109
i POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR’AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB Oleh Ismiyati Nur ‘Azizah NIM:107024001141 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011

Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

i

POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR’AN: STUDI KASUS

TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

Oleh

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM:107024001141

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011

Page 2: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan

gelar.

Jakarta, 20 September 2011

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM: 107024001141

Page 3: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

ii

POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR’AN: STUDI

KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Ismiyati Nur ‘Azizah

NIM:107024001141

NIP: 198003052009011015

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011

Page 4: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “POLISEMI KATA WALI DAN AULIYA DALAM AL-

QUR‟AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH

SHIHAB”. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 20 September 2011.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 20 September 2011

Sidang Munaqasyah TTD TGL

1. Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag. (Ketua)

NIP: 19700505 200003 1001

2. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Sekretaris)

NIP: 1979 1229 2005011004

3. Makyun Subki, M. Hum. (Pembimbing)

NIP: 198003052009011015

4. Dr. Abdullah, M. Ag. (Penguji 1)

NIP: 19610825 199303 1 002

5. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Penguji 2)

NIP: 1979 1229 2005011004

Page 5: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

iv

Abstrak

Ismiyati Nur ‘Azizah

“Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an: Studi Kasus Terjemahan

Hamka dan Quraish Shihab”

Semantik berasal dari bahasa Yunani yakni sema yang berarti „tanda‟ atau

„lambang‟, kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟ atau

„melambangkan‟. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang

digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda

linguistik dengan hal yang ditandai.

Penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap ditemukan

dibeberapa kajian bahasa yaitu: semantik leksikal dan semantik gramatikal. Di

dalam semantik ada beberapa relasi makna antaranya polisemi. Maka dari itu

polisemi merupakan fenomena di dalam semantik.

Penelitian ini mengkaji tentang homonimi di dalam bahasa Arab dan

menjadi persoalan dalam penerjemahannya di bahasa Indonesia dan Penulis lebih

memfokuskan penelitian ini pada kata Wali dan Auliya yang ada di dalam al-

Qur‟an dengan membandingkannya antara terjemahan Hamka dan Quraish

Shihab. Dalam penelitian ini teori yang digunakan bertalian dengan teori-teori

umum semantik, sampai pada teori yang menyatakan bahwa polisemi sebagai

fenomena semantik. Kata Wali dan Auliya tersebut dianalisis dalam bentuk

konteks untuk mengetahui bagaimana terjemahannya dalam konteks kalimat dan

kemudian dianalisis dengan membandingkan antara terjemahan Hamka dan

Quraish Shihab.

Terlihat ada beberapa kata di dalam al-Qur‟an jika diaplikasikan pada

suatu konteks yang sama (ayat Qur‟an) kemudian diterjemahkan dengan dua versi

terjemahan yang berbeda maka akan ada yang mengalami perbedaan makna, maka

di sinilah terjadinya polisemi.

Page 6: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat

rahmatNya, Penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan

Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.

Sekalipun karya ilmiah ini sangat sederhana dengan mengangkat judul

“Polisemi dalam Bahasa Arab dan Persoalan Terjemahannya dalam Bahasa

Indonesia: Studi Kasus Penerjemahan Kata Wali dan Auliya Oleh Hamka dan

Quraish Shihab”, bagi Penulis bukanlah suatu pekerjaan atau hasil usaha yang

mudah. Sebab, dalam proses penyelesaiannya persiapan-persiapan yang matang,

baik fisik material maupun mental spiritual.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi

saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan

seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pertama sekali terima kasih kepada dosen pembimbing saya Makyun

Subuki, M. Hum. atas segala bantuan, koreksian, masukan-masukan, bimbingan,

serta waktu luang yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai pada

waktunya. Penghargaan serupa saya haturkan kepada Karlina Helmanita, M.Ag

sebagai orang yang pertama kali mengenalkan saya pada bidang penelitian.

Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada Ketua Jurusan Tarjamah, Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.A., dan Sekretaris

Page 7: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

vi

Jurusan Tarjamah Moch. Syarif Hidayatullah, M.hum., yang telah banyak

memberikan bantuan moril selama studi saya di jurusan Tarjamah. Begitu juga

kepada Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag, mantan Ketua Jurusan Tarjamah.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada para dosen Jurusan Tarjamah

yang selalu sabar mengajarkan dan mendidik saya selama perkuliahan atau pun di

luar perkuliahan. Semoga ilmu dan kesabaran mereka mengalir dan menjadi amal

kebaikan yang tak pernah putus.

Keluarga tercinta, terutama kedua orang tua saya, Ayahanda H.

Muhammad Isro, S.pd. dan Ibunda tercinta Hj. Raudlatul Intihanah atas segala

doa, dukungan dan semangat yang selalu diberikan tiada henti yang selalu

memotivasi saya. I just wanna say I love you dad and mom and thanks for

everything. Kakak dan Adik-adik saya terima kasih atas segala bantuan dan

semangatnya.

Teman seperjuangan dan satu bimbingan, Nur Rahmawati dan Rahmat

Darmawan, yang selalu memberikan semangat dan tempat berbagi di kala suka

dan duka selama pengerjaan skripsi ini. Untuk teman-teman terhebat saya tempat

saya mencurahkan keluh kesah saya selama skripsi ini berjalan Ani, Ais, Sifa,

Rida, Hanny, Khoas, Reza, Anas, Buluk, terima kasih atas segala doa, pengertian

dan semangatnya. Special thanks untuk Mario Pramudya Utama yang selalu

memberikan doa, dan semangatnya, walaupun hanya dalam jarak yang jauh

sampai proses pengerjaan skripsi ini selesai.

Teman-teman angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

yang telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi dan juga adik-

adik jurusan Tarjamah.

Page 8: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

vii

Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis

maupun pembaca. Penulis juga menyadari akan banyaknya kekurangan pada

penyusunan skripsi ini, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat

Penulis harapkan.

Jakarta, 20 September 2011

Penulis

Page 9: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..…i

SURAT PERNYATAAN …………………...………………………….………. ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..……………………………….. iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN………....……………………. iv

ABSTRAK………………..……………………………………………………… v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi-viii

DAFTAR ISI …………………………………………………..……………….. ix

BAB I PENDAHULUAN……………………………………..………………….1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1-7

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7-8

D. Metodologi Penelitian ........................................................................... 8-9

E. Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan .................................... 10-11

BAB II KERANGKA TEORI .............................................................................. 12

A. Konsep Umum Semantik .................................................................................. 12

1. Definisi dan Sejarah Semantik ............................................... 13-14

2. Jenis Semantik ....................................................................... 14-15

B. Polisemi Sebagai Fenomena Semantik ...................................................... 16

1. Pengertian Polisemi ................................................................ 16-17

2. Jenis-Jenis Polisemi…………………….……………….……17-19

3. Pengertian Homonimi ............................................................ 20-21

4. Batasan-Batasan antara Polisemi dan Homonimi…...….........22-23

5. Perbedaan antara Polisemi dan Homonimi………........……...…23

6. Polisemi dan Perubahan Makna………………………...……24-25

7. Sebab-Sebab Perubahan Makna………………………...…….25-26

Page 10: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

x

C. Konsep Umum Terjemahan………………………………..…………...…27

1. Definisi Terjemahan……………………………………………27-28

2. Jenis-Jenis Terjemahan……………………………………….........29

3. Prinsip-Prinsip Terjemahan…………………………………….30-31

D. Penerjemahan al-Qur'an……………………….………………………......31

1. Definisi Penerjemahan al-Qur'an…………….………………....31-32

2. Syarat Penerjemahan al-Qur'an……………………………..…..32-34

3. Metode Penerjemahan al-Qur'an………………………..……..…...35

BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB...............................36

A. Mengenal Sosok Mufasir Hamka........................................................................36

1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuwan...................36-39

2. Karya-Karya Hamka.................................................................39-43

3. Aktifitas Lainnya............................................................................43

4. Metode Penerjemahan Hamka..................................................44-46

B. Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab...........................................................47

1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan......47-50

2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah.............................50-52

3. Karya-Karya M. Quraish Shihab...............................................52-54

4. Sekilas Gambaran Umum Buku Tafsir Al-Misbah...........................54-57

BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA WALI DAN AULIYA........58

A. Pendahuluan....................................................................................................58-59

B.Persamaaan dan Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam

Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab............................................................... 60

1. Persamaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan

Quraish Shihab ................................................................................................. 60-70

2. Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan

Quraish Shihab ............................................................................................... 70-86

Page 11: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

xi

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 87

A. KESIMPULAN ................................................................................. 87-89

B. SARAN .................................................................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94

Page 12: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa berisi gagasan, ide, pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri

si pembicara. Agar apa yang diinginkan, atau dirasakan dapat diterima oleh

pendengar atau orang yang diajak bicara, hendaklah bahasa yang digunakannya

dapat mendukung maksud atau pikiran dan perasaan secara jelas. Manusia

berbahasa berarti manusia hendak mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap.

Dengan bahasa dan berbahasa, kebudayaan manusia berkembang. Pewarisan

kebudayaan dilakukan lewat pewarisaan bahasa yang bermakna.1

Para penutur bahasa harus dapat menyesuaikan dan membedakan setiap makna

kata dan penggunaan makna kata. Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada

awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna

denotatif atau makna konseptual. Para ahli linguistik pun mengemukakan bahwa

bahasa memiliki lima unsur kajian linguistik, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis,

semantik, pragmatik.

Bahasa Arab tergolong bahasa yang disebut bahasa yang inflektif, artinya

bahasa yang mempunyai sejumlah perubahan bentuk, baik bertalian dengan aturan

pembentukan kata baru maupun bertalian dengan fungsi sintaksis tiap kata. 2

1 J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 61.

2 Aziz Fahrurrozi, Gramatika Bahasa Arab, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 13: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

2

Belajar bahasa Arab memiliki kesan umum yang sulit dan rumit. Padahal,

secara linguistik, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan

kemudahan yang berbeda-beda, bergantung pada karakteristik sistem bahasa itu,

baik dari segi fonologi, morfologi maupun sintaksis dan semantiknya.3 Pada

tataran teoritis, penelitian bahasa Arab pun merupakan unsur yang dibatasi dalam

sebuah sistem, setidak-tidaknya meliputi enam aspek penelitian, yaitu: bunyi

bahasa (fonetik), ilmu al-ashwat (fonologi), ilmu al-sharaf (Morfologi), ilmu

nahwu (sintaksis), ilmu ad-dhilalah (semantik), dan ilmu al-mu'jam (leksikologi).

Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan

dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna, pembahasan

linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu

tidak lain dari upaya untuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran yang tidak

bermakna tidak ada artinya sama sekali. Semantik dalam hubungannya dengan

sejarah, melibatkan sejarah pemakai bahasa (masyarakat bahasa). Lingkungan

masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai

di dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang

dipakai di lingkungan lain.4

Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang,

berubah, dan bergeser. Bahasa mengalami perubahan dan dirasakan oleh setiap

3 Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran

bahasa Arab, (Jakarta:UIN Press ,2009), hal. 3 4

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika

Aditama, 1999), hal. 66.

Page 14: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

3

orang, dan salah satu aspek dari perkembangan makna (perubahan arti) yang

menjadi objek telaah semantik historis.

Makna sebagai objek dalam studi semantik ini memang sangat rumit

persoalannya, karena bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa saja tetapi

juga menyangkut persoalan luar bahasa. Faktor-faktor luar bahasa seperti masalah

agama, pandangan hidup, budaya, norma dan tata nilai yang berlaku dalam

masyarakat turut menyulitkan masyarakat.

Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam

kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam

dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Konsep tentang keberagamaan itu

mengemuka ketika linguis mengaitkan bahasa dengan aspek kemasyarakatan.

Bahasa dilihat sebagai media komunikasi yang dinamis, yang menyesuaikan

aspek sosial pemakainya (the users) dan pemakaiannya (the uses). 5 Berbagai

nama jenis makna telah dikemukakan oleh para ahli bahasa dalam buku-buku

linguistik atau semantik. Dalam menganalisis semantik, seseorang harus

menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat

erat dengan budaya masyarakat pemakainya. Maka analisis suatu bahasa hanya

berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk menganalisis

bahasa lain. Semua ini karena bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah

penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Selain itu,

dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili

5 Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2007), hal. 47

Page 15: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

4

latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka

makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau mewakili nuansa makna yang

berlainan.

Seluruh makna yang terkandung dalam bahasa sering berhubungan satu sama

lain. Relasi makna dapat berwujud macam-macam.6 Hubungan atau relasi

kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan

makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponimi),

kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.

Polisemi merupakan salah satu bagian dari relasi makna. Polisemi merupakan

masalah yang cukup rumit dalam melakukan proses penerjemahan. Karena

seorang penerjemah sulit untuk menerjemahkan arti suatu kata dengan tepat tanpa

melihat konteks kalimat secara keseluruhan. Dalam hal ini sangatlah tidak asing

ketika mengkaji bahasa Arab, apalagi bahasa al-Qur‟an yang memang dikenal

mengandung makna yang sangat beragam pada tiap kata.

Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan definisi polisemi sebagai

berikut. Fatimah mengatakan dalam bukunya yang berjudul Semantik 1 Pengantar

ke Arah Ilmu Makna bahwasannya polisemi adalah satu kata yang memiliki

makna lebih dari satu. Palmer pun mengatakan demikian: “…..it is also the case

that same word may have a set of different meaning”. Sedangkan Kushartanti,

6 Kushartanti, Op. Cit, hal. 116.

Page 16: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

5

mengatakan bahwasanya polisemi merupakan kata atau frasa yang memiliki beb

erapa makna yang berhubungan. 7

Objek utama dari polisemi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka

kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Ketika

kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan

kegiatan menafsirkan makna. Al-Qur‟an bukan rangkaian kata-kata semata,

melainkan mencakup makna dan lafadz. Di Indonesia telah banyak ahli bahasa

yang menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an seperti apa yang kita lihat saat

ini. Semuanya mempunyai tujuan agar al-Qur'an dapat dipahami maksud dan

makna yang terkandung di dalamnya. Di antara sekian banyak ahli bahasa yang

telah menerjemahkan al-Qur'an itu di antaranya adalah Hamka, M. Quraish

Shihab, Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Namun dalam hal ini, penulis

hanya akan menganalisis makna (semantik) yang terkandung di dalam al-Qur‟an

dan mengandung makna yang berpolisemi dalam terjemahan Hamka dan Quraish

Syihab.

Maka dari itu, saya sebagai penulis mencoba membicarakan persoalan dasar

dari semantik sebagai bekal awal untuk memahami masalah bahasa, dalam bahasa

Indonesia maupun bahasa Arab, secara lebih luas. Akan tetapi, penulis lebih

memfokuskan untuk menganalisis polisemi. Maka dari itu, saya sebagai penulis

akan menganalisis judul “Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an:

Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab”. Contoh kasus surat Al-

Maidah ayat 51:

7 Kushartanti, Op. Cit, hal. 117

Page 17: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

6

يأيها الذيه امىىا ال تتخذوا اليهىد والىصري اولياء بعضهم

مىهم ان اهلل ال يهذي القىم اولياء بعض ومه يتىلهم مىكم فاوه

.الظالميه

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil

orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian

mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu

mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk

golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang zalim.

Pada dasarnya dalam bahasa Arab kata wali dan auliya bermakna pemimpin.

Akan tetapi, dari contoh di atas terdapat perbedaan makna mengenai kata auliya

dalam surat Al-Maidah ayat 51 apakah bermakna pemimpin?

Berdasarkan kamus al-Munawwir kata auliy bermakna (1) yang mencintai (2)

teman, sahabat (3) yang menolong (4) orang yang mengurus perkara seseorang

atau wali. 8

Sedangkan, dalam kamus al-Arsy kata auliy bermakna (1) wakil, pejabat

pelaksana, karetaker (2) penolong (3) sahabat, teman (4) wali, orang yang

bertaqwa (5) tuan, kepala (6) yang mencintai (7) orang yang mengurus perkara

seseorang (8) tetangga (9) sekutu (10) pengikut (11) pemilik (12) penanggung

8 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), hal. 1582.

Page 18: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

7

jawab, kepala, pimpinan (13) putra mahkota (14) wali yang diwasiatkan (15)

pengasuh anak yatim (16) yang dermawan.9

Dalam kajiannya kata Wali dan Auliya di dalam al-Qur‟an terdapat 88 kata.

10Dan tidak semua kata Wali dan Auliya diterjemahkan dengan pemimpin.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis memfokuskan diri pada polisemi

kata Wali dan Auliya dalam al-Qur‟an dan menggunakan kajian komparatif antara

terjemahan Hamka dengan terjemahan Quraish Shihab. Oleh karena itu, rumusan

masalah penelitian ini adalah:

1. Apa saja arti dari kata wali dan auliya yang ada di dalam al-Qur‟an, dan

apakah memiliki arti yang berbeda-beda?

2. Bagaimanakah Hamka dan Quraish Shihab menerjemahkan kata wali dan

auliya dalam Qur‟an dan apakah terdapat perbedaan antara terjemahan

keduanya?

9 Atabik Ali, Al-„Arsy Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Mulya Karya Grafika, 1998),

hal. 2040. 10

Muhamad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al- Qur‟an Al- Karim,

(Turki: Maktabah al-Islamiyah, 1984), hal. 766-767

Page 19: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kata wali dan auliya diartikan apa saja, dan untuk

membuktikan bahwa kata wali dan auliya memiliki makna lebih dari

satu.

b. Untuk mengetahui hasil terjemahan kata wali dan auliya versi Hamka

dan Quraish Shihab.

c. Untuk mengetahui dimana saja letak perbedaan dan persamaan dari

terjemahan keduanya.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat mengetahui ada atau tidak

adanya perbedaan terjemahan kata Auliya karya Hamka dan terjemahan karya M.

Quraish Shihab. Sedangkan, manfaat penelitian ini secara praktisnya adalah

memberikan kontribusi di dalam dunia penerjemahan karena dengan penelitian ini

dapat menyumbangkan pengetahuan baru dalam dunia penerjemahan.

D. Metodologi Penelitian

Dalam memperoleh data penulis melakukan kajian yang bersifat pustaka

(Library Research), yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan

penelitian. Sedangkan, metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif

analisis komparatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi

mengenai polisemi dalam bahasa Arab dan persoalannya dalam penerjemahan

bahasa Indonesia, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk membuat deskripsi,

Page 20: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

9

gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode yang digunakan

adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis semantik kognitif.

