Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RELASI ANTARA MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP
DALAM NOVEL JAMANGILAK TAK PERNAH MENANGIS
KARYA MARTIN ALEIDA: KAJIAN INTRINSIK
DAN EKOKRITIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Roswita Rambu Lodang
NIM: 121224088
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
RELASI ANTARA MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP
DALAM NOVEL JAMANGILAK TAK PERNAH MENANGIS
KARYA MARTIN ALEIDA: KAJIAN INTRINSIK
DAN EKOKRITIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Roswita Rambu Lodang
NIM: 121224088
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Allah Pencipta alam semesta, Bunda Maria, Yesus Kristus.
Bapak Dominikus Umbu Rauta dan Mama Imelda Gori yang setia menanam
demi mata air bagi anak dan cucu.
Kelima saudara saya yang melimpahi saya dengan kasih sayang.
Ponakan- ponakan yang sedang bertumbuh dan belajar.
Keluarga besar Laitarung dan Praikatodu yang terus menanam.
Semua orang yang peduli dan berjuang untuk kelestarian alam.
Semua orang yang membaca dan menulis untuk perubahan baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTO
Pertolongan Tuhan tidak pernah datang terlambat
(Roswita Rambu Lodang)
High quality of life, yes! High standar of living, maybe yes, maybe no!
(Arne Naess)
Langit itu kepunyaan Tuhan dan bumi itu telah diberikan-Nya
kepada anak-anak manusia
(Mazmur 115:16)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Lodang, Roswita Rambu. 2017. Relasi Antara Manusia dengan Makhluk
Hidup dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis Karya
Martin Aleida: Kajian Intrinsik dan Ekokritik. Skripsi. Yogyakarta:
PBSI, JPBS, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Lingkungan yang rusak (pencemaran yang terjadi di air, tanah, udara,
hutan, laut dan seterusnya) disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab dan mementingkan diri sendiri. Manusia keliru
menempatkan diri dalam konteks alam semesta. Manusia adalah penyebab
krisis lingkungan, dan seharusnya menjadi yang bertanggung jawab
menyelamatkannya. Untuk meyelamatkan lingkungan, manusia harus
menyadari penempatan dirinya dalam berinteraksi dengan alam dan manusia
dalam keseluruhan ekosistem.
Penelitian ini membahas relasi antara manusia dengan lingkungan hidup
dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Untuk
dapat memahami relasi antara manusia dengan lingkungan hidup, peneliti
melakukan analisis menggunakan kajian intrinsik dan ekokritik. Metode yang
digunakan adalah analisis deskriptif, untuk mendeskripasikan fakta yang
ditemukan dalam novel kemudian dianalisis untuk memahami relasi manusia
dengan lingkungan hidup.
Dari hasil analisis dokumen menggunakan metode analisis deskriptif
dan kajian intrinsik dan ekokritik, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida memaparkan hubungan
antara manusia dengan lingkungan hidup. Manusia dan lingkungan hidup
adalah satu kesatuan. Keegoisan manusia akan berdampak pada krisis
lingkungan, dan krisis lingkungan akan berdampak pada keselamatan manusia.
Kata kunci: ekokritik, lingkungan, alam, novel, struktural.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Lodang, Roswita Rambu. 2017. Relationship between Human and
Environmental in the Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
by Martin Aleida: Intrinsic and Ecocritic Studies. Thesis.
Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, Sanata Dharma University
The damaged environment (the contamination on water, land, air,
forest, etc.) is caused by irresponsible and greed human’s behavior. The
man is erroneous in placing themselves on nature context. Human being is
the cause of environment crisis and so on become the care-taker of the
rescuing. To rescue the environment, human being should realize
themselves’ placing in interacting with the nature and the other man in all
ecosystems
This research discuses about the relation among human and the
living environment in Jamangilak Tak Pernah Menangis novel by Martin
Aleida. To be able to comprehend the relation among them, the researcher
does the analysis using intrinsic and ecocritic studies. The method used is
descriptive analysis, to describe the fact which is found in the novel then it
is analyzed to comprehend the relation among them.
The result of analyzing the document uses the descriptive method
analysis and intrinsic and ecocriticis studies, the researcher can conclude
that Jamangilak Tak Pernah Menangis novel by Martin Aleida presents the
relation among human being and the environment. They are unity. Human
being selfishness will impact on the environment crisis, and it will impact
on the human being’s safety.
Key Word: ecocritic, environment, nature, novel, intrinsic.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji, syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Allah Pencipta alam
semesta atas kehidupan, karunia dan berkat yang dilimpahkan sehingga penulis
mampu menyelesaikan pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta dengan melunasi syarat untuk memperoleh gelar sarjana berupa skripsi
yang berjudul: Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup dalam Novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida: Kajian Intrinsik dan
Ekokritik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses menyelesaikan pendidikan, penulis
menghadapi masalah dan tantangan, namun, banyak waktu telah dilalui, banyak
pelajaran berharga telah dipelajari dan banyak bantuan telah penulis terima untuk
menghadapi masalah dan tantangan yang ada. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia.
3. Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan banyak motivasi, perhatian, dan arahan dengan penuh kesabaran
demi selesainya skripsi ini.
4. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar
memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi
ini.
5. Seluruh dosen Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama perkuliahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. Bapak Robertus Marsidiq, selaku sekretaris Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia yang telah banyak membantu kelancaran kebutuhan administrasi
penulis di Prodi PBSI.
7. Bapak Dominikus Umbu Rauta dan Mama Imelda Gori atas kelimpahan cinta,
dukungan doa, materi dan motivasi kepada penulis, sehingga pendidikan di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dapat penulis selesaikan.
8. Kakak Karolina Rambu Fuji dan keluarga, Kakak Robertus Umbu Tayi dan
keluarga, Kakak Martha Diana Rambu Nawu dan Keluarga, Kakak Thobias
Umbu Jama dan keluarga, untuk kasih sayang yang berlimpah, dukungan doa
dan materi bagi penulis.
9. Adik Melania Rambu Day untuk kasih sayang, perlindungan, doa, dan
kebersamaan yang menguatkan.
10. Om Agustinus Umbu Sebu dan Tante Marselina Rambu Nawu, keluarga besar
Praikatodu dan Laitarung yang setia mendoakan, memberikan perhatian, kasih
sayang dan memotivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
11. Sahabat-sahabat penulis, Eva Tri R., Denok Vivi Angelina, Irene Kayep,
Chrisan Wungo, Srisusantri Rambu E., Roy Milla, Rolis Rohi, Fr. Ino Lefan
C.Ss.R., Skolastika Wawo, Vania, Istu, Yanta dan Ben yang setia
menguatkan, mendukung dan menyayangi penulis.
12. Frater Linus C.Ss.R., Kak Helmi yang membantu penulis menemukan
referensi untuk kelancaran skripsi dan Kak Frans No Awe yang dengan baik
boleh penulis pinjam buku-bukunya selama berbulan-bulan, memotivasi, dan
berbagi ilmu dalam diskusi.
13. Teman-teman di PBSI angkatan 2012, kelas A, B, dan C, teman-teman PBSI
angkatan 2013, dan teman-teman di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa natas
Universitas Sanata Dharma untuk kebersamaan dan semua dukungan pada
penulis.
14. Pater Mateus Mali, C.Ss.R., dan Komunitas C.Ss.R. di Nandan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
15. Saudara-saudara saya di Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba Yogyakarta,
Keluarga Besar Gailaru Marada Jogja dan semua saudara-saudara mahasiswa
Sumba yang telah boleh menjadi rumah kedua tempat berlindung selama di
Jogja.
16. Teman-teman kost Serafim Cantique (Kak Stefy, Tanty, Try, Rini, Tia, Vivi,
Tinsi, Citra, Angel, Nana, Iin) dan Gailar Mrican (Iwin, Dairu, Soli dan Dedu)
yang mendukung dan mencintai penulis dengan cara yang lucu.
17. Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan tidak
sempat penulis sebutkan satu persatu. Tuhan Memberkati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ iv
MOTO .......................................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ................................................................................ vii
ABSTRAK ................................................................................................................ viii
ABSTRACT ................................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................................ 10
B. Kajian Teori .................................................................................................... 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
1. Unsur Intrinsik Novel ................................................................................ 12
a. Tokoh dan Penokohan ......................................................................... 13
b. Alur ..................................................................................................... 18
c. Latar .................................................................................................... 22
d. Tema .................................................................................................... 24
2. Ekokritik .................................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................................ 32
B. Sumber Data Penelitian ................................................................................... 32
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 33
D. Instrumen Penelitian........................................................................................ 33
E. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ................................................................................................. 35
B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis .................. 35
1. Tokoh dan Penokohan ............................................................................... 36
a. Tokoh Sentral ...................................................................................... 42
b. Tokoh Bawahan .................................................................................. 62
2. Alur ........................................................................................................... 63
a. Paparan. .............................................................................................. 63
b. Rangsangan ......................................................................................... 67
c. Gawatan............................................................................................... 71
d. Tikaian................................................................................................. 73
e. Rumitan ............................................................................................... 74
f. Klimaks ............................................................................................... 77
g. Leraian................................................................................................. 79
h. Selesaian .............................................................................................. 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
3. Latar ......................................................................................................... 80
a. Latar Tempat ....................................................................................... 81
b. Latar Waktu ......................................................................................... 85
c. Latar Sosial.......................................................................................... 90
4. Tema .......................................................................................................... 92
C. Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup: Kajian Ekokritik ........... 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 122
B. Saran .............................................................................................................. 127
DAFTAR RUJUKAN ............................................................................................. 128
LAMPIRAN ............................................................................................................. 130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bumi berada dalam kondisi kritis karena kerusakan yang ditimpakan
padanya. Aktivitas manusia tidak memikirkan tanggung jawab mereka untuk
tetap melestarikan alam yang telah memberikan kehidupan. Manusia
menghirup udaranya, dan hidup serta disegarkan oleh air dari bumi.
Pembangunan di mana-mana tidak memperhatikan dampaknya terhadap alam.
Terjadi pengalihan fungsi lahan, penjarahan hutan, pencemaran udara, tanah,
dan air tanpa memikirkan usia bumi. Limbah pabrik mengalir ke sungai, hutan
dijarah untuk membangun pabrik, lahan-lahan beralih fungsi untuk
membangun perumahan mewah yang tidak ramah lingkungan. Banyak
makhluk hidup menggantungkan kehidupannya pada alam, seperti sungai
sebagai lalu lintas perekonomian, mata air sebagai sumber air bersih, hutan
sebagai rumah bagi binatang, namun ada pihak lain yang tidak memikirkan
panjang umurnya ketergantungan manusia pada alam itu.
Manusia sebagai makluk hidup selalu berinteraksi dengan
lingkungannnya mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi seperti
kerusakan tanah, pencemaran lingkungan dan sebagainya (Supardi, 1985:1).
Manusia harus menyadari bahwa perlakuan mereka terhadap bumi adalah
sebuah penyiksaan terhadap rumah kita bersama yang perlu dijaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
keselamatannya demi kelangsungan makhluk yang menumpangkan hidup
padanya.
Kekerasan yang dilakukan manusia terhadap bumi tidak saja
menyakiti bumi tetapi juga menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia,
misalnya gangguan pernapasan dari udara yang tercemar, gangguan
pencernaan, dan penyakit kulit dari air yang tercemar limbah. Masalah
kesehatan yang timbul ini baru diambil tindakan ketika telah terjadi masalah
yang cukup serius dan permanen dalam kesehatan manusia (Fransiskus,
2016:18).
Untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan konsep ekonomi,
perdagangan, dan produksi jangka pendek, manusia menjarah sumber daya
alam yang berakibat pada hilangnya hutan, vegetasi lainnya, dan spesies yang
juga mempunyai peran sebagai sumber daya penting bagi kebutuhan manusia
dan pengatur masalah lingkungan di masa yang akan datang (Fransiskus,
2016: 24).
Lingkungan hidup adalah suatu hal yang paling dekat dengan
kehidupan masyarakat. Membicarakan lingkungan hidup sama halnya
membicarakan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sungai, sawah, air, tanah,
dan lain-lain. Manusia menyatu dengan alam, hidup dari hasil alam, dan
bersama makhluk hidup yang lain memiliki relasi dengan alam.
Kekerasan terhadap lingkungan kerap terjadi di Indonesia, tanpa
disadari bahwa bumi sedikit demi sedikit mendekati kehancuran. Penebangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
hutan secara sembarangan, pembakaran lahan dan hutan, serta pembangunan
tanpa memperhatikan kebutuhan air lingkungan terjadi di mana-mana.
Aktivitas manusia yang tidak terkendali mengakibatkan masalah ekologi yang
tragis dan menyebabkan manusia menjadi korban dari degradasi ini
(Fransiskus, 2016: 8).
Hubungan antara makhluk hidup sebagai suatu kesatuan dengan
lingkungannya dipelajari dalam ilmu yang disebut ekologi. Di dalam
hubungan ekologi tersebut tercakup faktor fisik, biologik, sosioekonomi, dan
juga politis. Hubungan ini bersifat timbal balik dan membentuk suatu sistem
yang disebut ekosistem (Supardi, 1987:1).
Interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya menimbulkan
ketidakselarasan ekologi. Dalam hal ini manusia sebagai makhluk hidup
adalah makhluk yang paling berpengaruh pada tidak seimbangnya ekologi.
Usaha-usaha manusia menunjang kehidupannya dengan memanfaatkan
sumber alam berakibat apada kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan
(Supardi, 1987:1).
Yang harus terjadi dalam interaksi manusia dengan lingkungannya
adalah semakin manusia terancam oleh kemerosotan kualitas lingkungan,
manusia semakin giat memulihkan keseimbangan lingkungan. Kenyataan
yang terjadi adalah, manusia terus melakukan eksploitasi terhadap
lingkungan, tanpa memikirkan kualitas dan umur panjangnya bumi yang
menyediakan lingkungan bagi makhluk hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Sumardjo dan Saini dalam buku Apresiasi Kesusastraan (1986:3)
mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa.
Menurut Plato dalam Susanto (2016:4) sastra sebagai tiruan dunia atau alam
dan karya sastra sebagai tiruan yang kreatif yang berpuncak pada ide-ide.
Sastra adalah suatu produk kreatif yang dekat dan timbul karena adanya
desakan-desakan emosional masyarakat dan kemudian turut membangun
emosi masyarakat yang bersentuhan dengan sastra itu.
Sayangnya belum banyak karya sastra yang memberikan perhatian
pada kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Novita Dewi, dalam penelitian
melalui Hibah Desentralisasi DIKTI 2015 melalui Skim Penelitian
Fundamental yang telah terlaksana 25 Maret 2015 sampai dengan 32 Oktober
2015, meneliti cerpen-cerpen yang terbit di surat kabar Kompas 2010-2015
yang bertemakan lingkungan hidup sebagai data dan dianalisis dengan
metode pembacaan kritis dan Teori Ekokritik. Dari penelitian tersebut,
disinyalir bahwa karya sastra, khususnya cerpen-cerpen yang berperspektif
lingkungan hidup belum menjadi primadona dalam sastra Indonesia (Diharja,
2016).
Beberapa pengarang memberi perhatian pada keadaan bumi yang kritis
melalui karya yang mengangkat isu lingkungan. Salah satu karya sastra yang
mengangkat isu lingkungan adalah Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
(2004) karya Martin Aleida, dan Novel Partikel (2012) karya Dee Lestari.
Kedua novel tersebut menggugat ulah manusia yang tidak memperhatikan
keseimbangan ekologi.
Martin Aleida lahir di Sungai Kepayang, Tanjung Balai, Sumatera
Utara. Mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di Sekolah Menengah
Atas dan diterbitkan di Indonesia Baru (Medan) dan Harian Rakyat (Jakarta),
dua harian yang pada awal 1960-an setiap hari memuat cerita pendek.
Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, Malam Kelabu, Ilyana dan Aku,
terbit tahun1998, disusul noveletnya, Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak
Tinggi-tinggi, yang terbit setahun kemudian. Cerita-cerita yang dikumpulkan
dalam Leontin Dewangga (Penerbit Buku KOMPAS, Desember 2003)
memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional tahun 2004, yang diberikan berdasarkan “keajekan
berkarya serta pencapaian artistik.” (Aleida, 2004:241).
Martin menulis berdasarkan keadaan lingkungan di Sumatera Utara
yang sedang menuju kehancuran namun tidak mendapat perhatian dari
manusia. Martin menceritakan tokoh Molek dan anaknya Hurlang yang
gelisah pada kekuatan industri yang dapat menghantarkan bumi pada
kehancuran dan kematian gerakan ekonomi kampung mereka. Limbah sebuah
perusahaan rayon di Sumatera mengotori Sungai Asahan yang merupakan
sumber mata pencarian penduduk setempat sejak berpuluh-puluh tahun yang
lalu. Pasir yang menebal pada dasar sungai menyebabkan sungai yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
menjadi lalu lintas ekonomi tidak layak dilayari kapal. Ikan-ikan mati karena
pencemaran limbah. Pemerintah yang mengelola pajak rakyat seharusnya
bertanggung jawab menyelesaikan persoalan, namun tidak demikian, usaha
Molek dan anaknya dibalas tindak kekerasan penguasa.
Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik
menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Dalam
teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang
memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan
kenyataan. Biasanya ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan
organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap
lingkungannya atau ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara
organisme-organisme hidup dan lingkungannya. Teori ekologi dapat
digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra
melahirkan ekokritik (Harsono dkk, 2008:34).
Quick dalam Endraswara (2016) mengungkapkan bahwa novel adalah
fiksi yang banyak melukiskan lingkungan. Tak ada novel yang tidak terkait
dengan lingkungan. Novel absurd pun tetap terkait dengan lingkungan. Oleh
sebab itu, ekokritisisme dapat diterapkan untuk memahami novel. Novel
banyak menampilkan lingkungan yang pantas dibaca dengan sadar ekologis.
Hal ini berarti pengkaji ekokritik novel akan mempelajari hubungan antara
sastra dan alam melalui berbagai pendekatan memiliki kesamaan selain
keprihatinan bersama dengan lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Penulis memilih menganalisis Novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida dengan pendekatan ekokritik pertama, karena
sejauh pengetahuan penulis, belum ada yang menganalisis novel ini dengan
menggunakan pendekatan ekokritisisme. Kedua, penulis tertarik pada
pendekatan ekokritik yang menurut penulis merupakan pendekatan baru
dalam dunia sastra Indonesia. Ketiga, novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida ini menarik untuk dikaji upaya-upaya manusia
menyelamatkan lingkungannya. Martin Aleida mengisahkan Molek, wanita
yang berusaha menyelamatkan Sungai Asahan yang semakin hari semakin
dangkal karena luapan pasir dan tercemar oleh limbah sebuah perusahaan
rayon di Sumatera.
Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengisahkan penolakan
manusia terhadap keadaan alam yang memberinya kehidupan. Molek, tokoh
dalam novel ini sadar benar bahwa Sungai Asahan adalah bagian dari semesta
yang telah memberinya kehidupan selama bertahun-tahun. Kehidupan itu
tidak boleh dihentikan oleh gunungan pasir yang mendangkalkan sungai dan
limbah yang membunuh makhluk hidup, merusak tanah, air dan udara. Molek
kemudian menuntut pemerintah mengeruk Sungai Asahan. Namun usaha
Molek berbuah kekerasan dari pemerintah.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis akan
menganalisis relasi antara manusia dan lingkungan hidup dalam novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Analisis ini dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
untuk mengetahui relasi antara manusia dan lingkungan hidup dalam novel
tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur tokoh, alur, latar dan tema novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis karya Martin Aleida?
2. Bagaimana analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
tujuan yang akan dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur tokoh, alur, latar dan tema novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis karya Martin Aleida.
2. Mendeskripsikan analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida.
D. Manfaat penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penulis berharap penelitian ini dapat
bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Analisis novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida
diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi studi kritik sastra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
dalam menerapkan pendekatan ekokritik untuk menganalisis karya
sastra.
b. Sebagai referensi dan bahan perbandingan.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan ataupun dasar bagi peneliti-peneliti
selanjutnya.
b. Membantu pembaca untuk memahami hubungan penting antara
manusia dan lingkungan hidupnya dalam novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis karya Martin Aleida.
c. Menyadarkan pembaca akan penting melestarikan lingkungan hidup.
E. Sistematika Penyajian
Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I berupa Pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berupa landasan teori yang berisi
penelitian terdahulu dan kajian teori. Bab III berupa metodologi penelitian
yang berisi jenis penelitian, sumber data, metode dan teknik pengumpulan
data, instrumen penelitian, teknik analisis data. Bab IV berupa hasil penelitian
dan pembahasan. Bab V berupa penutup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berdasarkan pengetahuan penulis, analisis relasi antara manusia dan
lingkungan hidup dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis belum
pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan
dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Alfi Yusrina
Ramadhani (2013), J. Prapta Diharja (2016), Fatimah (2016) dan Novita Dewi
(2013)
Penelitian yang dilakukan oleh Alfi Yusrina Ramadhani (2013)
berjudul “Relasi Antara Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Novel
Partikel Karya Dewi Lestari: Sebuah Kajian Ekokritisisme”. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif-analitik. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa novel Partikel mengandung sebuah gagasan utama bahwa pada
hakikatnya manusia dan alam adalah satu.
Penelitian yang dilakukan oleh J. Prapta Diharja (2016) berjudul
“Analisis Puisi ‘Rumah’ Karya Darmanto JT dengan Pendekatan Semiologi
dan Ekologi Sastra”. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa rumah
bukan sekadar sebuah bangunan, tetapi sebuah tempat bertemunya laki-laki
dan perempuan, di mana perempuan mampu menjadikan dan mengajarkan
anak-anaknya menjaga kebersihan halaman agar anak-anak dapat bermain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
dan memfungsikan tanaman sebagai obat. Penelitian ini menggambarkan
bagaimana manusia memberdayakan lingkungannya.
Fatimah (2016) melakukan penelitian dengan judul “Analisis ekokritik
pada Tokoh Sean Anderson dalam Film The Journey 2: The Mysterious
Island”. Penelitian ini menggunakan pendekaatan kualitatif dengan
melakukan analisis tekstual. Analisis scene film didasarkan pada klasifikasi
etika lingkungan biosentris, ekosentris, dan antroposentris. Penelitian ini
sampai pada kesimpulan bahwa film yang dikaji melegitimasi kedudukan
manusia terhadap alam yakni sebagai penguasa yang egois dan selalu ingin
memuaskan rasa penasaran dan ketidakpuasan tanpa henti hingga
mengakibatkan kiamat kecil berupa bencana alam dan penderitaan bagi
kehidupan di muka bumi.
Pada tahun 2013, Novita Dewi menulis sebuah prosiding dengan Judul
“Ekokritisisme dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Sebuah
Usulan”. Karya ilmiah ini memaparkan bagaimana kerusakan bumi saat ini,
dan seharusnya manusia bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan pendidikan
karakter melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis juga
membahas novel Jamangilak Tak Pernah Menangis dalam jurnal ini, namun
tidak banyak. Penulis hanya memaparkan novel tersebut sebagai contoh karya
sastra yang memuat kritik terhadap lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Dari penelitian terdahulu di atas, peneliti terdahulu memaparkan
kepada penikmat karya sastra tentang hubungan manusia dan lingkungannya.
Penulis berharap penelitian terdahulu dapat dijadikan referensi untuk
kelancaran penelitian ini, karena penelitian terdahulu juga mengkaji karya
sastra dengan teori ekokrtik seperti topik yang diangkat peneliti.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu, Fatimah
(2016) menjadikan Film The Journey 2: The Mysterious Island sebagai objek
penelitiannya, Diharja (2016) menjadikan Puisi Rumah karya Darmanto JT
sebagai objek penelitiannya, dan yang menjadi objek penelitian dari Yusrina
(2013) adalah novel Partikel karya Dewi Lestari sedangkan objek penelitian
penulis adalah novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.
