74
12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan konsep dan kajian kajian literatur yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian akan memaparkan teori-teori yang terkait seperti Manajemen Keperawatan, Preceptorship, orientasi, proses adaptasi dan kepuasan, perawat baru, pelatihan dan karakteristik perawat serta terkait pasien safety. Pada akhir bab dua digambarkan kerangka teori yang melandasi penelitian. 2.1 Konsep Manajemen Keperawatan Manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Kuntoro, 2010). Manajemen juga secara singkat diartikan sebagai proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui upaya orang lain (Nursalam, 2015), Manajemen keperawatan adalah proses pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui upaya staf keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada sekelompok pasien. Manajemen keperawatan merupakan suatu proses yang dilaksanakan sesuai dengan pendekatan sistem terbuka. Oleh karena itu, manajemen keperawatan terdiri atas beberapa komponen yang tiap-tiap komponen saling berinteraksi. Pada umumnya suatu sistem dicirikan oleh lima (5) elemen, yaitu input, proses, output, kontrol dan mekanisme umpan balik. Proses manajemen keperawatan dalam aplikasi di lapangan berada sejajar dengan proses keperawatan sehingga keberadaan manajemen keperawatan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan proses keperawatan. Tujuan dalam proses manajemen adalah pelayanan yang efektif dan ekonomis pada sekelompok pasien dan pengembangan anggota staf. Proses manajemen terdiri dari pengumpulan data, perencanaan,

Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan konsep dan kajian – kajian literatur yang berkaitan

dengan penelitian. Penelitian akan memaparkan teori-teori yang terkait seperti

Manajemen Keperawatan, Preceptorship, orientasi, proses adaptasi dan

kepuasan, perawat baru, pelatihan dan karakteristik perawat serta terkait pasien

safety. Pada akhir bab dua digambarkan kerangka teori yang melandasi

penelitian.

2.1 Konsep Manajemen Keperawatan

Manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber

daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi

yang telah ditetapkan sebelumnya (Kuntoro, 2010). Manajemen juga secara

singkat diartikan sebagai proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui

upaya orang lain (Nursalam, 2015), Manajemen keperawatan adalah proses

pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui upaya staf keperawatan untuk

memberikan asuhan keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada

sekelompok pasien. Manajemen keperawatan merupakan suatu proses yang

dilaksanakan sesuai dengan pendekatan sistem terbuka. Oleh karena itu,

manajemen keperawatan terdiri atas beberapa komponen yang tiap-tiap

komponen saling berinteraksi. Pada umumnya suatu sistem dicirikan oleh

lima (5) elemen, yaitu input, proses, output, kontrol dan mekanisme umpan

balik.

Proses manajemen keperawatan dalam aplikasi di lapangan berada sejajar

dengan proses keperawatan sehingga keberadaan manajemen keperawatan

dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan proses

keperawatan. Tujuan dalam proses manajemen adalah pelayanan yang

efektif dan ekonomis pada sekelompok pasien dan pengembangan anggota

staf. Proses manajemen terdiri dari pengumpulan data, perencanaan,

Page 2: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

13

pengorganisasian, staffing, pengarahan, dan pengawasan sedangkan proses

keperawatan terdiri dari pengumpulan data, diagnosa, perencanaan,

implementasi dan evaluasi.

2.1.1 Fungsi Manajemen Keperawatan

Manajemen yang terdiri dari fungsi-fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian,

Menurut Marquis dan Houston (2012), fungsi manajemen terdiri

dari:

2.1.1.1. Fungsi Perencanaan

Perencanaan memiliki tujuan yang spesifik dan merupakan

salah satu pendekatan untuk mengembangkan strategi.

Perencanaan diartikan sebagai aktivitas spesifik yang

dilakukan untuk membantu mencapai tujuan organisasi.

Secara umum, perencanaan dibagi menjadi empat tipe:

reaktif, inaktivism, preaktivism, dan interaktif/ proaktif

(Marquis & Huston, 2012). Perencanaan reaktif dilakukan

setelah masalah terjadi. Pada perencanaan reaktif ini upaya

yang dilakukan adalah memberi arah pada organisasi untuk

terus mengembangkan diri tanpa melihat ke belakang. Hal

ini dilakukan jika terdapat ketidakpuasan dengan kondisi

yang terjadi saat ini. Seringnya, kesepakatan yang diambil

pada tahap ini hanya dengan sebagian anggota organisasi,

tidak dengan organisasi secara keseluruhan. Pada tipe

perencanaan ini yang sering terjadi adalah kesalahan dan

pengambilan keputusan yang terburu-buru, mengingat

perencanaan ini dilakukan jika terjadi krisis dalam

organisasi (Marquis & Huston, 2012).

2.1.1.2. Perencanaan inaktism merupakan tipe perencanaan

konvensional. Inaktism mencari status quo dan menyimpan

Page 3: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

14

kemampuannya untuk mencegah terjadinya perubahan dan

menjaga kesesuaian. Ketika perubahan terjadi, maka

perubahan ini akan terjadi sangat lambat dan bertahap

(Marquis & Huston, 2012). Perencanaan preaktism

merupakan tipe perencanaan ketiga. Perencana preaktivsm

menggunakan teknologi untuk mempercepat perubahan dan

berorientasi pada masa depan. Karena ketidakpuasan

dengan masa lalu dan sekarang, preaktism tidak

menggunakan pengalaman nilai dan keyakinan yang

kedepannya selalu berubah (Marquis & Huston, 2012).

Tipe perencanaan terakhir adalah perencanaan interaktif

atau proaktif. Perencana yang menggunakan tipe ini sebagai

pertimbangan masa lalu, masa kini dan masa yang akan

datang. Perencanaan ini menetapkan rencana kedepan

daripada hanya reaktif terhadap masalah yang terjadi.

Karena pengaturan organisasi itu sering terjadi, penyesuaian

diri merupakan kunci pada perencanaan proaktif. Setelah

perencanaan proaktif dilakukan, antisipasi kebutuhan

perubahan dan pertumbuhan organisasi harus dipenuhi

sebaik memenuhi kebutuhan personal manajer. (Marquis &

Huston, 2012).

2.1.1.3. Fungsi Pengorganisasian

Pengorganisasian dilakukan setelah fungsi perencanaan.

Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas-aktivitas

untuk tujuan mencapai objektif, penugasan suatu kelompok

manajer dengan autoritas pengawasan setiap kelompok, dan

menentukan cara dari pengorganisasian aktivitas yang tepat

dengan unit lain, baik secara vertikal maupun horisontal.

Fungsi ini melihat bagaimana struktur organisasi

Page 4: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

15

memfasilitasi atau menghambat komunikasi, fleksibilitas

dan kepuasan kerja.

2.1.1.4. Fungsi Pengaturan Staf

Fungsi pengaturan staf meliputi kegiatan manajemen untuk

merekrut, memilih, memberikan orientasi, dan

meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai

tujuan organisasi. Dalam mewujudkan keselamatan

perawat, kegiatan yang dilakukan dapat berupa perubahan

jam praktik perawat, pergantian shift, seleksi dan

mempertahankan perawat yang mempunyai pengetahuan

yang baik tentang keselamatan perawat (Marquis & Huston,

2012; RNAO, 2006). Canadian Nurses Association (CNA)

dan RNAO pada 2010 mengeluarkan rekomendasi tentang

kebijakan penjadwalan kerja perawat. Kebijakan tersebut

antara lain: jumlah jam kerja tiap shift tidak lebih dari 12

jam dalam 24 jam, rotasi shift minimal 2 minggu untuk

menjaga kestabilan irama sirkadian, meminimalkan on call,

dan tidak melakukan interupsi pekerjaan saat perawat

menggunakan jam istirahatnya.

2.1.1.5. Fungsi Pengarahan

Pengarahan dilakukan dengan memberikan motivasi,

mengatasi konflik, mengkomunikasikan dan memfasilitasi

kolaborasi. Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan

stressor kerja perawat. Perawat yang bekerja dibawah

stresor akan mengurangi produktivitas, menaikkan jumlah

hari ijin kerja dan meningkatkan angka turnover (Marquis

& Huston, 2012; Palumbo, McLaughlin, McIntosh, &

Rambur, 2011; RNAO, 2006).

2.1.1.6. Fungsi Pengendalian, Pengendalian merupakan suatu proses

pemantauan prestasi dan pengambilan tindakan untuk

menjamin hasil yang diharapkan. Pada proses ini

Page 5: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

16

manajemen memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan

baik dan sesuai dengan waktu yang ditetapkan (Marquis &

Huston, 2012). Kegiatan dalam fungsi pengendalian

meliputi penilaian kinerja, tanggung gugat fiskal,

pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika, dan

pengawasan hubungan profesional dan kolegial (Marquis &

Huston, 2012).

2.1.2 Manajemen SDM Keperawatan

Salah satu fungsi manajemen yang terpenting yang harus

dilaksanakan oleh seorang manajer adalah pengelolaan ketenagaan.

Manfaat memandang individu sebagai sumber yang dapat

dikembangkan dirasakan sangat penting untuk memenuhi tantangan

yang dihadapi di lingkungan keperawatan kesehatan yang terus

berkembang pesat (Cameron & Snyders, 1999, dalam Marquis &

Huston, 2010).

Ketenagaan (staffing) adalah fase ketiga proses manajemen. Pada

fungsi ketenagaan, manajer merekrut, memilih, memberikan

orientasi, dan meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai

tujuan organisasi. Fungsi ini penting dalam proses manajemen di

organisasi keperawatan dan kesehatan. Selain itu, tenaga kerja yang

besar terdiri atas para profesional yang sangat terampil dan

kompeten perlu dikelola dengan baik dan tepat.

2.1.2.1 Perekrutan

Perekrutan adalah proses mencari atau menarik pelamar

secara aktif untuk mengisi posisi yang tersedia. Meskipun

pada waktu tertentu organisasi mungkin memiliki suplai RN

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, data yang ada

menunjang gagasan bahwa perekrutan adalah proses yang

berkelanjutan. Nevidjon dan Erikson (2001) dalam Marqius

Page 6: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

17

dan Huston, (2010) menyatakan bahwa retensi perawat

dimulai dengan seberapa besar organisasi menghargai staf

atau tidak.

Pekerjaan harus diselesaikan oleh kelompok dalam

organisasi yang kompleks, oleh karena itu, manajer yang

baik mencoba membuka diri mereka di antaraorang yang

mempunyai kemampuan, motivasi dan menjanjikan.

Pegawai yang sempurna merefleksikan manajernya dengan

baik karena mereka mencegah stagnansi dan meningkatkan

produktivitas dalam organisasi tersebut. Peran

kepemimpinan dalam ketenagaan mencakup

mengidentifikasi, merekrut, dan mempekerjakan orang yang

berbakat (Marquis dan Huston, 2010)

2.1.2.2 Wawancara

Wawancara adalah interaksi verbal antara individu untuk

tujuan tertentu. Maksud dan tujuan wawancara seleksi ada

tiga, antara lain: (1) pewawancara mencoba mencari

informasi yang cukup untuk menentukan kesesuaian

pelamar untuk posisi yang tersedia; (2) pelamar

mendapatkan informasi yang memadai untuk mengambil

keputusan yang cerdas apakah akan menerima pekerjaan

tersebut apabila ditawarkan; dan (3) pewawancara mencoba

melakukan wawancara dengan cara sedemikian rupa

sehingga, tanpa memandang hasil wawancara, pelamar akan

terus menghargai dan mempunyai maksud baik terhadap

organisasi (Marquis dan Huston, 2010).

2.1.2.3 Seleksi

Seleksi adalah proses pemilihan individu yang memiliki

kualitas terbaik atau individu untuk pekerjaan atau posisi

Page 7: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

18

tertentu dari banyak pelamar. Proses seleksi terdiri atas

memastikan kualifikasi para pelamar, meneliti mengenai

riwayat kerjanya, dan memilih apakah ada kecocokan antara

kualifikasi pelamar dengan ekspektasi organisasi(Marquis

dan Huston, 2010)

Keragaman pegawai sebaiknya juga dipertimbangkan dalam

mengambil keputusan seleksi. Memiliki staf yang berbeda

jenis kelamin, usia, budaya, etnisitas, dan bahasa

bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan populasi klien yang

semakin beragam. Selain itu, memiliki staf yang beragam

meningkatkan moral dan produktifitas kelompok minoritas

dalam organisasi dan memperkaya keseluruhan organisasi,

membawa perspektif baru dalam pemikiran dan pemecahan

masalah yang berlangsung sehari-hari serta menawarkan

solusi yang lebih kompleks dan kreatif (Tappen, 2001).

2.1.2.4 Penempatan

Pimpinan yang cerdas mampu menempatkan pegawai baru

di posisi tempat pegawai tersebut memiliki kesempatan

untuk berhasil dalam lingkup kewenangannya. Seseorang

mungkin dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan

kelompok yang telah berdiri tersebut, tetapi seseorang

dengan kualifikasi yang sama mungkin juga tidak akan

pernah menjadi bagian dari hal tersebut (Marquis dan

Huston, 2010).

