Upload
athirahakalily
View
130
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
POLIMORFISM GENETIK
Athirah Akalili
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 6
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Tanjung Duren Selatan 2, Gang 3, No.23
PENDAHULUAN
Ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetic mempengaruhi kerja obat disebut
farmakogenetik. Efek farmakologis yang berbeda-beda diakibatkan oleh adanya kaitan faktor
genetic. Farmako genetic perlu dibedakan dengan overdosis, reaksi alergi dan inborn error of
metabolism. Inborn error of metabolis adalah kelainan genetic yang mengakibatkan kelainan
pengolahan zat tertentu sehingga terjadi akuulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogentik
mempelajari tentang adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat.
Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak mempengaruhi sisi biotranformasi
(metabolisme) obat. Selain biotransformasi, farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi,
distribusi, dan eksresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom :
reticulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah,
otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.
Metabolisme obat terjadi 2 fase yakni fase I merupakan fase reduksi, oksidasi dan hidrolisis
dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dan substrat lain misalnya asam glukoronat dan
asam sulfat, asam asetat dan asam amino. Reaksi fase I dilakukan olen enzim CYP P450
sebagai enzim pengoksidasi. Enzim ini memiliki isoenzim sekitar 50 macam. Reaksi fase II
terutama raksi glukuronidasi dan reaksi asetilasi olen enzim N-asetiltransferase 2 (NAT2).1
1
ISI
I. ANAMNESIS
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan,
alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien
datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri:
Sejak kapan mulai
Sifat serta beratnya
Lokasi serta penjalarannya
Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid,
sehabis makan dan lain sebagainya)
Berlangsung sementara atau lama
Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan,
datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya
Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya,
dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah
progresif, makin lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari?
2
Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba,
mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar
atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut
ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau
muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)?
Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun
pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?
Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus
(bunyi berdenging/berdesis pada telinga)?
Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di
wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan
pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi
mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)?
Apakah sulit menelan (disfagia)?
Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah
anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik)
atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana
dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan
memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis,
apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah?
Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak
mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa
lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)?
3
Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh
(tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap
atau berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan
pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda
kendalikan (khorea, tremor, tik)?
Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh
atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar?
Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi),
dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau
alvi?.2
Pada saat berkonsultasi dengan dokter, biasanya dokter akan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mencari tahu sebab kesemutan. Karena sebab sangat beragam dan
dapat mengenai seluruh bagian tubuh maka dokter akan melakukan pemeriksaan neurologi
menyeluruh untuk melihat berbagai kemungkinan penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium maupun radiologi dilakukan sesuai indikasi penyakit yang
mendasarinya.
II. PEMERIKSAAN
FISIK
Pemeriksaan Umum
Tekanan darah
Frekuensi nadi
4
Frekuensi nafas
Suhu
Pemeriksaan Neurologis
1.Sensorium (kesadaran)
2.Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:
Normal : kompos mentis
Somnolen : : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya
pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang
nyeri.
Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat
mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang
nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak
konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma – ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang
verbal. Refleks ( kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
5
3. Fungsi saraf kranial,
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-
lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi.
Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV),
trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX),
vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik
murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung
serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan
saraf campuran, saraf kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari
cabang parasimpatis sistem saraf otonom.
Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, diusahakan
kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita
seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh
penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa,
kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang
mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita
diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk
sebaik mungkin.2
6
4. Fungsi motorik,
Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk
menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
Pengamatan
o Gaya berjalan dan tingkah laku.
o Simetri tubuh dan ekstemitas
o Kelumpuhan badan dan anggota gerak
Gerakan volunteer
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:2,3
o Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.
o Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
o Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
o Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
o Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
o Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
o Gerakan jari- jari kaki.
o Palpasi, perkusi, tonus dan kekuatan otot
7
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan
gerakan ini.
Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.
o Refleks
o Koordinasi dan gaya berjalan
PENUNJANG
Pemeriksaan darah. Ini bisa termasuk pemeriksaan untuk mendeteksi diabetes,
kekurangan vitamin, kelainan fungsi liver atau ginjal, gangguan metabolik lainnya atau
tanda-tanda tak normal dari kegiatan sistim kekebalan tubuh.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi antibodi yang
dikaitkan dengan peripheral neuropathy.
Electromyogram (EMG), sebuah pengujian aktivitas elektrikal otot.
Nerve conduction velocity (NCV).
Pemeriksaan yang lain bisa termasuk:
Computed tomography (CT)
Magnetic resonance imaging (MRI)
Biopsi syaraf8
Biopsi kulit untuk melihat ujung serabut syaraf.3
III. DIAGNOSIS
WORKING DIAGNOSIS
Polimorfsm Genetik Enzim Metabolisma Obat Isoniazid (INH)
Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan
aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan
ekspresi genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap
nasib obat dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh.
Proses metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang
keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang
dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap
perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.1
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan
asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari
masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe
asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur
metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan
amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses
detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang
bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas
dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi
asetilasinya.
9
Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam
kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut. Profil asetilasi terhadap isoniazid yang
merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu
yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-asetilastransferase-nya
sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen
yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai
kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka
aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase
ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50%
dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan
Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase
yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan
demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid
yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang
pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat,
memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.4
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis,
pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk
individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena
metabolisme INH sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah di
minum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang pendek). Hal ini harus diperhatikan,
karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih
banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan
10
cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk
individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-
asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan
oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk
isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif
berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-
200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis
pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan
oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan
berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat,
sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah
diminum.
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat di metabolisme dalam
bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu,
individu bertipe asetilator lambat lebih mudah menderita efek samping INH berupa neuropati
perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian vitamin B6 jaringan
dan akan memperbesar ekskresi B6. 4
11
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Neuropati Perifer
Neuropati perifer (peripheral neuropathy/PN) adalah penyakit pada saraf perifer. Saraf
tersebut adalah semua saraf selain yang ada di otak dan urat saraf tulang belakang (perifer
berarti jauh dari pusat).
Sebagian PN diakibatkan kerusakan pada sumbu serabut saraf (akson), yang mengirimkan
perasaan pada otak. Kadang kala, PN disebabkan kerusakan pada selubung serabut saraf
(mielin). Ini mempengaruhi isyarat nyeri (sakit) yang dikirim ke otak.
PN dapat menjadi gangguan ringan atau kelemahan yang melumpuhkan. PN biasanya
dirasakan sebagai kesemutan, pegal, mati rasa atau rasa seperti terbakar pada kaki dan jari
kaki. Juga dapat dirasa dikitik-kitik, nyeri tanpa ada alasan, atau rasa yang tampaknya lebih
hebat daripada biasa. Gejala PN dapat bersifat sementara: kadang sangat sakit, terus tiba-tiba
hilang. PN parah dapat mengganggu waktu berjalan kaki atau berdiri.
1)Neuropti perifer et causa diabetes mellitus
Defenisi
Neuropati perifer diabetik (NPD) adalah suatu keadaan dimana didapatkan kelainan klinis
maupun subklinis yang ditandai dengan adanya manifestasi somatik dari sistim saraf perifer
pada penderita DM tanpa adanya penyebab lain dari neuropati perifer . Kelainan ini
merupakan salah satu komplikasi yang paling umum dan paling sering dijumpai pada
penderita DM .5
12
Neuropati perifer diabetik (NPD) menggambarkan adanya nyeri dan paraestesi pada tungkai
bawah penderita DM.Prevalensi neuropati perifer diabetik (NPD) dari berbagai penelitian
menunjukkan angka berbeda-beda dengan variasi yang besar. Hal ini disebabkan karena
perbedaan interpretasi dari cara pemeriksaan dan kriteria diagnosis serta desain penelitian
yang berbeda-beda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya .
Gejala
Gejala klinik neuropati perifer diabetik didalam praktek merupakan salah satu jenis neuropati
yang paling sering ditemukan berupa; rasa semut-semutan, rasa tebal, kramp-kramp dan rasa
nyeri pada ujung anggota gerak badan. Pada umumnya kelainan ini didahului dengan
kelainan elektroneurofisiologi, seperti melambatnya kecepatan konduksi saraf motorik dan
sensorik (NCV) .
Diagnosis neruropati perifer diabetik (NPD) didasarkan adanya bukti DM dan terdapatnya
manifestasi neuropati pada penderita yang sama berupa adanya paraestesia, berkurangnya
atau hilangnya refleks-refleks tendo/ rasa nyeri atau getar, adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot, yang kesemuanya mendukung NPD . Pemeriksaan fungsi urat saraf
tepi, khususnya kecepatan hantar saraf tepi (KHST) baik motorik maupun sensorik sudah
lama digunakan secara luas dan hingga kini makin berkembang pesat. Dan dikatakan bahwa
kecepatan hantar impuls saraf menurun secara meyakinkan (significant) pada neuropati
perifer diabetik .
13
Patogenesis
Neuropati diabetika tidak terjadi oleh faktor tunggal, melainkan karena interaksi beberapa
faktor, seperti faktor metabolik, vaskular, dan mekanik. Faktor kausatif utama berupa
gangguan metabolik jaringan saraf. Pada diabetes mellitus peranan insulin memobilisasi
glukosa sangat minimal, dalam kondisi hiperglikemik glukosa diubah oleh aldose reduktase
menjadi sorbitol. Akumulasi sorbitol dapat terjadi 24-48 jam setelah hiperglikemia, terutama
pada neuron, lensa, pembuluh darah, dan eritrosit. Sorbitol bersifat higroskopis, sehingga
akan meningkatkan tekanan osmotik sel.
Mioinositol merupakan bagian plasma dan membran sel. Pada diabetes mellitus, mioinositol
banyak diekskresikan lewat urin, dan sebaliknya akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel
mempengaruhi pengambilan mioinositol. Rendahnya kadar mioinositol ini menyebabkan
gangguan fungsi ATP-ase, sehingga terjadi gangguan konduksi saraf. Mioinositol merupakan
prekursor polifosfo-inositida yang penting dalam mengatur aksi potensial saraf.Penimbunan
sorbitol dan penurunan mioinositol menyebabkan gangguan pada sel Schwann dan akson.
Proses ini menyebabkan terjadinya demielinisasi dan degenerasi akson.
Fungsi syaraf-syaraf peripheral adalah mengantarkan sensasi dari kaki dan tangan ke otak
serta sebaliknya. Oleh karena itu, kerusakan syaraf yang disebabkan oleh Peripheral Diabetic
Neuropathy dapat menyebabkan otot kaki dan tangan melemah serta kehilangan refleksnya,
khususnya pada bagian pergelangan.
14
2)Polyneuritis
Neuritis adalah salah satu gangguan saraf yang serius. Neuritis mengacu pada suatu
peradangan pada saraf, yang melibatkan saraf tunggal atau serangkaian saraf.. . Neuritis juga
dikenali sebagai polineuropati yaitu kondisi neuritis pada bukan peradangan, namun pada
perubahan di bagian saraf yang mengakibatkan kelemahan, hilangnya refleks dan perubahan
dari sensasi.
Gejala neuritis
Gejala utama neuritis adalah:
kesemutan, rasa terbakar, dan menusuk pada saraf yang terkena.
Dalam kasus yang parah, mungkin ada mati rasa dan hilangnya sensasi dan
kelumpuhan dari otot-otot di dekatnya.Jadi kelumpuhan sementara wajah mungkin
hasil dari perubahan dalam saraf wajah pada sisi yang terkena.
Pada tahap akut , pasien mungkin tidak dapat menutup mata karena kehilangan
kekuatan oleh otot-otot pada sisi yang terkena wajah.
