Upload
maend
View
123
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PRAKTEK PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
MAHENDRA HARJIANTO
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai bila diartikan secara teknis (biofisik) akan memberikan
pemahaman kepada kita terhadap faktor-faktor biofisik DAS, dimana akan mengantarkan
para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS
dari sudut pandang teknologi. Sedangkan dari sudut pandang kelembagaan akan
mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di
dalam DAS, batas yuridiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-
hilir dalam pengelolaan DAS.
Kondisi DAS di beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan kualitas yang
diindikasikan dengan meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, tanah longsor, erosi dan
sedimentasi. Pada umumnya kondisi tersebut banyak disebabkan oleh pemanfaatan
sumberdaya alam dalam DAS yang lebih menekankan aspek ekonomi dari pada aspek
ekologis, sosial, dan kelembagaan, sehingga daya dukungnya menurun. Hal ini
mengakibatkan makin banyak wilayah DAS di Indonesia yang berada dalam kondisi kritis
dan prioritas untuk segera ditangani.
Persoalan semakin luas sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
(kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah, dimana terjadi
kecenderungan masing-masing daerah kabupaten/kota mengelola sumberdaya yang dimiliki
secara parsial tanpa mempertimbangkan dampak lintas wilayah dan antar sektor yang
ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan distorsi pelaksanaan amanat UU No. 32/2004 bahwa
kewenangan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) termasuk yang
diserahkan sepenuhnya kepada daerah (kabupaten dan kota).
Dampak negatif yang seringkali muncul akibat pemindahan kewenangan pengelolaan
SDA dan LH dari pemerintah pusat ke daerah ini adalah degradasi SDA dan LH karena pola
pengelolaan SDA dan LH sangat berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD). Contohnya adalah banyaknya ijin pemanfaatan lahan di kawasan lindung/konservasi
untuk tujuan komersial jangka pendek berakibat pada degradasi SDA dan LH. Degradasi
SDA akibat alih fungsi lahan, misalnya degradasi hutan di daerah hulu, dalam konteks
1
hubungan biofisik daerah hulu dan hilir suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), tidak
hanya meningkatkan erosi dan air larian setempat, melainkan juga meningkatkan frekuensi
banjir, kekurangan air, dan turunnya kualitas air sungai karena sedimentasi di daerah hilir.
Persoalan LH lintas wilayah ini, pada banyak kasus telah mengakibatkan kerugian ekonomi
sangat besar termasuk konflik sosial.
B. Pengertian
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan
ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan,
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (UU No 7/2004 Ps 1).
Asdak, 1995 mengartikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik
dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk
kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.Wilayah daratan tersebut dinamakan
daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan
unsure utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya
manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai
karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas),
elevasi dan kemiringan (slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase
(Black 1995)
Kartodihadjo, dkk (2004), DAS diartikan dari sudut pandang fisik maupun dari sudut
pandang institusi. Secara fisik DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pemisah alam (punggung bukit) yang menerima dan mengumpulkan air hujan,
sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik
outlet. Sudut pandang institusi, DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa
stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai
penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi
publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau
kelompok masyarakat.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya untuk
2
mewujudkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian
DAS serta kesejahteraan masyarakat.
.
KONDISI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
Pemanfaatan lahan dalam DAS umumnya kurang memperhatikan keterkaitan unsur-
unsur penyusun sistem DAS, padahal kondisi daya dukung lingkungan DAS ditentukan oleh
banyak faktor yang mempunyai hubungan dan keterkaitan yang kompleks. Prinsip
pemanfaatan yang demikian merupakan salah satu penyebab kerusakan DAS di Indonesia.
Kerusakan DAS di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan trend yang terus
meningkat. Gambaran kerusakan DAS di Indonesia tercermin dari banyaknya jumlah DAS
prioritas. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Surat keputusan bersama tiga
menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum No: 19
Tahun 1984 - No: 059/Kpts-II/1984 - No: 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, diacu dalam
Arsyad 2006). Pada tahun 1999 terdapat 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178
DAS Prioritas III (Ditjen RRL 1999). Pada tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat
menjadi 65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air, 2004). Pada tahun 2009 sesuai dengan keputusan
Menteri Kehutanan no 238/Menhut-II/2009 sasaran DAS yang memerlukan penanganan
prioritas I berjumlah 108 DAS.