Seringkali pendatang baru merasa gagal karena penempatan

yang tidak tepat dalam organisasi. Penempatan yang tepat

sama pentingnya untuk fungsi organisasi dan keberhasilan

pegawai baru. Penempatan yang salah dapat menyebabkan

menurunnya efisiensi organisasi, meningkatnya reduksi,

Page 8: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

19

ancaman terhadap keutuhan organisasi, dan frustrasi pribadi

serta ambisi profesional. Sebaliknya, penempatan yang

benar meningkatkan pertumbuhan pribadi, memberikan

iklim motivasi bagi pegawai, memaksimalkan produktifitas,

dan meningkatkan kemungkinan terpenuhinya tujuan

organisasi (Marquis dan Huston, 2010).

2.1.2.5 Pemberian Ajaran secara Mendalam (Indoctrination)

Indoktrinasi, sebagai fungsi manajemen, merujuk pada

penyesuaian pegawai yang terencana dan terbimbing

terhadap organisasi dan lingkungan kerja. Proses

indoktrinasi mencakup tiga fase yang berbeda: induksi,

orientasi, dan sosialisasi (Marquis dan Huston, 2010).

Indoktrinasi menunjukkan pendekatan yang lebih luas

terhadap proses penyesuaian pegawai daripada induksi atau

orientasi. Indoktrinasi mencoba untuk (1) membentuk sikap

pegawai yang baik terhadap organisasi, unit, dan bagian, (2)

menyediakan informasi dan pendidikan yang dibutuhkan

agar berhasil dalam posisi tersebut, (3) memasukkan

perasaan memiliki dan menerima.

Program indoktrinasi yang efektif menghasilkan

produktifitas yang lebih tinggi, pelanggaran peraturan yang

lebih sedikit, pengurangan yang lebih sedikit, dan kepuasan

pegawai yang lebih besar (Marquis dan Huston, 2010).

a. Induksi

Induksi, fase pertama pada indoktrinasi, berlangsung

setelah pegawai terpilih, tetapi sebelum melakukan

peran kerja. Proses induksi meliputi semua kegiatan

Page 9: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

20

yang mendidik pegawai baru tentang organisasi dan

pekerjaan serta kebijakan dan prosedur personal.

Aktivitas induksi sering dilakukan selama fungsi

kepersonaliaan penempatan dan prakerja atau dapat

dimasukkan pada kegiatan orientasi. Namun, induksi

dan orientasi seringkali merupakan kegiatan yang

terpisah, dan pegawai baru mengalami kesulitan jika

materi salah satu program tersebut dihilangkan. Faktor

yang paling penting adalah memberikan informasi yang

memadai bagi pegawai tersebut.

Buku saku pegawai, bagian penting suatu induksi,

biasanya disusun oleh departemen personalia. Manajer

harus mengetahui apa isi buku tersebut dan sebaiknya

memberikan masukan pada perkembangannya. Karena

pegawai tidak dapat menyerap semua informasi induksi

sehingga mereka perlu acuan nantinya.

Aktivitas induksi diberikan karena dua alasan. Pertama,

tujuan induksi adalah membekali pendatang baru

dengan informasi yang memungkinkan dia merasa

kerasan di lembaga tersebut dan mengenali tujuan serta

programnya. Kedua, setelah ia mulai bekerja di unit

tempat ia ditugaskan, pegawai baru tersebut akan

memperoleh informasi yang cukup mengenai kondisi

kerja dan kebijaksanaan personil dari rekan kerjanya.

Biasanya aktivitas induksi dilakukan selama dua atau

tiga hari pertama (Marquis dan Huston, 2010).

b. Orientasi

Orientasi adalah proses penyesuaian bagi pekerja baru

dengan lingkungan pekerjaan sehingga dia dapat

Page 10: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

21

berhubungan cepat dengan lingkungan sekitarnya yang

baru. Maksud orientasi adalah membuat pegawai baru

merasa diinginkan dan diperlukan oleh rekan sekerja

serta atasan juga untuk meyakinkan dia bahwa

kehadirannya dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita

organisasi.

Setelah kegiatan induksi selesai, pegawai sebaiknya

diorientasikan kepada pekerjaan khusus yang mana

karena itu ia diangkat. Ada perbedaan yang sangat

tajam diantara organisasi keperawatan berkenaan

dengan lama, bentuk dan isi program orientasi untuk

personil perawatan pasien. dalam banyak lembaga,

orientasi dua-minggu diberikan kepada personil

keperawatan yang ditugaskan di ruang operasi atau unit

rawat intensif. Didalam beberapa unit kerja program

orientasi tiga-bulan diberikan kepada semua perawat

yang baru lulus untuk menekan “kekagetan realitas”

selama masa transisi dari status siswa ke status

pegawai. Beberapa lembaga memberikan program

orientasi atau masa belajar suatu keahlian selama enam

bulan atau dua belas bulan.

Bentuk program orientasi bisa sentralisasi atau

desentralisasi, standardisasi atau individualisasi. Isi dari

program orientasi didalam unit keperawatan, seksi, atau

divisi sebaiknya dipilih oleh perawat yang praktek di

dalam keahlian tersebut. Tujuan keseluruhan dari

induksi dan orientasi meliputi membantu pegawai

dengan menyediakan informasi yang memperlancar

transisi mereka ke lingkungan kerja yang baru. Tujuan

proses orientasi adalah membuat pegawai merasa

Page 11: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

22

bagian dari tim. Hal ini akan mengurangi gesekan dan

membantu pegawai baru menjadi mandiri dalam peran

baru mereka lebih cepat (Marquis & Huston, 2010).

Swanburg (2000) tujuan utama orientasi adalah

membantu perawat dalam menyesuaikan diri pada

situasi baru. Menyiapkan suatu program indoktrinasi

yang memenuhi kebutuhan pegawai dan organisasi

merupakan tanggung jawab bersama departemen

personalia, departemen pengembangan staf, dan setiap

unit layanan keperawatan. Manajer unit harus

memainkan peran penting dalam orientasi pegawai

baru. Program orientasi yang memadai meminimalkan

kecenderungan pelanggaran peraturan, keluhan, dan

kesalahpahaman; menumbuhkan perasaan memiliki dan

menerima; dan meningkatkan antusiasme dan moral.

2.2 Preceptorship

Preceptorship adalah masa transisi pendekatan proses belajar mengajar

dalam praktik klinik untuk memfasilitasi hubungan antara preceptor dan

preceptee. Tujuannya untuk menumbuhkan sikap berpikir kritis dalam

pengembangan profesional, di mana prosesnya preceptee akan didampingi

oleh preceptor di tempat kerjanya dalam kurun waktu tertentu.

Preceptorship secara konsisten dan terstruktur memaksimalkan manfaat dari

pendidikkan keperawatan klinis dalam hal pengetahuan, keterampilan,

kepercayaan diri, nilai-nilai dan perilaku untuk mengembangkan profesional

secara otonom yang terus berkelanjutan (Happell, 2009; Health department

of UK, 2010; Asirifi, Mill, Myrick & Richardson, 2013).

Menurut NMC (Nurse Midwifery Council di UK 2009) mendefinisikan

preceptorship sebagai suatu periode (preceptorship) untuk membimbing dan

mendorong semua praktisi kesehatan baru yang memenuhi persyaratan

Page 12: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

23

untuk melewati masa transisi bagi perawat untuk mengembangkan

kemampuannya sesuai dengan bidang yang diamanatkannya.

Preseptor adalah seseorang yang telah memiliki pengalaman pada

pelayanan kesehatan, bekerja bersama perawat pada seting klinik, berperan

sebagai pendidik klinis sekaligus sebagai seorang perawat profesional.

Preseptor bertugas untuk membimbing perawat baru untuk belajar

menerapkan teori dan pengetahuan yang dimiliki (Mingpun, Srisa-ard &

Jumpamool. 2015). Preseptor keperawatan merupakan kunci proses

pelaksanaan pembelajaran klinis. Preseptor menentukan keberhasilan

pencapaian kompetensi perawat baru dan profil perawat mendatang.

Preseptor harus dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan evidence base

practice (Reghuram & Caroline, 2010).

Preseptor diartikan sebagai praktisi keperawatan teregisterasi yang secara

formal memiliki tanggungjawab untuk memberikan dukungan kepada

perawat baru dengan pendekatan proses preseptorship (Minnesota

Department of Health, 2010). Preseptor merupakan seorang dosen yang

ditempatkan di tatanan klinik atau perawat senior yang bekerja di tatanan

layanan dan ditetapkan sebagai preseptor. (AIPNI, 2016).

Pada beberapa lembaga sebuah sistem preceptor dipakai untuk penyesuaian

pegawai baru terhadap tanggung jawab pekerjaannya. Staf perawat yang

baru diangkat dipasangkan dengan staf perawat yang berpengalaman di

dalam unit yang sama. Kedua perawat tersebut dijadwalkan untuk jam kerja

yang sama dan ditugaskan untuk merawat pasien yang sama. Perawat yang

lebih berpengalaman bertanggung jawab atas bukti penguasaan setiap

keahlian keperawatan perawat baru yang sedang dibimbingnya. Pemakaian

sistem preceptor selama orientasi adalah berdasarkan pada prinsip

pendidikan orang dewasa bahwa sebuah model peran membentuk perilaku

seseorang yang sedang belajar.(Blais et al, 2007).

Page 13: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

24

Preceptor adalah seorang perawat level pertama yang qualified dan

berpengalaman yang bersedia bekerja dalam kemitraan dengan seorang

perawat baru dalam rangka mendampingi dan mendukung perawat baru.

Preceptee adalah seorang perawat praktisi baru yang bertanggung jawab dan

bertanggung gugat dan qualified. Preceptorship biasanya ditunjuk untuk

perawat yang baru dalam unit keperawatan guna membantu mereka

meningkatkan keterampilan keperawatan yang diperlukan agar dapat

melakukan praktik yang efektif dalam lingkungan kerja mereka. Mereka

juga membantu perawat baru mempelajari rutinitas, kebijakan, dan prosedur

diunit tersebut. Preceptorship harus sabar dan mau mengajar perawat baru,

dan mereka harus bersedia menjawab pertanyaan–pertanyaan dan

mengklarifikasi harapan peran perawat dalam lingkungan praktik. (Beverley

A. Janes 1996, Chanell Watkins 2013)

Pengalaman preceptorship cenderung dalam periode singkat ( 1 – 12 bulan).

Lama waktunya tergantung ciri-ciri dari pada peserta program, kebutuhan

sekelompok pasien, dan juga jenis setting dari tempat kerja (CNA, 2004).

Menurut Beecroft, Dorey, dan Wentern (2008) bahwa program

pembimbingan ini berlangsung selama 22 minggu.

Preseptor merupakan seorang ahli atau berpengalaman dalam memberikan

pelatihan dan pengalaman praktik kepada peserta didik. Preseptor biasanya

seorang perawat praktisi yang bekerja dan berpengalaman disuatu area

keperawatan tertentu yang mampu mengajarkan, memberikan konseling,

menginspirasi, serta bersikap dan bertindak sebagai “model peran”.

Preseptor mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu pemula

dalam periode tereantu dengan tujuan tertentu mensosialisasikan pemula

kedalam peran baru sebagai profesional (Kurikulum AIPNI, 2016).

Seorang preceptor seharusnya berpendidikan lebih tinggi dari peserta didik

(PP no. 19/2005, pasal 36 ayat 1), pendidikan preceptor minimal merupakan

seorang ners tercatat (STR)/ memiliki lisensi Surat Ijin Kerja Perawat

(SIKP) sesuai dengan PERMENKES RI No 17 tahun 2017. Preseptor harus

Page 14: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

25

memiliki sertifikat kompetensi sesuai keahlian dibidangnya (PP no 19/2005

tentang standar nasional pendidikan, pasal 31 ayat 3 dan pasal 36 ayat 1).

Preseptor biasanya telah berpengalaman minimal 2 tahun berturut-turut

ditempatnya bekerja, sehingga preseptor dapat membimbing peserta didik

dengan baik.

2.2.1. Tujuan dari preceptorship dapat dikategorikan menjadi 2

2.2.1.1. Secara Mikro : Preceptorship secara mikro bertujuan

membantu proses transisi dari pembelajaran ke praktisioner;

mengurangi dampak sebagai “syok realita” dan

memfasilitasi individu untuk. berkembang dari apa yang

dihadapi dari lingkungan barunya.

2.2.1.2. Secara Makro : Preceptorship secara mikro bertujuan untuk

melibatkan pengembangan perawat di dalam berorganisasi.

Preceptorship digunakan sebagai sosialiasi dan orientasi,

sehingga diskusi anatara preceptors dan preceptee

diperlukan untuk memberikan pandangan dan harapan

preceptee akan memiliki kemampuan yang sama dengan

preceptorsnya

2.2.2. Elemen-elemen dalam Preceptorship

Preceptor adalah profesional kesehatan yang diberi tanggung jawab

formal untuk mendukung perawat baru melalui program

preceptorship. Preceptor merupakan narasumber, fasilitator, pendidik,

konsultan dan role model dalam praktek klinis. Preceptor bertugas

mendampingi mahasiswa perawat ataupun perawat baru lulus dalam

lingkungan pekerjaan baru mereka, sehingga perawat baru dapat

beradaptasi dengan mudah di tempat kerjanya (Turner, 2007; Health

Department of UK, 2010; Rodrigues, Carla, Witt & Regina 2013).

