53
Konvensi Rakyat Jeffrie Geovanie*| Jumat, 29 November 2013 Konvensi harus bisa melahirkan calon yang benar-benar punya popularitas Siapa tak kenal Salahuddin Wahid? Saya kira hampir semua orang Indonesia dewasa –terutama yang sudah mengikuti Pemilu 2004-- mengenal adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini. Pada Pemilu 2004, tokoh yang populer disapa Gus Solah ini calon wakil presiden yang diusung Partai Golkar berpasangan dengan calon presiden Wiranto yang memenangi Konvensi Capres Partai Golkar. Ada apa dengan Gus Solah? Mungkin publik belum banyak tahu, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, ini – bersama tokoh-tokoh lain—tengah mempersiapkan penyelenggaraan Konvensi Rakyat untuk menjaring calon-calon pemimpin berkarakter yang benar-benar mendapat dukungan rakyat. Alternatif Setelah publik kecewa terhadap Konvensi Partai Demokrat yang ternyata makin mendekati pemilihan umum (pemilu) makin pudar auranya, bahkan yang tertinggal hanya kesan-kesan yang negatif di mata publik, munculnya gagasan menggelar Konvensi Rakyat patut kita apresiasi. Perbedaan mendasar antara Konvensi Partai Demokrat dengan Konvensi Rakyat terletak pada penyelenggara dan output-nya. Jika yang pertama diselenggarakan oleh komite yang ditetapkan pemimpin Partai Demokrat, dan capres yang dihasilkan akan diajukan Partai Demokrat, maka yang kedua diselenggarakan oleh tokoh-tokoh independen dari kalangan civil society. Capres yang

podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

  • Upload
    ekho109

  • View
    219

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Konvensi Rakyat

Jeffrie Geovanie*| Jumat, 29 November 2013

Konvensi harus bisa melahirkan calon yang benar-benar punya popularitas

Siapa tak kenal Salahuddin Wahid? Saya kira hampir semua orang Indonesia dewasa –terutama yang sudah mengikuti Pemilu 2004-- mengenal adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini.   Pada Pemilu 2004, tokoh yang populer disapa Gus Solah ini calon wakil presiden yang diusung Partai Golkar berpasangan dengan calon presiden Wiranto yang memenangi Konvensi Capres Partai Golkar.

Ada apa dengan Gus Solah? Mungkin publik belum banyak tahu, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, ini –bersama tokoh-tokoh lain—tengah mempersiapkan penyelenggaraan Konvensi Rakyat untuk menjaring calon-calon pemimpin berkarakter yang benar-benar mendapat dukungan rakyat.

Alternatif

Setelah publik kecewa terhadap Konvensi Partai Demokrat yang ternyata makin mendekati pemilihan umum (pemilu) makin pudar auranya, bahkan yang tertinggal hanya kesan-kesan yang negatif di mata publik, munculnya gagasan menggelar Konvensi Rakyat patut kita apresiasi.

Perbedaan mendasar antara Konvensi Partai Demokrat dengan Konvensi Rakyat terletak pada penyelenggara dan output-nya. Jika yang pertama diselenggarakan oleh komite yang ditetapkan pemimpin Partai Demokrat, dan capres yang dihasilkan akan diajukan Partai Demokrat, maka yang kedua diselenggarakan oleh tokoh-tokoh independen dari kalangan civil society. Capres yang dihasilkan akan menjadi capres independen yang terbuka bagi semua partai untuk mencalonkannya.

Kita patut mengapresiasi gagasan Konvensi Rakyat minimal karena dua hal mendasar: pertama, setiap gagasan menjaring capres merupakan jalan alternatif bagi siapa pun yang punya kemampuan dan potensial menjadi pemimpin nasional yang selama ini jalannya sudah dibatasi oleh partai-partai.

Tokoh-tokoh yang sempat mau mengikuti Konvensi Partai Demokrat, namun batal karena alasan idealisme, bisa memanfaatkan Konvensi Rakyat sebagai ruang menjual gagasan dan kemampuan dirinya sebagai calon pemimpin.

Page 2: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Kedua, dengan adanya alternatif penjaringan capres, rakyat sebagai pemilih juga punya alternatif pilihan selain dari capres-capres yang selama ini sudah rajin mengampanyekan diri. Adanya alternatif pilihan ini penting terutama untuk mengurangi kemungkinan tingginya angka golongan putih sebagaimana yang tercermin dalam berbagai survei atau jajak pendapat.

Kendala

Tapi, selain dua hal (keunggulan) itu, harus diakui, Konvensi Rakyat masih punya dua kelemahan mendasar. Pertama, menyangkut kendala-kendala teknis dan nonteknis penyelenggaraan, dan kedua, soal kejelasan masa depan capres yang dihasilkan.

Pertama, soal kendala teknis. Untuk menggelar konvensi yang benar-benar representatif, dibutuhkan dana yang tidak sedikit karena sudah pasti akan melibatkan banyak kalangan dan butuh peliputan media yang luas.

Biaya-biaya ini tidak bisa dibebankan pada para kandidat. Jika terjadi demikian, akan menumbuhkan konflik kepentingan dan bisa melunturkan idealisme. Para kandidat hanya diperbolehkan mengeluarkan biaya untuk kepentingan sosialisasi dirinya.

Kendala nonteknis terkait dengan pamor konvensi yang sudah kian memudar di mata publik akibat preseden yang kurang baik dari dua konvensi yang sudah digelar (Konvensi Partai Golkar dan Konvensi Partai Demokrat). Kepercayaan publik pada penyelenggaraan konvensi sudah pada titik nadir dan untuk mengembalikan kepercayaan ini bukan perkara gampang.

Kedua, soal masa depan capres yang dihasilkan Konvensi Rakyat juga belum jelas mengingat hampir semua partai, terutama partai-partai besar yang diprediksi punya kans mengajukan capres, masing-masing sudah menetapkan capres dari kader partainya sendiri.

Padahal, setiap capres atau cawapres hanya bisa benar-benar maju dalam pemilu pada saat diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat sesuai undang-undang tentang pilpres.

Jalan Keluar

Bagaimana cara menanggulanginya? Untuk kendala pertama, menurut saya bisa ditanggulangi dengan memunculkan gagasan-gagasan dan konsep penyelenggaraan acara yang benar-benar berbeda dari konvensi yang sudah ada. Jika gagasannya menarik, publik pasti akan mendukungnya baik dengan bantuan finansial atau pun dengan cara lain untuk menyukseskan acara ini.

Jika gagasannya dan konsep acaranya benar-benar menarik, selain akan mendapat dukungan publik, media juga pasti akan dengan senang hati menyiarkannya, walau tanpa dipungut biaya. Kita sudah paham bagaimana kecenderungan media-media kita yang hanya mau

Page 3: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

memberitakan sesuatu yang benar-benar menarik di mata publik. Kalau tidak menarik, bahkan dibayar pun belum tentu mau memberitakan.

Untuk yang kedua, konvensi harus bisa melahirkan calon yang benar-benar punya popularitas dan dukungan luas di mata publik yang dibuktikan, antara lain dengan hasil survei yang tinggi. Kalau yang dihasilkan tidak punya dukungan, apalagi tidak populer, partai-partai tidak akan tertarik melamarnya.

Saya berharap penyelenggara Konvensi Rakyat sudah menyadari kedua kelemahan itu sehingga mereka sudah punya jurus-jurus akurat untuk mengatasinya. Jangan sampai publik dikecewakan untuk yang kesekian kalinya dengan penyelenggaraan konvensi.

*Penulis adalah Founder The Indonesian Institute.

Page 4: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

 Mengenang Pejuang Tanpa Dendam

Jeffrie Geovanie*| Jumat, 13 Desember 2013

Rekonsiliasi tak mungkin bisa dibangun tanpa didahului proses saling memaafkan.

Banyak pejuang terlahir tak lepas dari rasa dendam pada kejahatan yang telah diperbuat musuh-musuhnya. Tapi, dalam panggung sejarah ternyata ada juga pejuang yang tampil tanpa dendam. Nelson Mandela salah satunya.

Mantan Presiden Afrika Selatan dan peraih Nobel Perdamaian yang akrab disapa Madiba itu, memang inspirator utama perjuangan melawan kejahatan masa lalu tanpa rasa dendam. “If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner,” katanya suatu ketika.

Kamis, 5 Desember 2013, sang inspirator ini mengembuskan nafas terakhir di Johannesburg, setelah menjalani perawatan intensif selama kurang lebih setahun karena penyakit kronis infeksi paru-paru yang dideritanya.

Mandela meninggal dalam usia 95 tahun. “Bangsa kami kehilangan putra terbaiknya,” kata Jacob Zuma, Presiden Afrika Selatan.

Rasa kehilangan tak hanya dialami Zuma, semua warga dunia merasa kehilangan. Message of condolence yang disediakan laman www.nelsonmandela.org penuh dengan ungkapan beragam orang dari beragam negara, semuanya menyatakan kesedihan dan duka mendalam atas kepergian Mandela.

Mengenang Mandela adalah mengenang perjuangan penuh risiko. Pada 1944 Mandela bergabung dengan Partai Kongres Nasional Afrika (ANC). Di partai ini dan di kantor pengacara yang didirikannya bersama Oliver Tambo, tokoh yang lahir di Umtata, Afrika Selatan, 18 Juli 1918, ia sangat aktif memperjuangkan nasib warga mayoritas berkulit hitam yang mendapat perlakukan diskriminatif dari negara dan partai yang berkuasa saat itu, Partai Nasional Afrika Selatan yang hanya beranggotakan warga kulit putih.

Risiko apa saja yang dialami Mandela? Pada 1956, bersama 155 aktivis ia didakwa berkhianat pada negara. Dengan pembelaan yang terus-menerus dalam sidang pengadilan selama empat tahun, akhirnya dakwaan ini dicabut.

Bebas dari dakwaan tak membuatnya hidup tenteram. Ia terus diburu hingga harus berjuang lewat jalur bawah tanah, terutama setelah ANC dilarang pemerintah pada 1960. Yang

Page 5: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

mencabik rasa kemanusiaan Mandela, pada tahun ini pula, sekitar 70 warga kulit hitam yang tak berdosa dibantai polisi di Sharpeville.

