Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEMBACA WAJAH SUKU ASLI PAPUA
LEWAT NOVEL TANAH TABU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Rosa Sekar Mangalandum
NIM: 074114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Mei 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
MEMBACA WAJAH SUKU ASLI PAPUA
LEWAT NOVEL TANAH TABU
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Rosa Sekar Mangalandum
NIM: 074114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Mei 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Mei 2011
Penulis
Rosa Sekar Mangalandum
074114004
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
Nama : Rosa Sekar Mangalandum
NIM : 074114004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Membaca Wajah
Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” beserta perangkat yang diperlukan
(bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya
dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 16 Mei 2011
Yang menyatakan,
Rosa Sekar Mangalandum
074114004
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini berjudul “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel
Tanah Tabu”. Tugas akhir tersebut ditulis sebagai pemenuhan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Judul dan topik tugas akhir
bersangkutan dipilih penulis karena tokoh-tokoh suku asli tanah Papua dalam
novel Tanah Tabu menarik untuk dibaca karena pembacaannya menggunakan
perspektif the indigenous peoples.
Penulis menerima kontribusi secara akademis dan dukungan dari berbagai
pihak dalam proses mengerjakan tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua
Lewat Novel Tanah Tabu”. Sebelum menyatakan rasa terima kasih kepada pihak-
pihak yang dimaksud, penulis lebih dahulu menyatakan rasa syukur dan terima
kasih kepada Allah Yang Maharahim atas karunia dan rahmat-Nya. Berikut ini
adalah mereka yang telah memberi kontribusi akademis dan dukungan positif
kepada penulis dalam proses pengerjaan tugas akhir ini:
1. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. dan S. E. Peni Adji S. S., M. Hum. yang
memberikan saran, kritik, dan waktu untuk berdiskusi dengan mereka sebagai
dosen pembimbing penulisan tugas akhir bagi penulis,
2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik penulis
sepanjang tahun 2007-2011,
3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan saran dan kritik konstruktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
4. Para dosen Program Studi Sastra Indonesia beserta staf sekretariat Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Di samping itu, penulis berterima kasih dengan bangga kepada Bulan Lumban
Gaol, Ignatia Sukmawardhani, R. Pudji Tursana, Ath. Kristiono Purwadi, SJ, Liat
Lumban Gaol, Petrus Agung Byastanto, dan Alfonsus Biru Kira, SJ. Terima kasih
kepada Bulan Lumban Gaol, Ignatia Sukmawardhani, dan Ath. Kristiono
Purwadi, SJ karena mengawal ketat penulis, baik selama proses penulisan tugas
akhir, maupun jauh sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada Liat
Lumban Gaol dan Petrus Agung Byastanto karena memberikan dukungan
finansial kepada penulis, baik selama proses penulisan tugas akhir, maupun jauh
sebelumnya dan sesudahnya. Terima kasih kepada R. Pudji Tursana dan Alfonsus
Biru Kira, SJ karena dengan kebaikan hatinya memberikan dukungan fasilitas
bagi proses penulisan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa, walaupun dikerjakan dengan usaha terbaik
penulis, tugas akhir “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah
Tabu” tidak sempurna. Setiap kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan dalam
tugas akhir tersebut merupakan tanggung jawab penulis. Dengan rendah hati,
penulis terbuka pada saran dan kritik atas isi tugas akhir.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
If you have come to help me
You can go home again
But if you see my struggle
As part of your own survival
Then perhaps we can work together*
(kata-kata seorang perempuan Aborigin Australia)
* dari Koalisi LSM Se-Asia (Asian NGO Coalition) dalam Barnes dkk. (1995: 59)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
ABSTRAK ........................................................................................................ xii
ABSTRACT ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ........................................................................... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 6
1.6 Kerangka Teori ........................................................................................ 12
1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization) ....................................... 13
1.6.2 ..................................................................................................... Pe
rspektif the Indigenous Peoples ........................................................ 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
1.7 Metode Penelitian .................................................................................... 20
1.8 Sistematika Penyajian .............................................................................. 23
BAB II SINOPSIS NOVEL TANAH TABU ..................................................... 25
2.1 Pengantar ................................................................................................. 25
2.2 Sinopsis Novel Tanah Tabu .................................................................... 26
BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TANAH TABU .... 38
3.1 Pengantar ................................................................................................. 38
3.2 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Tanah Tabu ................................... 39
3.2.1 Mabel ................................................................................................ 39
3.2.2 Mace ................................................................................................. 43
3.2.3 Leksi ................................................................................................. 47
3.2.4 Mama Kori ........................................................................................ 50
3.2.5 Pum ................................................................................................... 51
3.2.6 Kwee ................................................................................................. 52
3.2.7 Ibu Mabel .......................................................................................... 53
3.2.8 Ayah Mabel ...................................................................................... 54
3.2.9 Pace Mauwe ...................................................................................... 56
3.2.10 Pace Johanis ...................................................................................... 57
3.2.11 Yosi ................................................................................................... 58
3.2.12 Mama Helda ..................................................................................... 59
3.2.13 Pace Poro Boku ................................................................................ 60
3.2.14 Karel ................................................................................................. 61
3.2.15 Pace Gerson ...................................................................................... 62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
3.2.16 Mama Mote....................................................................................... 63
3.2.17 Pemuda Meno ................................................................................... 63
3.2.18 Pace Arare......................................................................................... 65
3.2.19 Hermine Stappen .............................................................................. 65
3.2.20 Piet van de Wissel............................................................................. 67
3.2.21 Kelompok orang berseragam dan bersenjata .................................... 67
BAB IV WAJAH SUKU ASLI PAPUA DALAM TANAH TABU .................. 70
4.1 Pengantar ................................................................................................. 70
4.2 Wajah Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu ............................................ 72
4.2.1 Ditaklukkan oleh Belanda Kolonial ................................................. 72
4.2.2 Dijajah Secara Internal oleh Pendatang ............................................ 75
4.2.3 Menjadi Korban ................................................................................ 81
4.2.4 Minoritas ........................................................................................... 84
4.2.5 Pengaturan Kekuasaan dalam Masyarakat Suku Asli ...................... 87
4.2.6 Pandangan Dunia Suku Asli terhadap Alam .................................... 89
4.3 Wajah Kaum Perempuan Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu .............. 96
4.3.1 Atribut Kultural Perempuan Suku Asli ............................................ 96
4.3.2 Kewajiban Rumah Tangga dan Kekerasan Domestik ...................... 98
4.3.3 Bersekolah, Bekerja, dan Berkumpul ............................................. 100
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 104
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 104
5.2 Saran ...................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRAK Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat
Novel Tanah Tabu. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Secara harfiah, membaca wajah ialah menangkap ekspresi wajah untuk
memahami si pemilik wajah dan juga untuk berkomunikasi dengannya. Tetapi, di dalam skripsi ini, wajah yang dimaksud adalah wajah pelaku-pelaku dalam novel Tanah Tabu sehingga wajah para pelaku dapat dibaca dari unsur intrinsik tokoh dan penokohan. Suku asli Papua (the indigenous Papua) yang dibaca lewat novel Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui adat-istiadat, ritual, mata pencaharian/penghidupan, perilaku berbahasa, pertalian antara suku asli dengan tanah asal, dan juga persoalan masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan wajah suku-suku asli Papua, sebagai sosok yang terpinggirkan dari pandangan utama (pusat perhatian pembaca), melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku mereka di dalam novel tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples.
Pembacaan dipusatkan pada novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Penulis memanfaatkan yaitu teori strukturalisme sastra mengenai unsur intrinsik tokoh dan penokohan dalam prosa fiksi serta perspektif the indigenous peoples. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode yang dipakai untuk melakukannya ialah metode deskriptif analitis.
Dalam penceritaan novel Tanah Tabu mengenai suku asli Papua, baik suku yang disebut secara spesifik seperti Dani dan Amungme maupun yang disebut hanya dengan istilah orang Komen dan orang Meno, penulis membaca wajah praeksistensi suku asli. Suku Dani ialah penduduk asli (original inhabitants) di Lembah Baliem, sedangkan suku Amungme ialah penduduk asli di kawasan Gunung Nemangkawi. Secara turun-temurun, mereka menempati dan membangun kehidupan di atas tanah mereka masing-masing sehingga dengan demikian merekalah pemilik tanah itu. Sebagai pemilik secara adat, suku asli Papua yang ditokohkan dalam Tanah Tabu menunjukkan wajah memelihara dan nonmaterialis terhadap alam. Mereka mempertahankan tempat khusus bagi alam dengan menyebutnya Tanah Ibu. Sebagian suku asli setia melindungi tanah adat sesuai dengan kepercayaan tradisional, namun sebagian yang lain tanpa rasa malu malah menjual tanah adat kepada perusahaan pertambangan emas.
Wajah suku asli yang ditokohkan dalam karya Thayf ini masihlah wajah yang ditaklukkan. Pada era 1940-1950-an, suku Dani ditundukkan oleh tokoh bangsa kulit putih yang membangun pos pemerintahan kolonial di Lembah Baliem. Puluhan tahun setelah itu, suku Amungme dijajah oleh para pendatang dari luar pulau yang mendirikan tambang emas raksasa di Gunung Nemangkawi, gunung suci suku tersebut. Tempat suku asli sebagai kaum minoritas semakin jelas terbaca melalui ekspresi kebudayaan mereka yang, perlahan tetapi pasti,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
kalah dari pesona modernitas yang dibawa masuk oleh pendatang. Pakaian tradisional, alat tukar tradisional, mata pencaharian, bahasa ibu, hingga noken menjadi terasing dari suku asli sendiri.
Tidak luput, kaum perempuan suku asli menampilkan wajah yang ditundukkan dan diminoritaskan secara berlapis. Perempuan di dalam Tanah Tabu adalah perempuan yang mengalami peminggiran, dominasi, dan penindasan di ruang publik oleh adat, di ruang domestik oleh suami. Ada wajah perempuan Papua yang kesakitan dalam rumah tangga yang terbaca dari tokoh Mabel, Mace, dan Mama Helda. Ada pula wajah perempuan yang disingkirkan dari ruang publik, yakni dalam dunia pendidikan dan pekerjaan, yang terbaca dari keberadaan tokoh seorang anak perempuan bernama Yosi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
ABSTRACT Mangalandum, Rosa Sekar. 2011. Reading the Indigenous Papua’s Visage
through Tanah Tabu. An undergraduate thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
To read someone’s visage, literally, is to catch one’s countenance, intended
for an understanding of the visage owner and also for communication with her/him. But, within novel, visage refers to those of the characters’, thus can they be read through characterization. The indigenous peoples of Papua’s visage which is read through Tanah Tabu shows their “countenance” by means of the people’s customary laws, rites, their means of livelihood, language they speak as means of communication, the indigenous’ relationship to their motherland, as well as how newcomers’ society and culture has problematically marginalized the indigenous of Papua. These things then inspired this research with an objective of analysing and describing the indigenous Papua’s visage, as figures that has always been put aside of the readers’ central attention, through their cultural expressions within the novel, using the indigenous peoples’ perspective.
This research focuses its discussion to a novel entitled Tanah Tabu written by Anindita S. Thayf. This is a library research. The approach applied in it is the literary structuralism theory about characters and characterization in fictional prose and the indigenous peoples perspective, while the method used is the descriptive analysis method.
Tanah Tabu recounts the indigenous Papua either by calling them using terms, such as orang Komen and orang Meno, or mentioning specifically their names, Dani and Amungme. Through this account, their visage of pre-existence is figured out. The indigenous Papua have had, for generations, occupied and built their life as original inhabitants, for example the Dani in Baliem Valley and the Amungme in Mount Nemangkawi. Accordingly, it is they who owned the land of their ancestor. The indigenous peoples, as traditional owner of the land, expresses a world view consisiting of a custodial and nonmaterialist attitude toward nature and this is also seen as these peoples’ typical visage. They preserved a particular place for nature by calling it Tanah Ibu, ‘Earth Mother’. Nonetheless, a part of the indigenous Papua was faithful to take care of their ancestor’s land according to traditional belief, whereas other part traded the land shamelessly with a mining company.
The indigenous Papua’s countenance in Tanah Tabu could not but express a state of being vanquished. During the period of 1940-1950’s, the Dani was subjugated by white nation characters who erected a colonizer’s post in Baliem Valley. Decades after, the Amungme was in turn colonized internally by outsiders who established a giant gold mining company in Mount Nemangkawi, the people’s sacred mountain. The indigenous peoples’ position as minoroty is unmistakably read since their cultural expressions were, slow but sure, swept aside by modernization. Traditional clothing, medium of exchange, means of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
livelihood, mother tongue, even noken sack were estranged from the indigenous themselves.
Unfailingly noticeable, the indigenous Papua women of Tanah Tabu were women made subservient and minor in layers. They endured marginalization, domination, and oppression by customary laws within public domain as well as by their husbands within domestic area. Dolorous visage were read through the presence of women characters at household such as Mabel, Mace, and Mama Helda. Moreover, the presence of a girl character, 12 years old Yosi, pointed out that indigenous women were shoved aside from public domain, i.e. the world of education and employment.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, wajah adalah bagian tubuh yang
menampilkan ekspresi-ekspresi yang bisa menunjukkan diri atau kepribadian
seseorang. Ekspresi-ekspresi ini disebut ekspresi wajah (raut muka). Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat mengemukakan beberapa arti
lema wajah. Dua di antaranya adalah ‘bagian depan dari kepala, roman muka,
muka’ dan ‘apa-apa yang tampak lebih dulu’ (Departemen Pendidikan Nasional,
2008: 1553). Artinya, wajah berada di bagian depan dan selalu tampak lebih dulu.
Wajah penting dalam proses saling mengenal, berkomunikasi secara langsung,
dan juga ketika bercermin. Secara harfiah, membaca wajah dapat dilakukan
dengan menangkap ekspresi wajah untuk memahami si pemilik wajah dan juga
untuk berkomunikasi dengannya.
Tetapi, yang dimaksudkan dalam skripsi ini bukanlah wajah yang bermakna
harfiah, melainkan wajah—secara konotatif—para pelaku novel Tanah Tabu yang
dapat dibaca lewat aspek tokoh dan penokohan. Sesuai dengan judul skripsi ini,
yaitu “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu”, wajah yang
dimunculkan ialah wajah para tokoh suku asli Papua (the indigenous Papua). Para
tokoh suku asli Papua dalam Tanah Tabu menampilkan “ekspresi wajah” melalui
adat-istiadat, ritual, mata pencaharian/penghidupan, perilaku berbahasa, pertalian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
2
(relasi) antara suku asli dengan tanah asal (alam, lingkungan), dan juga persoalan
masyarakat serta kebudayaan pendatang yang meminggirkan suku asli.
Objek pembahasan skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel
Tanah Tabu” ialah novel Tanah Tabu. Memenangi Sayembara Novel DKJ 2008,
Tanah Tabu merupakan karya seorang pengarang perempuan asal Makassar,
Anindita Siswanto Thayf. Oleh PT Gramedia Pustaka Utama, karya tersebut
diterbitkan pada tahun 2009. Di dalam novel ini, pengarang mengisahkan suku
Dani yang hidup di Timika—dijuluki Kota Dolar—lewat tokoh Mabel, Mace, dan
Leksi. Meskipun tokoh Mabel dan Mace adalah dua perempuan Papua yang
menjadi kunci di dalam penceritaan, Thayf justru tidak memberi kesempatan pada
mereka untuk berbicara secara langsung. Mabel ataupun Mace bukanlah narator.
Kedua perempuan ini sesungguhnya hanya diceritakan lewat mulut seorang anak
perempuan kelas 1 SD, seekor anjing pemburu, dan seekor babi kecil. Peristiwa-
peristiwa lainnya dalam Tanah Tabu juga meluncur dari mulut ketiga narator
tersebut. Si anak perempuan menceritakan bagaimana pedagang-pedagang sayur
di pasar berkelompok merencanakan aksi protes terhadap perusahaan tambang
emas yang membuat mereka rugi besar, sementara sebuah partai politik
mengumbar janji semata dalam kampanye yang dilakukan di pasar tradisional
yang sama. Si anjing pemburu berkisah tentang kehidupan di suatu perkampungan
suku Dani di Lembah Baliem pada tahun 1946. Si babi kecil bercerita tentang
kejadian penangkapan Mabel dan perkosaan yang dialami Mace. Kedua tindakan
itu dilakukan oleh kelompok yang berciri-ciri militer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
3
Melalui pelbagai ekspresi mereka—di antaranya melalui tokoh Mabel,
Mace, Leksi, Mama Helda, Pace Mauwe, Pace Johanis, dan lain-lain—dalam
novel Tanah Tabu, suku asli Papua (the indigenous Papua) mengkomunikasikan
keadaan mereka. Di dalam Tanah Tabu, tokoh Pum mengungkap keterusiran suku
Amungme dari tanah leluhur mereka di Gunung Nemangkawi. Pendatang
mendirikan sebuah penambangan emas raksasa di gunung itu, merampok wilayah
dan penghidupan suku Amungme, padahal kepercayaan suku (folk belief)
menyatakan bahwa orang-orang Amungme yang telah meninggal akan berpulang
jiwanya ke Gunung Nemangkawi.
Apa yang melatarbelakangi proses membaca wajah suku asli Papua dalam
skripsi ini? Sebentuk wajah penting dibaca supaya si pemilik wajah dikenali dan
dapat dipahami. Apabila si pemilik wajah dikenali, label-label yang bersifat
menghakimi dan menggeneralisasi perlahan-lahan akan terhapus. Dengan
membaca wajah suku asli Papua, dapat dimengerti kebutuhan, kepentingan, dan
keinginan mereka. Berikutnya, label “primitif” atas suku asli Papua tidak perlu
dilanggengkan. Menyitir bunyi sebuah pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang,”
penulis berpendapat bahwa apabila wajah suku asli Papua dikenali dan dipahami,
stereotipe atas suku asli sebagai “yang kelas dua” bisa diputus pewarisannya.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum marak penelitian yang dilakukan ahli
ilmu sastra Indonesia atas sosok suku asli Papua dalam karya sastra. Sosok-sosok
tersebut masih dilewatkan. Karena itu, penulis memilih mengangkat sosok suku
asli Papua di dalam skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
4
Upaya penulis mengangkat sosok suku asli Papua dalam Tanah Tabu
dilakukan dengan cara memaparkan sinopsis (ringkasan cerita) Tanah Tabu
kemudian menjelaskan aspek tokoh dan penokohan (characterization) di
dalamnya. Penulis membaca wajah suku asli Papua dalam karya tersebut
menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples). Penulis berharap,
upaya pembacaan ini akan menggerakkan suku-suku asli Nusantara untuk menulis
tentang kehidupan mereka sendiri.
Penggunaan beberapa peristilahan khas penelitian the indigenous peoples
dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mengakrabi
peristilahan kunci dalam ranah penelitian tersebut, tidak untuk menjadikan bahasa
Indonesia inferior di hadapan bahasa bangsa Barat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diaparkan di atas,
pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian “Membaca Wajah Suku Asli
Papua Lewat Novel Tanah Tabu” dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana sinopsis novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf?
1.2.2 Bagaimana tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang?
1.2.3 Bagaimana wajah suku asli Papua diekspresikan (ditunjukkan) dalam
novel Tanah Tabu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
5
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian kepustakaan ini sesuai dengan poin yang
telah dinyatakan pada bagian rumusan masalah. Tujuan penelitian:
1.3.1 memaparkan ringkasan cerita atau sinopsis Tanah Tabu karya Anindita S.
Thayf,
1.3.2 menjelaskan aspek tokoh dan penokohan dalam novel tersebut,
1.3.3 mendeskripsikan wajah suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu melalui
ekspresi-ekspresi kebudayaan suku tersebut dengan memanfaatkan
perspektif the indigenous peoples.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Penelitian ini berisi deskripsi wajah suku asli Papua (the indigenous Papua),
di antaranya suku Dani dan Amungme, yang ada dalam novel Tanah Tabu,
menggunakan perspektif the indigenous peoples. Dari penelitian ini, dapat
diketahui pula sinopsis novel Tanah Tabu serta tokoh dan penokohan yang
diciptakan pengarangnya, Anindita S. Thayf.
Secara sederhana, pembacaan ini merupakan bentuk apresiasi atas karya
sastra Indonesia, terutama prosa (novel). Diharapkan juga pembacaan ini
bermanfaat mendorong dan menginspirasi orang-orang lain untuk menambah
ragam apresiasi sastra. Penggunaaan perspektif the indigenous peoples di dalam
skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian sastra.
Karya sastra semacam novel Tanah Tabu mempunyai manfaat praktis untuk
memperkenalkan kebudayaan suku asli kepada khalayak pembaca. Artinya, novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
6
Tanah Tabu yang mengangkat Papua dalam penceritaannya mempunyai manfaat
mengenalkan kebudayaan suku asli Papua. Kehadiran skripsi yang membahas
novel Tanah Tabu seperti ini bermanfaat untuk membuka pandangan baru bagi
pembaca-pembaca yang hendak mulai memahami persoalan suku asli Papua.
Penulis mengharapkan skripsi ini bermanfaat menggerakkan suku-suku asli
Papua untuk menulis sendiri tentang kehidupan, masyarakat, dan kebudayaan
mereka secara terbuka. Penulis yakin bahwa suku asli Papua tidak perlu terus-
menerus dituliskan oleh kaum pendatang ataupun oleh bangsa Barat.
1.5 Tinjauan Pustaka
Hasil penelitian mengenai nilai dan pandangan hidup suku-suku asli Lembah
Baliem telah ditulis oleh putra Baliem sendiri, yakni oleh Alua dkk. (2006: vii-
viii). Buku ini merupakan kumpulan dari lima tulisan hasil penelitian yang
berbeda. Tulisan-tulisan tersebut membahas perihal satuan kemasyarakatan suku-
suku asli Lembah Baliem, penjelasan tentang bentuk fisik maupun nilai-nilai di
balik komunitas silimo, situasi hubungan sosial budaya di antara para perempuan
Lembah Baliem dengan kaum laki-lakinya, pakaian tradisional, serta local
wisdom di Lembah Baliem tentang perilaku menghormati alam lingkungan. Selain
berpendekatan antropologis, hasil penelitian yang dibukukan ini bernuansa teologi
berhubung ketiga penulisnya memiliki latar belakang studi teologi.
Menurut Alua dkk. (2006: vii) pada bagian kata pengantar, “unsur-unsur
sub[j]ektivitas sebagai orang Baliem cukup mewarnai dalam pembahasan topik-
topik yang kami uraikan”. Terkait dengan hal ini, alasan penulis tetap memilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
7
buku ini sebagai acuan adalah karena dari novel yang dikaji, meskipun sama-sama
berbicara tentang suku asli Papua, tidak satu pun ditulis oleh orang Papua sendiri.
Penulis perlu mengetahui situasi suku-suku tersebut dari sudut pandang mereka
sendiri untuk meminimalisasi bias.
Amiruddin dan de Soares (2003: 6-7) menulis sebuah buku mengenai suku
Amungme, salah satu suku asli di tanah Papua, dalam rangka memperjuangkan
hak adat suku tersebut dari konsesi kepemilikan PT Freeport Indonesia. Buku
yang mereka tulis berjudul Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer.
Dari buku ini, diperoleh cerita rakyat (folklore) tentang asal-usul suku Amungme
di tanah Papua dan mengapa Gunung Nemangkawi dipandang suci oleh mereka.
Pembahasan Amiruddin dan de Soares berlanjut dengan permulaan masuknya PT
Freeport Indonesia ke Timika sebagai anak perusahaan Freeport-McMoRan
Copper and Gold Inc. Pembahasan tersebut dimaksudkan sebagai konteks
kesejarahan perkembangan PT Freeport Indonesia sehingga selanjutnya dapat
dianalisis apakah keberadaaan perusahaan pertambangan tersebut diperuntukkan
bagi kesejahteraan suku asli Papua, khususnya suku Amungme, atau
sesungguhnya ada kepentingan lain di baliknya. Amiruddin dan de Soares
mengemukakan secara deskriptif perjuangan suku Amungme sepanjang tahun
2000 hingga 2003 untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah Indonesia
sendiri dan dari PT Freeport Indonesia sebagai pemilik Gunung Nemangkawi
secara adat.
Selain itu, reportase tentang suku asli Papua pun telah ditulis oleh
sekelompok wartawan surat kabar Kompas melalui perjalanan jurnalistik mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
8
ke tanah Papua dan kemudian dibukukan (Yuniarti, 2008: ix-x). Buku yang
dimaksud berjudul Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing
di Pulau Sendiri, sementara perjalanan jurnalistik para wartawan yang menulis
buku itu dinamai Ekspedisi Tanah Papua. Di dalam buku tersebut, tercatat hal
potensi sumber daya alam Papua berikut pemikiran lokal. Sejumlah persoalan
seputar Papua dan masyarakat di pulau itu pun tersingkap. Reportase dalam
Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas Terasing di Pulau Sendiri
diarahkan untuk merekam pelbagai persoalan yang sebetulnya dapat dijadikan
dasar pengembangan kelestarian lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan
pemberdayaan suku asli Papua. Dikemukakan dalam bagian kata pengantar bahwa
buku tersebut merupakan wujud usaha Kompas untuk menyimak suara suku asli
Papua—diidiomkan sebagai detak urat nadi—dengan seksama.
Hingga sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian atas Tanah Tabu
untuk tujuan akademis. Walaupun demikian, novel tersebut cukup ramai
dibicarakan di media massa dalam kurun waktu 2008-2009 sebab memenangi
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2008. Pengarang
Anindita S. Thayf diperbincangkan sebagai satu-satunya pemenang Sayembara
Novel DKJ tahun 2008 dengan novel Tanah Tabu-nya (Hidayah, halaman web,
2008). Ketiga juri sayembara, Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, dan Kris
Budiman, tidak mengangggap karya-karya lain yang masuk ke meja penjurian
layak diperhitungkan. Karya Thayf mereka nilai memuat konteks yang kompleks
disertai cara bertutur yang sensasional, sedangkan karya-karya lainnya yang juga
mereka terima dianggap ditulis dengan semangat untung-untungan saja. Berita ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
9
menyatakan bahwa novel Tanah Tabu mengisahkan kehidupan masyarakat asli
Papua yang tertindas oleh para pendatang. “Apalagi di sana ada tambang asing
(Freeport) yang akhirnya menindas rakyat,” demikian pernyataan langsung Thayf
(Hidayah, halaman web, 2008).
Dengan lebih jelas, latar belakang penulisan novel tersebut diungkapkan
melalui artikel profil Anindita S. Thayf (Syaifullah, halaman web, 2009).
Syaifullah mengungkap bahwa proses penulisan Tanah Tabu menghabiskan
waktu 6 bulan. Thayf menulis dengan dasar penelitian pustaka selama 2 tahun,
tanpa pernah satu kali pun menginjakkan kaki di tanah Papua. Menurut
Syaifullah, Thayf terpana saat membaca tentang kehidupan getir suku asli Papua
dan miris saat mengetahui kesulitan yang dialami para perantau Papua di
Yogyakarta.
(1) Anin miris ketika menyadari betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Yogyakarta. Sebab, para pemilik kontrakan dan kos-kosan—juga sebagian besar tetangga—menganggap orang Papua suka bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka mabuk. "Ini membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka, Papua," tutur Anin. (Syaifullah, halaman web, 2009)
Thayf menokohkan suku asli Papua dalam karyanya dengan karakter “suka
bikin keributan, bicara dan memutar musik keras-keras, bertengkar, dan suka
mabuk” (Syaifullah, halaman web, 2009) padahal gambaran-gambaran negatif
tersebutlah keprihatinan pribadinya. Tokoh-tokoh pedagang sayur dan buah di
pasar tradisional Timika, contohnya, ditampakkan lebih suka membuat keributan
daripada menyiasati persoalan menggunakan kepala dingin. Tokoh Pace Poro
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
10
Boku mempunyai kebiasaan berbicara keras-keras sehingga tetangga merasa
berisik dan terganggu. Dikisahkan dalam novel Tanah Tabu bahwa orang-orang
muda Papua berperang sampai memakan korban jiwa karena berebut batas
wilayah. Tidak ketinggalan, sebagian besar tokoh laki-laki dalam Tanah Tabu
gemar bermabuk-mabukan. Ini membuktikan bahwa di dalam novel Tanah Tabu,
Thayf sesungguhnya melanggengkan anggapan negatif atas suku asli Papua.
Anggapan negatif semacam itulah yang justru hendak dihapus dalam skripsi ini.