Penelitian ini mengambil studi kasus dengan melakukan penelitian secara

mendalam terhadap objek penelitian yang dipilih, dalam hal ini mengenai studi

kasus penerjemahan kata auliya oleh Hamka dan Quraish Shihab. Seperti yang

dikemukakan oleh Maxifield (1930) yang dikutip dari buku metode penelitian

karangan Moh. Nasir mengatakan bahwa studi kasus, atau penelitian kasus, adalah

penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan satu fase

spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.

Data didapat oleh penulis dari sumber buku hasil terjemahan Hamka dan

Quraish Shihab. Sedangkan perincian data yang dilakukan adalah dengan

langkah-langkah membaca dan menelaah. Dalam penelitian ini yang pertama kali

dilakukan oleh penulis adalah mencari kata wali dan auliya yang terdapat dalam

al-Qur‟an agar penulis lebih mudah lagi menemukan kata wali dan auliya maka

penulis membaca kitab mu‟jam al-mufahras, dan kemudian melihat terjemahan

Hamka dan Quraish Shihab, dan data diolah secara perlahan kemudian

menganalisis makna tersebut dan membandingkan hasil terjemahan dari kedua

buku terjemahan yang berbeda penerjemahnya.

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu pada sumber-sumber sekunder

berupa buku-buku semantik, kamus-kamus Arab, buku-buku terjemahan, tafsir

Page 21: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

10

Al-Azhar karya Hamka, kemudian tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan

lain-lain.

Adapun dalam penulisan skripsi ini, Penulis mengacu pada buku "Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)" yang diterbitkan oleh

Center for Quality Development and Assurance (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Press 2007).

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan penelitian terhadap buku-buku, skripsi, dan tesis yang

pernah diteliti bahwa penelitian yang sama baru diteliti oleh satu orang yaitu

Firmansyah dengan judul skripsi yaitu Analisis Polisemi dalam al-Qur‟an Studi

Kasus Terjemahan Kata Al-sa‟ah. Alasan Penulis memilih judul ini, dikarenakan

rasa keingintahuan yang mendalam tentang penerjemahan karya Hamka dan M.

Quraish Shihab.

Penulis juga merujuk pada buku-buku ataupun bahan bacaan lain yang dapat di

jadikan acuan serta data yang dapat ditemukan atau buku yang terkait dengan

pembahasan yang Penulis teliti, Leksikologi Bahasa Arab karangan H.R.

Taufiqurrahman, M.A, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna karangan T.

Fatimah Djajasudarma, Pengantar Semantik karya Stephen Ullmann, dan lain

sebagainya. Penulis mengambil referensi tersebut karena buku-buku tersebut

banyak terdapat pembahasan-pembahasan yang Penulis perlukan sebagai

penunjang skripsi.

Page 22: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

11

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan lebih terarah dan sistematis, maka langkah yang Penulis

lakukan adalah sebagai berikut:

Pada Bab I merupakan pendahuluan dari bab-bab yang selanjutnya, dalam bab

ini berisi Latar Belakang Masalah, kemudian selanjutnya berisi tentang

Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi

Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

Bab II, dalam bab ini Penulis menyajikan Konsep Umum Semantik di dalam

konsep umum semantik ini akan dijelaskan definisi dan sejarah semantik, jenis

semantik, dan polisemi sebagai fenomena semantik sedangkan, dalam Konsep

Umum Penerjemahan al-Qur'an ini pun akan dijelaskan tentang definisi terjemah

al-Qur'an, macam-macam terjemah al-Qur'an, dan syarat-syarat terjemah al-

Qur'an, dan Konsep Umum Polisemi

Bab III, Biografi Kedua Penerjemah, berisikan keseluruhan biografi Hamka

dan Quraish Shihab.

Bab IV, Analisis Polisemi Kata Wali dan Auliya, berisikan Unsur Persamaan

Kedua terjemahan, Unsur Perbedaan kedua terjemahan.

Bab V, Penutup berisi kesimpulan dan saran

Page 23: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

12

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Konsep Umum Semantik

Makna merupakan objek dari ilmu semantik. Makna berada diseluruh atau

disemua tataran yang membangun kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa;

satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata

dibangun oleh morfem; satuan morferm dibangun oleh fon (bunyi). Makna berada

di tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Oleh karena itu, semantik merupakan

unsur yang berada pada semua tataran, meskipun sifat pada setiap kehadirannya di

dalam tataran tidak sama. Sebagai disiplin ilmu bahasa, semantik banyak

memberikan manfaat dalam kehidupan. Semantik lebih menitikberatkan pada

bidang makna dengan berpegang teguh pada acuan dan bentuk. Acuan dapat

bersifat kongret dan abstrak. Ilmu ini merefleksikan bidang ilmu masing-masing.

Bagi seorang yang bergelut dimedia cetak dan elektronik, kajian ilmu ini akan

digunakan karena bekerja di bidang ini selalu berhubungan dengan teks-teks yang

berhubungan dengan daftar pustaka.11

Namun, sebelum Penulis membicarakan

persoalan ini lebih rinci lagi, penulis akan memaparkan hal-hal yang diperlihatkan

sebagai berikut:

11

Siti Kurratul‟aini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur‟an Juz 30, (Surat

al-Qadar, al-Alaq, al- Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dan Mahmud Yunus,

(skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008),

hal. 33

Page 24: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

13

1. Definisi dan Sejarah Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani seme (kata benda) yang berarti

„tanda‟ atau „lambang‟. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟

atau „melambangkan‟. Menurut Verhaar semantik adalah cabang sistematik

bahasa yang menyelidiki makna atau arti (dalam linguistik kedua istilah itu

lazimnya tidak dibedakan).12

Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah

yang digunkan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-

tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, semantik dapat

diartikan dengan ilmu arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa:

fonologi, gramatikal dan semantik.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 M yang dikenal melalui

American Philological Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah

artikel yang berjudul Reflected Meaning: A Point in Semantics. Istilah semantik

berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari

bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal.13

Istilah ini sudah ada sejak abad

ke-17 SM bila dipertimbangkan melalui frase Semantic Philosophy.14

Breal

melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Langage”

mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan.

Semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem

penggolongan. Fatimah mengemukakan pendapatnya bahwa semantik adalah ilmu

12

J.W.M.Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995), cet. Ke-20,

hal. 9 13

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 3 14

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung:

Refika Aditama, 1999), hal.1

Page 25: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

14

makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana

perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.

Semantik pun dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang

ditampilkan oleh semantik hanya sekedar membayangkan kehidupan mental

pemakai bahasa. Semantik ada hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah

pemakaian bahasa (masyarakat bahasa). 15

Gagasan-gagasan orang Yunani-Romawi tentang kata dan penggunaannya jelas

mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap semantik modern, akan tetapi

tonggak pengerak atas munculnya sebuah ilmu tentang makna itu datang dari

mana-mana. Munculnya ilmu ini pada pertengahan abad ke-19 dan setidaknya

ditentukan oleh dua faktor. Pertama, munculnya ilmu filologi perbandingan, dan

lebih umum lagi munculnya ilmu linguistik dalam arti modern. Faktor kedua

adalah pengaruh gerakan Romantik dalam sastra.16

2. Jenis Semantik

Pada abad kelima seorang filosof dari Neo-Platonis yaitu Proclus, melakukan

survai terhadap keseluruhan yang terdapat di dalam perubahan makna dan

membeda-bedakannya menjadi beberapa tipe dasar perubahan. Perubahan itu

meliputi, perubahan kultural, metafora, perluasan dan penyempitan makna dan

yang lainnya yang masih merupakan bagian semantik modern masa kini. Minat

para ahli pada zaman kuno tentang kata tidaklah terbatas pada perubahan makna

15

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung:

Refika Aditama, 1999), hal.14 16

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4.

Page 26: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

15

saja. Mereka juga melakukan pengamatan yang tepat mengenai tingkah laku kata–

kata dalam tutur yang sebenarnya. Sedangkan, Demokritus dengan jelas melihat

adanya dua jenis makna-jamak: ada sebuah kata yang mempunyai makna lebih

dari satu dan sekarang sering disebut dengan polisemi, dan sebaliknya, ada lebih

dari satu kata untuk satu gagasan atau makna dan sekarang sering disebut dengan

sinonimi.17

Bila kita mengkaji semantik maka sudah barang tentu kita akan menemukan

jenis semantik yang sangat beragam. Namun untuk memudahkan pembahasan,

penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap digunakan dalam kajian

ilmu bahasa. Pertama semantik leksikal, jenis semantik ini lazim digunakan dalam

ilmu semantik untuk menyebutkan satuan bahasa bermakna dan merupakan kajian

semantik yang lebih memuaskan pada pembahasan sistem makna yang terdapat

dalam kata. Verhaar (1983:9) berkata, “Perbedaan antara leksikon dan gramatikal

menyebabkan bahwa dalam semantik kita bedakan pula antara semantik leksikal

dan semantik gramatikal.18

Kedua, semantik gramatikal, semantik gramatikal

merupakan studi semantik yang khusus mengkaji makna yang terdapat dalam

satuan kalimat. Semantik gramatikal jauh lebih sulit untuk dianalisis.19

17

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 3. 18

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 74 19

Mansoer Pateda, Op. Cit, hal. 71.

Page 27: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

16

B. Polisemi Sebagai Fenomena Semantik

1. Pengertian Polisemi

Polisemi merupakan suatu unsur fundamental di dalam tutur manusia yang

dapat muncul dalam berbagai cara, salah satunya adalah faktor dari bahasa asing.

Kata “polisemi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu polysemy, yang berarti makna

ganda, sebuah kata yang dikelompokan dengan kata lain di dalam klasifikasi yang

sama berdasarkan makna yang berbeda.

Penulis mendapatkan beberapa pengertian polisemi dari beberapa linguis, para

ahli linguis mempunyai pendapat yang sejalan bahwa, polisemi itu adalah satu

kata yang memiliki makna lebih dari satu. Hal tersebut dapat kita simak dari

pendapat Lyons yang menyatakan bahwa polisemi (multiple meaning) is a

property of a single lexemes. Pateda mengatakan: “it is also the case that same

word may have a set of different meanings”; demikian ada juga ada yang

mengatakan, “a word which have too (or more) related meanings” adalah

polisemi.20

Sementara itu, penulis lokal yaitu Suparno dalam buku Proyek

Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Kependidikan bahwa polisemi

secara harfiah berarti banyak makna. Polisemi sebagai istilah berarti bermakna

banyaknya suatu kata atau tanda bahasa dengan catatan makna yang banyak itu

memiliki banyak hubungan antara satu dengan yang lainnya. Polisemi juga

merupakan satu ujaran dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna berbeda-

20

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung:

Refika Aditama, 1999), hal. 45

Page 28: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

17

beda, tetapi masih ada hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang

berlainan tersebut, maksudnya masih ada dalam satu bidang.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa polisemi

adalah leksem yang mengandung makna ganda. Karena kegandaan makna seperti

itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna leksem atau

kalimat yang didengar atau dibacanya. Untuk menghindari kesalahpahaman sudah

barang tentu saja kita harus melihat terlebih dahulu konteks kalimatnya, atau kita

bisa bertanya lagi kepada si pembicara, apakah yang ia maksud.

Pengertian polisemi bertumpang tindih dengan pengertian homonimi, yaitu

kesamaan kata-kata yang berbeda.21

Homonimi dan polisemi tumbuh oleh faktor

kesejarahan dan faktor perluasan makna. Berdasarkan dari pengumpulan data,

proses polisemi bukan hanya terjadi pada tataran morfologi itu sendiri, tetapi pada

tataran frase dan sintaksis, dalam hal morfologi, polisemi terjadi baik dalam hal

pelafalan maupun leksem itu sendiri.

2. Jenis-Jenis Polisemi

Di dalam bukunya Stephen Ullmann menjelaskan bahwasanya polisemi terdiri

atas lima jenis, empat di antaranya terletak pada bahasa yang bersangkutan

sedangkan yang satu lagi bersangkutan dengan munculnya pengaruh bahasa asing.

Maka penulis akan menyebutkan kelima jenis polisemi tersebut berdasarkan

pendapat Ullmann di antaranya adalah:

21

T. Fatimah Djajasudarma, Op. Cit, hal. 43

Page 29: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

18

1. Pergeseran Penggunaan, pergeseran penggunaan terutama tampak

mencolok dalam penggunaan adjektiva karena adjektiva ini cenderung

berubah maknanya sesuai nomina yang diterangkan. Sebagian besar kata

muncul karena pergeseran penggunaan, walau faktor lain, seperti

penggunaan kias, mungkin saja ikut berperan. Pergeseran dalam

penggunaan ini merupakan pelaku utama di belakang banayaknya jumlah

makna dengan penggunaan kias sebagai suatu faktor penyumbang yang

penting. Contoh dalam bahasa Indonesia, verba makan yang semula

hanya untuk manusia dan binatang, itu pun dengan cara dan proses yang

berbeda-beda, misalnya makan ayam, makan bebek, makan asam garam,

makan suap.

2. Spesialisasi dalam Lingkungan Sosial. Breal mengemukakan bahwa

“dalam setiap situasi, dalam setiap lingkungan dagang dan profesi, atau

suatu gagasan tertentu. Orang dapat menemukan sekian banyak contoh

kata-kata yang mempunyai makna umum dalam bahasa sehari-hari dan

makna khusus dalam suasana terbatas:maju, jatuh dikalangan

mahasiswa;aman, sepi, panen dikalangan perdagangan.

3. Bahasa Figuratif (kiasan), sudah dikemukakan bahwa metafora dan kias-

kias lainnya merupakan faktor penting dalam motivasi dan dalam

overtone emotif. Sebuah kata dapat diberi dua atau lebih pengertian yang

bersifat figuratif tanpa menghilangkan makna orisinalnya: makna yang

lama dan makna yang baru akan tetap berdampingan selama tidak terjadi

kekacauan makna. Metafora muncul atas dasar adanya kesamaan-

kesamaan bukanlah satu-satunya penyebab polisemi. Metonimi, yang

munculnya tidak didasarkan atas kesamaan melainkan didasarkan atas

kaitan-kaitan tertentu antara dua buah makna, bisa juga bertindak sebagai

metafora. Contohnya, „dewan‟ tidak hanya menunjuk kepada „meja‟

untuk siding, melainkann juga untuk orang-orang anggota dewan yang

duduk disekitar meja itu.

4. Homonim-Homonim yang Diinterprestasikan Kembali, jika dua kata

mempunyai bunyi yang identik dan perbedaan maknanya tidak begitu

besar, kita cenderung untuk memandangnya sebagai dua kata dengan dua

pengertian. Secara historis, ini adalah masalah homonimi karena dua kata

itu berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Apa yang dulunya

homonimi, kemudian diinterprestasikan sebagai polisemi karena

ketidaktahuan aka nasal-usul kata yang berhomonimi itu. Dalam Kamus

Umum Bahasa Indonesia karya Poerdarminta, homonimi ditunjukan

dengan menggunakan angka Romawi besar (I, II, dst,.) sedangkan

polisemi ditunjukan dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dst).

Angka Romawi ditulis secara berurut secara vertikal, sedangkan angka

Arab ditulis secara horizontal.

5. Pengaruh Asing, salah satu masuknya pengaruh asing ke dalam suatu

bahasa adalah dengan mengubah makna yang ada dalam suatu kata asli.

Page 30: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

19

Contohnya, taste, misalnya, mempunyai dua makna pokok, yaitu

„mencicipi rasa sesuatu‟ dan „kearifan dan penghargaan terhadap

keindahan‟.22

Di antara lima jenis polisemi yang telah Penulis sebutkan di atas penulis bisa

mengatakan bahwa ketiga jenis pertama, yaitu pergeseran penggunaan,

spesialisasi makna, dan penggunaan kiasan, adalah jenis-jenis yang paling

penting; yang keempat (yaitu interpretasi kembali atas homonim) sangat jarang

terjadi, dan yang kelima (peminjaman makna) meskipun cukup umum terjadi

dalam situasi-situasi tertentu, bukanlah merupakan proses biasa dalam kehidupan

sehari-hari.

Para filosof beramai-ramai mengemukakan bahwa polisemi itu merupakan

kelemahan bahasa dan merupakan hambatan besar dalam komunikasi dan bahkan

dalam kejelasan pikir. Akan tetapi, Breal melihat bahwa dalam kemultigandaan

makna ada suatu tanda keagungan bahasa itu. Polisemi merupakan faktor ekonomi

dan fleksibilitas dalam bahasa yang tak ternilai harganya.

Kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan antara polisemi dan

homonimi. Akan tetapi, hal ini tidak mengherankan karena dua istilah ini

berhubungan dengan makna dan sekaligus dengan bentuk. 23

3. Pengertian Homonimi

Dibandingkan dengan polisemi, homonimi tidak begitu sering terjadi dan tidak

begitu kompleks, walaupun efeknya mungkin lebih serius dan bahkan lebih

22

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 202-

210. 23

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 219

Page 31: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

20

dramatis dalam fenomena semantik. Istilah homonimi (Inggris: homonymy)

berasal dari bahasa Yunani Kuno, onoma diartikan nama dan homos diartikan

sama. Secara harfiah, homonimi adalah nama sama untuk benda yang berlainan.24

Menurut T. Fatimah Djajasudarma, kata homonimi adalah hubungan makna dan

bentuk bila dua buah makna atau lebih dinyatakan dengan sebuah bentuk yang

sama (homonimi „sama nama‟ atau sering disebut juga dengan homofoni „sama

bunyi‟. Sedangkan Kushartanti mengatakan bahwasannya homonimi adalah relasi

makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda.

25

Seorang ahli linguis lainnya seperti John Lyons mengatakan dalam buku

Bahasa dan Linguistik Suatu Pengenalan, mengatakan homonimi adalah

pendekatan yang berbeda tetapi mempunyai bentuk yang sama. Sedangkan,

menurut Aminuddin dalam buku Semantik Pengantar Studi tentang Makna

mengatakan, bahwa homonimi tersebut adalah beberapa kata yang memiliki

bentuk ujaran yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda-beda.