Novita Dewi (2013) dalam jurnalnya juga membahas Novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis, namun tidak membahas seluruh isi novel, sedangkan
peneliti mengkaji seluruh isi novel.
B. Kajian Teori
Pada bagian ini diuraikan teori yang digunakan penulis sebagai landasan
dalam penelitian yaitu kajian unsur-unsur intrinsik novel yang mencakup
tokoh, latar, alur dan tema serta teori ekokritik.
1. Unsur Intrinsik Novel
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu
kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel
mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur
pembangun sebuah novel-yang kemudian membentuk totalitas itu.
Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Unsur yang dimaksud antara lain: plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain
(Nurgiyantoro, 2012:22-25).
Pada penelitian ini, peneliti hanya akan membahas tokoh dan
penokohan, alur, latar dan tema karena keempat unsur ini yang
mempunyai kaitan dengan pengkajian ekokritik dalam novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida
Berikut ini adalah unsur-unsur pembangun cerita dalam Sudjiman
(1988: 17-20).
a. Tokoh dan penokohan
Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh
ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di
dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya
berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda
yang diinsankan; sedangkan menurut Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh cerita (character) adalah orang-
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan
tokoh sentral dan tokoh bawahan. Sudjiman (1988:17-20).
1) Tokoh Sentral
Panuti Sudjiman (1988), mengungkapkan bahwa tokoh
yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau
protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam
cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama
bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita,
melainkan intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-
peristiwa yang membangun cerita. Protagonis dapat juga
ditentukan dengan memperhatikan hubungan antartokoh.
Protagonis berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain,
sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak berhubungan satu
dengan yang lain.
Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari
protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis
termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional seperti
cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan
antagonis jelas sekali. Protagonis mewakili yang baik dan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang
antagonis mewakili pihak jahat atau yang salah. Dalam
fungsinya sebagai sumber nilai, cerita rakyat selalu
memenangkan protagonis yang menjadi tokoh teladan itu.
Selain protagonis dan antagonis, wirawan atau wirawati
dan antiwirawan atau antiwirawati juga merupakan tokoh
sentral. Tokoh ini penting dalam cerita, dan karena pentingnya,
cenderung mengeser kedudukan tokoh utama. Wirawan pada
umumnya punya keagungan pikiran dan keluhuran budi yang
tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia.
Sebaliknya antiwirawan adalah tokoh yang tidak memiliki
nilai-nilai tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh kegagalan.
Menurut Sayuti (2000:74) tokoh utama atau tokoh
sentral suatu fiksi dapat ditentukan, paling tidak dengan tiga
cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna
atau tema. Kedua, paling banyak berhubungan dengan tokoh
lain. Ketiga, banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh
sentral juga terlibat dalam konflik dan klimaks serta menjadi
pemenang dalam cerita.
2) Tokoh Bawahan
Menurut Grimes dalam Sudjiman (1988: 19) yang
dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya
sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh
utama. Ada tokoh bawahan yang sebenarnya sulit disebut
tokoh karena ia boleh dikatakan tidak memegang peranan di
dalam cerita.
Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita
Rekaan (1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan
pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’
mereka. Tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan
sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh
pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh,
kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh
lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah
yang disebut sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih
luas dibanding pengertian tokoh karena sekaligus mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).
a) Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam
suatu karya atau pelukisan sifat, watak, tingkah laku dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh,
dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yang
masing-masing tokoh memiliki sebutan yang berbeda.
Abrams menyebutnya teknik uraian (telling) dan ragaan
(showing), Kenny menyebutnya teknik diskursiv
(discursive), dramatik dan kontekstual. Teknik pelukisan
tokoh yang akan dibahas peneliti adalah teknik pelukisan
tokoh menurut Kenny dalam Sudjiman (1988:24-27).
1. Teknik Diskursif
Dalam teknik diskursif ini adakalanya pengarang
melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat,
pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan
menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar
pernyataan setuju atau tidaknya akan sifat-sifat tokoh
itu. Pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya,
tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang
watak tersebut. Cara yang mekanis sifatnya ini memang
sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan
imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk
membentuk gambarannya tentang si tokoh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
2. Teknik Dramatik
Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,
cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang,
bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari
gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan atau
lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang
dipaparkan pengarang dapat menyiratkan sifat
wataknya.
3. Teknik Kontekstual
Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari
bahasa yang digunakan pengarang dalam mengacu
kepada tokoh. Misalnya, pengarang menggambarkan
kelakuan tokoh A dengan kata-kata “serigala itu
menjilati seluruh tubuh wanita itu dengan
pandangannya yang liar” maka dapat diperkirakan
bagaimana watak tokoh A itu.
b. Alur
Sudjiman (1988:29) berpendapat bahwa alur adalah urutan
peristiwa yang membangun tulang punggung cerita. Masih dalam
Sudjiman, Marjorise Boulton mengibaratkan alur sebagai rangka
dalam tubuh manusia. Tanpa rangka, tubuh tidak dapat berdiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Berikut struktur umum alur dan pengaluran dalam Sudjiman
(1988:30-36).
1. Paparan
Awal 2.Rangsangan
3.Gawatan
4.Tikaian
Tengah 5.Rumitan
6.Klimaks
7.Leraian
Akhir 8.Selesaian
Pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk
cerita. Cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan
peristiwa tertentu lainnya, tanpa terikat pada urutan waktu.
1) Paparan
Peristiwa yang mengawali cerita selalu berisi sejumlah informasi
bagi pembaca. Penyampaian informasi kepada pembaca ini disebut
paparan atau eksposisi. Paparan merupakan fungsi utama awal
suatu cerita. Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang
diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
pembaca mengikuti kisahan selanjutnya. Lain daripada itu, situasi
yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita
itu berkembang.
2) Rangsangan
Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan.
Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru
yang berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula
ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang
merusak keadaan yang semula terasa laras.
3) Gawatan
Tegangan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin
menjadi-jadi. Adanya tegangan menyebabkan pembaca terpancing
keingintahuannya akan kelanjutan cerita serta akan penyelesaian
masalah yang dihadapi tokoh; suatu keprihatinan akan nasib tokoh
selanjutnya.
4) Tikaian
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua
kekuatan yang bertentangan. Tikaian merupakan pertentangan
antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang
atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri
satu tokoh itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
5) Rumitan
Rumitan adalah perkembangan dari gejala mula tikaian menuju
klimaks cerita. Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak
kehebatannya.
6) Klimaks
Klimaks terlihat ketika rumitan mencapai puncak kehebatannya.
Menurut Sumardjo dan Saini (1985), klimaks adalah bagian alur
yang menunjukkan adanya pihak-pihak yang berlawanan atau
bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir
yang menentukan.
7) Leraian
Leraian adalah bagian struktur alur sesudah klimaks yang
menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian.
8) Selesaian
Selesaian bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi
mengandung penyelesaian masalah yang melegakan (happy
ending), boleh juga mengandung penyelesaian masalah yang
menyedihkan; misalnya si tokoh bunuh diri. Boleh jadi juga pokok
masalah tetap menggantung tanpa pemecahan, tanpa adanya
penyelesaian masalah, dalam keadaan yang penuh ketidakpastian,
ketidakjelasan, ataupun ketidakpahaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
c. Latar
Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1988:44)
berpendapat bahwa cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa
orang tokoh. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada
suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu
tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang
dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun
latar cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2012:216) latar
atau setting disebut juga sebagai landasan pada pengertian, tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan.
Hudson dalam Sudjiman (1988:44) membedakan latar atas dua
macam yaitu latar sosial dan latar fisik/ material, sedangkan
Nurgiyantoro membedakan latar dalam tiga unsur pokok yaitu tempat,
waktu, dan sosial.
1) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Menurut Sudjiman, (1988:44) Latar fisik adalah tempat
dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.
Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata
menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika
sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil,
misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca
tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar
fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini
disebut latar spiritual.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi
(2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual.
Latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu
dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau
dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual
2) Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan
dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa
sejarah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
3) Latar Sosial
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara
hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.
Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan,
daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak
semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran
sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota
kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati
pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan
sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan
pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi
(2012:218-219), Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual.
Latar tempat secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat
disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau
dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual.
d. Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar
suatu karya sastra itu. Adanya tema membuat karya sastra lebih
penting dari sekedar bacaan hiburan. (Sudjiman, 1988:50). Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2012: 68) tema merupakan
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di alam teks sebagai struktur semantik dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. Tema disaring dari
motif-motif yng terdapat dalam karya yang bersangkutan yang
menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.
2. Ekokritik
Menurut Glotfelty (1996) Ecocriticism is the study of the
relationship between literatur and the physical environment:
Ekokritisisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan
lingkungan fisik. Harsono (2008: 1) berpendapat bahwa istilah ekokritik
berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari
kata ecology dan kata criticism. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian
ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan
manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat
diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas
baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami
sebagai kritik sastra berwawasan lingkungan.
Menurut Endraswara (2016), ekokritik adalah kajian yang
menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan
populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air dan tanah di muka bumi
ini. Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik
antara karya sastra dengan lingkungan hidup termasuk hubungan dengan
realitas sosial dan fisik yang biasanya menjadi perhatian ekologi.
Ekokritik juga merupakan perspektif kajian yang berusaha
menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya
mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan
teknis, ilmiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait
dengan fenomena sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra
adalah merepresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan
dalam sastra.
Dalam bukunya yang berjudul Ekokritik Sastra, (2016)
Endraswara mengungkapkan bahwa ekokritisisme adalah kemampuan
untuk mengkritik wacana yang ada, artefak budaya, bentuk dan genre, dan
mengeksplorasi alternatif lingkungan sastra. Lingkungan yang mengitari
sastra menjadi fokus pengkajian ekokritisisme. Ada materi pokok kajian
ekokritisisme sastra, yaitu: (1) penelitian ekokritik dan pedagogi sastra
dalam kaitannya dengan lingkungan, (2) bagaimana prinsip-prinsip utama
yang seharusnya diajarkan lewat sastra terhadap lingkungan untuk
menyelamatkan bumi (Endraswara 2016: 2).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Ekokritisisme muncul dari abad ke-20 dan di awal dekade pertama
abad ke 21. Sejak saat itu di Indonesia mulai mencium aroma ekokritik
sastra. Ekokritisisme adalah salah satu dari beberapa perspektif baru teori
pemahaman sastra untuk meneliti sebuah atau sepotong sastra dengan
kriteria eko-ilmiah memang sudah saaatnya. Perspektif ekokrtik sastra
merupakan jalur alternatif studi analisis sastra dan lingkungan dari
perspektif interdisipliner. Dalam pandangan ini, semua disiplin datang
bersama-sama untuk menganalisis lingkungan dan mencari tahu
kemungkinan solusi untuk masalah lingkungan saat ini terkait dengan
sastra (Endraswara 2016: 10).
Ekokritik menggunakan teori sastra dan teori ekologi. Teori sastra
merupakan teori yang multidisiplin begitu pula teori ekologi. Dalam sudut
pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori
mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki
keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat
digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi yang
kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori universe-nya
(Endraswara 2016: 12).
Paus Paulus VI dalam Ensiklik Laudato Si’ yang diserukan Paus
Fransiskus (2016: 8) berbicara tentang masalah ekologi disebabkan akibat
tragis dari aktivitas manusia yang tidak terkendali: “Karena eksploitasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
alam yang sembarangan, manusia mengambil resiko merusak alam dan
pada giliranya menjadi korban degradasi ini”.
Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang setiap hari.
Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan,
terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini.
Orang jatuh sakit, misalnya karena terus menghirup asap bahan bakar
tingkat tinggi yang digunakan untuk memasak atau memanaskan rumah.
Adalagi polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh
transportasi, asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada
pengasaman tanah dan air (Fransiskus, 2015: 17).
Perlu dipertimbangkan pencemaran yang disebabkan limbah,
termasuk limbah berbahaya yang ada di berbagai daerah. Setiap tahun
dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak bisa diurai
oleh proses biologis: limbah domestik dan komersial, limbah
pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah
yang sangat beracun dan bersifat radioaktif (Fransiskus, 2016: 18).
Sebuah masalah yang serius adalah kualitas air yang tersedia bagi
orang miskin, yang menyebabkan banyak kematian setiap hari. Penyakit
yang berhubungan dengan air, banyak ditemukan di antara orang miskin,
termasuk yang disebabkan oleh mikro-organisme dan zat kimia. Disentri
dan kolera yang terkait dengan layanan higienis dan persediaan air yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
tidak layak dikonsumsi, adalah penyebab signifikan penderitaan dan
kematian bayi. Sumber air bawah tanah di banyak tempat terancam oleh
polusi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan, pertanian dan
industri tertentu, terutama di negara-negara di mana tidak ada peraturan
atau pengawasan yang memadai. Hal ini tidak hanya disebabkan limbah
industri. Banyak detergen dan produk kimia, yang masih lazim digunakan
oleh penduduk di banyak tempat di dunia terus mengalir ke sungai, danau
dan laut (Fransiskus, 2015: 22).
Menurunnya kualitas air juga menyebabkan kematian kegiatan
ekonomi pedagang, nelayan dan petani. Sungai yang dialiri limbah
membunuh ikan-ikan dan makhluk air lainnya. Air yang tercemar tidak
dapat membantu kelanjutan hidup tanaman, dan limbah industri
mengalirkan lumpur yang mendangkalkan sungai, menyebabkan
ketidaklancaran lalulintas air yang banyak membantu kegiatan para
pedagang.
Etika lingkungan hidup dipahami sebagai refleksi kritis tentang
apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan
moral yang terkait dengan isu lingkungan. Termasuk, apa yang harus
diputuskan manusia dalam membuat pilihan moral dalam mememuhi
kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Juga, apa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
yang harus diputuskan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan
politiknya yang berdampak pada lingkungan hidup (Keraf, 2010: 41).
Antroposentrisme adalah etika lingkungan hidup yang memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam,
baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia
dan kepentingannya Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap
alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup
manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada
diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi (Keraf, 2010: 48).
Biosentrisme menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup
mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap
serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua
makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat
pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara
moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak (Keraf,
2010: 65).
Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis
baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan
benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk
hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis (Keraf, 2010:
92).
Untuk melakukan analisis hubungan manusia dan lingkungannya
menggunakan pendekatan ekokritisisme, peneliti melakukan pemeriksaan
bahasa yang digunakan untuk menggambarkan alam, khususnya kutipan-
kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya dengan alam,
dan dengan melibatkan etika lingkungan yaitu biosentris, ekosentris dan
antroposentris, peneliti berharap dapat memaparkan hubungan antara
manusia dan lingkungannya dalam novel Jamagilak Tak Pernah Menangis
karya Martin Aleida.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab 3 ini memuat jenis penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller
(Moleong 1989:3) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia dalam kawasannya sendiri.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah.
B. Sumber Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperi dokumen dan lain-lain.
Sumber data penelitian yang dipilih oleh penulis untuk meneliti adalah novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang diterbitkan pada
tahun 2004 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan ukuran buku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
panjang 20,5cm dan lebar 13,5cm dan tebal 124 halaman. Data dari penelitian
ini berupa kalimat dan paragraf yang diambil dari kutipan novel Jamangilak
Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang menggambarkan hubungan
manusia dan lingkungannya.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan
analisis deskriptif: penelitian ini berfokus pada sumber data berupa novel
yang berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida,
khususnya kutipan-kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya
dengan alam. Studi pustaka pada novel ini dilakukan dengan membaca,
mencatat, dan memberikan tanda pada kejadian atau tingkah laku Molek yang
berkaitan dengan interaksinya dengan alam menggunakan pedekatan
ekokritik.
D. Instrumen Penelitian
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, ia
sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis,
penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya.
Peneliti adalah instrumen penelitian ini sendiri. Penulis berhubungan langsung
dengan semua proses dalam melakukan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
E. Teknik Analisis Data
Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitik yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis
(Ratna, 2013:53). Dalam penelitian ini, penulis menguraikan novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, dengan
mengumpulkan data-data yang sudah diberi tanda, kemudian diuraikan
secara tepat melalui kajian struktural yaitu analisis tokoh, latar, alur, dan
tema serta analisis ekokritik dalam novel, sehingga rumusan masalah
dapat terjawab dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Dalam bab ini peneliti menganalisis empat unsur intrinsik yaitu tokoh
dan penokohan, alur, latar, dan tema dalam novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida. Peneliti menganalisis tokoh dan penokohan
untuk menemukan tokoh sebagai manusia yang memiliki hubungan dengan
lingkungan. Selanjutnya peneliti menganalisis latar yang membentuk
hubungan antara manusia dan lingkungan. Latar yang dianalisis adalah latar
latar sosial dan fisik. Setelah itu peneliti menganalisis alur dan tema dari
novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.
Setelah menganalis unsur intrinsik dalam novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis karya Martin Aleida, peneliti mendeskripsikan hasil
analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya
Martin Aleida untuk memaparkan hubungan manusia dan lingkungan dalam
novel tersebut.
B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
Sebuah karya sastra merupakan suatu bentuk gambaran yang konkret
dari pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan. Dalam
novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, terdapat empat unsur yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
memberikan gambaran konkret. Keempat unsur tersebut adalah tokoh dan
penokohan, alur, latar dan tema.
1. Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman (1988:16) yang dimaksud dengan tokoh ialah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia,
tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165), tokoh
cerita (character) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan fungsi tokoh
dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan dalam
Sudjiman, (1988:17-20).
Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan
(1988:23), tokoh-tokoh itu merupakan rekaan pengarang, maka hanya
pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu
digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya
juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas
tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh
lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut
sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
tokoh karena sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166).
Tokoh yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida adalah Molek Saragi, Jabosi, Hurlang
Jamangilak, Jumontam, Jamangilak, Sibarani, Ali Badak, laki-laki di
rumah Bupati, laki-laki di kantor Bupati, sekretaris Bupati, pejabat di
kantor Dewan Perwakilan Rakyat, interogator, Asmu, Lebi, Kristin, Emi
Binti Madali, Pastor, Pastor Hilarius, pengayuh sampan, penduduk tepi
sungai, penduduk wilayah hutan, perempuan Siraituruk, Boru Sirait. Akan
tetapi, dalam penelitian ini peneliti perlu melakukan pembatasan terhadap
tokoh-tokoh yang dibahas agar analisis menjadi lebih fokus. Berikut ini
tokoh-tokoh yang akan dibahas.
a. Molek Saragi memiliki sifat pantang menyerah dan peka terhadap
lingkungan. Keadaan sungai yang mengancam lingkungan hidup
membuat dia bertekad untuk melakukan usaha penyelamatan.
Berbagai langkah ditempuhnya. Dia sendiri mengadu pada
pemerintah, hingga mengadakan rapat besar, serta demonstrasi di
kecamatan. Berikut ini bukti dari Molek yang bersikap pantang
menyerah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
1) Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan
perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia
merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan
sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).
Berikut ini bukti dari sikap Molek yang peka terhadap lingkungan.
2) Rupanya kepergian suaminya tidak memberati hati. Hanya pasir,
lumpur dan entah apalagi, yang membikin dangkal sungai, yang
menyesakkan benaknya, yang terus menerus datang mendera
pikirannya (Aleida, 2004:29).
b. Hurlang Jamangilak bersifat pantang menyerah. Setelah membantu
Molek, ibunya untuk mengumpulkan masyarakat dalam rapat besar di
Lapangan Padang Bundar, Hurlang disiksa aparat keamanan, dan
hampir dibunuh ibunya karena melakukan dosa besar yang
diharamkan keluarga, namun, Hurlang tetap berkemauan mendukung
usaha ibunya menyelamatkan sungai yang sekarat. Dia hadir dalam
demonstrasi di Porsea. Berikut ini adalah bukti dari sikap pantang
menyerah Hurlang.
3) Dengan langkah yang diseret, dia tinggalkan tempat di mana dia
akan dibakar hidup-hidup menuju kolam yang dibangun kakek-
buyutnya, Jamangilak, yang entah sudah berapa dasawarsa
ditinggalkan (Aleida, 2004: 174).
4) Molek setengah menjerit begitu matanya tertumbuk pada mata
yang sekelebat dilihatnya persis Hurlang, anaknya yang menurut
pikirannya sudah tewas terbakar (Aleida, 2004: 219).
c. Jabosi adalah orang yang mudah putus asa. Keadaan sungai yang tidak
bisa diandalkan membuat Jabosi putus asa. Dia tidak percaya bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
sungai dapat diselamatkan dengan perjuangan manusia. Berikut ini
bukti dari sikap Jabosi yang putus asa karena keadaan sungai yang
rusak.
5) Jabosi menimpali, “Kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan
bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun
ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu
untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah
saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti
yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia-sia…” (Aleida 2004:18).
d. Jamangilak merupakan tokoh yang gigih, pandai, dan pantang
menyerah. Kakek Jabosi ini meninggalkan teladan baik yang amat
kuat bagi keturunannya. Ketegarannya menyeberangi punggung Pulau
Sumatera memberi pelajaran pada Molek untuk tidak mudah berputus
asa. Kepandaiannya dalam mengolah hasil alam menurun pada anak
dan cucunya. Berikut ini bukti dari karakter Jamangilak.
6) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat
bagaimana memetik buah kelapa dengan aman.
Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk
bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan
lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar
mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir,
limbat (Aleida 2004:11).
7) … Jamangilak, Tak pernah menangis dalam hidupnya,
mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak
ini menuju tepian Selat Malaka.” (Aleida, 2004: 236).
e. Pihak pabrik merupakan tokoh yang digambarkan acuh tak acuh. Sejak
berdirinya, pabrik Rayon i Toba telah ditolak oleh masyarakat karena
limbah yang mencemari dan pohon-pohon aneh sebagai bahan baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
pabrik itu merusak tanah, air, dan tumbuhan lain, namun pabrik itu
masih kokoh berdiri dan membuang limbah ke sungai. Berikut ini
bukti dari sikap pihak pabrik yang acuh tak acuh terhadap masalah
yang sedang terjadi.
8) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i
Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan
(Aleida, 2004: 234).
f. Pemerintah bersifat tidak peka terhadap lingkungan. Selama dua puluh
tahun masyarakat melakukan penolakan, selama itu juga pemerintah
tetap melindungi pabrik yang merusak kehidupan makhluk hidup itu.
Berikut ini bukti dari pemerintah yang bersifat tidak peka terhadap
lingkungan.
9) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i
Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan
(Aleida, 2004: 234).
10) … Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap
perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu
kekuasaan (Aleida, 2004: 195).
g. Aparat keamanan memiliki sifat yang kejam. Aksi protes masyarakat
terhadap pabrik Rayon i Toba ditanggapi dengan kekerasan yang
berakhir penderitaan dan kematian bagi masyarakat.
11) “Baik, kalau lu hanya mau bicara kalo di-strum, ditenggelamkan
ke dalam sumur. Dan mulutmu dijejali sambal merah, maka saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
kan melakukannya. Akan ku matikan kepekaan dengan sebotol ciu,
dan koé takkan bisa sembunyi (Aleida, 2004: 104).
12) Dan, acapkali, perlawanan damai itu dihadapi pasukan keamanan
dengan kekerasan, dengan tembakan peringatan ataupun letusan
peluru yang langsung diarahkan kepada massa, membuat peristiwa
itu menjadi peistiwa yang penuh luka dan malahan membawa
kematian (Aleida, 2004:194).
h. Peserta Rapat di Padang Bundar adalah tokoh yang diceritakan
mendukung usaha Molek menyelamatkan lingkungan yang terancam
rusak.