Mawardi (halaman web, 2009a) justru merespons positif Tanah Tabu
dengan berpendapat bahwa novel tersebut merupakan sebuah refleksi mengenai
diskriminasi yang sudah sejak lama dialami oleh para perempuan Papua sampai
masa kini. Masuknya lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, partai politik,
dan perusahaan emas ke tanah Papua boleh jadi mewujudkan kemajuan.
Walaupun demikian, kehidupan kaum perempuan di sana tak ubahnya suatu
tragedi. Perempuan Papua tetap saja menjadi yang terpinggirkan dan tertindas.
Kaum perempuan merupakan “tumbal dari perayaan superioritas maskulinitas
dalam tegangan tradisi dan modernitas” (Mawardi, halaman web, 2009a). Sambil
memuji impresifnya narasi Tanah Tabu, Mawardi menilai novel tersebut sebagai
“jalan imajinasi untuk ditempuhi pembaca dalam membaca dan menilai lakon
Papua”.
Mawardi (halaman web, 2009b) menggolongkan Tanah Tabu ke dalam
kelompok karya sastra pinggiran (marginal). Seperti dikutip dari keterangan
langsung Anindita S. Thayf, "Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra
pinggiran. Tanah Tabu berkisah tentang manusia-manusia pinggiran dan sengaja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
11
dipinggirkan." (Mawardi, halaman web, 2009b) Subjek pengisahan karya tersebut
ialah penduduk Papua dengan latar tempat Papua. Menurut Mawardi, pilihan
Thayf untuk mengangkat Papua menunjukkan resistensi atas dominasi novel
Indonesia yang membicarakan Jawa atau Sumatera. Ia menyinggung tentang
kemunculan warna lokal Papua dalam Tanah Tabu. Walaupun memperhatikan
kemunculan warna lokal, Mawardi tidak menyoroti suku-suku asli yang menjadi
pelaku dalam novel Thayf.
Zaki (halaman web, 2009) ikut meramaikan pembicaraan tentang Tanah
Tabu dengan mempublikasikan sebuah resensi di Harian Global Medan. Zaki
menyoroti jalan cerita dan pelaku-pelaku penting yang terdapat dalam Tanah
Tabu. Paparannya dibuka dengan mengangkat nama-nama perempuan Papua yang
konsisten memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya kaum perempuan, di
tanah mereka. Zaki menyebut Yosepha Alomang asal Tsinga, Ester Kerewey asal
Manokwari, dan Tinneke Pahua dari Biak-Numfor.
Rif’an (halaman web, 2009), dalam resensinya yang dimuat di surat kabar
Koran Jakarta, berpendapat bahwa bahasa dalam novel Tanah Tabu “sangat
menggelitik, atraktif, sekaligus inspiratif”. Yang dilihat Rif’an dari karya ini
adalah ketimpangan dalam masyarakat di Papua. Ia mengatakan, ada budaya
patriarkhal yang melanggengkan penindasan laki-laki atas perempuan dan
penceritaan pengarang tentang keadaan ini merupakan kritik sosial.
Yang menurut penulis sedikit aneh adalah Rif’an (halaman web, 2009)
mengatakan demikian mengenai novel Tanah Tabu, “[g]emerlap ceritanya dihiasi
dengan celoteh ria masyarakat Papua berikut tangisan-tangisannya”. Pada hemat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
12
penulis, cerita kehidupan dalam Tanah Tabu merupakan cerita tentang
keprihatinan. Kehidupan para tokohnya berat, di antaranya dibuktikan oleh
kehidupan tokoh Mabel dan Mace. Tidak terdapat sesuatu pun yang gemerlap
dalam kisah Tanah Tabu.
Skripsi “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu”
berbeda dari pustaka-pustaka yang ditinjau di atas. Objek pembahasan skripsi ini
bukanlah fakta seperti dalam Alua (2006: vii-viii), Amirudin dan de Soares (2003:
6-7), ataupun Yuniarti (2008: ix-x), melainkan karya sastra. Adapun resensi-
resensi yang ditinjau di atas memang membahas objek yang sama dengan skripsi
ini, yaitu novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Akan tetapi, skripsi
“Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” menggunakan
perspektif yang unik dan khas, yaitu perspektif suku asli (the indigenous peoples).
Penggunaan perspektif suku asli dalam skripsi ini memberi perbedaan dari
pustaka-pustaka tersebut.
1.6 Kerangka Teori
Sesuai dengan tujuan penelitian, yakni mendeskripsikan wajah suku asli
Papua dalam novel Tanah Tabu melalui ekspresi-ekspresi kebudayaan suku
tersebut dengan memanfaatkan perspektif the indigenous peoples, penulis
memilih kerangka teori strukturalisme sastra dan perspektif indigenous. Dari teori
strukturalisme sastra, penulis memilih konsep tokoh dan penokohan
(characterization).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
13
1.6.1 Tokoh dan Penokohan (Characterization)
Tokoh didefinisikan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 165),
sebagai “orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan”. Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 165), memaksudkan tokoh
(characters) sebagai pelaku-pelaku cerita yang ditampilkan. Sejalan dengan dua
definisi itu, Hendy (1988: 33) memberikan pemahaman tentang tokoh dengan
mencontohkan tiga tokoh dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
Tokoh yang dicontohkan yaitu Mariamin, Aminuddin, dan Sutan Baringin.
Henkle (1977: 86) merumuskan penokohan (characterization) sebagai
kunci dalam praktik memahami fiksi, “Characterization, therefore, is central to
the fictional experience. And the principle objective of the creation of characters
in novels is to enable us to understand, and to experience, people.” Praktik
membaca dan memahami fiksi sesungguhnya meliputi pengalaman berjumpa
dengan sosok sesama manusia (meski secara fiksional). Dapat disimpulkan, hal
yang sama terjadi ketika pembaca membaca novel Tanah Tabu. Keberadaan
sosok the indigenous Papua di dalam novel tersebut membuat pembaca
mengalami perjumpaan dengan mereka. Oleh karena itu, pengalaman
perjumpaan antara pembaca dengan the indigenous Papua dalam Tanah Tabu
sesungguhnya dipengaruhi oleh bagaimana pengarang menampilkan the
indigenous Papua. Tampilan mereka dalam Tanah Tabu dapat dibaca
menggunakan dasar teori tokoh dan penokohan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
14
Berdasarkan bagaimana pengarang novel menampilkan tiap tokoh, ahli-
ahli ilmu sastra telah membuat berbagai kategorisasi tokoh dalam fiksi. Salah
satu kategori yang paling lazim yakni tokoh utama dan tokoh sampingan. Sayuti
dalam Wiyatmi (2006: 31) menyebutnya tokoh utama (sentral) dan tokoh
tambahan (periferal). Kategorisasi yang dibuat Sayuti didasarkannya pada
beberapa faktor dalam penokohan, yaitu (i) keterlibatan tokoh yang
bersangkutan dengan makna atau tema fiksi, (ii) tingkat kekerapan (intensitas)
hubungan yang dibangun tokoh bersangkutan dengan tokoh lain, dan (iii) lama
penceritaan mengenai tokoh tersebut yang diberikan pengarang untuknya.
Mirip dengan Sayuti dalam Wiyatmi (2006: 31), Henkle (1977: 87-88)
mengkategorisasi tokoh menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh
sampingan (secondary character). Henkle merumuskan faktor penokohan
sebagai berikut, “Those factors are the complexity of the characterization, the
attention given certain figures, and the personal intensity that a character seems
to transmit.”
Hendy (1989: 176) menerangkan bahwa penokohan terdiri dari beberapa
hal, yaitu kualitas nalar tokoh yang bersangkutan, sikap dan tingkah laku tokoh
tersebut, kemauan, pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, penulis mengikuti definisi tokoh menurut Abrams
dalam Nurgiyantoro (1995: 165), yaitu “orang (-orang) yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan”. Dalam kategorisasi jenis tokoh, penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
15
menemukan kemiripan antara konsep Sayuti dengan konsep Henkle. Walaupun
kedua konsep terebut mirip, penulis memilih mengikuti konsep Henkle karena
konsep Henkle dirasa lebih sesuai untuk membaca tokoh-tokoh Tanah Tabu
daripada konsep Sayuti. Dengan demikian, penulis membuat pengelompokan
tokoh-tokoh Tanah Tabu menjadi tokoh utama (major character) dan tokoh
sampingan (secondary character). Pengelompokan ini dibuat berdasarkan faktor
penokohan menurut Henkle, yakni kerumitan (kompleksitas) penokohan,
banyaknya sorotan (perhatian) yang diberikan pada tokoh tertentu, dan intensitas
personal yang dipancarkan suatu tokoh. Selain dikelompokkan, masing-masing
tokoh juga dijelaskan dalam hal kualitas nalar, sikap, tingkah laku, kemauan,
pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya (Hendy, 1989: 176).
1.6.2 Perspektif the Indigenous Peoples
Mendefinisikan istilah indigenous peoples tidaklah mudah sebab kata
indigenous itu sendiri tidak mempunyai batasan tertentu yang pasti (fixed
definition). Meskipun mendefinisikannya tidak mudah, upaya untuk membaca
wajah indigenous peoples perlu dilakukan supaya tidak gagal membaca wajah
dan memahami suku asli Papua dalam novel Tanah Tabu. Bila lema indigenous
dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris-Indonesia, kita akan memperoleh arti
‘asli, pribumi’. Jika lema yang sama dicari dalam sebuah kamus bahasa Inggris,
diperoleh arti ‘native or belonging naturally to a place’ atau, seperti dikutip
Gray dalam Barnes dkk. (1995: 36), “someone who is “in-born or a native”, one
who is born native to a land or region”. Namun dalam pembahasaan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
16
konvensional, indigenous peoples adalah penghalusan untuk makna peyoratif
‘primitif’, ‘orang-orang tribal’, ‘kelompok etnik minoritas’, ‘aborigin’2, ‘kasta
rendah (low caste)’, ‘zaman batu’, dan semacamnya. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat menyediakan lema indigenos sebagai
padanan Indonesia untuk indigenous, yang diartikan sebagai ‘pribumi, asli’
(Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 532). Namun, di samping lema
indigenos tidak akrab untuk berbahasa sehari-hari, sense penghalusannya pun
tidak ditampung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat.
Pelbagai makna peyoratif di atas dapat muncul dalam penggambaran
perilaku dan watak indigenous peoples, misalnya kasar, suka berperang,
berdarah panas. Berikut ini dalam laporan penelitiannya, Koentjaraningrat
memunculkan salah satu ilustrasi tentang perilaku indigenous peoples.
(2) Orang Dani memang mudah marah, dan dalam kemarahannya mereka sering berbicara dengan lantang, memukul ke kanan dan ke kiri, dan biasanya isteri-isterilah yang menjadi sasaran kemarahannya. Wanita pun biasanya menjerit berlebih-lebihan, dan walaupun mereka juga agresif, karena fisik mereka lebih lemah dan mereka tidak dapat menyatakan kemarahan mereka dengan main pukul secara membabibuta, maka kemarahan yang luar biasa hanya dapat disalurkan dengan berteriak-teriak berlebih-lebihan. (Koentjaraningrat, 1994: 278-279)
Sesungguhnya baik istilah indigenous maupun istilah primitif, secara
konvensional, tak lebih dari label. Tetapi, makna istilah primitif “menempelkan”
atribut negatif dan tidak berdasar. Itulah salah satu hal yang menyebabkan suku-
2 Aborigin bukan hanya nama penduduk asli asal Australia secara khusus, melainkan sebuah istilah antropologi pula untuk penduduk asli daerah tertentu dalam makna yang umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
17
suku atau penduduk asli mulai dan semakin gencar menyebut diri mereka sendiri
atau komunitas etnik mereka dengan istilah indigenous peoples. Dalam skripsi
ini, penulis memilih menerjemahkan istilah indigenous peoples menjadi ‘suku
asli’.
Definisi untuk istilah suku asli (the indigenous peoples) tidak bisa diberi
“harga mati” sebab istilah ini tidak semata-mata bermakna label ataupun atribut
tertentu, tetapi juga kualitas tertentu dalam diri seseorang. Kriteria untuk siapa
yang dapat disebut indigenous dan siapa yang tidak menjadi persoalan. Sebuah
pendapat mengatakan bahwa setiap orang adalah indigenous di daerah asalnya
masing-masing (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 36; Barnes dalam Barnes dkk.,
1995: 308). Jika demikian, persoalan indigenous-ataukah-bukan menjadi relatif,
menjadi tergantung pada konteks geografis. Di samping itu, seiring
perkembangan zaman, akulturasi terjadi terus-menerus sehingga lebih rumit lagi
menentukan yang seperti apa yang bertahan indigenous dan yang seperti apa
yang bukan indigenous lagi.
Ada empat ciri utama dalam pengertian suku asli (the indigenous people).
Ciri pertama yaitu praeksistensi (pre-existence). Yang dimaksud dengan ciri
praeksistensi yaitu suku asli mendiami wilayah asal mereka sejak zaman leluhur,
bahkan sebelum kelompok manusia lain tiba di wilayah tersebut. Ciri kedua
yaitu non-dominance. Suku-suku asli ini justru bukan kelompok yang dominan
di wilayah asal mereka sendiri. Jumlah mereka justru hanya sebagian kecil dari
populasi total penduduk. Ciri ketiga adalah perbedaan kebudayaan (cultural
difference). Ciri yang terakhir, adanya identifikasi diri sebagai indigenous (self-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
18
identification as indigenous). Ini berarti mereka mengakui bahwa merekalah
suku asli dari wilayah tertentu. Ciri-ciri di atas dicetuskan oleh The Independent
Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI) dalam dokumen
laporan mereka, berjudul Indigenous Peoples: a Global Quest for Justice, yang
diterbitkan pada tahun 1987 (Gray dalam Barnes dkk., 1995: 38). Keempat ciri
tersebut pertama-tama bermanfaat untuk membedakan antara suku-suku asli (the
indigenous peoples) dengan kelompok pendatang.
Julian Burger (Barnes dalam Barnes dkk., 1995: 311) membuat rumusan
karakteristik indigenous peoples. Kriteria yang dibuat Burger tidak mengarah
pada definisi tertentu sebab tidak mesti keseluruhan kriteria cocok dengan tiap-
tiap suku asli. Karakteristik suatu suku asli dapat saja sesuai dengan keseluruhan
kriteria tersebut, tetapi bisa juga hanya sebagian dari karakteristik suku tersebut
yang tercakup dalam rumusan Burger. Berikut ini enam karakteristik indigenous
peoples menurut Burger.
1.6.2.1 Mereka merupakan keturunan dari penduduk yang pertama mendiami
suatu wilayah yang kemudian menjadi taklukan bangsa Barat.
1.6.2.2 Mereka hidup secara berpindah-pindah dengan mempunyai kebun
atau ladang berpindah, memelihara hewan ternak, ataupun menjadi
pemburu pengumpul, yang bercocok tanam secara padat karya dengan
hasil panen yang tidak banyak berlebih serta kebutuhan energi rendah.
1.6.2.3 Mereka belum mengenal lembaga pemerintahan yang terpusat,
pengaturan dilakukan di tingkat komunitas, dan keputusan-keputusan
diambil berdasarkan kesepakatan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
19
1.6.2.4 Mereka berbicara dalam bahasa yang sama, memeluk
agama/kepercayaan yang sama, mempunyai kebudayaan yang sama.
Mereka juga mempunyai ciri pengenal yang menunjukkan wilayah
mereka dan pertalian dengan wilayah tersebut, namun hal ini
ditundukkan oleh kebudayaan dan masyarakat yang dominan.
1.6.2.5 Mereka mempunyai pandangan dunia (world view) yang berbeda
yakni yang melindungi dan bersifat nonmaterialis terhadap alam
lingkungan (nature) serta kandungan sumber daya di dalamnya.
1.6.2.6 Mereka terdiri dari orang-orang yang secara objektif menganggap diri
mereka suku asli (indigenous) dan mereka diterima di dalam
kelompok sebagai suku asli juga. (Barnes dalam Barnes dkk., 1995:
311)
Dewasa ini, perspektif suku asli (the indigenous peoples) tidak terbatas
dalam bidang ilmu antropologi atau etnologi semata. Meskipun berangkat dari
disiplin ilmu antropologi, penelitian berperspektif suku asli telah menjadi
interdisipliner sebab sudah mulai digabungkan pula dengan, salah satu
contohnya, psikologi kebudayaan (Kim dkk., 2010: xxi-xxv).
Ketika menetapkan kerangka teori untuk membaca wajah suku asli Papua
lewat novel Tanah Tabu, penulis menghadapi tantangan, yakni harus memilih
teori yang sudah jamak dipergunakan dalam penelitian sastra, misalnya teori
sosiologi sastra, feminisme, atau poskolonialitas. Semula penulis bermaksud
menggunakan teori poskolonialitas. Akan tetapi, seiring berjalannya proses
pembacaan, penulis tidak menemukan oposisi biner diri-liyan (self-other), Barat-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
20
Timur, ataupun penjajah-jajahan (colonizer-colonized) dalam novel Tanah Tabu.
Penulis hanya berfokus pada kehadiran suku asli Papua. Dengan demikian, teori
poskolonialitas menjadi mubazir bila “dipaksakan” untuk membaca wajah suku
asli dalam skripsi ini. Dengan dasar tersebut, penulis berketetapan untuk
menggunakan perspektif suku asli (the indigenous peoples) secara konsisten dan
sepenuhnya untuk membaca wajah suku asli Papua lewat novel Tanah Tabu
sekalipun perspektif suku asli belum populer di ranah penelitian sastra.
1.7 Metode Penelitian
Berdasarkan lokasi yang telah ditetapkan, “Membaca Wajah Suku Asli
Papua Lewat Novel Tanah Tabu” merupakan penelitian kepustakaan (library
research). Data-data yang menjadi bahan penelitian ini merupakan data tertulis,
dihimpun dari berbagai pustaka (literatur), mulai dari yang tercetak hingga yang
elektronik. Sebagian besar data penelitian ini memang bersumber dari
perpustakaan.
Dalam penelitian “Membaca Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah
Tabu”, data yang dipergunakan penulis dikelompokkan menjadi (i) data primer
dan (ii) data sekunder. Yang dipilih menjadi data primer yaitu data yang utamanya
menjadi objek penelitian, yang berkaitan langsung dengan rumusan masalah.
Sehubungan dengan hal tersebut, data primer untuk penelitian ini berupa kutipan
kalimat dan wacana (teks) dari novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
21
bawah ini dirinci sumber data primer.
Judul : Tanah Tabu
Pengarang : Anindita S. Thayf
Tahun Terbit : 2009
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 237
Di samping data primer, penulis menghimpun data sekunder. Data sekunder untuk
penelitian ini berupa pustaka lain—baik berupa buku, karya ilmiah akademis,
terbitan berkala, maupun bahan bacaan elektronik—yang membantu memecahkan
rumusan permasalahan, di antaranya adalah yang telah disebutkan pada tinjauan
pustaka dan landasan teori.
Pada tahap pengumpulan data, data dihimpun baik dalam bentuk kalimat
maupun wacana. Data yang diambil adalah yang menunjukkan tokoh dan
penokohan, khususnya penokohan suku-suku asli Papua. Berdasarkan bentuk
tersebut, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, yakni penelitian yang
dilakukan dengan data-data yang lengkap secara tipikal. Untuk mengumpulkan
data-data kualitatif dari Tanah Tabu, penulis meminjam metode simak
(observation method) (Kesuma, 2007: 430) dari ranah penelitian bahasa
(linguistik). Metode simak ini dieksekusi melalui teknik catat. Untuk
melaksanakan teknik catat, penulis menyediakan instrumen penelitian berupa
kartu data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
22
Analisis data dilaksanakan dengan metode deskriptif analitis. Seperti
diterangkan Ratna (2004: 53), metode deskriptif analitis “dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Sesuai
dengan penjelasan yang dikutip tersebut, penulis mendeskripsikan fakta-fakta
yang disarikan dari data penelitian, yaitu dari novel Tanah Tabu, berikutnya
penulis menganalisis data dan fakta yang dimaksud.
Di samping metode deskriptif analitis, peneliti memanfaatkan metode
intuitif (penafsiran) pula sebagai metode berpikir. Hal ini dilakukan supaya
peneliti terbantu dalam pembatasan dan pemilihan data. Dasar penulis
menggunakan metode intuitif dalam penelitian ini adalah untuk memberi
perhatian pada isi pesan dari novel Tanah Tabu.
Pada tahap penyajian hasil analisis data, peneliti melakukan perumusan atas
proses meneliti yang telah dilaksanakan dalam wujud laporan tertulis. Hasil
penelitian dituliskan secara deskriptif, mengikuti metode deskriptif analitis yang
telah dipilih dalam tahap analisis data sebelumnya. Dengan demikian, hasil
penelitian ini berupa deskripsi wajah suku-suku asli Papua berikut ekspresi
kebudayaan mereka yang ditunjukkan dalam Tanah Tabu.
Adapun hasil analisis data disusun menurut metode penyajian secara
informal. Sesuai dengan rumusan Sudaryanto, “[m]etode penyajian informal
adalah perumusan dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang
teknis sifatnya” (1993: 145). Metode ini dipinjam dari metode penelitian
linguistik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
23
Temuan-temuan dari proses analisis data serta kesimpulan penelitian
disajikan dalam sebuah laporan tertulis. Laporan tersebut ditulis secara runtut
menurut sistematika penyajian yang disusun oleh penulis. Melalui laporan inilah
diharapkan manfaat penelitian dapat sampai kepada banyak orang.
1.8 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian berjudul “Membaca
Wajah Suku Asli Papua Lewat Novel Tanah Tabu” ini, diberikan sebuah
sistematika yang jelas. Sistematika penyajian hasil penelitian tersebut dirinci
sebagai berikut.
Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data penelitian, dan sistematika
penyajian hasil penelitian ini sendiri.
Bab kedua menjawab rumusan permasalahan yang pertama. Bab ini berisi
sinopsis novel Tanah Tabu.
Bab ketiga menjawab rumusan permasalahan kedua. Bab tersebut berisi
uraian mengenai tokoh dan penokohan yang diciptakan pengarang, Anindita S.
Thayf, dalam novel Tanah Tabu.
Bab keempat menjawab rumusan permasalah ketiga. Bab ini berisi
pembacaan atas wajah suku-suku asli Papua yang dimunculkan dalam Tanah
Tabu, dibaca dengan perspektif the indigenous people.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
24
Bab selanjutnya, yaitu bab kelima, menjadi bagian penutup untuk
keseluruhan hasil penelitian ini. Bab kelima berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan yang dimaksud ialah poin-poin penting dari deskripsi wajah suku-
suku asli Papua ditokohkan dalam Tanah Tabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
25
BAB II
SINOPSIS NOVEL TANAH TABU
2. 1 Pengantar
Bab ini berisi ringkasan novel (sinopsis) Tanah Tabu karya Anindita
Siswanto Thayf. Sinopsis Tanah Tabu penting untuk mengetahui posisi suku asli
dalam cerita dan bagaimana tiap-tiap tokoh suku asli berperan dalam keseluruhan
cerita (lakon). Cerita Tanah Tabu bermanfaat secara tidak langsung untuk
memperkenalkan kebudayaan dan adat-istiadat suku-suku asli Papua kepada
khalayak pembaca novel tersebut. Di dalam penelitian ini, penulis memandang
kebudayaan suku asli sebagai “ekspresi wajah” mereka. Sinopsis membantu
memperjelas ekspresi suku asli. Dari sinilah wajah suku asli dapat dibaca.
Novel Tanah Tabu dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga atau
diaan (third person point of view). Ada 3 tokoh yang menjadi pencerita (narator),
yaitu Leksi, anak perempuan berusia 7 tahun; Kwee, seekor babi kecil piaraan
Mace; dan Pum, anjing pemburu milik suku Dani yang menjadi “bayangan”
Mabel. Tiap-tiap pencerita membeberkan kisah yang dirangkai penulis sesuai
urutan waktu kejadiannya (kronologinya) dan dimasukkan penulis ke dalam
sinopsis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
26
2. 2 Sinopsis Novel Tanah Tabu
Di Lembah Baliem pada tahun 1946, terdapat sebuah perkampungan suku
Dani tempat tokoh Mabel berasal. Mabel dilahirkan di kampung ini pada tahun
1948, dengan nama Waya, dari seorang ibu yang senantiasa ber-sali dan ber-
noken serta seorang ayah yang mahir berburu dan berperang. Di antara tahun 1948
itu sampai sebelum 1956—tidak diterakan persisnya kapan, sekelompok orang
Belanda merambah perkampungan Mabel. Kelompok Belanda ini dipimpin
seorang laki-laki bernama Piet van de Wissel. Mereka mendirikan pos
pemerintahan dan lapangan terbang di Lembah Baliem. Seselesainya pos
pemerintahan dan lapangan terbang dibangun, van de Wissel dan Stappen,
istrinya, berpindah tugas ke pedalaman Mindiptana pada tahun 1956. Sebelum
meninggalkan Lembah Baliem, Hermine Stappen membawa serta Mabel yang
berusia 8 tahun. “Nyonya Hermine, istri Tuan Piet, meminta Mabel menjadi anak
piaraannya.” (Thayf, 2009: 106) “Mabel ... bekerja pada keluarga van de Wissel ...
menjadi pembantu dan pengasuh anak-anak mereka.” (Thayf, 2009: 39)
Hermine Stappen mengganti nama Waya menjadi Anabel. Anabel yang
kelak pada masa tua dipanggil Mabel pun mengikuti Stappen dan van de Wissel
ke berbagai kota tanpa meninggalkan anjing peliharaannya, Pum. Meskipun hanya
selama 6 tahun Mabel menjadi anak angkat keluarga van de Wissel, ia tertular
banyak kultur Barat. Mulai dari kebiasaan makan dan minum, gaya
berpenampilan, hingga kesukaan membaca buku. Stappen dan van de Wissel
bersikap mendukung perkembangan Mabel ke arah ini. Kebudayaan Daninya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
27
tentu dikesampingkan, namun Mabel menjadi modern sebagaimana yang
diceritakan lewat mulut anjingnya berikut ini.
(3) Seiring itu, Mabel juga mulai belajar tentang cara menjaga kebersihan, memasak, menggunakan alat-alat dapur, mengolah makanan kaleng, serta membuat secangkir kopi panas yang tepat manisnya untuk Tuan Piet setiap pagi, serta sedikit-sedikit bahasa Belanda dan Indonesia. Di sela-sela kesibukan barunya itu, Mabel menyempatkan diri pula untuk berkebun. Ia telah meminta izin kepada Nyonya Hermine untuk memakai sedikit halaman belakang rumah sebagai kebun buah dan sayur. Tanpa disangka-sangka, perempuan berambut mengilap itu justru menyuruh Mabel menggunakan seluruh halaman belakang. Tuan Piet malah menyumbang beberapa kantong bibit buah labu yang dibelinya entah dari siapa. (Thayf, 2009: 110)
(4) Saat tiba di Wamena, Mabel terlihat jauh lebih dewasa dari empat tahun lalu. Tak hanya sikap, tetapi juga bentuk tubuh. Ia mencoba memanjangkan rambut layaknya gadis-gadis yang dilihatnya di Manokwari. Hasilnya, rambut Mabel mengembang ke atas sehingga mengharuskannya untuk selalu mengempiskannya dengan bandana kain lebar atau sekadar pita kecil. Begitupun, ia tampak lebih manis dan modern. Ya, Mabel telah lebih manis dan modern, apalagi dengan baju terusan berok lebar, ikat pinggang, dan sepatu putih. ... Kedewasaan dan kemodernan sikap Mabel juga dimatangkan dengan kesukaannya membaca buku. Mabel yang sudah mulai lancar berbahasa Belanda dan Indonesia sering meminjam beberapa buku tipis bersampul menarik dan penuh gambar dari rak buku Tuan Piet. Di beberapa kesempatan, ia malah dipercaya Nyonya Hermine menuntun Ann belajar mengenal huruf.