Meningkatnya laju deforestrasi dan lahan kritis baik secara kualitatif maupun
kuantitas merupakan faktor utama penyebab kerusakan sumber daya DAS. Badan Planologi
Departemen Kehutanan menerangkan bahwa laju deforestrasi hutan di Indonesia tahun 2003
s/d 2006 mencapai 3,52 juta ha atau 1,17 Juta Ha/tahun, penyebaran laju deforestrasi masing-
masing fungsi hutan di gambarkan dalam grafik berikut :
3
Gambar 1. Grafik Laju deforestrasi Indonesia tahun 2003-2006 per fungsi kawasan
Sedangkan perkembangan data penyebaran lahan kritis Indonesia yang di
publikasikan oleh Kementerian kehutanan melalui Website Departemen kehutanan
menunjukan bahwa peningkatan data lahan kritis dengan kriteria sangata kritis mengalami
penigkatan sebesar 87 % dari total luas 20.965994,42 Ha pada tahun 2004 menjadi
128.409.099,29 Ha pada tahun 2009 atau rata-rata tiap tahun mengalami peningkatan sebesar
20 juta Ha (17%).
4
Gambar 2. Grafik Laju pertumbuhan Lahan Kritis Indonesia tahun 2004-2009 (Kementrian kehutanan
Menurut Sinukaban, 2009 penyebab terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi
hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor. Pertama, penggunaan
dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata
Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan
menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budidaya
pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.
Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan
yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan
yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan
yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian
yang intensif atau jadi permukiman.
Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tidak memenuhi kaidah-kaidah
konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai.
Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh
faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan.
Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari
5
yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti
kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah,
pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip
cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).
Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan
masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap
penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban
untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus
meningkat.
Kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal
ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik
konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan
penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam
Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan
teknologi konservasi tanah dan air.
Pawitan, (2002) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap hidrologi DAS
melalui perubahan penggunaan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan,
mulai dari penggundulan hutan yang digantikan dengan permukaan kedap berupa atap
perumahan, jalan-jalan, tempat parkir, bandara, dan sebagainya.
Calder, (1998) yang dipertegas Pawitan (2008), setidaknya ada enam aspek pengaruh
hutan terhadap fungsi hidrologi wilayah yang dapat dicatat yaitu:
1. Hutan meningkatkan curah hujan: sulit dibuktikan, namun dapat ditunjukkan bahwa
hilangnya hutan juga diikuti oleh berkurangnya curah hujan seperti yang dialami oleh
Pulau Jawa, pengurangan hutan yang nyata dalam tiga dekade terakhir ini telah
menurunkan jumlah curah hujan tahunan sampai 1.000 mm/tahun atau 25% lebih rendah
dari kondisi awal abad ini.
2. Hutan meningkatkan aliran sungai: Yang terjadi adalah vegetasi hutan juga
mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar, sehingga hutan justru cenderung
menurunkan aliran sungai.
3. Hutan mengatur fluktuasi aliran sungai – meningkatkan aliran rendah musim kemarau:
Pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali
padang rumput dengan pohon pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 440
mm/tahun, tetapi juga menurunkan aliran rendah musim kemarau sebesar 15 mm.
6
Kesimpulannya adalah: pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat ‘site specific’ dan
tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah musim kemarau.
4. Hutan mengurangi erosi: Hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi, seperti
intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan
yang dipilih. Pengalaman di Jawa, hutan jati menunjukkan tingkat erosi yang tinggi.
5. Hutan mengurangi banjir: Barangkali pengalaman dan pemberitaan media massa
membenarkan pernyataan ini, padahal kajian hidrologi umumnya menunjukkan
lemahnya hubungan penggunaan lahan dan banjir dan menyimpulkan kurangnya bukti
ilmiah yang mendukung laporan bahwa deforestasi meningkatkan banjir. Perkembangan
teori saat ini menunjukkan peran skala DAS dalam hubungan hujan-limpasan, di mana
semakin luas DAS semakin kecil peran aktivitas manusia.
6. Hutan meningkatkan mutu pasokan air: Kecuali pada daerah dengan iklim yang tercemar
berat yang menghasilkan hujan asam, mutu air lazimnya lebih baik pada kawasan
berhutan, walaupun sangat dipengaruhi oleh praktek pengelolaan hutan itu sendiri. Saat
ini DAS berhutan menjadi andalan untuk menjamin pasokan air bersih kota-kota
metropolitan dunia.