Neuritis juga dapat disebabkan oleh anemia pernisiosa, melibatkan saraf tulang
belakang.Pasien dengan kondisi ini mungkin merasa sangat sulit untuk berjalan dalam
gelap. 5
Penyebab neuritis
Penyebab utama neuritis adalah asidosis yang kronis, yaitu kondisi asam yang berlebihan di
darah dan cairan tubuh lainnya. Penyakit ini juga dapat disebabkan dari berbagai kekurangan
nutrisi dan metabolik isturbances seperti metabolisme kalsium yang salah, kekurangan
beberapa vitamin B seperti B12, B6, B1, asam pantotenat dan toxaemia B2.
15
Penyebab lain neuritis adalah pukulan, cedera tembus atau tekanan berat atas batang saraf dan
dislokasi dan patah tulang. Setiap aktivitas otot atau penggunaan yang berpanjangan dapat
melukai saraf dan juga dapat menyebabkan neuritis. neuritis juga dapat disebabkan oleh
infeksi tertentu seperti tuberkulosis, diptheria, tetanus, diabetes melitus, keracunan dengan
insektisida, merkuri, arsenik memimpin, dan alkohol.
Pengobatan dan Cure neuritis
obat penghilang rasa sakit dapat dimberikan sebagai bantuan sementara tapi tidak menghapus
masalah secara efektif. Pengobatan terbaik untuk neuritis adalah untuk memastikan bahwa
pasien mendapat nutrisi yang optimal, juga mengkosumsi dengan semua vitamin dan nutrisi
lainnya. Penekanannya harus pada biji-bijian, gandum,keju,buah-buahan dan sayur-sayuran.
Semua vitamin dari jenis kelompok B telah terbukti sangat bermanfaat dalam pencegahan dan
pengobatan neuritis. Apabila diberikan vitamin B1, B2, B6, B12, dan asam pantotenat
bersama-sama, rasa sakit yang hebat, kelemahan dan mati rasa dalam beberapa kasus telah
lega dalam waktu satu jam.
16
IV. ETIOLOGI
Trait monogenetik disebabkan oleh kehadiran lebih dari satu alel pada lokus yang
sama dan lebih dari satu fenotip dalam populasi yang sama,dalam hubungan dengan
interaksi obat. Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisi
oleh enzim N-asetiltransferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik.
Analisis keturunan dari 2 fenotip metabolisasi S (slow) dan R (rapid), menunjukkan
bahwa sifat asetilator cepat pada seseorang individu ternyata ditentukan oleh gen
autosom dengan sifar asetilatornya dipercepat oleh gen dominan (R) dan diperlambat
oleh gen resesif (r). Perbedaan antara kedua fenotip tersebut terletak pada aktivitas
(kuantitas, jumlah enzim) dari enzim N-asetiltransferase tersebut dalam hepar.
V. EPIDEMIOLOGI
INH dimetabolisme di hepar dengan kadar yang ditetapkan dan juga kecepatan
metabolismenya ditentukan oleh fenotip asetilator seseorang itu. Polimorfisme
genetik yang terjadi pada sesetengah individu dapat menyebabkan variasi pada proses
asetilasi INH. Kira-kira 50% hingga 65% orang India Asia selatan yang berkulit hitam
dan putih merupakan asetilator lambat. Sebaliknya sebanyak 89% hingga 90% orang
Inuit, Jepang dan Cina yang merupakan asetilator cepat pada metabolisme INH.
Orang-orang yang merupakan asetilator cepat mengekskresikan kira-kira 94% INH
sebagai asetil INH dan metabolit INH. Manakala orang yang merupakan asetilator
lambat mengekskresikan kira-kira 63% INH sebagai asetil INH dan metabolit INH.6
17
VI. PATOFISIOLOGI
Asetilasi adalah suatu faktor yang mengendalikan kecepatan metabolisme beberapa
obat, yaitu bahwa obat yang telah mengalami asetlasi akan lebih mudah diekskresikan
lewat ginjal dibandingkan dengan obat yang masih bebas. Pada populasi Barat, kira-
kira separuh populasinya adalah asetilator cepat dan separuhnya lagi bersifat asetilator
lambat.
