Upload
yenny-mardiaty
View
619
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cvdryh
Citation preview
PLURALISME DAN INTEGRASI BANGSA
HENDRA PRIJATNA
1. PLURALISASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI
INDONESIA
Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk
dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama
sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu
dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa
kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami
bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan
persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan
bangsa.
Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi
di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak
dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang
tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga
menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah
kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan Peter L. Berger dalam Evers (1988),
menggambarkan dengan jelas perbedaan antara masyarakat kuno dan masyarakat
modern.
Dikatakan, bahwa masyarakat kuno (sering dinamakan masyarakat dengan
kebudayaan sederhana) bersifat terintegrasi tinggi dan tetap bersatu (istilah lain adalah
homogen) dalam keteraturan agama. Karena masih sederhananya alat-alat transport dan
komunikasi maka hubungan antar masyarakat kuno itu terbatas. Sebaliknya menurut
Berger, masyarakat modern mengalami proses segmentasi atau pluralisasi, sering juga
dinamakan diferensiasi. Setiap segmen dari masyarakat harus berhubungan dengan
segmen-segmen lain untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya.
Masyarakat modern dapat tetap terintegrasi dalam pola interpendensi, bahkan
multidependensi. Dikatakan, bahwa pluralisasi itu terjadi di dalam dunia kehidupan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1
pribadi manusia dan juga pada lingkungan umum. Kedua-duanya harus hidup bersama
dalam suasana yang selaras dan serasi. Pluralisasi kedua bidang tersebut selalu
ditemukan dalam pengalaman modern: Pengalaman kehidupan kota dan pengalaman
komunikasi massa modern. Sejak munculnya pada zaman kuno, kota telah merupakan
tempat pertemuan orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, jadi, kota
merupakan pertemuan dunia-dunia yang berbeda. Sesuai dengan strukturnya, kota
mendorong penduduknya menjadi “berbudi” (“urbane”) dengan menghormati orang
asing, serta “canggih” dalam pendekatan berbagai realitas yang berbeda. Modernitas
dalam setiap masyarakat dimengerti sebagai pertumbuhan kota-kota secara besar-
besaran.
Jadi dengan demikian urbanisasi tidak saja berarti pertumbuhan fisik komunitas
tertentu dan pembangunan berbagai pranata yang khas bersifat kota. Urbanisasi juga
berarti sebuah proses dalam tingkat kesadaran yang tidak terbatas pada komunitas yang
dapat dengan tepat dirancang menjadi kota. Menurut Berger, urbanisasi kesadaran ini
banyak dipengaruhi oleh media, dimana akibatnya gaya hidup (termasuk gaya berpikir,
perasaan, realitas pengalaman yang bersifat umum) yang sekaran ini menjadi standar di
masyarakat dapat saja menjadi sifat seseorang yang tetap tinggal di kota kecil.
Dalam hubungannya dengan proses sosialisasi, berger melihatnya sebagai berikut
1. Pluralisme telah memasuki berbagai proses sosialisasi primer, yaitu dalam proses
berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian dan dunia subjektif pada masa
kanak-kanak
2. Pluralisme juga juga terjadu pada proses sosialisasi sekunder pada masyarakat
modern, yaitu sosialisasi yang berlangsung setelah awal pembentukan diri.
Namun dikhawatirkan oleh Berger, bahwa pluralisasi dunia kehidupan itu
menimbulkan rasa disorientasi dan kebingungan yang dinamakan homeless mind. Rasa
yang demikian itu mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat yang caranya
mengagungkan kehidupan ekonomi sudah sedemikian dominan dibanding dengan
kehidupan di bidang lain, sehingga semangat untuk mendapatkan keuntungan uang atau
benda menyingkirkan segala pertimbangan lain. Karena itu individualisme berkembang
dengan suburnya sehingga menutupi nilai-nilai sosial lainnya, termasuk nilai-nilai yang
mengikat para anggita keluarga sebagai kolektfitas yang terkuat untuk menghadapi
masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Meskipun pluralisasi atau diversifikasi sosial
sudah tampak gejalanya di kota-kota Indonesia, namun ikatan kekeluargaan, bahkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2
ikatan kesukuan dan kedaerahan masih dapat bertahan dengan kuat terhadap desakan
individualisme dan timbulnya homeless mind.
Betapapun kuatnya hasrat masyarakat Indonesia untuk membangun ekonomi
nasionalnya sampai taraf setinggi mungkin, namun tata hidup yang dijiwai dengan nilai-
nilai kekeluargaan tidak akan mudah dilepaskan. Mungkin istilah “the homeless mind”
yang menggambarkan pola sikap hidup tidak berakar dalam bumi sesuatu masyarakat
dapat diganti dengan “the universal mind” yang lebih mementingkan sifat persamaan
pola pikir dan pola bersikap hidup umat manusia diseluruh dunia. Dalam tulisannya
Berger Melihat bahwa ideologi pluralisme secara luas berfungsi melegitimasi pluralitas
pengalaman sosial, koeksistensi berbagai dunia sosial yang berbeda seringkali tidak
sesuai satu sama lain secara luas dilegitimasikan oleh berbagai nilai seperti “demokrasi”
dan “kemajuan” (Progress). Kita tidak ingin menyangkal kesungguhan kepercayaan akan
ide-ide tersebut maupun kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus ide-ide tersebut
mempunyai akibat-akibat sosial yang objektif.
Bagaimanapun juga, secara sosiologis memandang pengalaman pluralitas sebagai
sesuatu yang berlangsung mendahului ide-ide pokok pemberi legitimasi tampaknya lebih
persuasif. Apa pun ideologi yang ditawarkan, setiap masyarakat modern harus
menemukan jalan untuk sampai pada proses pluralisasi. Sangat mungkin hal tersebut
memerlukan sejumlah legitimasi, paling tidak suatu langkah pluralitastertentu.
Selain itu menurut Berger kehidupan menjadi sumber utama bagi identitas.
Kebanyakan keputusan hidup yang konkret dibuat sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang berhubungan dengan keseluruhan rencana kehidupan. Tetapi rencana kehidupan
tersebut bersifat terbuka dan seringkali dinyatakan dalam cara yang tidak menentu. Oleh
karena itu, selalu tetap terancam frustasi. Jika rencana kehidupan diungkapkan secara
pasti, maka relevansi keputusan tertentu dengan rencana yang besar seringkali bersifat
ragu-ragu dan menjemukan serta mencemaskan.
Jika sebaliknya, bila rencana tersebut menjadi tidak jelas, maka mungkin terdapat
kecemasan dalam wujudyang berbeda: individu secara samar-samar mengetahui bahwa
seharusnya ia mempunyai rencana tertentu, dan kini ia merasa cemasdan frustasi karena
kenyataan bahwa ia benar-benar tidak dapat mengungkapkan apa yang seharusnya bisa ia
lakukan. Semua atau sebagian besar rencana tersebut bersifat jangka panjang. Oleh
karena itu membutuhkan kemampuan tinggi untuk menunda kepuasaan. Agar rencana
tersebut dapat berjalan, individu harus menanti dan menagguhkannya. Hal ini
menimbulkan berbagai kecemasan dan frustasi tambahan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3
Berhubungan dengan gaya kognitif dalam kehidupan jangka panjang, Berger
menekankan padaaspek multi-relasionalitas. Tetapi penekanan tersebut sekarang harus
dengan penuh empati mencakup baik diri sendiri maupun orang lainnya. Riwayat hidup
seseorang dimengerti olehnya sebagai sebuah proyek terpasang (esigned projects).
Proyek terpasang tersebut mencakup identitas. Dengan kata lain, rencana kehidupan
jangka panjang seseorang tidak hanya mencakup rencana tentang ia akan menjadi apa.
Dalam kasus individu yang mempunyai kepribadian menonjol diantara satu sama lain,
proyek-proyek tersebut saling tumpang tindih, baik dalam pengertian karir-karir maupun
dalam identitas-identitas yang direncanakan. Seorang individu merupakan bagian dari
proyek orang lain dan juga sebaliknya.
Keluarga dan khususnya hubungan perkawinan menduduki posisi istimewa
dalam halproyek bersama seperti perkawinan menduduki posisi istimewa dalam proyek
bersama seperti itu. Hal tersebut akan segera menjadi jelas bila seseorang memahami
bahwa identitas, seperti juga aktivitas, merupakan bagian dalam rancangan itu. Identitas
modern menurut Berger, secara khusus bersifat terbuka. Tanpa diraguan lagi, dalam diri
individu terdapat hal-hal tertentu yang sedikit banyak tetap seimbang pada bagian akhir
sosialisasi primer, meskipun individu modern bersifat “belum selesai” padasaat ia
memasuki kehidupan dewasa.
Tampaknya tidak saja ada kemampuan objektif yang besar untuk
mentransformasikan identitas ke dalam kehidupan dewasa, melainkan juga ada
kesadaran dan bahkan kesiapan subjektif untuk transformasi tersebut. Individu modern
tidak saja “mudah melakukan perubahan” (“conversionprone”), melainkan juga
mengetahui dan merasa bangga dengan perubahan itu. Identitas modern mempunyai
perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern,
struktur masing-masing dunia dialami sebgaai struktur yang relatif tidak stabil dan tidak
dapat dipercaya. Individu pada sebagian besar masyarakat pra-modern hidup dalam
dunia yang lebih terpadu. Oleh karena itu, baginya dunia kelihatan kokoh dan tidak
mungkin dielakkan. Sebaliknya, pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia
sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami
kehilangan realitas tertentu.
Identitas modern secara khusus diindividualisasikan. Individu yang memiliki
identitas sebagai ens realissimun, secara sangat logis mencapai kedudukan penting dalam
hirarki nilai. Kebebasan individu, otonomi individu, dan hak-hak individu diterima
begitu saja sebagai keharusan moral yang sangat mendasar. Dan yang terpenting diantara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4
hak-hak individu dalah hak untuk merencanakan dan menentukan kehidupannya sebebas
mungkin. Hak-hak dasar ini secara terinci dilegitimasikan oleh bermacam-macam
ideologi modern, baik dalam struktur kelembagaan maupun dalam struktur kesadaran.
Pluralitas dunia-kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam
bidang agama. Sepanjang sebagian besar umat manusia yang adasecara empiris, agama
telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang
melingkupi segalanya bagi integrasi masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan
kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat akhirnya “dipersatukan” dalam sebuah
penafsiran menyeluruh tentang realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan
dunia secara keseluruhan.
Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat
didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia
merasa “betah” tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti itu sangat
terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial yang berbeda kini
diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan saja tradisi religius
dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut semakin sulit mengintegrasikan
pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah pandangan menyeluruh, melainkan
bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi agama tentang realitas telah terancam
dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran subjektif individu itu sendiri.
Dalam pluralisasi yang berkembang dengan pesat, individu dipaksa untuk
mengambil pengetahuan orang lain, yang tidak mempercayai apa yang ia sendiri
percayai, dan yang hidupnya didominasi oleh makna, nilai dan kepercayaan yang
berbeda dan seringkali malah bertentangan. Akibatnya, lepas dari faktor-faktor lain
dalam jalur pemikiran ini pluralisasi memiliki akibat yang mesekuarisasikan. Yaitu
bahwa pluralisasi memperlemah kepercayaan masyarakat dan individu akan agama. Dari
segi kelelembagaan, akibat yang dapat dilihat dari proses pluralisasi ini adalah privatisasi
agama. Dikotomisasi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi telah
menawarkan “pemecahan” atas masalah agama dalam masyarakat modern.
Ketika agama harus “mengungsi” dari satu wilayah ke wilayah yang lain dala
bidang umum, agama telah berhasil memelihara dirinya sebagai suatu perwujudan makna
pribadi. Dari segi peikolosi sosial, kekuatan pluralisasi yang sama telah meruntuhkan
status makna religius yang telah diterima begitu saja dalam kesadaran individu. Karena
tidak ada konfirmasi sosial yang konsisten dan umum, definisi agama tentang realitas
telah kehilangan sifatnya yang pasti dan malah merupakan suatu pilihan belaka.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5
Konsepsi hubungan antara pluralisasi dan sekularisasi ini sama sekali tidak
menyangkal bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mendorong sekularisasi dalam
masyarakat modern. Meskipun masih dapat dipersoalkan apakah ilmu pengetahuan dan
teknologi modern secara instrinsik dan tak terelakan bertentangan dengan agama, kiranya
jelas bahwa demikianlah yang dianggap oleh banyak orang. Paling tidak sejauh misteri,
magic, dan otoritas telah menjadi hal penting dalam regiositas manusia Isebagaimana
dipertahan oleh Grand Inquisitor Dostoevsky), rasionalisasi kesadaran modern telah
merusak sifat masuk akan dari definisi agama tentang realitas. Akibatnya, efek
sekularisasi dari pluralisasi telah berjalan bersama-sama dengan berbagai kekuatan
sekularisasi lainnya dalam masyarakat modern. Konsekuensi terakhir dari semua ini
dapat dirangkum secara sangat sederhana: manusia modern telah menderita karena suatu
kondisi “ketakberumahan” yang mendalam.
Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk
dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama
sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu
dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa
kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami
bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan
persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan
bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi
di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak
dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius.
Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat
menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan
realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari
kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Dalam The Oxford English
Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai :
(1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan
sebaliknya,mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-
organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga
suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara
sejumlah partai politik.
(2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural
dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6
dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama
mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua
mengandung pengertian pluralisme sosial atauprimordial (Maskuri,2001).
Masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan kepada persoalan politis
dan sosial, yaitu bagaimana mencapai tingkat integritas bersifat nasional. Baik bersifat
horizontal, yaitu hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya,
maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan
peimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi sosialnya. (Purwasito,
2003) Pierre L. Van de Berghe dalam Purwasito (2003) mengemukakan bahwa
masyarakat multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang khas, sebagai berikut:
1. Masyarakat terbagi dalam segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok latar budaya,
subbudaya yang berbeda.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer.
3. Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan konsensus antar anggota masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang fundamental.
4. Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif sering menumbuhkan konflik
antar kelompok subbudaya tersebut.
5. Konflik bisa dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi, tetapi dengan jalan relatif
menggunakan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang
ekonomi.
6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain.
Keadaan yang sangat rentan dalam masyarakat multikultur tersebut, sulit kiranya,
menurut van de Berghe, model analisis Emile Durkheim tentang adanya masyarakat
yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, yaitu adanya kelompok-
kelompok yang didasarkan atas keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur
kelembagaan yang bersifat homogeneous. Selain itu, pandangan Durkheim adanya
diferensiasi fungsional atau spesialisasi yang tinggi terdiri atas berbagai lembaga
kemasyarakatan, bersifat komplementer dan bergantung satu dengan lainnya. Maka, van
de Berghe kurang yakin bahwa solidaritas mekanik maupun solidaritas organic dalam
konsep Durkheim sulit dikembangkan dalam masyarakat multicultural. Nasikun,
mengambil konsep van de Berghe, dan para ahli fungsionalis structural menyimpulkan
bahwa dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun menjadi sangat terbatas
dalam masyarakat multicultural, setidaknya :
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7
Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus oleh
sebagian besar masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental.
Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari
berbagai macam kesatuan social. Dengan adanya kesatuan social (cross-cutting
affiliations) tersebut jika terjadi konflik dengan kesatuan social yang lain akan
segera di netralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities).
Konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multicultural menurut Nasikun
cenderung bersifat ideologis dan politis. Karl Marx justru melihat adanya factor ekonomi
yang diperoleh nelalui produksi kerja. Pada tingkat ideologis, konflik yang terjadi dalam
bentuk konflik antara system nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat
sekaligus merupakan penganut dari ideology dari bermacam-macam kesatuan social.
Sedangkan yang bersifat politis, terjadi dalam ranah pembagian status kekuasaan,
sumber-sumber ekonomi. Yang bersifat ekonomis lebih jelasnya perebutan lahan
produksi untuk menopang kehidupan., karena ialah yang menopang segala struktur
social, konflik social yang menjadi dasar adanya perubahan social itu sendiri. Secara
alamiah, ketika terjadi konflik, pihak-pihak yang berselisih akan mengikatkan dirinya
secara cepat dengan dua cara:
1. Memperkokoh solidaritas, bentuknya sepertimembentuk organisasi kemasyarakatan,
pertahanan bersama.
2. Memperkokoh identitas cultural yang menghadapkan dirinya dengan kelompok
pesaing lain, misalnya dalam bidang pendidikan, organisasi sosial, ekonomi, politik,
dan kelompok swadaya lainnya.
Konflik sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut saat ini, merupakan
personifikasi fakta dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tidak dapat
diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya ingin memberi gambaran bahwa phobia
terhadap ancaman disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini adalah wujud
resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform
(penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa OrdeBaru.
Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi karakteristik nilai-nilai dalam
unsur-unsur pembentuk pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang
terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yangada saat ini. Walaupun kita sangat
meyakini bahwa perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan “pemberontakan”, di dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8
“pemberontakan” selalu ada nilai yang ingin dicapai. Bagaimana Indonesia mampu
bertahan sebagai Negara Kesatuan yang integrative ?
Para penganut aliran konflik lebih percaya dengan pendekatan paksanaan dari
suatu kelompok dominan atau kesatuan social yang dominan atas kelompok dan kesatuan
yang lain. Ekonomi menjadi factor utama, dimana setiap orang saling bergantung dengan
orang lain sehingga mereka saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan yang
rukun dan aman. Paksaan tidak selamanya memberi rasa aman, justru sebaiknya akan
membawa suatu masyarakat ke arah disintegrasi sebagaimana ditujukkan selama
Pemerintahan Orde baru. (Purwasito, 2003) Purwasito, memberikan gambaran bahwa
integritas masyarakat Indonesia dalam paying Negara kesatuan Republik Indonesia, tidak
lain adalah suatu kemauan para warga masyarakat untuk membangun suatu kultur yang
baru, yang mungkin berbeda dengan kultur kelompoknya, yang kemudian menjadi
pedoman dan kaidah dalam interaksi social bersama. Kultur baru, atau nilai-nilai dan
norma-norma umum yang disepakatimenjadi kaidah masyarakat bukan sekedar retorika
namun haruslah benar-benar dihayati dan dijadikan sebagai milik sendiri.. Untuk
mencapai konsensus nasional, Nasikun mengutamakan sosialisasi.
Menghidupi dan menjalani kehidupan dalam sebuah negara seperti Indonesia,
kita tak bisa berbuat lain kecuali menghidupi dan bahkan menikmati sebuah
kemajemukan. Sejak awal para pendiri bangsa ini menyadari benar realitas seperti itu.
Itulah sebabnya mengapa Pancasila dijadikan dasar negara; dan bineka tunggal ika
menjadi sebuah semboyan yang acap dirujuk tatkala kita menjelaskan tentang
keberagaman bangsa ini. Program pembangunan bertujuan menghadirkan masyarakat
industri modern yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan
Pancasila. Usaha yang besar itu memerlukan waktu puluhan tahun, tatkala ilmu
dan teknologi akan makin mempengaruhi kehidupan manusia. Masyaraka tindustri
modern yang dicita-citakan itu dihadapkan pada bermacam-macam bahaya sebagai
akibat masih adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin,adanya
ketidakadilan, kurangnya partisipasi rakyat, kesenjangan antara pusat dan daerah, serta
langkanya kesempatan kerja.
Bahaya seperti itu akan mengakibatkan antara lain: kegagalan total
pembangunan; negara menjadi negara industri modern tetapi militeristis dan totaliter
yangmenghancurkan peradaban manusia; ketidakstabilan politik dan terhentinya
kehidupan ekonomi; kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak
bertanggung jawab terhadap sumber-sumber daya alam dan polusi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9
Menyadari realitas kemajemukan itu dan adanya tugas besar bangsa kita dalam
membangun masa depan, maka hubungan dan kerjasama antar umat beragama harus
makin dikembangkan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang
dilaksanakan oleh umat beragama/lembaga-lembaga keagamaan maupun atas prakarsa
Pemerintah. Untuk melaksanakan tugas besar tersebut dan demi menjaga agar
kemajemukan dapat tetap terbebas dari virus disintegratif, selain pemantapan program-
program dialog antar umat beragama, maka pengembangan wawasan yang inklusif
penting dilakukan.
Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non diskriminatif, yang
memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam masyarakat tanpa
memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk
membangun masa depan bersama yang telah baik, dengan tetap berpijak pada visi
teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah
pemikiran yang ”mengakomodasi”, ”memberi tempat”, ”menghargai” kelompok lain dan
sebab itu jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan.
Sudah jelas bahwa kita memang menghadapi masalah multi-kulturalisme atau
multi-etnisisme. Semakin nyata bahwa dalam banyak bagian masyarakat Indonesia
terjadi penegasan identitas kelompok etnis atau komunal. Semakin banyak penduduk
yang memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas kultural tersendiri.
Komunitas yang seringkali memiliki bahasa, agama, kekerabatan, dan/atau ciri-ciri fisik
(seperti warna kulit) sendiri, atau berbeda agama tetapi berbicara dalam bahasa yang
sama. Banyak kalangan seperti ini yang cenderung memilik penilaian negatif terhadap
anggota kelompok etnik lain.
Sementara semangat yang menggelora sejak dua tahun terakhir adalah
demokratisasi, kita masih bertanya: Mungkinkah mengembangkan demokrasi dalam
masyarakat multi-etnik? Yaitu, suatu sistem politik yang bebas dan berdaulat dengan
lembaga-lembaga pembuatan keputusan demokratik dan dengan melibatkan semua
kelompok etnik yang ada? Sebagian ilmuwan sosial sejak lama bersepakat bahwa
demokrasi yang stabil dan efektif hampir tidak mungkin muncul dalam masyarakat yang
terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok etnik yang berbeda, apalagi kalau masing-
masing kelompok etnik itu memakai bahasa yang berbeda. Kelompok teoritis itu
berpendapat bahwa pembuatan keputusan demokratik hanya bisa berjalan baik kalau
perbedaan-perbedaan yang hendak diselesaikan melalui kebijakan publik itu tidak terlalu
besar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10
Karena itu, walaupun demokrasi tidak mensyaratkan suatu masyarakat yang
sepenuhnya homogen, kehidupan politik yang demokratis hanya bisa berlangsung kalau
ada kesatuan dan konsensus sosial dan politik, paling tidak, minimum. Padahal, derajat
kesatuan dan konsensus dalam masyarakat multi-etnik umumnya tidak bisa memenuhi
syarat minimum itu (J.S. Mills dibahas dalam Lijphart, 1996).
Real-politik Indonesia menghadapkan kita pada dua hal berikut:
Pertama, kemajemukan adalah bagian dari kehidupan politik Indonesia sejak merdeka.
Perbedaan etnik dan komunal tidak bisa begitu saja dihilangkan. Pengalaman
Orde Baru menunjukkan bahwa ketika fenomena multi-etnik dan multi-
kultural itu diabaikan yang muncul adalah kebijakan ekonomi dan politik
yang menghasilkan ketimpangan sosial-ekonomi.
Kedua, pengalaman komparatif menunjukkan bahwa separatisme tidak menjamin
munculnya unit politik yang homogen. Kemungkinan tetap besar bahwa
dalam unit-unit wilayah baru itu akan tetap ada perpecahan. Artinya, kita
harus menemukan jalan agar kenyataan multi-kultural dan multi-etnis itu bisa
dipertemukan dengan ideal demokrasi. Prospek demokrasi di Indonesia
sangat tergantung pada cara kita menangani persoalan kemajemukan
masyarakat itu. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah mencari cara
bagaimana mengakomodasi realitas politik multi-kultural dan multi-etnik
sehingga terbentuk perpolitikan yang berfungsi melayani kepentingan semua
pihak.
2. KESUKUBANGSAAN, NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME
Pembicaraan mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat posteriori
karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum membahas isyu
tersebut. Menurut pendapat saya – dalam hal ini tentu banyak diwarnai oleh pemikiran
antropologi -- konsep-konsep yang harus dibicarakan lebih dahulu setidak-tidaknya
adalah sukubangsa, kesukubangsaan, bangsa, negara-bangsa, dan kebangsaan.
Semenjak lama kajian antropologi mengenai kesukubangsaan memusatkan
perhatian pada hubungan-hubungan antar kelompok yang kelompok-kelompok tersebut
dianggap memiliki “ukuran sedemikian” sehingga memungkinkan dikaji melalui
penelitian lapangan tradisional seperti pengamatan terlibat, wawancara pribadi, maupun
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11
survei dalam pengertian tertentu. Fokus empiris kajian antropologi nyaris merupakan
kajian komunitas lokal. Apabila negara dibicarakan dalam hal ini, maka negara
ditempatkan sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, misalnya sebagai “agen luar”
(external agent) yang mempengaruhi kondisi-kondisi lokal. Selain itu, antropologi masa
lampau kerapkali bias terhadap kajian “the others”. Istilah-istilah seperti “masyarakat
primitif”, “masyarakat belum beradab”, “masyarakat sederhana” dan lainnya jelas
menunjukkan bagaimana para antropolog Barat pada akhir abad 19 hingga pertengahan
abad ke 20 memandang dan menyebut masyarakat asing (thee others”) yang di
hadapinya di lapangan .
Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa” menjadi “kelompok etnik” (ethnic
groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”, karena istilah “kelompok etnik”,
berbeda dari “sukubangsa”, berada atau hadir di dalam “kita” (“self”) sekaligus “orang
lain/mereka” (“others”). Mekanisme batas (boundary mechanism) yang menyebabkan
kelompok etnik tetap kurang-lebih distinktif atau diskret memiliki karakteristik formal
yang sama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta maupun di daerah pedalaman
pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, dan perkembangan identitas etnik dapat
dipelajari dengan peralatan konseptual yang sama di Indonesia maupun di negeri-negeri
lain, meski pun konteks-konteks empirisnya berbeda-beda atau mungkin unik. Pada masa
kini, kalangan antropologi sosial mengakui bahwa mungkin sebagian besar peneliti kini
mempelajari sistem-sistem kompleks yang “unbounded” daripada komunitas-komunitas
yang “terisolasi”.
Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi. Kajian
tentang nasionalisme – ideologi negara-bangsa modern—sejak lama adalah topic
pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah. Bangsa (nation) dan ideology
kebangsaan adalah fenomena modern berskala besar. Meski pun kajian mengenai
nasionalisme memunculkan masalah-masalah metodologi yang baru yang berkaitan
dengan skala dan kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini
justru mengkait dengan topik-topik lain. Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral
kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara.
Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda
dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian.
Antropologi, sejalan dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis
dasar memposisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi
masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini Negara menjadi bagian
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12
dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengkota (urbanizing) sebagai akibat
proses evolusi dari masyarakat sederhana (d/h masyarakat primitif).
Dengan kata lain, negara adalah suatu institusi yang merupakan konsekuensi dari
evolusi masyarakat tersebut, suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan
institusi kekerabatan pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985).
Secara metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini, informan
penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya, masyarakat primitif mungkin
tak terisolasi seperti pada masa lampau, sehingga kini tak lagi “lebih asli” atau “lebih
murni” daripada masyarakat kita kini .
Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada tingkatan
mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (d/h primitif) yang berskala
kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan yang relatif terisolasi, dan memiliki
kebudayaan yang relatif homogen, ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga
mampu menjelaskan gejala yang sama di berbagai tempat di dunia. Meski demikian,
upaya ini tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin
cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berfikir konstruktivisme yang
kini berkembang, seolah paradigma relativisme kebudayaan yang berakar pada tradisi
antropologi masa lampau memperoleh tempat baru pada masa kini (Saifuddin 2005)
Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep “bangsa” (nation) digunakan
secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori besar orang atau
masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. I.M. Lewis (1985: 287),
misalnya, mengatakan bahwa :”Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pemikiran
dominan dalam antropologi, adalah satuan kebudayaan.” Selanjutnya Lewis memperjelas
bahwa tidak perlu membedakan antara “sukubangsa” (tribes), “kelompok etnik” (ethnic
groups), dan “bangsa” (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan
komposisi struktural atau fungsinya. “Apakah segmen-segmen yang lebih kecil ini
berbeda secara signifikan? Jawabannya adalah bahwa segmen-segmen tersebut tidaklah
berbeda; karena hanya merupakan satuan yang lebih kecil dari satuan yang lebih besar
yang memiliki ciri yang sama….” (Lewis 1985: 358).
Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar
dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting
karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula, suatu negara yang isinya adalah
suatu kategori etnik semakin langka adanya. Dengan kata lain, suatu perspektif
antropologi menjadi esensil bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13
Suatu fokus yang bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian
modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan dengan lapangan
kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan kajian mengenai identitas sosial.
Barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang
nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion
harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai
gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah
rasa marah yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini
dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentiment semacam
ini” (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas untuk konteks negara-
bangsa (nation state). Hal ini tercermin dari konsep “satuan nasion” yang terkandung
dalam kutipan di atas. Nampaknya Gellner masih memandang “satuan nasion” sama
dengan kelompok etnik – atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim
keberadaannya oleh para nasionalis :” Ringkas kata, nasionalisme adalah suatu teori
legitimasi politik, yakni bahwa batas-batas etnik tidak harus berpotongan dengan batas-
batas politik” (Gellner 1983: 1). Dengan kata lain, nasionalisme, menurut pandangan
Gellner, merujuk kepada keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut
pandangan ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok
etnik ini mendominasi suatu negara.
Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu
kelompok etnik, yang penanda identitasnya –seperti bahasa atau agama—kerapkali
terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya. Tokoh lain
yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang nasionalisme, khususnya Indonesia,
adalah Benedict Anderson (1991[1983]: 6) yang mendefinisikan nasion sebagai “an
imagined political community” – dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun
berdaulat. Kata “imagined” di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri
mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka “tak pernah mengenal, bertemu,
atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam fikiran mereka
hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama” (hal. 6). Jadi, berbeda
dari pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari
nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan
sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela bangsa
menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14
Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda,
prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung.
Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi ideologi demi untuk
menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga
masyarakat yang bersangkutan) dan negara, dan bahwa mereka menciptakan komunitas
abstrak (abstract communities) dari keteraturan yang berbeda dari Negara dinasti atau
komunitas berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian antropologi masa
lampau.
Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang disebut
“anomali nasionalisme”. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori sosial liberal tentang
modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca
Pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidaritas yang
berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama. Maka, kalau kita kini menyaksikan
“goyahnya” nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh
masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu social di Indonesia, dan
menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negarabangsa dan nasionalisme
kita sendiri.
Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas mungkin
dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian tentang pembentukan
identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik cenderung menjadi paling penting
dalam situasi-situasi tak menentu, perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan
ancaman terhadap batas-batas tersebut. Maka tak mengherankan bahwa gerakan-gerakan
politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang tengah
mengalami modernisasi, meski pun hal ini tidaklah berarti bahwa gerakan-gerakan
tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis.
Titik temu antara teori-teori nasionalisme dan etnisitas perlu disinggung di sini.
Menurut hemat saya, baik Gellner maupun Anderson tidak berupaya menemukan titik
temu tersebut; kedua pandangan teori mereka dikembangkan sendiri-sendiri. Baik kajian
etnisitas di tingkat komunitas lokal maupun kajian nasionalisme di tingkat negara
menegaskan bahwa identitas etnik maupun nasional adalah konstruksi. Berarti kedua
identitas tersebut bukan alamiah. Selanjutnya, jalinan hubungan antara identitas khusus
dan “kebudayaan” bukanlah hubungan satu per satu. Asumsi-asumsi titik temu yang
tersebar luas antara etnisitas dan “kebudayaan obyektif” adalah kasus yang terpancarkan
dari konstruksi kebudayaan itu sendiri. “Berbicara tentang kebudayaan” dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15
“kebudayaan” dapat dibedakan ibarat kita berbicara tentang perbedaan antara menu dan
makanan. Keduanya adalah fakta sosial dengan keteraturan yang berbeda.
Tatkala kita menyoroti nasionalisme, jalinan hubungan antara organisasi etnik
dan identitas etnik sebagaimana didiskusikan sebelumnya menjadi lebih jelas. Menurut
nasionalisme, organisasi politik seharusnya bersifat etnik karena organisasi ini
merepresentasikan kepentingan-kepentingan kelompok etnik tertentu. Sebaliknya,
negara-bangsa mengandung aspek penting dari legitimasi politik yakni dukungan massa
yang sebenarnya merepresentasikan sebagai suatu satuan kebudayaan.
Di dalam antropologi dapat kita temukan juga teori-teori tentang simbolsimbol
ritual yang dalam konteks pembicaraan ini juga menggambarkan dualitas antara makna
dan politik, yang umum kita temukan baik dalam kajian etnisitas maupun kajian
nasionalisme. Menyitir Victor Turner (1969 : 108) :”simbol-simbol itu multivokal karena
memiliki kutub instrumental dan sensoris (makna)”. Itulah sebabnya, pendapat Turner ini
relevan dengan apa yang dikemukakan Anderson (1991) bahwa nasionalisme
memperoleh kekuatannya dari kombinasi legitimasi politik dan kekuatan emosional.
Sejalan dengan hal di atas, seorang ahli antropologi lain, Abner Cohen (1974)
mengemukakan bahwa politik tidak dapat sepenuhnya instrumental, melainkan harus
selalu melibatkan simbol-simbol yang mengandung kekuatan untuk menciptakan
loyalitas dan rasa memiliki. Para antropolog yang mengkaji nasionalisme umumnya
memandang isyu ini sebagai varian dari etnisitas.
Tentu saja dapat muncul pertanyaan bahwa kalau nasionalisme dibicarakan dalam
atau sebagai bagian dari etnisitas, dan nasionalisme yang berbasis etnisitas itu
imaginable – kalau kita mengikuti pandangan Anderson – maka bagaimana dengan
nasionalisme yang dibangun tidak berdasarkan etnik ? Apakah untuk kasus ini juga
imaginable ?
Para pengkaji nasionalisme menekankan aspek-aspek modern dan abstrak.
Perspektif antropologis khususnya penting di sini karena para antropolog lebih suka
mengetengahkan karakter nasionalsme dan negara-bangsa yang khusus dan unik melalui
pembandingan-pembandingan dengan, atau pemikiran yang berakar pada masyarakat
yang berskala kecil. Dalam perspektif ini, bangsa (nation) dan ideology nasionalis
setidak-tidaknya nampak sebagai “peralatan” simbolik bagi kelas-kelas yang berkuasa
dalam masyarakat, yang tanpa peralatan simbolik itu bangsa rentan terancam
perpecahan. Sebagian ahli berpendapat bahwa nasionalisme dan komunitas nasional
dapat memiliki akar yang kuat dalam komunitas etnik sebelumnya atau ethnies (A.D.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16
Smith 1986), tetapi niscaya kurang tepat untuk mengklaim bahwa kesinambungan
masyarakat komunitas pra-modern atau “kebudayaan etnik” menjadi nasional terjaga
dengan baik. Contoh Norwegia menunjukkan bahwa tradisi dan simbol-simbol nasional
lainnya memiliki makna yang sangat berbeda dalam konteks modern dibandingkan
makna pada masa lampau (A.D.Smith 1986).
Seperti telah dikemukakan di atas, konsep negara dalam antropologi adalah
perluasan dari konsep-konsep sukubangsa, kelompok etnik, etnisitas, yang pada setiap
konsep tersebut konsep nasionalisme menyelimuti sekaligus memberikan roh. Dalam
konteks ini negara merupakan suatu bentuk pengorganisasian warga masyarakat yang
secara intrinsik berasal dari sukubangsa atau kelompok etnik tersebut. Konsep negara-
bangsa (nation-state), misalnya, jelas sekali menunjukkan orientasi pemikiran
antropologi ini.
Dipandang dari perspektif ini, nasionalisme yang sukses ditentukan oleh
keterjalinan ideologi etnik dengan aparatus negara. Negara-bangsa, seperti halnya
banyak sistem politik lain, memandang pentingnya ideologi bahwa batas-batas politik
harus saling mendukung dengan batas-batas kebudayaan. Selanjutnya, negarabangsaa
memiliki monopoli atas keabsahan untuk memungut pajak, dan bahwa tindakan
kekerasan terhadap warga yang dianggap menyimpang dari kehendak negara. Monopoli
ini adalah sumber kekuasaan yang paling penting. Negara bangsa memiliki administrasi
birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara, dan memiliki
sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar tenaga kerja yang sama
bagi semua warga negara. Hampir semua Negara bangsa di dunia memiliki bahasa
nasional yang digunakan untuk komunikasi resmi. Suatu ciri yang khas dari negara
bangsa adalah konsentrasi kekuasaan yang luarbiasa. Cukup jelas bahwa Indonesia
adalah salah satu contoh negara-bangsa.
Dari pembicaraan kita tentang perspektif antropologi mengenai nasionalisme dan
negara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa negara-bangsa Indonesia kini menghadapi
tantangan-tantangan besar, yang apabila kita tak berhasil menghadapi dan menaklukkan
tantangan tersebut, dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan
berakhir. Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen bahwa negara
kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan secara seksama tantangan-
tantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas yang harus kita laksanakan untuk
menghadapinya. Banyak orang berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan
alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17
belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Pendapat tersebut benar, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih
relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut
mampu menjawab tantangan perubahan.
Buku Sdr Mashudi Noorsalim (ed.) yang kini sedang kita bahas – menurut hemat
saya – mengandung empat persoalan besar (penulis menyebutnya “dilematis”) berkaitan
dengan isyu hak-hak minoritas dalam kaitannya dengan multikulturalisme dan dilema
negara bangsa.
1. Fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosialekonomi, semakin
diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan, penduduk yang tinggal
terpisah-pisah satu sama lain, mendorong potensi disintegrasi meningkat.
2. Prenis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogyanya dibicarakan mulai dari
akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep “sukubangsa”, “kelompok etnik”, dan
“etnisitas”, jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena
berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang
menguat. Dengan kata lain, meningkatnya semangat primordial ( antara lain
kesukubangsaan) di tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme.
3. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang
ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam
dan sentralistis maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hirarki masyarakat dan
kebudayaan akan meningkat. Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan
karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis.
Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikuluralistis
maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa upaya membangun bangsa yang multikultural itu berhadapan dengan tantangan
berat, yaitu fakta keenekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi,
sukubangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu membangun negara-bangsa yang
multicultural nampaknya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentiment
kebangsaan yang kuat.
4. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik penyeragaman
nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal yang lumrah
dalam politik pemeliharaan Negara bangsa. Namun, mekanisme pengaturan nasional
ini terganggu ketika seleksi global – pernyataan saya ini dipengaruhi oleh prinsip
alamiah proses seleksi alam dalam evolusionisme – “tidak lagi menghendaki” (not
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18
favour) bentuk negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang
baru ini. Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita
menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi global.
3. PLURALISME DAN DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA
A. History
Pluralisme agama merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari adanya dan
setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural. Jika pluralisme agama tersebut tidak
disikapi secara tepat maka akan menimbulkan problem dan konflik antar umat beragama,
dan kenyataan ini telah terjadi pada agama-agama monotheis. Untuk mencari solusi
konflik antar umat beragama perlu adanya pendekatan-pendekatan yang tepat.
Bagaimanakah pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam upaya melerai konflik
antarumat beragama?
Tulisan ini hendak mengungkap problem pluralisme agama dan dialog antar umat
beragama beberapa pendekatan yang ditawarkan oleh para ahli. Pendekatan yang
digunakan dalam melerai konflik antar umat beragama sebagaimana yang ditawarkan
John Hick adalah pendekatan lintas agama (cross cultural), multikultural oleh Brian Fay,
esoterisme oleh Schuon dan Hossein Nasr dengan philosophia perennis-nya.
Secara historis, pada masa kolonial, masyarakat Muslim di kepulauan Nusantara
merasa terancam dengan kebijakan politik kolonial yang memberi perlindungan terhadap
kegiatan penyebaran agama Kristen. Akibatntya, hingga masa awal pasca kemerdekaan,
kecurigaan Muslim terhadap Kristen dan Katolik dengan mudah terbentuk Namun
demikian, keputusan para pendiri Republik Indonesia, yang sebagian besar juga terdiri
dari para pemuka agama Islam, untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dapat
ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang
menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan.1
Menurut Abu Rabi’, meski Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam
menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, potensi untuk
menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap
terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul
akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan
dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19
yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam
yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan moderasi. Dan ini
merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana
keagamaan pasca-modern.
Menurut Sudarto, pada masa kolonial, ketegangan dalam hubungan umat Islam
dan umat Kristen lebih dipicu oleh kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat
bantuan besar dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan politik maupun
finansial. Sementara pada masa Orde lama ketegangan antar dua komunitas umat
beragama itu mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil
Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang bernuansa
islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, yang
pada akhirnya dihapuskan.
Berangkat dari perkembangan situasi umat beragama yang tidak menguntungkan,
maka pada 30 November 1967 diadakan “dialog dari atas” yang dipelopori oleh
Pemerintah melalui Menteri Agama, KH. Muhammad Dahlan. Tetapi dialog yang
melahirkan wadah “Musyawarah Antar Agama” itu belum dianggap berhasil
menyelesaikan konflik antar agama. Sampai pada periode berikutnya dialog itu
menemukan kembali momentum barunya pada masa Mukti Ali menjadi Menteri Agama
yang mencoba merumuskan dialog dengan berpijak pada iktikad baik dan sikap saling
percaya dari masing-masing komuitas agama. Dan karena itu, Mukti Ali menghidupkan
kembali wadah Musyawarah Antar agama dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan
pemimpin agama.
Sebenarnya sejak awal Orde Baru hingga sekarang, baik atas prakarsa pemerintah
maupun masyarakat beragama itu sendiri, dialog antar umat beragama telah dibangun,
bahkan menjadi agenda nasional demi terciptanya stabilitas keamanan serta lancarnya
pembangunan , meskipun kemudian ada pihak yang menilai tidak berhasil, karena tidak
adanya kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama.
Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog
yang berlangsung di 21 kota.
Pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog dalam mewujudkan
kerukunan antarumat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun terus
dilakukan, baik oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri,
misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International Conference on Religion and
Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh Johan Efendi dan kawan-kawan, dialog
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20
kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai organisasi
agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat Budha Indonesia
(WALUBI) dan seterusnya; dialog berwacana transformatif yang sering dilakukan oleh
kalangan intelektual atau LSM seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA dan
lain-lain.
Tapi kenyataannya sampai sekarang, ketegangan dan kerusuhan yang disebabkan
oleh sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo,
Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang
mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan gereja
semakin bertambah parah kondisinya. Padahal upaya Pemerintah RI. dalam
menyelesaikan masalah konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama
Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan Malino II untuk
penyelesaikan konflik Maluku terus digalang. Dengan perundingan Malino II ini
diharapkan menghasilkan kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan
kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Tetapi upaya inipun, sebagaimana
yang kita saksikan bersama, belum juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya
kembali konflik antar umat beragama. Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (gap)
antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan
realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein).
Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan memlihara kerukunan
antar umat beragama di Indonesia, pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui
pelbagai cara dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog antartokoh agama;
memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah
satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah
tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan
pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa
kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain
sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya,
dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas kehendak
dan persetujuan dari masyarakat setempat.
Penelitian tentang “hubungan antarumat beragama” di Indonesia telah banyak
dilakukan, misalnya yang dilakukan oleh Qowa’id di Kalimantan Selatan. Penelitian ini
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21
bersifat deskriptif-evaluatif, yang berusaha menggambarkan pelaksanaan program dialog
antar umat beragama. Tujuan akhir dari pendekatan penelitian ini adalah, mengetahui
keberhasilan dan ketidakberhasilan dari pelaksanaan kegiatan program dialog dimaksud.
Data yang dihimpun meliputi: kelemahan dan kelebihan kegiatan serta faktor
penyebabnya. Sumber datanya mencakup tokoh agama dan tokoh masyarakat baik yang
pernah terlibat dialog maupun yang belum, pelaksana dialog dan pejabat pemerintah
setempat.
Secara umum kegiatan dialog berjalan dengan baik, walaupun dijumpai beberapa
kelemahan atau kekurangan di pelbagai tahapan dan aspek. Diantara kelemahannya
adalah, masalah persiapan pelaksanaan dialog oleh panitia yang masih kurang,
kurangnya wawasan nara sumber mengenai agama lain, minimnya waktu
penyelenggaraan, kurangnya fasilitas, kegiatan dan metode yang kurang variatif
(menjenuhkan), termasuk kuranya materi buku/ referensi yang aktual. Secara umum
kekurangan atau kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain:
problem SDM yang masih relatif rendah, biaya dan fasilitas yang masih minim.
Keberhasilan dialog ini antara lain: mereka bisa saling mengenal, lebih mengetahui
berbagai problem yang dihadapi, bersedia saling mendengarkan dan saling introspeksi,
tenggang rasa (toleran) dan seterusnya.
Penelitian tentang “potret dialog antaragama di Jawa Timur” yang dilakukan
oleh Siti Zulaikha7 bertujuan mengetahui seberapa jauh gagasan dialog antarumat
beragama di Jawa Timur mampu mengatasi konflik sosial berbau SARA di lokal masing-
masing kota di Jawa Timur. Materi penelitian meliputi: 1) cara pandang aktvis dialog
antar agama terhadap agama; 2) membongkar cara pandang para aktivis dialog antar
agama terhadap sumber-sumber konflik agama yang berkembang di masyarakat; 3)
menggali sebanyak mungkin model dialog antar uamt beragama yang dikembangkan; 4)
mengukur sejauhmana implikasi yang muncul sebagai akibat dari gerakan yang telah
dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ismatu Ropi mengenai “kesenjangan hubungan
Kristen-Islam di Indonesia” berusaha mengetahui sikap Muslim terhadap Kristen di
Indonesia modern. Penelitian ini juga ingin melihat hubungan Muslim-Kristen di
Indonesia. Penelitian M. Yahya terkait dengan “pemahaman masyarakat awam (Muslim-
Kristen) terhadap agama mereka di Kabupaten Malang” mengungkap respon masyarakat
awam (Muslim dan Kristen) terhadap dialog antar umat beragama yang sudah
berlangsung selama ini.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22
Penelitian tentang “peran tokoh agama dalam mewujudkan kerukunan hidup
antarumat beragama” juga dilakukan oleh Abdul Ghaffar Mahfuz di Pangkal Pinang.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sosial antar tokoh
agama dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama di kecamatan
Bukit Intan Kotamadya Pangkal Pinang. Disamping itu penelitian ini juga
mengidentifikasi faktor-faktor yang turut mempengaruhi pola hubungan yang diciptakan
oleh para tokoh agama tersebut, baik faktor personalnya maupun faktor sosialnya;
bentuk-bentuk pranata sosial keagamaan yang dikembangkan oleh para tokoh agama.
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama, dan pemerintah
pada umumnya menghargai pemakaian hak ini. Tidak ada perubahan dalam status
penghargaan pemerintah terhadap kebebasan beragama selama periode pembuatan
laporan, dan kebijakan pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam
beragama. Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama
yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar. Beberapa larangan hukum
terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama
yang tidak diakui. Beberapa larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi
terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal menghukum para
pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang diberikan wewenang
untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh
mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang
menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah tidak
menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah agama untuk meninjau
atau membatalkan peraturan-peraturan daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok
agama minoritas dan atheis terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam
konteks pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan
pengeluaran kartu identitas.
Publik pada umumnya menghargai kebebasan beragama; namun, kelompok-
kelompok ekstrim menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam memaksa delapan
gereja kecil yang tidak memiliki ijin dan satu masjid Ahmadiyah untuk ditutup. Selain
itu beberapa gereja dan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah yang ditutup secara paksa oleh
massa pada tahun-tahun sebelumnya tetap ditutup. Beberapa pejabat pemerintah dan
organisasi massa Islam terus menolak penafsiran Ahmadiyah terhadap Islam yang
menimbulkan diskriminasi terhadap para pengikutnya. Banyak pelaku kekerasan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23
terhadap pemeluk agama minoritas di masa lalu yang tidak diadili. Begitu pula pada
kejadian dimana kelompok ekstrimis yang menyerang dan mencoba meneror anggota
kelompok-kelompok agama lain yang terjadi di propinsi tertentu selama periode
pelaporan.
Pemerintah AS membahas masalah kebebasan beragama dengan Pemerintah
Indonesia sebagai bagian dari seluruh kebijakannya untuk menegakkan hak asasi
manusia. Kedutaan Besar AS menegakkan kebebasan dan toleransi beragama melalui
program pertukaran dan pengembangan masyarakat madani.
B. Demografi Agama
Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia
memiliki luas wilayah 700.000 juta mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut
laporan sensus tahun 2000, 88,2 persen penduduk menyatakan dirinya sebagai pemeluk
agama Islam, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Katolik Roma, 1,8 persen Hindu,
0,8 persen Budha, dan 0,2 persen ”lain-lain”, termasuk agama pribumi, kelompok
Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota
kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam
menghitung jumlah nonmuslim. Pemerintah tidak mengakui atheisme.
Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Orang Syiah memperkirakan
bahwa terdapat sekitar satu hingga tiga juta pengikut Syiah. Mayoritas komunitas
Muslim di negara ini mengikuti dua aliran utama: kaum modernis, yang sangat taat
kepada teologi ortodok yang tekstual, seraya merangkul ajaran dan konsep-konsep
moderen; dan kaum tradisionalis yang kerap kali mengikuti kyai kharismatik dan
berorganisasi di pesantren-pesantren. Organisasi sosial modernis terkemuka,
Muhammadiyah, mengklaim memiliki 30 juta pengikut, sementara organisasi sosial
tradisionalis terbesar, Nahdlatul Ulama, mengklaim mempunyai 40 juta pengikut.
Organisasi-organisasi Islam yang lebih kecil meliputi Jaringan Islam Liberal,
yang memiliki penafsiran ajaran sendiri, hingga kelompok seperti Hizbut Tahrir
Indonesia, yang mendukung kekhalifahan Islam, dan Majelis Mujahidin, yang
menyerukan penerapan Syariah Islam sebagai syarat terbentuknya negara Islam.
Minoritas kecil memeluk interpretasi Ahmadiyah terhadap Islam dan terdapat 242
cabang Ahmadiyah. Terdapat pula kelompok Islam sempalan, termasuk Darul Arqam,
Jamaah Salamullah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24
Departemen Agama memperkirakan bahwa ada 19 juta pemeluk Protestan (yang
disebut sebagai Kristen di negara ini) dan 8 juta pemeluk Katolik tinggal di negara ini.
Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55
persen. Sementara itu, propinsi Papua memiliki proporsi penganut Kristen Protestan
terbesar, yaitu 58 persen.
Departemen Agama juga memperkirakan terdapat 10 juta pemeluk agama Hindu
yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk
Bali. Penganut Hindu minoriotas (yang disebut ”Keharingan”) tinggal di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tengah, serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu
seperti Hare Krishna dan para pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada,
walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa agama pribumi, termasuk ’Naurus’ di
Pulau Seram di propinsi Maluku yang berkaitan dengan kepercayaan Hindu dan
animisme dalam kebiasaan hidupnya. Banyak pula yang mengadopsi beberapa prinsip
Kristen Protestan. Komunitas Tamil di Medan juga mewakili sekelompok penting
pemeluk agama Hindu.
Negara ini memiliki sedikit pengikut Sikh yang berjumlah sekitar 10 hingga 15
ribu orang. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan kuil
Sikh (gurdwara) terletak di Sumatera Utara sementara di Jakarta terdapat dua kuil
dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.
Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana,
30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran
Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda
Budhhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali,
Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau, etnis China merupakan 60 persen
dari penganut agama Budha.
Jumlah pengikut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional
tahun 2000, para responden tidak diijinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Jumlah
mereka mungkin terus bertambah setelah pemerintah menghapuskan berbagai larangan
di tahun 2000 seperti hak untuk merayakan Tahun Baru China di muka umum. Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari
pengikut Konghucu adalah etnis China dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak
pengikut Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25
MATAKIN mendesak pemerintah untuk memasukkan Konghucu sebagai salah satu
kategori pada sensus berikutnya.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua diperkirakan
mempraktekkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut
sebagai ’Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme menggabungkan
kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah. Sejumlah kecil
komunitas Yahudi terdapat di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha’i melaporkan
bahwa mereka memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.
Perwakilan Falun Dafa mengklaim bahwa kelompok mereka lebih sebagai organisasi
spiritual daripada agama, memiliki 2.000 sampai 3.000 pengikut dan hampir setengahnya
tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan. Tidak ada data mengenai agama yang dianut
warga asing dan para imigran. Sekitar 191 misionaris asing, terutama dari agama Kristen,
menjalankan misi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua, Kalimantan, dan di
wilayah-wilayah lain dengan jumlah penganut animisme besar.
C. Kerangka Hukum/Kebijakan
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan beragama, dan pemerintah pada
umumnya menghargai pelaksanaan hak ini. UUD menyatakan bahwa ”Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan menyatakan pula bahwa
”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila pertama ideologi nasional
negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada satu Tuhan. Namun, terdapat
beberapa larangan pada jenis-jenis kegiatan agama tertentu dan pada agama-agama yang
tidak diakui. Pegawai negeri sipil harus menyatakan sumpah setia kepada bangsa dan
ideologi Pancasila. Pemerintah terkadang memberikan toleransi kepada kelompok-
kelompok ekstrim yang menggunakan kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok-
kelompok agama, dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Pemerintah tidak
menggunakan wewenangnya untuk meninjau atau mencabut perturan daerah yang
melanggar kebebasan beragama.
Departemen Agama menambah status resmi menjadi enam keyakinan; Islam,
Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan sejak Januari 2006, Konghucu. Atheisme tidak
diakui. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut
dapat mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi
sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26
keagamaan yang tidak terdaftar tidak memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah dan
mengalami kesulitan-kesulitan administratif dalam mendapatkan kartu identitas dan
dalam mendaftarkan pernikahan dan kelahiran.
Pemerintah mensyaratkan kelompok-kelompok keagamaan yang diakui secara
resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti
Surat Keputusan Bersama Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat
(2006), Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman
Penyiaran Agama (1978).
Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi
Kependudukan yang mengharuskan warganegara mengidentifikasikan diri mereka pada
KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-
undang tersebut melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di
seluruh negeri. Undang-undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain
dalam KTP tersebut.
Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi tahun 2006 mengenai Pendirian
Rumah Ibadat yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2006 mengharuskan kelompok
agama yang hendak mendirikan rumah ibadat untuk mengumpulkan paling sedikit 90
tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan dari pemeluk agama lain yagn berada
dalam komunitasnya yang mendukung pendirian rumah ibadat, serta mendapatkan
persetujuan kantor urusan agama setempat. Beberapa kelompok agama mengeluhkan
bahwa surat keputusan yang direvisi tersebut mempersulit mereka dalam mendirikan
rumah ibadat, sementara yang lain berpendapat bahwa kejelasan dalam surat keputusan
yang direvisi tersebut akan memperbaiki keadaan dengan menghilangkan penafsiran-
penafsiran yang menimbulkan konfik dari surat keputusan tahun 1969 yang
digantikannya.
Pedoman untuk Batuan Asing bagi Lembaga Keagamaan mengharuskan
lembaga keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Departemen
Agama sebelum menerima dana dari donor asing. Pedoman Penyiaran Agama melarang
ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi. Undang-undang Perlindungan
Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah keyakinan anak pindah agama
melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai
hukuman hingga 5 tahun penjara.
Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan
terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Walaupun hukum
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27
diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya
berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam.
Masalah penerapan Syariah Islam menimbulkan kontroversi dan keprihatinan
selama periode pelaporan. Aceh tetap merupakan satu-satunya propinsi dimana
pemerintah pusat secara khusus memberikan wewenang untuk penerapan Syariah Islam.
Keputusan Presiden No. 11/2003 secara formal mengesahkan Pengadilan Syariah di
Aceh. Namun, beberapa pemerintahan daerah secara resmi memberlakuan peraturan
daerah yang diilhami oleh syariah Islam.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, paling sedikit ada 46 peraturan daerah
berbasis syariah yang telah dikeluarkan pemerintah daerah. Ini mencakup peraturan yang
mewajibkan perempuan untuk mengenakan penutup kepala di muka umum;
memerintahkan para pejabat terpilih, pelajar, pegawai negeri, dan penduduk yang ingin
mendapatkan ijin nikah untuk dapat membaca Qur’an dalam bahasa Arab; dan melarang
meminum minuman beralkohol dan berjudi. Selama periode pelaporan, pemerintah tidak
menggunakan hak hukumnya dalam masalah-masalah keagamaan untuk meninjau atau
membatalkan peraturan-peraturan kontroversial ini yang bertentangan dengan UUD.
Misalnya, menurut seorang pejabat senior pemda, 18 dari 22 kabupaten di
Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek hukum syariah Islam. Penerapannya berkisar
antara pelaksanaan cara berbusana Islami bagi perempuan di muka umum hingga
larangan minuman beralkohol dan perjudian. Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan
memiliki empat peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah untuk
semua Muslim. Kabupaten Bulukumba dan Bone telah melaksanakan elemen-elemen
khusus dimana kepala desa, calon kepala daerah, pelajar sekolah menengah, dan mereka
yang ingin mendapatkan ijin nikah harus dapat membaca Qur’an dalam literatur Arab. Di
Padang, Sumatera Barat, walikota menginstruksikan semua muslimah untuk mengenakan
penutup kepala dan pihak berwenang setempat memberlakukan persyaratan ini.