Berdasarkan pendapat Ullmann homonimi bisa terjadi disebabkan oleh tiga

cara, di antaranya adalah: 26

1. Konvergensi Fonetis

Umumnya homonimi seringkali dijumpai dengan timbulnya konvergensi

fonetis (pemusatan atau perpaduan bunyi). Karena pengaruh bunyi yang

ada maka dua atau tiga kata yang semula berbeda bentuknya, lalu

menjadi sama bunyinya dalam bahasa lisan atau bahkan sampai dengan

24

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 211 25

Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta:Gramedia

Pustaka Utama, 2007), hal. 118 26

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 223

Page 32: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

21

bahasa tulisannya. Misalnya, seri bermakna „rangkaian‟ atau „deretan‟

dan seri „pohon ceri‟

2. Divergensi Makna

Perkembangan makna yang “menyebar” (divergen) juga bisa

menimbulkan homonimi. Jika dua buah makna atau lebih (polisemi) dari

sebuah kata berkembang ke arah yang berbeda, maka di sana tidak akan

jelas lagi hubungan antara makna-makna itu, dan kesatuan kata itu

menjadi rusak, dan polisemi berubah menjadi homonimi. Dalam

beberapa hal ada kriteria yang memadai untuk menentukan homonimi.

Perbedaan ejaan mungkin memang tidak pasti dalam menyelesaikan

masalah, namun dalam hal ini ada kaitan dengan faktor-faktor lain, hal

ini menunjukkan bahwa kata itu sudah tidak lagi dianggap sebagai

sebuah satuan. Kriteria lain yang kadang-kadang dapat menentukan

homonimi atau bukan homonimi adalah rima. Kriteria semacam ini

memang sangat menolong dalam beberapa hal tetapi tetap tidak dapat

menyelesaikan masalah seluruhnya. Misalnya, flower bermakna „bunga‟

dan flour „tepung‟.27

3. Pengaruh Asing

Banyaknya kata asing yang masuk ke dalam suatu bahasa sangat

mungkin menimbulkan homonimi dalam bahasa Inggris dan dalam

bahasa-bahasa lainnya. Pengaruh bahasa asing dapat juga membawa ke

arah homonimi lewat peminjaman makna (semantic borrowing), ini

memang proses yang jarang terjadi. Misalnya, butir „barang yang kecil-

kecil‟ atau „kata bantu bilangan‟ (sebutir kelapa), sekarang dipakai juga

untuk mengacu konsep yang datang dari bahasa Inggris, item „butir tes‟.

4. Batasan-batasan Antara Polisemi dan Homonimi

Untuk memahami batas antara kasus homonimi dan polisemi atau sebaliknya

polisemi dengan homonimi, Palmer, mengungkapkan perlu adanya sejumlah hal

yang patut diperhatikan, yakni:

a) Melihat kamus dan memahami etimologinya sebagai pemakai bahasa

dapat memahami makna dasar setiap kata yang batas polisemi dan

homoniminya rancu. Dengan mengetahui makna dasarnya, diharapkan

27

Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 228

Page 33: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

22

kita dapat menetapkan apakah bentuk kebahasaan itu termasuk polisemik

ataukah homonim. Dengan memahami etimologinya, misalnya pada

bentuk lik dan dhe, seseorang akan segera memahami bahwa kedua

bentuk itu bukan polisemik melainkan homonim.

b) Memahami konteks pemakainnya. Apabila bentuk kebahasaanya itu

digunakan sebagai metafor, misalnya dapat dipastikan bahwa kehadiran

maupun makna di dalamnya bukan akibat polisemi maupun homonim,

melainkan akibat pemindahan makna yang secara individual dilakukan

oleh penutur. Meskipun demikian, patut pula diperhatikan bahwa gaya

bahasa individual itu bisa menjadi umum, misalnya: bentuk tanyakan

pada rumput yang bergoyang yang secara umum dapat diberi makna

“sama sekali tidak tahu”, “tidak mau tahu”, atau “sekedar member tahu”

pertanyaan itu tidak lucu. Dalam hal itu, bentuk metaforis telah termasuk

ke dalam polisemi.

c) Melihat makna inti atau core of meaning. Apabila bentuk yang semula

rancu harus dinamai polisemik atau homonimi dapat ditentukan makna

intinya, kedudukan akhirnya dapat ditentukan. Memiliki makna inti

berarti polisemik, dan apabila memiliki makna inti berbeda berarti

homonimi.

d) Mengkaji hubungan strukrulanya. Dengan melihat bahwa kata syah dan

sah memiliki relasi struktural dengan kolokasi yang jauh berbeda, dapat

ditentukan bahwa bentuk itu adalah homonim.

Page 34: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

23

5. Perbedaan Antara Homonimi dan Polisemi

Palmer mengemukakan cara untuk membedakan polisemi dari homonimi

caranya yaitu:

a) Penelusuran secara etimologis. Misalnya bentuk pupil yang bermakna

murid atau mahasiswa yang tidak langsung berhubungan dengan pupil of

the eye yang bermakna biji mata, tetapi secara historis dianggap berasal

dari bentuk yang sama.

b) Mencari makna ini. Misalnya kata tangan yang biasa dihubungkan

dengan bagian anggota badan. Tetapi dalam perkembangannya, terdapat

urutan tangan kursi, dan terdapat urutan kaki tangan musuh.

c) Mencari antonimnya. Maksudnya, kalau antonimnya sama, maka kita

berhadapan dengan polisemi, dan kalau antonimnya berbeda, kita

berhadapan dengan homonimi. Misalnya, kata indah yang dapat

digunakan untuk rumah, baju, pemandangan. Antonimi kata indah

adalah buruk. Kata buruk dapat digunakan untuk baju, pemandangan.

Dengan demikian kata indah bermakna ganda atau polisemi.

d) Alasan formal. Contoh, dalam bahasa Perancis terdapat bentuk poli yang

bermakna tingkah laku yang halus, baik yang dihubungkan dengan

makna literer, maupun makna kiasan.28

6. Polisemi dan Perubahan Makna

Bahasa mengalami perkembangan, perkembangan bahasa pun mempengaruhi

perkembangan makna di dalam perkembangan makna selalu mencakup segala hal

tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Dan di dalam hal ini

pula, perkembangan meliputi beberapa hal tentang perubahan makna, baik yang

meluas, menyempit atau yang bergeser maknanya. Gejala perubahan makna

sebagai akibat dari perkembangan makna oleh para pemakai bahasa. Bahasa

berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia.

28

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal, 221-

222

Page 35: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

24

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ada beberapa faktor yang mengakibatkan

sebuah makna akan berubah dari makna aslinya. Semua itu diakibatkan karena

adanya perkembangan bahasa. Perubahan makna dengan mudah bisa terjadi

karena berbagai faktor-faktor berikut ini, antara lain:

a) Menurut Meillet, bahasa itu dialihkan secara turun-temurun dalam suatu

cara yang „tak berkesinambungan‟ dari generasi yang satu ke generasi

berikutnya. Sebagian besar dari beberapa linguis menyetujui bahwa ini

merupakan salah satu faktor yang sangat penting, meskipun sangat sulit

dalam membuktikan bahwa suatu perubahan dapat terjadi hanya dalam

bahasa anak-anak.

b) Sumber perubahan makna yang lain adalah kekaburan makna. Berbagai

kekaburan makna di antaranya yaitu sifat generik kata, banyaknya aspek

dalam kata, kurangnya keakraban, tidak adanya batas makna yang jelas-

semua itu mempermudah bergesernya penggunaan.

c) Hilangnya motivasi juga merupakan faktor yang menyebabkan

perubahan makna.

d) Adanya polisemi menunjukkan unsur kelenturan dalam bahasa. Tidak ada

kata akhir untuk suatu perubahan makna: sebuah kata dapat memperoleh

makna baru, atau sejumlah makna baru, tanpa kehilangan makna aslinya.

Biasanya polisemi hanya dipakai oleh seseorang pada sebuah konteks.

Page 36: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

25

e) Banyak perubahan makna berasal dari adanya konteks bermakna ambigu

(ambiguous contexts) di mana sebuah kata tertentu dipakai dalam dua

makna, sementara makna ujaran secara keseluruhan tetap tak

terpengaruh.

f) Struktur kosakata merupakan faktor yang paling terpenting dari faktor-

faktor yang umum yang menyebabkan perubahan makna terjadi.

7. Sebab-Sebab Perubahan Makna

Perubahan makna bisa disebabkan oleh berbagai sebab; ada yang menyebut

tidak kurang dari 31 kemungkinan. Ada sebab-sebab yang mungkin unik untuk

suatu kasus, yang hanya bisa dibangun hanya dengan merekonstruksi keseluruhan

semua latar belakang sejarahnya, tetapi bisa pula karena sebab-sebab umum.

Enam sebab di antaranya yaitu:29

1. Sebab-sebab yang bersifat kebahasaan

Dalam hal ini Breal pernah mengemukakan adanya proses penularan

(contagion), dalam arti makna sebuah kata mungkin dialihkan kepada

kata yang lain hanya karena kata-kata itu selalu hadir bersama-sama

dalam banyak konteks.

2. Sebab-sebab historis

Sering terjadi bahwasannya bahasa itu lebih konservatif daripada

peradaban material maupun moral. Objek atau benda, lembaga, gagasan,

konsep ilmiah, selalu berubah sepanjang waktu.

3. Sebab-sebab sosial

Sebuah kata semula dipakai dalam arti umum kemudian dipakai dalam

bidang khusus, misalnya dipakai dalam istilah perdagangan atau

29

Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 251-262

Page 37: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

26

kelompok terbatas yang lain, kata itu cenderung memperoleh makna

yang terbatas.

4. Faktor psikologis

Perubahan makna yang secara psikologis lebih menarik adalah yang

bersumber pada unsur atau yang berkecendrungan yang berakar dalam

jiwa penutur. Dalam studi makna ada dua sebab semacam itu yang

ditekankan hanya faktor emotif dan tabu.

5. Pengaruh asing sebagai penyebab perubahan makna; Banyak perubahan

makna disebabkan oleh pengaruh suatu model asing.

6. Kebutuhan akan makna baru

Cepatnya kemajuan ilmu dan teknologi masa kini makin meningkatkan

tuntutan pada sumber-sumber kebahasaan, dan kemungkinan-

kemungkinan metafora dan jenis-jenis perubhan makna yang lain

menjadi sangat dieksploatasi.

C. Konsep Umum Terjemahan

1. Definisi Terjemahan

Definisi terjemah secara luas adalah semua kegiatan manusia dalam

mengalihkan makna atau pesan baik verbal maupun nonverbal, dari suatu bentuk

ke bentuk yang lainnya.30

Eugene A. Nida mendefinisikan penerjemahan sebagai kegiatan menghasilkan

kemsbali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan

sewajarnya, sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama

menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.31

30

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah; Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik, (Bandung : TPA, 1994), cet. I, hal. 8 31

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 11

Page 38: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

27

Savory (1968) mengemukakan hakikat penerjemahan di dalam bukunya The

Art of Translation dengan menerjemahkan menjadi mungkin dengan adanya

gagasan yang sepadan dibalik ungkapan verbal yang berbeda.

Newmark, seperti yang dikutip oleh Rochyah Machali, mengatakan, bahwa

yang dimaksud dari penerjemahan adalah rendering the meaning of a text into

another language in the way that the author intended the text. “Menerjemahkan

makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan

pengarang”.32

J. Levy, agak berlainan dari Newmark dalam menyatakan definisi

penerjemahan. Yang ia tonjolkan adalah terjemah sebagai salah satu keterampilan,

di mana kejelasan dari penerjemah tampak tercermin dalam opininya. Dalam

bukunya Translation as A Decision Process, seperti yang dikutip Nurrachman

Hanafi, menyatakan translation is a creative process with always leaves the

translater a freedom of choice between several approximately equivalent

possibilities of realizing situational meaning. “Terjemahan merupakan proses

kreatif yang memberikan kebebasan bagi penerjemah buat memilih padanan yang

dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasi”.33

Az-Zarqani mengemukakan bahwa secara etimologi istilah terjemah memiliki

empat makna: (a) menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima

tuturan itu. (b) menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa

32

Rochyah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), cet.

Ke-1, hal.5 33

Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1986), cet.

Ke-1, hal.24

Page 39: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

28

Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan

bahasa Indonesia pula. (c) menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda,

misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. (d)

memindahkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain, seperti mengalihkan bahasa

Arab ke bahasa Indonesia, karena itu penerjemah disebut pula pengalih bahasa.34

Berdasarkan penjelasan di atas, definisi-definisi tersebut, memperlihatkan

adanya satu karakteristik yang menyatukan kelima makna terjemahan tersebut,

yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik

penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda.

2. Jenis-jenis Terjemahan

Istilah metode berasal dari bahasa Inggris yaitu method. Dalam Macquarie

Dictionary (1982), metode didefinisikan sebagai:“Way of doing something,

especially in accordance with a definitc plan” atau suatu cara untuk melakukan

sesuatu, terutama yang berkaitan dengan rencana (tertentu).35

Ada beberapa metode dan jenis terjemahan yang diterapkan dalam praktik

menerjemahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Adanya perbedaan beberapa sistem antara beberapa bahasa sumber dan

bahasa sasaran.

b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.

34

Shihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia : Teori dan Praktek, (Bandung:

Humaniora, 2005), cet. Ke-1, hal. 8 35

Rochaya Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 23

Page 40: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

29

c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi.

d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.

Dalam proses menerjemahkan yang sesungguhnya, keempat faktor tersebut

tidak selalu berdiri sendiri, dalam artian bahwa ada kemungkinan seseorang

penerjemah menetapkan dua jenis atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam

proses penerjemahan sebuah teks.36

Pada umumnya terjemahan terbagi atas dua bagian besar: terjemahan harfiah

(literal translation) dan terjemahan yang tidak harfiah atau bebas (non-literal

translation dan free translation).

3. Prinsip-prinsip Terjemahan

Para ahli tejemah memberikan prinsip-prinsip dasar bagi seorang penerjemah

secara berbeda, namun penulis lebih cenderung memilih pendapat Ian Finlay,

seperti yang dikutip Suhendra Yusuf, sebagai landasan teoritis karena

pendapatnya lebih komperehensif dibandingkan dengan yang lain. Prinsip-prinsip

tersebut adalah:

a. Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date.

b. Mengetahui terminologi padanan terjemahan di dalam bahasa sasaran.

c. Berkemampuan mengekspresikan, mengapresiasikan, merasakan gaya,

irama, nuansa dan register kedua bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hal

36

M. Rudolf, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1949)

cet. Ke-1, hal. 29

Page 41: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

30

demikian akan sangat membantu menciptakan mood atau keadaan yang

diinginkan penulis aslinya. 37

Keempat prinsip tersebut penulis anggap sudah mewakili prinsip-prinsip

penerjemahan yang ditawarkan oleh para pakar lainnya. Karena tanpa

pengetahuan yang terdepan seorang penerjemah akan menghadapi kesulitan dalam

memahami objek-objek terjemah apalagi bila objek itu merupakan studi-studi

baru. Namun begitu, walau seorang penerjemah memiliki banyak pengetahuan

tetapi tidak memahami objek terjemahannnya juga akan mustahil terjadi proses

penerjemahan. Ditambah lagi, apalagi ia mengetahui padanan terminologi-

terminologi objek penerjemahannya maka hasil terjemahannya semakin

sempurna. Akhirnya, walau seorang penerjemah memiliki ketiga prinsip

penerjemahan sebelumnya, tapi ia tidak mampu mengapresiasikannya dalam

bentuk tulisan (terjemahan) maka semua kerja kerasnya juga akan sia-sia. Itulah

kiranya yang dibutuhkan seorang penerjemah dalam proses menerjemahkan.

D. Penerjemahan al-Qur’an

1. Definisi penerjemahan al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan sesuatu

pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain.38

37

Suhendra Yusuf, Teori Terjemahan Pengantar ke Arah Pendekatan linguistik dan

Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994), cet. Ke-1, hal. 66 38

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 938

Page 42: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

31

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, kata terjemah digunakan untuk dua

macam pengertian yaitu:

a. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke

bahasa lain, tanpa menerangkan makna bahasa yang diterjemahkan.

b. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang

terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa lain.

Apa yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa terjemah adalah

memindahkan bahasa sumber kebahasa sasaran dengan memperhatikan maksud

yang terkandung di dalam bahasa sumber atau dengan kata lain mengalih

bahasakan serangkaina pembicaraan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, dengan

tujuan memahami maksud yang terkandung di dalam bahasa asal.

Pada intinya, pengertian terjemahan al-Qur‟an sama dengan terjemahan secara

umum. Namun, dalam menerjemahkan al-Qur‟an, penerjemah hendaknya

menguasai ilmu yang berkaitan dengan „Ulumul Qur‟an.

Terjemah al-Qur‟an yakni memindahkan, menginterprestasikan al-Qur‟an dari

bahasa sumber, yaitu bahasa Arab, kepada bahasa sasaran, yaitu bahasa yang

bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar

dapat dibaca oleh orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat

memahami maksud kitab Allah SWT dengan perantara terjemah ini.39

39

Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study al-Qur‟an, (Bandung : At-Tibyan Al-

Ma‟arif, 1984), cet. I, hal. 276

Page 43: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

32

2. Syarat Penerjemahan al-Qur’an

Seorang penerjemah yang ingin memahami sebuah ilmu terdahulu ia harus

mempelajari ilmu itu sedetail mungkin, sampai ia menuju pada tingkat ahli dalam

disiplin ilmu yang diinginkan. Al-Qur‟an adalah tugas suci dan ilmiah yang sangat

berat, karena yang diterjemahkan adalah al-Qur‟an. Dengan begitu ada beberapa

ulama yang tidak menerjemahkan al-Qur‟an, mengapa?. Sebab, kekhawatiran

mereka sebenarnya merupakan sikap kehati-hatian dan suatu rasa tanggung jawab

terhadap kitab sucinya dari penyelewengan yang tidak diinginkan.

Hal ini menghasilkan keanekaragaman penerjemahan maupun penafsiran.

Bahkan orang terdekat nabi (sahabat) sering berbeda pendapat dalam

menerjemahkan dan menafsirkan serta menangkap firman-eirman Allah SWT.40

Kegiatan menerjemah, apalagi menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa

Asing, bukan merupakan perbuatan mudah yang dilakukan oleh sembarangan

orang kecuali orang-orang yang berminat dan berbakat untuk menjadi seorang

penerjemah. Untuk menerjemahkan al-Qur‟an dalam bahasa-bahasa lain, maka

penulis menyamakan kedudukan seorang mutarjim dengan seorang mufasir,

sehingga harus memenuhi beberapa syarat yang sama dengan seoranf mufasir

yaitu sebagai berikut:

a. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang muslim, sehingga keIslamannya

dapat dipertanggungjawabkan.

