Upload
-thanatos
View
219
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
b18
Citation preview
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Marcella Arista102013113
Fakultas Kedokteran UKRIDAe-mail : [email protected]
Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru
yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis
kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang
berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan
definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi.
PPOK merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar di dunia. World Health
Organization memprediksi pada tahun 2020, PPOK akan meningkat dari peringkat 12
menjadi peringkat 5 penyakit terbanyak dan dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab
kematian di seluruh dunia. The Global Burden of Disease Study memperkirakan PPOK
akan menjadi peringkat empat penyebab kematian pada tahun 2030. Terkait dengan hal
tersebut, makalah ini akan membahas kasus yang diberikan yaitu Penyakit Paru Obstruktif
Kronik.
Scenario
Seorang laki – laki 57 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat dan terus –
menerus sejak 5 jam yang lalu. Sejak 3 hari yang lalu pasien mengalami batuk berdahak
warna putih tanpa disertai demam. Keluhan seperti ini sebenarnya sudah beberapa kali
timbul, sejak 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafas terasa berat terutapa jika
beraktifitas berat dan terutama bila dirinya sedang demam dan batuk. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari
Anamnesis1
Anamnesis dilakukan sebelum dimulai pemeriksaan fisik. Anamnesis memegang peranan
penting dalam menegakkan diagnosis. Yang ditanyakan pada anamnesis adalah keluhan
utama, riwayat penyakit baik pribadi maupun keluarga, serta kebiasaan penderita. Pada
kasus pernapasan, maka yang penting untuk ditanyakan adalah onset dan munculnya sesak,
kemampuan berjalan, batuk disertai sputum/tidak, bersuara saat nafas, nyeri dada, riwayat
penyakit paru dan jantung, riwayat dirawat di RS, kebersihan, ventilasi, pekerjaan, rokok
dan alergi
Hasil anamnesis yang didapat pada scenario adalah sesak nafas yang memberat dan terus –
menerus sejak 5 jam yang lalu. Sejak 3 hari yang lalu pasien mengalami batuk berdahak
warna putih tanpa disertai demam. Keluhan seperti ini sebenarnya sudah beberapa kali
timbul, sejak 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafas terasa berat terutapa jika
beraktifitas berat dan terutama bila dirinya sedang demam dan batuk. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari
Pemeriksaan fisik2-4
Diagnosis penyakit dari hasil anamnesa dapat ditegakkan berdasarkan dari gejala yang
muncul dan tampak pada pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara fisik maupun
penunjang seperti hasil lab. Suatu penyakit yang memiliki ciri yang khas biasanya dapat
langsung didiagnosa dari pemeriksaan fisik.
Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan barrel chest,
pelebaran sela iga, cara bernapasnya purse lips breathing, hipertrofi otot bantu napas,
hipersonor, fremitus lemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, dan mengi. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena
jugularis dan edema tungkai
Disesuaikan dengan kasus, kesadaran pasien CM, sakit sedang, TD 120/70, nadi 100, suhu
36C, RR 30x, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, mulut sianosis -, pelebaran KGB -,
JVP 5-2cm H2O, tidak teraba pembesaran tiroid, pulmo simetris statis dinamis, retraksi ICS
+, vocal fremitus simetris, perkusi sonor, auskultasi SN vesikuler, wheezing +/+, ronki
basah kasar minimal +/+, Cor BJ 1-11 murni reguler, murmur -, gallop -, abdomen perut
datar, nyeri tekan -, BU + normal, jari sianosis ringan, clubbing finger -, akral hangat,
perfusi <3s, edema -.
Pemeriksaan penunjang4,5
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah tes faal paru dengan
spirometri, COPD Assessment Test (CAT), pemeriksaan radiologis, pemeriksaan darah dan
mikrobiologi sputum.
