Upload
avisenna
View
500
Download
22
Embed Size (px)
Citation preview
POLITIK HUKUM dalam
DISIPLIN ILMU HUKUM
Mata Kuliah
POLITIK HUKUM
Dosen Pengasuh
Prof. Dr. Sugeng Istanto, S.H.
oleh
S A L D I I S R A
06/09-I/2058/PS
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Januari, 2007
A. Pendahuluan
Politik hukum adalah bidang kajian yang mendapat perhatian
serius dalam beberapa dekade terakhir. F. Sugeng Istanto
berpendapat bahwa sebagai akibat dari kenyataan bahwa hingga
kini belum terdapat kesepakatan tentang sasaran pokok bahasan
politik hukum maka dapatlah dimengerti bahwa hingga kini belum
terdapat pula kesamaan pengertian politik hukum yang dianut dan
dikembangkan oleh berbagai program studi setelah sarjana ilmu
hukum.1
Dalam hal ini, Moh. Mahmud MD mencatat bahwa dengan SK
Dirjen Dikti No. 165/DIKTI/Kep/1994 tertanggal 24 Juni 1994, mata
kuliah politik hukum ditetapkan sebagai salah satu dari enam mata
ujian wajib yang empat diantaranya harus dipilih untuk ujian di
Program Magister Hukum Setelah sarjana. Kemudian pada
tanggal 3 Januari 1996, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan SK No. 002/U/1996 tentang kurikulum yang berlaku
secara nasional pada program Magister Ilmu Hukum di program
setelah sarjana yang didalamnya memasukan mata kuliah politik
hukum sebagai mata kuliah wajib. Dan pada tanggal 4 Agustus
1998, Dirjen Dikti mengeluarkan SK No. 278/DIKTI/Kep/1998 yang
menetapkan mata kuliah politik hukum sebagai salah satu mata
ujian negara wajib. Sejak mata kuliah politik hukum ditetapkan
sebagai mata kuliah wajib, maka kuliah politik hukum mulai
dijadikan salah satu mata kuliah program S-1 di beberapa Fakultas
Hukum, meskipun pada awalnya mata kuliah ini hanya
dikhususkan bagi mereka yang akan mengambil konsentrasi
Hukum Tata Negara.2
1 F. Sugeng Istanto, 2004, Politik Hukum, Bahan Kuliah, Setelah sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hal. 3.2 Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. 1-2
1
Barangkali, salah satu alasan belum adanya kesepkatan
tentang politik hukum karena kesulitan untuk menentukan letak
politik hukum dalam struktur ilmu hukum. Oleh karena itu, tulisan
ini mencoba menjelaskan politik hukum dalam disiplin ilmu hukum.
Tulisan ini dibagi mengadi empat bagian, yaitu: (1) Pendahuluan,
(2) Pengertian Politik Hukum, (3) Politik Hukum dalam Disiplin
Ilmu Hukum, (4) Pembaruan Kekuasaan Kehakiman: Sebuah
Contoh, dan (5) Penutup.
B. Pengertian Politik Hukum
Tidak jauh berbeda dengan pengertian hukum, sampai sejauh
ini juga belum terdapat keseragaman tentang pengertian politik
hukum. Dalam pandangan F. Sugeng Istanto, akibat belum
terdapat kesepakatan tentang sasaran pokok bahasan politik
hukum, maka hingga kini belum terdapat pula kesamaan
pengertian politik hukum.3 Terlepas dari masalah kesepakatan
sasaran dan belum adanya keseragaman pengertian, sejauh yang
dapat ditelusuri, tambah F. Sugeng Istanto, politik hukum telah
diperkenalkan di Indonesia oleh Lemaire dalam bukunya Het Recht
in Indonesie pada tahun 1952.4
Dengan diperkenalkan politik hukum, maka muncul beragam
pendapat yang mencoba menjelaskan makna politik hukum. Salah
satu literatur klasik dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia
yang mengemukakan pengertian politik hukum adalah Utrecht
dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia. Dalam Bab I
Bagian 13 (Par. 13) tentang Ilmu Hukum Positif, Politik Hukum,
dan Filsafat Hukum bukunya, Utrecht mengemukakan:
“Perlu juga dikemukakan bahwa sering pula pelajaran hukum umum, sebagai ilmu hukum positif, membuat penilaian (waarde-oordelen) tentang kaidah-kaidah hukum dan sistem