40

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung : Mizan, 1997), hal. 75

Page 44: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

33

b. Penerjemah dan penafsir haruslah memiliki itikad yang benar dan

mematuhi segala ajaran agama.

c. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang yang adil dan tsiqah.

Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur‟an.

d. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai bahasa sasaran dengan teknik

penyusunan kata. Ia harus mampu menulis ke dalam bahasa sasaran yang

baik.

e. Penerjemah dan penafsir haruslah berpegang teguh pada prinsip-prinsip

penafsiran al-Qur‟an dan memiliki kriteria sebagai mufasir, karena

penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.

f. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan

dalam penafsiran dan penerjemahan yaitu :

1. Ilmu bahasa Arab (menguasai mufradat/kosakata)

2. Ilmu Nahwu (tata bahasa Arab)

3. Ilmu Sharaf (bentuk kosa kata)

4. Ilmu al-Isytiqaq (asal-usul kosakata)

5. Ilmu Balaghah

6. Ilmu Qira‟ah

7. Ilmu Ushuludin

8. Ilmu Ushul Fiqh

9. Ilmu Asbabul Nuzul

10. Ilmu Fiqh

Page 45: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

34

11. Ilmu Hadits

12. Ilmu al-Mauhibah

13. An-Nasikh dan al-Mansukh41

Sedangkan menurut Hamka, persyaratan dari penafsir adalah:

a) Mengetahui bahasa Arab dengan pengetahuan yang dapat

dipertanggungjawabkan, supaya dapat mencapai makna sejelas-jelasnya.

b) Jangan menyalahi dasar yang diterima dari Nabi Muhammad SAW.

c) Jangan berkeras urat leher, mempertahankan satu mazhab pendirian, lalu

dibelok-belokkan maksud ayat yang dipertahankan.

d) Niscaya ahli pula dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.42

3. Metode penerjemahan al-Qur’an

Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu masalah dari suatu bahasa ke

dalam bahasa lain, maka teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran

atau penjelasan. Karenanya, ketika kita menerjemahkan ke dalam bahasa yang

dituju, kita harus terlebih dahulu memilih artikulasi yang akurat untuk

memperoleh pemahaman yang akurat seperti yang diinginkan oleh bahasa aslinya.

Hal ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

a. Penerjemahan tekstual adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa

aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Dalam terjemahan seperti

41

Abd. Al-Hayy, al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy, Ter. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 7-10 42

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas)

Page 46: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

35

ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan

kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli merupakan pekerjaan

yang tidak mudah.

b. Penerjemahan bebas dalam metode ini, penerjemah berusaha

memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, dengan

tujuan mencerminkan makna awal dengan sempurna.

c. Penerjemahan dengan metode penafsiran, metode ini menjelaskan dan

menguarikan masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan

menggunakan bahasa yang dikehendaki. Penerjemahan dengan metode

tekstual sama sekali tidak bagus, karena tidak mungkin digunakan dalam

pembahasan panjang.

Page 47: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

36

BAB III

BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A. Mengenal Sosok Mufasir Hamka

1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuan

Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Panggilan

kecilnya adalah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 di

Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal 13 Muharram 1362, di sebuah desa

tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya bernama Syeikh Haji

Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul. Dia adalah

seorang pelopor gerakan pemuda Minangkabau.43

Beliau diberi sebutan Buya,

yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam

bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seorang yang dihormati.

Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah

Diniyah petang hari di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka dimasukkan oleh

ayahnya ke sekolah ini. Pada pagi hari, Hamka pergi ke sekolah sekolah desa, sore

harinya pergi belajar ke Sekolah Diniyah,44

dan pada malam hari berada di surau

bersama teman-teman sebayanya. Inilah putaran kegiatan Hamka sehari-hari

ketika ia masih kecil. Putaran kegiatan yang dirasakan oleh Hamka sebagai

sesuatu yang tidak menyenangkan, sangat mengekang masa kanak-kanaknya.

Kondisi „terkekang‟ ini kemudian ditambah dengan sikap ayahnya yang

43

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Icthar Baru Van

Hoeve, 1993), hal. 75 44

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 40

Page 48: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

37

„otoriter‟45

sebagai ulama yang disegani pada waktu itu, berakibat menimbulkan

perilaku yang menyimpang46

dalam pertumbuhan Hamka. Itulah sebabnya, ia

sebagai seorang „anak nakal‟. Hal ini dibenarkan oleh A. R. Sutan Mansur, orang

yang sangat berpengaruh dalam pribadi Hamka sebagai seorang mubaligh.47

Pada tahun 1918, Hamka dikhitan dan di waktu yang sama, ayahnya kembali

dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa. Surau Jembatan Besi, tempat Syekh

Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, di ubah

menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School.

Dengan cita-cita agar anaknya kelak menjadi ulama seperti dia, ayah Hamka

memasukkan Hamka ke dalam Thawalib School, sedangkan disekolah desa

Hamka berhenti.

Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar

belakang di mana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat

ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai

seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah

“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah Hamka dikenal, Hamka

dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat serta

disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh masyarakat

yang dihormati, begitu juga ayahnya yang seorang ulama dan tokoh masyarakat

45

M. Yunan Yusuf, Op. Cit, hal. 40 46

Hamka tumbuh menjadi seorang anak yang nakal, pernah mencuri ayam bersama

teman-teman sebayanya, suka berkelahi dan dikenal sebagai anak yang pemberani di kampung

halamannya. Lihat Leon Agusta, “Di Akhir Pementasan yang Rampung,” disebut dalam Nadir

Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari, Hamka di Mata Hati Umat, Sinar Harapan,

Jakarta, 1984. 47

Panitia Peringatan Buku 70 tahun Buya Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya

Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), hal. xiii

Page 49: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

38

yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat dilihat dari

aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya.

Pada akhir abad ke-19 dan petengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim

Amrullah (Ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya antara lain yaitu Syekh Taher

Jalalaludin, Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad

melepori sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda.

Gerakan ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta

organisasi yang dikelola secara modern.48

Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah bahwa

pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada usia 40

tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru 30

tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut,

kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua.

Pada tahun 1941, ayahnya diasingkan Belanda ke Sukabumi karena fatwa-

fatwanya dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Dan akhirnya

ayahnya meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, tepatnya dua bulan

sebelum Proklamasi. Ibunya bernama Siti Safiyah dan ayah dari ibunya bernama

Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Dikala mudanya terkenal sebagai guru

tari, nyanyian dan pecak silat.

48

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 32

Page 50: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

39

Ketika Hamka berusia 21 tahun, setelah kembali dari perjalanan ke Mekkah, ia

dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang perempuan bernama Siti Raham yang

berusia 15 tahun pada tanggal 5 April 1969 di Jakarta.

2. Karya-Karya Hamka

Hamka adalah pengarang yang paling banyak tulisannya tentang agama

Islam. Hamka memang termasuk penulis yang produktif, yang jumlah karyanya

sangat banyak dan selalu bernafaskan Islam. Banyak sastrawan lain yang jumlah

karyanya cukup banyak, tetapi Hamkalah yang paling banyak. Haruslah kita ingat

banyak penulis lain yang juga Islam, tetapi khasnya tidaklah berbentuk karya

sastra.

Untuk lebih mengetahui berapa banyak buku yang dikarangnya, kita

usahakan untuk menghitungnya berdasarkan judul-judul buku yang pernah

ditulisnya, antara lain:

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3, ditulis dalam huruf Arab.

2. Si Sabariah (1928).

3. Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abu Bakar Shidiq), 1929.

4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).

7. Hikmat Isra‟ dan Mikraj

8. Arkanul Islam (1932), di Makassar.

9. Laila Majnun (1932), Balai Pustaka.

Page 51: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

40

10. Majallah Tentera (4 Nomor), 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 Nomor), 1932, di Makassar.

12. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi), 1934.

13. Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936), Pedoman Masyarakat, Balai

Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman

Masyarakat, Balai Pustaka.

15. Di Dalam Lembah Kehidupan, 1939, Pedoman Masyrakat, Balai

Pustaka.

16. Merantau ke Deli, 1940, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

17. Margaretta Gauthier (Terjemahan), 1940.

18. Tuan Direktur, 1939.

19. Dijemput Mamaknya, 1939.

20. Keadilan Ilahy, 1939.

21. Tashawwuf Modern, 1939.

22. Falsafah Hidup, 1939.

23. Lembaga Hidup, 1940.

24. Lembaga Budi, 1940.

25. Majallah Semangat Islam (Zaman Jepun, 1943).

26. Majallah Menara (terbit di Padang Panjang), sesudah Revolusi

1946.

27. Negara Islam, 1946.

28. Islam dan Demokrasi, 1946.

Page 52: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

41

29. Revolusi Pikiran, 1946.

30. Revolusi Agama, 1946.

31. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi, 1946.

32. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946.

33. Di Dalam Lembah Cita-Cita, 1946.

34. Sesudah Naskah Renville, 1947.

35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, 1947.

36. Menunggu Beduk Berbunyi, 1949, di Bukit Tinggi, sedang

Konperansi Meja Bundar.

37. Ayahku, 1950, di Jakarta.

38. Mandi Cahaya di Tanah Suci, 1950.

39. Mengembara Di Lembah Nyl, 1950.

40. Ditepi Sungai Dajlah, 1950.

41. Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai

pada 1950.

42. Kenang-Kenangan Hidup 2.

43. Kenang-Kenangan Hidup 3.

44. Kenang-Kenangan Hidup 4.

45. Sejarah Ummat Islam, Jilid 1, ditulis tahun 1938, diangsur sampai

1950.

46. Sejarah Ummat Islam, Jilid 2.

47. Sejarah Ummat Islam, Jilid 3.

48. Sejarah Ummat Islam, Jilid 4.

Page 53: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

42

49. Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1 1937; Cetakan ke-2 tahun

1950.

50. Pribadi, 1950.

51. Agama dan Perempuan, 1939.

52. Muhammadiyyah Melalui 3 Zaman, 1946, di Padang Panjang.

53. 1001 Soal Hidup, (Kumpulan karangan dari pedoman masyarakat,

dibukukan 1950).

54. Pelajaran Agama Islam, 1956

55. Perkembangan Tashawwuf dari Abad Ke Abad, 1952

56. Empat Bulan di Amerika, 1953, jilid 1

57. Empat Bulan di Amerika, jilid 2

58. “Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia” (pidato di

Kairo, 1958), untuk Doktor Honoris Causa

59. Soal Jawab, 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA

ISLAM

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963, dicetak oleh M. Arbie Medan

61. Lembaga Hikmat, 1953, Bulan Bintang, Jakarta.

62. Islam dan Kebatinan, 1972, Bulan Bintang.

63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970

64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany, 1965, Bulan Bintang

65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang

66. Hak Asasi Manusia Dipandang Dari Segi Islam, 1968

67. Falsafah Ideologi Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah)

Page 54: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

43

68. Keadilan Sosial Dalam Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah)

69. “Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam,” kuliah umum

Universiti Keristen, 1970.

70. Studi Islam, 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat,

71. Himpunan Khutbah-Khutbah.

72. Urat Tunggang Pancasila.

73. Doa-Doa Rasulullah S.A.W, 1974.

74. Sejarah Islam di Sumatera.

75. Bohong di Dunia

76. Muhammadiyyah di Minangkabau, 1975, (menyambut Kongres

Muhammadiyyah di Padang).

77. Pandangan Hidup Muslim, 1960.

78. Kedudukan Perempuan dalam Islam, 1973.

79. Tafsir Al-Azhar, Juzu 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh

Soekarno.

3. Aktifitas Lainnya

a) Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat dari tahun 1936 sampai

1942.

b) Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956.

c) Memimpin Majalah Mimbar Agama, Departemen Agama, 1950-

1953.

Page 55: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

44

4. Metode Penerjemahan Hamka

Al-qur‟an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk

melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metedologi

yang disuguhkan, para mufasir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang

sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap

ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi,

tasawuf, sastra, kalam, dan lainnya.

Dalam buku karya Yunan Yusuf yang berjudul Corak Pemikiran Kalam Tafsir

Al-Azhar diuraikan tentang pengaruh pemikiran kalam atas tafsir al-Qur‟an. M.

Quraish Shihab dalam pengantar buku ini memuji langkah yang diambil Yunan

sebagai sebuah studi baru dan langkah di tanah air yang diharapkan bisa

meningkatkan apresiasi atas tafsir al-Qur‟an dalam hubungannya dengan minat

mengkaji dan mendalami al-Qur‟an.

Pandangan ini setidaknya terlihat dari kesimpulan yang diambil oleh Yunan

bahwa Hamka dalam beberapa tafsirannya atas ayat terkesan sebagai pemikir

kalam rasional-untuk tidak mengatakan cenderung Mu‟tazilah yang member

tekanan kuat pada kemerdekaan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Sikap

teologis ini melahirkan semangat kerja keras dan tidak mau menyerah pada

keadaan dalam diri Hamka, sehingga mematri kredo hidupnya dengan ungkapan

“sekali berbakti sesudah itu mati”. Ada beberapa metode yang digunakan Hamka

dalam penafsirannya, antara lain:

Page 56: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

45

Pertama, memandang al-Qur‟an sebagai satu kesatuan yang kompherensif, di

mana setiap bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian.

Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur‟an dalam memahaminya. Ia

berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Zhilal al-

Qur‟an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur‟an dalam kehidupan nyata.

Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan

dengan surat yang sebelumnya.

Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra‟iliyat, meninggalkan

perbedaan fiqiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas

masalah kalam atau filsafat.

Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat yang hanya berfungsi sebagai

qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana

umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang kepada keumuman lafaz

daripada kekhususan sebab.

Keenam, memandang al-Qur‟an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk

memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqih, bahasa, atau sejarah.

Tetapi, al-Qur‟an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa

dijadikan panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju

kepemimpinan yang benar.

Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial.

Kedelapan, menjelaskan hikmah tasyri‟ dan sebab penetapan hukum.

Page 57: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

46

Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makiyyah

dan Madaniyyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan

topik-topik yang dibahas.

Menurut Yunan Yusuf, Hamka telah menempuh tiga pendekatan dalam

tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan

pendekatan pergerakan.

Dan berdasarkan hasil pantauan penulis, Hamka dalam menerjemahkan

bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Azhar” lebih bersifat apa adanya, artinya teks

naskah tersebut diterjemahkan sesuai dengan struktur bahasa sumber dan tidak

menyimpang dari struktur bahasa sasaran, maka digunakanlah metode

penerjemahan harfiyah. Sebaliknya, apabila teks tersebut harus mengalami

perubahan struktur bahasa sumber ketika diterjemahkan, maka digunakanlah

metode penerjemahan bebas. Bebas di sini bukan berarti penerjemah boleh

menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah sendiri itu hilang.

Bebas di sini berarti penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat

oleh bentuk maupun struktur kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud

penulis naskah mudah dimengerti oleh pembacanya.

Page 58: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

47

B. Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan

Pada saat ini bisa dikatakan cendikiawan muslim yang sangat mendalam

ilmunya dalam studi-studi ilmu-ilmu al-Qur‟annya (tafsir) di Indonesia adalah

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Dengan kedalaman, keluasan, dan keluasan

ilmunya dibidang tafsir al-Qur‟an telah mengangkat namanya menjadi salah satu

ikon gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Apalagi pendapat atau pandangan-

pandangan keagamaan beliau yang moderat, menyebabkan beliau bisa diterima

oleh berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan, Shihab sebagai posisi

penting dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan sampai politik, dari non

formal sampai formal. Walaupun tidak bisa dinafikan masi ada beberapa kalangan

yang tidak sepakat dengan pendapat-pendapatnya.

Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas tadi, Quraish Shihab

memiliki pandangan keagamaan yang moderat. Sikap moderat Quraish Shihab

yang dimaksud di atas mempunyai pengertian bahwa dia berusaha tidak

merendahkan kalangan atau pendapat tertentu, tetapi memberikan apresiasi

kepada setiap pendapat yang berbeda. Adapun pendapat yang ia ambil akan ia beri

alasan yang jelas kenapa sampai ia mengambil alasan itu. Misalnya saja ketika ia

berpendapat tentang bidang keahliannya yaitu tafsir.

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi

Selatan, 16 Februari 1944.49

Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Sosok

49

M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam

Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

Page 59: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

48

Quraish Shihab berperawakan, tegap dan karismatik dengan tinggi 172 cm, berat

69, warna rambut hitam, muka lonjong dan kulit berwarna putih.50

Kini beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) dan Guru

Besar Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta. Beliau adalah kakak

kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab.

Sekarang beliau bersama istri bernama Fatmawati telah dianugerahi lima orang

anak, yaitu, Najla, Najwa, Naswa, Ahmad dan Nahla.

Ayahnya Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang guru besar dalam bidang

tafsir.51

Abdurrahman sering sekali mengajak Quraish Shihab bersama saudaranya

yang lain untuk duduk bareng bercengkrama bersama dan sesekali memberikan

petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai cinta dalam diri Quraish

Shihab terhadap Studi Al-Qur‟an.

Pengkajian terhadap al-Qur‟an dan tafsirnya, beliau lebih mendalaminya lagi

di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya yaitu SD dan

SLTP di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di Malang (1956-1958)

sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqiyyah, Malang.

Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan

pendidikan dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967,

beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits

50

Kusmana, “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed),

Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (Jakarta: IAIN Press,2002), cet. Ke-1, hal 245. 51

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. Ke-XXII,

hal. 14

Page 60: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

49

Universitas Al-Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas

yang sama, pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-

Qur‟an dengan tesis berjudul Al-Ijaz al-Tasyri‟iy li al-Qur‟an al-Karim.

Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan

pendidikan di almamater yang lama, yaitu Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982,

dengan disertasi berjudul al-Durar li al-Biqa‟iy Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil

meraih gelar doktor dalam meraih ilmu al-Qur‟an dengan yudisium Summa cum

Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtaz ma‟a martabat al-syaraf al-„ula).

Yang artinya dengan pujian tingkat pertama. Beliau orang pertama di Asia

Tenggara yang meraih gelar doktor di bidang ilmu Tafsir. Sementara dalam

lingkup keluarganya merupakan doktor keempat dari anak-anak Shihab yang

berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri.

Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan di

Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah,

Jakarta pada tahun 1992-1998 beliau diangkat menjadi Rektor pada Universitas

tersebut. Selain itu, di luar kampus, beliau juga dipercayakan untuk menduduki

berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI), 1984,

anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasioanal (1989), dan Ketua Lembaga

Pengembangan.

