Upload
danganh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kertas kerja EPISTEMA No. 04/2012
Petak Danum Itah Ditentukan oleh
Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA):
Merekam Jejak “Iventarisasi Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat di atas Tanah”
di Kelurahan Kalawa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Aryo Nugroho Waluyo
2012
1
Tentang Kertas Kerja Epistema
Paper‐paper dalam seri ini pada umumnya adalah dokumen sementara dari hasil‐hasil
penelitian yang dilakukan oleh staff, research fellow dan mitra EPISTEMA. Seri ini berisikan
paper‐paper yang mendiskusikan filsafat dan teori hukum, kerangka hukum dan kajian
sosio‐legal terhadap hak‐hak masyarakat adat dan komunitas lain atas tanah dan sumber
daya alam termasuk dalam konteks kebijakan dan proyek perubahan iklim.
Saran pengutipan:
Waluyo, Aryo Nugroho. Petak Danum Itah Ditentukan oleh Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA), Kertas Kerja Epistema No.04/2012, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/petak‐danum‐itah/).
EPISTEMA Institute memegang hak cipta atas seri kertas kerja ini. Penyebarluasan dan
penggandaan diperkenankan untuk tujuan pendidikan dan untuk mendukung gerakan
sosial, sepanjang tidak digunakan untuk tujuan komersial.
Paper‐paper dalam seri ini menggambarkan pandangan pribadi pengarang, bukan
pandangan dan kebijakan EPISTEMA Institute. Para pengarang bertanggung jawab terhadap
isi paper. Komentar terhadap paper ini dapat dikirim melalui [email protected].
Penata letak : Andi Sandhi
Epistema Institute
Jalan Jati Mulya IV No.23
Jakarta 12540
Telepon : 021‐78832167
Faksimile : 021‐7823957
E‐mail : [email protected]
Website : www.epistema.or.id
2
Petak Danum Itah Ditentukan oleh Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA):
Merekam Jejak “Iventarisasi Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat di atas Tanah”
di Kelurahan Kalawa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Aryo Nugroho Waluyo
(Staf Pengorganisasian Rakyat, Walhi Kalteng)
I. Pendahuluan
Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas ketiga setelah Provinsi Papua dan Provinsi
Kalimantan Timur dengan luas wilayah 153.564 kilometer persegi. Dari luas wilayah itu, 69,9%
diantaranya masih berupa hutan (10.735.935 hektar).1 Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan
Tengah adalah 2.212.599 Dengan rata‐tara tingkat kepadatan penduduk 14 orang per km2 (Sensus
Penduduk 2010). Tingkat kepadatan penduduk berbeda satu sama lain. Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kapuas dan Kotawaringin Barat merupakan tiga kabupaten yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak. Meskipun demikian, Kota Palangka Raya yang merupakan ibukota provinsi adalah daerah
yang tingkat kepadatan penduduk paling tinggi yakni 82 orang per km2. Sedangkan Kabupaten
Pulang Pisau sebagai kabupaten baru hasil pemekaran tidak termasuk sebagai kabupaten dengan
tingkat kepadatan penduduk tinggi (BKKBN KALTENG 2011).
Wilayah yang luas dan sebaran penduduk yang tidak padat belum tentu menjamin
pendistribusian tanah yang merata dan mengurangi konflik pertanahan yang ada di Provinsi
Kalimantan Tengah. Masalah‐masalah konflik pertanahan tetap saja muncul sebagai kelanjutan dari
konflik yang diwarisi sejak Orde Baru yang menerapkan politik pembangunannya yang menguras
buas (l’exploitation sauvage) sumber daya alam Kalimantan Tengah. Persoalan itu kemudian
dilanjutkan dengan politik pembangunan pemerintah sekarang yang merangsang masuknya investor
untuk pertambangan ataupun perkebunan yang semakin menjadikan masalah pertanahan sebagai
masalah krusial (Kusni, 2009). Hal itu dibuktikan dengan data Walhi Kalimantan dalam rangka
Evaluasi Kerja Empat Tahun Gubernur‐Wakil Gubernur Kalimantan Tengah (Teras‐Diran):
“Dari total wilayah dataran Kalteng seluas 15.356.800 hektar, 80% di antaranya telah berada dalam kontrol investor dan pihak asing. Sisanya diperuntukkan bagi kawasan konservasi (hutan lindung dan taman nasional). Penguasaan tanah sebesar‐besarnya oleh investor merupakan ancaman jangka panjang bagi masyarakat, mereka terancam menjadi landless dengan resiko kemiskinan absolut” (Santoso dan Lay , 2009:69‐70)”.
1 Jakarta: Epistema Institute http://epistema.or.id/publikasi/working-paper/145-konsep-hak-hak-atas-karbon.html
3
Sedangkan menurut data dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Daerah Kalimantan Tengah,
konflik sengketa tanah di provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai ini selama 2011 mencapai 275
kasus. Jumlah itu berdasarkan berkas laporan masyarakat yang disampaikan langsung ke BPN. Dari
total jumlah tersebut, BPN hanya mampu menyelesaikan 68 kasus. Sedangkan sisanya sebanyak 207
kasus masih belum diketahui nasibnya.2 Pada tahun 2012 BPN menargetkan dapat menyelesaikan
sebanyak 71 kasus dari seluruh pengaduan yang masuk.3
Masalah lain adalah mengenai konflik tanah adat adalah ada 600 Desa yang belum jelas status
lahanya dan rata‐rata diwilayah masyarakat adat Kalimantan Tengah seperti peryataan Bapak Siun
Jarias, Sekretaris Daerah Kalimantan Tengah:
“ Pengakuan atas lahan di 600 desa di Kalteng belum jelas. Dampaknya, di Desa‐Desa itu rawan terjadi sengketa lahan. Lahan‐lahan tersebut umumnya berupa tanah dan hutan adat yang diturunkan sejak nenek moyang”.4
Pada tataran legislasi daerah, jawaban terhadap permasalahan pertanahan tersebut direspons
oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 16 tahun
2008 Jo No.1 tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Dayak dan Peraturan Gubernur No.13 tahun
2009 Jo No. 4 Tahun 2012 tentang Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat di Atas Tanah. Kedua peraturan itu
seyogyanya mampu menjawab rentetan konflik agaria di Kalimantan Tengah khususnya berkaitan
dengan tanah adat.
Naskah Petak Danum Itah ditentukan oleh surat keterangan tanah adat (SKTAA) merekam
jejak “Inventarisasi Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat di Atas Tanah” di Kelurahan Kalawa, Kabupaten
Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, mencoba memotret jejak inventarisasi tanah adat di
Kelurahan Kalawa. Petak Danum Itah adalah bahasa yang berasal dari bahasa Dayak yang artinya
‘tanah air kita’, keterancaman akan tanah dan air masyarakat Dayak sudah bukan lagi sekedar
wacana namun sudah kian masif terjadi seiringnya gempuran investasi perkebunan besar swasta di
Kalimantan Tengah secara merata diseluruh wilayahnya. Namun apakah solusi yang diambil oleh
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dengan menerbitkan Perda dan Pergub berkaitan dengan
kelembagaan adat dan tanah adat dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat adat yang ada
di di Kalimantan Tengah.