3 F. Sugeng Istanto, 2004, Politik Hukum ..., hal. 3.4 Ibid., hal. 2.
2
hukum yang telah diselidikinya dan, selanjutnya menentukan hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum). Menentukan ius constituendum ini pada pokoknya suatu perbuatan politik hukum...”5
Selanjutnya, tambah Utrecht, karena hukum juga menjadi
obyek politik, yaitu politik hukum. Maka, politik hukum berusaha
membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana
seharusnya manusia bertindak. Politik hukum, tambah Utrecht
lagi, menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan
dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai
dengan “sociale werkelijkheid”.6
Tidak berbeda jauh dengan pendapat Utrecht, Teuku
Mohammad Radhie mengatakan bahwa politik hukum merupakan
pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak
dikembangkan.7 Terkait dengan pandangan Teuku Mohamad
Radhie tersebut, Moh. Mahfud MD dalam bukunya “Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi” mengatakan bahwa
definisi yang dikemukakan Teuku Mohammad Radhie mencakup
ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada
saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau
seharusnya diberlakukan di masa mendatang.8
Sementara itu, sebagaimana dikutip Moh. Mahfud MD,
mantan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Soedarto, mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan
5 Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, 1961, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, hal. 124.6 Ibid., 124-125.7 Teuku Mohamad Radie, Prisma No. 6 Tahun ke II, 1973, hlm 4, dikutip dalam dalam SF. Marbun et.all. Hukum Administrasi Negara, UII Press, 2001, hlm. 1628 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. 1.
3
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9
Kemudian, tambah Mahfud, dalam bukunya “Hukum dan Hukum
Pidana”, Soedarto mendefinisikan politik hukum sebagai usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.10
Dengan bahasa yang sedikit berbeda M. Solly Lubis dalam
bukunya “Politik dan Hukum di Era Reformasi” mengemukakan
bahwa politik hukum (legal policy) merupakan garis atau dasar
kebijakan untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku
dalam negara.11 Sebagai kebijakan dasar, tambah M. Solly Lubis,
politik hukum tidak berdiri sendiri lepas dari dimensi politik
lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai
sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).12
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
tidak negara tanpa politik hukum. Menurut Bagir Manan, dalam
suatu negara ada politik hukum ada yang bersifat tetap
(permanen) dan ada yang temporer. Politik hukum yang bersifat
tetap, berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi
dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum. Sementara
politik hukum yang bersifat temporer merupakan kebijaksanaan
yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. 13
Karena sifat tersebut, Bagir Manan membagi politik hukum
menjadi dua lingkup utama, yaitu politik pembentukan hukum dan
9 Ibid., hal. 14.10 Ibid.11 M. Solly Lubis, 2000, Politk dan Hukum di Era Reformasi, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 23.12 Ibid., hal. 27.13 Bagir Manan, 1999, Politik Hukum Otonomi Daerah Sepanjang Peraturan Perudang-undangan Pemerintahan Daerah, dalam Hukum dan politik Indonesia; Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, hal. 144.
4
politik penegakan hukum.14 Dalam hal politik pembentukan hukum,
Bagir Manan mengatakan:
Politik pembentukan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum. Politik pembentukan hukum mencakup kebijaksanaan (pembentukan) perundang-undangan; kebijaksanaan (pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.15
Berkenaan dengan politik hukum yang merupkan
kebijaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan
(legislation), Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba.
Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan
tertentu. Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-
undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari
dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai
politik hukum (legal policy).16
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, tambah
Hikmahanto Juwana, politik hukum sangat penting, paling tidak,
untuk dua hal, pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk
menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal itu penting karena
keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal
merupakan ‘jembatan’ antara politik hukum yang ditetapkan
dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat
14 Ibid.
Politik penegakan hukum dimaksudkan Bagir Manan sebagai kebijaksanaan yang bersangkutan dengan kebijaksanaan di bidang peradilan dan kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum15 Ibid.16 Hikmahanto Juwana, tt, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Makalah tanpa tahun, hal. 1.
5
antara pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus ada
konsistensi dan korelasi yang erat dengan apa yang ditetapkan
sebagai politik hukum.17
Sementara itu, Kotan Y. Stefanus mengatakan bahwa politik
hukum pada prinsipnya berarti kebijaksanaan negara mengenai
hukum yang ideal (yang dicita-citakan) pada masa mendatang dan
mewujudkan ketentuan hukum yang ada pada saat ini. Adanya
kesamaan makna politik hukum dalam kedua dimensi pandangan
tersebut terletak penekanan terhadap hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum) dan hukum yang ada pada saat ini (ius
constitutum).18 Tidak jauh berbeda dengan Kotan Y. Stefanus,
setelah membaca pendapat yang dikemukakan Utrecht dan
Belefroid, F. Sugeng Istanto sampai kepada kesimpulan bahwa
politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang membahas
perubahan hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum
yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan
kehidupan dalam masyarakat.19
C. Politik Hukum dalam Disiplin Ilmu Hukum
Apakah politik hukum merupakan bagian dari studi ilmu
politik ataukah ilmu hukum? Perdebatan menyangkut posisi politik
hukum dalam disiplin ilmu hukum menjadi topik yang banyak
mendapat perhatian, khususnya dari pakar yang membidanginya.
Seperti Sri Soemantri menilai politik hukum bagian dari Hukum
Tata Negara.20 Pendapat Sri Soemantri ini diperkuat dengan
17 Ibid.18 Kotan Y. Stefanus, 1998, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 12.19 F. Sugeng Istanto, Politik Hukum ..., hal. 3.20 Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Jakarta, hal. 34.