Pemeriksaan spirometri dilakukan dengan menghitung Forced Expiratory Volume (FEV1)
dan Forced Vital Capacity (FVC). FEV1 adalah volume ekspirasi maksimal yang dapat
dihembuskan dalam detik pertama. FVC adalah tarikan napas maksimal yang dapat dihirup
dalam satu kali tarikan napas yang dalam. Perhitungan normalnya adalah 70% FVC keluar
pada detik pertama sehingga rasio FEV1/FVC minimal mencapai angka 70%. Pada pasien
PPOK rasio akan menurun dibawah 70%.
CAT dilakukan dengan meminta pasien mengisi daftar pertanyaan yang berhubungan
dengan PPOK seperti sifat batuk, sputum, dyspnea, sesak dada, dll. Jawaban pasien dinilai
berdasarkan skor yang telah ditentukan (0-40) dan semakin tinggi skor maka tingkat
keparahan penyakit akan semakin tinggi.
Pemeriksaan radiologi. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien. Seperti :
a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan
paru yang bertambah.
b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta
gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum /
tear drop / eye drop appearance.)
Pemeriksaan darah
a) Rutin. Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
b) Gas darah. Untuk mendeteksi berkurangnya fungsi saluran pernapasan dan alveoli.
Pada bronkitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan. Kekurangan
Alpha 1-antitrypsin kemungkinan terjadi pada emfisema.
Mikrobiologi Sputum. Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi).
Dari kasus didapatkan hasil Hb 16, leukosit 6500, trombosit 300.000.
Working diagnosis 2,4
PPOK. Merupakan penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara yang bersifat progresif non-reversible atau reversible parisal. PPOK terdiri atas
bronchitis dan/atau emfisema. Bronchitis adalah kelainan pada saluran napas yang ditandai
dengan batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun dan sekurang – kurangnya 2
tahun. Emfisema adalah kelainan anatomis paru ditandai dengan adanya pelebaran rongga
udara pada daerah distal bronkiolus terminal disertai dengan kerusakan dinding alveloli.
Differential diagnosis 2,6
Bronkiektasis. keadaan dilatasi dinding bronkus yang ireversibel akibat rusaknya otot dan
jaringan sekitar. Pada bronkiektasis yang didapat biasanya terlokalisasi di lapangan bawah
paru, unilateral (lobus kanan lebih sering). Umumnya bronkiektasis terjadi akibat proses
inflamasi kronik yang disebabkan oleh infeksi terutama tuberculosis. Selain itu obstruksi
saluran napas juga dapat mengakibatkan bronkiektasis seperti adanya sumbatan mukus
dalam lumen, perbesaran kelenjar, dan tumor. Gejala klinis yang tampak adalah batuk
kronik dengan sputum yang banyak. Terkadang disertai hemoptisis, demam, dan sesak
napas. Pada pemeriksaan radiologi tampak honey comb appearance.
Asma bronchial. Inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas pada saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang yang
ditandai dengan sesak napas, bunyi wheezing, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau dini hari. Gejala yang timbul adalah bronkokonstriksi, wheezing saat
ekspirasi, dyspnea, perpanjangan ekspirasi, takikardi, dan takipnea. Pada keadaan yang
berat bunyi wheezing dapat terdengar saat inspirasi ekspirasi dan ditemukan pulsus
paradoksus. Apabila bronkospasme tidak kembali maka keadaan ini dapat berlanjut dan
mengakibatkan bertambah parahnya hipoksemia dan aliran ekspirasi semakin menurun.
CHF. Atau congestive heart failure. Merupakan keladaan dimana terdapat kelainan struktur
atau fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu untuk memompa darah ke seluruh
tubuh. Karena laju darah yang dipompa keluar dari jantung lebih lambat daripada laju darah
yang kembali ke jantung melalui pembuluh vena, menyebabkan terjadinya akumulasi
cairan dalam jaringan. Maka dari itu salah satu dari manifestasi klinis pada pasien CHF
adalah terdapat edema. Gejala lainnya adalah rasa cepat lelah / sesak nafas bila beraktivitas
pada kondisi berat dan dapat muncul saat istirahat. Gejala lain yang muncul akan berbeda
bergantung pada keadaan klinis pasien.