13) Orang itu berkata: “Kami tak punya apa-apa. Cuma inilah yang
bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih untuk apa yang kau
lakukan untuk sungai kita. Sungai diraja. Terimalah pemberian
kami ini,” katanya sambil menyerahkan selempit tikar pandan
sebagai tanda penyerahan diri pada rencana baik yang telah
diuraikan Molek (Aleida, 2004:100).
i. Penduduk Porsea adalah tokoh yang juga berusaha menyelamatkan
lingkungan hidup. Bertahun-tahun mereka berjuang menuntut agar
pabrik bubur kayu yang mencemari sungai dan danau ditutup.
14) Perlawanan terhadap keberadaan pabrik itu berpusat di simpang
tiga, Simpang Sigura-gura, di Siraituruk, tempat pertemuan jalan
raya yang menghubungkan Porsea dengan kota-kota kecil yang
menetek di tepi Danau Toba. Hampir saban hari berlangsung
barbagai macam perlawanan terhadap Rayon i Toba di sini, mulai
dari ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di tepi jalan… (Aleida,
2004:193).
j. Pastor adalah tokoh yang melindungi masyarakat dari tindak
kekerasan aparat keamanan ketika melakukan aksi protes.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
15) Ada tiga orang pastor yang mengenakan juba berat, seperti mau
menyapu tanah, berwarnah coklat tua, yang terus mondar-mandir
mengawasi keadaan. Ini pula dalam sejarah perlawanan di tanah
batak yang Protestan (Aleida, 2004: 214).
k. Provokator adalah perusuh yang menyebabkan kekacauan dalam
demonstrasi yang direncanakan berjalan damai dalam rangka menuntut
agar pemerintah menutup pabrik Rayon i Toba.
16) Sekelebat dari arah massa yang panik terlihat ada tangan dari satu-
dua orang yang berdiri dengan kokoh, lain dari pada yang lain,
denga terburu-buru, tetapi dengan arah lemparan yang terukur,
melayang batu bata yang menghantam dinding dan kaca-kaca
jendela kecamatan (Aleida, 2004: 28).
Pada umumnya tokoh dibedakan menjadi dua jenis yaitu tokoh sentral dan
tokoh bawahan, (Sudjiman, 1988: 17)
a. Tokoh Sentral
(1) Protagonis
Protagonis mewakili yang baik dan yang terpuji, karena itu
biasanya menarik simpati pembaca. Dalam fungsinya sebagai sumber
nilai, cerita rakyat selalu memenangkan protagonis yang menjadi
tokoh teladan itu (Sudjiman, 1988). Dalam novel Jamangilak Tak
pernah Menangis, digambarkan seorang tokoh utama atau protagonis
bernama Molek. Molek merupakan seorang perempuan yang gelisah
melihat kotanya yang sudah mati dan terancam tenggelam karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
dasar sungai yang tercemar dan tertimbun lumpur limbah perusahaan
bubur kayu di hulu sungai.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama
adalah intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa yang
membangun cerita, intensitas hubungannya dengan tokoh-tokoh yang
lain, terlibat dalam tema, konflik, dan klimaks cerita, serta
digambarkan sebagai pemenang dalam cerita.
Berikut adalah kutipan yang menunjukkan Molek sebagai
tokoh protagonis dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis.
Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki intensitas
keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita dengan
teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada
peristiwa pertama dalam cerita yaitu tingkah lakunya yang
menggambarkan bentuk protesnya terhadap keadaan sungai.
17) Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-
pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak
di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-
pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida
2004: 1).
18) Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai.
berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau
menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula
ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus,
seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang-
layang mandi, yang berkejaran di udara (Aleida, 2004: 3).
Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di
mana ia mulai mengubah bentuk protesnya dengan mengadu kepada
pemerintah.
19) “Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat untuk
menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya
memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah
kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi
kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga
mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?”
Molek meningkahi (Aleida, 2004:19).
20) “Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir
pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan
tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.”
(Aleida, 2004:33).
21) “Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini, kecil
maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke mana
saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk
sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah
Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).
22) Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan
perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia
merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan
sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).
Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di
mana ia pertama kali menghimpun aspirasi masyarakat yang terkena
dampak kerusakan sungai, untuk melakukan protes terhadap
pemerintah sebagai pengelola pajak rakyat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
23) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
24) Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air
sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia
dirayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia
pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka.
Sudah berada di bendul kebinasaan disebabkan oleh keserakahan
yang dipicu oleh kehendak mengejar kemakmuran sesaat bagi
segelintir pemodal dengan mengorbankan anak-anak dan mereka
yang sedang beranjak dewasa, dari siapa manusia zaman sekarang
telah meminjam planet yang fana ini (Aleida, 2004:95).
Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di
mana ia kedua kalinya melakukan protes terhadap pemerintah untuk
menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar kerusakan sungai.
25) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang
berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh
desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju
Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi
menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup. Mereka bergerak
dari Lumban Huala, Lumba Lobu, Naga Mosik, Sihiong,
Silamosik, Siruar, Sosor Dolok, dan dua puluh desa lainnya yang
selama dua puluh tahun belakangan ini sengsara melihat pucuk
padi, kelapa dan singkong mereka memerah dan layu, serta kerbau,
babi dan ikan emas mereka mati mendadak seperti disantet setan.
Atau kena ardom, racun, dari neraka. Saban hari, angin
mengantarkan bau busuk yang tak terkira (Aleida, 2004: 211).
Kutipan berikut adalah bukti keterlibatan Molek pada peristiwa di
akhir cerita, di mana ia dipenjarakan karena melakukan protes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang
menjadi akar permasalahan kerusakan sungai.
26) Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa.
Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-
sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut
penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan
dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida, 2004:234).
27) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda
perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang
perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim
di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah
menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam
tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak
memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam
pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).
Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki hubungan
dengan tokoh-tokoh lain menggunakan teknik dramatik. Kutipan
berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Hurlang putranya.
28) Molek menuntun tangan anaknya itu. ketika mereka sama beranjak
masuk, hatinya membusung berbunga-bunga. Karena pada langkah
kaki anaknya itu tertumpang harapannya yang besar. Sangat besar.
Dalam upaya menyelamatkan kota yang terancam karam. Hurlang
tentulah akan bisa memberikan pandangan atau nasihat tentang apa
yang harus dilakukan (Aleida, 2004:40).
29) Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan
orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak-
beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau
dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh,
Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang
disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung
yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai, semisal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Sabang Kiri, Si Jambi, Sungai Lendir, Sungai Lebah, Sarang
Elang, dan bahkan Nantalu yang jauhnya hampir seratus
kilometer… (Aleida, 2004:85).
30) Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu
musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang
mereka rencanakan berdua (Aleida, 85).
31) Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah
anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di
belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun. (Aleida,
2004:234).
32) Sekali lagi perempuan kita itu merangkul terhukum yang bernama
Hurlang. Ketika dekapan berurai, Molek sempat menunduk, dan
ketika matanya kembali tertumbuk pada mata anaknya itu, terasa
ada air yang agak hangat mendorong dari balik bola matanya dan
tubuhnya sedikit bergetar dijalari darah yang mengalir lebih
hangat, lebih kencang (Aleida, 2004:236).
33) Hurlang memegang bahu ibunya dan katanya perlahan seakan
berbisik: “Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka.
Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak,
tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan
berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian
Selat Malaka. (Aleida, 2004:236).
Jabosi adalah suami Molek, yang setiap hari menjadi saksi istrinya
memunguti pasir dari tengah sungai dan melemparnya ke tepi. Suatu
hari Jabosi berniat mencari peruntungan di tempat lain, karena sungai
yang dulu menjadi andalannya tidak lagi dapat menolong
pekerjaannya sebagai pedagang. Kutipan berikut adalah bukti
hubungan Molek dengan Jabosi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
34) Mengapa suaminya itu yang diberi nama Jabosi, yang bermakna
kuat seperti besi tak kuat memanggul namanya sendiri? Menjadi
tanah liat yang lembek (Aleida 2004:17-18).
35) Merasa kena sindir, Jabosi menimpali, “kan sudah berkali-kali
kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat
sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang
diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai
seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita.
Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan
sia-sia…” (Aleida 2004:18).
36) Jabosi, suami Molek menjadi pemikat dalam membujuk dukungan.
Nama itu masih dikenal orang sebagai warga kota yang pantas jadi
teladan yang memulai usahanya dari seorang penjual minyak
kelapa dari kampung, kemudian menjadi pengusaha besar, yang
bisa bersaing dengan para pedagang Tionghoa yang piawai. Hanya
sungai yang mendangkal dan suasana politik yang berbau amis
yang telah menghambat kemajuannya (Aleida 2004:84).
37) Sementara itu, di perantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar
mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang
dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang
ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan
padanya (Aleida 2004:237).
Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan masyarakat
yang terkena dampak dari rusaknya sungai.
38) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
39) Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air
sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia di
rayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia
pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka
(Aleida, 2004:95).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan penjaga rumah
Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan
sungai yang rusak.
40) “Saya mau bertemu dengan Bupati,” ucapnya tegas kepada
seseorang yang muncul menyambut ketukannya di pintu rumah
besar yang dia intai kemarin.
“Keperluan?”
“Saya mau mempertanyakan kemana pajak yang kami bayarkan
selama puluhan tahun,” cepat dia menyambut.
Laki-laki yang tegak di depannya itu tersentak, dan menjawab
sekenanya, “itu urusan kantor. Silahkan ke kantor saja. Bapak ada
di kabupaten.” (Aleida, 2004: 32).
Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan sekretaris
Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan
sungai yang rusak.
41) Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek mengulangi
lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil dari kota
kecil itu.
“Apa maksud ibu dengan mempermasalahkan pajak?”
“Berpuluh tahun suami saya dan para pedagang di kota ini, kecil
maupun besar menyerahkan pajak kepada pemerintah. Ke mana
saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk
sungai? Kalau kota ini mati, dan orang-orang semua pergi, apakah
Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?!” (Aleida 2004:33).
Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan aparat
keamanan, ketika diinterogasi karena melaksanakan rapat di Padang
Bundar untuk melakukan protes terhadap pemerintah atas
terbengkalainya sungai yang mendangkal dan tercemar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
42) Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin
buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah
mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika
anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini
juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga. Masalahnya, dia
menjual barang dagangan dengan harga di atas ketentuan. Dia
ditangkap kawanmu, ya, orang seperti kau inilah. Aku sempat
mendekam di kamar rombeng yang dulu terletak di sini. Tapi
ketahuilah, waktu itu kami dengan mudahnya bebas setelah
suamiku menyogok. Masalahnya waktu itu adalah pelanggaran
ketentuan harga. Sekarang, kesalahan apa yang telah kami
lakukan? Mencuri? Merusak? Tau kau, tak sejumput tanah pun
yang terkelupas di Padang Bundar. Tak sehelai daunpun yang kan
mati selamanya. Apakah kami tak punya hak bersuara untuk
menyelamatkan sungai yang mengancam kami, mengancam kau
juga?!” (Aleida, 2004:109).
Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam tema,
menggunakan teknik dramatik. Novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis mengangkat tema penyelamatan lingkungan hidup dari
kerusakan. Kutipan berikut adalah bukti bahwa Molek terlibat dalam
tema.
43) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda
perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang
perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim
di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah
menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam
tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak
memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam
pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238).
44) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam konflik,
menggunakan teknik dramatik. Konflik diawali dengan Molek dan
Hurlang yang diinterogasi oleh petugas keamanan karena dicurigai
menghasut penduduk, diperintah oleh orang lain untuk melakukan
kekacauan, dan melakukan pemufakatan jahat dengan Gerwani dan
beberapa sanak keluarga dari tahanan politik tahun 1965 yang sudah
meninggal. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan di atas.
45) “Koé jangan macam-macam, ya! Dipanggil lu sudah bagus.
Tukang hasut minta penghormatan segala lagi! Hah… lekaslah,
kasi tau siapa yang memerintahkan lu datang ke sini?”
“Mak lu sendiri bilang, kota ini sudah mati. Mampus. Di pusat, di
Jakarta, hidup lebih enak. Lantas kalau bukan membawa perintah
untuk mengacau, tak mungkin lu datang kemari.” (Aleida,
2004:103).
46) ”Lu mau ngaku atau nggak? Lu datang dan berdiskusi mengenai
rencana rapat umum di Padang Bundar itu dengan Idham
Margolang, Tiar Eden, Kaman Rahman, kutu-kutu yang
semestinya ikut mampus tahun 1965-66. Kami sudah tau semua
tentang permufakatan jahatmu.” (Aleida, 2004:104).
47) Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap dan
kata-kata kasar yang dilontarkan interrogator yang duduk
ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap
rokok sesukanya (Aleida, 2004:106).
48) “Ya, kami tahu, kami juga menyaksikan ibu sendiri yang
melempar-lemparkan pasir ke tepi sungai. tapi, menyelenggarakan
rapat raksasa seperti itu, mana mungkin ibu lakukan seorang diri.
Hatta dengan bantuan anak ibu sekalipun.” Interrogator itu diam
sejenak untuk kemudian melanjutkan, “Kami tahu ada orang-orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Gerwani yang masih hidup. Yang bernasib baik, yang luput dari
penghakiman rakyat. Ibu, katakanlah sejujurnya, siapa saja yang
membantu.” (Aleida, 2004:106).
49) Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin
buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah
mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika
anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini
juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga… (Aleida, 2004:109).
Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam klimaks,
menggunakan teknik dramatik. Klimaks terjadi ketika Molek kembali
tampil berpidato di depan masyarakat yang terkena dampak dari
limbah pabrik yang berdiri di hulu sungai. Setelah berpidato, Molek
memimpin massa untuk menyampaikan aspirasi pada pemerintah,
supaya pabrik yang menjadi akar masalah kerusakan sungai segera
ditutup.
50) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang
berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh
desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju
Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi
menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup (Aleida, 2004: 211).
51) “Karena sungai mendangkal, kota menjadi mati, suami saya
meninggalkan saya karena tak percaya bahwa kemauan yang baik
pasti bisa mengatasi beting-beting yang dengan ganas memakani
alur sungai. Dia memang tak salah. Saya coba menahannya,
mengajaknya mengikuti cara saya sendiri dengan mengangkuti
pasir dari dasar sungai dengan tangan. Tapi, sungai yang sepanjang
dan selebar itu mana mungkin diselamatkan hanya dengan tangan
telanjang… (Aleida 2004:218).
52) Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan
dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya
dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor
pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya (Aleida,
2004:227).
53) ….Berikan kami hak bertanya, ada apa sebenarnya di belakang
Rayon i Toba, sehingga dia dibiarkan terus mencemari lingkungan
kami, mengancam jiwa anak-anak kami,”sambungnya lagi di
depan hidung polisi yang tetap diam melongo (Aleida, 2004:228).
Kriteria tokoh utama yang lain adalah dilahirkan sebagai pemenang
dalam cerita. Kemenangan Molek digambarkan dengan
keberhasilannya menyadarkan masyarakat bahwa kerusakan sungai
hanya bisa diatasi dengan berjuang. Molek dan Hurlang berhasil
mengumpulkan masyarakat yang terkena dampak kerusakan sungai
untuk melakukan rapat besar membahas usaha menyelamatkan sungai,
dan melakukan aksi protes agar pabrik bubur kayu yang menjadi akar
permasalahan segera ditutup. Berikut kutipan yang membuktikan
pernyataan di atas.
54) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
55) …. ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus
menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan
meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan
bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat
yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk
(Aleida, 2004:238).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
(2) Antagonis
Tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis
disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral.
Dalam karya sastra tradisional seperti cerita rakyat, biasanya
pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali, (Sudjiman,
1988). Pihak pabrik Rayon i Toba, sumber masalah kerusakan sungai
dan lingkungan digambarkan pengarang sebagai tokoh antagonis yang
tidak terlihat. Pihak pabrik bersikap acuh tak acuh pada keadaan
sungai yang merana karena limbah pabrik dibuang ke sungai. Selama
dua puluh tahun berdiri, selama itu juga masyarakat berteriak-teriak
agar pabrik yang membawa masalah bagi kehidupan makhluk hidup
itu ditutup, namun, tidak membawa hasil. Pabrik itu tetap berdiri, dan
terus membuang limbah ke sungai. Berikut adalah kutipan yang
menunjukkan pabrik Rayon i Toba sebagai tokoh antagonis dalam
cerita.
56) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i
Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan
(Aleida, 2004: 234).
57) … begitu derasnya pasir meluru dari hulu, hendak membikin
tumpat sungai yang menghidupi itu dalam itungan beberpa
purnama saja (Aleida, 2004:3).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
(3) Wirawan/wirawati
Wirawan pada umumnya punya keagungan pikiran dan
keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang
mulia. Tokoh wirawan yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis adalah Hurlang, Jabosi, Jamangilak, peserta rapat di
Lapangan Padang Bundar, penduduk Porsea dan Pastor.
a) Hurlang
Hurlang adalah anak bungsu Molek dan Jabosi. Setelah
pergi bertahun-tahun meninggalkan keluarganya, Hurlang
kembali ke tepi Sungai Asahan dan membantu ibunya
menyelamatkan kota yang hampir karam karena sungai yang
mendangkal. Hurlang lahir di tepi sungai asahan. Dalam masa
pertumbuhannnya ia pernah merasakan kebaikan sungai
Asahan. Pengarang menggambarkan Hurlang dengan teknik
dramatik. Berikut buktinya dalam kutipan.
58) Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu
musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang
mereka rencanakan berdua. Karena kalau wilayah hutan itu tandus,
maka air akan dengan leluasa menggenangi tanah-tanah yang luas
membentang sampai ketepi Selat Malaka (Aleida,2004: 85).
59) Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan
orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak-
beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau
dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang
disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung
yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai (Aleida,
2004: 85).
b) Jabosi
Jabosi adalah suami Molek. Seorang pedang minyak
kelapa dari kampung yang kemudian menjadi pedagang sukses
selama berpuluh-puluh tahun, dan mampu bersaing dengan
pedagang Tionghoa. Karena sungai yang mendangkal, kegiatan
perdagangan menjadi mati. Karena merasa tidak ada yang
mampu menyelamatkan sungai yang menjadi andalan kegiatan
dagangnya, Jabosi memilih pergi dari tepi Sungai Asahan dan
meninggalkan Molek sendiri untuk mencari peruntungan di
tempat lain. Setelah kepergiannya, Molek dijatuhi hukuman
penjara karena berusaha menyelamatkan sungai. Kabar itu
sampai ke telinga Jabosi. Dia kembali dan menunggu Molek
bebas dan berjanji akan berjuang bersama menyelamatkan
sungai. Pengarang menggambarkan Jabosi dengan teknik
dramatik. Berikut ini adalah bukti dalam bentuk kutipan:
60) Sementara itu, diperantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar
mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang
dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang
ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan
padanya (Aleida 2004:237).
61) “Aku menunggumu. Sudah kuputuskan untuk pulang. Aku akan
menjaga rumah. Dan kalau kau sudah pulang nanti, aku akan ikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Bertiga kita akan lebih berhasil, apalagi dengan dukungan ribuan
orang,” kata Jabosi (Aleida 2004:237).
c) Jamangilak
Jamangilak adalah kakek dari Jabosi, suami Molek. Jamangilak
adalah perantauan dari selatan Danau Toba ke pesisir Selat
Malaka. Dia adalah sosok petani yang mengajarkan pada
masyarakat tepi Sungai Asahan, bagaimana bertani dan
bagaimana mengelola sumber daya sungai dengan baik.
Pengarang menggambarkan Jamangilak dengan teknik
diskursif.
62) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat
bagaimana memetik buah kelapa dengan aman. Jamangilak juga
yang memperkenalkan kepada penduduk bagaimana membuka
lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan lele yang di daerah
ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar mewakili bentuk
fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir, limbat (Aleida,
2004:11).
63) … Jamangilak, Tak pernah menangis dalam hidupnya,
mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak
ini menuju tepian Selat Malaka.” (Aleida, 2004: 236).
d) Peserta rapat di Lapangan Padang Bundar
Peserta rapat di Padang Bundar adalah masyarakat yang
berhasil dihimpun oleh Molek dan Hurlang untuk
membicarakan usaha menyelamatkan sungai yang bertahun-
tahun tidak lagi mampu menghidupi manusia dan makhluk
hidup lain. Mereka mendukung usaha Molek dengan hadir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
dalam rapat dan membawa buah tangan untuk Molek. Berikut
kutipan yang membuktikan pernyataan di atas.
64) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
65) “… Katakan yang ingin kau katakan, Kami akan mengikutimu
Molek…” Suara itu, kata-kata pujian itu, membahana dari pojok-
pojok lapangan, menyusul salam yang dilafalkan pembicara di
podium itu (Aleida, 2004:94).
66) Orang itu berkata: “Kami tak punya apa-apa. Cuma inilah yang
bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih untuk apa yang kau
lakukan untuk sungai kita. Sungai diraja. Terimalah pemberian
kami ini,” katanya sambil menyerahkan selempit tikar pandan
sebagai tanda penyerahan diri pada rencana baik yang telah
diuraikan Molek (Aleida, 2004:100).
e) Penduduk Porsea
Kabar tentang rapat besar yang diadakan Molek di Padang
Bundar tersiar hingga ke luar daerah, hingga ke tepi Danau
Toba. Masyarakat tepi danau itu menemui Molek dan
memintanya membantu usaha mereka menutup pabrik yang
telah menghancur kehidupan di sana dan juga kehidupan
sungai yang sedang diperjuangkan keselamatannya oleh
Molek. Molek pun berangkat ke Porsea untuk berjuang
bersama penduduk Porsea dalam rangka menyelamatkan
sungai. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan diatas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
67) … Utusan dari masyarakat di tepi Danau Toba telah datang
menemui Molek dan memohon pada perempuan kita itu supaya
berkenan diundang untuk datang ke daerah mereka dan membantu
perjuangan menutup pabrik yang telah menghancurkan kehidupan
di sana (Aleida, 2004: 179).
68) Kemarin, sesampainya di Siraituruk, Molek di tempatkan di rumah
seorang petani paling makmur. Perempuan-perempuan desa,
terutama mereka yang aktif dalam gerakan menuntut penutupan
pabrik pulp, atau pabrik bubur kayu, itu menemaninya menjelang
tidur sambil martarombo (Aleida, 2004: 186).
69) Percakapan berlanjut sampai menjelang dini hari. Dari perempuan-
perempua itu, Molek mengetahui bagaimana pabrik bubur kayu
Rayon i Toba, yang berdiri pada tahun 1986, telah membawa
kesengsaraan, merusak Danau Toba dan lingkungan sekitarnya
(Aleida, 2004: 187).
70) … Penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan
laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea,
berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekin kalinya
berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup
(Aleida, 2004: 211).
f) Pastor
Demostrasi di Porsea dengan tuntutan agar pabrik Rayon i
Toba ditutup, diikuti oleh tiga orang pastor. Mereka menjadi
pelindung jika ada peserta demonstran yang menjadi korban
kekerasan. Namun, di akhir kegiatan demonstrasi, tiga pastor
itu terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui. Berikut ini
kutipan yang membuktikan pernyataan di atas.
71) Ada tiga orang pastor yang mengenakan juba berat, seperti mau
menyapu tanah, berwarnah coklat tua, yang terus mondar-mandir
mangawasi keadaan. Ini pula dalam sejarah perlawanan di tanah
batak yang Protestan (Aleida, 2004: 214).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
72) Anjing-anjing itu merubung berkelompok. Di sisi mereka terbujur
tiga sosok manusia yang masih mengenakan pakaian kebesaran
duniawi mereka, jubah yang berwarna cokelat tua. Bdan mereka
dibiarkan menengkurap mencium aspal, sehingga Rosario meraka
yang terbuat dari perak tertindih di bawah dada mereka, tak
tampak (Aleida, 2004: 231).
