30
BAB I PENDAHULUAN Stressor traumatik yang hebat dan terjadi secara tiba- tiba tanpa diharapkan bisa menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan trauma hebat adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, berada dalam peperangan, ditangkap dan menjadi sandera, disiksa, serangan teroris, kecelakaan lalu lintas yang berat dan bencana alam. Sedangkan pada anak-anak, stressor yang umum adalah pelecehan seksual, menjadi saksi penyakit serius dan kehilangan anggota keluarga secara tiba-tiba. PTSD dapat dikategorikan menjadi akut dan kronis. Dikatakan akut jika gejala- gejala yang muncul terjadi selama kurang dari 3 bulan, sementara gejala pada PSTD kronis menetap selama 3 bulan atau lebih. 1 Sebanyak 60,7% pria dan 51,2% wanita pernah mengalami sekurang-kurangnya sekali pengalaman atau kejadian yang berpotensi menjadi trauma. PTSD lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. PTSD bervariasi mulai dari 0,3% di China; 1,3% di Australia; 3,6% di USA dan 6,1% di Selandia Baru. Angka kejadian PTSD di antara korban-korban kejahatan kriminal antara 19% dan 75% dimana sebanyak 80% merupakan kasus pemerkosaan sedangkan 30%-40% merupakan korban bencana 1

Post Traumatic Stress Disorder.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Stressor traumatik yang hebat dan terjadi secara tiba-tiba tanpa diharapkan bisa menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan trauma hebat adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, berada dalam peperangan, ditangkap dan menjadi sandera, disiksa, serangan teroris, kecelakaan lalu lintas yang berat dan bencana alam. Sedangkan pada anak-anak, stressor yang umum adalah pelecehan seksual, menjadi saksi penyakit serius dan kehilangan anggota keluarga secara tiba-tiba. PTSD dapat dikategorikan menjadi akut dan kronis. Dikatakan akut jika gejala-gejala yang muncul terjadi selama kurang dari 3 bulan, sementara gejala pada PSTD kronis menetap selama 3 bulan atau lebih. 1

Sebanyak 60,7% pria dan 51,2% wanita pernah mengalami sekurang-kurangnya sekali pengalaman atau kejadian yang berpotensi menjadi trauma. PTSD lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. PTSD bervariasi mulai dari 0,3% di China; 1,3% di Australia; 3,6% di USA dan 6,1% di Selandia Baru. Angka kejadian PTSD di antara korban-korban kejahatan kriminal antara 19% dan 75% dimana sebanyak 80% merupakan kasus pemerkosaan sedangkan 30%-40% merupakan korban bencana alam dan sebanyak 10%-20% nya adalah tim penyelamat. Peperangan merupakan salah satu stressor yang kuat pada pria. 15 tahun setelah perang Vietnam, 15% veteran laki-laki masih menderita PTSD dan hampir sepertiga dari mereka harus menderita PTSD seumur hidup. Tentara berpotensi lebih tinggi untuk mengalami depresi, gangguan kecemasan, ketergantungan alkohol dan PTSD. 1,2,3,4

Sekitar 84% dari penderita PTSD menjadi komorbid seperti kecanduan alkohol dan penyalahgunaan obat-obat terlarang, merasa malu, putus asa dan tidak ada harapan, penurunan fisik, masalah pekerjaan, perceraian dan kekerasan yang dapat memperburuk kualitas hidup penderita. PTSD dapat berkembang menjadi gangguan-gangguan lain misalnya gangguan kecemasan seperti gangguan panik (9,5%) dan phobia sosial (28%); gangguan depresi berat (48%); gangguan penyalahgunaan obat-obat terlarang (31%); kecanduan alkohol (40%); gangguan perilaku (29%) dan mania (9%).5 Hal ini merupakan masalah serius, untuk itu diagnosis dini yang akurat dan tatalaksana yang tepat menjadi fokus perhatian.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) merupakan suatu kondisi kecemasan patologis yang terjadi setelah seorang individu mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusive), penghindaran ingatan tentang trauma (avoidance), penumpukan emosi dan kewaspadaan tinggi (hyper-arousal). Hal ini dapat membahayakan kehidupan seorang individu atau orang lain di sekitarnya.6,7