6
pendapat H.D. Van Wijk yang juga menjelaskan bahwa studi politik
hukum merupakan bagian dari studi hukum tata negara. Menurut
H.D. Van Wijk, sebuah sistem hukum, hukum tata negara
merupakan fondasi dasar atau muara berlakunya cabang dan
ranting hukum yang lain.21
Sri Soemantri mengibaratkan hubungan antara hukum dan
politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang
keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik
diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari
rel yang seharusnya dilalui.22 Prinsip (atau sekedar semboyan)
yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling
menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”,23
menjadi semacam utopi belaka. Hal itu terjadi karena di dalam
prakteknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak
pemegang kekuasaan politik dengan kekuasaan.
F. Sugeng Sutanto menjelaskan bahwa politik hukum adalah
bagian dari ilmu hukum yang membahas perubahan hukum yang
berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius
constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam
masyarakat.24 berdasarkan pengertian tersebut, F. Sugeng Sutanto
membagi kajian politik hukum menjadi lima bagian, yakni:
(1)Ius constitutum;(2)Perubahan kehidupan masyarakat;(3)Ius constituendum;(4)Proses perubahan ius contitutum menjadi ius constituendum;
dan
21 Ibid.22 Sri Soemantri Martosuwignyo, 1987, “Pembangunan Hukum Nasional Dalam Perspektif Kebijaksanaan”, makalah untuk Praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, tanggal 19-20 Oktober, hal 6. 23 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 19-20. 24 F. Sugeng Istanto, op-cit hal. 3
7
(5)Produk hasil proses perubahan ius contitutum menjadi ius constituendum.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menilai bahwa
politik hukum terbentuk dari gabungan dua disiplin hukum, yaitu
ilmu hukum dan filsafat hukum. Purbacaraka dan Soekanto
memulai argumentasinya dengan membagi disiplin ilmu hukum
menjadi dua bagian, yakni apa yang disebutnya sebagai segi
umum dan segi khusus. Segi umum disiplin hukum pada mulanya
terdiri dari ilmu hukum dan filsafat hukum dimana masing-masing
memiliki ruang lingkupnya tersendiri. Ilmu hukum sendiri dibagi
lagi menjadi dua bagian, yakni ilmu dogmatik hukum dan ilmu
kenyataan hukum. Ilmu dogmatik hukum terbagi dua, yaitu ilmu
tentang kaidah hukum dan ilmu tentang pengertian pokok ilmu
hukum.25
Sebagai sebuah ilmu, ilmu dogmatik hukum yang di
dalamnya mencakup ilmu tentang kaidah hukum dan ilmu tentang
pengertian pokok dalam hukum memiliki kencenderungan yang
khas. Ia cenderung hanya membatasi diri pada kaidah-kaidah
hukum sebagai sesuatu pandangan menilai yang dicita-citakan dan
ideal. Sedangkan ilmu tentang kenyataan hukum biasanya
menelaah hukum sebagai kenyataan dan realitas atau biasa disebut
hukum yang hidup (living law).
Dari asumsi dasar bahwa hukum merupakan produk politik
yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling
bersaingan. Dari perspektif seperti ini, para ahli masih terdapat
perbedaan pendapat tentang letak politik hukum, ada yang
melihatnya sebagai bahagian dari ilmu hukum dan ada yang
meletakkannya sebagai bahagian dari ilmu politik.
25 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op-cit hal. 36
8
Terjadinya perbedaan pendapat itu disebabkan karena
perbedaan sudut pandang yang digunakan dalam memahami
proses terbentuknya disiplin politik hukum. Bagi mereka yang
mendukung pendapat bahwa politik hukum termasuk atau berakar
pada studi politik, mungkin menyamakan kasusnya dengan
sosiologi hukum yang memang berakar dari sosiologi. Dalam hal
ini teori sosiologi dipakai untuk memahami fenomena yang terjadi
di masyarakat.
Meskipun sebuah pernyataan posisi tentang politik hukum
dalam bidang ilmu tidak terlalu relevan untuk dinyatakan, namun
tulisan ini mengikuti pandangan bahwa politik hukum merupakan
bagian dari ilmu hukum.26 Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai
pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik
merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang
berupa berbagai bidang hukum seperti perdata, hukum pidana,
hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagianya.
Disinilah dapat dikemukakan argumen mengapa politik hukum
dilihat sebagai bagian dari ilmu hukum.
Hubungan kausal antara hukum dan politik yang dapat
menimbulkan sebuah pertanyaan tentang manakah yang
mempengaruhi antara hukum yang mempengaruhi politik atau
politik yang mempengaruhi hukum? Pada hakekatnya, hukum
merupakan determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-
kegiatan politik di atur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan
hasil atau meruapakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Dari dua
bahasan diatas jadi politik dan hukum merupakan sebagai
26 Pembahasan bahwa “politik hukum” merupakan bagian dari obyek studi ilmu hukum, antara lain, adalah Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, hal. 331; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 24; Bambang Poernomo, 1988, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 15.