Untuk memahami bagaimana Perda dan Pergub tersebut dijalankan untuk mengatasi masalah
pertanahan di Kalimantan Tengah, maka penelitian ini mengambil fokus pada implementasi Perda
dan Pergub yang berkaitan dengan lembaga adat serta tanah adat dan Hak‐hak adat diatas tanah
2 http://www.borneonews.co.id/news/palangkaraya/20429-sengketa-tanah-selama-2011-capai-275-kasus.html 3 http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=5449 4 http://sains.kompas.com/read/2012/02/11/04255149/Ancaman.Konflik.Lahan
4
tersebut pada Kelurahan Kalawa, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi
Kalimantan Tengah. Kelurahan Kalawa dijadikan sebagai lokasi penelitian karena pada daerah ini
merupakakan salah satu daerah dimana Perda dan Pergub tersebut dilaksanakan dengan
mengeluarkan Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA).
Dalam membahas persoalan tersebut, tulisan ini terdiri dari lima bagian, yaitu bagian pertama
yang merupakan pendahuluan untuk menjelaskan tentang permasalahan dan mengapa penelitian ini
dilakukan. Bagian kedua membahas tentang Keluarahan Kalawa yang menjadi lokasi penelitian yang
dimulai dengan penjelasan tentang sejarah, kelembagaan adat dan pengelolaan tanah di sana.
Bagian ketiga membahas tentang proses dan subtansi legalisasi tanah adat di Kalimantan Tengah.
Bagian keempat menjelaskan tentang problematika penerapan legalisasi tanah adat melalui Perda
dan Pergub di Kelurahan Kalawa. Bagian terakhir merupakan penutup berisi rekomendasi dari hasil
penelitian ini.
II. Kelurahan Kalawa: Sejarah, lembaga adat dan pengelolaan tanah pertanian
Tidak mudah menentukan lokasi penelitian untuk melihat bagaimana legalisasi tanah adat
berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2008 dan Pergub No. 13 Tahun 2009 dilaksanakan. Hal itu
mengingat Perda dan Pergub tersebut belum lama dikeluarkan. Pergub tentang Tanah Adat dan Hak‐
hak Adat di Atas Tanah baru dikeluarkan pada 25 Juni 2009. Selain itu, wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah yang luas dan terbagi menjadi empat belas kabupaten dan kota membuat tidak mudah
menentukan lokasi yang pas untuk dijadikan lokasi penelitian. Setelah mencermati berbagai
informasi, kemudian yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah Kelurahan Kalawa, Kedamangan
Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau yang merupakan kabupaten baru sejak tahun 2002.
Kelurahan Kalawa tepat berada di pinggiran Sungai Kahayan. Sebagian besar permukiman warga
Kelurahan Kalawa berada disepanjang aliran Sungai Kahayan. Sungai Kahayan sudah sejak lama
menjadi jalur transportasi dan menjadi tempat untuk memenuhi keperluan sehari‐hari..
Sejarah Kelurahan Kalawa
Kelurahan Kalawa merupakan sebuah kampong dimana penduduknya mayoritas merupakan Suku
Dayak Ngaju. Sisanya adalah suku Banjar dan Jawa. Penduduk kampong Kalawa berasal dari Pulang
Pisau yang dulunya merupakan sebuah desa. Berdasarkan cerita dari orang‐orang tua, Kampong
Kalawa dulunya bernama Lewu Dandang Taheta Rundung Ulek Lawang Patahu. Kampong ini
bersebarang langsung dengan Desa Pulang Pisau atau Lewu Tumbang Hantasan Raja Rundung Ulek
Labuhan Banama. Antara Desa Pulang Pisau dan Kalawa ini tidak dapat dipisahkan karena
merupakan satu kesatuan keluarga yang saling berhubungan sampai sekarang.
5
Pulang Pisau sejak zaman Belanda merupakan sebuah bandar atau pelabuhan bongkar muat
barang hasil bumi seperti karet, gemor dan jelutung. Di sebelah selatan juga terdapat sebuah desa
yaitu Desa Buntoi atau dulunya bernama Lewu Luwuk Dalam Betawig. Diperkirakan pada tahun
1957 Lewu Luwuk dalam Betawig berganti nama menjadi Lewu Petak Bahandang. Nama Buntoi
diambil dari nama sebuah sungai dimana dulunya penghasil ubi kayu (jawau) yang dibawa ke
Banjarmasin (Provinsi Kalimantan Selatan). Lama kelamaan orang menyebut Jawau Buntoi lalu
sebuatan tersebut berganti dengan Buntoi.
Begitu juga halnya Lewu Dandang Taheta Rundung Ulek Lawang Patahu, berganti nama
menjadi sebuah desa pada tahun 1958 dan bernama Desa Kalawa. Pada tahun 1980 Desa Kalawa
secara administratif masuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulang Pisau yang dipimpin oleh bapak Yan
Tandu (saat ini menjabat menjadi Damang Kepala Adat Kecamatan Kahayan Hilir). Pada tahun 2006,
Desa Kalawa menjadi sebuah kelurahan yang bernama Kelurahan Kalawa. Pada saat masih menjadi
bagian dari Kelurahan Pulang Pisau. Kampong Kalawa dipimpin oleh seorang pambakal yang
merupakan pimpinan pemerintahan desa. Pambakal pertama Kampong Kalawa adalah Luwi
Handuran yang kemudian digantikan oleh Idie Sangan. Pada tahun 1980 Kalawa masuk ke dalam
Kelurahan Pulang Pisau, kemudian pada tahun 2006 secara administrasi Kalawa berganti menjadi
sebuah kelurahan yang di pimpin oleh Mardi S.Sos yang menjabat sampai sekarang (Edy Subahany,
2010)
Secara administratif Kelurahan Kalawa merupakan bagian dari Kecamatan Kahayan Hilir,
Kabupaten Pulang Pisau. Kampung ini pada tahun 2006 berubah menjadi sebuah kelurahan, yaitu
kelurahan Kalawa. Kelurahan Kalawa saat ini yang terdiri dari beberapa Rukun Tetangga (RT), yaitu;
RT. XIV, RT. XV, RT. XVI, RT. XVII dan RT. XVIII. Karena wilayahnya terpisah dari ibukota Pulang Pisau,
yaitu berada di seberang sungai Kahayan dengan jarak tempuh ± 1 Km dari ibukota Pulang Pisau,
maka Kalawa sering disebut dengan Lewu atau kampung Kalawa. Berdasarkan data dari kantor
Kelurahan Kalawa tahun 2009, wilayah ini memiliki luas ± 129.500 ha. Sebelah utara, Kelurahan
Kawala berbatasan dengan Desa Gohong, Selatan dengan Desa Mantaren, barat dengan Kecamatan
Sabangau Kuala dan timur dengan Kelurahan Pulang Pisau
Disamping memiliki wilayah yang cukup luas, Kelurahan Kalawa juga memiliki tingkat
pertumbuhan penduduk yang cukup padat dibandingkan Kampung lain disekitarnya. Berdasarkan
data tahun 2009, Kelurahan Kalawa memiliki jumlah penduduk 1.581 jiwa yang terdiri dari laki‐laki
sebanyak 792 jiwa, perempuan 789 jiwa, dan jumlah kepala keluarga sebanyak 424 KK. Sebagian
masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, yaitu berkebun karet dan berladang pada kawasan
rawa gambut. Sisanya adalah pedagang, nelayan dan pegawai negeri. Menurut daerah kerjanya
berdasarkan Proyek Lahan Gambut [PLG] satu juta hektar, wilayah ini termasuk dalam Daerah Kerja
6
B seluas 161.460 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Anjir Basarang dan SPU.
Sedangkan Daerah Kerja C seluas 568.635 Ha yang dibatasi oleh Sungai Kahayan, Sungai Sabangau,
SPU dan Laut Jawa.
