46
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikenal dengan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandaidengan hambatan aliran udara napas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Progresif artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun.Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Gejala utama PPOK adalah sesak napas,batuk kronis atau produksi dahak danriwayat terpapar dengan faktor resiko (PDPI, 2011 dan GOLD, 2011). Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil dan destruksi alveoli.Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, hingga berat.Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10 tahun sejak awal merokok. Dimulai dengan sesak napas ringan dan batuk sesekali. Sejalan dengan progresifitas penyakit, gejalanya semakin lama semakin berat. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan sampai kelainan jelas, berupa tanda obstruksi dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan Universitas Sumatera Utara

PPOK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PPOK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikenal dengan

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang

dapat dicegah dan diobati, ditandaidengan hambatan aliran udara napas

yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik

di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun /

berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap derajat

berat penyakit. Progresif artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup

dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun.Dalam

perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Gejala utama

PPOK adalah sesak napas,batuk kronis atau produksi dahak danriwayat

terpapar dengan faktor resiko (PDPI, 2011 dan GOLD, 2011).

Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas

yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil dan destruksi

alveoli.Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,

gejala ringan, hingga berat.Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10

tahun sejak awal merokok. Dimulai dengan sesak napas ringan dan batuk

sesekali. Sejalan dengan progresifitas penyakit, gejalanya semakin lama

semakin berat. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan sampai

kelainan jelas, berupa tanda obstruksi dan tanda inflasi paru. Diagnosis

PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PPOK

penunjang. Pemeriksaan faal paru merupakan kunci dari diagnosis PPOK

(PDPI, 2010).

Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosis

PPOK dan menilai derajat obstruksi saluran napas. Spirometri menjadi

gold standard untuk mendiagnosa PPOK. Pada pengukuran spirometri

penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan nilai

VEP1/KVP kurang dari 70% dari nilai prediksi. Foto toraks tidak

direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan

untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala

obstruksi saluran napas ( TB, Bronkiektasis, kanker paru, dan lain-lain)

(PDPI, 2010 dan GOLD, 2009) .

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (GOLD, 2011) GOLD 2011

Faal paru

GOLD1:

PPOK Ringan

VEP1 ≥ 80% prediksi

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 2:

PPOK Sedang

50% < VEP1< 80% prediksi

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 3 :

PPOK Berat

30% < VEP1< 50% Prediksi

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 4 :

PPOK Sangat Berat

VEP1< 30% prediksi

VEP1/ KVP < 70%

VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 KVP = Kapasiti Vital Paksa

Panduan mengenai derajat / klasifikasi PPOK telah dikeluarkan

oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS),

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PPOK

European Respiratory Society(ERS), British Thoracic Society ( BTS ),

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD ) dan oleh

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ke lima panduan tersebut

hanya mempunyai perbedaan yang sedikit, kesemuanya berdasarkan

rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1. BTS, ATS, GOLD dan PDPI

merekomendasikan nilai absolut dari rasio VEP1/KVP harus kurang dari

70% sedangkan ERS merekomendasikan VEP1/KVP kurang dari 88%

untuk mendiagnosis PPOK. Derajat keparahan PPOK ditentukan oleh nilai

VEP1 yang sedikit berbeda antara panduan yang ada.

2.1.1 Epidemiologi

Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi

pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di

Amerika dan Eropa berkisar 5 - 9% pada individu usia > 45 tahun

(Wiyono, 2009). Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK

bervariasi dari 7,8% - 32,1% dibeberapa kota Amerika Latin. Prevalensi

PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3% yang terendah 3,5% di Hongkong

dan Singapura dan tertinggi di 6,7% di Vietnam (GOLD, 2007). Untuk

Indonesia, penelitian COPD working group tahun 2002 di 12 negara Asia

Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK Indonesia sebesar 5,6%

(Regional COPD working Group, 2003).

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan

PPOK.Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma,

bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 5 sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PPOK

penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT

Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis

kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab

tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2003). Data kunjungan pasien di

RS.H.Adam Malik dan RS.Tembakau Deli Medan menunjukkan

kecenderungan peningkatan kasus PPOK. Pada tahun 2009 proporsi

pasien PPOK yang dirawat inap di bagian paru adalah 3,55% dari seluruh

pasien yang dirawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan. Sementara

proporsi pasien yang dirawat inap dengan diagnosis PPOK adalah

19,82% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru. Distribusi

proporsi pasien antara lain usia > 60 tahun 60,2%, Laki-laki 50%, suku

batak 61,4% dengan riwayat merokok bekas perokok 35,2%, perokok 42%

dan rerata Indeks Brinkman 431,18 (Candly, 2010).

PPOK merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan

mortalitas dan mempengaruhi beban ekonomi dan sosial di seluruh dunia.

PPOK mengenai 16 juta orang di Amerika Serikat, lebih dari 2,5 juta orang

Italia, lebih dari 30 juta diseluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta

kematian pada tahun 2000. Total biaya akibat keadaan ini lebih dari 30

juta milyar dolar di Amerika Serikat (Raherison, 2009 dan Viegi, 2007).

WHO memperkirakan pada tahun 2020 akan ada 3 juta angka kematian

dan beban PPOK pada masyarakat akan menduduki rangking ke-3

meningkat dari sebelumnya rangking ke 12 pada tahun 1990 (GOLD,

2009). Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut, yaitu

kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %),

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PPOK

pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk (dari 54

tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an),

industrialisasi dan polusi udara (terutama di kota besar, di lokasi industri,

dan di pertambangan) (PDPI, 2003).

Data yang ada mengenai prevalensi dan morbiditas PPOK

diperkirakan dibawah dari angka yang sebenarnya dikarenakan PPOK

tidak selalu dikenal dan didiagnosa sebelum tanda klinik muncul.Data

tersebut juga bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.Pada

tahun 1990 PPOK merupakan penyebab ke 12 hilangnya Disability

Adjusted Life Years (DALYs). Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK

menduduki urutan kelima hilangnya DALYs. Sebagai pengingat

pentingnya masalah PPOK, WHO menetapkan hari PPOK sedunia

(COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November (WHO, 2010).

2.1.2 Etiologi dan Patogénesis

Etiologi

Faktor risiko penyebab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik

antara lain, yaitu :

2.1.2.1 Merokok

Lebih dari 10 juta batang rokok dihisap setiap menit, setiap hari

diseluruh dunia oleh 1 milyar laki-laki dan 250 juta perempuan. Sekitar

900 juta (84%) perokok di dunia hidup di negara berkembang termasuk

Indonesia (WHO, 2009). Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia

setelah Cina dan India sebagai Negara dengan jumlah perokok

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PPOK

terbanyak. Sebanyak 65 juta penduduk Indonesia (28%) adalah perokok

yang artinya setiap 4 orang Indonesia terdapat seorang perokok (Rasmin,

2008). Jumlah penduduk Indonesia usia> 15 tahun yang merokok

meningkat dari tahun ke tahun. Data survey Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS) tahun 1995 menunjukkan 26,9% populasi, tahun 2001

sebanyak 31,5% populasi, tahun 2003 sebanyak 31,6% dan terakhir tahun

2005 menjadi 35,4% populasi. Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia

saat ini diperkirakan 69,04% dan perempuan sebesar 4,83% (Wiyono,

2009).

Merokok terbukti menimbulkan berbagai efek kesehatan, diperkirakan

sekitar 50 masalah kesehatan dapat timbul dan sekitar 20 masalah

kesehatan berakibat fatal.Rokok menyebabkan 1 dari 10 kematian orang

dewasa di seluruh dunia. Data WHO tahun 2008 menunjukkan rokok

menyebabkan kematian 5,4 juta setahun (1 kematian setiap 6,5 detik).

Angka kematian oleh rokok ini jauh lebih besar dari total kematian

manusia akibat HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Rokok terbukti

merupakan faktor risiko dari 6 diantara 8 penyebab kematian tertinggi di

dunia (WHO, 2008). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan merokok

sebagai penyebab 3 kematian utama yaitu kanker paru, jantung koroner,

dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Susanto, 2009).