Selain jabatan-jabatan dalam bidang akademis tersebut, Quraish Shihab juga

pernah menduduki jabatan politik. Antara lain tahun 1998, beliau dipercayakan

untuk menjabati jabatan Mentri Agama dalam Kabinet Pembangunan VII. Setealh

Page 61: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

50

itu beliau diangkat sebagai Duta Besar RI unruk Mesir. Jibuti Somalia. Pada tahun

1995-1999 beliau dipilih sebagai Anggota Dewan Riset Nasional.

Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional. Antara

lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu

Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum

Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Disela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan

ilmiah di dalam maupun di luar negri yang tidak kalah pentingnya dan pasti semua

orang tahu Quraish Shihab adalah seorang yang apik dan produktif dalam kegiatan

tulis-menulis. Disurat kabar Pelita, beliau pernah mengasuh rubik “Pelita Hati”

setiap hari Rabu. Dia juga mengasuh rubik “Tafsir al-Manah” dalam majalah dua

mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Lalu mengasuh rubik “Quraish Shihab

Menjawab” Republika. Selain itu, dia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan

Redaksi. Jurnal Ulumul Qur‟an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.

Quraish Shihab juga sering muncul dilayar televisi untuk mengisi acara-acara

yang terkait dengan dakwah Islam. Pada tahun 1996, beliau mengisi acara

bertajuk “Sahur Bersama Quraish Shihab”.

2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah

Pada akhir dari “Sekapur Sirih” Quraish Shihab yang terdapat pada setiap

volume, tercantum keterangan bahwa awal penulisan Tafsir Al-Misbah ini

bertempat Kairo, Mesir pada hari Jumat, 4 Rabiul Awal 1420 H dan bertepatan

dengan tanggal 18 Juni 1999 M. Dan untuk pertama kalinya diterbitkan oleh

Page 62: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

51

Lentera Hati pada bulan Sya‟ban 1421 H bertepatan dengan bulan November

2000 M.

Latar belakang penulisan Tafsir Al-Misbah ini didasarkan pada keinginan

Quraish melayani semua masyarakat pembacanya yang ingin memahami al-

Qur‟an. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, beliau ingin menjadikan al-

Qur‟an sebagai hudan (petunjuk) yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh

semua kalangan masyarakat Islam. Di samping memang karena usaha

menafsirkan al-Qura‟an adalah usaha yang sangat mulia sekaligus merupakan

kewajiban para ulama yang punya kemampuan dibidang itu untuk menyuguhkan

pesan-pesan yang terkandung dalam al-qur‟an sesuai dengan harapan dan

kebutuhan.

Penamaan al-Misbah pada kitab tafsirnya ini tentunya tidaklah tanpa alasan.

Dalam analisis Prof. Hamdani Anwar, MA, alasan pemilihan nama al-Misbah

paling tidak mencakup dua hal,52

yaitu: pertama pemilihan nama itu didasarkan

pada fungsinya. Al-Misbah artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi

kegelapan. Menurut Hamdan, dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar

karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam

suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup.

Kedua, pemilihan nama al-Misbah ini berdasarkan dari kumpulan pada rubik

“Pelita Hati” yang diterbitkan dengan judul “Lentera Hati”. Lentera merupakan

padanan dari kata pelita yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab,

52

Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab

dalam Jurnal Mimbar Agama da Budaya, vol XXX, No. 2, hal. 176-177.

Page 63: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

52

lentera, pelita, atau lampu itu disebut misbah, dan kata inilah yang kemudian

dipakai oleh Quraish untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya juga

menggunakan nama serupa yaitu Lentera Hati.

3. Karya-Karya M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab termasuk seorang tokoh muslim kontemporer Indonesia

yang sangat produktif. Dalam waktu yang sangat relatif singkat beliau mampu

menghasilkan karya yang sangat banyak dan cukup bercorak, sesuatu yang luar

biasa. Karya itu sangat popular dan bisa diterima diberbagai kalangan, bahkan

sangat dinanti-nanti oleh masyarakat.

Selain konstribusinya dalam berbagai buku suntingan jurnal-jurnal ilmiah, dan

konstribusi bagi majalah maupun koran, hingga kini Quraish Shihab telah banayak

mempublikasikan banyak buku. Di antara karyanya yang bisa penulis sebutkan

adalah:

1. Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahanya, (Ujung

Pandang: IAIN Alaudin, 1948)

2. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987)

3. Mahkota Tuntunan Ilahi, (Tafsir Surat Al-Fatihah), (Jakarta:

Untagma, 1988)

4. Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1994)

5. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan,

1994)

6. Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996)

Page 64: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

53

7. Untaian Permata Buah Anakku, (Bandung, Mizan, 1998)

8. Mukjizat Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998)

9. Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998)

10. Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat, (Jakarta:

Lentera Hati, 1999)

11. Pengantin Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 1999)

12. Haji Bersama Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1999)

13. Sahur Bersama Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1999)

14. Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa)

15. Puasa Bersama Quraish Shihab, ( Jakarta: Abdi Bangsa)

16. Fatwa-Fatwa, (Bandung: Mizan, 1999)

17. Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. ( Jakarta: Lentera Hati,

1999)

18. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat

Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)

19. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 15 Jilid. Tafsir ini

adalah yang penulis analisis, khususnya ayat-ayat yang

mengandung kata Wali.

20. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan

Cendikiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

21. Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena,

(Jakarta: Lentera Hati, 2004)

22. Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

Page 65: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

54

Karya yang ke sembilan belas inilah yang merupakan karya yang

menjadikan khazanah tafsir di Indonesia yang memenuhi perpustakaan. Tafsir ini

terbit sampai volume 15, yakni dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas (dari

juz 1-30).

Demikianlah beberapa karya Quraish Shihab yang dapat penulis paparkan

pada bagian ini. Tentunya masih banyak lagi yang belum disebutkan, baik berupa

makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar maupun majalah.

4. Sekilas Gambaran Umum Buku Tafsir Al-Misbah

Menurut Howard M. Feserspiel, karya Quraish Shihab tentang tafsir ditujukan

untuk kaum muslim awam, walaupun sebenarnya karya tersebut ditujukan kepada

pembaca yang cukup terpelajar. Howard mengklasifikasikan tafsir karya Quraish

Shihab sebagai karya yang sangat kuat dan merupakan batu ujian bagi

pemahaman yang lebih tentang Islam.53

Dalam Tafsir Al-Misbah, dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam

karya ini Quraish menggunakan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat,

surat demi surat sesuai dengan Mushaf Usmani. Metode ini sengaja dipilih oleh

Quraish, karena ia ingin mengungkapkan semua isi al-Qur‟an secara rinci agar

petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan dan dipahami.54

Pada sisi lain, Quraish tidak begitu tertarik untuk menggunakan metode tahlili,

karena menurutnya metode tahlili ini menyita waktu yang cukup banyak yang

53

Howard M. Feserspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga

Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-II, hal. 11 54

Hamdani Anwar, Op. Cit, hal. 182

Page 66: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

55

dipergunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur‟an. Selain itu, seringkali

menimbulkan banyak pengulangan dalam tafsirnya. Hal ini akan terjadi jika

kandungan kosa kata atau pesan ayat atau surahnya sama atau mirip dengan ayat

atau surat yang telah ditafsirkan. 55

Menyadari kelemahan dari metode tahlili, maka Quraish memberi tambahan

lain dalam Tafsir Al-Misbah dengan metode maudhu‟i. Menurutnya metode ini

memiliki keistimewaan yaitu menghindarkan kita dari problema atau kelemahan

yang terdapat pada metode lain.56

Dengan dasar pertimbangan tersebut, Quraish

juga berupaya untuk menggunakan maudhu‟i. Oleh karena itu, Quraish Shihab

berupaya untuk menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai

tujuan surah atau tema pokok surah. Menurut Quraish Shihab sebagaimana

dikatakan dalam sekapur sirih Tafsir Al-Misbah, jika kita mampu

memperkenalkan pesan utama setiap surah, maka ke-114 yang ada di dalam al-

Qur‟an akan dikenal lebih dekat dan mudah.

Metode yang ditempuh Quraish Shihab sebagai suatu cara yang baru dan

belum pernah dikemukakan oleh para mufassir terdahulu. Dari sini, dapat dinilai

perbedaan Tafsir Al-Misbah dengan tafsir-tafsir lainnya, dan hal ini dapat disebut

sebagai salah satu kelebihan dari tafsir tersebut. 57

Kitab Tafsir Al-Misbah ini bukanlah ijtihadnya sendiri, tetapi hasil karya

ulama-ulama terdahulu dan kontemporer serta pandangan-pandangan mereka

55

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet, ke-I, vol. 1, hal. 8 56

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), cet. Ke- XXII,

hal, 14. 57

Hamdani Anwar, Op. Cit, hal. 184.

Page 67: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

56

banyak dinukilkan oleh Quraish Shihab, antara lain: pakar tafsir Ibrahim ibn Umar

al-Biqa‟i, Sayyid Muhammad Thanthawi, Syeikh Mutawalli asy-Sya‟rawi, Sayyid

Qutb, Muhammad Thahir ibn Asyur dan Sayyid Muhammad Husein Thabathaba‟i

serta beberapa pakar-pakar tafsir lainnya.58

Dapat disimpulkan metode yang digunakan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-

Misbah menggunakan gabungan dari metode tahlili dan metode maudhu‟i. Cara

ini dipilih oleh Quraish Shihab, karena ia menilai bahwa ia mesti menguraikan

seluruh ayat al-Qur‟an sesuai dengan Mushaf Usmani (tahlili), tetapi ia mesti pula

mengelompokan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar kandungan ayat tersebut

dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya (metode maudhu‟i).

Quraish shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsir Al-Misbah,

karena dari segi teknik, metode tahlili yang menafsirkan ayat demi ayat yang

terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidak disuguhkan kepada

pembaca secara menyeluruh untuk membutuhkan waktu yang lama untuk

pembaca dalam memahami isi al-Qur‟an. Oleh karena itu, ia menambahkan

metode maudhu‟i, di mana metode ini menafsirkan satu surah secara menyeluruh

yang menjelaskan antara berbagai masalah yang dikandung dalam surah tersebut,

sehingga surah ini tampak secara utuh. Dan juga metode maudhu‟i tergolong

sangat praktis dan sistematis, bagi para pembaca yang mempunyai waktu sedikit

atau sibuk.

58

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 1 ,

Op.Cit, hal. 7

Page 68: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

57

Adapun corak dalam Tafsir Al-Misbah ini termasuk adab al-Ijtima‟i atau

kemasyarakatan, yaitu suatu penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat

al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan bermasyarakat serta

berusaha untuk mengulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-

ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang

mudah dimengerti tapi indah didengar.59

Corak tafsir ini cenderung kepada

kemasyarakatan karena penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal

selalu berkaitan dengan persoalan yang sedang dialami umat, dan uraiannya

diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah-masalah

tersebut.

59

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 73

Page 69: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

58

BAB IV

ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA WALI DAN AULIYA

A. Pendahuluan

Setiap perbuatan tidak akan terlepas dari pelakunya (subjek). Demikian halnya

dengan produk penerjemahan. Produk terjemahan itu dianggap baik atau buruk,

jelas atau bertele-tele, sangat tergantung dari siapa yang menerjemahkan.

Walaupun penerjemah sebagai pencipta, ia tidak punya kebebasan seluas

kebebasan yang dimiliki penulis naskah aslinya, karena ia mrnciptakan dunia

ciptaan yang sudah ada.60

Banyak metode penelitian yang bisa digunakan di dalam meneliti karya

terjemahan, tetapi yang jelas semua metode ini bersifat deskriptif, bisa dalam

kategori kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian hasil terjemahan adalah sesuatu

yang sangat penting untuk dilakukan terutama untuk menghubungkan teori

penerjemahan dan praktik penerjemahan. Terdapat lima jenis pendekatan

penerjemahan yang berbeda. Oleh karenanya, untuk upaya menerjemahkan yang

tekstual dari al-Qur‟an maka referensi baku untuk memahami al-Qur‟an adalah

tafsir. Secara tekstual tafsir memiliki makna antara lain; terjemahan, penerangan,

penjelasan, interprestasi, komentar dan ta‟wil.

Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk menganalisis aspek

struktur kalimat dan analisis makna dari terjemahan ayat-ayat al-Qur‟an yang

60

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. v

Page 70: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

59

dilakukan Hamka dan Quraish Shihab dalam menguraikan makna polisemi yang

terkandung dalam al-Qur‟an.

Seperti yang telah penulis kemukakan di atas bahwa objek penelitian ini adalah

penulis akan menganalisis al-Qur‟an terjemahan Hamka dan al-Qur‟an terjemahan

Quraish Shihab yang mengandung makna polisemi. Konsentrasi penulis dalam

bab ini terletak pada pembahasan kata “wali dan auliya” yang terdapat di dalam

al-Qur‟an terjemahan Hamka dan al-Qur‟an terjemahan Quraish Shihab. Kata wali

dan auliya termasuk ke dalam polisemi, yang merupakan satu ujaran dalam

bentuk kata-kata yang mempunyai makna berbeda-beda, tetapi masih ada

hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang berlainan tersebut, maksudnya

masih ada dalam satu bidang. Penelitian ini juga menggunakan analisis semantik

yang mengacu pada makna setiap kata.

Dengan demikian, untuk memudahkan penulis menganalisa dan mengambil

kesimpulan berikut ini penulis akan menganalisis dan mengkategorikan kata wali

dan auliya yang mengandung makna polisemi. Adapun analisis dari kata wali dan

auliya yang ada di dalam al-Qur‟an penulis uraikan dalam penjelasan di bawah

ini.

Page 71: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

60

B. Persamaan dan Perbedaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya

dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab

1. Persamaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya dalam Terjemahan

Hamka dan Quraish Shihab

a. Pelindung

Setelah penulis menganalisa dan mengkategorikan ada beberapa surat di dalam al-

Qur‟an terjemahan Hamka dan Quraish Shihab yang mengandung kata wali dan auliya

yang terjermahannya bermakna pelindung di antaranya ada di dalam surat at- Taubah:

74 dan 116, az-Zumar: 3, Fushilat: 31, Saba: 41, ar-Rad: 16, Yusuf: 101, Ahzab: 17 dan

65, Asy-Syura: 6,8, dan 9.Akan tetapi, di sini Penulis hanya akan memberikan beberapa

contoh kasus pada surat at-Taubah ayat 74, At-Taubah ayat 116 dan Az-Zumar ayat 3.

No Surat Persamaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1 At-Taubah: 74

“Mereka akan

bersumpah dengan

nama Allah, bahwa

mereka tidaklah pernah

berkata (begitu),

padahal mereka telah

pernah mengatakan

kalimat kufur, dan

mereka telah kafir

sesudah Islam, dan

mereka sangat

mengingini apa yang

tidak dapat mereka

capai. Dan tidaklah

mereka berdendam,

melainkan karena

mereka telah di kaya-

rayakan oleh Allah dan

Rasul-Nya dengan

karuniaNya. Tetapi jika

mereka bertaubat, itulah

yang lebih baik bagi

mereka, dan jika

mereka berpaling,

niscaya akan diazab

“Mereka bersumpah

dengan (nama) Allah,

bahwa mereka tidak

berkata-kata. Padahal

mereka telah

mengucapkan kalimat

kufur, dan telah kafir

sesudah ke Islaman

mereka dan menginginkan

apa yang mereka tidak

dapat mencapainya,

padahal mereka tidak

mencela, selain karena

Allah dan RasulNya telah

melimpahkan karuniaNya

kepada mereka. Maka jika

mereka bertaubat, itu

adalah lebih baik bagi

mereka, dan jika mereka

berpaling, niscaya Allah

kan mengazab mereka

dengan azab yang pedih

di dunia dan di akhirat;

dan mereka sekali-sekali

tidak mempunyai

Page 72: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

61

mereka oleh Allah, azab

yang pedih, dunia dan

akhirat. Dan tidak ada

untuk mereka di dalam

bumi ini, dari seorang

pelindung pun dan

tidak pula seorang

penolong”.

pelindung dan tidak

(pula) penolong di bumi”.

2.

At-Taubah: 116

“Sesungguhnya Allah,

bagiNyalah kerajaan

semua langit dan bumi.

Menghidupkan dan

mematikan. Dan tidak

ada bagi kamu, selain

Allah, pelindung dn

tidak penolong”.

“Sesungguhnya milik

Allah kerajaan langit dan

bumi. Dia menghidupkan

dan mematikan. Dan

sekali-kali tidak ada

pelindung dan penolong

bagi kamu selain Allah”.

3. Az-Zumar: 3

“Ketahuilah! Hanya

untuk Allah agama yang

murni; dan orang-orang

yang mengambil yang

selain Dia akan jadi

pelindung; (mereka

berkata): “Tidaklah

kami menyembah

kepada mereka,

melainkan supaya

mereka mendekatkan

kami kepada Allah

sedekat-dekatnya.”

Sesungguhnya Allah

akan memutuskan di

antara mereka pada

barang yang mereka

perselisihkan padanya

itu. Sesungguhnya

Allah tidaklah akan

memberikan petunjuk

kepada orang yang

pembohong lagi sangat

kafir”.

“Ingatlah, hanya bagi

Allah kepatuhan yang

murni; dan orang-orang

yang mengambil

pelindung-pelindung selain Allah (berkata):

“Kami tidak menyembah

mereka melainkan supaya

mereka mendekatkan

kami kepada Allah

dengan sedekat-

dekatnya.” Sesungguhnya

Allah kan memutuskan di

antara mereka tentang apa

yang mereka berselisih

padanya. Sesungguhnya

Allah tidak member

petunjuk siapa yang dia

itu pendusta dan sangat

ingkar”.

Pada surat At-Taubah ayat 74, At-Taubah ayat 116, dan Az-Zumar ayat 3 di

sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi

terjemahan tersebut. Kata waliyy yang ada pada ayat-ayat di atas tersebut

Page 73: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

62

bahwasannya diterjemahkan oleh kedua mufasirun dengan makna pelindung, yang

menurut penafsiran mereka mengatakan kata waliyy tersebut tertuju kepada Allah.

Jadi jika demikian, Allah merupakan waliyy orang-orang yang beriman yang

sangat dekat dengan mereka sehingga Dia langsung menolong, melindungi dan

membantunya.61

Kedua penerjemah di sini memiliki pemahaman yang sama

dalam menerjemahkan ayat tersebut tetapi, yang berbeda hanya dalam pemilihan

diksinya saja.

b. Pemimpin

Pada analisa yang selanjutnya penulis juga menemukan bahwasannya kata wali

dan auliya selain diterjemahkan pelindung oleh Hamka dan Quraish Shihab,

mereka pun menerjemahkan kata tersebut dengan terjemahan pemimpin.