Dari jumlah penduduk tersebut 45% penduduk Kelurahan Kalawan beragama Kristen 45% dan
Kaharingan 10%. Hukum adat yang diterapkan di Kelurahan Kalawa berasal dari kepercayaan
Kharingan, namun seiringnya waktu kepercayaan kharingan pun berganti dengan agama pendatang
yaitu Islam dan Kristen. Meskipun demikian dalam masalah adat, semua agama harus mengikuti adat
istiadat para leluhur Orang Dayak yaitu kharingan. Di kelurahan Kalawa untuk mengakomodasi
perbedaan‐perbedaan penduduk berdasarkan agama tersebut dibentuklah para Mantir Adat
berdasarkan agama kepercayaan masing‐masing.
Pemerintah Kelurahan dan Lembaga Adat
Kelurahan Kalawa dipimpin oleh Lurah. Lurah dibantu oleh sekretaris lurah dan kepala‐kepala seksi
(kasi) antara lain Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan dan Kasi Ketentraman dan Ketertiban. Para
pengurus kelurahan tersebut dibantu oleh staf/pelaksana dan tenaga honorer. Sedangkan untuk
masalah adat dipimpin Damang Kepala Adat dengan empat Mantir Perdamaian Adat ditingkat
kecamatan dan satu mantir di tingkat Kelurahan/Desa.
Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat
tingkat kecamatan yang berwenang menegakan Hukum Adat Dayak dalam suatu wilayah adat yang
pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para Kepala Desa/Kelurahan, para Ketua Badan
Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat
Perdamaian Desa/Kelurahan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut.5
Untuk membantu Damang diadakan Sekretaris Damang yang membantu dalam hal
pengarsipan terkait surat menyurat yang berkaitan dengan masalah hukum adat baik berupa ranah
pidana maupun perdata. Sekretaris Damang juga mempunyai fungsi sebagai panitera peradilan
adat, menerima laporan masalah sengketa adat sekaligus mengatur tentang adminitrasi pembiayaan
persidangan adat.
Selanjutnya terdapat Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat, yaitu perangkat adat
pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat yang ada di tingkat
kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat Desa/Kelurahan, berfungsi
sebagai peradilan adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum
adat Dayak di wilayahnya.
5 Berdasarkan PERDA No.16 tahun 2008 Jo No.1 tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah , Pasal 18
7
Kerapatan Mantir Adat berdasarkan Pergub No.13 Tahun 2009 mempunyai fungsi mengatur
tentang kepemilikan, pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan maupun pengalihan kepemilikan
tanah adat dan hak‐hak adat di atas tanah. Kerapatan Mantir Adat juga menerbitkan Berita Acara
terkait adanya permohonan pembuatan SKTA berdasarkan hasil musyarah Kerapatan Mantir yang
disahkan oleh Damang. Ketetapan hasil musyarah Kerapatan Mantir bersifaf mengikat bagi
masyarakat adat Dayak.
Handil: Pengelolaan Tanah Pertanian di Kelurahan Kalawa
Sebagian besar masyarakat Kelurahan Kalawa bermata pencaharian sebagai petani. Dalam
mengelola tanah untuk pertanian, masyarakat Kelurahan Kalawa mengenal pola handil6. Istilah
handil sebenarnya berati sungai kecil yang sengaja dibuat untuk sebagai pembatas antara lahan
garap yang satu dengan lahan garap yang lain. Penulisan istilah handil sendiri pun beragam, ada
yang menyebut handil ada yang menyebut handel walaupun secara artian maknawiah itu sama saja.
Handil merupakan sebuah sungai (parit) untuk sistem pengairan pada daerah pasang surut
pada kawasan rawa gambut yang digunakan untuk pengelolaan pertanian dan perkebunan yang
dilakukan kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah. Handil merupakan konsep pengelolaan
kawasan yang unik dimana pada awalnya adalah sebuah sungai kecil (saka) yang dijadikan parit
memanjang untuk mengatur arus sungai. Pada sisi kiri dan kanan handil dijadikan masyarakat
tempat untuk dijadikan lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.
Di Kelurahan Kalawa sendiri sejak dari dulu sudah terdapat beberapa handil yang saat ini
masih dikelola oleh warga. Handil yang dari dulu digunakan oleh warga adalah Handil Mahikei dan
Handil Buluh. Dulunya kedua handil ini adalah sebuah sungai kecil yang digunakan warga untuk jalur
transportasi ke lokasi ladang, kebun karet, kebun panting dan menuju arah hutan untuk memungut
6 Ada berbagai ragam menegenai penyebutan Handil/Handil, Menurut Andi Kiki “Handil fungsinya serupa dengan Beje, sedangkan Beje adalah sebuah kolam perangkap ikan yang dibuat oleh masyarakat (umumnya oleh suku Dayak) di pedalaman hutan Kalimantan Tengah. Beje umumnya berukuran lebar 2 m, kedalaman 1.5 m dan panjang bervariasi bisa sampai ratusan meter jika dilakukan bersama-sama (bukan milik perorangan). Beje-beje akan tergenang oleh air luapan dari sungai dan sekitarnya serta terisi oleh ikan-ikan alami pada musim penghujan. Kemudian air akan surut kembali pada musim kemarau. Beje-beje menjadi kolam-kolam tempat pembesaran ikan di dalamnya, dan siap di panen pada musim kemarau. (http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CGkQFjAD&url=http%3A%2F%2Fabdulmuktirusydi.files.wordpress.com%2F2011%2F07%2Fkearifanlokal1.pdf&ei=iBEYUI67LsiqrAfW84HYCg&usg=AFQjCNEA1DWmAajd8eMMo6Er6zxOoVUcZg&sig2=6I5TNjDvNiaMBAb6Mpdw7wPembuatan “handil” (kanal berdimensi kecil) tersebutdilakukan berdasarkan kemampuan air masuk ke daerah bagian dalam sebagai akibatdorongan air laut. Oleh karena itu “handil ” yang dibuat masyarakat hanya berdimensikecil yaitu sempit (1-2 m), dangkal (1-2 m) dan pendek (0,5 – 2,0 km). Siwido limin http://ml.scribd.com/doc/7757605/Pemanfaatan-Lahan-Gambut-Dan-Permasalahannya
8
hasil hutan. Menurut penuturan orang tua di Kampung Kalawa, diperkirakan handil sudah ada sejak
tahun 1914 an.
Nama‐nama handil tersebut biasanya diambil dari nama pohon, nama tumbuhan, nama orang,
nama ikan atau nama alam lainnya. Untuk menjadi keanggotaan handil warga yang terlibat harus
melakukan berbagai proses, antara lain: (a) membayar uang ke kas kelompok Handil pada saatakan
dilakukan gotong royong pembersihan handil dan juga bisa dipakai untuk memberikan sumbangan
kepada anggota handil apabila mengalami musibah; (b) setelah membayar sumbangan kepada
kepala handil atau pembantunya, maka anggota handil akan di berikan lokasi lahan. Lokasi lahan ini
digunakan untuk berladang yang kemudian dijadikan kebun karet dan buah. Luas lahan tidak
ditentukan secara pasti, namun biasanya tergantung anggota kelompok dan kepala handil berkisar
32 X 32 Depa; dan (c) melakukan gotong royong ; anggota handil harus melakukan kegiatan gotong
royong atas permintaan Kepala handil. Keputusan ini biasa dikeluarkan setelah ada rapat dengan
anggota handil. Kegiatan gotong royong dilakukan untuk pembagian lokasi lahan baru untuk
berladang.