(4) Antiwirawan/antiwirawati
Antiwirawan adalah tokoh yang tidak memiliki nilai-nilai
tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh kegagalan. Tokoh
antiwirawan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
adalah pemerintah, interogator, provokator dan aparat keamanan.
Tokoh-tokoh ini tidak memiliki keagungan pikiran dan keluhuran
budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia.
Pemerintah acuh terhadap keadaan sungai yang tidak tertolong.
Para aparat keamanan yang juga merupakan interogator diceritakan
bertindak kasar dan kejam, provokator menimbulkan kekacauan
dalam aksi damai yang dilakukan oleh Molek dan penduduk yang
lain. Berikut kutipan yang membuktikan pernyataan di atas:
a. Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dewan Parwakilan
Rakyat, bersikap acuh terhadap aduan masyarakat mengenai
keadaan sungai yang mengancam lingkungan hidup. Sejak
berdirinya pabrik yang mencemari sungai itu, masyarakat telah
berulang kali menolak, namun pemerintah seolah diam saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
73) Benar-benar suntuk pikirannya mempertanyakan bagaimana
mungkin Dewan yang dipilih rakyat itu begitu mempersulit
keinginan seorang warga masyarakat yang ingin mengadukan
nasib (Aleida, 2004: 34).
74) … Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap
perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu
kekuasaan (Aleida, 2004: 195).
b. Aparat Keamanan
Para aparat keamanan yang juga merupakan interogator
diceritakan bertindak kasar dan kejam. Setelah melakukan
rapat besar di Padang Bundar, Hurlang dan Molek di interogasi
secara kasar, Hurlang ditahan dan disiksa. Usaha protes
masyarakat terhadap pabrik yang mencemari sungai,
ditanggapi aparat keamanan dengan kekerasan. Kutipan berikut
merupakan bukti dari pernyataan di atas.
75) “Baik, kalau lu hanya mau bicara kalo di-strum, ditenggelamkan
ke dalam sumur. Dan mulutmu dijejali sambal merah, maka saya
kan melakukannya. Akan ku matikan kepekaan dengan sebotol ciu,
dan koé takkan bisa sembunyi (Aleida, 2004: 104).
76) Di seberang meja, duduk interogator dengan kaki yang dijulurkan
nyaris meyenggol kaki perempuan yang ingin dilumpuhkan. Asap
rokok seenaknya disemburkan tak peduli apakah Molek terganggu
atau tidak oleh nikotin bercampur bau busuk yang dihantarkan uap
mulutnya (Aleida, 2004: 105).
77) “Mereka tahu, kalau tali manila kurang menyiksa. Mereka gunakan
ekor pari yang dikeringkan. Kalau ekor pari itu kebetuan lengket
tertancap, mereka masukkan pula arus listrik ke cambuk itu
(Aleida, 2004:117).
78) Dan, acapkali, perlawanan damai itu dihadapi pasukan keamanan
dengan kekerasan, dengan tembakan peringatan ataupun letusan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
peluru yang langsung diarahkan kepada massa, membuat peristiwa
itu menjadi peristiwa yang penuh luka dan malahan membawa
kematian (Aleida, 2004:194).
c. Provokator
Demonstrasi yang direncakan akan berjalan damai dikacaukan
oleh provokator yang menyusup dalam barisan demonstran.
Aksi mereka menyebabkan beberapa peserta demonstrasi
tertangkap dengan tuduhan menyerang dan merusak kantor
kecamatan. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan di
atas.
79) Sekelebat dari arah massa yang panik terlihat ada tangan dari satu-
dua orang yang berdiri dengan kokoh, lain dari pada yang lain,
dengan terburu-buru, tetapi dengan arah lemparan yang terukur,
melayang batu bata yang menghantam dinding dan kaca-kaca
jendela kecamatan (Aleida, 2004: 28).
80) Menjelang senja itu, kaum perusuh yang menyusup masuk ke
dalam barisan demonstran meyaksikan hasil dari kemauan jahat
mereka. Molek dan tiga puluh perempuan yang menemaninya
ditangkap, berikut belasan pelajar dan sejumlah lelaki yang
terkepung tak bisa melepaskan diri dari jebakan polisi (Aleida,
2004: 229).
b. Tokoh Bawahan
Menurut Grimes dalam Sudjiman (1988: 19) yang dimaksud
dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya
di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk
menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh bawahan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
sebenarnya sulit disebut tokoh karena ia boleh dikatakan tidak
memegang peranan di dalam cerita. Tohoh bawahan dalam novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah Sibarani, Ali Badak, laki-
laki di rumah Bupati, laki-laki di kantor Bupati, sekretaris Bupati,
pejabat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Asmu, Lebi, Kristin, Emi
Binti Madali, pengayuh sampan, penduduk tepi sungai, penduduk
wilayah hutan, perempuan Siraituruk, Boru Sirait.
2. Alur
Sudjiman (1988:29) berpendapat bahwa alur adalah urutan peristiwa yang
membangun tulang punggung cerita. Alur yang terdapat dalam novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis terdiri atas paparan, rangsangan,
gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian.
a. Paparan
Tahap paparan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
diawali dengan memaparkan kebiasaan aneh Molek yang tegak
memaku di tengah sungai, hampir setiap hari, sejak subuh. Kebiasaan
aneh itu sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan sungai yang tidak
lagi dapat membantu perekonomian masyarakat, tidak lagi menjadi
tempat hidup makhluk yang lain, dan tidak lagi seperti berpuluh-puluh
tahun yang lalu ketika mertuanya Jumontam dan kakek-buyut
mertuanya, Jamangilak tiba di kota itu. Kisah Jumontam dan kisah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Jamangilak yang tak putus asa menyeberangi punggung Pulau
Sumatera itu dihadirkan oleh pengarang sebagai sorot balik.
Suatu hari, suaminya, Jabosi memutuskan pergi dari kota itu
karena keadaan sungai sudah tidak mendukung usahanya sebagai
pedagang. Tahap paparan diakhiri dengan sorot balik yang
mengisahkan ingatan Molek tentang keaadan politik puluhan tahun
yang lalu, ketika pecah revolusi sosial di Sumatera Timur, di mana
ikan di sungai tidak dapat dikonsumsi karena banyaknya jenasah
korban sembelih, dan pancung yang dibuang di sungai dan menjadi
makanan ikan.
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan kebiasaan aneh
Molek sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan sungai yang tidak
lagi dapat membantu perekonomian masyarakat dan tidak lagi menjadi
tempat hidup makhluk yang lain.
81) Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-
pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak
di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-
pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida
2004: 1).
82) Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai.
berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau
menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula
ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus,
seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas.
Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang-
layang mandi, yang berkejaran di udara (Aleida 2004: 3).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
83) Sebentar-sebentar dia memungut pasir dan melemparkannya ke
arah tepi. Karena sungai itu tidak sesempit bengawan atau kali
yang paling besar sekalipun di pulau Jawa, maka lemparan itu tak
pernah menjangkau tebing sungai (Aleida 2004: 3).
Kisah Jumontam dan kisah Jamangilak yang tak putus asa
menyebrangi punggung Pulau Sumatera itu dihadirkan oleh pengarang
sebagai sorot balik. Berikut bukti dalam kutipan:
84) Ketika kakek Jumontam, yang bernama Jamangilak, sampai di
kota itu hampir seabad yang lalu, kota kecil itu sedang
menunggang pasang menuju kejayaan sebagai kota pelabuhan.
Sebagai pendatang, ia mencari pintu kesempatan di satu kampung
yang terletak di seberang sungai… (Aleida, 2004:9).
85) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat
bagaimana memetik buah kelapa dengan aman. Dia latih beruk.
Hewan itu dia bujuk memanjat batang kelapa. Dari bawah dia
merayu beruk itu untuk hanya memetik butir-butir kelapa yang
sudah tua (Aleida, 2004:11).
86) Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk
bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan
lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar
mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir,
limbat. Beratus tahun, mungkin lebih, agaknya, penduduk asli
hidup hanya dengan memanjakan diri pada kemurahan air di
sungai, di muara atau di laut yang menyediakan ikan untuk
dipancing, ditangguk, dijala, dilukah atau dipukat. Mereka tak
pernah digoda ilham untuk mendekatkan ikan ke rumah mereka
(Aleida, 2004:11).
87) Sementara cucu Jamangilak si Jumontam, yang melanjutkan usaha
kakeknya, mengembangkan alat kukur kelapa yang digerakkan
pedal sepeda sehingga penduduk tidak hanya menjual kelapa ke
kota. Mereka juga bisa membawa minyak kelapa yang mereka olah
sendiri (Aleida 2004:11).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan suami Molek, Jabosi
memutuskan pergi dari kota itu karena keadaan sungai sudah tidak
mendukung usahanya sebagai pedagang.
88) Di pojok kamar, suaminya sedang menjejalkan pakaian ke dalam
tas, kemudian menyandarkannya ke dinding. Begitu dia keluar
lagi, suaminya masih saja sibuk sendiri membenahi beban yang
akan dia bawa besok menuju dunia baru (Aleida 2004: 9).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan sungai dan kota
pelabuhan tidak lagi seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika
mertuanya Jumontam dan kakek-buyut mertuanya, Jamangilak tiba di
kota itu.
89) Laki-laki yang menjadi suaminya itu adalah anak Jumontam yang
tertua. Ketika kakek Jumontam, yang bernama Jamangilak, sampai
di kota pelabuhan itu hampir seabad yang lalu, kota kecil itu
sedang menunggang pasang menuju kejayan sebagai kota
pelabuhan (Aleida 2004: 9).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan keadan politik tiga puluh
tahun yang lalu, di mana ikan di sungai tidak dapat dikonsumsi karena
banyaknya jenasah yang dibuang di sungai dan menjadi makanan ikan.
90) Lebih tiga puluh tahun yang lalu, untuk pertama kali dalam
ingatannya, mereka yang menunggu ayahnya, suaminya,
menantunya, pulang dari melaut dilanda duka begitu dalam. Ketika
itu nelayan terpaksa berkejar-kejaran dengan perahu menuju laut
yang paling jauh. Mungkin sudah ada yang mencapai bibir Selat
Malaka. Tetapi mereka belum juga sampai hati menebarkan pukat
merebak laut karena dihadang anggota tubuh manusia yang hanyut
mengambang sampai ke situ (Aleida 2004: 22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
91) Dia masih ingat ketika pecah revolusi sosial di Sumatera Timur
dulu, pada waktu dia masih bocah, tak ada cecunguk raja, para
perampas tanah rakyat yang sampai dikarungi, dipancung dan
dibuang ke sungai. Tetapi dalam bencana kedua, dua puluh tahun
kemudian, mereka yang tuduh telah menginjak-injak, meludahi Al-
Quran, yang dikabarkan mengingkari keberadaan Tuhan, yang
memuja Presiden Soekarno melebihi Nabi, mereka yang, katanya,
mau memberikan lukah dan jala kepada nelayan yang tak punya,
ditangkapi, disembelih di tepi sungai. Dibuang, tak lebih berharga
dari ikan patin yang sudah busuk (Aleida 2004: 22).
b. Rangsangan
Rangsangan mulai tampak ketika Molek mulai melakukan
pengintaian dan mengadu terhadap pihak-pihak yang menurutnya
bertanggung jawab membereskan masalah pasir yang menebal di dasar
sungai dan air yang tercemar. Selain itu, rangsangan cerita didukung
dengan munculnya anak bungsu Molek, yang bernama Hurlang
Jamangilak. Hurlang kembali dari Jakarta setelah bertahun-tahun
menjalani pilihan politiknya. Hurlang kembali dengan membawa kisah
keadaan politik di Jakarta ynga digambarkan dengan sorot balik oleh
pengarang. Sorot balik juga digunakan Aleida untuk menceritakan
masa kecil Hurlang.
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek mulai
melakukan pengintaian terhadap pihak-pihak yang menurutnya
bertanggung jawab membereskan masalah pasir yang menebal di dasar
sungai dan air yang tercemar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
92) Sudah sejak beberapa saat lalu dia berdiri di bawah pokok asam itu
sambil melemparkan pandangan ke seberang jalan, melintasi pagar
bambu, dan dengan menyelidik matanya terus menuju beranda dan
ruang tamu dari rumah peninggalan belanda yang terletak di
seberang. Itulah rumah bupati, yang menurut pikirannya, menjadi
orang yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan hidup kota
kecil itu (Aleida, 2004: 27).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek mulai
menyampaikan pengaduan pada pihak-pihak yang menurutnya
bertanggung jawab membereskan masalah pasir yang menebal di dasar
sungai dan air yang tercemar.
93) Maka, pagi keesokan harinya, dia keluarkan lagi pakaian yang dia
kenakan kemarin dari lemari perkawinan. Dia mengenakannya
tanpa mematut-matut diri di depan cermin, lalu berangkat menuju
rumah Bupati (Aleida, 2004: 32).
94) Kemudian sampailah dia di depan gedung Dewan Perwakilan
Rakyat. Sebuah bangunan yang kokoh, bertingkat dua, yang di
bagian depannya berhias pilar-pilar bulat yang kuat menyerupai
bentuk batang kelapa atau pohon nibung (Aleida, 2004: 28).
95) Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia menginjak gedung Dewan
Perwakilan Rakyat. Benar-benar suntuk pikirannya
mempertanyakan bagaimana mungkin dewan yang dipilih rakyat
itu begitu mempersulit keinginan seorang warga masyarakat yang
ingin mengadukan nasib (Aleida, 2004: 34).
96) Dia menuju kantor bupati. Di sini hatinya mulai tersayat karena
merasa dipermainkan, seperti perempuan yang tiada berharga.
Kepada penerima tamu dia mengemukakan keinginannya untuk
bertemu dengan Bupati (Aleida, 2004:32).
97) Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek mengulangi
lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil dari kota
kecil itu (Aleida, 2004:33).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
98) Molek meninggalkan halaman gedung Dewan yang luas itu dengan
perasaan yang enteng. Memang belum ada hasil. Namun dia
merasa telah menemukan pintu masuk untuk mempermasalahkan
sungai kesayangannya (Aleida, 2004:35).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Hurlang kembali dari
Jakarta setelah bertahun-tahun menjalani pilihan politiknya.
99) “Ini aku, Omak. Akulah itu. Si Hurlang, anakmu. Aku pulang.”
Patah-patah tamu tengah malam itu berkata-kata.Ketika pintu
terkuak dan bendul menganga, tatapan Molek tiba-tiba disambut
sepasang tangan yang dengan cepat melingkar di kedua bahunya
(Aleida, 2004:37).
100) Molek menuntun tangan anaknya itu. Ketika mereka sama
beranjak masuk, hatinya membusung berbunga-bunga. Karena
pada langkah kaki anaknya itu tertumpang harapannya yang besar.
Sangat besar. Dalam upaya menyelamatkan kota yang terancam
karam. Hurlang tentulah akan bisa memberikan pandangan atau
nasihat tentang apa yang harus dilakukan (Aleida, 2004:40).
Sorot balik juga digunakan Aleida untuk menceritakan masa kecil
Hurlang. Berikut bukti dalam kutipan.
101) Sama halnya ketika dia masih kecil, merebahkan kepalanya di
pangkuan ibunya itu, dan menyesali kesalahannya. Keslahan anak
kecil, mengutil uang segobang dari dompet emaknya untuk
membeli kedondong. Kesalahan kecil-kecilan itu telah membawa
pelajaran kepada Hurlang cilik. Hampir saja dia mampus waktu
itu. setelah melahap kedondong dia terserang muntah berak yang
parah. Setelah merawatnya beberapa hari, rumah sakit di kota kecil
itu menyerah. Tubuhnya yang kecil menjadi setipis papan. Tulang
rusuknya menjentang, duburnya menganga. Kedua orang tuanya
putus asa (Aleida, 2004:42).
102) Waktu itu adalah satu masa dalam sejarah republik ini, ketika
politik dan ekonomi berada dalam genggaman yang tiada ampun
dari tangan pemerintah. Harga-harga bukan ditentukan oleh hukum
pasar, melainkan oleh tangan besi Negara. Karena keterbatasan
persediaan dan jalur distribusi yang tidak memadai maka harga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
yang tercantum ditiap barang dagangan, bukan harga jual yang
sesungguhnya. Kebohongan menjadi sistematis dan tak bisa
dielakkan oleh siapa pun. Dia menjadi keharusan yang
diundangkan. Hurlang yang baru balig dengan polos mengatakan
kepada calon pembeli yang kelihatannya sopan itu bahwa harga
semen yang ada di tokonya itu bukanlah harga sebenarnya, supaya
transaksi berlangsung, si pembeli harus membayar lebih dari harga
yang tertera. Maka, datanglah nasib Buruk menggoda peruntungan
remaja itu. Selang beberapa lama setelah meninggalkan tokoh,
orang yang baru membeli semen tadi tiba-tiba muncul lagi.
Sekarang dengan seragam tentara. Dia tidak mengulurkan uang,
tetapi secarik kertas bertahtakan senapan. Di situ dengan jelas
dituliskan Hurlang ditangkap karena menjual semen di atas harga
ketentuan pemerintah (Aleida, 2004:49).
Hurlang kembali dengan membawa kisah keadaan politik di Jakarta,
diceritakan secara sorot balik oleh pengarang. Berikut adalah bukti
dalam bentuk kutipan:
103) Hurlang melarikan diri dari lingkungan keluarga, terjun ke
dalam kancah politik, hanya untuk pada akhirnya menemukan
dirinya dipenjarakan beberapa tahun di Pulau Jawa, di Jakarta,
tanpa dakwaan. Tiada yang berani membela. Merasakan betapa
menyakitkannya sebuah fitnah. Dibubu selama bertahun karena
dicurigai bersimpati pada satu gerakan militer, memihak pada
perwira yang terlibat perang antarkelompok tentara. Tuduhan
membabi buta (Aleida, 2004:40).
104) Nama yang menjadi pengganti dari nama yang dibisikkan ke
telinganya ketika dia masih berusia dua minggu, yang diberi
kekuatan berupa jampi dan jimat, ternyata tak mempan terhadap
kebengisan tentara yang melemparkannya ke dalam kamp
konsentrasi di Jakarta, menyusul peristiwa bersimbah darah di
tahun 1965 (Aleida, 2004:44).
105) Ketika untuk pertama kali aku bertemu dengannya, dialah yang
lebih dulu mengulurkan tangan dan genggaman itu kemudian
dengan cepat berubah menjadi pelukan yang hangat. Jantungku
dibuat berdentam dan membuat kau yang berusia separuh dari
umurnya merasa diperlakukan sederajat, dihormati, ketika dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
menyapaku dengan ucapan “Bung.” Lidahnya tiada duanya.
Layaknya besi berani. Aku masih ingat, ketika itu terjadi paceklik
di seluruh Jawa karena serangan hama tikus. Untuk membasmi, tak
ada bahan kimia. Karena, impor dilarang. Pemerintah
mencanangkan berdiri di atas kaki sendiri, tapi tidak bisa berbuat
apa-apa untuk mengatasi keadaan. Yang menyelamatkan justru
lidah Asmu (Aleida, 2004:54).
106) Ada persamaan kepentingan yang saling mengejar antara
Asmu dengan kawan-kawan dengan para petani yang tidak
bertanah, yang jumlahnya jutaan. Ketika kepentingan petani
dimenangkan di Dewan Perwakilan Rakyat, maka sang pemimpin
melihat jalan lebih terbuka baginya untuk menarik jumlah petani
yang tambah besar lagi supaya berada di belakangnya. Undang-
undang menyebutkan, seseorang atau lembaga, hanya
diperbolehkan menguasai lima hektar tanah produktif. Tetapi
pelaksanaan peraturan yang baik bagi kemaslahatan orang banyak
ini nyatanya berjalan alot (Aleida, 2004:61).
107) Pada satu dini hari yang paling malang, paling gelap dalam
sejarah, sekelompok tentara menculik dan membantai para jenderal
yang mereka anggap menjadi penghalang bagi persemaian
gagasan-gagasan kiri (Aleida, 2004:61).
108) Tentara dengan keji menuduh pembunuhan para jenderal tadi
dilakukan oleh orang-orang komunis dan para pendukungnya.
Melalui koran mereka melansir berita-berita yang
dijungkirbalikkan untuk membakar histeria massa supaya
mengejar dan membinasakan orang-orang komunis, seperti Asmu
dan para pendukungnya maupun pengagumnya, termasuk aku yang
sekuman ini (Aleida, 2004:64).
c. Gawatan
Gawatan dimulai ketika Molek menunjukkan keadaan sungai
yang mendangkal dan tercemar kepada Hurlang, anaknya. Berdua,
anak beranak itu menghimpun dukungan dari masyarakat yang tempat
hidupnya di lalui sungai yang sedang diusahakan keselamatannya oleh
Molek dan Hurlang. Gawatan berakhir dengan rapat besar di Padang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Bundar untuk meminta pemerintah mempedulikan sungai yang rusak.
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek menunjukkan
keadaan sungai yang mendangkal dan tercemar kepada Hurlang.
109) Permainan angin di ujung-ujung daun kelapa di kejauhan dan
keringnya air di dalam got itu memberikan isyarat kepada Molek
bahwa sungai sudah surut diisap muara menuju laut. Tibalah
saatnya untuk mengajak anaknya melihat-lihat sungai di belakang
sesuai dengan apa yang dia rencanakan (Aleida, 2004:75).
110) Dia tahu bahwa dia sudah mendapat dukungan pertama dan tak
lain tak bukan dari anaknya yang baru pulang dari pengembaraan
yang getir (Aleida, 2004:82).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek dan Hurlang
menghimpun dukungan dari masyarakat yang tempat hidupnya dilalui
sungai yang sedang diusahakan keselamatannya.
111) Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang
diberikan orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar
itu, anak beranak tersebut, mengunjungi sekolah, madrasah,
mengimbau dukungan bagi upaya penyelamatan sungai (Aleida,
2004: 85).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan pelaksanaan rapat besar
di Padang Bundar untuk meminta pemerintah mempedulikan sungai
yang rusak.
112) Padang bundar, lapangan berbentuk bulan bulat sempurna
dengan garis tengah hampir setengah kilometer, yang sedang
menengadah ke langit yang membiru terserak di atas kota kecil itu,
sudah penuh berjejel manusia (Aleida 2004: 83).
113) “Baiklah kalau begitu kita sepakat untuk melanjutkan
pertemuan kita ini dengan satu tuntutan kepada pemerintah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Menggugat ke mana pajak selama ini? Mengapa sungai dibikin
merana? Kita dibiarkan mati. Aku sendiri yang akan membawa
suara kesepakatan kita ke perwakilan rakyat. Apakah usulku
disetujui…?” (Aleida 2004:98).
d. Tikaian
Tikaian diawali dengan Molek dan Hurlang yang diinterogasi
oleh petugas keamanan karena dicurigai menghasut penduduk,
diperintah oleh orang lain untuk melakukan kekacauan, dan
melakukan pemufakatan jahat dengan Gerwani dan beberapa sanak
keluarga dari tahanan politik tahun 1965 yang sudah meninggal.
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek dan Hurlang yang
diinterogasi oleh petugas keamanan karena dicurigai menghasut
penduduk, diperintah oleh orang lain untuk melakukan kekacauan.
114) “Koé jangan macam-macam, ya! Dipanggil lu sudah bagus.
Tukang hasut minta penghormatan segala lagi! Hah… lekaslah,
kasi tau siapa yang memerintahkan lu datang ke sini?”