Page 15: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

26

Preceptee dalam preceptorship memiliki kesempatan untuk

menerapkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan

nilai-nilai yang sudah dipelajari. Mengembangkan kompetensi

spesifik yang berhubungan dengan peran preceptee. Dukungan

pembelajaran menanamkan nilai-nilai dan harapan dari profesi

misalnya kepemimpinan, manajemen dan bekerja secara efektif dalam

tim multidisiplin. Kesempatan untuk mengevaluasi hasil kerja dan

bimbingan, menerima umpan balik yang konstruktif dan diskusi

bersama (Chapman; Health department of UK, 2010, 2013).

2.2.3. Benefit Preceptorship

Manfaat dari pelaksanaan preceptorship bagi para pemangku

kepentingan yang berkontribusi terhadap pengalaman pasien secara

keseluruhan (Health department of UK, 2010). Salah satu keuntungan

dari preceptorship adalah dapat menjalin hubungan yag baik antara

preceptor dan preceptee. Penelitian Zilembo & Monterosso (2008)

menyatakan bahwa hubungan antara preceptor dan preceptee sangat

penting dalam membentuk pengalaman perawat baru pada daerah

klinis dan dunia kerja dalam dunia keperawatan.

Manfaat penerapan preceptorship dari perspektif para pemangku

kepentingan kunci yang berbeda bagi pemangku kepentingan maupun

bagi pelaku preceptorship itu sendiri di antaranya bagi preceptee

keuntungan yang didapatkan yaitu preceptee dapat mengembangkan

rasa percaya diri, dapat bersosialisasi secara profesional dalam

lingkungan kerja. Peningkatan kepuasan kerja yang mengarah kepada

peningkatan kepuasan pasien/klien/pengguna jasa.

Bagi preceptor, keuntungan yang didapatkan yaitu adanya

pengembangan penilaian, pengawasan, bimbingan dan keterampilan.

Preceptor juga berkesempatan meningkatkan kemampuan dalam

memberikan arahan kepada siswa. Memberikan nilai kepada perawat

Page 16: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

27

baru untuk dapat berkontribusi terhadap organisasi dan pasien.

Mengidentifikasi komitmen peraturan dalam profesi, sebagai

pendukung long life learning untuk karir dimasa depan.

Manfaat preceptorship bagi pemimpin berupa peningkatan kualitas

perawatan pasien, peningkatan pengalaman pengguna jasa dan

peningkatan kepuasan staf. Pemimpin juga berkesempatan untuk

mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan tambahan atau

perubahan peran. Mengurangi risiko terjadinya keluhan baik dari

pelanggan internal maupun eksternal. Mengidentifikasi staf yang

memerlukan dukungan lebih lanjut / ekstra.

Keuntungan bagi profesi yaitu adanya pertanggung jawaban secara

profesional dalam memberikan standar praktek dan perawatan.

Memiliki kepedulian prioritas terhadap layanan, dan saling

menghormati satu sama lain. Dapat melindungi dan mempromosikan

kesehatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat luas Bersikap

terbuka dan jujur, bertindak dengan integritas dan menjunjung tinggi

reputasi profesi sehingga dapat meningkatkan citra kesehatan

perawatan profesional.

2.2.4. Implementasi Preceptorship

Implementasi preceptorship menurut Health department of UK (2010)

memiliki desain dan metode pembelajaran yang harus diintegrasikan

ke dalam preceptorship. Program tersebut dapat dipersonalisasi untuk

memenuhi kebutuhan masing-masing perawat baru dalam membangun

kepercayaan diri mereka sebagai praktisi profesional. Pembelajaran

dapat dicapai melalui preceptorship berbasis keorganisasian, misalnya

merancang alur belajar, self-directed learning, fokus terhadap praktek

klinis, pendampingan atau dukungan secara langsung atau jarak jauh /

menggunakan media elektronik.

Page 17: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

28

Preceptorship dapat difasilitasi dalam kemitraan dengan institusi

pendidikkan tinggi yang disampaikan melalui program akademis

terakreditasi belajar berbasis kerja, misalnya pembelajaran berbasis

sikap dan perilaku melalui pemodelan peran. Preceptorship efektif

cenderung melihat perawat baru terlibat dalam berbagai kegiatan

untuk beberapa waktu selama enam sampai dua belas bulan pertama

peran pasca-pendaftaran pertama mereka. Pertimbangan yang cermat

harus diberikan untuk memastikan investasi hemat biaya, waktu dan

sumber daya yang ditujukan dalam preceptorship untuk

memungkinkan keseimbangan yang baik antara preceptorship efektif

dan penyediaan yang lebih luas.

Preceptorship harus mencerminkan dan menunjukkan tentang belajar

teori (misalnya membaca atau kelas berbasis jarak/e-learning) dan

pengawasan/dipandu refleksi pada praktek (satu ke satu atau dalam

kelompok kecil, tatap muka atau jarak jauh). Keoptimalan komponen

ini harus terdiri dari sekitar 4-6 hari untuk belajar teori dan sekitar 18

jam untuk pengawasan/refleksi yang dibimbing dan disesuaikan

dengan kebijakan tempat kerja.

Preceptorship direncanakan dalam konteks individu yang bertanggung

jawab secara profesional sesuai dengan kebutuhan organisasi. Output

preceptorship yang diharapkan yaitu perawat baru akan menjadi

efektif, percaya diri dan sepenuhnya otonomi, serta mampu

memberikan perawatan berkualitas tinggi untuk pasien atau pengguna

jasa. Sehingga dalam perjalanan karir praktisi akan terus maju ke

depan sebagai pemimpin dan panutan secara independen dan inovatif

untuk generasi praktisi kesehatan di masa depan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40

Tahun 2017 tentang pengembangan jenjang karir profesional perawat

klinis, preceptor menjadi role model dari perawat baru, mengarahkan

dan mengevaluasi pencapaian kompetensi serta melaksanakan asuhan

Page 18: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

29

bersama dengan perawat baru. Preceptorship dilaksanakan melalui

one to one dimana preceptor tidak hanya menjadi role model dalam

melaksanakan asuhan keperawatan tetapi juga memberikan motivasi

serta membantu proses adaptasi dari staf baru. Perawat baru akan

mengikuti siklus dinas preceptor dan dalam proses preceptorship akan

dievaluasi pencapaian kompetensinya kemudian didokumentasikan

dalam logbook dan preceptor akan mengevaluasi apakah perawat

sudah mapu mandiri dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Langkah-langkah dalam melakukan bimbingan teknis keperawatan

adalah membangun hubungan dalam preceptorship yaitu membangun

kepercayaan dimana langkah penting dalam membangun hubungan

antara preceptor dan preceptee dan memberikan landasan dalam

mengembangkan pengalaman bekerja bagi preceptee. Fokus dari

proses preceptorship adalah untuk memperjelas peran, membahas

pengalaman bersama, meninjau latar belakang preceptee, memahami

jenjang karir, kebijakan dan regulasi.

Pelaksanaan preceptorship adalah sebagai berikut: 1) preceptor dan

preseptee bertemu dan mendiskusikan tujuan – tujuan yang akan

dicapai, 2) mendiskusikan tentang kegiatan, pelatihan dan seminar

yang disesuaikan dengan kebutuhan preceptee, 3) mendiskusikan

tentang kondisi pasien dan rencana tindakan keperawatan yang akan

dilakukan, 4) menyediakan peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan

dalam kegiatan, 5) melaksanakan kegiatan sesuai dengan standar

prosedur rumah sakit, 6) diskusi antar preseptor dan preseptee setelah

melakukan kegiatan, 7) mengatasi permasalahan atau kendala yang

ditemukan selama kegiatan berlangsung, 8) preceptor memberikan

umpan balik secara berkesinambungan kepada preseptee, hal tersebut

akan membantu preseptee dalam memaksimalkan keterampilanya

secara sistematis, 9) saling berbagi pengalaman dan mendiskusikan

strategi untuk praktik keperawatan yang dapat memungkinkan

Page 19: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

30

preseptee untuk memperkaya pemahamanya tentang bagaimana peran

yang dilakukan dan bagaimana memecahkan permasalahan, 10)

mengevaluasi hasil kegiatan dan merencanakan tindak lanjut sesuai

dengan kebutuhan.

2.2.5. Program Preceptorship

Program preceptorship dilakukan untuk memberikan dukungan

kepada perawat baru baik terhadap pengembangan kompetensi

maupun transisi peran dari perawat lulusan baru. Tim desain dari

pimpinan perawat, perawat pendidik, perawat praktik lanjut,

preceptorship keperawatan, dan petugas sosial mengembangkan suatu

pendekatan untuk mendukung perawat lulusan baru dalam tahun

pertama mereka sebagai karyawan. Keuntungan program

Preceptorship dirasakan memberikan keuntungan terhadap Preceptee,

Preceptor, Instansi kesehatan dan profesi keperawatan. (Barbara

Penprase 2012, Beverley.A.Janes 1996, Chanell Watkins 2013)

2.2.6. Kompetensi Preceptorship

AIPNI (2016) menjabarkan bahwa preseptor harus memiliki

kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar, mampu menjadi

model peran professional, berkeinginan memberikan waktu yang

cukup untuk peserta didik. Preseptor mampu menjadi pendengar yang

baik dan mampu menyelesaikan masalah, tanggap terhadap kebutuhan

dan ketidak berpengalaman peserta didik, cukup megenali dan terbiasa

dengan teori dan praktik terkini, kompeten dan percaya diri dalam

peran sebagai preceptor atau mentor

Gaberson dan Oerman (2010) mendeskripsikan 4 domain kompetensi

yang harus dimiliki seorang preseptor yaitu: pengetahuan

(knowledge) preseptor harus memiliki pengetahuan yang memadai

tentang pasien (tipe, permasalahan, dan pengelolaan), teknologi baru

Page 20: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

31

dan riset-riset yang berhubungan dengan pengelolaan pasien. Domain

kompetensi preseptor yang kedua adalah kompetensi klinis (clinical

competency) preseptor akan mampu membimbing perawat baru jika

memiliki kompetensi klinis yang baik.

Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, penilaian, dan atribut

pribadi yang disyaratkan untuk seorang untuk praktek secara aman

dan etis dalam menjalankan perannya di tempat kerja. Kompetensi

perawat dikembangkan pada waktu masuk, pada level khusus dan

level praktek lebih lanjut (CNA, 2002).

2.2.6.1. Daftar kompetensi preceptor dibagi dalam lima (5) kategori

utama: (CNA, 2004) yaitu:

a. Kolaborasi: berkolaborasi dengan preceptee pada semua

tahap preceptorship, membuat dan mempertahankan

hubungan kolaborasi dengan manajer dan rekan lain

(rekan kerja, profesi kesehatan lain, pasien), membuat

jejaring dengan preceptor lain untuk saling berbagi

praktek terbaik, mendampingi preceptee secara tepat

untuk menginterpretasikan perannya terhadap individu,

keluarga, komunitas dan masyarakat.

b. Atribut pribadi: menunjukkan antusiasme dan keinginan

dalam pendampingan, menampakkan ketertarikan yang

tulus dalam kebutuhan pembelajaran dan perkembangan

preceptee, membangun lingkungan pembelajaran yang

positif, mengadaptasi perubahan, melakukan

keterampilan komunikasi yang efektif dengan pasien dan

rekan kerja, melakukan keterampilan penyelesaian

masalah secara efektif, menunjukkan kesiapan dan

keterbukaan akan proses belajar bersama dengan

preceptee, menampakkan penghargaan terhadap

Page 21: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

32

perbedaan preceptee (latar belakang pendidikan, ras,

budaya), mengintegrasikan preceptee ke dalam budaya

sosial institusi, memiliki kesabaran dan kepercayaan diri,

mengenali keterbatasan dan berkonsultasi dengan yang

lain bila perlu.

c. Memfasilitasi pembelajaran: kaji kebutuhan belajar

preceptee (kaji ulang kompetensi utama, diskusikan hasil

yang diharapkan, kaji pengalaman yang lalu tentang

pengetahuan dan keterampilan preceptee dengan rasa

hormat, identifikasi kesempatan belajar/memberi

penugasan), merencanakan aktifitas pembelajaran,

mengimplementasikan aktifitas pembelajaran klinik di

area klinik, evaluasi keluaran pembelajaran klinik.

d. Praktik Profesional: praktik secara mandiri dan

berkesinambungan sesuai dengan standar keperawatan,

bekerja sesuai standar nasional/internasional yang

terbaru, mendampingi preceptee mencapai pengetahuan,

keterampilan dan penilaian praktek sesuai standar

keperawatan, jelaskan peran, hak, dan tanggung jawab

sehubungan dengan pembimbingan dengan cara yang

tepat.

e. Penguasaan terhadap area/setting: dapat memahami isi

dasar dari institusi (Misi, Filosofi; metode asuhan

keperawatan; kebijakan dan prosedur; lingkungan fisik;

peran dan fungsi antar disiplin ilmu; format,

dokumentasi dan mekanisme pelaporan; sumber

pembelajaran), melakukan peran perawat dalam tim

multidisiplin, mengkaji ulang pedoman pendidikan

institusi untuk preceptor dan preceptee.