PRAKTEK PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA
Konsep pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya telah di kenalkan sejak jaman
belanda, khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-pembagian daerah
hutan di atur berdasarkan satuan DAS. Pada tahun 1961 di adakan gerkan penghijauan secara
masal dalam bentuk gerakan penghijauan I di gunung Mas, puncak Bogor.
Pada tahun 1973 sampai dengan 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai
uji coba untuk memperoleh metode yang tepat dalam rangka ng di tinjau dari aspek fisik
maupun social ekonomi di DAS solo.
Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama di laksanakan di DAS Citanduy pada
tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin di
lakukan. Selanjutnya pengelolaan DAS terpadu di kembangkan di DAS Brantas, Jratun
Seluna. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS selama ini lebih menekankan pada
pembangunan insfarstruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir.
Kondisi ini tentunya tidak mampu memecahkan permasalahan-permasalahan pengelolaan
7
DAS yang secara umum di dominasi oleh perilaku pengelolaan sumber daya alam yang tidak
terkontrol sebagai akibat dari kemiskinan masayarakat di dalam DAS.
Praktek Pengelolaan DAS Jeneberang Walanae
Sungai Jeneberang merupakan sungai besar yang terletak pada bagian barat dalam
wilayah administrasi Kotamadya Makassar (Ujung Pandang), ibukota dari Provinsi Sulawesi
Selatan. Sungai ini berasal dan mengalir dari bagian timur Gunung Bawakaraeng (2,833
mdpl) dan Gunung Lampobatang (2,876) yang kemudian menuju hilirnya di Selat Makassar.
Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, terdapat dua daerah penampungan air (reservoir)
utama yaitu di Kota Bili-bili dan Jenelata. Secara geografis Daerah Aliran Sungai Jeneberang
terletak pada 119° 23' 50" BT 119° 56' 10" BT dan 05° 10' 00" LS - 05° 26' 00" LS dengan
panjang sungai utamanya 78.75 kilometer. Daerah Aliran Sungai Jeneberang dialiri oleh satu
sungai pendukungnya (anak sungai) yaitu Sungai Jenelata (220 km2). Kota-kota besar yang
diliputi Daerah Aliran Sungai ini selain Makassar (Ujung Pandang) yaitu Kota Malino, Kota
Bili-bili, dan Kota Sungguminasa. Luas DAS jeneberang adalah 79.000 Ha meliputi Hutan
lindung seluas 8.300 ha, kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi 13.000 ha , TWA
4000 ha, APL (kebun, pertanian kering, sawah, pemukiman) sekitar 40.500 ha dan badan air
(waduk dan sungai). Luas lahan kritis di DAS jeneberang mencapai 19,5 % dari luas wilayah
DAS atau 15.523 ha yang terdiri dari 9.447 Ha (lahan kritis dan sangat kritis di dalam
kawasan hutan) dan 6.076 Ha( lahan kritis dan sangat kritis di luar Kawasan hutan)
DAS Jeneberang memiliki arti yang sangat penting untuk kota Makassar. Kota
Makassar hampir setiap tahun dilanda bencana banjir. Banjir yang terbesar pernah terjadi
pada bulan Januari tahun 1976 dan Januari tahun 1986. Banjir yang terjadi saat itu
menggenangi hampir 60% kota Makassar. Kedalaman genangan banjir pada saat itu
mencapai 0,60m-0,70m, sementara musim kemarau masyarakat kota Makassar antri air
bersih.(bambang 2009). Kondisi ini di sebabkan karena distribusi air pada DAS jeneberang
yang tidak merata di musim penghujan maupun musim kemarau. Guna mengendalikan banjir
di kota Makasar pemerintah membangun DAM bili-bili di aliran sungai Jeneberang. DAM
bili di bangun pad atahun 1996-1999 dan bendungan mulai di genangi pada november 1997,
volume kapasitas waduk 375 juta m3, Volume effektif 346 juta m3, volume tampungan
sedimen 29 juta m3, volume alokasi penggunaan irigasi 270 juta m3, volume alokasi
penggunaan air baku 35 juta m3. Manfaat waduk Bili-Bili setelah dibangun, yaitu banjir yang
melimpas kota tidak pernah terjadi; dapat melayani 61 ribu satuan sambungan, melayani
daerah irigasi Bili-Bili, Bissua dan Kampili seluas ± 24 ribu ha dengan intensitas tanam
8
220% dan menghasilkan tenaga listrik 20 MGW. Banjir, kekeringan , sedimentasi dan erosi,
tidak serta merta terpecahkan dengan di bangunya DAM bili-bili, namun yang terjadi waktu-
demi waktu perilaku hidrologi DAS jeneberang seperti banjir, kekeringan, sedimentasi dan
erosi semakin meningkat baik dari segi frekuensi maupun dari kualitas kejadiannya, kondisi
ini seiring dengan semakin rusaknya huatn dan Lahan di DAS jeneberang.