Peraturan tersebut tidak berlaku bagi non-muslim. Beberapa kabupaten telah
mengeluarkan peraturan yang menghalangi perempuan mendapatkan layanan umum
pemerintah jika mereka tidak mengenakan penutup kepala. Beberapa tempat lain
memiliki peraturan daerah yang serupa dengan Kabupaten Bulukumba.
Peraturan daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura mengharuskan para pegawai
negeri sipil yang beragama Islam mengenakan busana Muslim dan menghentikan baik
aktivitas publik maupun pekerjaan saat azan tiba.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28
Di Tangerang, propinsi Banten, larangan bermesraan di muka umum, minuman
beralkohol, dan prostitusi terus diberlakukan. Larangan-larangan ini berlaku bagi Muslim
maupun nonmuslim. Pasal anti-prostitusi yang kontroversial secara tidak jelas
mendefinisikan seorang pelacur sebagai orang yang menimbulkan kecurigaan
berdasarkan sikap, perilaku, atau pakaian dan membebankan mereka yang dicurigai
untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Kelompok advokasi menantang
konstitusionalitas peraturan Tangerang, tetapi pada bulan Maret 2007, Mahkamah Agung
menguatkan larangan tersebut.
Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama di Nusa Tenggara
Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 kelompok keagamaan, termasuk Ahmadiyah,
Saksi Yehova, Hare Krishna, dan 9 bentuk aliran kepercayaan sebagai penyimpangan
terhadap Islam, Kristen, dan Hindu. Larangan ini masih berlaku.
Selama periode pelaporan, panitia khusus DPR terus melakukan peninjauan
terhadap versi revisi racangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Undang-
undang ini pada awalnya diperkenalkan pada tahun 2004 sebagai Undang-undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi dan melarang sikap mempertunjukkan ”bagian tubuh yang
sensual,” berciuman di muka umum, dan semua tulisan, karya seni, rekaman, atau siaran-
siaran yang dengan jelas menampilkan seksualitas, dimana semuanya didefinisikan
secara luas. Rancangan undang-undang tersebut mengundang debat nasional dan
menimbulkan demonstrasi-demonstrasi besar baik yang mendukung maupun yang
menentang. Para penentang undang-undang tersebut mengatakan undang-undang ini
sebagai suatu usaha para pendukung undang-undang syariah untuk melaksanakan ayariah
secara tidak langsung. Pada bulan Februari 2006, anggota legislatif Indonesia diberitakan
telah merevisi RUU tersebut dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi budaya dan
sensitivitas masyarakat setempat serta merubah nama undang-undang tersebut menjadi
Undang-undang Pornografi.
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 melarang pegawai negeri melakukan
poligami kecuali dalam keadaan-keadaan terbatas. Undang-undang perkawinan untuk
umat Islam diambil dari syariah yang mengijinkan seorang pria memiliki hingga empat
orang istri, dengan syarat ia mampu bersikap adil. Seorang pria yang menikahi istri
kedua, ketiga atau keempatnya harus mendapatkan ijin pengadilan dan ijin dari istri
pertamanya; namun, pada prakteknya hal ini selalu tidak dipenuhi. Banyak perempuan
yang dilaporkan sulit untuk menolak, dan kelompok perempuan muslim tetap terbagi dua
antara yang mendukung perlunya sistem ini direvisi dengan yang tidak mendukung.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29
Perceraian tetaplah merupakan pilihan hukum yang tersedia bagi pengikut semua
agama, tetapi Muslim yang ingin bercerai umumnya harus melalui Pengadilan Agama
Islam, sementara nonmuslim dapat bercerai melalui pengadilan umum. Pada kasus-kasus
perceraian, terbukti bahwa perempuan seringkali menanggung beban yang lebih berat
dibandingkan pria, khususnya dalam sistem pengadilan agama berdasarkan hukum Islam.
Undang-undang mengharuskan mantan suami untuk memberikan tunjangan atau yang
setara, tetapi tidak terdapat mekanisme pelaksanaannya dan perempuan yang diceraikan
jarang menerimanya.
Pada bulan Desember 2006, seorang ulama Muslim terkemuka, Aa Gymnastiar,
mengumumkan bahwa ia telah menikahi istri keduanya. Pernikahan kedua Gymnastiar
menjadi masalah nasional ketika buntut dari pemberitaan tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan para pejabat
dari Departemen Agama untuk membahas kontroversi atas pernikahan poligami. Sejak
itu Departemen Pemberdayaan Perempuan mengumumkan bahwa Pemerintah sedang
mempertimbangkan untuk memperluas larangan berpoligami hingga mencakup semua
pejabat negara, termasuk anggota parlemen dan para prajurit. Usulan tersebut menerima
dukungan antusias dari Muslim yang berpikir maju dan dari banyak kalangan
perempuan, tetapi menadapatkan tentangan keras dari para konservatif agama yang
berpendapat bahwa poligami diijinkan dalam Islam dan karena itu tidak boleh dilarang
oleh hukum sekuler.
Pemerintah mengijinkan praktek sistem keyakinan tradisional Aliran
Kepercayaan sebagai manifestasi budaya, bukan sebagai suatu agama. Para pengikut
Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan. Pihak berwenang
daerah pada umunya menghargai penganut Aliran Kepercayaan ini dalam
mempraktekkan keyakinannya.
Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 37/2007
yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Perkawinan.
Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara
perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang
ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan-
perkawinan ini diakui secara resmi. Namun, peraturan pelaksanaan atau panduan teknis
lain belum dikeluarkan hingga akhir periode pembuatan laporan.
Pemerintah nasional secara resmi tidak melarang kegiatan Ahmadiyah, tetapi
beberapa pemerintah daerah melarangnya. Walaupun yurisdiksi pemerintah pusat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30
meliputi urusan-urusan keagamaan, masalah administrasi kian sulit mengambil posisi
yang jelas atas larangan-larangan daerah terhadap Ahmadiyah tersebut.
Beberapa hari raya umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha menjadi hari libur
nasional. Hari besar Islam yang diakui mencakup Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, Idul Adha,
Tahun Baru Islam, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hari besar Kristen adalah Natal,
Wafatnya Isa Almasih, dan Kenaikan Isa Almasih. Tiga hari libur nasional lainnya
adalah hari raya Nyepi umat Hindu, Hari Raya Waisak umat Budha, dan Tahun Baru
Cina (Imlek) yang dirayakan oleh pemeluk Konghucu dan masyarakat Tionghoa lainnya.
Di Bali, semua hari raya Hindu adalah hari libur daerah, dan PNS serta pegawai lainnya
tidak bekerja pada hari Saraswati, Galungan dan Kuningan.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan puasa Ramadhan Muslim,
banyak Pemerintah daerah yang memerintahkan penutupan atau pengurangan jam
operasi berbagai tempat hiburan. Pada tahun 2006 di Jakarta, lagi-lagi SK gubernur
memerintahkan penutupan bar-bar bukan hotel, diskotik, klub malam, spa sauna, panti
pijat, dan pertunjukan musik hidup selama sebulan. Tempat-tempat biliar, bar karaoke,
bar hotel, dan diskotik diijinkan untuk beroperasi maksimal empat jam per malam.
Beberapa pemeluk agama minoritas dan sebagian Muslim yakin bahwa peraturan ini
melanggar hak-hak mereka.
Berdasarkan UU No. 17/1999, pemerintah memiliki monopoli atas
penyelenggaraan ibadah Haji. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Departemen
Agama bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan, layanan, dan perlindungan
kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah Haji. Departemen juga menetapkan
biaya berkaitan dengan Haji dan mengeluarkan paspor haji.
Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Pendidikan
Nasional. Pada akhir periode pembuatan laporan, Presiden tidak menandatangani
peraturan pelaksanaan mengenai pengajaran agama dan pendidikan agama. Peraturan ini
memerintahkan pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi saat diminta
oleh seorang pelajar. Undang-undang sebelumnya mengharuskan semua siswa untuk
mengambil pelajaran agama dalam salah dari lima agama, yaitu Islam, Katolik,
Protestan, Budha, dan Hindu.
Pemerintah melarang ajakan untuk pindah agama dengan alasan bahwa kegiatan
tersebut, khususnya di wilayah-wilayah yang didominasi oleh anggota agama lain,
terbukti mengganggu. Pada tahun 1979 Departemen Agama dan Departemen Dalam
Negeri mengeluarkan surat keputusan yang melarang usaha-usaha permurtadan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31
Pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 dan
terus mendanai dan menunjuk para anggotanya. MUI bukanlah badan resmi pemerintah.
Namun, maklumat atau fatwa-fatwanya dijadikan dasar bimbingan moral bagi umat
Islam. Walaupun pendapat-pendapat MUI tidak mengikat secara hukum, masyarakat dan
pemerintah secara serius mempertimbangkan mereka saat membuat berbagai keputusan
atau menyusun undang-undang. Di tahun 2005, MUI nasional mengeluarkan 11 fatwa,
termasuk sebuah fatwa yang melarang Ahmadiyah. Fatwa-fatwa tersebut sangat
berpengaruh pada diskriminasi resmi dan sosial terhadap Ahmadiyah dan kelompok
agama minoritas lainnya selama periode pelaporan.
Periode pembuatan laporan, beberapa pejabat pemerintah dan para pemimpin
politik terkemuka berinteraksi di forum-forum dan seminar-seminar publik dengan para
pemuka agama dan kelompok antar agama seperti Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia
(GANDI) dan Solidaritas Nusa Bangsa. Undang-undang tidak mendiskriminasikan
kelompok agama apapun dalam lapangan pekerjaan, perumahan, atau layanan kesehatan.
D. Pembatasan-pembatasan terhadap Kebebasan Beragama
Kebijakan dan tindakan pemerintah berpengaruh pada praktek praktek beragama
yang secara umum bebas. Namun, kebijakan-kebijakan, undang-undang, dan tindakan-
tindakan resmi tertentu membatasi kebebasan beragama, dan pemerintah terkadang
mentolerir diskriminasi dan kekerasan terhadap para individu dikarenakan keyakinan
agama mereka yang dilakukan oleh para pelaku individu. Tidak ada laporan mengenai
adanya penahanan para pelaku tersebut di negara ini.
Pemerintah mengharuskan semua warga negara dewasa untuk membuat Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang, antara lain, menunjukkan identitas agama. Pemeluk agama
yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP kecuali bila
mereka mengaku sebagai pengikut dari agama yang diakui. Selama periode pelaporan,
kelompok hak asasi manusia terus menerima laporan sporadis bahwa ada petugas
Catatan Sipil daerah yang menolak pengajuan permohonan pemeluk agama yang tidak
diakui pemerintah atau agama minoritas. Yang lainnya menerima permohonan tetapi
mengeluarkan KTP-KTP yang mencatumkan keterangan yang tidak akurat mengenai
agama pemohon. Beberapa penganut animisme menerima KTP yang menyebutkan
bahwa mereka beragama Islam. Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai
penganut Hindu dalam KTP dan akte perkawinan mereka karena pemerintah tidak secara
resmi mengakui agama mereka. Warganegara yang tidak memiliki KTP mendapati
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Sebagian organisasi swadaya masyarakat dan
kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kategori agama
dalam KTP.
Sistem pencatatan sipil membatasi kebebasan beragama orang yang tidak
menganut salah satu dari enam agama yang diakui; animisme, Baha’i, dan penganut
kepercayaan minoritas lain mengalami kesulitan dalam mendaftarkan perkawinan atau
kelahiran, meskipun terdapat peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan
administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk
mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinan
mereka masuk ke dalam agama yang diakui atau menyatakan seolah-olah mereka
penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Mereka yang memilih untuk tidak
mencatatkan perkawinannya atau kelahiran anaknya di masa mendatang akan menemui
kesulitan seperti: seorang anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk
sekolah dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka yang tidak
memiliki akte kelahiran tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan di kantor
pemerintahan.
Pria dan wanita beda agama akan terus menghadapi hambatan untuk menikah dan
mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Para pasangan ini mengalami kesulitan
dalam mencari pemuka agama yang bersedia melaksanakan upacara pernikahan antar
agama; upacara pernikahan agama harus dilakukan sebelum suatu pernikahan dapat
didaftarkan. Akibatnya, sebagian orang berpindah agama untuk dapat menikah. Lainnya,
menikah di luar negeri dan kemudian mendaftarkan pernikahannya di Kedutaan Besar
Indonesia. Meskipun merupakan sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi,
umat Hindu mengatakan bahwa seringkali mereka harus menempuh jarak yang jauh
untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah pedalaman karena
pemerintah daerahnya tidak dapat atau tidak mau melakukan pencatatan.
Kelompok keagamaan dan organisasi sosial harus mendapatkan ijin untuk
mengadakan konser keagamaan atau kegiatan lainnya di hadapan publik. Pemerintah
biasanya memberikan ijin dengan cara yang tidak berat sebelah kecuali terdapat
kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan kemarahan kelompok agama
lain di wilayah tersebut.
Ceramah agama dapat diberikan jika disampaikan ke penganut agama yang sama
dan tidak dimaksudkan untuk mengajak orang pindah keyakinan. Program keagamaaan
yang ditayangkan di televisi tetap dibatasi, dan pemirsa dapat menyaksikan program
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33
religi yang ditawarkan oleh agama manapun yang diakui. Tidak ada batasan atas
publikasi materi keagamaan atau penggunaan simbol-simbol agama; namun, pemerintah
melarang penyebaran materi-materi keagamaan kepada pemeluk agama lain.
Tentara Nasional Indonesia menyediakan sarana dan program keagamaan,
termasuk kebaktian dan pertemuan keagamaan di semua komplek perumahan bagi
prajurit yang melakukan ibadah agama yang diakui secara resmi. Walaupun setiap
komplek perumahan militer wajib menyediakan masjid, gereja Katolik dan Protestan,
dan pusat ibadah atau kuil untuk umat Budha dan Hindu, kompleks perumahan yang
lebih kecil jarang menyediakan sarana ibadah untuk keenam agama.
Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi
mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, yang merupakan revisi surat
keputusan tahun 1969, pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah
SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Selama periode pelaporan,
sebagian umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara
sporadis, dimana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin pembangunan gereja
dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan
yang diminta. Misalnya, Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka
tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah mengumpulkan
persyaratan tanda tangan yang diminta.
Di Aceh, upaya untuk mendidik masyarakat tentang syariat dan pelaksanaannya
terus dilakukan. Selama bulan Ramadan, penjaga toko menutup usaha mereka untuk
sholat Zuhur dan rumah makan tetap tutup sepanjang hari. Propinsi Aceh mengerahkan
ratusan polisi syariat untuk menegakkan syariat. Mereka bekerjasama dengan polisi
pamong praja untuk menyelidiki dan mengusut berbagai pelanggaran. Kadang polisi
syariat menahan beberapa orang untuk ”mendidik masyarakat” jika tertangkap tidak
berbusana Muslim atau berkencan tanpa didampingi muhrimnya, tetapi polisi pada
umumnya tidak menahan atau menuntut mereka dengan dakwaan pidana. Kota Banda
Aceh tidak lagi mengerahkan ”Brigade Masjid” untuk mengawasi penggunaan pakaian
Muslim yang pantas. Pada tanggal 17 Agustus 2006, 15 petugas polisi syariat dan 10
anggota polisi merazia kompleks perumahan Program Pangan Dunia PBB di Banda
Aceh. Alasan dilakukannya razia tersebut beragam karena dilaporkan berkaitan dengan
narkoba atau alkohol.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 34
Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin Departemen Agama untuk
memberikan jenis bantuan apapun (barang, orang, atau uang) kepada kelompok-
kelompok keagamaan.
Misionaris asing harus mendapatkan visa tinggal terbatas untuk rohaniawan.
Sebagian kelompok Kristen mengatakan bahwa misionaris Kristiani menemui kesulitan
untuk mendapatkan atau memperpanjang visa. Persyaratan untuk visa tinggal terbatas
untuk rohaniawan lebih sukar diperoleh daripada visa kategori lain. Mereka tidak hanya
meminta persetujuan dari kantor wilayah Departemen Agama, mulai dari tingkat daerah
hingga ke pusat, tetapi juga data statistik tentang jumlah pemeluk agama tersebut di
masyarakat dan pernyataan yang menegaskan bahwa pemohon tidak akan bekerja lebih
dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan oleh warganegara setempat. Misionaris
asing yang mendapatkan visa tersebut bekerja relatif tanpa hambatan. Banyak misionaris
yang fokus utama kegiatannya pada pembangunan berhasil memperoleh visa kunjungan
sosial di Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan Nasional.
E. Penyalahgunaan Kebebasan Beragama
Selama periode pelaporan, ada laporan-laporan mengenai penyalahgunaan
kebebasan beragama di seluruh wilayah negara ini. Selama periode pelaporan, seperti
pada periode sebelumnya, pemerintah terus secara jelas dan tegas melarang kebebasan
beragama kelompok-kelompok yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Islam yang
dipandang di luar aliran utama. Selama periode pelaporan pula, pemerintah menahan dan
menuntut beberapa orang dengan tuduhan aliran sesat, penghujatan, dan penghinaan
terhadap Islam.
Pada bulan Mei 2007, di Kabupaten Lebak, Jawa Barat, Departemen Agama
menghimbau pengikut ajaran ”Islam Sejati” untuk kembali kepada ajaran Islam yang
benar. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 15 Mei 2007, MUI Propinsi Banten, Jawa
Barat, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kelompok tersebut menyimpang
karena para anggotanya hanya sholat tiga kali sehari dan tidak menghadap ke Kiblat
ketika melaksanakan sholat.
Selama periode pelaporan, 187 anggota Ahmadiyah terus hidup di penampungan
pengungsi di Mataram, Lombok. Mereka telah hidup di kamp tersebut sejak adanya
serangan yang dilakukan oleh Muslim setempat pada bulan Februari dan Maret 2006
yang menghancurkan rumah-rumah dan masjid mereka. Perwakilan Ahmadiyah di
Lombok mengangkat masalah keamanan pada tanggal 24 Juli 2006 dengan perwakilan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 35
Konsulat Australia di Bali. Mereka meminta suaka dari penyiksaan Muslim setempat.
Pada bulan Mei 2007, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa
Ahmadiyah diijinkan oleh hukum untuk mencari suaka di negara lain.
Kekerasan dan tindakan terhadap komunitas Ahmadiyah meningkat setelah MUI
mengeluarkan fatwanya di bulan Juli 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran
sesat. Di tahun 2005 sejumlah kebijakan, undang-undang, dan tindakan resmi
membatasi kebebasan beragama komunitas Ahmadiyah di wialayah-wilayah lain.
Walaupun dengan penjagaan ketat aparat ketika terjadi dua serangan atas jamaah
Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli, polisi tidak menahan siapapun. Pemerintah
daerah kemudian memberlakukan larangan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat, dan
mereka tidak diperkenankan menggunakan komplek ibadah mereka. Pada masa akhir
periode pembuatan laporan, tidak ada tindakan yang diambil terhadap para pelaku
peristiwa tersebut. Pemerintah terus mentolerir diskriminasi dan kekejaman terhadap
Ahmadiyah dengan tetap diam mengenai fatwa MUI tahun 2005, status hukum
Ahmadiyah, dan larangan oleh pemerintah daerah.
Puluhan orang di Pasuruan, Jawa timur, mendatangi dua rumah milik M. Thoyib
dan Rochamim pada tanggal 9 April 2007, dan menuduh mereka mempraktekkan
animisme. Kedua pria tersebut sebelumnya menjalankan agama Islam, tetapi kemudian
diduga keras memeluk animisme dan melaksanakan upacara ritual animisme di makam-
makam. Para tetangga mengadukan mereka sebagai pelaku ajaran sesat. Polisi setempat
menahan dan menanyai keduanya mengenai kegiatan mereka. Mereka tidak ditahan atau
dikenai tuduhan; tetapi, keduanya memilih tetap berada dalam penjagaan polisi demi
keselamatan mereka sendiri selama dua minggu sebelum kembali ke rumah.
Pada bulan April 2007, Kepolisian Wilayah Malang menahan delapan orang yang
dituduh menyebarkan video ”pelatihan doa” yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan
Mahasiswa Indonesia di Batu, Jawa Timur. Video tersebut diduga menggambarkan 30
umat Kristiani yang diperintahkan oleh pemimpin mereka untuk meletakkan Al Qur’an
di lantai pada pertemuan di bulan Desember 2006. Setelah penahanan awal, 33 orang
kembali ditahan dengan tuduhan penistaan agama berkaitan dengan video-video tersebut.
Para pemuka gereja Kristen membantah dugaan bahwa Kristen terlibat dalam pembuatan
atau penyebaran video-video tersebut. Di akhir periode pembuatan laporan, 41 orang
yang ditahan masih menunggu sidang pengadilan.
Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan,
menjatuhkan hukuman kepada Sumardi Tappaya, seorang guru agama Islam sebuah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 36
SMU, dengan 6 bulan penjara untuk penghinaan agama setelah seorang kerabat
menuduhnya sholat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan bahwa perbuatan itu
sesat. Guru tersebut telah selesai menjalani hukumannya.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Lia
Eden, seorang pemimpin Kelompok Jamaah Salamullah, dengan 2 tahun penjara untuk
penodaan terhadap ajaran agama. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang
menyatakan bahwa ajaran Jamaah Salamullah sesat.
Pers melaporkan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD Banyuwangi, Jawa Timur
melakukan pengambilan suara untuk memecat Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari.
Ratna yang terlahir sebagai seorang Muslim, oleh para pelaku pemecatan dituduh
menghina Islam dengan mempraktekkan agama yang berbeda dari yang disebutkan
dalam KTP-nya. Para pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna adalah sasaran
kampanye pemfitnahan bermotivasi agama disebabkan pernikahannya dengan pria
Hindu. Ratna tetap menjadi bupati karena pengadilan menyatakan bahwa tidak cukup
quorum saat pengambilan suara dilakukan. DPRD naik banding ke Mahkamah Agung
yang hingga akhir periode pelaporan belum mengeluarkan keputusannya.
Pada tangga 12 April 2006, polisi di Banyuwangi, Jawa Timur, menahan lima
aktivis Falun Dafa, dua di antaranya orang asing, yang membagikan surat edaran kepada
penduduk setempat. Kemudian polisi mengaku bahwa penahanan kelima orang itu
karena isi edaran memuat informasi mengenai partai Komunis Cina dan bukan karena
mereka aktivis anggota Falun Dafa; mendistribusikan tulisan tentang Komunis tetap
dilarang. Kelima aktivis Falun Dafa tersebut kemudian dibebaskan dan tidak ada tuduhan
yang diajukan.
Sepanjang tahun 2006 Pemerintah Aceh menghukum cambuk setidaknya 25
orang karena meminum minuman beralkohol, 59 orang karena berjudi, dan 32 orang
karena berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah.
Forum Komunikasi Kristen Indonesia mengaku bahwa delapan gereja kecil tidak
berijin di Jawa Barat telah ditutup selama periode pelaporan oleh kelompok ekstrimis
Muslim walaupun dalam peraturan yang direvisi rumah ibadah diberikan tenggang waktu
2 tahun untuk mendapatkan ijin setiap permohonan baru. Pada tahun 2006, kelompok
militan menutup dua gereja secara paksa tanpa intervensi polisi. Penutupan 20 gereja
lainnya pada tahun 2006 di bawah tekanan kelompok militan setelah pengumuman surat
keputusan yang direvisi tetap ditutup, menurut Forum tersebut. Walaupun ada penjagaan,
polisi jarang bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 37
membantu para kelompok militan melakukan penutupan tersebut. Di awal Juni 2006,
Pemerintah pusat mengumumkan niatnya untuk mengambil tindakan keras terhadap
kelompok militan agama tersebut atas perilaku membahayakan mereka terhadap tempat-
tempat ibadah dan sasaran lainnya. Di akhir periode pembuatan laporan, tidak ada
laporan khusus mengenai tindakan yang diambil.
Pada bulan November 2005, polisi setempat menahan seorang asing dan seorang
WNI yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen untuk pembangunan bendungan di
pulau Madura. Polisi bertindak setelah pemuka agama setempat menuduh keduanya
melakukan permurtadan. Tuduhan dipicu kecemburuan para pemuka agama karena
masyarakat mereka tidak menerima proyek serupa. Jaksa mendakwa sang WNI, yang
terus mengenalkan versi bukan Islam tradisional kepada masyarakat, dengan tuduhan
penghinaan terhadap suatu agama, dan pengadilan menghukumnya 2 ½ tahun penjara.
Orang asing tersebut dijatuhi hukuman untuk pelanggaran keimmigrasian dan dihukum 5
½ bulan, dan dideportasi.
Pada bulan Oktober 2005, polisi di Sulawesi Tengah mendatangi aliran Madi
setelah penduduk dari desa tetangga mengeluh bahwa para pengikut aliran tersebut tidak
berpuasa atau melaksanakan sholat taraweh selama bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua
anggota aliran tewas dalam bentrokan. Pengikut aliran tersebut diberitakan menahan dua
petugas kepolisian sebagai tawanan tetapi kemudian dilepaskan. Lima pengikut aliran
Madi diadili oleh pengadilan daerah dengan tuduhan menyebabkan kematian personil
polisi; pada bulan Januari 2006, mereka dijatuhi hukuman penjara antara 9 hingga 12
tahun.
Pada bulan September 2005, pengadilan di Jawa Timur menghukum enam terapis
narkoba dan kanker di sebuah pusat rehabilitasi di Jawa Timur dengan hukuman masing-
masing 5 tahun penjara dan tambahan 3 tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran
Islam dengan menggunakan metode penyembuhan paranormal. MUI setempat
menyatakan bahwa metode penyembuhan pusat rehabilitasi mereka sesat. Polisi
menahan para terapis saat mereka berusaha mempertahankan diri dari serangan ratusan
orang ke kantor mereka. Pusat rehabilitasi tersebut ditutup dan keenam penasehat mulai
menjalankan hukuman mereka selama periode pelaporan.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, menvonis
Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena sholat menggunakan dua bahasa,
yaitu Indonesia dan Arab, yang oleh MUI dinyatakan sebagai hal yang menodai keaslian
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 38
ajaran Islam yang berbahasa Arab. Roy bebas dari penjara pada tanggal 9 November
2006 setelah menjalani masa tahanan selama 18 bulan.
Pada bulan Juni 2005, polisi mendakwa dosen Universitas Muhammadiyah di
Palu atas tuduhan penghinaan. Mereka menahannya selama 5 hari kemudian
menetapkannya sebagai tahanan rumah, setelah 2.000 orang memprotes artikel mengenai
pendapatnya berjudul ”Islam, Agama yang Gagal”. Artikel tersebut, antara lain
menyoroti penyebaran korupsi di negara ini. Dosen tersebut dibebaskan dari tahanan
rumah dan kemudian dipecat oleh Universitas.
Pada bulan September 2005, sebuah pengadilan menghukum tiga orang wanita
dari Gereja Kristen Kemah Daud dengan hukuman 3 tahun penjara di bawah UU
Perlindungan Anak untuk dugaan Kristenisasi anak-anak Muslim. Para wanita tersebut
mengaku bahwa anggota keluarga telah memberikan ijin kepada anak-anak mereka
untuk mengikuti program pemuda Kristen. Mahkamah Agung menolak banding para
wanita tersebut di tahun 2006. Mereka menjalani dua tahun hukuman dan kemudian
bebas bersyarat pada tanggal 11 Juni 2007.
Peraturan daerah berdasarkan syariah tentang anti pelacuran terdapat di seluruh
wilayah negara ini. Peraturan ini juga terdapat di Tangerang, Jawa Barat, di mana DPRD
mengeluarkan peraturan dengan kalimat yang tidak jelas pada tanggal 21 November
2005, yang melarang siapapun yang dicurigai sebagai pelacur, berdasarkan sikap atau
perilakunya, berada di tempat-tempat umum. Di tahun 2006, Tangerang menahan dan
mengadili puluhan wanita sebagai pelacur, termasuk seorang ibu dua orang anak yang
sedang hamil yang dituduh sebagai pelacur karena menyimpan peralatan berhias dalam
tasnya. Pada bulan April 2006, tiga orang dari para perempuan yang diadili di Tangerang
mengajukan permohonan peninjauan ulang atas perda tersebut ke Mahkamah Agung,
tetapi Mahkamah menetapkan pada tanggal 1 Maret 2007 bahwa perda tersebut sah dan
tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya yang lebih tinggi.
Tidak ada laporan mengenai pemaksaan untuk berpindah agama, termasuk
tentang warganegara AS yang diculik atau dipindahkan secara ilegal dari Amerika
Serikat, ataupun pelarangan pengembalian warga AS tersebut kembali ke Amerika
Serikat. Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, terus menerbitkan artikel-artikel dengan
pernyataan-pernyataan dan tema-tema anti Semit. Majalah ini memperingatkan
keberadaan kegiatan konspirasi ”Zionis” di negara ini. Sebuah CD yang diproduksi pada
bulan September 2005 oleh badan komersial Trustco Multimedia yang memuat materi
politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menduduki 8 persen kursi di DPR, dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 39
sebuah permainan anti Semit berjudul ”Tembak Yahudi”. PKS kemudian meminta
Trustco Multimedia untuk menarik CD tersebut dari pasaran, dan tidak ada laporan lebih
lanjut mengenai kemunculan CD tersebut di toko-toko eceran.
