi (X1),
desentralisasi kebijakan (X2), kesiapan aparatur (X3), dapat dipandang sebagai
faktor utama untuk menggerakkan otonomi yang responsif, cepat, efektif, inovatif
terhadap tuntutan masyarakat yang selalu berubah dan kompleks melalui active
administration. Wujud penyelenggaraan otonomi daerah seperti itu akan
menciptakan Good Governance (X4); perencanaan partisipatif (X5),
pemberdayaan masyarakat (X6), secara sinergis mempengaruhi pembangunan
masyarakat wilayah pesisir (Y).
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilaksanakan, selain asas desentralisasi dilaksanakan dengan
asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan (medebewind). Asas desentralisasi secara
utuh dilaksanakan di daerah dan kota. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan
pada daerah provinsi, sedang asas tugas perbantuan dapat di laksanakan di daerah
provinsi, kabupaten kota dan desa. Oleh karena itu kondisi eksternal dalam hal ini
hubungan p`emerintah daerah kabupaten dengan pemerintah yang lebih tinggi
(X7), sudah barang tentu tidak dapat di abaikan. Secara bersama-sama dengan X4,
X5, X6, mempengaruhi keberhasilan Y.
35
Keterangan :
= Variabel Eksogen atau Variabel X; Kesiapan Birokrasi (X1),
Desentralisasi Kebijakan (X2) dan Kesiapan Aparatur (X3).
= Varabel Endogen terdiri dari variabel Good Governance
(X4), Variabel Perencanaan Partisipatif (X5), Variabel
Pembangunan Masyarakat
Wilayah Pesisir Berkelanjutan
(PMWP)
Variabel X4
Good Governance (GG)
Variabel X5
Perencanaan Partisipatif
Variabel X6
Pemberdayaan Civil Society (PCS)
/ Pengemb kelembagaan
Budaya
Participation
Rule of law
Transparancy
Concencus orientation
Acountability
Strategic vision
Kemandirian
Aspiratif
Otorisasi
Keterlibatan
Kelembagaan
Otonom/ mandiri
Akses masyarakat
Solidaritas
Toleransi
- Pendapatan
- Keadaan Sosial Ekonomi
- Sarana prasarana Sektor Pesisir - Pemerataan
- Kelestarian Lingkungan
Variabel X7
Kondisi Ekternal Desentralisasi (KEDP)
Hubungan dengan pemerintah yang lebih tinggi
Administrasi
Kebijakan
Keuangan
Responsiveness Equity
Effectiveness and efficiency
Kreatifitas
Perilaku
Kerjasama
KESIAPAN BIROKRASI
DESENTRALI
SASI
KEBIJAKAN
(X2)
KESIAPAN
APARATUR
Gambar 2.3.
Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Desentralisasi
Dan Pembangunan Masyarakat Pesisir
36
Pemberdayaan Civil Society (X6) dan Variabel Kondisi
Ekternal (X7).
= Variabel Endogen Utama yaitu Variabel Y.
= Dimensi/ Indikator yang dianalisis melalui pendekatan
kualitatif.
Dari diagram di atas dapat dilihat model hubungan antar variabel melalui
arah-arah panah dengan dimensi atau indikator masing-masing. Pada tiap kotak
terdapat klasifikasi dimensi/indikator dalam hal ini dimensi/ indikator warna putih
(tidak berwarna) adalah dimensi/ indikator yang termasuk dalam penelitian namun
tidak dianalisis dengan pendekatan kuantitatif melainkan dengan pendekatan
kualitatif.
2.7. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka
hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui : Kepemerintahan yang baik (GG),
Perencanaan Partisipatif(PP), Kekokohan Masyarakat Sipil (PCS),dan
Kondisi Eksternal Desentralisasi (KEDP), mempengaruhi Pembangunan
Masyarakat Wilayah Pesisir.
2. Ada pengaruh signifikan antara otonomi daerah terhadap Good
Governance (kepemerintahan yang baik), perencanaan partisipatif dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Ada pengaruh yang signifikan antara Good Governance, Perencanaan
Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pembangunan
Masyarakat Pesisir.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Adapun Kajian Penelitian Peranan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
dalam Pengembangan Masyarakat Wilayah Pesisir dilakukan dengan metode
deskriptif dengan pendekatan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif yang
akan mengkaji Peranan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanaan
pembangunan khususnya pengembangan masyaraat di wilayah pesisir Sumatera
Utara
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara
khususnya di wilayah Pesisir di Pantai Timur Sumatera Utara, yakni Kabupaten
Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini terdiri dari masyarakat pesisir di wilayah pesisir
Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai
serta instansi pemerintah dan aparatur yang terkait dengan masalah penelitian.
