Upload
niddy-rohim-febriadi
View
44
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mother to child transmision prevention
Citation preview
REFERAT
Manajemen Kehamilan dan persalinan serta
Pencegahan Transmisi Maternal Pada Ibu dengan HIV/AIDS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri & Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh :
Nama : Niddy Rohim F., S. Ked
NIM : 2008 031 0221
Diajukan kepada Yth.:
dr. H. Bambang Basuki, Sp. OG
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2012
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Manajemen Kehamilan dan persalinan serta
Pencegahan Transmisi Maternal Pada Ibu dengan HIV/AIDS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian SyaratMengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri & Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh:Niddy Rohim F., S. Ked
2008 031 0221
Telah dipresentasikan dan disetujui pada:Hari : Sabtu
Tanggal : 17 November 2012
Mengetahui,Dosen Pembimbing & Penguji Klinik
dr. H. Bambang Basuki, Sp. OG
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada triwulan kedua
2010 terdapat penambahan 1.206 kasus AIDS. Sampai 30 Juni 2010, kasus AIDS
yang dilaporkan sejak 1978 berjumlah 21.770. Itu berasal dari 32 provinsi serta 300
kabupaten dan kota di tanah air. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan
di Indonesia adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat. Bahkan hasil penelitian Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) terdapat 2.800 pasien HIV/AIDS
perempuan selama 10 tahun terakhir di Indonesia, terungkap lebih dari 80 persen
penderitanya adalah ibu rumah tangga. Penelitian dilakukan dari tahun 1999-2009
terhadap sekitar 2.800 penderita perempuan di Indonesia dari berbagai latar
belakang profesi.
Peningkatan kejadian HIV/AIDS pada kalangan ibu rumah tangga juga
mempengaruhi peningkatan kejadian penderita HIV/AIDS di kalangan anak-anak.
Kasus HIV/AIDS pada anak-anak Indonesia meningkat 700 persen dalam empat
tahun terakhir(2006-2010). Kasus HIV pada anak biasanya paling sering ditemukan
akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya.
Sementara itu, pusat kontrol penyakit (The Center for Disease Control =
CDC) telah melaporkan 27.485 kasus AIDS pada wanita Amerika Serikat dari tahun
1981 sampai 1992, tahun 1994-1995 hampir 7000 bayi lahir dari wanita terinfeksi
HIV tiap tahunnya di Amerika Serikat, sekitar 2000nya terinfeksi HIV dan tahun
2000 total 33.600.000 dimana 14.800.000 adalah wanita dan 1.200.000 anak
dibawah 15 tahun. Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang.
Kurang lebih 12% pasien terinfeksi HIV adalah wanita, sekitar 10-30% wanita
hamil di bagian tertentu di Afrika terinfeksi HIV. Wanita dengan AIDS (Acquired
immunodeficiency syndrome) 85% pada usia reproduktif (15-44 tahun), 50% kulit
hitam dan 20-25% hispanik. Hampir mencapai 20-30% HIV karier asimtomatik
3
diperkirakan terjadi untuk setiap kasus AIDS yang dilaporkan. Peningkatan pada
kedua jumlah dan persentase dari wanita AIDS yang dikenali sejajar dengan
peningkatan infeksi pada anak-anak. Kasus anak-anak terhitung 2% dari total
laporan selama periode ini. Lebih dari 90% anak terinfeksi HIV dibawah 15 tahun
mendapat infeksi dari ibu mereka selama kehamilan, persalinan atau menyusui.
Angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh HIV semakin
meningkat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di
semua negara. Penggunaan obat antivirus seperti highly active antiretroviral therapy
(HAART) dan persalinan berencana dengan seksio sesaria telah menurunkan angka
transmisi perinatal mother to child transmission (MTCT) penyakit ini dari 30%
menjadi 20%. Manejemen antenatal, persalinan, dan perawatan pascasalin yang
terkontrol dengan baik pada ibu hamil dengan HIV dapat mencegah transmisi
perinatal.