Aspergillosis. Penyakit yang disebabkan oleh jamur aspergillus. Biasanya orang yang
memiliki imun system yang baik akan tidak apa – apa bila terpapar dengan jamur ini. Salah
satu contoh dari penyakit yang disebabkan oleh aspergillus ini adalah pneumonia. Gejala
yang timbul dari aspergillosis seperti batuk dapat berdarah atau sputum coklat, demam,
malaise, mengigil dan penurunan badan. Gejala yang lain dapat timbul bergantung dari
tempat jamur tersebut menyerang. Seperti nyeri tulang, nafas pendek, gangguan
penglihatan, nyeri dada, dan sebagainya.
Epidemiologi 2
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta
pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5-6,7% seperti di cina dengan
angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, jepang sebanyak 5.014 juta jiwa, dan Vietnam
sebesar 2.068 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan
prevalens 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok
karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan rokok.
Etiologi 4,7
Secara umum penyebab PPOK dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti merokok, faktor
pekerjaan, polusi udara, hiperresponsivitas bronkial, faktor genetik, penyakit autoimun, dan
eksaserbasi akut.
Merokok. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus
sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri.
Genetik. Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang
ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1 antitripsin
ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk menetralkan tripsin
yang berasal dari rokok. Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda,
yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar usia 53 tahun) dan bagi mereka
yang merokok sekitar 40 tahun.
Hipereaktifitas Bronkus. Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor
resiko yang memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok
maka akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan
fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi akibat
dari peradangan pada saluran napas atas.
Polusi udara. Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan
kehidupan manusia. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral
(inorganik) tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis jaringan.
Pekerjaan. Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah
terkena PPOK.
Patofisiologi 2,3,8,9
Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di dinding
alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan fagositik makrofag
terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositosis. Debu yang ada di dalam makrofag
sebagian akan di bawa ke bulu getar yang selanjutnya akan dibatukkan dan sebagian lagi
tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di fagositosis. Reaksi
tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pemaparan serta kepekaan individu
untuk menghadapi rangsangan yang diterima.
Makrofag yang sedang aktif akan mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotease
melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan jumlah elastase, mengeluarkan faktor
kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan oksidan yang dapat
menghambat aktivitas AAT.
Fungsi inhibitor protease adalah untuk mengontrol protease yang selalu berperan dalam
berbagai proses biologis. Keenam antiprotease tersebut adalah alfa-1-antitripsin (AAT),
alfa-1-antikimotripsin (A1X), antitrombin III (AT III), CI inaktivator (CI Ina) dan alfa-2-
makroglobulin (A2M). Dari keenam inhibitor protease (IP) tersebut yang berhubungan
langsung dengan jaringan paru adalah AAT dan A2M. Akan tetapi peran AAT lebih besar
daripada A2M. AAT sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk
secara alami, dan kekurangan antiprotease ini memiliki peranan penting dalam patogenesis
emfisema.
Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag, sewaktu proses fagositosis
berlangsung dan mampu memecahkan elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru.
Pada orang yang sehat, kerusakan jaringan paru dicegah oleh kerja antiprotease, yang
menghambat aktivitas protease. Pada orang yang merokok, dapat mengakibatkan respons
peradangan sehingga menyebabkan pelepasan enzim proteolitik (protease), sementara
bersamaan dengan itu oksidan pada asap menghambat AAT.
Makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-
paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak
berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan
menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang
sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah
diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini
dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi
mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada
epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis,
proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif
kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease
menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas
recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada
saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten
pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk
PPOK.
Gejala klinis2,7-9
Sesak Napas. Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan
lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat mendadak
menandakan adanya eksaserbasi.