Masyarakat pesisir dalam hal ini adalah masyarakat yang berdiam pada wilayah
pesisir ditandai dengan adanya interaksi faktor-faktor sosial, ekonomi dan
lingkungan seperti; masyarakat nelayan, interaksinya dengan sumber daya pesisir
dan laut dan ketergantungannya dengan musim; petani/petambak yang juga
38
dipengaruhi oleh karakteristik wilayah, seperti juga pada masyarakat lainnya
antara lain pedagang, industri, dan lain-lain.
Atas dasar pendekatan ini dapat ditetapkan jumlah sampel sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Distribusi Sampel Menurut Data, Lokasi/ Lembaga
DATA LOKASI SAMPEL
LOKASI/LEMBAGA RESPONDEN Teknik Sampel
1. Persepsi
Masyarakat
pesisir Pemkab Langkat, Deli Serdang dan
Serdang Bedagai
1. Desa (1 desa tiap
kecamatan).
2. 36 LSM
160 orang (10
Orang masy- arakat
pesisir tiap desa)
36 Orang
Area Cluster
Sampling
dan
Proportionate
2. Kesiapan
Aparatur dan
Birokrasi
Pemkab Langkat,
Deli Serdang dan
Serdang Bedagai
1. Kecamatan
2. desa
3. DPRD
4. Dinas Perikanan & Kelautan
5. Dinas Terkait
6. Bappeda dan Sekda
8 orang
16 orang
7 orang
5 orang
12 orang
6 orang
Jumlah=50 org
Proportionate
Stratified Random Sampling
dan
Purposive Sampling
3. Pengaruh Eksternal
1. Pemkab Langkat Deli
Serdang dan
Serdang
Bedagai
2. Dinas Kelautan
dan Perikanan
Pemprovsu
3. BPS
SDA
1 orang
1 orang
Purposive Sampling
JUMLAH RESPONDEN 248 Responden
Sumber: Penelitian, 2007
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Sumber Data
1. Sumber data yang akan digunakan adalah “3P” yaitu Person, Place and
Paper, yang dimaksud.
1) Person adalah pamong praja. Bupati, Kadis, Camat, Kades dan
masyarakat pesisir.
2) Place adalah wilayah pesisir kabupaten Langkat yang terdiri dari 8
kecamatan pesisir atau 16 desa pesisirnya.
39
3) Paper adalah sumber data dokumen untuk melengkapi dan
mengarahkan data primer
3.4.2. Metode Pengumpulan Data
1) Wawancara
2) Kuesioner yaitu daftar pertanyaan yang disusun dengan
menggunakan 5 kategori jawaban (likert scale).
3.5. Teknik analisis data :
1) Metode analisis yang digunakan dalam penelitian menggunakan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif lebih untuk
mendukung proses berfikir rasional. Sedangkan Pendekatan kualitatif
digunakan untuk memahami kompleksitas sistem dan untuk mendukung
proses berfikir intuitif-dialogis.
2) Analisis data kuantitatif dilakukan dengan bantuan komputer SPSS Versi
12,0. Data primer yang diperoleh dari kuesioner (ordinal) diolah serta
dikonversi menjadi data interval, sebagai persyaratan jenis data dalam
analisis regresi dengan menggunakan methode of succesive interval
(MSI).
3) Model teknik analisis data yang digunakan adalah; Analisis deskriptif,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan Analisis Statistika Regresi
Ganda dan Analisis Jalur (path analysis).
40
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Langkat
Menurut sejarah, Langkat dahulunya merupakan sebuah kesultanan
Melayu di pulau Sumatera, yang berdiri tanggal 17 Januari 1750 yang masih
diperingati setiap tahun sampai dengan saat ini. Kabupaten Langkat adalah salah
satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kawasan pesisir yang
terletak di pantai timur Pulau Sumatera dan perairan Selat Malaka. Kabupaten
Langkat terletak pada koordinat 30-14` sampai 4
0-13` Lintang Utara serta 97
0-52`
sampai 980-45` Bujur Timur, dengan letak ketinggian 0-300 meter di atas
permukaan laut dengan ibukota kabupaten sejak 1981 terletak di Stabat
(sebelumnya ibukota Kabupaten Langkat berada di Binjai, dan sejak tahun 1981,
Binjai telah berdiri sendiri menjadi Pemerintah Kota). Luas wilayah Kabupaten
Langkat adalah 6.263 km2 atau 626.329 Ha, terdiri dari 20 kecamatan, 210 desa,
dan 34 kelurahan dengan jumlah penduduk 926.069. jiwa (data statistik 2002),
yang terdiri dari suku Melayu sebagai penduduk asli (Host Population) dan suku-
suku lain seperti Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Banjar, Minang dan
Masyarakat keturunan Tionghoa, Arab dan India. Mayoritas penduduk di
Kabupaten Langkat beragama Islam (86,97%) dan selebihnya beragama Kristen
Protestan (7,18%), Katholik (2,22%), Hindu (0,18%), Budha (1,48%), dan aliran
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1,97%), meskipun terdiri dari
berbagai latar belakang sosial dan agama yang berbeda, kerukunan hidup antar
41
ummat beragama tetap terpelihara dengan baik selama ini. Gambaran penduduk
Kabupaten Langkat menurut usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1.