Sampai sejauh ini faktor utama penyebab PPOK adalah merokok,

diyakini sebagai penyebab hingga 85 - 90% dari semua penderita PPOK

laki-laki di zaman Industri (Lange, 1992). Penelitian epidemiologi telah

banyak menilai hubungan ini. Hubungan tersebut dibuktikan baik dari

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PPOK

penelitian cross sectional maupun longitudinal dan efek dari merokok ada

pada kasus yang ringan hingga kasus yang berat (Vestbo,

2003).Ditemukan adanya obstruksi ringan jalan napas dan

perkembangan yang lambat dari faal paru pada remaja Amerika yang

merokok dan ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan

adanya perlambatan perkembangan dari VEP1 pada perokok kalangan

remaja dengan gejala pernapasan (Gold, 1996).

Walaupun perkembangan dari faal paru hanya melambat 1 - 2%

secara rata-rata, tapi variasinya besar, dan ini mengindikasikan bahwa

remaja yang rentan akan mengalami gangguan perkembangan yang

nyata karena merokok. Efek merokok pada orang dewasa terhadap

penurunan VEP1 sangat jelas adanya.Pada kebanyakan penelitian

longitudinal menunjukkan adanya penurunan VEP1 pada laki-laki perokok

berkisar dari 45 – 90 ml pertahun, sedangkan pada orang normal 30 ml

pertahun. Dan data epidemiologi perokok > 10 bungkus pertahun ( > 10

pack-year) atau sama dengan >200 nilai Indeks Brinkman dan berumur >

40 tahun adalah kelompok beresiko untuk terjadi PPOK (Raherison .,

2009). Isu yang paling menarik perihal merokok adalah adanya

kerentanan. Penelitian tentang PPOK ditantang oleh kenyataan bahwa

hanya 15 – 20% dari perokok rentan yang akan mengalami efek

merugikan dari merokok terhadap penurunan VEP1. Hal ini membuktikan

walaupun demikian pentingnya tentang pengaruh merokok, namun

faktorgenetik disini juga ikut berperan terhadap terjadinya penurunan

VEP1 yang signifikan (Vestbo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PPOK

2.1.2.2 Faktor Lingkungan

Diperkirakan 20 - 30% dari seluruh masalah respirasi disebabkan

oleh polusi udara (Haq, 2002). Hampir setengah penduduk dunia saat ini

hidup di daerah atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk

(FIRS, 2010). Selama dua puluh lima tahun terakhir, polusi udara

meningkat dengan pesat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang

berdampak pada energi lebih banyak. Penggunaan bahan bakar yang

banyak mengandung sulfur, penggunaan bahan bakar bertimbal, proses

pembakaran yang tidak sempurna, kepadatan lalu lintas, buruknya

perawatan kenderaan bermotor dan keadaan jalan raya memperburuk

keadaan. Polusi udara menjadi masalah penting karena dampaknya yang

berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup (United Nations

Environment Programme, 2000).

Polusi udara di kota-kota besar asia dengan penduduk diatas 10

juta jiwa seperti New Delhi, Beijing dan Jakarta semakin parah disebabkan

oleh efek akumulasi pertumbuhan penduduk, industrilisasi, peningkatan

penggunaan kenderaan. Efek kesehatan dapat timbul akibat polusi udara

tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan adalah polusi udara dalam

ruangan (PUDR). Risiko PUDR jauh lebih berbahaya dibandingkan

dengan polusi udara luar ruangan (PULR). World Health Organization

(WHO) menyatakan bahwa PUDR 1000 kali lebih dapat mencapai paru

dibandingkan PULR. Polusi udara dalam ruangan bukan saja terjadi di

pabrik - pabrik dan di ruangan perkantoran di perkotaan tetapi justru

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PPOK

banyak terjadi di desa - desa yang masih mengandalkan pembakaran

kayu, arang, sekam dan minyak untuk memasak. Di negara-negara

berkembang, lebih dari 1 miliar orang yang masih hidup dengan

pembakaran dari kayu atau bahan bakar biomassa lain tanpa cerobong

asap yang memadai di rumahnya (Dawud, 2004). Dampak kesehatan

akibat polusi udara yang umum dijumpai adalah ISPA (Infeksi Saluran

Pernapasan Akut), Bronkhitis, Asma, PPOK dan gangguan pernapasan

lain (Haq, 2002).

Polusi udara yang menahun suatu faktor resiko yang

meningkatkan berkembangnya obstruksi jalan napas atau penurunan nilai

VEP1 pada remaja umur 10 hingga 18 tahun. Seperti yang dilaporkan oleh

Gauderman tentang efek polusi udara terhadap faal paru dan

mekanisme ini dapat meningkatkan resiko terjadinya PPOK saat dewasa

(Gauderman, 2004).

Dari penelitian kohort yang dilakukan terhadap penderita PPOK

disimpulkan bahwa menghirup bahan iritan dalam waktu yang lama akan

meningkatkan resiko kematian pada orang yang rentan terjadinya PPOK

dan efeknya meningkat dengan meningkatnya waktu terekspos

(Zanobetti, 2008).

2.1.2.3 Genetik

Faktor genetik dari PPOK dapat muncul jika ada interaksi antara suatu

genetik tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan yaitu antara

merokok dan gen yang rentan. Laporan kasus adanya keluarga yang

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PPOK

menderita PPOK telah ada dilaporkan sejak tahun 1950-an. Namun yang

menarik tentang faktor genetik pada PPOK berkembang secara luas sejak

ditemukannya defisiensi berat dari alfa-1-antitripsin pada tahun 1963

yang kemudian dikenal sebagai faktor genetik terpenting sebagai

penyebab PPOK (Silverman, 2002).

Beberapa kandidat gen yang berhubungan dengan kerentanan

terhadap timbulnya PPOK selain defisiensi alfa-1-antitripsin antara lain

Matriks metalloproteinase 9 (MMP 9),Microsomal epoxide hydrolase

(EPHX1), Heme oxygenase 1 (HMOX1), Glutathione S-transferase

Gen Varian

Matrix metalloproteinase 9 (MMP 9)

rs 3918242(C-1562 T)

Microsomalepoxidehydrolase (EPHX1)

rs 1051740(T 113 C)

Heme oxygenase 1 (HMOX1)

Glutathione S-transferase P1 (GST P1)

rs 1695(A 105 G)

Vitamin D binding protein

β2-Adrenergic receptor (ADRB2)

rs 1042713(A 16 G)

TNF-α (TNF) rs 1800629(G −308 A)

Transforming growth factor- β1(TGFB1)

Transforming growth factor-β receptor-3 (TGFBR3)

Tabel 2. Kandidat gen berkaitan dengan kejadian PPOK (Wan, 2009)

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PPOK

P1(GST P1), Vitamin D binding protein, β2-Adrenergic receptor (ADRB2) ,

TNFα dan Transforming growth factor-β1(TGFB1) (Wan, 2009).Sejak

tahun 1963 hingga saat ini, defisiensi alfa-1-antitripsin(A1ATD)

diidentifikasi sebagai faktor risiko genetik untuk PPOK.Antitripsin, adalah

suatu inhibitor protease serin yang paling banyak dalam tubuh, dikodekan

oleh SERPINA1 gen pada kromosom 14. Suatu mutasi missense yang

merupakan hasil dalam substitusi asam glutamat untuk lisin pada posisi

asam amino 342.Defisiensi Alfa1-antitripsin (A1ATD) adalah kondisi yang

relatif jarangdan hanya dijumpai pada 1 - 2% dari totalkeseluruhan kasus

PPOK(Brantly, 1988). Hasil penelitian terhadap variasi nilai VEP1 pada

1529 orang kembar non perokok antara umur 18-84 tahun, disimpulkan

bahwa gen adalah pengaruh utama, walaupun pengaruh kuat genetik ini

sangat dimodifikasi oleh interaksinya dengan merokok (Zhai, 2007).

Peran Polimorfisme gen TNFα dengan kejadian PPOK didasari dan

dikaitkan dari penelitian Louis (1998), Braun(1996), Krouger (1997),

Wilson(1997) dan Wu(1997) yangmelaporkan tentang peningkatan

aktivitas transkripsi gen TNFα yang dikaitkan dengan alel -308 diberbagai

gangguan. Higuchi (1998) melaporkan bahwa TNFα merupakan sebuah

ekspresi dari mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel

857T dan alel 1031C yang berhubungan dengan peningkatan

transkripsional aktivitas gen TNFα. Udalova(2000) melaporkan tentang

adanya alel 863A Tumor Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang

dilaporkan oleh Huizinga(1997), Pociot (1995) dan Hajeer(2000) juga

menunjukkan hasil yang beragam berkaitan dengan TNFα dan produksi

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PPOK

protein. Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan kejadian PPOK telah

dibuktikan pada banyak penelitian namun terkadang menunjukkan hasil

yang bertentangan.

Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu

metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada

4 yang secara signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya

PPOK yaitu GSTM1 null variant, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3

dan rs1800629 TNFα( -308 TNFα).

Patogenesis

Paradigma terkini tentang patogenesis dari PPOK adalah bahwa

hambatan aliran udara napas kronik dihasilkan oleh suatu respon

inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran

napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga di deteksi

pada sirkulasi sistemik. Banyak penelitian menemukan bahwa respon

inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan

peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi

oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien

B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh

inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan

jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada

jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal( Agusti, 2007).

Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan

melepaskan netrofil, IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PPOK

dan netrofil mengeluarkan zat-zat protease seperti netrofil elastase,

capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding

alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli

terjadinya hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel

di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8

yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan juga

dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi, salah satunya

TNFα. Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan

pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya

fibrosis. Fibroblas akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan

oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan

diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan

Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP).Karakteristik PPOK adalah

peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai

struktur vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan

makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang

teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4,

IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau

mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2

proses lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu

keseimbangan proteinase – antiproteinase dan keseimbangan beban

oksidan dan antioksidan (Rennard, 2002).

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas

besar, saluran napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner. Sel

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PPOK

inflamasi menginfiltrasi permukaan epitel saluran napas sentral,

mengakibatkan perubahan epitel menjadi squamous metaplasia. Terjadi

pembesaran kelenjar mukus dan peningkatan sel goblet. Perubahan

tersebut mengakibatkan terjadi hipersekresi mukus. Perubahan pada

saluran napas kecil akibat inflamasi menyebabkan airway remodelling

sehingga menyempitkan lumen saluran napas yang nonreversibel (PDPI,

2011).

Pada PPOK dinding antara sakus alveoli kehilangan

kemampuannya untuk meregang dan mengempis. Adanya kerusakan

jaringan penyokong dan serabut elastin akan meningkatkan compliance

jaringan dan mengurangi elastisitas pada ekspirasi. Elastisitas dari

jaringan paru yang menghilang, akan menyebabkan peningkatan volume

residu, volume gas total, penurunan kapasitas inspirasi, hiperinflasi paru

dan udara yang terperangkap dalam sakus alveoli (gas trapping ) yang

mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dan menyebabkan

auto PEEP (Positive End Expiratory Pressure). Hal ini juga mengakibatkan

terjadinya obstruksi dari aliran udara. Jadi pada PPOK adanya obstruksi

saluran napas selain disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil

juga akibat destruksi alveoli dimana terjadi airtrapping dan hiperinflasi.

Berbagai perubahan patologis yang terjadi pada PPOK

menyebabkan hipersekresi mukus dan disfungsi silia mengakibatkan

batuk kronik dan produksi sputum. Gejala ini dapat berlangsung bertahun-

tahun sebelum timbul gejala lainnya ataupun gangguan fisiologis. Limitasi

aliran napas ireversibel yang diukur dengan spirometri merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PPOK

perubahan fisiologis utama pada PPOK. Destruksi dinding alveoli akan

menyebabkan gangguan patensi saluran napas kecil, namun hal ini hanya

memegang peranan kecil pada patofisiologi PPOK (PDPI, 2011).

Pada PPOK stadium lanjut, terjadi obstruksi saluran napas perifer

dan kelainan pembuluh darah paru yang akan menyebabkan gangguan

pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia dan akhirnya hiperkapnia.

Komplikasi kardiovaskuler PPOK berupa hipertensi pulmoner dan kor

pulmonal merupakan hal yang dihubungkan dengan prognosis yang

buruk. Obstruksi jalan napas merupakan yang paling menonjol dan paling

sukar ditanggulangi oleh karena umumnya menunjukkan tingkat

perjalanan penyakit yang lanjut, irreversibel dan progresif. Penekanan

terapi terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan

yang terpenting, oleh sebab itu mekanisme obstruksi jalan napas pada

PPOK perlu dipahami secara baik (PDPI, 2011).

Mekanisme obstruksi saluran napas adalah obstruksi oleh sekret

pada saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai

penebalan kelenjar-kelenjar, submukosa, secara potensial merupakan

komponen obstruksi saluran napas yang reversibel. Reaksi oksidasi stress

dari asap rokok atau dari sel inflamasi memiliki beberapa efek antara lain :

menurunkan aktivitas dari antiprotease, mengaktivasi Nuklear factor kB,

meningkatkan sekresi sitokin IL8, meningkatkan produksi TNFα,

meningkatkan isoprotanase yang berperan dalam bronkokontriksi dan

kebocoran plasma dan efek langsung terhadap saluran napas

(bronkokontriksi) (GOLD, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PPOK

Gambar 1 : Patogenesis Terjadinya PPOK (GOLD, 2009)

Yang menjadi dasar dari patogenesis PPOK adalah sejauh mana

host respon (respon pejamu) dari seorang perokok terhadap faktor

pajanan asap rokok. Apakah terjadi amplifikasi dari respon inflamasi,

stress oksidasi atau proteinase yang dapat menyebabkan kerusakan

pada PPOK atau tidak terjadi amplifikasi sehingga antioksidan dan

antiproteinase dapat berperan menghambat terjadinya PPOK (gambar 1).

Patogenesis PPOK sangatlah kompleks, dan hingga mekanisme

yang terlibat menjadi lebih jelas pun masih sulit dipahami mengapa

hanya 20% dari perokok yang berkembang menjadi PPOK. Seorang

perokok pasif dapat berkembang menjadi penderita PPOK, tetapi

seorang perokok aktif berat tidak menjadi penderita PPOK. Walaupun

kemajuan sudah dibuat dalam memahami patogenesis PPOK, namun

masih belum jelas mengapa hanya sedikit perokok yang berkembang

menjadi PPOK. Yang menjadi dasar dari patogenesis PPOK adalah

Faktor Pejamu Mekanisme melipatgandakan

Asap rokok Partikel bahaya

Anti oksidan Anti protease

Oksidasi stress

Inflamasi Paru

Protease

Patologi PPOK

mekanisme perbaikan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PPOK

respon dari hostatau pejamu (perokok) terhadap faktor risiko dari

lingkungan (asap rokok). Efek utama dari respon ini telah digambarkan

sebagai inflamasi yang abnormal, walaupun berbagai mekanisme lain

yang terlibat masih belum jelas (GOLD, 2009).

Gambar 2 : Skematik patogenesis PPOK (Siafakas, 2003)

Secara skematik patogenesis PPOK diilustrasikan seperti pada

gambar 2 bahwa: asap rokok dan host respon mempunyai peranan yang

sama terhadap kejadian stress oksidatif, inflamasi, kerusakan jaringan dan

remodeling(Siafakas, 2003).

Suatu epidemiologi model telah dibuat sebagai penekanan terhadap

waktu pemaparan asap rokok (sebelum lahir, selama perkembangan

paru, dan lain-lain). Ada juga bukti bahwa infkesi virus adenoviral pada

awal kehidupan dapat menjadi faktor penting untuk mencirikan

perokok yang rentan. Hiperesponsif dari saluran napas gagal untuk

dapat dijelaskan ke gambaran umumnya dan masih menjadi suatu topik

perdebatan. Perbedaan nutrisi, seperti vitamin atau minyak ikan dapat

berperan dalam menyiapkan pertahanan terhadap efek stress oksidasi

Kerusakan jaringan

Stress oksidasi

Inflamasi abnormal

Perbaikan jaringan abnormal (remodelling)

Lingkungan / gas beracun (rokok)

Faktor Host (genetik)

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PPOK

tetapi tidak dapat secara lengkap dijelaskan terhadap keberadaan

kerentanan seseorang.Perbedaan genetik menjadi parameter yang

terbaik untuk mengindentifikasi perokok yang rentan. Pemahaman dasar

genetik dari PPOK dapat mengarahkan ke metoda pencegahan dan

pengobatan yang lebih baik dimasa yang akan datang (Siafakas, 2003).