Berikut ini penulis mencantumkan surat-surat yang di dalamnya terdapat kata

waliyy dan auliya dan diterjemahkan pemimpin oleh Hamka dan Quraish

antaranya surat al-„Araaf: 27, surat Kahfi: 50, surat at-Taubah: 23 dan an-Nahl:63.

61

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol, 1,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 517-518

Page 74: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

63

No Surat Persamaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Al-„Araaf:27

“Wahai anak-anak

Adam! Janganlah

sampai menipu akan

kamu syaitan itiu,

sebagai telah

dikeluarkannya ibu

bapamu dari syurga, dia

tarik dari keduanya,

supaya kelihatan oleh

keduanya kemaluan

mereka. Sesungguhnya

dia itu melihat kamu,

dia dan golongannya,

dalam pada itu kamu

tidak melihat mereka.

Sesungguhnya kami

telah menjadikan

syaitan-syaitan itu

pemimpin-pemimpin

bagi orang-orang yang

tidak beriman”.

“Hai anak-anak Adam,

jangan lah sekali-kali

kamu ditipu oleh setan

sebagaimana ia telah

mengeluarkan kedua ibu

bapak kamu dari syurga,

ia mencabut dari

keduanya saat mereka

berdua. Sesungguhnya ia

dan pengikut-pengikutnya

melihat kamu dari suatu

tempat yang kamu tidak

bisa melihat mereka.

Sesungguhnya Kami telah

menjadikan setan-setan

itu pemimpin-pemimpin

bagi orang-orang yang

tidak beriman”.

2. Surat Al-Kahfi:50

“Dan (ingatlah) seketika

Kami berkata kepada

malaikat: Sujudlah

kamu kepada Adam!

Maka sujudlah mereka

kecuali Iblis. Adalah dia

itu dari jin, maka dia

pun mendurhaka dari

perintah Tuhannya.

Maka apakah akan

kamu ambil dia dan

anak-anak cucunya

akan menjadi pimpinan

selain dari aku?

Padahal mereka itu bagi

kamu adalah musuh!

Amat buruklah ia

sebagai pengganti

orang-orang yang

zalim”.

“Dan (ingatlah) ketika

kami berfirman kepada

Malaikat:“Sujudlah kamu

kepada Adam,” maka

sujudlah mereka kecuali

iblis (enggan). Ia adalah

dari jin, maka ia

mendurhakai Tuhannya.

Patutkah kamu

mengambil ia dan

turunan-turunannya

sebagai pemimpin selain

dari Aku, sedang mereka

terhadap kamu adalah

musuh? Amat buruklah ia

sebagai pengganti bagi

orang-orang yang zalim”.

3. Surat At-Taubah:23

“Wahai orang-orang

yang beriman!

Janganlah kamu jadikan

bapa-bapa kamu dan

saudara-saudara kamu

sebagai pemimpin, jika

mereka itu masih lebih

mencintai kufur di atas

Iman. Dan barang siapa

yang menjadikan

mereka itu pemimpin

“Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu

jadikan bapak-bapak

kamu dan saudara-saudara

kamu, pemimpin-

pemimpin, jika mereka

lebih mengutamakan

kekufuran atas keimanan

dan siapa di antara kamu

yang menjadikan mereka

pemimpin-pemimpin,

Page 75: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

64

dari kalangan kamu,

maka mereka itu adalah

orang-orang yang

zalim”.

maka itulah mereka

orang-orang zalim”.

4. Surat An-Nahl:63

“Demi Allah!

Sesungguhnya telah

Kami utus kepada umat-

umat sebelum engkau,

tetapi syaitan telah

menyanjung-

nyanjungkan amalan

mereka; maka dialah

pemimpin mereka pada

hari itu. Dan bagi

mereka adalah azab

yang pedih”.

“Demi Allah,

sesungguhnya Kami telah

mengutus kepada umat-

umat sebelummu, tetapi

setan memperindah bagi

mereka perbuatan-

perbuatan mereka maka ia

adalah pemimpin mereka

hari ini dan bagi mereka

azab yang sangat pedih”.

Pada surat al-„Araaf ayat 27, Kahfi ayat 50, Taubah ayat 23 dan an-Nahl ayat

63 di sini penulis tidak melihat adanya perbedaan di antara terjemahan Hamka dan

Quraish mereka berdua sama-sama menerjemahkan kata waliyy dan auliya dengan

terjemahan pemimpin. Di sini Hamka dan Quraish menerjemahkan kata waliyy

dan auliya melihat kata tersebut berada di dalam konteks dari ketaatan, maka

waliyy di sini dimaksudkan kepada siapa yang memerintah dan harus ditaati

ketetapannya.62

Pada ayat-ayat di atas dijelaskan bahkan diperingatkan

bahwasannya ada larangan bagi orang-orang yang beriman untuk menjadikan

bapak ataupun saudara-saudaranya pemimpin apabila mereka masih menjadikan

kekufuran di atas iman mereka, apalagi sampai mentaatinya karena mereka yang

akan menjerumuskan orang-orang yang beriman kepada kesesatan dan

sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang sangat pedih kepada orang-

orang yang menjadikan orang kufur sebagai pemimpin.

62

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an vol.3,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 115-116

Page 76: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

65

c. Penolong

Penolong merupakan salah satu polisemi dari kata waliyy dan auliya. Ada

beberapa surat di al-Qur‟an yang diterjemahkan oleh Hamka dan Quraish dengan

terjemahan yang sama yaitu penolong. Ini terdapat dalam surat al-Isra ayat 111,

Sajadah ayat 4, Hud ayat 113.

No Surat Persamaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Isra:111

“Dan katakanlah:

Sekalian puji-pujian

bagi Allah, yang tidak

mempunyai anak, dan

tidak ada bagiNya

sekutu dalam

kerajaanNya, dan tidak

ada bagiNya penolong

lantaran lemah. Dan

besarkanlah Dia,

dengan sungguh-

sungguh

membesarkan”.

“Dan katakanlah: “Segala

puji bagi Allah yang tidak

mempunyai anak dan

tidak mempunyai anak

dan tidak mempunyai

sekutu dalam kerajaanNya

dan Dia bukan pula hina

yang memerlukan

penolong dan

agungkanlah Dia dengan

pengagungan yang

sebesar-besarnya”.

2. Surat As-Sajadah:4

“Allah yang

menciptakan semua

langit dan bumi dan apa

yang ada di antara

keduanya dalam enam

hari. Kemudian Dia pun

bersemayam ke atas

Arsy. Tidaklah ada bagi

kamu selain Dia

seorang penolong pun

dan tidak seorang

pembela. Maka apakah

tidak kamu

mengingatnya?”

“Allah yang menciptakan

langit dan bumi dan apa

yang ada di antara

keduanya dalam enam

hari, kemudian Dia

bersemayam di atas „Arsy.

Tidak ada bagi kamu

selainNya satu penolong

pun dan tidak juga

pemberi syafa‟at. Maka

apakah kamu tidak

memperhatikan?”

3. Surat Hud:113

Page 77: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

66

“Dan janganlah kamu

cenderung kepada

orang-orang yang

zalim. Lantaran kelak

akan di sentuh kamu

oleh api. Dan tidak ada

bagi kamu selain dari

Allah yang kan jadi

penolong, kemudian

itu, kamu pun tidak

akan dibela”.

“Dan janganlah kamu

cenderung kepada orang-

orang yang zalim

sehingga menyebabkan

kamu disentuh api neraka,

padahal sekali-kali kamu

tiada mempunyai satu

penolong pun selain

Allah, kemudian kamu

tidak akan diberi

pertolongan.”

Pada ketiga surat di atas tidak ada perbedaan di antara kedua versi terjemahan

antara Hamka dan Quraish, keduanya menerjemahkan penolong. Waliyy dan

auliya di sini bermakna penolong karena berada dalam konteks pertolongan maka

waliyy dan auliya disini adalah penolong-penolong.63

d. Wali

Berikut ini surat-surat yang mencantumkan kata waliyy dan auliya berserta

terjemahannya yang penulis dapatkan dari Tafsir al-Azhar karya Dr. Hamka dan

terdapat pula pada Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Kedua mufasirun ini

sama-sama menerjemahkan waliyy dan auliya dengan makna wali, antaranya

terdapat dalam surat Al-Isra:33, Yunus:62, An-Nisa:45 dan An-Naml:49.

63

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 3,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 115-116

Page 78: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

67

No Surat Persamaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Isra:33

“Dan janganlah kamu

bunuh diri yang telah

diharamkan oleh Allah,

kecuali dengan hak

(kebenaran). Dan

barang siapa yang

dibunuh dengan

dianiaya, maka

sesungguhnya Kami

jadikan atas walinya

kekuasaan. Dan

janganlah dia melewati

batas pada membunuh.

Sesungguhnya dia

adalah orang yang

ditolong”.

“Dan janganlah kamu

membunuh jiwa yang

diharamkan Allah

melainkan dengan hak. Dan

barang siapa dibunuh secara

zalim, maka sesungguhnya

Kami telah member

kekuasaan kepada walinya,

tetapi janganlah

keluarganya melampaui

batas dalam membunuh.

Sesungguhnya ia adalah

orang yang dimenangkan.”

2. Surat Yunus:62

“Ketahuilah!

Sesungguhnya wali-

wali Allah itu, tidaklah

ada ketakutan atas

mereka dan tidaklah

mereka berduka cita”.

“Ingatlah, sesungguhnya

wali-wali Allah tidak ada

ketakutan atas mereka dan

tidak (pula) mereka

bersedih hati”.

3. Surat An-Nisa:45

“Dan Allah lebih tau

siapa-siapa musuh-

musuh kamu. Dan

cukuplah Allah menjadi

Wali, dan cukuplah

Allah jadi Pembela”.

“Dan Allah lebih

mengetahui (daripada

kamu) tentang musuh-

musuhmu. Dan cukuplah

Allah menjadi Wali

(pelindung) dan cukuplah

Allah menjadi Penolong”.

4. Surat An-Naml:49

Page 79: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

68

“Berkata mereka:

Bersumpahlah kamu

sekalian dengan nama

Allah, bahwa

sesungguhnya akan kita

serang dia tiba-tiba dan

keluarganya. Kemudian

mari kita katakan saja

kepada walinya yang

lain: kita tidaklah

pernah menyaksikan

kematian keluarganya

dan sesungguhnya kita

adalah orang-orang

yang benar”.

“Mereka berkata:

“Bersumpahlah kamu

dengan (nama) Allah,

bahwa kita sungguh-

sungguh akan

menyerangnya dengan tiba-

tiba berserta keluarganya

pada malam hari, kemudian

kita katakan kepada

walinya kita tidak

menyaksikkan kebinasaan

keluarganya dan

sesungguhnya kita adalah

orang-orang yang benar”.

Berdasarkan perbandingan terjemahan yang ada pada surat-surat di atas, maka

dapat diketahui persamaan terjemahan Hamka dan Quraish. Dalam surat al-Isra

ayat 33, Yunus ayat 62, An-Nisa ayat 45 dan An-Naml ayat 49 di atas Hamka dan

Quraish tidak menunjukkan adanya perbedaan di antara kedua terjemahnnya,

mereka sama-sama menerjemahkan kata wali dengan terjemahan wali.

Selanjutnya, persamaan yang di dapati ketika menganalisis persamaan antara

terjemahan Hamka dan Quraish kedua penafsir sama-sama memilih menggunakan

model penerjemahan praktis dengan menerjemahkan apa adanya makna kata

tersebut, sebab pengertian kata-kata tersebut sudah terbiasa dipahami dengan

pengertian harfiahnya. Menurut Quraish dalam tafsirnya mengatakan, kata auliya

adalah bentuk jamak dari kata waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari

sini kemudian berkembang makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung,

yang mencintai, lebih utama dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang

merah kedekatan.64

Sedangkan menurut Hamka, Waliyy menurut Hamka di sini

64

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 111-112

Page 80: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

69

adalah seseorang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah

memberikan segenap pengurbanan untuk menegakkan jalan Allah. Dalam surat

Yunus dijelaskan cirri-ciri yang khas dari orang-orang yang menjadi wali (satu

orang) atau Auliya‟ (banyak orang) itu.) jadi, jika dilihat kedua penerjemah ini

sama-sama memiliki pemahaman yang sama dalam menafsirkan kata waliyy.

e. Penulis

Polisemi kata wali yang bermakna penulis hanya ada satu di antara beberapa

surat dan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 kedua mufasirun Hamka dan

Quraish Shihab menerjemahkan kata wali dengan terjemahan yang sama yaitu

penulis. Berikut ini adalah contohnya.

No Surat Persamaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Baqarah:282

….

“Wahai orang-orang yang

beriman! Apabila kamu

mengadakan suatu

perikatan hutang-hutang

buat dipenuhi disuatu

masa yang tertentu, maka

tuliskanlah dia. Hendaklah

menulis di antara kamu

seorang penulis dengan

adil, dan janganlah enggan

seorang penulis

menuliskan sebagai yang

telah diajarkan akan dia

oleh Allah. Maka

hendaklah ia menuliskan,

dan hendaklah

merencanakan orang yang

berkewajiban atasnya; dan

hendaklah ia takut kepada

Allah, Tuhannya, dan

janganlah ia mengurangi

sedikitpun daripadanya.

Maka jika orang yang

berkewajiban itu seorang

yang safih atau lemah,

atau dia tidak sanggup

“Hai orang-orang yang

beriman, apabila kamu

bermuamalah tidak secara

tunai untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah

kamu menulisnya. Dan

hendaklah seorang penulis

di antara kamu

menulisnya dengan adil.

Dan janganlah penulis

enggan menulisnya,

karena Allah telah

mengajarkannya, maka

hendaklah ia menulis, dan

hendaklah orang yang

berhutang itu

mengimlakkan (apa yang

akan ditulis), dan

hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya,

dan janganlah ia

mengurangi sedikitpun

darinya. Jika orang yang

berhutang itu orang yang

lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau dia

Page 81: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

70

merencanakan, maka

hendaklah walinya yang

merencanakan dengan

adil………….

sendiri tidak mampu

mengimlakkan, maka

hendaklah walinya

mengimlakkan dengan

jujur…..”

Di sini penulis tidak melihat adanya perbedaan diantara kedua versi

terjemahan tersebut. Pada ayat tersebut kata waliyy bermaknakan penulis, dan

keduanya memiliki pemahaman yang sama dalam menerjemahkan ayat tersebut.

2. Perbedaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya dalam

Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab

Ada persamaan metode dalam pemilihan makna semantik secara leksikal

antara Hamka dan Quraish Shihab dalam menafsirkan makna polisemi yang

terdapat pada kata wali dan auliya. Selain itu juga terdapat perbedaan penafsiran-

penafsiran antara keduanya. Perbedaan hal-hal itu adalah sebagai berikut:

a. Pelindung

Di sini penulis dapat melihat di dalam beberapa surat yang terdapat di qur‟an

kata wali dan auliya menurut versi Hamka dan Quraish di terjemahkan secara

berbeda. Hamka menerjemahkan kata tersebut dengan kata pelindung sedangkan

Quraish Shihab menerjemahkan kata tersebut dengan terjemahan pemimpin,

penolong.

Page 82: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

71

No Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-„Araaf:155

“Dan dipilihlah oleh

Musa dari kaumnya itu

tujuh puluh laki-laki

untuk pertemuan Kami.

Maka tatkala ketika

gempa datang mengenai

mereka, berkatalah dia:

Ya Tuhanku! Kalau

Engkau kehendaki,

tentu telah Engkau

binasakan mereka

terlebih dahulu, dan aku

sendiripun,. Apakah

Engkau akan

membinasakan kami

karena perbuatan orang-

orang yang pandir dia

antara kami. Inilah tidak

lain hanyalah percobaan

Engkau jua, akan

engkau sesatkan dengan

dia barang siapa yang

engkau kehendaki, dan

akan engkau beri

petunjuk barang siapa

yanag engkau

kehendaki. Engkaulah

pelindung kami, sebab

itu lindungilah kami dan

rahmatilah kami, sedang

engkau adalah yang

sebaik-baik Pemberi

ampun”.

“Dan Musa memilih

dari kaumnya tujuh

puluh lelaki pada waktu

yang telah Kami

tentukan. Maka ketika

mereka digoncang

gempa, dia berkata:

Tuhanku, kalau Engkau

kehendaki, tentulah

Engkau membinasakan

mereka dan aku

sebelum ini. Apakah

Engkau membinasakan

kami karena orang-

orang yang picik di

antara kami? Itu

hanyalah cobaan dari-

Mu, Engkau sesatkan

dengannya siapa yang

Engkau kehendaki dan

Engkau beri petunjuk

siapa yang Engkau

kehendaki. Engkaulah

yang memimpin kami,

maka ampunilah kami

dan rahmatilah kami

dan Engkau adalah

sebaik-baiknya Pemberi

ampun”.

2. Surat Al-Isra:97

“Dan barang siapa yang

diberi petunjuk oleh

Allah, dia lah orang

yang terpimpin. Dan

barang siapa yang

disesatkanNya maka

tidaklah ada bagi

mereka pelindung-

pelindung selain Dia.

Dan akan Kami

kumpulkan mereka

dihari kiamat, diseret

atas muka-muka

mereka, dalam keadaan

buta, bisu dan tuli.

Tempat tinggal mereka

adalah Jahannam. Tiap-

tiap dia hendak padam

Kami tambah

“Dan barang siapa yang

ditunjuki Allah, dialah

yang mendapat

petunjuk dan barang

siapa yang Dia

sesatkan, maka sekali-

kali engkau tidak akan

mendapat bagi mereka

penolong-penolong selain dari Dia. Dan

Kami akan

mengumpulkan mereka

pada hari kiamat atas

muka mereka dalam

keadaan buta, bisu dan

pekak. Tempat

kediaman mereka

adalah neraka

Jahannam. Setiap kali

Page 83: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

72

nyalanya”. hamper padam Kami

tambah lagi bagi

mereka nyalanya”.

3. Surat Hud:20

“Mereka itu tidaklah

akan terlepas di bumi

ini, dan tidaklah ada

bagi mereka selain

Allah yang akan

melindungi. Akan

digandakan bagi mereka

azab. Tidaklah ada pada

mereka kesanggupan

mendengar, dan

tidaklah mereka dapat

melihat”.