Page 22: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

33

Kualitas dari preceptor yang efektif menurut Rose

(2007) adalah keterampilan komunikasi yang baik, role

model yang profesional, rela memberikan waktu bagi

preceptee, seorang pendengar dan pengelola masalah

yang baik, peka terhadap kebutuhan dan

ketidakpengalaman preceptee, mengenal teori dan

praktik terbaru, kompeten dan percaya diri dalam peran

sebagai preceptor.

2.2.7. Uraian tugas preceptorship

2.2.7.1. Tugas dari seorang preceptor adalah:

a. Memberi suport

b. Supervisi

c. Memonitor proses belajar

d. Menilai penampilan perawat baru

e. Menyakinkan bahwa perawat baru dapat mencapai

tujuan belajar.

f. Perawat baru dapat dievaluasi secara proporsional.

2.2.7.2. Tanggung jawab preseptor adalah:

a. Mengorientasikan perawat baru ke unit keperawatan/

kebidanan dan klien

b. Meriview tujuan belajar dan menyediakan anjuran bagi

berlangsungnya pengalaman belajar

c. Melakukan supervisi

d. Bertanya kepada mahasiswa dan membawa mahasiswa

pada situasi yang menantang sesuai dengan tujuan

belajar

e. Memfasilitasi belajar

f. Bersikap role model

g. Mengidentifikasi kebutuhan

h. Meriview tugas belajar

Page 23: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

34

2.2.8. Langkah-langkah preceptorship

2.2.8.1. Persiapan Pertemuan

Wawancara Awal: Hal Yang Perlu dilakukan oleh Perseptor

adalah :

a. Mencari tahu tentang kebutuhan perseptee dalam

bimbingan.

b. Membantu Perseptee menentukan tujuan bimbingan

yang ingin dicapai.

c. Menanyakan kepada perseptee tentang tugas yang

dibebankan

d. Memperkenalkan tentang sikap perseptor dan

kesempatan bimbingan.

e. Menjajaki psikologis perseptee tentang kesiapan

bimbingan, Memberi dukungan perseptee untuk self –

assessment setiap tahap bimbingan

2.2.8.2. Tahap pelaksanaan

Wawancara Lanjutan: Hal yang perlu dilakukan oleh

Perseptor adalah :

a. Mendukung perseptee untuk mengetahui kelemahan dan

kelebihan diri sendiri.

b. Mengklarifikasi setiap ide yang di tentukan oleh

perseptee,

c. Memberikan saran perseptee untuk perbaikan.

d. Mencatat point - point penting yang sampaikan oleh

perseptee.

e. Melihat kembali perkembangan perseptee setelah

wawancara.

f. Mendorong perseptee untuk menjawab pertanyaan

perseptor.

Page 24: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

35

2.2.8.3. Tahap evaluasi

Wawancara Akhir : Hal yang perlu dilakukan Perseptor

adalah :

a. Menanyakan kepada perseptee kesiapan dalam

menerapkan hasil wawancara

b. Mendiskusikan dengan perseptee hal- hal yang dianggap

penting

c. Menilai kemajuan dan kemampuan perseptee dalam

proses wawancara tentang topik yang sudah disepakati.

2.3 Proses Adaptasi

2.3.1. Asumsi model adaptasi stres Struart

Asumsi model adaptasi stress Struart. (Hamid, 2016 dalam buku

Struart) :

2.3.1.1. Model adaptasi adalah bahwa alam diatur dalam suatu hirarki

sosial dari unit tersederhana hingga yang paling komplik

2.3.1.2. Model adaptasi adalah asuhan keperawatan diberikan dalam

konteks biologis, psikologis, sosial budaya, legal, etik,

kebijakan dan advokasi

Perawat harus memahami tiap aspek tersebut sehingga

mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan

kompeten.

2.3.1.3. Model adaptasi adalah sehat/sakit dan adaptasi/ maladaptasi

merupakan dua rentang yang berbeda,

a. Rentang sehat/sakit berasal dari pandangan dunia medis.

b. Rentang adaptasi/ maladaptasi berasal dari pandangan

dunia keperawatan

Page 25: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

36

2.3.1.4. Model adaptasi mencakup pencegahan, tritmen dan

pemulihan dengan menguraikan empat tahap, krisis, akut,

mempertahankan kesehatan dan promosi kesehatan.

2.3.1.5. Model adaptasi berbasis penggunaan proses keperawatan dan

standar asuhan serta kinerja profesional perawat.

Setiap orang mengalami sesuatu yang disebut stress sepanjang

kehidupannya. Stress dapat memberi stimulus terhadap perubahan dan

pertumbuhan dan dalam hal ini, suatu stres adalah positif dan bahkan

diperlukan. Namun demikian, terlalu banyak stres dapat

mengakibatkan penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, dan

ketidakmampuan untuk mengatasi atau koping terhadap masalah.

Sejumlah dengan berbagai kelainan fisik dan psikiatrik (Potter dan

Perry, 2005). Stress adalah fenomena yang mempengaruhi semua

dimensi dalam kehidupan seseorang.

Stress dapat menyebabkan perasaan negatif dan mengganggu cara

seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan masalah, berpikir

secara umum; dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Stress

dapat mengakibatkan kelelahan dan hilangnya energi yang berdampak

pada menurunnya kesehatan fisik dan berakibat negatif pada

produktifitas kerja (Passmore, 2010).

Faktor utama penyebab stress menurut Health and Safety Executive

(HSE), 2004/2005 dalam Passmore, (2010) adalah beban kerja, target

waktu pekerjaan, kurangnya dukungan, dan adanya perasaan terancam

di tempat kerja. Persepsi atau pengalaman individu terhadap

perubahan besar menimbulkan stres. Stimuli yang mengawali atau

mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor ini bisa

diklasifikasikan sebagai stresor internal dan eksternal.

Model adaptasi Roy melihat bahwa seseorang merupakan sistem

adaptif dalam berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal.

Page 26: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

37

Lingkungan adalah sumber bermacam-macam stimulus, maka tugas

seseorang adalah untuk mempertahankan integritas dalam menghadapi

stimulus lingkungan. Integritas adalah tingkat keutuhan yang dicapai

melalui adaptasi perubahan kebutuhan (Aligood dan Tomey, 2006).

2.3.2. Model Adaptasi

Model adaptasi menunjukkan bahwa empat faktor menentukan apakah

suatu situasi adalah menegangkan (Mechanic, 1962 dalam Potter dan

Perry, 2005). Kemampuan untuk menghadapi stres, faktor pertama,

biasanya bergantung pada pengalaman seseorang dengan stresor

serupa, sistem dukungan, dan persepsi keseluruhan terhadap stres.

Faktor kedua berkenaan dengan praktik dan norma kelompok sebaya

individu. Jika kelompok sebaya memandang normal untuk

membicarakan tentang stresor tertentu, klien mungkin berespon

dengan mengeluhkan tentang stresor tersebut atau mendiskusikannya.

Respon ini dapat membantu beradaptasi terhadap stres, atau klien

meresponnya dengan cara yang sederhana untuk menyesuaikan diri

dengan perilaku kelompok sebaya. (Potter dan Perry, 2005)

Faktor ketiga adalah dampak dari lingkungan sosial dalam membantu

seorang individu untuk beradaptasi terhadap stressor. Faktor terakhir

mencakup sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi stresor.

Kedua faktor ini akan mempengaruhi bagaimana ia mengakses sumber

tersebut untuk membantu mengatasi stresor fisiologis (Potter dan

Perry, 2005).

2.3.3. Adaptasi terhadap stresor Adaptasi merupakan usaha manusia untuk

menyesuaikan diri dengan tingkat, tempat, dan kondisi yang berbeda.

Manusia secara terus menerus berusaha menyesuaikan diri untuk

meningkatkan dan mempertahankan keseimbangan fungsi-fungsi fisik,

psikis, sosial, dan spiritual, sehingga individu berperilaku sebagai

manusia sehat. Adaptasi juga merupakan proses dimana dimensi

Page 27: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

38

fisiologis dan psikososial berubah dalam berespon terhadap stresor

(Potter & Perry, 2005) Karena banyak stresor tidak dapat dihindari,

promosi kesehatan sering difokuskan pada adaptasi individu, keluarga

atau komunitas terhadap stres. Ada banyak bentuk adaptasi. Adaptasi

fisiologis memungkinkan homeostasis fisiologis. Namun demikian

mungkin terjadi proses yang serupa dalam dimensi psikososial dan

dimensi lainnya. Suatu proses adaptif terjadi ketika stimulus dari

lingkungan internal dan eksternal menyebabkan penyimpangan

keseimbangan organisme. Roy mengatakan bahwa adaptasi fisiologis

merujuk pada cara seseorang merespon secara fisik terhadap

rangsangan dari lingkungan (Roy dan Anderson, 1999 dalam Alligood

dan Tomey, 2006).

Paparan diatas adaptasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan

fungsi yang optimal. Adaptasi melibatkan reflek, mekanisme otomatis

untuk perlindungan, mekanisme koping dan idealnya dapat mengarah

pada penyesuaian atau penguasaan situasi. seseorang mampu berespon

terhadap stresor dan beradaptasi terhadap tuntutan atau perubahan

yang dibutuhkan. Adaptasi membutuhkan respon aktif dari seluruh

individu.

2.3.4. Empat Model Adaptif Roy Sistem adaptif Roy terdiri dari dua sub-

sistem yang saling berhubungan yaitu subsistem primer dan sub-

sistem sekunder. Sub-sistem primer adalah suatu proses kontrol

internal atau fungsional yang terdiri dari regulator dan kognator.

Subsistem sekunder adalah suatu sistem efektor yang menunjukkan

aktifitas kognator dan regulator. Sub-sistem sekunder ini terdiri dari

empat model adaptif yaitu (1) Model fisiologis mencakup kebutuhan

fisiologis dasar tubuh dan cara beradaptasi terkait dengan cairan dan

elektrolit, aktifitas dan istirahat, sirkulasi dan oksigen, nutrisi dan

eliminasi, perlindungan, indera, dan fungsi neurologi dan endokrin,

(2) Model konsep diri mencakup dua komponen: diri fisik, yang

Page 28: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

39

mencakup sensasi dan citra tubuh, dan diri pribadi, yang mencakup

ideal diri, konsistensi diri, dan etika moral diri, (3) Model fungsi peran

ditentukan oleh kebutuhan akan integritas sosial dan mengacu pada

pelaksanaan tugas yang berlandaskan pada posisi yang diberikan

dalam masyarakat, (4) Model interdependen melibatkan hubungan

seseorang dengan orang dekat dan sistem pendukung yang

memberikan bantuan, kasih sayang, dan perhatian (Blais et al, 2007).

Model adaptasi Roy dan fase transisi perawat baru saling berhubungan

satu sama lain. Menurut pengertian dari masing-masing model dan

fase disimpulkan bahwa tidak bisa dipisah antara satu dengan yang

lain karena saling berkaitan.

2.4 Kepuasan

2.4.1. Pengertian Kepuasan

Setiap orang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari

tempatnya bekerja dan kepuasan kerja tersebut akan mempengaruhi

produktivitas yang sangat diharapkan organisasi. Ada beberapa hal

yang membuat kita puas terhadap hasil kerja, di tempat kerja, di

rumah dan di manapun kita berada. Kesatu, kualitas jika kita

merasa bangga akan kualitas kerja yang kita hasilkan, tentu kita

akan puas. Kualitas yang prima, dapat di hasilkan karena

ketekunan, kecermatan dan perhatian pada detail. Karena sebuah

karya dengan kualitas unggulan salah satu kriterianya adalah

“penghargaan”. Kedua, manfaat dan solusi. Selain pengakuan hasil

karya dengan secara terbuka dan ajang festifal, ataupun pengakuan

dari pelanggan, kepuasan kerja juga dapat tumbuh dari kesadaran ,

karena hasil tersebut dapat memberi manfaat buat banyak orang.

Ketiga, kompensasi, faktor yang membuat kita tersenyum

kompensasi finansial, jika hasil karya kita unggul, maka dapat di

jual dengan harga tinggi (Simamora, 2013)

Page 29: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

40

Kepuasan kerja mencerminkan sikap dan bukan perilaku.

