Upload
fania-fresha-arbi
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Pendahuluan
Kehamilan lewat waktu (postterm) merupakan kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).
Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern
karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden
kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan
kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et
al. 2010)
Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan
diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami
gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010)
Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT)
hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan
lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6 – 11
minggu.(Cunningham, et al, 2010)
Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti
mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering
dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan
yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum
matur sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia
kehamilan akan menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus
2
hidup atau sebaliknya mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada
dalam rahim.
Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena
pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,
didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah
sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu,
persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur.
Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada
kehamilan postterm langsung dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan
penanganan ekspektatif sambil dilakukan pemantauan kesejahteraan janin.
(Mochtar & Krisnanto, 2008)
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
2.2.Patogenesis dan Etiologi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)
Perlu dipahami bahwa menjelang partus terjadi penurunan hormon
progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin,
tetapi yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang
menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling
penting dalam menimbulkan kontraksi uterus.
Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya
kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron melewati waktu yang semestinya.
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab
terjadinya kehamilan postterm.
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen.
4
Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti
anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan
menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan
berlangsung lewat bulan.
4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm
terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,
seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian
terbawah janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
5. Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)
Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah
dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan
penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah
membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan
secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B
pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya
dibanding janin aterm.
Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem
imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin
yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental,
khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan
tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya
5
tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al, 2010)
Pada Kehamilan Lewat Waktu /Post date /Postterm, terjadi perubahan pada
kehamilan yaitu:
1. Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion
mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun
sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung
terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42,43 dan
43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin
yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan
postterm dan menyebabkan oligohidramnion. Selain perubahan volume terjadi
pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini
terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid.
Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan
perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar.
Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau
kuning. Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada
persalinan postterm. Oligohidramnion dengan cairan amnion yang kental akibat
adanya mekonium menyebabkan terjadinya “meconium aspiration syndrome”.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan
mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil
penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI
kurang dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan
volume cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi
6
peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi
polihidramnion.
2. Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas
antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka
terjadi pula perubahan struktur plasenta. Fungsi plasenta mencapai
puncaknya pada kehamilan 34 – 36 minggu dan setelah itu terus mengalami
penurunan. Pada kehamilan postterm dapat terjadi penurunan fungsi plasenta
sedemikian hebat sehingga terjadi gawat janin. Bila keadaan diatas tidak
terjadi atau dengan kata lain tidak terjadi peristiwa insufisiensi plasenta maka
janin posterm dapat tumbuh terus dengan akibat tubuh anak menjadi besar
(makrosomia) dan dapat selanjutnya dapat menyebabkan distosia bahu.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter
dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau didahului
dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada
kehamilan atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi
60%-80%. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai
10 g/100g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2-
3g/100g jaringan plasenta kering. Secara histologi plasenta pada kehamilan
postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus,
deposit fibrin perivillosus, trombosis arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini
menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal
ini dapat menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan
plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut; Piring
korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan
plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu
7
kotiledon (ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi,
mungkin memberikan bayangan akustik). Lapisan basal: daerah basal dengan
gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini
dikategorikan tingkat tiga.
3. Perubahan pada janin
Sekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus
berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami
insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat
lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur
kehamilan 38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu
sekitar 43%. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan
traumatik. Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus,
kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut
panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium.
2.3.Diagnosis Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari
seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena
kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.(Cunningham, et al., 2010)
Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi
yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini
disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin
besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun
mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-
buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.
8
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan
apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm
berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan
oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung
sejak hari pertama siklus haid terakhir HPHT.(Cunningham, et al, 2010)
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak
bisa dipercaya. jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm
memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya
jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (Mochtar & Krisnanto, 2008)
a. ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya
b. siklus 28 hari dan teratur
c. tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.
Usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering
salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan
USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan
HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama
280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir.
(Cunningham, et al, 2010)
Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung
kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-
14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21
hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai
dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al, 2004)
9
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
HPHT adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al, 2010)
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau
lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll & Roman, 2008)
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah
banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan
postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan
usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang
lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang
didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa
kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump
length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010)
Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan
10
ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut
hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih
rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-
ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang
tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga
menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika
berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu.
Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya
dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air
ketuban. (Cohn, et al., 2010)
4. Pemeriksaan cairan amnion
a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel
lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak
melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan
apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu
atau lebih. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah
membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya.(Mochtar &
Krisnanto, 2008)
c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu
berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan
darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada
usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik
sedangkan pada usia kehamilan > 42 minggu, didapatkan ACTA < 45 detik.
Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa
11
kehaminan sudah postterm.. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S
pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia
kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan
genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk
menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk
menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan. (Mochtar & Krisnanto,
2008)
2.4.Komplikasi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,
plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut
dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.
1. Disfungsi plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta
mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun
terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan
peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan
makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping
adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan
penurunan berat hingga disebut sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)
2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan
amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38
minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
12
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al, 2010)
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan
dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan
pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan
oligohidramnion. (Oz, et al., 2002)
Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan
postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali
pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat
janin saat intra partum. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan
amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya
vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari
paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap
Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran
mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning
dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah
satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari
kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil
penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan
anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau
13
kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
3. Perubahan pada janin
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada
kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai
dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan
jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik
kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan
cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang,
serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.
Namun demikian, tidak seluruh neonates kehamilan postterm menunjukkan
tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-
20% neonates dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda
postterm dibagi dalam 3 stadium: (Mochtar & Krisnanto, 2008)
a. Stadium 1: Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit
kering, rapuh dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2: Gejala diatas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.
c. Stadium 3: Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.