Setiap handil biasanya dipimpin oleh seorang kepala dengan sebutan Kepala handil. Peran
penting dari Kepala Handil adalah mengkordinir setiap kegiatan pengaturan, pemeliharaan sungai
dan handil. Selain itu juga berperan untuk mengatur pembagian lahan di kiri kanan handil. Oleh
karena kepala handil sangat berperan penting dalam pembagian lahan maka Kepala Handil dipilih
oleh anggota handil melalui musyawarah bersama anggota handil.
Untuk membantu pengelolaan lahan, Kepala Handil di bantu oleh seorang Kepala Padang dan
seorang pengerak. Kepala Padang adalah orang yang mengkoordinir kegiatan berladang pada musim
tanam padi. Sedangkan penggerak adalah orang yang biasanya mengumpulkan warga untuk
berkumpul apabila diadakan musyawarah atau kegiatan, misalnya gotong royong atau handep. Lama
kepemimpinan Kepala handil tidak terbatas selama Kepala handil tersebut masih mampu dan akan
dipilih lagi bersama anggota handil dengan asas mufakat dan kekeluargaan.
Untuk membatasi lahan warga biasanya dibuat tatas yang berguna untuk batas tanah warga
dan juga digunakan untuk mengeluarkan kayu atau saluran air untuk kolam ikan tradisional atau
biasa di sebut beje. Sistem kepemilikan lahan di kawasan handil tidak diatur dalam sebuah peraturan
berbentuk dokumen tertulis. Akan tetapi bagi masyarakat di Kampong Kalawa maupun desa‐desa
yang berada di sekitar Kampong Kalawa pola kepemilikan lahan diaitur dengan ditandai oleh jenis
tanaman seperti jenis karet, cempedak atau durian. Begitu juga halnya kepemilikan kawasan yang
terdapat pohon jelutung, cukup ditandai dengan membersihkan sekitar pohon tersebut dan
menyadap pohon jelutung yang sudah diturunkan dari generasi sebelumnya.
9
Dalam hal jual beli lahan (misalnya, kebun karet) biasanya dijual kepada orang lain yang masih
ada ikatan keluaraga di kampung, sebatas memenuhi prinsip‐prinsip yang berlaku di masyarakat
(adat istiadat). Luas lahan ladang atau kebun dinyatakan dengan luasan lembar atau depa.7 Dalam
sistem penjualan lahan atau kebun dilakukan kedua belah pihak dengan disaksikan atau diketahui
oleh kepala handil atau pambakal. Selain jual beli, pergantian kepemilikan bisa berdasarkan
pemberian seseorang, warisan, tukar menukar (nangkiri) atau sistem gadai (sandak). Tukar menukar
atau barter (nangkiri) bisa berupa lahan kebun dengan sebuah perahu (kelotok) atau rumah.
Sedangkan untuk kepemilikan komunal sebuah wilayah misalnya wilayah Kampong, ditandai
dengan batasan yang sudah diatur oleh pemerintahan berdasarkan peta kampong. Wilayah atau
batas kampung biasanya ditandai dengan sebuah sungai atau nama pohon. Batas kampung tersebut
dari dulu sudah ada yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antar kampung bersebelahan yang
sejak dari dulu sudah terjalin serta masih ada hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Misalnya
batas Kampung Kalawa dengan Kampung Gohong ditandai dengan batas Sungai Langanen.
III. Proses dan Subtansi Kebijakan Legalisasi Hak Masyarakat atas Tanah
Munculnya Perda tentang Lembaga Adat di Kalimantan Tengah menurut Siun Jarias (Sekretaris
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah) merupakan perintah dari Undang‐undang.8 Menurutnya,
lembaga adat merupakan salah satu dimensi dari masyarakat hukum adat yang telah diakui
keberadaanya dalam UUD 1945 hasil amandemen. Hal ini terlihat dengan adanya Pasal 18B ayat (2)
dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang.
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Sedangkan undang‐undang yang juga mengakui dan melindungi tentang masyarakat adat
adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dan berbagai undang‐undang lainnya. Menurut Siun Jarias, hal itulah yang menunjukkan
7 Depa/borong, 1 borong = 17 m x 17 m = 282 m², sedangkan untuk 1 hektare = 36 borong x 289 m² = 10404 m²/ hektare. 8 Sumber hasil wawancara dengan Pak Siun Jarias Selaku Skretaris Daerah Kalimantan Tengah
10
adanya komitmen pemerintah untuk mengakui lembaga adat sehingga di Kalimantan Tengah
diwujudkan dengan membuat Perda No.16 Tahun 2008.9
Selain karena perintah undang‐undang, keberadaan lembaga adat juga telah lama ada.
Sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, telah ada bermacam‐macam kelompok masyarakat suku
(tribal society) yang kemudian berkembang menjadi apa yang dalam gerakan dan beberapa
peraturan perundang‐undangan disebut sebagai masyarakat adat yang tersebar di seluruh
Nusantara dengan lembaga‐lembaga adat dan berbagai kearifan lokalnya (local wisdom). Komunitas‐
komunitas tersebut hidup dan berkembang secara alamiah dan teratur menerapkan hukum adat
dalam suatu wilayah dan hak‐hak adat tertentu dengan suatu sistem kelembagaan “Pemerintahan
Adat” yang bersumber atau berurat‐akar dari nilai‐nilai luhur yang tumbuh dan berkembang dalam
komunitas adat itu sendiri.
Ironisnya peran lembaga‐lembaga adat yang tumbuh dan berurat‐akar dari dan untuk
mempertahankan nilai‐nilai luhur lokal, secara sistematis dimarjinalisasi dan “tergantikan” dengan
model‐model yang bersifat nasionalis dan digiring menuju pola‐pola yang mencerminkan
moderenisasi dan globalisasi. Realita tersebut juga menjadi bagian dari pengalaman komunitas
Masyarakat Adat Dayak, khususnya Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Eksistensi lembaga adat yang dalam hal ini adalah Lembaga Adat Kedamangan yang dipimpin
oleh Damang (yang telah populer disebut sebagai Damang Kepala Adat), hukum adatnya serta
Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah cenderung dan terpaksa harus “kalah dan mengalah
dalam pertarungan” berhadapan dengan hal‐hal yang bersifat nasionalis, modernisasi dan
globalisasi. Apabila hal demikian berlangsung terus menerus dan tanpa ada upaya perlindungan
hukum yang memadai dari Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota, maka dikhawatirkan dapat berakibat munculnya rasa ketidakadilan, rasa tersingkir,
rasa termarjinal bahkan rasa tertindas yang pada akhirnya dapat menjadi isu pemicu terjadinya
konflik sosial dan politik yang kontra‐produktif dengan tujuan pembangunan nasional
(Sutrisnaatmaka 2011:20).
Sebenarnya pengakuan secara formal dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
terhadap lembaga adat telah ada sejak Provinsi Kalimantan Tengah baru terbentuk. Pengakuan
tersebut mengalami perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan zaman. Bentuk pengakuan
terbaru berkaitan dengan lembaga adat adalah dengan dikeluarkannya Perda No. 16 Tahun 2008
tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah yang telah diubah dengan Perda No. 1
Tahun 2010. Sebelum peraturan tersebut telah ada Surat Keputusan Gubernur, tanggal 11 Desember
1958, Nomor: DD/64/112/Df/I‐II‐III tentang Status, Kedudukan serta Fungsi Lembaga Kedamangan;
9 Wawancara dengan Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Pak Siun Jarias.
11
Perda No. 16/DPR‐GR/1969 tentang Penetapan Wilayah Kedamangan dan Kewajiban Damang
Kepala Adat; dan Perda No. 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Propinsi Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah.