Menyatakan kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja

tentang pekerjaan mereka. Sikap tersebut menunjukkan perbedaan

antara jumlah penghargaan yang diterima dengan jumlah yang

pekerja yakini seharusnya mereka terima. Kepuasa seseorang untuk

mencapai prestasi adalah sebagai kunci dan motivasi terhadap

kepuasan kerja (Nursalam, 2015)

Kajian literatur menunjukkan kepuasan kerja perawat di hampir

semua negara masih rendah (Sugiyono, 2007) tingginya

ketidakpuasan perawat sering menjadi masalah di rumah sakit

seperti kinerja menurun, turnover yang tinggi dan kemangkiran

kerja (Curtis dan Cortose, 2007)

Kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah

memenuhi harapannya (Kurniawan, 2013). Kepuasan juga diartikan

sebagai model kesenjangan antara harapan (standar kinerja yang

seharusnya) dengan kinerja aktual yang diterima pelanggan

(Nursalam, 2015).

Kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang

pekerjaan mereka. Sikap tersebut menunjukkan perbedaan antara

jumlah penghargaan yang diterima dengan jumlah yang pekerja

yakini seharusnya mereka terima dan penilaian sejauh mana

lingkungan pekerjaan memenuhi kebutuhan pekerja. Sikap yang

dideskripsikan dapat bersifat positif atau negatif terhadap kondisi

fisik dan sosial lingkungan kerjanya (Alam, 2010)

Kepuasan terhadap pekerjaan mewarnai sikap individu untuk

melakukan sejumlah tugas dan berhubungan dengan penampilan

kerja. Kepuasan kerja perawat adalah tingkat kesenangannya

Page 30: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

41

terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja perawat adalah sikap

perawat baik positif maupun negatif yang selalu berubah tentang

pekerjaannya dan perasaan tersebut dapat berdampak pada

penampilan kerjannya (Siagian, 2009)

Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai

kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja

merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian

menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja

untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam

perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran

mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres

anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung

bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan

dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Dalam

berusaha tentunya kita mengharapkan kepuasan kerja dalam bentuk

finansial dan non finansial (fisik, emosional, dan intelektual)

(Hughes, 2012)

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Studi penelitian tentang kepuasan kerja dalam keperawatan

didapatkan hasil bahwa terdapat faktor-faktor yang berhubungan

dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian itu diantaranya rutinitas,

shift kerja, beban kerja, dominasi medik, konflik peran dan peran

ganda, keamanan kerja, otonomi, tipe kepemimpinan, pengakuan

dan penghargaan, kebijakan organisasi, remunerasi, pengembangan

profesional (seperti pelatihan, peluang promosi), interaksi perawat

pasien, perawat dokter, perawat tenaga kesehatan lain. Adapun

faktor-faktor kepuasan kerja diantaranya:

2.4.2.1. Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan kategorinya,

meliputi (Simeulu, 2006):

Page 31: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

42

a. Konten kerja Konten kerja ditandai oleh pekerjaan

keperawatan itu sendiri seperti rutinitas, otonomi,

umpan balik, kebutuhan kerja

b. Organisasi kerja Organisasi kerja yaitu strategi

pekerjaan keperawatan dikelola,seperti konflik peran,

peran ganda dan kemungkinan pengembangan.

c. Psikososial kerja Psikososial kerja berhubungan

dengan teman kerja dan supervisor, gaya atau tipe

kepemimpinan dan sters kerja.

2.4.2.2. Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan enam aspek

utama yang terdiri dari (Hughes, 2012):

a. Kepuasan dengan preceptor Kepuasan kerja

ditentukan oleh persepsi perawat tentang seberapa

banyak informasi dan bimbingan yang diberikan oleh

preceptors untuk melaksanakan pekerjaan.

b. Kepuasan dengan preceptor keragaman tugas

Kepuasan yang dirasakan dengan memiliki berbagai

tugas yang menantang dan tidak rutinitas, akan

membantu perawat untuk melihat bahwa ada banyak

peluang yang tersedia untuk tumbuh dalam organisasi.

c. Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan Kepuasan

yang dirasakan dengan memiliki kebebasan dalam

menyelesaikan pekerjaan dari awal sampai akhir.

Memberikan kesempatan kepada preceptee untuk

melakukan tindakan tetapi tetap dalam pengawasan

preceptor.

d. Kepuasan kompensasi Kepuasan yang dirasakan

berdasarkan imbalan yang diterima oleh karyawan.

Hasil riset menunjukan kecilnya korelasi antara gaji

dan kepuasan kerja. Motivasi untuk bekerja tidak

hanya karena uang, namun juga strategi rumah sakit

Page 32: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

43

memenuhi kebutuhan karyawan, memperlakukan

karyawan dengan baik, menerapkan manajemen yang

fleksibel dan komunikator, serta melibatkan karyawan

dalam pengambilan keputusan (Curtis, 2007)

e. Kepuasan dengan rekan kerja Kepuasan yang

dirasakan karena adanya kehadiran dan dukungan dari

rekan kerja. Rekan kerja yang menjadi tim kuat atau

efektif akan membuat pekerjaan jadi menyenangkan.

f. Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber

daya manusia Kepuasan yang berhubungan dengan

kebijakan organisasi. Salah satu sumber utama

ketidakpuasan kerja perawat adalah manajemen

keperawatan yang tidak efektif, rendahnya

keterlibatan dalam pengambilan keputusan, hubungan

yang buruk dengan manajemen, kurangnya

pengakuan, dan kurangnya fleksibilitas dalam

penjadwalan (Curtase, 2007).

2.4.2.3. Faktor-faktor kepuasan kerja yang berdasarkan demografi

meliputi (Robbins, 2006) :

a. Usia

Beberapa hasil penelitian menyimpulkan tentang

hubungan positif antara usia dengan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja rendah terjadi ketika seseorang

berusia antara 20 - 30 tahun.

b. Lama kerja

Lama kerja mempunyai korelasi dengan kepuasan

kerja. Kepuasan kerja relatif meningkat pada awal

kerja, menurun berangsur-angsur selama 5-8 tahun

kemudian meningkat perlahan-lahan dan mencapai

puncaknya setelah 20 tahun kerja (Robbins, 2006).

Page 33: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

44

Karyawan yang telah lama bekerja memiliki kepuasan

kerja yang tinggi dan cenderung tidak akan berhenti

dari pekerjaannya. Pendapat lain menyatakan tidak

ada alasan yang meyakinkan bahwa karyawan yang

sudah lama bekerja akan lebih produktif dan memiliki

motivasi tinggi, dengan demikian hubungan antara

lama kerja dan kepuasan kerja bervariasi (Robbins,

2006)

c. Status kepegawaian Kepuasan kerja dapat dipengaruhi

oleh kedudukan dalam organisasi, pangkat/golongan,

jaminan finansial (sosial). Karyawan atau perawat

yang berstatus pegawai negeri sipil telah memiliki

status pangkat dan golongan yang jelas dalam institusi

rumah sakit, memiliki jaminan sosial berupa asuransi

kesehatan serta tunjangan lain di luar gaji pokok

sehingga kesejahteraan terjamin. Hal ini berdampak

pada kepuasan kerja (Hafizurrahman, 2009).

2.4.2.4. Teori dua faktor yang menyatakan bahwa pekerjaanlah

yang menyebabkan kepuasan kerja. karena itu dalam

rancang bangun pekerjaan perlu memperhatikan hal

sebagai berikut:

1. Otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan. Otonomi

adalah pemupukan rasa tanggung jawab atas

pekerjaan seseorang beserta hasilnya. Artinya

kepada para pekerja diberi kebebasan untuk

mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya

berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang

dibebankan kepadanya. Banyak organisasi telah

membuktikan bahwa apabila kepada para pekerja

diberikan kebebasan memutuskan sendiri cara

Page 34: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

45

penyelesaian pekerjaannya, rasa tanggung jawab dan

tingkat kepuasannya menjadi lebih besar.

2. Variasi tugas. Pemusatan pada satu tugas tertentu

dapat mengarah kepada tingkat keahlian dan

efisiensi tinggi akan tetapi sangat membosankan.

Kebosanan dalam pekerjaan mempunyai dampak

negatif yang sering menampakkan diri dalam

keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan

kecelakaan.

Penerapan preceptorsip bisa membimbing perawat

baru untuk lebih percaya diri dan bisa beradaptasi

dengan lingkungan.

3. Identitas tugas. Para pekerja akan merasa bangga

apabila mereka dapat menunjukkan secara kongkret

hasil pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan tidak

mendapat penghargaan akan menurunkan kepuasan

kerja.

4. Pentingnya pekerjaan seseorang. Hal ini berkaitan

erat dengan identitas tugas. Seorang pekerja akan

merasa bangga, mempunyai komitmen

organisasional yang besar, memiliki motivasi yang

tinggi serta kepuasan kerja yang besar jika ia

mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu

dianggap penting oleh orang lain. Apalagi kalau

orang lain bergantung padanya dalam penyelesaian

tugas tersebut.

5. Umpan balik. Umpan balik tentang cara seseorang

menyelesaikan pekerjaannya mempunyai arti yang

sangat penting bagi pekerja yang bersangkutan.

Apabila seseorang tidak memperoleh umpan balik

tentang berbagai aspek penyelesaian tugasnya,

Page 35: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

46

baginya tidak terdapat petunjuk atau motivasi kuat

untuk berprestasi lebih tinggi.

2.4.2.5. Pengukuran Kepuasan Kerja Ada tiga cara untuk

melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :

a. Rating scales dan kuesioner

Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan

pengukuran kepuasan kerja yang paling umum

dipakai. Pengukuran skala rating dapat dilakukan

dengan cara: Skala Likert, typically degrees og

agreemet with a statement, skala diferensial sematik,

attitude between two opposing words, skala rating

numerik, verbal scale, verbal satisfaction and

imortance rating.

b. Critical incidents I

Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan

pekerjaan yang mereka rasakan terutama memuaskan

atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari

untuk mengungkap tema yang mendasari.

c. Interviews

Interviews merupakan prosedur pengukuran kepuasan

kerja dengan melakukan wawancara tatap muka

dengan pekerja untuk secara langsung menanyakan

sikap mereka.

2.4.2.6. Dampak Kepuasan Kerja Kepuasan kerja yang dirasakan

pegawai akan berdampak bagi pegawai itu sendiri dan

organisasi tempat bekerja. Dampak kepuasan kerja itu

sendiri meliputi :

a. Kepuasan dan produktivitas Kepuasan dan

produktivitas masih menjadi pembahasan antara

variabel yang menjadi penyebab yang menjadi efek,

Page 36: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

47

karena pekerja yang bahagia tidak selalu pekerja

yang produktif. Pada level individu, bukti tersebut

menunjukan bahwa pernyataan kebalikannya justru

lebih akurat, bahwa produktivitas kemungkinan

menghasilkan kepuasan. Pendapat lain mengatakan

bahwa kepuasan kerja dan produktivitas pegawai

sangat berhubungan dan hal ini menjadi kunci utama

bagi para manajer untuk meningkatkan produktivitas

pegawainya.

b. Kepuasan dan keabsenan Pegawai yang tidak puas

kemungkinan akan lebih besar absen dari

pekerjaannya (Robbins, 2006)

2.5 Perawat Baru

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam

maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan RI No.

38 Tahun 2014, Perawat baru adalah perawat lulusan baru yang memasuki

lingkungan kerja setelah melalui proses rekrutmen dalam suatu instansi

pelayanan kesehatan.

Ketakutan dan kesulitan khusus dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja

adalah hal yang umum dialami perawat lulusan baru dan menyebut

ketakutan ini sebagai reality shock karena terjadi sebagai akibat konflik

antara ekspektasi lulusan baru terhadap peran keperawatan dan kenyataan

peran sesungguhnya (Marquis dan Huston 2010). Setelah penelitian Kramer

diterbitkan bahwa banyak rumah sakit mulai memandang metode yang

digunakan dalam program orientasinya untuk mengurangi shock akibat

memasuki dunia nyata keperawatan. Beberapa rumah sakit menyusun

periode orientasi yang lebih lama untuk lulusan baru yang berlangsung

mulai dari enam minggu hingga enam bulan. Orientasi yang berkelanjutan

atau pelatihan ini, sangat berbeda dengan rutinitas orientasi selama satu

sampai dua minggu yang biasanya dilakukan untuk pegawai yang lain.

Page 37: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

48

Selama masa ini, perawat baru lulus biasanya ditugaskan bekerja dengan

pembimbing dan secara bertahap mengelola pasien yang sama banyak

dengan pembimbing tersebut (Marquis dan Huston, 2010)

Beberapa rumah sakit menghentikan beberapa program pelatihan karena

biayanya, tetapi rumah sakit tetap melanjutkan konsep bimbingan

pembentukan tim satu orang lulusan baru dengan perawat lain. Selain

memberikan orientasi dan sosialisasi untuk lulusan baru, pembimbing

memberikan penghargaan untuk perawat yang berpengalaman yang

menunjukkan kemampuannya dengan sangat baik.