F. Pelanggaran oleh Organisasi-organisasi Teroris
Selama periode pelaporan, pemerintah berhasil mengadili dan menghukum 27
tersangka terorisme dan menahan paling tidak 47 tersangka teroris lainnya yang
diharapkan akan diadili di masa mendatang. Persidangan ke-17 tersangka teroris tersebut
sedang berlangsung dalam periode pembuatan laporan ini, sementara setidaknya 27
tersangka teroris lainnya berada dalam tahanan sambil menunggu sidang. Jumlah ini
mencakup para tersangka yang berafiliasi pada Jamaah Islamiyah (JI) dan penduduk
Poso, baik yang Kristen maupun Islam, yang terlibat dalam kekerasan terhadap
kelompok keagamaan lainnya.
Pada tanggal 21 Maret 2007, Hasanuddin, salah satu pemimpin JI di balik
peristiwa pemenggalan tiga pelajar putri Kristen di Poso pada bulan November 2005,
dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta atas perannya dalam pemenggalan
kepala. Polisi Sulawesi Tengah menahan Hasanuddin pada sebuah penggerebekan di
bulan Mei 2006. penahanannya menyoroti peranan kelompok militan daerah dan jaringan
terorisme JI dalam serangan dengan kekerasan yang telah mengganggu propinsi ini.
Pada bulan Januari 2007, polisi menggerebek tersangka teroris, ekstrimis Muslim Dedi
Pasaran yang ditembak mati sementara Abdul Muis ditangkap. Kedua pria ini
membunuh seorang pemuka agama Kristen dan sekretaris Gereja Protestan Sulawesi
Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, pada tanggal 22 Oktober 2006 di Palu, Sulawesi
Tengah.
Pada bulan September 2006, Pengadilan Negeri Denpasar menghukum
Mohammad Cholily dan Anief Solchanudin masing-masing dengan 18 dan 15 tahun
penjara dan Dwi Widianto serta Abdul Aziz dengan 8 tahun penjara untuk perencanaan
dan pelaksanaan pengeboman Bali tanggal 1 Oktober 2005. Tiga pelaku bom bunuh diri
dari JI menewaskan 22 orang dan mencederai 100 orang di wilayah-wilayah turis Kuta
dan Jimbaran di Bali selama serangan.
Pemerintah berhasil menghukum 6 orang untuk serangan bunuh diri bulan
September 2004 di Kedutaan Besar Australia yang menewaskan 10 orang dan
mencederai lebih dari 100 orang. Pada bulan September 2005, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menghukum Rois dan Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul Bahri dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 40
hukuman penjara selama 10 tahun, dan 3 pelaku lain mendapatkan 3 hingga 7 tahun
penjara. Pada bulan Desember 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan hukuman
mati untuk Rois dan Ahmad Hasan. Pada bulan Januari 2006, Rois dan Hasan
mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menguatkan keputusan
hukuman mati Hasan pada bulan Mei 2006, tetapi belum memberikan putusan banding
Rois hingga akhir periode pembuatan laporan ini.
G. Perkembangan dan Kemajuan Positif dalam Penghormatan terhadap
Kebebasan Beragama
Pada bulan Februari 2006 saat berpidato di hadapan publik, Presiden memastikan
kembali kepada warganegara keturunan Tionghoa bahwa hak-hak mereka secara hukum
dan konstitusional dijamin dan meminta kantor catatan sipil di seluruh Indonesia untuk
mencatatkan pernikahan Konghucu sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang.
Pidato Presiden tersebut yang disampaikan saat Tahun Baru Cina, mempermudah
penganut Konghucu dalam memperoleh KTP yang menuliskan agama mereka dan
mencatatkan perkawinan dan kelahiran Konghucu. Perwakilan komunitas Cina kembali
dapat mempraktekkan agama Konghucu dengan cara yang relatif bebas selama periode
pelaporan ini. Tidak ada upaya khusus untuk membangun keharmonisan antar agama di
beberapa propinsi.
Pemerintah Sumatera Utara terus mendukung sebuah organisasi, yaitu
FORKALA, yang menyatukan perwakilan dari semua kelompok agama yang diakui dan
menggalakkan dialog antara agama sebagai cara untuk menghindari konflik agama.
Selama periode pelaporan, kekerasan bermotivasi agama menurun secara
signifkan di Maluku dan Maluku Utara. Kekerasan bermotif agama mencapai puncaknya
terjadi akhir 1990an, dan terus berlanjut pada skala lebih kecil walau cukup mengganggu
di tahun-tahun berikutnya. Namun, seperti di tahun-tahun sebelumnya, Sulawesi Tengah
mengalami peledakan bom, penembakan secara sporadis, dan kekerasan lain walaunpun
berbagai usaha untuk mengembalikan keamanan dan meningkatkan perdamaian terus
dilakukan. Pejabat pemerintah bekerja sama dengan para pemuka agama Islam dan
Kristen untuk meredakan ketegangan di kedua wilayah.
Maluku tetap tenang dan baik para pemuka agama dari masyarakat Islam maupun
Kristen serta pemerintah daerah Maluku memperlihatkan komitmen yang kuat untuk
meredakan ketegangan dan melakukan pembangunan kembali. Berbagai proyek
pembangunan untuk membangun kembali gereja, masjid, dan rumah-rumah yang rusak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 41
telah dilakukan selama periode pelaporan. Kanwil Departemen Sosial Maluku
mensponsori sebuah program di bulan September 2006 yang disebut ”Jembatan
Persahabatan” yang dihadiri oleh 250 orang dari seluruh Maluku yang sebelumnya
terlibat dalam konflik keagamaan tersebut. Umat Muslim dan Kristen menghabiskan satu
hari untuk berkumpul bersama di Letuwaru, sebuah desa Kristen, dan kemudian pada
hari berikutnya di Amahai, sebuah desa Muslim. Pimpinan daerah Maluku dan
perwakilan masyarakat Islam maupun Kristen bergabung bersama di bulan November
2006 di Ambon untuk membahas cara-cara untuk terus meningkatkan proses
perdamaian.
Selama periode pelaporan, para pemuka agama Islam dan Kristen dengan cepat
mengecam segala upaya yang terus dilakukan untuk membuat Maluku tidak stabil. Ketua
MUI Maluku dan ketua Sinode Gereja Maluku mengutuk dua insiden yang terjadi di
bulan Maret 2007. Pada tanggal 3 Maret, bom rakitan berdaya ledak rendah diledakkan
di pintu gerbang pelabuhan Ambon melukai 16 orang, dan pada tanggal 5 Maret polisi
menyingkirkan alat peledak serupa di pusat perbelanjaan Ambon Plaza. Polisi memeriksa
sedikitnya lima orang berkaitan dengan serangan tersebut, tetapi pelaku dan motif masih
tidak jelas. Tidak ada penahanan. Para pemimpin agama memperlihatkan kerjasama kuat
antar agama dan keinginan menjaga perdamaian di wilayahnya dengan segera dab sama-
sama mengutuk berbagai insiden.
Situasi di Poso tetap tegang, tetapi polisi terus mengambil tindakan keras dan
menahan beberapa tersangka dengan tuduhan terorisme dan kejahatan keras lainnya
terkait dengan perselisihan agama di Sulawesi Tengah. Polisi daerah Sulawesi Tengah
terus melindungi gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah setempat sepanjang pelayanan
keagamaan. Tindakan ini secara berangsur-angsur membangkitkan optimisme penduduk
setempat bahwa siklus kekerasan telah menurun.
Sepanjang semester pertama tahun 2007, polisi di pulau Jawa menangkap 17
tersangka yang dicuriagi sebagai teroris JI untuk tuduhan merencanakan berbagai operasi
dan menyembunyikan senjata dan bahan peledak, yang sebagian mereka kirimkan untuk
mendukung berlanjutnya kekerasan di wilayah seperti Poso. Polisi menemukan rencana-
rencana operasional dan menyita ratusan kilogram bahan peledak dan detonator, lusinan
senapan, dan ribuan amunisi. Penahanan pemimpin operasional kunci JI, Abu Dujana di
bulan Juni 2007 kemudian membenarkan tujuan-tujuan kekerasan kelompok tersebut.
Di akhir 2006 dan awal 2007, polisi menahan puluhan tersangka di Poso atas
keterlibatan mereka dalam serangkaian serangan sektarian sejak tahun 2001. Sampai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 42
Februari 2007, polisi menyatakan bahwa mereka telah menahan 18 dari 29 orang ”paling
dicari” yang dicurigai terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah. Menurut Kadiv
Humas Polri, sebagian besar dari 18 orang yang ditangkap adalah anggota JI yang
terhubung dengan kelompok militan Muslim Tanah Runtuh yang dituduh telah
melakukan sebagian besar kejahatan mengerikan terhadap umat Kristen sejak tahun
2001.
H. Kekerasan Sosial dan Diskriminasi
Selama periode pelaporan, terdapat laporan-laporan mengenai kekerasan sosial
dan diskriminai berdasarkan keyakinan atau praktek agama.
Menurut Forum Komunikasi Kristen Indonesia, kelompok militan memaksa penutupan
delapan gereja kecil tidak resmi selama periode pelaporan. Front Pembela Islam (FPI),
Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), dan Divisi Anti Permurtadan (DAP) Forum
Ulama Islam Indonesia, didukung beberapa komunitas Muslim setempat, mendalangi
banyak penutupan gereja. AGAP dan FPI menyatakan bahwa mereka mentargetkan
gereja-gereja yang beroperasi tanpa ijin pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya
seperti disyaratkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi mengenai
Pendirian Rumah-rumah Ibadat, walaupun terdapat pemberian waktu dua tahun untuk
mendaftarkannya secara resmi. Banyak dari gereja yang menjadi target beroperasi di
rumah-rumah pribadi dan di ruko.
Pada tanggal 4 Juni 2007, sebuah kelompok militan menyerang dan merusak
sebuah gereja Protestan kecil di komplek perumahan di Soreang, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat, yang menuntut agar gereja tersebut ditutup. Para penyerang mengaku berasal
dari AGAP, tetapi baik AGAP maupun DAP menolak bertanggung jawab. Dalam
kejadian terkait sepuluh hari kemudian, lebih dari 100 orang berdemonstrasi menuntut
penutupan rumah-rumah pribadi yang dijadikan gereja di Soreang.
Pada tanggal 4 April 2007, puluhan anggota DAP mendatangi Gereja Kristen
Pasundan di Bandung, Jawa Barat, untuk menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi
dimana gereja melanggar perjanjiannya untuk tidak melakukan kegiatan pemurtadan di
komunitas Muslim. Seorang anggota DAP menyatakan bahwa gereja tersebut
menandatangani perjanjian tahun 2005 dengan kelompok anti pemurtadan AGAP untuk
tidak melakukan upaya pemurtadan. Namun, anggota tersebut menduga bahwa gereja
telah melanggar perjanjiannya dengan menjadikan beberapa Muslim di Garut dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 43
wilayah-wilayah Pagauban Bandung pengikut agama Kristen dengan memberikan
mereka uang. Para pemimpin gereja secara damai membahas masalah tersebut.
Pada tanggal 24 September 2006 sekitar 50 orang dari DAP menyerang dan
mencoba menghancurkan Gereja Yayasan Penginjilan Roti Kehidupan Bandung Selatan,
Jawa Barat, dengan alasan bahwa tingkat kebisingan kebaktian menganggu masyarakat
setempat. Para penyerang memulai dengan menghancurkan atap dan mereka berhenti
ketika polisi turun tangan. Gereja tersebut tidak lagi berfungsi.
Pada bulan September 2006, mendekati Ramadan, kelompok militan Muslim
merazia kedai minuman keras dan tempat prostitusi di seluruh negeri. Pada tanggal 8
september 2006, ratusan anak muda merazia warung-warung minuman di pinggir jalan di
Bogor, Jawa Barat, mencari minuman beralkohol untuk dihancurkan. Pada 8 September
2006, di Semarang, Jawa Tengah, polisi merazia sejumlah kedai minuman di sisi jalan
yang menjual minuman beralkohol. Pada tanggal 13 September 2006, Gubernur Jakarta
Sutiyoso meminta organisasi-organisasi massa untuk tidak main hakim sendiri dan
menyatakan bahwa pengoperasian tempat-tempat hiburan sepanjang bulan Ramadhan
sudah diatur dalam peraturan daerah dan ini adalah tanggung jawab Polisi.
Beberapa rumah ibadah, sekolah agama, dan rumah warga sekte Islam yang
dianggap menyimpang diserang, dirusak, ditutup secara paksa, dihalangi
pembangunannya oleh kelompok-kelompok militan dan massa di seluruh negara tersebut
seperti yang digambarkan dalam contoh-contoh kasus berikut ini.
Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan anggota FPI dan kelompok garis keras
lainnya berdemonstrasi di depan Mesjid Mahmud di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa
Barat, menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Demonstrasi tersebut merupakan balasan
terhadap diadakannya Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) komunitas Ahmadiyah pada
April 22, 2007. Pimpinan Ahmadiyah mengaku telah menerima ijin polisi untuk
mengadakan pertemuan. Polisi dengan segera mengamankan mesjid dan menjaga para
demonstran. Menyusul peristiwa tersebut, para pimpinan Ahmadiyah bertemu dengan
pimpinan Muslim setempat, dan diskusi antara Ahmadiyah dan kelompok muda Islam
menghasilkan satu diskusi publik berjudul, ”Negara Harus Melindungi Pengikut
Ahmadiyah.” Namun, pada tanggal 26 Juni, 2007, kelompok yang sama berdemonstrasi
menuntut DPRD Tasikmalaya membubarkan Ahmadiyah. DPRD menolak tuntutan
tersebut, dan menyatakan bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat.
Pada tanggal 9 April 2007, polisi mencegah ratusan orang yang hendak
menyerang sebuah pesantren milik Tajul Ali Murthado dengan menggunakan pisau dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 44
golok di Sampang, Jawa Timur. Penduduk setempat menuduh Murtadho mengajarkan
Islam yang menyimpang. Murtadho ditahan sebentar oleh Polisi dan kemudian
dilepaskan. Polisi untuk sementara menutup pesantren tersebut tetapi dibuka kembali
setelah situasi terkendali.
Pada tanggal 8 April 2007, di Jember, Jawa Timur, massa yang marah
mengepung sebuah rumah milik Suwarno, seorang pemimpin kelompok Ikatan Ahlul
Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi keagamaan Syiah. Mereka menuntut Ijabi tidak
menyebarkan ajaran-ajaran Syiah. Polisi setempat memindahkan tiga pemimpin Ijabi
termasuk Suwarno guna menenangkan situasi; massa kemudian dibubarkan. Para
pemimpin Ijabi diperiksa polisi dan dilepaskan pada hari yang sama.
Pada tanggal 27 Maret 2007, Alih bin Hadi, seorang ulama di Bogor, Jawa Barat
diculik dari dalam masjid oleh massa yang berjumlah sekitar 200 orang dan
memukulinya hingga tewas. Alih berceramah bahwa umat Islam dapat pergi ke masjid
sekitar daripada ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia juga mengatakan umat
Islam dapat membayar zakat setelah hari raya Idul Fitri. Ajaran-ajaran Alih telah lama
menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Pada bulan Desember 2005, ia
menandatangani perjanjian untuk menghentikan kegiatan masjid dan meninggalkan
wilayah tersebut, tetapi kemudian ia kembali dan memperbarui kegiatan ceramahnya.
Alih adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang disebut Yayasan Karisma
Usada Mustika (Yaskum) yang sedang diselidiki oleh MUI Kabupaten Bogor dengan
dugaan melakukan ajaran sesat selama periode pelaporan. Sekitar 1.000 anggota Yaskum
berdemonstrasi di luar kantor polisi Bogor untuk memprotes pembunuhan terhadap Alih.
Di akhir periode pembuatan laporan ini, tiga pria yang dicurigai merencanakan
pembunuhan terhadap Alih telah ditahan polisi.
Pada tanggal 24 Desember 2006, didorong oleh ulama setempat, 500 penduduk
desa yang marah di desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur menyerang 150
anggota Ijabi yang sedang melaksanakan sholat dengan menghancurkan tiga rumah,
sebuah musholah, dan sebuah mobil milik ketua Ijabi setempat. Para penduduk Suni
setempat keberatan dengan kehadiran Syiah dalam komunitas mereka dan menuduh
mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan ajaran
sesat. Polisi memindahkan dan memeriksa 17 anggota Ijabi selama delapan jam, tetapi
tidak ada penahanan. Dua penghasut, Sumiko (aka Pak Lim) dan Burasim, kemudian
ditahan dan dikenakan dakwaan pidana perusakan properti. Sidang mereka, yang sedang
berlangsung, dimulai pada tanggal 2 Mei 2007. Jaksa menuntut hukuman 6 bulan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 45
penjara. Para pemimpin Ijabi melaporkan bahwa tidak ada insiden lagi sejak Desember
itu.
Pada tanggal 29 Oktober 2006, penduduk mengamuk dan menyerang enam
rumah milik anggota masjid Miftahus Salam dan pesantren di Bogor, Jawa Barat.
Penduduk yakin bahwa masjid dan sekolah adalah pusat ajaran sesat. Sebelum
penyerangan, Ustad Yusup Maulana yang merupakan kepala sekolah, diperiksa polisi.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, ia mengakui bahwa ia mengajarkan ide-ide yang tidak
sesuai dengan hukum Islam kepada 40 murid sekolahnya. Pernyataannya membuat
penduduk melakukan serangan. Polisi menahan Maulana dan menangkap dua perusuh,
tetapi masih tidak jelas apakah mereka masih tetap dalam tahanan hingga akhir periode
pembuatan laporan ini.
Pada tanggal 8 Agustus 2006, ratusan orang yang mengenakan topeng membakar
sebuah sekolah asrama milik Datuk Buluh Perindu, di Sidera, Sulawesi Tengah.
Penduduk menuduh Perindu sebagai guru spiritual Madi, yaitu sebuah aliran Islam
minoritas. Polisi tidak melakukan penangkapan.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug,
sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi
Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup
karena para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat
setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta
bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun
asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut.
Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.
Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi
Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita bahwa gereja tersebut
merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat
menuju kebaktian tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak
menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut.
Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat
Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang dengan sepeda motor
membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan
istrinya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka ditemukan
selamat oleh teman-temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian
pindah untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 46
Warga Muslim secara rutin melaporkan adanya kesulitan untuk membangun
masjid di wilayah-wilayah minoritas Muslim di Papua, Sulawesi Utara, dan tempat-
tempat lainnya. Kadang-kadang, kelompok garis keras menggunakan tekanan, intimidasi,
atau kekerasan terhadap mereka yang membawa pesan bersifat menghina. Walaupun
masih mendapat kritik dari kelompok Islam garis keras, Jaringan Islam Liberal (JIL)
tetap menyerukan penafsiran pribadi tentang ajaran Islam dan toleransi beragama. JIL
mengkonfrontasi kelompok garis keras di forum-forum umum, termasuk seminar-
seminar. Kelompok militan yang mengaku menegakkan moralitas masyarakat terkadang
menyerang kafe dan klub malam yang mereka anggap sebagai ajang prostitusi atau yang
tidak membayaran kepada mereka.
Perpindahan agama tanpa paksaan terjadi sebagaimana diperbolehkan secara
hukum, tetapi tetap saja merupakan sumber kontroversi. Sebagian orang berpindah
agama karena menikah dengan orang beda agama; yang lain berpindah agama akibat
penyebaran agama atau kegiatan sosial yang diorganisir oleh kelompok agama. Sebagian
Muslim menuduh misionaris Kristen menggunakan pembagian makanan dan program
kredit mikro untuk memikat Muslim miskin pindah agama. Sebagian orang yang
berpindah agama terpaksa tidak memberitahukan kepindahan agama mereka karena
alasan keluarga dan tekanan masyarakat.
Di sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara populasi Kristen dan
Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus menyulut berbagai tindak kekerasan
yang mengakibatkan kematian selama periode pelaporan. Berbagai tindak kriminalitas
tersebut kelihatannya terjadi dengan motif agama.
Pada tanggal 22 September 2006, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan
Marianus Riwu dihukum mati akibat peran mereka dalam kekerasan sektarian di Poso
pada tahun 2000 dan pada pembunuhan 191 Muslim di sebuah sekolah. Eksekusi
tersebut menimbulkan kekerasan di daerah Flores dan Timor Barat, Propinsi Nusa
Tenggara Timur, dan di Sulawesi Tengah, dengan beberapa kritikan bahwa penjatuhan
hukuman dan eksekusi ketiga pria Kristen tersebut adalah sebuah kasus diskriminasi
yang dilakukan oleh pihak berwenang. Di Flores 3.000 orang melakukan kerusuhan dan
membakar paling sedikit 3 bangunan pemerintahan. Di Kefamananu dan Atambua,
Timor Barat, antara 3.000 hingga 5.000 orang membuat kerusuhan dengan
menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, dan kendaraan.
Di Sulawesi Tengah, pada hari yang sama saat eksekusi dilaksanakan, dua orang
Muslim, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman, ditarik dari mobil mereka dan dipukuli
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 47
hingga tewas saat melewati Taripa, sebuah desa yang didominasi komunitas Kristen.
Polisi menangkap 17 orang yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut, semuanya
mengakui keterlibatan mereka. Para tersangka memberitahukan polisi bahwa para korban
dibunuh karena eksekusi terhadap Tibo, Riwu, dan Da Silva. Pada tanggal 2 April 2007,
jaksa penuntut di Jakarta menuntut ke-17 tersangka dengan undang-undang anti
terorisme atas pembunuhan kejam terhadap 2 pria Muslim pada tanggal 23 September
2006. Ke-17 tersangka adalah penganut Kristen pertama dari Sulawesi Tengah yang
dituntut dengan terorisme. Pada bulan Juni 2007, jaksa penuntut mengajukan argumen
penutup dalam kasus ini dan keputusannya diharapkan akan keluar akhir musim panas
2007. Sementara itu hukuman maksimum adalah hukuman mati, para jaksa penuntut
mengajukan permohonan 15 hingga 20 tahun penjara bagi para pelaku.
Beberapa peristiwa terjadi setelah eksekusi dilaksanakan pada bulan September
2006, termasuk 3 ledakan skala kecil, penyerangan baik terhadap umat Islam maupun
Kristen, dan penyerangan terhadap Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah yang
mengakibatkan pengeroyokan dan penghancuran helikopter polisi oleh 5.000 massa.
Polisi terus menyelidiki pengakuan terpidana mati Fabianus Tibo tentang tuduhan bahwa
16 orang Kristen lainnya yang menjadi otak di balik kekerasan di Sulawesi Tengah. Pada
bulan April 2007, polisi Sulawesi Tengah kembali memriksa 10 dari 16 orang yang
disebutkan oleh Tibo.
I. Kebijakan Pemerintah AS
Misi diplomatik AS di Indonesia, termasuk Kedutaan Besar AS di Jakarta,
Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan, secara berkala berhubungan
dengan pejabat Indonesia dalam isu-isu kebebasan beragama dan mendorong pejabat
Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah. Staf Kedubes di semua
level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi manusia untuk
meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Staf Kedubes juga secara
rutin mengadakan pertemuan dengan para pimpinan NU dan Muhammadiyah untuk
menjelaskan kebijakan AS dan membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu
lain.
Upaya penjangkauan Kedubes AS menekankan pada pentingnya kebebasan
beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis. Selama periode pelaporan,
Kedubes mempromosikan pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran
dan masyarakat madani.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 48
Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam
program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik AS.
Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama, dialog
antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam masyarakat yang
demokratis. Misalnya, satu program kepemimpinan pemuda menawarkan remaja
Indonesia kesempatan untuk bertemu dengan rekan sebaya di Amerika. Mereka
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, bertemu dengan para pemimpin agama dan
terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai toleransi beragama. Delapan penerima beasiswa
Fulbright dari Indonesia berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi dan
mengambil program-program studi yang langsung berkaitan dengan praktek agama
dalam masyarakat demokratis. Tiga akademisi AS datang ke Indonesia untuk mengajar
dan melakukan penelitian mengenai topik yang sama.
Kedubes AS berhasil menjangkau jutaan orang melalui produksi siaran media
yang memberikan liputan mendalam mengenai isu kebebasan beragama dari perspektif
Amerika. Ini termasuk program radio Greetings from America, yang secara berkala
menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama, perbedaan agama, toleransi, dan
pluralisme dari perspektif para pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa Indonesia
yang tinggal di Amerika Serikat. Program radio ini mengudara 9 kali setiap minggunya
dengan 10 juta pendengar potensial di 6 kota.
Kedubes AS juga mendanai pembuatan serial dokumenter televisi, The Colors of
Democracy, yang diproduksi secara bersama-sama di Indonesia dan Amerika Serikat.
Serial ini, pada awalnya mengudara setiap sore dari tanggal 5 Desember 2005 hingga 25
Januari 2006, secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama dan
dialog antaragama di Amerika Serikat. Misi diplomatik menyumbangkan 6.000 set video
compact disc (VCD) berisikan The Colors of Democracy, yang menyoroti dampak
positif kebebasan beragama, pluralisme, dan kegiatan antar agama untuk sekolah dan
perpustakaan. Melalui perjanjian dengan Departemen Pendidikan yang ditandatangani
pada tanggal 11 Oktoiber 2006, VCD-VCD dimasukkan dalam kurikulum pelatihan guru
Departemen Pendidikan dan meliputi 32.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya
(CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik
Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat
masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung,
program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 49
penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa
Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat. Pada bulan
Desember 2006, CRCS memperluas diskusi publik mengenai isu-isu ini melalui
pembuatan website.
Kedubes AS mendukung pembuatan dan produksi acara bincang-bincang di
televisi dengan 12 episode berjudul Islam Indonesia. Program tersebut bertujuan
mendidik kalangan kelas menengah dan profesional muda dan ditayangkan di televisi
setiap dua minggu, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mendengarkan, menyaksikan, dan terlibat secara aktif dalam debat interaktif melalui
saluran telepon. Topik-topik yang dibahas mencakup kebebasan beragama, toleransi, dan
pluralisme. Setiap episode menerima 12 hingga 33 telepon.
Berkaitan dengan majalah mingguan, Kedubes AS mendukung publikasi edisi
suplemen untuk memberikan informasi obyektif mengenai usaha-usaha jaringan Muslim
pro demokrasi untuk mendukung proses demokrasi, termasuk kebebasan beragama,
toleransi, hak sipil, dan demokrasi. Majalah ini menyebarkan 90.000 salinan ke seluruh
nusantara setiap minggunya dengan perkiraan jumlah pembaca 450.000 orang.
Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan
memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan
pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender.
Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung,
Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas
Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera
Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara
nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.
J. Pluralisme Agama
Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan,
demikian ungkap Coward Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin
dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu
sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama
dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward, setiap agama muncul dalam
lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai
tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 50
pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa
konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
MenurutTracy, diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada
yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu,
tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua
pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness,
Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang
diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang
harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara
apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara
fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskurus dan cara-cara
agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu,
melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama
juga bisa saling mengganggu dan melenyapkan.
Menurut Hick, bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap
fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama
dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di
antara berbagai pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan
tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang
kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick
memang, sebagaimana kata Soroush, adalah seorang teolog yang membela pluralisme
dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee.
Tetapi, kenapa pula pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi
dan kekerasan? Menurut Rodney Stark, claim pemeluk agama monoteisme yang
partikularistk-subjektif, bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar,
yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God) banyak
memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik
Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui
penelitiannya, Stark berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat
berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi
preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama
partikularistik yang kuat saling mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik
akan termaksimalisasikan, begitu pula tingkat intoleransi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 51
Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan
pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi
keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika
sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens.
Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika
beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.
Huston Smith, dalam memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan
antar agama-agama, mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan
sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia
ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik
temu antara agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level
eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.
Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara
komprehensif, kita harus memahami agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa
mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk
menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya, ada tiga macam
sikap keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya,
seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain
salah; sikap inklusif artinya seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang paling
benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya, seseorang
menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.
K. Dialog Antar umat Beragama
Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama pada level internasional,
maka pada tahun 1958, di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International
Association for The History of Religion, dalam Konggres itu Friedrich Heiler dari
Marburg menerangkan bahwa memberi penerangan tentang kesatuan semua agama
merupakan salah satu dari tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang yang
mengakui kesatuan agama, menurutnya, harus memegangnya dengan serius dengan
toleransi dalam kata-kata dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agama-
agama itu satu sama lainnya; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan
amalan-amalannya, ia dibawa kepada suatu yang transenden yang melampaui semua
namun tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu perbandingan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 52
agama merupakan pencegah paling baik untuk melawan eksklusivisme, karena ia
mengajarkan cinta; di mana ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa.