2.2. Respon Inflamasi yang terjadi pada Penyakit Paru Obstruktif

Kronik

Inflamasi adalah merupakan bagian dari respon imunitas, dimana

proses perbaikan dimulai ketika proses inflamasi terjadi di paru. Mediator

inflamasi diketahui tidak hanya memodulasi terjadinya respon inflamasi

tetapi diyakini mempunyai peranan yang penting didalam regulasi

perbaikan. Mediator inflamasi bekerja secara lokal di sepanjang saluran

napas dengan memberikan modulasi penarikan sel epitel untuk menutupi

defek yang dihasilkan oleh suatu cedera. Kemampuan dari sel epitel

bermigrasi untuk menutupi defek juga dimodulasi oleh komponen yang

ada dalam lingkungan inflamasi yang terjadi. Pada PPOK, terjadinya

gangguan fungsi pada saluran napas dan struktur alveoli disebabkan oleh

kerusakan struktur akibat tidak berjalan sempurnanya respon perbaikan

yang efektif, akibat dari terjadinya inflamasi yang terus menerus atau

kronik (Rennard,1999)

PPOK adalah suatu penyakit inflamasi yang kompleks dimana

melibatkan banyak sel inflamasi yang berbeda jenis dan struktur, yang

semuanya memiliki kemampuan untuk melepaskan beraneka ragam

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PPOK

mediator inflamasi (gambar 3 dan 4). Interaksi antara sel-sel inflamasi

yang terlibat pada PPOK jelas terjadinya. Gambar dibawah menunjukkan

peranan berbagai sel terhadap proses inflamasi pada PPOK antara lain

: Netrofil, Makrofag, CD8-T Limfosit, Eosinofil, Epitel sel, Sel Endotel dan

Fibroblas yang dapat menimbulkan efek perusakan jaringan paru dan efek

modifikasi dari proses perbaikan epitel sehingga terjadi remodeling

(Barnes, 2003).

Gambar 3: Sel inflamasi yang berperan pada PPOK (Barnes, 2003)

Mediator inflamasi berasal dari beberapa sel inflamasi di saluran

napas dan mediator-mediator ini yang akan berperan pada kejadian

sejumlah efek inflamasi. Beberapa mediator inflamasi pada Penyakit Paru

Obstruktif Kronik yaitu (Barnes, 2003) :

1. Lipid Mediator : Protanoid, Leukotrin, Platelet Activating factor

2. Reactive Oxygen Species

3. Nitric Oxide

4. Peptide Mediator: Endotelin, Bradikinin, Tachykinin, Komplemen

5. Kemokin : IL 8, GROα, GROβ, MCP 1, MIP-1β

6. Sitokin : TNFα, IL 1, IL 6, IL 9 , GM-CSF, IL 10, IL 12, IL 13, IL 17 dan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PPOK

Interferon gamma

7. Growth Factor : TGFβ, EGF

8. Protease : Neutrofil elastase,Cathepsin, Protease 3, MMPs

Gambar 4 : Inflamasi yang kompleks pada PPOK (Barnes, 2003)

Inflamasi pada PPOK sangat kompleks, disertai dengan banyak aktivasi

inflamasi dan struktur sel yang melepaskan beragam mediator, termasuk

mediator lipid seperti LTB4, yang kemoatraktan terhadap netrofil; kemokin

seperti MCP1 dan MIP1a, yang menarik monosit; IL8 dan GROα yang

menarik monosit dan netrofil; IP 10 yang menarik CD 8, ROS dan NO; GM

CSF yang akan memperpanjang umur netrofil; TNFα yang akan melipat

gandakan inflamasi dengan mengaktifkan berbagai gen inflamasi dan

terhadap timbulnya beberapa efek sistemik dari penyakit; endotelin dan

TGF yang dapat menginduksi fibrosis.Respon inflamasi ini ditandai

dengan disekresikan berbagai macam sitokin sebagai respon terhadap

terpaan awal dari sel-sel inflamasi, terutama makrofag, netrofil dan T

limfosit yang juga ikut berperan dan teraktivasi di dalam jalan napas, dan

selanjutnya akan menyebarkan kaskade inflamasi. Interaksi antara

inflamasi lokal dan sistemik dalam perkembangan terjadinya obstruksi

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PPOK

kronik dari jalan napas banyak diminati peneliti, walaupun secara

alamiahnya belum jelas dipahami(Barnes, 2003).

Meningginya kadar dari inflamasi sistemik dapat dipastikan

menggambarkan curahan dari inflamasi lokal pada saluran napas, atau

awal dari respon lokal yang di modifikasi oleh faktor sistemik. Pemahaman

tentang hubungan konsentrasi sistemik seperti sejumlah biomarker

inflamasi dan oksidasi stress terhadap penurunan faal paru dapat

memberikan pengertian yang mendalam terhadap proses yang terjadi di

dalam paru yang menyebabkan obstruksi kronik jalan napas dan

pemahaman terhadap hubungan inflamasi sistemik dengan proses di

dalam paru tersebut (Walter, 2008).

Belakangan ini efek sistemik dari PPOK dikatakan kemungkinan

adalah sebagai patobiologi dari sejumlah efek kerusakan terjadi di ekstra

paru (Andreassen, 2003 danAgusti, 2007). Gan (2004) melakukan

metaanalisis terhadap beberapa penelitian mengenai inflamasi sistemik

dan hasilnya mengkonfirmasi adanya peningkatan dari leukosit,

fibrinogen, C reactive Protein (CRP) , sitokin (IL6) dan Tumor nekrosis

faktor (TNFα) pada penderita PPOK stabil. Dan intensitas dari sistemik

inflamasi ini akan meningkat selama kejadian eksaserbasi pada

PPOK(Andreassen, 2003 danAgusti, 2007).

2.3 Tumor Nekrosis Faktor Tumor Nekrosis Faktor (TNF) adalah suatu protein dengan panjang

233 asam amino. Dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu cachectin,

necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik. TNF termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PPOK

jenis sitokin yang merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat

diproduksi oleh hampir semua jenis sel berinti dalam tubuh. Memiliki sel

sasaran dan fungsi yang multipel. Dikelompokkan dalam mediator

inflamasi yang berfungsi dalam komunikasi antar sel yang bekerja dalam

sistem imun (Baratawidjaja, 2009 dan Subowo,2009).

Bersama dengan IFN gamma, TNF bersifat sitotoksik bagi banyak

jenis sel tumor. TNFα pada awalnya dijelaskan sebagai suatu faktor yang

diproduksi oleh stimulasi endotoksin terhadap makrofagsehingga

menyebabkan hemoragik nekrosis dari tumor.TNFα merupakan

proinflamasi sitokin yang kuat dengan pleiotropi dan suatu mediator

penting pada inflamasi.Sitokin adalah mediator berupa peptida yang

fungsinya dapat menurunkan atau meningkatkan respon imun, inflamasi

dan respon tubuh terhadap penyembuhan jaringan yang rusak. Sitokin

merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi

intraseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10-

10 – 10-15 mol/l dapat merangasang sel sasaran). Dewasa ini lebih dari

100 jenis sitokin yang sudah diketahui. Suatu sitokin bekerjanya seperti

hormon, yaitu melalui reseptor pada permukaan sel sasaran.Adapun kerja

dari sitokin adalah sebagai berikut(Baratawidjaja, 2009):

Langsung:

1. Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi)

2. Autoregulasi (fungsi autokrin)

3. Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin)

Tidak langsung:

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PPOK

1. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama

dengan sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme)

2. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme)

TNFα bekerja dengan mengikat kepada dua struktur permukaan sel

reseptor yang berhubungan,yaitu p55 dan p75. Meskipun demikian

reseptor p55 sepertinya bertanggung jawab sebagai mediasi mayoritas

fungsi TNFα. Kedua reseptor dapat secara proteolisis terbelah dan

melepaskan dalam bentuk larut, merupakan tanda yang baik untuk

aktifitas TNFα (Petrescu, 2010).TNFterbukti juga merupakan modulator

respon imun kuat yang memperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lain

dan aktivasi netrofil. TNF yang diproduksi dalam jangka panjang (kronik)

dapat mengakibatkan tissue remodelling. TNF dapat berfungsi sebagai

faktor angiogenesis dan membentuk pembuluh darah baru, dan dapat

berfungsi sebagai faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) yang

mengakibatkan pembentukan jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap

berlanjut, jaringan-jaringan tersebut dapat merupakan jaringan limfoid

baru dimana berkumpul limfosit B dan T.Ada 2 bentuk TNF, yaitu TNFα

dan TNFβ. TNFα diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag,

sel T, B, NK, astrosit dan Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai respon

terhadap rangsangan bakteri, virus dan sitokin, kompleks imun, komponen

komplemen C5a dan reactive oxygen intermediate (ROI). Sebaliknya

TNFβ disekresi oleh sel T dan teraktivasi, ia dapat berada pada

permukaan sel bila terikat pada protein transmembran LT beta. Kedua

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PPOK

protein termasuk keluarga protein yang diantaranya terdapat CD40L,

CD30L dan CD29L. Lokasi TNFα, TNFβ dan LT beta pada region MHC

kromosom 6 dan 17 menimbulkan dugaan bahwa molekul itu bertanggung

jawab atas beberapa efek yang berhubungan dengan MHC. Ada 2 jenis

reseptor TNFα yang dapat mengikat TNFα dan β dengan afinitas kuat.