Potensi hambatan program pelatihan dan bimbingan dapat diatasi dengan (1)

memilih pembimbing dengan cermat, (2) memilih pembimbing yang

mempunyai niat yang kuat untuk menjadi model peran, (3) mempersiapkan

pembimbing menjalani peran mereka dengan memberikan kelas formal

mengenai konsep belajar orang dewasa dan konsep belajar/sosial lainnya,

dan (4) meminta petugas pengembangan staf yang berpengalaman untuk

memantau pembimbing dan lulusan baru secara ketat untuk memastikan

bahwa hubungan yang terjadi antara pembimbing dan lulusan baru terus

menghasilkan manfaat dan pertumbuhan bagi keduanya (Marquis dan

Huston, 2010). Transisi dari mahasiswa ke perawat baru terpilih dan

perawat yang bertanggung jawab merupakan masa dalam kecemasan dan

ketidakpastian

Schmalenberg dan Kramer,1979 dalam Marquis (2003) menyatakan bahwa

ada empat (4) fase transisi peran mahasiswa menjadi staf perawatan yakni

fase bulan madu, yang diikuti dengan fase shock, fase pemulihan dan

resolusi.

2.5.1 Fase bulan madu: Terjadi pada minggu pertama perawat baru mulai

bekerja. Selama perawat pemula diterima dengan tulus di

lingkungan kerja, perawat baru tersebut hanya sedikit mengalami

kesulitan di fase bulan madu. Pada fase ini, perawat akan

Page 38: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

49

menikmati suasana yang baru yaitu pertama kali mulai bekerja

setelah peralihan dari dunia pendidikan. Peran pembimbing adalah

sebagai pengamat dan pendorong sehingga motivasi perawat baru

dalam bekerja akan meningkat.

2.5.2 Fase shock terjadi kira-kira sebulan setelah memasuki dunia

pekerjaan. Pada fase ini terjadi shock terhadap realita, seringkali

muncul konflik personil yang berat karena perawat menemukan

bahwa banyak nilai di sekolah keperawatan tidak dihargai ditempat

kerja. Konflik bathin terjadi antara harapan di dunia pendidikan

dengan kenyataan di lapangan kerja. Pembimbing sebaiknya

menyadari adanya tanda dan gejala fase shock pada transisi peran;

mereka harus melakukan intervensi dengan mendengarkan keluhan

lulusan baru dan membantu mereka menghadapi dunia yang

sesungguhnya. Pembimbing memberikan dukungan emosional

kepada perawat baru serta menjadi tempat bertanya dan konsultasi

jika menemukan kesulitan, membangun kesempatan untuk berbagi

dan memperjelas nilai dan sikap mengenai peran keperawatan pada

program orientasi, dengan demikian perawat baru diharapkan dapat

melalui fase shock terhadap realita. Peran pembimbing adalah

sebagai role model, nara sumber dan pendorong.

2.5.3 Fase Pemulihan dan Resolusi Fase ini adalah fase terakhir yang

akan dilalui oleh perawat baru, dimana mereka akan berusaha

menyeimbangkan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Pada fase

ini perawat baru telah menemukan jati dirinya sebagai perawat.

Perawat baru akan dapat mengatasi segala permasalahan yang

dihadapi dalam pekerjaan apabila organisasi dan atasannya

menciptakan suasana yang kondusif terutama pada fase pemulihan

dan resolusi. Fase ini terjadi dalam waktu lebih kurang satu tahun.

Peran pembimbing dalam fase ini adalah sebagai role model,

pengamat, nara sumber, pendorong, demonstrator dan pemberi

Page 39: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

50

umpan balik. Duchscher, (2001) dalam studinya tentang lulusan

keperawatan menyimpulkan bahwa pimpinan keperawatan harus

mengenali intensitas pengalaman praktik perawat baru, mendorong

mereka menjalani hidup yang seimbang, menumbuhkan lingkungan

kerja yang saling toleransi, dan berupaya menciptakan model

hubungan kerja yang meningkatkan interdependen antara dokter

dan staf keperawatan.

Dilain pihak, pimpinan keperawatan juga sebaiknya memastikan bahwa

sebagian nilai perawat baru didukung dan didorong sehingga nilai-nilai

kerja dan akademik dapat berpadu. Perawat baru perlu memahami sifat

umum transisi peran dan tahu bahwa hal ini tidak hanya dialami oleh

perawat. Resosialisai lulusan baru juga dapat dibantu dengan

menyelenggarakan kelas mengenai transisi peran (Marquis dan Huston,

2010).

Dari semua fase di atas, lama periode setiap fase tergantung dari individu

perawat baru itu sediri dalam menjalani fase-fase tersebut dan bagaimana

mereka beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan baru. Salah satu cara yang

dapat digunakan dalam membantu perawat baru dalam proses adaptasi

adalah program orientasi. Metode yang digunakan dalam orientasi ini adalah

dengan preceptorship.

2.6 Pelatihan

2.6.1. Pengertian Pelatihan

Pelatihan adalah suatu kegiatan dari instansi yang bermaksud untuk

dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku,

keterampilan dan pengetahuan dari perawat, sesuai dengan

keinginan institusi keperawatan. Latihan adalah proses membantu

pegawai untuk memperoleh efektivitas dalam pekerjaan mereka

yang sekarang atau yang akan datang dalam memegang

keberhasilan progam pelatihan.

Page 40: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

51

Pelatihan merupakan pengalaman belajar yang sengaja dirancang

agar dapat membantu peserta dalam menguasai kompetensi yang

tidak dimiliki sebelumnya (Kamil M,2012) Definisi lain tentang

pelatihan dikemukakan oleh Smith dan Ragan sebagai berikut :

program pelatihan dapat dimaknai sebagai pengalaman

pembelajaran yang memfokuskan pada upaya individu untuk

memperoleh keterampilan spesifik yang dapat segera digunakan.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan

bahwa pelatihan pada dasarnya bermakna sebagai upaya yang

dilakukan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap

yang dapat digunakan segera untuk meningkatkan kinerja.(Kamil

M,2012)

2.6.2. Tujuan Pelatihan

2.6.2.1. Tujuan umum pelatihan adalah (Mulyaningrum,2010):

a. Mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat

diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.

b. Mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan

dapat diselesaikan secara rasional.

c. Mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja

sama dengan teman-teman pegawai dan pimpinan.

Terdapat 3 (tiga) bidang kemampuan yang diperlukan untuk

melaksanakan proses ini yaitu :

a. Kemampuan teknis, kemampuan untuk

menggunakan pengetahuan, metode, tehnik, dan

peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas

tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan

dan training.

b. Kemampuan sosial, kemampuan dalam bekerja

dengan melalui orang lain, yang mencakup

Page 41: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

52

pemahaman tentang motivasi dan penerapan

kepemimpinan yang efektif.

c. Kemampuan konseptual, kemampuan untuk

memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian

bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam

bidang operasi secara menyeluruh. Kemampuan ini

memungkinkan

d. seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi

secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar tujuan

kebutuhan keluarga sendiri.

2.6.3. Manajemen Pelatihan

Sepuluh langkah pengelolaan pelatihan sebagai berikut (Kamil

M.,2012):

2.6.3.1. Rekrutmen peserta pelatihan

Penyelenggara menetapkan beberapa persyaratan yang

harus dipenuhi oleh peserta terutama yang berhubungan

dengan karakteristik peserta yang bisa mengikuti pelatihan.

2.6.3.2. Identifikasi kebutuhan belajar, sumber belajar, dan

kemungkinan hambatan.

Tiga sumber yang bisa dijadikan dasar identifikasi

kebutuhan belajar, yaitu individu yang diberi pelayanan

pelatihan, organisasi dan atau lembaga yang menjadi

sponsor, dan masyarakat secara keseluruhan.

2.6.3.3. Menentukan dan merumuskan tujuan pelatihan

Tujuan pelatihan yang dirumuskan akan menuntun

penyelenggaraan pelatihan dari awal sampai akhir

kegiatan, dari pembuatan rencana pembelajaran sampai

evaluasi hasil belajar.

2.6.3.4. Menyusun alat evaluasi awal dan evaluasi akhir

Evaluasi awal dimaksudkan untuk mengelompokkan dan

Page 42: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

53

menempatkan peserta pelatihan secara proporsional.

Evaluasi akhir dimaksudkan untuk mengukur tingkat

penerimaan materi oleh peserta pelatihan dan untuk

mengetahui materi-materi yang perlu diperdalam dan

diperbaiki.

2.6.3.5. Menyusun urutan kegiatan pelatihan

Penyelenggara pelatihan menentukan bahan belajar,

memilih dan menentukan metode dan teknik pembelajaran,

serta menentukan media yang akan digunakan.

2.6.3.6. Pelatihan untuk pelatih

Pelatih harus memahami karakteristik peserta pelatihan dan

kebutuhannya.

2.6.3.7. Melaksanakan evaluasi bagi peserta

Evaluasi awal yang biasanya dilakukan dengan pre test

dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.

2.6.3.8. Mengimplementasikan pelatihan

Tahap ini merupakan inti kegiatan pelatihan, yaitu proses

interaksi edukatif antara sumber belajar dengan warga

belajar dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.6.3.9. Evaluasi akhir

Kegiatan ini untuk mengetahui daya serap dan penerimaan

warga belajar terhadap berbagai materi yang telah

disampaikan, serta penyelenggara dapat menentukan

langkah tindak lanjut yang harus dilakukan.

2.6.3.10. Evaluasi program pelatihan

Kegiatan ini untuk menilai seluruh kegiatan pelatihan dari

awal sampai akhir, dan hasilnya menjadi masukan bagi

pengembangan pelatihan selanjutnya. Kegiatan ini juga

untuk mengetahui faktor- faktor sempurna yang harus

dipertahankan, untuk mengetahui titik- titik lemah pada

setiap komponen, setiap langkah, dan setiap kegiatan yang

Page 43: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

54

sudah dilaksanakan.

Penyelenggaraan program pelatihan diharapkan dapat

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif

perawat yang merupakan asset penting dalam institusi rumah sakit

dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi rumah sakit

dalam menghadapi perubahan dan persaingan eksternal.

2.6.4. Metode Pelatihan

Metode pelatihan berarti ketepatan cara penyampaian yang

digunakan selama pelatihan itu berlangsung. Training yang tidak

terlepas dari pengembangan kemampuan pengukuran tujuan yang

jelas, dan perubahan sikap dapat diterapkan dengan beberapa pilihan

metode seduai dengan lingkungan pelatihan (Wagonhurst, 2002).

Beberapa metode tersebut menurut Wagonhurstmeliputi lecture,

guest facilitators, and video tape material.

Hasibuan (2005) menyatakan dalam melaksanakan pelatihan ini ada

beberapa metode yang digunakan, antara lainyang dapat digunakan

metode on the job dan off the job training adalah sebagai berikut :

2.6.4.1. On The Job Training

On the job training (OJT) atau disebut juga pelatihan

dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu metode pelatihan

dengan cara para pekerja atau calon pekerja ditempatkan

dalam kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah bimbingan

dan supervise dari karyawan yang telah bepengalaman atau

terlatih. Dalam on the job training perlu memperhatikan

prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Adanya pembimbing yang bertanggung jawab atas

keberhasilan calon karyawan dalam melaksanakan

tugasnya.

Page 44: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

55

b. Tersedianyan waktu yang cukup agar dapat

mencapai tingkat terampil atau mahir.

c. Sikap, perilakupegawai yang mendukung ( antusias,

rajin dan tekun)

Beberapa macam metode pelatihan on the job training :

a. Instruksi

Pelatihan dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu metode

pelatihan dengan cara para pekerja atau calon pekerja

ditempatkan dalam kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah

bimbingan dan preceptor.

b. Rotasi

Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar

mendapatkan variasi kerja, para pengajar memindahkan para

peserta palatihan dari tempat kerja yang satu tempat kerja yang

lainnya,

c. Magang

Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih

berpengalaman. Ini menggunakan partisipasi tingkat tonggi dari

peserta dan memiliki tingkat transfer tinggi pada pekerjaan.

d. Pelatihan jabatan

Calon karyawan dilibatkan secara langsung dibawah seorang

pemimpin (yang bertugas sebagai pelatih), calon karyawan

tersebut dijadikan sebagai pembantu pimpinan atau pelatih.

2.6.4.2. Off The Job Training

Pelatihan di luar kerja (off the job training) adalah pelatihan

yang berlangsung pada waktu karyawan yang dilatih tidak

melaksanakan pekerjaan rutin/ bias.

Ada beberapa macam metode pelatihan off the job training :

(Hasibuan, 2005)

Page 45: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

56

a. Ceramah Kelas dan Presentase

Video Ceramah merupakan pendekatan yang

sering digunakan karena menawarkan sisi ekonomis

dan material organisasi. Umpan balik dan partisipasi

peserta dengan metode ini dapat meningkat dengan

adanya diskusi selama ceramah.

b. Pelatihan vestibule

Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional

rutin, beberapa perusahaan menggunakan pelatihan

vestibule. Wilayah atau vestibule terpisah dibuat

dengan peralatan yang sama dengan yang digunakan

dalam ekerjaan. Cara ini memungkinkan adanya

transfer, repetisi, dan partisipasi serta material

perusahaan bermakna umpan balik

c. Demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan metode palatihan

yang sangat efektif karena lebih mudah

menunjukkan kepada peserta cara mengerjakan

suatu tugas. Suatu demonstrasi menunjukkan dan

merencanakan bagaimanan sesuatu itu dikerjakan.