9
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang, karena meskipun hukum merupakan
produk keputusan politik, namun begitu hukum berlaku, maka
semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum.
Dalam menjawab soal perbedaan jawaban terhadap
pertanyaan tentang hubungan kausal antara hukum dan poltik di
atas dapat kita bagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Kelompok yang memandang hukum dari sudut das sollen
(keharusan) atau para idealis, berpegang teguh pada
pandangan bahwa hukum harus menjadi pedoman dalam
segala tingkat hubungan antaranggota masyarakat,
termasuk dalam segala kegiatan politik.
b. Kelompok yang memandang hukum dari sudut das sein
(kenyataan) atau para penganut faham empiris, melihat
secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi
oleh politik, bukan saja dalam proses pembuatannya, tetapi
juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.
Dari dua kelompok yang berbeda pandangan dalam melihat
hubungan kausal antara hukum dan politik hanya bersifat relatif,
tergantung dari perspektif kelompok mana kita melihatnya. Dalam
kegiatan legislative (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang
lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik di bandingkan
dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-
lebih jika pekerjaan hukum itu berkaitan dengan masalah
prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislative (yang
menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik
dari pada hukum itu sendiri.27 Dengan demikian jawaban tentang
hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda,
27 Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum nasional, Sinar baru, hal. 79.
10
tergantung dari perspektif yang dipakai untuk memberikan
jawaban tersebut.
Berbeda dengan ilmu hukum (dogmatik hukum dan ilmu
kenyataan hukum) yang bersifat teoretis-rasional dan teoretis-
empiris serta filsafat hukum yang bersifat teoretis-filosofis, politik
hukum berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan
menggunakan metode teleologis-konstruktif. Artinya politik hukum
dalam pengertian sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan
hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat
sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak
dalam proses tranformasi masyarakat yang diinginkan. Agar
produk hukum itu sesuai dengan apa yang diinginkan, proses
tersebut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah
pengaruh ideologi atau ajaran-ajaran politik kendatipun kecilnya
pengaruh tersebut.
Bila dihubungkan dengan praktek policy making dan policy
executing di bidang ilmu hukum, politik hukum sebagai teori
mengungkapkan policy evaluation dan policy approximation serta
policy recommendation di bidang hukum. Dengan demikian, politik
hukum merupakan ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idiil
dan riil sebagaimana tergambar di bawah ini.
Gambar 1
Unsur pembentuk Politik Hukum
Disiplin hukum umum
Unsur hukum
11
Idiil Riil
Etika-Estetika Logika
Akar Kebudayaan Manusia
Ilmu Kenyataan
Sejarah Hukum
Sosiologi Hukum
Antropologi Hukum
Psikologi Hukum
Perbandingan Hukum
Metodik
Sistematik
Nilai
Asas
Dengan demikian, berdasarkan gambar di atas, disiplin
hukum memiliki tiga varian, yaitu ilmu hukum, filsafat hukum dan
politik hukum. Setelah menjadi disiplin hukum tersendiri, politik
hukum memiliki karakteristik atau sifat yang khas. Politik hukum
menurut Purbacaraka dan Soekanto, dalam hubungannya dengan
pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum
(rechtsviding), bersifat praktis-fungsional dengan cara penguraian
yang teleologis-konstruktif.
Artinya, sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum
memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan
penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks kesejarahan,
situasi dan kondisi, kultur, nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat, dan dengan memperhatikan pula kebutuhan
masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Melalui proses seperti ini
diharapkan produk hukum yang diimplementasikan di tengah-
tengah masyarakat dapat diterima, dilaksanakan dan dipatuhi.
Dalam perspektif pengertian seperti itu, secara tidak
langsung dalam perspektif akademis, Purbacaraka telah
menempatkan disiplin politik hukum seabgai sebuah disiplin
hukum khusus yang sangat penting dan berpengaruh dalam proses
12
Pengertian
FilsafatHukum Kaida
h
IlmuKaidah
Ilmu Pengertia
n
Dogmatik Hukum
Politik Hukum
Sumber; Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Terpetik dari Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Jakarta, 2004, hlm, 42
pembentukan segi khusus disiplin hukum (hukum negara, pribadi,
harta kekayaan, keluarga, waris, pidana) dan teknologi hukum
sebagaimana yang dapat kita lihat dan cermati pada gambar di
bawah ini.