“Mak lu sendiri bilang, kota ini sudah mati. Mampus. Di pusat, di
Jakarta, hidup lebih enak. Lantas kalau bukan membawa perintah
untuk mengacau, tak mungkin lu datang kemari.”(Aleida
2004:103).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek dan Hurlang
diinterogasi oleh petugas keamanan karena dicurigai melakukan
pemufakatan jahat dengan Gerwani dan beberapa sanak keluarga dari
tahanan politik yang sudah meninggal.
115) ”Lu mau ngaku atau nggak? Lu datang dan berdiskusi
mengenai rencana rapat umum di Padang Bundar itu dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Idham Margolang, Tiar Eden, Kaman Rahman, kutu-kutu yang
semestinya ikut mampus tahun 1965-66. Kami sudah tau semua
tentang permufakatan jahatmu.” (Aleida 2004:104).
116) Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap
dan kata-kata kasar yang dilontarkan interogator yang duduk
ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap
rokok sesukanya (Aleida 2004:106).
117) “Ya, kami tahu, kami juga menyaksikan ibu sendiri yang
melempar-lemparkan pasir ke tepi sungai. Tapi, menyelenggarakan
rapat raksasa seperti itu, mana mungkin ibu lakukan seorang diri.
Hatta dengan bantuan anak ibu sekalipun.” Interogator itu diam
sejenak untuk kemudian melanjutkan, “Kami tahu ada orang-orang
Gerwani yang masih hidup. Yang bernasib baik, yang luput dari
penghakiman rakyat. Ibu, katakanlah sejujurnya, siapa saja yang
membantu.” (Aleida 2004:106).
118) Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin
buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah
mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika
anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini
juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga… (Aleida, 2004:109).
e. Rumitan
Rumitan terjadi setelah Molek selesai diinterogsi, dan Hurlang
sempat ditahan dan disiksa beberapa hari, ibu dan anak itu bertukar
cerita tentang kejadian-kejadian selama Hurlang berada di Jakarta.
Hurlang mengakui telah melakukan dosa yang paling dilarang dalam
budaya keluarganya. Di tengah harapan yang besar bahwa anaknya
adalah orang pertama yang akan membantunya menyelamatkan
sungai, Molek harus membersihkan anaknya itu dari dosa dengan cara
membakarnya, namun Hurlang selamat dari amukan api yang
dinyalakan Omaknya untuk membakar dirinya. Kutipan berikut adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
bukti dari pernyataan setelah Molek selesai diinterogsi, dan Hurlang
sempat ditahan dan disiksa beberapa hari.
119) Seminggu setelah rapat raksasa yang disusul interogasi di
markas tentara itu merupakan hari-hari yang melelahkan, membuat
dengkul Molek seperti terserang semutan. Juga, hari-hari yang
mencemaskan, terutama karena Hurlang masih juga mendekam
dalam tahanan. Belum pulang. Sampai kapan, siapa yang tahu?
Karena itulah pada hari kedelapan, manakala terdengar suara
ketukan yang lemah di daun pintu dan ketika angin sore
menerjang, menguak jalan masuk, dan Hurlang berdiri dengan
tungkai yang agak lunglai, Molek menghambur menebarkan
tubuhnya untuk merangkul anak senasib sepenanggungannya itu
(Aleida 2004:114).
120) Molek menyampirkan tangannya ke bahu Hurlang. Mengiring
anaknya itu masuk. Ketika tangannya secara tak sengaja melorot
ke arah tulang belikat, dan perlahan merayap ke punggung si anak,
Molek tersentak. Jari-jemarinya tersentuh semacam cairan kental
yang membuat baju anaknya itu lengket ke kulit punggunya sendiri
(Aleida 2004:115).
121) Setelah mengamati balur-balur luka yang memanjang dari
bahu, terus merembet ke bawah menjangkau bokong, menjentang
serupa tali penambat perahu yang sudah lapuk sebesar ibu jari kaki
di belakang anaknya itu, Molek menahan duka dan bertanya dalam
desah, “Mereka lumatkan punggungmu dengan tali manila?!”
(Aleida 2004:117).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan ibu dan anak itu bertukar
cerita tentang kejadian-kejadian selama Hurlang berada di Jakarta.
122) “di Jawa sana,” lembut Hurlang berkata untuk menghentikan
lajunya kata-kata umpatan yang mengkin masih tertahan di
tenggorokan ibunya, “ mereka menemukan variasi baru selain
cambuk, alat kejut listrik, dan kaki-kaki meja yang keras seperti
baja untuk diinjakkan ke kaki para tahanan. Mereka juga
menggunakan tali yang dipelintir di kepala untuk melumpuhkan,
mendapatkan pengakuan. Yang membuat tahanan terpaksa
mengakui apa yang tidak mereka lakukan (Aleida, 2004:118).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
123) Seperti hendak menghibur hati emaknya Hurlang berkata
bahwa dia dan ibunya masih mujur, dipanggil dengan surat
perintah penahanan. Anak-anak muda di Jakarta, dan beberapa
kota lain di Pulau Jawa yang berjuang untuk satu cita-cita tentang
munculnya perubahan politik, tidak sebaik itu peruntungannya.
Mereka diculik, dipindahkan dari kamp penyiksaan yang satu ke
kamp penyiksaan yang lain dengan kepala yang ditutupi ember
yang dilumuri kotoran (Aleida, 2004:121).
Hurlang mengakui telah melakukan dosa yang paling dilarang dalam
budaya keluarganya. Di tengah harapan yang besar bahwa anaknya
adalah orang pertama yang akan membantunya menyelamatkan
sungai, Molek harus membersihkan anaknya itu dari dosa dengan cara
membakarnya.
124) “Ada kejadian yang tak ada hubungannya dengan politik, di
mana aku terlibat, yang telah menyadarkan aku untuk pulang,
meminta maaf. Pada gerakan politik yang telah kupilih seperti
kukatakan tadi, aku tak pernah menyesal. Kupikir, aku tak
membuat kesalahan sedikitpun ketika aku menentukan untuk
memihak pada gerakan politik, seperti membela petani yang tak
bertanah di Jawa. Turut dalam “aksi sepihak” yang dilancar
Barisan Tani Indonesia. Omak tak pernah dirugikan gerakan itu,
kupikir. Tetapi dalam perjalanan waktu setelah aku di bebaskan
dari tahanan, menjalani hidup di dunia yang kelihatannya seperti
bebas, aku telah melakukan perbuatan yang hanya akan diampuni
Tuhan kalau Omak memafkannya.” (Aleida 2004:133).
125) Jadi, setelah hampir setahun ditinggalkan istriku, maka pada
suatu hari, ketika menyerahkan laporan kepadaku, Dwipati Kristi,
teman sekantor juga, menyentuh jariku dan memegangnya dengan
genggaman yang tak biasa, tiada tara, seraya menatapku dengan
mata yang mengantarkan kata hati yang lembut ingin disambut,
direbahkan di pangkuan, dipuja, dimanja. (Aleida 2004:147).
126) “Tak pernah dalam garis keturunanku, apalagi keturunan
Ayahmu, yang melakukan pekerjaan memalukan tiada tara seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
itu.” Molek melipat tepi tikar kuat-kuat, menahan amarah, (Aleida
2004:152).
127) “Tidak akan pernah kuampuni. Kau harus menerima hukuman
atas perbuatanmu yang memalukan keluarga. Menistakan
Jamangilak. Kau harus dirajam. Aku sendiri yang akan
melakukannya. Kau harus di bakar. Dibakar…! Dibakar ditempat
dimana kau dilahirkan!” Molek tak pernah durja sehebat itu
(Aleida 2004:155).
128) Molek Kemudian berjongkok sekitar dua langkah dari
anaknya, mengeluarkan kotak korek api dari balik kutangnya. Dia
berdiri lagi, mengangkat kedua tangannya, membelakangi kiblat.
Bibirnya bergetar membaca doa tanpa suara. Molek jongkok,
menyentikkan korek api. Sambil berseru “Allahu Akbar…!” dia
lemparkan anak korek api yang nyala ke daun yang menggunung
mengelilingi anaknya yang berserah diri (Aleida 2004:169).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Hurlang selamat dari
amukan api yang dinyalakan Omaknya untuk membakar dirinya.
129) Ribuan rangrang merah itu boleh dikutuk karena merekalah
yang membatalkan rajam dengan api. Hukuman yang telah
dijatuhkan seorang ibu kepada anaknya si pendosa tiada berampun.
Di sungut-sungut mereka yang halus sekuman, di kaki-kai mereka
yang rapuh, jalan hidup seorang cucu Adam yang berdarah
Jamangilak menemukan tikungan baru. Rupanya, ketika Molek
melemparkan anak korek-api yang nyala ke daun yang menimbun
di depan anaknya yang sedang bersila menunggu maut, dengan
kedua tangan terikat ke belakang, nyala itu ternyata padam begitu
mendarat di daun-daun yang masih basah dibasuh embun
semalaman (Aleida, 2004:172).
f. Klimaks
Klimaks terjadi ketika Molek kembali tampil berpidato di
depan masyarakat yang terkena dampak dari limbah pabrik yang
berdiri di hulu sungai. Setelah berpidato, Molek memimpin massa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
untuk meyampaikan aspirasi pada pemerintah, supaya pabrik yang
menjadi akar masalah kerusakan sungai ditutup. Kutipan berikut
adalah bukti dari pernyataan Molek kembali tampil berpidato di depan
masyarakat yang terkena dampak dari limbah pabrik yang berdiri di
hulu sungai.
130) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk
yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari
seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki
menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya
berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup
(Aleida, 2004: 211).
131) Karena sungai mendangkal, kota menjadi mati, suami saya
meninggalkan saya karena tak percaya bahwa kemauan yang baik
pasti bisa mengatasi beting-beting yang dengan ganas memakani
alur sungai. Dia memang tak salah. Saya coba menahannya,
mengajaknya mengikuti cara saya sendiri dengan mengangkuti
pasir dari dasar sungai dengan tangan…” (Aleida, 2004:218).
Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan Molek memimpin massa
untuk meyampaikan protes pada pemerintah, supaya pabrik yang
menjadi akar masalah kerusakan sungai, segara ditutup.
132) Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan
dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama
kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya
dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor
pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya (Aleida,
2004:227).
133) “Kami datang dengan damai, tangan telanjang, dengan baik-
baik ingin menyampaikan tuntutan kepada pemerintah yang sudah
selayaknya memperhatikan hidup kami. Apa yang mau diperintah
kalau bukan kami? Maka, lindungilah kami,” kata Molek dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
wajah tegang yang tak bisa disembunyikannya. Kami sudah
menderita. Berikan kami hak bertanya, ada apa sebenarnya di
belakang Rayon i Toba, sehingga dia dibiarkan terus mencemari
lingkungan kami, mengancam jiwa anak-anak kami,”sambungnya
lagi di depan hidung polisi yang tetap diam melongo (Aleida,
2004:228).
g. Leraian
Leraian muncul ketika usaha protes diwarnai kekacauan yang
ditimbulkan oleh penyusup yang masuk ke barisan demostran. Berikut
buktinya dalam kutipan.
134) Menjelang senja itu, kaum perusuh yang menyusup masuk
dalam barisan demonstran menyaksikan hasil dari kemauan jahat
mereka. Molek dan tiga puluh perempuan yang menemaninya
ditangkap, berikut belasan pelajar, dan sejumlah lelaki yang
terkepung tak bisa melepaskan diri dari jebakan polisi. Mederu-
deru, dua truk kosong tak lama kemudian berhenti di pekarangan
kantor kecamatan itu. molek dan puluhan orang yang senasib
seperlawanan dengannya dinaikkan ke truk dan dilarikan ke
markas polisi (Aleida, 2004:229).
h. Selesaian
Pada tahap selesaian, cerita diakhiri dengan usaha Molek
menyelamatkan sungai berbuah putusan penjara dua tahun bagi Molek
atas tuduhan penghasutan, penyerangan dan pengrusakan kantor
kecamatan, dan empat tahun bagi Hurlang atas tuduhan otak di balik
kerusuhan.
135) Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa.
Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-
sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut
penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan
dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Seorang terdakwa lagi duduk
tak jauh dari sebelah Molek, adalah anaknya sendiri, Hurlang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Jamangilak, yang dituduh berada di belakang kerusuhan, dijatuhi
hukuman empat tahun (Aleida, 2004:234).
136) Sekali lagi perempuan kita itu merangkul terhukum yang
bernama Hurlang. Ketika dekapan berurai, Molek sempat
menunduk, dan ketika matanya kembali tertumbuk pada mata
anaknya itu, terasa ada air yang agak hangat mendorong dari balik
bola matanya dan tubuhnya sedikit bergetar dijalari darah yang
mengalir lebih hangat, lebih kencang. Hurlang memegang bahu
ibunya dan katanya perlahan seakan berbisik: “Jangan menangis.
Kuatkan hati kita di depan mereka. Ingat, Omak sendiri yang
mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah menangis
dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai
barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka.” (Aleida
2004:236).
137) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus
menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada
seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim
di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah
menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam
tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak
memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam
pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004: 240).
3. Latar
Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu
waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat
tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana
terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.
Hudson dalam Sudjiman (1988:44) membedakan latar atas dua macam
yaitu latar sosial dan latar fisik/ material, sedangkan Nurgiyantoro
membedakan latar dalam tiga unsur pokok yaitu tempat waktu dan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
a. Latar Tempat
Latar tempat yang digunakan dalam cerita novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis adalah sungai, rumah, rumah Bupati, kantor Dewan
Perwakilan Rakyat, kantor bupati, kota, Padang Bundar, Siraituruk,
Sosor Ladang. Sungai sebagai latar penceritaan Molek ketika
melakukan aksi tidak terimanya terhadap keadaan sungai yang
mendangkal dan berbau, serta penceritaan tentang ketika sungai belum
dipenuhi pasir dan lumpur.
138) Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-
pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak
di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-
pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida
2004: 1).
139) Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai.
berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau
menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula
ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus,
seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas.
Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang-
layang mandi, yang berkejaran di udara (Aleida 2004: 3).
140) Sebentar-sebentar dia memungut pasir dan melemparkannya ke
arah tepi. Karena sungai itu tidak sesempit bengawan atau kali
yang paling besar sekalipun di pulau Jawa, maka lemparan itu tak
pernah menjangkau tebing sungai (Aleida 2004: 3).
141) Sekarang, air itu berubah menjadi kusam, coklat kehitam-
hitaman. Dan aromanya pun sudah tidak surgawi lagi. Baunya
lebih menyengat dari pada daun pandan yang busuk. Sedangkan
hamparan gosong di tengah sungai, nun persis di depan pelabuhan
sana, mengganas dengan leluasa. Menghimpun pasir yang tiada
terkira jumlahnya. Mula-mula membuat alur sungai menjadi
dangkal, kemudian, melalui proses timbun-menimbun yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
berlangsung bertahun-tahun, butir-butir pasir membentuk diri
menjadi pulau yang menyesakkan dada (Aleida 2004: 2).
142) Dia ingat ketika masih kanak-kanak, air sungai itu sebersih
langit biru, sebenderang kaca, bisa langsung direguk sambil
menyelam. Sesungguhnya itu bukan hanya suasana pada masa
kanak-kanaknya. Sejak ribuan tahun lalu, air itu telah memberikan
kemurahan hati dan mengilhami penduduk menyulam kearifan ke
dalam peribahasa yang bersenandung: “sambil menyelam minum
air” (Aleida 2004: 2).
143) Riak yang terdampar di bawah lututnya terkadang mendesau
disapu angin pagi dan membawa ingatan Hurlang pada masa
kanak-kanak dan remaja. Selain sekolah dan madrasah, sungai ini
memainkan peran sendiri dalam membesarkannya (Aleida,
2004:77).
Kota pelabuhan sebagai latar tempat di mana kota yang dulu
merupakan kota produktif, berubah menjadi kota mati karena sungai
yang mendangkal dan berbau amis.
144) Sebagai pelabuhan, kota ini memang sudah dilupakan, kalau
bukan sengaja diterbengkalaikan oleh penguasa dan penduduk
bahwa hidup hanya bisa mengapung kalau dasar sungai itu tetap
terbuka untuk palung-palung yang dalam. Kini hanya tongkang-
tongkang yang malas dan sampan-sampan bermuatan penumpang
yang tambat di dermaganya, (Aleida 2004: 5).
145) Pelabuhan itulah yang telah mengilhami para pendatang, para
pedagang yang bermata elang untuk membangun rumah-rumah
yang berderet menyisir tepi sungai dan berhenti pada satu lahan
luas yang menjadi pusat perdagangan kota kecil itu (Aleida 2004:
5).
Rumah atau kedai panjang sebagai latar tempat Molek tinggal sendiri
setelah di tinggal anak dan suaminya.
146) Rumah-rumah beratap genteng, berlantai dua, berdiri berdempet-
dempet, membujur di sepanjang tepi sungai yang sedang
mengancam kehidupan penduduk kota itu dengan pasir. Rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
toko itu berjejer beradu tembok, memanjang mulai dari pelabuhan
dan berhenti di pasar. Beberapa ratus meter panjangnya. Karena
itulah, mungkin, tiga ratus tahun yang lampau, orang-orang
menamakan deretan rumah toko itu kedai panjang (Aleida 2004:
5).
147) Lantai bagian atas rumah-rumah itu berfungsi sebagai tempat
tinggal, sedangkan bagian bagian bawah menjadi tempat kopra,
ikan asin, beras, gula, kopi, garam, juga karet, dan rupa-rupa
komoditas lain yang berganti tangan dalam perdagangan (Aleida
2004: 5).
148) Rumah-rumah itu ditinggalkan. Cuma angin yang bertahan di
situ. Orang-orang pada berangkat menuju berbagai tujuan mencari
kehidupan yang diperkirakan akan lebih baik (Aleida 2004: 8).
Rumah bupati tempat Molek melakukan pengintaian dan meminta
pertanggungjawaban atas keadaan sungai yang mendangkal.
149) Sudah sejak beberapa saat lalu dia berdiri di bawah pokok asam
itu sambil melemparkan pandangan ke seberang jalan, melintasi
pagar bambu, dan dengan menyelidik matanya terus menuju
beranda dan ruang tamu dari rumah peninggalan belanda yang
terletak di seberang. Itulah Rumah Bupati, yang menurut
pikirannya, menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap
kelanjutan hidup kota kecil itu (Aleida, 2004: 27-28).
150) Maka, pagi keesokan harinya, dia keluarkan lagi pakaian yang
dia kenakan kemarin dari lemari perkawinan. Dia mengenakannya
tanpa mematut-matut diri di depan cermin, lalu berangkat menuju
rumah Bupati (Aleida, 2004: 32).
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat tempat molek melakukan
pengintaian dan dan meminta pertanggung jawaban atas keadaan
sungai yang mendangkal.
151) Kemudian sampailah dia di depan gedung Dewan Perwakilan
Rakyat. Sebuah bangunan yang kokoh, bertingkat dua, yang di
bagian depannya berhias pilar-pilar bulat yang kuat menyerupai
bentuk batang kelapa atau pohon nibung (Aleida, 2004: 28).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
152) Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia menginjak gedung
Dewan Perwakilan Rakyat. Benar-benar suntuk pikirannya
mempertanyakan bagaimana mungkin dewan yang dipilih rakyat
itu begitu mempersulit keinginan seorang warga masyarakat yang
ingin mengadukan nasib (Aleida, 2004: 34).
Kantor bupati tempat Molek menyampaikan protesnya mengenai
sungai yang tidak lagi dapat membantu perekonomian masyarakat tepi
sungai.
153) Dia menuju kantor bupati. Di sini hatinya mulai tersayat karena
merasa dipermainkan, seperti perempuan yang tiada berharga.
Kepada penerima tamu dia mengemukakan keinginannya untuk
bertemu dengan Bupati (Aleida 2004:32).
154) Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek
mengulangi lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil
dari kota kecil itu (Aleida 2004:33).
Padang Bundar tempat Molek menghimpun massa untuk melakukan
protes pada pemerintah karena sungai yang dangkal tidak diperhatikan.
155) Padang Bundar, lapangan berbentuk bulan bulat sempurna
dengan garis tengah hampir setengah kilometer, yang sedang
menengadah ke langit yang membiru terserak di atas kota kecil itu,
sudah penuh berjejel manusia (Aleida 2004: 83).
156) Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan
orang-orang yang tumpah di Lapangan Padang Bundar itu, anak
beranak tersebut, mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau
dukungan bagi upaya penyelamatan sungai (Aleida, 2004: 85).
Sosor Ladang tempat di mana pabrik Rayon i Toba berdiri. Pabrik
yang menjadi hulu permasalahan yang terjadi di derah yang di lalui
Sungai Asahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
157) Ketika Molek melakukan pengembaraan di Sosor Ladang,
orang-orang di Siraituruk, terutama perempuan-perempuannya,
kacau balau seperti anak ayam yang induknya disambar elang.
“Ke Porsea begitu lama? Dari pagi kami mencari.”
“Kemudian ke Sosor Ladang.”
Perempuan-perempuan yang mengerumuninya terperanjat.
“Mengapa ke sana?”
“Melihat pabrik. Rayon i Toba. Sekali basah, sudah kemari,
sekalian saja ke sana.” (Aleida, 2004: 2017).
Latar spiritual adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh latar fisik, atau
dugaan-dugaan yang timbul dalam pikiran pembaca tentang
suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Dalam novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis, rumah-rumah toko yang di sebut
kedai panjang menimbulkan suasana mewah, ramai dan sibuk pada
latar tempat itu. Latar spiritual dibuktikan dalam kutipan berikut.
158) Rumah-rumah beratap genteng, berlantai dua, berdiri berdempet-
dempet, membujur di sepanjang tepi sungai yang sedang
mengancam kehidupan penduduk kota itu dengan pasir. Rumah
toko itu berjejer beradu tembok, memanjang mulai dari pelabuhan
dan berhenti di pasar. Beberapa ratus meter panjangnya. Karena
itulah, mungkin, tiga ratus tahun yang lampau, orang-orang
menamakan deretan rumah toko itu kedai panjang, (Aleida 2004:
5).
159) Lantai bagian atas rumah-rumah itu berfungsi sebagai tempat
tinggal, sedangkan bagian bagian bawah menjadi tempat kopra,
ikan asin, beras, gula, kopi, garam, juga karet, dan rupa-rupa
komoditas lain yang berganti tangan dalam perdagangan, (Aleida
2004: 5).
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis,
penceritaannya terjadi pada waktu di mana Molek mengenang kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
keadaan kota pelabuhan berpuluh-tahun yang lalu ketika sungai masih
dilayari kapal besar, dan nelayan masih bisa menangkap ikan, serta
waktu-waktu yang dilalui Molek dalam upaya menyelamatkan sungai.
Berikut beberapa kutipan latar waktu ketika Molek menunjukkan
kekecewaannya pada keadaan sungai yang tidak tertolong.
160) Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah-
pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak
di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar-
pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya (Aleida
2004: 1).
161) Laki-laki itu ingat, sejak setahun yang lalu, istrinya itu
menunjukkan sikap yang semakin asing. Yang membuat
keningnya berkerut, hatinya ciut. Hampir saban hari istrinya tegak
memaku di tengah sungai. berjam-jam lamanya. Melamun kayak
dipukau setan. Atau menggumamkan kata-kata, menyesal tiada
ujung (Aleida 2004: 2).
Latar waktu juga diceritakan terjadi ketika Molek mengenang keadaan
kota pelabuhan sebelum akhirnya dimatikan oleh sungai yang dangkal
dan tercemar. Berikut ini bukti dalam kutipan.
162) Peluit kapal yang membikin hidup kota pelabuhan itu hanya
tinggal dalam impian perempuan itu. Suara itu takkan kembali
lagi. Sebagian besar penduduk kota malahan tak pernah
mendengarnya. Karena, mereka adalah penduduk dari generasi
yang lahir beberapa puluh tahun setelah perempuan yang
menantang arus sebatang kara di tengah sungai itu (Aleida 2004:
4).