Pembantaian Sharpeville membuat Mandela kehilangan kesabaran. Sebagai wakil presiden ANC, ia menggalang kampanye sabotase ekonomi yang membuatnya ditangkap dengan tuduhan sangat serius, menggulingkan pemerintah dengan kekerasan.

Tahun 1964 Mandela dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke Pulau Robben—semacam Nusa Kambangan di Indonesia, atau Alcatraz di Amerika Serikat sebelum menjadi pulau wisata pada 1971.

Di Pulau Robben inilah, selain diawasi dengan tingkat maksimum, para tahanan termasuk Mandela, kerap disiksa tanpa mengenal perikemanusiaan. Setelah 18 tahun mernghuni Pulau Robben, pada 1982 Mandela dipindahkan ke Penjara Pollsmoor.

Mandela tidak berjuang sendirian. Sahabatnya, Oliver Tambo, gigih mengampanyekan antidiskriminasi dan mendesak dunia internasional untuk ikut mengupayakan pembebasan Mandela. Akibat tekanan dunia yang terus-menerus, akhirnya pada 1990, FW de Klerk (Presiden Afrika Selatan waktu itu) mencabut larangan terhadap ANC dan mengeluarkan Mandela dari penjara.

Membentuk KKR

Yang menarik, bebas dari penjara yang penuh siksaan dan hampir membuatnya kehilangan kesadaran, tak membuat Mandela dendam pada pemerintah. Setelah memimpin ANC yang kemudian mengantarkannya ke kursi kepresidenan pada 1994, ia tak mau menggunakan kekuasaan untuk menistakan lawan-lawan politiknya.

Alih-alih balas dendam, Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kepemimpinannya diserahkan pada tokoh agama karismatik yang ikut berjuang menentang diskriminasi ras, Uskup Desmond Tutu.

Sesuai namanya, KKR berupaya melakukan rekonsiliasi nasional tanpa melupakan kejahatan-kejahatan yang diperbuat rezim sebelumnya. KKR mengidentifikasi semua kejahatan dan diklasifikasi dalam tingkatan ringan, sedang, dan berat.

Kejahatan ringan langsung dimaafkan. Kejahatan sedang dan berat diadili secara terbuka dan divonis sesuai tingkat kesalahan masing-masing. Setelah divonis, dengan hak prerogatif presiden, Mandela memberikan pengampunan (grasi).

Tak sedikit kalangan menganggap Mandela naif. Tapi, tokoh humoris yang gemar memakai batik ini beralasan, kejahatan memang harus diungkap agar publik tahu dan tidak mudah melupakannya, tapi bukan berarti tak bisa dimaafkan.

Page 6: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Mengapa dimaafkan? Karena rekonsiliasi tak mungkin bisa dibangun tanpa didahului proses saling memaafkan antarberbagai pihak yang sebelumnya saling bermusuhan. Selamat jalan Madiba. Selamat jalan pejuang tanpa dendam.

*Penulis adalah Founder The Indonesian Institute.

(Sinar Harapan)

Page 7: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Betulkah Rakyat Merindukan Soeharto?

Jeffrie Geovanie*| Jumat, 10 Januari 2014

Euforia politik itu sama sekali tak ada korelasinya dengan peningkatan kesejahteraan.

Publikasi itu tersebar tidak resmi sehingga benar-benar menumbuhkan kesan tanpa basa-basi. Ungkapan-ungkapannya tampak alami, tertulis dengan huruf-huruf yang kadang tak memedulikan keindahan.   Diungkapkan dalam bahasa Jawa khas, terbaca di bagian belakang bak mobil truk, di gerobak-gerobak sampah, di tembok-tembok kusam, dan tak lupa disertakan gambar Soeharto.

“Piye kabare? Isih penak jamanku tho...” Ungkapan inilah yang menggambarkan (seolah-olah) rakyat benar-benar merindukan Soeharto.   Sejumlah kalangan bahkan memperkuatnya dengan memaparkan hasil survei bahwa mayoritas rakyat merindukan pola kepemimpinan seperti Soeharto. Dalam survei, katanya, kerinduan itu riil, tidak mengada-ada. Intinya, menurut publik, situasi saat ini tidak lebih baik dari era Soeharto.

Terlepas setuju atau tidak, kondisi “rindu Soeharto” bisa jadi merupakan refleksi dari fakta-fakta yang selama ini kita lihat dan rasakan.   Pemerintah boleh saja mengklaim keberhasilan di berbagai bidang, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, tapi fakta yang kita lihat di lapangan sangat berbeda. Kemiskinan itu begitu terasa, keresahan masyarakat begitu nyata.

Pesatnya pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan pertumbuhan industri manufaktur dan geliat ekonomi sektor riil yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Kalau pun benar ada peningkatan indikator pertumbuhan ekonomi maka itu hanya dampak dari budaya konsumtif yang justru kurang baik bagi masyarakat dan ketahanan ekonomi mereka.

Mengapa industri manufaktur dan kegiatan-kegiatan ekonomi sektor riil tidak berjalan seimbang dengan pertumbuhan penduduk? Antara lain karena buruknya infrastruktur, birokrasi yang (masih) berbelit-belit, dan korupsi yang kian menjadi-jadi.

Semua itu menyebabkan biaya ekonomi tinggi yang membuat investor–baik dari dalam maupun luar negeri—enggan menanamkan modalnya di negeri ini. Kalau pun ada investor,

Page 8: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

mereka lebih tertarik masuk pada sektor jasa dan bisnis keuangan yang tidak banyak membutuhkan topangan infrastruktur dan tenaga kerja.

Karena investasi sektor jasa dan keuangan hanya mungkin terjadi di kota-kota besar, ketimpangan ekonomi pun semakin menjulang. Secara georafis, kegiatan ekonomi terkonsentrasi di Jawa dan sedikit di Sumatera, itu pun terbatas di kota-kota besar.

Selain sektor ekonomi, gejolak politik juga menjadi faktor yang berkontribusi besar bagi ketidaknyamanan masyarakat. Embusan kebebasan yang datang bersamaan dengan gerakan reformasi telah menciptakan euforia politik. Partai-partai lahir bagaikan cendawan di musim hujan.    Pada setiap kongres, muktamar, dan kegiatan-kegiatan partai pada umumnya nyaris selalu diwarnai kericuhan. Semuanya diliput media sehingga publik ikut menyaksikan kericuhan itu.

Tragisnya, euforia politik itu sama sekali tak ada korelasinya dengan peningkatan kesejahteraan. Alih-alih menyejahterakan, yang timbul hanya kegaduhan yang potensial menciptakan instabilitas.    Jika semua ini dibiarkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang menurut sejumlah polling sebagian besar kecewa dengan performa partai politik, akan semakin kecewa bahkan tumbuh rasa benci pada partai politik.

Jika rakyat benar-benar membenci partai politik, akan menjadi petaka bagi proses demokratisasi. Suasana seperti era Soeharto yang otoritarian bukan hanya dirindukan, tapi akan diwujudkan. Indonesia akan kembali pada era rezim tangan besi yang membungkam perbedaan dan aspirasi masyarakat dengan mengatasnamakan stabilitas nasional.

Bagaimana agar kerinduan terhadap masa lalu yang otoritarian itu bisa dikikis atau diminimalkan? Jawabannya, aspirasi dan kepentingan rakyat harus dikelola dengan benar.  Para pemimpin yang diberi mandat mengemban amanat rakyat harus dipilih dari orang-orang yang tepat.  

Di Indonesia saat ini, meminjam istilah Ralf Dahrendorf, berkembang “democracy without the democrats”, demokrasi tanpa kaum demokrat.  Demokrasi di Indonesia dijalankan sekelompok elite partai yang mungkin sangat paham dengan demokrasi, namun mereka tak menjalankan demokrasi yang sebenar-benarnya.   Sekadar contoh kecil, dalam proses pemilu, banyak kontestan (baik partai politik maupun calon yang diusungnya) yang meraih suara dengan praktik-praktik kotor seperti politik uang dan kecurangan dalam penghitungan suara.

Yakinlah bahwa mereka yang terpilih melalui pemilu yang tidak sehat akan menjadi penyelenggara negara yang tidak sehat pula, abai terhadap aspirasi rakyat, dan cenderung

Page 9: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan diri dan golongannya. Praktik politik seperti inilah yang membuat rakyat kian tidak percaya pada proses demokrasi.

Mengupayakan agar aspirasi dan kepentingan rakyat harus dikelola dengan benar secara praktis bisa dimulai dengan melakukan pendidikan politik pada segenap rakyat agar dalam pemilu mereka memilih orang-orang yang tepat; agar mereka tidak tergiur iming-iming janji dan pemberian uang yang mendatangkan kesenangan sesaat, tapi setelah itu menderita selama lima tahun.

Jika pemilu menghasilkan orang-orang yang tepat, saya yakin rakyat tidak akan berpaling lagi ke masa lalu, ke sistem politik otoritarian. Pemilu harus mampu membangun kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi berikut pilar-pilarnya seperti partai politik, lembaga legislatif, dan pers.

Jika pemilu sudah dijalankan dengan benar, tentu kita akan bisa melihat, apakah “Rindu daripada Soeharto” itu benar-benar faktual atau sekadar rekayasa.

*Penulis adalah Founder The Indonesian Institute.

(Sinar Harapan)

Page 10: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Imlek dan Keindonesiaan

Jeffrie Geovanie*| Kamis, 30 Januari 2014

Perayaan Imlek bukan hanya milik etnis Tionghoa, tapi menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, perayaan Imlek bisa dikatakan sebagai salah satu berkah dari gerakan reformasi, karena sebelum ada gerakan reformasi, perayaan Imlek tidak diperkenankan, hanya bisa dilakukan secara diam-diam, tertutup, dan terbatas di lingkungan masyarakat keturunan Tionghoa. Setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Suharto, barulah perayaan Imlek diperkenankan.

Keputusan Presiden (Kepres) No.6 Tahun 2000 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa untuk kembali menjalankan acara-acara keagamaan dan adat-istiadat, termasuk merayakan Imlek.

Setelah sekian puluhan tahun mendapatkan diskriminasi, etnis Tionghoa dapat secara leluasa mengekspresikan budayanya dan bisa merayakan Imlek seperti umat Muslim merayakan Idul Fitri, Idul Adha, dan tahun baru Hijriyah; umat Kristen dan Katolik merayakan Natal dan Paskah, umat Hindu merayakan Nyepi, dan umat Budha merayakan Waisak.