Penduduk Kabupaten Langkat Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin
No. Golongan
Usia
Jenis Kelamin Jumlah
(Jiwa) Laki-laki Perempuan
1.
2.
3.
0-14 Tahun
14-49 tahun
50 Tahun
178.886
240.734
47.056
171.489
243.082
44.842
350.375
483.816
91.898
Jumlah 466.656 (50,39%) 459.413 (49,61%) 926.069 (100%)
Sumber: BPS Kabupaten Langkat, 2002.
Secara Geografis dan admininstratif wilayah Kabupaten Langkat
berbatasan dengan:
1. Di sebelah Utara: Selat Malaka serta Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh
timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Di sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo.
3. Di sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang
4. Dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nanggroe
Aceh Darusalam.
Kondisi fisik kabupaten Langkat:
a. Topografi:
Pesisir Pantai : 0-4 meter di atas permukaan laut
Dataran rendah : 0-30 meter di atas permukaan laut
Dataran Tinggi : 3- 1.200 meter di atas permukaan laut
b. Iklim : Tropis
Suhu rata-rata : 280
C
Curah hujan rata-rata : 3.268 mm/tahun
42
Hari hujan rata-rata : 112-168 hari/tahun.
Potensi ekonomi masyarakat yang utama adalah di bidang pertanian,
perkebunan, peternakan, perdagangan, industri dan usaha berskala kecil dan
menengah, sektor jasa dan pariwisata serta perikanan dan kelautan. Selain itu,
Kabupaten Langkat juga memiliki kawasan hutan hujan tropis di Taman Nasional
Gunung Leuser yang membentang sampai ke Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam
yang merupakan paru-paru dunia sekaligus habitat bagi hewan dan tumbuhan
yang dilindungi yang secara administratif berada di Kecamatan Bahorok dan
Kecamatan Batang Serangan.
Dalam melaksanakan pembangunan khususnya dalam era otonomi dan
desentralisasi sekarang ini, Pemerintah Kabupaten Langkat memiliki visi
“Terwujudnya masyarakat Langkat yang maju dan sejahtera” dan misi
antara lain:
1. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
Governance).
2. Mewujudkan kehidupan sosial, budaya politik yang sehat, stabil dan
demokratis.
3. Meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan daerah yang
berwawasan lingkungan.
4. Meningkatkan pemanfaatan seluruh sumber daya daerah menuju
ekonomi kerakyatan.
43
Gambar 4.1.
Peta Kabupaten Langkat
Sumber: Microsoft Encarta, 2008
Gambar 4.2.
Peta Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Langkat
Sumber: Microsoft Encarta, 2008
44
Tabel 4.2.
Wilayah Pembangunan dan Administrasi Kabupaten Langkat
Wilayah
Pembangunan Kecamatan Ibukota Jumlah Luas wilayah
(Ha) Desa Kel
Wilayah I
(Langkat Hulu)
Wilayah II
(Langkat Hilir)
Wilayah III
(Teluk Aru)
1. Bahorok
2. Salapian
3. Kuala
4. Sei Bingai
5. Selesai
6. Binjai
7. Stabat
8. Sei Wampu
9. Batang Serangan
10. Sawit Seberang
11. Padang Tualang
12. Hinai
13. Secanggang
14. Tanjung Pura
15. Gebang
16. Babalan
17. Sei Lepan
18. Brandan Barat
19. Pangkalan Susu
20. Besitang
Bahorok
Tanjung Langkat
Kuala
Namu Ukur
Selesai
Kuala Begumit
Stabat
Stabat Lama
Batang Serangan
Sawit Seberang
Tanjung Selamat
Tanjung Beringin
Hinai Kiri
Tanjung Pura
Gebang
Pangkalan
Brandan
Alur Dua
Tangkahan Durian
Pangkalan Susu
Besitang
19
21
16
14
12
6
6
12
6
4
8
11
14
17
8
4
4
8
6
6
1
1
1
1
1
1
4
1
1
1
1
1
1
1
1
4
2
3
5
1
102.398,8
50.710,7
34.290,8
20.626,7
15.757,2
6.865,5
10.681,4
19.196,5
69.160,2
33.552,7
28.887,5
10.929,5
23.951,4
17.376,3
17.521,3
12.790,8
28.294,1
12.983,2
29.990,6
77.825,5
Sumber: BPS Kabupaten Langkat 2008
Dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat, 8 kecamatan
diantaranya memilki kawasan pesisir karena sebagian wilayahnya berada di tepi
pantai, yaitu Besitang, Pangkalan Susu, Sei Lepan, Berandan Barat, Babalan,
Gebang, Tanjung Pura dan Secanggang. Hal ini menyebabkan Kabupaten Langkat
memiliki sumber daya potensial di bidang perikanan dan kelautan. Kondisi pantai
di Kabupaten Langkat sangat beragam, mulai dari pantai berpasir (putih dan
hitam) dan pantai berlumpur. Komoditas hasil laut unggulan daerah pesisir yang