Aku melihat Tuan Piet dan Nyonya Hermine justru mendukung ketertarikan Mabel pada buku. Mereka malah menambah waktu luangnya pada akhir pekan, dan membiarkan Mabel menghabiskannya dengan hanya membaca buku di kamar atau teras depan. (Thayf, 2009: 121)
Hanyalah keinginan Mabel untuk belajar di bangku sekolah yang tidak terwujud,
tidak didukung oleh Stappen dan suaminya. Patut dikagumi, tekad Mabel untuk
menjadi pribadi pembelajar tidak melemah walaupun tidak didukung oleh suami-
istri Belanda itu. Meskipun Mabel merasakan tidak nyamannya hidup di bawah
kekuasaan orang lain, Mabel tidak seterusnya berkecil hati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
28
(5) Namun anehnya, ketika Mabel berkenalan dengan seorang pemuda Papua yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah anak-anak kampung, dan pemuda itu berhasil menularkan semangat bersekolah murid-muridnya kepada Mabel, lantas beberapa hari kemudian Mabel memberanikan diri meminta kepada Nyonya Hermine dan Tuan Piet untuk disekolahkan pula, mereka malah menolak.
“Kami rasa pengetahuanmu sekarang ini sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. Bahkan kalau mau, kau bisa mendapat ilmu yang lebih banyak lagi dari membaca buku. Kau ini anak yang cerdas, Anabel. Cepat tanggap dan mudah menyerap setiap pelajaran dari mana pun asalnya, termasuk buku. Jadi untuk apa bersekolah? Apalagi sekolah kampung seperti yang ada sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet.
“Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?”
Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan.
“Nah, kalau sudah seperti itu apa lagi yang kaucari? Kau sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Kau juga sangat pintar memasak, mengasuh anak, mengurus rumah, sampai berkebun. Apa lagi?”
Nyonya Hermine menyentuh bahu Mabel yang menguncup. ... Seandainya Nyonya Hermine tahu, kata-katanya pada malam itu justru mencambuk niat Mabel untuk terus belajar dan tahu lebih banyak lagi. Sayangnya, keluarga Tuan Piet harus segera kembali ke Belanda dua tahun kemudian. (Thayf, 2009: 122, 123-124)
Pada tahun 1962, keluarga van de Wissel meninggalkan tanah Papua tanpa
membawa Mabel.
Mabel kembali ke perkampungan sukunya. Ia dilamar oleh seorang laki-laki
sesama suku Dani dan tak lama kemudian dinikahkan orang tuanya dengan laki-
laki tersebut. Ketika menikah, umur Mabel belum genap 15 tahun. Selewat 5
bulan, pernikahan ini bubar akibat pecahnya sebuah perang antarsuku. Mabel
menikah untuk kedua kalinya dengan seorang laki-laki suku Amungme bernama
Pace Mauwe. Bersama Pace Mauwe dan anak laki-laki mereka, Mabel tinggal di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
29
kampung Pace Mauwe, di lereng gunung. Tiga tahun kemudian, perusahaan
pertambangan emas besar berdiri di situ, menggusur keluarga Mabel beserta
penduduk sekampung. Selain kampung mereka terpaksa berpindah, lingkungan
suku Amungme menjadi tercemar karena limbah berat pabrik tambang emas.
Program relokasi perkampungan yang dijalankan perusahaan pertambangan emas
itu tidak dapat mengganti lingkungan hidup yang telah terlanjur tercemar. Si
pencerita, tokoh Pum, mengungkapkannya dalam percakapan dengan tokoh Kwee
si babi sebagai berikut.
(6) Kampung Pace Mauwe digusur perusahaan emas milik pendatang dari lereng gunung tempat tinggal mereka sejak lama. Memang, ada kampung dan rumah baru yang diberikan sebagai gantinya di daerah bawah, tapi cukup jauh dari hutan, apalagi sungai. Dan, Kwee, kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan itu sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. Terkenangku pada suatu pagi ketika ada banyak ikan tiba-tiba mengapung mati di sungai itu, dan banyak penduduk memungutnya untuk dibakar, tapi Mabel tidak tergoda sama sekali. Ia bilang ikan itu mati karena sakit, dan siapa pun yang memakannya juga akan bernasib sama. Sakit lalu mati. Itulah saat Pace Mauwe marah besar untuk pertama kalinya. Ia tidak punya kebun untuk digarap dan sudah lama tidak makan daging. (Thayf, 2009:135-136)
Dengan keadaan demikian, kebutuhan mendasar seperti pangan jadi
semakin mendesak. Untuk bertahan hidup bersama keluarganya, Pace Mauwe
mencari pekerjaan. Dia menemukannya justru di perusahaan pertambangan emas
milik pendatang. Di sana, Pace Mauwe bekerja sebagai tukang sapu dan mendapat
upah. Mula-mula upah menyapu dibelanjakannya untuk kebutuhan makan. Tetapi,
karena tidak terbiasa dengan cara diupah dan pengaturan keuangan, Pace Mauwe
menghabiskan uangnya dalam sekejap mata. Setelah menerima upah untuk kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
30
kali dan seterusnya, Pace Mauwe mulai membeli minuman keras dan memakai
jasa pelacur. Perilaku mabuk-mabukan dan main perempuan tersebut merebak
seiring dengan kehadiran perusahaan pertambangan emas. Kebiasaan Pace
Mauwe berubah menjadi boros, suka bersenang-senang, bermabuk-mabukan.
Kepribadiannya yang dahulu disukai Mabel pun hilang.
(7) Gara-gara upah itu, Kwee, Pace Mauwe berubah. Dia jadi suka mabuk-mabukan dan pergi sampai jauh malam. Kata orang-orang, ia bersenang-senang dengan Paha Putih di tempat minum yang buka sampai pagi. Mabel pernah mendapatinya. Mengomeli dan menariknya pulang ke rumah. Tapi dasar laki-laki tidak tahu diri! Ia malah memukul Mabel, dan Johanis kecil juga. Aku yang kebetulan ada di situ diusirnya dengan lemparan botol. Sejak itu, Kwee, hidup Mabel semakin menderita. Pace Mauwe menolak berubah, bahkan makin ganas menyiksa kami. Akhirnya, Mabel, Johanis, dan aku memilih pindah. Kami sempat berganti rumah sewa sekali hingga akhirnya sampai di tempat ini. Hidup miskin bertiga, tapi cukup bahagia karena tidak ada yang menyakiti kami lagi. (Thayf, 2009: 136)
Sebagaimana diceritakan oleh Pum oleh si anjing, Pace Mauwe yang sering
mabuk pun melakukan kekerasan pada istri dan anaknya. Mabel berkeputusan
meninggalkan Pace Mauwe. Dia membawa anak laki-lakinya, Johanis, dan Pum
ke rumah kontrakan di kampung yang lain. Walaupun kehidupan Mabel menjadi
prihatin secara material, ia lebih berbahagia tanpa orang yang menyakitinya.
Kurang lebih pada umur 19 tahun, Johanis menikah. Ia dan istrinya, Lisbeth,
tinggal di sebuah kampung, berpencar dari Mabel yang memilih tinggal di Kota
Dolar, Timika. Lisbeth yang di dalam novel lebih akrab dipanggil Mace
melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lukas. Untuk menafkahi istri dan
anak itu, Pace Johanis memutuskan merantau ke kota. Mace tetap berada di
kampungnya. Di situlah perempuan ini mengalami perkosaan oleh sekelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
31
orang berciri militer. Perkosaan atas Mace diketahui oleh Pace Johanis saat ia
sedang pulang kampung.
(8) Asal kau tahu, setelah kejadian itu, Ibu menuturkan pula bahwa Pace Johanis yang sempat pulang ke kampung dan mengetahui hal tersebut menjadi sangat marah. Anehnya, marah itu justru ditimpakannya kepada Mace, bukan kepada para pemerkosanya. Kata Ibu, Pace Johanis kerap memaki Mace, bahkan di depan Lukas, sebagai pelacur, penggoda lelaki, dan masih banyak hinaan tak pantas lainnya. Jadilah Mace korban caci maki suaminya sendiri yang menganggapnya sebagai perempuan kotor yang pantang disentuh. Pace Johanis pun meneriakkan kata pisah, lalu melangkah pergi sambil mengancam tak akan kembali. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kali Pace Johanis masih tergerak untuk datang lagi ke kampung menemui Mace dan Lukas, meskipun pada akhirnya laki-laki itu akan menenggelamkan diri dalam berbotol-botol minuman keras di warung kampung, sebelum kemudian pulang dalam keadaan mabuk berat, mendapati Mace yang sedang menunggu di rumah, memukulinya sampai puas, dan terakhir menidurinya tanpa sadar. Kejadian tersebut terus berulang hingga Mace mengaku hamil. Kala itu, Pace Johanis bersumpah anak yang sedang dikandung Mace bukanlah anaknya, melainkan anak orang lain. (Thayf, 2009: 227-228)
Dalam keadaan marah tanpa berpikir terlebih dahulu, Pace Johanis memaki,
bermabuk-mabukan, memukuli, sampai memaksakan hubungan seksual pula pada
Mace hingga Mace mengandung. Anak yang dilahirkan kemudian dinamai Leksi.
Pace Johanis tidak mau jujur mengakui bahwa Leksi tak lain adalah anaknya.
Laki-laki itu pergi lagi tanpa pernah kembali pada keluarganya.
Mace membawa Lukas dan Leksi meninggalkan kampung. Dengan diikuti
babi piaraannya, Mace pergi menuju kota tempat tinggal ibu mertuanya, Mabel,
yaitu Timika. Timika berjuluk Kota Dolar. Di sanalah Mace, Lukas, dan Leksi
kemudian tinggal bersama Mabel. Empat bulan berikutnya, Lukas yang
kekurangan nutrisi jatuh sakit hingga meninggal. Mace tak habis menyesali diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
32
sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka selanjutnya, Mace membantu
Mabel menjual hasil kebun di pasar. Mabel sendiri berdagang pinang serta
sesekali mengerjakan pesanan noken. Dari pekerjaan ini, Mabel dan Mace
memperoleh cukup uang untuk membayar sewa rumah dan biaya sekolah Leksi.
Leksi duduk di bangku kelas 1 SD. Di lingkungan rumah, ia berteman
dengan Yosi dan Karel. Yosi, teman akrab Leksi, tinggal sebelah rumah Leksi.
Yosi adalah anak Mama Helda dan Pace Poro Boku. Adapun Mama Helda sempat
akrab dengan Mabel beberapa tahun lampau. Namun, berbeda halnya dengan
Karel. Walaupun Mabel dan Leksi sendiri kurang menyukai Karel, Leksi tetap
berteman dengan anak kaya itu. Hampir setiap kali bermain dengan Leksi dan
Yosi, Karel membawa mainan baru. Ayahnya, Pace Gerson, adalah pemimpin
partai Belahan Jiwa Rakyat. Mabel “alergi” (baca: bersikap sangat kritis) terhadap
Pace Gerson. Sikap Mabel ini ditujukan pada segala janji kosong dan propaganda
partai Pace Gerson. Tidak disangka Mabel, Karel pernah mengajak Leksi ke
rumahnya dan pada waktu itulah Pace Gerson “mempromosikan” partainya pada
Leksi.
(9) Selanjutnya, pembicaraan kami kembali tersambung. Laki-laki itu mulai berbicara tentang hal lain. Tentang partai.
“Leksi, kau memang masih kecil. Tapi biar kuberitahu, partai-partai yang kausebut tadi adalah partai murahan. Mereka berbeda dari partaiku, Nak. Partai yang paling berkelas.”
Lalu Pace Gerson mengarahkan telunjuknya pada selembar poster raksasa yang dipajang di salah satu dinding ruang tamunya. Tepat di sebelah pintu kamar yang tertutup. Poster itu berwarna cokelat.
“Partai Belahan Jiwa Rakyat!” Ia membaca keras-keras sederet tulisan yang tercetak besar dan tebal di
bagian bawah poster. Persis di bawah gambar ikan yang sedang menari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
33
“Kujelaskan kepadamu, Nak. Partai kami sudah terbukti tak terkalahkan. Warna cokelat berarti kami ibarat tanah yang selalu siap menjadi tumpuan rakyatnya. Tanah yang subur dan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan gambar ikan berarti negara kita adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut.” Ia menjelaskan dengan gagah hingga membuatku terperangah. (Thayf, 2009: 205-206)
Kemudian musim panen tiba di Kota Timika pada suatu waktu. Ada banyak
sayur dan buah yang dihasilkan dari kebun Mace dan Mabel. Kedua perempuan
ini membawa hasil panen mereka ke pasar tradisional untuk dijual, sama dengan
yang dilakukan para pedagang lainnya. Seperti Mabel dan Mace, pedagang-
pedagang ini adalah suku asli Papua yang lebih umum disebut sebagai orang
Komen. Pada tahun sebelumnya, pedagang sayur-mayur dan buah-buahan ini,
termasuk Mace dan Mabel, mendapat janji dari perusahaan pertambangan emas
besar bahwa perusahaan bersangkutan akan membeli hasil panen sayur serta buah
dari para pedagang Komen.
(10) “Tapi bukankah sekarang kita tidak perlu khawatir lagi.” Mabel yang tiba-tiba muncul dari lapak sebelah membalas ucapan Mace. “Perusahaan itu sudah buat kesepakatan dengan orang-orang kita. Mereka bilang mau membeli sayur kita untuk pegawainyaa. Buktinya, panen kemarin kita tidak rugi. Semua habis diborong. Jadinya, aku bisa menyekolahkan Leksi dan memperbaiki dinding sumur. ... Lihat saja sebentar, orang perusahaan itu pasti datang mengambil sayur. Makanya sudah kusiapkan sayur mana yang mau mereka bawa nanti.”
Sambil memijat-mijat tangan kirinya yang berjari bengkok, Mabel melarikan pandangannya ke segunung sayuran dalam sejumlah keranjang bambu yang berdiri sesak dekat sandalnya. Seperti aku, jika tidak dimarahi Mace, Mabel lebih suka bertelanjang kaki. “Lantas, Leksi, kalau semua sayuran itu sudah laku,” kali ini ia berbicara kepadaku, “akan kumasak ayam untukmu. Kau pernah bilang ingin makan ayam, bukan? Seperti yang pernah kaulihat disantap orang-orang di warung ruko sana. Aku masih ingat kata-katamu, Nak.” (Thayf, 2009: 79-80)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
34
Hasil panen para pedagang Komen dibeli oleh perusahaan pertambangan emas
pada tahun yang lalu. Akan tetapi, hasil panen pedagang Komen pada tahun ini
tidak dipedulikan oleh perusahaan, padahal mereka sudah mengelompokkkan
sebagian besar sayur dan buah untuk dijual pada perusahaan bersangkutan.
Pedagang-pedagang Komen mengalami rugi yang tidak sedikit sehingga mereka
kecewa dan ingin memprotes.
(11) Aku menduga ia telah menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang bertujuan jahat. Nyatanya, ketika aku berada di tengah orang-orang ini, sama sekali tidak kudengar pembicaraan tentang itu. Mereka hanya ingin berdemo.
“Sudah kubilang dari kemarin-kemarin, lebih baik kita demo saja. Titik! Tidak usah ada pertemuan atau pembicaraan. Perusahaan itu tidak akan pernah mau mendengar suara kita. Kalaupun dengar, mereka pasti pura-pura tidak mengerti. Kita pakai bahasa Papua, mereka pakai bahasa Indonesia. Kita ubah pakai bahasa Indonesia, mereka malah bicara bahasa asing. Kesimpulannya, mereka menganggap kita ini bodoh. Tidak sederajat dengan mereka. Jadi lebih baik kita demo saja.”
“Ya, setuju! Aku setuju kita demo.” “Aku juga.” “Sa juga setuju! Apalagi kalau demonya di jalan besar sana biar mobil
perusahaan itu tidak bisa lewat dan pegawainya tidak masuk kantor. Bagaimana?”
“Wah, itu ide yang bagus! Bagus sekali. Sa dukung itu.” Itulah suara-suara yang menyesaki ruang tamu sempit di sebuah rumah
milik seorang paitua yang kukenal sebagai penjual labu di pasar. Saat ini, si paitua sedang berusaha membantu Mabel menenangkan seorang pemuda berambut gimbal yang berbicara sangat berapi-api. Pada wajah legamnya, tampak jelas ekspresi kemarahan yang lama terpendam, sementara sepasang matanya terus-menerus menyorot tajam. Kuyakin pemuda itu siap mengamuk kapan saja jika tak segera dihentikan. Seingatku, sosok pemuda itu pernah kulihat berjualan sayur di dekat parkiran pasar. Saat menawarkan jualannya, suaranya pun selantang itu. Ya, aku ingat sekarang. Dia benar pemuda yang kumaksud.
“Tahan dulu sebentar, Anak. Tahan dulu! Kita harus pikir baik-baik sebelum melakukan sesuatu yang mungkin bisa merugikan orang lain.”
“Tapi, Mabel, kita sendiri sudah rugi!” “Ya, ya. Semua orang tahu. Tapi apakah itu bisa dijadikan alasan untuk
membalas dendam dengan membuat mereka juga ikut merugi? Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
35
melarang mobil dan pegawai mereka masuk kantor, begitu? Lantas, apa ada yang berani menjamin setelah demo nanti pihak perusahaan akan langsung membeli sayur kita seperti janji mereka? Bagaimana kalau justru sebaliknya? Mereka tidak mau bekerja sama lagi dengan kita karena takut. Bukankah begitu tanggapan banyak pendatang tentang sikap kita, para penduduk asli: sangar dan bikin takut?” (Thayf, 2009: 171-173)
Mabel menggalang mereka untuk berunjuk rasa dengan cara yang rasional dan
sehat, namun sebagian besar pedagang tidak bisa mengesampingkan emosi
mereka yang meninggi. Sejumlah pedagang bereaksi dengan marah. Akan tetapi,
sesungguhnya mereka tidak berdaya melawan perusahaan pertambangan emas itu.
Beberapa waktu sebelum Pilkada yang diikuti oleh Partai Belahan Jiwa
Rakyat tiba, meletus sebuah pertikaian suku di wilayah Timika. Seorang Mama
Pembawa Berita bernama Mote menyebarkan kabar perkembangan perang yang
terjadi saat itu. Mabel mengecam perang tersebut secara terang-terangan. Di
depan Mama Pembawa Berita, Mabel berbicara dengan pedas bahwa perusahaan
penambangan emas adalah dalang di balik pertikaian itu. Mama Pembawa Berita
memperhatikan kritik Mabel yang memerahkan telinga itu. Dalam benak Mama
Pembawa Berita, timbul maksud buruk untuk menjebak Mabel.
Selepas pertikaian suku, rumah Mabel dikunjungi seorang tamu dari Biak.
Tamu itu seorang perempuan bernama Mama Kori. Saat menginap di rumah
Mabel, Mama Kori berkisah kepada Mace dan Leksi mengenai peristiwa pahit
dalam hidup Mabel di masa silam, di antaranya bahwa Mabel pernah ditahan oleh
militer atas tuduhan yang tidak jelas.
Sementara Mama Kori sedang menuturkan ceritanya pada malam itu, suara
pertengkaran dari rumah Mama Helda terdengar sampai ke rumah Mabel. Rupa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
36
rupanya itu adalah Pace Poro Boku yang melakukan kekerasan domestik terhadap
Mama Helda yang sedang hamil tua. Sebagai akibatnya, Mama Helda mengalami
keguguran.
Keesokan paginya, Mama Helda pergi dari rumah dengan membawa anak-
anaknya. Ia mau terbebas dari Pace Poro Boku yang tidak manusiawi. Untuk
sementara waktu, mereka ditampung di sebuah yayasan sosial milik gereja.
Beberapa hari berselang, setelah Mama Kori kembali ke Biak, Mabel mengajak
Leksi menjenguk Mama Helda, Yosi, dan adik-adik Yosi ke penampungan sosial
milik gereja. Sementara Leksi bermain dengan Yosi, Mama Helda mempunyai
waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Mabel serta saling meneguhkan.
Diceritakan pula bahwa masa Pilkada semakin dekat. Kampanye partai
bertambah gencar, tak terkecuali Partai Belahan Jiwa Rakyat pimpinan Pace
Gerson. Stiker partai disebarkan, kaus partai dibagikan, slogan partai diseru-
serukan. Mabel melakukan perlawanan dengan cara menggalang komunitas
pedagang di pasar supaya sadar dan mewaspadai taktik politik praktis yang
sesungguhnya tidak berpihak pada kaum miskin. Benar saja, pada hari Partai
Belahan Jiwa Rakyat berkampanye ke pasar tempat Mabel berdagang, Mabellah
yang paling berani dan sinis menanggapi persuasi Pace Gerson. Pace Gerson
melihat sikap Mabel yang sama sekali tidak suportif ini sebagai rintangan
kesuksesannya pada ajang Pilkada. Tidak bisa diabaikan, Mabel punya
kemampuan menghimpun para pedagang di pasar yang dapat memboikot Partai
Belahan Jiwa Rakyat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
37
Pace Gerson pun mengambil langkah untuk membungkam Mabel.
Perempuan yang sudah berumur ini diperangkap lewat tawaran kerja sama yang
pura-pura dari Mama Pembawa Berita. Mabel pun dituduh terlibat dalam gerakan
separatis sehingga pada suatu siang, militer sekali lagi menahan perempuan ini.
Mace sangat takut ketika melihat militer menerobos masuk ke rumah karena
traumanya akan pengalaman perkosaan menjadi bangkit. Saat militer membawa
paksa Mabel dengan mobil, tetangga-tetangga sekitar rumah, termasuk Pace
Gerson sendiri, hanya menyaksikan kejadian itu sambil berbisik satu sama lain.
Leksi sangat sedih dan tak henti mengkhawatirkan neneknya hingga malam tiba.
Pum dan Kwee, anjing dan babi piaraan keluarga, berupaya mencari Mabel
dengan maksud menenangkan perasaan Leksi. Kedua hewan itu berhasil
menemukan tempat Mabel ditahan, namun mereka malah tertangkap sebagai
hewan buruan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
38
BAB III
TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TANAH TABU
3.1 Pengantar
Seperti yang telah dikemukakan Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 165),
tokoh (character) adalah pelaku-pelaku cerita yang ditampilkan. Dalam novel
Tanah Tabu, hampir keseluruhan pelaku dalam cerita adalah orang-orang asli
Papua. Dalam dialek setempat yang dipergunakan dalam novel, orang-orang asli
Papua disebut orang Komen. Sebagian besar dari mereka diberi nama panggilan
yang jelas, misalnya Anabel, Lisbeth, Leksi. Namun, beberapa pelaku tidak
diperkenalkan dengan nama yang jelas, di antaranya seorang pemuda Meno yang
mabuk berat sampai-sampai terkapar di depan sebuah ruko, seorang pedagang
sayur berambut gimbal, dan seorang ibu yang memaki perusahaan tambang emas
dengan sangat emosional.
Sebagai catatan, Meno merupakan sebuah sebutan. Seperti sebutan Komen,
Meno merujuk pada suku asli Papua. Pada awalnya, Meno dimaksudkan untuk
menyebut suku Amungme yang berasal dari gugus pegunungan di Papua. Dalam
perkembangannya, sebutan Meno mengalami perluasan arti dan merujuk pada
suku-suku asli pegunungan, bahkan pada suku-suku dari kawasan pesisir. Suku
Kamoro, sebagai contoh, dapat juga disebut Meno (Pickell, 2001: 226; Yuniarti,
2008: 54).
Secara lebih lengkap, berikut ini dipaparkan pelaku-pelaku dalam Tanah
Tabu serta penokohan tiap pelaku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
39
3.2 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Tanah Tabu
3.2.1 Mabel
Mabel merupakan panggilan sayang yang berasal dari kepanjangan Mama
Anabel. Mabel berasal dari sebuah perkampungan suku Dani di Lembah
Baliem. Ibu dan ayahnya ialah orang Dani. Mabel dilahirkan pada tahun 1948
dengan nama Waya. Ketika berusia 8-14 tahun, Waya diangkat oleh suami istri
Belanda sebagai anak. Oleh ibu angkatnya, nama Waya diganti menjadi Anabel.
Sampai seterusnya, Waya dikenal dengan nama Anabel Okale. Orang tua
angkatnya bangsa Belanda berperan mendidik Anabel menjadi sosok yang
dewasa dan modern.
Sejak masih kanak-kanak, Mabel berbadan sehat, kuat, dan lincah. Mabel
kecil mempunyai senyum manis serta tatapan hangat. Ia akrab dengan gunung di
kampungnya. Tidak seperti anak-anak perempuan suku Dani biasanya, Mabel
tidak asing dengan senjata tradisional sukunya. Ia dekat dengan kedua kakak
laki-lakinya yang terampil berburu. Meskipun dia seorang anak perempuan,
Mabel juga bisa berkelahi dan tanpa ragu-ragu melawan anak laki-laki. Ciri
maskulin yang ditunjukkan Mabel semasa kanak-kanak tidak diterima dengan
baik di tengah masyarakat suku Dani yang patriarkhal. Di mata orang-orang
sekampung, anak perempuan yang tidak patuh dan tidak penurut tidaklah terpuji.
Mabel yang keberaniannya nyaris menandingi anak laki-laki dicap
pembangkang, liar, bahkan kerasukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
40
(12) Di tengah semua itulah Mabel tumbuh. Menjadi seorang anak perempuan berperawakan tinggi besar serupa lelaki, tetapi memiliki senyum manis dan tatapan hangat yang khas. Yang mampu mengangkat bermacam beban di atas kepalanya seraya naik-turun gunung tanpa alas kaki, sekaligus menggunakan sejata berburu yang mematikan: tombak dan panah. Hampir semua orang tahu Mabel berbeda. Tidak seperti kebanyakan anak suku Dani lainnya, ia lebih mirip seekor anjing pemburu yang menyimpan keganasan gigitannya dalam kepatuhan. Ia bisa menjaga sikap sepanjang hari layaknya anak perempuan, tetapi bisa pula tiba-tiba menyerang siapa pun yang menjahatinya dengan beringas.
Sekali waktu, ayah Mabel pernah memanggil seorang dukun untuk mengusir setan jahat yang disangka telah menyusup ke dalam tubuh anaknya. Penyebabnya adalah tindakan Mabel seminggu sebelumnya yang telah memukul punggung anak laki-laki sang kepala suku hingga pingsan. Mabel membela diri dengan berkata anak itu bersalah karena hampir membuat adiknya tenggelam dengan menekan kepalanya saat tengah bermain di sungai. Namun Mabel tetap dianggap bersalah. Ia patut mendapat hukuman. Sejak itu, julukan Pembangkang Kecil melekat di belakang namanya. Mabel kecil yang malang dipaksa tunduk pada adat sukunya; dikelilingi ketakutan yang terus-menerus ditiupkan para perempuan dewasa dengan berkata ia tidak akan menikah seumur hidup jika perilaku liarnya itu tidak diubah. (Thayf, 2009: 100-101)
Pada masa tua, Mabel hidup di Timika bersama menantu dan cucu
perempuannya. Ia berdagang pinang di pasar. Ia masih menguasai keterampilan
khas budaya suku Dani, yaitu merajut noken. Hal-hal ini menunjukkan bahwa
Mabel menempati posisi tokoh suku asli yang berdaya upaya. Terhadap orang-
orang, dia menunjukkan wibawa seorang perempuan tua Papua. Wibawa
sekaligus ketegasan Mabel terlihat ketika menerima anggota sebuah lembaga
sosial yang bertamu ke rumahnya.
(13) Mereka memperkenalkan diri sebagai anggota sebuah Lembaga Sosial Masyarakat yang berpusat di kota. Salah satu dari mereka lalu menjelaskan bahwa mereka ingin membantu kami, para penduduk kampung, agar bisa menjalani hidup yang lebih baik.
“Hidup kami baik-baik saja sudah. Jadi tidak butuh bantuan kalian,” kudengar Mabel berkomentar tegas. Sikapnya berhati-hati sekali. Aku tahu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
41
ia sedang menguji tamunya, sekaligus berusaha mencari tahu maksud kedatangan mereka sebenarnya.
Kata Mabel, jika seorang tamu berniat jahat, niat itu akan tercermin dari sikap dan cara bicaranya. Begitupun sebaliknya. Dan kalaupun si tamu ternyata lihai menyembunyikan niat jahatnya itu, kuyakin Mabel tetap bisa mengendusnya. Meski tak pernah mau mengaku, aku tahu Mabel menguasai sejenis ilmu gaib. Ilmu yang bisa membuatnya mengetahui isi hati dan kepala orang lain, seperti mengetahui apakah telur itu busuk tanpa memecahkannya. Percayalah.
Sekelompok tamu yang datang ke rumah kami pada hari itu ternyata dipercaya Mabel bermaksud baik karena mereka berani datang lagi pada hari-hari lain dan langsung disambut hangat.