Di akhir pidatonya, Heiler menganalogikan pentingnya ilmu perbandingan agama
dengan apa yang dilakukan oleh Helmholtz, penemu kaca mata, yang telah membantu
jutaan orang yang sakit mata. Hal demikian juga berlaku bagi studi ilmiah tentang
agama, usahanya untuk mencari kebenaran membawa akibat-akibat yang penting bagi
hubungan yang praktis antara agama satu dengan lainnya.
Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa belum tampaknya hasil yang signifikan
dari pendekatan dialog dalam menyelesaikan konflik antarumat beragama selama ini
karena pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down, belum menggunakan model
dialog yang bersifat buttom up sehingga bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan dan
evaluasi penyelenggaraan dialog kerukunan di masa mendatang.
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan
adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan
yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara
berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan
kompleks.
Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen, menurut Hassan Hanafi2424
keduanya mempunyai dua “karakteristik ideal” (ideal types) yang kaya untuk
dikomparasikan dan selanjutnya bisa mengantarakan kepada suatu common platform.
Dialog perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip humanisme, karena antara Islam
dan Kristen mempunyai pandangan yang kosmopolit mengenai manusia yang lebih
memudahkan untuk melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan teologis.
Tuhan dan manusia, menurut Hanafi, merupakan kata kunci bagi timbulnya persatuan
dan perpecahan antara kultur modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen dan
Muslim di Timur.
Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang muslim menanggapi dialog
agama ini. Gerakan dialog ini adalah murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam
merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang, tidak memiliki agenda dan merasa hasil
yang bisa dicapai dari dialog ini sedikit. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen
merupakan agenda tambahan atas kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang
Kristen menambah ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan dialog tersebut
ditakutkan oleh orang-orang muslim sebagai agenda tersembunyi dari agenda
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 53
evangelism. Ketidakpercayaan ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat,
khususnya dalam konflik Israel-Palestina.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dialog ini menurut Hans Kung
adalah, bahwa setiap orang beragama harus membuktikan keimanannya masing-masing.
Terlepas dari semua perbedaan yang ada menurut Kung, orang Kristen dan Islam harus
bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan penuh
penghormatan satu sama lain.
Seyyed Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan philosohia perennis,
karena dia melihat bahwa banyaknya kajian keagamaan di Barat kurang memahami
bahwa realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sakral sebagai realitas
ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah suatu pengetahuan yang
bisa memandang agama secara adil, yaitu dengan menggunakan perennial wisdom yang
berada dalam “hati” semua tradisi-tradisi keagamaan. Philosophia perennis merupakan
pengetahuan yang berada pada dalam “hati” agama yang bisa menerangkan makna ritus-
ritus keagamaan, doktrin-doktrin dan simbol-simbol. Philosophia perennis juga
menyediakan kunci untuk memahami pentingnya pluralitas agama dan metode untuk
masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi atau menghilangkan
komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. philosophia perennis akan
mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu dan seni yang sakral,
simbol-simbol dan images, ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme dan etika
sosial, metafisika, kosmologi dan teologi.
Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka
pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama,
tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang
bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan
sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan
prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil
dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar
dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain
secara benar dan komprehensif.
Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan
pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam
dialog ini diperlukan sikap saling terbuka antarpemeluk agama yang berdialog.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 54
Sebenarnya menganggap bahwa agama yang dipeluk itu adalah agama yang paling benar
bukanlah anggapan yang salah, bahkan yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama
yang paling benar, dan orang lainpun dipersilahkan untuk meyakini bahwa agama yang
ia peluk adalah agama yang paling benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang
yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan
bahwa karena itu orang lain harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk.
Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat beragama
(tripologi), yaitu: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog
yang melibatkan ratusan peserta, seperti dialog World’s Parliament of Religions pada
tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World
Conference on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua,
dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara wakil–wakil
institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini sering dilakukan untuk
membicarakan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat beragama yang berbeda.
Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darmadan Perwalian Umat Budha
Indonesia (WALUBI). Ketiga, dialog teologi (theological dialogue). Dialog ini
mencakup pertemuan-pertemuan reguler maupun tidak, untuk membahas persoalan-
persoalan teologis dan filosofis. Dialog teologi pada umumnya diselenggarakan kalangan
intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengembangkan dialog
antaragama, seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain.
Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan (dialogue
of live), dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal
praktis dan aktual” dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan berbangsa dan
bernegara. Dialog dalam kategori ini biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok
kajian dan LSM atau NGO. Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog
yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spritual di antara
berbagai agama.
Pada pihak Kristen, menurut Kate Zebiri sikap keterbukaan terhadap agama lain
telah melahirkan gerakan antar iman yang pada dekade terakhir terekspresikan dalam
dialog yang terorganisir. Vatican telah mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen
(Pasific Council for Interreligious Dialogue-PCID) pada tahun 1964 yang mempunyai
misi mempromosikan kajian tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antar
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 55
iman (interfaith dialogue). Vatican II (1962-5) juga telah mengeluarkan dokumen yang
berisi tentang penghormatannya terhadap orang-orang muslim, karena mereka
menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih dan Perkasa. Mereka juga
tunduk sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang
merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui bahwa Yesus
sebagai Tuhan tetapi mereka mengakuinya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati
Maryam, Ibu Yesus yang suci. Mereka juga menantikan Hari Perhitungan.
Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus
adalah, dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil
dengan sikap kritis. Karena setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi
penegakan moralitas.
Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno, bahwa tidak cukup membangun
dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika
psikis. Maka ikhtiar dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-
pencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul. Memang,
seperti juga yang diungkap oleh Kautsar Azhari, bahwa kendala dialog antar umat
beragama adalah persoalan eksklusivisme. Seorang eksklusivis akan terus berusaha agar
orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama orang lain keliru dan tidak
selamat (truth claim).
Dengan demikian, sepanjang sikap di atas belum tercairkan, maka dialog menuju
cita-cita agama yang luhur sulit dicapai. Maka jangan khawatir dengan dialog, karena
yang ingin dicapai dalam dialog, kata Victor I. Tanja bukan soal kompromi akidah,
melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat disumbangkan kepada orang lain.
Dan seperti tegas Shihab, bahwa kita tidak ingin mengatasnamakan ajaran agama, dan
kemudian mengorbankan kerukunan beragama. Dan pada saat yang sama, kita tidak
ingin menegakkan kerukunan agama dengan mengorbankan agama. Islam mendambakan
kerukunan, tetapi jangan lantas demi kerukunan, agama kita terlecehkan.
Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya, “Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar
Agama”, menengarai tujuh kendala praktis di lapangan yang menghalangi pertemuan
antar umat beragama, yaitu: adanya kecenderungan dialog yang bersifat diskursif dan
elitis; kurang serius (baca: agresif) dalam memperjuangkan isu dialog; adanya
kesenjangan antara kelompok elit agama dengan mediator (da’i) di lapangan; tidak
memadainya “infra struktur dialog”; adanya prasangka antar umat beragama dan juga
intern umat beragama; adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan dan tidak adanya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 56
dialog intern umat beragama. Sementara menurut mantan menteri agama, Tholchah
Hasan, pembinaan kerukunan umat beragama yang ada selama ini, ditengarai masih
cenderung berorientasi struktural dan politis.
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan
adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan
yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara
berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan
komplek. Huston Smith, dalam pengantarnya mengungkapkan tentang tesis Schuon
mengenai hubungan antara agama-agama bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan
sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia
ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki persamaan.
Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada level
esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda. Oleh
karena itu, untuk mencari titik temu antar agama, perlu adanya kajian esoteris terhadap
agama. Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara
komprehensif, kita harus memahami agamanya (kitab agama) melalui bahasa aslinya.
Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing
agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya,
setiap agama merefleksikan, membenarkan, menambahi dan melawan yang lain.
L. Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama: Beberapa Pendekatan
Harus diakui, bahwa agama-agama, disamping memiliki klaim absolutisme, juga
memiliki klaim inklusivisme. Dalam konteks ini ada kasus menarik yang pernah dialami
oleh Nabi Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam,
maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk berkata
kepada mereka: “….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi
keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi
Maha Mengetahui”.
Menurut penafsiran Quraish Shihab ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia
nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan
tentang absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut
Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang
menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya
menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 57
Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan
pandangan absolutnya untuk dianut orang lain.
Pada umumnya kebanyakan filosuf berpendapat bahwa hakikat realitas tertinggi
adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama
juga satu. Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang agama pada level filosofis ia
tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran
sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari. Itulah sebabnya menurut
Shahab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya digunakan perspektif filosufis,
bukan sosiologis, untuk menghindari pada jebakan simbol-simbol agama.
Dalam menghadapi pluralisme agama, John Hick menawarkan pendekatan lintas
budaya (crooss-cultural). Pendekatan ini menegaskan bahwa ada satu Tuhan tak terbatas
(Maha Kuasa) yang ada di balik semua kesan dan pandangan agama yang berbeda. Oleh
sebab itu menurut Hick, tidak beralasan bagi suatu agama yang mengklaim dirinya
paling benar dan menganggap agama yang lain salah. Adalah tidak mungkin bahwa
kesan paling lengkap atau kurang lengkap tentang Tuhan dilakukan dalam tradisi
keagamaan yang berbeda. Dalam karyanya, On Grading Religions, Hick berusaha
menilai agama-agama itu sebagai tradisi-tradisi yang utuh, (total) ketimbang melihatnya
sebagai fenomena keagamaan yang partikular dan pada akhirnya merupakan kerja yang
tidak realistik. Hick melihat tradisi perbedaan keagamaan dianggap sebagai sama-sama
produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri
(Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness). Hick dalam hal
ini menganalisis kriteria dan pendekatan-pendekatan evauluatif yang mungkin dapat
membantu dalam menilai kultur keagamaan secara lengkap dan utuh.
Hick menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut dan menerima perantara
Tuhan dalam membangun sebuah tradisi keagamaan. Pertama, adalah kriteria moral
yang didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang mempertanyakan: Apakah
perantara (mediator) itu lebih baik dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan
sebuah visi moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua, kriteria yang
menfokuskan pada kemampuan mediator untuk mengungkapkan visi baru tentang
realitas yang mendorong manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik,
dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui mediator tersebut? Ketiga,
kriteria yang memusatkan pada respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan
dijamin bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka?
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 58
Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi, elemen-elemen teori
mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi moral tentang aktualisasi kultur-sejarah
kepercayaan keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger4444 keduanya (baik evaluasi
rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan positif dan negatif, lebih kuat dan
lebih lemah yang memberi contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan,
apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara “soteriologic”
(soteriologically effective) atau hidup yang transformatif, tetapi akhir pembuktian
tentang itu menurut Stenger bersifat eskatologis.
Memang, sebagaimana penilaian Stenger, Hick tidak menemukan kriteria yang
cukup untuk perbandingan yang memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi
keagamaan secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang dibuat Hick
itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus dan oleh karena itu patut
dipertimbangkan dalam persolan yang terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan
tersebut.
Hick mengatakan bahwa semua cara yang ditempuh agama-agama menuntut
transformasi tunggal mengenai diri: dari pemusatan diri (Self-Centredness) menuju
pemusatan Tuhan (Reality-Centredness). Dalam beberapa cara keagamaan, orang harus
merubah perhatian ego dengan menggunakan hubungan baru dengan Tuhan. Hanya
kemudian, dapatkah diri (self) berhenti menjadi ego dan menemukan kebebasan otentik
yang dihubungkan dengan alam, sejarah, dan yang lain? Adalah tidak mungkin bahwa
semua pencerahan keagamaan berbeda ekspresi dari posisi keagamaan yang sama.
Pluralitas diantara agama-agama tidaklah mereduksi terhadap klaim bahwa mereka
semua memperlihatkan pencerahan yang sama atau praktik yang sama tentang
kebebasan4545.
Brian Fay dalam mengkaji fenomena sosial menggunakan pendekatan yang
disebut dengan pendekatan multikultural. Ada dua belas pendekatan multikultural
dalam filsafat ilmu sosial yang dibangun oleh Fay. Pendekatan ini mencoba
mendamaikan berbagai perbedaan pandangan dalam ilmu sosial dengan cara yang lebih
mendalam, plural, inklusif, tanpa sekat dan subjektivisme.
Dalam filsafat ilmu sosial terdapat pola yang bersifat dualistis yang
mendominasi. Pola itu terkait dengan pertanyaan: “Apakah satu pilihan atau pilihan
lainnya dan kemudian salah satu diantaranya dianggap pilihan yang benar?” Fay
berusaha menghindari dualisme yang merusak, misalnya: diri vs. orang lain;
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 59
subjetivisme vs. objektivisme; atomisme vs. holisme; kebudayaan kita vs. kebudayaan
mereka; orang dalam vs. orang luar; kesamaan vs. perbedaan dst.
Fay menjelaskan tentang “memahami orang lain” dan “mengkritik orang lain”.
Antara memahami dan mengkritik adalah dua hal yang berbeda. Ilmu sosial terkait
dengan usaha memahami orang lain bukannya menilai orang lain.
Dari dua belas tesis filsafat multikultural yang dibangun Fay ini, ada empat poin
yang penulis anggap tepat untuk memahami pluralisme agama, yaitu: pertama,
mewaspadai adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan berpikir secara dialektis.
Sebagaimana yang disarankan oleh Fay, kita tidak boleh terjebak pada kategori-kategori
yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus
disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis; kedua, tidak menganggap orang
lain sebagai “yang lain”. Sebenaranya semua identitas pribadi pada hakikatnya menurut
Fay bersifat dialogis. Tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman orang lain, dan
jangkauan kesadaran diri kita dibatasi oleh pengetahuan orang lain; ketiga,
mentransendensikan kesalahan memilih antara universalisme dan partikularisme,
asimilasi dan pemisahan. Hendaknya kita memanfaatkan perbedaan, dengan mengambil
hikmah, pembelajaran dan saling menguntungkan; keempat, berpikir secara proses,
dengan pengertian kata kerja bukan kata benda (produk). Jika umat beragama mampu
menggunakan pendekatan multikultural dalam berinteraksi, maka keberadaan agama dan
perbedaan yang ada diantara agama-agama tidak akan menimbulkan pertentangan dan
konflik yang membahayakan.
Menyangkut masalah pemahaman dan peran agama, secara umum, dapat dilihat
dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan
dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-
anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.
Kedua, aspeknya yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan
peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam
menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga
sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini,
Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat ditemukan batu
pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, al-
Quran tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritual-
seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga
membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 60
makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan jelas
dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan
pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam
Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila
suatu ibadah tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak
ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang
secara fiqh dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu
sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang
hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi makan enam puluh orang miskin, karena
salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya.
Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama
Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya atau Nabi Ayyub dalam al-Quran
merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam.
Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak
serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan
penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-nilai sakral yang terdapat
dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan
tersebut, namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh pengalaman
hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang
terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa
seluruh umatnya yang dikedepankan.
Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu adalah, bahwa
ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja
menurut ukuran baik buruk manusiawi, tetapi harus dilihat pula dari segi adanya
penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama
yang penting, yaitu “memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman
kemanusiaan”. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti
kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan
perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius
kebajikan seperti itu.
Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan Kristen di
atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial,
persoalan yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhannya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 61
Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan
kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena
semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran
moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat
menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masing-
masing anggota masyarakat tidak mencapai titik temunya.
Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman
masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila
suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan
secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana
fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi
tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-
tengah masyarakat.
Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka penganut agama harus
belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme, demikian ungkap
Nurcholish Madjid. Kita boleh memandang agama sebagai absolut, namun yang harus
diingat bahwa pemahaman kita baik pribadi maupun kelompok menyimpan kualitas
kemanusiaan yang relatif. Petunjuk konkret untuk memupuk persaudaraan menurut
Nurcholish adalah, supaya suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman tidak
memandang rendah atau meremehkan orang dan agama lain.
Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto, tantangan yang dihadapi
setiap agama saat ini ada tiga: pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua,
soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga persoalan tersebut
sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif
yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang
disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut
mengintervensi agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-
tantangan tersebut juga dapat dijawab.
Menurut Armahedi Azhar, terdapat lima penyakit yang menghinggapi para
aktivis gerakan keagamaan, yaitu: absolutisme, ekslusivisme, fanatisme, ekstremisme dan
agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, ekslusivisme adalah
kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah
sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang berlebihan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 62
Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja
menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan
dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada
menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat).
Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama
ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang
cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam.
Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif.
Tentu saja dengan masih adanya konflik antar umat pada beberapa tahun terakhir
ini tidak bisa dikembalikan begitu saja kesalahannya pada pendekatan dialog secara an
sich sebab disamping ada faktor-faktor lain yang ikut ambil bagian di dalamnya seperti
ekonomi, hukum, politik dan seterusnya. Sudah saatnya kini para pemuka agama mulai
mengedepankan misi agama yang terkait dengan masalah spiritualitas dan persoalan
kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan keramahan). Oleh sebab itu, salah satu hal yang
perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tengah
pluralitas ini adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara utuh.
4. Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani
Permasalahan Silang Budaya
A. Pendahuluan
Permasalahan silang budaya terkait dengan paham kultural materialisme yang
mencermati permasalahan budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial
tertentu. Pola temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan,
kebutuhan dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan
suatu kebudayaan cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu,
karena pola perilaku tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar.
Kemudian muncullah struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang
merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu.
Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya
kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar
identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam
tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 63
budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya
Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan
dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang
budaya dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ;
dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali
dengan pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu
pemahaman pola perilaku masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk
melakukan sensor secara substantif dan distributif, sehingga dapat menampilkan
informasi apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial
yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, yaitu manusia yang
bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya.
Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah
dan muatan bidang studi, transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan
merupakan revolusi yang dipaksakan.
Pemerintah telah bertekad untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan
nasional, yang berakar pada kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II
tahun 1989), tekad ini mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan
Nasional akan selalu berpijak pada bumi dan budaya Indonesia. Berangkat dari
permasalahan di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap
bagaimana upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya
menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada
dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan (pengejawantahan)
manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat pendukungnya
sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan dengan
perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa
lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai
fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan
kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan pengertian
tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh
kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 64
mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala
sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu
masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan
(Folkways) dan tata kelakuan (mores ) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan
mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena
permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curural materialisme yang
mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana
pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan
hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan
sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari
kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orietasi kebudayaannya yang khas,
sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses
yang bermatra individual, sosial dan cultural sekaligus.
Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika
kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam
masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari
masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat
kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu
disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia
sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam
berbagai aspek kehidupan, maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan
bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia
cenderung dapat dipandang sebagai “suatu masyarakat besar yang belum selesai”. Hal ini
dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang
bersilangan secara terus menerus naik ke permukaan secara silih berganti. Persentuhan
antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan
perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran ( (shift) antar nilai, atau
peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar
nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus
dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang
dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media
masa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 65
Harus dipahami bahwa penggalian budaya nasional bukan diarahkan
konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang
mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi
pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-
nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya
bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan
memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi
pengembangan diarahkan pada perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman
budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya
bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.
Kebudayaan Etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu
dipahami sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu
oleh karenanya permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan
pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap
individu dan kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu
membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu.
B. Psikologi Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari
kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada
masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar
perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu
pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat
diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau
dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang
akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam
masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan
karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu
dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses
pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena
pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola
penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain ,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 66
karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman
yang mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri ,
adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan
system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun
gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.
Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu
pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak
manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan
kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori
menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak
manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung
mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian
memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan
ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam
lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada
sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam
organisasai intra psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh
karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan,
(Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social
character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu
kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi
suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara
gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan
modifikasi karakterologi psiko analitik. Teori Erich Formm mengenai watak
masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai
tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk “kepribadian tipikal’ atau kepribadian
kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical
dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu
kebudayaan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk
memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya
kedalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia
melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 67
Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari
masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak
mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari
orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan
masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2 proses
yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam
menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric
sehingga dapat memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam
system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya,
sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan
gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah
laku bagi masyarakat pendukungnya.
C. Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang Budaya
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural
(jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya
berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan
yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas
merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang potensial dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural
dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang
berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda,
pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga tanpa memperoleh tantangan
yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui
konsep negara kesatuan yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dilakukan secara sentralistik.
Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena
adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber
nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan
masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers)
cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 68
yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas
(Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam
mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme
masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek
moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan
kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional karena diunggulkannya
suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak
dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam
bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Sehingga
permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas masing-
masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta
dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat
egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu
misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang “salah kaprah” untuk
membengun struktur dan budaya politik yang sentralistik.
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya
persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan
umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang
paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu
pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau
upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-
budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru
disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime Etnosentrisme secara formal
didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan
kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok
sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik
buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam
proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat
dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka
terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian
etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak
keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga
sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat
Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 69
Ditambahkan oleh Budiono bahwa ; Dalam masyarakat selalu bekerja dua
macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang
menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah
memperlihatkan bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk
memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu seringkali tidak berjalan secara
linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum
konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam “masyarakat
yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu mekanisme yang
biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga
konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat
berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung “secara
liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/
mengatasi perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam
bersama-sama mencari mekanisme itu masing-masing kekutan progresif itu juga
berusaha untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk
mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan
serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan
pemaksaan fisik.
Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat
Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh
perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih menekankan
pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan dalam masarakat
yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan
proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman
budaya atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah penekakanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam
komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai
acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang
memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena
masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip
dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif.
Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi, sering kali
berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 70
konfkil –konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik
untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X.
2001).
D. Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya
Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi
masyarakat Indonesia, dapat ditenui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai
kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat pengetahuan,
pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan
rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam
menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali
terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya (2) Kurang
maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan
korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan
intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan
sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan & pembangunan
yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan
terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral. (4).
Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian
dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang
ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian
permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan :
Pertama dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multi kultural yang
sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat
diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan
budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama
psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
Kedua : Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara
substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang
dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar
dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan
kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 71
distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan
berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang
mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan,
justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang
bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena
pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah
faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam
setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi
dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non
formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat
menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses
homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan
ekologinya, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi
tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih
menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan
sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik,
dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan
memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of
responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi
budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.
5. HARI BUDAYA NUSANTARA SEBAGAI NATION BUILDING,
CHARACTER BUILDING, DAN INVENTARISASI BUDAYA
“ Konflik – konflik yang terjadi di masa yang akan datang lebih disebabkan oleh
faktor–faktor budaya daripada ekonomi ataupun ideologi” ( Jacques Delors; Question
Concerning European Security). Pernyataan Jacques Delors di atas ada benarnya juga
melihat permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari
kasus klaim budaya Indonesia oleh pihak Malaysia. Mulai dari gamelan, wayang, reog
ponorogo, sampai yang terakhir adalah Tari pendet. Kejadian tersebut memunculkan
sikap kemarahan terhadap Malaysia dan seruan – seruan “Ganyang Malaysia” kembali
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 72
berkumandang. Ini menunjukkan bahwa ternyata budaya memang mampu menimbulkan
suatu konflik.
Tamparan keras yang kita peroleh dari Malaysia memberikan pelajaran berharga
bahwa bangsa ini belum bisa memberikan perlindungan terhadap aset – aset budaya.
Ketakutan beberapa kalangan budayawan tampaknya akan menjadi kenyataan bahwa
budaya kita akan menemui ”the end of history”. Ini menjadi sebuah peringatan yang
perlu menjadi perhatian lebih. Secara tidak disadari pencaplokan budaya oleh Malaysia
membangkitkan Nasionalisme kita. Ernest Renan pernah berkata bahwa bangsa adalah
satu jiwa. Terbukti tidak hanya orang Jawa yang geram ketika wayang kulit di klaim,
tidak hanya orang Bali yang marah ketika Tari Pendet di komersialkan Malaysia,
tampaknya semua masyarakat bangsa ini juga ikut marah. Rasa saling ”memiliki”
budaya di tiap–tiap daerah membuat alam bawah sadar bergejolak dan merasa
tersinggung ketika budaya yang kita banggakan direbut oleh pihak asing. Tanpa disadari
benih – benih nasionalisme yang ada di dada kita bangkit.
A. Nasionalisme dan Kebudayaan
Prof. Dr. Slamet Muljana mengartikan nasionalisme sebagai manifestasi
kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Sedangkan Bung Karno dalam Dibawah
Bendera Revolusi jilid II membedakan nasionalisme di barat dengan nasionalisme di
Indonesia. Beliau beranggapan bahwa nasionalisme eropa ialah suatu sistem yang
melahirkan kolonialisme serta imperialis yang bersifat menghisap, merampas, dan
menjajah. Beda dengan nasionalisme Indonesia yang ingin terbebas dari penjajahan
karena baginya nasionalisme sejati lahir karena semangat menuntut keadilan dan
melawan penindasan.
Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata ”budhi” yang memiliki arti budi atau akal. Dari sini kebudayaan
diartikan sebagai ”hal-hal yang bersangkutan dangan budi atau akal”. Menurut Clifford
Geertz, Kebudayaan (culture) sebagai sebuah pola makna atau ide–ide yang termuat
dalam simbol–simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka
tentang kehidupan.
Nasionalisme merupakan sarana untuk mengungkap jati diri bangsa yang
nantinya berfungsi untuk penetapan identitas. Terkadang nasionalisme muncul seperti
sebuah orientasi kultural sehingga sering ditemui dalam tindakan politik. Kuntowidjoyo
mengintrodusir bahwa paralelisme transformasi sosial berarti bahwa
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 73
perubahanperubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih,
sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga
terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara
industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya
tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah
ke semangat kolektif dalam tata nilai; tekonologisasi telah menuntut penerapan metode
teknik dalam segala bidang; dan urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai
komunal sebuah masyarakat tradisional
B. Mencari Identitas Nasional ?
Gus Dur: “Saat ini Indonesia sedang dalam proses mencari Identitas Nasional.
Namun harus diakui pemerintah menghadapi banyak sekali hambatan dan masalah untuk
mewujudkan hal tersebut, seperti ancaman separatisme, militerisme dan konflik
keagamaan. Bahkan, juga ada sekelompok kaum militan yang merasa terancam”1[1].
Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum
bicara lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa arti dan makna kata tersebut.
Identitas, kalau mau lebih spesifik lagi, identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima
kategorie: Identitas gender (feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial,
identitas etnis dan yang terakhir identitas religius.2[2]
Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah nge-
trend, terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll.
Kolektivitas jenis ini, kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi oleh
benua, negara, etnis dan agama. Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat
kedaerahan (lokalisme/ regionalisme). Keunikan sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa
dijadikan alat untuk memobilisasi massa. Rupanya ini lebih banyak urusan ideologi
dibanding ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial3[3] (borjuis vs. kelas buruh)
sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang atraktif, akan tetapi keberadaannyapun
sangat meragukan. Identitas kelas (buruh sedunia?) sebagai identitas kolektif tak pernah
– benar-benar – eksis. Karena terbukti, kurang lem perekat emosional, disamping itu
1 [1] Hal ini diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan sejumlah investor Inggris di Hotel Kempinski, Jakarta, 29 Mei 2000. (Tempo interaktif 29/5)
2[2] Mengenai identitas kolektif Anda bisa lihat: „National Identity“. A. D. Smith 1991: terutama h. 4-8 3[3] Diskusi lebih luas mengenai masalah kelas sosial baca Marx dan Weber.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 74
juga, karena, tidak memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas lain –
seperti identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes, dengan
basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil.
Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan merekayasa (basis)
lebih dari satu kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing
berangkat dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas kelas
berangkat dari pola produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan identitas
religius tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi dan proses
sosialisasi di masyarakat. Yang bersumber dari elemen-elemen budaya seperti nilai-nilai,
simbol, mitos, tradisi – yang sering dikodifikasi menjadi adat-istiadat dan ritual,
demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D. Smith.
Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis. Tatkala
agama-‘agama dunia’ bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau bahkan
menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan
komunitas religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan ini malah bisa
lebih erat lagi. Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang semula kecil dan
sederhana, dalam kurun waktu tertentu, bisa saja berubah bentuk menjadi sebuah
komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat ini masih banyak minoritas etnis yang
memiliki ikatan religius.4[4]
Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan
penuh rekayasa. Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga
berarti identitas nasional. Kenapa demikian?
Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas kultural. Dari
batas-batas kultural, sebuah bangsa membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini
bukan terbentuk secara alami, melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta
struktur organisasi sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang
wenangan kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa
bangsa sendiri) akhir abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti
status minoritas (hampir disegala bidang) dan kedua, munculnya situasi dikotomis:
penguasa versus kelompok tertindas. Perlu diingat hanya gerakan etnis yang memiliki
karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan kalau politik mandeg gerakan etnislah
yang mengisi ruang politik itu.
4[4] Katholik/Protestan, Irlandia Utara.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 75
Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang
mengacu pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari bentuk kultur
yang berlainan. Namun yang terpenting, bukan substansi perbedaan-perbedaan tersebut
yang harus ditonjolkan, melainkan; bagaimana sebuah kelompok menamakan diri
mereka sendiri dan bagaimana mereka dinamakan oleh kelompok lain (Barth, 1969).
Hasil pemotretan pihak lain mestinya bisa dipakai sebagai pengakuan terhadap eksistensi
identitas diri sendiri. Jika cara ini tidak klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki,
tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23). Sebagai contoh mungkin sekarang orang
Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai orang Irian. Dalam kondisi “normal” (tanpa
krisis) soal identitas bukanlah masalah pokok. Namun dalam suasana krisis multi
dimensional, banyak orang bingung, yang kemudian lantas mencari tempat untuk
berlindung – rumah ibadah penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan
tambah marak. Wacana budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat
dari kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional,
disatu pihak kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya lokal,
separatisme atau nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala melihat bangkitnya
nasionalisme etnis dimana-mana?
Nasionalisme etnis dan nasionalisme teritorial. Dalam hal ini Smith (1981:14-20)
membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang berusaha keras
memperjuangkan kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat lokal. Sedangkan
nasionalisme teritorial, pertama tama bertujuan membentuk sebuah negara teritorial.
Pembagian Smith terasa kurang pas. Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith–
dan yang lebih relevan – Jäggi, membedakan antara periphere nasionalisme dan
nasionalisme sentral. Alasannya seperti ini; gerakan nasionalisme pinggiran, yang
tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang berbeda dengan nasionalisme
dominan. ‘Nasionalisme pinggiran’ bertujuan merubah struktur kekuasaan, sedangkan
‘nasionalisme di pusat’ memperkuatnya (Jäggi 1993:23). Dengan kata lain, setiap usaha
pencarian identitas (nasional), selamanya akan memicu munculnya identitas-identitas
“nasional” tandingan. Karena (kalau menurut Fredrik Barth 1969): Identity makes
counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu saja jatuh dari
langit. Identitas memiliki asal usul yang ‘jelas’ dan selamanya merupakan produk sejarah
– penuh rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan manipulasi. Akhirnya identitas
etnis, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang (pernah dan terus) eksis – walau ratusan
tahun sekalipun.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 76
Aceh. Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan
secara militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk
meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di Tiro, Aceh sedang berada di
ambang kemerdekaan – kembali ke masa pimpinan Sultan Iskandar Muda abad 16, yang
terkenal ke seluruh dunia. Kehidupan rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan
selalu bertindak adil, bijaksana, dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan
Asia, Eropa, dan tanah Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan
ketika Aceh Sumatera mencapai kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada 28 Desember
1999). Singkat, kasus Aceh boleh dibilang sebagai kombinasi antara represi politik
(DOM) dan penghisapan sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan identitas etnis
yang sudah kuat menjadi makin kental.
Maluku. Sedangkan konflik (“Kristen/Islam”) Maluku, lain lagi. Penyelesaian
persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena ini
berakar sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat perlakuan
istimewa dari Belanda, misalnya untuk menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan
kemudian Habibie) berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki
berbagai posisi penting, namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan
kekerasan. Karena itu, kekerasan yang terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi
dengan kekerasan pula, ujar Abdurrahman Wahid (Kompas 04/05/00).
Kasus bangsa Papua lebih “spesifik” lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6),
menyatakan, menolak penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Proses penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah
Indonesia, selanjutnya dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres
meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP
yang dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di hadapan ribuan warga Papua. Menurut resolusi
yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa
dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas 05/05/00).
Kasus Riau sederhana saja. Proklamator Riau Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab
menilai kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau (29/4) , kecuali menghabiskan dana
rakyat, juga tak ada gunanya serta tak menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai
Gus Dur tak mampu menyelesaikan persoalan Riau. Sebab, hingga saat ini, Gus Dur
dianggapnya belum memahami akar persoalan masyarakat Riau. "Ini jelas terlihat.
Jangankan soal penyerahan wewenang pengelolaan pendapatan daerah. Soal UU No 22
dan 25 saja, tak jelas pelaksanaannya. Semua hanya omong kosong. Menurut Tabrani
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 77
akar persoalan Riau sederhana saja: perbaikan taraf hidup. Keinginan itulah yang
mendorong munculnya Deklarasi Riau Merdeka, 15 Maret 1999 lalu (Tempo Interaktif
29/04/00).
Tuntutan Lampung kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga
Bandar Lampung, (21/3) yang umumnya petani dari delapan kabupaten di Lampung itu,
berkumpul untuk menuntut "kemerdekaan dari segala macam penindasan" terhadap
rakyat dengan menggunakan momentum peringatan hari jadi provinsi Lampung yang ke-
36. (Waspada 22/03/00)
Perjuangan nationalisme-etnis, biasanya melalui empat tahap: fase keterpinggiran
(marginalisasi) yang cukup lama, fase penindasan yang brutal, fase perlawanan yang
menelan korban sangat banyak dan yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan.
Korban jiwa ataupun materi biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk
membidani lahirnya, anak haram yang bernama separatisme melainkan usaha untuk
membunuhnya.
Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah perjuangan nasional ataupun
pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang gunanya memperkuat
nasionalisme. Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa lain – memiliki fungsi
yang kira kira sama. Nasionalisme pinggiran bakal mengatakan bahwa apa yang
‘mereka’ lakukan adalah perang sebuah bangsa melawan negara sentral. Negara
sentral akan mengaku, bahwa mereka sedang memerangi teroris (GPK).
Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung dari seberapa
besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya) bagaimana respon
daerah terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen antar daerah serta
partisipasi regional – dalam urusan atau masalah nasional. Pembedaan ini dapat
dibandingkan dengan perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme.
Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme, emosi nasionalis (perasaan senasib
seperjuangan sebagai satu bangsa). Kehadiran perasaan nasionalis ini diperlukan
untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme, tribalisme, partikularisme atau
sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal – pusat daerah. Sebaliknya
integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih luas, yang tidak hanya
membahas kasus-kasus atau masalah-masalah daerah (pinggiran) akan tetapi juga
menyoroti hubungan antara pusat dan daerah. Misalnya seperti ini: faktor interaksi
masyarakat, faktor saling ketergantungan antara pusat dan daerah, antara daerah yang
satu dengan yang lain, bukan tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 78
banyak tergantung dari arah (dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah
uang mengalir lebih banyak dari pusat kedaerah atau sebaliknya – dari daerah ke
pusat?
Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai negara (multi etnik) di dunia bukanlah
separatisme, melainkan masalah yang lebih ‘ringan’ yakni emansipasi warga
masyarakat atau karsa bersama menuju masyarakat madani (civil society),
menciptakan kemakmuran bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah
kerusakan lingkungan dsb.nya. Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai sebuah
hukuman terhadap negara karena pemerintahnya terlalu banyak (atau malah
sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan ruang gerak bagi sentimen lokal.
Separatisme bukan merupakan masalah besar di dunia, yang menjadi masalah ialah
karena mereka semua mengaku (dan minta diakui) sebagai bangsa.
Identitas nasional dan teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan
yang terikat dengan teritorium dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah
mereka sendiri), kesamaan sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan
kewajiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi.
Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang tidak memanipulasi sejarahnya sendiri!
Saya pernah bertanya pada seorang teman wanita, apakah dirinya mau kuliah
dengan menggunakan sanggul beserta kebaya khas keraton. Jawabannya tidak
mengagetkan karena dia menolak bahkan bilang ”gila kuliah pake kebaya plus sanggul!
Gak ah, malu aku gak gaul.”. memang kalau dipikir–pikir pasti banyak yang tidak mau
melaksanakannya. Dari sini bisa dilihat bahwa kita telah malu akan pakaian tradisional
yang menjadi identitas dirinya.
Contoh diatas memperlihatkan telah terjadi pengenyahan budaya atas nama
modernisasi. Paradigma yang ada sesuatu bahwa yang tradisional dianggap ketinggalan
jaman. Seolah–olah kita telah menjadi satu bangsa tiruan yang lupa akan kulitnya. Kita
menganggap budaya barat lebih bagus dari budaya kita sehingga semua budaya sendiri
ditinggalkan. Inilah yang dinamakan Samuel P. Huntington dalam bukunya The clash of
Civilization and The Remaking of World Order sebagai ”Benturan Peradaban” atau
Vaclav Havel menyebutnya “konflik-konflik kultural. Menurut Samuel P. Huntington,
Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.
Kita saat ini hampir kalah melawan budaya barat ketika mencermati penduduk
Indonesia. Konsep yang ditawarkan Bung Karno mengenai Nation Building and
Character Building bukannya tanpa sebab. Pelarangan menyanyikan musik – musik barat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 79
bertujuan agar kita mencintai musik tradisional dalam negeri. Tetapi hal ini banyak
ditentang masyarakat Indonesia dan baru sekarang terasa dampaknya ketika angklung
diakui sebagai alat musik Malaysia.
Bila dibiarkan terus–terusan yang terjadi adalah kita akan kehilangan identitas
kebangsaan karena budaya kita akan diambil oleh negara lain atau hilang dengan
sendirinya karena terabaikan oleh masyarakatnya. Padahal begitu banyak suku, bahasa
daerah, tarian, lagu, serta budaya yang hidup dan berasal dari negeri ini tetapi yang
diketahui dan dilestarikan begitu sedikit. Bahkan dalam kunjungan Bung Karno ke
Amerika Serikat yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy, pernah berkata ”Tuan
boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi”.
Ketika kita dihadapkan pada keadaan identitas yang hilang yang terjadi adalah
penyesalan. Disamping itu pemuda yang menjadi generasi penerus telah tidak sadar
kalau sedang dijajah. Penjajahan saat ini bukan secara fisik tetapi penjajahan budaya juga
telah terjadi. Telah terjadi modernisasi dan westernisasi yang kita telan mentah–mentah.
Eksesnya berupa universalisasi kultur tanpa memperhatikan budaya kita lagi dan
menganggapnya kuno. Maka daripada itu dibutuhkan formula untuk menjaga tradisi serta
khasanah budaya bangsa jangan sampai kita tidak mengenal diri kita sendiri.
C. Mencontoh Jepang
Untuk masalah ini kita perlu berguru kepada Jepang karena negara ini merupakan
negara maju yang tidak lupa akan budayanya serta memiliki jiwa nasionalisme yang
tinggi. Misalnya ketika Amerika mengembangkan tokoh – tokoh Walt Disney, Batman,
Superman, ataupun Spiderman sebagai ciri khas mereka dan mulai menjajah pemikiran
anak–anak di seluruh dunia, Jepang tampil sebagai negara yang tidak menelan mentah–
mentah budaya baru yang menjajah mereka tetapi menyesuaikan dengan Anime, Video
Game dan Manga. Lambat tapi pasti tokoh – tokoh tandingan dari Jepang bermunculan
dari Anime, Video game, dan Manga menjadi idola di beberapa negera. Bahkan tokoh–
tokoh disana tidak meninggalkan khas budaya Jepang. Malah dari sanalah kita mengenal
budaya Jepang.
Keistimewaan bangsa Jepang adalah kuatnya memegang tradisi. Mereka merasa
malu jika telah mengabaikan atau tidak tahu akan budayanya. Meskipun terkenal dengan
kemajuan teknologi dan informasi tetapi hal ini tidak lantas mengubah cara hidup
rakyatnya. Penerapan tradisi masih bisa dilihat dari sikap, cara berpikir, berpakaian,
berbahasa, serta cara makan – makanan. Mereka bisa melakukan penyerapan budaya luar
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 80
yang disesuaikan dengan budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua
budaya menghambat modernisasi. Dan buktinya kita bisa melihat Jepang. Bukan berarti
saya memihak Jepang tapi kita wajib menjadikan teladan bagi kita untuk memajukan
bangsa tanpa membuang budaya atau tradisi yang dianggap kuno.
D. Hari Budaya Nusantara
Perlu pemerintah melakukan terobosan dengan memberlakukan Hari Budaya
Nusantara. Hari dimana tiap – tiap Provinsi atau minimal desa memiliki hari budaya
masing – masing yang telah disepakati oleh perangkat pemerintah setempat. Setiap
daerah wajib menggali budaya daerah serta mentransformasikannya kedalam sebuah
pertunjukan budaya di daerah tersebut. Penentuan hari budaya juga tidak sembarangan
karena harus memiliki nilai – nilai history serta muatan lokal yang berkembang di daerah
masing – masing.
Inilah hari yang mewajibkan seluruh warga daerah selalu memakai pakaian adat
daerahnya, memasak makanan khas daerah serta bebahasa daerah juga. Sekaligus
mengharuskan seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan pameran budaya. Penting
juga menginformasikan nilai – nilai budaya yang diperingati sebagai hari budaya
nusantara kepada masyarakat atau perlu juga dimasukkan pada mata pelajaran khusus
mengenai nilai – nilai budaya yang diterapkan oleh masyarakat tersebut sehingga mereka
mengetahui harus mengetahui landasan filosofi apa yang mereka rayakan serta
mengajarkan sejarah budaya di daerah tempat mereka tinggal.
Disisnilah peran pemerintah, khususnya Departemen Kebudayaan untuk
membantu tiap – tiap daerah untuk memberikan pelatihan bermain alat musik tradisional
atau pelatihan menjadi dalang atau pelatihan menari tarian daerah masing – masing. Ini
wajib dilakukan karena langkah pertama dari masyarakat adalah pendidikan budaya yang
belum begitu dikenal oleh masyarakat awam. Sekaligus sebagai langkah pertama
pemerintah membeli pakaian adat kemudian menjual pakaian adat secara murah.
Nantinya hal ini akan menarik minat masyarakat untuk mencintai pakaian adatnya.
Apalagi ketika orang memakai pakaian adat ada rasa kebanggaan tersendiri serta
menunjukan identitas diri orang tersebut.
Dalam hal ini, setiap daerah mempunyai hari daerah masing–masing di seluruh
Nusantara sehingga dari Sabang – Merauke bisa saja tiap hari dalam sebulan di Indonesia
adalah Hari Budaya yang nantinya mampu menyedot para wisatawan asing dan tentunya
akan menambah devisa negara dari wisatawan mancanegara.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 81
Pemerintah pun ikut mempromosikan budaya yang telah diperkenalkan oleh
daerah–daerah ke dunia internasional. Selain itu juga acara ini bisa menjadi waktu untuk
mempatenkan budaya yang telah diperkenalkan. Untuk itu Departemen Kebudayaan
perlu kiranya memberikan rangsangan berupa penghargaan bagi daerah yang mampu
menciptakan tarian & lagu daerah baru atau menyumbangkan khasanah budaya bangsa.
E. Keuntungan Hari Budaya Nusantara
Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan diselenggarakannya Hari
Budaya Nusantara bagi Pemerintah dan Warga Setempat. Pertama, inventarisasi asset
budaya bangsa. Dengan Hari Budaya Nusantara kita bisa mempatenkan budaya tiap –
tiap daerah serta bisa juga membuat database. Pencatatan ini perlu karena sebagai bukti
untuk menegaskan bahwa budaya yang telah dipatenkan merupakan milik bangsa ini.
Apalagi kalau ada daerah mampu mengembangkan budayanya atau menciptakan budaya
sendiri Ini juga sebagai antisipasi pencaplokan budaya oleh negara asing. Misalnya saja
Malaysia berdalih untuk menyelamatkan budaya Indonesia karena tidak dilestarikan
dengan baik. Jadi dari sinilah kita akan membungkam anggapan bahwa kita
mengabaikan budaya kita sendiri. Kedua, nation building and character building yang
terwujud. Agenda ini mampu membangkitakan wawasan kebangsaan. Dengan
mengetahui nilai –nilai budaya dan nilai – nilai sejarah yang terkandung dalam Hari
Budaya Nusantara di tiap – tiap daerah akan mampu membangkitkan rasa nasionalisme
serta mampu membentuk karakter bangsa yang asli. Orang Indonesia yang rajin, ramah,
telaten, beradab akan menjadi cermin bahwa pembangunan budaya juga ikut andil dalam
pembangunan karakter bangsa.
Mungkin dengan ini kita juga bisa memadukan kearifan local nilai–nilai global
sehingga adopsi yang kita lakukan mampu membentuk budaya dan karakter yang unik
dan khas untuk Indonesia. Apalagi dalam pandangan Koentjoroningrat Kebudayaan
masyarakat Indonesia: sikap mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum cocok
untuk pembangunan. Oleh sebab itu sikap mental bangsa Indonesia harus diubah,
dicocokkan dan dimatangkan untuk pembangunan. Ditambahkan pula oleh
Koentjoroningrat, bahwa masih ada sikap yang menghambat pembangunan, karena
menghambat perkembangan individu dan meremehkan kualitas individu. Terutama
konsep memandang buruk, apabila seseorang menonjol (yang merupakan salah satu
aspek dari pranata gotong royong) menjadi penghalang bagi manusia Indonesia untuk
berkembang dan terusmenerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 82
ejekan-ejekan dan tuduhan, masyarakat, bahwa "ada orang yang ingin maju sendiri".
Ketiga, mengangkat ekonomi masyarakat dan negara .Hari Budaya Nusantara yang
berbeda tiap daerah memungkinkan setiap saat dikunjungi wisatawan domestic maupun
internasional. Secara otomatis akan menambah devisa serta menjadi tambahan
penghasilan bagi masyarakat. Tidak boleh dilupakan juga perlunya promosi, pengelolaan
serta bantuan pemerintah untuk membantu Budaya di tiap–tiap daerah untuk berkembang
karena hal ini bersifat mutualisme.
6. KONTRIBUSI PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA TRADISIONAL
DALAM PEMBENTUKAN JATI DIRI GENERASI MUDA
A. PENDAHULUAN
Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo
(1967:13), bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung
di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan- kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The
cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi
dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur
pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi
sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang mengutamakan
keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain mengartikan
kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung nilai
tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang melekat
pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) memberi nilai pada warna hitam
sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan
(meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.
Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari
keseluruhan hasil budi dan karya manusia, yaitu:
a. sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya;
b. sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat;
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 83
c. sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Abdulkadir Muhammad (1987), menyebutkan tiga unsur budaya dalam diri
manusia, yaitu:
a. Unsur cipta (budi), berkenaan dengan akal (rasio), yang menimbulkan ilmu dan
teknologi (science and technology). Dengan akal itu manusia menilai mana yang
benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal (nilai
kebenaran atau nilai kenyataan).
b. Unsur rasa (Estetika), yang menimbulkan kesenian, dengan rasa itu manusia menilai
mana yang indah dan mana yang tidak indah (nilai keindahan).
c. Unsur karsa (etika), yang menimbulkan kebaikan, dengan karsa itu manusia menilai
mana yang baik dan mana yang tidak baik (nilai kebaikan atau nilai moral).
B. BUDAYA RENDAH HATI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA
Secara umum kita mengakui bahwa masyarakat lampung memiliki nilai-nilai
budaya tersendiri. Elemen-elemen budaya yang dominan atau khas bagi masyarakat
lampung itu tertuang dalam prinsip Pi'il Pesenggiri (kehormatan, harga diri, perasaan
malu bersalah atau jika tak mampu berprestasi), bejulukbuadek (bergelar adat atau
bernama dan bergelar), memui-nyimah (ramah dan terbuka/peduli), nengah-nyappur
(bermasyarakat dan bergaul), sakay-sambayan (tolong menolong). Pi'il Pesenggiri
merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena didalamnya
mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang terhormat, prestasi
yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan perhitungan ekonomis.
Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga diri, maka berarti
masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya menjauhkan diri
dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan yang berlaku.
Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan
diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal
organisasi-organisasi pemerintah.
Dalam Sosiologi nilai-nilai kehormatan itu tercermin dalam stratifikasi sosial
yang terbentuk oleh karena ada yang dibanggakan. Apa yang dibanggakan itu terbatas,
sedikit pemilik/penganutnya dan dibutuhkan, sehingga seseorang atau golongan tertentu
terpola pada strata teratas dalam kehidupan masyarakat. Sumber kehormatan itu bisa
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 84
karena luas pemilikan, status sosial budaya, kesolehan beragama, pendidikan dan lain-
lain (Abdul Syani, 1994).
Mejaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba
berbuat kebaikan dan kebenaran yang bermanfaat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
tercermin dalam konsep Pi'il Pesenggiri. Salah satu kehormatan wanita adalah kalau ia
mampu menutup auratnya, bukan justeru membukanya agar banyak mendapat perhatian.
Seorang pria atau wanita seharusnya menjaga dirinya agar tidak kejanguh (kelihatan
auratnya=Kalianda). Dalam Pasal 80 Kuntara Raja Niti dijelaskan bahwa "Jika ada pria
atau wanita yang kesunguh (kejanguh), maka baik yang kesunguh maupun yang melihat
aurat itu didenda 12 rial ke bawah menurut kedudukan orangnya". Penegakan wibawa
pemerintah atau hukum, berarti setiap pejabat yang bersalah mesti diadili lewat saluran
hukum yang berlaku, bukan justeru menyembunyikan kesalahan demi kehormatan.
Dalam Kuntara Raja Niti Pasal 161 (Ps.161 KRN), yang intinya bahwa apabila seseorang
penyimbang menerima suap (sogok) agar merahasiakan perbuatan tertentu, maka atas
kesalahan itu ia di hokum denda 24 rial.
Norma-norma yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat
digunakan sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari
perbuatan tercela dalam setiap usaha membangun karya-karya, memenuhi kepentingan
hidup keluarga, dan berbagai perjuangan cita-cita lainnya. Bersaing secara jujur, tidak
menginjak yang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran. Lebih baik
bekerja sampingan sebagai sales dari pada harus menghalalkan segala cara demi status
dan kemasyhuran nama.
Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa
yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga
masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan
nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan
pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi
pembentukan jatidiri masyarakat lampung khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya.
Jika Pi'il Pesenggiri tersebut dilihat dari keseluruhan selaras dengan system
kemasyarakatan masyarakat lampung pada umumnya, maka ia tidak terpisahkan dengan
elemen-elemen lainnya. Dikatakan demikian oleh karena dalam mempertahankan Pi'il
Pesenggiri senantiasa bensentuhan dengan elemen-elemen lainnya. Dan nampaknya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 85
memang popularitas jatidiri itu akan lebih tegas dan spesifik, jika dalam kiprahnya
disertai oleh potensi elemen-elemen pendukungnya.
Dalam hubungannya dengan elemen bejuluk-buadek, dasar Pi'il pribadi harus
mampu mempertahankan nama baik, status gelar adat yang diterima sesuai dengan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat adat. Jika ia telah dinobatkan sebagai Suttan,
Pangeran, Raja, Ratu, Radin, Dalom, Batin, Minak, dan sebagainya, maka konsekuensi
bagi penyandangnya adalah harus mampu memberikan teladan positif kepada
masyarakat. Begitu pula halnya jika seseorang yang mempunyai posisi tertentu dengan
predikat pendidikan S1, S2 dan S3, mestinya ia mampu menerapkan secara konsekuen
agar kehormatan dapat dipertahankan.
Dengan kemampuan menjaga nama baik, bebarti segaligus merupakan
kemampuan menjaga Pi'ilnya. Bejuluk-buadek secara ideal melekat pada pribadi sebagai
identitas dengan kadar yang tercermin dalam setiap perilaku dan pergaulannya dalam
masyarakat. Jika identitas pribadi dapat dipelihara, dikembangkan dan diterapkan penuh
dengan rasa tanggungjawab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, maka berarti
jatidiri masyarakat lampung adalah mengutamakan kelestarian nama baiknya, jauh dari
cela dan nista. Jati diri yang khas ini dapat dijadikan modal dasar yang penting bagi
upaya pembentukan jatidiri bangsa.
Jika dikaitkan dengan prinsip Nemui-nyimah (ramah-terbuka), berarti pribadi-
pribadi sebagai anggota masyarakat lampung memiliki tanggungjawab dan keharusan
untuk dapat mempertahankan, meningkat sikap dan perilaku ramah tamah, terbuka,
pemurah, sopan, sukarela, ikhlas dari lubuk hati yang dalam terhadap setiap tamu atau
siapa saja yang bertemu. Kepada siapa saja yang disebut tamu, kawan dekat atau pihak-
pihak yang memerlukan informasi harus dilayani dengan ramah dan berusaha agar orang
lain mendapatkan kepuasan dan senang hati. Tujuan dari pemenuhan tanggungjawab ini
tidak lain adalah untuk mempertahankan Pi'ilnya, karena salah satu ciri orang lampung
yang mempunyai Pi'il adalah jika ia mampu memelihara keramah-tamahannya ditengah-
tengah pergaulan masyarakat. Hal ini pertanda bahwa potensi jatidiri masyarakat
lampung pada umumnya terletak pada keramahtamahannya, baik dalam menerima tamu
maupun dalam pergaulan sehari-hari. Nemuinyimah, jika diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari secara konsekuen, dan tidak hanya sekedar formalitas belaka, maka konflik
dapat dihindari, sehingga stabilitas sosial, kerukunan pergaulan dan ketenteraman
masyarakat dapat lebih terjamin.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 86
Dengan demikian berarti elemen keramah-tamahan yang dimiliki oleh
masyarakat lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa. Nengah-nyappur
(bermasyarakat dan bergaul), juga merupakan salah satu elemen yang tidak kalah
pentingnya untuk dipertahankan, jika seseorang hendak dikatakan mempunyai Pi'il atau
kehormatan. Masyarakat lampung yang memiliki Pi'il dapat dilihat dari luasnya cabang
hubungan pergaulannya dalam masyarakat. Semakin luas pergaulannya, kesukaan
bermasyarakat, kesukaan berbaur dengan segala kegiatan masyarakat yang positif, maka
semakin besar kemampuannya dalam bekerjasama, semakin memiliki tenggangrasa
(teposeliro=jawa) yang tinggi terhadap sesamanya.
Pergaulan yang luas dapat juga melahirkan dan menumbuh-kembangkan rasa
tanggungjawab, dan mampu bermusyawarah dalam rangka mencari kesepakatan
bersama. Orang-orang yang suka bermusyawarah merupakan sosok dambaan bagi
masyarakat, karena dianggap dapat maju/tampil dalam setiap acara atau aktivitas, dapat
menyelesaikan masalah-masalah sosial secara adil dan bijaksana. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang dalam nengah-nyappur dapat
membangun simpati masyarakat, yang berarti sekaligus mendudukannya sebagai orang
populer dan keharuman nama baik. Orang-orang yang mempunyai popularitas dan
keharuman nama ini dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki Pi'il
Pesenggiri. Hal ini berarti masyarakat lampung pada dasarnya memiliki potensi jatidiri
yang khas, yaitu suka bermasyarakat, suka bergaul dan tidak suka mengisolir diri.
Apabila potensi ini dapat dipertahankan dan disesuaikan dengan kemajuan
masyarakat, maka pantas apabila masyarakat lampung mada masa kemajuan ini dikenal
sebagai masyarakat yang adaptif dan innovatif. Dengan nengah-nyappur ini dapat
diteladani oleh sebagian besar masyarakat daerah di Indonesia sebagai upaya
pembentukan jatidiri bangsa.
Elemen Sakay-sambayan yang berarti suka tolong menolong terhadap sesame
merupakan wujud kebersamaan dalam senang dan susah. Tolong menolong ini biasanya
dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan sarana umum, pembangunan rumah,
acara-acara adat, pada waktu warga masyarakat terkena musibah, atau dalam rangka
membangun kehidupan masyarakat secara ekonomis. Bentuk tolong menolong dapat
berupa tenaga, uang atau benda yang bernilai ekonomis, peralatan dan perlengkapan,
berupa sumbangan pemikiran atau nasehat-nasehat positif yang berguna, baik bagi
kepentingan bersama maupun pertolongan yang khusus ditujukan kepada anggota
masyarakat yang sedang dalam kesulitan. Mengajak kerjasama (setikuhan) dalam urusan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 87
pembangunan dan kemasyarakatan menunjukkan bahwa orang lain diperhitungkan dan
berguna bagi kelompok atau kerabatnya. Standar nilai yang dipakai dalam pelaksanaan
tolong menolong adalah moral dan keikhlasan (kerelaan) terhadap apa yang diberikan
tanpa mengharapkan imbalan secara tegas sebagaimana perhitungan untung rugi.