ada di Kabupaten Langkat antara lain produk bahan segar seperti: ikan kerapu
lumpur, udang, kepiting sangkak (lembek), rajungan dan produk olahan seperti
45
terasi dan ikan asin yang tidak hanya dipasarkan di daerah Kabupaten Langkat
dan Provinsi Sumatera Utara tetapi juga diekspor ke luar negeri seperti Singapura,
Malaysia, Jepang Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa. Disamping itu
Kabupaten Langkat juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang sudah
dieksploitasi maupun yang masih merupakan potensi sumber daya masa depan
seperti minyak bumi dan gas di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Sei
Lepan yang merupakan tambang minyak tertua di Indonesia (Telaga Said di Sei
Lepan) yang telah beroperasi sejak masa kolonialisme Hindia Belanda yakni pada
tanggal 15 juni 1885, dan berdasarkan proyeksi diperkirakan terdapat pula deposit
Gas Alam Cair (LNG) potensial yang ada di Pulau Sembilan. Di Kecamatan
Bahorok dan Salapian terdapat deposit kapur untuk pembuatan semen yang cukup
besar dan potensial untuk di jadikan industri pabrik semen.
4.2. Kabupaten Deli Serdang.
Latar belakang sejarah berdirinya Kabupaten Deli Serdang hampir sama
dengan sejarah Kota Medan. Hal ini disebabkan bahwa Kabupaten Deli Serdang
merupakan penggabungan kesultanan Deli dan Serdang yang dahulunya berpusat
di Medan.
Secara administratif pusat pemerintahan dan ibukota Kabupaten Deli
Serdang berada di Lubuk Pakam. Luas wilayah kabupaten Deli Serdang adalah
2.498,2 km². Jumlah penduduknya adalah sekitar 2.000.000 jiwa. Rencana
Pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu sebagai pengganti Bandara
Polonia Medan yang telah tidak memungkinkan lagi untuk melayani padatnya
jadwal penerbangan, terletak di kabupaten ini.
46
4.2.1. Administrasi Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang terbagi atas 22 kecamatan, seperti yang tertera
dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3.
Kecamatan dan Ibukota Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang
No. Kecamatan Ibukota Luas Wilayah (Ha)
1. Gunung Meriah Gunung Meriah 7,665
2. STM Hulu Tiga Johor 22,338
3. Sibolangit Sibolangit 17,492
4. Kutalimbaru Kutalimbaru 17,996
5. Pancur Batu Pancur Batu 12,253
6. Namorambe Namorambe 6,230
7. Biru-Biru Biru-Biru 8,969
8. STM Hilir T. Kenas 19,050
9. Bangun Purba Bangun Purba 18,460
10. Galang Galang 18,727
11. Tanjung Morawa Tanjumg Morawa 13,175
12. Patumbak Patumbak 4,679
13. Deli Tua Deli Tua 0,936
14. Sunggal Sunggal 9,252
15. Hamparan Perak Hamparan Perak 23,015
16. Labuhan Deli Helvetia 12,723
17. Percut Sei Tuan Tembung 19,079
18. Batang Kuis Batang Kuis 4,034
19. Pantai Labu Pantai Labu 8,185
20. Beringin Karang Anyer 5,269
21. Lubuk Pakam Lubuk Pakam 3,119
22. Pagar Merbau Pagar Merbau 6,289
Luas Wilayah Kabupaten (Ha) 258,935
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2004
Kabupaten Deli Serdang memiliki perbatasan:
1) Di sebelah Utara dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka
2) Di sebelah Barat dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo
3) Di sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo, Kabupaten Serdang Bedagai
47
(pemekaran Deli Serdang) dan Kabupaten Simalungun.
4) Di sebelah Timur dengan Kabupaten Serdang Bedagai (pemekaran Deli
Serdang) dan Kabupaten Simalungun
Lokasi Kabupaten Deli Serdang sangat strategis karena mengelilingi Kota
Medan menjadikan Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah yang termasuk
dalam Konsep Kota Mebidang Metropolitan. Kondisi tersebut sangat strategis dan
memiliki berbagai keuntungan, yaitu Kabupaten Deli Serdang dapat menjadi
penyalur kebutuhan Kota Medan, penyedia bahan baku industri, penghasil produk
pertanian, kerajinan, jasa, tenaga kerja dan kawasan Industri yang dekat dengan
Kota Medan. Selain itu, penduduk yang berada di wilayah perbatasan dapat
menjadi peluang pasar bagi produk Kabupaten Deli Serdang.