Status asetilasi ditentukan oleh satu gen autosom, yaitu bahwa alel “cepat” adalah
bersifat dominan terhadap alel “lambat”. Asetilator lambat (homozigot) untuk alel
“lambat” mempunyai aktivitas N-asetiltransferase yang berkurang pada hati.
Metabolisme obat-obat antituberkulosis, misalnya isoniazid, adalah menyangkut
proses asetilasi dan walaupun status asetilator dari pasien tidak mempengaruhi hasil
dari pengobatan, tetapi asetilator lambat lebih mugkin untuk timbul toksisitas
kumulatif, yaitu neuritis perifer. Untunglah keadaan demikian dapat dicegah dengan
pemberian piridoksin.1,6
VII. KOMPLIKASI
Isoniazid merupakan salah satu dari obat terapi antituberkulosis dan merupakan
metabolit dari arylamine N-acetyltransferase2 (NAT2), cytochrome P4502E1
(CYP2E1) dan glutathione S-transferase (GST). Keupayaan untuk metabolism dan
eliminasi ubat tergantung kepada kadar asetilasi di hati oleh enzim N-actyltransferase
dengan kehadiran 2 fungsional gens yaitu NAT1 dan NAT2 pada chromosome 8.
Komplikasi Isoniazid tergantung tipe asetilatornya yaitu asetilator cepat atau lambat
dan juga ras seseorang. Pada populasi Amerika Utara dan Eropah diperkirakan 50-
70% adalah slow asetilator dan populasi Mediterranean seperti Egyptians dan
18
Moroccans hamper 90% adalah slow asetilator. Pada populasi Cina,Korea, Jepang dan
Thailand 10-30% adalah asetilator lambat.
Secara general asetilator lambat lebih sering menyebabkan komplikasi atau efek
samping dan dikatakan berisiko tinggi dalam pembentukan spontan Systemic Lupus
Erythmatosis(SLE). Asetilator lambat yang banyak makan dagingan berisiko tinggi
untuk mendapat kanker kolonrektal dan bagi asetilator lambat pula sering dikaitkan
dengan kanker vesika urinary apabila terexpose terhadap asap rokok. Isoniazid sering
menyebabkan hepatotoxic misalnya pada terapi tunggal, asetilator lambat (slow
acetylator) lebih cenderung terjadi hepatotoxic pada orang Amerika. Bagi terapi
ganda yang tidak dikombinasi dengan Rifampicin populasi Asia lebing sering terjadi
hepatotoxic berbanding populasi Afrika dan Eropah. Bagi masyarakat di India,
komplikasi ini sering terjadi pada kedua tipe asetilator yaitu cepat dan lambat.
Masyarakat Kaukasian juga sering terjadi hepatotoxic samada terapi tunggal atau
terapi bersama Rifampicin. Derivate dari acetilhidrazin atau hidrazid dikatakan
sebagai agent toxic yang menyebabkan hepatotoxic pada polimorfsm genetic
Isoniazid. Pada suatu studi oleh Yamamoto et al(1986), hepatotoxic antara gejala
yang signifikan jika dilakukan terapi kombinasi Isoniazid fan Rifampicin.7
19
VIII. PENATALAKSANAAN
Vitamin B6/piridoksin
Untuk pengobatan dengn INH, asetilator labat akan mudah menderita efek samping
INH berupa neuropati perifer karena defisiensi B6. INH akan menghambat absorpsi
vitamin B6 jaringan dan akan memperbesar ekskresi vitamin B6. Komsumsi vitamin
B6 bagi asetilator lambat INH adalah terapi yang paling mudah dan dapat mengatasi
terjadinya efek samping neuropati perifer.