Lembaga adat harus dapat menjawab tantangan kekinian dan menyongsong masa depan. Hal
ini mengingat bahwa Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah cukup memiliki potensi untuk
menghadapi perkembangan‐perkembangan yang tengah berlangsung, seperti sumber daya manusia
yang kompetitif, sumber
daya alam yang berlimpah,
kelembagaan adat dan
hukum adat yang masih
berlaku. Tinggal sekarang
bagaimana masyarakat adat
dan lembaga adat “diberi
kesempatan” dimanfaatkan,
diberdayakan dan
mensinergiskan semua
potensi tersebut menjadi
modal pembangunan.
Sebagaimana dijelaskan
dalam Naskah Akademik
perubahan Perda No. 16
Tahun 2008:
“Kedepan keberadaan kelembagaan, adat istiadat, kebiasaan‐kebiasaan dan hukum adat Dayak, perlu ditingkatkan upaya pemberdayaannya, antara lain dengan melakukan revitalisasi, reposisi dan inventarisasi, (penelitian, penulisan, pendokumentasian, penerbitan), sosialisasi, transpormasi/pewarisan dan penguatan. Oleh sebab itu diperlukan sebuah “payung hukum” yang memadai.” 10
Peraturan tentang Lembaga Adat dan Tanah Adat di Kalimantan Tengah
1. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 11 Desember 1958, Nomor: DD/64/112/Df/I‐II‐III tentang Status, Kedudukan serta Fungsi Lembaga Kedamangan.
2. Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16/DPR‐GR/1969 Penetapan Wilayah Kedamangan dan Kewajiban Damang Kepala Adat .
3. Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan
Provi K 4. Perda nsi alimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah
5. Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.1 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
b ATengah No. 16 Tahun 2008 Tentang Kelem agaan dat Dayak di Kalimantan Tengah
Kalima T 6. Pergub Provinsi ntan engah No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat Di Atas Tanah
7. Pergub Provinsi Kalimantan Tengah No. 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat Dan Hak‐Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah.
Salah satu wujud dari penguatan lembaga adat Dayak di Kalimantan Tengah melalui Perda No.
16 Tahun 2008 adalah dengan memberikan kewenangan kepada Damang untuk mengeluarkan Surat
Keterangan Tanah Adat (Pasal 10 ayat (1) huruf d). Kemudian pengaturan lebih detail berkaitan
dengan tanah adat diatur dalam Pergub Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat
dan Hak‐hak Adat di Atas Tanah.
10 Naskah Akademik Perubahan dan Penyempurnaan PERDA No.14 Tahun 1998
12
Membahas Pergub No. 13 Tahun 2009 maka tidak akan lepas dari ketentuan Pasal 36 dan
Pasal 44 Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Adat Dayak yang mana menjadi dasar keluarnya Pergub
tersebut. Tujuan utama dari ditetapkan Pergub ini adalah untuk menginventarisir tanah adat yang
dimiliki oleh masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Tengah. Pada Pasal 2 ayat (2) Pergub tersebut
dinyatakan bahwa pengaturan tanah adat dan hak‐hak adat di atas tanah dilakukan untuk
melindungi, mengakui dan menghargai hak masyarakat adat, melestarikan adat yang hidup di
masyarakat, menunjang keberhasilan pembangunan dan kelancaran pemerintahan, serta
memperjelas kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah adat dan hak‐hak adat di atas tanah.
Pergub tersebut juga dibuat oleh pemerintah daerah untuk merespons perkembangan usaha
perkebunan kelapa sawit karena banyak perusahaan yang hendak menguasai tanah dengan tidak
jujur, misalkan dengan dengan memperluas areal HGU melebihi ukuran yang diberikan oleh
pemerintah. Seringkali perluasan illegal HGU tersebut mengambil tanah‐tanah masyarakat adat. 11
Berdasarkan Pergub No. 13 tahun 2009 Jo No. 4 tahun 2012, mengklafikasikan kepemilikan
tanah adat milik bersama, milik perorangan dan hak‐hak diatasnya tanah adalah sebagai berikut :
TANAH ADAT MILIK
BERSAMA
TANAH ADAT MILIK
PERORANGAN
HAK‐HAK ADAT DI ATAS
TANAH
1. Tanah negara tidak
bebas(bekas ladang)
2. Tanah warisan leluhur/
orang tua yang masih
belum dibagi‐bagi
3. Dapat berupa hutan
kembali atau kebun.
4. Dapat berupa tempat
tinggal (di desa),
kuburan/ keramat/
religius magis.
5. Luas dan batasnya
mengikuti luas dan batas
bekas ladang/ garapan.
6. Pengalihan hak melalui
jual beli, dll
1. Tanah negara tidak bebas
(bekas ladang)
2. Bekas ladang sendiri atau
dari hibah, warisan, jual
beli/ tukar menukar.
3. Dapat berupa hutan
kembali atau kebun.
4. Dapat berupa tempat
tinggal (di desa), kuburan,
keramat/ religius magis.
5. Luas dan batasnya
mengikuti luas dan batas
bekas ladang/ garapan.
6. Pengalihan hak melalui
jual beli, dll
1. Tanah negara bebas
(hutan perawan ).
2. Berupa : binatang
buruan, buah‐buahan,
getah, madu, bahan
obat‐obatan, tempat
religius‐magis dan (hak
meramu).
3. Bukan tanahnya tetapi
hanya benda di atas / di
dalam tanah.
4. Luas dan batasnya tidak
tertentu.
5. Apabila “diganggu”
pihak lain, pemilik
berhak memperoleh
11 Wawancara Edy, Sekretaris Damang Kahayan Hilir, 31 Juli 2012.
13
konpensasi
Pada tanggal 15 Maret tahun 2012, Pergub No. 13 Tahun 2009 diperbaharui dengan Pergub
No. 4 Tahun 2012. Pada konsideran Pergub No. 4 tahun 2012 disebutkan bahwa perubahan tersebut
dilakukan karena Pergub No. 13 tahun 2009 masih terdapat kekurangan dan belum dapat
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan tanah adat dan hak‐hak adat
diatas tanah sehingga perlu dirubah. Perubahan yang dilakukan sebenarnya tidak begitu banyak dan
hanya menyangkut hal‐hal teknis, misalkan menjelaskan bahwa dalam melakukan inventarisasi
tanah adat dan hak‐hak adat di atas tanah dilakukan dengan identifikasi, pemetaan dan pematokan
tanah adat. Selain itu juga penambahan ketentuan tentang format, bentuk, dan keterangan
mengenai: Surat Keterangan Tanah Adat, Surat Pernyataan memiliki Tanah Adat, Berita Acara hasil
pemeriksaan Tanah Adat, dan Jenis Kepemilikan Tanah Adat dan Hak‐hak Adat Di Atas Tanah. Salah
satu perbedaan antara Pergub No. 13 Tahun 2009 dengan Pergub No. 4 Tahun 2012 mengenai
klasifikasi kepemilikan tanah adat dan hak‐hak adat di atas terletak pada penghapusan mengenai
hutan perawan.
Sementara itu, pada tingkat Kabupaten Pulang Pisau sebelumnya telah ada Perda Perda
Kabupaten Pulang Pisau No. 25 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan Lembaga Kedamangan. Damang
Kepala Adat di Kelurahan Kalawa juga pernah membuat Keputusan Damang Kepala Adat Kalawa
No.006/SK/DKA‐KH/VI/2005 tentang Hutan Adat Kalawa. Namun hutan adat tersebut tidak diakui
secara formal oleh pemerintah. Sehingga kemudian hutan adat diusulkan untuk menjadi hutan desa.