Tujuan penanganan HIV dalam kehamilan adalah untuk memaksimalkan
kesehatan maternal dan meminimalkan transmisi perinatal telah dipusatkan kepada
penekanan level RNA HIV virus sampai level yang tak terdeteksi.
Maka dari itu, referat ini akan membahas mengenai transmisi HIV dari ibu ke
bayinya serta pencegahannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini
ditemukan pada cairan tubuh terutama cairan darah, cairan vagina dan air susu ibu.
Virus HIV tersebut dapat merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan
turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit infeksi. Dalam
keadaan seperti itu, orang akan mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom)
yang mungkin tidak mempengaruhi orang yang system kekebalan tubuh sehat.
Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
HIV adalah Human Immunodeficiency Virus. Virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Kebanyakan orang yang
terinfeksi tidak mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi. Segera setelah
terinfeksi, beberapa orang akan mengalami gejala mirip flu selama beberapa
minggu. Selain itu tidak ada tanda-tanda infeksi. Tetapi, virus tetap ada di tubuh dan
dapat ditularkan ke orang lain.
B. HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)
HIV adalah jenis retrovirus. Virus ini termasuk golongan virus RNA yaitu
virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik, yang
berarti bahwa virus ini menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi
kembali dirinya.
Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah
yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik
Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi. Tetapi pada tahun
Januari 1983 Luc Montaigner di Prancis menemukan Virus ini pada seorang pasien
limfadenopati. Oleh karena itu kemudian Virus ini awaklnya dinamai Lymph
adenophaty Virus (LAV). Kemudian pada tahun 1984, di Amerika Serikat
ditemukan virus serupa pada penderita AIDS yang kemudian disebut HTLV-III.
Pada bulan Mei 1986 Komisi toksonomi International memberi nama baru HIV
5
(Human Immunodeficiency Virus) yang saat ini resmi digunakan. Sementara itu
Kasus HIV ini di Indonesia ditemukan pertama kali di Bali pada seorang Warga
Negara Asing (WNA) pada tahun 1987.
Saat ini terdapat dua jenis HIV yaitu HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi
seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah dengan keturunan yang berbeda–
beda. Dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–
jenis (clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok
M terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun.
Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan,
Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat
banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya
menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi–infeksi
oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–2,
ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat
dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka
mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses
penularannya.
1. PENULARAN
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan
vagina, air susu ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah.
Virus tersebut menular melalui:
a) Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah
terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat
dicegah.
b) Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana
darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang
tidak steril.
c) Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan
seseorang yang telah terinfeksi.
6
d) Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
2. PATOFISIOLOGI PENULARAN
Untuk mengerti bagaimana virus tersebut bekerja, seseorang perlu
mengerti bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja. Sistem kekebalan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel.
Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena ia mengkoordinasi
semua sistem kekebalan sel lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada
permukaannya yang disebut CD4. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel
T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di
dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut
RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid)
dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut
menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih
banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim
lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang
baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam
aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses
yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan
meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–
penyakit yang lain.
Gambar I. Patofisiologi Penularan
7
Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan
sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons
tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal
dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik
darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung
dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi
oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika
sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat
infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi
seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral
load, yang menunjuk pada jumlah relatif dari virus bebas bergerak didalam
plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu
melawannya.
Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase, yaitu :
a) Infeksi utama (Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak
menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi.
b) Fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus
tersebut tetap aktif.
c) Fase symptomatic, dimana seseorang mulai merasa kurang sehat dan
mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu
melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di sekitar
kita dalam segala keseharian kita.
d) AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV,
adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari
200.
8
3. PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan alamiah infeksi HIV dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
Infeksi virus 2-3 minggu Sindrom retroviral akut 2-3 minggu gejala menghilang +
serokonversi infeksi kronis HIV-asimtomatik rata-rata 8 tahun ( di Negara berkembang lebih
pendek) Infeksi HIV/AIDS-simtomatik rata-rata 1,3 tahun kematian.
C. TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK
Bukan saja pemuda pada usia produktif ataupun perkembangan jiwa menuju
tahap pendewasaan diri, rentan sekali menjadi sasaran penyebaran virus HIV/AIDS.
Tetapi usia anak-anak pun tak kalah rentannya. Hal itu terbukti dengan meningkat
tajamnya penderita HIV/AIDS di kalangan anak-anak. Kasus HIV pada anak
biasanya paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki
HIV ke anaknya Kemungkinan besar perpindahan virus ini terjadi selama proses
kehamilan dan juga persalinan maupun menyusui.
Transmisi HIV dari ibu ke anak tersebut timbul mendekati 25-30% dari bayi
yang lahir dari ibu yang tidak mendapat pengobatan anti virus selama kehamilan,
sedangkan waktu terjadinya infeksi vertikal dari HIV belum dapat ditentukan
dengan baik. Transmisi intra uterin telah ditunjukkan secara langsung dengan
deteksi virus pada jaringan abortus fetal. Kebanyakan episode dari infeksi
kongenital HIV timbul selama periode intrapartum, mungkin berhubungan dengan
terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina,
sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama kontraksi uterus.
Sedangkan penularah postnatal adalah melalui air susu ibu.
1. Transmisi selama kehamilan
Infeksi transplasental telah dilaporkan dan tampaknya menjadi jalan
utama transmisi namun mekanisme yang pasti tetap belum diketahui. HIV telah
secara langsung diisolasi dari plasenta, cairan amnion dan produk awal
konsepsi. Pasase transplasenta HIV muncul pada 30% kehamilan yang
dipengaruhi, dipertinggi oleh jumlah limfosit T helper (kurang dari 400/mm3)
atau kesakitan maternal yang lanjut. Penentuan kejadian infeksi vertikal
dikomplikasi oleh sulitnya membuat diagnosis neonatal karena antobodi IgG
9
maternal terhadap HIV secara pasif melewati plasenta. Semua bayi lahir dengan
ibu HIV antibodi positif akan memiliki antibodi positif saat lahir. Antibodi
maternal dapat tetap terdeteksi pada sirkulasi bayi hingga 15 sampai 18 bulan.
Sampai saat ini prediksi transmisi transplasenta pada kasus-kasus
individual belum memungkinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi.
Termasuk tingkat penyakit lanjut, perkembangan menjadi AIDS selama
kehamilan, infeksi aktif, hasil kultur positif, dan penurunan jumlah CD4+.
Faktor-faktor lain yang penting meningkatkan risiko transmisi maternal ke fetus
termasuk jumlah virus yang tinggi, virus yang bereplikasi dengan cepat dan
kondisi yang dapat mengganggu integritas plasenta seperti penyakit menular
seksual yang lain dan korioamnionitis. Walau banyak faktor terus dipelajari
sebagai penentu penting pada transmisi vertikal HIV prediktor terbaik untuk
risiko transmisi perinatal diantara wanita hamil dan keturunannya yang diobati
dengan ZDV adalah jumlah virus.
2. Transmisi selama persalinan
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode
intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu
yang terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi
darah ibu-anak muncul selama kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus
mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi
negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3 bulan. Ditunjukkan
bahwa anak yang lahir pertama dari kembar dua berada pada risiko lebih tinggi
mengalami infeksi dibanding yang lahir kedua, mungkin karena lebih lamanya
paparan terhadap sekresi mukosa servikovaginal. Peningkatan risiko transmisi
telah digambarkan selama persalinan yang memanjang, pecah ketuban yang
lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang mengandung darah.