“Kalau ada orang yang datang kepadamu dan bilang ia akan membuatmu jadi lebih kaya, bantingkan saja pintu di depan hidungnya. Tapi kalau orang itu bilang ia akan membuatmu lebih pintar dan maju, suruh dia masuk. Kita boleh menolak uang karena bisa saja ada setan yang bersembunyi di situ. Namun hanya orang bodoh yang menolak diberi ilmu cuma-cuma. Ilmu itu jauh lebih berharga daripada uang, Nak. Ingat itu,” jawab Mabel tatkala kutanya mengapa sikapnya berubah hangat kepada orang-orang itu. (Thayf, 2009: 29-30)
Mabel adalah perempuan dengan cara pikir kritis dan berani. Keberanian
dan kekritisan Mabel dilatarbelakangi oleh pengalamannya hidup dalam cara
Barat pada masa kecil. Namun, local wisdom suku Dani tidak luntur dari
sanubarinya. Ia teguh bahwa tanah, terutama tanah sukunya, sesungguhnya
sakral.
(14) Mana ada orang kelahiran tanah ini mau begitu saja merelakan gunungnya jadi milik orang asing? Tidak ada! Gunung itu bukan sagu. Bukan buah merah. Tidak diperjualbelikan. Tanah kita keramat, Nak. Tabu. Diciptakan Yang Kuasa khusus untuk kita, tahukah kau kenapa? Sebab Dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya. (Thayf, 2009: 90)
Pada penokohannya di halaman-halaman awal novel, Mabel ditampilkan
berkarakter begitu kuat dan unik. Tidak dapat dimungkiri, Mabel adalah tokoh
yang tangguh, baik secara fisik maupun psikologis. Ini ditunjukkan melalui cara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
42
Mabel menerima anggota lembaga sosial di rumahnya. Mabel juga bisa
melumpuhkan seorang bapak pemabuk tanpa susah payah. Kwee menceritakan
kejadian ini tanpa menyembunyikan betapa terkesannya dia menyaksikan
ketangguhan Mabel.
(15) Seperti para mama lainnya, Mabel tentu saja sudah tua. Dari rambutnya yang hampir serempak memutih kau juga dapat langsung mengetahuinya, pun dari kulitnya yang mengendur di sana-sini serupa lipatan seprai lupa disetrika. Meskipun begitu, jangan remehkan kekuatan Mabel-ku sayang. Dengan tangannya yang lebar, dia bisa mematahkan batang lehermu sekali genggam. Dengan tubuhnya yang besar, dia bisa menyembunyikan dua bocah sekaligus di belakang punggungnya tanpa terlihat. Iya benar. Kejadian ini pernah kulihat beberapa bulan lalu. Ketika itu, Mabel berhadapan dengan seorang paitua pemabuk yang mencoba menyiksa kedua anaknya. Anak-anak malang yang wajahnya berlepotan air mata dan ingus itu berlari ke arah Mabel yang kebetulan sedang menyapu halaman. Mereka pun disembunyikan Mabel di balik punggungnya, sementara bapak mereka memburu dari belakang. Di hadapan Mabel yang sebesar gunung, aku melihat dengan mata kepalaku paitua pemabuk itu berusaha menggapai anak-anaknya tanpa menyentuh tubuh Mabel, tetapi gagal. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula gagal. Tubuh Mabel seolah selebar pintu gerbang sehingga tangan paitua itu tidak pernah sampai. Hingga pada titik tertentu, di tengah kegusarannya, paitua yang mulai marah itu mencoba menghadapi Mabel. Dengan penuh percaya diri bercampur nekat, setelah sebelumnya mengambil ancang-ancang, ditubrukkan badannnya ke dada Mabel yang membusung luar biasa. Kau mungkin tidak akan percaya kalau kukatakan pada sisa pagi itu, anak-anak malang yang disembunyikan Mabel di belakang punggungnya akhirnya bisa bernapas lega karena bapak mereka terkapar pingsan, tak berdaya, di atas tanah.
Jika marah, Mabel memang seperti raksasa ganas dengan sepasang lubang hidung sebesar sumur yang mampu mengisapmu sekali sedot. Namun kau tidak perlu takut karena aku tahu Mabel-ku tidak pernah marah sembarangan. (Thayf, 2009: 12-14)
Ketegasan dan kemarahan tampaknya merupakan senjata ampuh Mabel.
Tetapi, pada klimaks konflik, ketegasan dan kemarahannya tidak lagi
mempunyai daya. Mabel justru digambarkan tidak lebih dari seorang mama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
43
Papua yang tidak menyadari bahwa ia mengidap buta warna, yang tidak
mempunyai daya melawan gerombolan berseragam yang menggerebek
rumahnya.
3.2.2 Mace
Tokoh Mace3 adalah menantu Mabel. Tokoh ini termasuk tokoh
sampingan (secondary character). Mace sesungguhnya merupakan sapaan yang
diperuntukkan Leksi kepada ibunya. Nama sebenarnya adalah Lisbeth. Lisbeth
menikah dengan Johanis, anak laki-laki Mabel. Pasangan ini mempunyai
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki mereka,
Lukas, sakit-sakitan dan kekurangan nutrisi sehingga meninggal pada masa
kecilnya. Anak yang tetap hidup adalah Leksi.
Mace berperawakan kurus. Sorot matanya sendu. Meskipun kurus dan
terlihat lesu, Mace sebenarnya masih berusia muda. Kepalanya belum beruban.
Tetapi, beban pikiran membuat kerut-kerut di dahi Mace sehingga ia tampak
lebih tua daripada usianya. Seperti digambarkan oleh narator Kwee, hidup Mace
terkesan layu dan kering.
(16) Selain Mabel, sebenarnya masih ada dua penghuni rumah lainnya yang juga sayang kepadaku dan tidak pernah menjahatiku. Yang pertama adalah seorang perempuan muda yang biasa kupanggil Mace. Mace berusia jauh di bawah Mabel, tetapi entah mengapa sudah memiliki kerut yang dalam di dahinya, seperti bekas guratan parang di permukaan pohon sehingga membuatnya hampir seumur dengan para mama dan Mabel, tentu saja. Untunglah rambut Mace belum ada yang putih dan buah dadanya masih cukup menantang untuk dicuri pandang para lelaki. Sayangnya, tubuh
3 Dalam Tanah Tabu, mace adalah sebutan berdialek Papua untuk ibu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
44
Mace tidak seranum buah dadanya. Mace bertubuh kurus dan layu. Matanya pun sendu dengan binar hidup yang lesu. Membuatnya tak jauh beda dengan sebatang pohon sagu kosong dan setengah kering. (Thayf: 2009: 14)
Mace adalah orang yang hati-hati, khususnya terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kabar selentingan (gosip), persoalan politik, dan situasi
konflik. Mace tidak menyukai gosip dan penggosip sehingga dengan tegas ia
melarang Leksi menguping pembicaraan orang lain.
(17) “Jangan suka menguping pembicaraan orang dewasa, Leksi! Tidak baik. Kau juga bisa kena marah atau pukul mereka kalau ketahuan,” tegur Mace suatu waktu selagi aku baru saja selesai menyampaikan laporan pendengaran telingaku tentang anak laki-laki Pace Yakob yang ditangkap petugas berseragam. (Thayf, 2009: 34)
Mace sadar bahwa bahayanya kabar burung tidak mustahil menimpa
keluarganya. Ia tak menyembunyikan kekhawatiran saat Mabel mulai
menyuarakan kekritisannya di depan seorang penggosip dengan suara nyaring
serta nada mengecam. Di samping merasa khawatir, Mace juga menunjukkan
tanda-tanda gerah setiap kali mendengar Mabel secara terang-terangan
memprotes kebobrokan sosial di tanah Papua.
(18) “Siapa lagi kalau bukan perusahaan emas itu. Mereka memang begitu, Nak. Selalu bikin kacau dan rusuh. Tipu terus! Sana-sini! Gara-gara mereka, orang-orang jadi berkelahi begini. Ada yang mati, sakit, miskin, menderita. Mereka hanya mau emas kita, Leksi, tanpa peduli apakah kita ini hidup susah atau sudah mau mati semua!”
“Hus, Mabel. Pelankan suaramu. Bisakah tidak?” Kulihat Mace melirik sekeliling rumah bahkan sampai atap, lalu berakhir
pada wajah Mama Pembawa Berita yang berada di depannya dengan ekspresi cemas yang melimpah. ... [M]atanya tetap khawatir mengawasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
45
Mama Pembawa Berita yang tiba-tiba tampak gelisah di tempatnya. Aku bisa merasakan apa yang ada di hati Mace. Ia takut Mama Pembawa Berita akan menjadikan kata-kata Mabel barusan sebagai bahan ocehan selanjutnya kepada para tetangga. Dan mungkin kekhawatiran Mace bakal terbukti sebentar lagi. (Thayf, 2009: 140)
(19) Selanjutnya, Mama Pembawa Berita mulai bergumam sendiri, mungkin ia akan pergi ke rumah sakit untuk mencari tahu siapa saja anak-anak malang itu. Mungkin ia bisa membantu menyampaikan kabar duka untuk keluarga yang ditinggalkan atau apa saja. Ia terus bergumam hingga suara Mabel menyela tajam.
“Hah! Akhirnya... Papua kehilangan lagi dua puluh orang yang berotak tumpul. Orang-orang pemberani yang bodoh karena dengan mudahnya diracuni hingga saling bunuh saudara sendiri dengan suka hati. Mati muda hanya gara-gara hal sepele. Kapan orang-orang itu pada sadar ee....”
Sebagai jawaban atas perkataan Mabel, Mama Pembawa Berita hanya berdiam diri. Dari bawah meja, aku melihat sebelah tangannya bergerak terulur ke bawah. Rupanya ia lebih suka menggaruk-garuk betisnya yang kudisan, hingga menciptakan jalur-jalur putih di situ, daripada mengomentari ucapan Mabel. Sebaliknya, jawaban terdengar dari arah lain, berupa bunyi napas yang sengaja dibuang keras. Aku menoleh. Menghentikan pandangan tepat di kaki Mace yang telapaknya kering dan pecah-pecah serupa tanah rekah. Pasti dia yang barusan bersuara semacam itu. Aku sudah hafal. Tanpa harus berada di atas sana, bisa kubayangkan ekspresi wajah Mace yang langsung mengerut gundah dan waspada. Entah mengapa Mace selalu begitu setiap kali Mabel berbicara tentang hal-hal yang tidak kupahami. Ia bersikap seolah Mabel tengah membocorkan rahasia. Suatu rahasia besar yang jika didengar orang lain bisa berbahaya. Persis seperti yang pernah kulakukan ketika Yosi tanpa sengaja mengatakan sebuah rahasia kami kepada Karel, bahwa aku mengaku pernah menemukan harta karun di kebun. Adapun Mabel biasanya bersikap pura-pura acuh.
Pada menit berikutnya, kulihat kaki Mace menjejak lantai tanah rumah kami dengan entakan kesal. Ia lantas ke dapur. (Thayf, 2009: 144-145)
Mace seorang perempuan Komen4. Akan tetapi, Tanah Tabu tidak
menyebutkan nama suku asal Mace. Yang diceritakan tentangnya hanyalah
bahwa ia datang dari kampung kecil di pinggir hutan. Ia hidup dari hasil
berkebun dan beternak babi. Sepeninggal Pace Johanis, Mace meninggalkan
4 Komen adalah istilah untuk menyebut orang Papua asli. Artinya, kata ini pun merujuk pada suku asli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
46
kehidupan di kampung. Ia pindah ke Timika dan untuk seterusnya, hidup
bersama ibu mertuanya. Hubungan antara Mace dengan Mabel, sang ibu mertua,
adalah hubungan yang baik. Mace bahu-membahu dengan Mabel untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolahnya Leksi. Bila Mabel
mencari nafkah dengan berjualan pinang, Mace berdagang sayur-mayur dari
kebun sendiri. Mace mempunyai pandangan yang sejalan dengan Mabel tentang
pentingnya pendidikan. Walaupun untuk menyekolahkan Leksi membutuhkan
kerja keras, Mace tidak berberat hati sebab ia berharap Leksi bisa hidup lebih
makmur daripada hidupnya hari ini.
(20) Kutanyakan kepada Mabel dan Mace mengapa aku harus bersekolah. Mereka berkata kompak sekolah akan membuatku pintar.
“Kau akan pintar membaca, menulis, dan berhitung, Nak. Dengan begitu, tidak ada lagi penjaga warung nakal yang akan mengambil uang gula-gulamu,” ungkap Mabel manis.
“Dan orang pintar bisa membuat hidupnya menjadi lebih baik. Lebih makmur dan kaya. Asal kau tahu, itulah mimpi tertinggi setiap orang di dunia ini,” tambah Mace seraya mengepang ketat rambutku di kedua belah sisi kepala. (Thayf, 2009: 17-18)
(21) “Sudahlah, Leksi. Pokoknya kau harus bersekolah. Tidak boleh tidak.” Mace mendorong punggungku hingga membuatku berdiri dari pangkuannya. Seperti kewajiban setiap perempuan Komen yang harus mengurus keluarga, rumah, dan kebun, kata Mace, aku sebagai anak juga harus bersekolah. Lalu dia mulai berbicara sendiri, sambil menaruh kembali sisir dan bedak di dalam kamar, tentang betapa tidak inginnya ia melihatku menjalani nasib yang serupa dirinya, apalagi lebih buruk. Sebaliknya, betapa bangganya ia kelak jika kau bisa bersekolah sampai SMA dan memakai seragam putih abu-abu seperti yang dipakai beberapa orang anak yang sering berpapasan dengannya di jalan menuju pasar. (Thayf, 2009: 19-20)
Seperti orang tua pada umumnya, Mace tidak menginginkan Leksi hidup
sesusah dirinya. Ia menginginkan Leksi menjadi kebanggaannya. Walaupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
47
secara kasatmata Mace tampak lesu dan kering menjalani hidup, perempuan ini
sesungguhnya masih mempunyai mimpi yang mendorongnya bekerja keras dan
berjuang. Mimpi yang dimaksud adalah bisa menyekolahkan Leksi hingga
bangku SMA.
3.2.3 Leksi
Leksi ialah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang duduk di kelas 1
SD. Tokoh ini adalah anak yang dicintai oleh ibunya, lebih-lebih oleh neneknya.
Leksi diharapkan Mace untuk bersekolah hingga tingkat SMA dan menjadi anak
kebanggaan. Lain halnya dengan Mabel. Oleh sang nenek, Leksi diharapkan
tumbuh sehat dan gemuk. Tetapi, Leksi tidak begitu menyukai sekolah.
Bangunan sekolahnya tidak lagi berfungsi dengan baik dan tidak nyaman
digunakan untuk belajar. Dia pun tidak menonjol dalam mata pelajaran, tetapi
dia cerdas dan kreatif. Ini terlihat dari caranya menjawab perkataan Mace yang
menginginkan Leksi menjadi siswa berseragam putih abu-abu.
(22) “Kalau memang hanya itu keinginanmu, Mace, mengapa tidak kaubelikan saja rok abu-abu untukku karena aku sudah punya baju putih. Akan kupakai sekarang juga jadi kau bisa melihatku dengan bangga. Bagaimana?” aku berceloteh ringan sambil terus mengekori langkahnya dari kamar menuju dapur untuk mengambil sarapan. Seraya itu, kucoba membayangkan apakah aku akan terlihat cukup cantik jika memakai rok berwarna kusam itu. Namun tanpa disangka, tawa Mabel tiba-tiba meledak dari ruang depan yang kami tinggalkan. Aku tersentak kaget, begitupun Kwee, yang langsung lari bersembunyi di dalam kamar.
“Aduh, Lisbeth! Anakmu sungguh cerdas! Benar-benar cerdas,” terdengar Mabel berteriak di sela tawa geli dan tepukan tangannya yang memukul-mukul pahanya sendiri. (Thayf, 2009: 20)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
48
Leksi yang cerdas dan kreatif mempunyai seorang kawan baik bernama
Yosi, anak Mama Helda dan Pace Poro Boku5, tetangga mereka. Ia gemar pada
petualangan, gemar bermain, berjalan-jalan, kadang-kadang dengan menyelinap,
dan melihat banyak orang.
(23) Sebelum Mace mendaftarkanku bersekolah, aku sering menghabiskan waktu dengan bermain atau berjalan lontang-lantung di sekeliling kampung, bahkan terkadang sampai ke pasar dan jalan besar yang seharusnya tidak boleh kudatangi sendiri. Aku pergi ke tempat itu dengan diam-diam, tentu saja, karena Mabel dan Mace akan memarahi atau mungkin menghukumku jika ketahuan. Aku membawa serta Kwee dan Pum sebagai teman karena kutahu mereka tidak akan berani mengadu. (Thayf, 2009: 26)
Tokoh Leksi tidak diciptakan dengan kerumitan-kerumitan penokohan
yang ada pada, misalnya, Mabel ataupun Mace. Leksi masih berusia anak.
Kesukaannya jelas; ketidaksukaannya juga jelas. Yang baginya masih sedikit
rumit adalah bagaimana menentukan disposisi diri terhadap sosok ayahnya
sendiri. Di dalam kutipan di bawah ini, “aku” adalah Leksi sendiri.
(24) Layaknya kabut pekat yang datang tanpa pamit dari gunung, sontak senyap mengambang dengan cepat di seluruh rumah. Merampas tawa Mabel seketika hingga menjadi gumam tak lekas, dan membuat Mace terdengar bernapas panjang-panjang. Aku yang terjepit di tengah situasi tidak enak itu bingung sendiri. Begitulah yang kerap terjadi setiap kali ada yang berbicara tentang Bapak atau tanpa sengaja menyebut namanya. Entah apa alasannya, aku tak tahu. Kubayangkan Bapak serupa sosok hantu yang pantang disebut, kecuali akan membuatmu celaka jika nekat. Bapakku mungkin saja seorang laki-laki yang mengerikan. Ataukah bukan manusia? Hii.... Tak tahan, aku merinding sendiri. ... Dalam hati, tanpa setahu mereka, aku berjanji untuk tidak lagi membuat diriku secerdas
5 Dalam Tanah Tabu, pace digunakan untuk menyebut bapak, ayah. Kata poro boku berarti ‘perut besar’. Nama ini adalah julukan yang diberikan Leksi untuk ayah Yosi. Terjemahan bebasnya ‘bapak berperut besar’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
49
Bapak atau menyamai Bapak dalam hal lain supaya namanya tidak akan pernah hadir lagi di antara kami dan merampas senyum kami.
Tanpa sadar, aku mulai menanam benih ketidaksukaan kepada sosok yang tidak pernah kulihat itu. Sosok Bapak. (Thayf, 2009: 20-21)
(25) Yosi tidak tahu, yang membuatku tertarik pada jalan besar itu adalah harapanku akan bertemu Bapak, yang mungkin saja sedang berjalan-jalan menuju rumah barunya di suatu tempat di ujung jalan sana. Gunung Nemangkawi. Gunung tempat roh-roh orang suku Amungme yang sudah mati akan kembali. Aku hanya ingin melihat wajah Bapak untuk memastikan benarkah sosoknya semengerikan hantu sehingga namanya enggan disebut Mabel maupun Mace? (Thayf, 2009: 27)
Perasaan dan anggapan Leksi terhadap ayahnya, Pace Johanis, tidak semata-
mata tidak menyenangkan. Ketika Mabel kedatangan tamu bernama Mama Kori,
perasaan tidak senang Leksi berlapis dengan perasaan senang karena dinilai
berwajah menyerupai Pace Johanis. Munculnya dua perasaan yang bertolak
belakang ini menunjukkan bahwa masih rumit bagi Leksi untuk menentukan
pandangannya terhadap sosok Pace Johanis. Yang mencetuskan kemiripan Leksi
dengan Pace Johanis ialah Mama Kori. Cetusan Mama Kori merupakan
pembuktian dalam Tanah Tabu bahwa Leksi memang anak kandung Pace
Johanis.
(26) Mabel memperkenalkannya sebagai seorang sahabat lama, sebelum sang tamu sendiri meralat dengan menyebut dirinya sebagai saudara dekat yang lama tidak
“Ini cucuku. Leksi,” ujar Mabel saat tiba waktunya aku diperkenalkan. “Leksi? A-chacha... anak yang manis. Manis sekali.” Ia memujiku
dengan suara yang hangat seraya mencubit gemas pipiku. Aku pun memberinya senyum yang paling sempurna, yang kemudian berangsur padam ketika ia lanjut bertanya kepada Mabel, “Anak Johaniskah?”
“Ya. Dia itu sudah.” “O, pantas. Matanya mirip. Hidungnya juga.” Selagi Mama Kori berkata begitu, tanpa sadar kuraba mata dan hidungku
bergantian. Benarkah sama? Sama apanya? Seketika itu pula aku merasakan ledakan keinginan untuk berlari menghampiri cermin di kamar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
50
dan menikmati kemiripan wajah kami—aku dan Bapak—seperti yang disebut Mama Kori, apalagi sekali pun dalam hidup ini aku belum pernah melihat wajahnya. Namun ruang depan terasa berat untuk ditinggalkan. Aku masih ingin mendengar banyak hal baru dari tamu kami itu, maka kuputuskan menunda niat tersebut nanti saja. Aku pun tetap berdiam di tempatku semula. Duduk di atas pangkuan Mace, yang diperkenalkan kemudian kepada Mama Kori sebagai istri Johanis. (Thayf, 2009: 149-150)
3.2.4 Mama Kori
Mama Kori ialah seorang perempuan Komen seperti Mabel. Usia mereka
berdua sepantaran. Semula Mama Kori tinggal bertetangga dengan Mabel di
satuan pemukiman sewaan yang sama. Meski mereka tak lebih dari sahabat,
hubungan Mama Kori dengan Mabel sedekat hubungan antarsaudara
perempuan. Hal ini terungkap dari tuturan tokoh Pum, anjing peliharaan Mabel,
“Bagiku, Mama Kori sudah seperti keluarga sendiri. Adapun bagi Mabel, Mama
Kori lebih seperti saudara yang tidak dimilikinya.” (Thayf, 2009: 152). Mama
Kori menemani Mabel pada saat-saat Mabel baru meninggalkan Pace Mauwe. Ia
bersedia membantu merawat Johanis. Pada hari Mabel dibawa paksa untuk
pertama kali oleh kelompok bersenjata, Mama Kori menjadi saksi mata.
Sekalipun beredar tuduhan pemberontakan atas Mabel, keberpihakan Mama
Kori pada Mabel membuat ia berani menjawab panggilan petugas kelompok
bersenjata itu. Perempuan ini, dalam pesannya pada Leksi, mempunyai pendirian
bahwa rasa takut merupakan pangkal kebodohan. Hal ini, menurut Mama Kori,
hendaknya tidak disepelekan sebab kebodohan akan melumpuhkan kemanusiaan
manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
51
(27) “Ketahuilah, Nak. Rasa takut adalah awal dari kebodohan. Dan kebodohan—jangan sekali-kali engkau memandangnya dengan sebelah mata—mampu membuat siapa pun dilupakan kodratnya sebagai manusia,” Mama Kori mengakhiri ceritanya sambil menebar pandang ke seluruh pendengarnya, sebelum kemudian berakhir pada Leksi. (Thayf, 2009: 163)
3.2.5 Pum
Pum seekor anjing pemburu suku Dani. Ia bersahabat dengan Mabel
selama bertahun-tahun. Sayangnya, pada suatu perang suku, sebelah matanya
tertusuk anak panah nyasar. Pengelihatannya pun berkurang banyak,
menyisakan sebelah saja mata yang berfungsi baik. Meskipun begitu, Pum
menyukai warna-warna cerah. Warna cerah kegemaran Pum tua adalah kuning.
Keberadaan Pum dalam novel ini sebenarnya sangat berpengaruh sebab ia
banyak mengungkap sejarah hidup Mabel dari masa lampau.
(28) Percayalah kepadaku kalau kukatakan tak pernah sedikit pun ada dalam angan Mabel bahwa ia akan menjalani hidup pada masa tua yang semiskin ini. Pun, sebelumnya, tak pernah ada dalam mimpi Mabel kecil bahwa ia akan merasakan hidup yang enak bersama sekeluarga orang asing yang baik hati. Ya, kau benar. Mabel pernah bekerja pada keluarga de Wissel. Ia melewatkan masa remajanya dengan menjadi pembantu dan pengasuh anak-anak mereka. Aku sudah bersamanya ketika itu. Menemani perjalanan pertamanya seorang diri, pergi jauh meninggalkan kampung sukunya di Lembah Baliem. Membuntuti langkahnya di jalan yang baru bersama majikan pertama dan terakhirnya. Aku menjadi teman sekaligus menjadi pengingat kecil tentang keluarganya yang ditinggalkan. Karena itu, tak salah jika hubungan kami begitu erat. Kesetiaan kami satu sama lain mampu membuat sirik siapa pun yang melihat, termasuk Kwee. (Thayf, 2009: 39-40)
Anjing ini, bersama Leksi dan Kwee babi kecil, merupakan juru cerita (narator).
Pum menduduki tempat tokoh sampingan (secondary character) dalam novel
Tanah Tabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
52
3.2.6 Kwee
Kwee sesungguhnya hanyalah seekor babi kecil peliharaan Mace.
Meskipun demikian, kedudukan tokoh Kwee dalam pengisahan menjadi penting
karena ia termasuk salah satu pencerita (narator). Tokoh ini juga cukup akrab
dengan Leksi. Kwee senang bermain kejar-kejaran dan berjalan-jalan ke pasar
dengan Leksi. Sesekali Kwee menampakkan watak sok jago, keras kepala, dan
sedikit ceroboh. Sesungguhnya tokoh babi kecil ini menyimpan rasa takut pada
mobil karena induknya mati tertabrak “kerbau berasap, ... kendaraan yang
berlari kencang dan siap menabrak siapa saja yang tidak berhati-hati.” (Thayf,
2009: 71) Terhadap Pum si anjing, Kwee lebih sering merasa sebal dan bersikap
meremehkan. Kedua hewan ini pernah bertengkar pula. Namun pada saat
darurat, Kwee terbukti dapat berkompromi dengan Pum. Kwee bekerja sama
dengan Pum untuk menemukan tempat Mabel ditahan oleh kelompok bersenjata.
Jika Pum berperan sebagai kunci pada kisah masa muda Mabel, Kwee adalah
tokoh yang mengungkap cerita dari masa lalu Mace. Induk Kwee dahulu adalah
saksi kejadian pemerkosaan yang dialami Mace. Si induk menceritakan kepada
Kwee apa yang ia saksikan lewat mata binatangnya kemudian Kwee
menceritakan ulang kepada pembaca.
(29) Tak dapat kupungkiri hari ini adalah hari terberat bagi kami semua, terutama Mabel dan Mace. Kenapa kubilang Mace? Sebab tak hanya harus mengalami kejadian tadi, ia pun dipaksa menghadapi ketakutannya sendiri pada lelaki yang membawa senjata. Itulah mengapa Mace hanya mampu menatap dari jauh saat Mabel diseret pergi dari rumah—jangan salahkan dia. Mace juga tak berani memegang tangan atau kaki orang-orang itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
53
seperti yang dilakukan Leksi. Mengangkat wajah untuk menatap mereka pun ia tak kuasa. Yang dilakukan perempuan muda itu hanya memohon dan meratap sembari memandangi kaki-kaki mereka. Persis seperti cerita ibuku dulu. Ketika hanya kaki-kaki bersepatu hitam besar yang sama yang sanggup dipandanginya, sementara para pemilik sepatu tersebut memperlakukan tubuhnya dengan biadab secara bergilir. Hingga terciptalah trauma itu, yang terekspresi begitu jelas pada wajahnya siang tadi. Ada beling lama yang kembali menyayat dada Mace. Ia begitu ketakutan.
Agar kau tidak terus bertanya-tanya, izinkan kuceritakan kepadamu sebuah kisah yang berhubungan dengan ketakutan dan trauma Mace itu. Kisah yang pernah dituturkan Ibu kepadaku dan terjadi beberapa tahun yang lalu. (Thayf, 2009: 23-24)
3.2.7 Ibu Mabel
Tokoh ibu Mabel merupakan penggambaran seorang ibu suku Dani yang
hidup di perkampungan pada era 1940 sampai 1950-an. Kulitnya berwarna
gelap, rambutnya keriting, perutnya membuncit, payudaranya layu. Dia
mengenakan sali6 di pinggang dan noken7 di kepala. Tugasnya sebagi seorang
perempuan, istri, dan ibu adalah membesarkan anak, bercocok tanam di kebun
keluarga, mengumpulkan sagu, dan memelihara babi. Masyarakat suku yang
patriarkhal memandang ia manusia lemah yang sudah semestinya dilindungi
oleh laki-laki. Kendatipun demikian, adat suku tidak melindungi ibu Mabel dan
kaumnya (kaum perempuan) dari kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
para suami dan bapak. Demikianlah posisi seorang perempuan Dani dalam
masyarakat.