Walaupun hampir semua jenis sel dapat mengekspresikan reseptor

tersebut, reseptor tipe II (tipe A) terutama diekspresikan oleh sel mieloid,

sedangkan reseptor tipe I (tipe B) diekspresikan oleh berbagai jenis sel.

Ekspresi reseptor diatur oleh vit D3, IL2, GMCSF, dan TNFα sendiri.Kini

TNF lebih dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Pola

kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan oleh IL 1, sehingga

TNF dianggap penting dalam proses penyembuhan luka. Walaupun TNF

dalam beberapa aktivitas biologi mirip IL 1, namun ada beberapa

perbedaan dalam mekanisme pengaturan imun. TNF mempunyai

aktivitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit T teraktifkan,

misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen, peningkatan

reseptor untuk IL2 dan induksi produksi IFNγ. Demikian juga imunitas

spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF.TNF dapat meningkatkan

ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel.Efek

perlindungan non spesifik terhadap patogen telah dilaporkan pula untuk

TNF.Misalnya aktivitas antivirus dan beberapa parasit (Subowo, 2009).

Sitokin terutama TNFα berperan pada inflamasi kronik. Makrofag

yang telah diaktifkan yang melepaskan TNFα. Anggota famili glikoprotein

(TNFα dan TNFβ) dilepas oleh sel yang terinfeksi virus dan memberikan

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PPOK

proteksi anti virus pada sel sekitar. Endotoksin memacu makrofag untuk

memproduksi TNFα. Yang pada akhirnya memiliki sifat sitotoksik secara

langsung terhadap beberapa sel tumor tetapi tidak terhadap sel normal.

TNFα juga berperan dalam kehilangan material jaringan (seperti membuat

menjadi kurus) yang merupakan ciri inflamasi kronik. TNFα bekerja

sinergitik dengan IFNγ dalam inisiasi respon inflamasi kronik. Kedua

sitokin jika bersama-sama menginduksi akan menyebabkan peningkatan

jumlah yang lebih besar dari ICAM 1, E selektin dan MHC1 dibanding jika

masing-masing sitokin bekerja sendiri(Subowo, 2009).

Dampak Tumor Nekrosis Faktor alpha (TNFα) secara sistemik antara

lain adalah :

1. Bersama-sama dengan IL1, TNFα mengakibatkan demam karena

TNFα dapat berinteraksi dengan sel-sel di daerah hipotalamus.

2. TNFα merangsang fagosit mononuklear untuk memproduksi IL1 dan

IL6.

3. Merangsang hepatosit untuk memproduksi protein-protein tertentu

misalnya protein amiloid A.

4. Mengaktifkan sistem koagulasi dengan merubah keseimbangan

aktifitas prokoagulan dan antikoagulan pada endotel vaskuler.

5. Menekan aktivitas sterm cell dalam sum-sum tulang. Pemberian TNFα

dalam jangka lama berakibat limfopeni dan imunodefisiensi

6. Pemberian TNFα jangka panjang juga menyebabkan kaheksia

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PPOK

Gambar 5 : Peran TNFα terhadap proses inflamasi pada PPOK (Barnes,2003)

Pada gambar 5 diatas dijelaskan TNFα berperan penting pada

patogenesis PPOK dan dalam melipatgandakan respon inflamasisecara

lokal di paru, dengan mengaktifkan sel epitel, monosit, makrofag dan

netrofil. Ini dapat menyebabkan emfisema melalui pelepasan proteinase,

termasuk netrofil elastase (NE) dan matriks metalo protease (MMP9) ,

menstimulasi sekresi mukus dan juga secara sistemik menginduksi

terjadinya apoptosis pada otot skeletal (Barnes, 2003).

Hasil dari efek inflamasi sistemik pada PPOK dapat diukur dari

organ ekstra paru seperti otot skeletal atau secara umum dapat digunakan

komposisi tubuh, berat badan atau pengukuran yang setara lainnya.

Kerusakan otot skeletal dijumpai pada kondisi penyakit kronik seperti

juga PPOK. Mekanisme yang terlibat pada kerusakan otot skeletal adalah

deconditioning, malnutrisi, myopati otot skeletal dan rendahnya tingkat

sirkulasi hormon anabolik (Andreassen, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PPOK

Belakangan ini pemeriksaan terhadap biomarker salah satunya

TNFα, makin berkembang didalam pemahaman dan memonitor inflamasi

yang terjadi pada PPOK. Dari hasil metaanalisis sekian banyak biomarker

yang ada, hanya 4 yang menunjukkan hubungan yang kuat dengan

perbedaan derajat pada PPOK yaitu netrofil sputum, IL8, CRP dan juga

TNFα (Barnes, 2003). Beberapa sitokin secara invitro telah terbukti

dijumpai di darah perifer pada orang sehat yang salah satunya adalah

TNFα, dan telah terbukti secara signifikan level dari TNFα berbeda pada

setiap individu. (Hajeer, 2000). Sitokin TNFα memicu produksi intercellular

cell adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule 1

(VCAM-1).

Gambar 6. Struktur tersier sitokin TNFα

Sudah dibuktikan tentang adanya TNFα yang diberikan pada sel epitel

alveoli tipe II akan mengalami peningkatan apoptosis secara bertahap

selang masa kultur, dimana proses tersebut dipicu dengan terekposnya

sel dengan sinar ultraviolet. Ini memberikan kesan bahwa TNFα dapat

menginduksi perubahan pada sel alveoli sehingga menyebabkan lebih

rentan mengalami apoptosis dengan berbagai stress. Penelitian lain juga

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PPOK

menunjukkan bahwa fibroblas yang diisolasi dari pasien dengan sekret

fibrosis paru adalah faktor yang menginduksi apoptosis dari sel epitel

alveoli. Dijumpainya hal ini membuat kita berhipotesis bahwa TNFα juga

berperan penting pada patogenesis perubahan empisema pada pasien

dengan PPOK dengan induksi apoptosis sel alveoli tipe II yang berfungsi

sebagai stem sel untuk memperbaiki alveoli yang rusak (Sakao, 2002).

TNFα juga sebagai pengatur utama regulasi dari MMP (Matriks

Metaloproteinase) yang merupakan patogenesis terjadinya PPOK oleh

asap rokok. Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease

berperan dalam terjadinya kelainan emfisema ditandai dengan

meningkatnya degradasi dari matriks ekstraseluler, airway remodeling

pada bronkitis kronik dan asma dan dengan adanya peningkatan

penumpukan kollagen.TNFα dapat mengaktifkan makrofag untuk

memproduksi matriks metaloproteinase. Efek ini di inhibisi oleh IL10, yang

juga meningkatkan pelepasan tissue inhibitor metaloproteinase (TIMP1)

pada makrofag orang sehat, tetapi pada perokok IL10 meningkatkan

pelepasan TIMP1 tanpa memodifikasi pelepasan MMP9 dari makrofag

alveoli(Wright, 2007).

2.3.1Gen TNFα, Polimorfisme gen TNFα dan perannya terhadap

timbulnya PPOK

Regulasi dan produksi TNFα disandi oleh Gen TNFα yang pada

manusia berada secara berdampingan pada lokus p21.3 kromosom 6

tepatnya terletak pada Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas III

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PPOK

(De Vries, 2000). MHC mengakomodasi gen-gen yang memegang

peranan penting dalam fungsi imunologis. Kompleks MHC dikelompokkan

menjadi empat kelas dimana setiap kelas mengandung gen-gen yang

mempunyai karakter berkaitan.