Dalam keadaan normal, ketika berhadapan dengan keadaan berbahaya, tubuh akan merespon dengan menghindari bahaya tersebut atau menghadapinya (fight-or-flight response). Akan tetapi pada PTSD, dalam keadaan berbahaya, respon ini telah berubah atau rusak. Individu dengan PTSD dapat merasa stres atau takut walaupun mereka tidak berada dalam keadaan berbahaya lagi.82.2 EpidemiologiDi Amerika Serikat, sebanyak 8-10 % populasi menderita PTSD sehingga menyebabkan disabilitas dan morbiditas dan 50 % menjadi kronis. Secara umum, wanita lebih berisiko untuk menderita PTSD daripada laki-laki terutama pada kasus kriminalitas seperti perkosaan. Sebanyak 3,7 % PTSD terjadi pada remaja laki-laki dan 6,3 % pada remaja perempuan. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita yang paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan.6,7,9,12Seiring berjalannya waktu, individu yang mengalami PTSD yang tidak diobati atau diobati tapi tidak adekuat berisiko dalam penyalahgunaan atau ketergantungan obat. Sebanyak 51,9 % pria yang menderita PTSD terlibat dalam penyalahgunaan atau ketergantungan terhadap alkohol. Prevalensi PTSD tidak dipengaruhi oleh ras dan lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosial ekonomi menengah ke bawah.6,7,9PTSD dapat terjadi pada semua usia dimana individu yang berusia lebih muda dan lanjut usia yang paling berisiko. Sebanyak sepertiga anak di Amerika Serikat pernah mengalami peristiwa traumatik dalam hidupnya seperti kematian orang yang dicintai, kecelakaan yang serius, bencana alam, pelecehan seksual dan pemerkosaan. Data populasi AS menunjukkan 90 % pasien dengan pelecehan seksual, 77 % anak yang menyaksikan penembakan di sekolahnya dan 35 % anak yang mengalami kekerasan dalam lingkungannya dapat menderita PTSD.6,9Berdasarkan studi retrospektif pada Veteran Affairs National Patient Care Database, analisis data dari 138.341 veteran yang berusia 55 tahun ke atas yang didiagnosis menderita PTSD, setelah dipantau selama 8 tahun, lebih berisiko untuk menderita penyakit serebrovaskuler (24%), penyakit jantung kongestif (26%), penyakit vaskuler perifer (34%), infark miokard (49%) jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita PTSD.6,92.3 Etiologi dan Faktor Risiko

PTSD terjadi akibat adanya stressor berupa peristiwa traumatik yang dialami atau disaksikan oleh individu. Tidak semua individu yang mengalami stressor tersebut menderita PTSD. Hal ini tergantung pada karakteristik individu dan faktor pertahanannya. Secara umum, trauma yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Tipe I

Peristiwa tunggal yang bersifat akut, tidak dapat diprediksi. Seseorang dapat mengalami paparan berulang terhadap trauma tipe ini.2. Tipe II

Peristiwa kronik. Misalnya, kekeresan fisik dan seksual

Beberapa peristiwa yang dapat menjadi stressor pada PTSD yaitu perang, pelecehan seksual, pemerkosaan, kecelakaan, kekerasan, kebakaran, bencana alam, didiagnosis menderita penyakit serius, pengobatan invasif yang menyakitkan pada seorang pasien dan kematian orang yang dicintai.6,7,8

A. Faktor Risiko

Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan oleh adanya stressor tetapi beberapa faktor sebelum dan sesudah trauma berperan dalam munculnya PTSD, faktor psikodinamik, faktor kognitif-perilaku dan faktor neurobiologi.101. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya PTSD dilihat dari aspek trauma, pengalaman saat trauma, karakteristik masing-masing individu dan faktor post-trauma.6,10,12a. Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami, peristiwa yang berulang, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban meninggal dan merupakan korban tindak kriminal terutama kekerasan seksual serta pelaku kekerasan yang dikenalb. Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya berisiko, merasa kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut, putus harapan, bersalah serta adanya gejala disosiatif saat kejadian.