2.5.Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)
Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan
kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan
tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42
minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang /unfavourable
dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,
14
permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan
pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan
janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung
dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.(Mochtar
& Krisnanto, 2008)
1. Pemantaauan kesejahteraan janin
Pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan
janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih
akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja.
Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel
yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah:
a. tes tanpa beban (non-stress test/NST)
b. gerak nafas janin
c. gerakan janin
d. tonus janin
e. volume cairan amnion
Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh
sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil
biofisiknya. (Cunningham, et al, 2010)
a. T es T anpa B e ban ( Non-S t re s s Tes t/ NS T )
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai
akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal
dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada
dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami
akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi
ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat
15
akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi
(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah
tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai
fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering
digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al, 2010)
b. Pe m er i ksaan gerakan nafas j an i n ( f e t al b rea t h i n g )
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah
gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada
janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis
sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses
inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan
dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan
amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al, 2010)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya
keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses
evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara
episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas
menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian
observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk
mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10
minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal
pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak
ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh
sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering
16
digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut
jantung janin. (Cunningham, et al, 2010)
c. Pe m er i ksaan gerakan j an i n ( f e t al m ovemen t s )
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak
minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir
kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak
pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil
baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20
minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al, 2010)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi
lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat- aktivitas. Pada
trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36
minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al,
2010)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur
kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per
12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32
kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi
kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume
cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya
aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan
waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan
hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)
d. Pe m er i ksaan vo l u m e ca i ran a m n i on
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan
antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes
ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
17
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada
akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al, 2002; Cunningham, et al, 2010)
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG
dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI).
Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran
kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila
nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al, 2010)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan
amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini,
volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2
cm. (Cunningham, et al., 2010)
Berdasarkan penilaian variabel yang telah dijelaskan di atas, maka
didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor
profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.
e. Tonus janin
Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi
ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi
fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang
membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,
gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus
janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama
30 menit pemeriksaan.
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa
penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan
pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia,
18
maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998. (Heimstad, 2007)
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya
kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan
dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin.
Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi
walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk
menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh
beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan
serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan
menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang
didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan
keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi
serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi
serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.
Tabel 1. Pelviks skor menurut Bishop untuk menilai derajat kematangan
serviks (Cunningham, et al, 2010)
SKOR
FAKTOR
Dilatasi
(cm)
Pendataran
%
Station -3
sampai +3
Konsistensi
serviks
Arah
serviks
19
0 Tertutup 0-30 -3 Kaku Posterior
1 1-2 40-50 -2 Medium Pertengahan
2 3-4 60-70 -1 Lunak Anterior
3 ≥ 5 >80 +1, +2 - -
Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan
yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan
serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan
serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit
oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).
(Cunningham, et al, 2010)
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan
dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007)
Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan
kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan.
Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi
ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan
dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan
kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010)
Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip
oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.
Tabel 2. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)
Regimen Starting Dose
(mU/min)
Incremental
Increase (mU/min)Interval (min)
Low-Dose 0.5-1.5 1 15-40
2 4,8,12,16,20,25,30 15
20
High-Dose 4 4 15
4.5 4.5 15-30
6 6a 20-40b
Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20
mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih
tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.
Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin
dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik
atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga
meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau
didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10
menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih. (Cunningham, et al, 2010)
BAB 3
KESIMPULAN
1. Kehamilan lewat waktu/ postterm/ postdate adalah kehamilan yang
berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari
pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus hadi rata-rata
28 hari.
2. Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa
teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya
kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan,
antara lain; peningkatan progesteron, penurunan oksitosin, penundaan
pengeluaran hormon kortisol, belum adanya tekanan pada pleksus
frankenhausen dan herediter/riwayat postterm pada kehamilan sebelumnya.
3. Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping riwayat haid,
21
sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.
4. Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan
aterm, Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut: pengaruh
pada plasenta dapat mengakibatkan penimbunan kalsium, selaput
vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, terjadi
proses degenerasi jaringan plasenta, pengangkutan asam amino, lemak dan
gama blobulin mengalami gangguan sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan janin intrauterin.
5. Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih
diperdebatkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin dapat
mempengaruhi berat badan badan janin, sindroma posmaturitas dan gawat
janin.
6. Sedangkan perubahan pada ibu meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu
sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih
keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine
action, partus lama meningkatkan tindakan obstertik dan persalinan
traumatis/perdarahan post partum akibat bayi besar.
7. Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai
saat ini pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap
kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik dan pada kehamilan dengan
faktor resiko lain: Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan
anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil resiko
terhadap janin. Pengelolaan pasif /menunggu /ekspektatif: didasarkan
pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar
postterm mempunyai resiko komplikasi cukup besar terutama resiko
persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan
terus menerus terhadap kesejahteraan janin baik secara biofisikan maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul
indikasi untuk mengakhiri kehamilan.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester
ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction rates:
A randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal.
1077-81.
2. Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically
mediated. American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol.
202, 3, hal. 268.
3. Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs
second-trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal
outcomes. Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.
4. Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and
third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic
fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.
5. Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics.
23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII,
23
Chapter 37.
6. Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine
Norwegian University of Science and Technology, 2007.
7. Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in
identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March
2007, Vol. 197, hal.207.e1-207.e8.
8. Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous
postterm delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-
241
9. Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. R.
Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya:
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal.
384-391.