Lokasi paling ujung dekat dengan sentromer merupakan kelas II

yang terdiri dari 17 HLA (human leukocyte antigen). Di sebelahnya

mendekati arah telomere adalah kelas III yang mengkode beberapa

komponen dan sistem komplemen. Sedangkan ujung lain yang paling

dekat dengan telomere adalah kelas I yang mengkode lebih dari 18 gen

yang berhubungan dengan HLA dan pseudogen. Akhir-akhir ini gen-gen

yang bertanggung jawab terhadap inflamasi dan infeksi yang terletak di

bagian tengah MHC dan berbatasan dengan kelas III telah dikelompokkan

sendiri dan dikategorikan sebagai kelas Ivsepertiterlihatpadagambar7.

Gambar 7. Peta gen major histocompatibility complex (MHC) (Gruen, 1997).Keterangan: Gen TNFα terletak pada kelompok kelas IV.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PPOK

Gen TNFαmempunyai ukuran 3.634 pb (pasang basa) yang

tersebar pada empat ekson dan 7.092 pb yang tersebar pada tiga intron.

Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino ditranslasikan dari

mRNA dengan ukuran 1.585 pb (Gambar 8).

Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino tersebut berupa

protein transmembran dengan berat molekul 25 kDa. Setelah melewati

membran sel yang berupa lipid bilayer, protein tersebut diproses oleh

enzim TNF alpha converting enzyme (TACE) menghasilkan sitokin TNFα

fungsional dengan ukuran 157 asam amino dan berat molekul 17 kDa.

Sitokin tersebut stabil dan aktif dalam konformasi saling berikatan

membentuk homotrimer dengan berat molekul 51 kDa (Grana, 2001).

Gambar 8: Proses ekspresi gen TNFα (Nedwin, 1985) Keterangan: Garis menggambarkan intron, sementara kotak menggambarkan ekson. Kotak putih merupakan daerah yang tidak ditranslasikan (UTR), kotak bergaris adalah daerah yang ditranslasikan tetapi hanya terdapat pada protein prekursor dan kotak gelap merupakan daerah kodon TNFαfungsional

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PPOK

Meskipun produksi sitokin TNFα dipicu oleh proses inflamasi,

kecepatan produksi TNFα dipengaruhi oleh faktor genetik, yaitu adanya

polimorfisme yang terdapat pada gen yang menyandi sitokin tersebut.

Sejauh ini, 2 single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada daerah

promoter gen TNFα pada lokasi nukleotida -238 dan -308 dari gen

TNFαtranscriptional start site telah ditemukan. Keduanya melibatkan

perubahan nukleotida dari guanine (G) ke adenine (A). Jenis-jenis alelnya

secara berturut-turut adalah TNFα-238G/A dan TNFα-308G/A.

Polimorfisme gen TNFα -308 baik yang homozigot (AA) maupun

heterozigot (GA) merupakan faktor risiko terjadinya PPOK (Huang, 1997).

Polimorfisme genTNFα pada posisi -238 baik yang homozigot (AA)

maupun heterozigot (GA) berhubungan dengan penurunan aktifitas

transkripsi dan penurunan produksi TNFα(Gingo, 2008).

Gen TNFα yang memiliki rantai panjang 233 asam amino dan

terdapat pada bagian lengan pendek kromosom 6 p21.3 berada di dalam

kompleks MHC,ini adalah región yang kejadian polimorfismenya sangat

tinggi. Polimorfisme atau Single Nucleotida Polimorphism (SNP) adalah

suatu variasi urutan nukleotida, atau perubahan salah satu basa

nukleotida pada gen. Ada banyak penelitian yang menunjukkan

polimorfisme gen TNFα mempengaruhi tingkat produksi dari TNFα.

Perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin Guanin

menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -308 (gen TNFα -308G/A)

pada promotor region ‘5 dan merupakan kejadian polimorfisme yang akan

menyebabkan peningkatanproses transkripsi(Hajeer,2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PPOK

Untuk mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda

PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment

Length Polymorphism), adapun primer yang digunakan pada penelitian ini

untuk amplifikasi gen dengan PCR yaituprimer ATF-3 (5’ GTT CCT TGG

AAGCCA AGA CT 3’) dan ATR-1 (5’ GTC AGG GGA TGT GGC GTC T 3’)

padatahap reaksi pertama dan primer ATF-2 (5’ TGG AGG CAA TAG GTT

TTG AGGGCC AT 3’ dan ATR-2 (5’ TCA TCT GGA GGA AGC CGT A 3’)

untuk reaksiPCR kedua (Turyadi, 2006). Produk PCR yang dihasilkan

adalah sebesar 231pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka

akan terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi).Sedangkan pada

yang normal terpotong menjadi 208pb dan 20pb oleh enzim NcoI. Dan

pada yang heterozigot menjadi tiga pita yaitu 231pb, 208pb dan 20pb.

(Turyadi, 2006).Adapun nomor akses dari gen -308 TNFα adalah

rs1800629 (Gingo, 2008).

Sedangkan untuk gen TNFα posisi-238 dengan nomor akses

rs361525,perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin

Guanin menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -238 (TNFα -

238G/A) pada promotor region ‘5 dan merupakan kejadian polimorfisme

yang akan menyebabkan peningkatan proses transkripsi. Untuk

mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda PCR

(Polymerase Chain Reaction) dan RFLP, adapun primer yang digunakan

untuk amplifikasi gen dengan PCR yaituforward 5’-

ATCTGGAGGAAGCGGTAGTG-3’dan reverse 5’-

AGAAGACCCCCCTCGGAACC-3’. Produk PCR yang dihasilkan adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PPOK

sebesar 150pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka akan

terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi). Pada yang normal akan

dikenal dan diretriksi menjadi 130 pb dan 20pb oleh enzim MspI.

Heterozigot akan diretriksi menjadi 150pb, 130pb dan 20pb (Ozhan,

2010).

Faktor yang menyebabkan peningkatan TNFdalam penderita PPOK

tetapi tidak pada perokok dengan fungsi paru normal satu

kemungkinannya adalah bahwaekspresi TNF diatur oleh single nucleotide

polimorfisme (SNP) dalam gen. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa

penelitianadanyapeningkatan aktifitas transkripsi gen TNF yang dikaitkan

dengan alel yang-308A, sedangkan pada -238 menyebabkan penurunan

aktifitas trankripsi.Sudah dinyatakan dari beberapa penelitian bahwa

polimorfisme gen dari TNFα, IL13 promotor gen, vitamin D protein

pengikat, gen yang berhubungan dengan keseimbangan protease dan

antiprotease dan dengan keseimbangan oksidasi dan antioksidan yang

berkaitan dengan kejadian PPOK. Polimorfisme yang terjadi pada satu

gen hanya menempati sebagian kecil risiko relatif dari terjadinya PPOK,

dan sepertinya efek kumulatif dari banyak polimorfisme akan menjadi

penting dalam patogenesisnya. Sebelum hubungan ini secara umum

dapat diterima, semua itu satu-persatu harus dilakukan penelitian secara

seksama dengan penelitian-penelitian lebih jauh untuk melihat

hubungan dalam hal ke sukuan dan fenotipe dari PPOK (Teramoto, 2007)

Dari penelitian Louis (1998), Krouger(1997), Wilson (1997), dan

Wu (1997) dilaporkan tentang peningkatan aktivitas transkripsi gen TNF

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PPOK

yang dikaitkan dengan alel yang -308A diberbagai gangguan. Higuchi

(1998) melaporkan bahwa TNF merupakan sebuah ekspresi dari

mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel 857T dan alel

1031C yang dikaitkan dengan peningkatan transkripsional aktivitas gen

TNF. Udalova(2000) melaporkan tentang adanya alel 863A Tumor

Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang dilaporkan oleh Huizinga

(1997), Pociot (1995), Hajeer(2000) dan Gingo (2008) juga menunjukkan

hasil yang beragam berkaitan dengan TNFα dan produksi protein.

Meskipun ini telah dibuktikan dalam studi in vitro, belum semua dari SNP

tersebut dipelajari pada populasi PPOK dan yang telah diteliti pun

terkadang menunjukkan hasil yang bertentangan.

Produksi TNFα menunjukkan variasi yang besar antar individu, hal

ini sudah diketahui terutama dipengaruhi oleh faktor yang diturunkan.

Beberapa polimorfisme genetik yang berhubungan dengan sintesa TNFα

sudah ditetapkan pada gen TNF antara lain gen TNFα posisi -308 (Huang,

1997), gen TNFα posisi -863 (Gingo, 2008), gen TNFα posisi -238

(Bayley, 2001) dan beberapa lainnya.

Sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli tentang

pengaruh alel gen TNFα-308 G/A dan -238G/Aterhadap kejadian Penyakit

Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Sejak Huang(1997) menemukan adanya

polimorfisme gen TNFα-308(G/A) pada populasi di Taiwan yang

berperan terhadap terjadinya bronkitis kronik. Dan kemudian kembali

dibuktikan polimorfisme nukleotida tunggal ini berhubungan dengan

terjadinya PPOK oleh Sakao(2001), Jiang(2005) dan Hersh (2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PPOK

Namun hal ini tidak konsisten dijumpai keberadaanya, seperti

yang dilaporkan beberapa penelitian Higham(2000), Sandford (2001),

Tanaka(2007) yang dilakukan pada populasi Kaukasus dan oleh Ishi

(2000), Hegab(2005) dan Chierakul(2005) pada populasi Asia, diperoleh

bahwa polimorfisme nekleotida tunggal alel -308G/A TNFα tidak berbeda

bermakna antara perokok dengan atau tanpa PPOK. Hu (2007) di Cina

dan Gingo (2008) di Amerika mengkonfirmasi kembali adanya hubungan

polimorfisme nukleotida tunggal alel gen TNFα-308G/A dengan PPOK dan

berperan terhadap kerentanan pada seorang perokok.

Gingo (2008) membandingkan 6 variasi polimorfisme TNFα

nukleotida tunggal (-1031C/T, -863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan

+487G/A) dan disimpulkan bahwa alel -308 memiliki odds rasio yang

paling tinggi berhubungan dengan analisis multivariat dan juga

berhubungan dengan memburuknya nilai VEP1/KVP dan yang kedua

berhubungan secara bermakna adalah -238 . Dan Gingo menyatakan

diperlukan penelitian independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia

dan populasi non-Kaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah

penelitian yang dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20

polimorfisme pada 12 macam gen yang dilakukan oleh Smoolonska

(2009), salah satu hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNFα

alel -308G/A berlaku pada populasi Asia saja walaupun hal ini ditolak oleh

Teramoto(2001), dan disimpulkan tentang pentingnya etnik pada

identifikasi genetik PPOK.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PPOK

Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu

metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada

4 yang secara signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya

PPOK yaitu GSTM1, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3 dan

rs1800629 TNFα( -308 TNFα).

Selain itu, sekresi interleukin-1 dan e prostaglandin 2 dari subyek

yang berbeda sangatberkorelasi dengan tingkat produksi TNFα(Molvig,

1988).Ekspresi TNFα dapat diatur pada tingkat transkripsional (Sariban,

1988), dan perbedaan dalam produksi TNFα ditentukan pada tingkat

genetik. Telah terbukti dalam studi transfection bahwa alel kurang umum,

TNFα , adalah terkait dengan dasar yang lebih tinggi dan menyebabkan

ekspresi (Wilson, 1992 & 1994). Hubungan positif dengan polimorfisme

gen TNFα juga ditemukan di beberapa penyakit, seperti malaria serebral

(McGuire, 1994) dan dermatitis herpetiformis (Messer, 1994), ankylosing

spondilitis (Verjans, 1994), artritis rematik (Wilsonet, 1995), dan kolitis

ulserativa (Mansfield, 1994 ).

2.3.2 Teknik pemeriksaan Gen TNFα dengan TehnikPCR dan RFLP Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR merupakan suatu tehnik untuk mengamplikasi segmen DNA

secara invitro dimana prinsip kerjanya mirip dengan proses replikasi

didalam sel (invivo). Tehnik ini pertamakali ditemukan oleh Kary dan

kawan-kawan pada tahun 1984.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PPOK

Amplikasi DNA merupakan tindakan memperbanyak jumlah

segmen DNA tertentu dengan pengaturan suhu temperatur yang tepat

dan hanya diperlukan waktu relatif singkat. Segmen DNA yang diharapkan

teramplifikasi dapat dipelajari dan diteliti. Tehnik PCR telah populer

diterapkan dikalangan peneliti sehingga ilmu biologi molekuler tentang

suatu gen dan penyakit berhubungan dengannya berkembang dengan

pesat.PCR mempunyai 3 tahap, yakni denaturasi, penempelan primer

(annealing) dan elongasi (polymerization). Dengan diketahui urutan basa

yang akan diamplifikasi dan ditentukan sepasang primer oligonukleotida

pendek (15-30pb) yang dirancang sesuai urutan nukleotida segmen DNA

yang akan diamplifikasi dari ujung segmen DNA target dengan arah 5’ke

3’.

PCR merupakan suatu teknik penggandaan untai DNA pada

fragmen tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim DNA

polimerase. Reaksi PCR ada tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing,

dan elongasi. Pada tahap denaturasi suhu dinaikkan sehingga satu untai

ganda DNA cetakan akan terdenaturasi menjadi dua untai tunggal.

Selanjutnya pada suhu annealing primer akan menempel pada DNA

cetakan sesuai dengan urutan komplemennya. Penempelan DNA primer

akan diikuti dengan sintesis DNA pada tahap berikutnya yaitu elongasi.

Sehingga pada akhir setiap siklus, satu untai DNA digandakan menjadi

dua untai. Jumlah siklus dalam setiap reaksi PCR biasanya 25 – 35 siklus.

Waktu yang diperlukan untuk setiap siklus sangat pendek yaitu sekitar 3 –

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PPOK

4 menit, sehingga dalam beberapa jam sudah didapat jumlah fragmen

DNA yang diinginkan (Saiki, 1989).

Proses PCR selain DNA cetakan, diperlukan juga enzim DNA

polimerase, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, Mg++ dan

larutan dapar. Primer yang terdiri dari oligonukleotida untai tunggal selain

sebagai pelacak, juga sebagai pembatas fragment untai DNA yang akan

digandakan. DNA yang digunakan dalam reaksi PCR merupakan DNA

hasil isolasi dari sampel sel. Berbagai teknik isolasi DNA telah banyak

dikembangkan dari berbagai jenis sampel, sehingga memungkinkan untuk

mengisolasi DNA dari sampel arsip yang sudah lama disimpan.

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Salah satu cara untuk mengenali urutan nukleotida pada titik

tertentu adalah dengan menggunakan teknik RFLP, yaitu teknik

pemotongan DNA pada titik tertentu dengan menggunakan enzim

endonuklease atau disebut juga sebagai enzim restriksi.Enzim

endonuklease merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri dan mampu

memotong untaian DNA pada atau dekat dengan urutan nukleotida yang

spesifik untuk setiap jenis enzim. Urutan spesifik tersebut dikenal dengan

nama situs pengenalan atau situs restriksi. Situs pengenalan biasanya

antara empat atau enam nukleotida dan biasanya bersifat palindromik

(Micklos, 1989). Kemampuannya yang unik yaitu memotong DNA hanya

jika ada situs pengenalannya, maka enzim ini banyak digunakan untuk

mendeteksi adanya polimorfisme urutan DNA pada tempat tertentu

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PPOK

dengan melihat terjadi atau tidaknya pemotongan oleh enzim restriksi.

Teknik RFLP jauh lebih sederhana, murah dan cepat untuk mendeteksi

polimorfisme titik dibandingkan dengan teknik sekuensing DNA, meskipun

teknik sekuensing DNA kadang-kadang masih diperlukan sebagai

konfirmasi maupun untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya

polimorfisme baru.Polimerisasi DNA (replikasi DNA) hanya dapat dimulai

jika tersedia molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk

mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Selain itu, polimerisasi DNA

juga mutlak memerlukan cetakan (template) yang dapat berupa untaian

DNA. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3’- OH yang akan

digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses

polimerisasi (Yuwono, 2005).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah suatu

tehnik análisis dengan menggunakan enzim restriksi yang memotong

segmen DNA sehingga menghasilkan panjang fragmen yang spesifik.