163) Ketika kakek Jumontam yang bernama Jamangilak, sampai di
kota pelabuhan itu hampir seabad yang lalu, kota kecil itu sedang
menunggang pasang menuju kejayaan sebagai kota pelabuhan
(Aleida 2004: 9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
164) Katanya, kita berkumpul untuk mensyukuri sungai yang sudah
berpuluh tahun atau bahkan sudah berbad-abad menghidupi kita.
Kita telah dibesarkan sungai. kita juga menimang dan
membesarkan anak serta cucu-cucu kita dengan rahmat yang
dilimpahkan sungai kita itu (Aleida 2004: 95).
Latar waktu terjadi ketika Molek tidak lagi menunjukkan
kekecewaannya dengan berdiri di tengah sungai. berikut kutipannya.
165) Hari itu, untuk pertama kali, Molek tidak terlihat berdiri
memainkan dramanya sendiri di tengah sungai. tidak berkelahi
melempar-lemparkan pasir ke tepi. Juga, tidak memuntahkan
sumpah serapa terhadap sungai yang mendangkal, yang
mengganjal hatinya (Aleida 2004: 29).
Latar waktu terjadi ketika Molek memikirkan langkah yang harus
ditempuhnya untuk menyelamatkan sungai. Berikut kutipannya.
166) Menjelang dini hari, mata dan hatinya belum juga lelap terpejam.
Angan-angannya melambung tinggi mencari jalan bagaimana
memperbaiki nasib sebatang sungai yang terancam (Aleida 2004:
36).
Latar waktu terjadi ketika Molek dan Hurlang anaknya mengumpulkan
dukungan masyarakat untuk menyelamatkan sungai. Berikut
kutipannya.
167) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
Latar waktu diceritakan setelah Molek dan Hurlang anaknya
mengumpulkan dukungan masyarakat untuk menyelamatkan sungai.
Berikut kutipannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
168) Seminggu setelah rapat raksasa yang disusul interogasi di markas
tentara itu merupakan hari-hari yang melelahkan dan membuat
dengkul Molek seperti terserang semutan (Aleida, 2004:114).
Latar waktu terjadi ketika Molek pergi ke Porsea memenuhi undangan
masyarakat daerah hulu sungai. Berikut kutipannya.
169) Setelah matahari tergelincir, masih saja ada orang yang datang
memastikan bahwa Molek memang benar telah berangkat ke hulu
dari yang paling hulu dari sungai yang pelan-pelan mendangkal
dan mengancam kota (Aleida, 2004:181).
170) Kemarin, sesampainya di Siraituruk, Molek ditempatkan di
rumah seorang petani yang paling makmur. Perempuan-perempuan
desa, terutama mereka yang aktif dalam gerakan menuntut
penutupan pabrik pulp dan pabrik bubur kayu itu, menemaninya
menjelang tidur sambil martarombo (Aleida, 2004:186).
171) Percakapan berlanjut sampai menjelang dini hari. Dari
perempuan-perempuan itu, Molek mengetahui bagaimana pabrik
bubur kayu Rayon i Toba yang berdiri pada Tahun 1986, telah
membawa kesengsaraan, merusak danau Toba dan lingkungan
sekitarnya (Aleida, 2004:187).
Latar waktu terjadi ketika Molek dan wakil dari desa yang terkena
dampak dari limbah pabrikk Rayon i Toba mengadakan pertemuan.
Berikut kutipannya.
172) Sore itu selepas tuntas pekerjaan di sawah, wakil dari 21 desa
yang terkena dampak paling buruk dari pabrik bubur kayu, Rayon i
Toba, berkumpul di Sihiung (Aleida, 2004:185).
173) Keputusan rapat desa: hari Sabtu, besok sore, protes besar-
besaran di Siraituruk; anak-anak sekolah mogok belajar dan
mereka akan datang berjalan kaki dan mereka akan bergabung
dalam demonstrasi itu; Molek akan tampil berpidato (Aleida,
2004:186).
Latar waktu terjadi ketika Molek berniat melihat secara langsung
pabrik bubur kayu Rayon i Toba. Berikut kutipannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
174) Selepas salat subuh, keesokan harinya dengan perasan ingin tahu
yang meluap, Molek berjalan kaki sendirian ke Simpang Sigura-
gura. Ketik dia berdiri dengan agak ragu di tepi jalan itu, sebuah
kendaraan umum berpenumpang kurang dari sepuluh orang
berhenti menawarkan apakah Molek ingin ke Porsea? Molek
mengatakan kepada Sopir angkutan umum itu bahwa dia mau ke
pabrik Rayon i Toba, apakah kendaraan itu sampai ke sana?
(Aleida, 2004: 196).
Latar waktu terjadi ketika tiba waktunya untuk melakukan demonstrasi
menuntut penutupan pabrik bubur kayu Rayon i Toba. Berikut
kutipannya.
175) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk
yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari
seluruh desa terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju
Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi
menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup (Aleida, 2004: 211).
176) Menjelang senja itu, kaum perusuh yang menyusup masuk ke
dalam barisan demonstran menyaksikan hasil dari kemauan jahat
mereka. Molek dan tiga puluh perempuan yang menemaninya
ditangkap, berikut belasan pelajar dan sejumlah lelaki yang
terkepung tak bisa melepaskan diri dari jebakan polisi (Aleida,
2004: 229).
Latar waktu terjadi ketika Molek ditangkap dan dihukum 2 tahun
penjara. Berikut kutipannya.
177) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus
menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada
seorang perempuan yang bersumpah akan melakukan sesuatu
untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang
bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang
yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota
yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak
memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul di dalam
pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004: 238).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
c. Latar Sosial
Latar sosial yang dapat diungkap dalam novel Jamangilak Tak pernah
Menangis adalah tradisi yang turun temurun. Darah tani dan dagang
Jamangilak, diwarisi oleh anak, cucu dan cicitnya.
178) Jamangilak sampai ke satu kampung di seberang kota pelabuhan
itu dan memulai hidup di situ sebagai petani kembali, modal yang
dia bawa dalam perjalanan jauh menyeberangi punggung Pulau
Sumatera. Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat
setempat bagaimana memetik buah kelapa dengan aman (Aleida,
2004: 10).
179) Sementara cucu Jamangilak, Si Jumontam melanjutkan usaha
kakeknya, mengembangkan alat kukur kelapa yang digerakkan
pedal sepeda, sehingga penduduk tidak cuma menjual kelapa ke
kota. Mereka juga bisa membawa minyak kelapa yang mereka olah
sendiri. Jumontam mempertahankan apa yang telah dicapai ayah
dan kakeknya dan malah mengembangkan usaha pendahulunya itu,
sehingga keluarga pendatang itu menguasai beratus meter bujur
sangkar penjemuran kopra. Dengan darah dagang yang juga
mengalir dalam dirinya, anak Jumontam yang bernama Jabosi
melanjutkan usaha yang dirintis kakek buyut dan ayahnya (Aleida
2004:11).
Masyarakat tepi sungai berprofesi sebagai pedagang. Berikut bukti
dalam kutipan.
180) Pelabuhan itulah yang telah mengilhami para pendatang, para
pedagang bermata elang, untuk membangun rumah-rumah yang
berderet menyisir tepi sungai dan berhenti pada satu lahan luas
yang menjadi pusat perdagangan kota kecil itu. lantai bagian atas
rumah-rumah itu berfungsi sebagai tempat tinggal, sedangkan
bagian bawah menjadi tempat kopra, ikan asin, beras, gula, kopi,
garam, juga karet dan rupa-rupa komoditas yang lain berganti
tangan dalam perdagangan (Aleida, 2004:5).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Sebelum Jamangilak datang dari seberang danau Toba, masyarakat
tepi sungai belum mengenal cara-cara membuka lahan untuk tambak
ikan. berikut buktinya dalm kutipan.
181) Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk
bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan
lele yang di derah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar
mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir,
limbat. Beratus tahun, mungkin lebih, agaknya, penduduk asli
hidup dengan hanya memanjakan diri pada kemurahan air di
sungai, di muara atau di laut yang menyediakan ikan untuk
dipancing, ditangguk, dijala, dilukah. Mereka tak pernah digoda
ilham untuk mendekatkan ikan ke rumah mereka sampai
Jamangilak datang dari pantai yang jauh, menyeberangi gunung
dan hutan untuk memperkenalkannya kepada mereka (Aleida,
2004:12).
Seni suara lokal yang bernama sinandong merupakan adat kebiasaan
masyarakat kota pelabuhan itu. berikut bukti dalam kutipan.
182) Suara yang membujuk merayu itu sudah menjadi bagian dari
sejarah kota kecil itu. itulah seni suara lokal yang bernama
sinandong, sebentuk kesenian rakyat di mana para nelayan
mengantarkan kabar tentang nasib baik atau peruntungan buruk
yang mereka temukan ketika melaut. Suara yang dibawakan angin
pasang itu akan hinggap di rumah tujuan. Penghuni rumah yaitu
anak-istri yang menunggu di bendul pintu akan tahu seberapa sarat
atau seberapa hampa perahu yang dibawa pulang oleh pahlawan
kehidupan yang sedang dinanti (Aleida, 2004:20-21).
Sikap tidak peduli masyarakat kota kecil itu terhadap keadaan sungai
yang mendangkal dan tercemar dengan cara pergi mencari
peruntungan di tempat lain.
183) Sebagai pelabuhan, kota ini memang sudah dilupakan, kalau
bukan sengaja diterbengkalaikan oleh penguasa dan penduduk
yang lupa bahwa hidup hanya bisa mengapung kalau dasar sungai
itu tetap terbuka untuk palung-palung yang dalam. Kini hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tongkang-tongkang yang malas dan sampan-sampan bermuatan
penumpang yang tambat di dermaganya (Aleida, 2004: 5).
184) Orang-orang pada berangkat menuju berbagai tujuan, mencari
kehidupan yang diperkirakan akan lebih baik. Paling tidak,
begitulah sangkaan mereka. Kota itu mereka biarkan menghadapi
kematiannya sendiri. Dan, mereka mengadu nasib di tempat-
tempat yang lebih gampang, yang tak memerlukan kucuran
keringat, apalagi darah sebagaimana yang siap ditimpahkan
perempuan itu (Aleida, 2004: 8).
4. Tema
Tema yang terkandung dalam Novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis adalah perjuangan yang tak kenal menyerah dari seorang
perempuan bernama Molek yang berjuang menyelamatkan lingkungan
hidupnya yang dirusak oleh limbah pabrik bubur kayu. Usaha yang
dilakukan Molek adalah menuntut pemerintah melakukan pengerukan
Sungai yang mendangkal, dan penutupan pabrik Rayon i Toba. Namun
usaha Molek menuai kekerasan dari pemerintah. Kekerasan yang diterima
Molek tidak membuat dia menyerah. Berikut bukti pernyataan di atas
dalam kutipan:
185) “Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat untuk
menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya
memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah
kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi
kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga
mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?”
Molek meningkahi, (Aleida, 2004:19).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
186) “Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir
pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan
tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.”
(Aleida, 2004:33).
187) “Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini, kecil
maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke mana
saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk
sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah
Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).
Usaha molek menyelamatkan sungai dengan cara menggugat
pemerintah, tidak ditanggapi. Molek dan anaknya Hurlang kemudian
menyiapkan bentuk perlawanan yang berbeda. Mereka menghimpun
aspirasi rakyat dalam rapat besar di Lapangan Padang Bundar. Kutipan
berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas.
188) Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek
dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan
penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota
yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal (Aleida,
2004:84).
Setelah menyelenggarakan rapat besar yang dihadiri oleh manusia
yang memenuhi Lapangan Padang Bundar, Molek diinterogasi,
Hurlang ditahan selama delapan hari dan dicambuki. Berikut ini bukti
dari pernyataan di atas.
189) Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap
dan kata-kata kasar yang dilontarkan interogator yang duduk
ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap
rokok sesukanya (Aleida 2004:106).
190) Seminggu setelah rapat raksasa yang disusul interogasi di markas
tentara itu merupakan hari-hari yang melelahkan, membuat
dengkul Molek seperti terserang semutan. Juga, hari-hari yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
mencemaskan, terutama karena Hurlang masih juga mendekam
dalam tahanan (Aleida 2004:114).
191) Setelah mengamati balur-balur luka yang memanjang dari bahu,
terus merembet ke bawah menjangkau bokong, menjentang serupa
tali penambat perahu yang sudah lapuk sebesar ibu jari kaki di
belakang anaknya itu, Molek menahan duka dan bertanya dalam
desah, “Mereka lumatkan punggungmu dengan tali manila?!”
(Aleida 2004:117).
Perlakuan kasar aparat keamanan karena rapat besar yang
diselenggarakan Molek di Padang Bundar, tidak membuat Molek
berniat menghentikan perlawanan. Molek menerima undangan dari
Porsea untuk membantu perjuangan masyarakat Porsea menuntut agar
pabrik yang merusak lingkungan itu ditutup. Pernyataan di atas
dibuktikan dalam kutipan berikut.
192) Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk
yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari
seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki
menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya
berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup.
Mereka bergerak dari Lumban Huala, Lumba Lobu, Naga Mosik,
Sihiong, Silamosik, Siruar, Sosor Dolok, dan dua puluh desa
lainnya yang selama dua puluh tahun belakangan ini sengsara
melihat pucuk padi, kelapa dan singkong mereka memerah dan
layu, serta kerbau, babi dan ikan emas mereka mati mendadak
seperti disantet setan (Aleida, 2004: 211).
193) Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan
dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama
kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya
dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor
pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya (Aleida,
2004:227).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Namun usaha Molek menuai kekerasan dan hukuman penjara dari
pemerintah. Berikut bukti dalam bentuk kutipan:
194) Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa.
Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai-
sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut
penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan
dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida, 2004:234).
195) Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah
anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di
belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun (Aleida,
2004:234).
Rayon i Toba adalah sebuah pabrik pulp atau bubuk kayu, yang berdiri
di hulu sungai dan membuang limbah ke sungai yang menyebabkan
sungai tercemar dan mendangkal dari hulu ke Muara. Kutipan yang
mendukung pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
196) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i
Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan.
Cuma penduduk yang selalu dikalahkan, terbunuh, dihukum, atau
diusir. Dan, hanya empat hari setelah demonstrasi yang berakhir
rusuh di depan kantor kecamatan, sebuah pengadilan digelar
dengan tergesa-gesa di Tarutung (Aleida, 2004:234).
197) Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus
menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada
seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim
di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah
menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam
tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak
memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam
pikiran dan hati seluruh penduduk (Aleida, 2004:238-239).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
C. Relasi Antara Manusia dengan Lingkungan Hidup: Kajian Ekokritik
Ekokritik bertujuan menunjukkan bagaimana karya sastra mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan dan berperan memecahkan masalah ekologi.
Ekokritik mempertanyakan bagaimana alam direpresentasikan dalam sebuah
karya sastra? (Endraswara, 2016: 33). Novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis merepresentasikan alam sebagai korban eksploitatif manusia. Alam
digambarkan dalam keadaan menderita. Udara tercemar gas, air dan tanah
tercemar limbah, tumbuhan tidak dapat bertahan hidup, binatang mati
keracunan dan manusia mengidap penyakit kulit dan pernapasan serta terusir
dari rumah sendiri karena lingkungannya tidak nyaman untuk ditinggali.
198) Pabrik bubur kayu Rayon i Toba yang berdiri pada tahun1986,
telah membawa kesengsaraan, merusak Danau Toba dan
lingkungan sekitarnya…. Pohon-pohon pinus yang menjaga
kelestarian hamparan air yang melingkung Pulau Samosir, dibabat
untuk memberi makan kepada gerigi mesin di pabrik itu. tanah
yang sudah ditanduskan kemudian ditanami pohon yang ganas,
yang didatangkan dari luar negeri, eucalyptus namanya. Pohon ini
tumbuh dengan kerasukan yang amat ganjil. Begitu cepat dia
membesar, mengalahkan pohon mana saja yang pernah dikenal
manusia di tepi danau itu. tetapi untuk menopang laju
pertumbuhannya yang cepat untuk emenuhi kebutuhan perut
pabrik yang selalu lapar itu, pohon tadi menyedot air secara luar
biasa derasnya. Di atas lahan tempat dia ditanam, pohon itu
menjadi momok penyedot air yang membikin kering kerontang
tidak saja tanah tempatnya tumbuh, tetapi juga wilayah sekitar.
Zat-zat yang menyuburkan tanah terbunuh (Aleida, 2004:187).
199) Luka jadi bernanah ketika uap yang terlempar ke udara sebagai
ampas buangan pabrik itu saban hari menimbulkan bau yang
sangat menyengat, terkadang membikin muntah. Bau bususk yang
menusuk itu bertebar dalam radius berkilo-kilometer. Pucuk-pucuk
pohon kelapa, padi, dan jagung, untuk pertama kali dalam sejarah
disaksikan Pusuk Buhit, berwarna kemerah-merahan, tak tahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
kena gas. Sulur-sulur daun padi tidak lagi hijau menggairahkan
seperti yang dikenal selama ini, tetapi sudah ditaburi semacam
rona yang membikin hati petani jadi ciut dan membuat seluruh
permukaan ladang persawahan seperti dihiggapi awan tipis kelabu.
Ikan-ikan di kolam mendadak megap-megap, kemudian diam dan
mati (Aleida, 2004:192).
Pertanyaan lain yang diajukan ekokritik dalam Endraswara (2016), apa
peranan lingkungan hidup dalam plot sebuah novel, dan dengan cara apa
sastra berpengaruh pada hubungan antara manusia dan alam? Usaha-yang
dilakukan tokoh sentral protagonis untuk menyelamatkan lingkungannya
menjadi benang merah yang memadukan cerita novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis. Aleida menempatkan kisah Molek yang berusaha menyelamatkan
lingkungan dalam setiap tahap alur.
Melalui novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, Martin Aleida
menuntun pembaca untuk menyadari bahwa sesungguhnya alam menyediakan
kehidupan bagi manusia, namun jika manusia menikmati kebaikan alam
secara serakah, eksploitatif dan mengacuhkan keadaan lingkungan yang rusak,
selain bumi yang akan menanggung penderitaan, manusia juga akan menjadi
korban. Aleida mempengaruhi pembaca untuk memperbaiki hubungan
manusia dan alam yang tidak seimbang.
Greg Garrad dalam Endraswara (2016:37) berpendapat bahwa manusia
hampir selalu bersentuhan dengan konsep-konsep ekokritik seperti, polusi,
hutan belantara, bencana, tempat tinggal dan bumi. Martin Aleida sependapat
dengan Garrad. Dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis Aleida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
mengisahkan bagaimana polusi yang disebabkan oleh pabrik Rayon i Toba
mengganggu masyarakat, hutan belantara ditanduskan demi pohon perusak
tanah dan pembunuh tanaman lain yang menjadi bahan baku pabrik.
Ketidakpedulian manusia terhadap bumi yang sekarat menimbulkan ancaman
bencana. Limbah pabrik yang mengalirkan pasir menyebabkan dasar sungai
mendangkal dan daerah sekitar sungai terancam terbenam. Bencana lain yang
mungkin terjadi adalah kematian makhluk hidup. Kualitas tanah dan air yang
merosot tidak mampu membantu kelanjutan hidup tanaman, limbah yang
mencemari udara dan air meracuni manusia dan binatang. Seumpama seorang
ibu, bumi adalah seorang ibu yang merintih dalam rasa sakit bersalinnya.
Dalam bukunya yang berjudul Ekologi Sastra, Endraswara (2016: 1)
mengungkapkan bahwa ekokritik adalah perspektif kajian yang berusaha
menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya
mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan
teknis, ilmiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait dengan
fenomena sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah
merepresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan dalam
sastra.
Martin Aleida memberikan gambaran fenomena kultural dan
perubahan lingkungan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis.
Lingkungan yang bersahabat dan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
hidup serta menjadi sumber pendapatan ekonomi, berubah menjadi
lingkungan yang berbahaya bagi makhluk hidup. Air sungai yang berbau,
kotor, dasar sungai yang mendangkal, tanah dan udara yang tercemar
membuat sunyi pergerakan ekonomi manusia, menimbulkan penyakit bahkan
membunuh makhluk hidup.
200) Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat
bagaimana memetik buah kelapa dengan aman.
Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk
bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan
lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar
mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir,
limbat (Aleida 2004:11).
201) Dia ingat ketika masih kanak-kanak, air sungai itu sebersih langit
biru, sebenderang kaca, bisa langsung direguk sambil menyelam.
Sesungguhnya itu bukan hanya suasana pada masa kanak-
kanaknya. Sejak ribuan tahun lalu, air itu telah memberikan
kemurahan hati dan mengilhami penduduk menyulam kearifan ke
dalam peribahasa yang bersenandung: “sambil menyelam minum
air” (Aleida 2004: 2).
202) Sekarang, air itu berubah menjadi kusam, coklat kehitam-
hitaman. Dan aromanya pun sudah tidak surgawi lagi. Baunya
lebih menyengat dari pada daun pandan yang busuk. Sedangkan
hamparan gosong di tengah sungai, nun persis di depan pelabuhan
sana, mengganas dengan leluasa. Menghimpun pasir yang tiada
terkira jumlahnya. Mula-mula membuat alur sungai menjadi
dangkal, kemudian, melalui proses timbun-menimbun yang
berlangsung bertahun-tahun, butir-butir pasir membentuk diri
menjadi pulau yang menyesakkan dada (Aleida 2004: 2).
Dalam buku yang sama Endraswara memaparkan bahwa ekokritisisme
adalah kemampuan untuk mengkritik wacana yang ada, artefak budaya,
bentuk dan genre, dan mengeksplorasi alternatif lingkungan sastra.
Lingkungan yang mengitari sastra menjadi fokus pengkajian ekokritisisme.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Ada materi pokok kajian ekokritisisme sastra, yaitu: (1) penelitian ekokritik
dan pedagogi sastra dalam kaitannya dengan lingkungan, (2) bagaimana
prinsip-prinsip utama yang seharusnya diajarkan lewat sastra terhadap
lingkungan untuk menyelamatkan bumi (Endraswara, 2016: 2).
Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengemukakan masalah
lingkungan yang terjadi di Sumatera Utara. Sebuah sungai dicemari oleh
limbah pabrik bubur kayu di hulunya. Kegiatan ekonomi kota pelabuhan yang
terkena dampak buruk dari sungai yang tercemar menjadi mati. Masyarakat
memilih pergi meninggalkan kota pelabuhan yang beranjak mati dari pada
memperjuangkan penyelamatan terhadap sungai yang telah menghidupi
selama berpuluh-puluh tahun.
Novel ini memaparkan ketidaksadaran manusia bahwa lingkungan
hidup mereka sedang terancam. Terbukti ketika pemerintah tidak melakukan
apapun untuk menanggapi protes Molek dan nampak ketika pengarang
mengisahkan rumah dan sampan-sampan yang ditinggalkan pemiliknya. Hal
ini merupakan bukti bahwa manusia masyarakat tepi sungai lebih
mengutamakan kepentingannya, dari pada keselamatan sungai. Usaha Molek
berujung tuduhan menghasut oleh aparat keamanan. Pengarang mengajarkan
bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap alam dalam keadaan baik
maupun buruk. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut adalah sebagai
berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
203) Bertih-bertih pasir yang terbilang milyaran itu memagut
pikirannya dan membuat dia kembali menangkap isyarat tentang
bencana yang tidak hanya akan membinasakan dirinya, tetapi juga
seluruh lingkungan tempat dia hidup, seluruh kota (Aleida,
2004:1).