c. Karakteristik individu yang memilki risiko PTSD, ada riwayat menderita gangguan jiwa atau neurologis, riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut, intelegensi yang rendah, penggunaan alkohol yang baru dan jenis kelamin perempuan lebih berisiko.d. Faktor pasca trauma, berupa respon fisiologis pasca trauma seperti peningkatan detak jantung, penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan sekitar dapat meningkatkan risiko PTSD.2. Faktor Psikodinamik

Model kognitif dari gangguan stres pasca traumatik menyatakan bahwa orang yang terkena tidak mampu untuk memproses atau merasionalsasikan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stres dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti. 10,12Model perilaku dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya, yaitu:

Trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) dipasangkan melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiaskan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma)

Melalui pelajaran instrumen mental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan dan meruntuhkan. Ego hidup kembali dan berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong ganguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stres pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.123. Faktor NeurobiologiPeran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang dialami. Amigdala berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya aspek otonom yang merupakan respon dari rasa takut. Selain itu, amigdala menerima informasi tentang ransangan luar dan selanjutnya digunakan sebagai penanda. Hal tersebut kemudian meransang respon emosi termasuk fight-or-flight response atau freezing dan dalam perubahan hormon stres.10Hubungan antara hipokampus, amigdala serta korteks prefrontal medial membentuk respon akhir rasa takut. Lesi hipokampus dihubungkan dengan respon ketakutan yang kuat. Dalam beberapa studi, volume hipokampus yang kecil berhubungan dengan PTSD.10Kalangan klinisi memiliki data bahwa terjadi hiperaktivasi noradrenergic, sistem opioid endogen dan juga aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA Axis) serta adanya peningkatan aktivitas dan respon dari sistem saraf otonom yang ditandai dengan peningkatan nadi dan tekanan darah serta adanya pola tidur yang abnormal.10,12B. Faktor Pertahanan

Faktor pertahanan pada PTSD mencakup perhatian orang tua, hubungan dengan orang sekitar yang mendukung, hubungan percintaan yang romantis dan kepribadian yang positif.4 Untuk mengurangi risiko PTSD, faktor pertahanan dapat dibangun melalui:8 Mencari dukungan dari orang lain seperti teman dan keluarga

Mencari kelompok pendukung yang pernah menderita peristiwa traumatik

Merasa baik mengenai perilaku seseorang ketika menghadapi bahaya

Mempunyai strategi atau jalan keluar dari peristiwa traumatik dan belajar darinya

Mampu bertindak dan merespon secara efektif walaupun merasa takut

2.4 PatofisiologiRespon fisiologis segera setelah trauma bersifat signifikan dan dapat menimbulkan gejala PTSD persisten. Perubahan dalam sistem neurotransmiter noradrenergik dan dopaminergik dan respon stres aksis hipotalamus-pituitari-adrenal telah didokumentasikan. Efek dari respon ini pada sistem saraf pusat dapat mempengaruhi respon neurofisiologi.9Kewaspadaan tinggi terhadap trauma mengakibatkan individu bereaksi secara ekstrim terhadap peristiwa yang serupa dan mengingatkan individu terhadap trauma awalnya. Beberapa bukti klinis menunjukkan PTSD kronik melalui perubahan fisiologis dapat mengakibatkan perubahan pada mikroarsitektur otak.92.5 Manifestasi Klinis

PTSD biasanya muncul dalam jangka waktu 4 minggu setelah trauma tetapi terkadang gangguan ini dapat muncul kemudian. Gejala pada PTSD diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: 8,111. Ingatan yang mengganggu (intrusion)

Individu yang mengalami PTSD mengalami kilas balik dimana memori mengenai trauma terjadi berulang dan mempengaruhi kehidupan mereka yang sekarang. Hal ini terjadi ketika memori yang mendadak dan jelas, diikuti oleh emosi yang menyakitkan, mengambilalih perhatian seseorang. Selain itu, mereka dapat mengalami mimpi buruk dan merasa ketakutan.8,112. Penghindaran ingatan tentang trauma (avoidance)

Gejala ini dapat mempengaruhi hubungan dengan orang lain. Individu yang mengalami PTSD sering menghindari hubungan emosional yang erat dengan keluarga, kerabat dan teman. Pada awalnya, pasien dapat mengalami penurunan emosi dan hanya dapat menyelesaikan rutinitas. Individu biasanya kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya dianggap menyenangkan. Kemudian, ketika peristiwa traumatik timbul kembali, individu dapat mengalami luapan emosi setelah kilas balik dan ketidakmampuan untuk merasakan atau mengekspresikan emosi. Individu dengan PTSD menghindari situasi yang dapat mengingatkan mereka dengan peristiwa traumatik yang pernah terjadi.8,11

Ketidakmampuan individu untuk menunjukkan kemarahan, kesedihan dan ketakutan akibat peristiwa traumatik yang terjadi menunjukkan trauma dapat berlanjut sehingga mempengaruhi perilaku seseorang tanpa disadari. Perasaan bersalah, depresi dan cemas merupakan hasil dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan perasaan menyakitkan. Beberapa orang juga merasa bersalah karena mereka bertahan hidup setelah suatu bencana alam sedangkan keluarga atau teman yang lain meninggal.8,113. Kewaspadaan tinggi (hyperarousal)

PTSD dapat menyebabkan individu untuk bertindak seolah-olah mereka diancam oleh trauma sehingga menyebabkan penyakit. Mereka dapat menjadi iritabel atau eksplosif walaupun tidak dipicu. Selain itu, mereka sulit berkonsentrasi atau mengingat informasi tertentu dan mimpi buruk sehingga mengalami insomnia.8,11

Individu dengan PTSD berusaha untuk melupakan peristiwa traumatik yang menyakitkan, kesepian dan kecemasan dengan konsumsi alkohol atau obat-obatan lain. Selain itu, mereka dapat menunjukkan kontrol yang buruk terhadap impuls dan berisiko untuk bunuh diri.8,112.6 DiagnosisGangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapatkan alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya, mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.12Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, ed 4):12A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana kedua dari berikut ini terdapat:

1. orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

2. respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak berdaya atau horror.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:

1. rekoleksi yang menderitakan,rekuren,dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi.

2. mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.

3. berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.

4. penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

5. reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal ataueksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan traumadan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

1. usaha untuk menghindari pikiran,perasaan,atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.

2. usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.

3. tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma

4. hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yangbermakna.

5. perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

6. rentang aspek yang terbatas.

7. perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

1. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur.

2. iritabilitas atau ledakan kemarahan.

3. sulit berkonsentrasi.

4. kewaspadaan berlebihan.

5. respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

Sebutkan jika :

Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan

Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebihSebutkan jika :

Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressorSementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:131. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

2.7 Diagnosis Banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.12

Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.122.8 Terapi

Pendekatan utama pada pasien PTSD adalah mendukung, mendorong untuk mendiskusikan peristiwa dan pendidikan tentang berbagai mekanisme mengatasinya (sebagai contoh, relaksasi). Penggunaan sedatif dan hipnotik dapat juga membantu. Pada pasien yang mengalami suatu peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang menderita gangguan stres pascatraumatik, penekanan haruslah pada pendidikan tentang gangguan dan pengobatannya, baik farmakologis maupun psikoterapeutik. Dukungan tambahan bagi pasien dan keluarganya didapatkan melalui kelompok pendukung setempat atau nasional bagi pasien dengan gangguan stres pascatraumatik.12Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan:141. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.

2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

Farmakoterapi

Manfaat imipramine (Trofanil) dan amitriptyline (Elavil), dua obat trisiklik, dalam pengobatan gangguan stres pascatraumatik adalah didukung oleh sejumlah uji coba klinis terkontrol baik. Walaupun beberapa uji coba dari kedua obat tersebut memiliki temuan negatif, sebagian besar temuan itu memiliki kecacatan rancangan yang serius, termasuk durasi yang terlalu singkat. Dosis imipramine dan amitriptyline harus sama dengan yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif, dan lama uji coba yang adekuat haruslah delapan minggu. Pasien yang berespons baik kemungkinan harus meneruskan farmakoterapi selama sekurangnya satu tahun sebelum diusahakan menghentikan obat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa farmakoterapi adalah lebih efektif dalam mengobati depresi, kecemasan dan kesadaran yang berlebihan dibandingkan dalam mengobati penghindaran, penyangkalan, dan kekauan emosional.12,15

Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stres pascatraumatik adalah inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI; serotonin-spesific reuptake inhibitors), inhibitor monoamin oksidase (MAOI; monoamine oxidase inhibitors), dan konvulsan (sebagai contohnya, carbamazepine, valproate). Clonidine (Catapres) dan propanolol (Inderal) dianjurkan oleh teori tentang hiperaktivitas noradregenik pada gangguan ini. Walaupun beberapa laporan anekdotal menyatakan efektivitas alprazolam (Xanax) pada gangguan stres pascatraumatik, pemakaian obat tersebut dipersulit oleh tingginya penyertaan gangguan dan oleh timbulnya gejala putus obat saat obat dihentikan. Hampir tidak ada data positif tentang pemakaian obat antipsikotik pada gangguan ini, sehingga penggunaan obat tersebut, sebagai contoh haloperidol (Haldol) harus dihindari kecuali kemungkinan untuk pengendalian jangka pendek agresi dan agitasi parah.12,15

Dapat juga diberikan beberapa pilihan terapi pengobatan seperti, Benzodiazepin dapat diberikan untuk membantu pasien relaksasi dan tidur selain itu benzodiazepin dapat menyebabkan masalah dalam memori dan membuat pasien menjadi ketergantungan akan obat ini. Antipsikotik biasa diberikan pada pasien dengan gangguan mental seperti skizofrenia. Pada pasien yang mengkonsumsi antipsikotik dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan meningkatkan resiko terjadinya masalah jantung dan diabetes. Antidepresan lainnya seperti sertraline dan paroxetine, antidepresan fluoxetine (prozac) dan citalopram (celexa) dapat membantu pasien dengan gejala depresi dan gangguan kecemasan.15,16PsikoterapiPsikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang dapat digunakan adalah terapi paparan, pasien dihadapkan pada keadaan traumatik secara perlahan- lahan dan bergradasi untuk mencapai desentisasi. Kedua yaitu manajemen stres dengan cara mengajari pasien cara menangani stres termasuk teknik relaksai, seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran. Pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapi kelompok dan terapi keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya.12,16Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan menjadi lima jenis yaitu:141. Psychodynamic Approaches

Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut kerusakan dan mengembangkan intrepretasi yang realistis.2. Cognitive-behavioral ApproachesTerapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety lain, pada learning theory model mengemukakan incorporate classical dan operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk menambahkan learning theory untuk menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state, penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga anxiety teratasi dan hilang potensinya.3. Flooding TechniquesPada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal, kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya.4. Training in Coping SkillsPada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban pemerkosaan.5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma, diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization.2.9 KomplikasiPada beberapa studi pasien dengan PTSD juga mengalami disproprtionate degree of medical illness, yaitu neurologis, musculoskeletal, kardiovaskuler, dan masalah pernapasan. Juga terjadi gangguan tidur yaitu gangguan untuk memulai dan mempertahankan tidur.182.10 Prognosis

Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk. Umumnya orang yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi gangguan stres pasca traumatik muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang baik dan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat. Tingkat pemulihan tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50% menjadi chrnoic psychiatric disorder. 12,18,19Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.12BAB III

KESIMPULAN

PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) merupakan suatu kondisi kecemasan patologis yang terjadi setelah seorang individu mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis dan dapat membahayakan kehidupan seorang individu atau orang lain di sekitarnya. PTSD lebih sering dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan kejadian kriminal lebih sering dialami oleh perempuan. Selain itu PTSD biasanya lebih sering mengenai usia muda dan usia lanjut serta pada orang dengan status ekonomi menengah ke bawah.Selain akibat adanya stressor, PTSD dapat terjadi karena adanya beberapa faktor sebelum dan sesudah trauma berperan dalam munculnya PTSD, faktor psikodinamik, faktor kognitif-perilaku, dan faktor neurobiologi. PTSD biasanya muncul dalam jangka waktu 4 minggu setelah trauma. Gejala pada PTSD diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: ingatan yang mengganggu (intrusion), penghindaran ingatan tentang trauma (avoidance), kewaspadaan tinggi (hyperarousal).

Diagnosis PTSD dapat ditegakkan jika gejala muncul dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat, atau lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapatkan alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini, dan bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang.Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah mendukung, mendorong untuk mendiskusikan peristiwa dan pendidikan tentang berbagai mekanisme mengatasinya (sebagai contoh, relaksasi). Selain itu harus dipertimbangkan bahwa gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang sering berkormobiditas dengan gangguan jiwa serius lainnya. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

DAFTAR PUSTAKA1. Javidi, H. and M. Yadollahie. 2012. Post-traumatic Stress Disorder. Int J Occup Environ Med. Jan;3(1):2-9.

2. Creamer, M., Burgess, P. & McFarlane, A. C. 2001. Post-traumatic stress disorder: findings from the Australian National Survey of Mental and Well-being. Psychological Medicine, 31, 1237-1247.3. Narrow, W. E., Rae, D. S., Robins, L. N., et al. 2002. Revised prevalence estimates of mental disorders in the United States: using a clinical significance criterion to reconcile 2 surveys estimates. Archives of General Psychiatry, 59, 115123.

4. McFarlane AC, Williamson P, Barton CA. 2009. The impact of traumatic stressors in civilian occupational settings. J Public Health Policy 2009;30:311-27.

5. Kessler RC, Sonnega A, Bromet E, et al. 2005. Posttraumatic stress disorder in the National Comorbidity Survey. Arch Gen Psychiatry; 52:1048-60.6. Gore, Allen. 2014. Posttraumatic Stress Disoder (PTSD). District of Columbia Department of Mental Health, Columbia: 1-17.Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/288154-overview

7. Anonim. 2010. Catatan untuk Algoritme PTSD. International Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP), New York: 1-19.8. National Institute of Mental Health. 2015. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). US Department Of Health and Human Services, New York: 1-14.9. Lubit, Roy. 2014. Posttraumatic Stress Disoder (PTSD) in Children. :American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, New York : 1-23.

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/918844-overview

10. Saniti, Ni Made Apriliani. 2011. Diagnosis dan Manajemen Stress Paska Trauma pada Penderita Pelecehan Seksual. Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Bali: 1-17.11. American Psychiatric Assossiation. 2011. Posttraumatic Stress Disoder (PTSD). American Psychiatric Assossiation, Arlington: 1.12. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 68-75.

13. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79.14. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.15. Friedman, Matthew J. 2008. Treatments for PTSD: Understanding the Evidence. USA : The National Center for PTSD VA Medical Center.16. The Management of Post-Traumatic Stress Working Group. 2010.VA/DoD Clinical Practice Guidline for Management of Post-Traumatic Stress. USA : Department of Veterans Affairs.Available from : http://www.healthquality.va.gov/guidelines/MH/ptsd/cpg_PTSD-FULL-201011612.pdf17. Framingham, Jane, 2007. Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Psych Central. Available from: http://psychcentral.com/lib/2011/minnesota-multiphasic-personality-inventory-mmpi/18. Mansjoer T, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

19. Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder Dalam: Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h: Ch.23.19