Gambar 2
Objek yang dipengaruhi oleh Politik Hukum
Disiplin Hukum Khusus
Politik Hukum
13
Teknologi Hukum
Disiplin Tata Hukum
TeknikRechts-vindin
TeknikRechts-vorming
Bestuur
Politie
Rechts-praak
Dis. Hukum Tata NegaraDis. Hukum Adminitrasi
NegaraDis. Hukum Pribadi
Dis. Hukum Harta KekayaanDis. Hukum Keluarga
Dis. Hukum WarisDis. Hukum PidanaDis. Hukum Acara
Dengan demikian, politik hukum menganut prinsip double
movement, yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan
kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-
lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi
produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal
policy di atas. Berdasakan uraian tersebut, maka kedudukan politik
hukum berada di lingkup ilmu hukum dengan ruang lingkup atau
wilayah kajian politik hukum sebagai berikut:
(1) Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang
berwenang merumuskan politik hukum;
(2) Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi
tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang
berwenang merumuskan politik hukum;
(3) Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan politik hukum;
(4) Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum;
(5) Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politik hukum, baik yang akan datang, sedang, dan telah
ditetapkan;
(6) Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang
merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
D. PP Nomor 37 Tahun 2006: Sebuah Contoh
Salah satu isu sensitif pelaksanaan otonomi daerah adalah
keinginan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengatur
kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dan anggota dewan
14
Sumber; Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Terpetik dari Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Jakarta, 2004, hlm, 43
secara otonomi. Karena keinginan tersebut, segala bentuk
peraturan perundang-undangan yang membatasi gerak mereka
menentukan segala macam bentuk pendapatan dikatakan
bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
1. PP No. 110/2000
Pasal 78 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa
penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari
dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kemudian, dalam Pasal 86 Ayat (4) UU No 22/1999 ditegaskan
bahwa pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan
APBD ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Pasal
86 Ayat (6) menambahkan, pedoman tentang pengurusan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah serta tata
cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah
dan penyusunan perhitungan APBD ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan perintah Pasal 78
dan 86 UU No 22/1999, pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertnggung-jawaban Keuangan Daerah (PP No 105/2000) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Keuangan DPRD (PP No 110/2000).
Dalam kaitan dengan kedudukan keuangan dan protokoler
pimpinan dan anggota DPRD, PP No 105/2000 memberikan
pengertian bahwa APBD merupa-kan suatu rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah
(Perda) tentang APBD. Pasal 4 PP No 105/2000 menyatakan bahwa
pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan. Setidaknya, dengan asas tersebut,
15
kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dan anggota DPRD
harus disusun dengan memperhatikan asas keadilan dan
kepatutan. Pengertian APBD dan asas pengelolaan keuangan
daerah dalam PP No 105/2000 perlu dikemukakan karena PPNo
110/2000 menjadikan PP No 105/2000 sebagai salah satu dasar
hukum pembentukan PP No 110/2000.
Berkenaan dengan kedudukan keuangan DPRD, PP No
110/2000 menentukan bahwa keuangan pimpinan dan anggota
DPRD terdiri dari, pertama, penghasilan tetap. Kedua, tunjangan
panitia. Ketiga, tunjangan kesejahteraan. Keempat, biaya kegiatan
DPRD. Dalam Pasal 2 PP No 110/2000 dinyatakan bahwa
penghasilan tetap terdiri dari, yaitu: (a). Uang Representasi28; (b).
Uang Paket29; (c). Tunjangan Jabatan30; (d). Tunjangan Komisi31;
(e). Tunjangan Khusus32; dan (f). Tunjangan Perbaikan
Penghasilan33.
Sementara itu, terkait dengan tunjangan panitia, Pasal 9 PP
No 105/2000 menyatakan bahwa anggota DPRD dalam
kedudukannya sebagai ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota
panitia diberikan tunjangan panitia dengan perincian: (a) ketua
paling tinggi 15% dari tunjangan jabatan ketua DPRD; (b) wakil
ketua paling tinggi 10% dari tunjangan jabatan ketua DPRD; (c)
sekretaris paling tinggi 10% dari tunjangan jabatan ketua DPRD;
28 Uang Representasi adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Pimpinan dan anggota DPRD.29 Uang Paket adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD dalam menghadiri dan mengikuti rapat-rapat yang terdiri dari uang transport lokal dan uang makan.30 Tunjangan Jabatan adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan DPRD karena kedudukannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua DPRD.31 Tunjangan Komisi adalah tunjangan yang diberikan kepada anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan anggota Komisi.32 Tunjangan Khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota untuk pembayaran Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.33 Tunjangan Perbaikan Penghasilan adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan dan anggota DPRD untuk menambah penghasilan.
16
dan (d) anggota paling tinggi 5% dari tunjangan jabatan ketua
DPRD. Dalam hal tunjangan kesejahtera-an, Pasal 10 PP No
110/2000 menentukan bahwa untuk pemeliharaan kesehatan dan
pengobatan kepada pimpinan dan anggota DPRD diberikan
tunjangan kesehatan dalam bentuk tunjangan asuransi.
Kalau diikuti secara benar, melihat rincian penghasilan yang
ditentukan dalam PP No. 110/2000, sulit bagi anggota DPRD untuk
ramai-ramai menjarah uang rakyat. Apalagi, PP No. 110/2000
menentukan secara eksplisit porsentase setiap mata anggaran
DPRD. Misalnya, besarnya uang representasi bagi ketua DPRD,
paling tinggi 60% dari gaji pokok gubernur. Atau, tunjangan
perbaikan penghasilan, besarnya sama dengan ketentuan yang
berlaku bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Sekalipun semua jenis tunjangan sudah cukup banyak,
setidaknya kondisi ketika itu, mayoritas anggota DPRD tidak
menerima kehadiran PP No 110/2000. Dengan dalih, UU No.