(30) Jika dada ayah Mabel jarang dibiarkan telanjang, karena diberi hiasan kalung yang terbuat dari untaian kulit kerang, sebaliknya dada ibunya
6 pakaian tradisional perempuan Dani, berbentuk rok rumbai 7 kantung jala gendong yang dianyam, berfungsi sebagai tas untuk membawa barang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
54
hanya digantungi sepasang payudara yang layu. Tempat Mabel dan ketiga saudaranya dulu sering bergayut, mencari kehangatan dan makanan. Sementara di kepala sang ibu yang rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas seorang perempuan sejak zaman nenek moyang. Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata sebab tugas mereka berburu dan melindungi. Sedangkan perempuan dianggap sebagai makhluk lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri. (Thayf, 2009: 99-100)
Ibu Mabel mempunyai 4 orang anak. Dua anak tertua adalah laki-laki,
sisanya perempuan. Merupakan hal yang membanggakan ketika anak laki-
lakinya menunjukkan keberanian. Sebaliknya, ketika anak perempuannyalah
yang menampilkan tanda-tanda keberanian, anak tersebut justru dilekati julukan
Pembangkang Kecil.
3.2.8 Ayah Mabel
Ayah Mabel ialah seorang suku Dani yang mahir berburu dan berperang.
Tubuhnya tinggi besar, tenaganya sangat kuat, pemberani pula. Dia
menggunakan senjata andalan kapak batu. Sebagai seorang laki-laki suku Dani,
atribut yang juga dikenakannya adalah holim (koteka) dan kulit kerang yang
diuntai menjadi kalung.
Walaupun bukanlah kepala suku, ayah Mabel termasyhur di kampungnya
karena keberhasilannya membunuh seekor babi hutan besar hanya dengan
bersenjatakan kapak batu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
55
(31) Mabel sangat bangga pada ayahnya yang terkenal mahir menggunakan kapak batu. Menurut cerita, sekali waktu, ayahnya pernah berhadapan dengan babi hutan besar yang sedang marah. Selagi babi itu berlari kencang ke arahnya dengan kepala hendak menyeruduk, ayah Mabel serta-merta mengayunkan kapak batunya ke arah kepala si babi. Seketika itu juga, babi hutan besar tersebut tersungkur kaku. Mati. (Thayf, 2009: 99)
Bahwa ayah Mabel dipandang masyhur di kampungnya juga ditunjukkan dari
cara Piet van de Wissel bersikap. Ketika van de Wissel membawakan tembakau,
tidak semua laki-laki di kampung itu dibaginya. Ia membagikan tembakau hanya
untuk para laki-laki yang tampak gagah dan pemberani, di antaranya kepala suku
dan ayah Mabel. Ini membuktikan bahwa kehadiran ayah Mabel di tengah
kampung cukup diperhitungkan, bahkan di mata orang asing.
(32) Tuan Piet memperkenalkan diri sebagai pemimpin kelompok para pendatang. Mabel belum pernah melihat ayahnya sebersemangat itu terhadap orang asing. Dari kata-kata dan ekspresi wajahnya, Mabel tahu ayahnya telah jatuh hati pada kebaikan mereka, apalagi ketika cukup banyak benda baru diberikan kepadanya. Ada dua kesukaannya. Pertama, butiran serupa pasir berwarna putih yang terasa asin dan membuat ketagihan jika dimakan. Garam, begitulah kelak Mabel mengetahui nama pasir asin tersebut. Kedua, benda yang semula membuat semua orang ketakutan terkena asapnya karena disangka beracun dan bisa mematikan.
“Tembakau. Hanya untuk para lelaki yang berani,” begitu bujuk Tuan Piet tatkala memberikan satu kepada kepala suku, lalu menyusul kepada beberapa lelaki berbadan gagah lainnya, termasuk ayah Mabel. (Thayf, 2009: 103-104)
Karena lakuannya dalam novel Tanah Tabu tidak intens, tokoh ayah
Mabel menempati kedudukan tokoh sampingan. Tokoh ini diceritakan tewas
bersama anak sulungnya dalam sebuah perang antarsuku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
56
3.2.9 Pace Mauwe
Pace Mauwe adalah seorang laki-laki suku Amungme. Dia bisa membaca
dan berhitung karena pernah bersekolah meskipun tidak lama. Ketika hubungan
antara suku Amungme dengan suku Dani sedang genting, Pace Mauwe justru
menikah dengan Mabel. Sepanjang 3 tahun pertama pernikahan dengan Mabel,
sebelum perusahaan pertambangan emas merampok penghidupannya dan
sukunya, Pace Mauwe menampilkan karakter yang positif. Dia bertanggung
jawab, bekerja keras, tangkas berburu, perhatian, dan penyayang pada
keluarganya. Karakter positif Pace Mauwe dikenang oleh Pum dalam ceritanya
kepada Kwee berikut ini.
(33) Sedangkan Pace Mauwe suami yang bertanggung jawab, penyayang dan perhatian. Ia juga seorang pekerja keras dan pemburu yang tangkas. Oh iya, hampir lupa kuberitahu, Pace Mauwe pernah merasakan bangku sekolah walau hanya sebentar. Ia bisa membaca dan berhitung. Menurutku, itulah salah satu kelebihan Pace Mauwe yang berhasil memikat hati Mabel, karena pada masa itu belum banyak orang Papua yang mengenal angka, apalagi huruf. (Thayf, 2009: 135)
Patut disayangkan, Pace Mauwe tidak bertahan dengan hal-hal baik
tersebut. Pada saat hutan, sungai, dan kebunnya diambil oleh perusahaan emas,
Pace Mauwe marah tanpa punya daya melawan. Ia tidak mempunyai sumber
penghidupan, tetapi mau tidak mau harus menghidupi keluarga serta diri sendiri.
Apabila terbukti tidak mampu menghidupi keluarga, kebanggaannya sebagai
seorang laki-laki akan runtuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
57
(34) Sejak itu, Kwee, keadaan bertambah buruk. Dapur Mabel lebih sering dingin dari asap, dan perut kami makin membuncit karena kelaparan. Untunglah, pada suatu hari, Pace Mauwe pulang ke rumah dengan membawa berita baik. Ia diterima bekerja di perusahaan emas besar itu, begitu kabarnya. Walau hanya sebagai tukang sapu, tapi masih kuningat kebanggaan yang menggembungkan dadanya. Ia merasa jadi laki-laki sejati lagi, Kwee. Bisa mencari uang untuk keluarga. Mabel dan Johanis tentu saja gembira. Kami makan enak pada kali pertama Pace Mauwe menerima upah. Tapi coba tebak apa yang kami makan pada kali berikutnya? Hanya sagu bakar. Itu saja. Atau keladi rebus kalau ada. (Thayf, 2009: 136)
Pace Mauwe dipaksa oleh keadaan untuk bekerja pada perusahaan yang
sebenarnya merupakan sasaran kemarahannya. Ia memang memperoleh upah
dari pekerjaan barunya, namun pengalaman Pace Mauwe bersekolah rupanya
kurang berguna. Pace Mauwe memang mampu berhitung dan membaca, tetapi ia
tidak tahu cara berhemat dan mengatur keuangan. Upah dari pekerjaan sebagai
petugas kebersihan untuk perusahaan emas hanya membuat laki-laki itu menjadi
pemboros. Mula-mula ia memboroskan uang untuk makan enak. Berikutnya ia
memboroskan uang minum minuman keras dan bermain perempuan. Di rumah,
Pace Mauwe yang pemabuk memukul istri, anak, dan anjing peliharaan mereka.
Karena tidak sanggup memperbaiki diri, Pace Mauwe pun ditinggalkan oleh
Mabel. Tidak diketahui bagaimana hidup Pace Mauwe selanjutnya. Dia
meninggal dan sebagai seorang Amungme, jiwanya dipercaya beristirahat di
Gunung Nemangkawi.
3.2.10 Pace Johanis
Pace Johanis adalah anak tunggal Mabel. Mengikuti garis keturunan ayah
(patriarkhal), Pace Johanis termasuk suku Amungme. Dari perkataan ibunya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
58
Johanis dapat disebut cerdas semasa masih anak. Akan tetapi, perilakunya
setelah menikah mempunyai anak rupanya berubah menjadi kasar dan tidak
manusiawi. Seperti yang telah dilakukan bapaknya lebih dulu. Pace Johanis
menjadi pemabuk, pelaku kekerasan, bahkan seorang pemerkosa atas istri
sendiri. Setelah menolak mengakui Leksi sebagai keturunannya, Pace Johanis
tidak sekali pun berjumpa lagi dengan keluarganya. Ia meninggal sebagaimana
ditegaskan Mace kepada Leksi, “Bapakmu sudah mati, Leksi. Jangan diingat-
ingat atau disebut-sebut lagi!” (Thayf, 2009: 27)
Meskipun pengarang tidak menerangkan penyebab kematian tokoh
bersangkutan, Pace Johanis mati tetap sebagai seorang Amungme. Menurut
kepercayaan suku, jiwa atau roh seorang Amungme yang telah mati akan
berdiam di Gunung Nemangkawi, gunung yang dipandang suci. Persoalan
timbul sebab Gunung Nemangkawi kini dirajai perusahaan pertambangan emas.
Apakah roh Pace Johanis—bersama roh Pace Mauwe dan saudara-saudara
sesuku mereka—ikut terusir dari situ menjadi pertanyaan yang terus-menerus
bergema melalui narasi tokoh Leksi.
3.2.11 Yosi
Yosi, putri sulung Mama Helda, adalah teman sepermainan Leksi yang
paling akrab. Menurut pendapat Leksi, Yosi seorang penakut. Karena itulah
Leksi tidak pernah mengajak Yosi ikut menyelinap pergi ke jalan besar yang
menuju ke pertambangan emas di Gunung Nemangkawi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
59
(35) Sedangkan Yosi, aku tidak mau mengajaknya. Anak itu penakut. Sangat penakut. Katanya, dia pernah mendengar cerita dari orang-orang tua bahwa jalan besar itu menuju ke suatu tempat yang menjadi sarang hantu. Jalan itu tidak boleh didatangi anak kecil seorang diri karena bisa saja ia tergilas kendaraan para hantu yang banyak berlalu-lalang, yang rodanya sebesar batu sungai paling besar dan mempunyai sepasang lampu seterang matahari. Padahal yang aku tahu, di jalan itu hanya ada bermacam-macam mobil, yang walaupun rodanya besar-besar, tidak ada yang sebesar batu sungai. Namun, entahlah kalau malam hari, sebab aku ke tempat itu hanya pada waktu siang. Mungkin mobil hantu yang dimaksud Yosi baru keluar pada saat langit telah gelap dan semua orang sudah terlelap. Atau mungkin Yosi hanya mengarang-ngarang cerita itu supaya aku tidak meninggalkannya sendiri. (Thayf, 2009: 26-27)
Usia Yosi terpaut 5 tahun lebih tua daripada Leksi. Namun, ia tidak
seberuntung Leksi yang bersekolah. Keluarga Yosi dibelit kemiskinan sehingga
tidak ada biaya untuk menyekolahkan Yosi. Selain itu, Yosi tidak diizinkan
Mama Helda bersekolah ataupun bekerja mencari tambahan penghasilan. Mama
Helda ingin Yosi membantunya bekerja rumah tangga di rumah dan di kebun.
Yosi sangat bertanggung jawab dan baik hati. Ini terlihat dari
perlakuannya terhadap ketiga adiknya, terutama terhadap Kaye yang sakit-
sakitan dan rewel. Yosi menerima tak hanya perintah, tetapi juga teriakan,
cubitan, dan pukulan ibunya tanpa protes. Meskipun tubuhnya merasa sakit,
Yosi memahami keadaan Mama Helda yang menderita diperlakukan secara
kasar oleh Pace Poro Boku. Ia merasa tidak adil jika mempersalahkan Mama
Helda.
3.2.12 Mama Helda
Mama Helda adalah tetangga sebelah rumah Mabel. Usianya jauh lebih
muda dibanding Mabel. Ketika menikah dengan Pace Poro Boku, usia Mama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
60
Helda kira-kira 15 tahun. Ia pindah ke daerah tempat tinggal Mabel tak lama
setelah menikah dengan Pace Poro Boku. Mula-mula, raut muka Mama Helda
masih menyisakan kesan kanak-kanak dan lugu dengan “hidung yang
membangir sempurna serta sepasang mata yang berpayung bulu mata lentik.”
(Thayf, 2009: 64) Apabila Pace Poro Boku telah meninggalkan rumah untuk
bekerja, Mama Helda yang masih belia itu menunjukkan kesukaannya tertawa
dan bercanda. Patut disayangkan, seiring bertambahnya usia pernikahan
pasangan itu, Mama Helda menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Ia tidak lagi suka tertawa dan bercanda seperti yang ketika masih belia
dahulu. Mama Helda mempunyai banyak anak, salah satunya bernama Yosi.
Mama Helda sangat sering memberi perintah kepada Yosi dengan teriakan,
cubitan di kulit perut, dan pukulan di kaki. Tokoh Mace menggambarkan
keadaan Mama Helda yang korban KDRT itu kepada Leksi dengan sinis,
“Apakah kau mau Mace-mu ini seperti ibunya Yosi itu? Hamil, tidak hamil,
pipinya sering bengkak sebelah. Sedangkan kaki temanmu, Yosi, sudah macam
keladi busuk karena lebam sana-sini.” (Thayf, 2009: 46)
3.2.13 Pace Poro Boku
Kehadiran tokoh Pace Poro Boku memperbanyak tampilan laki-laki
Komen yang menjadi pelaku kekerasan terhadap keluarga dalam novel Tanah
Tabu. Ketika masih sebagai pasangan suami istri baru, Pace Poro Boku dan
Mama Helda tinggal bersebelahan dengan Mabel dan Pum, si anjing. Pace Poro
Boku masih menampilkan wajah seorang laki-laki Komen ideal, yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
61
pemberani, penakluk alam sejati, tidak pernah gentar menghadapi pertempuran
ataupun perburuan. Terhadap Mama Helda, sikapnya semula masih baik dan
pengertian. Sikap ini kemudian digantikan oleh kebiasaan menghambur-
hamburkan upah mingguan untuk minum alkohol dan main perempuan. Di
rumah, Pace Poro Boku tak hanya membentak dan memukul Mama Helda, tetapi
juga menampar, menjambak, dan menendang. Pace Poro Boku memiliki perut
yang buncit sehingga Leksi memberinya nama Poro Boku tersebut, artinya 'perut
besar'. Matanya merah dan aroma tubuhnya tidak sedap karena sangat sering
mabuk. Ia bersuara sangat nyaring saat sedang berbicara, dengan ludah
bermuncratan. Orang-orang sekampung menjadi enggan bercakap-cakap dengan
Pace Poro Boku karena hal ini.
3.2.14 Karel
Inilah anak laki-laki Pace Gerson. Tutur kata Karel kepada kawan-kawan
sebayanya, Leksi dan Yosi, sering bernada temperamental. Sikapnya
menunjukkan kekasaran.
(36) Karel sering menyombongkan diri kalau ia sudah pernah pergi ke ujung jalan besar.
“Di sana ada Kota Surga yang indah. ... Di sana kau harus naik mobil berstiker supaya bisa masuk. Kalau jalan kaki, tidak boleh masuk! Waktu itu, aku naik mobil putih besar.”
“Hati-hati, Karel. Itu mobilnya hantu-hantu!” teriak Yosi penuh kengerian.
“Ah, tahu apa kau?! Diam saja mo!” ... Karel hanya membelalakkan mata. Mengancam.
“Tapi, Karel,” aku berbicara meminta perhatiannya, “Kata Mabel, di ujung jalan besar itu ada Gunung Suci, bukan Kota Surga.” ... Namun yang terjadi Karel malah tertawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
62
“Gunung itu milik perusahaan emas, Leksi. Di situ tidak ada roh orang mati, tetapi mesin-mesin besar bersuara ribut yang terus menggali lubang, begitu kata bapakku. Mungkin mesin itu yang dikira Mabel roh orang mati. Dan kau,” ia mendorong kepalaku, “bodoh sekali percaya cerita orang tua macam Mabel yang tidak pernah baca koran dan nonton televisi.” (Thayf, 2009: 88-91)
Sikap dan komentar Karel yang kasar menunjukkan bahwa ia meniru kekasaran
ayahnya sejak masih berusia anak.
Kesukaan Karel memakai pakaian bagus dan membawa mainan baru
rupanya menumbuhkan watak menyombong dan sok pamer. Karel selalu ingin
menang sehingga teman-temannya merasa sebal jika bermain dengan dia.
Tetapi, di hadapan ayahnya yang cepat marah, Karel takluk.
3.2.15 Pace Gerson
Tokoh Pace Gerson jelas mencari kekuasaan. Ambisinya adalah
memenangi pemilihan kepala daerah periode mendatang. Kehausan Pace Gerson
akan kekuasaan dan uang membuat Mabel tidak suka, sementara Pace Gerson
pun tidak menyukai kritik-kritik pedas Mabel terhadap kegiatan politiknya.
Perasaan saling tidak menyukai antara Pace Gerson dengan Mabel menyebabkan
tampaknya sikap bermusuhan. Cerita Karel kepada Leksi mengungkap praktik
perkoncoan dan politik uang (money politics) yang dilakukan Pace Gerson
sebagai ancang-ancang memasuki kancah pilkada. Untuk bisa bersaing dalam
pemilihan bupati kelak, Pace Gerson menjalin koneksi terlebih dahulu dengan
seorang calon bupati yang kaya raya. Pace Gerson mengumpulkan dana untuk
pencalonan dirinya dengan cara menjual Gunung Nemangkawi berikut segala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
63
kekayaan sumber daya alamnya kepada pertambangan emas milik pendatang.
Pace Gerson menutupi praktik yang dilakukannya dengan tutur kata ramah dan
tawaran yang indah-indah. Jika dilihat sikap asli Pace Gerson terhadap anak
laki-lakinya, tampaklah pribadi yang kasar dan mudah naik darah. Ia tidak
bijaksana menghadapi rasa marahnya.
3.2.16 Mama Mote
Mama Mote berjuluk Mama Pembawa Berita. Ia seorang ibu biang gosip
yang pekerjaannya hanya berkeliling kampung untuk menyebarkan macam-
macam kabar ke antara tetangga, mulai dari kabar aktual seperti peperangan
hingga kabar angin belaka.
3.2.17 Pemuda Meno
Novel Tanah Tabu juga bercerita sekelumit tentang seorang Meno,
seorang pemuda yang namanya tidak diketahui. Pemuda Meno ini cepat sekali
menunjukkan keramahan pada Leksi yang belum dikenalnya. Dia banyak bicara
dan gaya berpakaiannya meniru para pendatang.
(37) “Halo, Ade kecil. Panas-panas begini mau ke manakah?” Ketika itu, aku sudah tiba di depan deretan ruko. Seorang pemuda
bertampang baik yang baru saja keluar dari sebuah toko tiba-tiba menyapa ramah. Ia berkulit gelap seperti orang-orang tanahku, tetapi gaya pakaiannya justru mirip para pendatang. Bercelana pendek, baju dan topi berwarna cerah, serta sepasang sepatu kulit hitam besar yang sangat kotor membungkus kakinya. Di lehernya, bersebelahan dengan kalung taring babi, tergantung sebuah noken kecil berwarna ungu pudar berisi sesuatu yang kuduga sangat berharga, karena membuatnya berjalan dengan dada membusung. (Thayf, 2009: 85-86)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
64
Sesungguhnya, bagaimanapun modernnya si pemuda hendak bergaya, ciri
fisiknya tetaplah menunjukkan dirinya sebagai orang Komen.
(38) [S]eorang pemuda berkulit hitam ... di teras sebuah ruko tertutup. ... Sekilas, pemuda itu berpenampilan serupa pendatang, jika dilihat dari model celana pendek selutut dan sepatu kulitnya yang besar hingga menutupi mata kaki. Namun tas noken ungu jelek dan kalung berhias taring babi yang menggantung di dadanya menegaskan tanah asalnya. Ia pemuda Komen. (Thayf, 2009: 128)
Menurut keterangan dalam novel Tanah Tabu, pemuda ini beserta sukunya
berasal dari gugusan pegunungan di Papua. Semula mata pencaharian mereka
adalah berladang dan berburu. Begitu perusahaan emas merajai tanah Papua,
orang-orang Meno beralih pekerjaan menjadi pengumpul ampas bijih emas.
Perolehan dari ampas bijih emas menghasilkan banyak uang. Dengan uang itu,
pemuda tersebut membeli pakaian bagus, sepatu mahal, dan HP seri terbaru. Tak
ayal, uang yang banyak mengubahnya menjadi gemar berfoya-foya. Dengan
cepat, uang si pemuda ludes untuk berbotol-botol minuman beralkohol. Pemuda
Meno itu pun pontang-panting menjual barangnya dan mencari pinjaman uang.
Yang tertinggal padanya hanyalah tubuh kotor, bau tidak sehat, dan batuk.
Demikian kutipan narasi Kwee dari Tanah Tabu yang membuktikan hal tersebut.
(39) “Kwee, aku kenal kakak itu. Dia pernah mengambil gambarku. Dia punya hp bagus. Ayo kita minta dia ambil gambarmu juga.”
Lantas tanpa sungkan, Leksi mendatangi si pemuda yang rupanya terbangun begitu mendengar langkah kami. Tubuh kotornya bergerak mengulat. Ia sepertinya baru bangkit dari pingsan panjang yang memegalkan badan. Namun bau alkohol bercampur muntah semakin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
65
menguar tajam dari arahnya begitu jarak kami semakin dekat. Mengabarkan keadaannya yang sebenarnya. Leksi berhenti melangkah.
“Kurasa ia mabuk, Kwee. Sebaiknya kita pergi saja. Nanti kita dipukulnya.” ...
“Tolonglah, Ade. Kakak sudah tidak mabuk lagi. Sekarang Kakak hanya hanya ingin pulang, tapi tidak punya uang. Ade punyakah tidak?” ...
Tak lama, kepala kecil Leksi yang berhias dua kepang lengket tampak menggeleng. Kepada si pemuda, ia mengaku tak punya uang. Sepeser pun tak ada. Lalu sepi kembali menyela. Tak ada yang menyela di antara kami. Tak ada yang bersuara. Percakapan tadi seolah tak pernah pecah. Si pemuda sudah sibuk sendiri mengusir kotor dari tubuhnya sambil tak henti meniupkan batuk yang kejar-mengejar lewat bibirnya yang kering. (Thayf, 2009: 128-130)
3.2.18 Pace Arare
Pace Arare adalah tokoh kepala kampung. Seperti para laki-laki Komen
pada umumnya ketika mengadakan pesta adat, Pace Arare mengenakan hiasan
kepala dari bulu burung yang beraneka warna. Meski tokoh inilah kepala
kampung, ia dibicarakan tidak lebih sekali. Sekalipun terjadi penangkapan
terhadap Mabel oleh sekelompok militer, fungsi Pace Arare sebagai “yang
dituakan” dalam masyarakat tidak pula ditampakkan. Kehadiran tokoh kepala
kampung seperti Pace Arare semestinya bisa menunjukkan bagaimana jalannya
pengaturan kekuasaan di tingkat perkampungan yang masih dihuni suku asli
Papua dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan partai politik dan
lembaga swadaya masyarakat yang dimunculkan dalam cerita Tanah Tabu.
3.2.19 Hermine Stappen
Hermine Stappen adalah seorang perempuan berkebangsaan Belanda yang
datang ke Lembah Baliem pada tahun 1950-an. Ia mendampingi Piet van de
Wissel, suaminya, dalam rangka merintis pembangunan pos pemerintahan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
66
lapangan terbang di Lembah Baliem. Di mata penduduk asli, tak lain adalah
suku Dani, Stappen adalah seorang perempuan cantik berambut emas yang mau
mencintai orang lain yang bukan berasal dari suku yang sama. Sebelum
meninggalkan Lembah Baliem menuju Mindiptana pada tahun 1956, perempuan
Belanda ini kemudian memutuskan mengangkat Waya, seorang anak perempuan
berusia 8 tahun. Stappen kemudian membaratkan nama Waya menjadi Anabel
supaya menjadi lebih lazim untuk pengucapan lidah Belandanya. Ia tidak
mengetahui bahwa nama barat itu dibawa oleh si anak suku Dani sampai masa
tuanya, menjadi Mama Anabel atau Mabel. Ketika Anabel mengusulkan kepada
Stappen dan van de Wissel supaya dirinya disekolahkan, perempuan Belanda ini
bukannya mendukung. Dia justru berpendapat,
(40) “Kita ini perempuan, Anabel. Tak akan mampu memanggul dunia. Jadi hendaknya kau merasa senang jika bisa menjalani bagianmu dalam kehidupan di dunia ini sebaik mungkin. Perempuan tetap akan menjadi perempuan, bukan laki-laki. Dan ingatlah selalu, perempuan tidak akan bisa memangul dunia, Anabel. Tidak akan pernah.” (Thayf, 2009: 123)
Sangat jelas, tanggapan Stappen mengandung bias gender. Adapun nasihat
Stappen yang berbunyi, “Hendaknya kau merasa senang jika bisa menjalani
bagianmu,” secara tersirat menunjukkan sikapnya sebagai perempuan Belanda
yang tidak memandang perempuan Dani setara dengannya.
Selang 2 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1962, Hermine Stappen beserta
anak-anak dan suaminya kembali ke negeri mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
67
3.2.20 Piet van de Wissel
Piet van de Wissel membawa kelompok pendatang dari negeri Belanda
yang sangat jauh sampai ke perkampungan suku Dani di Lembah Baliem. Di
mata penduduk kampung itu, van de Wissel dan rombongannya tampak
“berkulit putih pucat dan berambut kuning (Thayf, 2009: 102).” Di samping
sikapnya yang ramah sebagai pemimpin kelompok pendatang, van de Wissel
menarik hati penduduk perkampungan tersebut dengan memperkenalkan garam
dan tembakau. Setelah mendapatkan pertemanan dari suku Dani, van de Wissel
melaksanakan proyek pembangunan pos pemerintahan dan lapangan terbang di
wilayah itu. Tugas van de Wissel di tanah Papua berpindah-pindah daerah, di
antaranya Mindiptana, Manokwari, Wamena. Walaupun jabatannya dalam
pekerjaan tidak disebutkan, van de Wissel ialah seorang petugas pemerintahan
kolonial Belanda. Mobil dinasnya di Manokwari berbendera merah putih biru,
menandakan bahwa ia mempunyai kedudukan dalam pemerintahan negerinya.
3.2.21 Kelompok orang berseragam dan bersenjata
Kelompok ini adalah orang-orang, terutama laki-laki, yang ditokohkan
dengan ciri-ciri pasukan militer. Dengan pakaian seragam, sepatu hitam besar,
dan senjata, kehadiran tokoh ini dalam Tanah Tabu menerbitkan asosiasi pada
tentara. Mereka bertubuh besar, berwajah galak, dan bertenaga kuat. Kelakuan
mereka mendobrak pintu dan menerobos masuk ke rumah Mabel menunjukkan
bahwa mereka tidak mengenal sopan santun, apalagi pendidikan. Perbuatan
mereka mengobrak-abrik rumah Mabel menunjukkan watak kasar dan kejam,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
68
tanda bahwa kelompok ini tidak mempunyai hati nurani. Tokoh Mama Kori,
salah satu saksi mata tindak-tanduk kelompok ini, bercerita demikian.
(41) Orang-orang berseragam dan bersenjata di bahu yang berwajah galak, beberapa malah tampak seperti pengecut. Mereka datang ke rumah Anabel dengan ribut dan tanpa sopan santun sama sekali, sehingga di mataku rombongan itu lebih menyerupai segerombolan jagoan pasar daripada orang-orang berpendidikan. Sungguh tidak tahu aturan! Main bentak dan kasarnya minta ampun. (Thayf, 2009: 153)
Di samping kedua puluh satu tokoh yang telah dipaparkan di atas, Tanah
Tabu masih menyebutkan beberapa nama lagi yang mempunyai peranan di dalam
cerita. Ada Bapak Guru Wenas yang mengajar Leksi di sekolah. Ada Nenek
Kewa, nenek Yosi, yang membantu Mama Helda saat melahirkan Yosi dan
adiknya yang ketiga. Tidak ketinggalan Kaye, salah seorang adik Yosi yang
sangat rewel. Adik Yosi ini menuntut banyak perhatian dan menyita tenaga.