Menanggapi usulan tersebut, Bupati Pulang Pisau mengeluarkan Surat Bupati Pulang Pisau
No.522/172/V/Um/Setda‐2012, Perihal Usulan Penetapan Areal Kerja Hutan Kerja Hutan Desa,
tertanggal 3 Mei 2012.
IV. Problematika Pelaksanaan Legalisasi Tanah Adat Kelurahan Kalawa
Perda dan Pergub yang dibuat untuk memberikan kepastian hukum pemilikan tanah kepada
Masyarakat Adat Dayak itu tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan.
Apa yang sebenarnya yang menjadi problematik dalam hal penerapan Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah terkait Tanah Adat dan Hak‐Hak Adat di Atas Tanah? Tentunya problematik ini
harus dikaji secara komprehensif dengan cara menemukan faktor yang menyebabkan problematik
itu muncul. Bagian ini membahas beberapa problematika yang muncul dalam pelaksanaan legalisasi
tanah adat oleh Damang melalui Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA).
14
Dilema kedudukan SKTA dalam Sistem Pendaftaran Tanah
Peraturan operasional dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Di dalam PP tersebut ditentukan objek pendaftaran tanah, yaitu pada Pasal 9
ayat (2) yang meliputi: bidang‐bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai; tanah hak pengelolaan; tanah wakaf; hak milik atas satuan rumah
susun; dan hak tanggungan. PP tersebut tidak memuat tentang hak atas tanah adat sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 UUPA tentang hak‐hak ulayat dan hak‐hak yang serupa dari masyarakat hukum
adat. Padalah sudah ada delegasi dari Pasal 2 ayat (1) UUPA yang terjadinya hak milik menurut
hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah.
PP No. 24 Tahun 1997 telah mengatur sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya
tentang tanah, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat 1).
Ketiadaan pengaturan mengenai keberadaan SKTA dalam PP No 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menjadi problematika tersendiri. Hal ini sebenarnya merupakan probelamatika
utama dalam pendaftaran tanah‐tanah masyarakat adat. Peraturan yang tersedia belum sepenuhnya
bisa mengakui dan melindungi keberadaan tanah‐tanah masyarakat adat. Pada situasi yang
demikian, maka SKTA yang diperkenalkan melalui Perda dan Pergub di Kalimantan Tengah
merupakan suatu inovasi untuk melengkapi kekuranglengkapan peraturan nasional dalam mengatur
pendaftaran tanah‐tanah adat.
Selama ini, salah satu langkah legalisasi tanah masyarakat untuk dapat mengurus sertifikat tanah
kepada kantor pertanahan adalah Surat Keterangan Tanah (SKT), kemudian berubah menjadi Surat
Pernyataan Tanah (SPT) atau secara singkat menjadi Surat Pernyataan (SP). Bedanya, SKT
dikeluarkan oleh Camat, sedangkan SKTA dikeluarkan oleh Damang. Selain itu, SKT merupakan
pernyataan yang dibuat oleh pemohon dengan diketahui oleh Kepala Desa dan Camat. Sedangkan
SKTA dimohonkan oleh pemohon untuk dikeluarkan suratnya oleh Damang. Sehingga bila ada
sengketa tanah di pengadilan, maka Damang dapat menjadi saksi di persidangan.
Biaya Mahal Pembuatan SKTA
Pembuatan SKTA adalah soal uang keluar. Pergub tentang Tanah Adat dan Hak‐hak Adat di Atas
Tanah, khususnya dalam Pasal 13 menjelaskan bahwa biaya pembuatan Surat Keterangan Tanah
Adat (SKTA) ditangung sepenuhnya oleh si pemohon, melalui subsidi bantuan hibah, bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota atau Anggaran
Pendapatan dari Belanja Daerah Provinsi. Dalam kurang lebih tiga tahun keberlakuan Pergub
15
tersebut, di Kelurahan Kalawa pembuatan SKTA masih ditanggung sendiri oleh pemohon. Belum ada
biaya yang dikeluarkan oleh APBD untuk mengurus SKTA.
Untuk ukuran masyarakat di kampung, biaya pembuatan SKTA tergolong mahal. Sebagaimana
disampaikan oleh Edy (Sekretaris Damang Kahayan Hilir)12 biaya pembuatan SKTA untuk uang
administrasi pendaftaran sebesar 250.000,‐ ditambah lagi dengan uang komisi lapangan untuk
melakukan iventarisasi, pematokan dan yang lain‐lain ditentukan oleh anggota komisi itu sendiri.
Satu orang anggota komisi dalam satu harinya akan mendapatkan isentif sebanyak 50.000/orang.
Bapak Edy juga menambahkan jika letak lokasi jauh dari Kecamatan biaya komisi lapanganpun
menjadi meningkat sedangkan untuk masalah komsumsi dan akomodasi lapangan juga di tangung
oleh si pemohon. Sampai saat ini dari catatan arsip Kedamangan Kahayan Hilir pendaftaran surat
keterangan tanah adat sudah berjumlah 57 lembar.
Sedangkan mengenai masalah pendaftaran sengketa tanah adat yang berkaitan dengan
penerbitan SKTA untuk biayaya pembayaran pendaftaranya sebesar 750.000,‐ ditambah lagi dengan
uang meja/sidang sebanyak 750.000,‐. Ada 7 kasus yang ada di kedamangan Kahayan Hilir yang
berkaitan dengan sengketa tanah adat sejak di terbitkannya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah
mengenai tanah adat ini meliputi 4 kasus berada di Desa Gohong, 2 kasus di Desa Mintin dan 1 kasus
di Kelurahan Kalawa. Latar belakang kasus biasanya adanya pengakuan tumpang tindih pemilikan
tanah yang akan dijadikan gedung sarang burung walet oleh investor dari luar daerah Kalimantan
Tengah. Kasus kedua muncul dikarenakan adanya permasalahan batas‐batas tanah di lokasi handil.
Pendaftaran tanah melewati surat keterangan tanah adat tergolong mahal seperti yang
disampai oleh Bapak Punding13 bahwa beliau sampai menghabiskan uang sebesar Rp.1.200.000, ini
pun dilakukan beliau oleh karena terpaksa pada saat itu tanah beliau yang ada di Handil Terusan I
bersengketa dengan handil sebelah yaitu Handil Mahikei. Untuk menguatkan status kepemilikan
tanahnya maka dibuatlah SKTA.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Pergub disebutkan bahwa perbuatan berupa tidak melakukan
upaya inventarisasi berturut‐turut hingga 6 (enam) tahun terhitung sejak diundangkannya Peraturan
Gubernur itu, dikenakan sanksi adat berupa tidak diakuinya hak kepemilikan atau penguasaan dan
pemanfaatan atas Tanah Adat dimaksud serta sanksi tambahan sesuai hukum adat yang berlaku.
Jika Pergub ditegakan secara benar maka tanah adat yang belum didaftarkan sesuai dengan Pergub
maka tanah adat tersebut tidak diakui. Persoalan yang akan dihadapi warga adalah kehilangan
tanahnya dalam hal pengakuan tanah dari Pergub itu sendiri yang sejatinya bisa menjadi payung
hukum bagi keberadaan tanah adat masyarakat.