“Orang-orang itu tidak

mampu menghalang-

halangi di bumi ini, dan

sekali-kali tidak adalah

bagi mereka selain

Allah satu penolong

pun. Dilipatgandakan

siksaan kepada mereka.

Mereka tidak dapat

mendengar dan mereka

tidak dapat melihat”.

4. Surat Al-Kahfi:102

“Apakah menyangka

orang-orang yang kafir

itu, bahwa boleh

mereka mengambil

hamba-hambaKu, selain

aku, menjadi

pelindung? Sesungguhnya Kami

telah menyediakan

neraka Jahannam untuk

orang-orang kafir

menjadi kediaman”.

“Maka apakah orang-

orang kafir menyangka

bahwa mereka dengan

mengambil hamba-

hambaKu menjadi

penolong-penolong

selain Aku?

Sesungguhnya Kami

telah menyediakan

neraka Jahannam

tempat bagi orang-

orang kafir”.

5. Surat Ali-Imran:122

“(Ingatlah) tatkala dua

golongan antara kamu

hampir saja lemah,

Allah menjadi

pelindung mereka

keduanya. Dan kepada

Allahlah bertawakal

orang-orang yang

beriman”.

“Ketika dua golongan

dari (pasukan) kamu

terbetik dalam

pikirannya untuk

menggagalkan niatnya,

padahal Allah adalah

penolong kedua

golongan itu. Karena itu

hendaklah kepada Allah

saja orang-orang

mukmin bertawakal”.

6. Surat Al-Jatsiyah:19

“Sesungguhnya mereka

tidak akan dapat

melepaskan engkau dari

Allah sedikit jua pun.

Dan orang-orang yang

“Sesungguhnya mereka

sekali-kali tidak akan

dapat menghalangimu

sedikitpun dari Allah,

dan sesungguhnya

Page 84: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

73

dianiaya itu, yang

sebahagian adalah

pelindung dari yang

sebahagian. Dan Allah

adalah pelindung bagi

orang-orang yang

bertakwa”.

orang-orang yang zalim

sebagian mereka

menjadi penolong bagi

sebagian yang lain,

serta Allah adalah

Pelindung orang-orang

bertakwa”.

Di sini penulis melihat banyak sekali terjadinya perbedaan makna yang di

tafsirkan oleh Hamka dan Quraish. Pertama, pada surat al-„Araaf ayat 155 Hamka

menerjemahkan pelindung sedangkan Quraish menerjemahkan pemimpin di sini

memang terlihat perbedaan makna akan tetapi, perbedaan tersebut tidak terlalu

fatal. Karena, keduanya hanya berbeda dipemilihan diksinya saja padahal

pemahaman di antara keduanya tentang makna wali masih satu pemahaman.

Quraish menerjemahkan pemimpin karena menurutnya seorang pemimpin itu

harus mempunyai sifat pelindung maka dari itu Quraish lebih menonjolkan

terjemahannya pada subjeknya (pemimpin) sedangkan, Hamka lebih pada

sifatnya. Selanjutnya penulis melihat adanya perbedaan juga terdapat pada surat

al-Isra ayat 97, Hud ayat 20, Kahfi ayat 102, Imran ayat 122, dan Jatsyiyah ayat

19 di sini Hamka penerjemahan kata tersebut dengan terjemahan pelindung

sedangkan, Quraish menerjemahkan dengan terjemahan penolong. Perbedaan

penafsiran pertama yang dapat dikemukakan dari kelima surat tersebut terdapat

pada pemilihan diksinya saja yang berbeda. Padahal keduanya sama-sama

menyebutkan sifat dari waliyy (Allah) tersebut yaitu pelindung dan penolong.

Kata waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian

berkembang makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai,

lebih utama dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.

Page 85: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

74

Penggunaan kata waliyy jika menjadi sifat Allah hanya ditunjukkan kepada orang-

orang yang beriman. Karena itu kata waliyy bagi Allah diartikan dengan pembela,

pendukung dan sejenisnya, tetapi pembelaan dan pendukungan yang bersifat

positif serta berkesudahan baik.65

b. Pemimpin

Selain itu ada beberapa ayat yang berbeda terjemahannya antara Hamka

dengan Quraish Shihab. Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya dengan

terjemahan pemimpin sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata tersebut

dengan terjemahan pelindung, wali, auliya. Berikut adalah kata wali dan auliya

yang diterjemahkan secara berbeda.

No Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-An‟am:14

“Katakanlah: “Adakah

yang selain Allah akan

aku ambil jadi

pemimpin? Pencipta

semua langit dan bumi,

dan Dia yang memberi

makan, dan bukan Dia

yang diberi makan.”

Katakanlah:

“Sesungguhnya aku

disuruh supaya menjadi

orang yang mula-mula

menyerah diri.” Dan

sekali-kali jangan

engkau jadi dari

golongan orang-orang

yang musyrik”.

“Katakanlah: „Apakah

selain Allah, wajar aku

jadikan Pelindung,

Pencipta langit dan

bumi tanpa ada contoh

sebelumnya, padahal

Dia memberi makan

dan tidak diberi

makan?‟ Katakanlah:

„Sesungguhnya aku

diperintah supaya aku

menjadi orang yang

pertama menyerahkan

diri dan jangan sekali-

kali engkau masuk

golongan orang-orang

musyrik”.

2. Surat Al-„Araaf:30 “Satu golongan

diberiNya petunjuk dan

satu golongan (lagi)

“Sekelompok telah

diberiNya petunjuk dan

sekelompok telah pasti

65

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 111-112

Page 86: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

75

tetimpalah atas mereka

kesesatan.

Sesungguhnya mereka

telah mengambil

syaitan-syaitan jadi

pemimpin-pemimpin

selain Allah, dan

mereka mengira bahwa

mereka adalah

mendapat petunjuk”.

kesesatan atas mereka.

Sesungguhnya mereka

menjadikan setan-setan

pelindung selain Allah,

dan mereka mengira

bahwa mereka orang

yang diberi hidayat”.

3. Surat Al-Furqon:18

“Menjawablah mereka:

Maha Suci Engkau ya

Tuhan, tiadalah layak

bagi kami akan

mengambil pula selain

Engkau menjadi

pemimpin-pemimpin. Tetapi Engkau telah

memberikan

kesenangan kepada

mereka dan kepada

nenek moyang mereka,

sehingga mereka pun

lupa kan peringatan,

maka lantran itu jadilah

kaum yang hancur

luluh”.

“Mereka menjawab:

“Maha Suci Engkau

tidaklah dapat wujud

bagi kami mengambil

selain Engkau para

pelindung yang

menangani urusan kami

selain Engkau, akan

tetapi Engkau Dan

mereka adalah kaum

yang binasa”.

4. Surat Al-Maidah:55

“Tidak ada pemimpin

bagi kamu, kecuali

Allah dan RasulNya dan

orang-orang yang

beriman, yang

mendirikan sembahyang

dan mengeluarkan

zakat, dan mereka itu

semuanya tunduk”.

“Sesungguhnya wali

kamu hanyalah Allah,

Rasul-Nya, dan orang-

orang yang beriman,

yang mendirikan shalat

dan menunaikan zakat,

seraya mereka rukuk”.

5. Surat An-Nisa:144

“Wahai orang-orang

yang beriman!

Janganlah kamu ambil

akan orang-orang kafir

menjadi pemimpin,

yang bukan dari orang-

“Wahai orang-orang

yang beriman,

janganlah kamu

menjadikan orang-orang

kafir auliya’ dengan

meningglkan orang-

Page 87: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

76

orang yang beriman.

Apakah kamu ingin

bahwa Allah

menjadikan atas kamu

sesuatu kekuasaan yang

nyata?”.

orang mukmin. Maukah

kamu mengadakan

alasan yang nyata bagi

Allah (untuk

menyiksamu)?”.

6. Surat Al-Maidah:51

“Wahai orang-orang

yang beriman!

Janganlah kamu

mengambil orang

Yahudi dan Nasrani

menjadi pemimpin-

pemimpin; sebagian

mereka adalah

pemimpin-pemimpin dari sebagian. Dan

barang siapa

menjadikan mereka

pemimpin di antara

kamu, maka

sesungguhnya dia itu

telah tergolong dari

mereka. Sesungguhnya

Allah tidaklah akan

member petunjuk

kepada kaum yang

zalim”.

“Hai orang-orang yang

beriman, janganlah

kamu menjadikan

orang-orang Yahudi dan

Nasrani sebagai auliya’,

sebagian mereka adalah

auliya‟ bagi sebagian

lain. Barang siapa di

antara kamu

menjadikan mereka

auliya‟, maka

sesungguhnya dia

termasuk sebagian

mereka. Sesungguhnya

Allah tidak member

petunjuk kepada orang-

orang yang zalim”.

7. Surat Al-Maidah:57

“Wahai orang-orang

yang beriman!

Janganlah kamu ambil

orang-orang yang telah

menjadikan agama

kamu ejekan dan main-

main, (yaitu) dari

orang-orang yang telah

diberi kitab sebelum

kamu itu, dan orang-

orang yang kafir, akan

jadi pemimpin-

pemimpin. Dan

takwalah kepada Allah ,

jika kamu memang

orang-orang yang

beriman”.

“Hai orang-orang yang

beriman, janganlah

kamu menjadikan

auliya’, orang-orang

yang membuat agama

kamu bahan ejekan dan

permainan, (yaitu) di

antara orang-orang yang

telah diberi Kitab

sebelum kamu, dan

orang-orang yang kafir.

Dan bertakwalah

kepada Allah jika kamu

orang-orang mukmin”.

8. Surat Al-Maidah:81

“Dan jika sekiranya

adalah mereka itu

beriman kepada Allah

dan Nabi itu, dan apa

yang diturunkan

kepadanya, tentulah

mereka tidak

mengambil kafir-kafir

“Sekiranya mereka

beriman kepada Allah,

kepada Nabi dan kepada

apa yang diturunkan

kepadanya, niscaya

mereka tidak akan

mengangkat mereka itu

menjadi auliya’, tetapi

Page 88: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

77

itu jadi pimpinan.

Akan tetapi kebanyakan

dari mereka itu telah

fasik”.

kebanyakan dari mereka

adalah orang-orang

yang fasik”.

Pada uraian surat-surat di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan makna

kata wali di sini Hamka tetap konsisten menerjemahkan wali atau auliya dengan

makna pemimpin sedangkan, Quraish kadang-kadang menerjemahkan wali atau

auliya dengan makna pelindung, wali, atau auliya. Pertama, pada surat Al-

An‟am:14, Al-„Araaf: 30, dan Al-Furqon:18 Hamka menerjemahkan pemimpin

sedangkan Quraish menerjemahkan pelindung. Perbedaan di sini hanya terjadi

pada perbedaan diksinya saja. Penulis pun melihat bahwa Quraish lebih

menonjolkan sifat dari wali tersebut yaitu pelindung, dan wali yang dimaksud di

sini adalah Allah SWT. Perbedaan selanjutnya Hamka lebih memilih

menggunakan semantik leksikal dalam menerjemahkan kata wali dan auliya.

Karena, menurut Hamka pada saat ia mengarang kitab tafsir tersebut, keadaan

rakyat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam masih sangat terbelakang

dalam hal pendidikan. Maka dari itu, Hamka lebih menggunakan terjemahan yang

mudah dimengerti pada masa itu. Perbedaan makna ini tidak terlalu fatal karena

menurut penulis hubungan pemimpin dan pelindung masih berdekatan antara si

pelaku dan sifatnya.

Kemudian dalam surat al-Maidah ayat 55 perbedaan yang terdapat disini

tidaklah terlalu fatal Hamka menerjemahkan pemimpin sedangkan, Quraish

Page 89: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

78

menerjemahkan wali di sini hanya perbedaan di diksinya saja. Kalau Quraish

lebih memilih diksi yang modern atau sering dipahami oleh para pembaca.

Dan terakhir di sini penulis melihat bahwa terjadi perbedaan antara dua versi

terjemahan Hamka menerjemahkan dengan makna pemimpin sedangkan Quraish

dengan makna auliya. Sama seperti sebelumnya perbedaan yang mencolok terjadi

pada pemilihan diksinya saja. Dan perbedaan yang selanjutnya terlihat bahwa

Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya tersebut lebih berpandang pada arti

dari kamus Arab dan menerjemahkan apa adanya dari kamus saja. Sedangkan

Quraish, lebih memerhatikan konteksnya. Pada surat al-Maidah ayat 51, Quraish

menafsirkan auliya yang dimaksud disini adalah teman-teman dekat.66

Dan

Quraish berkesimpulan pada ayat 51 ini, bahwa kata auliya yang dimaksud di

dalam kata ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-

perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling

terkaitannya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga anda dapat melihat dua

orang yang saling mencintai bahkan seorang yang memiliki satu jiwa, satu

kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain

dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan.67

c. Pengikut

Selanjutnya setelah dianalisis dan diteliti ternyata penulis menemukan

bahwasannya kedua mufasirun menerjemahkan kata wali dan auliya secara

bebeda-beda. Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya dengan makna

66

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,

vol.3(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 114 67

M. Quraish Shihab, Op. Cit, hal. 115-116

Page 90: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

79

pengikut sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata tersebut dengan makna

teman setia dan wali. Berikut ini adalah contoh-contohnya.

No Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-An‟am:121

“Dan janganlah kamu

makan dari apa yang

tidak disebutkan nama

Allah atasnya, dan

sesungguhnya itu adalah

suatu kedurhakaan. Dan

sesungguhnya syaitan-

syaitan itu membisikan

kepada pengikut-

pengikut mereka,

supaya mereka

membantah kamu. Dan

jika kamu menuruti

kepada mereka,

sesungguhnya

musyriklah kamu”.

“Dan janganlah kamu

memakan dari apa yang

tidak disebut nama Allah

atasnya, dan

sesungguhnya ia sungguh

adalah kefasikan.

Sesungguhnya setan-setan

membisikkan kepada

kawan-kawan mereka

agar mereka membantah

kamu; dan jika kamu

menuruti mereka,

sesungguhnya kamu

tentulah menjadi orang-

orang yang musyrik”.

2. Surat Ali Imran:175

“Yang demikian itu

tidak lain hanyalah

syaitan yang hendak

mempertakut-takuti

pengikut-pengikutnya.

Lantaran itu janganlah

kamu takut kepada

mereka, tetapi takutlah

kepadaKu, jika memang

kamu orang-orang yang

beriman”.

“Sesungguhnya itu tidak

lain hanyalah setan yang

menakut-nakuti kawan-

kawannya karena itu

janganlah kamu takut

kepada mereka, tetapi

takutlah kepadaKu, jika

kamu benar-benar orang

mukmin”.

Pada surat an-An‟am ayat 121 dan ali-Imran ayat 175 kedua mufasirun

menerjemahkan secara berbeda terlihat dari pemilihan diksi yang dilakukan oleh

keduanya. Hamka lebih cenderung mempertahankan menerjemahkan kata tersebut

dengan menggunakan makna yang terdapat dalam kamus-kamus Arab seperti al-

„Ashry, dan Munawwir. Sedangkan Quraish, kalau kata wali atau auliya berada

Page 91: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

80

dalam konteks pergaulan dan kasih sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa

sehingga wali/auliya adalah yang dicintai atau yang menjadikan seseorang tidak

dapat tidak kecuali tertarik kepadanya memenuhi kehendak dan mengikuti

perintahnya.68

d. Sembahan

Dan selanjutnya penulis menemukan hanya ada satu kata auliya yang terdapat

dalam surat al-Jatsiyah dan diterjermahkan secara berbeda antara Dr. Hamka dan

Quraish Shihab. Dr. Hamka menerjemahkan kata auliya tersebut dengan

terjemahan pelindung sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata auliya

tersebut dengan terjemahan sembahan-sembahan. Seperti yang terdapat pada

contoh yang di bawah ini.

No. Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Jatsiyah:10

“Di hadapan mereka ada

Jahannam, dan tidak

menolong bagi mereka

apapun yang mereka

usahakan, dan tidak pula

apa yang mereka ambil

selain Allah menjadi

pelindung. Dan bagi

mereka azab yang

besar”.

“Dihadapan mereka

neraka Jahannam dan

tidak akan berguna bagi

mereka apa yang telah

mereka kerjakan sedikit

pun, dan tidak pula apa

yang mereka jadikan

selain Allah sebagai

sembahan-sembahan. Dan bagi mereka siksa

yang besar”.

68

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,

vol.3(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 115-116

Page 92: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

81

Pada surat al-Jatsyiyah ayat 10 terlihat sekali perbedaan terjemahan antara

Hamka dan Quraish lagi-lagi terlihat dari cara pemilihan diksi yang berbeda

antara keduanya. Dan Quraish dalam memilih padanan dia lebih mengikuti kaidah

dalam bahasa Indonesia yang benar ketika bahasa sumber yang akan

diterjemahkan berbentuk jamak maka bahasa sasaran yang ia terjemahkan

penulisannya menjadi berulang-ulang.

e. Penolong

Dari banyaknya makna yang ada kata wali atau auliya juga diterjemahkan

dengan makna penolong. Akan tetapi, antara Hamka dengan Quraish Shihab

menerjemahkan kata tersebut dengan berbeda makna Hamka menerjemahkan

dengan makna penolong sedangkan Quraish Shihab dengan makna pemimpin

Berikut surat-surat yang diterjemahkan secara berbeda.

No. Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-„Araaf:3

“Turutilah olehmu apa

yang diturunkan kepada

kamu dari Tuhan kamu,

dan janganlah kamu

turuti yang selain dari

Dia menjadi penolong-

penolong. Sedikitlah

kamu yang diingat”.

“Ikutilah apa yang

diturunkan kepada kamu

dari Tuhan kamu dan

janganlah kamu

mengikuti pemimpin-

pemimpin selain-Nya.

Amat sedikit kamu

mengambil pelajaran”.