Segmen DNA yang akan dianalisis didigesti dengan enzim restriksi ,

hibridisasi dengan probe yang terdiri dari molekul DNA utas tunggal

berkomplemen ke satu atau lebih nukleotida dari fragmen hasil restriksi,

sehingga gambaran fragmen-fragmen DNA tersebut merupakan profil

DNA bagi setiap individu.Untuk melihat polimorfisme urutan basa suatu

gen dapat digunakan metode RFLPs dimana enzim restriksi akan

memotong DNA pada urutan basa spesifik. Dengan elektroforesis gel

maka hasil PCR dapat dideteksi dengan cara pemisahan asam nukleat

dan protein menggunakan muatan listrik elektroda. Molekul akan

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PPOK

bergerak melalui alur pori yang dipersiapkan. Gerakan dan kecepatan

molekul tergantung pada kekuatan medan listrik, ukuran dan bentuk

molekul tersebut. Terlihatnya pita DNA merupakan pewarnaan dari

makromolekul yang terpisah, ditambah sifat hidrofobik dari DNA, kekuatan

ionik dan temperatur dari buffer.

2.4 Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan PPOK pada berbagai

populasi

Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi

terlebih dahulu perlu dipahami pengertian populasi dalam arti genetika

atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah

sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual,

hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka

terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan

memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu

sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu didalam

populasi.Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat

diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga

banyaknya masing-masing genotipe tersebut.

PPOK terjadi pada hanya 15 - 20% perokok. Namun, faktor resiko

yang menyebabkan seseorang perokok rentan untuk menjadi PPOK

masih belum semua dapat ditentukan. Alfa-1-antitripsin defisiensi yang

merupakan data terbaik faktor resiko genetik pada PPOK berjumlah hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PPOK

1-2% dari seluruh kasus. Faktor lain dari host yang disangkakan terlibat

masih ada 98-99% dari kasus. Salah satu calon gen yang rentan untuk

terjadi PPOK adalah Tumor Nekrosis Faktor (TNF), gen yang dikode untuk

memproses protein TNFα. Faktor yang menyebabkan meningkatnya

TNFα pada perokok yang menderita PPOK dan tidak meningkat pada

perokok dengan normal fungsi paru belum diketahui. Satu

kemungkinannya bahwa ekspresi TNFα diatur oleh adanya Polimorfisme.

Huang(1997) menemukan adanya polimorfisme gen TNFα-308G/A

pada populasi di Taiwan, dimana terjadi perubahan basa nukleotida

guanin menjadi adenin pada gen TNFα -308, yang berperan terhadap

terjadinya bronkitis kronik, kemudian kembali dibuktikan polimorfisme

nukleotida tunggal ini berhubungan dengan terjadinya PPOK oleh Sakao

(2001), Jiang(2005) dan Hersh(2005). Namun hal ini tidak konsisten

dijumpai keberadaannya, seperti yang dilaporkan beberapa penelitian

Higham (2000), Sandford (2001), Tanaka (2007) yang dilakukan pada

populasi Kaukasus dan oleh Ishi (2000), Hegab .(2005) dan Chierakul

(2005) pada populasi Asia, diperoleh bahwa polimorfisme nukleotida

tunggal gen TNFα-308G/A tidak berbeda bermakna antara perokok

dengan atau tanpa PPOK. Hu(2007) di Cina dan Gingo(2008) di Amerika

mengkonfirmasi kembali adanya hubungan polimorfisme nukleotida

tunggal alel gen TNFα-308G/A dengan PPOK dan berperan terhadap

kerentanan pada seorang perokok.

Gingo (2008) meneliti 6 variasi polimorfisme nukleotida tunggal gen

TNFα pada populasi kaukasus, disimpulkan bahwa diperlukan penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PPOK

independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia dan populasi non-

Kaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah penelitian yang

dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20 polimorfisme pada

12 macam gen yang dilakukan oleh Smoolonska (2009), salah satu

hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNFα alel -308G/A

berlaku pada populasi Asia saja, dan disimpulkan tentang pentingnya

etnik pada identifikasi genetik PPOK.

Data dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu

metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada

4 yang secara signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya

PPOK yaitu GSTM1, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3 dan

rs1800629 TNFα (-308 TNFα).

Pada tabel 3 tampak beberapa penelitian polimorfisme yang

dihubungkan dengan PPOK yang dilakukan pada berbagai populasi.

Hasilnya menunjukkan beberapa yang saling bertentangan. Dan hal ini

sangat berkaitan dengan ras populasi penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PPOK

Tabel 3 : Penelitian Polimorfisme TNFα yang berhubungan dengan PPOK (Gingo, 2008)

SNP Suku/Bangsa Kasus Kontrol Hubungan Analisis Haplotype

Peneliti

376

(rs1800750)

Kaukasus

Kaukasus

169

244

358

248

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Kucukaycan

Brooger

308

(rs1800629)

Kaukasus

Asian/japan

Asian/Japan

Asian/Japan

Asian/Taiwan

Asian/cina

Rusia

Mesir

Kaukasus

244

88

106

53

42

111

419

106

304

248

61

110

65

42

97

303

72

441

Tidak ada

Tidak ada

Ada(OR:2,58)

Tidak ada

Ada(OR:11,1)

Ada(OR:5,0)

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Ada

Brooger

Hegab

Sakao

Ishi

Huang

Jiang

Danilko

Hegab

Hegab

238

(rs361525)

Kaukasus

Kaukasus

169

244

358

248

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Kucukaycan

Brooger

488

(rs1800610)

Asian/Japan

Mesir

88

106

61

72

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Ada

Hegab

Hegab

Dan dari hasil penelitian metaanalisis terhadap 6 penelitian

polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang berbeda posisi (-1031C/T, -

863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan +487G/A) pada gen Tumor

Nekrosis Faktor hubungannya terhadap PPOK oleh Gingo (2008),

diperoleh bahwa alel genTNFα -308G/A memiliki odds ratio yang lebih

tinggi dibanding yang lainnya (tabel 4).

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PPOK

Tabel 4 : Analisis univariat dan mutivariat (Gingo, 2008) Genotip

PPOK vs Kontrol

Analisis Univariat Analisis multivariate

Odds ratio (95% CI)

P value

Odds ratio (95% CI)

P value

-1031 (CC atau TC vs

TT )

1,0 (0,67 – 1,6)

0,85

1,1 (0,71 – 1,8)

0,59

-863 (AA atau CA vs

CC )

1,1 (0,68 – 1,8)

0,71

1,3 (0,74 – 2,1)

0,40

-853 (TT atau CT vs

CC)

0,83 (0,48 – 1,5)

0,52

0,70 (0,39 – 1,3)

0,24

-238 (AA atau GA vs

GG)

0,56 (0,28 – 1,1)

0,1

0,40 (0,19 – 0,86)

0,02

-308 (AA atau GA vs

GG)

1,9 (1,1 – 3,2)

0,03

1,9 (1,1 – 3,4)

0,03

+488 (AA atau GA vs

GG)

1,8 (0,78 – 4,3)

0,17 1,7 (0,71 – 4,2)

0,23

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PPOK

2.5 KERANGKA KONSEPTUAL Keterangan : = Diteliti = Variabel tergantung ─ ─ ─ ─ = Tidak Diteliti = Variabel bebas

Respon Inflamasi Abnormal Sal.Nps &Paru

Penyakit Paru Obstruktif kronik

• Nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1)

• Nilai Kapasitas Vital Paksa (KVP)

LINGKUNGAN Polusi udara

Indoor/Outdoor

Tempat Kerja

Aktifitas terbatas

Batuk Berdahak

Sesak Napas

GEJALA

•Ras

PEJAMU

• Umur

•Hiperesponsif sal.nps

•Genetik :

Defisiensi α 1 anti tripsin

TNFα-308G/A TNFα-238G/A

Suara Napas Vestikuler Melemah

Ekspirasi Memanjang

Wheezing

TANDA

Makrofag alveoli Sel epitel sal.nps

IL6 IL8 (NFκB) MCP LTB4

Netrofilnetrofil elastase

Protease dan stress Oksidatif

MMP TIMP

Destruksi alveoli Mukus hipersekresi Fibrosis sal.nps kecil

• Infeksi berulang

Polimorfisme Gen : >27 varian gen

TNFα >>>

MHC Klas II

T- CD8

TGFβ TGFα

Protein TNFα >>> (Traskripsi gen meningkat)

Kebiasaan merokok

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PPOK

2.5 HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis Mayor :

Polimorfisme gen TNFα-238G/Adan-308G/Amerupakan faktor risiko

terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Hipotesis Minor :

Adanya hubungan polimorfisme genTNFα-238G/Adan -308G/A

dengan tingkat keparahan (penurunan faal paru nilai VEP1) pada

Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Universitas Sumatera Utara