Selanjutnya, melalui Kepres No.19 Tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan perayaan Tahuh Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak saat itu perayaan Imlek bukan hanya milik etnis Tionghoa, tapi telah menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia.

Apalagi, jika Imlek dipahami bukan sebagai ajaran agama, melainkan tradisi (kebudayaan) yang bisa dirayakan oleh semua pemeluk agama, maka jadilah Imlek sebagai perayaan yang bisa dilakukan siapa saja.

Secara politik, dua Presiden: Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri, telah meninggalkan legacy yang patut dicatat dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah perayaan Imlek di Indonesia. Jika tak ada keputusan dari kedua presiden ini, bisa jadi perayaan Imlek masih dilakukan secara diam-diam, sebagaimana sudah berlangsung puluhan tahun, terutama sejak Orde Baru berkuasa.

Semangat Perayaan Imlek

Page 11: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Sebagai bagian dari kebudayaan, Imlek merupakan tradisi yang berusia ribuan tahun. Bahkan bisa dirujuk hingga 2000 SM (pada masa Dinasti Xia), ketika petani-petani di China melakukan upacara, bersuka cita menyambut datangnya musim semi.

Para petani menandai awal satu siklus, bahwa musim dingin segera berlalu dan datanglah masa menanam bagi mereka. Namun, penanggalan dari Dinasti Xia ini baru diresmikan pada masa Dinasti Han (220-206 SM) dengan kelahiran Khonghucu (551 SM) sebagai tahun pertama.

Setiap Imlek tiba, ada suasana kemeriahan dan kebersamaan. Meriah dengan berbagai ornamen yang tampak mencolok mata mulai dari lampion, gambar para dewa, hio dan dupa, patung naga, barongsai, dan ucapan Gong Xi Fat Chai yang bertebaran.

Mirip seperti saat Idul Fitri tiba yang diwarnai mudik (pulang ke rumah, ke pangkuan orang tua), pada Imlek ada tradisi berkumpul bersama keluarga, anak-anak sungkem kepada orang tua, yang lebih tua berbagi hadiah pada yang lebih muda, yang terpisah karena kesibukan menjadi berkumpul dalam suka cita.

Dengan demikian, kemeriahan dan kebersamaan menjadi ciri khas dari perayaan Imlek. Ada nilai-nilai kasih sayang, rela berbagi, sikap saling memaafkan dan penghormatan yang tinggi kepada orang tua. Sebagaimana Idul Fitri, pada perayaan Imlek pun terkandung semangat baru bagi seseorang.

Setelah masa pelapukan di musim gugur dan nyaris mati di musim dingin, Imlek menjadi titik balik yang menandai datangnya musim semi dengan penuh suka cita, yang disambut dengan kesenangan dan aneka hidangan untuk dinikmati bersama-sama.

Dalam setiap perayaan Imlek, kita sudah terbiasa mengirim (juga menerima) ucapan: Gong Xi Fat Chai yang artinya “semoga Anda kaya” atau "semoga kemakmuran menyertai Anda". Meskipun terkesan vulgar, doa ini sungguh baik. Sangat cocok bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang masih jauh dari kesejahteraan.

Perayaan Imlek bukan sekadar rutinitas pergantian tahun. Diharapkan perubahan-perubahan positif menyertai perayaan ini. Paling tidak, seperti harapan dalam menyambut tahun baru Masehi, Hijriyah, dan tahun baru Saka, maka merayakan tahun baru Imlek hendaknya jangan dianggap hanya sekadar menjalankan suatu tradisi belaka, melainkan  harus dijadikan sebagai momentum yang baik untuk  melakukan instrospeksi dan mawas diri.

Setiap tahun baru, sudah semestinya kita berani membuka catatan hidup, apa yang telah kita lakukan pada tahun yang lalu dan apa yang akan kita lakukan pada masa yang akan datang. Hal ini haruslah benar-benar kita hayati dan camkan, dengan demikian kehidupan kita pun senantiasa mengalami perkembangan: menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Mengapa perayaan Imlek atau Chinese New Year disebut juga sebagai perayaan menyambut musim semi? Karena petani-petani bersuka cita menyongsong musim penuh harapan.

Page 12: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Di hadapan mereka, musim dingin akan segera berlalu dan tibalah saat para petani untuk menanam lagi. Kebahagian petani yang tercatat sejak lebih dari 2000 tahun SM itu menjadi spirit luar biasa khususnya bagi bangsa Tionghoa, selain Jepang dan Korea.

Karena dikaitkan dengan saat musim semi tiba maka merayakan Imlek selalu identik dengan menyambut hari baru yang lebih cerah. Berbagai lambang dihadirkan sebagai upaya menangkal ketidakberuntungan dan atau mendatangkan kemakmuran.

Semua ornamen dan tradisi khas yang unik dan menarik bukan hanya sekadar tradisi turun-temurun, namun berbagai ciri khas Imlek tentu memiliki filosofi tersendiri. Misalnya, saat Imlek orang Tionghoa akan mengenakan pakaian baru berwarna merah atau terang. Ini melambangkan kebahagiaan, masa depan agar tetap terang dengan limpahan rezeki dan kemakmuran.

Perayaan Imlek juga diwarnai dengan tradisi tukar hadiah (misalnya buah jeruk) dan pemberian angpao serta reuni keluarga di rumah orang tua atau yang tertua, tentu dengan aneka kuliner yang khas pula.

Di sini Imlek menekankan pentingnya berbagi sukses, kebersamaan dan penghormatan kepada orang tua. Orang Tionghoa percaya bahwa orang tua adalah dasar dari semua keberuntungan dan keberhasilan masa depan.

Selama berabad-abad, perayaan Imlek menyediakan makna spiritual yang amat kaya, bahkan mampu berperan dalam menyatukan etnis Tionghoa dalam semangat hidup yang sama. Lebih-lebih Imlek bukan perayaan keagamaan tertentu, sehingga siapa pun dapat merayakan dan merasakan spiritnya.

Semangat Imlek dapat menjiwainya kita dalam kehidupan berbangsa. Bila ditarik lebih jauh, warna-warna cerah dalam setiap ornamen Imlek itu mengajarkan optimisme. Imlek juga mengajarkan agar kita bisa hadir dengan sikap hidup baru. Pesan moral dalam setiap Imlek selalu mengerucut pada tema: pentingnya kasih sayang, kedermawanan dan semangat untuk membahagiakan sesama.

Di tengah keluarga, puncak perayaan Imlek diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik, dan sebagainya. Sebagai bangsa, kita harusnya lebih mudah untuk merayakan bersama capaian-capaian dan kesulitan yang dialami setiap program pembangunan.

Sayangnya perayaan Imlek di Indonesia, secara umum masih jauh dari perayaan yang benar-benar dapat membahagiakan orang-orang kecil secara layak. Penyebabnya karena sebagian besar rakyat Indonesia masih jauh dari situasi dapat menikmati kesejahteraan, juga kebersamaan. Kita masih punya pekerjaan rumah untuk menghidupkan semangat solider kepada sesama, dan semangat berbagi terutama kepada yang lemah, miskin, dan papa.

Page 13: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Dengan warna dasar merah, Imlek akan selalu datang mengalirkan kebahagiaan dan semangat hidup. Dulu, para petani bersuka ria menyambut musim semi. Mereka bahagia menerima kemurahan alam. Kini, Imlek merupakan momentum kita untuk belajar bermurah hati kepada sesama. Ucapan Selamat Imlek atau “Gong Xi Fat Chai” mengandung makna harapan tumbuhnya kemakmuran.

Bagian dari Keindonesiaan

“Ekonomi Indonesia dikuasai asing dan aseng”. Ungkapan ini kerap kita dengar, terutama dalam perbincangan-perbincangan tak resmi. Secara konotatif, maksudnya menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia yang cenderung negatif. Selain bermakna ketidakmerdekaan (dikuasai asing), juga mengandung segregasi, bahwa aseng masih dimaknai, atau setidaknya dipersepsi, bukan bagian dari Indonesia.

Menurut Will Kymlica, profesor filsafat pada Queen University, Kanada, masyarakat modern sering dihadapkan pada kelompok minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka, dan diterimanya perbedaan budaya mereka.

Dalam konteks Indonesia, pengalaman demikian dialami oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Banyak di antara mereka yang harus berjuang keras menuntut pengakuan identitas, bahkan ada di antaranya yang harus (terpaksa) mengubah nama seperti Nio Hap Liang menjadi Rudi Hartono (salah satu tokoh legenda bulutangkis Indonesia), Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman (sosiolog), Zhong Wan Xie menjadi Basuki Tjahaja Purnama (Wakil Gubernur DKI Jakarta), dan lain-lain.

Harus diakui, posisi warga keturunan Tionghoa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kadangkala masih ada yang melihatnya sebelah mata. Dalam pergaulan sehari-hari masih sering terlontar rasa kekurangsukaan, atau bahkan sinisme yang dilontarkan sebagian orang terhadap mereka.

Tidak jarang mereka dipersepsi sebagai “makhluk ekonomi” yang semata-mata mengejar keuntungan dan cenderung tidak peduli pada lingkungan tempat tinggalnya. Apalagi, persepsi ini kemudian diperkuat dengan adanya klan-klan dan blok-blok yang secara khusus menjadi tempat tinggal mereka di tengah-tengah atau di sudut-sudut kota.

Jika di di kota-kota besar dunia ada “China Town”, maka di Jakarta kita mengenal “Pecinan” yang relatif tersebar dan menjadi pusat tempat tinggal dan tempat berbisnis mayoritas etnis keturunan Tionghoa seperti di Glodok, Pasar Baru, Asemka, dan lain-lain.

Di tempat-tempat inilah kita banyak menemukan komunitas yang dalam pergaulan sehari-harinya menggunakan bahasa China. Karena itulah, loyalitas mereka terhadap negara (rasa kebangsaan) terkadang diragukan, atau setidaknya menjadi bahan gunjingan. Padahal, pemusatan kelompok penduduk itu merupakan proses yang wajar, karena dilakukan secara turun temurun, dan bisa terjadi pada kelompok etnis apa pun, tidak hanya etnis keturunan Tionghoa.