“Kaye memang masih berumur tiga tahun, tetapi ... tingkahnya lebih mirip bayi
raksasa yang baru lahir. Sebentar-sebentar menangis, sebentar-sebentar merajuk.
Mama Helda saja sering tidak tahan menghadapi kerewelan Kaye.” (Thayf, 2009:
148). Masih ada pula tokoh Pace Yakob yang anak laki-lakinya menjadi korban
penangkapan oleh kelompok bersenjata.
Pedagang-pedagang di pasar yang berkumpul untuk merencanakan aksi
protes tidak diberi nama. Meskipun begitu, sekelumit keterangan tentang mereka
dibutuhkan karena bisa memperjelas penokohan suku asli dalam Tanah Tabu.
Perkumpulan untuk merencanakan aksi protes itu ditujukan kepada perusahaan
tambang emas. Seorang bapak tua (paitua) penjual labu menyediakan rumahnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
69
yang berlantai tanah menjadi tempat berkumpul para pedagang pasar yang hendak
memprotes perusahaan tambang emas. Beberapa hari setelah Mabel ditangkap,
paitua penjual labu ini dengan baik hati menjenguk Mace dan Leksi untuk
mengantarkan makanan. Sebelum kejadian penangkapan, Mabel menghadiri
perkumpulan pedagang pasar. Di antara sesama pedagang yang hadir, ada seorang
pemuda pedagang sayur dan seorang mace. Si pemuda pedagang sayur
menumbuhkan rambut gimbal di kepalanya dan memiliki suara lantang. Ia bicara
berapi-api. Pemuda pedagang sayur digambarkan sangat ingin melakukan aksi
protes frontal terhadap perusahaan tambang emas. Ia didukung seorang mace yang
emosional dan menolak mentah-mentah cara diplomasi yang lebih mencerminkan
kepala dingin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
70
BAB IV
WAJAH SUKU ASLI PAPUA DALAM TANAH TABU
4.1 Pengantar
Ada 2 suku asli Papua yang dibicarakan di dalam novel Tanah Tabu, yaitu
suku Dani dan suku Amungme. Thayf menerangkan bahwa kedua suku tersebut
berasal dari wilayah pegunungan Papua. Selain suku Dani dan suku Amungme,
novel Tanah Tabu juga memuat istilah orang Komen dan orang Meno sebagai
sebutan untuk suku-suku asli Papua. Sebutan orang Komen merujuk pada suku
asli tanah Papua secara umum. Di dalam novel Tanah Tabu, sebutan orang
Komen diterangkan sebagai berikut, “istilah untuk menyebutkan orang Papua
asli” (Thayf, 2009: 19). Sementara itu, sebutan orang Meno dalam novel Tanah
Tabu merujuk pada kelompok suku asli Papua yang datang dari dataran tinggi.
Menurut Pickell (2001: 226), istilah orang Meno bisa digunakan untuk
merujuk secara umum pada suku asli Papua yang berasal dari dataran tinggi,
sementara secara teknis istilah tersebut merujuk hanya pada suku Amungme. Kata
meno itu sendiri berasal dari bahasa suku Amungme dan berarti ‘teman’. Berikut
dikutip penjelasan Pickell.
(42) “It’s the orang meno,” said our taxi driver, an immigrant from Java. “Yesterday the police seized a whole pile of parangs and bows and arrows.”
Our taxi driver used the term “orang meno” to refer generally to the highland Irianese. This phrase is an example of what is sometimes called the “new language” that has developed in ethnically mixed towns in Irian Jaya, like Timika and the highland capital of Wamena. “Orang” means “person” in Indonesia, and “meno” means “friend” in the Amungme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
71
language. Translated literally, orang meno is nonsense, but it is understood perfectly in Timika and does not have a negative connotation. (Technically speaking, orang meno refers only to the Amungme, and similar constructions—such as orang noge, which has an equivalebt derivation in the Ekagi language—have arisen for members of the other highland groups.) (Pickell, 2001: 226)
Keterangan tambahan seputar orang Meno di tanah Papua juga ditemukan dalam
Yuniarti (2008: 54), “Meno merupakan panggilan akrab, bermakna sobat, di
kalangan orang asli Papua dari kawasan pegunungan. Namun, panggilan ini di
Timika sering kali dipakai untuk orang asli dari kawasan pesisir juga.” Karena
itulah, istilah orang Meno dapat pula dipergunakan untuk menyebut suku Kamoro,
misalnya (Pickell, 2001: 226).
Dengan demikian, wajah suku asli Papua di dalam Tanah Tabu hendak
dibaca dari tokoh-tokoh Komen yang dimunculkan pengarang. Wajah suku Dani
dapat dibaca dari kehadiran tokoh Mabel beserta ayah ibunya. Wajah suku
Amungme dapat dibaca dari kehadiran tokoh Pace Mauwe dan Pace Johanis.
Terakhir, wajah orang Meno dapat dibaca dari kemunculan tokoh seorang pemuda
tanpa nama yang kehabisan uang karena menggemari minuman keras. Di samping
lewat tokoh-tokoh yang di antaranya disebutkan di atas, wajah suku asli Papua
juga ditunjukkan oleh tuturan (narasi) dalam novel Tanah Tabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
72
4.2 Wajah Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu
4.2.1 Ditaklukkan oleh Belanda Kolonial
Dalam novel Tanah Tabu, suku Dani adalah suku asal Mabel beserta para
pendahulunya. Menurut Koentjaraningrat (1994: 258-259), Dani merupakan
nama sebuah klan. Dengan nama tersebut, pemerintah negara Indonesia lazim
menyebut seluruh penduduk asli Lembah Besar Baliem di era 1960-an. Dani
juga dipakai untuk menyebut bahasa yang digunakan penduduk asli Baliem di
lembah-lembah bagian barat. Di dalam cerita Tanah Tabu, keadaan Lembah
Baliem sebelum masuknya orang asing masih murni.
(43) Lembah ini dipotong sejumlah sungai berair kecokelatan yang meliuk dan merayap menuju selatan, kemudian tumpah di Laut Arafuru. Terpagar rawa-rawa lembap yang menyimpan dendam bangsa buaya dan serangan pasukan lintah. Terbentengi beberapa gunung gagah yang berdiri pongah. Siapa pun masih bisa mendengar alam bernapas dan bersenandung ketika ini. Dan pada masa ini pula, di sebuah dataran terbuka yang mernghampar di tengah-tengah lembah, Mabel terlahir dan dibesarkan sebagai salah satu anak suku Dani. (Thayf, 2009: 98)
Sementara itu, perkampungan suku Dani tempat Mabel lahir digambarkan
sebagai “sebuah dataran terbuka yang menghampar di tengah-tengah lembah”
(Thayf, 2009: 98). Suku Danilah, leluhur Mabel, yang pertama mendiami
wilayah tersebut. Tokoh orang tua Mabel dan penduduk satu perkampungan
Dani itu menunjukkan wajah praeksistensi suku asli dalam Tanah Tabu.
Kelompok bangsa asing merambah kampung mereka baru pada era 1950-an, di
bawah komando Piet van de Wissel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
73
Kelompok ekspedisi van de Wissel datang dari Belanda. Mereka
berhadapan dengan orang-orang suku Dani di perkampungan yang mereka
masuki. Kedatangan orang-orang dari negeri Barat pertama-tama menyebabkan
penduduk asli merasa terancam. Di mata suku Dani, orang-orang Barat yang
datang ke kampung mereka adalah hantu. “Selagi mencuri napas satu-satu, salah
seorang pemuda mengaku telah melihat sekelompok hantu selagi berburu. Hantu
itu serupa manusia, tetapi tanpa darah sehingga kulitnya berwarna putih
transparan.” (Thayf, 2009: 101) Namun, suku asli menyadari kekeliruan mereka.
Yang mereka lihat sebenarnya adalah orang-orang Barat, ras manusia kulit putih,
yang datang dari Belanda.
(44) Ternyata yang disebut hantu adalah para pendatang berkulit putih pucat dan berambut kuning. Para pendatang dari negeri Belanda yang sangat jauh, begitulah yang diketahui kemudian. Pada hari ketiga setelah seluruh isi kampung mengungsi, dan kembali lagi karena mendapati langit masih utuh di tempatnya semula, para pendatang itu memasuki perkampungan dalam sebuah kelompok kecil. (Thayf, 2009: 102)
Setelah mendapati bahwa orang-orang berkulit putih dan berambut kuning rupa-
rupanya bersikap bersahabat, membagikan bermacam-macam barang pula, suku
Dani menjadi tertarik. Demikianlah langkah awal bangsa Barat untuk memulai
penaklukan atas the indigenous peoples.
Penaklukan tokoh bangsa Barat atas tokoh suku Dani dapat dibaca melalui
beberapa penanda. Penanda pertama yaitu keberhasilan van de Wissel
mendirikan sebuah pos pemerintahan Belanda di perkampungan. Didahului
dengan membagikan tembakau, van de Wissel meyakinkan para laki-laki Dani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
74
bahwa pendirian pos pemerintahan dan lapangan terbang akan membawa
kebaikan untuk semua orang dan menjadi kebanggaan anak cucu. Sesungguhnya
pos pemerintahan tersebut akan mengakibatkan suku asli diperintah oleh bangsa
asing di wilayah mereka sendiri.
Penanda kedua yaitu kedudukan suku asli menjadi terkondisi di bawah
bangsa penakluknya. Peristiwa ketika Stappen meminta Mabel untuk ia bawa
dipandang sebagai keberuntungan oleh ibu Mabel, padahal Mabel sebetulnya
dijadikan pembantu dan pengasuh anak-anak oleh Stappen. Meskipun Mabel
didukung untuk mempunyai kegemaran membaca, Stappen dan suaminya
menolak permintaan Mabel untuk disekolahkan.
(45) “Kami rasa pengetahuanmu sekarang sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. ... Jadi untuk apa bersekolah? Apalagi sekolah kampung seperti yang ada di sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet. (Thayf, 2009: 122)
(46) “Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?” Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya begitu kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan. ... Nyonya Hermine menyentuh bahu Mabel yang menguncup. “Ilmu pengetahuan itu dipelajari untuk dijadikan bekal hidup, Anabel,” ia menyambung, “dan kau, kurasa sudah memiliki bekal yang cukup. Tidak perlulah kaupelajari ilmu yang tiada guna karena nantinya justru akan membuatmu menderita. Ya, menderita karena pintar. Karena tahu terlalu banyak. ... Melawan kodrat. ... Jadi syukurilah keadaanmu sekarang ini Anabel. Jangan berpikir yang macam-macam. Jalani saja yang ada di depan mata. (Thayf, 2009: 122-123)
Jawaban van de Wissel dan jawaban Stappen sendiri menunjukkan bagaimana
bangsa Barat menganggap diri tuan atas suku asli. Anggapan ini tampak terang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
75
terangan pada kata sapaan yang digunakan untuk tokoh van de Wissel di dalam
novel ini, yaitu tuan.
Penanda ketiga yaitu penggantian nama Waya menjadi Anabel.
Senyatanya, tokoh Mabel dilahirkan dengan nama Waya, sebuah nama yang
menandakan identitas kedaniannya. “Mabel terlahir dan dibesarkan sebagai
salah satu anak suku Dani. Orang-orang di sana memanggilnya dengan nama
Waya. Namun sebaiknya kita tetap menyebutnya Mabel saja.” (Thayf, 2009: 98)
Kemudian pada usia Mabel yang ke-8 tahun, Stappen mengganti nama Waya
menjadi nama yang kebelandaan. Penggantian sebuah nama yang Dani menjadi
nama yang Belanda merupakan bentuk penghapusan bagian penting dari
identitas suku Dani. Penghapusan sebagian dari identitas tokoh Mabel telah
dilakukan oleh pasangan suami istri Belanda. Sekalipun demikian, Mabel malah
menerimanya tanpa keberatan. “Bahkan, ia takjub dengan nama barunya sendiri,
Anabel, yang diberikan Nyonya Hermine dengan alasan nama lamanya, Waya,
cukup sukar diucapkan lidah Belanda-nya.” (Thayf, 2009: 109) Walaupun
Mabel mengikuti keluarga van de Wissel tidak lebih dari 6 tahun, nama Daninya
terhapus sampai sepanjang sisa hidupnya. Tidak lebih dari 2 kali nama Waya
disebut dalam novel Tanah Tabu oleh Pum.
4.2.2 Dijajah Secara Internal oleh Pendatang
Wajah suku Amungme sebagai suku asli yang ditaklukkan sedikit berbeda
dengan wajah suku Dani yang dideskripsikan di atas. Menurut cerita dari leluhur
mereka yang dicatat oleh Amiruddin dan de Soares (2003: 14), suku Amungme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
76
berasal dari sebuah gua yang kini terdapat di kawasan Lembah Baliem. Tempat
asal mereka ini juga disebut Mepingama yang dalam bahasa suku Amungme
berarti ‘tempat manusia keluar’. Orang-orang Amungme tinggal di daerah
gugusan Pegunungan Sudirman yang secara administratif berada di bawah
Daerah Tingkat II Kabupaten Administratif Mimika. Bahasa ibu suku Amungme
adalah bahasa Amungkal. Puncak Pegunungan Sudirman merupakan tanah yang
dianggap keramat bagi suku Amungme. Karena puncak tersebut ditutupi salju,
suku ini menyebutnya Nemangkawi Ninggok yang berarti ‘puncak salju abadi’.
Namun, peta Indonesia malah membuat nama Barat untuk Nemangkawi
Ninggok, yaitu Cartenz Toppen, padahal nenek moyang suku Amungme adalah
yang pertama berdiam di sekitar puncak tersebut. Newangkawi Ninggok adalah
adalah tanah ulayat suku Amungme. Sebagai keturunan dari para pemukim asli
gugusan Pegunungan Sudirman, Papua, mereka memenuhi ciri pertama the
indigenous peoples yang dikemukakan oleh Burger (Barnes dalam Barnes dkk.,
1995: 311).
Dalam novel Tanah Tabu, kedatangan perusahaan tambang milik
pendatang untuk mengambil emas telah mengusir suku Amungme dari tanah
adat mereka. Keberadaan perusahaan milik pendatang di tanah suku Amungme
menggantikan penjajah Belanda yang sudah bertahun-tahun lampau angkat kaki
dari bumi Papua. Eksploitasi emas oleh pendatang di wilayah suku Amungme
mengingatkan bagaimana penjajah Portugis dan Belanda juga mengeksploitasi
rempah-rempah orang Maluku. Berikut ini dikutip suara orang-orang Komen
yang menjadi pedagang pasar tentang perusahaan yang mengeruk emas mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
77
“[M]ereka hanya pendatang. Orang asing. Mereka mencari uang dan hidup di
tanah kita. Jadi kaya dan hidup senang karena mengambil emas kita. Sedangkan
kita... tidak dapat apa-apa, kecuali kotoran mereka dan janji-janji palsu.” (Thayf,
2009: 173)
Kekritisan para pedagang Komen ini sebetulnya tercetus oleh rasa marah
karena perdagangan mereka merugi besar. Perusahaan tambang emas
sebelumnya memberi janji pada para pedagang ini, hendak membeli banyak
sayur dari pasar pada saat panen raya untuk dibagikan kepada karyawan
perusahaan. Diceritakan bahwa tahun lalu, perusahaan memenuhi janji itu.
Namun, perusahaan mengingkarinya begitu saja kali ini, padahal para pedagang
sudah menyimpan sebagian besar dagangan untuk dibeli perusahaan. Kerugian
ini membuat para pedagang kecewa, tak terkecuali Mabel sendiri sebab ia
sempat berkata akan membelikan Leksi daging ayam dengan uang hasil
penjualannya nanti. Kemarahan para pedagang pasar sesungguhnya merupakan
reaksi atas keadaan mereka yang sangat tidak menguntungkan. Perusahaan
tambang emas bisa sangat berkuasa dalam permainan pasar karena modal besar
ada di tangan mereka. Sementara itu, bukan pedagang pasar yang mempunyai
modal sehingga, suka tidak suka, kehidupan mereka menjadi bergantung pada
perusahaan tambang emas.
Tidak hanya lewat kepemilikan modal, suku asli dalam Tanah Tabu juga
ditaklukkan lewat bahasa. Sekali lagi oleh para pedagang pasar, masalah ini
dikemukakan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
78
(47) “Perusahaan itu tidak akan pernah mau mendengar suara kita. Kalaupun dengar, mereka pasti pura-pura tidak mengerti. Kita pakai bahasa Papua, mereka pakai bahasa Indonesia. Kita ubah pakai bahasa Indonesia, mereka malah bicara bahasa asing. Kesimpulannya, mereka menganggap kita ini bodoh. Tidak sederajat dengan mereka.” (Thayf, 2009: 172)
Dengan strategi penggunaan bahasa yang berbeda, pendatang menaruh suku asli
dalam situasi terkunci. Suku asli kesulitan menggugat sehingga terpaksa takluk.
Keadaan semacam ini menciptakan penjajahan internal (internal
colonization). Seperti dikatakan pemerhati kajian Asia (Asian studies) R. H.
Barnes (1995: 311),
(48) To put it bluntly, if, in the current political sense, indigenous peoples exist in Asia, where there is no longer a significant European presence, then there must be Asian oppressors: and these dominant peoples, no matter how indigenous themselves, must in political terms be denied indigenous-peoples status. In Indonesia the prime target for this unenviable position is, of course, the Javanese. (Barnes, 1995: 311)
Thayf di dalam novelnya tidak menerangkan segamblang Barnes. Barnes
menyebut suku Jawa sebagai masyarakat yang dominan dan sebagai opresor,
sedangkan Thayf hanya menyebut-nyebut pendatang. Siapakah yang dimaksud
sebagai pendatang? Kata pendatang dipergunakan Thayf pada frase perusahaan
emas milik pendatang (Thayf, 2009: 135). Tidak disebutkan secara persis
pendatang dari mana yang menjalankan perusahaan emas dan telah menjadi
penjajah di wilayah suku Amungme itu. Kata pendatang sendiri mengandung
arti yang sangat umum. Jika ditilik lema pendatang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, ditemukan gloss yang memuat arti
umum, yakni ‘orang yang muncul; orang yang datang dari tempat lain untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
79
menetap di suatu tempat’. Jika membaca artikel Wahyu (2011: 5), diketahui
bahwa para pendatang yang memasuki tanah Papua adalah orang-orang Jawa,
Bugis, Batak, Madura, dan Cina. Orang-orang yang disebut Wahyu berasal dari
lingkup dalam negeri semua.
Namun, setelah dicari lebih jauh, kutipan satu alinea dari artikel Hidayah
(halaman web, 2008) akhirnya memberi jawaban yang lebih jelas untuk hal ini.
Pendatang yang menguasai pertambangan emas yang dimaksud dalam novel
Tanah Tabu justru adalah para investor asing (mancanegara) seperti orang-orang
dari Amerika Serikat yang mendirikan PT Freeport Indonesia di Timika. Berikut
ini kutipan yang dimaksud.
(49) Tanah Tabu bercerita tentang kehidupan masyarakat asli Papua yang tertindas oleh kaum pendatang. "Apalagi di sana ada tambang asing (Freeport) yang akhirnya menindas rakyat," ujar Anindita. Ia menguak ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Cerita ini dinaratori seorang anak serta seekor babi dan anjing. (Hidayah, 2008)
Kenyataan (fakta) yang terjadi di tanah ulayat suku Amungme, Kabupaten
Administratif Mimika, Papua memang dapat dijadikan rujukan untuk membaca
persoalan ini. Tahun 1966, perusahaan pertambangan multinasional Freeport-
McMoRan Copper and Gold Inc. mengadakan perjanjian bisnis dengan
pemerintah negara Indonesia (Amiruddin dan de Soares, 2003: 159; Juarsa,
halaman web, 2009). Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc. yang berpusat di
kota New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat memperoleh izin dari pemerintah
Indonesia untuk melakukan aktivitas penambangan tembaga, perak, dan emas di
dalam perut Gunung Grasberg, juga dikenal dengan nama Gunung Nemangkawi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
80
yang secara adat adalah milik suku Amungme. Didirikanlah anak perusahaan
Freeport-McMoRan di Indonesia dengan nama PT Freeport Indonesia. Sebanyak
90,64% saham PT Freeport Indonesia tidak lepas dari kepemilikan Freeport-
McMoRan sendiri (http://www.fcx.com/operations/grascomplx.htm). Pada
praktiknya, suku Amungme tidak diperhitungkan dalam kontrak karya Freeport-
McMoRan di Indonesia. Diungkapkan Amiruddin dan de Soares (2003: 28),
“Dalam seluruh proses kontrak karya itu, tak satu pun orang Amungme diajak
berunding, baik oleh pemerintah maupun oleh Freeport.”
Untuk kelancaran eksploitasi bijih tembaga, perak, dan emas dari dalam
perut Gunung Grasberg (underground mining), PT Freeport Indonesia
menggusur perkampungan suku Amungme. Dengan program pemukiman
kembali, perusahaan ini memindahkan kawasan tempat tinggal suku Amungme
ke dekat wilayah milik suku lain, tersebutlah suku Kamoro. Mengutip penjelasan
Pius Ginting, juru kampanye bidang tambang dari LSM Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi), dalam berita Liputan 6, “Setelah perampasan tanah mereka itu,
suku Amungme dipindahkan ke tanah ulayat milik suku Kamoro yang akibatnya
sering menimbulkan konflik antara kedua suku tersebut” (Ariyanto, 2010).
Program pemukiman kembali membuka peluang timbulnya ketidakcocokan dan
gesekan (friksi) antara suku yang dipindahkan dengan suku yang terpaksa
menerima pindahan di wilayahnya. Demikianlah PT Freeport Indonesia
sesungguhnya mempunyai andil dalam timbulnya konflik antara suku Amungme
dengan suku Kamoro.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
81
Lewat novel Tanah Tabu, Thayf ikut menceritakan peperangan yang
didalangi perusahaan emas milik pendatang. Peperangan dalam novel ini
membawa asosiasi pembaca pada persoalan konflik suku Amungme dan
Kamoro. Mabel berkomentar tentang perusahaan emas demikian,
(50) “Siapa lagi kalau bukan perusahaan emas itu. Mereka memang begitu, Nak. Selalu bikin kacau dan rusuh. Tipu terus! Sana-sini! Gara-gara mereka, orang-orang jadi berkelahi begini. Ada yang mati, sakit, miskin menderita. Mereka hanya mau emas kita ... tanpa peduli apakah kita ini hidup susah atau sudah mau mati semua!” (Thayf, 2009: 140)
Peperangan yang dimaksud terjadi antara dua suku berbeda yang disebut oleh
Thayf sebagai kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas berebut
batas wilayah dengan kelompok bawah. Kelompok atas berprasangka bahwa
kelompok bawah telah menggeser batas wilayah di sungai tempat kedua
kelompok bisa mendulang emas. Apabila dihubungkan dengan persoalan konflik
nyata antara suku Amungme dengan suku Kamoro, kelompok atas menandakan
suku Amungme dan kelompok bawah menandakan suku Kamoro. Suku
Amungme berasal dari dataran tinggi, kawasan pegunungan (atas), sementara
suku Kamoro berdiam dekat dengan rawa-rawa, daerah yang lebih rendah
(bawah).
4.2.3 Menjadi Korban
Sementara itu, kehadiran pemuda Meno di dalam novel menampakkan
ekspresi suku asli yang tercerabut dari tempat asalnya dan dari akar budayanya.
Tokoh orang Meno, seperti tokoh suku Dani dan tokoh suku Amungme, datang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
82
dari wilayah gugusan pegunungan di Pulau Papua. Mereka berasal dari kultur
peladang dan pemburu, tidak terbiasa dengan sistem ekonomi uang—tetapi, ini
bukan untuk diartikan bahwa suku asli (the indigenous peoples) primitif dan
terbelakang dibanding orang-orang modern. Berdirinya tambang emas besar di
Gunung Nemangkawi seolah-olah memberikan kesempatan mendapat durian
runtuh bagi orang Meno. Sungai yang merupakan tempat pembuangan limbah
pengolahan hasil tambang mengandung sisa-sisa bijih emas. Ke sanalah orang-
orang Meno pergi untuk mendulang ampas emas, meninggalkan kampung
halaman serta mata pencaharian mereka. Hasil penjualan ampas emas yang
diterima orang Meno mencapai nilai belasan juta rupiah. Orang-orang ini pun
menjadi kaya mendadak. Patut disayangkan, mereka tidak pintar mengatur
keuangan sehingga kekayaan tadi mudah sekali ludes. Orang-orang Meno
menghabiskan kekayaan mereka sendiri untuk membeli barang-barang mahal
yang tidak bermanfaat dan juga untuk bersenang-senang secara hedonis. Sebagai
ilustrasi, tokoh pemuda Meno yang tidak bernama menghambur-hamburkan
uangnya untuk pakaian bergaya modern, sebuah HP canggih, minuman keras,
dan juga untuk berajojing di diskotek. Perilaku orang Meno yang demikian
diungkapkan dalam novel kepada Leksi oleh Mace.
(51) Pada akhir cerita, Mace menebak pemuda yang kutemui itu mungkin saja seorang Meno.
“Mereka itu datang dari gunung Leksi. Meninggalkan pekerjaan berladang dan berburu hanya untuk mencari emas di sungai tempat perusahaan membuang kotorannya. Kalau beruntung, mereka memang bisa dapat banyak uang. Ada yang bilang sampai hampir belasan juta. Mereka pun jadi orang kaya baru. Beli hp mahal, ini-itu yang tidak perlu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
83
dan bersenang-senang. Seperti jalannya uang itu yang cepat datangnya, maka cepat pula perginya.”
Masih kata Mace, para Meno biasanya menghamburkan uang dengan pergi ke tempat setan banyak menghabiskan uangnya pula.
“Di mana tempat itu, Mace?” “Di luar sana. Di dalam ruangan yang lampunya tidak pernah menyala
terang dan selalu berkabut. Di tengah musik ribut pemanggil arwah yang menulikan telinga dan tawa nyaring setan perempuan. (Thayf, 2009: 94-95)
Orang Meno menjadi korban dari arus perubahan yang diakibatkan perusahaan
pertambangan emas. Selain sudah kehilangan kampung halaman dan akar
kebudayaan, mereka pun tak pernah mendapatkan uang yang mereka kejar. Di
sini tampaklah wajah suku asli yang, secara tidak langsung, terampas hidupnya
akibat kedatangan sosok penjajah internal.
Wartawan Kompas yang terlibat dalam perjalanan jurnalistik Ekspedisi
Tanah Papua (Yuaniarti, 2008: 55) melaporkan bahwa orang-orang Meno
mendulang serbuk emas buangan (tailing) PT Freeport Indonesia di Sungai
Aghawagong. Orang Meno yang mendulang tailing itu berasal dari suku
Kamoro.
(52) Para Meno ini adalah para pendulang emas di sepanjang Sungai Aghawagong yang menjadi aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia (PT FI). Dalam sehari mereka bisa memperoleh uang hingga Rp 2 juta dari mendulang tailing. Bahkan, jika sedang beruntung bisa mendapat Rp 10 juta. “Tailing emas itu tak hanya merusak sungai kami, tetapi juga mental masyarakat. Sungguh, kami tak mau hidup seperti ini,” kata Gergorius Okoare (35), tokoh muda Kamoro—suku asli di Timika.
Okoare menyebutkan, dari tahun ke tahun, jumlah pendulang yang memanfaatkan remah-remah dari PT FI kian bertambah. Mereka berasal dari suku-suku di dataran tinggi (highland) Papua, dan juga pendatang dari luar Papua. (Yuniarti, 2008:55)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
84
4.2.4 Minoritas
Meskipun ada sejumlah tokoh Komen dalam novel Tanah Tabu yang
memperoleh penghidupan dari mendulang emas setelah perusahaan
pertambangan emas berdiri, sebagian besar dari mereka masih bercocok tanam
dan berburu. Orang Komen yang bercocok tanam ditunjukkan oleh tokoh Mabel,
Mace, Mama Helda, paitua penjual labu. Di samping itu, orang Komen yang
digambarkan sehari-harinya berburu adalah tokoh Pace Mauwe, Pace Johanis,
serta dua saudara laki-laki Mabel. Mata pencaharian tokoh-tokoh yang pertama
disebutkan merupakan gambaran dari petani, sedangkan mata pencaharian
tokoh-tokoh yang kedua disebutkan merupakan gambaran pemburu (hunters).