Saat ini tengah dilaksanakan rencana Pembangunan Bandara Internasional
Kuala Namu sebagai pengganti Bandara Polonia Medan yang telah tidak
memungkinkan lagi untuk melayani padatnya jadwal penerbangan,
memungkinkan Kabupaten Deli Serdang menjadi satelit Kota Medan yang sangat
strategis
48
4.3. Kabupaten Serdang Bedagai
Gambar 4.3.
Lambang Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka, BPS, 2007
4.3.1. Dasar Hukum Pemekaran/Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai
Perjalanan panjang proses pemekaran Kabupaten Deli Serdang secara
hukum dimulai dari ditetapkannya Keputusan DPRD Kabupaten Deli Serdang
Nomor : 13/KP/Tahun 2002 tanggal 2 Agustus 2002 tentang Persetujuan
Pembentukan/Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya DPRD Propinsi
Sumatera Utara melalui keputusan Nomor : 18/KP/2002 tanggal 21 Agustus 2002
menetapkan Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli serdang.
DPRD Kabupaten Deli Serdang melalui Keputusan Nomor:
26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 menetapkan Persetujuan Usul Rencana
Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten
Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai
Kabupaten Pemekaran dengan ibukota Sei Rampah.
Pertimbangan nama Kabupaten Serdang Bedagai disasarkan pada sejarah
dimana wilayah ini dahulu berada dalam wilayah Kesultanan Serdang dan
Kesultanan Bedagai.
49
Menindaklanjuti Keputusan yang ada, Gubernur Sumatera Utara melalui
Surat Nomor : 136/6777 tanggal 30 Agustus 2002 meneruskan usul Pemekaran
Kabupaten Deli Serdang, Nias dan Toba Samosir kepada Menteri Dalam Negeri
di Jakarta.
Berdasarkan Persetujuan DPR RI, Presiden Republik Indonesia
menerbitkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara.
Tanggal 6 Januari 2004 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan
Nomor 131.21-26 Tahun 2004 tentang Pengangkatan Pejabat Bupati Serdang
Bedagai Propinsi Sumatera Utara dan Mengangkat Bapak Drs. Chairullah, S.IP,
M.AP sebagai Pejabat Bupati Serdang Bedagai.
Atas nama Menteri Dalam Negeri Tanggal 15 januari 2004 Gubernur
Sumatera Utara Bapak T. Rizal Nurdin melantik Bapak Drs. Chairullah, S.IP,
M.AP sebagai Pejabat Bupati Serdang Bedagai. Setelah Masa Transisi 1 (satu)
tahun diangkat kembali Pejabat Bupati Drs. H. Kasim Siyo, M.Si pada tanggal 3
Maret 2005 yang ditugaskan untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) secara langsung maka terpilihlah Ir. H. T. Erry Nuradi, MBA menjadi
Bupati Serdang Bedagai masa bakti 2004 – 2009.
Kabupaten Serdang Bedagai pada saat didirikan terdiri dari 11 kecamatan
sebagai berikut:
1. Kecamatan Kotarih
2. Kecamatan Dolok Masihul
3. Kecamatan Sipispis
50
4. Kecamatan Dolok Merawan
5. Kecamatan Tebing Tinggi
6. Kecamatan Bandar Khalipah
7. Kecamatan Tanjung Beringin
8. Kecamatan Sei Rampah
9. Kecamatan Teluk Mengkudu
10. Kecamatan Perbaungan
11. Kecamatan Pantai Cermin
Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2006 dan Perda No. 10 Tahun 2006 tanggal
17 Oktober 2006, Kabupaten Serdang Bedagai dimekarkan menjadi 17 kecamatan
sebagai berikut:
1. Kecamatan Kotarih
2. Kecamatan Dolok Masihul
3. Kecamatan Sipispis
4. Kecamatan Dolok Merawan
5. Kecamatan Tebing Tinggi
6. Kecamatan Bandar Khalipah
7. Kecamatan Tanjung Beringin
8. Kecamatan Sei Rampah
9. Kecamatan Teluk Mengkudu
10. Kecamatan Perbaungan
11. Kecamatan Pantai Cermin
12. Kecamatan Silinda
51
13. Kecamatan Bintang Bayu
14. Kecamatan Serbajadi
15. Kecamatan Tebing Syahbandar
16. Kecamatan Sei Bamban
17. Kecamatan Pegajahan
4.3.2. Letak Geografis dan Iklim
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada
di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang
Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33”
Bujur Timur, 99°27” Bujur Timur dengan ketinggian berkisar 0 – 500 meter di
atas permukaan laut.
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang
terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten
Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan
dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan
Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang.
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi
iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk.
Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembaban udara per bulan
sekitar 79 %, curah hujan berkisar antara 120 sampai dengan 331 mm perbulan
dengan periodik tertinggi pada bulan September 2006, hari hujan per bulan
berkisar 8-20 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Mei - Juni
52
2006. Rata-rata kecepatan angin berkisar 0,42 m/dt dengan tingkat penguapan
sekitar 3,9 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 22,2° C dan
maksimum 31,9° C.
Batas-batasnya/Boundary
a. Utara/North Selat Malaka
b. Selatan/South Kabupaten Simalungun
c. Barat / West Kabupaten Deli Serdang
d. Timur/East Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Simalungun
Gambar 4.4
Peta Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber : Badan Pusat Statsitik Kabupaten Serdang Bedagai, 2007
Pantai Cermin
Perbaun gan
Kec. Panta i Cermin
Kec. Perb aun gan
Kec. Dolo kma sihul
Dolokmasihul
Kec. Sipispis
Kec. Dolo kme rawan
Dolokmerawa nSip isp is
Kec. Teb ing Ting gi
Tebing Tin ggi
KODYA TEBING T INGGI
Bandarka lipah
Kec. Tanjun g Beri ngin
Tanjung Ber in gin
Sei Rampah
Kec. Sei Rampah
Kec. Tel ukme ngku du
Sia la ng Buah
Kec. Gala ng
Kec. Kot arih
Kotarih
Kec. Ban gun Pu rba
Kec. Sipispis
SELAT MALAKA
KAMPUNG
HUTAN SEJENIS
SAWAH 2–-- PADI
PERKEBUNAN RAKYAT
KEBUN CAMPURAN
DANAU/SITU/TELAGA
SUNGAI
BATAS KECAMATAN
BATAS KABUPATEN/KOTAMADYA
JALAN ASPAL
JALAN BEBATU
JALAN TANAH
IBUKOTA KECAMATAN
KETERANGAN :
KERETA API
U
S
B T
SKALA 1 : 20000
KAB. SIMALUNGUN
KE KISARAN
KE P
EM
AT AN
G S
IANTA
R
KE DELI SERDAN
G
53
Grafik 4.1.
Luas Wilayah menurut Kecamatan
78,024
56,740
95,586
237,417
50,690
145,259
120,600
182,291
120,297
116,000
74,170
198,900
72,260
66,950
111,620
93,120
80,296
0,000 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000
Kotarih
Silinda
Bintang Bayu
Dolok Masihul
Serbajadi
Sipispis
Dolok Merawan
Tebing Tinggi
Tebing Syahbandar
Bandar Khalipah
Tanjung Beringin
Sei Rampah
Sei Bamban
Teluk Mengkudu
Perbaungan
Pegajahan
Pantai Cermin
Sumber : Badan Pusat Statsitik Kabupaten Serdang Bedagai, 2007
54
Tabel 4.4.
Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kabupaten Serdang Bedagai
menurut Kecamatan
KECAMATAN
District
Luas / Area
(Km2)
Rasio terhadap Luas Total
Ratio on Total
(%)
(1) (2) (3)
01. Kotarih 78,024 4,11
02. Silinda 56,740 2,99
03. Bintang Bayu 95,586 5,03
04. Dolok Masihul 237,417 12,49
05. Serbajadi 50,690 2,67
06. Sipispis 145,259 7,64
07. Dolok Merawan 120,600 6,35
08. Tebing Tinggi 182,291 9,59
09. Tebing Syahbandar 120,297 6,33
10. Bandar Khalipah 116,000 6,10
11. Tanjung Beringin 74,170 3,90
12. Sei Rampah 198,900 10,47
13. Sei Bamban 72,260 3,80
14. Teluk Mengkudu 66,950 3,52
15. Perbaungan 111,620 5,87
16. Pegajahan 93,120 4,90
17. Pantai Cermin 80,296 4,23
Jumlah / Total 1.900,220 100,00
Sumber : Bagian Pemerintahan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai, 2007
55
4.3.3. Administrasi
a. Pemerintahan
Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 kecamatan
dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah
desa/kelurahan adalah kecamatan Perbaungan dan Dolok Masihul yaitu sebanyak
28 desa/kelurahan dan kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya
adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten
Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama
dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Melayu sebagai penduduk asli, Karo,
Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain.
b. DPRD
Pemilihan umum tahun 2004 menghasilkan 45 orang anggota DPRD
Kabupaten Serdang Bedagai yang terdiri dari 10 orang dari fraksi Golkar, 9 orang
dari fraksi PDIP, 5 orang dari fraksi PPP, 5 orang dari fraksi PAN, 3 orang dari
fraksi PKS, 2 orang masing-masing dari fraksi PBB, Demokrat, PBR dan fraksi
PDS, serta 1 orang masing-masing dari fraksi Patriot Pancasila, PIB, PNBK, PKPI
dan fraksi PKB.
c. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Jumlah PNS Otonomi daerah di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak
6.418 orang. Jika dirinci menurut golongan, sebagian besar merupakan golongan
III yaitu sebesar 64,93 persen dan yang terkecil adalah golongan I yaitu sebesar
1,32 persen. Dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar adalah tamatan
SLTA dan S1 (Sarjana).