Page 14: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Meskipun sebagian besar sudah tak punya lagi hubungan dengan “keluarga besar” mereka di negeri Tiongkok, mereka masih sering dianggap sebagai orang asing. Padahal kakek-nenek mereka pun sudah lahir dan besar di Indonesia. Berbeda misalnya dengan keturunan Arab, meskipun memiliki predikat yang sama sebagai keturunan asing, orang Arab relatif lebih dapat diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Apakah hal itu terjadi karena faktor agama? Karena keturunan Arab memeluk agama yang sama dengan mayoritas warga negara? Saya kira tidak. Karena kalau kita lacak sejarah masuknya Islam di Indonesia, masyarakat keturunan Tionghoa tak kalah besar peranannya dengan masyarakat keturunan Arab. Menurut ahli sejarah tentang China di Indonesia, Benny G. Setiono (2010), pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa.

Di antaranya yang bisa disebut adalah Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam.

Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar tokoh-tokoh ulama yang menyebarkan agama Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak adalah berasal dari etnis Tionghoa. Tokoh-tokoh ulama yang kemudian populer dengan sebutan “Wali Songo” itu antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dan lain-lain, semuanya diyakini berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri China, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Artinya selama berabad-abad, etnis keturunan Tionghoa sudah berperan menanamkan spirit kebangsaan dengan kapasitasnya masing-masing, dan di lingkungannya masing-masing.

Maka menjadi sangat mengherankan jika kemudian, etnis keturunan Tionghoa di Indonesia dipinggirkan secara politik, padahal sejatinya sejak berabad silam, jauh sebelum Indonesia merdeka, dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa yang berada, hadir, dan ikut membangun negeri ini, peranan mereka sangat besar, dan eksistensi etnis mereka tak bisa dipisahkan dari etnis-etnis lain dalam merajut sejarah keindonesiaan.

Dalam sejarah perjalanan keindonesiaan, perbedaan etnik menjadi mosaik yang menjadikan simfoni kebangsaan terasa lebih indah. Membeda-bedakan peran boleh saja dilakukan, tapi atas dasar minat, bakat, kecenderungan, dan keahlian, bukan atas dasar etnisitas.

Pembedaan status berdasarkan etnis bertentangan dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia (HAM), sama seperti pembedaan status atas dasar agama dan ras atau warna

Page 15: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

kulit. Semangat kebangsaan harus diarjut dengan semangat kebersamaan dan saling menghormati antar perbedaan etnis, agama, dan warna kulit.

Dalam konteks kebersamaan, perayaan Imlek bisa menjadi momentum untuk menjalin keharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa.

Dalam konteks keindonesiaan misalnya, etnis Tionghoa sudah tidak perlu lagi menutup-nutupi jati diri, dengan mengubah nama dan sebagainya. Untuk menjadi Indonesia tidak harus mengubah identitas, karena keberagaman pada dasarnya merupakan raison d’etre dari terbangunnya negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Setelah kebijakan segregasi dan eksklusi itu dihapus, etnis Tionghoa telah betul-betul menjadi warga negara Indonesia seutuhnya, yang memahami segenap problemnya sehingga berkesempatan luas untuk ikut mengatasinya.

Sebagai bangunan multikultural, Indonesia memang membutuhkan dukungan semua elemen yang ada di dalamnya. Setiap unsur etnis, budaya, maupun agama, harus tumbuh produktif secara bersama-sama sehingga menjadi kekuatan yang mampu mencegah dan mengatasi konflik sosial yang kerap muncul mengatasnamakan (egosentrisme) etnis dan agama.

Masing-masing entis memiliki hak untuk memperjuangkan identitas dan kepentingan politisnya. Tetapi semangat primodialisme ini tak boleh menjadi hambatan dalam menggerakkan kemajuan secara bersama-sama dalam perspektif kebangsaan.

Etnis Tionghoa misalnya, punya hak untuk mempertahaankan identitas, nama, bahasa, dan budayanya. Tapi pada saat yang sama juga punya kewajiban menjaga keutuhan Indonesia, dengan cara bekerja keras bersama-sama, bahu-membahu bersama etnis-etnis lainnya, memajukan dan menyejahterakan Indonesia.

Bangsa ini membutuhkan inklusivitas dan rasa kebersamaan dari masyarakat Tionghoa sebagaimana telah terjadi di masa lalu. Sejarah mengungkapkan tak sedikit dari tokoh Tionghoa yang punya andil besar mewarnai perjuangan kemerdekaan RI. Dalam proses perumusan UUD 1945 misalnya, setidaknya empat orang Tionghoa yang terlibat aktif, yakni Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, dan Oey Tjong Hauw.

Mereka tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sementara di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat satu orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Dan, Bung Karno pun sempat menempatkan Oei Tjoe Tat sebagai salah satu tangan kanannya.

Sayangnya, pengekangan berlebihan oleh rezim Orde Baru membuat etnis Tionghoa tidak punya andil dalam pengembangan karakter bangsa. Setelah pengekangan itu dihilangkan, sudah tinggi saatnya bagi etnis Tionghoa untuk kembali tampil bersama-sama komponen bangsa yang lain untuk membangun solidaritas dan soliditas yang lebih kokoh.

Page 16: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Imlek memang berasal dari China (Tiongkok). Namun, tradisi dan peradabannya dapat digali dan menjadi inspirasi bagi siapa pun, di mana pun. Dengan mengambil inspirasi dari Imlek, kita berharap Indonesia bisa tumbuh menjadi negara yang kuat yang mampu menyejahterakan seluruh komponen warganya tanpa diskriminasi.

*Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

(Sinar Harapan)

Page 17: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Teori Negara dan Langkah Rusdi Kirana

Jeffrie Geovanie*| Jumat, 24 Januari 2014

Bisa dibayangkan, bagaimana buruknya wajah negara jika partai politik diisi orang-orang buruk.

Bagaimana membangun negara yang baik, berbagai teori bisa dikemukakan sejak zaman klasik (Plato dan Aristoteles), zaman kepemimpinan gereja atau zaman kegelapan, sampai zaman pencerahan yang berpengaruh hingga sekarang.

Dalam buku Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, doktor sosiologi lulusan Universitas Harvard, AS, Arief Budiman berpendapat, pada dasarnya teori-teori negara bisa dipilah dalam dua kelompok besar; pertama, teori yang mengatakan negara merupakan lembaga mandiri yang punya kepentingan dan kemauan sendiri.

Kedua, teori yang mengatakan negara bukan lembaga mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan faktor eksternal atau faktor di luar dirinya. Negara hanya merupakan arena, tempat kekuatan-kekuatan sosial berusaha saling berkompetisi untuk menguasai. Negara semacam tabula rasa, sehelai kertas putih yang siap ditulisi orang lain.

Dengan merujuk pada kedua teori ini, secara faktual yang pertama merujuk pada negara-negara otoriter yang dipimpin atau diperintah penguasa-penguasa yang mengidentikkan diri sebagai negara dan bisa berbuat apa saja. Mereka bisa menguasai kekayaan alam atas nama negara, bahkan mereka juga bisa menindas rakyat atas nama negara.

Namun, yang kedua secara faktual dipraktikkan negara-negara demokratis yang menganggap negara sekadar alat meraih kesejahteraan rakyat.

Para pemimpin yang memerintah bisa bertindak atas nama negara, namun mereka tidak mengidentikkan diri sebagai negara, tetapi sebagai perwujudan dari kehendak rakyat. Ini karena dalam negara demokratis, pemimpin mendapat kekuasaan untuk memerintah lantaran adanya mandat yang diberikan rakyat melalui pemilihan umum (pemilu).

Dengan berpijak pada teori negara demokratis inilah, menurut saya, negara akan baik, mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya dengan baik, jika yang menguasai dan/atau yang menjadi pejabat negara adalah orang-orang baik.

Page 18: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Negara bisa baik karena dikuasai parlemen yang baik, yang mayoritas anggotanya terdiri dari orang-orang baik. Parlemen yang baik bisa terwujud bila partai-partai (yang berwenang menyalonkan anggota parlemen) dikuasai orang-orang baik.

Mengapreasi Rusdi Kirana

Dalam konteks teori negara demokratis inilah kita mengapresiasi langkah Rusdi Kirana, yang telah memasuki arena politik dengan bergabung dalam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Mengapa PKB, bukan partai lain? Tentu pemilik salah satu maskapai penerbangan terbesar di Asia (Lion Air) ini punya alasan. Menurutnya, di samping PKB berkomitmen jelas dalam menjaga semangat pluralisme, ia juga merasa berutang budi pada pendiri PKB, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dalam sejarah hidupnya sangat gigih memperjuangkan nasib kelompok minoritas.

Bergabung dalam PKB, bisa juga sebagai tanda terima kasih Rusdi Kirana kepada Gus Dur, yang saat menjadi presiden di antara legacy-nya yang tak mungkin bisa dilupakan adalah menghapus “politik segregasi” yang membeda-bedakan pribumi dan nonpribumi, serta pengakuan terhadap Konghucu sebagai agama resmi yang secara legal disejajarkan dengan agama-agama yang sudah diakui sebelumnya.

Sebagai orang yang memiliki basis sosial dari kalangan minoritas (non-Muslim dan China), saya kira wajar jika Rusdi Kirana merasa lebih nyaman masuk PKB ketimbang partai-partai lain. Meskipun demikian, bukan berarti menganggap partai-partai yang lain tidak baik.

Kita percaya akan banyak lagi orang-orang baik seperti Rusdi Kirana yang mau masuk dalam partai dan akan mewarnai politik Indonesia. Dengan komitmen kebangsaan yang dimiliki dan niatnya untuk memperbaiki karut marut perpolitikan nasional, akan menjadi modal sangat berharga untuk membangun negara yang baik.

Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, secara teoritis negara demokratis hanyalah alat untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Karena hanya alat, baik buruknya negara akan sangat tergantung, antara lain, pada orang-orang baik yang bergabung dalam partai politik.

Dalam negara demokratis, partai politik adalah hulu dari semua kebijakan yang menentukan hitam putihnya negara. Mengapa hulu? Karena partai politiklah yang berhak memilih penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum) sekaligus mengikuti pemilu yang memilih para pejabat negara.

Bahkan, calon-calon pejabat negara yang akan dipilih—baik yang akan duduk di kursi kekuasaan eksekutif (presiden dan wakil presiden) maupun legislatif (anggota parlemen) yang berwenang merumuskan dan menetapkan perundang-undangan—juga diajukan partai politik.