12 Wawancara dengan Bapak Edy, Sekretaris Damang Kahayan Hilir, Kelurahan Kalawa 13 Wawancara dengan Bapak Punding warga RT II desa kalawa, 18 Mei 2012
16
SKTA dapat di jadikan alat transaksi kemitraan
Pergub No. 13 tahun 2009 Pasal 8 ayat (3) menjelaskan Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) dan
hak‐hak adat di atas tanah sebagaimana dimaksud dapat dijadikan syarat melakukan perjanjian pola
kemitraan dengan pihak lain dihadapan pihak yang berwenang. Jelas bahwa Pergub tersebut
memang dimaksudkan agar keberadaan tanah adat tidak menjadi hambatan bagi usaha‐usaha yang
sedang dilakukan oleh perusahaan skala besar. Pergub hendak meyakinkan pula para pengusaha
yang hendak bermitra dengan masyarakat dapat dilakukan dengan masyarakat yang telah memiliki
legalitas hak atas tanah berdasarkan SKTA. Di lokasi penelitian ini belum dapat ditemukan adanya
kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan pengusaha yang dilakukan dengan menggunakan
SKTA sebagai bukti kepemilikan tanah adat oleh masyarakat.
Meskipun Pergub mengatur bahwa SKTA dapat dijadikan syarat melakukan pola kemitraan,
namun ‘keampuhan’ SKTA sebagai alat transaksi yang memiliki nilai sebagai penjamin masih belum
begitu nyata sebab SKTA tidak dapat dijadikan sebagai jaminan untuk mengajukan kredit di bank
atau lembaga kredit lainnya. Hal ini dituturkan oleh Bapak Hamdani14 bahwa SKTA tidak dapat
dijadikan jaminan untuk mengkredit sesuatu. Hal ini berbeda dengan SKT. Bapak Hamdan ingin
mengkredit sepeda motor dengan penjamin SKTA namun pihak pengelola pengkreditan tidak
menerima SKTA tersebut.
Selain soal kekuatan SKTA menjadi alat transaksi, juga ada persoalan luas tanah yang
daftarkan dengan SKTA. Pergub menentukan batas minimal tanah yang dapat diurus SKTA adalah 2
Ha. Dengan batas demikian, maka tanah‐tanah yang didaftarkan dan memperoleh SKTA nilainya
cukup baik. Namun dalam praktiknya tidak ada batas minimal bagi masyarakat untuk mendaftarkan
tanah dan memperoleh SKTA. Ada banyak tanah‐tanah yang didaftarkan dan memperoleh SKTA
kurang dari 2 ha, sehingga harga tanahnya juga relatif lebih rendah.
Pergub Tidak Mengatur Secara Jelas Mengenai Larangan Pemindahan Hak Atas Tanah Adat
Tujuan dari PERGUB No.13 adalah memberi kepastian hukum sekaligus menjadi pelindung terhadap
hak‐hak atas tanah adat, namun apabila tanah adat dapat dialih fungsikan atau berpindah haknya
maka bisa dipastikan tidak ada lagi tanah adat. Dalam PERGUB No.13 pasal 11 ayat (4) “Pemegang
Hak Atas Tanah Adat maupun Hak‐Hak Adat Di Atas Tanah yang berstatus milik bersama, tidak dapat
mengalihkan atau melepaskan hak tersebut kepada pihak lain kecuali telah ditentukan bersama
berdasarkan musyawarah persekutuan sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku.
14 Wawancara dengan Bapak Hamdani Warga Kelurahan Kalawa RT II, 18 mei 2012
17
Dalam arti lain jika menyimak ketentuan tersebut, maka bisa mengalihkan atau melepaskan
hak atas milik bersama jika ada kesepakatan bersama melalui musyawarah. Nah, Jika tanah milik
bersama ini dialih fungsikan dengan kata lain dijual kepihak lain tanpa persetujuan bersama lalu
bagaimana sanksi hukumnya.
Ragam format SKTA
Adanya perbedaan tentang format SKTA yang penulis temukan membuat munculnya sebuah
pertanyaan format yang mana seharusnya yang di pakai. Perbedaan itu teletak dimana ada format
SKTA dengan mencantumkan tulisan tidak boleh dijual selama 25 (dua puluh lima) tahun terhitung
sejak tanggal ditetapkan seperti contoh SKTAA yang ada di Kecamatan Banama Tinggang Kabupaten
Pulang Pisau15. Sedang untuk di Kelurahan Kalawa sendiri atau di Kecamatan Kahayan Hilir tulisan
tersebut tidak ada.
Melihat pada perubahan Pergub No. 13 tahun 2009 menjadi No. 4 tahun 2012 juga tidak ada
penjelasan mengenai penambahan tulisan bahwa SKTA tidak boleh dijual selama 25 (dua puluh lima)
tahun sejak tanggal ditetapkanya SKTA. Lalu sebenarnya mana format SKTA yang harus digunakan
dan diterapkan. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah harus melakukan evaluasi terkait
format ini agar ditingkat bawah sebagai pelaksana SKTA yaitu Damang dan Mantir tidak menjadi
bingung.
Lembaga adat semakin birokratis
Salah satu kecenderungan yang dapat diamati dari proses legalisasi tanah adat yang dilakukan
melalui kelembagaan adat adalah menjadikan lembaga adat semakin birokratis. Sejumlah
kecenderungan birokratisasi lembaga adat itu nampak dalam hal pemekaran kecamatan yang
berimplikasi pada pemekaran Damang. Secara tradisional jumlah Damang tidak mengikuti jumlah
kecamatan, padahal dahulu Damang ditentukan berdasarkan pemukiman penduduk berdasarkan
komunitas yang terbentuk sepanjang alirang sungai. Sekarang ada kecendrungan bahwa satu
kecamatan ada satu Damang sehingga ketika ada pemekaran kecamatan maka akan ditunjuk
Damang baru di kecamatan baru tersebut. Saat ini ada delapan kecamatan di Kabupaten Pulang
Pisau, yang berarti juga terdapat delapan damang.
Kecenderungan birokratisasi juga nampak dalam hal pemilihan damang. Sekarang damang
dipilih langsung. Di dalam Perda No. 16 Tahun 2008 tidak disebutkan siapa yang dapat menjadi
pemilih untuk pemilihan Damang. Menurut Edi (Sekretaris Damang) Kahayan Hilir, pihak yang
menjadi pemilih Damang adalah Kepala Desa, BPD, Mantir Adat Kecamatan dan Desa. Dahulunya
15 Contoh SKTAA terlampir
18
Damang ditunjuk, kadang dengan musyawarah, bukan dipilih. Damang Kahayan Hilir yang ada
sekarang ditunjuk oleh Mertuanya pada masa lalu. Pemilihan Damang tentu mengikuti trend tentang
pemilihan pemimpin publik secara langsung yang sedang menggejala sebagai salah satu hasil
reformasi yang bergulir sampai ke kampung‐kampung.
Dengan adanya Perda tentang Kelembagaan Adat membuat tingkat ketergantungan lembaga
adat terhadap pemerintah daerah semakin menguat. Hal ini berkaitan pula dengan persoalan
legalitas kedudukan fungsionaris lembaga adat dan persoalan anggaran kelembagaan adat. Damang
setelah dipilih kemudian diangkat berdasarkan keputusan kepala daerah. Alokasi anggaran daerah
untuk kelembagaan adat juga menjadi salah satu faktor penting untuk melihat hubungan antara
kelembagaan adat dengan instansi pemerintah. Pada tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Pulang
Pisau menganggarkan Rp. 50 Juta dari APBD untuk lembaga adat yang diberikan melalui Dewan Adat
Dayak (DAD) tingkat kabupaten. Damang terkadang terima Rp. 600 ribu sampai Rp. 700 ribu dari
anggaran yang tersedia.16
Kurangnya sosialisasi
Sejumlah faktor menjadi kendala mulai dari kendala untuk menyosialisasikan program tersebut
kepada masyarakat di kampung‐kampung, masalah bupati yang tidak mendukung sepenuhnya
percepatan legalisasi tanah adat, sampai pada persoalan tidak memadainya anggaran untuk
mempercepat legalisasi tanah adat.