Mereka bekerja dengan cara padat karya dan hanya memproduksi sedikit
surplus.
Demikian pula dengan cara kerja orang-orang Komen yang memelihara
babi. Layak disebut peternak, orang Komen memelihara kawanan babi untuk
memenuhi kebutuhan pangan serta dan juga kewajiban adat-istiadat, contohnya
untuk membayar denda adat, membayar mas kawin, menyelenggarakan pesta
bakar batu. Selain dari daging babi, sumber makanan hewani bagi suku asli juga
diperoleh dengan berburu hewan di hutan dan mengail ikan di sungai.
Namun, suku asli yang berburu tidak dapat digambarkan dengan istilah
pemburu dan pengumpul (hunters and gatherers) seperti dalam poin kedua
karakteristik the indigenous peoples menurut Burger (Barnes dalam Barnes dkk.,
1995: 311). Dari antara suku-suku asli tanah Papua dalam novel ini, tidak
ditemukan perilaku hidup berpindah-pindah (nomaden ataupun seminomaden).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
85
Baik petani maupun pemburu tinggal menetap di perkampungan. Ada pula yang
kemudian beralih mata pencaharian menjadi pekerja upahan untuk perusahaan
tambang emas, misalnya tokoh Pace Mauwe. Keadaan orang Komen dalam
Tanah Tabu yang tidak sama persis dengan kriteria Burger menunjukkan bahwa
sesungguhnya suku asli tidak dapat dikriteriakan secara mutlak (fix).
Karakteristik kultural yang menjadi petunjuk identifikasi suku asli muncul
dalam ciri berpakaian para tokoh. Ibu Mabel, tokoh perempuan, mengenakan
sali. Sali berbentuk rok rumbai-rumbai yang dibuat dari ilalang atau kulit pohon
tertentu, dikenakan di pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawah. Sali adalah
pakaian tradisional untuk perempuan Dani, sementara holim (koteka) dikenakan
oleh para laki-laki. Holim dibuat dari kulit labu yang dikeringkan dan dikenakan
untuk menutupi genital. Jika para laki-laki membawa senjata untuk berburu dan
berperang, kaum perempuan membawa noken untuk mengangkut macam-
macam hasil kebun. Noken dapat memuat banyak barang. Di samping hasil
kebun, noken digunakan pula untuk membawa anak kecil bersama ibunya yang
bekerja atau untuk mengangkut babi anakan. Ciri berpakaian tradisional yang
menunjukkan identitas suku asli juga dapat dilihat dari hiasan (aksesoris)
mereka. Ada hiasan kepala (headdress) dari bulu burung berwarna-warni yang
dikenakan tokoh kepala kampung, Pace Arare, pada upacara adat. Ada pula kulit
kerang yang diuntai menjadi kalung untuk menghias dada seperti yang dipakai
ayah Mabel. Selain dijadikan kalung, kulit kerang juga mengandung nilai tukar
(uang) di kalangan suku asli, khususnya suku Dani. Uang dari kulit kerang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
86
disebut ot dalam bahasa Dani. Hal ini merupakan bagian dari kebudayaan suku
asli yang kian dipinggirkan dan menjadi minoritas di wilayahnya sendiri.
Adapun tiap suku asli yang diceritakan dalam Tanah Tabu sesungguhnya
memiliki bahasa ibu masing-masing. Koentjaraningrat (1994: 259-260)
menerangkan bahwa suku Dani berbicara dalam bahasa Dani. Bahasa Dani
digunakan dalam logat yang berbeda-beda menurut daerah pemakaiannya. Suku
Amungme, diceritakan oleh Amiruddin dan de Soares (2003: 15), berbicara
dalam bahasa Amungkal. Thayf tidak mencantumkan pemakaian bahasa ibu
suku-suku asli Papua dalam novelnya. Suku-suku asli ini bercakap-cakap satu
sama lain dalam bahasa Indonesia, tetapi diwarnai kebiasaan berbahasa khas
Papua. Ada berbagai kata dalam dialek Papua yang terdapat dalam percakapan
antartokoh.
(55) “Memang mahal dari dulu. Apalagi sekarang semua barang de pu harga naik.” (Thayf, 2009: 80)
(56) “Telur juga su naik. Sekarang harga satu rak lima puluhan ribu. Dulu masih dua puluhan.” (Thayf, 2009: 81)
(57) “Iya, tiga puluh. Leksi! Berhenti kasih rusak rica jualan!” (Thayf, 2009: 81)
(58) “Mabel hitung saja sendiri mo. Aku tidak tahu soal begitu. Atau coba tanya Leksi. Dia anak sekolah.” (Thayf, 2009: 81)
(59) “Biar saja kita hanya makan keladi, petatas, dan sagu, daripada makan beras dan roti seperti Gerson itu, tapi jadi lupa kalau rambut dan kulit sendiri keriting dan hitam. Orang begitu de pu sifat tra laku e...” (Thayf, 2009: 91)
(60) “Yosi! Ba lincah sudah! Atau ko cari mata masakkah?” (Thayf, 2009: 147)
(61) “Karel, berhenti! Atau ko mo pica ka?!” (Thayf, 2009: 204)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
87
4.2.5 Pengaturan Kekuasaan dalam Masyarakat Suku Asli
Secara hukum, Papua menjadi wilayah kekuasaan Indonesia secara resmi
sejak tahun 1969. Hal ini didukung oleh keterangan Amiruddin dan de Soares
(2003: 11), “Pernyataan [bahwa Irian (nama yang digunakan untuk menyebut
Papua sebelumnya)] bergabung dengan Indonesia dilakukan melalui PEPERA
yang diadakan pada 1969.”
Kehidupan politik suku asli yang dibicarakan Tanah Tabu sudah diatur
oleh lembaga pemerintahan terpusat, yaitu pemerintah negara Indonesia.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) menunjukkan bahwa suku-
suku asli sudah dikenalkan pada sistem politik demokrasi, terlepas dari praktik
perkoncoan dan politik uang yang terjadi. Kampanye partai politik gencar.
Disebutkan beberapa nama fiktif untuk partai politik seperti Partai Kembang-
Kembang, Partai Strip-Strip, juga Parta Belahan Jiwa Rakyat. Dalam
pengisahan, tampak jelas bahwa para calon bupati lebih diminati dan
diperhatikan ketimbang sosok tetua adat seperti tokoh Pace Arare. Upaya untuk
mencapai kesepakatan bersama (konsensus) muncul dalam kegiatan
perkumpulan pedagang pasar di rumah paitua penjual labu. Beranggotakan para
pemuda, mace, pace, hingga paitua, perkumpulan ini membicarakan rencana
aksi protes pada perusahaan tambang emas yang batal membeli dagangan
mereka. Menurut Barnes (1995: 313), menjarah, berperang, dan bentuk-bentuk
kekerasan semacamnya merupakan hal wajar dalam catatan sejarah kehidupan
politik suku asli. Pengamatan Barnes terbukti dalam Tanah Tabu. Terdapat
beberapa perang dan penjarahan suku dalam novel tersebut: perang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
88
menewaskan ayah dan kakak sulung Mabel, perang perebutan batas wilayah
sungai antara kelompok atas dengan kelompok bawah, dan pengayauan
(perburuan kepala) besar-besaran di pedalaman Mindiptana yang ditindak oleh
van de Wissel bersama anak buahnya.
Gambaran suku asli yang lekat dengan kekerasan memang dikemukakan
dalam beberapa halaman novel Tanah Tabu. Suku asli diidentikkan dengan
permusuhan, penjarahan, peperangan, pengayauan. Ketakutan, rasa bermusuhan,
dan kekejaman merupakan hal-hal yang diajarkan kepada anak-anak kecil suku
asli sehingga mereka tidak mengenal nilai welas asih, tidak mampu juga
menghargai perbedaan. Jika agama modern mengajarkan cinta dan kasih sayang,
kepercayaan (belief) suku asli mengajarkan takhayul dan tabu. Cinta kasih
digambarkan sebagai sesuatu yang asing bagi suku asli. Ketika bangsa kulit
putih memperkenalkan cinta kasih, suku asli menjadi terkagum-kagum hingga
menangis terharu. Gambaran ini tampak pada kutipan dari halaman 106-107.
Dalam kutipan tersebut, tokoh ibu Mabel mewakili suku asli, sedangkan tokoh
Hermine Stappen mewakili bangsa kulit putih.
(53) Terisak ibu Mabel mendengar kalimat indah yang keluar dari mulut perempuan cantik berambut emas, Nyonya Hermine, yang tengah berdiri di hadapannya. Sungguh ia tidak pernah menyangka ada orang yang mau mencintai orang lain yang bukan berasal dari suku yang sama. Sejak kecil, ibu Mabel hanya diajarkan tentang kejamnya perang antarsuku, kuatnya rasa permusuhan, ketakutan yang tak pernah habis, serta kepercayaan pada hal-hal yang tabu. Adapun bagi Mabel, kata-kata baru itu, cinta dan kasih sayang, menancap begitu kuat di hatinya yang masih kanak-kanak. Ia sangat meyakini keajaibannya, entah mengapa. (Thayf, 2009: 106-107)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
89
Walaupun dalam cerita Tanah Tabu beberapa puluh tahun sudah berlalu dan
arus modernitas memasuki kehidupan suku asli, gambaran mengenai mereka
tidak berubah. Di hadapan orang-orang modern dari luar suku, mereka tidak bisa
lepas dari praktik kekerasan. Wajah suku asli digambarkan sebagai sumber rasa
takut, maka peluang bekerja bersama dan saling belajar antara suku asli dengan
pendatang tidak dimungkinkan.
(54) Lantas, apa ada yang berani menjamin setelah demo nanti pihak perusahaan akan langsung membeli sayur kita seperti janji mereka? Bagaimana kalau justru sebaliknya? Mereka tidak mau bekerja sama lagi dengan kita karena takut. Bukankah begitu tanggapan banyak pendatang tentang sikap kita, penduduk asli: sangar dan bikin takut? (Thayf, 2009: 173)
Anggapan negatif bahwa suku asli lekat dengan kekerasan tersirat dalam
novel Tanah Tabu, dibuktikan dengan kutipan di atas. Oleh karena itu, anggapan
negatif bahwa suku asli lekat dengan kekerasan hendak dihapus perlahan-lahan
melalui skripsi ini. Bahwa ada segelintir orang dari suku asli yang mempunyai
sifat negatif, hal itu sebenarnya lumrah sebab selalu ada orang-orang yang
bersifat negatif, tidak terbatas dari suku bangsa tertentu. Kecenderungan berbuat
kekerasan, salah satunya, bukan milik suku asli semata.
4.2.7 Berpandangan Memelihara terhadap Alam
Persoalan terparah yang pada era pembangunan menghadang suku-suku
asli di Asia Tenggara dan Asia Selatan adalah kurangnya pengakuan terhadap
hak-hak adat suku asli atas tanah mereka (Colchester dalam Barnes dkk., 1995:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
90
64-65). Kepemilikan secara kolektif atas tanah-tanah adat tidak dilegalkan oleh
hukum negara, maka kini wilayah suku-suku asli tersebut tidak lagi aman.
Persoalan ini dikisahkan secara kontekstual Papua dalam Tanah Tabu.
Hubungan saling memiliki antara suku Amungme dengan tanah mereka, Gunung
Nemangkawi, jelas-jelas diputus secara semena-mena oleh perusahaan tambang
emas. Keterikatan orang-orang Meno dengan daerah asal mereka menjadi kacau
karena kegiatan penambangan emas menjanjikan uang banyak bagi mereka.
Mata pencaharian suku asli yang semula bertalian erat dengan tanah dan hutan
semakin ditingalkan. Ini menunjukkan bagaimana kehidupan suku asli dalam
Tanah Tabu tersisih. Mereka menjadi minoritas di tanah sendiri, sementara para
pendatang yang mengarus masuk, terutama ke kota Timika, menjadi masyarakat
yang dominan.
Novel Tanah Tabu berhasil menunjukkan keterhubungan suku asli dengan
tanah, dengan hutan, dengan sungai, dengan alam lingkungan. Melalui tuturan
tokoh Mabel, suku asli menyebut alam dengan nama Tanah Ibu. Tuturan Mabel
berikut ini menunjukkannya.
(62) “Dari dulu aku jarang menangis, Sayang. Menangis hanya membuatku semakin lemah, dan aku tidak mau itu terjadi. Selain itu, aku juga kasihan dengan Tanah Ibu kalau kita terus-menerus menyiramnya dengan air mata kita. Air jadi asin. Tanaman tidak bisa tumbuh subur. Binatang di hutan berkurang. Langit pun ikut mendung. Nasib baik tidak akan datang kalau kita menangis terus.” (Thayf, 2009: 57-58)
Sebutan Tanah Ibu mencerminkan hubungan yang tidak terpisahkan antara suku
asli dengan alam seperti hubungan antara seorang ibu dengan bayi melalui tali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
91
pusar. Keterhubungan dengan tanah dan dengan alam telah menjadi ciri suku
asli. Suku asli yang ditokohkan dalam Tanah Tabu mempunyai pandangan yang
nonmaterialis dan berarah pada pemeliharaan terhadap Tanah Ibu. Suku asli
berupaya melindungi tanah kelahiran mereka lewat aspek spiritual, yakni
kepercayaan suku, upacara sakral, bahkan takhayul, juga tabu. Tabulah yang
dipilih Thayf menjadi penanda novel. Ini tampak dalam judul novel, Tanah
Tabu. Adapun mengenai judul ini, Tanah Tabu, Syaifullah (halaman web, 2009)
memberi keterangan berikut yang dapat menjadi penegas.
(63) Tanah Tabu dipilih sebagai judul novel karena Anin beranggapan setiap tanah merupakan warisan leluhur yang ditabukan oleh keturunannya sehingga harus digunakan sesuai dengan manfaat dan kebutuhan, serta kelestariannya harus dijaga. (Syaifullah, halaman web, 2009)
Di dalam cerita Tanah Tabu, Mabel si perempuan Dani ditokohkan
sebagai suku asli yang bertahan dengan teguh pada kepercayaan tradisional
bahwa Gunung Nemangkawi adalah tanah keramat. Gunung ini adalah tempat
bersemayamnya jiwa-jiwa suku Amungme yang sudah meninggalkan dunia
fana. Tanah keramat seperti Gunung Nemangkawi tidak selayaknya ditambang
secara serakah demi kepentingan sebuah perusahaan yang tidak peka terhadap
suku-suku asli di tanah Papua. Tak hanya itu, tanah yang keramat pantang dijual
demi kekayaan dan kepentingan pribadi. Perbuatan tersebut dilakukan oleh Pace
Gerson demi memenangi Pilkada, seakan-akan Gunung Nemangkawi adalah
milik pribadinya. Karena itulah, Mabel mengecam keras perbuatan Pace Gerson
yang menjual Gunung Nemangkawi pada perusahaan tambang emas milik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
92
pendatang. Dalam nasihatnya kepada Leksi, Mabel membeberkan cara pandang
tentang tanah sukunya.
(64) Ia memaki Pace Gerson, bapak Karel yang disebutnya Si Penjilat Bokong, sebagai laki-laki Komen yang sudah lupa asal-usul. Kemiskinan telah melindas moralnya.
“Begitulah orang yang lemah, Leksi. Semua yang ada di dirinya bisa dibeli dengan uang. Tidak hanya badan, tapi juga jiwanya. Si Penjilat Bokong itu rambut dan kulitnya saja yang masih keriting dan hitam seperti kita, tapi dalamnya dia sudah bukan kita. Mana ada orang kelahiran tanah ini mau begitu saja merelakan gunungnya jadi milik orang asing? Tidak ada! Gunung itu bukan sagu. Bukan buah merah. Tidak diperjualbelikan. Tanah kita keramat, Nak. Tanah kita keramat, Nak. Tabu. Diciptakan Yang Kuasa khusus untuk kita, tahukah kau kenapa? Sebab Dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya.
“Kubilang kepadamu, Leksi, itulah mengapa nenek moyang kita sejak dulu hidup sederhana. Apa adanya. Mengambil seperlunya dari alam, dan mengembalikan sisanya lagi pada alam untuk disimpan sebagai warisan buat anak-cucu. Kau dan turunanmu kelak. Namun sayang sekali, Nak, ada di antara keturunan nenek moyang kita yang justru memberikan warisan kita kepada orang asing. Tidak hanya itu, dia juga malah ikut menjadi seperti mereka.”
Omelan Mabel barulah berakhir ketika tiba waktunya tidur. Sebelum memejamkan mata, ia masih sempat berbagi gumaman kesal:
“Biar saja kita hanya makan keladi, petatas, dan sagu, daripada makan beras dan roti seperti Gerson itu, tapi jadi lupa kalau rambut dan kulit sendiri keriting dan hitam. Orang begitu de pu sifat tralaku e....” (Thayf, 2009: 90)
Keterhubungan antara suku asli dengan Tanah Ibu di dalam novel Tanah
Tabu juga dapat dibaca pada peristiwa terampasnya Gunung Nemangkawi dari
kepemilikan tokoh suku Amungme. Ketika tanah mereka dirampas, hutan
digunduli, sungai dicemari, ekosistem lingkungan suku Amungme kehilangan
kealamiahnnya. Sagu berhenti tumbuh, hewan-hewan buruan sukar ditemukan,
ikan-ikan pun mati. Ini mengakibatkan kehidupan suku asli pudar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
93
(65) “Kampung Pace Mauwe digusur perusahaan emas milik pendatang dari lereng gunung tempat tinggal mereka sejak lama. Memang, ada kampung dan rumah baru yang diberikan sebagai gantinya di daerah bawah, tapi cukup jauh dari hutan, apalagi sungai. Dan, Kwee, kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan itu sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. Terkenangku pada suatu pagi ketika ada banyak ikan tiba-tiba mengapung mati di sungai itu, dan banyak penduduk memungutnya untuk dibakar, tapi Mabel tidak tergoda sama sekali. Ia bilang ikan itu mati karena sakit, dan siapa pun yang memakannya akan bernasib sama. Sakit lalu mati. Itulah saat Pace Mauwe marah besar untuk pertama kalinya. Ia tidak punya kebun untuk digarap dan sudah lama tidak makan daging.” (Thayf, 2009: 135-136)
Vadakumchery (1993: 85-97) membahas hal keterhubungan erat antara
suku asli secara umum dengan alam. Suku asli menyadari bahwa mereka, mulai
dari nenek moyang hingga anak cucu, mengemban kewajiban untuk menjaga
kelestarian alam. Kewajiban mereka terhadap alam diberlakukan tidak saja
secara orang per orang (individual), tetapi juga sebagai satu komunitas klan. Di
samping itu, perilaku suku asli yang menjaga dan merawat alam merupakan
wujud penghormatan mereka terhadap alam sendiri. Kutipan dari esai
Vadakumchery (1993: 85-86) berbunyi, “The Earth Mother is adored and
admired by many tribal groups. Paying homage to her is perceived as a duty
[b]y the clan members; accordingly they pay respect to her individually as well
as a community.” Perilaku memelihara alam menjadi bagian dari kepercayaan
mereka pula, menjadi layaknya ibadah. Tidaklah mengherankan mengapa di
dalam Tanah Tabu, suku asli mengkeramatkan Gunung Nemangkawi.
Di samping mengangkat tokoh suku asli yang sadar dan teguh akan
kebijaksanaan sukunya (local wisdom), novel Tanah Tabu juga memunculkan
kekuatan antagonis. Kebijaksanaan suku untuk menjaga Tanah Ibu dicederai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
94
melalui perbuatan tokoh Pace Gerson. Pace Gerson rupanya begitu berambisi
memenangi Pilkada sampai-sampai sebuah gunung dijualnya. Pace Gerson
mengira bahwa Gunung Nemangkawi adalah milik pribadinya sehingga sah
dijual demi mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, padahal Gunung
Nemangkawi sudah diakui sebagai tanah ulayat suku Amungme. Mengenai
kesukuan Pace Gerson sendiri tidak diterangkan oleh pengarang. Tidak
disinggung apakah laki-laki Komen itu bertempat tinggal atau setidaknya pernah
bertempat tinggal di seputar Gunung Nemangkawi. Rumah Pace Gerson
bersama istri dan anak laki-lakinya, Karel, justru terletak di sekitar rumah
kontrakan Leksi, di belokan dekat warung yang menjual gula-gula. Landasan
perbuatan Pace Gerson menjual Gunung Nemangkawi kepada perusahaan
pertambangan emas besar sebenarnya cukup janggal sebab Pace Gerson tidak
disebutkan sebagai suku Amungme dan juga tidak tinggal di seputar Gunung
Nemangkawi.
Tanah ulayat seperti yang diperjualbelikan oleh Pace Gerson pada
dasarnya merupakan tanah milik bersama. Sifatnya kolektif, bukan pribadi.
Kepemilikan bersama atas tanah dalam suku asli, menurut Vadakumchery
(1993: 89-90), bersumber dari pandangan bahwa tanah adalah karunia dari alam.
Alam memberi dengan murah hati dalam jumlah yang besar bukan untuk
dimiliki orang per orang, melainkan untuk berbagi.
(66) Land being a gift from the Earth Mother is not in possession of an individual; since it is a generous gift, it is shared; the ownership is in common. ... The land gets priority over the individual; [i]t is not that the land belongs to him or her; but that he or she is belonging to the land.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
95
Individuals may come and go; but the land as a medium of communication with the spirits and ancestors continue to exercise more influence. (Vadakumchery, 1993: 89-90)
Seperti dongeng tentang Dewi Sri hidup di antara suku Jawa, ada dongeng
Naruekul yang hidup di tengah kelompok suku asli Lembah Baliem (Mulait dan
Alua dalam Alua dkk., 2006: 30-35; Lokobal dalam Alua dkk., 2006: 117-118).
Naruekul seorang laki-laki pengembara. Dia berjalan dari kampung yang satu ke
kampung yang lain. Banyak orang yang mengenal Naruekul merasakan adanya
sesuatu yang berbeda, yang “lebih” dalam diri Naruekul. Akan tetapi,
keberbedaan Naruekul membuat klan-klan merasa terancam sehingga kemudian
mereka menyusun rencana untuk membunuh Naruekul. Ia pun dibunuh dan
dimutilasi. Klan-klan suku asli Lembah Baliem dari berbagai wilayah kekuasaan
saling berebut potongan mayat Naruekul. Potongan mayat tadi kemudian
disimpan si kampung mereka masing-masing, agaknya sebagai jimat. Tak
dinyana, Naruekul menampakkan diri di antara klan-klan yang membunuhnya.
Barulah klan-klan itu menyadari bahwa Naruekul bukan manusia biasa, melainkan
wujud inkarnasi Walhowak, pencipta bumi beserta segala isinya. Dalam
penampakannya, Naruekul berpesan kepada klan-klan suku Dani bahwa bagian-
bagian tubuh jasmaninya akan menjadi sumber kehidupan mereka. Tulang-tulang
Naruekul menjadi batu suci harta warisan leluhur (kaneke) serta alat pembayaran
mas kawin dan hutang-piutang (ye). Tumit, segumpal darah, dan urat dahi
Naruekul menjadi tanaman petatas (hepiri), darahnya menjadi tebu merah tua dan
buah merah, jantungnya menjadi tanaman pisang, dan lemaknya yang memancur
ke langit ketika dimutilasi menjadi matahari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
96
(67) Penduduk Dani hidup dari bercocok tanam. Karena itu mereka mengenal dengan baik dan menyadari apa arti dan fungsi tanah bagi kehidupan. Mereka percaya dan menghayati hubungan khusus dengan tanah. Hubungan itu berawal dan berakar dari mite Naruekul. Dalam mite itu dikisahkan bahwa tumpahan darah itu membentuk rawa-rawa menjadi petak-petak ladang yang subur, menumbuhkan jenis-jenis tumbuhan yang berguna bagi kehidupan manusia. Dan tetesan lemaknya yang mengendap ke dalam tanah senantiasa memberi kesuburan dan merangsang pertumbuhan. (Lokobal dalam Alua dkk., 2006: 118)
Dongeng Naruekul adalah kearifan lokal orang-orang Baliem. Kearifan lokal
mereka ini mencerminkan sikap yang memelihara dan nonmaterialis, seperti
yang dirumuskan Burger (Barnes dalam Barnes dkk., 1995: 311), terhadap
Tanah Ibu.
4.3 Wajah Kaum Perempuan Suku Asli Papua dalam Tanah Tabu
4.3.3 Atribut Kultural Perempuan Suku Asli
Tak hanya tentang tanah dan lingkungan, membicarakan hal kesuburan
dalam suku asli adalah membicarakan peran kaum perempuan Komen di tengah
masyarakatnya pula. Sebagaimana muncul dari tuturan tokoh Mabel si
perempuan Dani, perempuan Komen baru dipandang dewasa oleh sukunya
apabila dia terampil menganyam noken. Noken yang baik, dikatakan Mabel,
dibuat dari kulit kayu atau pelepah sagu. Noken merupakan penanda kesuburan
dan kemakmuran bagi suku si perempuan. Kepintaran atau keterpelajaran
tidaklah cukup untuk menjadi perempuan Komen yang baik. Perempuan Komen
yang baik wajib mengikuti tradisi leluhurnya menganyam noken. Hal ini
diingatkan Mabel kepada cucunya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
97
(68) “Kau tahu, Nak? Sejak zaman nenek moyang dulu, setiap perempuan tanah kita harus bisa membuat noken. Noken yang bagus dan kuat berarti kesuburan dan kemakmuran yang lebih baik bagi suku si perempuan. Sebaliknya, kalau kau tidak bisa membuat noken, itu artinya kau belum dewasa dan belum siap menikah.”
“Oh, begitukah? Jadi, Mabel, kalau aku sudah bosan memperhatikanmu mengerjakan noken ini dan ingin pergi keluar sebentar untuk bermain, tidak apa-apa, bukan? Aku ini masih anak-anak.”
“Ah, kau ini. Memang paling pintar cari alasan. Kapan-kapan aku akan mengajarimu membuat noken sebab kau adalah gadis Komen. Aku tidak mau kau hanya jadi perempuan yang pintar, tapi lupa tradisi leluhur.” (Thayf, 2009: 217)
Dengan noken, perempuan-perempuan suku asli membawa anak mereka
yang masih bayi atau babi piaraan yang masih kecil, mengangkut sagu dan hasil
panen lain, juga untuk memuat barang-barang yang tidak diurusi oleh para laki-
laki. Urusan para laki-laki adalah peperangan dan perburuan, maka merekalah
yang memegang senjata dan jimat klan. Tradisi menempatkan laki-laki di posisi
yang kuat, sedangkan perempuan di posisi yang lemah. Karena lemah,
perempuan perlu dilindungi. Tetapi, karena kelemahan juga, perempuan suku
asli menjadi sasaran tindak kekerasan. Konstruksi gender ini disisipkan dalam
narasi Pum mengenai ibu Mabel.
(69) Jika dada ayah Mabel jarang dibiarkan telanjang, karena diberi hiasan kalung yang terbuat dari untaian kulit kerang, sebaliknya dada ibunya hanya digantungi sepasang payudara yang layu. Tempat Mabel dan ketiga saudaranya dulu sering bergayut, mencari kehangatan dan makanan. Sementara di kepala sang ibu yang rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas seorang perempuan sejak zaman nenek moyang. Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata sebab tugas mereka berburu dan melindungi. Sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
98
perempuan dianggap sebagai makhluk lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri. (Thayf, 2009: 99-100)
Atribut selain noken yang melekat juga pada penokohan perempuan suku
asli, secara khusus suku Dani, adalah sali. “Seperti halnya kebanyakan
perempuan suku Dani kala itu, ibu Mabel hanya menggunakan Sally (yang
dimaksud adalah sali, pen.), sejenis rok rumbai yang terbuat dari daun kering,
tepat di bawah perutnya yang membuncit karena busung.” (Thayf, 2009: 99)
Laporan penelitian yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1994: 277) memberi
keterangan tambahan yang penting untuk teks ini. Pakaian tradisional kaum
perempuan Dani bukan hanya sali. Ada juga yokal yang biasanya dikenakan
bersama su-ebe. Yang dipakai oleh para ibu (perempuan-perempuan Dani yang
sudah menikah) justru bukan sali, melainkan yokal. Dalam rangkaian adat
perkawinan suku Dani, pemasangan yokal pada pengantin perempuan
merupakan upacara yang penting. Upacara ini disebut yokal isin dan dijalankan
beberapa hari menjelang pertemuan antara pengantin perempuan dengan
pengantin laki-laki.