Page 19: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Lebih dari itu, partai politik (melalui anggotanya di parlemen) ikut menentukan jabatan-jabatan untuk kekuasaan yudikatif, seperti dalam memilih hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK), hakim agung Mahkamah Agung (MA), dan komisioner Komisi Yudisial (KY).

Melalui parlemen, anggota partai politik juga ikut menentukan Kepala Kepolisian (Kapolri), panglima TNI, dan para duta besar akan akan dikirim ke negara-negara sahabat.

Bisa dibayangkan, bagaimana buruknya wajah negara jika partai politik diisi orang-orang buruk. Karenanya sekali lagi, kita butuh lebih banyak orang-orang baik seperti Rusdi Kirana, untuk bergabung dan memimpin partai politik, menggantikan posisi orang-orang lama yang sudah terbukti gagal di arena politik.

*Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

(Sinar Harapan)

Page 20: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Menghambat Jokowi?

Jeffrie Geovanie*| Jumat, 07 Februari 2014

Terasa sangat aneh jika masalah banjir dan macet hanya ditimpakan pada (kesalahan) Jokowi.

Jalan menuju Istana benar-benar berliku, penuh ombak dan duri. Siapa pun yang ingin menuju ke sana akan menghadapi tantangan yang sangat berat, tak terkecuali Joko Widodo alias Jokowi, yang sejatinya belum pernah sekalipun secara terang-terangan menyatakan diri siap menjadi presiden.

Meskipun belum secara tegas menyatakan diri siap menjadi presiden, bahkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tempatnya bernaung juga belum mengambil keputusan mencalonkannya sebagai calon presiden (capres), toh nama Jokowi sudah telanjur melambung sebagai capres.

Dalam setiap survei yang dirilis belakangan ini, tak ada satu pun yang tidak menempatkannya di urutan teratas. Artinya, jika pemilihan presiden dilakukan saat ini, Gubernur DKI ini sudah hampir pasti terpilih menjadi presiden. Inilah yang membuat gentar para capres lain, berikut para pendukung dan tim suksesnya.

Namun sekali lagi, menjadi presiden bukan perkara gampang. Sebelum rakyat memilih, ada persyaratan-persyaratan administratif yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pilpres.

Selain secara teknis, UU-nya tengah menghadapi uji materi (judicial review) yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Secara nonteknis, Jokowi menghadapi tantangan berat, baik secara internal (dalam tubuh PDIP) maupun eksternal.

Dalam internal PDIP, Jokowi menghadapi keinginan para loyalis keluarga Bung Karno yang tidak mau melepas tiket capres, kecuali pada anaknya (Megawati Soekarnoputeri), kepada cucunya (Puan Maharani), atau kepada keturunan Bung Karno yang lain, bukan pada kader PDIP yang tak memiliki “darah biru” Bung Karno, seperti Jokowi.

Dalam sebuah talkshow politik yang digelar salah satu televisi swasta, Megawati mengingatkan Jokowi agar tidak berbangga dengan hasil survei. Megawati menegaskan, untuk menjadi presiden tak cukup hanya dengan popularitas. Dibutuhkan kemampuan yang mumpuni dan juga “garis tangan”. Pernyataan itu cukup menohok bagi Jokowi dan para pendukungnya.

Page 21: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Apalagi ketika ditanya apakah Megawati masih ingin maju sebagai capres, secara diplomatis Ketua Umum PDIP itu menjawab, ia ingin melihat rakyat Indonesia bisa hidup sejahtera. Artinya secara tersirat, Megawati masih ingin maju sebagai capres.

Saya kira di sinilah syarat terberat Jokowi, yakni restu Megawati. Sementara itu, mantan Wali Kota Solo ia sudah berketetapan hati tidak akan maju sebagai capres, kecuali atas seizin Megawati. Namun jika Megawati masih ingin maju, bagaimana mungkin Jokowi mendapatkan restunya.

Tantangan lain berasal dari luar PDIP yang terus-menerus berupaya menghambat Jokowi. Berbagai isu negatif dilontarkan, seperti adanya upaya pencitraan yang didanai para konglomerat sehingga menjadikan Jokowi sebagai capres boneka dan politisasi banjir sebagai cermin kegagalan Jokowi di Jakarta. Selain itu, masih banyak isu negatif lain yang sengaja dimunculkan untuk memperburuk citra Jokowi.

Bergeming

Uniknya, dalam menghadapi berbagai isu negatif itu, Jokowi cuek saja. Tak ada satu pun yang ia tanggapi. Pada saat didesak-desak wartawan pun, Jokowi bergeming dan memilih fokus menghadapi masalah-masalah Jakarta, terutama yang berkaitan dengan banjir dan kemacetan, dua isu yang terus-menerus diproduksi lawan-lawan politik untuk menjatuhkan namanya.

Namun, apakah nama Jokowi benar-benar jatuh? Nyatanya tidak. Di mata rakyat, popularitas Jokowi tetap menanjak. Rakyat tampaknya punya cara sendiri dalam menilai para calon pemimpin. Mereka tak bisa dibohongi dengan berita-berita sumir yang tak jelas sumbernya. Rakyat sudah cerdas memilih dan memilah berita mana yang akurat dan yang dibuat-buat.

Di mata rakyat, Jokowi tetap menjadi idola baru yang tak terkalahkan capres-capres lain. Apalagi, soal banjir dan kemacetan yang kerap dipolitisasi itu, nyatanya tak hanya dihadapi Jakarta. Para pemimpin daerah lain pun menghadapi masalah yang sama. Tentu terasa sangat aneh jika masalah banjir dan macet hanya ditimpakan pada (kesalahan) Jokowi.

Ada yang mengatakan, dukungan terhadap Jokowi hanya fenomena bubble alias gelembung udara yang mudah kempis diterpa angin. Ada juga yang mengibaratkan seperti buih di laut yang mudah lenyap bersamaan dengan datangnya gelombang. Popularitas Jokowi melambung karena ia menjadi media darling. Masih banyak lagi sebutan-sebutan lain yang intinya ingin menunjukkan Jokowi bukan pemimpin yang autentik.

Padahal, autentik atau tidaknya seorang pemimpin sejatinya bukan terletak pada penilaian-penilaian pengamat atau isu-isu negatif yang diembuskan lawan-lawan politik. Justru pada saat ia tetap bersahaja di tengah pujian dan tidak goyah diterpa berbagai cobaan, itulah watak pemimpin sejati yang autentik.

Page 22: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Kita lihat saja, apakah Jokowi benar-benar pemimpin autentik yang dihendaki rakyat? Waktu yang akan menjawabnya. Selain itu, tentu dibutuhkan kerelaan dan kebesaran hati Megawati untuk memberi restu pada Jokowi.

*Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

(Sinar Harapan)

Page 23: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Mengagumi Visi KH Ahmad Dahlan

Kristanto Hartadi| Selasa, 20 November 2012

Gerakan yang dibangunnya sangat jitu mengena kesadaran umat dan sangat relevan.

Saya tidak dapat menyimpan kekaguman saya terhadap organisasi Muhammadiyah yang tepat pada hari Minggu, 18 November 2012, merayakan hari jadi ke-100, atau satu abad eksistensinya di Nusantara.

Kekaguman itu mencakup banyak hal, seperti kemampuannya mempertahankan diri sebagai organisasi yang besar (dalam artian jumlah anggota yang mencapai puluhan juta umat sampai berbagai bentuk layanan yang disediakannya). Sehingga karenanya Muhammadiyah telah menjadi sebuah gerakan pembaruan (tajdid) atau modernisme/reformasi Islam yang bukan saja membantu kesejahteraan jutaan umat Islam di Indonesia, melainkan juga ikut menjaga eksistensi Republik Indonesia.

Maka, pada ujungnya saya juga memuji tokoh utama di balik berdirinya organisasi ini, yakni KH Ahmad Dahlan. Ia memiliki visi jauh ke depan untuk pembangunan umat melalui pembaruan amaliah (amal usaha dan amal perbuatan) dengan mendirikan lembaga pendidikan, kesehatan, bahkan gerakan pemberdayaan perempuan Assyafiyah, sesuatu yang sangat maju di zamannya.

Padahal, kalau dilihat sejarahnya, KH Ahmad Dahlan tidak lulus dari perguruan tinggi ternama. Dia hanya belajar agama Islam secara tradisional (bukan hasil pendidikan Barat), kemudian bermukim dua kali sambil beribadat di Mekah yang kala itu berada dalam puncak suasana paham Wahabiyah yang kuat, namun mampu memunculkan gagasan cemerlang melampaui batas pendidikan dan pengalaman hidupnya. Saya percaya Tuhan menganugerahinya dengan hikmat yang luar biasa.

Dia mengawali terobosannya dengan meluruskan arah kiblat, salat hari raya di tanah lapang, menyebarkan “virus” perubahan yang bersifat amaliah dll. Dia juga membidani lahirnya majalah Suara Muhammadiyah, tiga tahun setelah terbentuknya organisasi, 18 November 1912 di Yogyakarta (Dr Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, 2010).

Padahal, situasi pada masa itu sangatlah sulit karena masih berada dalam zaman penjajahan Belanda. Namun, gerakan yang dibangunnya sangat jitu mengena kesadaran umat dan sangat relevan. Tak heran, kekuatan visinya membuat para penerusnya mampu membawa organisasi bertahan melewati era penjajahan (kolonial Belanda dan pendudukan Jepang), era kemerdekaan, rezim Orde Lama, rezim Orde Baru, dan kini era reformasi dan globalisasi. Semuanya mempunyai konteks kesulitan dan tantangan zaman yang berbeda-beda.

Page 24: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Menjaga Keutuhan Bangsa

Maka, ketika satu abad telah dilalui, pertanyaannya bagaimana arah ke depan organisasi ini? Dalam pandangan saya, organisasi Muhammadiyah selama ini telah memainkan peran kebangsaannya dengan sangat baik, dia termasuk elemen kuat yang menjaga keutuhan bangsa ini.

Dan saya percaya semangat itu akan tetap dipelihara, karena hal itu juga tercermin dan disepakati pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Yogyakarta pada 2010 lalu, sebagai persiapan memasuki perjalanan di abad ke-2. Muktamar tersebut mengulas berbagai tantangan yang dihadapi organisasi menyangkut isu keumatan, kebangsaan,  maupun  kemanusiaan.