Fenomena kerusakan hutan dan lahan di DAS jeneberang yang semakin parah
berdampak pada umur ekonomis DAM bili-bili yang di rencanakan memilki umur pakai
selama 50 tahun kini tinggal 20 tahun sebagai akibat tingginya sedimentasi. Aktivitas
ekonomi, pertanian dan pengembangan kota wisata Malino telah berdampak pada adanya
konversi lahan dan penggundulan hutan, ini terlihat di daerah-daerah puncak di sekitar
pegunungan bawakaraeng penebangan pohon-pohon pinus hasil reboisasi berjalan terus
menerus, hutan yang semula rapat di tumbuhi pohon-pohon pinus hasil reboisasi tahun 1970
kini terhampar luas rerumputan dan semak belukar. Penebangan hutan tidak hanya bertujuan
ekonomis untuk mengambil hasil hutan berupa kayu, namun juga konversi hutan menjadi
lahan pertanian dan perkebunan serta pengembangan kota wisata
Meskipun Upaya Rehabilitasi hutan dan Lahan di DAS jeneberang terus di lakukan ,
namun laju Degaradasi sumber daya hutan dan lahan di wilayah ini juga terus terjadi.
Supratman dan C.Yudilastiantoro, 2003. Menyatakan bahwa kerusakan hutan di DAS jeneberang
tahun 2003 mencapai 13.648 Ha, luasnya areal veegtasi yang rusak masih jauh dari kemampuan
pemerintah dalam memfasilitasi upaya Rehabilitasi hutan dan lahan yang dalam dua tahun hanya
mampu melakukan rehabilitasi seluas 5.850 Ha dengan keberhasilan tanaman yang relatif rendah.
Kebutuhan akan pemenuhan ekonomi secara privat ( individu) merupakan alasan
utama kenapa terjadi perambahan dan konversi hutan secara besar-besarn di wilayah hulu
DAS jeneberang, Sebagai gambaran Supratman dan C.Yudilastiantoro, 2003, mengemukan
bahwa selain mengelola lahan di luar kawasan hutan rata-rata seluas 0,4 – 4,0 ha/KK,
masyarakat juga mengelola lahan di dalam kawasan hutan dengan luas rata-rata sebesar
seluas 0,075 - 0,1 ha/KK. Pendapatan rata-rata masyarakat dari aktifitas usahatani di luar
kawasan hutan adalah sebesar Rp. 2.741.038,-/tahun, sedangkan dari dalam kawasan hutan
rata-rata sebesar Rp. 1.531.100,-/tahun. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan antara
lain kebun campuran, dan pemanfaatan hasil hutan seperti kayu bakar, kayu pertukangan,
rempah-rempah, obat-obatan, buah-buahan, madu, dan gula merah (sebagai masayarakat
pengumpul). Kondisi ini menunjukan bahwa salah satu alasan masyarakat beraktivitas dalam
kawasan hutan adalah mencari sumber-sumber tambahan pendapatan bagi pemenuhan hidup
9
keluarga, yang apabila hanya bersumber pada pertanian di luar kawasan hutan maka mereka
belum mampu memenuhi kehidupan yang layak untuk keluargaanya.
Konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan selain secara privat juga di lakukan
secara institusional, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam rangka pengembangan kota
wisata Malino di wilayah hulu DAS jeneberang dan konversi hutan pinus untuk perkebunan
teh dan coklat.