Metode demonstrasi melibatkan penguraian dan

memperagakan sesuatu melalui contoh-contoh.

d. Simulasi

Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua

macam. Pertama, simulasi yang melibatkan

simulator yang bersifat mekanik (mesin) yang

mengandalkan aspek-aspek utama dalam suatu

situasi kerja. Kedua, simulasi komputer. Metode ini

sering berupa games atau permainan. Para pemain

membuat suatu keputusan, dan komputer

Page 46: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

57

menentukan hasil yang terjadi sesuai dengan kondisi

yang telah diprogramkan dalam computer.

e. Belajar Terprogram

Bahan-bahan pembelajaran terprogram adala bentuk

lain dari belajar mandiri. Biasanya terdapat program

komputer atau cetakan booklet yang berisi tentang

pertanyaan dan jawaban. Setelah membaca dan

menjawab pertanyaan, pembaca langsung

mendapatkan umpan balik kalau benar, belajar lanjut

kalau salah.

2.7 Karakteristik Perawat

Usia Semakin tua usia seseorang semakin kecil kemungkinan untuk

keluar dari pekerjaan, karena semakin kecil memiliki peluang

alternatif pekerjaan. Disamping itu, semakin tua usia

berkemungkinan kecil untuk mengundurkan diri dibanding usia yang

lebih muda (Robbins, 2006).

Beecroft, Dorey dan Wenten, (2008) dalam penelitiannya

mengatakan bahwa karakteristik perawat yang berpengaruh dalam

keluar tidaknya perawat dalam masa orientasi adalah usia.

2.7.1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor demografi

yang berhubungan dengan komitmen. Tidak terdapat

perbedaan yang penting antara wanita dan pria yang akan

mempengaruhi kinerja mereka. Juga tidak terdapat

perbedaan yang konsisten pada pria dan wanita dalam hal

kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis,

pendorong persaingan, motivasi, sosiabilitas, atau

kemampuan belajar (Robbins, 2006).

Hasil beberapa penelitian psikologis menunjukkan bahwa

wanita lebih bersedia mematuhi wewenang sedangkan pria

Page 47: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

58

lebih agresif dan berkemungkinan lebih besar memiliki

harapan atas keberhasilan. Jika dihubungkan dengan

tingkat kemangkiran dan keluar masuknya karyawan,

beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa tidak ada

perbedaan yang mencolok antara pria dan wanita

(Robbins, 2006). Cooper dan Palmer (2000) dalam

penelitiannya mengatakan bahwa jenis kelamin juga

berpengaruh dalam proses adaptasi.

2.7.2. Tingkat Pendidikan Pendidikan yang dimiliki individu

dalam suatu organisasi merupakan salah satu ukuran

dalam proses penempatan. Individu akan merasa senang

dan puas jika pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan

pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Pendidikan

merupakan suatu indikator yang mencerminkan

kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu

pekerjaan (Hasibuan, 2007).

Beecroft, Dorey dan Wenten (2008) dalam penelitiannya

mengatakan bahwa karakteristik perawat yang

berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa

orientasi adalah tingkat pendidikan.

2.7.3. Lama Kerja Pekerjaan yang ditunjukkan oleh setiap

individu dipengaruhi oleh pengalaman dalam kurun waktu

tertentu. Semakin lama masa kerja individu dalam

organisasi, maka pengalaman kerja yang didapatkan

semakin bertambah dan mudah untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan kerjanya. Semakin lama seseorang

berada dalam pekerjaan, semakin kecil kemungkinan ia

mengundurkan diri (Robbins, 2006).

Page 48: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

59

Wang, Sermsri, Sirisook dan Sawangdee (2003) dalam

penelitiannya mengatakan bahwa lama kerja mempunyai

hubungan

dengan kepuasan kerja karena perawat yang mempunyai

masa kerja lama, lebih mudah mengerti dan beradaptasi

dengan lingkungan kerjanya. Masa kerja merupakan

pengalaman kerja karyawan yang meliputi lama waktu

bekerja (Sopiah, 2008).

2.7.4. Konflik/Stress

Beecroft, Dorey dan Wenten, (2008) dalam penelitiannya

mengatakan bahwa karakteristik perawat yang

berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa

orientasi adalah konflik/stress (reality shock).

Mengenali konflik yang mungkin timbul antara preceptor

dan preceptee juga menjadi sesuatu yang penting

(Mamchur dan Myrick, 2003). Program orientasi harus

memberikan beberapa pandangan dan pendekatan baik

terhadap preceptor maupun preceptee bagaimana

mengenali dan menyelesaikan masalah. Koordinator

program dan/atau penasehat pendidik dapat memfasilitasi

bila dibutuhkan.

Pengalaman preceptorship dapat menyebabkan stress pada

preceptee (Yonge, Myrick, & Haase, 2002) dan dapat

mengarah pada kekecewaan terhadap profesi perawat.

Tanggung jawab dan tanggung gugat mereka sebagai

perawat baru untuk merawat pasien membuat mereka

stres. Ketidak pastian sehubungan dengan harapan akan

peran baru mereka dapat mengarah pada kebingungan

peran dan itu dirasakan sebagai suatu stresor di awal

Page 49: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

60

pengalaman mereka sebagai perawat baru (Chang &

Hancock, 2003). Maka saling dan mempertahankan

informasi secara terbuka sangat penting antara preceptor

dan preceptee.

Preceptor ingin mengetahui bagaimana mengenali stres

pada preceptee, bagaimana preceptor mendampingi

mereka dalam mengelola stress dan kemana mencari

bantuan atau konseling bila dibutuhkan.

2.7.5. Strategi koping merupakan karakteristik perawat yang

berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa

orientasi menurut penelitian Beecroft, Dorey dan Wenten

(2008). Strategi koping adalah cara yang digunakan oleh

seseorang dalam menghadapi stressor. Adapun cara-cara

yang digunakan seseorang dalam mengatasi stressor

meliputi konfrontasi, menjauh, kontrol diri, mencari

dukungan sosial, menerima tanggung jawab, melarikan

diri-menghindar, penyelesaian masalah terencana, dan

penilaian secara positif.

Beecroft, Dorey dan Wenten (2008) dalam penelilitiannya

mengatakan bahwa mencari dukungan sosial sebagai

strategi koping meningkat. Penggunaan yang meningkat

akan strategi ini merupakan usaha perawat baru untuk

menghadapi stress transisi termasuk penyesuaian dengan

tugas baru, penguasaan keterampilan klinis, menjadi

anggota tim, mencari teman baru dan menghadapi ujian.

2.7.6. Self Efficacy Self efficacy (kemantapan diri) merupakan

karakteristik pribadi pendatang baru yang penting bagi

suatu organisasi (Saks dan Ashforth, 1997; Cooper dan

Page 50: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

61

Palmer, 2000). Self efficacy adalah persepsi seseorang

yang dapat menghasilkan suatu tindakan yang mengarah

pada suatu hasil. Self efficacy adalah keyakinan seseorang

terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas yang

di percayakan kepadanya (Bandura, 1997 dalam Peterson,

2009).

Preceptee harus yakin terharap kemampuan serta

pengetahuan yang di milikinya sehingga preceptee bisa

beradaptasi dengan lingkungan dan memperoleh kepuasan

kerja.

2.8 Stress Kerja

2.8.1. Pengertian stress Kerja

Greenberg (2002) mengatakan bahwa stress kerja adalah

konstruk yang sangat sulit didefinisikan. Stress kerja

sebagai kombinasi antara sumber – sumber stress pada

pekerjaan, karakteristik individual dan stressor di luar

organisasi, stress juga didefinisikan interaksi antara

stimulus dengan respon individu berdasarkan penilaian

kognisinya terhadap stimulus yang dirasa mengancam

menyebabkan ketegangan emosi pada individu terhadap

suatu kondisi yang tidak pasti, namun kondisi tersebut

dirasakan sangat penting bagi individu.

Stress kerja merupakan suatu kondisiketika stressor kerja

secara sendiri atau bersama faktor lain berinteraksi dengan

karakteristik individu, menghasilkan gangguan

keseimbangan fisiologis dan psikologis, jika berlangsung

lama, gangguan itu akan mengganggu sistem

kardiovaskuler, gangguan jiwa, gangguan muskuloskeletal,

dan gangguan kesehatan lain, stress kerja juga dapat

menyebabkan organizational strain dalam bentuk absensi,

Page 51: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

62

penurunan performa kerja, peningkatan angka cedera dan

turn over karyawan.

2.8.2. Faktor – faktor yang menyebabkan munculnya stress kerja

a. Sumber intrinsik pada pekerjaan, stress kerja pada

karyawan bisa bersumber pada pekerjaan itu sendiri,

keadaan kondisi kerja yang kurang nyaman, bimbingan

yang kurang optimal sehinggan menyebabkan stress

kerja.

b. Peran di dalam organisasi, di dalam melaksanakan

pekerjaan karyawan memiliki peran dan tanggung

jawab terhadap pekerjaannya, namun seringkali peran

ambigu dan konflik peran terjadi pada situasi kerja,

kondisi ini menyebabkan munculnya ketidaknyamanan

karyawan dan dapat menjadi pencetus munculnya stress

kerja

c. Perkembangan karir, terdiri dari promosike jenjang

yang lebih tinggi, tingkat keamanan kerja yang kurang,

perkembangan karir yang mengalami hambatan,

ancaman terhadapkarir dan prestasi , prospek promosi

yang tidak jelas akan berpengaruh terhadap munculnya

stress.

d. Hubungan relasi di tempat kerja, kurangnya hubungan

antara pimpinan, preceptor dan rekan kerja, interaksi

sosial dalam organisasi juga bisa menyebabkan stress

kerja.

e. Struktur organisasi dan iklim kerja, situasi atau iklim

organisasi mewarnai gaya kerja karyawan yang ada di

dalamnya, ketika iklimorganisasi yang kurang kondusif

akan memunculkan beberapa kendala karena terlalu

sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dalam

Page 52: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

63

pembuatan keputusan/ kebijakan, hambatan dalam

perilaku, politik yang negatif di tempat kerja, kurang

efektifnya proses konsultasi, situasi ini cenderung akan

memunculkan stress pada karyawan, karena karyawan

tidak dapat bekerja dengan nyaman.

f. Faktor stress kerja yang bersumber di luar organisasi,

masalah dalam keluarga, peristiwa dalam kehidupan,

kesulitan secara finansial

2.8.3. Faktor yang menyebabkan perawat mengalami stress

a. Hubungan kurang baik antara penyedia, dokter, rekan

perawat, pasien dan keluarga pasien

b. Perawat menciptakan harapan yang tinggi terhadap diri

sendiri sebagai cara untuk mempertahankan emosi

c. Kejenuhan dalam bekerja

d. Lingkungan kerja yang kondusif

2.9 Konsep Pasien Safety

2.9.1. Keselamatan Pasien (Patient Safety)

2.9.1.1. Pengertian

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu

sistem yang diterapkan untuk mencegah

terjadinya cedera akibat perawatan medis dan

kesalahan pengobatan melalui suatu sistem

assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan

faktor risiko, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dan tindak lanjut dari

insident serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes RI,

2006). Keselamatan pasien merupakan suatu

sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang

disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan

Page 53: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

64

suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

yang seharusnya diambil.

Menurut National Health Performance

Committee (NHPC, 2001, dikutip dari

Australian Institute Health and Welfare (AIHW,

2009) mendefinisikan keselamatan pasien

adalah menghindari atau mengurangi hingga

ketingkat yang dapat diterima dari bahaya

aktual atau risiko dari pelayanan kesehatan atau

lingkungan di mana pelayanan kesehatan

diberikan. Fokus dari definisi ini adalah untuk

mencegah hasil pelayanan kesehatan yang

merugikan pasien atau yang tidak diinginkan.

2.9.1.2. Tujuan Sistem Keselamatan Pasien

Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di

rumah sakit antara lain:

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien

dirumah sakit

b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit

terhadap pasien dan masyarakat.

c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan

(KTD)

d. Terlaksananya program pencegahan

sehingga tidak terjadi pengulangan KTD,

Dalam upaya pencapaian tujuan

keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit

wajib melaksanakan sistem keselamatan

pasien melalui upaya- upaya sebagai

berikut:

Page 54: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

65

1. Akselerasi program infeksion control

prevention (ICP)

2. Penerapan standar keselamatan pasien

dan pelaksanaan 7 langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit. Dan di

evaluasi melalui akreditasi rumah sakit

3. Peningkatan keselamatan penggunaan

darah (blood safety).

4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah

sakit.

5. Peningkatan keselamatan pasien di

kamar operasi cegah terjadinya wrong

person, wrong site, wrong prosedure

(Draft SPM RS:100% tidak terjadi

kesalahan orang, tempat, dan prosedur

di kamar operasi)

6. Peningkatan keselamatan pasien dari

kesalahan obat.