22/1999 memberi hak untuk menentukan anggaran sendiri,
sebagian besar anggota DPRD mulai menyiasati penyusunan APBD
untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan untuk menyusun anggaran
DPRD, anggota dewan merasa tidak perlu tunduk kepada PP No
110/2000. Bagi mereka, pos dan besaran anggaran cukup
ditentukan dengan peraturan tata tertib (Tatib) DPRD.
Landasan yuridis yang dikedepankan oleh DPRD adalah,
pertama, Pasal 34 Ayat (3) huruf g, Ayat (4) huruf c dan Ayat (5)
UU No. 4 /1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR,
DPR, dan DPRD bahwa anggota DPRD mempunyai hak
menentukan anggaran, keuangan/ administrasi yang
pelaksanaannya diatur dalam Tatib. Kedua, Pasal 19 Ayat (1) huruf
g dan Pasal 21 Ayat (1) huruf c UU No. 22/1999 bahwa anggota
DPRD mempunyai hak untuk menentukan anggaran belanja,
keuangan/administrasi yang pelaksanaanya diatur dengan Tatib.
17
3. PP No 24/2004, PP No 37/2005 dan PP No 37/2006
Dengan alasan mendorong peningkatan kinerja DPRD, pada
14 November 2006, Presiden Yudhoyono menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler
dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Melihat item-item
penghasilan pimpinan dan anggota DPRD dalam PP No 37/2006,
pendapatan legislatif daerah akan menghabiskan pendapatan asli
daerah (PAD) dalam jumlah yang cukup besar. Bisa jadi, semua
PAD habis untuk pendapatan pimpinan dan anggota DPRD. Lebih
tragis lagi, bagi beberapa kabupaten/kota, PAD tidak cukup untuk
membayar segala macam bentuk pendapatan legislator daerah.
Dari catatan yang ada, sejak pelantikan DPRD Periode 2004-
2009 sampai November 2006, sudah dikeluarkan tiga Peraturan
Pemerintah tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD, yaitu (1) PP No 24/2004 pada
tanggal 28 Agustus 2004, (2) PP No 37/2005 pada tanggal 12
Oktober 2005, dan (3) PP No 37/2006 pada tanggal 14 November
2006. Secara ringkas berikut ini ditampilkan segala macam bentuk
penghasilan pimpinan dan anggota DPRD dari ketiga peraturan
pemerintah tersebut. Artinya, dalam rentang waktu kurang dari
dua setengah tahun, presiden telah menetapkan tiga kali peraturan
pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD.
Pertama, dalam Pasal PP No 24/2004 ditentukan bahwa
penghasilan pimpinan dan anggota DPRD terdiri dari: (a) uang
representasi; (b) uang paket; (c) tunjangan jabatan; (d) tunjangan
panitia musyawarah; (e) tunjangan komisi; (f) tunjangan panitia
anggaran; (g) tunjangan badan kehormatan; dan (h) tunjangan alat
kelengkapan lainnya. Di samping penghasilan tersebut, Pasal 16-20
PP 24/2004 Pimpinan dan Anggota DPRD dapat disediakan masing-
18
masing satu rumah dinas beserta perlengkapannya. Karena
sebagian daerah tidak menyediakan rumah dinas (terutama untuk
anggota) banyak yang diganti dengan tunjangan perumahan yang
diterima dalam bentuk tunai (cash).
Kedua, dalam Pasal 1 poin 16 PP No 37/2005 muncul
tunjangan baru, di antaranya, yaitu tunjangan kesejahteraan dan
jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga pimpinan dan
anggota DPRD dalam bentuk pembayaran premi asuransi
kesehatan. Tunjangan kesejahteraan adalah tunjangan yang
disediakan kepada pimpinan dan angota DPRD berupa pemberian
jaminan pemeliharaan keehatan, penyediaan rumah jabatan
pimpinan DPRD dan perlengkapannya, rumah dinas dan
perlengkapannya, kendaraan dinas jabatan pimpinan DPRD,
pemberian pakaian dinas, uang duka wafat/tewas dan bantuan
biaya pengurusan jenazah. Sementara itu, pimpinan dan anggota
DPRD beserta keluarganya diberikan jaminan pemeliharaan
kesehatan dalam bentuk pembayaran premi asuransi34 kesehatan
kepada lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
untuk dua orang anak.
Ketiga, setelah berlaku sekitar 14 bulan PP No 37/2006
diganti dengan PP No 37/2006. Pasal 10 PP No 37/2006
Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas: (1) uang
representasi; (2) tunjangan keluarga; (3) tunjangan beras; (4) uang
paket; (5) tunjangan jabatan; (6) tunjangan panitia musyawarah;
(7) tunjangan komisi; (8) tunjangan panitia anggaran; (9)
tunjangan badan kehormalan: dan (10) tunjangan alat kelengkapan
lainnya. Selain penghasilan tsb, dalam Pasal 15a dan 15b PP No
37/2006 muncul tunjangan baru yaitu tunjangan komunikasi
34 Premi asuransi termasuk biaya general check-up satu kali dalam setahun bagi pimpinan dan anggota DPRD. Pembayaran premi asuransi dibebankan pada APBD.
19
intensif (TKI) untuk pimpinan dan anggota DPRD, serta dana
operasional (DO) untuk Pimpinan DPRD.
4. Telaah Kritis atas PP No 37/2006
Pertama, PP No 37/2006 betentengan dengan UU Nomor 17
Tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Beberapa ketentuan dalam
UU No 17/2004 yang bertentangan tersebut adalah:
Pasal 3 ayat Ayat (1):
Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) mengatakan:
setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Selanjutnya, Pasal 4 UU No 17/2004 menyatakan bahwa
tahun anggaran meliputi satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember. Ketentuan ini
mengisyaratkan bahwa APBD harus ditetapkan di awal tahun, dan
jika akan dilakukan perubahan harus diatur dengan periode dan
cara tertentu.
Kemudian Pasal 28 menyatakan:
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realiasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk (6) enam bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
20
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a. perkembangan yang tidak sesuai dengan
asumsi kebijakan umum APBD; b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja.
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Penjelasan yat (4) menyebutkan:
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 UU No 17/2004 di atas,
perubahan APBD hanya dimungkinkan dengan dua cara: (1) dalam
keadaan normal dilakukan selambat-lambatnya bulan Juli (2) dalam
keadaan mendesak dilakukan selambat-lambatnya tiga bulan
sebelum berakhir tahun anggaran. Berdasarkan ketentuan ini PP
37 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28 karena tidak
memenuhi syarat waktu dan prinsip perubahan APBD dalam
keadaan mendesak. Karena dalam kenyataannya banyak daerah
yang belum membuat Perda tentang kriteria keadaan mendesak
yang dapat melegitimasi pengeluaran anggaran dalam keadaan
21
mendesak tersebut, kecuali hanya membuat Perda perubahan
terhadap Kedudukan Proteokoler dan Keuangan Dewan. Bahkan
ada beberapa daerah yang justru mengeluarkan Surat Keputusan
Kepala Daerah untuk mencairkan dana sebagaimana dimaksud PP
No. 37 Tahun 2006, tanpa membuat Perda baik untuk mengubah
Perda Protokoler dan Keuangan Dewan maupun Perda tentang
kriteria keadaan mendesak.
Kedua, penghasilan anggota dan pimpinan DPRD dalam PP
No 37/2006 merupakan akumulasi penghasilan yang terdapat
dalam PP 24/2004 dan PP 37/2005. Tidak cukup dengan akumulasi
itu, PP No 37/2006 memunculkan pendapatan lain dalam bentuk
TKI bagi pimpinan dan anggota DPRD, serta DO untuk pimpinan
DPRD (sebagai contoh: lihat penghasilan pimpinan dan anggota
DPRD Provinsi Sumatra Barat berdasarkan PP No 37/2006).
Jumlah itu masih akan bertambah dengan tunjangan kesehatan,
pakaian dinas dan tunjangan perumahan kalau diberikan secara
tunai, serta biaya perjalanan dinas.
Penerimaan Pimpinan dan Anggota DPRD Propinsi Sumatra Barat
N
o
Jabatan Jumlah (Rp)
1 Ketua DPRD 43.000.000
2 Wakil Ketua 32.000.000
3 Anggota DPRD 21.000.000
Secara filosofis, penggunaan istilah tunjangan untuk TKI
menyalah-gunakan filosofi tentang penghasilan karena tunjangan
seharusnya diberikan dalam bentuk kegiatan sesuai dengan sistem
anggaran berbasis kinerja sebagaimana tertuang dalam penjelasan
UU No.17 Tahun 2003:
22
“Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/ perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan”
Ketiga, bagi pimpinan DPRD, berdasarkan peruntukan,
penerimaan yang berasal dari DO berhimpitan dengan TKI. Dana
Operasional adalah uang yang diberikan kepada Pimpinan DPRD
setiap bulan untuk menunjang kegiatan operasional yang berkaitan
dengan representasi, pelayanan, kemudahan dan kebutuhan lain
guna melancarkan pelaksanaan tugas dan fungsi Pimpinan DPRD
sehari-hari. Sementara, TKI adalah tunjangan berupa uang yang
diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD setiap bulan dalam
rangka mendorong peningkatan kinerja dalam menampung dan
menyalurican aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.
Pertanyaannya, apakah komunikasi dalam menampung dan
menyalurkan aspirasi tidak merupakan tugas dewan? Artinya,
dengan adanya DO, bagi pimpinan DPRD terjadi duplikasi
penerimaan. Yang membuat DO menjadi semakin sulit dimengerti,
uang itu diterima pimpinan dalam bentuk tunai alias cash.