2. Surat Al-Kahfi:17

“Dan akan Engkau lihat

Matahari apabila terbit,

dia condong daripada

gua mereka ke sebelah

kanan. Dan apabila dia

tenggelam, dia

tinggalkan mereka

disebelah kiri, sedang

“Dan engkau melihat

matahari ketika terbit,

condong dari gua mereka

ke sebelah kanan dan bila

matahari itu terbenam ia

menjauhi mereka ke

sebelah kiri sedang

mereka berada dalam

Page 93: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

82

mereka berada dibagian

yamg lapang

daripadanya. Yang

demikian itu adalah

suatu di antara ayat-ayat

Allah. Barang siapa

yang ditunjuki Allah,

niscaya terpimpinlah

dia. Dan barang siapa

yang disesatkannya,

maka sekali-kali tidak

akan ada penolong yang

akan menunjuki jalan”.

tempat yang luas di

dalamnya. Itu adalah

sebagian dari ayat-ayat

Allah. Barang siapa yang

diberi petunjuk oleh Allah

maka dialah yang

mendapat petunjuk; dan

barang siapa yang

disesatkanNya, maka

engkau tak akan

mendapatkan baginya

seorang pemimpin yang

menjadi pembimbing”.

Pada surat al-„Araaf ayat 3 dan al-Kahfi ayat 17 di sini terlihat perbedaan

antara terjemahan keduanya Hamka menerjemahkan penolong sedangkan Quraish

menerjemahkan pemimpin. Perbedaan disini terletak pada diksinya. Menurut

penulis terjemahan Quraishlah yang lebih tepat dan mudah untuk dipahami oleh

seorang pembaca. Pada terjemahan yang dilakukan Quraish itu perbedaan yang

terlihat dia lebih menekankan pada subjeknya atau si pelaku sedangkan Hamka,

lebih pada sifat dari seorang pemimpin yaitu penolong, dll.

f. Wali

Kata wali dan auliya yang diterjemahkan dengan makna yang apa adanya yaitu

wali. Setelah penulis menganalisis ternyata ada beberapa surat yang

diterjemahkan oleh kedua mufasirun secara berbeda Hamka menerjemahkan

dengan makna wali sedangkan Quraish Shihab dengan makna auliya.

Page 94: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

83

No. Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Anfaal:73

“Dan orang-orang yang

kafir itu, setengah

merekapun adalah wali

atas yang setengah. Jika

tidak kamu kerjakan

begitu, tentulah akan ada

fitnah di bumi dan

kerusakan yang besar”.

“Adapun orang-orang

yang kafir, sebagian

mereka menjadi auliya

bagi sebagian yang lain.

Jika kamu tidak

melaksanakan, niscaya

kan terjadi kekacauan di

muka bumi dan kerusakan

yang besar”.

Pada kasus di atas sebenarnya kedua terjemahan ini memiliki makna yang

sama. Hanya pemilihan diksi yang berbeda. Dan perbedaan lainnya terlihat bahwa

bentuk jamak atau tunggalnya Quraish lebih memperhatikan kedudukan bahasa

sumber dan bahasa sasarannya terlihat di sini bahasa sumbernya berbentuk jamak

kemudian Quraish pun menerjemahkan ke dalam bahasa sasarannya dalam bentuk

jamak pula. Kalau dilihat maknanya keduanya memiliki pemahaman makna yang

sama.

g. Teman setia

Ada satu surat yang diterjemahkan berbeda oleh Hamka dan Quraish Shihab

yaitu surat al-Ahzab ayat 6 Hamka menerjemahkan kata tersebut dengan makna

teman setia sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan dengan makna auliya.

Berikut ini adalah contoh kasusnya surat al-Ahzab ayat 6.

No. Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Ahzab:6

“Nabi itu adalah lebih

utama bagi orang yang

beriman dari diri mereka

sendiri, dan istri-istri

“Nabi lebih utama bagi

orang-orang mukmin

daripada diri mereka

sendiri, sedang istri-

Page 95: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

84

beliau adalah ibu-ibu

mereka. Dan orang-

orang yang mempunyai

hubungan darah yang

setengah dengan yang

setengah lebih utama di

dalam kitab Allah

daripada orang-orang

Mu‟min dan orang-orang

yang berhijrah, kecuali

kalau kamu hendak

berbuat baik kepada

saudara-saudara kamu.

Adalah yang demikian

itu, di dalam kitab Allah

telah tertulis”.

istrinya adalah ibu-ibu

mereka. Dan orang-

orang yang mempunyai

hubungan rahim satu

sama lain lebih berhak di

dalam Kitab Allah

daripada orang-orang

mukmin dan orang-

orang Muhajirin, kecuali

kalau kamu mau berbuat

baik kepada Auliya’

kamu. Adalah yang

demikian itu pada kitab

Allah telah tertulis”.

Pada surat al-Ahzab ayat 6 ini perbedaan yang terlihat pada perbedaan

pemilihan diksi. Dan apabila dilihat dari semantik gramatikalnya pernejemahan

Quraishlah yang lebih mudah untuk di pahami oleh si pembaca. Makna auliya di

sini kembali pada makna dasarnya yang merrupakan bentuk jamak dari kata

waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang

makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama

dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan. 69

Auliya

menurut Hamka di sini adalah orang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang

yang telah memberikan segenap pengurbanan untuk menegakkan jalan Allah.

h. Pembela

Dalam surat an-Nisa ayat 75 penulis melihat hanya Hamka lah yang

menerjemahkan kata wali dengan makna pembela sedangkan Quraish Shihab,

menerjemahkan kata wali dengan makna pelindung. Berikut ini adalah kasusnya.

69

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,

vol.6(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 111-112

Page 96: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

85

No. Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat An-Nisa:75

“Mengapa kamu tidak

akan mau untuk

berperang pada jalan

Allah dan (membela)

orang-orang yang telah

ditindas, dari laki-laki dan

perempuan dan kanak-

kanak, yang telah berkata

mereka: “Ya Tuhan

Kami! Keluarkanlah

kiranya kami dari negeri

ini, yang penduduknya

begitu zalim, dan

jadikanlah untuk kami

dari sisi Engkau, seorang

pembela”.

“Mengapa kamu tidak

mau berjuang di jalan

Allah dan (membela)

orang-orang yang

lemah, baik laki-laki,

wanita-wanita, maupun

anak-anak yang berdoa:

Tuhan kami,

keluarkanlah kami dari

negeri ini (Mekkah)

yang zalim

penduduknya dan

berilah kami pelindung

dari sisi Engkau, dan

berilah kami Penolong

dari sisi Engkau”.

Pada kasus di atas sebenarnya memiliki makna yang sama keduanya

merupakan sifat dari dari seorang pemimpin atau orang-orang dekat. Dan

perbedaannya terletak pada pemilihan diksinya.

i. Auliya

Setelah penulis menganalisis di dalam surat al-Jumu‟ah ayat 6 Hamka dan

Quraish Shihab menerjemahkan kata auliya tersebut secara berbeda, berikut ini

contohnya.

Page 97: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

86

No Surat Perbedaan

Terjemahan Versi Hamka Terjemahan Versi Quraish

1. Surat Al-Jumu‟ah:6

“Katakanlah: “Wahai

orang-orang Yahudi!

Jika kamu menyangka

bahwa kamulah yang

auliya‟ bagi Allah,

bukan manusia lain,

maka cita-citalah mati

jika adalah kamu orang-

orang yang benar”.

“Katakanlah: Hai orang-

orang yang beragama

Yahudi, jika kamu

mengira bahwa kamu

kekasih-kekasih bagi

Allah-berbeda dengan

manusia lain-maka

idamkanlah kematian; jika

kamu orang-orang yang

benar”.

Pada surat al-Jumu‟ah ayat 6 ini perbedaan yang terlihat pada pemilihan

diksinya. Dan kalau dilihat penerjemahan Quraishlah yang lebih mudah dipahami

oleh pembaca. Auliya menurut Hamka di sini adalah orang yang paling dekat

kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengorbanan untuk

menegakkan jalan Allah. Sedangkan, orang seseorang disebut Wali. Dalam surat

Yunus dijelaskan ciri-ciri yang khas dari orang-orang yang menjadi wali (satu

orang) atau Auliya‟ (banyak orang) itu.

Page 98: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penafsir yang hidup di abad modern, Hamka dan Quraish Shihab

sama-sama memberikan penafsiran yang mudah untuk dipahami bila

dibandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh pada zaman klasik. Hal ini

disebabkan antara lain karena keduanya lebih sama-sama memilih bahasa yang

cocok dengan bahasa umat dan pemikiran mereka di abad modern. Akan tetapi,

Hamka dalam padanan kalimatnya kurang memperhatikan struktur semantik

gramatikalnya, dia lebih kepada semantik leksikal dengan kata lain dia

menerjemahkannya lebih kepada terjemahan harfiah dan dia lebih sering

menggunakan bahasa Melayu. Setelah penulis analisis, hasil terjemahan

Quraishlah yang lebih baik dibandingkan dengan hasil terjemahan Hamka.

Terjemahan Quraish lebih menggunakan bahasa Indonesia yang kontemporer.

Dan berdasarkan hasil pantauan penulis, pola penafsiran yang diterapakan

Hamka dan Quraish jelas berbeda. Karena, keduanya memiliki ciri khas masing-

masing. Quraish dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah

terbitan tahun 2002 yang merupakan penelitian dari judul skripsi ini dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a) Terjemahan ayat-ayat yang mengandung kata wali dalam Tafsir Al-Misbah

menggunakan metode penerjemahan setia.

Page 99: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

88

b) Terjemahan ayat-ayat yang mengandung kata wali dalam Tafsir Al-Misbah

telah menggunakan tolak ukur bahasa Indonesia yang memadai; karena,

bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dimengerti. Baik segi bentuk

maupun struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya.

Pada Tafsir Al-Misbah, Quraish memberi tambahan lain dalam menerjemahkan

tafsirnya dengan menggunakan metode maudhu‟i. Metode ini memiliki

keistimewaan yaitu menghindarkan kita dari problema atau kelemahan yang

terdapat pada metode lain. Oleh karena itu, Quraish berupaya untuk

menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah atau

tema pokok surah. Menurut Quraish sebagaimana dikatakan dalam sekapur sirih

Tafsir Al-Misbah, jika kita mampu memperkenalkan pesan utama setiap surah,

maka ke-114 yang ada di dalam al-Qur‟an akan dikenal lebih dekat dan mudah.

Perbedaan ini terlihat terutama dalam muatan Tafsir Al-Misbah Quraish lebih

cenderung memahami ayat-ayat melalui pendekatan bahasa, dan masih

menggunakan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang benar. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa Tafsir Al-Misbah diwarnai oleh corak kebahasaan yang

bagus dan menggunakan metode semantik yang sesuai.

Sedangkan Hamka, dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul “Tafsir Al-

Azhar” lebih bersifat apa adanya, artinya teks naskah tersebut diterjemahkan

sesuai dengan struktur bahasa sumber dan tidak menyimpang dari struktur bahasa

sasaran, maka digunakanlah metode penerjemahan harfiyah. Sebaliknya, apabila

teks tersebut harus mengalami perubahan struktur bahasa sumber ketika

diterjemahkan, maka digunakanlah metode penerjemahan bebas. Bebas di sini

Page 100: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

89

bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga

esensi terjemah sendiri itu hilang. Bebas di sini berarti penerjemah dalam

menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat

dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti oleh

pembacanya.

Page 101: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

90

B. Saran

Melihat dari hasil kesimpulan di atas, penulis menyadari bahwa penelitian

tentang analisis polisemi kata wali dan auliya pada Qur‟an terjemahan karya

Hamka dan Quraish Shihab yang penulis kaji saat ini belumlah menghasilkan

karya yang maksimal, penulis hanya sekedar menganalisis kata wali dan auliya.

Sedangkan, kata-kata polisemi yang lain masih banyak dan bisa dijadikan rujukan

untuk analisis selanjutnya. Dan penulis melihat agaknya akan menjadi sebuah

tantangan yang baru bagi seorang penerjemah-penerjemah di Indonesia untuk

mendapatkan hasil terjemahan yang baik, apalagi dalam terjemahan al-Quran.

Meskipun telah semaksimal mungkin menyelesaikan skripsi ini, penulis

menyadari masih banayak sekali kekurangan yang harus penulis perbaiki. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun sangatlah diperlukan oleh penulis.

Dan penulis berharap ada yang dapat menyempurnakan penelitian selanjutnnya

yang dapat mengembangkan penelitian yang ada.

Di dalam Tafsir Al-Azhar karya Hamka , masih banyak terjemahan yang perlu

dikaji lagi dalam segi tata bahasa Indonesia.

Page 102: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

91

Daftar Pustaka

Abdul Wahab, Muhbib. Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran

bahasa Arab. Jakarta: UIN Press, 2009.

Ali, Atabik. Al-„Arsy: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Mulya Karya Grafika,

1998.

Anwar, Hamdani. Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish

Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya.

As-Syahroni, Abdul Wahab. „Ilm Wujuh wa Nadzair. Beirut: Muassasah Ar-Risalah,

1985.

Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemahkan Teks

Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Djajasudarma, Fatimah. Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung:

Refika Aditama, 1999.

Djajasudarma, Fatimah. Semantik II Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika

Aditama, 1999.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Icthar Baru van

Hoeve, 1993.

Page 103: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

92

Fahrurrozi, Aziz. Gramatika Bahasa Arab. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah.

Feserspiel, Howard M. Kajian al-Qur‟an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish

Shihab. Bandung: Mizan, 1997.

Fuad Abdul Baqi, Muhamad. Al-Mu‟jam Al-Mufahras lil al-Fadzil Qur‟anul Karim.

Turki: Maktabah al-Islamiyah, 1984.

Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Hanafi, Nurrachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Flores: Nusa Indah, 1986.

Kurratul’aini, Siti. Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur‟an juz 30 (surat

al-Qadar; al-Alaq;al-Ikhlas) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka

dan Mahmud Yunus. Jakarta: Skripsi S.1 Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidatyatullah, 2008.

Kushartanti. Dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Kusmana. “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed),

Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: IAIN Press,2002.

Machali, Rochyah. Pedoman Bagi Penerjemahan. Jakarta: PT. Grasindo, 2000.

Page 104: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

93

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progessif, 1997.

Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004.

Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Rudolf, M. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1949.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:

Lentera Hati, 2002.

Shihab, Quraish. Logika Agama, Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam

Islam. Jakarta: Lentera hati, 2005.

Shihab, Quraish. Studi Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 2001.

Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia: Teori dan Praktek. Bandung:

Humaniora, 2005.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1989.

Ullmann, Stephen. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Verhaar, J. W. M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada, 1995.

Page 105: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

94

Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994.

Yusuf, Yunan M. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Jakarta: Penamadani, 2004.

Page 106: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

A. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi Hamka dalam Padanan al-Qur’an

No Makna Ayat-Ayat Al-Qur’an

1 Pelindung Q.S. Al- An’am: 51

Q.S. Al-‘Araf: 155 dan 196

Q.S. Al-Isra: 97

Q.S Al-Kahfi: 26 dan 102

Q.S At-Taubah: 116 dan 74

Q.S Zumar: 3

Q.S. Fushilat: 31

Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65

Q.S Saba: 41

Q.S Yusuf: 101

Q.S Ar-Rad: 16 dan 37

Q.S Hud: 20

Q.S Ali Imran: 112

Q.S An-Nisa: 119,123,dan 173

Q.S Jatsyiyah: 20 dan 16

Q.S As-Syura: 6,8, dan 9

2 Pemimpin Q.S Al-An’am: 14

Q.S Al-‘Araf: 27 dan 30

Q.S Al-Kahfi: 50

Q.S At-Taubah: 23 dan 71

Q.S Al-Furqon: 18

Q.S An-Nahl: 63

Q.S Al-Baqarah: 257

Q.S Ali Imran: 28

Q.S An-Nisa: 139 dan 144

Q.S Al-Maidah: 51, 55, 57, dan 81

3 Pengikut Q.S Al-An’am: 121 dan 128

Q. S Ali Imran: 175

Q.S An-Nisa: 76

Page 107: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

4 Penolong Q.S Al-‘Araf: 3

Q.S Al-Isra: 111

Q.S Al-Kahfi: 17

Q.S Sajadah: 4

Q.S Hud: 113

Q.S Al-Mumtahanah: 1

5 Pengurus Q.S Al-Anfal: 34

6 Penulis Q.S Al-Baqarah: 282

7 Pembela Q.S An-Nisa: 76

8 Wali Q.S Al-Anfaal: 72 dan 73

Q.S Al-Isra: 33

Q.S Yunus: 62

Q.S An-Naml: 49

Q.S An-Nisa: 45

9 Auliya Q.S Jumu’ah: 6

10 Teman setia Q.S Fushilat: 34

Q.S Al-Ahzab: 6

Q.S Ali Imran: 68

Q.S An-Nisa: 89

Page 108: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

B. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi M. Quraish Shihab

No Makna Ayat-Ayat Al-Qur’an

1 Pelindung Q.S Al-Baqarah: 107, 120, 148, dan 257

Q.S An-Nisa: 75, 119, 123, dan 173

Q.S Al-An’am: 14, 51, dan 70

Q.S Yusuf: 101

Q.S Ar-Rad: 16 dan 37

Q.S Al-Kahfi: 26

Q.S Al-Ankabut: 22 dan 41

Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65

Q.S Saba: 41

Q.S Zumar: 3

Q.S Fushilat: 31

Q.S As-Syura: 6, 8, dan 9

Q.S Al-Ahqaf: 32

Q.S Al-Fath: 22

Q.S Al-Furqon: 18

Q.S Al-‘Araaf: 30 dan 196

Q. S At-Taubah: 74 dan 116

2 Penulis Q. S Al-Baqarah: 282

3 Teman Dekat Q. S Ali Imran: 68 dan175

Q.S An-Nisa: 89

Q.S Al-An’am: 121 dan 128

Q.S Maryam: 45 dan 5

Q.S Fushilat: 34

Q. S Mumtahanah: 1

Q.S Jumu’ah: 6

4 Auliya Q.S An-Nisa: 144

Q.S Al-Maidah: 51, 57, dan 81

Q.S Al-Ahzab: 6

Q.S Al-Anfaal: 34, 72 dan 73

Page 109: Polisemi Kata Wali Dalam Al-Quran

5 Penolong Q.S Ali Imran: 122

Q.S Al-Isra: 97 dan 111

Q.S Hud 20 dan 113

Q.S Al-Kahfi: 44 dan 102

Q.S Sajadah: 4

Q.S Jatsyiyah: 19

Q.S At-Taubah: 71

6 Wali Q.S Ali-Imaran: 28

Q.S An-Nisa: 45 dan 76

Q.S Al-Maidah: 55

Q.S Al-Isra: 33

Q.S Yunus: 62

7 Pemimpin Q.S An_Nahl: 63

Q.S Al-Kahfi: 17 dan 50

Q.S Al-‘Araaf: 3, 27 dan 155

Q.S At-Taubah: 23

8 Sembahan Q.S Jatsyiyah: 10