3. Transmisi setelah melahirakan (Air Susu Ibu)
HIV ditemukan pada air susu ibu dan menyusui telah dilaporkan sebagai
jalan infeksi pada perinatal lanjut. Infeksi HIV dari ibu ke bayi juga dapat
10
timbul melalui minum air susu ibu yang terkontaminasi. Transmisi HIV selama
menyususi dapat sebanyak sepertiga sampai duapertiga dari semua transmisi
HIV dan tambahan risiko dari menyusui untuk transmisi HIV telah ditentukan
bervariasi antara 14-26%.
Banyak faktor mungkin mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui.
Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat memungkinkan
penetrasi mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat muncul pada
bayi yang memulai susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan dini
pada makanan lain dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.
D. PENCEGAHAN TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK
Infeksi HIV dengan perkembangan lanjutnya AIDS adalah salah satu
masalah penting dari perhatian kesehatan masyarakat abad 20. Tanpa
pengetahuan pengobatan terhadap penyakit yang mematikan ini, bayi yang
terpapar akan mengalami hidup yang singkat dan sulit. Untuk alasan ini
penatalaksanaan yang agresif telah dilakukan dengan maksud untuk
mengurangi kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke anak.
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,
dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif;
Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
Prong 3: Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke
bayi yang dikandungnya;
Prong 4: Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan
Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong.
11
Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh
pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga
swadaya masyarakat.
Pencegahan transmisi vertikal infeksi HIV dilakukan Melalui manajemen
sebagai berikut :
a. Manajemen antepartum
VCT (voluntary conseling and testing)
Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang
pelayanan kesehatan. Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela untuk
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi mengikuti Pedoman Nasional
Konseling dan Tes HIV Sukarela.
Tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di
seluruh rumah sakit rujukan Odha yang telah ditetapkan pemerintah. Ibu hamil
menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri
keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak.
Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu
hamil digunakan beberapa kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual,
berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba, dll.
Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan
perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi.
Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan
tes HIV sukarela dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan
keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas yang mampu memberikan
konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana
yang memberikan layanan konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes
(post-test counseling) bagi perempuan HIV negatif memberikan bimbingan
untuk tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui, dan seterusnya.
12
Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek
kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah
tes HIV. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi,
pemerintah memberikan bantuan biaya konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di
tiap jenjang layanan kesehatan.
Evaluasi antepartum pada pasien HIV positif harus meliputi pengamatan
klinis dan laboratorium untuk disfungsi imun, perkembangan penyakit dan
infeksi oportunistik. Studi fungsi imun harus meliputi penghitungan lengkap sel
darah, jumlah total sel T, sel CD4+(CD8+) tiap trimester.
Pengamatan secara klinis dan laboratorium ini dapat dilakukan melalui
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. Pelaksanaan Antenatal
care yang berkesinambungan dan terjadwal.
ANTENATAL CARE (ANC), meliputi :
a) Kunjungan pertama: Anamnesis lengkap, pemeriksaan, suplemen folat,
deworming dan VCCT
b) Kunjungan kedua : monitoring kemajuan kehamilan, konseling
mengenai PPIA dan pilihan menyusui, dosis pertama TPI, tetanus toxoid,
suplemen besi/folic .
c) Kunjungan ketiga : monitoring kemajuan kehamilan, tekanan darah,
Hb dan analisa urine, dosis kedua TPI, tetanus toxoid, supplemen
besi/folic. Dukungan konseling
d) Kunjungan keempat : sama seperti diatas. Pendaftaran program PPIA ,
Beri obat antiretroviral
INTERVENSI FARMASI :
Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan mendorong suatu
evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Replikasi HIV sangat cepat dan
terus-menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap
hari. Namun karena waktu paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka
sebagian besar virus akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat
kerusakan system
13
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna
untuk memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang diberikan faktor
yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat program
ataupun tingkat individual:
Efikasi obat
Profil efek samping obat
Persyaratan pemantauan laboratorium
Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa
depan
Antisipasi kepatuhan oleh pasien
Kondisi penyakit penyerta
Kehamilan dan risikonya
Penggunaan obat lain secara bersamaan
Infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi
terhadap satu atau lebih ART.