Tabel. Skala sesak dan Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas7
Skala Arti Skala
Skala 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Skala 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga satu
tingkat
Skala 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Skala 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
Skala 4 Sesak bila mandi atau berpakaian
Batuk Kronis. Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi
hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.
Wheezing. Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus
menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran darah yang
berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung atau dengan
stetoskop.
Gejala bronchitis (Blue Bloater)
- Sesak nafas pada saat istirahat, yang memburuk dengan aktivitas ringan
- Batuk berdahak terutama pada pagi hari
- Mengi ketika saat bernafas
- Kelihatan lelah
- Obesitas
Gejala Emfisema (pink puffer)
- Sesak nafas
- Batuk dengan atau tanpa dahak
- Kelelahan
- Penurunan berat badan
- Cachexia
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi
atas 4 derajat :
Derajat I: PPOK ringan. Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udararingan (FEV1 / FVC < 70%; FEV1 > 80% Prediksi). Pada derajat
ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
Derajat II: PPOK sedang. Semakin memburuknya hambatan aliran udara (FEV1 / FVC <
70%; 50% < FEV1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang
dialaminya.
Derajat III: PPOK berat. Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang
semakin memburuk (FEV1 / FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas
yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang
berdampak pada kualitas hidup pasien.
Derajat IV: PPOK sangat berat. Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (FEV1 /
FVC < 70%; FEV1 < 30% prediksi) atau FEV1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya
gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Komplikasi2,9
Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara
lanjut antara lain:
Hipoxemia. Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
Asidosis respiratorik, Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
Infeksi pernapasan. Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.
Gagal jantung. Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
Cardiac disritmia. Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
Status asmatikus. Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan
distensi vena leher seringkali terlihat.
Tatalaksana9
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-
farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala,
mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi,
menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi angka kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok,
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki
nutrisi.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan
utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikoteroid, antibiotic dan
antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara
tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi
derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagaibronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kaliperhari).
Golonganβ– 2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakanbentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas),bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
Prognosis
Prognosis pada PPOK kurang baik karena bersifat progresif dan akan terus memburuk
hingga mengakibatkan kematian. Beberapa faktor yang dapat memperburuk prognosis
adalah obstruksi aliran udara yang berat (FEV1 sangat rendah), kapasitas beraktivitas yang
rendah, pendeknya napas, berat badan terlalu rendah ataupun tinggi, komplikasi seperti
gagal paru atau cor pulmonale, kebiasaan merokok yang belum dihentikan, dan eksaserbasi
akut yang sering terjadi.
Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru
yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita
PPOK dapat ditemukan barrel chest, pelebaran sela iga, cara bernapasnya purse lips
breathing, hipertrofi otot bantu napas, hipersonor, fremitus lemah, suara napas vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, dan mengi. PPOK dapat dipicu oleh berbagai
faktor seperti merokok, faktor pekerjaan, polusi udara, hiperresponsivitas bronkial, faktor
genetik, penyakit autoimun, dan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat ditemukan pada
pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara lanjut antara lain Hipoxemia, Asidosis
respiratorik, Infeksi pernapasan, Gagal jantung, Cardiac disritmia, Status asmatikus
Daftar pustaka
1. Gleadle J. At a glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga;2007.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci S et all, penyunting. Harisson’s principles of
internal medicine, edisi ke-16. New york: McGraw-Hill Medical Publishing
Division; 2005.
3. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Alih bahasa, Braham U, Pendit dkk.
Editor edisi bahasa indonesia, Huriawati H. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis
penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).Penyakit Paru Obstruksif Kronik.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta;2011
5. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :
Erlangga; 2008.
6. Vyas JM, et al. Aspergillosis. [Internet] 19 may 2013. [cited 7 july 2014] available
at : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001326.htm.
7. Djojodibroto RD. Manifestasi Klinis. Dalam : Respirologi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.
8. Danusantoso Halim,. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.Jakarta; 2000.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.