4.3.2 Kewajiban Rumah Tangga dan Kekerasan Domestik
Sejak generasi ibu Mabel, peran kaum perempuan Komen dalam Tanah
Tabu beredar di ruang domestik. Peran kaum perempuan Komen yang
segenerasi dengan ibu Mabel adalah melahirkan dan menyusui anak. Sebagai
ibu, para perempuan ini bangga bila anak laki-laki mereka tumbuh menjadi
pemberani dan tangguh. Tidak demikian halnya pada anak perempuan. Anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
99
perempuan diinginkan menjadi penurut, bekerja keras bertanam di kebun,
memelihara ternak babi, dan taat kepada adat. Apabila seorang anak perempuan
tidak berperilaku penurut dan tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
dia dicap pembangkang. Ini terjadi pada Mabel saat ia masih kanak-kanak.
(70) Hampir semua orang tahu Mabel berbeda. Tidak seperti kebanyakan anak [perempuan] suku Dani lainnya, ia lebih mirip seekor anjing pemburu[.] ...
Sekali waktu, ayah Mabel pernah memanggil seorang dukun untuk mengusir setan jahat yang disangka telah menyusup ke dalam tubuh anaknya. ... Sejak itu, julukan Pembangkang Kecil melekat di belakang namanya. Mabel kecil yang malang dipaksa tunduk pada adat sukunya; dikelilingi ketakutan yang terus-menerus ditiupkan para perempuan dewasa dengan berkata ia tidak akan menikah seumur hidup jika perilaku liarnya itu tidak diubah. (Thayf, 2009: 100)
Seperti tersirat dalam kutipan di atas, adat mesti ditaati baik oleh perempuan
maupun laki-laki, lebih-lebih oleh perempuan. Namun, sesungguhnya adat lebih
sering memenangkan para lelaki.
Para perempuan Komen berikutnya, mereka yang segenerasi dengan
Mabel, Mama Kori, Mama Mote, mempunyai peran mengurus rumah tangga dan
keluarga dengan baik, mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan bercocok tanam
di kebun, berdagang di pasar untuk membayar biaya sewa rumah, menganyam
noken dan keranjang di waktu senggang, namun menjadi sasaran kekerasan
suami.
Masih belum berubah banyak, generasi perempuan Komen yang lebih
muda, misalnya Mace, Mama Helda, ibu Karel, menikah dalam usia remaja,
mengurus keluarga, bertanam tanaman pangan di kebun, mengurus ternak babi,
taat dan setia pada suami, tanpa luput dari kekerasan fisik dan seksual, baik dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
100
suami sendiri maupun dari tentara. Tokoh Mace dimaki, diancam, dipukuli, dan
disetubuhi secara tidak bertanggung jawab (Thayf, 2009: 227) oleh suaminya,
sedangkan tokoh Mama Helda diumpat, “terus-menerus ditampar, dijambak,
dipukul, dan ditendang” (Thayf, 2009: 185) oleh Pace Poro Boku. Seakan masih
belum cukup bagi tokoh Mace, perempuan ini mengalami perkosaan oleh
kelompok berseragam bersenjata.
4.3.3 Bersekolah, Bekerja, dan Berkumpul
Tokoh Mace dan Mama Helda adalah dua perempuan dari generasi yang
sama. Mereka berdua sama-sama mempunyai anak perempuan. Tetapi,
keinginan Mace dan Mama Helda sebagai ibu terhadap anak perempuan mereka
masing-masing justru bertolak belakang. Mace menginginkan anak
perempuannya menjadi orang terpelajar, sedangkan Mama Helda menginginkan
anak perempuannya menjadi pengantin yang beruntung.
(71) Di umurku yang baru tujuh tahun, Mace dan Mabel sudah menaruh banyak harapan di bahuku yang kecil. Sebagai ibu, Mace berharap aku tumbuh menjadi seorang gadis yang bernasib baik dan terpelajar. Kuyakin keinginan yang terakhir itu semula tidak ada dalam daftar pemikiran Mace, mengingat ia sendiri tidak pernah mengenal bangku sekolah dan baru mengetahui arti kata “terpelajar” ketika mulai bergaul dengan beberapa orang anak muda yang datang ke rumah kami pada suatu siang yang membara, kira-kira setahun lalu. (Thayf, 2009: 28)
(72) Keinginan Mace-ku tentu saja jauh berbeda dari keinginan para ibu teman-temanku, terutama Yosi. Bukan rahasia lagi kalau mereka sangat berharap anak mereka menjadi pengantin perempuan yang beruntung, tanpa peduli betapa jelek, kurus, atau bungkuk anak mereka karena terlalu sering membawa beban di kepala. Keberuntungan itu sudah pasti datangnya, menurut mereka, yaitu dari seorang lelaki kaya dan terhormat; tanpa peduli masih muda dan suka mabuk, atau sudah tua dan beristri banyak. (Thayf, 2009: 32-33)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
101
Demi menyekolahkan anak perempuannya, Leksi, Mace berjuang mencari
nafkah dengan berdagang sayur di pasar. Sebaliknya, Mama Helda melarang
anak perempuannya, Yosi, bersekolah.
Tokoh Leksi dan Yosi muncul mewakili generasi perempuan di bawah
Mace dan Mama Helda. Dalam novel Tanah Tabu, keberadaan Leksi sebagai
siswa SD menunjukkan bahwa sudah ada anak perempuan Komen yang mendapat
kesempatan mengenyam pendidikan. Lain halnya dengan tokoh Yosi. Kehadiran
Yosi dalam Tanah Tabu menunjukkan bahwa anak perempuan tidak bisa merdeka
dari peran domestik. Yosi dipaksa tinggal di rumah untuk membantu Mama Helda
mengurus rumah dan keluarga (pekerjaan domestik).
(73) Yosi juga tidak apa-apa, tetapi dia tidak bersekolah karena katanya orangtuanya tidak mampu membeli seragam. Aku tahu dia bohong! Ada beberapa orang temanku yang tidak berseragam, tetapi mereka tetap boleh bersekolah. Yang kutahu, Yosi tidak diizinkan bersekolah karena ia anak perempuan, yang harus menjaga tiga adiknya yang masih kecil dan membantu ibunya yang sedang hamil besar, di rumah dan di kebun. Kasihan sekali Yosi. Padahal ia jauh lebih tua dariku. (Thayf, 2009: 23)
Ketika Yosi mengungkapkan niatnya bekerja mencari uang untuk
membantu keadaan ekonomi keluarga, Mama Helda menentang keras. Dalam
pandangan Mama Helda, anak perempuan yang ingin menjadi pencari nafkah
utama (the bread-winner), seperti Yosi, adalah anak perempuan yang berpikiran
macam-macam. Anak laki-lakilah yang sepantasnya keluar rumah dan mencari
nafkah. Anak perempuan wajib berada di dalam rumah, bekerja domestik. Ia
boleh keluar rumah hanya untuk membantu ibunya menggarap kebun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
102
Konstruksi inilah yang menjadi penghalang bagi niat baik Yosi untuk membantu
keadaan ekonomi keluarga. Di samping itu, relasi antara Mama Helda dengan
Yosi sebagai ibu dan anak perempuan memburuk.
(74) “Sejak itu, Leksi, kau percaya tidak, aku tiba-tiba saja membenci Mama. Kupikir ia tidak sayang kepadaku sehingga perlakuannya seperti itu. Mungkin juga keberadaanku tidak diharapkannya karena aku ini anak perempuan. Apalagi kuingat ia pernah bilang jika saja anak pertamanya laki-laki, pasti sudah disuruhnya bekerja di luar. Jadi kuli pasar atau bantu-bantu jadi tukang batu jika ada proyek bangun rumah.”
Yosi terdiam beberapa saat seolah hendak membiarkan detak waktu melarikan kesakitannya yang terpendam. Ia bernapas sedih. Lalu suaranya terdengar melanjutkan lagi:
“Sebenarnya aku juga mau bekerja yang menghasilkan uang, Leksi. Aku sadar keluargaku sangat miskin. Upah mingguan Pace tidak cukup biarpun ditambah jualan hasil kebun. Kau kan tahu paceku suka mabuk bersama teman-temannya sampai pagi. Mana Mama hamil lagi. Adikku yang tiga masih kecil-kecil pula.
‘Kau ini anak perempuan atau laki-lakikah? Bantu-bantu di rumah dan kebun saja sudah! Urus kau punya adik-adik itu juga. Sudah itu tugas perempuan. Jangan pikir yang macam-macam.’
“Mama mengomel begitu, Leksi, waktu kubilang aku mau bekerja apa saja di luar. Padahal aku hanya mau membantu meringankan bebannya, juga agar ia bangga kepadaku.[”] (Thayf, 2009: 51: 52)
Kaum perempuan Komen di dalam Tanah Tabu tidak mempunyai kegiatan
bersama, misalnya arisan, PKK, perkumpulan, atau sekolah perempuan. Bila
kebetulan para perempuan ini berkesempatan berkumpul bersama, yang mereka
lakukan adalah bergosip.
(75) Para mama biasanya sibuk bergosip di beranda rumah mereka setelah puas tidur siang. Di sela teriakan penuh ancaman pada anak-anak mereka yang tak henti saling pukul dan gelut sambil bermain, dan diiringi irama kipasan karton atau koran bekas pada tubuh yang bermandi peluh, beragam cerita, bualan, keinginan, harapan bahkan umpatan saling tumpang tindih dalam satu adegan percakapan teriuh di tengah suasana jelang sore itu. Dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
103
merekalah aku tahu pace siapa yang baru pulang tadi pagi dalam keadaan mabuk, mace siapa yang tidak bisa keluar rumah karena dipukul suaminya semalaman, dan rumah mana lagi yang akan mengadakan pesta bakar batu selanjutnya. (Thayf, 2009: 33-34)
Kesukaan para mama untuk bergosip sesungguhnya menjatuhkan posisi kaum
perempuan sendiri. Dalam novel Tanah Tabu, para perempuan berkumpul dan
menggosipkan sesama perempuan secara negatif. Hal ini menimpa Mabel.
Mabel yang menggalang persatuan pedagang pasar justru menjadi bahan gosip.
Keikutsertaan Mabel dalam pertemuan pedagang pasar di rumah paitua penjual
labu dicurigai dan dicap buruk oleh para perempuan penggosip, padahal tujuan
diadakannya pertemuan itu adalah membela kepentingan orang-orang Komen.
(76) [D]ari gosip yang tersebar akhir-akhir ini dari mace ke mace, dari teras rumah ke kebun bahkan hingga pasar, kudengar kepergian Mabel selama beberapa hari kemarin bukan untuk sesuatu yang baik. Ia menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang bertujuan buruk.
“Dulu sekali Mabel pernah ditangkap. Itu artinya dia bukan orang baik-baik. Jadi kalau sekarang dia suka berkumpul diam-diam lagi, su pasti niatnya tidak baik mo....” (Thayf, 2009: 132)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
104
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Di dalam penceritaan mengenai suku Dani di Lembah Baliem pada tahun
1946, penulis membaca wajah praeksistensi suku asli. Suku Dani lahir di dan
berasal dari Lembah Baliem. Merekalah penduduk asli (original inhabitants) di
tempat itu. Demikian pula halnya dengan suku Amungme yang semula menghuni
kawasan Gunung Nemangkawi dan orang-orang Meno yang datang dari
pegunungan. Secara turun-temurun, mereka menempati dan membangun
kehidupan di wilayah asal masing-masing. Lembah dan gunung yang menjadi
tempat asal suku asli adalah milik mereka. Sebagai pemilik tanah ulayat, wajah
suku asli mengekspresikan keterhubungan kuat dengan tanah mereka.
Setelah masuknya kelompok ekspedisi Belanda dan juga para pendatang
yang bekerja untuk perusahaan tambang emas, ekspresi keterhubungan suku asli
dengan tanahnya dihapus. Rasa memiliki dan kewajiban menjaga tanah adat pun
pudar sampai-sampai ada orang Komen yang tanpa malu menjual tanah adat suku
Amungme. Akan tetapi, tokoh seorang perempuan tua menunjukkan bahwa masih
ada bagian dari suku asli yang bertahan melindungi tanah adat sesuai dengan
kepercayaan tradisional. Kepercayaan tradisional sukunya bukan berarah pada hak
milik atas tanah sebagai alat produksi atau sebagai kekayaan material, melainkan
pada sikap nonmaterialis dan memelihara. Sikap nonmaterialis dan memelihara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
105
alam senyatanya bertolak belakang dengan misi pembangunan seperti yang
dibawa kelompok ekspedisioner Belanda dan perusahaan tambang emas.
Betapapun kerasnya upaya suku asli mempertahankan tanah mereka,
pendatang lebih kuat menyerobotnya. Tanah Tabu menunjukkan wajah suku asli
yang dijajah secara internal melalui penokohan suku Amungme. Suku Amungme
digusur dari perkampungan asli mereka. Gunung keramat mereka dirusak oleh
kegiatan penambangan bawah tanah. Karena persoalan kepemilikan modal dan
penguasaan bahasa, suku Amungme ditundukkan oleh pendatang. Ekspresi
keterjajahan suku Amungme secara internal oleh pendatang menampilkan wajah
suku asli yang ditaklukkan, yang ditundukkan.
Semasa kedatangan kelompok ekspedisioner pimpinan van de Wissel ke
Lembah Baliem, tokoh suku Dani pun ditundukkan oleh tokoh bangsa Belanda.
Tindakan menundukkan suku asli di dalam novel Tanah Tabu ditandakan oleh 3
hal. Penanda pertama, van de Wissel mendirikan pos pemerintahan negeri
Belanda di tanah suku Dani. Penanda kedua, tokoh bangsa Belanda memandang
suku Dani lebih rendah daripada mereka. Walaupun suku Dani sudah
mengizinkan tanahnya dijadikan milik pos pemerintahan Belanda, tokoh bangsa
Belanda, yakni van de Wissel beserta keluarga, tidak mau menempatkan suku
Dani setara dengan mereka. Penanda ketiga, tokoh bangsa Belanda mengganti
identitas tokoh suku Dani menjadi sama-sama Belanda. Dari ketiga penanda di
atas, disimpulkan bahwa bangsa Barat benar-benar berupaya menundukkan suku
asli. Mereka menundukkan suku asli dengan cara Barat. Agaknya tokoh bangsa
Barat dalam novel Tanah Tabu merasa perlu untuk menundukkan, namun tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
106
ditunjukkan apa sesungguhnya yang “bermain” di balik upaya tersebut, entah
sebatas misi perluasan wilayah koloni ataukah ada rasa takut terhadap suku asli
yang rumit dijelaskan.
Dalam Tanah Tabu, wajah suku adalah wajah yang ditaklukkan, juga yang
minoritas. Dengan membaca penokohan (karakterisasi) para pelaku Komen,
ditemukan ekspresi-ekspresi yang menunjukkan wajah minoritas mereka. Sesuai
dengan konteks ini, ekspresi suku asli dilihat dari kebudayaan mereka, salah
satunya dari penggunaan bahasa. Bahasa ibu suku asli, seperti bahasa Dani dan
bahasa Amungkal, tidak muncul dalam Tanah Tabu. Pada hemat penulis, di
samping menunjukkan sebatas mana pengetahuan dan penguasaan si pengarang
sendiri tentang bahasa-bahasa suku asli Papua, hal ini juga mencerminkan
fenomena “sekarat”-nya berbagai bahasa daerah di Indonesia. Untunglah dialek
Papua dimunculkan walaupun aksennya tentu luput dari pendengaran pembaca
sebab aspek lisan tidak tertampung oleh novel. Wajah minoritas suku asli terbaca
juga dari pakaian tradisional, mata pencaharian, dan noken. Pakaian tradisional
ditinggalkan. Mata pencaharian bercocok tanam dan berburu dipinggirkan. Bahan
dan ukuran noken diganti pula supaya tampak bergaya, berkesan lebih modern.
Wajah kaum perempuan Komen yang ditokohkan di dalam Tanah Tabu
adalah wajah yang ditundukkan dan yang minoritas juga, secara berlapis. Pada
lapis pertama, sebagai suku asli, kaum perempuan berada di posisi minoritas dari
masyarakat dan kebudayaan pendatang. Pada lapis berikutnya, sebagai
perempuan, mereka diposisikan sebagai minoritas oleh masyarakat dan
kebudayaan suku sendiri. Peluang pendidikan dan pekerjaan untuk suku asli tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
107
terbuka sama luasnya dengan peluang untuk para pendatang, apalagi untuk
perempuan suku asli. Mata pencaharian yang tersisa untuk para perempuan suku
asli pun hanyalah bercocok tanam, berdagang, menganyam noken. Ada pula
perempuan seperti tokoh Mama Mote yang tampaknya tidak mempunyai mata
pencaharian apa pun yang secara signifikan bisa menghasilkan nafkah sehingga
satu-satunya pekerjaan yang tersisa untuk dia hanyalah bergosip.
Adat suku asli menetapkan sejak zaman nenek moyang bahwa perempuan
lemah, sedangkan laki-laki kuat. Perempuan akan dilindungi oleh laki-laki, namun
perempuan harus tunduk juga kepada laki-laki. Pada pelaksanaannya, perempuan
justru dibebani tanggung jawab yang lebih besar untuk menafkahi keluarga,
sementara laki-laki menghambur-hamburkan uang dan melakukan kekerasan pada
perempuan. Di dalam Tanah Tabu, ada wajah perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga, yaitu tokoh Mace dan tokoh Mama Helda. Mace dijadikan korban
caci maki, ancaman, pemukulan, dan pemerkosaan, sementara Mama Helda
dijadikan sasaran umpatan tamparan, pukulan, bahkan tendangan. Dari wajah para
tokoh perempuan yang kesakitan di dalam ruang domestik itu, dapat dibaca bahwa
sedang terjadi peminggiran, dominasi, dan penindasan. Ditambah dengan peluang
yang nyaris nihil dalam dunia pendidikan dan pekerjaan yang telah didominasi
pendatang, keadaan perempuan suku asli terpuruk. Perempuan suku asli—
menggunakan istilah dari kategori the indigenous peoples Julian Burger (Barnes
dalam Barnes dkk., 1995: 311)—ditundukkan dan diposisikan sebagai minoritas
secara berlapis-lapis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
108
5.2 Saran
Penulis menyarankan, para pengarang yang berminat mengangkat tema
kehidupan suku asli ke dalam karya mereka tidak perlu melanggengkan cap atau
stereotipe atas suku asli sebagaimana yang sudah selama ini berakar—contohnya
bahwa orang Papua suka membuat keributan, berbicara keras-keras, bertengkar,
dan bermabuk-mabukan. Khalayak pembaca sastra Indonesia juga harus
menggunakan daya kritis mereka menghadapi karya-karya yang membunyi-
bunyikan cap yang negatif dan tidak berdasar terhadap suku asli (the indigenous
peoples). Bahwa ada segelintir orang dari suku asli yang bersifat negatif, hal itu
lumrah saja sebab di mana pun selalu ada segelintir orang yang bersifat negatif.
Sebutlah kecenderungan berbuat kekerasan, menyakiti sesama manusia,
menciptakan keributan. Itu bukan hanya milik suku asli semata. Oleh karena itu,
sebaiknya pembaca karya sastra Indonesia memiliki akses informasi silang
sehubungan dengan seluk-beluk suku asli sehingga stereotipe yang memojokkan
suku asli bisa diputus pewarisannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
109
DAFTAR PUSTAKA
AIK. “Birokrasi Buruk, Tambang Merusak”. Dalam Kompas, 1 April 2011, hlm.
12.
Amiruddin, de Soares, Aderito Jesus. 2003. Perjuangan Amungme: Antara
Freeport dan Militer. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM). Stable URL:
http://www.elsam.or.id/downloads/1296452697_Perjuangan_Amungme.pdf
. Diunduh: 24/3/2011, 6.15.
Alua, Agus A., Lokobal, Nico A., dan Mulait, Thadeus N. 2006. Nilai-Nilai
Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Balim Papua. Jayapura: Biro
Penelitian STFT Fajar Timur.
Ariyanto, Yus. 2010. “Suku Amungme Gugat Freeport”. Dalam Liputan 6. Stable
URL: http://berita.liputan6.com/daerah/201003/266960/class='vidico'.
Diunduh: 25/3/2011, 15.14.
Barnes, R. H., Gray, Andrew, dan Kingsbury, Benedict (Ed.). 1995. Indigenous
Peoples of Asia. Michigan: The Association for Asian Studies, Inc.
Cashmore, Ellis. 2004. Encyclopedia of Race and Ethnic Studies. London dan
New York: Routledge.
Febriyan. 2010. “Suku Amungme Gugat PT Freeport”. Dalam Tempo Interaktif.
Stable URL:
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/21/brk,20100921-
279502,id.html. Diunduh 25/3/2011, 15.16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
110
“Grasberg Minerals District”. Stable URL:
http://www.fcx.com/operations/grascomplx.htm. Diunduh: 24/3/2011, 8.00.
Hasanuddin, Lili (Ed.). 2001. Suara dari Papua Identifikasi Kebutuhan
Masyarakat Papua Asli. Jakarta: Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan
Kemitraan Masyarakat Sipil Indonesia.
Hendy, Zaidan. 1988. Pelajaran Sastra Program Studi Pengetahuan Budaya 1.
Jakarta: PT Gramedia.
_____. 1988. Pelajaran Sastra Program Studi Pengetahuan Budaya 2. Jakarta:
PT Gramedia.
Henkle, Roger B. 1977. Reading the novel: an introduction to the techniques of
interpreting fiction. New York: Harper and Row Publisher.
Hidayah, Aguslia. 2008. “Hanya Satu Juara: Tanah Tabu”. Dalam Koran Tempo
on the Web, 15 Desember 2008. Stable URL:
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/15/Budaya/krn.20
081215.150914.id.html. Diunduh: 27/3/2011, 9.12.
Ingold, Tim. 1994 (First published), 1997 (First published in paperback).
Companion Encyclopedia of Anthropology. London dan New York:
Routledge.
JOS. 2011. “Pembangunan Papua Dinilai Belum Sejahterakan Masyarakat”.
Dalam Kompas, 23 Maret 2011, hlm. 23.
Juarsa, Dasep. 2009. “Suku Amungme Papua Gugat PT Freeport US $ 30
Milyar”. Dalam The Global Review. Stable URL: http://www.theglobal-
review.com/content_detail.php?lang=id&id=702&type=5. Diunduh:
26/3/2011, 15.21.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa.
Yogyakarta: Penerbit Carasvatibooks.
Kim, Uichol, Yang, Kuo-Shu, dan Hwang, Kwang-Kuo (Ed.). 2010. Indigenous
and Cultural Psychology Memahami Orang dalam Konteksnya (Terj.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
111
Koentjaraningrat dkk. 1994. Seri Etnografi Indonesia 5 Irian Jaya Membangun
Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kuper, Adam, Kuper, Jessica (Ed.). 1996. The Social Science Encyclopedia
Second Edition. London dan New York: Routledge.
Levinson, David, Ember, Melvin. 1996. Encyclopedia of Cultural Anthropology
Vol. 2. New York: Henry Holt and Company.
Mawardi, Bandung. 2009a. “Papua dan Eksistensi Sastra Pinggiran”. Dalam
Harian Suara Merdeka, 16 Agustus 2009. Stable URL:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2009/08/16/1407/
Papua-dan-Resistensi-Sastra-Pinggiran-. Diunduh: 15/2/2011, 12.45.
_____. 2009b. “Tragedi Perempuan Papua”. Stable URL:
http://www.gramedia.com/wacana.asp?id=090818135756. Diunduh:
15/2/2011, 12.53.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pickell, David (Naskah), Muller, Kal (Fotografi). 2001. Kamoro: Between the
Tides in Irian Jaya. Jakarta: Aopao Productions.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Persektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rif’an, Ali. 2009. “Narasi Pilu Rakyat Papua” dalam Koran Jakarta, 1 Agustus
2009. Stable URL: http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=14313.
Diunduh: 25/2/2011, 9.51.
“Sekilas tentang PT Freeport Indonesia”. Stable URL:
http://www.ptfi.com/about/default.asp. Diunduh: 30/3/2011, 9.17.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Syaifullah, Muh. 2009. “Bukan Novel Merah Jambu” (Profil Anindita Siswanto
Thayf) dalam Koran Tempo on the Web, 4 Januari 2009. Stable URL:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
112
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/04/Profil/index.ht
ml. Diunduh: 13/12/2010, 12.55.
Thayf, Anindita S. 2009. Tanah Tabu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Vadakumchery, Johnson. 1993. “The Earth Mother and the Indigenous People of
India”. Dalam Journal of Dharma, Vol. XVIII, No. 1, Januari-Maret 1993,
hlm. 85-97. Bangalore: Centre for the Study of World Religions,
Dharmaram College.
VAL. “Upaya untuk Papua yang Lestari”. Dalam Kompas, 22 Maret 2011, hlm.
14.
Wahyu, Yohan. 2011. “Kekuatan Politik Dominan yang Kini Bergeser”. Dalam
Kompas, 30 Maret 2011, hlm. 5.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
(Kelompok Penerbit Pinus).
Yuniarti, Fandri (Ed.). 2008. Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas
Terasing di Pulau Sendiri. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Zaki, Haya Alia. 2009. “Potret Buram Kaum Perempuan Papua” dalam Harian
Global. Stable URL: http://www.harian-
global.com/index.php/khusus/kalam/11643-resensi-buku-potret-buram-
kaum-perempuan-di-tanah-papua-. Diunduh: 24/2/2011, 13.20.
“3 Women Who Suffered Rights Abuses Presented with Kartini Day Awards”.
2009. Dalam Jakarta Globe, 22 April 2009. Stable URL:
http://www.thejakartaglobe.com/justAdded/3-women-who-suffered-rights-
abuses-presented-with-kartini-day-awards/273728. Diunduh: 25/2/2011,
11.52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
113
TENTANG PENULIS
Rosa Sekar Mangalandum lahir di Semarang pada 1990
dan telah bermukim di Yogyakarta sejak 1999. Tulisan
pertamanya yang dimuat di media adalah opini “Televisi”
dalam majalah Bobo No. 19/XXIX, 9 Agustus 2001. Selama
2005-2007, Mangalandum lebih aktif menjadi violinis untuk
paduan suara Keluarga Pelajar Katolik SMA Negeri 3 Padmanaba daripada
bertekun menulis. Selulus SMA tahun 2007, Mangalandum belajar di Program
Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Kegiatan
bermain biola yang dipelajari Mangalandum sejak tahun 1990 tidak
ditinggalkannya selama belajar di perguruan tinggi. Selama beberapa waktu, ia
menjadi violinis untuk Campus Ministry Mrican, Universitas Sanata Dharma dan
untuk doa malam bulanan dengan nyanyian dari Taizé yang diselenggarakan
komunitas suster Sahabat Setia Yesus (Faithful Companions of Jesus).
Mangalandum memulai rangkaian kursus bahasa Prancis di Lembaga Indonesia
Prancis (Centre Culturel Français de Yogyakarta) sejak tahun 2008 hingga
tingkat menengah (intermédiare 2). Pada tahun 2009, ia menjadi peserta
pendampingan kaum muda dengan spiritualitas Ignasian MAGiS ‘09 selama 1
tahun.
Makalah Mangalandum yang berjudul “Membaca Stereotyping dalam Romo
Rahadi dengan Perspektif Poskolonialitas”—disampaikan dalam kegiatan studi
banding Program Studi Sastra Indonesia USD dengan Program Studi Bahasa dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
114
Sastra Indonesia Unas, Jakarta, pada tanggal 1 Desember 2009—merupakan awal
ketertarikannya menulis dengan tema suku asli Papua. Dua tahun kemudian,
Mangalandum menyampaikan makalah bertopik serupa, berjudul “Membaca
Wajah Perempuan Suku Dani Lewat Novel Sali”, untuk seminar ilmiah
mahasiswa dalam rangkaian acara Gelar Sastra 2011, tanggal 12 Maret.
Mangalandum menulis untuk sebuah newsletter elektronik yang dikelola
Indonesian Visual Art Archive (IVAA), bernama E-Surat, volume 38 tahun 2010.
Adapun tulisannya yang bertema spiritualitas Ignasian dimuat dalam majalah
Internos edisi September-Oktober 2010. Dalam periode Desember 2010 hingga
Mei 2011, ia menjadi asisten penelitian mengenai tema gender dan
keperempuanan dalam seni visual Indonesia untuk IVAA.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI