Upload
fikamon
View
696
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
POTENSI GEOPOLITIK DUNIA ISLAM DAN
HEGEMONI KEKUATAN GLOBAL ( Expanded Revised Edition)
Oleh :
Fika Monika, ST1 Yoyok Tindyo Prasetyo, ST2
“...wajib bagi generasi kaum muslim untuk menjadikan kesadaran politik sebagai hal pertama
yang harus dimiliki di antara konsepsi politik. Wajib pula kesadaran politik itu menjadi asas
aktifitas-aktifitas politik mereka. Wajib pula mereka berusaha agar kesadaran politik menjadi
tersebar luas di antara manusia, dan menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi masyarakat ,
bahkan menjad santapan harian bagi para politisi....”
Taqiyuddin An Nabhani, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir
I. POSISI DUNIA ISLAM : SEBUAH PENGANTAR
Dalam sejarah pidato pelantikan kepresidenan Amerika Serikat, untuk pertama kalinya
seorang presiden AS terpilih menyatakan secara spesifik istilah ”Dunia Islam”. Pernyataan
tersebut keluar dari lisan Barrack Hussein Obama, seorang presiden terpilih AS ke-44 dalam
pelantikannya di Washington DC beberapa waktu lalu.
Peristiwa tersebut sontak mendapat perhatian luar biasa dari para pengamat politik di
seantero dunia. Beragam analisis dan pembahasan tentang pernyataan tersebut disampaikan oleh
para pengamat politik di luar negeri, termasuk di tanah air. Bisa dimaklumi, sebab pernyataan
tersebut lahir dari seorang pemimpin negara Adidaya dunia di dua dekade terakhir ini.
Pernyataan Obama ini sebenarnya mencerminkan betapa krusialnya posisi dunia Islam
saat ini. Terutama apabila ditarik pada konteks kontestasi dunia Islam dengan dunia Barat yang
semakin eskalatif pasca pemerintahan George W. Bush. Sebenarnya teori-teori paska era Perang
Dingin sudah lama menjelaskan hal ini, bahwa Islam dinilai oleh Barat sebagai tantangan
fundamental ke era baru abad liberalisme dan kapitalisme global. Islam ternyata memiliki
kekuatan ideologis yang telah banyak dicermati para teoritikus dan elit politik, sehingga mereka
memposisikan Islam sebagai tantangan baru terhadap tatanan sistem dunia saat ini.
1 Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia Angkatan 27, Peneliti Imperialism Watch Forum Rumah Muslim Yogyakarta 2 Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, Peneliti Imperialism Watch Forum Rumah Muslim Yogyakarta
2
Adalah benar bahwa Islam membentuk sebuah ideologi yang koheren dan sistematis,
sebagaimana liberalisme dan komunisme, dengan sistem kodenya sendiri tentang moralitas,
ketauhidan, doktrin politik dan keadilan sosial. Perhatian Islam adalah secara potensial universal
untuk semua manusia, tanpa perbedaan kasta, kelas sosial maupun posisi struktural etnik atau
kelompok bangsa tertentu, kecuali ketaatan dan kepasrahan penuh kepada Sang Pencipta semata.
Juga telah disaksikan, Islam bahkan mengalahkan demokrasi liberal di beberapa bagian
dari dunia Islam seperti di Aljazair, Sudan dan Turki -yang menyikapi sebuah tantangan berat
kepada praktek liberal- di Negara-negara dimana liberalisme tidak memperoleh kekuasaan politik
secara langsung. Akhir perang dingin di Eropa segera diikuti oleh sebuah tantangan terhadap
Barat dari Negara Irak, Iran dan Libya, yang mana Islam diidentikkan sebagai kekuatan terorisme
melawan hegemoni Barat.
Pendek kata memetakan dan memotret dunia Islam adalah penting dan mendesak. Tidak
hanya bagi musuh-musuh Islam, namun juga bagi umat Islam itu sendiri.
Bagaimana memotret dunia Islam, adalah sebuah pekerjaan yang telah dilakukan dengan
berbagai sudut pandang dan metode. Pembedaan antara Sunni dan Syiah adalah salah satu
contoh metode memotret dunia Islam yang sangat tua usianya. Sebuah metode yang beranjak
dari sudut pandang ketersediaan varian pemikiran di dalam memahami Islam itu sendiri. Metode
yang sama tuanya adalah perbandingan mazhab, cara memotret umat Islam yang lebih menukik
pada perbedaan fiqhiyyah umat Islam. Kedua metode tersebut di atas selama ini bisa dianggap
tidak terlalu bermasalah, karena memang lahir dari rahim worldview Islam itu sendiri.
Hanya saja, tidak selalu cara memetakan umat Islam adalah lahir dari worldview Islam,
cukup banyak pemetaan umat Islam dilakukan berbasiskan pada cara pandang yang berbeda dan
bahkan bertentangan dengan Islam itu sendiri. Gelombang serangan pasukan Salib adalah salah
satunya. Perang Salib adalah peristiwa sejarah yang membuktikan bahwa terdapat pemetaan dunia
Islam yang berdasarkan sudut pandang Kristen. Dalam hal ini adalah sudut pandang extra ecllesian
nula sallu, atau doktrin di luar gereja tidak ada keselamatan.
Memang Barat, dalam ujud dan watak sebagai sebuah peradaban, adalah pihak yang
amat rajin memperhatikan dan memetakan dunia Islam ( disusul dengan Jepang3 ). Seolah tidak
peduli dengan kuatnya dinamika umat Islam, Barat selalu saja meluangkan waktu untuk
memodelkan umat Islam. Untuk itu ratusan bahkan ribuan pusat studi Islam telah didirikan
dipelbagai Universitas4 di Barat. Meskipun tentusaja dalam rangka untuk menaklukan dan
menguasai umat Islam. Sejarah panjang orientalisme adalah buktinya. Terlepas dari berbagai 3 Contohnya adalah CISMOR, sebuah pusat studi agama monotheisme yang salah satunya adalah Islam. Lembaga ini dirikan di Univeritas Doshisha, sebuah universitas kristen di Jepang 4 Salah satunya yang cukup disegani adalah SOAS ( School of Oreintalism and African Studies ) di Univeritas London atau Islamic Studies di Universitas McGill Canada ( tempat banyak dosen UIN di Indonesia melanjutkan studi )
3
macam kritikan yang tertuju pada proyek ini5, terbukti bahwa hasil kerja orientalisme memang
membawa hasil bagi Barat, dan bahkan tidak sedikit pula yang kemudian diacu oleh kaum
muslimin sendiri.
Salah satu pemodelan umat Islam yang paling mutakhir adalah yang diluncurkan oleh
sebuah lembaga pemikiran di USA yang bernama RAND Corporation. Beberapa hasil laporan
mereka menunjukkan hasil kerja yang serius dari Barat. Untuk proyek ini cukup banyak kalangan
pemikir muslim6 yang membantu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti RAND ( Angel
Rabasa, Cherryl Bernard dan sebagainya ). Pemetaan yang dipicu oleh peistiwa 11 September ini,
ternyata cukup sulit untuk dikatakan lahir dari doktrin extra ecllesian nula sallu. Apa yang lebih
nampak adalah kategorisasi umat Islam yang berdasarkan pada jarak dengan Barat atau
penerimaan atas nilai-nilai sekuler Barat ( baca Demokrasi ).Kalangan Islam yang anti Demokrasi
disebut oleh mereka sebagai Fundamentalis7, yang menerima Demokrasi karena latah disebut
Tradisionalis, yang menerima karena mengangkap tidak ada masalah dengan Demokrasi
dinamakan Moderat dan yang mengatakan Islam adalah Demokrasi itu sendiri atau demokrasi
lebih baik dari Islam disebut dengan kalangan Liberal. Rekomendasi yang penting dari group
RAND ini adalah bagaimana membenturkan kalangan Fundamentalis dengan Tradisionalis untuk
menaikkan posisi kalangan Moderat.
Disisi lain, kemerosotan pemikiran umat Islam telah menjadikan umat Islam tertinggal
dalam banyak bidang, termasuk dalam persoalan peta-memeta ini. Alih-alih memetakan musuh-
musuhnya, memetakan dirinya sendiri saja amat jarang dilakukan. Dibutuhkan kerja intelektual
yang lebih banyak dan lebih berbobot untuk bisa mengambil manfaat dari model-memodelkan
ini. Dalam jangka pendek, bermanfaat bagi menangkis serangan pemikiran, politik dan ekonomi
Barat dan dalam jangka panjang adalah dalam rangka membuka dan meng-Islamkan Barat
dengan dakwah dan jihad. Meskipun untuk yang jangka panjang tersebut hanya sedikit dari kaum
muslimin yang masih memimpikannya.
Hanya saja agenda harmonisasi hubungan AS (Barat) dan dunia Islam yang semakin
diinternasionalisasi (internationalization issue) oleh Obama semakin menunjukkan betapa krusialnya
posisi dunia Islam di mata dunia saat ini. Hal tersebut seharusnnya mendorong para pemikir dan
politisi muslim untuk bersegera melakukan pemetaan dunia Islam yang lebih bermanfaat bagi
kebangkitan umat Islam sendiri. Apalagi posisi single polar kekuatan dunia yang selama ini
5 Salah satu yang sangat terkenal adalah kritikan Edward Said dalam bukunya Orientalism. Said mengatakan bahwa orientalisme adalah cara memandang Islam namun dengan menggunakan kacamata Barat. Terdapat cukup banyak piula kritik terhadap orientalisme yang dilontarkan pemikir Muslim. Misal oleh Prof Musthofa Azami, Prof Musthofa Siba’i dan sebagainya 6 Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu yang cukup penting untuk disebutkan. Baca lebih lanjut Muslim World After 911, Rand Corp. 7 Baca lebih lanjut Civil Democratic Islam, Rand Corp
4
disandang AS, mulai terganggu dengan munculnya Uni Eropa dan China. Atau kata lain mulai
tercipta multipolar kekuatan adidaya. Akhirnya menjadi penting dan mendesak untuk mengkaji
kondisi Dunia Islam dan tentu saja sekaligus peradaban Barat.
Diantara metode yang cukup mutakhir dalam memetakan dunia Islam adalah dengan
pendekatan Geopolitik dan Geostrategis. Metode ini diharapkan dapat memberi analisis yang
lebih deskriptif tentang dunia Islam dan hubungannya dengan dunia Barat. Tentu saja informasi
yang diperoleh dalam kajian awal (dengan pendekatan geopolitik ini) diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi penumbuhan semangat kaum muslimin untuk mewujudkan Islam
sebagai kutup kekuatan dunia yang mandiri.
II. BATASAN MASALAH
Pertama, tulisan ini hendak mengkaji parameter-parameter geopolitik kawasan Dunia Islam
yang terbentang dari Maroko hingga Indonesia, yaitu keterkaitan antara tiga (3) faktor penting
yaitu;
1. Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth)
2. Keamanan Energi (Energy Security)
3. Ketidakamanan Geostrategis (Geostrategic In Security).
Kedua, kajian bagaimana parameter dan pengaruh hegemoni Barat dalam mengendalikan
Dunia Islam sebagai bagian dari perannya dalam membangun tatanan dunia. Dalam hal ini perlu
pembahasan yang terintegrasi terkait dengan politik luar negeri suatu negara, khusu Barat. Ada 4
faktor penting yang perlu dikaji :
1. Konsep utama dan dominan dalam negara, lahir dari worldview yang dianut bangsa (
disebut Fikrah)
2. Metode baku dalam mewujudkan konsep ( disebut Thariqah ),
3. Metode tidak baku dalam mewujudkan konsep, berbentuk rencana strategis ( disebut
Khittah Siyasi )
4. Implementasi teknis dalam mewujudkan konsep ( disebut Uslub Siyasi)
III. KERANGKA TEORITIK PARAMETER GEOPOLITIK.
Teori yang dipaparkan di bawah memang bukan lahir dari pemikir muslim,
namun karena obyek yang dikaji adalah sesuatu yang dekat dengan fakta georafis/kondisi
alam, maka bias subyektifitas Baratnya diharapkan tidak terlalu kental. Di bagian awal
akan disajikan asal konsep geopolitik dilanjutkan dengan penelitian yang obyeknya adalah
kawasan dunia Islam.
5
a. Konsep Geopolitik
a. Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti
bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan politik dari kata polis yang berarti
kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara ; dan teia yang berarti urusan
(politik) bermakna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006:
195)
b. Istilah Geopolitik pertama kali digunakan oleh Rudolf Kjéllen, seorang ahli politik
dari Swedia pada tahun 1905. Sebagai cabang dari geografi politik, geopolitik
fokus pada perkembangan dan kebutuhan akan ruang bagi suatu negara.
Geopolitik mengkombinasikan teorinya Friedrich Ratzel’s tentang perkembangan
alami sebuah negara dengan Heartland Theory (teori kawasan inti) dari Sir Halford J.
Mackinder’s untuk membenarkan praktek-praktek yang bersifat ekspansionis dari
beberapa negara. Sir Halford John Mackinder adalah ahli geografi dari Inggris yang
menulis paper pada tahun 1904 “The Geographical Pivot of History.” Dalam papernya
Mackinder mengatakan bahwa menguasai Eastern Europe adalah perkara yang
penting untuk menguasai dunia. Dia mengformulasikan hipothesisnya: Who rules
East Europe commands the Heartland, Who rules the Heartland commands the World-
Island, Who rules the World-Island commands the world. Mackinder’s Heartland (juga
disebut sebagai the Pivot Area) adalah daerah ini dari Eurasia, dan yang dimaksud
dengan the World-Island adalah seluruh daerah Eurasia (Eropa dan Asia).
c. Geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap
kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat
tinggal suatu bangsa. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik
(political geography), Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan disingkat
geopolitik.
b. Korelasi Antara Pertumbuhan Ekonomi, Keamanan Energi Dan Ketidakamanan
Geostrategis
Kajian serius terhadap keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, keamanan
energi dan ketidakamanan geostrategis sudah pernah dilakukan di kawasan Asia,
khususnya Asia Timur Laut di dalam buku Asia’s Deadly Triangle (Segitiga Maut Asia),
oleh Kent E.Calder. Direktur Hubungan AS-Jepang di Princeton ini memperlihatkan
6
bagaimana gabungan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kekurangan energi di masa
mendatang, dan ketidakamanan geopolitis dapat menimbulkan percepatan pembangunan
persenjataan dan memperparah permusuhan geopolitis. Bagaimana dengan Dunia Islam?
a. Pertumbuhan Ekonomi
Meski masih debatable, secara umum Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diterima
sebagai sebuah indikator untuk mengukur pendapatan nasional suatu negara dalam
satu tahun8. Selama hampir setengah abad, perhatian utama masyarakat
perekonomian dunia tertuju pada cara-cara untuk mempercepat tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional. Pada setiap akhir tahun, masing-masing negara selalu
mengumpulkan data-data statistik tingkat pertumbuhan PDB relatifnya. Ada tiga (3)
faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu : (1) Akumulasi Modal, (2)
Pertumbuhan Penduduk, (3) Kemajuan Teknologi9. Pertumbuhan Ekonomi juga
sering dikaitkan dengan kemampuan industrialisasi suatu negara.
b. Keamanan Energi (Energy Security)
• ”Economies – all economies – run on energy. Energy is needed to produce food and manufacture
goods, power machines and appliances, transport raw materials and finished products, and
provide heat and light. The more energy available to a society, the better its prospects for
sustained growth; when energy supplies dwindle, economies grind to a halt and the affected
populations suffer.” ( Thomas P. Bennet)10
• “If you want to rule the world you need to control the oil. All the Oil. Anywhere.” (Michael
Collon, Monopoly)11
• “Ketahanan Energi Nasional adalah kondisi dinamis di bidang energi yang
mengandung upaya penyediaan energi, baik dengan memproduksikan (dan
mengimpor) jenis energi dalam jumlah, mutu, harga, daerah dan waktu sesuai
dengan kebutuhan” (Rustam, 2002)12
c. Ketidakamanan Geostrategis (Geostrategic Insecurity)
• Makna Geostrategi adalah : cara pengarahan dan pengerahan sumberdaya yang
tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip
Geopolitik tertentu13
8 http://www.sesrtcic.org/imgs/news/Image/indicator_GDP_final.pdf 9 Todaro & Smith, Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga, Edisi ke Delapan, Jilid 1, Erlangga 2003 10 Dirgo D. Purbo, Makalah “Energy Security” Merupakan Faktor Strategis untuk Visi Indonesia 2030 11 Dirgo D. Purb., idem 12 Rustam, Tesis : Sumbangan Batubara Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional”, 2002 13 Sutoyo, bahan diktat kuliah Geopolitik & Lingkungan Strategis, Pasca Sarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional, 2009.
7
• Geostrategic Insecurity of the state defined in the absence of strategic depth, lack of natural
resources, demographic asymmetry, and super power involvement has been further amplified by
security uncertainties reflected in the continuous presence of multiple security threats, ranging
from conventional, low-intensity, asymmetrical, to non linear risks14
• Istilah “Ketidakamanan Geostrategis” yang secara kontekstual dibahas oleh Kent
E.Calder dalam bukunya lebih bermakna pada pola lingkungan strategis di suatu
kawasan yang berpotensi konflik baik konflik terbuka maupun tertutup.
IV. KAJIAN PERTAMA : KAWASAN DUNIA ISLAM15
Gambar 1. Peta Dunia Berdasarkan Agama
Dewasa ini ada 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Negara-
negara ini dijuluki “Dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih Muslim. Jadi,
sekitar 148 juta Muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta Muslim Cina (2% populasi) belum
terhitung.
Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas daripada AS atau Uni
Eropa. Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang perkilometer persegi. Kepadatan
tertinggi ada di Bahrain yang hanya merupakan “negara kota”, yaitu 1055 jiwa perkilometer
persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626).
14 Michael Raska, Working Paper :The Revolution in Military Affairs and Security of Small States : Israel’s RMA Trajectory and Force Modernization Programs (1995-2008), Lee Kuan Yew School of Public Policy, 2009 15 Diambil dari buku yang ditulis Ajid Thohir yang berjudul Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, Rajawali Pers, 2009 Halaman 96. (Seorang dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung)
8
1. Nasionalisme, Realitas Baru Pemetaan Kawasan Dunia Islam
Pendekatan Geopolitik dalam studi kawasan Dunia Islam, adalah pendekatan yang sama
sekali baru, karena sebenarnya pendekatan ini lahir dan berkembang akibat kepentingan
imperialisme dan kolonialisme abad ke-18. Sejak kelahirannya bersama risalah Muhammad Saw,
umat Islam selalu dalam kondisi satu, bukan hanya satu kesatuan Aqidah (kepercayaan) tetapi
juga satu kesatuan sistem kehidupan. Sementara paham nasionalisme yang tumbuh di Dunia
Islam adalah realitas baru bagi pemetaan kawasan Dunia Islam.
L. Stoddard, pengarang buku “the New World of Islam” yang terbit sekitar 1920-an
mengatakan dengan nada yang provokatif “Seluruh Dunia Islam dewasa ini sedang mengalami
pergolakan yang maha dahsyat! 250.000.000 umat Islam yang tersebar antara Maroko dan Tiongkok, antara
Turkestan dan Konggo, sedang bergerak menuju ide baru, stimulan baru dan aspirasi baru, satu perubahan
maha dahsyat yang kelak akan dirasakan oleh seluruh umat manusia!.” Perubahan besar yang dimaksud
adalah “nasionalisme”.
Padahal sebelumnya Umat Islam adalah umat yang satu, dimana sekitar abad ke-8 hingga
abad ke- 18, kepemimpinan dan pusat pemerintahannya berada di bawah satu sistem
kekhalifahan (the super state). Sekarang, dengan jumlahnya yang lebih dari 1 milliar, umat Islam
sekarang berada di masing-masing wilayah kebangsaannya, menjalankan pemerintahan sendiri-
sendiri, menerapkan aturan agama mereka berdasarkan persoalan yang ada di lingkungan
masing-masing.
Hal ini terjadi sejak masuk dan berkembangnya imperialisme Barat di dunia Islam,
terutama sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20, yang ternyata secara tidak langsung telah
menumbuhkan semangat fragmentasi politik di kalangan umat Islam. Khususnya dalam semangat
kebangsaan di masing-masing wilayah dunia Islam. Secara langsung, imperialisme Barat di dunia
Islam, telah melahirkan rangsangan yang sangat signifikan bagi terbentuknya paham
nasionalisme, termasuk juga tentang konsep-konsep pemerintahan dan sistem parlemen yang
dikembangkan.16
2. Pemetaan Kawasan Dunia Islam
Merujuk pada Ajid Thohir, dengan menggunakan pendekatan regionalisme budaya yang
didasari etno linguistik-historik, secara general bisa ditentukan corak ragam perbedaan kawasan
Dunia Islam. Dimana setelah paham nasionalisme masuk ke Dunia Islam maka terbentuk
pemetaan baru secara spesifik yang dipotret dan dikaji dari perspektif nasionalismenya, dengan
pendekatan yang menitikberatkan pada batasan-batasan wilayah, administrasi politik,
perkembangan dan potensi daerah, serta pembangunan dan penduduk yang ada di dalamnya.
16 Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, Rajawali Pers, 2009
9
Konsep regionalisme budaya yang didasari pada studi nasionalisme (negara-bangsa) Dunia Islam
semakin memperjelas objek kajian wilayah Islam secara objektif dan spesifik.
Kawasan Dunia Islam dibagi ke dalam 5 (lima) tipologi kawasan, yaitu :
1) ETNIS ARAB / KAWASAN TIMUR TENGAH
Timur Tengah (Arab Saudi, Syria, Libanon, Yordania, Yaman, dan Irak)
2) ETNIS PERSIA /KAWASAN IRAN -SEMENANJUNG INDIA
Irano-Persia (Iran, Afghanistan, dan Pakistan)
3) ETNIS TURKI / KAWASAN EURASIA
Eurasia; Eropa dan Asia (Turki Modern, negara-negara Balkan, dan etnik Turki di
Asia Tengah dan Timur)
4) ETNIS NEGRO / KAWASAN AFRIKA
Afrika Hitam (Afrika Timur, Afrika Barat, Afrika Selatan, Afrika Utara, Aljazair,
Maroko, Sudan, dan Lybia)
5) ETNIS MELAYU / KAWASAN ASIA TENGGARA
Asia Tenggara (Malaysia, Brunei, Muangthai, Filipina, Kamboja, Singapura, dan
Indonesia).
Berikut daftar negara-negara di 5 (lima) kawasan Dunia Islam :
NO TIMUR TENGAH
SEMENANJUNGINDIA
EURASIA AFRIKA ASIA TENGGARA
1. Arab Saudi Iran Turki Sudan Indonesia
2. Uni Emirat Arab Afghanistan Tirgistan Libya Malaysia
3. Yordania Pakistan Kazagstan Tunisia Philipina
4. Lebanon India Armenia Maroko Singapura
5. Kuwait Bangladesh Tazikistan Aljazair Brunei Darusa
6. Yaman Sri Langka Mongolia Mauritania Thailand
7. Oman Uzbekistan Turkmenistan Sahara
8. Bahraen Albania Somalia
9. Syria Senegal
10. Qattar Gambia
11. Palestina Tanzania
12. Irak Kenya
13. Mesir Ethiopia
14. Nigeria
15. Niger
10
16. Mali
17. Burkina Faso
18. Ghana
19. Guinea
20. Chad
21. Uganda
22. Kamerun
Gambar 2. Peta Dunia Islam berdasarkan Prosentase Penduduk Muslim
3. Potensi Strategis Kawasan Dunia Islam
Di antara lembaga yang mengumpulkan data sosial ekonomi Dunia Islam adalah
Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki.
Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat :
www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php.
Potensi yang dimiliki dunia Islam secara geo-politik, geo-ekonomi dan geo-strategis sungguh luar
biasa, setidaknya bisa nampak dari 3 (tiga) faktor, di antaranya :
Pertama, faktor geografis. Faktor ini sangat berperan menambah kekuatan sebuah
negara. Dunia Islam mempunyai suatu lokasi geografis yang paling memungkinkan untuk
memelihara dan membangun aliansi strategis kekuatan maritim, dan sekaligus continental. Hal ini
sangat krusial dan kontras, karena kelemahan mendasar dari kekuatan-kekuatan hegemonik Barat
selama 2 abad terakhir ini adalah tidak tersedianya kapasitas geografis untuk membangun sebuah
11
strategi maritim dan continental. Misalnya, Inggris dan AS telah mengaplikasikan strategi maritim
ketika Jerman dan Rusia berkonsentrasi membangun strategi continental yang didasarkan atas
kekuatan-kekuatan darat. Ini adalah fakta yang diciptakan agar suatu keseimbangan geo-strategis
dan konflik internal di antara kekuatan –kekuatan hegemonik tersebut melibas perbatasan-
perbatasan dan wilayah-wilayah Muslim, di pinggiran dan pusat Eurasia. 17 Kalaulah seluruh
wilayah Dunia Islam bersatu, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkan
sebagai negara adidaya.
Dunia Islam secara geografis menempati posisi yang strategis jalur laut dunia. Mereka
mengendalikan Selat Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat
Balb al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanelles dan Bosphorus
yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat Hormus di Teluk. Selat Malaka
merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan
masyarakat internasional akan wilayah Dunia Islam pastilah tinggi mengingat mereka harus
melewati jalur laut strategis tersebut. Di samping itu, mereka akan sulit menaklukkan negeri-
negeri Islam, karena pintu-pintu strategis laut dikuasai oleh Dunia Islam.
Negara-negara Muslim mempunyai area inti dan strategis dari Timur ke Barat, sebagaimana
meliputi wilayah strategis dari Utara ke Selatan, dari pusat Eurasia ke Laut panas melalui
Kaukasia ke Selatan dalam lingkaran Asia Tengah dan Afghanistan. Negara-negara Muslim juga
secara penuh menguasai semenanjung Arabia dan Anatolia, dan sebagian mengontrol anak benua
India dan Indo-Cina dan pulau-pulau penting seperti Siprus, Jawa, Sumatra, Borneo dan
Mandanao yang memiliki akses dari wilayah pusat Eurasia ke samudra-samudra lautan lepas.18
Kedua, faktor sumberdaya alam & energi (SDAE). Negeri-negeri Islam dianugerahi sang
Pencipta sebagai negeri-negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alamnya. Contohnya adalah
kekayaan akan sumber pangan. Negara yang memiliki sumber pangan yang besar jelas akan
memperkuat posisi negara tersebut, karena akan terhindar dari ketergantungan pada negara lain.
Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah yang subur untuk bercocok tanam pangan. Negara
yang kelangkaan pangannya permanen menjadi sumber kelemahan permanen pula dalam politik
internasional.19 Sumberdaya alam kedua yang penting adalah bahan mentah. Dunia Islam
mengendalikan cadangan minyak dunia (60%), boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%),
strontium (27%), dan tin ( 22%). Di antara bahan mentah tersebut, minyak memiliki posisi yang
sangat strategis. Sejak Perang Dunia I, minyak merupakan sumber energi yang sangat penting
17 Mohammad Safari, COMES : Center for Middle East Studies/www.infopalestina.com 18 Mohammad Safari, ibidem. 19 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, terj. hlm.175
12
untuk industri dan perang; seperti kata Clemenceau pada waktu Perang Dunia I, “Setetes minyak
sama nilainya dengan setetes darah prajurit kita.”
Munculnya minyak sebagai bahan mentah yang mutlak diperlukan telah menimbulkan
pergeseran dalam kekuatan relatif negara-negara yang secara politis terkemuka. Uni Soviet (masa
komunis) menjadi demikian kuat sejak negeri itu berswasembada minyak. Sebaliknya, Jepang
semakin melemah saat itu karena tidak mengandung endapan minyak.20 Kekuatan minyak ini
pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo
tersebut mampu menimbulkan keguncangan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
saat itu.
Ketiga, faktor jumlah penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah satu-satunya faktor
pendukung kekuatan sebuah negara. Hanya saja, seperti yang ditulis oleh H.J.Morgenthau, tidak
ada negara yang dapat tetap atau menjadi kekuatan tingkat pertama jika negara tersebut tidak
tergolong sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak di dunia. Tanpa
penduduk yang banyak tidak mungkin suatu negara mendirikan dan terus menjalankan pabrik
industri yang diperlukan untuk melaksankan perang modern dengan berhasil. 21
Penduduk AS yang berjumlah 278.058.881 jiwa (CIA The World Factbook) jelas menjadi salah
satu faktor kekuatan negara tersebut. Kalaulah Dunia Islam bersatu di seluruh dunia, jumlah
penduduknya tentu sangat luar biasa. Saat ini Dunia Islam jumlah penduduknya lebih kurang 1
miliar atau 20% dari populasi di dunia.
Gambar 3. Perbandingan Populasi Dunia22
V. KONDISI GEOPOLITIK DUNIA ISLAM
Meskipun potensi Dunia Islam sangat besar, namun ternyata di dalam batas-batas
parameter yang digunakan oleh Sistem Internasional saat ini, sangat sukar untuk berargumentasi
20 Hans J. Morgenthau, ibidem, terj. hlm. 178 21 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, terj. hlm.192 22 http://www.sesrtcic.org/imgs/news/Image
13
bahwa dunia Islam mampu membangun sebuah strategi global independent sebagai kekuatan
anti-sistemik di dalam keterlibatannya dengan sistem dunia. Kenyataannya, mayoritas Negara-
negara Muslim mempunyai ranking paling bawah di dalam tatanan sistem dunia. Bisa dilihat dari
3 (tiga) parameter berikut :
1) Pertumbuhan Ekonomi Dunia Islam
Menurut laporan yang dikeluarkan CIA the World Factbook dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC, produk domestik bruto (GDP) Dunia
Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara dengan 9,14% GDP dunia. Sebagai
perbandingan, GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.
Jika dibagi dengan penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/kapita
sebesar US$ 4.454/tahun; atau dengan kurs sekarang berarti setara dengan Rp 3,3 juta/orang
perbulan. Namun, distribusi harta ini amat tidak merata. GDP/kapita tertinggi diraih Uni-
Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terendah di Somalia (US$
600/tahun (Rp 450.000/bulan).
Di dalam parameter pertumbuhan ekonomi memang ada perbedaan cukup tajam antara
kawasan Timur Tengah dengan kawasan lainnya, khususnya kawasan Afrika. Disebabkan
kawasan Timur Tengah menjadi sumber terbesar minyak dunia, sehingga sebagian negaranya
meraih pendapatan nasional yang besar karena ekspor minyak.
Tetapi tetap saja berdasarkan kelompok negara, Rata-rata GDP negeri-negeri Islam masih
tertinggal jauh dengan kelompok negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development) yang terdiri dari 30 negara maju sekaligus negara industri, juga masih tertinggal dari
kelompok negara Uni Eropa (sebanyak 15 negara).
Gambar 4. Rata-rata PDB Riil berdasarkan Kelompok Negara23
23 http://www.sesrtcic.org/imgs/news/Image/indicator_GDP_final.pdf
14
Fakta ini menunjukkan bahwa faktor kekayaan SDAE di dunia Islam sama sekali tidak
berkorelasi pada tingkat pertumbuhan ekonominya yang terlihat dari pendapatan nasionalnya.
Bahkan karena parameter pertumbuhan ekonomi ini juga, hampir semua negara-negara Islam
digolongkan sebagai negara berkembang yang ciri-cirinya adalah :
• Standar hidup relatif rendah
• Sektor industri yang kurang berkembang
• Skor Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) berada pada
tingkat menengah ke bawah
• Rendahnya pendapatan perkapita
Sebaliknya, justru fakta di atas sekaligus menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara
pendapatan nasional dengan kemapanan sistem industri suatu negara. Kebanyakan negeri-negeri
Islam tidak memiliki sektor industri yang mapan, sementara bisa dilihat rata-rata negara industri
maju yaitu Barat memiliki pendapatan nasional yang tinggi, meskipun kekayaan alam mereka
tidak sebanyak Dunia Islam.
Gambar 5. Peta Sebaran Negara Maju dan Negara Berkembang
Dari peta di atas, bisa dilihat hampir semua negeri-negeri Muslim termasuk negara yang
sedang berkembang. Kenapa bisa demikian? Karena Dunia Islam telah tertinggal jauh dari
15
negara-negara industri di dunia. Sementara Barat telah melewati fase industrialisasi 150 tahun
yang lalu, Dunia Islam tetap ter-“deindustrialisasi” secara besar-besaran. Hal inilah yang
menyebabkan kenapa tingkat pertumbuhan ekonomi Dunia Islam selalu jauh tertinggal
dibandingkan dengan dengan negara-negara maju.
Industrialisasi bisa diartikan sebagai keadaan dimana sebuah perekonomian dilengkapi
dengan mesin/pabrik, yang kemudian hal tersebut menjadi stimulus bagi sektor-sektor lain
perekonomian. Contohnya adalah Kerajaan Inggris, yang memusatkan manufaktur pada
perekonomiannya, industri perkapalan, amunisi dan pertambangan yang mendorong Inggris
menjadi sebuah kekuatan global yang mempunyai kemampuan mobilisasi perang dan penjajahan
yang cepat. Di saat perdamaian, industri-industri tersebut dipakai untuk kepentingan masyarakat.
Hal ini adalah alasan fundamental bagi setiap bangsa yang menginginkan industrialisasi.
Mempunyai dasar industri membuat sebuah bangsa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan
mandiri dari bangsa lainnya. Tanpa industrialisasi suatu bangsa akan tergantung secara politik dan
ekonomi pada negara lain dalam kebutuhan-kebutuhan vital seperti pertahanan, industri dan
produktivitas perekonomian.
2) Energi Security Dunia Islam
Kenaikan harga minyak yang selalu mengancam stabilitas ekonomi, politik dan sosial semakin
membuktikan bahwa minyak merupakan faktor yang fundamental bagi setiap negara, dimana saat
ini dunia sudah tidak bisa lepas dari ketergantungan bahan bakar fosil (energi primer – non
renewable energy). Kondisi ini mendorong negara untuk selalu berusaha memperoleh jaminan akses
energi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan
konsep keamanan energi atau energy security.
Terkait dengan Energy Security, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa kawasan
Dunia Islam memiliki potensi SDAE (Sumber Daya Alam dan Energi) yang luar biasa. Sumber-
sumber minyak dunia hampir seluruhnya berada di kawasan Dunia Islam yang rawan konflik:
Timur-tengah, Afrika, Asia Tengah dan sejumlah wilayah di Asia Timur.
16
Gambar 6. Lokasi Cadangan Minyak Dunia24
Akan tetapi meski Dunia Islam memiliki tingkat energy security yang tinggi, yang terjadi
sebenarnya energi itu tidak dikonsumsi sendiri oleh Dunia Islam, melainkan oleh negara-negara
industri besar seperti Amerika Serikat, dll untuk kebutuhan industri raksasa mereka. Sementara
Dunia Islam hanya sekedar menjadi pensuplai bahan bakar untuk sistem Industri mereka.
Gambar 7. Konsumsi Minyak Dunia25
24 http://www.pbs.org/frontlineworld/stories/colombia/oilb.html 25 http://www.pbs.org/frontlineworld/stories/colombia/oilb.html
17
Bagi seorang pengamat yang netral, adalah mengejutkan jika Dunia Islam, yang
mempunyai berbagai hasil tambang dan sumberdaya yang melimpah, sangatlah miskin dan gagal
berindustrialisasi. Sebagai contoh, Irak saja mempunyai 10% cadangan minyak dunia. Juga
sebuah fakta yang tidak aneh bahwa Kuwait juga memiliki 10% cadangan minyak dunia. Dengan
mempelajari semua kejadian pada semua negara tersebut, yang membentuk Dunia Islam seperti
Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan, Indonesia dan Malaysia, sangatlah jelas terlihat sederet
kesalahan dan contoh kesalahan manajemen perekonomian yang luas.
Negara-negara Arab tidak pernah mengembangkan industri manufaktur, meskipun dalam
sektor perminyakan, dikarenakan keinginan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang ingin
mengontrol penyulingan minyak mentah dan melalui kemampuannya mengontrol produksi
minyak dan negara-negara penghasil minyak. Pada tahun 2006 Timur Tengah memproduksi
31,2% minyak mentah dunia. Hanya 3,2% yang diolah di kawasan tersebut. Indonesia selama
tahun 1980-an dan 1990-an meliberalisasikan perekonomiannya dan membuka semuanya bagi
investasi asing, yang menimbulkan Krisis Asia pada tahun 1997, yang sampai sekarang masih
belum pulih. Saat ini mereka terlilit utang lebih dari 140 miliar dolar.
3) Geostrategic Insecurity Dunia Islam
Ketika didefinisikan ketidakamanan geostrategis suatu negara itu adalah sebagai absennya
kedalaman strategi, kekurangan sumberdaya alam, kondisi demografis yang asimetris, dan
semakin jauhnya keterlibatan peran negara adidaya dikarenakan terciptanya kondisi
ketidakpastian keamanan yang ditandai dengan hadirnya multi ancaman di kawasan secara
kontinyu. Maka faktor dominan yang menyebabkan geostrategic insecurity di Dunia Islam ada dua
faktor yaitu :
• Absennya kedalaman strategi; yang diakibatkan lemahnya kepemimpinan politik
Dunia Islam
• Keterlibatan penuh negara adidaya dalam menjalankan operasi-operasi ekonomi dan
militernya di negara-negara dunia Islam
Dari pemetaan Dunia Islam, sebagian besar kawasan Dunia Islam adalah kawasan rawan
konflik, dimana Negara-negara pemilik kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) sistemik,
cenderung menjalankan operasi-operasi strategis dan militer di dalam area-area konflik yang
selalu terjadi di wilayah dunia Islam. Kawasan dunia Islam yang agak sepi konflik dan relatif
damai hanya di wilayah Asia Tenggara, selebihnya adalah kawasan konflik dengan intensitas
tinggi.
18
Bahkan kawasan Timur Tengah dan Eurasia, merupakan wilayah paling dinamis di dunia.
Wilayah ini mencakup sepanjang batas-batas blok bangsa-bangsa Muslim dari Afrika ke Asia
Tengah. Kekacauan dan kejahatan politik selalu terjadi terhadap bangsa-bangsa Muslim. Kaum
ortodok Serbia di Negara-negara Balkan, Yahudi di Palestina, Hindu di India, Budha di Birma
dan Katolik di Pilipina. Paska runtuhnya kekhalifahan Otoman, Islam memiliki batas-batas yang
berdarah. Karena itu, koneksi militer Islam dan Konfusian muncul sebagai jawaban terhadap
ketidakseimbangan kekuatan-kekuatan politik-militer global. Koneksi ini didisain untuk
mempromosikan akuisisi oleh anggota-anggotanya dalam teknologi persenjataan yang
dibutuhkan untuk menghadapi kekuatan militer dari Barat. Sebuah bentuk baru kompetisi militer
terjadi antara Negara-negara Islam-Konfusian dan Aliansi Barat.
Invasi ke Afghanistan dan Irak, ancaman militer terhadap Iran, Libya dan Suriah,
tuduhan kepada Saudi Arabia sebagai biang terrorist dan ditundanya Turki masuk ke Uni Eropa
merupakan upaya Barat untuk menghancurkan koneksi strategis Islam-Konfusian. Sehingga
diperlukan kajian dan observasi yang lebih sungguh-sungguh tentang realitas politik yang ada
terhadap posisi strategis dunia Islam paska invasi AS ke Irak dan Afghanistan.
Tampaknya konsolidasi kekuatan koneksi Negara-negara Islam-Konfusian dipandang
berbahaya bagi kekuatan-kekuatan hegemonik maritime dan darat yang kini membangun aliansi
TRANS-ATLANTIK. Hal itu secara praktis bermakna kontrol strategis terhadap Negara-negara
Muslim disebabkan Negara-negara Muslim mempunyai area inti dan strategis dari Timur ke
Barat, sebagaimana meliputi wilayah strategis dari Utara ke Selatan, dari pusat Eurasia ke Laut
panas melalui Kaukasia ke Selatan dalam lingkaran Asia Tengah dan Afghanistan. Negara-negara
Muslim juga secara penuh menguasai semenanjung Arabia dan Anatolia, dan sebagian
mengontrol anak benua India dan Indo-Cina dan pulau-pulau penting seperti Siprus, Jawa,
Sumatra, Borneo dan Mandanao yang memiliki akses dari wilayah pusat Eurasia ke samudra-
samudra lautan lepas.
Disisi lain, kekuatan Konfusian di bawah kendali Cina tampil dan berkembang secara
mengesankan, baik secara ekonomi, militer maupun budaya. Tampaknya, gabungan continental
Cina dan dunia Islam boleh jadi akan melahirkan konsolidasi strategis yang dapat mengganggu
kenyamanan kekuasaan hegemonik Negara-negara besar saat ini.26
VI. KERANGKA TEORITIK POLITIK LUAR NEGERI
Telah dipahami oleh hampir seluruh pakar ilmu politik, termasuk ilmu politik luarnegeri
bahwa pemikiran politik modern yang maju dan berkembang di dunia Barat Modern adalah
26 Mohammad Safari, KURBAN PERTARUNGAN GEO-POLITIK GLOBAL, COMES ( Center of Middle East Studies)
19
Machiavellisme. Sebuah teori politik yang berusaha melepaskan etika27, dan mendewakan
kepentingan. Pengaruh Machiavellis di Barat sudah berumur lebih dari 500 tahun lebih28.
Sehingga analisis politik selalu berputar pada kepentingan apa dan oleh siapa. Namun dalam
tulisan ini memang sengaja tidak menggunakan teori kepentingan tersebut sebagai landasannya.
Menurut hemat penulis dibutuhkan analisis yang berbeda untuk bisa mengurai perangai politik
luar negeri sebuah bangsa, terutama Barat. Berbeda dalam arti lebih tajam dan lebih tepat.
Berbeda juga dalam arti lebih obyektif.
Obyektifitas ini, akan lebih mudah tercapai apabila tidak terpaku pada analisis yang
dikembangkan para pemikir Barat. Mengapa ? Karena yang hendak dikaji adalah pola dan model
peradaban Barat. Akan menjadi bias kalau kemudian menggunakan analisis yang lahir dari
worldview Barat. Boleh dikatakan bahwa Barat akan lebih nampak jelas gambaran keseluruhannya
apabila diamati oleh pemikir yang bukan penganut aliran-aliran pemikiran Barat (Sebuah pola
yang selama ini juga sering dipakai oleh pemikir Barat Sekuler dalam melihat Islam). Seberapa
tinggi tingkat obyektifitassannya dan seberapa tepat tingkat kebenarannya tentunya dikembalikan
kembali kepada fakta dan sejarah Barat itu sendiri.
Tidak banyak pemikir Islam yang mampu melepaskan diri dari hegemoni pemikiran Barat
ketika melihat Barat ( lebih banyak yang terhegemoni Barat dalam melihat Islam ). Walaupun
demikian sampai saat ini paling tidak terdapat dua mazhab pemikiran ( bukan mazhab fiqh ) yang
bisa dianggap mampu melepaskan diri dari hegemoni pemikiran Barat. Pertama adalah mazhab
yang dipelopori oleh Syed Naquib al Attas dan kedua adalah mazhab yang dipelopori oleh Syekh
Taqiyuddin An Nabhani. Keduanya mampu memotret Barat secara tepat dan jitu29. Sebagai
seorang pemikir Islam, keduanya berusaha menelaah dan berbicara tentang semua aspek
peradaban, namun Mazhab Al Attas memberikan porsi yang amat banyak untuk persoalan
filsafat Islam dan pendidikan, sedang Mazhab An Nabhani pada memberikan porsi yang sangat
banyak pada persoalan politik dan ekonomi.
Terkait persoalan poltik luar negeri, salah satu metode yang bisa digunakan adalah apa
yang diusulkan oleh Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya yang berjudul Mafahim Siyasiyah Li
Hizbittahrir. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Konsepsi
Politik Islam”. Dalam buku ini Nabhani memperkenalkan istilah fikrah, thariqah, khittah siyasi dan
uslub siyasi30 dalam membaca pergerakan dan dinamika politik luarnegeri suatu bangsa/peradaban,
27 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Hal 19 28 Quentin Skinner, Macchiavelli A Very Short Introduction, Oxford University Press, 2000 29 Potret Al Attas atas Barat bisa di baca pada buku Islam dan Sekulerisme, sedang potret An Nabhani atas Barat bisa dibaca pada buku Peraturan Hidup Dalam Islam. 30 An Nabhani, Konsepsi Politik Islam, HTI Press, hal 18
20
termasuk Barat, termasuk Islam. Bagaimana contoh-contoh analisisnya banyak dipaparkan dalam
buku tersebut. Mulai dari pergerakan AS, Eropa, Asia dan sebagainya.
Kemudian beliau melanjutkan dengan pemetaan posisi negara-negara di dunia
berdasarkan ideologi yang dianut dan upaya penyebaran ideologinya. Salah satu contoh yang
disebutkan dalam buku tersebut bahwa negara seperti AS disebut dengan negara kesatu, dengan
kriteria , karena secara pasti AS mengemban ideologi dan secara pasti pula mengembannya
keseluruh dunia. Namun China belum bisa disebut negara kesatu, karena meskipun menganut
ideologi khas ( Komunisme ), Cina belum menampakkan agresifitasnya dalam menyebarkan
komunisme di dunia31.
Dapat dibaca pada buku ini bahwa An Nabhani sama sekali tidak menggunakan kerangka
teoritis analisis hubungan politik luar negeri ala Barat. Bisa dibuktikan dengan
membandingkannya dengan literature yang disusun para pemikir Barat. Salah satu yang bisa
dikaji adalah buku yang berjudul Introduction to International Relations, tulisan Robert Jackson dan
Georg Sorensen. Buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press, 1999 dan diterjemahkan oleh
Pustaka Pelajar dengan judul Pengantar Studi Hubungan Internasioanal, pada tahun 2005. Sorensen (
2005 ) menyebutkan bahwa hubungan internasional dapat dianalisis dengan menggunakan 4 teori
pendekatan, yaitu : Realisme, Liberalisme, Masyarakat Internasional dan Ekonomi Politik
Internasional32. Dapat disimpulkan pula dari Sorensen (2005) bahwa teori tentang Hubungan
Internasional yang dianut oleh Barat kebanyakan lahir dari pengalaman dan sejarah Barat sendiri.
Dengan kata lain artinya bukan sesuatu yang bersifat universal. Wajar jika kemudian kerangka
teroritik yang dibangun tersebut selanjutnya sering digunakan untuk memahami politik luarnegeri
Barat. Namun yang bisa menimbulkan persoalan adalah jika teori tersebut juga digunakan untuk
memetakan dunia Islam. Dengan demikian bisa dipahami kalau An Nabhani lebih memilih untuk
membangun kerangka analisis sendiri. Dimana inti analisis yang ditawarkan adalah memandang
dunia berbasiskan pergerakan Ideologi, bukan yang lain.
Sistematika metode yang ditawarkan an Nabhani adalah sebagai berikut :
Langkah pertama adalah dengan memahami mana yang merupakan fikrah (konsep
utama dan dominan), thariqah (metode baku dalam mewujudkan konsep ), khittah siyasi ( rencana
strategis, tidak baku dalam mewujudkan konsep ) dan uslub siyasi ( implementasi teknis dalam
mewujudkan konsep ) yang diemban oleh sebuah peradaban Barat. Berbeda dengan Machiavellis
yang memahami bahwa poros aktifitas politik adalah kepentingan, Nabhani lebih percaya bahwa
31 Selain Negara kesatu, Nabhani juga menawarkan istilah Negara satelit, Negara pengikut dan sebagainya. Lebih lanjut lihat Konsepsi Politik Islam, HTI Press 32 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasioanal, Pustakan Pelajar 2005
21
poros aktifitas politik adalah ideologi33. Bagi Nabhani sebuah negara yang sadar berideologi akan
memainkan percaturan di dunia secara efektif ( apalagi bila ditopang dengan industri militer yang
kuat ) sedang negara yang tidak sadar berideologi atau bahkan tidak punya ideologi hanya akan
menjadi penggembira bahkan korban dari permainan negara yang berideologi.
Secara khusus Nabhani tidak memberikan istilah tersendiri pada model/analisis yang
ditawarkannya ini. Mungkin Analisis Politik Luarnegeri Nabhani cukup bagus untuk istilah
bagi gagasan-gagasan tersebut.
Langkah kedua adalah menempatkan berbagai peristiwa dunia dan kebijakan luarnegeri
negara-negara di dunia dalam kerangka Analisis Politik Luarnegeri Nabhani.. Terutama
menganalis berdasar kawasan. Menurut beliau terdapat 6 kawsan penting didunia yang rawan
dengan konflik antara lain Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, Anak Benua India, Timur Jauh
dan Afrika. Setiap kawasan memiliki dinamika yang berbeda. unik dan berubah-ubah. Faktor
geografisnya memang bisa jadi tetap namun bila telah berubah menjadi faktor geopolitik
dibutuhkan pengamatan secara terus-menerus terhadap kawasan-kawasan tersebut. Dalam
konteks hegemoni Barat, faktor geopolitik ini perlu dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan
Barat terutama AS. Itu semua dimungkinkan apabila secara terus-menerus pula mengikuti beragai
peristiwa di tiap-tiap kawasan.
VII. KAJIAN KEDUA : IDEOLOGI DAN HEGEMONI DUNIA BARAT
Dunia Islam telah mengalami kemunduran peran politik internasional. Peran politik
internasional sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan negara tersebut. Negara yang
lemah pasti tidak memiliki peran yang penting dalam kontelasi internasional. Negara itu hanya
menjadi pengekor atau bahkan ditindas oleh negara yang kuat. Faktor utama yang membuat
sebuah negara kuat adalah kekuatan ideologi (mabda’)-nya. Tanpa ideologi atau menjadi pengekor
ideologi asing, sebuah negara akan menjadi lemah. Lihat saja, semua negara adidaya atau yang
pernah menjadi negara adidaya pastilah merupakan negara yang dibangun di atas satu ideologi
tertentu. Contohnya adalah Uni Sovyet—sebelum runtuh—dengan ideologi sosialisme-
komunisnya, AS dengan ideologi kapitalisme-sekularnya, dan Khilafah Islamiyah pada masa lalu
dengan ideologi Islamnya.
Dengan demikian, ideologi adalah faktor dominan yang membuat sebuah negara menjadi
kuat sehingga mampu berperan secara dominan pula dalam percaturan politik internasional.
Sayang, saat ini, di Dunia Islam tidak ada satupun negara yang menjadikan Islam sebagai
33 Istilah yang biasa beliau pakai adalah Mabda, namun kalangan aktifis Islam lebih familiar menerjemahkan Mabda menjadi “Ideology”, meskipun secara akademis terjemahan bagi Mabda yang lebih tepat adalah “Worldview”
22
ideologinya sekaligus menerapkannya dalam seluruh kehidupannya. Negara-negara Muslim
sebagian besar adalah negara pengekor ideologi kapitalisme-sekular.34
Memang, tidak bisa dipungkiri, Islam sebagai ideologi secara nyata bertentangan dengan
ideologi kapitalisme yang diusung oleh AS. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh
ideologis AS adalah Islam. Islam ideologis inilah yang oleh Barat sering disebut dengan
fundamentalis, radikal, dan militan; dengan ciri-ciri utamanya adalah menolak sistem kapitalisme
dan ingin menegakkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah negara.
Henry Kesingger, dalam bukunya Diplomacy, menulis, “Kita harus mencegah Islam
fundamentalis berubah menjadi sebuah ideologi yang menentang Dunia Barat dan kita.” Hal
senada pernah diungkap oleh Willi Claes, mantan sekjen NATO, “Muslim Fundamentalis
setidak-tidaknya sama bahayanya dengan komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap
enteng risiko ini….Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme
agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”
Bahkan, Samuel Huntington tidak menyebut sebagai ancaman adalah Fundamentalisme
Islam, tetapi Islam itu sendiri. Dalam bukunya, The Clash of Civilitation and the Remaking of World
Order, ia menulis, “Problem mendasar bagi Barat bukanlah Fundamentalisme Islam, tetapi adalah
Islam sebagai sebuah peradaban yang penduduknya menyakini ketinggian kebudayaan mereka
dan dihantui oleh rendahnya kekuataan mereka.” Bush sendiri, saat mengomentari Serangan 11
September, menyatakan bahwa perang yang dilakukannya adalah Perang Salib.
Kekuatan ideologi Islam ini secara jujur diakui oleh banyak pihak. Carleton S, saat
mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600, menyatakan, “Peradaban Islam
merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah
negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera
yang lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya,
dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai
bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” 35
Hanya saja apabila melihat kondisi dunia Islam yang mengalami kemunduran, akan
menimbulkan pertanyaan, dimana ideologi Islam ? Mengapa umat Islam kalah dalam percaturan
politik internasional ? Untuk menjawabnya, terdapat dua aspek yang perlu dilihat. Aspek pertama
adalah umat Islam sendiri dan kedua adalah pergerakan politik yang dimainkan oleh negara-
negara Barat.
Jika yang pertama telah banyak dibahas ( salah satunya melalui pisau analisis geopolitik di
atas ), maka untuk yang kedua dibutuhkan penelaahan yang tidak kalah pentingnya. Dalam hal ini 34 Farid Wadjdi, Menyatukan Kekuatan Dunia Islam, www.farid1924.wordpress.com 35 Ceramahnya tanggal 26 September 2001, dengan judul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next”
23
umat Islam menjadi perlu untuk melakukan kontak dengan peristiwa-peristiwa di dunia,
menyadari keadaan-keadaan negara-negara di dunia, memahami problem-problemnya,
mengungkap motif-motif mereka dan mengikuti aktifitas-aktifitas mereka, khususnya di dunia
Islam. Kemudian dapat menempatkannya dalam kerangka Analisis Politik Luarnegeri
Nabhani sebagai salah satu metode untuk bisa memahami gerak dan menemukan kelemahan
Barat. Berikut ini adalah contoh untuk pergerakan politik luar negeri hegemonik Amerika Serikat.
a. Fikrah, Konsep utama dan dominan dalam negara,
• Sekulerisme yang melahirkan Kapitalisme adalah ideologi sekaligus fikrah utama
dari Barat, termasuk AS. Meskipun mayoritas Nasrani, namun wajah Peradaban
Barat/AS adalah Sekuler-Kapitalistik, bukan Nasrani. Bahkan Kristenpun telah
tersekulerkan. Bukan hanya itu, bisa dikatakan pula bahwa Sekuler-Kapitalistik
adalah keniscayaan bagi Barat Modern, terutama pasca kegagalan hegemoni gereja
di masa kegelapan36.
• Salah satu konsep yang kemudian lahir dari sekulerisme yang cukup penting
adalah Demokrasi. Gagasan yang mengalihkan kedaulatan kepada rakyat ini,
terbukti cukup efektif sebagai alat bagi AS untuk mengendalikan negara-negara
lain.
b. Thariqah, Metode baku dalam mewujudkan konsep,
• Penyebaran konsep sekulerisme dalam satu kesempatan akan berujung pada
imperialisme atau penjajahan. Contohnya adalah penebaran salah satu konsep
turunan sekuerisme yaitu semangat kemerdekaan nasional, di antara wilayah-
wilayah bekas jajahan Inggris atau Perancis. Banyaknya negara bangsa yang lahir
atas semangat tersebut memudahkan bagi AS untuk mendepak Eropa sekaligus
menciptakan ketergantungan terhadap AS. Penyedotan SDA terutama minyak
di negara-negara Timur Tengah secara langsung tanpa ada gangguan adalah
buktinya. Bahkan menjadi salah satu tujuan penting hadirnya AS di kawasan itu.
Minyak merupakan harga mati bagi AS, mengingat kebutuhan energi AS yang
amat besar hanya bisa dipenuhi apabila pasokan dari wilayah Timur Tengah tetap
terkendali.
• Contoh yang lainnya adalah memainkan posisi37 WTO, IMF dan World Bank,
dalam membangun kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan
perekonomian AS. Penebaran kebijakan-kebijakan Neoliberalisme melalui ketiga
36 Baca “Mengapa Barat Menjadi Sekuler ?” dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, GIP 37 Baca I. Wahono, Neoliberalisme, Pustaka Cindelaras 2003
24
lembaga tersebut terbukti cukup ampuh dalam membuka pasar dunia ketiga bagi
produk-produk AS.
• Dalam kesempatan lain AS menggunakan imperialisme sebagai sarana untuk
menebarkan gagasan-gagasannya. Kasus ini bisa dilihat pada invasi AS ke Iraq
dan Afghanistan. Berbagai kesepakatan pasca jatuhnya Baghdad ke AS berujuang
pada implementasi konsep-konsep demokrasi. Tentu saja proses demokrasi yang
bisa memastikan terpilihnya atau naiknya pemimpin yang pro AS.
c. Khittah Siyasi, Metode tidak baku dalam mewujudkan konsep, berbentuk rencana strategis.
Bisa dibaca bahwa AS memainkan khittah siyasi yang berbeda untuk kawasan-kawasan
yang ada. Meskipun tujuannya adalah satu, yaitu penguasaan atau penjajahan.
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut :
• Menciptakan instabilitas di Timur Tengah, mencegah munculnya rasa aman
diantara negara kawasan Timur Tengah. Membiarkan Israel tetap berdiri di
tengah bangsa Arab, sembari memastikan Iran tetap membahayakan bagi Israel
dan Arab Saudi. Sehingga akhirnya baik Israel, Iran, Saudi dan lain-lain tetap
butuh AS
• Menciptakan instabilitas di anak benua India. Membiarkan Al Qaidah, Osama bin
Laden dan Taliban tetap eksis, diantara Afghanistan, Pakistan dan India. Sekaligus
pekerjaan rumah ketiga negara tersebut. Sehingga ketiganya butuh AS untuk di
wilayahnya.
• Mencegah bersatunya kembali Malaysia dan Indonesia sebagai kekuatan dunia
Islam yang amat besar. Kedua kawasan tersebut berpotensi sebagai tempat
alternatif lahirnya kebangkitan Islam. Potensi tersebut muncul akibat proses
demokratisasi yang disambut gegap gempita di wilayah tersebut, hanya saja proses
tersebut dicegah jangan sampai melahirkan kebangkitan Islam yang hakiki.
• Memecah-belah ala Neoliberalisme. Setelah berhasil memecah-belah dunia Islam
menjadi negara bangsa, dilanjutkan dengan memecah lagi negara bangsa melalui
konsep otonomi daerah. Tidak hanya itu, upaya memecah-belah juga diterapkan
dalam bidang listrik ( memprivatisasi sektor pembangkitan, transmisi, distribusi
dan konsumen ). Sektor sumber daya air juga tidak ketinggalan, yaitu dengan cara
memisahkan sektor hulu, aliran dan hilir sungai.
d. Uslub Siyasi, Langkah teknis dalam mewujudkan konsep, biasanya mengikuti khittah siyasinya.
Hal yang selalu mudah berubah adalah uslub siyasi yang diterapkan oleh negara-negara
yang berpengaruh di dunia. Sehingga dibutuhkan pengamatan secara terus-menerus.
25
• Untuk khittah siyasi “Menciptakan instabilitas di Timur Tengah”, AS menjalankan
uslub siyasinya dengan cara :
i. Solusi Palestina adalah dua negara, dalam hal ini untuk memastikan
eksistensi Negara Israel di tengah-tengah bangsa Arab.
ii. Membiarkan Presiden Ahmadinejad berbicara soal illusi Holocaust
Yahudi oleh Nazi. Hal ini berakibat kegusaran di Israel
iii. Memberi angin positif bagi terpilihnya kembali Ahmadinejad
• Untuk khittah siyasi “Mencegah bersatunya Malaysia dan Indonesia”, AS
menjalankan uslub siyasinya dengan cara :
i. Mengangkat isu pelanggaran wilayah, salah satunya Ambalat
ii. Mengangkat kasus penganiyaan perempuan, baik artis ataupun TKW
iii. Mengangkat isu klaim atas hasil karya seni dan budaya.
• Untuk khittah siyasi “Memecah-belah ala Neoliberalisme”, AS menjalankan uslub
siyasinya dengan cara :
i. Mengucurkan dana yang besar untuk penelitian tentang Otonomi Daerah.
ii. Membantu penyusunan draft UU Ketenagalistrikan di Indonesia
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
Apa yang bisa ditarik dalam melihat hubungan / korelasi antara pertumbuhan ekonomi,
keamanan energi dan ketidakamanan geostrategis di Dunia Islam, adalah akan tampaknya sebuah
profil dari kawasan dunia yang menjadi sekedar objek kepentingan dari negara-negara Barat.
Dalam konteks ini, dunia Islam dijadikan kurban atau dikurbankan demi memuaskan ambisi-
ambisi global kekuatan-kekuatan super power dan hegemonik Negara-negara Barat.
Gabungan interaksi antara pertumbuhan ekonomi yang rendah karena lemahnya
perindustrian di Dunia Islam, juga potret kekayaan Energi yang berlimpah tetapi ternyata tidak
mampu diolah dan dikonsumsi sendiri oleh negeri-negeri Islam, serta profil kawasan rawan
konflik yang paling tinggi intensitasnya di dunia.
Pola geostrategi Dunia Islam seperti ini menunjukkan telah terjadi kevakuman geopolitik
di Dunia Islam, yaitu miskinnya visi politik dan arah yang jelas di wilayah Muslim dan kekukuhan
pemimpin Muslim yang lebih banyak menerapkan kebijakan untuk mengejar target jangka
pendek yang pragmatis dan tidak memiliki arah Ideologi yang jelas.
Kepemimpinan geopolitik yang lemah ini sejatinya terjadi sejak saat paham nasionalisme
masuk ke dunia Islam – seperti yang telah diceritakan Ajid Thohir dalam bukunya yang berjudul
26
Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik. Yaitu saat dunia Islam tidak lagi
bersatu dengan kepemimpinan politik tunggal.
Hanya saja, kepemimpinan tunggal yang diharapkan jadi kutup baru kekuatan dunia
tersebut akan membutuhkan negarawan-negarawan yang lahir dari lingkungan politik yang secara
sadar diciptakan. Negarawan yang dibutuhkan adalah yang siap membangun tegaknya kembali
poros baru dan sekaligus mampu menjalankannya. Sehingga upaya mencetak negarawan menjadi
prioritas bagi perjuangan membebaskan dunia Islam dara cengkeraman dunia Barat.
Negarawan tersebut adalah adalah sosok yang memiliki kesadaran politik yang matang.
Kesadaran politik tersebut bermakna kemampuan untuk memandang dunia secara keseluruhan
dengan sudut pandang yang khas ( baca worldview/mabda ). Kemampuan memandang dunia secara
keseluruhan dilakukan dengan selalu meluaskan cakrawala dengan mengikuti peristiwa-peristiwa
di dunia secara terus-menerus. Sedangkan sudut pandang yang khas bagi seorang muslim adalah
Aqidah Islam itu sendiri, yang termanifestasi dalam kalimat syahadat. Hal tersebut seharusnya
menjadi santapan sehari-hari bagi setiap politisi muslim.
Lebih lanjut lagi, pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia tidak hanya sebagai
pemuas pengetahuan semata namun perlu dibingkai dengan analisis yang lebih sistemik, yaitu
fikrah, thariqah, khittah siyasi, dan uslub siyasi. Analisis ini dibutuhkan untuk membaca gerak
musuh-musuh Islam sekaligus untuk membangun gerak politik luarnegeri Khilafah Islam di masa
yang akan datang. Insya Allah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Calder, Kent. E., Asia’s Deadly Triangle Segitiga Maut Asia (Jakarta : PT. Prenhallindo, 1998) Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta : CV.
Qalam, 2003) Wahono, Ignatius,. Neoliberalisme, Pustaka Cindelaras 2003 Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, Buku Pertama (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
1990) Nabhani, T., Konsepsi Politik Islam, HTI Press, 2006 Purbo, Dirgo D., Makalah “Energy Security” Merupakan Faktor Strategis untuk Visi Indonesia
2030 Purbo, Dirgo D., Pengamanan Sumber Energi Merupakan Bagian Terpenting dari Grand Strategy
Ketahanan Nasional, (Jurnal Paskal no.3 tahun 2003) Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasioanal, ( Pustaka Pelajar 2005) Rustam, Sumbangan Batubara Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional, (Jakarta : Pasca Sarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional UI, 2002) Raska, Michael., Working Paper :The Revolution in Military Affairs and Security of Small States : Israel’s RMA Trajectory and Force Modernization Programs (1995-2008), (Singapura : Lee Kuan Yew School of Public Policy, 2009) Skinner, Q., Macchiavelli A Very Short Introduction, Oxford University Press, 2000 Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik (Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada, 2009) Todaro & Smith, Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga, Edisi ke Delapan, Jilid 1, (Jakarta : Erlangga, 2003)