Ketersediaan dan harga ART.
Menurut WHO waktu diberikannya ART dibagi dalam dua kategori,
apakah ada perhitungan CD4. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai
pengganti hitung CD4, meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada
pasien asimptomatis.
• Ada perhitungan CD4
Stadium IV menurut kriteria WHO (AIDS) tanpa memandang
hitung CD4
Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 < 350 sel/ mm3
Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm3
• Tidak ada perhitungan CD4
Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC
Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC
Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm3
Pemberian ART tergantung tingkat progresivitas masing-masing
14
penderita. Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai
tidak terdeteksi oleh PCR. Pada kondisi ini penekanan virus berlangsung efektif
mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat
progersifitas penyakit. Karena itu terapi kombinasi ART harus menggunakan
dosis dan jadwal yang tepat.
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap
HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan
ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari
orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih
efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara
umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART).
Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT,
ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial
untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat obatan
NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan
rumah dan dilepaskan.
Seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya
selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran
dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan
tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan
tersebut adalah:
15
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas
38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT)
dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar
47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet
kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus
diberikan satu dosis dalam 3 hari
IRIS (immune reconstitution inflammatory)
Sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstitution inflammatory
syndrome/IRIS) adalah komplikasi yang disebabkan oleh reaktivasi sistem
kekebalan yang muncul setelah mulai terapi antiretroviral (ART). Biasanya,
IRIS ditunjukkan sebagai gejolak gejala saat sistem kekebalan yang mulai
pulih mulai menanggapi infeksi yang ada saat itu, misalnya tuberkulosis
(TB) atau sitomegalovirus (CMV).
16
Antepartum Intrapartum Post partum
Untuk Ibu
neonatal
AZT 300mgs p.o
B.D setelah
kehamilan 35
mgg
AZT 300mgs
p.o tiap 3 jam
sampai
melahirkan
AZT 300mgs p.o
B.D selama 7
hari
4mgs/kg p.o
B.D selama 7
hari
Tidak ada NVP 200 mgs
p.o saat mulai
persalinan
Tidak ada 2mgs/kg p.o 48-
72 jam
IRIS muncul pada 10-40% pasien HIV (diperkirakan terutama
berdasarkan penelitian secara retrospektif) dan lebih umum pada pasien
dengan jumlah CD4 rendah sebelum mulai ART.
IRIS mungkin menyokong peningkatan risiko kematian pada pasien
yang masih bertahan hidup dengan penyakit HIV berat setelah mulai ART,
dan karena kekhawatiran terhadap IRIS, beberapa dokter lebih memilih
menunda ART hingga setelah infeksi oportunistik (IO) diobati. Namun,
sedikit penelitian secara prospektif mengkaji faktor risiko timbulnya IRIS
dan mortalitas dalam keadaan itu.
Sebagaimana dilaporkan dalam Conference on Retroviruses and
Opportunistic Infections (CROI) ke-16 di Montreal, Kanada, Philip Grant
dari Universitas Stanford dan rekan bersama tim penelitian ACTG A5164
mengamati faktor risiko timbulnya IRIS dan kematian pada pasien dengan
IO akut yang menerima ART dini atau yang ditunda.
Sebagaimana dilaporkan dalam CROI 2008, dalam penelitian ACTG
A5164, sejumlah 282 pasien HIV dengan IO (kecuali TB) secara acak
ditunjuk untuk mulai ART pada saat masuk penelitian atau menundanya
hingga paling sedikit 28 hari sewaktu IO diobati.
Saat masuk penelitian, peserta memiliki penyakit HIV lanjut, dengan
median jumlah CD4 pada awal 29, viral load HIV 5,07 log, dan sebagian
besar belum memakai ART. Pneumonia Pneumocystis (PCP) adalah IO
yang paling umum (64%), diikuti oleh infeksi bakteri dan infeksi
kriptokokus (masing-masing15%).