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Sebagai Solusi Penanganan Kerusakan DAS
Salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan DAS adalah kemiskinan
masayarakat yang tinggal di dalamnya. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
rumah tangga, telah mendorong sebagaian besar masayarakat yang tinggal di dalam DAS
melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan seperti ekstensifikasi pertanian
dan pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuian lahan,
perambahan hutan, dan kegiatan pertambangan.
Salah satu upaya untuk memotong rantai kemiskinan masyarakat di dalam DAS dan
sekaligus melakukan suatu upaya rehabilitasi hutan dan lahan adalah dengan membangun
hutan rakyat. Dari hutan rakyat dapat diperoleh manfaat langsung dan tidak langsung.
Manfaat langsung seperti peningkatan produktivitas lahan, pendapatan, kesejahteraan
masyarakat dan sumber bahan baku industri, sedangkan manfaat tidak langsung berupa
kelestarian fungsi ekologi seperti pengaturan tata air, udara bersih, erosi terkendali, dan lain-
lain. Penghijauan dalam bentuk pembangunan hutan rakyat adalah suatu kegiatan penanaman
yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering melalui upaya penanaman
tanaman kayu-kayuan yang di kombinasikan dengan tanaman serba guna (Multi Purpose tree
Spesies) seperti buah-buahan dengan komposisi tanaman 70 % kayu-kayuan dan 30 %
tanaman MPTS. Sebelum tanaman pokok mencapai daur tebang dan sambil menunggu
tanaman MPTS berproduksi, petani melakukan system tumpang sari tanaman semusim . hal
ini di maksudkan untuk optimalisasi produksi dari lahan yang di kelola, guna pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga petani.
Hendra 1996 , mengemukakan bahwa pemerintah secara intensif mengembangkan
hutan rakyat melalui program GN-RHL sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 secara
nasional telah mencapai 1.568.415,63 Ha, dengan distribusi penyebaran sebanyak 50% dari
total luas hutan rakyat berada di jawa. Distribusi pembangunan hutan rakyat secara nasional
di sajikan pada table berikut :
10
Tabel. 1. Data Potensi Penyembaran Hutan Rakyat masing-Masing Propinsi
Sumber: Data potensi Hutan rakyat Ditjen RLPS Departemen Kehutanan 2004
Berdasarkan table 1 diatas terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan
hutan rakyat sangat tinggi hal ini di tunjukan dengan luas potensi hutan rakyat yang di
lakukan secara swadaya cukup besar yaitu sejumlah 61 % dari luas total potensi hutan rakyat
secara keseluruhan.
11
Potensi hutan rakyat di jawa mampu memasok 40 % kebutuhan kayu Industri nasional
yang kini mencapai 43 Juta m3/tahun. Di hitung dari nilai ekonomi hutan rakyat mampu
memberikan kontribusi pendapatan pada ekonomi rumah tangga petani sebesar
Rp. 480.000.000,- /Ha/8tahun atau 60 juta / tahun ini dengan asumsi tanaman pokok yang di
tanam adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan atau Gmelina arborea yang memiliki
daur panen berkisar 6 – 9 Tahun. Harga jual kayu per M3 Rp. 800.000 dan asumsi produksi
kayu per batang 0,5 M3 dengan kerapatan tanaman per ha 1200 batang. Selama menunggu
daur panen petani bias melakukan tumpang sari dengan menanam tanaman semusim dan
mendapatkan nilai tambah dari panen buah-buahan yang di tanam.
Tingkat risiko terserang hama dan gagal panen hutan rakyat pun lebih kecil
dibandingkan tanaman pangan, yang membutuhkan perawatan intensif dengan pupuk kimia
yang mahal dan sulit diperoleh. Setiap tahun petani memperoleh penghasilan tambahan dari
menebang kayu untuk penjarangan tanaman. Saat panen, pohon sengon berumur delapan
tahun setinggi 12 meter laku dijual Rp 3 juta sebatang. (Hamzirwan, 2011).
Apabila kegiatan penghijaun dalam bentuk pembangunan hutan rakyat baik yang di
laksanakan secara monoculture atau dengan menerapkan tanaman campuran (pola
Agroforestry) di selenggarakan secara intensif dan bersungguh-sungguh , akan mampu
meningkatkan pendapatan petani dan berkontribusi memutus mata rantai kemiskinan
masyarakat di dalam DAS.