Suatu kebanggaan, kehormatan dan kepuasan bagi orang lampung jika ia telah
dapat memberikan sesuatu atau bantuan terhadap orang lain dan kerabatnya. Dengan
demikian berarti menunjukkan bahwa pribadi orang lampung merasa tidak terpandang
atau tidak terhormat apabila ia belum mampu berpartisipasi dalam kegiatan
kemasyarakatan atau belum mampu memberikan pertolongan yang bermanfaat kepada
orang lain yang membutuhkan.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tolong menolong merupakan bagian
penting atau konsekuensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan apabila pribadi
dikehendaki tetap terhormat. Orang yang dihormati oleh masyarakat oleh karena ia suka
membantu atau menolong orang lain adalah pribadi yang tergolong mempunyai Pi'il
Pesenggiri. Prinsip tolong menolong ini dapat dikategorikan sebagai sumber potensi
jatidiri, oleh karena tolong menolong merupakan ciri khas kepribadian masyarakat
lampung yang pada dasarnya merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan bangsa pada
umumnya, disamping sangat potensial dalam rangka mendukung pelaksanaan
pembangunan khususnya di daerah lampung. Itulah sebabnya, maka sakay-sambayan
sebagai elemen budaya daerah lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa.
Mengenai budi bahasa dan titi gematie (titi=jalan, gematie= kelaziman/
kebiasaan/adat) yang artinya sopan santun dan adat-istiadat, adalah salah satu elemen
Pi'il Pesenggiri yang tidak kalah pentingnya dari elemen-elemen yang lain. Oleh
karenanya ada sebagaian ahli budaya lampung yang sengaja memisahkan pengertiannya
secara tersendiri. Sopan santun menunjukkan pribadi seseorang yang baik, berperasaan
dan suka menghormati orang lain, baik yang sebaya maupun terhadap orang yang lebih
tua atau orang-orang yang patut dihormati. Orang yang memiliki kesopanan dalam
bergaul, cenderung banyak disukai atau mendapatkan perlakuan dan
kehormatan/penghargaan secara timbal balik yang setimpal. Orang lampung percaya
bahwa perlakuan baik dan terhormat dari orang lain akan diperoleh setelah ia
menghormati orang lain dengan sopan santun. Sedangkan titi gematie diwujudkan dalam
bentuk kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri atau menempatkan diri pada
porsi atau kedudukannya dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 88
Titi gematie mengandung unsur hukum adat (hukum tak tertulis) yang yang pada
dasarnya memuat rambu-rambu larangan (cepalo), keharusan dan kebolehan dan segala
kelaziman diri dalam setiap melakukan sesuatu. Meskipun seorang penyimbang pada
masa sebelumnya lazim menyelipkan badik dipinggangnya dalam rapat adat, tapi pada
masa sekarang jika ia hendak mengikuti musyawarah desa tidak perlu membawa badik.
Secara umum budi bahasa dan titi gematie dapat diartikan sebagai kesopanan atau
tata krama yang berisikan kebaikan dan kejujuran yang berpedoman pada kelaziman dan
kepantasan yang berlaku (diakui umum). Bagi orang-orang yang mampu bersopan santun
sesuai dengan kebiasaan yang selama waktu tertentu diakui masyarakat, maka selama itu
pula ia berpotensi untuk mudah mendapatkan kedudukan terhormat (menjaga pi'ilnya)
ditengah-tengah pergaulan masyarakat. Dengan demikian berarti masyarakat lampung
mempunyai potensi jatidiri yang senantiasa menghendaki kehidupan kemasyarakatan
yang teratur penuh dengan sopan santun (tata krama) yang lues. Ini sangat penting
artinya dalam rangka mempermudah upaya pembentukan jatidiri bangsa. Oleh karena
budi bahasa dan titi gematie ini pada prakteknya dapat digolongkan kedalam elemen-
elemen lainnya seperti Bejuluk-buadek, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakay-
sambayan, maka sebagian ahli budaya tidak menyorotinya secara khusus.
C. PI'IL PESENGGIRI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN NASIONAL
Secara ilmiah dalam kondisi kehidupan masyarakat yang telah semakin
berkembang dan modern, tentu segala aktivitas selalu diperhitungkan fungsi dan
kemanfaatnya bagi kepentingan hidup manusia dalam masyarakat dengan landasan
kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tidak menilai unsur kebudayaan secara subyektif,
melainkan menggunakan penalaran kausalitas yang logis sesuai dengan kehendak dan
kepentingan masyarakat daerah setempat. Hal ini berarti masyarakat setempat
selayaknya harus sudah mampu memilih, memberikan penilaian terhadap fungsi
kebudayaan yang telah ada, dan masyarakat harus berani menolak nilai-nilai yang tidak
sesuai lagi atau nilai-nilai budaya asing yang cenderung merusak prinsip kepribadian,
perangai, identitas atau jatidiri bangsa secara umum.
Sikap subyektif meskipun wajar, akan tetapi tetap tunduk terhadap prinsip adat
istiadat in-groupnya. Dengan demikian berarti kebiasaan outgroup/asing seharusnya
dapat dinilai secara ilmiah dan obyektif yang menyangkut usaha pemenuhan kebutuhan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 89
hidup, baik meterial maupun spiritual dengan pertimbangan rasio/akal, nilai etika dan
estetika/perasaan yang merupakan pandangan hidup bangsa.
Kehidupan masyarakat sebagai suatu kondisi pergaulan yang dinamis dengan
segala konsekuensinya perlu diikat dengan nilai-nilai dan makna moral yang terkandung
dalam prinsip Pi'il Psesenggiri sebagai jatidiri bangsa, agar dapat tercipta stabilitas sosial,
ekonomi dan hukum yang mantap. Pi'il Pesenggiri dalam proses perubahan dan
pembangunan perlu dipelihara, disulam, dibangun, dan dievaluasi secara terus menerus
agar tak terjadi disintegrasi. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa biang kerok dari
disintegrasi dan konflik itu adalah kemiskinan, kemerosotan moral dan ambisi
berlebihan. Oleh karena itu kita harus waspada agar gerakan modernisasi dalam
pembangunan segala bidang tidak berdampak negatif dan salah kaprah, agar tidak keliru
menilai rasa dan makna dari kebudayaan yang ada, khususnya penerapan Pi'il Pesenggiri
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa masih banyak nilai Pi'il Pesenggiri yang
relevan dan dapat kita teladani dalam bergelut dengan kompleksitas kepentingan di abad
globalisasi ini. Membawa badik (beselok badik) atau senjata tajam dimasa kini perlu
dievaluasi secara cermat dengan pandangan yang rasional dari segi bahaya dan untung
ruginya. Pada akhirnya Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri masyarakat lampung pada
dasarnya menyimpan harga diri dan kehormatan yang rasional yang dapat diteladani
sebagai jatidiri bangsa. Bukan berarti harus melepas total nilai-nilai tradisi, karena alam
rasional yang domotori oleh orang-orang berakal sering juga membuat hidupan ini
menjadi rumit. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa diharapkan dapat
jadi pedoman bertindak, sehingga kita tak perlu terburu-buru berbicara kualitas kalau
masih banyak orang yang tak puas.
Salah satu cara pemeliharaannya menurut Berger (dikutip dari Slamet Rahardjo,
Editor Nurdin HK., 1983) adalah dengan pendekatan kultural, sebab hanya manusia
budayalah yang suatu hari bisa berhenti dari kegiatannya, lalu melihat sekitar,
merenung ..., lalu timbul dalam sanubarinya desakan yang kuat untuk meninjau kembali
segala yang telah dijalaninya. Lalu ia merubah sikap atau memperbaiki apa yang selama
ini diyakini, atau bahkan merubah dan meninggalkannya. Dan merintis horizon
keyakinan yang baru, lebih matang dan lebih memadai. Solidaritas sosial sebagaimana
tersirat dalam prinsip Pi"il Pesenggiri diharapkan dapat mempererat persatuan dan
kesatuan dalam setiap derap langkah upaya pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 90
Jatidiri bangsa suka menjadi penengah yang adil dapat dijadikan modal dasar
dalam pendekatan sosial budaya dalam rangka meningkatkan kwalitas pembangunan
hukum, sosial budaya dan pembangunan nasional. Pendekatan fungsional juga
nampaknya tidak kalah penting untuk memonitor perkembangan budaya dan
pembangunan daerah, terutama jika kita hendak mengetahui keselarasan kepentingan
masyarakat dengan unsur-unsur kebudayaan yang dianutnya. Dengan pendekatan ini
diharapkan berbagai kegiatan dapat diarahkan, diperbaiki atau dikembangkan, unsur-
unsur budaya mana yang merugikan atau menyimpang dari keharusan tuntutan stabilitas
sosial, keamanan dan kesejahteraan sosial masa kini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri
masyarakat lampung merupakan modal dasar yang sangat penting bagi pembentukan jati
diri bangsa. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa dapat dijadikan sebagai sumber
potensi dalam perspektif pembangunan yang tidak hanya terbatas bagi kepentingan
daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi pembangunan nasional. Kita belum
perlu mencari dan membentuk budaya baru, yang penting adalah meningkatkan kualitas
kemanfaatannya secara rasional dan adaptif.
7. HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN SERTA
MASALAH INTEGRASI NASIONAL
A. Umum
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan
hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan
kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi
nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna,
Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah
(a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c)
hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan
kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini,
sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir
kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 91
dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam
Volkstelling (1930).
Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa
berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada
kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-
bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk
mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974),
antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total
penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi
penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %),
Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa
lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih
terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu
konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah
sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan
secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat
mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas.
Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang
berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan
Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-
bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah
Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut
H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen
ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan.
Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405
suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau
Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan
dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan
yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan
penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang
masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka,
Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di
Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 92
sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di
Indonesia.
Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di
Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi
sosial yang terjadi dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan
mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan
pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui
segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan.
Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi
dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang
perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama
(cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation),
asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan
proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-
bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang
kokoh.
A. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka
anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi
dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif
mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa
tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau
yang lazim disebut dengan stereotipe etnik.
Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif
(akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran
yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan
menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada
gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional.
Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks
kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan,
ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian
terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk
prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 93
makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan
kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai
bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit
analisis yang penting.
Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan
dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses
(discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi
tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada
perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad
diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable.
Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins
(1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. Ada beberapa aspek
yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2;
Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat
otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan
yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur
masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang
melatar belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita
vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan
untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi
timbulnya suatu prejudice.
Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D.
Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti
bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika
hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya
dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata
tidak selalu tepat.
Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun
psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-
bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan
stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan
penilaian negative yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group
memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 94
menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula
sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype.
Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu
persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti
itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh
akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai
perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu
wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya
diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan
loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai
bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur
kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas
nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan
berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya
kendala perbedaan fisik semata.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi
social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat
pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai
etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-
bangsa) untuk bersedia menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi
sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958),
Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan
perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang
menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh
adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik
tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku
seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.
C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari
kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi
orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani
berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa,
yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 95
Israel. Dengan kata lain, menurut The Shorter Oxford English Dictionary on Historical
Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk
kepada bangsa-bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada
bangsa yang masih menyembah berhala.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai
secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di
London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah
Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga
serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian
M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic
menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau
dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar
belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-
kultural dari pada yang berkaitan dengan ras.
Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn
(1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common
acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more
symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari
berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in
localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation,
nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali
pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan
kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas.
Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan
jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia,
misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan
2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota
kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari
keseluruhan penduduk suatu kota.
Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan
variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger
(1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika
dikaitkan dengan konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering
dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 96
dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan
kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada
kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau
prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson
(1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer
some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut,
pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya.
Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth (1943:347), “We may
define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural
characteristics are single out from the other society in which they live for differential
and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective
discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a
corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges.
Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society".
Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak
selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu
diterapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun
berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam
klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud
fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya.
Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih
disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa
kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh
karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat
yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang
Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi
keturunan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 97
Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat
Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas
Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan
subordinat, didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan).
Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim
diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai
kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering
dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A
dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut
model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat.
Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi
minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang
dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina
di Indonesia termasuk minoritas.
Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar.
Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk
lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan
variabel.
Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan
minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan
penduduk bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai
suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok
dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan
untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan
oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh
Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 98
lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari
subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki
bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih
rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran
akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa
keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan
atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima,
perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan
sesamanya.
D. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan
proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan
akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua
pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian
pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli
sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi
(Gordon, 1964:61).
Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah
yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan
sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan
kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan.
Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain
mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu
pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan.
Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli
antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite
akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of
Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149).
Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam
Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada
dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping
mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda.
Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 99
W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which
persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or
groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a
common cultural life".
Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan
akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of
individuals having different culture comes into continous first hand contact, with
subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".
Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai
terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan
tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka
saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak
ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan
asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their
experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut
Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi
adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah
merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi
merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-
558) mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of
another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah
karakteristik dari asimilasi.
Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak
terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami
perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika,
bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan
yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai
dikaitkan dengan aspek politik.
Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan
produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya,
Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " ..........
the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural
heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least
to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 100
apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta
dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya
prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk
adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi
mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan
yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang
dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok
dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose,
dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya
kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional,
adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh
Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their
religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the
grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian
dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun
orang Yahudi hidup tersebar di berbagai Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan
perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai
sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina
di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki cirri seperti orang
Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).
Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap
keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut
bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi
mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia
adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah
bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir
untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya,
C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial
attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras,
hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut
antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses
pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu
proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 101
E. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy
C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah
asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan
identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu
kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan
asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam
masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya
mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal
tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis.
Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat,
atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan
mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang
Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat
perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan
Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai
suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina
diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu
kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh
suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu
kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 102
Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi
yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan
sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan
kelompok subordinate melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu
pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas
akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu
pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang
mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal
tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika
tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.
Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi,
terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep
utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat
sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya
lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem
nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam
bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan
kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang
pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah
inkorporasi.
Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi
dikalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok
dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal
tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga
berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain
sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural,
antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau
mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu
lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group.
Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain
berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh
karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai
apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama
yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 103
discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas
kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki
yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar
luas.
8. KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL
(SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING
INDONESIA)
Pendahuluan
Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja
menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran
sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk
dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu hubungan internasional, sebagai
bagian dari ilmu sosial, perkembangan pemikiran dalam ilmu hubungan internasional
tidak lepas dari perkembangan ilmu sosial lainnya, bahkan pada tingkatan teoritis
tidak jarang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari ilmu pasti. Sehingga banyak
pengkajian ilmu hubungan internasional yang dilakukan secara kuantitif sebagaimana
yang dilakukan kelompok behavioralis. Salah satu pengaruh atau dapat dikatakan
sumbangsih ilmu lain dalam kajian ilmu hubungan internasional yang akan dibahas
pada tulisan ini adalah ilmu sosiologi dan psikologi yang kemudian membentuk
kajian dengan istilah psikologi sosial. Kajian ini salah satunya membahas tentang
* Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad Yani,
Cimahi
2
entitas-entitas pembentuk negara, termasuk semua bentuk kelompok sosial, baik yang
didasari atas etnis, agama, ras / suku, wilayah geografis maupun tingkatan ekonomi
dan pendidikan. Pengkajian dari sudut pandang psikologi sosial ini menjadi penting
karena hampir semua negara memiliki permasalahan dalam mengakomodasikan
kepentingan warganya dengan latar belakang kelompok sosial yang beragam,
termasuk ketika terjadi persinggungan kepentingan antar negara yang mendorong
pada potensi konflik. Demikian hal ketika kita membahas masalah intergrasi nasional
Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Kajian psikologi sosial dalam
nation building Indonesia hanya sebagai salah satu angle dalam pembahasan tentang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 104
nation building.
Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan multi-etnisnya.
Keanekaragaman ini disisi lain membawa keunggulan tersendiri yang turut
membentuk identitas nasional sebagai modal dasar pembangunan termasuk dalam
berinteraksi dengan negara lain. Namun disisi lain, keanekarangaman ini juga
menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara yang kurang stabil
kondisi internalnya, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga
dikategorikan sebagai negara multi-etnis. Ketidakstabilan ini lebih karena upaya
kelompok dalam mengakomodasikan kepentingannya. Berbagai kepentingan tersebut
menyangkut segala hal kebutuhan kelompok dalam mempertahankan eksistensinya
ditengah-tengah masyarakat. Sehingga kepentingan kelompok juga menyangkut
upaya pemenuhan kepentingan anggotanya, atau dengan kata lain pemenuhan
kebutuhan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Maka pengakomodasian
kepentingan kelompok ini menyangkut kebutuhan dasar (primer), sekunder dan tersier
sebagaimana kebutuhan individu sebagai manusia. Oleh Abraham Maslow dalam
hirarki kebutuhan manusia (chiron.valdosta.edu), menyebutkan bahwa berbagai
3
kebutuhan manusia tersebut dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu
kebutuhan defisiensi (deficiency needs) dan kebutuhan untuk tumbuh (growth needs).
Kedua kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia
hingga kebutuhan trasedent yang berkaitan dengan sesuatu diluar batas ego manusia.
Atau dapat dikatakan kebutuhan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat
sebagai suatu kepuasan. Kebutuhan Defisiensi merupakan kebutuhan dasar manusia
sebagai mahluk hidup. Kebutuhan defisiensi ini meliputi kebutuhan psikologis seperti
haus dan lapar, kebutuhan keamanan agar terhindar dari bahaya, kebutuhan untuk
memiliki dan mencintai agar bisa diterima dan berhubungan dengan individu lain,
serta kebutuhan penghargaan (esteem) sebagai sesuatu yang ingin dicapai oleh
individu untuk mendapatkan pengakuan dan menempatkan dirinya pada posisi yang
diinginkan. Sedangkan kebutuhan untuk tumbuh (growth) meliputi kebutuhan
cognitif, aestetik, aktualisasi diri dan keutamaan diri. Upaya pengakomodasian
kepentingan dari berbagai kebutuhan ini bukan hanya berhadapan dengan elit namun
juga berhadapan dengan kepentingan kelompok lain dengan upaya yang sama. Dapat
dikatakan persinggungan kepentingan yang tidak terakomodasikan dengan baik
menyebabkan konflik baik horizontal maupun vertical. Konflik ini terkadang tidak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 105
dapat dihindari meskipun pemerintahan suatu negara selalu berusaha untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan warganya dalam kerangka besar
kepentingan nasional yang di dalamnya termasuk nation building.
Konflik horizontal dan vertical ini pula yang berpotensi menjadi ancaman
terhadap integrasi nasional, baik integrasi horizontal dan vertical. Lemahnya derajat
integrasi nasional akan menyebabkan jarum spectrum nation building yang pada
sejarah suatu negara bangsa telah mencapai pada titik kematangan (mature),
mengalami pergeseran kearah ketidakmatangan (immature). Pergeseran kearah negatif
4
ini tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat atau warga negara selaku modal
utama dalam nation building. Peranan pemimpin atau elit massa juga sangat
berpengaruh dalam pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam integrasi nasional.
Semasa orde lama, jarang sekali masyarakat kita mendengar terjadinya konflik
sosial dalam masyarakat, baik karena perbedaan etnis, ras, agama, kelompok sosial
ataupun pemikiran. Kalaupun ada, elit massa mampu meredam konfliknya dan juga
pemberitaannya. Sebagaimana kita ketahui sistem politik pada masa orde baru lebih
mengarah pada bentuk otoriter birokratik. Model ini lebih banyak menerapkan
penekanan atau paksaan dari atas atau bersifat topdown. Sehingga kebebasan untuk
mengungkapkan pendapat dan berekspresi tidak mendapatkan peluang yang luas.
Pada sistem otoriter birokratik, gagasan dan pendapat yang dianggap berseberangan
dengan norma dan pemikiran elit akan kesulitan untuk bisa diterima, bahkan
mendapatkan tekanan atas gagasan yang telah dikeluarkan tersebut. Sehingga
dikatakan bahwa pada masa orde lama, elit massa berusaha untuk menghilangkan
konflik yang ada tanpa menyelesaikan akar permasalahanya.
Reformasi yang telah terjadi di Indonesia diharapkan akan membawa angin
segar bagi beberapa bidang, terutama bagi pengembangan sistem politik yang
demokratis, stabil dan modern. Kondisi ini juga memunculkan harapan untuk menata
kembali sistem politik, hukum dan ekonomi kearah yang lebih baik. Harapan juga
muncul agar proses transisi menuju demokrasi di Indonesia berjalan dengan lancar
dan damai.
Namun demikian, kenyataan yang ada bahwa dibukanya kebebasan politik dan
kehidupan demokratis juga menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan bahkan
cenderung anarkis. Bahkan seorang pengamat politik dan internasional Thomas
Friedman mengatakan bahwa Indonesia sebagai “the messy state”. Kesemrawutan ini
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 106
5
terlihat dengan munculnya berbagai bentuk konflik horizontal antar warga masyarakat
ataupun antar etnis seperti yang terjadi di Papua, Madura, Kalimantan serta tawuran
antar warga yang terjadi di beberapa daerah. Demikian juga dengan adanya aspirasi
separatisme seperti yang telah terjadi di Timor-Timur, Aceh, Riau dan Papua.
Masalah
Konflik-konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, aspirasi merdeka dan
tuntutan otonomi yang lebih luas, menimbulkan masalah seputar integrasi nasional
Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Meskipun Indonesia telah
merdeka selama setengah abad lebih, dengan adanya berbagai konflik horizontal dan
bahkan vertical menjadikan pelaksanaan nation building di Indonesia perlu ditinjau
dan digiatkan kembali. Hal ini menyangkut pembentukan homogenitas cultural,
consensus atas nilai-nilai bersama dan membangun loyalitas terhadap negara.
Sehingga salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana
mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok sosial tersebut agar mampu
memperkecil terjadinya konflik, menyelesaikan konflik yang ada bahkan mencegah
terjadinya konflik sebagai upaya integrasi nasional dalam kerangka nation building
Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Terdapat berbagai pendapat dan perdebatan mengenai integrasi nasional.
Menurut Myron Weiner, integrasi nasional meliputi mencakup nilai-nilai masyarakat
yang luas dengan 5 (lima) aspek persoalan, yaitu; integrasi bangsa, integrasi wilayah,
integrasi elit massa, integrasi nilai dan perilaku integrative. Sedangkan William
Liddle melihat persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi horizontal dan
6
integrasi vertical elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup integrasi perbedaan
yang berakar pada masalah etnik, ras, geografi dan agama.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam elemen
masyarakat baik kondisi territorial geografis, etnik, budaya, bahasa, agama dan
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang kesemuanya berpotensi sebagai
ancaman integrasi nasional. Meskipun Indonesia memegang teguh apa yang disebut
dengan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam dataran riil, masih banyak terjadi konflik
sosial dengan berbagai macam sebab. Bahkan kecenderungan tersebut semakin
meningkat seiring digulirkannya reformasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 107
hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat seperti Indonesia ini dapat dilihat dari
perspektif plural society oleh J.S Furnivall. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat
plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik.
Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan ras, suku, sosial
budaya dan ekonominya. Hal lain yang menonjol adalah tidak adanya kehendak
bersama, tidak adanya permintaan sosial ekonomi bersama dan tidak adanya kultur
serta nilai-nilai yang dihayati bersama secara mendalam oleh seluruh elemen
masyarakat.
Pierre L. Van den Berghe menambahkan beberapa karakteristik masyarakat
plural, antara lain: (1) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
lembagalembaga
yang bersifat non-komplementer. (2) kurang mengembangkan consensus
antar anggota terhadap nilai-nilai dasar, (3) seringkali kelompok masyarakat terlibat
konflik satu sama lain, (4) integrasi sosial yang tumbuh berdasarkan paksaan, dan (5)
adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Penggambaran
masyarakat Indonesia yang plural tersebut tidak terlepas dari latar belakang histories
7
Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan. Proses terbentuknya bangsa
Indonesia dimulai secara dinamis melalui pembentukan organisasi-organisasi yang
mengarah pada persatuan dan bersifat menyeluruh yang kemudian disebut sebagai
kebangkitan nasional. Puncak proses ini terjadi dengan adanya consensus nasional
melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai sebuah ikrar untuk bersatu
dalam satu nusa, bangsa dan bahasa yang kemudian bisa disebut sebagai nation-state.
Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat dikatakan kedua perspektif diatas
oleh Furnivall dan Van den Berghe, kurang tepat pada kondisi histories Indonesia,
yang mana pluralitas tersebut justru mendorong untuk bersatu, berkonsensus tanpa
paksaan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan luar yang lebih besar. Dapat
dikatakan bahwa konsensus masyarakat plural Indonesia lebih dikarenakan adanya
persamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai ancaman, terutama ancaman
dalam pemenuhan kepentingan. Lain halnya apabila dibandingkan dengan kondisi
Indonesia saat ini, perbedaan mengenai persepsi ancaman yang dihadapi menjadikan
kedua pemikiran mengenai masyarakat plural lebih mengena pada beberapa hal.
Pembahasan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 108
Permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme yang terjadi diwilayah
tersebut. Perbedaan tipe kolonialisme antar penjajah menimbulkan dampak yang
berbeda-beda dikemudian hari pada negara jajahannya. Sebagai negara baru yang
mendapatkan kemerdekaan dari penjajah, maka pembentukannya juga tidak
berdasarkan kesamaan sifat, namun kesamaan kepentingan penjajah. Sebagaimana
ketika Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk suatu
badan khusus untuk mempersiapkan segala hal apabila Indonesia telah di
8
merdekakan. Sehingga tidak mengherankan apabila dikemudian hari sering terjadi
konflik dengan tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga negara baru tidak dapat lepas
dari upaya Nation Building, State Building dan Economic Development. Ketiga hal ini
saling berhubungan dalam menunjang kestabilan suatu negara, namun permasalahan
yang sering dihadapi oleh negara multi-etnis adalah dalam pelaksanaan Nation
Building-nya. Nation building dipahami sebagai proses konsolidasi dan integrasi dari
kelompok-kelompok pembentuk negara sehingga tidak mudah terpecah-pecah baik
dari luar maupun dari dalam.
Nation Building berhubungan erat dengan etnis (nation) dalam satuan wilayah
teritorial yang kemudian disebut negara, sehingga kuat lemahnya nation building
tersebut tergantung pada bagaimana etnis-etnis didalamnya berinteraksi baik
berkonflik ataupun berkerjasama. sehingga proses nation building melalui integrasi
berjalan terus-menerus dan dapat dikatakan sebagai proses yang tak pernah selesai
karena menyangkut keamanan negara. Suatu proses dari ketika adanya konsensus
untuk membentuk negara hingga kini dan masa yang akan datang. Barry Buzan dalam
bukunya People, State and Fear menganalisis keamanan negara berdasarkan struktur
internal pembentuk negara, termasuk etnis-etnis pembentuknya. Dengan
menggunakan konsep awal state, Buzan membagi negara dalam tiga kelompok sifat
negara terhadap keamanan yaitu negara stabil, tidak stabil dan sangat tidak stabil yang
didasarkan dari tiga model dasar pembentuk negara yaitu: The Idea of State, The
Institutional Expression of the state dan The physical base of the state. Ketiga hal
tersebut menjelaskan dua hal yaitu: pertama; ketiga hal tersebut dapat dibedakan satu
persatu untuk menjelaskan lebih jauh sebagai bagian dari objek keamanan negara,
kedua; hubungan antar ketiganya dapat digunakan sebagai sumber penjelasan
permasalahan keamanan nasional.(Buzan, 1991:65) Dengan demikian mengukur
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 109
9
ketiga hal diatas kita dapat mengetahui tingkat kestabilan struktur internal negara
dalam menghadapi keamanan nasional/ konflik yang muncul dalam negara baik yang
bersumber dari internal maupun campur tangan luar. Namun demikian bukan berarti
kita tidak dapat mengukur tingkat kestabilan struktur internal negara hanya dengan
salah satu dasar pembentuk. Karena keterbatasan, tulisan ini hanya akan
memfokuskan pada model the idea of state. The Idea of the State berhubungan dengan
legitimasi rakyat yang bersumber dari “nation” dan organizing ideology, berdasarkan
kedua sumber ini maka dapat diketahui tipe-tipe negara berdasarkan entitas
pembentuknya yaitu (1)Nation-State; negara yang memiliki satu entitas nation sebagai
major role, sehingga ikatan negara dan entitas pembentuknya kuat. (2)State-Nation;
negara berperan didalam membentuk entitas didalamnya, bersifat top-down, sehingga
biasanya berusaha menghilangkan entitas asli didalamnya dan membentuk entitas
baru yang homogen dan diterima semua kalangan, pada bentuk ini yang telah mapan
akan menpunyai ikatan kuat seperti Amerika dan Australlia sedangkan pada bentuk
yang belum mapan dengan kondisi termasuk lemah dan rawan konflik salah satunya
dapat dilihat pada usaha separatisme di Nigeria. (3)Part Nation-State; dimana satu
nation terdapat dalam dua negara atau lebih (tersebar) seperti Cina dan Korea.