Misalnya, menyangkut isu keumatan terdapat persoalan mengenai kemajemukan agama yang ada di masyarakat dan kesetaraan gender. Dalam hal ini sikap Muhammadiyah adalah menerima pluralitas agama namun menolak pluralism yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme dan relativisme. Artinya umat diajak memahami kemajemukan agama maupun kebhinekaan yang ada di masyarakat dengan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi.

Mengenai kesetaraan gender Muhammadiyah tetap mendorong peningkatan kualitas, pemberdayaan, penguatan, penghargaan atas peran dan prestasi perempuan di berbagai sektor kehidupan sesuai ajaran Islam untuk menuju masyarakat dan umat yang lebih bermartabat.

Dalam muktamar itu pun juga diserukan adanya dialog dan kerja sama antara peradaban dan prinsip kesetaraan dalam tataran global untuk hubungan antar agama yang lebih baik.

Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, ketika memberikan sambutan dalam suasana hujan lebat di Stadion Utama Gelora Bung Karno ada dua strategi yang disiapkan, yakni mekanisme pertahanan diri untuk jangka pendek, dan strategi kebudayaan untuk jangka panjang. Akan diambil langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas pada lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, karena dari sisi kuantitas dirasa sudah memadai.

Menurut tokoh muda Muhammadiyah yang juga ketua Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, salah satu hal yang mendesak dibenahi adalah modernisasi budaya berorganisasi di tingkat cabang (kecamatan) dan ranting (pedesaan), sebagai bagian dari regenerasi, karena mereka yang berada di akar rumput. “Menurut saya ada kesenjangan transformasi gagasan dari elite ke akar rumput,” jelasnya.

Sebagai organisasi yang sudah sangat matang dan teruji, saya percaya Muhammadiyah juga akan mampu terus memperbarui dirinya menjawab tantangan zaman. Selamat HUT Muhammadiyah.

(MATAHATI/SHNEWS.CO/MH.019)

Page 25: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Mengganti Logo

Kristanto Hartadi| Selasa, 27 November 2012

Salah satu konsekuensi pembentukan badan baru adalah membuat logo.

Tak banyak politikus yang berani bersikap kritis menanggapi pengumuman oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, beberapa waktu lalu yang berujung pada pembubaran BP Migas, sebuah lembaga yang mengelola dan mengawasi kegiatan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.

Anggota Komisi VII DPR, Bambang Nuryanto, yang dalam rapat dengar pendapat antara SK Migas (lembaga yang menggantikan BP Migas), Senin (26/11), menyatakan Ketua MK Mahfud MD telah bertindak melebihi kewenangannya (abuse of power). Karena, dalam kajian Bambang, dalam salinan putusan resmi (tertulis) yang dikeluarkan MK sama sekali tidak ada disebutkan BP Migas dibubarkan seketika.

“Tidak ada dokumen apa pun yang menyatakan BP Migas harus langsung bubar, apalagi setelah menyatakan BP Migas bubar Mahfud menelepon Hatta Rajasa meminta agar Pemerintah segera mengeluarkan Perpres. Keputusannya yang seperti itu membuat Pemerintah dan DPR selama 12 tahun ini seperti orang goblok,” ucap Bambang,  politikus dari PDI-P. Sebagaimana kita tahu pengumuman BP Migas bubar itu sempat menimbulkan kepanikan dan ketidakpastian hukum di kalangan industri minyak dan gas di Indonesia.

Menurut hemat saya, kasus pembubaran BP Migas yang seketika itu dan pendapat politikus seperti Bambang Nuryanto dapat menjadi bahan kajian bagi para pakar hukum tata negara, khususnya menyangkut mekanisme masa transisi bila ada keputusan untuk membubarkan sebuah lembaga negara, apalagi yang sangat strategis seperti BP Migas, di mana banyak hal yang dipertaruhkan di situ, selain investasi bernilai ratusan miliar dólar.  

Mengganti Logo  

Salah satu konsekuensi pembentukan badan baru itu, meski  personelnya dan struktur organisasinya  sebagian besar sama dengan pendahulunya, adalah membuat logo itu. Ketua SK Migas, yang juga Menteri ESDM Jero Wacik,  dengan bangga mengungkapkan dia membuat logo lembaganya tanpa biaya sepeser pun, karena yang dilakukan cuma mengutak-atik sedikit logo yang lama.  Padahal, dahulu ketika BP Migas baru dibentuk pembuatan logo itu menghabiskan lebih dari Rp 500 juta.

Dalam sejarah negeri kita, persoalan membuat logo kerap membuat geger. Misalnya, pada

Page 26: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

masa lalu ketika maskapai nasional Garuda Indonesia mengganti logo untuk pertama kali beberapa tahun lalu, muncul kegegeran, karena biayanya mahal. Demikian pun ketika Pertamina mengganti logo yang menghilangkan gambar kuda laut-nya, juga sempat muncul perdebatan publik di media.

Bagi lembaga apa pun, terutama yang terkait dengan publik maupun konsumen, logo adalah hal penting. Melalui  logo sebuah institusi mengkomunikasikan misi dan nilainya di tengah masyarakat dan konsumen. Melalui logo itulah kepercayaan dengan publik dan konsumen dijalin. Juga logo itu yang membedakan institusi kita dengan kompetitor atau lembaga lain. Dalam kegiatan pemasaran, logo akan tampil di berbagai materi promosi, mulai dari iklan, kop surat, sampai kartu nama.

Selama ini logo BP Migas adalah dua tumpukan lingkaran di kiri atas  warna merah (yang melambangkan tetes minyak) dan di kanan bawah warna hijau (yang melambangkan gas), kemudian dibalik menjadi warna hijau di kiri atas dan warna merah di kanan bawah. “Logo itu juga mencerminkan kondisi kita saat ini, dimana cadangan gas jauh lebih besar daripada minyak,” kata Jero Wacik.

Menurut hemat saya, langkah SK Migas menjelaskan logo kepada Komisi VII DPR juga merupakan hal yang penting untuk disampaikan, karena itu adalah bentuk tekad bahwa lembaga pengganti ini akan lebih baik lagi dalam mengawal pengembangan industri migas di Indonesia, selain memberi jaminan kepastian.

Maka patut diapresiasi langkah Pemerintah yang bertindak cepat mengambil angkah darurat membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SK Migas, karena harus ada  jaminan kepastian untuk kegiatan usaha apa pun.

(MATAHATI/SHNEWS.CO/MH.020)

Page 27: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Tucuxi dan Upaya Membangun Keunggulan

Kristanto Hartadi| Selasa, 08 Januari 2013

HARI Minggu (6/1) pagi yang lalu, saya tercenung menyaksikan tayangan di salah satu stasiun televisi yang terus-menerus mengulas peristiwa kecelakaan mobil prototipe Tucuxi yang dikendarai oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan di daerah Magetan, karena sistem pengereman yang tidak berfungsi.

Frame yang ditayangkan berulang-ulang adalah ritual kejawen tolak bala oleh dalang Ki Manteb Sudarsono dan Dahlan Iskan sendiri di Solo, dan kemudian berbagai wawancara mengkritik kenapa Dahlan Iskan mencoba di jalan mobil raya untuk sebuah mobil prototipe yang belum punya sertifikat apa pun, sehingga berujung pada kecelakaan itu. Mungkin, bila Dahlan selamat-selamat saja, sikap kritis itu tidak akan keluar.

Sehingga saya kemudian tergerak mengirimkan pesan kepada teman-teman para editor, menyikapi insiden kecelakaan yang dialami mobil prototipe Tucuxi  tersebut, yakni: terlepas kontroversi perizinan/kelayakan maupun motif apa pun dari seorang Dahlan Iskan, mobil tersebut sebaiknya juga dilihat sebagai upaya membangun keunggulan dan kemandirian Indonesia yang selama ini sudah nyaris tenggelam, karena kita ketinggalan oleh capaian kemajuan oleh bangsa-bangsa lain.

Saya mengingatkan janganlah  mencerca insiden dan mobil itu sampai lumat, tetapi proporsional saja, dan bahkan membangun, supaya jangan sampai inisiatif membangun keunggulan, nilai tambah, dan kemandirian teknologi tidak padam. Karena kita pernah mencoba membangun keunggulan melalui orang-orang sepertt BJ Habibie (dengan IPTN dll),  atau kelompok Texmaco (yang pernah memproduksi ratusan truk Perkasa dan dipakai oleh TNI/Polri)  dan itu semua dihajar habis oleh pihak asing yang tidak ingin bangsa ini maju dan punya nilai tambah. Secara sadar atau tidak media terlibat dalam upaya penghancuran itu.

Pandangan ini mendapat reaksi dari sejumlah teman, yang mempertanyakan di mana media terlibat dalam upaya “penghancuran” itu. Kepada mereka saya jawab bahwa mungkin media tidak ikut dalam konspirasi itu, melainkan secara tidak sadar hanyut dalam “gendang” yang dimainkan pihak-pihak tertentu, atau kehilangan orientasi dan konteks yang lebih makro terhadap situasi yang berkembang.

Mereka dapat menerima pandangan saya dan menyampaikan bahwa kritik terhadap Dahlan Iskan adalah mobil Tucuxi tidak dalam rangka membangun/mewujudkan ide besar menuju masyarakat low carbón, karena infrastruktur hulu dan hilirnya juga tidak disiapkan, apalagi kalau memakai listrik yang bersumber dari karbon.

Page 28: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Teman yang lain berkomentar: “Dahlan Iskan juga harus menunjukkan bahwa dia berpikir strategis dan memang punya langkah-langkah panjang tentang industri mobil listrik, dan bukan sekadar pencitraan.”

Mudah Mencemooh

Karena diajak istri, sorenya saya nonton film Habibie & Ainun, di Metropole 21 (dulu Megaria). Film yang bercerita mengenai perjuangan seorang BJ Habibie memajukan keunggulan teknologi Indonesia itu mengingatkan saya dengan diskusi pagi harinya dengan beberapa teman editor. Di film itu ada adegan di mana dua orang pewarta foto berdiskusi dan mencemooh sambil kencing di toilet, bahwa pesawat buatan IPTN itu, yakni N-250, akan jatuh sendiri tidak perlu ditembak oleh lawan.

Saya tersenyum melihat adegan itu, karena demikianlah watak sebagian bangsa ini, tidak percaya dan suka meremehkan kemampuan bangsa sendiri. Jadi bukannya memberi energi positif, tetapi malah ikut menghancurkan dan mendoakan untuk kegagalan, terbawa energi yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak suka dan nyinyir.

