36
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Pendahuluan Kehamilan lewat waktu (postterm) merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al. 2010) Penen tuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010) D iagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Post Date.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Post Date.docx

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Pendahuluan

Kehamilan lewat waktu (postterm) merupakan kehamilan yang berlangsung

lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).

Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern

karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden

kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan

kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et

al. 2010)

Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan

diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan

marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus

maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami

gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010)

Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT)

hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan

lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6 – 11

minggu.(Cunningham, et al, 2010)

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti

mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering

dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan

yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum

matur sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia

kehamilan akan menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus

Page 2: Post Date.docx

2

hidup atau sebaliknya mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada

dalam rahim.

Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena

pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,

didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah

sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu,

persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur.

Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada

kehamilan postterm langsung dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan

penanganan ekspektatif sambil dilakukan pemantauan kesejahteraan janin.

(Mochtar & Krisnanto, 2008)

Page 3: Post Date.docx

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians

and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang

berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama

siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

2.2.Patogenesis dan Etiologi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Perlu dipahami bahwa menjelang partus terjadi penurunan hormon

progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin,

tetapi yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang

menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling

penting dalam menimbulkan kontraksi uterus.

Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum

diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan

penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya

kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh

progesteron melewati waktu yang semestinya.

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita

hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab

terjadinya kehamilan postterm.

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta

sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen.

Page 4: Post Date.docx

4

Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi

prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti

anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan

menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan

berlangsung lewat bulan.

4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm

terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,

seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian

terbawah janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

5. Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm

telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)

menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah

mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk

mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil

penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga

dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah

dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan

penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah

membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan

secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B

pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya

dibanding janin aterm.

Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem

imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin

yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental,

khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan

tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya

Page 5: Post Date.docx

5

tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al, 2010)

Pada Kehamilan Lewat Waktu /Post date /Postterm, terjadi perubahan pada

kehamilan yaitu:

1. Perubahan cairan amnion

Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion

mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun

sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung

terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42,43 dan

43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin

yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan

postterm dan menyebabkan oligohidramnion. Selain perubahan volume terjadi

pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini

terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid.

Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan

perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar.

Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau

kuning. Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian

perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan

kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada

persalinan postterm. Oligohidramnion dengan cairan amnion yang kental akibat

adanya mekonium menyebabkan terjadinya “meconium aspiration syndrome”.

Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan

pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan

mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil

penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI

kurang dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan

volume cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi

Page 6: Post Date.docx

6

peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi

polihidramnion.

2. Perubahan pada plasenta

Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas

antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka

terjadi pula perubahan struktur plasenta. Fungsi plasenta mencapai

puncaknya pada kehamilan 34 – 36 minggu dan setelah itu terus mengalami

penurunan. Pada kehamilan postterm dapat terjadi penurunan fungsi plasenta

sedemikian hebat sehingga terjadi gawat janin. Bila keadaan diatas tidak

terjadi atau dengan kata lain tidak terjadi peristiwa insufisiensi plasenta maka

janin posterm dapat tumbuh terus dengan akibat tubuh anak menjadi besar

(makrosomia) dan dapat selanjutnya dapat menyebabkan distosia bahu.

Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter

dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau didahului

dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada

kehamilan atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi

60%-80%. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai

10 g/100g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2-

3g/100g jaringan plasenta kering. Secara histologi plasenta pada kehamilan

postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus,

deposit fibrin perivillosus, trombosis arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini

menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal

ini dapat menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.

Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan

plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut; Piring

korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan

plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu

Page 7: Post Date.docx

7

kotiledon (ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi,

mungkin memberikan bayangan akustik). Lapisan basal: daerah basal dengan

gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini

dikategorikan tingkat tiga.

3. Perubahan pada janin

Sekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus

berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami

insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat

lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur

kehamilan 38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu

sekitar 43%. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan

traumatik. Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus,

kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin

berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut

panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar

mekonium.