(4)Multination-State; satu negara terdiri dari dua nation atau lebih, bentuk ini ada dua
macam yaitu federatif state dengan tidak ada nation yang mendominasi dan imperial
state dengan ada satu nation yang yang mendominasi struktur kenegaraan, sehingga
bentuk imperial ini lebih rawan konflik daripada federatif. Indonesia pada tipologi ini
dapat kategorisasikan dalam multination-state bentuk federatif, karena tidak ada satu
nation yang mendominasi struktur kenegaraan meskipun suku jawa mempunyai
jumlah paling banyak. Meskipun oleh Buzan bentuk federatif dianggap relative lebih
aman dibandingkan dengan bentuk imperatif, bukan berarti dalam bentuk federatif
10
tidak ada konflik sama sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hambatan justru
ada dalam upaya pembentukan konsensus antar entitas yang beraneka ragam tersebut.
Hal ini karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai ancaman
dan sesuatu yang dianggap lebih bernilai (values).
Berbagai tipe negara beserta konsekuensi keamanan nasionalnya terhadap
konflik etnis tidak lepas dari modernisasi dan pembangunan politik yang menegaskan
bahwa jaringan kelompok mayoritas (utama) bisa menjadi penghambat nation
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 110
building dan pembangunan, sehingga perlu membongkar jaringan tersebut dan
memindahkan loyalitas dari loyalitas pada kelompok etnis ke bentuk loyalitas
masyarakat yang lebih luas dalam lingkup negara (Stavenhagen, 1990:78) sehingga
tindakan yang diambil dalam aktivitas etnis harus lebih menunjukkan pada pilihan
rasional bagi tindakan politik daripada sentimen primordial. Pada negara bekas
kolonial yang entitas pembentuknya terdiri dari beberapa etnis, maka akan
dihadapkan pada permasalahan ini, terlebih lagi jika ada kelompok etnis yang
dominan. Sehingga situasi tersebut bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis yang
disebut dengan “ethnic revival”, yaitu dengan adanya rasa ketakutan kelompok
minoritas pada masa kolonial dan rasa ketakutan itu justru semakin bertambah setelah
masa kemerdekaan karena beranggapan bahwa etnis mayoritas adalah kelompok
penjajah baru (Ryan, 1990:x). Menurut Rothchild konsep sentral etnik adalah
ketakutan etnik akan kehidupan masa depan atas kehidupan yang pernah dilalui pada
masa lalu. Dengan anggapan ini tentu dapat dipahami sebagai sikap manusia sebagai
anggota kelompok etnis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan identitasnya.
Hal ini berdasarkan pada definisi dari kelompok etnis yaitu sebagai sekelompok
orang yang mendefinisikan dirinya (identitas) mempunyai perbedaan yang sangat
jelas dengan kelompok lain karena perbedaan budaya. Sedangkan budaya menurut
11
Galner didefinisikan sebagai kesatuan konsep yang dijadikan acuan berfikir dan
bertindak oleh sekelompok manusia (population) secara turun menurun yang biasanya
mempunyai nama. Oleh karena itu budaya bukan hanya sekedar kumpulan konsep,
namun lebih dari sekedar hubungan dan ketergantungan antar konsep (Ryan, 1990:
xiii). Berdasarkan pengertian tentang etnis tersebut maka dapat dimengerti apabila
konflik etnis lebih didasarkan pada suatu hal yang tidak jelas (intangible) dengan
melihat “who someone is” dari pada “what someone does”(Goldstein, 1996:198)
maka dapat dipahami juga apabila konflik etnis sulit untuk diselesaikan karena
didasarkan pada kebencian –“I don’t like you” - dan bukan “who gets what”.
Sehingga rasionalitas dalam konflik etnis terkadang tersingkirkan dengan adanya
benturan nilai-nilai adat meskipun etnis yang berkonflik tersebut selalu ingin disebut
sebagai masyarakat modern.
Disisi lain, elit massa juga diharapkan mampu mengakomodasikan kelompok
minoritas, demikian juga kelompok minoritas sebaiknya melakukan beberapa
tindakan agar tidak terdeprivasi. Deprivasi yang berkelanjutan dan dalam jangka
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 111
waktu yang lama akan memicu terjadinya konflik sebagai suatu bentuk
pemberontakan. Rothchild mengemukakan ada empat mekanisme untuk menolong
kelompok etnis minoritas agar tidak terdeprivasi antara lain: (1)Demonstrations of
respect, sebagai sikap saling menghormati antar kelompok etnis terutama terhadap
etnis minoritas, (2)Power Sharing, yang diusahakan pemerintah untuk membentuk
perwakilan sesuai dengan kondisi entitas pembentuk masyarakat, (3)Elections, dengan
melakukan sistem pemilu sebagai bagian dari political game menyangkut partisipasi
dalam proses pengambilan suara, (4)Otonomi regional dan federalisme, berhubungan
dengan kemampuan pemimpin politik/pemeritah pusat dalam memajukan
kepercayaan diri antar pemimpin lokal (international security, 1996,2/21:57).
12
Permasalahan etnis dalam diperlukan juga pemikiran dari kajian psikologi
sosial, untuk melihat bagaimana individu-individu yang tergabung dalam kelompok
etnis berinteraksi dengan kelompok lainnya. Beberapa kajian psikologi sosial ini telah
berhasil diterapkan dalam beberapa konflik sosial yang terjadi di dunia internasional
dengan melakukan identifikasi terhadap konflik sosial yang ada sebagai upaya untuk
menuju resolusi konflik. Kajian ini dikembangkan oleh Herbert C. Kelman, seorang
ahli psikologi, yang telah melakukan penelitian dan workshop bagi penyelesaian
masalah konflik sosial yang terjadi di Irlandia Utara, Sri Lanka, Rwanda-Burundi, eks
Yugoslavia, eks Uni Soviet dan konflik Israel-Palestina. Pemikiran Kelman ini juga
banyak dijadikan acuan dalam resolusi konflik yang terjadi antar kelompok dalam
negara, termasuk konflik local di Indonesia, seperti resolusi konflik di Ambon, Sampit
dan Poso adalah contoh dari konstrubusi pemikiran Kelman.
Menilik permasalahan nation building di Indonesia, kembali lagi pada
penekanan integrasi horisontal antar kelompok sosial dalam masyarakat, dalam hal ini
bukan hanya kelompok etnis. Keikut sertaan individu dalam kelompok, baik karena
ada aturan yang berlaku (paksaan) ataupun otomatis, merupakan penciptaan
komunikasi yang mengarah pada hubungan fungsional. Oleh Thilbaut dan Kelley
hubungan ini disebut dengan “social exchage theory”(Ahmadi, 1991:104). Analog
dengan teori ekonomi, teori ini menunjukkan bahwa keikutsertaan atau masuknya
individu dalam suatu kelompok akan memperoleh keuntungan dan kerugian.
Keuntungan dapat berupa kesenangan dan kepuasan keikutsertaan individu dalam
kelompok, sedangkan kerugian bisa berupa waktu, tenaga, jasa, ataupun materi yang
telah dikeluarkan individu dalam kelompok. Perbedaannya, apabila nilai tukar dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 112
ekonomi penguatnya adalah uang, maka pada nilai tukar sosial penguatnya adalah
“penerimaan sosial”. Penerimaan sosial ini juga berarti diterimanya nilai-nilai
13
individu tersebut dalam kelompok. Semakin diterima nilai-nilai individu dalam suatu
kelompok maka semakin tinggi pula nilai sosial exchange-nya yang ditandai dengan
kesenangan dan kepuasan individu tersebut dalam kelompok. Hal ini karena
kelompok terbentuk dari individu yang mempunyai tujuan yang sama dan membentuk
hubungan fungsional. Hubungan ini pada akhirnya membentuk nilai-nilai sosial yang
dianut oleh anggota kelompok. Semakin besar nilai tukar sosial suatu kelompok,
semakin besar pula penerimaan sosial akan kelompok tersebut. Untuk meningkatkan
nilai tukar sosial, kelompok sosial berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan
meminimalkan kerugian. Artinya apabila banyak anggota kelompok yang kecewa
dengan kelompok atau tingkah laku kelompok tidak sesuai dengan yang diharapkan
anggotanya, maka penerimaan sosial kelompok tersebut kecil, bahkan bisa saja terjadi
perpecahan kelompok. Saat ini seseorang bergabung dengan suatu kelompok lebih
pada pemenuhan kebutuhannya, sehingga seseorang bisa menjadi anggota pada lebih
dari satu kelompok. Keikutsertaan individu dalam kelompok secara tidak sadar
memunculkan perasaan ikatan di dalam kelompoknya (in-group) ataupun perasaan
terhadap kelompok lain (out-group). Perasaan ikatan dalam kelompok berpengaruh
terhadap kohesifitas kelompok dan bahkan memunculkan favoritisme terhadap
kelompoknya. Kohesi kelompok merupakan perasaan bahwa orang bersama-sama
dalam kelompok sebagai kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam
kelompok. Kohesi ini terlihat dengan adanya rasa sentimen, simpati, intim dan
solidaritas antar anggota. Perasaan ini yang juga sedikit banyak mempengaruhi pola
hubungan antar kelompok, apakah akan melakukan kerjasama atau beroposisi. Karena
kohesi dapat berkembang dengan adanya ancaman atau tekanan dari out-group. Ingroup
terkadang membuat kode-kode tertentu sebagai bentuk komunikasi yang hanya
bisa dipahami antar anggotanya. Dalam hal ini keanggotaan kelompok menjadi bagian
14
dari identitas seseorang. Pada kelompok yang lebih moderat, pola hubungan ini lebih
rasional dengan melihat adanya kesamaan kepentingan atau persepsi terhadap suatu
hal yang mendorong adanya konsensus untuk bekerjasama. Setiap kelompok
mempunyai pedoman tingkah laku yang khas antar anggotanya yang disebut dengan
norma kelompok. Norma terbentuk dari hasil interaksi antar anggota karena terdorong
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 113
untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya norma bukanlah sesuatu yang tidak statis
/ selalu berubah karena kelompok sosial merupakan hubungan yang dinamis.
Perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi masing-masing
anggotanya. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku anggota kelompok akan bisa
berubah akibat dari perubahan kelompok. Singkatnya norma kelompok
mempengaruhi tingkah laku anggota. Norma kelompok sosial berbeda-beda satu sama
lain yang disebabkan adanya perbedaan geografis, status sosial dan tujuan kelompok.
Misalnya kelompok masyarakat yang tinggal di pantai pasti mempunyai norma yang
berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di pegunungan, demikian juga
antara pegawai negeri dengan petani, pekerja seni dengan atlet. Perbedaan norma ini
memunculkan perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Sekali lagi, apabila tidak
terakomodasikan dengan baik tentu akan menimbulkan konflik.
Upaya mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok, membentuk
consensus atas nilai-nilai bersama dan membentuk loyalitas terhadap negara,
sekalipun merupakan tugas bersama antar entitas pembentuk negara, elit massa-lah
yang diharapkan mampu mengkoordinasikan semua hal diatas. Adanya konsesus antar
kelompok tanpa adanya elit yang mempunyai tujuan yang jelas, maka nation building
yang diharapkan akan rapuh dan mudah goyah. Sehingga elit, dalam hal ini lebih pada
pemimpin diharapkan mampu melaksanakan peranannya sebagaimana mestinya.
Peranan dapat diartikan sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap
15
caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status
dan fungsi sosialnya. Sehingga pengharapan terhadap pemimpin lebih pada
kemampuan pemimpin tersebut mempengaruhi orang lain sehingga bertingkah laku
sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Karena pemimpin bukan hanya sebagai
kedudukan yang merupakan satuan kompleks atas hak-hak dan kewajiban yang
dimiliki seseorang atau institusi, namun juga sebagai proses sosial yang merupakan
segala tindakan yang dilakukan seseorang atau institusi yang mampu menggerakkan
masyarakat dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Sehingga bagaimana interaksi
suatu kelompok dengan kelompok lainnya juga dipengaruhi oleh pemimpinnya.
Pemimpin disini pada akhirnya juga ikut andil dalam pembentukan norma kelompok.
Acap kali setiap terjadi pergantian kepemimpinan suatu kelompok, juga terjadi
perubahan norma. Apabila perubahan norma yang ada mudah diterima dan diadopsi
oleh anggotanya, maka kohesifitas dalam kelompok semakin kuat. Sebaliknya apabila
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 114
norma baru tersebut kurang bisa diterima oleh anggotanya, maka tidak menutup
kemungkinan akan menimbulkan perpecahan dalam kelompok. Dengan kata lain
bagaimana pemimpin itu bersikap akan berpengaruh juga terhadap kohesifitas
kelompok. Kepemimpinan dan norma kelompok secara tidak langsung akan
menentukan bagaimana kelompok itu bersikap (attitude). Sikap ini dipahami sebagai
suatu kesadaran yang menentukan perbuatan nyata yang berulang-ulang terhadap
objek sosial. Karena tidak ada satu sikap-pun tanpa objek sosial. Misalnya sikap
bangsa Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, sikap yang ditunjukkan warga
Indonesia tidak lepas / dipengaruhi oleh norma yang dikembangkan pemimpin. Pada
masa awal orde baru, sikap terhadap etnis Tionghoa lebih dikarenakan aspek afektif
adanya emosi yang berkaitan dengan objek yang dianggap tidak menyenangkan
karena berkaitan dengan peristiwa 30 September (bahaya laten PKI). Pada kasus
16
internasional dapat dicontohkan mengenai sikap bangsa Jerman terhadap orang
Yahudi pada masa Hitler karena dianggap penyebab kekalahan Jerman pada Perang
Dunia I. Perasaan terhadap kelompok tertentu ini disebut dengan prasangka sosial
(sosial prejudice) yang terkadang mendorong pada stereotip terhadap kelompok
tertentu tanpa adanya pengetahuan mengenai kelompok yang dikenai prasangka
tersebut. Prasangka inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial (sosial
distant) antar kelompok yang seharusnya tidak perlu. Prasangka negatif (stereotif)
yang menciptakan jarak sosial ini merupakan potensi konflik antar kelompok sosial.
Agar terhindar dari konflik maka informasi mengenai kelompok berikut normanya
sangat diperlukan dalam menciptakan hubungan yang positif antar kelompok. Setiap
persinggungan norma antar kelompok merupakan tugas bersama antar anggota yang
difasilitasi pemimpin dalam mengakomodasikannya. Apabila pemimpin mampu
mengakomodasikan perbedaan ini hingga membentuk suatu konsensus atas nilai-nilai
bersama, maka kohesifitas kelompok bukan hanya terjadi pada in-group, tapi juga
out-group. Pada akhirnya hal ini juga akan mendorong terciptanya loyalitas terhadap
negara karena pemimpinnya dianggap mampu berperan sebagaimana mestinya.
Indonesia sebagai negara dengan kemajemukannya, segmentasi yang ada
berupa aspek horizontal dan vertical. Segmentasi aspek horizontal berupa perbedaan
ras, agama, suku dan daerah, sedangkan segmentasi aspek vertical merupakan kondisi
politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek vertical ini, jarak antara pelapisan masyarakat
atas dan bawah masih sangat tajam, baik antara kaya-miskin, desa-kota, tingkat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 115
pendidikan dan sebagainya. Jarak dalam aspek vertical ini yang dipertegas dengan
adanya jarak sosial semakin menyulitkan Indonesia memperkokoh integrasi dalam
nation building. Sehingga perbedaan ini perlu dijembatani dengan nilai persatuan
yang mengecilkan kesenjangan antar kelompok.
17
Menilik upaya resolusi konflik antar kelompok sosial yang ditawarkan
Kelman, sebaiknya pemerintah melakukan tindakan proaktif terhadap berbagai
kemungkinan terjadinya konflik. Kelman mengenalkan interactive problem solving
(Kelman, American Psychologist, 1997, 52/3:212-220) yang menghadirkan pihak
ketiga untuk membahas segala permasalah yang berpotensi konflik. Metode ini telah
diterapkan pada kasus di Poso dan Sampit. Interactive problem solving ini lebih
merupakan workshop yang menjadikan kelompok sosial sebagai laboratorium.
Workshop ini dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan
permasalahan, antara lain keinginan kelompok, norma yang berlaku, pandangan
terhadap kelompok lain serta upaya penyelesaian kelompok. Dengan
mengkomunikasikan berbagai kepentingan diharapkan bisa mendapatkan resolusinya.
Workshop pada proses resolusi konflik, kelompok sosial menjadi subjek yang
berperan aktif. Ada tiga peran kelompok sosial dalam resolusi konflik, satu;
kelompok sosial dapat dilihat sebagai mikrokosmik dari sebuah sistem yang lebih
besar, dimana kelompok sebagai arena dimana sistem yang lebih besar itu berada.
Sehingga norma-norma yang diinginkan bersama dapat terbentuk untuk mendukung
tercapai resolusi. Dua; selain itu dalam workshop antar kelompok yang berkonflik
dibentuk suatu koalisi agar mampu membentuk kesamaan tujuan dan kepentingan.
Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit membentuk koalisi antar kelompok yang
berkonflik karena berhadapan dengan berbagai hal termasuk norma dan
kepemimpinan. Tiga ; langkah berikutnya adalah menciptakan hubungan baru, artinya
mengembangkan prinsip resiprositas antar kelompok yang berkonflik, yang tentunya
berkaitan dengan keunggulan masing-masing kelompok. Dengan terciptanya
hubungan baru maka diharapkan konflik dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan
mencari alternatif yang lebih baik. Ketiga peran kelompok sosial dalam penyelesaian
18
konflik secara interaktif ini merupakan analog atau gambaran konflik riil. Hasil
workshop yang terkesan hanya berada didunia abstrak setidaknya cukup memberikan
informasi bagi konstribusi resolusi konflik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 116
Kesimpulan
Keberagaman kelompok sosial dalam integrasi nasional Indonesia bukanlah
suatu hal yang mudah untuk ditangani namun bukan pula suatu hal yang rumit karena
integrasi merupakan suatu proses yang selalu berlanjut dan tidak pernah berhenti.
Konflik sosial yang terjadi lebih pada perbedaan norma, sikap dan prasangka yang
tidak terkomunikasikan dengan baik. Integrasi nasional dalam kerangka nation
building bukan hanya masalah negara hanya masalah negara baru ataupun negara
plural, namun juga masalah semua negara demi menjaga eksistensinya. Elit sebaiknya
bersikap proaktif terhadap segala bentuk potensi konflik yang ada. Konflik sosial
yang terjadi juga bukan tanggungjawab pemimpin/ elit semata, namun juga
tanggungjawab kelompok (termasuk individu didalamnya) yang turut membentuk
norma, sikap dan prasangka terhadap kelompok lain. Pengkajian masalah
internasional bukanlah monopoli pengkajian ilmu hubungan internasional, karena
permasalahan internasional juga dapat dikaji dari ilmu lain.
8. PENUTUP
Pada Bagian penutup ini penulis kembali menegaskan bahwa pluralisasi
merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang
besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media
yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan. Tidak ada
salahnya kita melihat kembali apa yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran : Dalam
Alquran Allah SWT berfirman : "Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-hujurat: 13). Dalam
ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki
dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini
menandakan pluralitas manusia. Kebhinekaan bukan untuk saling menghilangkan,
sebaliknya agar saling mengenal (lita'rafu). Mengenal artinya saling mengerti dan
memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis. Kita
berharap, Indonesia dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat kokoh
berdiri didasarkan segala perbedaan dan kemajemukan. Suku, bangsa, budaya, agama,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 117
serta perbedaan wilayah geografis menjadi pondasi kuat baik tegaknya Indonesia dengan
slogannya Bhinneka Tunggal Ika.
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi
antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke-ekaan mulai menjadi masalah yang
tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman
etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya (multi culturalme)
yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di
Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan
berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad.
Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat
dipandu secara perlahan lewat jalur media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta arus informasi, memerlukan berbagai penyesuaian, baik
dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam
proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan
identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan
memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus
perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu
masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat
Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi
menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang
ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Dengan
berpijak pada pemahaman tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang
sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat
menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip
bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek
sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya
tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga,
pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan
adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang
dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi.
Pi'il Pesenggiri merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena
didalamnya mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 118
terhormat, prestasi yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan
perhitungan ekonomis. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga
diri, maka berarti masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya
menjauhkan diri dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan
yang berlaku. Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan
diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal
organisasi-organisasi pemerintah.
Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa
yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga
masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan
nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan
pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi
pembentukan jatidiri bangsa Indonesia pada umumnya. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri
bangsa dapat dijadikan sebagai sumber potensi dalam perspektif pembangunan yang
tidak hanya terbatas bagi kepentingan daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi
pembangunan nasional.
Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari
keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama dunia
dewasa ini. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman yang plural
terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan
sebagai fenomena keagamaan yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya
dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia
dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan
(Reality-Centredness).
Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik Islam, Kristen Hindu
maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif akan
berdampak pada konflik antarumat beragama, dan konflik tersebut akan menjadi
memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup
berdampingan.
Tidak ada agama yang memiliki esensi tunggal. Yang ada adalah perbedaan
penafsiran tentang Tuhan: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many.
Perbedaan agama-agama hanya berada pada level eksoterisme, sementara pada level
esoterisme terdapat titik temu. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 119
ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus
menjadi satu”.
Dalam memahami persoalan agama-agama perlu pendekatan multikultural,
dimana pendekatan ini berusaha menjauhkan sikap absolut, subjektif dan ekslusif.
Pemahaman ini juga setara dengan pendekatan yang digunakan oleh Schuon dengan
istilah esoterisme, atau yang digunakan Hick dengan pendekatan cross-cultural-nya dan
Nasr dengan philosophia-perennia-nya. Mengedepankan aspek moral dan sosial dalam
agama juga diperlukan agar agama tampil sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.
Wallahu A’lam bi-‘l-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 120
Abdul Syani, 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.
Abdulkadir Muhammad, 1987. Ilmu Budaya Dasar (IBD). Fajar Agung, Jakarta.
Abu Rabi’, Ibrahim. “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The
Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika. Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1998.
Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991)
Ali, Mukti H. A.. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.
Anderson, B. (1991 [1983]) Imagined Communities. Reflections on the Origins and
Spread of Nationalism. 2nd edition. London: Verso.
Andito (ed.). Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara,1989.
Ary D. et.al.. Introduction to Research in Education, The Third Education, New York:
Holt, Rinehart and Wiston,1985.
Azra, Azyumardi.. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta:
Paramadina, 1999.
Budiono Kusumohamodjojo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo
Jakarta
Buzan, Barry, People, State and Fear, (Harvester Wheatsheaf, London, 1995)
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan.
Yogyakarta: Kanisius. Nasikun, Sistem Sosial Budaya, Jakarta : Penerbit
Rajawali Press. Tom Campbell. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian dan
Perbandingan. Kanisius. Yogayakarta, 1994. p. 141.
Cohen, A. (1974) Two-dimensional Man. London: Tavistock.
Coward, Harold.. Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius,
1989.
Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Dean, Thomas, ed. Religious Pluralism and Truth Essays on Cross-Cultural Philosophy
of Religion. State University of New York, 1985.
Dieters Evers. Hans. 1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Purwasito, Andrik. 2003.
Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ritzer,
Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI. 1995.
Dian Interfidei. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I,. 1995.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 121
Fay, Brian Contemporary Philosophy of Social Science. Oxford: Blackwell Publisher.
1996.
Furnivall, J.S. (1938) The Netherlands Indies: A Study in Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press.
Geerz, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Surya
Grafindo, 1985.
Geertz, C. & D. Apter, eds. (1969) The Old Societies and New States. Chicago: Aldine
Publications.
Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell.
George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-6. Jakarta:
Prenada Media.
Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (PT. Eresco Bandung, 1991)
Goldstein, Joshua S., International Relations, 2sd edition,(Harper Collins Publisher Inc.
New York, 1996)
Hanafi, Hassan. 1977. Religious Dialogue & Revolution, Essay on Judaism, Christianity
& Islam, Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop.
Hamengku Buwono X, 2001, Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga Keutuhan
dan Persatua Bangsa, Mungkinkah? Makalah Seminar, Solo, Agustus 2001
Harsojo, 1967. _Pengantar Antropologi_. Binacipta, Bandung.
Hasan, Thalchah.. Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, makalah tidak
diterbitkan. 1999
Hick, John Problem of Religious Pluralism. London: The Macmillan Press, 1985.
Hilman Hadikesuma, 1977. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia.
Alumni, Bandung.
Hilman Hadikesuma, 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung.
Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford:
University Press. 1986.
Jurnal Ulumul Qur’an.1993. No. 4, Volume IV.
Kelman, Herbert C., Group Processes in The Resolution of International
Conflicts:Experiences from The Israeli-Palestinian Case, (American
Psychologist, March 1997, 52/3) p. 212-220
Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta.
Koentjoraningrat, 1964. Pengantar Antorpologi. PD. Aksara, Jakarta.
Kompas, 2000/ 05/ 08.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 122
Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Paramadina, Jakarta,
Paramadina Juli-Desember, 1998.
Lyden, John (Editor). Enduring Issues in Religion, San Diego: Greenhaven Press. 1995.
Mahfuz, Abdul Ghoffar. Tokoh Agama dalam Mewujudkan Kerukunan Antarumat
Beragama (Studi Kasus di Kec. Bukit Intan Kodya Pangkal Pinang),
Palembang, Puslit IAIN Raden Fatah. 1997.
Mastudu dan M. Deden Ridwan (eds.)..Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
Antar Disiplin Ilmu, Jakarta, Pusjarlit. 2000
Mathews, Warren.World Religion, Canada: International Thompson Publishing, 1999.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu pendekatan Lintas Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Science, United Kingdom: Curzon Press,
1993.
Notingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Terjemahan A. Muis Naharong,
Jakarta: Rajawali Press,1985.
Nurdin HK. (Editor), 1983. Perubahan Nilai-nilai di Indonesia. Alumni, Bandung.
Paul B. Horton & Chester LH, Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga,
Jakarta
Puspito, Hendro, OC. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Qowa’id. “Dialog Antarumat Beragama di Kalimantan Selatan”, Jakarta, Jurnal Penamas
No. 39, Th. XIV. 2001.
Ralp Linton, 1947. The Cultural Background of Personality. New York.
Ropi, Ismatu. Fragile Relation: Muslims and Christians in Modern Indonesia Jakarta:
Logos. 2000.
Rothchild, Donald & David A. Lake, Containing Fear: The Origins and Management of
Ethnic Conflict, (International Security 1996, 2/21) p.57
Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations (Darmouth Publishing
Company, England, 1990)
Saifuddin, A.F. (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritik Mengenai
Paradigma. Jakarta : Prenada-Media.
Schuon, Frithjof The transcendent Unity of Religions. Wheston, Illinois: The
Theosophical Publishing House,1984.
Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra Wacana, Surabaya
Shihab, Quraish Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 123
Smith, A.D. (1986) The Ethnic Origin of Nation. Oxford: Blackwell.
Soroush, Abdul Karim Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah
Ali, Bandung: Mizan, 2003.
Stavehagen, Rodolfo, The Ethnic Question : Conflict, Development and Human Rights
(United Nations Univ.Press, Tokyo, 1990)
Stark, Rodney. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, penerjemah M. Sadat
Ismail, Jakarta, Nizam, Yogyakarta: Qalam, 2003.
Sudarta. Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat
Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Sumarthana, T.H. “Menuju Dialog Antar Iman”, Pengantar dalam Dialog : Kritik
dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfedei, Seri Dian I/Tahun I.
1993.
Suparlan P. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi” dalam Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu
Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama, Jakarta, Badan Litbang
Agama, Departemen Agama RI. 1982.
Suparlan P. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta, Rajawali Press, 1984.
Suparlan P. “Agama Sebagai Sasaran dan Penelitian” dalam Sujangi (ed), Kajian Agama
dan Masyarakat, Jakarta, Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991.
Tracy, David. Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. University of
Chicago Press, 1987.
Turner, V. (1969) The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine
Publications.
Yahya, M., et.al. Respon Masyarakat Awam (Islam-Kristen) Terhadap Dialog Antarumat
Beragama di Kabupaten Malang, Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing
Depag RI. 2002.
Zakiyuddin. Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi, 2002.
Zebiri, Kate. Muslims and Christians, Face to Face, Oxford: Oneworld, 1997.
Zulaikha, Siti. “Toleransi Awu-awu: Potret Dialog Antar Agama di Jawa Timur”
Surabaya: Jurnal Gerbang, Oktober-Januari, 2002-2003.
Zainuddin, M. Potret Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Malang Selatan,
Jakarta: Mediacita, 2002
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 124
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 125
1
7
24
44
45