204) Rumah-rumah itu ditinggalkan. Cuma angin yang bertahan di
situ. Orang-orang pada berangkat menuju berbagai tujuan, mencari
kehidupan yang diperkirakan akan lebih baik. Paling tidak
begitulah sangkaan mereka. Kota itu mereka biarkan menghadapi
kematiannya sendiri (Aleida, 2004:8).
205) Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap
perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu
kekuasaan (Aleida, 2004: 195).
206) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon
i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan.
Cuma penduduk yang selalu dikalahkan, terbunuh, dihukum, atau
diusir. Dan, hanya empat hari setelah demonstrasi yang berakhir
rusuh di depan kantor kecamatan, sebuah pengadilan digelar
dengan tergesa-gesa di Tarutung. Rahma Boru Saragi alias Molek,
duduk di kursi terdakwa. Pengunjung yang bersimpati memadati
ruang siding, sampai-sampai melimpah ke pekarangan. Molek
dituduh mengahsut penduduk untuk menyerang dan merusak
kantor kecamatan dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun (Aleida,
2004:234).
Masalah ekologi adalah akibat tragis dari aktivitas manusia
yang tidak terkendali: “Karena eksploitasi alam yang sembarangan,
manusia mengambil resiko merusak alam dan pada giliranya menjadi
korban degradasi ini, (Fransiskus, 2015: 8). Ada beberapa bentuk
pencemaran yang dialami orang setiap hari. Terkena polusi udara
mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat
miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
misalnya karena terus menghirup asap bahan bakar tingkat tinggi yang
digunakan untuk memasak atau memanaskan rumah. Adalagi polusi
yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh transportasi,
asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada pengasaman tanah
dan air (Fransiskus, 2015: 17-18).
Kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih
berdampak pada pihak yang paling lemah di bumi: “Baik pengalaman
hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek
paling parah dari serusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin”,
(Fransiskus, 2015: 33). Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam
novel Jamangilak Tak Pernah Menangis berdampak pada masyarakat
yang miskin. Air sungai yang tercemar limbah tidak layak untuk
diminum dan digunakan untuk mandi. Berikut kutipan yang
membuktikan pernyataan di atas:
207) Dia ingat, ketika masih kanak-kanak, air sungai itu sebersih
langit biru, sebenderang kaca, bisa di reguk sambil menyelam.
Sesungguhnya itu bukan hanya suasana pada masa kanak-
kanaknya. Sejak ribuan tahun lalu, air itu telah memberikan
kemurahan hati dan mengilhami penduduk menyulam kearifan ke
dalam peribahasa yang bersenandung: “Sambil menyelam minum
air.” (Aleida, 2004: 2).
208) Sekarang air itu berubah menjadi kusam, coklat kehitam-
hitaman. Dan aromanyapun sidah tidak surgawi lagi. Baunya lebih
menyengat daripada daun pandan yang busuk. Sedangkan
hamparan gosong di tengah sungai, nun persis di depan pelabuhan
sana, mengganas dengan leluasa. Menghimpun pasir yang tiada
terkira jumlahnya. Mula-mula membuat alur sungai menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
dangkal. Kemudian, melalui proses timbun-menimbun yang
berlangsung bertahun-tahun, butir-butir pasir membentuk diri
menjadi pulau yang menyesakkan dada (Aleida, 2004: 2).
209) “Dari mana Inang mengambil air minum? Dari sungai itu?”
Tanya Molek kepada perempuan yang menghentikan ayunan
penampinya hanya untuk melayani pertanyaan seorang tamu yang
sedang lewat.
“Ah, Inang, ai tak si minuman itu. Dibikin mandi juga gatal.”
(Aleida, 2004: 203).
210) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon
i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan.
Cuma penduduk yang selalu dikalahkan, terbunuh, dihukum, atau
diusir (Aleida, 2004:234).
211) Limbah kulit kayu biasanya dimanfaatkan lagi di pabrik,
sedangkan lumpur CaCO₃ yang bercampur dengan senyawa-
senyawa lain akan dibuang. Jika pembuangannya dilakukan di
sungai, akan menyebabkan pendangkalan dan menutupi benthos
(makanan ikan) yang terdapat di dasar sungai, di dalam limbah cair
akan terdapat berbagai Zat kimia, yaitu sulfat SO₄²,NaCOl, resin
dan sabun dari asam-asam lemak. Senyawa-senyawa kimia
tersebut di atas akan bersifat racun terhadap organisme perairan,
seperti ikan, dan juga berbahaya bagi kesehatan manusia (Aleida,
2004: 188).
Keraf (2010) mengemukakan beberapa teori etika lingkungan
untuk menjelaskan hubungan dan relasi manusia dan alam, yaitu:
antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Antroposentrisme
merupakan etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam
kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya.
Biosentrisme menganggap setiap kehidupan dan makhluk
hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini
menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam
semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga
pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi
manusia atau tidak.
Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas
ekologis baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk
hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya
dibatasi pada makhluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua
realitas ekologis, (Keraf, 2010: 92).
Untuk melakukan analisis hubungan manusia dan lingkungan
hidupnya menggunakan pendekatan ekokritik, peneliti melakukan
pemeriksaan bahasa yang digunakan untuk menggambarkan alam, dan
dengan melibatkan etika lingkungan hidup yaitu biosentris, ekosentris
dan antroposentris, peneliti berharap dapat memaparkan hubungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
antara manusia dan lingkungannya dalam novel Jamagilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida.
Berdasarkan etika lingkungan di atas, novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis mengungkapkan bagaimana seharusnya manusia
memperlakukan alam. Novel ini menampilkan bagaimana manusia
tidak peduli pada keadaan sungai sebagai tempat hidup biota air,
sebagai sumber air bagi manusia, hewan dan tumbuhan.
Antroposentris muncul dalam kutipan-kutipan tokoh utama, yaitu
dalam usaha Molek memperjuangkan keselamatan sungai Asahan
untuk kepentingan manusia. Kutipan yang mendukung pernyataan
tersebut adalah sebagai berikut:
212) “Kita ingatkan pemerintah. Tak pernah ada kata terlambat
untuk menyelamatkan sungai itu. Jangan biarkan pemerintah hanya
memungut pajak. Ke mana uang pajak itu dibelanjakan pemerintah
kalau bukan untuk memelihara sungai? Kalau sungai itu jadi
kering, timpas, dari mana kita dapat uang? Apa pemerintah juga
mau membiarkan dirinya mati? Pemerintah macam apa itu…?”
Molek meningkahi (Aleida, 2004:19).
213) “Saya datang kesini tidak untuk mengemis barang sebutir
pasirpun. Saya mau mempertanyakan kemana saja pajak puluhan
tahun yang kami bayar. Saya mau bertemu dengan Bupati.”
(Aleida, 2004:33).
214) “Berpuluh tahun suami saya dan para pedangan di kota ini,
kecil maupun besar, menyerahkan pajak kepada pemerintah, ke
mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk
sungai? Kalau kota ini mati dan orang-orang semua pergi, apakah
Bupati juga mau terbenam? Kan tidak?” (Aleida, 2004:33).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia.
Maka segala tuntutan mengenai perlunya kawajiban dan tanggung
jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai
tuntutan yang berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya.
Krisis lingkungan hidup dianggap terjadi karena perilaku manusia
yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang
antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan
menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan
hidupnya tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam.
Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli
terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang
hanya mementingkan kepentingan manusia. Cara pandang ini
melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan
manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa
mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada
demi kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia
terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan manusia, sejauh
tidak mempunyai dampak yang merugikan kepentingan manusia.
Kepentingan manusia yang dianggap di sini lebih bersifat jangka
pendek. Itulah akar dari berbagai krisis lingkungan (Keraf, 2010:48).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Keantroposentrisan tokoh dalam Jamangilak Tak Pernah
Menangis digambarkan pengarang melalui bagaimana manusia
meninggalkan alam yang sekarat setelah bertahun-tahun hidup dari
alam. Berikut ini adalah bukti dari pernyataan di atas.
215) Sejak ribuan tahun lalu, air itu telah memberikan kemurahan
hati dan mengilhami penduduk menyulam kearifan dalam
peribahasa yang bersenandung: “ Sambil menyelam minum air.”
(Aleida, 2004: 2).
216) Di pojok kamar, suaminya sedang menjejalkan pakaian ke
dalam tas, kemudian menyandarkannya ke dinding. Begitu dia
keluar lagi, suaminya masih saja sibuk sendiri membenahi beban
yang akan dia bawa besok menuju dunia baru (Aleida 2004: 9).
217) Pelabuhan itulah yang telah mengilhami para pendatang, para
pedagang yang bermata elang untuk membangun rumah-rumah
yang berderet menyisir tepi sungai dan berhenti pada satu lahan
luas yang menjadi pusat perdagangan kota kecil itu (Aleida 204:
5).
218) Sebagai pelabuhan, kota ini memang sudah dilupakan, kalau
bukan sengaja diterbengkalaikan oleh penguasa dan penduduk
bahwa hidup hanya bisa mengapung kalau dasar sungai itu tetap
terbuka untuk palung-palung yang dalam. Kini hanya tongkang-
tongkang yang malas dan sampan-sampan bermuatan penumpang
yang tambat di dermaganya (Aleida 2004: 5).
Bagi biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang
mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri
lepas dari kepentingan manusia. Teori ini menganggap serius setiap
kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup
bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas
dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak (Keraf, 2010:65)
Menurut Keraf (2010) etika biosentrisme didasarkan pada
hubungan yang khas antara manusia dan alam, dan nilai yang ada pada
alam itu sendiri. Alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai
di tengah dan dalam komunitas kehidupan di bumi. Alam mempunyai
nilai justru karena ada kehidupan di dalamnya. Oleh karena itu,
sebagaimana dikatakan Paul Taylor, terlepas dari apapun kewajiban
dan tanggung jawab moral yang kita miliki terhadap sesama manusia,
kita mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap semua
makhluk hidup di bumi ini demi kepentingan mereka begitu saja.
Kewajiban dan tanggung jawab ini semata-mata didasarkan pada
pertimbangan moral bahwa makhluk-makhluk di alam semesta
memang mempunyai nilai atas dasar mereka mempunyai kehidupan
sendiri yang bermartabat. Karena itu manusia harus melindungi dan
melestarikannya.
Dalam bagian lain dari novel ini, ditemukan teori biosentris.
Konteks cerita menggambarkan keadaan hutan pinus yang dijarah dan
digantikan dengan eucalyptus yang berbahaya bagi tanah dan tubuhan
lain serta Molek yang tidak setuju pada keadaan lingkungan yang
membunuh makhluk hidup lain. Hal ini dilihat dari kutipan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
219) Pabrik bubur kayu Rayon i Toba yang berdiri pada tahun1986,
telah membawa kesengsaraan, merusak Danau Toba dan
lingkungan sekitarnya…. Pohon-pohon pinus yang menjaga
kelestarian hamparan air yang melingkung Pulau Samosir, dibabat
untuk memberi makan kepada gerigi mesin di pabrik itu. tanah
yang sudah ditanduskan kemudian ditanami pohon yang ganas,
yang didatangkan dari luar negeri, eucalyptus namanya. Pohon ini
tumbuh dengan kerasukan yang amat ganjil. Begitu cepat dia
membesar, mengalahkan pohon mana saja yang pernah dikenal
manusia di tepi danau itu. tetapi untuk menopang laju
pertumbuhannya yang cepat untuk emenuhi kebutuhan perut
pabrik yang selalu lapar itu, pohon tadi menyedot air secara luar
biasa derasnya. Di atas lahan tempat dia ditanam, pohon itu
menjadi momok penyedot air yang membikin kering kerontang
tidak saja tanah tempatnya tumbuh, tetapi juga wilayah sekitar.
Zat-zat yang menyuburkan tanah terbunuh (Aleida, 2004:187).
220) Luka jadi bernanah ketika uap yang terlempar ke udara sebagai
ampas buangan pabrik itu saban hari menimbulkan bau yang
sangat menyengat, terkadang membikin muntah. Bau bususk yang
menusuk itu bertebar dalam radius berkilo-kilometer. Pucuk-pucuk
pohon kelapa, padi, dan jagung, untuk pertama kali dalam sejarah
disaksikan Pusuk Buhit, berwarna kemerah-merahan, tak tahan
kena gas. Sulur-sulur daun padi tidak lagi hijau menggairahkan
seperti yang dikenal selama ini, tetapi sudah ditaburi semacam
rona yang membikin hati petani jadi ciut dan membuat seluruh
permukaan ladang persawahan seperti dihiggapi awan tipis kelabu.
Ikan-ikan di kolam mendadak megap-megap, kemudian diam dan
mati (Aleida, 2004:192).
Berbeda dengan biosentris yang hanya memusatkan etika pada
komunitas biotis, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru
memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup
maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda
abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
kewajiban dan tanggungjawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk
hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral juga berlaku terhadap
semua realitas ekologis (Keraf, 2010: 92).
Ekosentrisme juga tergambar dalam novel ini. Semua langkah
yang dilakukan Molek dan semua orang yang mendukung usaha
penyelamatan lingkungan merupakan suatu usaha agar tidak hanya
faktor biotis saja yang diselamatkan tetapi semua komunitas ekologis.
Hal ini dilihat dari kutipan:
221) Tanah yang sudah ditanduskan kemudian ditanami pohon yang
ganas, yang didatangkan dari luar negeri, eucalyptus namanya.
Pohon ini tumbuh dengan kerasukan yang amat ganjil. Begitu
cepat dia membesar, mengalahkan pohon mana saja yang pernah
dikenal manusia di tepi danau itu. Tetapi, untuk menopang laju
pertumbuhannya yang cepat untuk memenuhi kebutuhan perut
pabrik yang selalu lapar itu, pphon itu menyedot air secara luar
biasa derasnya. Di atas lahan temat dia ditanam, pohon itu menjadi
momok penyedot air yang membikin kering kerontang tidak saja
tanah tempatnya tumbuh, tetapi juga wilayah sekitar (Aleida,
2004:187)
222) Kata laporan itu tentang kemungkinan bencana yang muncul
akibat limbah kimia yang disemprotkan pabrik keudara dan yang
dibuang seenaknya ke sungai: “limbah gas juga merusak kesehatan
manusia, secara langsung merusak saluran pernapasan dan kulit
manusia. Gas SO₂ dapat terbawah oleh aliran darah ke seluruh
jaringan tubuh dan merusak sistem saraf, bahkan merusak gen
dalam sperma” (Aleida, 2004:190)
Terlepas dari perbedaan cara pandang di antara
antropsentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme, semua teori etika
lingkungan hidup tersebut sama-sama mengakui bahwa alam semesta
perlu dihormati. Bedanya antroposentrisme menghormati alam karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
kepentingan manusia bergantung pada kelestarian dan integritas alam.
Sebaliknya biosentrisme dan ekosentrisme beranggapan bahwa
manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta
dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam semesta
dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri (Keraf, 2010:
167).
Masalah-masalah lingkungan yang mengganggu manusia tidak
lagi menjadi suatu rahasia. Di berbagai tempat di bumi ini juga
mengalami masalah yang sama, seperti polusi, perubahan iklim,
masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas
hidup manusia, kemerosotan sosial dan ketimpangan global. Situasi
yang terjadi ini merangsang lingkungan melalui sastra memohon
kepada manusia untuk menemukan jalan lain yang lebih adil bagi
lingkungan.
Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang setiap
hari. Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah
kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan
kematian dini. Iklim merupakan kebaikan bersama, milik semua dan
untuk semua. Pada tingkat global, iklim merupakan suatu sistem yang
kompleks, terkait dengan banyak syarat mutlak untuk kehidupan
manusia. Sebuah kesepakatan ilmiah secara kuat menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kita saat ini sedang meyaksikan pemanasan yang mencemaskan dalam
sistem iklim (Fransiskus, 2016:17).
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2016) mengungkapkan
bahwa air merupakan salah satu masalah yang terjadi pada bumi
sebagai rumah kita bersama. Air minum bersih merupakan topik yang
paling penting, karena sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia dan
untuk mendukung ekosistem di daratan dan peraian. Sumber-sumber
air tawar bersih diperlukan untuk perawatan kesehatan, pertanian dan
industri. Sumber air bawah tanah di banyak tempat terancam oleh
polusi yang di sebabkan oleh kegiatan pertambangan, petanian dan
industri tertentu, terutama di Negara-negara di mana tidak ada
pengaturan dan pengawasan yang memadai.
Air merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung
kehidupan baik untuk hewan maupun untuk tumbuh-tumbuhan.
Banyaknya air untuk mendukung kehidupan setiap spesies tidak selalu
sama. Ada yang hanya memerlukan sedikit air saja untuk hidupnya
seperti tumbuhan xerophyte dan hean yang hidup di padang pasir.
Hewan yang hidup di air dan tumbuhan hidrophyt memerlukan banyak
air untuk hidupnya, sedangkan tumbuhan dan hewan yang hidup di
darat, memerlukan air secukupnya. Bagi manusia, ar merupakan hal
yang vital. Agar mendapatkan hidup yang sehat dan bersih diperlukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
banyak air bersih. Yang dimaksudkan dengan air yang bersih adalah
air yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mengandung zat-zat
yang dapat menggangu kesehatan (Supardi, 1985: 18).
Sumber daya bumi dijarah karena konsep ekonomi,
perdagangan dan produksi jangka pendek saja. Hilangnya rimba dan
kawasan hutan lainnya membawa hilangnya spesies yang dapat
menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya
untuk pangan, tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan berbagai
kegunaan lainnya. Berbagai spesies mengandung gen yang biasa
menjadi sumber daya penting di tahun-tahun mendatang untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan mengatur beberapa masalah
lingkungan. Ekosistem hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat kompleks dan hampir mustahil diinventarisasi
sepenuhnya, namun ketika hutan tersebut terbakar atau ditebang untuk
tujuan pertanian dalam waktu beberapa tahun, spesies yang tak
terhitung jumlahnya punah dan wilayah itu bisa berubah menjadi
gurun gersang.
Lingkungan manusia dan lingkungan alam merosot bersama-
sama dan kita tidak dapat secara memadai menangani kemerosotan
lingkungan alam jika kita tidak memperhatikan sebab-sebab yang
berkaitan dengan kemerosotan manusia dan masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Sesungguhnya kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat
mempengaruhi mereka yang paling lemah di bumi: “Baik pengalaman
hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa
dampak terburuk dari semua serangan lingkungan di derita oleh kaum
miskin”. Sebagai contoh, menipisnya cadangan ikan terutama
merugikan masyarakat nelayan kecil yang tanpa sarana untuk
mengganti sumber daya tersebut; pencemaran air terutama berdampak
pada orang-orang miskin yang tidak dapat membeli air minum
kemasan, dan naiknya permukaan laut berakibat bagi orang-orang
pesisir miskin yang tidak punya tampat lain untuk pindah (Fransiskus,
2004: 30).
Krisis lingkungan yang dipaparkan Paus Fransiskus di atas
dapat ditemukan dalam Jamangilak Tak Pernah Menangis. Dalam
cerita, hutan ditanduskan untuk menanam pohon yang merusak tanah,
dan tumbuhan lain sebagai bahan baku pabrik yang kemudian
membuang limbahnya ke Sungai Asahan, mencemari sungai itu
selama bertahun-tahun. Pihak yang paling merasakan dampak dari
kemerosotan lingkungan adalah masyarakat tepi sungai yang
mengandalkan air sungai pendukung kehidupan mereka sebagai
petani, peternak, dan pedagang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Krisis lingkungan yang terjadi di atas muka bumi ini
merupakan sebuah bentuk pelecehan terhadap bumi yang diakibatkan
oleh perilaku manusia. Maka, manusia patut bertanggung jawab
mengatasi kerusakan lingkungan demi menjaga bumi yang menjadi
rumah bersama segala makhluk. Jamangilak Tak Pernah Menangis
menggambarkan manusia, dalam konteks ini, perempuan yang
berjuang menyelamatkan kehidupan banyak makhluk di muka bumi.
Molek, si tokoh sentral dalam novel ini berjuang agar masyarakat
sadar bahwa lingkungan harus segera diselamatkan agar manusia tidak
menjadi korban. Selain Molek, pengarang menggambarkan
perempuan-perempuan di Siraituruk yang membentuk gerakan
menolak pabrik, dan ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di pinggir jalan
dalam rangka menuntut agar pabrik Rayon i Toba ditutup. Berikut ini
merupakan bukti yang mendukung pernyataan di atas:
223) Perempuan-perempuan desa terutama mereka yang aktif
adalam gerakan penutupan pabrik pulp, atau pabrik bubur kayu itu,
menemaninya… (Aleida, 2004:186).
224) Hampir saban hari berlangsung perlawanan terhadap Rayon i
Toba di sini, mulai dari ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di tepi
jalan… (Aleida, 2004: 193).
Krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang
dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan perilaku yang
mengutamakan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Menurut Karren J. Warren, kerangka konseptual androsentrisme yang
menindas memiliki tiga ciri utama: (a) berpikir tentang “nilai-secara-
hierarkis”, yang menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada
pihak yang dianggap lebih tinggi; (b) dualisme nilai, yang melakukan
penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan
perempuan, manusia dilawankan dengan alam) untuk memberi nilai
lebih tinggi pada yang satu sambil menilai rendah yang lain; (c) logika
dominasi, yaitu struktur dan cara berpikir yang cenderung
membenarkan dominasi dan subordinasi (Keraf, 2010: 151).
Dalam lagika dominasi, pihak yang satu selalu dianggap baik
(laki-laki, manusia, ras barat, kulit putih dan seterusnya) sementara
yang lain dengan sendirinya buruk atau tidak bernilai hanya karena
jenis kelaminnya (perempuan), hakikatnya sebagai bukan manusia
(alam), kulit yang berwarna (bangsa kulit hitam), etnisnya, rasnya dan
seterusnya (Keraf, 2010: 151).
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan menentukan
sejauh mana tujuan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dicapai dan
diwujudkan. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang benar
adalah pemerintah memerintah berdasarkan aspirasi dan kehendak
masyarakat demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat untuk
mewujudkan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang benar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
ini, penyelenggaraan pemerintahan itu harus dilaksanakan secara baik
(Keraf, 2010: 151).
Menurut Keraf (2010: 219), penyelenggaraan pemerintah yang
dilaksanakan secara baik mensyaratkan beberapa hal yaitu
pemerintahan yang tegar dan tahan terhadap berbagai tarik menarik
kepentingan, tunduk kepada aturan hukum yang berlaku, sebagai
penjaga aturan hukum yang ada demi menjamin kepentingan bersama
seluruh rakyat, dan adanya perangkat-perangkat kelembagaan
demokrasi yang berfungsi secara maksimal dan efektif.
Penyelenggaraan pemerintah merupakan aspek yang niscaya
demi mengatasi krisis ekologi sekarang ini, selain karena kesalahan
cara pandang dan perilaku manusia, juga disebabkan oleh kegagalan
pemerintah (Keraf, 2010:217). Kegagalan pemerintah yang
digambarkan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah
kegagalan pemerintah dalam memainkan peran sebagai penjaga
kepentingan bersama akan lingkungan hidup yang baik. Usaha Molek
mengadukan keadaan sungai yang rusak dipandang sebagai
ketidakwajaran oleh pihak pemerintah. Bertahun-tahun masyarakat
melakukan aksi protes penutupan pabrik, bertahun-tahun pula
pemerintah tidak peduli. Berikut ini merupakan bukti dari pernyataan
di atas:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
225) Di depan pintu, mata si penerima tamu tajam seperti menyindir
kedatangannya. Seperti menghina bahwa tak selayaknya seorang
perempuan membawa masalah ke dalam dunia yang dikuasai laki-
laki (Aleida, 2004:43).
226) Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon
i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri
mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan
(Aleida, 2004: 234).