Hasil
• Selama masa penelitian, 23 peserta (8,2%) meninggal.
• 20 peserta (7,6%) mengembangkan IRIS, setelah median 33 hari
memakai ART:
8 dari 135 pasien (5,9%) dalam kelompok ART dini;
12 of 127 pasien (44,4%) dalam kelompok ART yang ditunda.
17
• Pasien dengan infeksi jamur (selain PCP) dua kali lebih mungkin
mengembangkan IRIS, dan itu adalah satu-satunya faktor risiko yang
bermakna (rasio hazard [HR] 2,6; p = 0,03).
• Tidak ada perbedaan kejadian IRIS antara pasien yang menerima dan
yang tidak menerima kortikosteroid selama peristiwa IO.
• Namun, tidak ada peserta yang mengembangkan IRIS waktu
memakai kortikosteroid.
• Viral load menurun dan peningkatan persentase CD4 pada empat
minggu berhubungan dengan IRIS, tetapi perubahan jumlah CD4
mutlak tidak.
• Dalam analisis univariat, faktor pada awal yang terkait dengan
peningkatan mortalitas secara bermakna adalah:
Infeksi mikobakteri (HR 5,9; p <0,01);
Jumlah IO (HR 2,2 per tambahan IO; p <0,01);
Rawat inap (HR 3,7; p = 0,002);
Albumin dalam darah rendah (HR 3,6; p = 0,02);
Hemoglobin rendah (HR 2,8; p = 0,02);
Jumlah CD4 rendah (HR 1,3 per 10 penurunan sel CD4; p =
0,02).
• Sebaliknya, memiliki PCP pada awal terkait dengan risiko kematian
yang lebih rendah (HR 0,4; p = 0,04).
Dalam analisis multivariat yang mengendalikan faktor pembaur, infeksi
mikobakteri (HR 4,6; p < 0,002), rawat inap (HR 3,2; P = 0,007), dan
jumlah CD4 rendah (HR 1,2 per 10 penurunan sel CD4; p = 0,04) tetap
merupakan prediktor mortalitas yang independen.
Faktor risiko untuk IRIS setelah mulai ART
“Pada pasien dengan IO akut, sulit memprediksi siapa yang akan
mengembangkan IRIS dari ciri-ciri awal,” para peneliti berpendapat,
walaupun pasien dengan penyakit jamur selain PCP mungkin lebih berisiko.
Para peneliti menyatakan, “Perubahan viral load dan perubahan persentase
CD4 pada empat minggu merupakan prediktor IRIS yang lebih jelas
18
dibandingkan perubahan jumlah CD4, tetapi jumlah CD4 pada awal selama
IO akut tidak boleh diabaikan, karena jumlah itu memprediksi ketahanan
hidup, dengan jumlah yang lebih rendah terkait dengan peningkatan risiko
kematian.”
“Kortikosteroid, sebagaimana dipakai dalam penelitian, tampak tidak
mencegah IRIS tetapi dapat menunda kehadirannya,” para peneliti mencatat.
Faktor risiko terhadap peningkatan mortalitas di masa sebelum ada ART –
termasuk tingkat albumin rendah, hemoglobin rendah, dan jumlah CD4
rendah – “tetap penting pada pasien dengan IO waktu mulai ART,” para
peneliti menyimpulkan. “Infeksi mikobakteri terkait dengan mortalitas tinggi
walau memakai ART.”
Namun, ART dini tidak mengakibatkan peningkatan IRIS pada
pasien dengan IO non-TB, mereka melanjutkan, dan “kekhawatiran terhadap
IRIS jangan dijadikan alasan untuk menunda ART.”
b. Manajemen intrapartum
Hampir semua AIDS pediatrik dihasilkan dari transmisi intrapartum. HIV
telah ditemukan pada sekret serviks dan vagina pada jalan persalinan.