Hubungan antara tutupan lahan oleh pohon (baik secara penuh dalam bentuk hutan
alam mupun sebagian seperti agroforestry/hutan rakyat) dengan fungsi hidrologi dapat di
lihat dari aspek total hasil air dan daya sangga DAS terhadap debit puncak pada berbagai skal
waktu. Peran system penggunaan lahan pada suatu bentang lahan (landscap) dapat dilihat dari
sudut perubahan tingkat evapotranspirasi yang berhubungan dengan keberadaan pohon, laju
infiltrasi tanah yang berhubungan dengan kondisi fisik tanah, dan laju drainase yang
berhubungan dengan jaringan drainase pada skala lansekap. Tutupan lahan mempengaruhi
aliran air dalam berbagai tahap yaitu : intersepsi, perlindungan agrgat tanah, infiltrasi,
serapan air, dan drainase landscape. (Noordwijk, et all, 2004).
Pawitan, (2002) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap hidrologi DAS
melalui perubahan penggunaan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan,
mulai dari penggundulan hutan yang digantikan dengan permukaan kedap berupa atap
perumahan, jalan-jalan, tempat parkir, bandara, dan sebagainya. Dampaknya secara nyata
telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Studi kasus di DAS Ciliwung tercatat
bahwa antara tahun 1981 dan 1999 telah terjadi peningkatan kawasan permukiman untuk
12
Ciliwung Hulu sebesar 100% dengan dampak berupa peningkatan debit banjir di Katulampa
sebesar 68%, dan di Depok 24%, sedangkan peningkatan volume banjir adalah 59% untuk
Katulampa dan 15% untuk Depok (Pawitan, 2002) dalam Pawitan (2008)
Konsep Keterpaduan Pengelolaan DAS
Belajar dari manajemen DAS dalam pasokan air bersih di kota New York , jelas
terlihat bahwa pengelolaan DAS harus di mulai dari perencanaan yang partisipatif. Semua
stake holders harus mendapatkan hak partisipasi dan berpartisipasi dalam perencanaan DAS
secara benar. Artinya bahwa pihak terkait harus diwakili di seluruh proses perencanaan,
dan sudut pandang dan keprihatinan mereka harus cukup dipahami secara tepat waktu.
stakeholder didefinisikan sebagai lembaga, kelompok, organisasi, atau orang yang
memiliki kepentingan dalam proses, memiliki tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan . atau otoritas atas proses itu, atau dipengaruhi oleh hasil dari proses tersebut.
((Stern dan Fineberg, 1996 dalam Anonimous 2000).
Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses perumusan tujuan bersama pengelolaan
sumberdaya dalam DAS, singkronisasi program sektoral dalam mencapai tujuan bersama,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pencapaian hasil program sektoral terhadap tujuan
bersama pengelolaan DAS dengan mempertimbangkan aspek bio-fisik, klimatik, sosial,
politik, ekonomi, dan kelembagaan yang bekerja dalam DAS tersebut. Pengelolaan tersebut
direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama melalui suatu mekanisme
partisipatif dan adaptif. Dengan demikian, makna keterpaduan dalam pengelolaan DAS
adalah upaya memadukan program-program sektoral dan kerangka kerja kelembagaan yang
berbeda, baik di dalam maupun di luar wilayah administrasi (lintas wilayah) dalam satu
kesatuan DAS. Dengan mekanisme pengelolaan sumberdaya antar sektor, antar wilayah dan
antar kelembagaan sebagai satu kesatuan ini, maka selain tujuan masing-masing sektor,
tujuan bersama pengelolaan DAS juga dapat tercapai.
Asdak, 2008 mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah: a) terjaminnya
pemanfaatan sumberdaya alam skala DAS secara berkelanjutan; b) tercapainya keseimbangan
ekologis sebagai sistem penyangga kehidupan; c) terjaminnya kuantitas dan kualitas air
sepanjang tahun; d) pengendalian aliran permukaan dan banjir; dan e) pengendalian erosi
tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan (sutainability) menjadi acuan
dalam mengelola DAS, ketika fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya-
sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).
13
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen
terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait.
Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
pemungutan manfaat. Pengelolaan DAS terpadu meliputi :
a. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan
dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
b. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan
program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu
pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
c. Keterpaduan program-program kegiatan pemer intah pusat dan daerah yang berkaitan
dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
d. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses
evaluasi dan monitoring.
e. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan
Persoalan yang dihadapi dalam pengelolan DAS terpadu oleh suatu unit organisasi,
utamanya terkait dengan belum terselesaikannya tiga hal berikut: a) perbedaan batas
administrasi dan batas ekologi dalam pengelolaan DAS secara terpadu, b) bagaimana struktur
bentuk partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS, dan c) bagaimana dan
kepada siapa akuntabilitas pengambilan keputusan pengelolaan DAS? (Blomquist dan
Schlager, 2005). Oleh karena itu, ketiga hal tersebut di atas seharusnya dimanfaatkan untuk
memahami kesenjangan antara prinsip-prinsip pengelolaan DAS terpadu dan prinsip-prinsip
pengelolaan sumberdaya yang sifatnya sektoral/parsial. Dengan kata lain, diperlukan suatu
legal framework/arrangement yang memungkinkan kerjasama sinergis antar sektor, antar
wilayah, dan antar lembaga dalam suatu DAS. Aspek legal yang dibutuhkan, dalam hal ini,
adalah Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Dengan adanya peraturan
ini, diharapkan masing-masing sektor dan wilayah dituntut untuk dapat bekerjasama dalam
pemaduan program termasuk pendanaan.
Menurut Nakamura (2003 dalam Asdak, 2008), pengelolaan DAS terpadu memerlukan:
pendekatan ekosistemik
pendekatan pengaturan kelembagaan lintas sektor dan lintas wilayah
pencapaian tujuan ganda (multi-objectives)
14
Asdak, 2004 mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya air melalui pendekatan
ekosistem secara umum bersifat:
1. Menjelaskan bagaimana komponen-komponen suatu sistem lingkungan hidup, termasuk
di dalamnya sumberdaya air, tanah, hutan dan manusia, berinteraksi.
2. Holistik, komprehensif, dan lintas ilmu/sektor serta bersifat menjelaskan dinamika
sistem, misalnya melalui konsep stabilitas dan umpan balik.
3. Membatasi ekosistem secara alamiah (batas hidrologis, bio-region atau eco-region serta
menempatkan sumberdaya air pada berbagai tingkatan struktur, proses, dan fungsinya).
4. Berorientasi pada prinsip-prinsip manajemen serta memasukkan dan mempertimbangkan
dinamika faktor-faktor manusia dan kelembagaan ke dalam proses analisis.
5. Memanfaatkan proses perencanaan dan penelitian yang antisipatif, lentur dan adaptif.
PENUTUP
1. Tuntutan pemenuhan ekonomi rumah tangga telah mendorong masyarakat di dalam DAS
melakukan eksploitasi sumber daya alam DAS secara berlebihan. Fenomenakemiskinan
masyarakat dalam DAS ini telah mendorong meningkatnya laju deforestrasi hutan,
jumlah lahan kritis dan meningkatnya jumlah DAS prioritas yang perlu segera di tangani.
2. Pola perubahan penggunaan lahan di dominasi dari perubahan hutan ke pertanian, dan
perkebunan, dan dari pertanian/perkebunan ke pemukiman. Perubahan penggunaan lahan
berpengaruh pada kondisi hidrologis DAS. Fenomena bencana seperti banjir dan erosi
yang belakangan marak terjadi di Indonesia salah satunya di sebabkan karena beralihnya
fungsi penggunaan/penutupan lahan .
3. Pengembangan pola rehabilitasi Hutan dan lahan seperti pengembangan hutan rakyat , di
harapkan mampu memutus rantai kemiskinan masyarakat di dalam DAS yang pada
akhirnya mendorong perilaku masyarakat untuk melakukan optimalisasi pemanffata
lahan yang ada dan melakukan pengolahan lahan berdasarkan azas konservasi tanah dan
air.
4. Produksi hasil kayu hutan rakayt yang mencapai rata-rata 60 juta rupiah / tahun jelas
lebih besar di bandingkan dari pertanian tanaman semusim yang di kelola secara intensif.
Hal ini karena minimnya input produksi yang di keluarkan petani untuk pembangunan
hutan rakyat.