Sampai sekarang sudah ada 97 tanah yang dikeluarkan SKTA di Kedamangan Kahayan Hilir, di
Kalawa hanya ada 1 SKTA. Data ini menunjukan bahwa tingkat pendaftaran tanah adat sangat kecil.
Masyarakat belum menganggap pendaftaran tanah adat sebagai hal yang perlu segera dilakukan.
Selain karena biayanya yang tidak murah, soal kemanfaatan praktis dari SKTA juga tidak begitu
nampak. Bila keterancaman penguasaan tanah dialami oleh penduduk kampung, baru mereka
merasakan penting untuk memiliki SKTA sebagai bukti untuk mempertahankan tanahnya.
Sebagian warga tidak mengetahui tentang adanya Pergub No. 13 tahun 2009 tentang tanah
adat dan hak‐hak adat di atas tanah sehingga wargapun ada yang belum membuat/membikin surat
keterangan tanah adat (SKTA). Menurut Bapak Lepes17 ketidaktahuan warga terhadap Pergub No. 13
tahun 2009 adalah bentuk kelemahan dari pemerintah Kabupaten Pulang Pisau karena belum ada
sosialisasi secara berkelanjutan ditingkatan warga Kelurahan Kalawa. Posisi Mantir adatpun sampai
hari ini belum mendapatkan surat keputusan (SK) dari Bupati Kabupaten Pulang Pisau, sehingga dana
16 Wawancara Edy, Sekretaris Damang Kahayan Hilir, 31 Juli 2012. 17 Wawancara Dengan Bapak Lepes selaku Mantir Adat tingkat Kecamatan Kahayan Hilir, Kelurahan Kalawa
19
operasional serta aktivitas untuk mensosialisasikan peraturan ini tidak bisa berjalan. Posisi Mantir
ditingkat Desa sebenarnya mempunyai posisi strategis untuk mensosialisasikan peraturan tersebut.
Kurangnya sosialisasi juga mengakibatkan masyarakat mengalami kebingungan mengenai
status dari SKTA tersebut apakah diakui oleh pemerintah atau tidak dalam hal ini sesuai dengan
UUPA 1960. Bagaimana perbedaan SKTA dengan surat penyataan tanah (SPT), surat keterangan
tanah (SKT) yang di tanda tangani oleh Kepala Desa hal semacam ini masih menjadi imformasi yang
simpang siur di tingkatan warga Kelurahan Kalawa. Jika merujuk pada PP No. 24 Tahun 2007 tentang
pendaftaran tanah bahwa SKTA dan SKT adalah bukti awal sebagai prasyarat untuk dijadikan
sertifikat yang dikeluarkan oleh badan pertanahan nasional (BPN).
Walaupun menurut Bapak Edy18 yang membedakan antara SKTA dengan SKT adalah terletak
kepada pengakuan keberadaan tanah tersebut. SKTA di terbitkan atau disahkan oleh Damang
setempat, serta Damang akan bertangung jawab jika di kemudian hari ada permasalahan mengenai
penerbitan SKTA. Sedangkan SKT yang di ketahui oleh pihak Desa atau Kecamatan status pengakuan
tanah akan bisa dicabut jika dikemudian hari terdapat permasalahan yang timbul dari lahirnya SKT
tersebut.
Belum dilaksanakanya pembagian Tanah oleh Ketua Handil
Handil adalah batas tanah antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Di Kelurahan Kalawa,
handil berfunsgi sebagai batas tanah kelompok antara RT yang satu dengan RT yang lain. Hutan
dibuka secara bersama‐sama untuk lahan garapan dan setelah lahan sudah siap ditanami maka
seharusnya tanah‐tanah tersebut dibagikan secara rata oleh kepala handil. Namun pada faktanya
ada banyak yang belum melakukan pembagian handil. , anggota handil memang diberitahukan
bahwa mereka mempunyai tanah di‐handil bahkan ada yang langsung dibuatkan surat keterangan
tanah tetapi saat anggota ingin mengetahui letak tanahnya dimana Kepala Handil tidak mau
menyebutkan dengan berbagai macam alasan seperti yang disampaikan oleh Bapak Tandai dan
Bapak Suparto warga RT II Desa Kalawa Kelurahan Kalawa .
Menurut keterangan sejumlah Warga Ketua Handil ada yang menyalahgunakan wewenang
serta fungsinya sebagai pengatur pendistribusian tanah. Tanah‐tanah yang ada di handil ada
sebagian yang dapat dibeli oleh orang lain di laur anggota handil. Ada beberapa pejabat daerah yang
mempunyai tanah di handil dengan alasan sebagai ungkapan terimakasih karena handil telah di
perbaiki dan sebagainya. Belum tuntasnya pembagian handil itu pun menghambat percepatan
penerbitan SKTA oleh Damang.
18 Wawancara dengan Bapak Edy selaku Skretaris Damang Kecamatan Kahayan Hilir, Kelurahan Kalawa
20
V. Penutup
Masih banyaknya kelemahan mengenai SKTA baik secara teknis penerapan maupun singkroniasi
dengan pihak Badan Pertanahan Nasional membuat SKTA semakin susah untuk menemukan
tujuanya. Hal‐hal mengenai kedudukan SKTA dengan PP. No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah harus segera dicarikan solusi atas kepastian hukum dari SKTA tersebut. Mahalnya pembuatan
SKTA dibanding dengan pembuatan surat keterangan tanah (SKT) yang disahkan oleh Kepala Desa
menjadi jurang pemisah tersendiri dan membuat keenganan warga untuk membuat SKTA, harusnya
pemerintah tanggap atas ini mengenai anggaran pembuatan SKTA seharusnya dibikin gratis atau
ditangung oleh pemerintah. Belum bisanya SKTA dijadikan alat transaksi untuk penjamin kemitraan
dimana ini merupakan sebuah cerminan bahwa Pemerintah Daerah belum melakukan sosialisasi dan
kordinasi kepada pihak‐pihak kemitraan tersebut, dalam ini semisal pihak Bank. Format yang
beragam harus segera diputuskan mana yang layak dipakai agar tidak menimbulkan kebingungan
dimasyarakat khususnya masyarakat adat yang ada di Kalimantan Tengah.
Adanya pembicaraan yang intens antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten
untuk mendorong SKTA ini sesuai dengan fungsinya. Masih banyak ditemukanya keluhan dari Mantir
adat ditingkat Desa tidak mendapatkan Surat Keputusan dari Bupati setempat sehingga para Mantir
masih ragu dan binggung dalam upaya iventarisasi tanah adat. Surat Keputusan dari Bupati untuk
Mantir juga diperuntukan untuk memberi tunjangan kerja bagi Mantir‐Mantir tersebut. Pemerintah
juga harus tanggap terkait sengketa yang akan muncul akibat SKTA ini dimana masyarakat sudah
terbiasa melegalkan tanahnya lewat aparatur Desa yaitu berbentuk SKT, aturan yang jelas dan
sosialisasi secara berkesinambungan agar sengketa antara SKT dan SKTA tidak terjadi.
21