Sudah terbukti, hari ini IPTN (yang pernah diperintahkan bubar oleh IMF) masih bertahan dengan nama PT Dirgantara Indonesia dan tetap mengembangkan satu dua produk, meski sudah tidak dalam kapasitas seperti awal pembangunannya. Dalam sebuah diskusi membahas industri pertahanan yang digelar Sinar Harapan tahun 2012 lalu, salah seorang direksi PT Dirgantara Indonesia mengemukakan bila tidak ada poduk-produk baru yang dikembangkan oleh PT DI maka kemampuan rekayasa teknologi para insinyur  di PT DI akan merosot habis.

Maka, saya sepakat dengan teman-teman yang bersikap kritis bahwa membangun keunggulan teknologi janganlah sekadar pencitraan politik, melainkan harus dalam kerangka strategi besar untuk memajukan negara dan bangsa. Apakah pelakunya swasta, BUMN atau siapa saja, tetapi negara harus berada di belakangnya memberi bukan saja restu dan endorsement , tetapi juga berbagai infrastruktur penunjang untuk kemajuan itu. Suka atau tidak, negara tetangga Malaysia maupun Thailand  jauh lebih baik dibanding kita dalam hal ini.

(Sinar Harapan)

Page 29: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Pubertas Politik

Kristanto Hartadi| Selasa, 11 Desember 2012

Apa pun gejalanya, pubertas politik memperlihatkan proses demokratisasi yang belum matang.

Istilah “puber politik” pernah ramai muncul pada akhir 2010 untuk mengomentari seorang politikus (muda) yang ambisus, yang suka pindah partai tergantung cantolan politiknya. Sang politikus muda ini disorot karena dia menikmati manisnya kekuasaan politik tanpa harus berkeringat dan bekerja keras dari bawah. Semasa Orde Baru, tokoh-tokoh seperti itu disebut kader jenggot karena mengakarnya ke atas dan bukan ke bawah.

Pekan lalu istilah itu diucapkan kembali oleh praktisi pemasaran politik Eep Saefullah Fatah dalam sebuah pertemuan kehumasan di Nusa Dua, Bali. Dia ingin menjelaskan fenomena perilaku para pejabat daerah (baca: bupati/walikota) yang bangga kalau dapat menerapkan kebijakan yang “pokoknya menyimpang“ dari kebijakan nasional yang dibuat Pemerintah Pusat di Jakarta, demi sekadar berbeda dan mencari perhatian, tak peduli efeknya.

Namun apa pun gejalanya, pubertas politik memperlihatkan proses demokratisasi yang belum matang, dan gejalanya muncul dalam bentuk perilaku politik yang sulit diterka polanya, yang terjadi di berbagai lembaga politik. Situasi seperti itu kini terlihat jelas di sejumlah negara Arab dan Afrika utara yang baru saja, atau masih mengalami transisi politik.

Buat kita di Indonesia, yang sudah 14 tahun mereformasi diri, seharusnya kedewasaan dalam berdemokrasi dan berpolitik mulai muncul dan berkembang, yang ditunjukkan dalam bentuk stabilitas politik atau pola-pola tindakan politik yang terukur. Namun, nyatanya tidak begitu, hiruk-pikuk politik terus terjadi dan akan menghangat pada 2013, dan pastilah hal itu bukanlah sinyal positif kepada dunia publik domestik maupun internasional.

Pubertas politik yang menimbulkan ketidakpastian itu diperlihatkan mulai dari sengketa di tubuh PSSI, pembubaran BP Migas oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, kegaduhan di KPU, kasus-kasus korupsi oleh para pemuka partai politik di tingkat nasional maupun daerah, kasus Bank Century, sampai berbagai tumpang tindih peraturan dan kewenangan di berbagai lini pemerintahan menyangkut perebutan  sumber daya (resources). Revolusi 15 Kali

Page 30: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Akhir pekan lalu, saya hadir dalam diskusi Sabtuan di kantor redaksi harian Tribun Kaltim, di Balikpapan. Pesertanya terbatas, namun mewakili berbagai kalangan ada politisi lokal, tokoh LSM, profesional, pengusaha, akademisi dll. Topiknya cukup hangat  “Blok Mahakam untuk Siapa?“ Dalam diskusi terbatas itu terucap 15 kali kata “kita perlu revolusi“, ungkapan-ungkapan niat mengganti pemodal asing yang satu dengan modal asing yang lain, dan ujungnya adalah: ganti kepemimpinan di daerah! Maklum Kalimantan Timur akan menggelar pilkada gubernur pada 2013 mendatang.    

Tapi menariknya,  teman-teman di Kaltim itu menyoroti positif langkah Jokowi dan Ahok (yang belum 100 hari menjadi pemimpin di Jakarta) dan mereka berharap kedua orang ini dapat menjadi contoh dan teladan bagi kemajuan Indonesia. Mereka menilai, yang dipertontonkan itu adalah bentuk kepemimpinan yang tidak minta dilayani melainkan melayani, yang membuka diri dan bukannya menutup-nutupi (khususnya dengan mengunggah ke You-Tube rapat-rapat berbagai dinas).

Tentu saja terlalu dini untuk mengatakan bahwa keduanya telah berhasil. Mereka berdua masih harus menunjukkan hasil kerja membenahi Jakarta yang sudah begitu kusut persoalan. Tetapi ada bibit-bibit baik yang ditebar mereka berdua, yakni:

Pertama, mereka menggalang dukungan langsung kepada rakyat, ketimbang meminta dukungan ke partai politik, yang kredibilitasnya sudah berada di titik nadir. Potensi kepemimpinan mereka diganggu DPRD juga dapat diminimalkan.

Kedua, yang mereka lakukan bukan sekadar pencitraan, melainkan hal yang nyata, dan itu dikontrol kemajuannya melalui mekanisme monitor dan evaluasi yang ketat, untuk memastikan apakah program-program dilaksanakan dengan baik atau tidak. Rela Berkorban

Untuk dua hal itu saja menurut hemat saya merupakan wujud suatu tingkat kedewasaan politik (keluar dari era pubertas politik), karena beranjak dari sekadar gaya-gaya pencitraan yang kosong dan kenes, menuju pembangunan yang lebih substantif dan konseptual, dan menyadarkan semua pihak untuk sukarela memberikan partisipasi politik yang baik dan berkorban demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Maka ketika Pemprov DKI melontarkan gagasan penerapan pembatasan lalu lintas dengan nomor genap-ganjil kendaraan bermotor di kawasan tertentu, reaksi menentang belum banyak, karena semua mau melihat dahulu pelaksanaannya. Banyak yang sadar bakal ada kenyamanan yang hilang karena kebijakan itu, namun mencoba yakin bahwa itu semua dalam upaya mengatasi kemacetan Jakarta.         

Kenyamanan yang hilang itu saya yakin tidak akan sampai mendorong untuk menggelar “revolusi“, karena sudah ada kepercayaan terhadap iktikad baik yang dibangun sang

Page 31: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

pemimpin sebagai landasannya. Tanda-tanda kedewasaan politik memang seharusnya diawali oleh para pemimpin politiknya dengan meninggalkan gaya pencitraan yang tak bermutu.

(MATAHATI/SHNEWS.CO/MH.021)

Page 32: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Trust Bukanlah Fantasi Politik

Kristanto Hartadi| Selasa, 05 Februari 2013

Patut dimaklumi bila para pemimpin dua partai politik yang sedang menuai badai karena kasus-kasus korupsi yang menimpa kader mereka, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, menjadi cemas bahwa dukungan kepada partai akan merosot pada pemilihan umum 2014. Gejala kemerosotan dukungan itu sudah terasa sehingga tak heran bila Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pemilik Partai Demokrat, maupun Anis Matta, Presiden PKS yang baru, segera melontarkan jurus masing-masing untuk meredam dampak negatif “arisan korupsi” itu.

Partai Demokrat sudah menuai kemerosotan dukungan, menurut hasil penelitian Saiful Mudjani Research and Consulting  elektabilitas Partai Demokrat tinggal 8,3 persen, jauh di bawah Partai Golkar (21,3 persen) atau PDI Perjuangan (18,2 persen).

Para petinggi partai segera mendesak agar SBY turun tangan dan bertindak guna memulihkan kepercayaan rakyat. Sebagai respons, dari Nigeria Presiden SBY “mengimbau” kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera menuntaskan kasus-kasus dugaan korupsi yang menyangkut kader Partai Demokrat. Tentulah SBY paham imbauannya itu adalah bentuk intervensi politik kepada KPK, karenanya yang dikeluarkan bukanlah perintah.       Sementara M Anis Matta, yang menggantikan Luthfie Hasan, mengeluarkan jurus berupa pernyataan bahwa ada konspirasi asing (Yahudi dan Amerika) terkait penangkapan presiden partainya, atas dugaan korupsi pengadaan daging impor. Pernyataan ini mendapat cemoohan dari kalangan masyarakat di dunia maya dan juga para pakar politik di dunia nyata, sehingga sudah tidak disinggungnya lagi.

Mengonstruksi Realitas

Dalam buku Mediated Political Realities (1983, 1990) Dan Nimmo dan James E. Comb menuliskan bahwa dalam dunia politik yang namanya fantasi (khayalan) merupakan hal yang penting dalam upaya mengonstruksi realitas. Kerap kali fantasi politik dibangun seolah-olah sebagai sebuah realitas politik dengan menciptakan aktor-aktornya, alur cerita, adegan-adegan, aksinya, gaya motif dan agen-agen pemberi sanksi. Menurut kedua pakar itu, realitas politik jarang merupakan akibat langsung dari pengalaman tangan pertama suatu kejadian politik, melainkan sesuatu yang diperantarai oleh media massa (mediated) atau akibat dari informasi tidak langsung, dari tangan kedua yang dikonstruksi

Page 33: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

melalui logika (fantasi) media. Tak heran dunia politik (kita) pun sangat kaya nuansa konspirasi.

Jadi, kalau Anis Matta melontarkan pernyataan demikian, mungkin itu lebih ditujukan kepada konstituennya sendiri ketimbang masyarakat luas. Demikian pun SBY, imbauannya mungkin untuk menguatkan kesan dia mendukung pemberantasan korupsi di partainya sendiri.