227) Hampir saban hari berlangsung perlawanan terhadap Rayon i
Toba di sini, mulai dari ibu-ibu yang duduk bersaf-saf di tepi
jalan… (Aleida, 2004: 193).
Ekologi mempelajari hubungan antara organisme-organisme
hidup di mana mereka berkembang. Ekologi manusia menyiratkan hal
mendalam mengenai hubungan antara kehidupan manusia dan hukum
moral yang tertulis dalam kodrat kita sendiri, dan diperlukan untuk
dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermartabat. Paus
Benediktus XVI menegaskan tentang suatu “ekologi manusia”
mengingat manusia juga memiliki sifat dasar yang perlu ia hormati
dan tidak dapat ia manipulasi (Fransiskus, 2016).
Dalam Jamangilak Tak Pernah Menangis, dikisahkan
bagaimana martabat khas manusia dikacaukan oleh keadaan politik
yang terjadi kala itu. Hukum moral yang tertulis dalam kodrat manusia
bermartabat seolah dicoreng. Manusia-manusia yang tidak sejalan dan
sepemikiran dengan manusia yang memegang kuasa, menjadi manusia
yang tidak bernilai. Dengan mudahnya mereka ditangkap, disiksa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
disembelih, dipancung, kemudian dibuang ke sungai atau laut. Kutipan
berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas.
228) Mereka yang dituduh telah menginjak-injak, meludahi Al-
Quran, yang dikabarkan mengingkari keberadaan Tuhan, yang
memuja Presiden Soekarno melebihi Nabi, mereka yang katanya
mau memberikan lukah dan jala kepada nelayan yang tidak punya,
ditangkapi. Disembelih di tepi sungai. Dibuang, tak lebih berarti
dari ikan patin yang sudah busuk (Aleida, 2004:22).
229) Kata orang, Sibarani lantas dimasukkan ke dalam karung goni
dan dilemparkan ke dalam truk tentara. Di Suatu tempat, di tebing
sungai, tali yang semula melilit tangannya dikalungkan ke
lehernya. Kemudian, tali manila penambat sampan itu disentakkan
dengan kasar oleh para tukang ayau. Sunyi dan gelap malam terusi
suara tertahan berbunyi hik yang menggelincir dari leher Sibarani
yang tercekik. Sebilah parang panjang menakik leher itu berkali-
kali… air sungai yang tak pernah berdosa membelah muka ketika
menerima tubuh yang tak berdaya itu (Aleida, 2004:25).
Paus Fransiskus (2016) mengungkapkan bahwa ketika kita
berpikir tentang situasi dunia yang kita tinggalkan untuk generasi
mendatang, kita memasuki logika yang berbeda, yaitu bahwa dunia
adalah anugerah cuma-cuma yang kita terima dan kita bagi bersama.
Jika bumi dianugerahkan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir
hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi dan produktivitas demi
keuntungan pribadi. Kita tidak berbicara tentang sikap opsional, tetapi
soal keadilan mendasar, karena bumi yang kita terima adalah juga
milik mereka yang akan datang
Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan untuk mereka
yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini sedang bertumbuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
kembang? Masalah ini tidak hanya menyangkut lingkungan hidup
sendiri, karena kita tidak bisa mendekati masalah ini secara
fragmentaris. Ketika kita bertanya tentang dunia yang ingin kita
wariskan, kita terutama berbicara tentang arahnya secara keseluruhan,
maknanya, nilai-nilainya. Jika pertanyaan lebih mendasar ini tidak
diajukan, kepedulian kita terhadap lingkungan tidak akan
mengahasilkan sesuatu yang signifikan. Kita tidak cukup sekedar
menyatakan bahwa kita harus peduli pada generasi mendatang. Kita
harus menyadari bahwa kita mempertaruhkan martabat kita sendiri.
Kitalah yang pertama-tama berkepentingan untuk mewariskan planet
yang layak huni kepada generasi mendatang. Ini adalah drama bagi
kita sendiri, karena mempertaruhkan makna peziarahan kita di bumi.
230) Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air
sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia
dirayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia
pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka.
Sudah berada di bendul kebinasaan disebabkan oleh keserakahan
yang dipicu oleh kehendak mengejar kemakmuran sesaat bagi
segelintir pemodal dengan mengorbankan anak-anak dan mereka
yang sedang beranjak dewasa, dari siapa manusia zaman sekarang
telah meminjam planet yang fana ini (Aleida, 2004:95).
Dalam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut
dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa
kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan (Endraswara,
2016: 12). Martin Aleida menggambarkan latar yang dialiri Sungai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Asahan dan Porsea di mana pabrik bubur kayu Rayon i Toba berdiri.
Aleida memang tidak menyebutkan nama kota pelabuhan yang dialiri
Sungai Asahan namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah
Tanjung Balai dan pabrik bubur kayu Rayon i Toba mengingatkan kita
pada PT. Inti Indirayon Utama yang juga berdiri di Porsea, Sumatera
Utara.
Perspektif ekokrtik sastra merupakan jalur alternatif studi
analisis sastra dan lingkungan dari perspektif interdisipliner. Dalam
pandangan ini, semua disiplin datang bersama-sama untuk
menganalisis lingkungan dan mencari tahu kemungkinan solusi untuk
masalah lingkungan saat ini terkait dengan sastra (Endraswara 2016:
10). Martin Aleida dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
menawarkan solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dengan
cara memaparkan relasi manusia dengan lingkungan dan sebab-sebab
rusaknya lingkungan. Pembaca novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis dapat menyimpulkan solusi untuk mengatasi kerusakan
lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Martin Aleida menggambarkan krisis lingkungan yang disebabkan
oleh krisis moral manusia dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis.
Aleida menyoroti perlakuan manusia terhadap lingkungan dan terhadap
sesamanya manusia. Untuk mendekati karya sastra ini, penulis menggunakan
kajian intrinsik dan pendekatan ekokritik untuk memahami relasi manusia
dengan lingkungan hidup dalam novel ini.
Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis menggambarkan kota yang
mati karena kerusakan sebatang sungai yang pernah menghidupkan
masyarakat tepi sungai itu. Manusia, dalam hal ini penduduk tepi sungai, tidak
melakukan apa-apa setelah bertahun-tahun hidup dari sungai yang sekarang
merana dan sekarat. Sungai dicemari limbah pabrik yang berdiri di hulu
Sungai. Dasar sungai menjadi dangkal oleh lumpur dan pasir, air menjadi
kotor dan berbau, ikan-ikan mati, dan tumbuhan menjadi layu, serta udara
tercemar.
Bertahun-tahun sungai itu merana, sekarat dan tidak dapat diharapkan
sebagai moda transportasi, tempat hidup makhluk air, dan harapan hidup
manusia, tetapi pemerintah seolah-olah tidak melihat. Setelah seorang
perempuan bertindakpun, pemerintah seperti tidak mendengar. Demonstrasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
masyarakat selama bertahun-tahun untuk menuntut penutupan pabrik yang
menjadi biang permasalahan lingkungan, berakhir dengan kekerasan,
pembunuhan dan hukuman penjara.
Untuk memahami relasi manusia dengan lingkungan hidup dalam
novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, penulis terlebih dahulu melakukan
kajian terhadap unsur naratif novel tersebut. Penelitian ini membahas empat
unsur naratif yaitu tokoh dan penokohan, alur, latar dan tema. Keempat unsur
ini berperan dalam kajian ekokritik.
Melalui analisis tokoh dan penokohan, penulis dapat melihat krisis
moral manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Molek, tokoh
sentral dalam novel ini digambarkan sebagai manusia yang berjuang
menyelamatkan lingkungan dan sesamanya manusia dari kematian. Menurut
Molek, kerusakan lingkungan akan berakhir dengan kebinasaan manusia.
pihak pabrik dan pemerintah adalah tokoh yang acuh terhadap lingkungan,
demi kepuasan pribadi. Tokoh-tokoh dalam Jamangilak Tak Pernah
Menangis dimunculkan dengan menggambarkan reaksi tokoh terhadap
kejadian di sekitar mereka.
Latar novel Jamangilak Tak Pernah Menangis memperlihatkan krisis
yang dihadapi manusia. Latar waktu menggambarkan degradasi keadaan
lingkungan yang dihadapi manusia. Aleida menggambarkan bagaimana
sungai yang dulu menolong kehidupan manusia berubah menjadi sekarat dan
membutuhkan pertolongan manusia. Latar tempat yang mendapat porsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
penceritaan yang lebih besar dalam novel ini adalah sebuah kota kecil di
muara sungai Asahan, dan Sosor Ladang di Porsea. Kerusakan lingkungan
yang terjadi di tempat ini bukan hanya cerita belaka.
Martin Aleida tidak pernah menyebutkan nama kota kecil di muara
Sungai asahan, namun dapat diduga bahwa yang dimaksudkan adalah Tanjung
Balai, kota yang pada kenyataannya pada Agustus 1988 pernah merasakan
limbah dari Perusahaan Inti Indorayon Utama yang berdiri di Sosor Ladang,
Porsea. Dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, Rayon i Toba adalah
nama perusahaan yang berdiri di Sosor Ladang, yang akan mengingatkan kita
pada Perusahaan Inti Indirayon Utama.
Alur adalah tulang punggung cerita. Jamangilak Tak Pernah
Menangis memiliki alur campuran. Hal ini dapat dibuktikan dengan
menemukan awal cerita yang dimulai dengan Molek yang melakukan aksi
protes, dengan berdiri di tengah sungai sambil melemparkan pasir ke tepi
sungai. Cerita berlanjut ke usaha-usaha Molek yang lain yaitu, mendatangi
kantor pemerintah. Sesekali terdapat adegan sorot balik dalam novel ini.
Rangkaian cerita ini disusun menjadi kesatuan yang padu dan disatukan oleh
kisah perjuangan menyelamatkan lingkungan. Di akhir cerita, usaha Molek
menyelamatkan lingkungan berujung hukuman dua tahun penjara. Namun
Molek telah berhasil menyadarkan ribuan masyarakat yang dulunya diam
untuk berani menuntut. Niatnya untuk berjuang dan ribuan masyarakat yang
mendukungnya setia menunggu selama dua tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis bertemakan perjuangan yang
tak menyerah dari manusia (perempuan) untuk menyelamatkan lingkungan
yang rusak. Perjuangan Molek untuk menyelamatkan sungai tergambar
sebagai benang merah cerita dalam novel ini.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi ini karena
perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan merasa terasing dari
lingkungannya. Manusia tidak menyadari bahwa dirinya dan alam adalah satu.
Keantroposentrisan manusia tergambar dalam novel Jamangilak Tak pernah
Menangis. Pemerintah tidak melakukan apapun untuk menangaini sungai
yang tercemar. Masyarakat tepi sungai memilih pergi mencari peruntungan di
tempat lain, dan meninggalkan sungai yang berbau, kotor dan sedikit demi
sedikit tertimbun pasir. Setelah disegarkan oleh air sungai yang bersih, ikan
yang segar, manusia lantas pergi tanpa usaha setelah sungai menjadi kotor.
Biosentris dan ekosentris juga diperlihatkan dalam cerita. Molek
menjadi marah ketika menyadari bahwa limbah yang mengotori air, tanah dan
udara dapat membunuh makhluk hidup dan merusak makhluk tak hidup.
Hujan asam dari limbah pabrik tidak hanya merusak makluk hidup tetapi juga
rumah-rumah penduduk.
Ekologi manusia juga dimunculkan dalam Novel ini. Ekologi manusia
menyiratkan hal mendalam mengenai hubungan antara kehidupan manusia
dan hukum moral yang tertulis dalam kodrat manusia itu sendiri, dan
diperlukan untuk dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermartabat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Martin Aleida menampilkan cerita tentang peristiwa politik tahun 1965,
bagaimana pada rezim itu manusia yang berbeda pemikiran dianggap tidak
bermartabat, sehingga dengan mudahnya dibunuh dan dibuang.
Martin Aleida menampilkan pemerintah yang gagal dalam memainkan
perannya sebagai penjaga kepentingan bersama akan lingkungan hidup yang
baik. Sungai yang tercemar, kota yang berubah mati, masyarakat yang
menggugat perhatian pemerintah terhadap lingkungan yang hampir
membinasakan manusia, seolah-olah tidak pernah terlihat dan terdengar oleh
pemerintah. Masyarakat yang menggugat pada akhirnya tersingkir bahkan
terbunuh oleh pemerintah melalui tangan aparat.
Dari hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa relasi manusia
dengan lingkungan mengalami ketimpangan. Krisis lingkungan yang terjadi
disebabkan oleh ketidaksadaran manusia bahwa dirinya dan alam adalah satu
kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi ini seharusnya menjadi tanggung
jawab manusia. Manusia hidup dari sumber daya alam, namun setelah selesai
dinikmati, manusia pergi tanpa melakukan usaha perbaikan demi panjang
umurnya kehidupan yang diberikan oleh alam. Pengarang menawarkan solusi
pencegahan kerusakan lingkungn hidup dengan cara memaparkan relasi
manusia dengan lingkungan hidup dan sebab-sebab kerusakan lingkungn,
sehingga pembaca dapat menyimpulkan solusi yang ditawarkan pengarang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
B. Saran
Secara umum, bagi peneliti sastra, penelitian ini dapat dijadikan
sebagai pembanding untuk melakukan penelitian agar dapat memecahkan
masalah-masalah baru yang ditemukan dalam karya sastra, khususnya novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis. Selain itu novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis dapat dijadikan referensi dalam penelitian, sebagai objek penelitian
untuk dikembangkan atau ditinjau kembali dari segi sastra, ekokritik,
ekofeminisme, feminisme, postkolonial dan lain-lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
DAFTAR RUJUKAN
Aleida, Martin. 2004. Jamangilak Tak Pernah Menangis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Dewi, Novita. 2014. “Ekokritisisme dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia: Sebuah Usulan”. Makalah Seminar Nasional Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Diharja, J. Prapta. 2016. “Analisis Puisi ‘Rumah’ Karya Darmantao Jt, dengan
Pendekatan Semiotik dan Ekologi Sastra. Yogyakarta: Prosiding Seminar
Nasional Sastra dan Politik Partisan. Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2016. Ekokritik Sastra: Konsep, Teori dan Terapan
Yogyakarta: Morfolingua.
__________________. 2016. Metode Penelitian Ekologi Sastra: Konsep,
Langkah, dan Penerapan. Yogyakarta: CAPS.
Fatimah. 2016. “Analisis Ekokritik Pada Tokoh Sean Anderson dalam Film The
Journey 2: The Mysterious Island. Yogyakarta: Prosiding Seminar
Nasional Sastra dan Politik Partisan. Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Fransiskus,. 2016. Laudato Si’. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan Konferensi Wali Gereja.
Fromm, Harold, and Cheryll Glotfelty, eds. 1996. Ecocriticism: Landmarks In
Literary Ecology. Athens: University of Georgia Press. [online]. Tersedia
https://www.amazon.com/Ecocriticism-Reader-Landmarks-Literary-
Ecology/dp/0820317810 [22 Mei 2017]
Harsono, Siswo. 2009. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan”
Semarang: Kajian Sastra; Jurnal Kebahasaan dan Kesusasteraan. [online].
Tersedia
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/kajiansastra/article/view/2702/2607
[22 Mei 2017]
Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Ramadhani, Alfi Y. 2013. Relasi antara Manusia dan Lingkungan Hidup dalam
Novel Partikel Karya Dewi Lestari: Sebuah Kajian Ekokritisisme.
[online]. Tersedia http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-03/S46846-
Alfi%20Yusrina%20Ramadhani [2 Februari 2017]
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini K. M. 1985. Apresiasi Kesusastraan: Gramedia.
Supardi, I. 1985. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: Alumni
Sutanto, D. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
SINOPSIS NOVEL
Judul : Jamangilak Tak Pernah Menangis
Pengarang : Martin Aleida
Tahun Terbit : 2004
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 241 halaman
Cetakan : ke-1
Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengisahkan tentang orang-orang
yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidupnya. Sungai yang menjadi sumber
kehidupan manusia dan makhluk lain, serta menjadi penentu berputarnya roda
kehidupan ekonomi masyarakat tercemar dan mendangkal. Keadaan lingkungan yang
tidak mampu menjamin keberlanjutan kehidupan makhluk hidup ini, membangkitkan
niat mereka untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Namun tidak semua
manusia sadar bahwa keadaan lingkungan akan semakin mengancam manusia jika
tidak segera tidak dilakukan tindakan penyelamatan.
Dalam novel ini diceritakan Molek, seorang perempuan yang tidak terima
akan keadaan sungai Asahan yang mendangkal akibat sebuah pabrik yang membuang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
limbah ke sungai. Limbah pabrik itu mengalirkan lumpur yang mendangkalkan dasar
sungai dan mencemari air. Sungai berubah menjadi keruh, berbau, membunuh ikan
dan makhluk air lainya, serta tidak layak dilayari kapal besar yang biasa mengangkut
barang-barang pertanian masyarakat ke kota.
Molek melakukan aksi protes dengan berdiri di tengah sungai dan memungut
pasir, melemparkannya ke tepi sungai sambil menggumamkan kata-kata sesal. Molek
dianggap tidak waras oleh warga, namun setiap hari ia tetap melakukan kegiatan
anehnya itu. Suatu hari suaminya, Jabosi memilih pergi mencari peruntungan ke
daerah lain karena pelabuhan dan sungai yang dulu mendukungnya sebagai pedagang
tidak dapat diandalkan lagi. Molek tidak dapat menahan Jabosi. Ia tidak menyangka
suaminya tidak setangguh kakeknya, Jamangilak seorang perantau ulung yang tidak
mengenal kata menyerah menyeberangi separuh pulau Sumatera dan kemudian
terkenal menjadi petani ulung di kota pelabuhan itu.
Setelah ditinggal suaminya, Molek mengubah bentuk protesnya dengan
mendatangi rumah dan kantor bupati serta kantor Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Molek orang-orang yang mendiami gedung-gedung itulah yang bertanggung
jawab membereskan masalah sungai. Pajak rakyat yang setia dibayarkan seharusnya
dapat digunakan untuk mengeruk dasar sungai sehingga tidak lagi menjadi dangkal.
Molek memang tidak mendapatkan jawaban pasti dari orang-orang yang ditemuinya
di kantor pemerintah itu, namun ia tidak berkecil hati. Ia percaya akan ada jalan
terbuka setelah apa yang ia lakukan hari itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Putra bungsu Molek yang bernama Hurlang kembali dari Jakarta, setelah
bertahun-tahun menjadi tahanan politik di sana. kedatangan Hurlang membawa
harapan bagi Molek bahwa ia tidak akan berjuang sendiri. Hurlang membawa cerita
bagaimana ia menjalani hari-hari sebagai anggota sebuah partai politik. Hurlang
memberi masukan bagaimana agar suara Molek dapat didengarkan oleh pemerintah.
Masyarakat terdampak pencemaran sungai harus sadar bahwa diam saja tidak
membawa perubahan bagi sungai yang mendangkal. Maka, Molek dan Hurlang
melakukan sosialisasi ke wilayah-wilayah tepi sungai dan terdampak pencemaran
sungai. mereka berhasil mengumpulkan banyak orang untuk melakukan rapat besar
yang menghasilkan keputusan unruk mendesak pemerintah agar melakukan
pengerukan terhadap sungai yang mendangkal.
Usaha Molek dan Hurlang berhasil menyadarkan masyarakat bahwa sungai
masih bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan dan kelacaran kegiatan ekonomi,
asalkan pemerintah dapat menggunakan pajak yang dibayarkan masyarakat untuk
mengeruk dasar sungai yang mendangkal, serta mengatasi pencemaran yang
membunuh ikan-ikan. Rapat besar yang digagas Molek dan Hurlang melibatkan
masyarakat yang menyemut di lapangan Padang Bundar menyebabkan mereka berdua
diinterogasi. Mereka dicurigai mengadakan mufakat jahat dengan gerwani dan
beberapa orang yang sudah meninggal pada tahun 1965. Molek diperbolehkan pulang
pada malam itu, namun Hurlang ditahan selama delapan hari. Ia dibebaskan dengan
syarat selalu melapor dan bekerja sama dengan aparat untuk memberi kabar tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
orang-orang yang terlibat dalam partai komunis. Tidak hanya itu, aparat
meninggalkan bekas luka yang masih mencair di punggung Hurlang sebagai hadiah
untuk ibunya.
Sekembalinya Hurlang ke rumah, ibu dan anak itu melanjutkan berbagi kisah
yang belum sempat terselesaikan ketika Hurlang kembali dari Jakarta. Hurlang
bercerita bagaimana kehidupannya setelah bebas dari tahanan politik. Hurlang
bercerita bahwa dirinya telah menjadi selingkuhan seorang wanita bersuami. Hal itu
membuat Molek tak dapat menguasai amarahnya. Menurutnya Hurlang telah
melakukan dosa yang ditabukan di dalam keluarganya. Dosa Hurlang tidak dapat
diampuni. Ia harus dirajam dan dibakar. Molek membawa Hurlang ke tempat
kelahiran Hurlang dan membakarnya di bekas bangunan rumah mereka. Tanpa
sepengetahuan Molek, Hurlang selamat dari api hukuman yang dinyalakan Molek.
Kabar tentang rapat besar yang pernah diadakan oleh Molek dan masyarakat
yang tumpah di Lapangan Padang Bundar telah tersiar ke Porsea, daerah di luar kota
pelabuhan tempat Molek dan keluarganya tinggal. Mereka mengundang Molek
membantu perjuangan masyarakat Porsea untuk menyelamatkan danau dan sungai-
sungai yang tercemar limbah pabrik. Sungai yang sedang diperjuangkan oleh Molek
adalah salah satu korban dari limbah pabrik yang juga mencemari danau di Porsea.
Karena merasa sedang memperjuangkan hal yang sama, Molek berangkat ke Porsea
bersama orang-orang yang menjemputnya. Di porsea, Molek dan gabungan
masyarakat yang menolak berdirinya babrik bubur kayu yang mencemari danau,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
sungai, udara dan tanah melakukan demonstrasi ke kantor kecamatan, menuntut agar
pemerintah mau menutup pabrik bubur kayu yang telah meresahkan masyarakat.
Demontrasi yang dilakukan Molek dan masyarakat, disusupi provokator,
sehingga demonstrasi yang di rencanakan berjalan damai, berakhir kacau. Molek,
beberapa warga, dan beberapa siswa yang ikut berdemo di tahan oleh aparat. Molek
dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan menghasut penduduk untuk
menyerang dan merusak kantor kecamatan, sedangkan Hurlang anaknya yang
ternyata juga hadir dalam kegiatan demo itu dijatuhi hukuman empat tahun penjara
karena ditemukan menyusup di antara demonstran, tanpa terlebih dahulu mendapat
izin dari pemerintah setempat. Ribuan masyarakat yang menggantungkan harapan
penyelamatan sungai pada Molek harus menunggu selama dua tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
BIOGRAFI PENULIS
Roswita Rambu Lodang lahir di Binatana, Sumba Tengah,
Nusa tenggara Timur pada 2 Juni 1994. Memulai pendidikan
di Taman Kanak-kanak Stella Matutina Katiku Loku, Sumba
Tengah. Pada tahun 2006 lulus dari Sekolah Dasar Masehi
Waibakul, Sumba Tengah, dan melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama St. Aloysius Weetebula, Sumba Barat
Daya, lulus pada tahun 2009. Tahun 2012 lulus dari Sekolah
Menengah Atas Katolik Andaluri, Waingapu, Sumba Timur.
Tahun 2012, melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lulus pada tahun 2017 dengan skripsi berjudul
Relasi Antara Manusia Dengan Lingkungan Hidup dalam Novel Jamangilak Tak
Pernah Menangis: Kajian Intrinsik dan Ekokritik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI