Upload
angga-harvinda
View
79
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PPH final fix
Citation preview
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri konstruksi Indonesia terbukti bertahan dari hantaman krisis moneter
di tahun 1998 dan krisis global di tahun 2008. Kegiatan pembangunan masih saja
berlangsung di seluruh wilayah Indonesia, baik yang dilakukan oleh pemerintah,
swasta, maupun pribadi. Bahkan dewasa ini, perkembangan industri konstruksi
Indonesia telah mencapai tahap yang sangat menjanjikan. Fakta tersebut
dikonfirmasi oleh Business Monitoring International yang memasukkan Indonesia
kedalam daftar negara-negara Asia dengan pertumbuhan industri konstruksi
tercepat selama periode 2006-2010 (Strategis Manajemen..., 2012).
Di Indonesia industri konstruksi dibedakan secara jelas menjadi Usaha Jasa
Konstruksi, yaitu merupakan bagian dari industri konstruksi yang bergerak dalam
kegiatan jasanya dan industri manufaktur yang menunjang kegiatan usaha jasa
konstruksi (Sutjipto, 2001, p. 11). Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi
mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi
menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang
berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan
perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Kajian
Implementasi..., 2012). Melalui sektor inilah, kemajuan pembangunan Indonesia
secara fisik dapat dilihat secara langsung. Keberadaan gedung-gedung tinggi,
jembatan, jalan tol, sarana telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya adalah hal-
hal aktual yang menandakan denyut perekonomian Indonesia. Oleh karena itu,
jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya
dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh
struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas (Kajian Implementasi..., 2012).
Selain berperan strategis dalam pembangunan nasional, usaha jasa
konstruksi juga memiliki dampak penting yang disebut multiplier effect. Efek
2
Universitas Indonesia
multiply yang dimiliki usaha jasa konstruksi dapat digambarkan dalam sebuah
ilustrasi sebagai berikut. Suatu proyek pembangunan gedung misalnya, dapat
menyerap puluhan bahkan ratusan buruh bangunan termasuk tenaga ahli dari
beragam spesifikasi. Proyek tersebut juga membutuhkan alat-alat pertukangan,
alat-alat berat, serta material bangunan. Terlebih lagi, proyek gedung tersebut
akan menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitar lokasi proyek akibat
adanya berbagai transaksi ekonomi antara pekerja proyek dengan masyarakat.
“Di daerah dibangun proyek jalan atau gedung, maka kampung sekitar akan buka toko, akan buka kos-kosan, atau apa karena banyak karyawan. Karyawan butuh makan maka muncul rumah makan. Karyawan nggak bisa pulang akhirnya daerah situ ada kontrakan. Atau catering jadi yang menyiapkan makanan di proyek. Konstruksi membuka lapangan kerja baru dan membuka usaha transportasi misalnya ojek atau persewaan mobil untuk nganterin karyawan. Inilah multiplier effect. Proyek ini bergulir ke yang lain sampe tukang jamu pun akan datang kesitu kalo para karyawan lagi capek. Orang disitu jadi punya kerja, pengangguran otomatis berkurang minimal tenaga kasarnya lah. Kan tenaga kasar mesti diambil dari lokasi sekitar, kalo dari Jakarta kan mahal, nggak sesuai dengan biayanya. Dapet gaji lumayan daripada nyangkul. Kira-kira multiplier effect seperti itu. Akan menyebabkan perekonomian bergulir. Polisi aja dapet ikut jaga. Semua akan bergerak pada akhirnya.” (Wawancara dengan Haryo Wibisono, 3 Mei 2012)
Usaha jasa konstruksi terbukti berperan penting, baik sebagai penunjang
pembangunan nasional maupun penggerak roda perekonomian. Potensi ekonomi
usaha jasa konstruksi Indonesia di masa mendatang juga terbukti masih
menjanjikan. Berdasarkan data Global Construction Perspectives and Oxford
Economics, Indonesia ditempatkan sebagai salah satu dari 15 pasar konstruksi
terbesar di tahun 2010 dan 2020. Di tahun 2010, pasar konstruksi Indonesia
menempati peringkat ke-12 dari 15 negara dengan kue persentase sebesar 3%.
3
Universitas Indonesia
Gambar 1.1
15 Largest Construction Markets in 2010
Sumber: Global Construction Perspectives and Oxford Economics
(www.multivu.prnewswire.com)
Sedangkan di tahun 2020, pasar konstruksi Indonesia diperkirakan menempati
peringkat ke-6 dari 15 negara dengan kue persentase sebesar 3%.
Gambar 1.2
15 Largest Construction Markets in 2020
Sumber: Global Construction Perspectives and Oxford Economics
(www.multivu.prnewswire.com)
Temuan Global Construction Perspectives and Oxford Economics ini
sejalan dengan temuan majalah The Economist yang dikemukakan kembali oleh
Ralph R. Peterson dalam Meeting The Challenges of The Next Century. Peterson
menyatakan bahwa Indonesia akan menggantikan posisi Perancis sebagai negara
ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang (Sitanggang, 2001).
4
Universitas Indonesia
Jika prediksi ini terwujud, volume transaksi usaha jasa konstruksi pun akan
semakin berkembang.
Prediksi dari pelaku usaha jasa konstruksi dalam negeri pun menunjukkan
tren positif. Menurut Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia
(Gapensi), nilai pasar konstruksi Indonesia diproyeksikan mencapai 270 triliun
rupiah untuk tahun 2012 ini. Proyeksi ini didukung dengan semakin
membanjirnya proyek infrastruktur yang siap digarap, baik proyek pemerintah,
BUMN, maupun swasta (Jasa Konstruksi..., 2012).
Berkembangnya pasar jasa konstruksi Indonesia juga seiring dengan
komitmen pemerintah dalam mendorong penyediaan infrastruktur nasional.
Komitmen pemerintah tersebut salah satunya tertuang dalam program MP3EI atau
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(Peluncuran Masterplan..., 2011). Program MP3EI menawarkan banyak proyek
konstruksi dengan nilai sedikitnya ratusan miliar rupiah. Beberapa proyek yang
ditawarkan pemerintah terkait program MP3EI antara lain Jembatan Selat Sunda,
double track rel kereta api Semarang-Bojonegoro-Surabaya, jalan Trans-
Kalimantan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Gorontalo, bandar udara
internasional Lombok, dan sarana irigasi di Pulau Buru dan Seram Timur
(Pertumbuhan Sektor..., 2011).
Pasar jasa konstruksi yang besar ditambah dengan program MP3EI yang
menawarkan berbagai proyek konstruksi merupakan ladang subur sekaligus
tantangan tersendiri bagi para penyedia jasa konstruksi, baik dalam negeri
maupun asing. Data terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat terdapat
406.972 perusahaan konstruksi di Indonesia.1 Sedangkan data dari Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional tahun 2008 mencatat terdapat
176.852 badan usaha konstruksi di Indonesia berdasarkan klasifikasi usahanya.
Ringkasan jumlah badan usaha konstruksi dari 33 provinsi di Indonesia yang
digolongkan kedalam klasifikasi usaha kecil (K), menengah (M), dan besar (B)
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
1 Seksi Pemantauan Pengolahan Data dan Dokumen, Subdit Pemantauan Sistem dan Infrastruktur, Direktorat Teknologi Informasi Pajak
5
Universitas Indonesia
Tabel 1.1
Statistik Badan Usaha Tahun 2008 Daftar Menurut Propinsi dan Golongan
Klasifikasi Usaha Total Jumlah Badan Usaha Dari 33 Provinsi
Kecil 157.332
Menengah 18.295
Besar 1.225
176.852
Sumber: Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, 2008 (diolah kembali oleh Peneliti)
Berperan dalam pembangunan nasional dan penggerak roda perekonomian,
memiliki potensi ekonomi menjanjikan di masa kini dan nanti, serta memiliki
406.972 perusahaan konstruksi adalah ketiga jaminan penting bahwa pemerintah
maupun pihak swasta di Indonesia akan senantiasa menggiatkan proyek-proyek
konstruksi. Banyaknya proyek konstruksi akan memunculkan sejumlah besar
aliran dana pembayaran dari pengguna jasa kepada penyedia jasa. Pembayaran
inilah yang menjadi penghasilan bagi penyedia jasa. Dari penghasilan tersebut,
terdapat sejumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang berhak dipungut oleh DJP.
Semakin banyak jumlah penyedia jasa, semakin banyak pula penerimaan PPh jasa
konstruksi bagi negara. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk
membuat dan memperbaharui kebijakan-kebijakan PPh usaha jasa konstruksi
guna mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor tersebut.
Dalam perjalanannya sampai dengan saat ini, kebijakan PPh tentang usaha
jasa konstruksi telah mengalami beberapa kali perubahan. UU No. 10 Tahun 1994
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
menyebutkan bahwa penghasilan atas jasa konstruksi dikenakan tarif PPh Pasal 23
sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto. Namun, di Pasal 4 ayat (2) UU No.
10 Tahun 1994 mengatur bahwa terdapat penghasilan tertentu lain yang
pengenaan pajaknya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Oleh sebab itu,
terbitlah PP No. 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. PP tersebut mengatur pengenaan PPh
final dengan tarif PPh final yang berbeda-beda untuk jasa perencanaan,
pelaksanaan, ataupun pengawasan konstruksi.
6
Universitas Indonesia
Kebijakan tersebut kemudian diubah berdasarkan ketentuan PP No. 140
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi. Berdasarkan PP tersebut, penghasilan atas usaha jasa kontruksi dibagi
menjadi penghasilan yang dikenakan PPh final dan PPh yang bersifat tidak final.
PPh final dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) konstruksi yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil serta mempunyai
nilai pengadaan sampai dengan satu miliar rupiah. Tarif PPh final diterapkan
berbeda-beda untuk jasa perencanaan, pelaksanaan, ataupun pengawasan
konstruksi. Disisi lain, WP yang tidak memenuhi kualifikasi di atas dikenakan
tarif PPh Pasal 23 UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto.
Setelah UU PPh terdahulu belum mengatur secara eksplisit mengenai
penghasilan atas usaha jasa konstruksi, UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah
menyelesaikan kendala tersebut. Pasal 4 ayat (2) huruf d UU No. 36 Tahun 2008
secara jelas menyatakan bahwa penghasilan atas usaha jasa konstruksi dikenakan
PPh yang bersifat final. Oleh sebab itu, terbitlah PP No. 51 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. PP No. 51 Tahun
2008 merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun
2008. PP ini turut menyatakan bahwa atas penghasilan usaha jasa konstruksi
dikenakan PPh final. Tarif PPh final dikenakan secara berbeda untuk jasa
perencanaan, pelaksanaan, ataupun pengawasan konstruksi. Selain itu, pengenaan
tarif PPh final juga didasarkan pada kualifikasi usaha yang dimiliki oleh WP
penyedia jasa konstruksi. Kualifikasi usaha ini dibedakan menjadi besar (B), kecil
(K), menengah (M), atau tidak memiliki kualifikasi usaha. Ringkasan tarif PPh
final atas usaha jasa konstruksi yang ditetapkan dalam berbagai regulasi
ditampilkan pada tabel 1.2.
7
Universitas Indonesia
TABEL 1.2
PerbandinganTarif PPh Final Usaha Jasa Konstruksi
dalam Berbagai Regulasi
(dalam persen)
Jenis Jasa Kualifikasi Usaha
UU PPh Nomor 10 Tahun 1994 UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 PP
Nomor 73
Tahun 1996
KMK Nomor
704/KMK.04/1996
SE Dirjen Pajak No.
SE – 42/PJ.4/199
6
PP Nomor 140 Tahun
2000
KMK Nomor
559/KMK.04/2000
SE Dirjen Pajak No.
SE –13/PJ.42/20
02
PP Nomor 51 Tahun 2008
SE Dirjen Pajak No. SE –
05/PJ.03/2008
PELAKSANAAN: 2 2 2 Kecil 2 2 2 2 2 Menengah 3 3 Besar 3 3 No Qualification 4 4 PERENCANAAN: 4 4 4 Kecil 4 4 4 4 4 Menengah 4 4 Besar 4 4 No Qualification 6 6 PENGAWASAN: 4 4 4 Kecil 4 4 4 4 4 Menengah 4 4 Besar 4 4 No Qualification 6 6
Sumber: telah diolah oleh kembali Peneliti, 2012
8
Universitas Indonesia
Patut dicatat bahwa kebijakan pengenaan PPh final atas penghasilan usaha
jasa konstruksi merupakan permintaan dari WP jasa konstruksi. PPh final
dianggap dapat meningkatkan penerimaan pajak. Anggapan ini berdasarkan
pemikiran bahwa kontribusi PPh sektor konstruksi pada penerimaan pajak
cenderung stagnan dan berkebalikan dengan pekerjaan serta pasar jasa konstruksi
yang meningkat tiap tahun (Gapensi Minta..., 2008). Selain itu, pengenaan PPh
final juga berguna dalam memberikan kepastian hukum dan kemudahan
administrasi bagi pihak WP jasa konstruksi maupun DJP. Oleh sebab itu,
pemerintah menerbitkan PP No. 51 Tahun 2008 dimana PP ini mengenakan PPh
final atas penghasilan bagi semua penyedia jasa konstruksi.
Sayangnya, masih terdapat berbagai kekurangan dalam PP No. 51 Tahun
2008 yang mengundang protes dari WP penyedia jasa konstruksi. Penerbitan PP
ini dianggap tanpa sosialisasi yang memadai sebelumnya. Selain itu, PP ini
berlaku surut atau diberlakukan sejak 1 Januari 2008 meskipun baru diterbitkan
pada tanggal 20 Juli 2008. Hal ini jelas menjadi masalah bagi para WP penyedia
jasa konstruksi, khususnya kontraktor. Kontraktor sebelumnya tidak memasukkan
penghitungan PPh final saat penawaran tender maupun dalam rencana bisnis
sehingga ketentuan itu menjadi beban tambahan yang membuat perusahaan
kehilangan keuntungan (AKI: PPh Konstruksi..., 2009).
WP penyedia jasa konstruksi yang menandatangani kontrak sebelum Juli
2008 menggunakan PP No. 140 Tahun 2000 sebagai acuan dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Berdasarkan ketentuan PP No. 140 Tahun 2000, PPh
usaha jasa konstruksi dikenakan atas perkiraan penghasilan neto. Artinya, pajak
baru dikenakan setelah penghasilan bruto WP jasa konstruksi dikurangi oleh
biaya-biaya serta kerugian. Dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2008, para WP
penyedia jasa konstruksi memotong PPh Pasal 23 atas penghasilan mereka. Akan
tetapi, akibat terbitnya PP No. 51 Tahun 2008 yang berlaku surut, pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh para WP jasa konstruksi menjadi salah dan sia-
sia (Butar Butar, 2010, p. 2).
Kesalahan pemotongan ini tentu menimbulkan pekerjaan administrasi baru
bagi WP penyedia jasa konstruksi. Mereka harus menghitung ulang jumlah pajak
yang seharusnya terutang dan segera melakukan pemindahbukuan agar
9
Universitas Indonesia
pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan selama rentang waktu Januari
hingga Juli 2008 bisa dipindahkan sebagai PPh Pasal 4 ayat (2). Terlebih lagi,
hiruk pikuk yang harus dialami WP penyedia jasa konstruksi ketika harus
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat
serta memenuhi berbagai persyaratan guna memperoleh fasilitas pembukuan
(Butar Butar, 2010, p. 3).
Pada akhirnya, pemerintah menerbitkan PP No. 40 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas PP No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi. PP No. 40 Tahun 2009 diterbitkan untuk menanggapi
isu seputar keberlakuan surut PP No. 51 Tahun 2008. PP No. 40 Tahun 2009
menyatakan bahwa kontrak konstruksi yang ditandatangani sebelum tanggal 1
Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang
dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, dikenakan PPh yang
bersifat final bagi WP yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil serta
mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00. Selain WP
dengan kategori di atas, akan dipotong PPh Pasal 23 UU No. 17 Tahun 2000
apabila pengguna jasa adalah pemotong pajak atau dikenakan PPh berdasarkan
ketentuan Pasal 25 UU No. 17 Tahun 2000 dalam hal pengguna jasa bukanlah
pemotong pajak. Apabila kontrak konstruksi ditandatangani setelah tanggal 1
Agustus 2008, ketentuan perpajakannya kembali mengikuti PP No. 51 Tahun
2008.
Meskipun isu keberlakuan surut telah ditanggapi pemerintah dengan
terbitnya PP No. 40 Tahun 2009, masih ada kendala yang dihadapi oleh para WP
penyedia jasa konstruksi terutama para kontraktor. Kendala tersebut terkait
dengan tarif pajak. Ketua Umum AKI, Sudarto, mengemukakan bahwa rata-rata
laba kotor yang diperoleh kontraktor hanya berkisar antara 1-4% (AKI: PPh
Konstruksi..., 2009). Berlakunya tarif final sebesar 3% untuk WP penyedia jasa
pelaksana konstruksi kualifikasi menengah dan besar tentu dinilai menghambat
kelangsungan usaha mereka.
Selain tarif PPh final yang dirasa terlalu tinggi, kontraktor juga masih harus
memikirkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% serta bunga pinjaman
bank yang rata-rata diatas 10% per tahun (Terganjal Pajak..., 2011). Pinjaman
100
Universitas Indonesia
5.1.4 Latar Belakang Penetapan Tarif Pajak Penghasilan Final atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Meskipun tidak adil, bukan berarti pengenaan tarif PPh final tidak bisa
diterapkan sama sekali. Pengenaan tarif PPh final untuk sektor-sektor hard to tax
menjadi opsi yang lebih baik dibandingkan opsi kehilangan potensi penerimaan
pajak. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, latar belakang
seperti kurangnya informasi tentang penghasilan WP, kurangnya pendidikan yang
dimiliki WP, serta lemahnya keahlian administrasi pajak dan kurangnya dana
untuk untuk mendorong dan mengawasi pajak penghasilan yang standar menjadi
justifikasi teoritis bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan tarif PPh final.
Usaha jasa konstruksi Indonesia memiliki karakteristik yang didominasi
oleh WP penyedia jasa berkualifikasi kecil. Banyak diantara WP-WP tersebut
tidak mampu melakukan pembukuan atau pencatatan dengan baik. Akibatnya,
informasi tentang penghasilan mereka tidak dapat diketahui. Namun sebenarnya
mereka tetap sah untuk dikenakan pajak. Berdasarkan kondisi tersebut, usaha jasa
konstruksi dapat digolongkan sebagai salah satu sektor hard to tax. Oleh karena
itu, pemerintah punya pembenaran teoritis untuk mengenakan tarif PPh final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
Selain latar belakang teoritis, juga terdapat latar belakang yuridis maupun
praktis dibalik kebijakan penetapan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi. Berikut ini adalah pembahasan lebih lengkapnya.
a. Pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan &
Memberikan Kepastian Hukum
Latar belakang di atas adalah latar belakang yuridis kebijakan penetapan
tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Latar belakang
yuridis ini dapat dilihat dari konsiderans atau pertimbangan hukum tersebut
diterbitkan.
“Eee.. kalo kamu lihat konsiderans.. kalo kamu liat kenapa dari pemerintah, kamu harus liat konsideransnya, konsiderans adalah pertimbangan hukum diterbitkan...” (Wawancara dengan Ruston Tambunan, 11 Mei 2012)
101
Universitas Indonesia
“Yang pertama, ada di UU pasal 4 ayat 2... Lebih penghormatan pada pasal 4 ayat 2 kalo penghasilan dibawah ini dapat kenakan final. Berdasarkan PP yang mengatur dikenakan final tidak semua kena. Ayat induk kalo dikenai melalui final kan semua kena final. Sebenarnya hanya pengformalan saja, dari kemarin sudah berlaku.” (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012)
Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 hanya menyatakan penghasilan-
penghasilan apa saja yang dikenakan PPh final, tanpa menyebutkan secara
rinci tarif-tarif PPh final yang berlaku bagi masing-masing penghasilan
tersebut. Oleh karena itu, peraturan pelaksana dipandang sangat perlu untuk
memberikan kepastian hukum mengenai berbagai material yang belum diatur
di Undang-undang, termasuk dalam hal ini tarif PPh final atas penghasilan
dari usaha jasa konstruksi. Jadi, salah satu latar belakang pemerintah
menetapkan kebijakan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi ini merupakan amanat lebih lanjut dari Undang-undang atau
pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Apabila ketentuan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi tidak segera dilaksanakan, akan timbul kekacauan akibat
ketidakpastian hukum di kalangan WP penyedia jasa konstruksi dan pihak
DJP sendiri. WP penyedia jasa konstruksi tidak bisa mengetahui berapa tarif
PPh finalnya, apa yang menjadi dasar pengenaan pajaknya, serta bagaimana
mekanisme pemungutan, pelaporannya, dan penyetorannya. Akibat
ketidaktahuan terebut, akan sulit bagi WP penyedia jasa konstruksi
merencanakan bisnisnya di masa mendatang. Mereka tidak bisa
memperhitungkan laba/rugi dari suatu proyek konstruksi tanpa
memperhitungkan tarif PPh final yang dikenakan atas penghasilan mereka.
Bagi pihak DJP sendiri, mereka tidak bisa memungut PPh final tanpa
adanya Peraturan Pemerintah. Hal tersebut sudah diamanatkan dalam
Undang-undang. Tanpa Peraturan Pemerintah, DJP tidak memiliki landasan
hukum untuk memungut PPh final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi.
102
Universitas Indonesia
“Lebih penghormatan pada pasal 4 ayat 2 kalo penghasilan dibawah ini dapat kenakan final... Pengformalan saja dan memperkuat semua ini biar nggak komplain. (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012)
Apabila pemungutan pajak tetap dilakukan, akan terjadi pelanggaran bagi
WP. Hal ini bisa memicu konflik antara pihak WP dengan DJP. Konflik
antara pihak DJP dengan WP dapat mengganggu harmonisasi arus
penerimaan negara dari sektor pajak. Terganggunya penerimaan dari sektor
pajak dapat menggoyang APBN. APBN yang terganggu akan berpengaruh
pada pengeluaran-pengeluaran pemerintah seperti pembangunan infrastruktur,
belanja pegawai, belanja barang, pembayaran utang, subsidi, dan lain-lain.
Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun
2008, perlu ditetapkan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi. Hal ini merupakan bagian tak terpisahkan ketika penghasilan jasa
konstruksi secara formal ditetapkan sebagai salah satu penghasilan yang
dikenakan PPh final. Penetapan tarif PPh final diperlukan untuk memberikan
kepastian hukum, baik bagi WP maupun DJP.
b. Kemudahan administrasi
Salah satu keunggulan utama yang dibanggakan oleh penetapan tarif PPh
final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah kemudahan
administrasi. Untuk memperoleh pajak terutang, tarif PPh final hanya tinggal
dikalikan dengan jumlah pembayaran/penerimaan pembayaran, terlepas dari
apakah tarif tersebut sesuai dengan ability to pay WP yang bersangkutan atau
tidak. Kemudahan administrasi ini memberikan keuntungan, baik bagi pihak
WP maupun DJP.
Bagi WP, mereka tidak perlu lagi melakukan pembukuan atau pencatatan
yang rigid guna mengetahui penghasilan kena pajak mereka. Kebanyakan WP
penyedia jasa konstruksi, terutama kontraktor kecil, tidak mampu melakukan
pembukuan atau pencatatan dengan baik. Apabila dipaksakan, besar
kemungkinan pembukuan atau pencatatan mereka akan diperiksa dan malah
menimbulkan pajak terutang yang lebih besar. Daripada melakukan blunder
seperti itu, mereka lebih memilih pengenaan tarif PPh final yang prosesnya
103
Universitas Indonesia
jauh lebih mudah dan sederhana meskipun bisa saja pajak terutang yang
dihasilkan dari tarif PPh final lebih besar dari tarif PPh Pasal 17.
Bagi DJP, penetapan tarif PPh final juga memberikan kemudahan
administrasi tersendiri. Mereka tidak perlu lagi melakukan proses
pemeriksaan pajak yang rumit dan panjang atas pembukuan atau pencatatan
milik kontraktor-kontraktor kecil. Pemeriksaan kepatuhan kontraktor kecil
dalam melaksanakan kewajiban PPh final mereka tetap dilakukan, tapi
pastinya pemeriksaan tersebut tidak serumit pemeriksaan pajak pada
umumnya karena pemeriksaan yang bersangkutan tidak harus
memperhitungkan berbagai biaya 3M.
c. Memberikan perlakuan tarif yang lebih adil diantara sesama WP penyedia
jasa konstruksi
Sebelum PP No. 51 Tahun 2008 diberlakukan, pengenaan PPh atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi terbagi antara final dan tidak final
sesuai dengan ketentuan PP No. 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Saat sebelum PPh final berlaku
untuk penghasilan WP penyedia jasa konstruksi, baik besar, menengah,
maupun kecil, PPh final hanya diberlakukan bagi penghasilan WP yang
memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil serta memiliki nilai pengadaan
hinga Rp 1.000.000.000,00. Sedangkan WP selain itu, dikenakan pemotongan
PPh Pasal 23.
Pengaturan tersebut berubah seiring terbitnya PP No. 51 Tahun 2008
menjadi pengenaan PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi,
meliputi semua jenis jasa konstruksi dan kualifikasi usaha. Tarifnya pun
dibedakan atas jenis jasa konstruksi dan kualifikasi usaha yang dimiliki oleh
WP penyedia jasa. Sebelumnya muncul pertanyaan kenapa badan usaha
konstruksi berkualifikasi besar yang melaksanakan pembukuan dengan baik
tidak dikenakan tarif Pasal 17 saja. Alasan dibalik pengaturan tersebut adalah
untuk memberikan perlakuan tarif yang lebih adil diantara sesama WP
penyedia jasa konstruksi. DJP menyatakan tidaklah adil apabila hanya WP
penyedia jasa konstruksi tertentu yang dikenakan tarif PPh final sementara
WP lainnya dikenakan tarif PPh umum. Atas dasar perlakuan yang sama dan
104
Universitas Indonesia
adil inilah, DJP menetapkan tarif PPh final atas semua penghasilan dari usaha
jasa konstruksi tanpa mempedulikan kualifikasi usahanya.
“Kalo yang gede pake pasal 17 kalo yang kecil final nggak fair. Prinsip persamaan pengenaan pajaknya nggak dapet. Bukan equity treatment kalo yang satu nggak merasa adil.” (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012) “Penetapan PP 51 Tahun 2008 kenapa jadi final semua? Kalo sebelumnya ada yang kena 23 ada kena final, seperti yang saya bilang tidak equal treatment. Jadi prinsip kesamaanya dilanggar. Dari situ kita bikin semangat baru yaitu pemberlakuan yang sama, kenanya final semua, kenanya final atas semua jasa konstruksi.” (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012)
Perlakuan tarif yang lebih adil juga diberikan DJP dalam bentuk tarif PPh
final yang lebih tinggi bagi WP penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki
kualifikasi usaha dan tarif PPh final yang lebih rendah bagi WP penyedia jasa
konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha. Hal ini sebagai bentuk
penghargaan bagi WP penyedia jasa konstruksi yang mau bersusah payah
mengurus sertifikasi kualifikasi usaha mereka. Patut dicatat bahwa proses
untuk memperoleh sertifikasi kualifikasi usaha jasa konstruksi bukanlah
proses yang mudah. Banyak kompetensi yang harus dipenuhi sebelum
penyedia jasa konstruksi memperoleh sertifikasi kualifikasi usaha mereka,
sehingga layaklah apabila DJP memperhitungkan hal ini sebagai salah satu
dasar penetapan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
d. Meningkatkan penerimaan negara
Fungsi utama pajak adalah fungsi budgeter. Fungsi budgeter adalah suatu
fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana
secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang
berlaku (Nurmantu, 2003, p.30). Di Indonesia, sudah sejak lama pajak
menjadi tumpuan terbesar penerimaan negara di APBN. Dengan demikian,
fungsi utama pajak di Indonesia adalah fungsi budgeter.
105
Universitas Indonesia
Tabel 5.8
Ringkasan APBN, 2007-2011
(dalam miliar rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2011 (www.depkeu.go.id)
Untuk terus memenuhi fungsi tersebut, DJP sebagai otoritas perpajakan
tertinggi di Indonesia dibebani target untuk mendapatkan sejumlah besar
penerimaan dari sektor pajak. Target tersebut kian meningkat dari tahun ke
tahun mengingat pengeluaran negara yang juga meningkat dari tahun ke
tahun. Di tahun 2012 ini, penerimaan dari sektor pajak ditargetkan mencapai
angka Rp 1.032,6 triliun dari target total pendapatan negara sebesar Rp
1.311,4 triliun (www.fiskal.depkeu.go.id, 2012).
Target penerimaan pajak yang kian meningkat tiap tahunnya tentu bukan
tugas yang mudah bagi Dirjen Pajak dan jajarannya. Dirjen Pajak dan
jajarannya harus memutar otak memikirkan cara-cara guna meningkatkan
penerimaan pajak. Bisa dengan perluasan objek pajak atau subjek pajak,
penetapan tarif pajak yang lebih tinggi, serta cara-cara lainnya. Pengenaan
PPh final atas suatu penghasilan menjadi salah satu cara untuk meningkatkan
penerimaan negara. Negara tidak perlu lagi repot menunggu penyetoran pajak
hingga di akhir tahun pajak. Ketika WP penyedia jasa menerima pembayaran
atas jasa yang diberikannya, penghasilan tersebut bisa langsung dipotong
106
Universitas Indonesia
pajak atau disetor sendiri oleh WP yang bersangkutan. Cara ini lebih pasti
dan mudah dalam hal memperoleh penerimaan dari pajak dibandingkan cara
konvensional. Selain itu, dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto
yang langsung dikenakan tarif PPh final juga menghasilkan pemasukan pajak
yang lebih besar. Hal ini jelas berbeda dengan pengenaan PPh standar yang
harus memperhitungkan biaya dan kompensasi kerugian, sehingga diperoleh
jumlah penghasilan kena pajak yang lebih sedikit dan tentunya penerimaan
pajak yang lebih kecil pula bagi negara.
Penetapan tarif pun tidak luput dari upaya untuk meningkatkan
penerimaan negara. Dalam kasus penghasilan dari usaha jasa konstruksi, tarif
PPh final menurut ketentuan PP No. 140 Tahun 2000 hanya diberlakukan
bagi penghasilan WP penyedia jasa konstruksi berkualifikasi usaha kecil.
Selain WP yang disebut di atas, dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.
Perbedaan jumlah penerimaan antara PPh final dan tidak final langsung
terlihat. Pada tahun 2001, total penerimaan PPh final Pasal 4 ayat (2) jasa
konstruksi sebesar Rp 410,78 milyar sedangkan PPh jasa konstruksi hanya
sebesar Rp 48,51 milyar. Perbedaan persentase antara PPh final dan tidak
final terhadap penerimaan PPh secara keseluruhan juga terlihat cukup
signifikan. Total persentase PPh final Pasal 4 ayat (2) jasa konstruksi
terhadap penerimaan PPh secara keseluruhan adalah sebesar 0,44%.
Sedangkan persentase PPh jasa konstruksi hanya sebesar 0,05%.
Dengan ketentuan yang berlaku saat ini, subjek pengenaan tarif PPh final
sudah diperluas. Tarif PPh final menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 51
Tahun 2008 diberlakukan untuk penghasilan dari WP penyedia jasa
konstruksi berkualifikasi usaha besar, kecil, menengah, dan tanpa kualifikasi
usaha. Dengan demikian, tarif PPh final saat ini mengikat berbagai subjek
pajak yang sebelumnya tidak dikenakan PPh final dan diharapkan membawa
kontribusi signifikan bagi penerimaan pajak.
Meskipun pihak DJP mengklaim bahwa kebijakan pengenaan PPh final
ditujukan untuk memenuhi kepentingan WP yaitu memberikan kemudahan
serta mengurangi beban administrasi WP yang bersangkutan, akan selalu ada
motif penerimaan negara dibalik itu semua. Sebagai otoritas perpajakan
107
Universitas Indonesia
tertinggi suatu negara berkembang yang pemasukan terbesarnya berasal dari
pajak, DJP akan selalu diberi target tinggi demi kelangsungan APBN. Salah
satu cara memenuhi target tersebut adalah dengan mengenakan tarif PPh final
atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
e. Permintaan dari WP penyedia jasa pelaksana konstruksi berkualifikasi kecil
melalui asosiasi-asosiasi
Dalam prakteknya, penetapan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi banyak datang dari pihak WP itu sendiri, yang diwakili oleh
berbagai asosiasi seperti Gapensi, Gapeksindo, dan Aspekindo. Aspirasi
penetapan tarif PPh final disampaikan oleh asosiasi-asosiasi yang menaungi
kontraktor-kontraktor berkualifikasi kecil. Permintaan inilah yang menjadi
pemicu utama bagi DJP untuk menetapkan tarif PPh final atas penghasilan
dari usaha jasa konstruksi.
“...tapi kalo kita liat dari prakteknya boleh dikatakan itu permintaan dari asosiasi. Asosiasi kontruksi kan banyak tapi emm.....aa... ada pihak yang lebih besar. Asosiasi yang lebih besar anggotanya banyak... mereka minta... untuk mereka final sedangkan nggak mungkin dalam pertimbangan pemerintah mengatakan ooo.. ini karena ini karena permintaan lalu kami melakukan langkah seperti final. Jadi begitulah praktek ya. Pembicaraan saya dengan pihak direktorat peraturan pernah dengar asosiasi yang sangat menginginkan itu.” (Wawancara dengan Ruston Tambunan, 11 Mei 2012)
Menurut Gapensi, PPh final dapat meningkatkan penerimaan pajak
dibandingkan dengan ketentuan PPh biasa. Anggapan ini berdasarkan
pemikiran bahwa kontribusi PPh sektor konstruksi pada penerimaan pajak
cenderung stagnan. Hal ini berkebalikan dengan volume pekerjaan konstruksi
dan pasar jasa konstruksi yang cenderung meningkat tiap tahunnya.
Selain meningkatkan penerimaan negara, alasan utama yang mendasari
para kontraktor kecil meminta penetapan tarif PPh final adalah banyaknya
biaya-biaya siluman yang ada dalam lingkup pekerjaan mereka. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa proyek konstruksi merupakan ladang subur
bagi munculnya pungutan-pungutan liar oleh oknum-oknum pemerintah.
Pungutan liar bahkan sudah dimulai dari proses perizinan. Untuk pemenangan
108
Universitas Indonesia
tender sendiri, kontraktor harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk melobi
owner agar memberikan proyeknya kepada kontraktor yang bersangkutan.
Biaya-biaya siluman ini jelas tidak memiliki pos dalam pembukuan
akuntansi standar. Apabila mereka memasukkan biaya-biaya siluman tersebut
kedalam pembukuan, pembukuan mereka terancam akan di-disclaimer.
Mereka juga harus mengalami pemeriksaan pajak dan besar kemungkinan
harus membayar jumlah pajak yang lebih besar ditambah sanksi administrasi
karena dianggap melaporkan penghasilan kena pajak yang bukan sebenarnya
yang menyebabkan kurang bayar. Oleh sebab itu, opsi pengenaan tarif PPh
final jauh lebih menarik dan menguntungkan bagi para kontraktor kecil.
Namun, tidak lantas semua asosiasi menyetujui pengenaan PPh final
untuk penghasilan dari usaha jasa konstruksi. Salah satu yang berkeberatan
adalah AKI. AKI merupakan asosiasi yang kebanyakan anggotanya adalah
badan usaha pelaksana konstruksi atau kontraktor dengan kualifikasi usaha
besar.
“Kan namanya asosiasi kan beda ada yang setuju final ada yang setuju progresif. Nggak ada yang satu. Kalo saya aja enakan progresif. Ada juga yang nggak mau pusing jadi setuju final.” (Wawancara dengan Haryo Wibisono, 3 Mei 2012)
Sesuai dengan kompetensi gred 5, 6, dan 7 yang dikeluarkan oleh LPJK,
kontraktor kualifikasi besar memiliki batasan nilai pekerjaan diatas satu
milyar rupiah hingga tidak terbatas serta harus memiliki tenaga-tenaga ahli
yang bersertifikasi SKT (Sertifikasi Keterampilan Kerja) dan Sertifikasi
Keahlian Kerja (SKA). Selain itu, badan usaha berkualifikasi gred 6 dan gred
7 harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Khusus untuk Gred 7, badan
usaha konstruksi harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT), termasuk PT
PMA (Penanaman Modal Asing).
Dari banyaknya kompetensi yang harus dipenuhi oleh suatu kontraktor
berkualifikasi besar, wajar jika mereka melakukan pembukuan dan memiliki
staf untuk mengerjakan pembukuan perusahaan secara baik. Kebutuhan akan
pembukuan yang baik juga beriringan dengan ketentuan UU tentang
Perseroan Terbatas yang mengharuskan badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) melakukan pembukuan. Pengenaan tarif PPh final atas
109
Universitas Indonesia
penghasilan badan usaha berkualifikasi besar tentu saja dinilai aneh. Akan
lebih mudah bagi mereka membayar PPh dengan ketentuan tarif Pasal 17
dibandingkan tarif PPh final. Selain karena sudah didukung pembukuan yang
baik, pengenaan tarif PPh final justru memberikan beban lebih bagi keuangan
perusahaan.
Akan tetapi, lain cerita bagi kontraktor skala kecil. Banyak kendala yang
harus dihadapi oleh kontraktor usaha kecil. Salah satu kendala utama yang
dimiliki kontraktor skala kecil adalah keterbatasan kemampuan sumber daya
(finansial dan teknis), penguasaan teknologi, serta kemampuan manajemen.
Masalah terbesar dari kontraktor skala kecil adalah keuangan. Tanpa
keuangan yang memadai, mereka tidak mampu mempekerjakan tenaga-
tenaga ahli di bidang konstruksi, memberikan pelatihan bagi para
pegawainya, menyewa alat-alat berat yang berkualitas, dan lain-lain.
Keterbatasan keuangan jugalah yang membatasi mereka mempekerjakan staf
di bidang akuntansi maupun pajak atau menyewa konsultan pajak, sehingga
mereka lalai akan kewajiban dan prosedur perpajakan yang berlaku.
Aspirasi dari para kontraktor berkualifikasi besar terpaksa harus
dikesampingkan. Jumlah mereka yang tidak sebanding dengan badan usaha
berkualifikasi kecil di Indonesia menjadi alasannya, seperti yang dinyatakan
oleh Bapak Haryo Wibisono selaku Wakil Direktur Eksekutif dalam
wawancara yang dilakukan pada 3 Mei 2012. Pengenaan PPh final atas
penghasilan mereka pun terpaksa diterima dengan berat hati.
“Jadi ini beda selera aja, yang besar kecenderungannya progresif, tapi karena banyakan yang kecil makanya yang dari final aja. Akhirnya karena jumlah asosiasi banyak yang kecil, ya udah kalah.” (Wawancara dengan Haryo Wibisono, 3 Mei 2012)
Terlepas dari keberatan yang disimpan oleh para badan usaha konstruksi
berkualifikasi besar, permintaan untuk mengenakan tarif PPh final atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi pada akhirnya difasilitasi oleh pihak
DJP. Tidak hanya permintaan pengenaan tarif PPh final saja, dalam
penentuan tarif-tarif finalnya pun DJP mendengarkan masukan dari berbagai
pihak. Pihak DJP kemudian menampung dan mempertimbangkan usulan
tersebut. Dengan perhitungan formula yang hanya diketahui pihak-pihak
110
Universitas Indonesia
tertentu di DJP, akhirnya keluar tarif-tarif PPh final yang berlaku sekarang.
Tarif-tarif ini diklaim oleh DJP tidak jauh berbeda dengan usulan yang
diberikan oleh para stakeholder jasa konstruksi.
“Kalo kita kan bikin peraturan tapi sebenernya nggak sepihak terhadap penetapan final, karena formulasinya kita ngundang stakeholder. Kita undang ahli, pelaku usaha kita undang, asosiasi, kementerian yang terkait. Tarif ini kita tanya sebaiknya berapa? Ada yang berbagai macam tarif. Tapi keputusan ada di DJP Angka ini udah sesuai dengan usul yang ada. Angka lebih rendah untuk yang punya kualifikasi, yang gede untuk yang nggak punya kualifikasi.” (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012)
Aspirasi untuk mengenakan tarif PPh final atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi sudah difasilitasi melalui PP No. 51 Tahun 2008. PP ini mulai
berlaku sejak 20 Juli 2008 dan berlaku surut. Meskipun dalam praktiknya PP
ini menimbulkan banyak konflik, para WP jasa konstruksi, baik berkualifikasi
kecil, menengah, atau besar, wajib mematuhi ketentuan-ketentuan perpajakan
yang termuat dalam PP ini, terutama dalam kasus ini adalah tarif PPh final.
f. Tertib administrasi
Berdasarkan data LPJK tahun 2008, terdapat 176.852 badan usaha
konstruksi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai kualifikasi
usaha. Hampir sebagian besar badan usaha konstruksi di Indonesia memiliki
kualifikasi usaha kecil. Jumlahnya mencapai 80% dari keseluruhan badan
usaha atau tepatnya 157.332 unit. Untuk badan usaha kualifikasi menengah
jumlahnya mencapai 18.295 unit. Sementara badan usaha kualifikasi besar
berjumlah 1225 unit. Gapensi sebagai salah satu wadah bagi para badan usaha
pelaksana konstruksi di Indonesia mencatatkan jumlah rekapitulasi
anggotanya sebagai berikut.
Tabel 5.9
Rekapitulasi Jumlah Anggota Gapensi Seluruh Indonesia Tahun 2010
Golongan Kualifikasi Jumlah Badan Usaha Total Keseluruhan Kecil Gred 2 18.888
53.423 Gred 3 21.760 Gred 4 12.775
Menengah Gred 5 4.482 4.482 Besar Gred 6 1.700
2.311 Gred 7 611
111
Universitas Indonesia
Total Keseluruhan 60.216 Sumber: Gapensi, 2012 (diolah kembali oleh Peneliti)
Sementara itu, Inkindo selaku wadah tertua bagi para badan usaha
perencanaan dan pengawasan konstruksi di Indonesia mencatatkan jumlah
anggotanya sebagai berikut:
Tabel 5.10
Statistik Keanggotaan Inkindo per Tanggal 31 Mei 2012
Klasifikasi Jumlah Badan Usaha MO (klasifikasi bagi anggota baru) 212 Kecil 4.970 Menengah 1.678 Besar 640 Total keseluruhan 7.500
Sumber: Inkindo, 2012 (diolah kembali oleh Peneliti)
Sedangkan DJP sendiri mencatat terdapat 406.972 perusahaan konstruksi di
Indonesia saat ini, baik pelaksana maupun perencana dan pengawas
konstruksi. Sayangnya, DJP tidak mengklasifisikasikan secara spesifik
perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia.
Jumlah badan usaha konstruksi di Indonesia kian hari kian meningkat.
Hal ini berdasarkan pernyataan dari Bapak Wendi Priambodo selaku Kepala
Divisi Registrasi LPJK dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 31
Mei 2012. LPJK selalu mengadakan rapat rutin tiap minggunya. Rapat
mingguan tersebut selalu dilaksanakan pada hari Rabu. Dalam rapat tersebut,
semua pengurus, kepala divisi, maupun karyawan berkumpul untuk
membahas semua hal yang terjadi di LPJK, mulai dari surat-surat masuk
hingga permohonan sertifikasi dari badan usaha konstruksi. Bapak Wendi
menyatakan bahwa mereka bisa membahas hingga mencapai 1.000
permohonan registrasi sertifikasi di setiap minggunya. Hal ini menjadi
indikasi bahwa jumlah badan usaha konstruksi di Indonesia kian bertumbuh.
Apabila administrasinya tidak ditertibkan, akan timbul kekacauan, seperti
kekacauan data dan pelanggaran aturan.
“Dulu itu masukan dari LPJK. Jadi di mereka ada perbedaan untuk tertib adminstrasi di mereka sendiri. Dulu yang namanya kualifikasi jadi kaya preman, jadi nggak tertib kena tarif lebih tinggi, kalo yang tertib jadi kena tarif lebih rendah. Kalo kualifikasi usaha kecil tapi ngambil besar justru langsung kena
112
Universitas Indonesia
kartu merah agar pelaku usaha jasa konstruksi kita juga harus mau diatur. Bukan mau menghalangi, kan kalo tertib administrasi semua tercatat jadi enak.” (Wawancara dengan Ika Kurniawati, 24 April 2012)
Sebenarnya, wewenang untuk memberikan sertifikasi kualifikasi usaha
bagi para badan usaha konstruksi dilimpahkan ke berbagai asosiasi-asosiasi
yang telah ditunjuk LPJK. Setelah mendapatkan sertifikasi dari asosiasi
tempat badan usaha konstruksi yang bersangkutan bernaung, mereka bisa
melanjutkan proses registrasi sertifikasi ke LPJK. Meskipun demikian,
kewenangan untuk memberikan sertifikasi pada badan usaha konstruksi akan
segera dikembalikan kepada LPJK. LPJK pun akan membentuk unit
sertifikasi tersendiri untuk mengurus permohonan sertifikasi kualifikasi usaha
dari para badan usaha konstruksi.
Selain pengembalian wewenang sertifikasi, LPJK juga akan melakukan
perubahan pada jenis penggolongan kualifikasi usaha bagi jasa perencanaan
dan pengawasan konstruksi serta jasa pelaksanaan konstruksi yang selama ini
mereka miliki. Perubahan ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan
Agustus 2012 mendatang serta dicantumkan dalam Peraturan LPJK. Jadi,
gred-gred yang dimiliki masing-masing kualifikasi usaha dapat berubah
jumlahnya, begitu pula dengan batasan maksimum jumlah subbidang, atau
batasan nilai pekerjaan, ataupun kompetensi-kompetensi lainnya.
Banyaknya jumlah permohonan untuk memperoleh registrasi sertifikasi
badan usaha konstruksi di LPJK tidak lepas dari kebijakan tarif PPh final
dalam PP No. 51 Tahun 2008. PP ini menerapkan tarif PPh final hingga 6%
dari jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran bagi badan usaha
konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha. Kualifikasi usaha ini
dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh LPJK. Ketentuan ini tentu
saja memaksa badan usaha konstruksi untuk segera memperoleh kualifikasi
usaha agar mereka tidak bisa dikenakan tarif PPh final 6% lagi. Tarif PPh
final yang lebih kecil bisa memberikan keuntungan yang lebih besar bagi para
badan usaha. Dengan kata lain, kebijakan penetapan tarif PPh final dapat
mendorong pengusaha jasa konstruksi untuk segera memperoleh sertifikasi
kualifikasi usahanya.
113
Universitas Indonesia
Dengan berbondong-bondongnya badan usaha konstruksi untuk
memperoleh registrasi sertifikasi kualifikasi usaha, LPJK dapat memperoleh
data akurat mengenai jumlah badan usaha konstruksi di Indonesia beserta
kualifikasi usahanya. Data ini akan memberikan kemudahan bagi pemerintah
untuk mengetahui perkembangan sektor jasa konstruksi Indonesia, potensi
jasa konstruksi yang belum tergali dan potensial untuk dikembangkan, serta
kontribusi yang diberikan kepada perekonomian maupun pembangunan
Indonesia. Dari segi penerimaan pajak, data tersebut akan mempermudah
pihak DJP mengkalkulasi perkiraan jumlah penerimaan pajak dari sektor jasa
konstruksi.
Pada akhirnya apakah pemerintah menetapkan suatu kebijakan perpajakan
karena kepentingan WP, penerimaan negara, kombinasi keduanya, ataupun
alasan-alasan lainnya, semua berpulang kembali pada kewenangan pemerintah.
Pemerintah memang berwenang membuat suatu kebijakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif), termasuk kebijakan
perpajakan mengenakan tarif PPh final pada penghasilan dari usaha jasa
konstruksi.
Negara berkuasa gitu loh. Negara punya kuasa, punya power untuk mengatur. (Wawancara dengan Gunadi, 21 Mei 2012).
Yang harus pemerintah ingat dalam menetapkan suatu kebijakan perpajakan
adalah kondisi WP yang bersangkutan. Apabila pemerintah semata-mata hanya
memikirkan penerimaan negara lalu mengabaikan kondisi WP, target penerimaan
justru tidak akan tercapai. WP akan mencari cara mengindari pajak, baik secara
legal maupun ilegal. Hal ini malah berpotensi menghilangkan penerimaan pajak
yang seharusnya. Kebijakan pajak yang sesuai dengan kondisi WP serta sistem
administrasi yang mudah dan cepat cukup untuk membuat WP memenuhi
kewajiban perpajakannya.