56
d. Keamanan rakyat
Dalam mewujudkan keamanan rakyat semesta di wilayah Serdang Bedagai
telah dilakukan serangkaian pembinaan di dalam satuan masyarakat diantaranya
satuan Pertahanan sipil (Hansip), Perlawanan Rakyat (Wanra), dan Keamanan
Rakyat (Kamra) yang berjumlah sekitar 5.452 personil yang tersebar di seluruh
desa dan kecamatan dengan rincian 2.568 personil hansip, 1.455 personil Wanra,
dan 1.429 personil Kamra yang terlatih.
57
DAFTAR PUSTAKA
Abipraja, Soedjono, 2002, Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Konsep
Model, Kebijaksanaan, Instrumen Serta Strategi.
Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogjakarta.
Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Arndt, H. W, 1980, Pembangunan dan Pemerataan; Indonesia di Masa Orde
Baru, LP3ES, Jakarta.
Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah, PT. BPFE, Yogyakarta.
Basri, Faisal H, 2003, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan harkat
Bangsa, Jakarta.
Bardach, Eugene, 1979, The Implementation Game: What Happens After a Bill
Becomes a Law, MIT-Press, Cambridge.
,1980, Implementation Studies and The Study of Implements, American
Political Science Association, Washington.
Bengen, Dietrech, 2004, Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
Berbasis Eko-Sosial Sistem, Pusat Pembelajaran, Makasar.
Blau, Peter M, 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern (Edisi Indonesia), UI-
Press, Jakarta.
Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Cernea, Michael M, 1988, Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan
(Edisi Indonesia), UI Press, Jakarta.
Cohen dan Uphoff, 1977, Rural Development Participation; Concept and
Measurement for Project Design Implementation, and Evaluation, Cornell
University, New York.
Dewanta, Awangta Setya dkk, 1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,
Aditya Media.
58
Dye, Thomas, R. 1981, Understanding Public Policy, (fourth edition), Prentice
Hall Inc, USA.
Effendi, Sofyan, Pelayanan Publik, Pemerataan dan Administrasi Negara Baru,
Prisma No. 12, 1986.
Edwards III, George C, 1980, Implementating Public Policy, Congressional
Quartely, USA.
Eka, Chandra, Dkk, 2003, Membangun Forum Warga, Akatiga.
Faza, Soraya, 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Frank, Andre, Gunder, 1984, Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan
Sosiologi (Kata Pengantar Arief Budiman), Pustaka Pulsar, Indonesia.
Freire Paulo, 1985. Pendidikan Kaum Tertindas (edisi Indonesia), LP3ES,
Jakarta.
Gunawan, Jamil, Dkk, 2005, Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal,
LP3ES, Jakarta.
Hariyoso, S, H, 2002, Pembaruan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik,
Peradaban, Bandung.
Haris, Syamsudin, 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI-Press, Jakarta.
Henry, Nicholas, 1980, Public Administration and Public Affairs (second edition),
Prentice-Hall, Inc, USA.
Hidayat, Syaraif, Dkk, 2001, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pustaka Quantum,
Jakarta.
Hossein, Bhenjamin dkk, 2005, Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, FISIP UI, Jakarta
Hunneryager, S.G. dan Heckman, 1987. Human Relation in Management. Sourth
Western, New York.
Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, 1976. No Easy Choise; Political
Participation in Developing Countries, Harvard University Press, USA.
Ibrahim, Amin, 2004, Pokok-pokok Analisis Kebijakan Publik, Mandar Maju,
Bandung.
Imawan Riswanda, 2002, Hakekat Desentralisasi, Makalah Seminar.
59
Indradi, Syamsiar Syamsudin, 2006, Mewirausahakan Birokrasi Untuk
Mensejahterkan Masyarakat, Brawijaya Press, Malang.
Ire, 2003, Pembaharuan Pemerintah Desa, Ire Pres.yogyakarta
Islamy, M Irfan, 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat dalam
Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah.
Jaka, 2002, Masyarakat Pinggiran Yang Kian Terlupakan, Khopalindo, Jakarta
Juliantara, dkk, 2006, Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan dan Praksys, Pondok
Edukasi, Bantul
Kabul, Arid, 2006, Implementasi Kebijakan Publik dalam Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir, Humas Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Jakarta.
Karim, Abdul, Dkk, 2003, Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogjakarta.
Keban, Yeremias T, 2004, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Gava
Media, Yogyakarta.
Kotter, John P, 1997, Leading Change, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Korten, D.C. & Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan (Edisi
Indonesia), Yayasan Obor, Jakarta.
, 1984, Pembangunan Yang Memihak Rakyat; Kupasan Tentang Teori dan
Metode Pembangunan, LSP, Jakarta.