Meminimalkan kontak langsung fetal-maternal dengan menunda pecah selaput
ketuban, dan tindakan invasif dapat mengurangi setidaknya secara teori risiko
infeksi intrapartum.
Salah satu strategi adalah pembersihan jalan lahir dengan agen pembunuh
virus. Pendekatan ini menarik karena lebih murah, risiko rendah, dan mudah
dilakukan. Chlorhexidine telah terbukti digunakan melawan penyakit infeksius
lainnya seperti grup β streptokokus dan secara in vitro mempunyai aktifitas
melawan HIV.
Intervensi obstetrik
Seksio Sesaria.
Langkah pertama kearah perkembangan intervensi obstetrik untuk
pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak adalah demonstrasi bahwa transmisi
muncul selama periode intrapartum. HIV perinatal muncul selama atau dekat
19
pada periode intrapartum. Beberapa analisa menunjukkan peningkatan yang
kuat pada kejadian transmisi setelah ketuban pecah lebih dari empat jam.
Persalinan operatif telah diyakini sebagai strategi yang potensial untuk
pencegahan transmisi intrapartum.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa wanita yang secara optimal
diobati dengan antiretrovirus, seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting
dalam mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak, juga
mengindikasikan bahwa dibandingkan cara persalinan lainnya seksio sesaria
yang dilakukan sebelum persalinan dan sebelum pecah ketuban (seksio sesaria
elektif) secara bermakna mengurangi kejadian transmisi HIV perinatal. Wanita
terinfeksi HIV harus disarankan seksio sesaria terjadwal untuk mengurangi
kejadian transmisi jauh dari yang dapat dicapai hanya dengan terapi ZDV saja.
20
c. Manajemen postpartum
Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui.
Virus HIV bisa menyusup lewat ASI kemudian menulari si bayi.
Kemungkinannya cukup besar, sekitar 35 persen. Imaturitas traktus
gastrointestinal bayi baru lahir dapat memungkinkan penetrasi mukosa
intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat muncul pada bayi yang memulai
susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan dini pada makanan lain
dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.
Tapi kini ibu dengan HIV/AIDS boleh memberikan ASI ke bayinya. Para
ibu tak perlu takut bayinya tertular HIV/AIDS lagi. Bulan November 2009 lalu,
badan kesehatan dunia WHO pun merekomendasikan bahwa ibu pengidap
HIV/AIDS bisa memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh
WHO menunjukkan jika perbandingan antara risiko si bayi terkena HIV dan
meninggal karena tidak diberi ASI ternyata sama besar. Sebab, bayi akan rentan
terkena berbagai penyakit infeksi yang membahayakan nyawa jika tidak diberi
ASI. Yang perlu diingat, pemberian ASI bisa dilakukan asal si ibu sudah
mendapat terapi antiretroviral (ARV) selama kehamilan. Kalau perlu, si bayi
juga mesti mendapat terapi ARV begitu dilahirkan untuk memperkecil
kemungkinan tertular virus dari ASI. Bayi pun tidak boleh mendapat makanan
tambahan selama masa menyusui. Sebab makanan tambahan bisa membuat
usus bayi terluka. Apabila sampai usus terluka, maka risiko bayi tertular HIV
sangat besar. Jika si ibu mau memberi makanan tambahan, maka pemberian
ASI harus dihentikan.
Pemberian Nutrisi dan Asi pada bayi dengan ibu +HIV
Seringkali dengan alasan ibu sakit penyusuan dihentikan, padahal dalam
banyak hal ini tidak perlu. Karena lebih berbahaya bagi bayi bila mulai diberi
susu formula daripada terus menyusu dari ibu yang sakit. Keadaan ini dapat
dibenarkan untuk menghentikan penyusun adalah bila skit ibu sangat berat
misalnya kegagalan jantung atau ginjal atau menderita kanker. Pada ibu dengan
gangguan jiwa pun masih dianjurkan untuk menyusui asalkan ada orang yang
21
mengawasinya pada saat-saat tersebut. Ibu dengan penyakit infeksi akut lebih
sering menularkan melalui tangan atau percikan ludah daripada melalui ASI. Di
samping itu do dalam ASI akan terdapat zat anti terhadap penyakit yang
diderita ibu sehingga bila bayi menyusu akan mendapat zat penangkal penyakit
tersebut. Bila ibu terpaksa harus dirawat, jika terdapat fasilitas, bayinya
dianjurkan ikut dirawat bersama ibunya agar aktivitas menyusui tidak terhenti.
Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS sebanyak kurang lebih 20% sudah
terinfeksi HIV secara transmisi vertikal. Namun apabila pengobatan dengan
obat antiretroviral diberikan beberapa lama sebelum persalinan dan diikuti
dengan pencegahan cara lain seperti persalinan melalui bedah kaisar dan
pencucian jalan lahir transmisi vertikal ini dapat diturunkan sampai menjadi
2%. Apabila ibu menyusui akan bertambah penularan melalui ASI sebanyak
kurang lebih 11-15%, sehingga di negara maju terdapat angka kematian dan
kesakitan bayi yang tidak mendapat ASI sudah rendah, ibu dianjurkan untuk
tidak menyusui bayinya.
Namun di negara berkembang masih banyak terdapat ibu yang tidak
memberikan ASI akan mempunyai morbiditas dan mortalitas yang masih
tinggi, maka ibu dianjurkan tetap memberi ASI. Apabila sudah diketahui sejak
lahir bahwa bayi telah tertular (dengan pemeriksaan PCR) maka dianjurkan
agar ibu tetap memberi ASI, karena ASI akan melindungi bayi dari infeksi lain
yang menyertai AIDS atau statusnya tidak diketahui maka ibu tetap dianjurkan
untuk memberikan ASI. Bila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS ada beberapa
alternatif yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat
penjelasan perlu didukung.
Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan
memberikan makanan alternatif yang benar dan di negara berkembang
sewajarnya makanan alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk 6
bulan.
Bila ibu memilih memberikan ASI maka dianjurkan untuk memberikan
ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI
dan bayi diberi makanan alternatif. Perlu diusahakan agar putting susu
22
jangan sampai terluka karena virus HIV dapat masuk melalui luka. Di
samping itu jangan diberikan ASI bersama susu formula karena susu
formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan
virus dalam ASI lebih mudah masuk.
Maka WHO menganjurkan pada setiap wilayah/negara untuk memilih
sendiri apakah akan melarang atau menganjurkan ibu dengan HIV + menyusui
bayinya.
23
BAB III
KESIMPULAN
1. Tujuan penanganan HIV dalam kehamilan adalah untuk memaksimalkan kesehatan
maternal dan meminimalkan transmisi perinatal telah dipusatkan kepada penekanan
level RNA HIV virus sampai level yang tak terdeteksi.
2. Penggunaan obat antivirus seperti highly active antiretroviral therapy (HAART)
dan persalinan berencana dengan seksio sesaria telah menurunkan angka transmisi
perinatal mother to child transmission (MTCT) penyakit ini dari 30% menjadi 20%.
Manejemen antenatal, persalinan, dan perawatan pascasalin yang terkontrol dengan
baik pada ibu hamil dengan HIV dapat mencegah transmisi perinatal.
24
DAFTAR PUSTAKA
ALARM International, 2008. Routine Infection Prevention.
CDC, 2007. Mother-to-Child (Perinatal) HIV Transmission and Prevention. In English.
Family Health International, 2009. APA ITU HIV/AIDS. East Timor.
GEMARI, 2010. HIV/AIDS Mengancam Anak Bangsa. Edisi 119/Tahun XI/Desember 2010
Indarso, Fatimah, 2006. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir dari Ibu yang Bermasalah. FK UNAIR. Surabaya.
Pitkin, Joan dkk. 2003. Obstetrics and Gynaecology.Ilustration Colour Text.CHURCHILL LIVINGSTONE.
25