Apa pun motifnya, saya yakin keduanya sangat sadar proses hukum yang panjang di KPK akan menyandera secara politik kedua partai menjelang dan bahkan pasca pemilihan umum 2014. Sehingga langkah politik apa pun akan ditempuh, demi menahan kemerosotan kepercayaan (trust) masyarakat kepada partai.

Modal Utama

Dalam dunia politik yang namanya trust adalah unsur yang sangat penting, bahkan menurut Confucius ia satu tarikan nafas dengan pangan (food) dan senjata (weapons) dalam upaya mempertahankan kekuasaan. Logikanya sebagai berikut: selama rakyat kenyang tidak akan ada kegaduhan, rakyat yang lapar masih bisa dikendalikan selama mereka percaya para pemimpin punya solusinya, dan senjata baru digunakan bila kedua hal itu sudah tiada.

Di era modern, trust menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi sebuah negara, sebab tanpa trust tidak akan ada investor yang berani masuk. Tanpa trust, demokrasi tidak akan bertumbuh dan berkembang. Lalu apakah trust itu?

Menurut Kenneth Newton (2007), seorang pakar perbandingan politik, trust secara sederhana didefinisikan sebagai: sebuah kepercayaan bahwa seseorang (atau orang-orang) tidak akan secara  sengaja mencelakakan kita, bila mereka dapat menghindarkan hal itu, dan yang akan menjaga berbagai kepentingan kita, bila memungkinkan.

Berbagai penelitian menunjukkan bukti kuat bahwa kinerja lembaga-lembaga politik terkait dengan tingkat kepercayaan sosial dan politik di masyarakat. Misalnya, Freedom House mendapati bahwa semakin tinggi kepercayaan sosial dan politik suatu masyarakat kepada lembaga-lembaga politik, maka negara itu  semakin demokratis, semakin tinggi ketaatan rakyat kepada hukum (the rule of law), semakin efektif pemerintahannya, dan semakin rendah tingkat korupsinya.

Jadi, apakah sebagian masyarakat kita sudah hilang trust mereka kepada lembaga-lembaga politik dan kehilangan orientasi pada tujuan-tujuan kita bernegara, sehingga setiap hari kita disuguhi oleh konflik dan kegaduhan sosial politik yang seperti tiada akhirnya?

Suka atau tidak, situasi yang kita alami hari ini adalah buah dari penghancuran trust yang diberikan oleh rakyat (konstituen) kepada para politisi dan lembaga politik. Maka, saatnya kita cermat mengamati dan mencari pemimpin-pemimpin yang bakal mampu memulihkan trust itu, yakni orang-orang yang mampu menjamin bahwa mereka tidak akan mencederai,

Page 34: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

melainkan akan  menjaga kepentingan kita bersama sebagai sebuah bangsa di rumah Indonesia.

Kita perlu pemimpin-pemimpin yang memperlakukan trust bukan sebagai komoditi atau fantasi, melainkan sebuah pengalaman nyata yang memang dapat dikecap dan dinikmati bersama.  

Penulis adalah anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan

(Sinar Harapan)

Page 35: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Memetik Pelajaran dari Revolusi Shale Gas

Kita suka lupa, dulu gas alam kita dijual ke luar, karena di dalam negeri tak ada yang beli.

Sebagai seorang yang bukan ahli ekonomi migas bahkan sama sekali tidak punya latar belakang di bidang ini, penulis sebenarnya tidak cukup pede untuk membuat artikel mengenai topik ini. Namun sebuah opini pendek oleh Daniel Yergin, pemenang penghargaan Pulitzer untuk buku-buku kajian ekonomi energinya, menggelitik penulis untuk sekadar  menyumbang saran.

Dalam artikel sindikasi berjudul  The Global Impact of US Shale (8 Januari 2014), Yergin menulis bahwa pengembangan shale gas di Amerika Serikat secara signifikan telah membawa berbagai dampak  secara sosial, politik dan ekonomi bukan saja di dalam negeri tetapi secara global.  Pengembangan shale gas dan tight oil di AS telah mengubah pasar energi global. AS kini sama sekali tidak mengimpor LNG lagi.   Bahkan, AS telah menjadi pengekspor utama dan menjadi pesaing  eksportir  gas tradisional seperti Rusia dan Norwegia.  Kemudian, shale gas telah mendongkrak daya saing industri di AS, dibanding China dan Eropa, karena harga energinya lebih murah.  Negara-negara Eropa dan China patut cemas karena barang-barang produk AS dapat menjadi lebih murah sehingga meningkat daya saingnya.

Dampak ikutannya adalah lapangan kerja baru tercipta karena industri Amerika bergairah kembali, berkat shale gas tercipta sekitar 2 juta lapangan kerja baru.

Dalam World Energy Outlook 2013, yang dirilis pada November 2013, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan pada tahun 2035 AS akan mengalami peningkatan pangsa globalnya dalam ekspor produk industri yang menguras  energi  (energy intensive industry) karena harga gas yang murah itu. Sebaliknya. pangsa pasar global  Uni Eropa dan Jepang akan tergerogoti hingga sepertiganya.  Proyeksi  ini memperlihatkan adanya kaitan antara harga energi yang murah dan prospek  industri ke depan.  Dan, yang juga penting, pengembangan shale gas secara perlahan telah mengubah peta politik global. Terutama,  terkait kepentingan AS mengamankan pasokan energinya dari Timur Tengah. Misalnya, menurut Yergin, Iran kini lebih melunak dalam perundingan mengenai nuklir, karena  ternyata penurunan produksi minyak Iran akibat sanksi yang dijatuhkan kepadanya tidak berdampak kepada harga minyak. Namun IEA memperkirakan shale gas Amerika tidak akan segera menggantikan peran Timur Tengah sebagai produsen minyak dunia.

Page 36: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Jadi ada benarnya, bila seorang pejabat perminyakan Indonesia pekan lalu dikutip mengatakan pengembangan shale gas di Amerika Serikat akan menjadi ancaman baru bagi industri gas di Indonesia. Melimpahnya pasokan membuat harga LNG yang diproduksi dari shale gas di Amerika menjadi sangat murah, dan bisa mengancam ekspor gas Indonesia.  

Saat ini Indonesia mengekspor 47,9% produksi  gas alamnya ke (terutama) negara-negara di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan dan China) dengan harga rata-rata mencapai US$ 15 per mmbtu. Sementara harga gas alam yang diekspor oleh AS bisa lebih rendah dari US$ 5 per mmbtu. Pembeli setia  gas kita berpotensi untuk belanja  ke sumber pasokan yang lebih murah.

Membangun Infrastruktur

Pada September 2013 lalu, lembaga kajian di bidang energi, Wood Mackenzie menyatakan,  Indonesia akan menjadi faktor yang mempengaruhi pasar energi di kawasan. Indonesia akan menjadi negara yang signifikan mempengaruhi defisit energi di Asia Pasifik, terutama dari importasi BBM yang semakin besar.  

Kita sudah merasakan sendiri defisit neraca perdagangan akibat impor BBM telah menggerus  cadangan devisa kita dan menjadi faktor yang membuat nilai tukar rupiah merosot. Impor minyak kita lebih dari 400 ribu barel minyak per harinya.  Maka pilihan kebijakan yang tepat dan cepat di sektor energi ini sangat dibutuhkan.  Sehingga, kata kuncinya adalah tata kelola yang tepat.

Banyak pakar mengatakan sudah saatnya mengakhiri ekspor LNG kita ke negeri lain, dan mengalihkan pasokan ke dalam negeri.  Pendapat itu benar adanya. Namun, kita suka lupa sejarah bahwa gas alam kita dijual ke negara lain karena pada masa lalu harga minyak lebih murah daripada gas, di dalam negeri tidak ada yang mau beli. Tak heran,  infrastruktur gas domestik pun tidak dibangun.

Jadi, kepada pemerintah baru hasil pemilihan umum 2014, maka tugas utama kalian nanti adalah segera membangun infrastruktur gas yang masif (menurut pengamat ekonomi energi Darmawan Prasodjo  menelan anggaran Rp 300 – 400 triliun) supaya tidak terjadi krisis energi yang parah.

Kemudian, berikan insentif yang paling menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak yang akan mengadakan kegiatan eksplorasi di laut-laut dalam kita, agar cadangan migas meningkat. Selanjutnya dekati Amerika Serikat supaya bisa membeli gasnya yang berharga murah itu. Itu semua tak lain karena diperkirakan kebutuhan gas akan mencapai 20 persen dari bauran energi kita pada 2025.

Pentingnya Riset

Page 37: podium jeffrie geovanie+matahati kristanto hartadi

Patut digarisbawahi bahwa “revolusi shale gas”   bukan sesuatu yang ujug-ujug.  Shale gas disebut sebagai unconventional gas karena cara mendapatkannya berbeda dengan metode pengeboran yang konvensional dalam mencari dan memproduksi migas. Metode fracking (hydrolic fracturing) untuk mencari shale gas telah ada sejak 1947, dan baru dikembangkan di Texas pada awal 1980an, dan terus disempurnakan sampai awal 2000an. Dan, baru benar-benar memberi  dampak pada produksi gas dan minyak di Amerika Serikat pada 2008.

Namun, sebenarnya bukan hanya AS yang membuat “revolusi” energi.  Brasil dengan revolusi etanolnya, sukses mendapatkan  energi alternatif, baik untuk keperluan industri maupun transportasi.   Di saat sama, Petrobras juga tidak henti mengadakan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan-cadangan minyak dan gas yang baru.  Negara itu kini salah satu eksportir minyak utama di dunia.

Langkah Pemerintah yang mewajibkan mencampur biodiesel hingga 10 persen ke bahan bakar diesel merupakan awal yang sangat baik. Ketersediaan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku biodiesel sangat melimpah.  Jelas hal ini akan mengurangi importasi solar secara signifikan. Target untuk meningkatkan komponen biodiesel ke solar hingga 20 persen patut didukung.

Sejalan dengan itu, sepatutnya Pemerintah, bekerja sama dengan pihak industri perkebunan, menggalakkan penelitian untuk menghasilkan berbagai produk turunan dari kelapa sawit yang lebih hebat lagi sebagai sumber energi.

Sebagai negara yang pernah menjadi pengekspor minyak dan gas yang kini menjadi pengimpor, tidak ada salahnya kita belajar dari kisah sukses negara-negara yang dulu pengimpor namun kini menjadi pengekspor migas.