_____, 2002, Menuju Abad Ke-21, Tindakan Suka Rela dan Agenda Global,
Yayasan Obor, Jakarta.
Kunarjo, 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, UI-
Press, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga,
Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta
Miraza, Bachtiar Hassan, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, ESEI,
Bandung.
Mochtar, MS Hilwy, 2005, Politik Lokal dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
60
Muluk, Khairul, 2007, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan
Daerah, FIA Unibraw, Malang
_____________, 2006, Desentalisasi Pemerintahan Daerah, Bayu Media,
Malang.
Nasution, M. Arif, 2006, Ekonomi Pinggiran Dinamika Konseptual Sektor
Informal di Perkotaan, USU Press. Medan.
Nordholt, Nico Schulte, 1987, Ojo Dumeh; Kepemimpinan Lokal Dalam
Pembangunan, Sh, Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Roehim, Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah Prespektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta.
Nugroho, Riant, 2002. Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Alex Media, Jakarta
Pranoto, Aris Kabul, 2006, Implementasi Kebijkan Publik Dalam Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir, Humas Ditjen BP3K.
Prasojo, Eko, 2005. Demokrasi di Negeri Mimpi, Departemen Ilmu Administrasi
FISIP-UI. Jakarta.
Purwanto, Agus E, Dkk, 2007, Metode Penelitian Kuantitaif Untuk Administrasi
Publik dan Masalah-Masalah Sosial, Penerbit Gava Media, Yogjakarta.
Rachbini, Didik, J, 2001. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi,
Grasindo, Jakarta.
Ramli, 2006, Pengkajian Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap
Degradasi Hutan Bakau, Pustaka Bangsa Press, Medan.
Ridwan, Kuncoro, 2006, Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur,
Alfabeta, Bandung
Rudito, Bambang, Dkk, 2003. Akses Peran Serta Masyarakat, ICSD, Jakarta.
Saadah, Dkk, 2004, Dampak Pariwisata Terhadap Pola Pemukiman Penduduk
Cipanas-Garut, Jawa Barat, Depdiknas, Jakarta.
Sajogyo, 1982, Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yayasan Agro Ekonomika,
Bogor.
Sarundajang, 1997, Pemerintah Daerah di Berbagai Negara, Sinar Harapan,
Jakarta.
61
Sasono, Adi., Arif, Sritua., 1981, Ketergantungan dan Keterbelakangan, Sinar
Harapan, Jakarta.
Sugiono, 1992, Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta, Bandung.
----------, 2004, Statistik Nonparametris, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Suryono, Agus, 2006, Ekonomi Politik Pembangunan dalam Perspektif Ilmu
Sosial, Unibraw Malang.
Suyanto, Bagong, dan Sutinah, 2005. Metode Penelitian Sosial, Prenada Media,
Jakarta.
Sutanto, Jusuf, Dkk, 2006, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Tangkilisan, Nagi, S, 2005. Manajemen Publik, Grasindo, Jakarta.
Thoha, Miftach, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Grafindo, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2003. Pembangunan Dilema dan Tantangan, Pustaka
Pelajar, Jakarta.
,1981. Metodologi Penelitian, Lembaga Pendidikan Doktor UGM.
__,1987. Strategi Pembangunan Desa, Simposium Sehari, Dies Natalis
Universitas Slamet Riyadi, Surakarta.
Tjokroamidjojo, 1987. Perencanaan Pembangunan, CV Mas Agung, Jakarta.
Todaro, Michael, P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi
Indonesia), Ghalia Indonesia.
Triyono, Urip, 2003, Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk Menunjang
Pembangunan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan, Desertasi IPB, Bogor.
Wahab, Solichin, 1999, Ekoomi Politik Pembangunan, Brawijaya University
Press, Malang.
Wijaya, Mahendra, 2001, Prospek Indutrialisasi Pedesaan, Pustaka Cakra
Surakarta, Surakarta.
Winarno, Budi, 2003, Komparasi Organisasi Pedesaan Dalam Pembangunan
Indonesia Vis-a-vis Taiwan, Thailand, dan Philipina, Presindo, Yogjakarta.
62
______, 2004, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam
Pembangunan, Tajidu Press, Yogyakarta.
Winarso, Pardono, Haryo, Dkk, 2002. Pemikiran dan Praktek Perencanaan,
Dalam Era Transformasi di Indonesia, Departemen Teknik Planologi ITB,
Bandung.
Wiratha, I Made, 2005, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Andi. Yogyakarta
BPS (Badan Pusat Statistik), 2006, Sumatera Utara Dalam Angka, Katalog BPS,
Medan.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Langkat, 2006, Kabupaten Langkat
Dalam Angka.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Langkat, 2006, Kecamatan Dalam Angka.
BPS Kabupaten Langkat, 2006, PDRB Kabupaten Langkat