Keempat, dari sejumlah informasi yang ada, mayoritas
pimpinan dan anggota DPRD mengabaikan prinsip
“mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan keuangan
daerah”. Prinsip ini menjadi naif karena PP No 37/2006
membenarkan dilakukan perbadingan berjenjang dengan lembaga
23
legislatif yang di tingkat yang lebih tinggi. Penjelasan Umum PP
No 37/2006 menyatakan:
“Prinsip berjenjang tercermin dari perbandingan besarnya TKI dari yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD yang tidak lebih besar dari yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPR RI. Demikian pula besaran DO yang diterima oleh pimpinan DPRD provinsi tidak lebih besar dari yang diterima oleh pimpinan DPR-RI. Besarnya TKI pimpinan dan anggota DPRD provinsi dan DO pimpinan DPRD provinsi tidak lebih besar dari yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPR-RI. Besarnya TKI pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota dan DO pimpinan DPRD kabupaten/kota tidak lebih besar dari yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD provinsi”.
Berkaca pada pengalaman anggota DPRD memperbesar
pendapatan dengan berbagai cara (misalnya, pengalaman dengan
PP No 110/2000), batasan “mempertimbangkan beban tugas dan
kemampuan keuangan daerah” terasa semakin naif. Pengalaman
lalu membuktikan, tanpa peluang pun, pimpinan dan anggota
DPRD berupaya sedemikian rupa untuk memperbesar pendapatan
mereka. Kini, dengan diberikan peluang, sudah dapat dipastikan
akan mereka gunakan secara maksimal.
Kelima, pemberlakuan surut TKI dan DO terhitung sejak 1
Januari 2006. Pemberlakuan surut ini tidak sejalan dengan sistem
anggaran berbasis kinerja. Apalagi, kalau mata anggaran itu tidak
dicantumkan dalam APBD atau perubahan APBD Tahun 2006.
Padahal, Pasal 192 Ayat (3) UU No 32/2004 menentukan bahwa
pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja
daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak
cukup tersedia dalam APBD. Karena pemberalakuan surut
tersebut, uang rakyat tersedot lebih dari Rp 1.7 triliyun. Sekali
lagi, di DPRD Provinsi Sumatra Barat, dengan pemberlakuan surut
ketua DPRD (akan) menerima Rp. 324 juta, wakil ketua Rp. 223
24
juta, dan anggota DPRD Rp. 108 juta. Total uang rakyat yang
(akan) dikeluarkan untuk memenuhi pemberlakuan surut tersebut
dalam APBD Provisnsi Sumatra Barat adalah sekitar Rp. 6.5
milyar.
5. Penutup: Beberapa Saran
Kehadiran PP No 37/2006 menunjukkan upaya parsial
pemerintah dalam merespon kebutuhan anggaran operasional dan
penyesesuaian gaji aparat negara. Seharusnya, kebijakan gaji bagi
aparat negara dirumuskan secara komprehensif dengan
perbandingan (selisih) yang jelas antar unit pemerintahan secara
horisontal maupun vertikal. Dalam kasus ini, perlu ada
perbandingan gaji yang jelas antara PNS dengan anggota Dewan,
serta perbandingan yang jelas antara anggota Dewan dalam level
pemerintahan yang berbeda. Kebijakan penentuan gaji aparat
negara secara parsial ini bisa mengakibatkan adanya keinginan
unit lain untuk menuntut kesetaraan.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mencabut PP No
37/2006. Sebagai lengkah ke depan, segera dibentuk undang-
undang yang mengatur secara detail kedudukan protokoler dab
keuangan lembaga perwakilan rakyat termasuk DPRD.
Daftar Pustaka
25
Alkostar, Artidjo, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
Asrun, A. Muhammad, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
Assegaf, Rifqi Sjarief, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak Lucu, http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
Istanto, F. Sugeng, 2004, Politik Hukum, Bahan Kuliah, Setelah sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Juwana, Hikmahanto, tt, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Makalah tanpa tahun.
Lubis, M. Solly, 2000, Politk dan Hukum di Era Reformasi, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 23.
Mahfud, Moh. MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.
Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.Manan, Bagir, 1999, Politik Hukum Otonomi Daerah
Sepanjang Peraturan Perudang-undangan Pemerintahan Daerah, dalam Hukum dan politik Indonesia; Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
Marbun, SF. et.all. 2001, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Poernomo, Bambang, 1988, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1985, Beberapa pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum nasional, Sinar Baru.
----------------------, 1982, Ilmu Hukum, Alumni Bandung.Samidjo, (1986), Ilmu Negara, Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.Shetreet, Shimon, (1995), Judicial Independence: New Conceptual
Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta.
Soemantri, Sri, 1987, “Pembangunan Hukum Nasional Dalam Perspektif Kebijaksanaan”, makalah untuk Praseminar
26
Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, tanggal 19-20 Oktober.
Stefanus, Kotan Y., 1998, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Jakarta.
Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, 1961, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta.
27