Setiap hari kita hanya butuh mengkonsumsi vitamin B6 sebanyak 0,2 mg guna
membantu tubuh memproduksi sekitar 60 jenis enzim penting. Vitamin ini tidak boleh
dikonsumsi secara berlebihan karena akan membuatnya menjadi racun bagi tubuh.2
Antara manfaat pemakaian vitamin B6 adalah:
a) Piridoksin diperlukan untuk seimbangkan perubahan hormon pada wanita
serta membantu sistem kekebalan tubuh dan pertumbuhan sel-sel baru. Hal ini
juga digunakan dalam pengolahan dan metabolisme protein, lemak dan
karbohidrat. Piridoksin mungkin juga bermanfaat untuk anak-anak dengan
kesulitan belajar, serta membantu dalam pencegahan ketombe, eksim dan
psoriasis.
b) Piridoksin juga membantu dalam keseimbangan natrium dan kalium serta
meningkatkan produksi sel darah merah..6
20
IX. PREVENTIF
Preventif termasuk juga nutrisi yang baik untuk promosi kesehatan, pencegahan dan
melambatkan suatu proses penyakit. Menurut kajian, Isoniazid bisa menyebabkan
hiperglycemia, maka pasien harus la menjaga makan dan diet dengan teratur bagi
mengelakan perubahan yang signifikan pada gula darah. Obat-obatan bisa
menyebabkan gangguan pada cara kerja vitamin yaitu absorbsi, distribusi, metabolism
dan eskresi. Isoniazid bisa mengubah cara kerja beberapa vitamin dalam tubuh
misalnya vitamin D, Niacin(B3) dan Piridoksin(B6). Isoniazid juga dilaporkan bisa
menyebabkan hipocalsemia maka diet yang seimbang dan penambahan mikro dan
makronutrient yang berkurang akibat kerja Isoniazid dapat mengurangi gejala klinis
yang timbul pada polimorfism genetic Isoniazid tertutamanya penambahan Piridoksin
(B6).6,7
X. PROGNOSIS
Prognosis bagi polymorphism genetic Isoniazid adalah sangat tergantung kepada upaya terapi
dan pencegahan. Prognosis baik sekiranya diterapi dengan cepat sebelum terjadinya
komplikasi yang tidak diinginkan. Langkah-langkah pencegahan yang tepat juga harus
diambil bagi penderita polimorfism genetic ini.
21
KESIMPULAN
Polimorfism genetic adalah variasi genetic yang menyebabkan perbedaak aktivitas dan
kapasitas suatu enzim dalan menjalan fungsinya. Adanya perbedaan ekspresi genetic antara
tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat dalam tubuh
dan hal yang ditekankan adalah metabolism yang terjadi oleh adanya bantuan enzim.
Kapasitas enzim yang dihasilkan tiap individu berbeda0beda dan hal ini yang memacu
terhadap perbedaan respon tubuh terhadap pemaikan obat yang sama misalnya Isoniazid yaitu
obat antituberkulosi. Penanganan yang tepat dan cepat harus dilakukan sebaik sahaja
diagnosis ditegakkan yakni dengan penambahan piridoksin dalam terapi selain itu diet yang
baik dan teratur juga harus dilalui oleh penderita polimorfisn genetic Isoniazid ini bagi
mengelakkan komplikasi yang lebih teruk.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes HA. Biotransformasi Obat dalam Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998: 58-64.
2. S.M.Lumbantobing. Neurologik Klinik pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI,
2005:6-18.
3. Mark H. Swartz.Buku Ajar Diagnostik Fisik,2000:hal 83-7.
4. Salam A. Farmakogenetika dalam Genetika Manusia dan Kedokteran. Widya Medika,
Jakarta, 1996; Edisi ke-3: 91-3.
5. Hartono. Pengantar Genetika Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1995: 274-5.
6. David A dan Evans P. Genetic factors in drug therapy: clinical and molecular
pharmacogenetics. Cambride University Press, 2003: 235-241.
7. Adrianne B dan Deckelbaum RJ. Preventive Nutrition: The Comprehensive Guide for
Health Professionals. Humana Press, 2006: 102-11.
8. Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan Kuliah Farmakologi.
Penerbit Buku Kedokteran ECG, 2008: Edisi ke-2; 312-3.
23