2.3.Diagnosis Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari

seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena

kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.(Cunningham, et al., 2010)

Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi

yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini

disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin

besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun

mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-

buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

Page 8: Post Date.docx

8

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan

apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm

berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan

oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu

kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung

sejak hari pertama siklus haid terakhir HPHT.(Cunningham, et al, 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak

bisa dipercaya. jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm

memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya

jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (Mochtar & Krisnanto, 2008)

a. ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya

b. siklus 28 hari dan teratur

c. tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering

salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan

USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan

HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama

280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir.

(Cunningham, et al, 2010)

Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung

kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-

14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus

karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21

hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada

kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi

kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai

dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al, 2004)

Page 9: Post Date.docx

9

Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan

HPHT adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al, 2010)

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau

lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll & Roman, 2008)

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah

banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan

postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan

usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang

lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang

didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa

kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal

perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump

length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010)

Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal

(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan

Page 10: Post Date.docx

10

ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut

hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih

rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-

ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang

tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga

menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika

berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu.

Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya

dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air

ketuban. (Cohn, et al., 2010)

4. Pemeriksaan cairan amnion

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel

lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak

melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan

apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu

atau lebih. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah

membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya.(Mochtar &

Krisnanto, 2008)

c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu

berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan

darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada

usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik

sedangkan pada usia kehamilan > 42 minggu, didapatkan ACTA < 45 detik.

Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa

Page 11: Post Date.docx

11

kehaminan sudah postterm.. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S

pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia

kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan

genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk

menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk

menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan. (Mochtar & Krisnanto,

2008)

2.4.Komplikasi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,

plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut

dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada

kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta

mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun

terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan

peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan

makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping

adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan

penurunan berat hingga disebut sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan

amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38

minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar

Page 12: Post Date.docx

12

800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion

berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia

kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al, 2010)

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan

dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan

pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan

hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat

menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan

oligohidramnion. (Oz, et al., 2002)

Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan

postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal

meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali

pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat

janin saat intra partum. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan

amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya

vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari

paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap

Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran

mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning

dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah

satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari

kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil

penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan

anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau

Page 13: Post Date.docx

13

kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

3. Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada

kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai

dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan

sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan

jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik

kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan

cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang,

serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.

Namun demikian, tidak seluruh neonates kehamilan postterm menunjukkan

tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-

20% neonates dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda

postterm dibagi dalam 3 stadium: (Mochtar & Krisnanto, 2008)

a. Stadium 1: Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit

kering, rapuh dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2: Gejala diatas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3: Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.

2.5.Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan

kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan

tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur

sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42

minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang /unfavourable

dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi

rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,

Page 14: Post Date.docx

14

permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan

pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan

pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan

janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung

dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.(Mochtar

& Krisnanto, 2008)

1. Pemantaauan kesejahteraan janin

Pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan

janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih

akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja.

Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel

yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah:

a. tes tanpa beban (non-stress test/NST)

b. gerak nafas janin

c. gerakan janin

d. tonus janin

e. volume cairan amnion

Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh

sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil

biofisiknya. (Cunningham, et al, 2010)

a. T es T anpa B e ban ( Non-S t re s s Tes t/ NS T )

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai

akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal

dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada

dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami

akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi

ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat

Page 15: Post Date.docx

15

akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan

peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi

(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah

tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai

fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering

digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al, 2010)

b. Pe m er i ksaan gerakan nafas j an i n ( f e t al b rea t h i n g )

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah

gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada

janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis

sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses

inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan

dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan

amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al, 2010)

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya

keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses

evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara

episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas

menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian

observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk

mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10

minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal

pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit

lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak

ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh

sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering

Page 16: Post Date.docx

16

digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut

jantung janin. (Cunningham, et al, 2010)

c. Pe m er i ksaan gerakan j an i n ( f e t al m ovemen t s )

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak

minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir

kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak

pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil

baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20

minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat

dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al, 2010)

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi

lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat- aktivitas. Pada

trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36

minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al,

2010)

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur

kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per

12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32

kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi

kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume

cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya

aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan

waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan

hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)

d. Pe m er i ksaan vo l u m e ca i ran a m n i on

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan

antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes

ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan

Page 17: Post Date.docx

17

menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada

akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al, 2002; Cunningham, et al, 2010)

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG

dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI).

Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran

kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila

nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya

oligohidramnion. (Cunningham, et al, 2010)

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan

amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini,

volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2

cm. (Cunningham, et al., 2010)

Berdasarkan penilaian variabel yang telah dijelaskan di atas, maka

didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor

profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

e. Tonus janin

Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi

fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang

membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,

gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus

janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama

30 menit pemeriksaan.

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa

penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan

pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia,

Page 18: Post Date.docx

18

maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

2. Induksi persalinan

Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi

indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi

salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat

dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di

tahun 1998. (Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum

inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya

kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan

dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin.

Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi

walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk

menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh

beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan

serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan

menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang

didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan

keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi

serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi

serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.

Tabel 1. Pelviks skor menurut Bishop untuk menilai derajat kematangan

serviks (Cunningham, et al, 2010)

SKOR

FAKTOR

Dilatasi

(cm)

Pendataran

%

Station -3

sampai +3

Konsistensi

serviks

Arah

serviks

Page 19: Post Date.docx

19

0 Tertutup 0-30 -3 Kaku Posterior

1 1-2 40-50 -2 Medium Pertengahan

2 3-4 60-70 -1 Lunak Anterior

3 ≥ 5 >80 +1, +2 - -

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan

yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan

serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan

serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit

oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).

(Cunningham, et al, 2010)

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan

dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007)

Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan

kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan.

Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi

ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan

dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang

dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan

kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010)

Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip

oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 2. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Regimen Starting Dose

(mU/min)

Incremental

Increase (mU/min)Interval (min)

Low-Dose 0.5-1.5 1 15-40

2 4,8,12,16,20,25,30 15

Page 20: Post Date.docx

20

High-Dose 4 4 15

4.5 4.5 15-30

6 6a 20-40b

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20

mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih

tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.

Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin

dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik

atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga

meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau

didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10

menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih. (Cunningham, et al, 2010)

BAB 3

KESIMPULAN

1. Kehamilan lewat waktu/ postterm/ postdate adalah kehamilan yang

berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari

pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus hadi rata-rata

28 hari.

2. Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa

teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya

kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan,

antara lain; peningkatan progesteron, penurunan oksitosin, penundaan

pengeluaran hormon kortisol, belum adanya tekanan pada pleksus

frankenhausen dan herediter/riwayat postterm pada kehamilan sebelumnya.

3. Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping riwayat haid,

Page 21: Post Date.docx

21

sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.

4. Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan

aterm, Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut: pengaruh

pada plasenta dapat mengakibatkan penimbunan kalsium, selaput

vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, terjadi

proses degenerasi jaringan plasenta, pengangkutan asam amino, lemak dan

gama blobulin mengalami gangguan sehingga mengakibatkan gangguan

pertumbuhan janin intrauterin.

5. Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih

diperdebatkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin dapat

mempengaruhi berat badan badan janin, sindroma posmaturitas dan gawat

janin.

6. Sedangkan perubahan pada ibu meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu

sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih

keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine

action, partus lama meningkatkan tindakan obstertik dan persalinan

traumatis/perdarahan post partum akibat bayi besar.

7. Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai

saat ini pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap

kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik dan pada kehamilan dengan

faktor resiko lain: Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan

anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil resiko

terhadap janin. Pengelolaan pasif /menunggu /ekspektatif: didasarkan

pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar

postterm mempunyai resiko komplikasi cukup besar terutama resiko

persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan

terus menerus terhadap kesejahteraan janin baik secara biofisikan maupun

biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul

indikasi untuk mengakhiri kehamilan.

Page 22: Post Date.docx

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester

ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction rates:

A randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal.

1077-81.

2. Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically

mediated. American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol.

202, 3, hal. 268.

3. Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs

second-trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal

outcomes. Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.

4. Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and

third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic

fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.

5. Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics.

23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII,

Page 23: Post Date.docx

23

Chapter 37.

6. Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine

Norwegian University of Science and Technology, 2007.

7. Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in

identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March

2007, Vol. 197, hal.207.e1-207.e8.

8. Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous

postterm delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-

241

9. Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. R.

Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya:

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal.

384-391.