5. Sangat diperlukan kesepahaman dan kerangka dasar (mainframe) yang sama antar
instansi, organisasi, dan masyarakat tentang pengertian dan pengelolaan DAS.
15
Koordinasi antar departemen sangat diperlukan dalam pengelolaan DAS terpadu, hal ini
untuk penyelesaian perbedaan sektoral pada tingkat tinggi agar tidak terjadi tumpang
tindih atau pertentangan kepentingan. Pengelolaan DAS tidak hanya menjadi tugas
pemerintah tetapi menjadi kewajiban seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi
dengan melakukan intervensi demi tercapainya kesepakatan dan tujuan bersama.
(sangat diperlukan koordinasi antara para pemangku kepentingan
6. Rencana pengelolaan DAS terpadu sebagai rencana jangka panjang, harus dibuat secara
utuh dengan mempertimbangkan kepentingan lintas sektor, lintas wilayah adminsitrasi,
dan kepentingan hulu dan hilir
7. Restrukturisasi batas pengelolaan sumberdaya alam sanggat diperlukan, yang mana
selama ini berdasarkan pada batas administrasi menjadi berdasarkan batas ekosistem
DAS.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. Undang Undang Sumberdaya Air Nomor 7 Tentang Sumber Daya Air.
Anonimous. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17 Tahun 2000 Tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.
Anonimous. Watershed Management for Potable Water Supply: Assessing the New York City Strategy. National Academy Press . Washington DC. 2000.
Anonymous . Luas dan penyebaran lahan kritis empat tahun terakhir. http:www.//siaphut.dephut.go.id/siaphut/reports/rlps/penyebaran_lahan_kritis.php?task=cetak&tahun=2009
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan keempat (Revisi). Penerbit : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Asdak, C. 2004. Kajian Lingkungan Strategik: Instrumen Pengelolaan Lingkungan Lintas Wilayah Berkelanjutan. Makalah Policy Dialoque “Kajian Lingkungan Strategik Kawasan Bodebek”. Bandung, 15-16 Desember 2004.
Asdak, C. 2003. Perspektif Baru dalam Pengelolaan DAS: menuju solidaritas daerah hulu-hilir. Makalah untuk Diskusi Strategi Energi Balik Hulu-Hilir Dalam Rangka Program Pembangunan Kehutanan. 27 Agustus 2003, Cipayung, Jawa Barat.
Badan palnologi departemen kehutanan , 2008. Perhitungan Deforetrasi Indonesia tahun. 2008
Black, P.E. 1995. Watershed hydrology. New York : State University of New York.
Blomquist, W. and E. Schlager. 2005. Political Pitfalls of Integrated Watershed Management. Society and Natural Resources (18):101-117.
[Ditjen RRL] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1999. Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik Dalam Angka. Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Dephut. Jakarta.
16
[Ditjen Sumberdaya Air] Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Departemen Pertanian. 2004. Sebanyak 65 DAS Dalam Kondisi Semakin Kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004. hal 15. Jakarta.
Hamzirwan, 2011. Sejahtera lewat hutan. http:www.//api.or.id/2011/02/08/sejahtera-lewat-hutan
Hendra Billy, 2004. Potensi dan kelembagaan hutan rakyat. PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23. Badan litbang departemen kehutanan.
Khanna, P., P.R. Babu and M.S. George. 1999. Carrying capacity as a basis for sustainable development: A case study of National Capital Region in India. Progress in Planning (52): 101-163.
Nakamura, T. 2003. Ecosystem-based River Basin Management: its approach and policy-level application. Hydrological Processes (17): 2711-2725.
Noordwijk MV et al. 2004. Role of Agroforestry in maintenance of hydrological functions in water cathment areas. Proceedings of workshop Word Agroforestry centre (ICRAF).
Pawitan H., 2008. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai, Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Singh, A. and A.K. Gosain. 2004. Resolving conflicts over transboundary watercourses: an Indian perspective. Land use and Water Resources Research (4):2.1-2.5.
Sinukaban, 2009, Analisis dan Strategi Perencanaan Pengembangan Daerah Aliran Sungai (Referensi Untuk Sustainable Utilization of Bioresources), makalah disampaikan dalam Rountable Discussion – Fakultas Pertanian IPB, 22 Desember 2009
Supratman dan C.Yudilastiantoro. 2003, Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan Das Jeneberang. Balai Penelian Kehutanan Makassar
17