7. Pelaksanaan pelaporan insiden di

rumah sakit dan ke komite keselamatan

rumah sakit.

2.9.1.3. Manfaat Program Keselamatan Pasien

Program keselamatan pasien ini memberikan

berbagai manfaat bagi rumah sakit antara lain:

a. Adanya kecenderungan “Green Product”

produk yang aman di bidang industri lain

seperti halnya menjadi persyaratan dalam

berbagai proses transaksi, sehingga suatu

produk menjadi semakin laris dan dicari

masyarakat.

Page 55: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

66

b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan

pasien akan lebih mendominasi pasar jasa

bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-

asuransi dan menggunakan Rumah Sakit

tersebut sebagai provider kesehatan

karyawan/klien mereka, dan kemudian di

ikuti oleh masyarakat untuk mencari Rumah

Sakit yang aman.

c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih

memukuskan diri dalam kawasan

keselamatan pasien.

2.9.1.4. Indikator Keselamatan Pasien

Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang

masalah keselamatan pasien yang

menghebohkan dunia kesehatan mendorong

banyak pihak berupaya melakukan hal untuk

memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang

berhubungan dengan keselamatan pasien. Para

peneliti dalam bidang keperawatan berusaha

mengembangkan indikator mutu pelayanan

keperawatan yang potensial bersifat sensitif

terhadap kepegawaian. Needleman, et al.

(2006) melakukan penelitian mengenai staffing

dan adverse outcomes.

Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center

For Patient Safety berupaya menetapkan

Sembilan Solusi keselamatan pasien untuk

mempermudah pendeteksian terjadinya masalah

pada keselamatan pasien di Rumah Sakit, yaitu :

(1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan

mirip (look-alike), sound-alike medication

Page 56: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

67

names). (2) Pastikan Identifikasi pasien, (3)

Komunikasi secara benar saat serah terima

pasien, (4) Pastikan tindakan yang benar pada

sisi tubuh yang benar, (5) Kendalikan cairan

elektrolit pekat, (6) Pastikan akurasi pemberian

obat pada pengalihan pelayanan, (7) Hindari

salah kateter dan salah sambung gelamng, (8)

Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan (9)

Tingkatkan kebersihan tangan unuk pencegahan

infeksi nosokomial (WHO, 2007 dalam Tim

KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

2.9.1.5. Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan

syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit

yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi

Rumah Sakit.

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine

Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO

(2007) yang digunakan juga oleh Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS

PERSI),dan dari Joint Commission

International (JCI).

Enam sasaran keselamatan pasien yang menjadi

prioritas gerakan keselamatan pasien.

Enam sasaran keselamatan pasien adalah

tercapainya hal-hal sebagai berikut :

a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan

Tepat Rumah sakit mengembangkan

pendekatan untuk memperbaiki /

Page 57: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

68

meningkatkan ketelitian dalam

mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada

pasien yang dalam keadaan yang

terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar,

bertukar tempat tidur / kamar / lokasi di

rumah sakit, adanya kelainan sensori,

atau akibat situasi yang lain.

Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini

adalah sebagai berikut :

1. Pasien yang dirawat diidentifikasi

dengan menggunakan gelang identitas

sedikitnya dua identitas pasien (nama,

tanggal lahir atau nomor rekam medik)

2. Pasien yang dirawat diidentifikasi

dengan warna gelang yang ditentukan

dengan ketentuan biru untuk laki-laki

dan merah muda untuk perempuan,

merah untuk pasien yang mengalami

alergi dan kuning untuk pasien dengan

risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring

dengan menggunakan protap penilaian

skor jatuh yang sudah ada)

3. Pasien yang dirawat diidentifikasi

sebelum pemberian obat, darah, atau

produk darah.

4. Pasien yang dirawat diidentifikasi

sebelum mengambil darah dan

spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.

Page 58: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

69

5. Pasien yang dirawat diidentifikasi

sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan/prosedur.

b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang

Efektif Rumah sakit mengembangkan

pendekatan untuk meningkatkan

komunikasi yang efektif antar para pemberi

layanan. Komunikasi yang dilakukan secara

efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas,

dan yang mudah dipahami oleh pasien akan

mengurangi kesalahan dan dapat

meningkatkan keselamatan pasien.

Komunikasi yang mudah menimbulkan

kesalahan persepsi kebanyakan terjadi pada

saat perintah diberikan secara lisan atau

melalui telepon. Komunikasi yang mudah

terjadi kesalahan yang lain adalah

pelaporan kembali hasil pemeriksaan

kritis. Rumah sakit secara kolaboratif

mengembangkan suatu kebijakan atau

prosedur untuk perintah lisan dan telepon

termasuk mencatat perintah yang lengkap

atau hasil pemeriksaan oleh penerima

perintah, kemudian penerima perintah

membacakan kembali (read back) perintah

atau hasil pemeriksaan dan melakukan

mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah

dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.

Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian

juga menjelaskan bahwa diperbolehkan

tidak melakukan pembacaan kembali (read

Page 59: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

70

back) bila tidak memungkinkan seperti di

kamar operasi dan situasi gawat darurat.

Adapun elemen penilaian pada sasaran II ini

terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

a. Melakukan kegiatan “READ BACK‟

pada saat menerima permintaan secara

lisan atau menerima intruksi lewat

telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟

sebagai pengingat dokter harus tanda

tangan.

b. Menggunakan metode komunikasi yang

tepat yaitu SBAR saat melaporkan

keadaan pasien kritis, melaksanakan

serah terima pasien antara shift (hand

off) dan melaksanakan serah terima

pasien antar ruangan dengan

menggunakan singkatan yang telah

ditentukan oleh manajemen.

c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat

yang Membutuhkan Perhatian Rumah sakit

perlu mengembangkan suatu pendekatan

untuk memperbaiki keamanan obat-obat

yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila

obat-obatan menjadi bagian dari rencana

pengobatan pasien, manajemen rumah sakit

harus berperan secara kritis untuk

memastikan keselamatan pasien agar

terhindar dari risiko kesalahan pemberian

obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai

Page 60: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

71

(high alert medications) adalah obat yang

sering menyebabkan terjadi kesalahan

serius (sentinel event), obat yang berisiko

tinggi menyebabkan dampak yang tidak

diinginkan (adverse outcome) seperti obat-

obat yang terlihat mirip dan

kedengarannya mirip. Rumah sakit secara

kolaboratif mengembangkan suatu

kebijakan atau prosedur untuk membuat

daftar obat-obat yang perlu diwaspadai

berdasarkan data yang ada di rumah

sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur

juga dapat mengidentifikasi area mana

saja yang membutuhkan elektrolit

konsentrat, seperti di IGD atau kamar

operasi, serta pemberian label secara benar

pada elektrolit dan bagaimana

penyimpanannya di area tersebut,

sehingga membatasi akses, untuk

mencegah pemberian yang tidak

sengaja/kurang hati-hati.

Elemen yang merupakan standar penilaian

sasaran III adalah sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai

obat Look Like dan Sound Alike (LASA)

atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)

2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK

dan COUNTER SIGN setiap distribusi

obat dan pemberian obat pada masing-

masing instansi pelayanan.

Page 61: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

72

3. Menerapkan agar Obat yang tergolong

HIGH ALERT berada di tempat yang

aman dan diperlakukan dengan

perlakuan khusus

4. Menjalankan Prinsip delapan Benar

dalam pelaksanaan pendelegasian Obat

(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat,

Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu, Cara,

dan Dokumentasi).

d. Sasaran IV: Mengurangi risiko salah Lokasi,

salah pasien dan tindakan operasi .

Rumah sakit dapat mengembangkan suatu

pendekatan untuk memastikan pemberian

pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-

prosedur, dan tepat- pasien. Salah lokasi, salah

pasien, salah prosedur, pada operasi adalah

sesuatu yang menkhawatirkan dan kemungkinan

terjadi di rumah sakit.

Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV

ini adalah memberi tanda spidol skin marker

pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang

tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan

melibatkan pasien dalam hal ini (Informed

Consent)

e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi

yang terkait pelayanan kesehatan yang

diberikan. Pencegahan dan pengendalian

Page 62: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

73

infeksi merupakan tantangan terbesar dalam

tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan

biaya untuk mengatasi infeksi yang

berhubungan dengan pelayanan kesehatan

merupakan hal yang menjadi perhatian besar

bagi pasien maupun para profesional

pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya

Elemen yang menjadi penilaian sasaran V

adalah sebagai berikut :

1. Rumah sakit mengadopsi atau

mengadaptasi pedoman Five Moment Hand

Hygiene dan digunakan dalam tatanan

kesehatan untuk pelayanan ke pasien.

2. Menggunakan Hand rub di ruang

perawatan dan melakukan pelatihan cuci

tangan efektif.

3. Memberikan tanggal dengan menggunakan

spidol atau tinta yang jelas setiap

melakukan prosedur invasif (infuse, dower

cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)

f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien

Jatuh

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk mengurangi risiko pasien

dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh

cukup bermakna sebagai penyebab cedera

bagi pasien rawat inap. Dalam konteks

masyarakat yang dilayani, pelayanan yang

disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu

mengevaluasi risiko pasien jatuh dan

Page 63: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

74

mengambil tindakan untuk mengurangi risiko

cedera bila sampai jatuh.

Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI

adalah sebagai berikut.

1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada

pasien yang dirawat di rumah sakit.

2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau

menghilangkan risiko jatuh.

3. Memberikan tanda bila pasien berisiko

jatuh dengan gelang warna kuning dan kode

jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen

2.9.1.6. Langkah - Langkah Penerapan Sistem

Keselamatan Pasien

Penerapan sistem keselamatan pasien

membutuhkan dukungan dari berbagai bidang.

Langkah-langkah yang harus dilakukan antara

lain:

a. Membangun budaya kerja yang

mementingkan keselamatan dan keamanan

pasien dengan meningkatkan kewaspadaan

secara terus-menerus.

b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap

seluruh petugas rumah sakit dalam menjaga

keselamatan dan keamanan pasien :

keteladanan, evaluasi dan umpan balik,

coaching dan mentoring terhadap staf secara

berkesinambungan untuk memberdayakan

petugas rumah sakit, dukungan terhadap

upaya keselamatan pasien juga mencakup

Page 64: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

75

alokasi sumber daya manusia, informasi,

bahan dan peralatan.

c. Melakukan manajemen risiko secara

terpadu. Makna manajemen risiko tidak

hanya terbatas pada litigasi oleh pasien

maupun petugas kesehatan, tetapi lebih

mendasar lagi khususnya keselamatan

pasien, petugas kesehatan dan pengunjung

rumah sakit, manajemen, analisis

pemantauan, investigasi, dan pelatihan

mengendalikan risiko merupakan suatu

kesatuan. Pertimbangan risiko harus menjadi

bagian strategi menajemen pelayanan

kesehatan.

d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan

semua kasus medical error yang dapat

digabungkan dari tingkat lokal sampai

tingkat nasional dengan menjaga

kerahasiaan pasien dan organisasi yang

melaporkan. Pelaporan harus menjadi

pendorong pembelajaran yang harus

dikembangkan dengan budaya pelaporan

yang tanpa dibayangi ketakutan akan

hukuman.

e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh

masyarakat, menjelaskan dan bila perlu

minta maaf, menyelidiki penyebab secara

terbuka. Mendukung pasien dan keluarga

bagaimana mengatasi dampak kesalahan

medis, bekerjasama dalam pengobatan dan

perawatan lebih lanjut, dan melibatkan

Page 65: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

76

pasien dalam investigasi dan rekomendasi

untuk perubahan.

f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan

tentang penyebab kegagalan medis

diantaranya pendekatan root cause analysis,

dinamika sistem, diagram tulang ikan, dan

lain-lain.

g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah

”harm”, bukan hanya sebatas menganjurkan

staf untuk berhati-hati tetapi mengatasi

permasalahan mendasar, merancang

peralatan dan sistem serta proses-proses

lebih intuitif, mempersulit petugas untuk

melakukan kesalahan dan mempermudah

petugas untuk menemukan kesalahan.

2.9.1.7. Standar Patient Safety

Menurut PERMENKES Nomor 11 tahun 2017

Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus

ada beberapa standar yang wajib dimiliki oleh

Rumah Sakit dalam menjalankan program

keselamatan pasien.

a. Standar I. Ketentuan tentang hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak

untuk mendapatkan informasi tentang

rencana dan hasil pelayanan termasuk

kemungkinan terjadinya KTD.

Page 66: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

77

Adapun kriteria dari standar ini adalah :

1. Harus terdapat dokter penanggung jawab

pelayanan.

2. Dokter penanggung jawab pelayanan

wajib membuat rencana pelayanan

kesehatan.

3. Dokter yang menjadi penanggung jawab

pelayanan wajib memberikan penjelasan

secara jelas dan benar kepada pasien dan

keluarganya tentang rencana dan hasil

pelayanan, pengobatan dan prosedur

untuk pasien termasuk kemungkinan

terjadinya KTD.

b. Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.

Rumah sakit harus mendidik pasien dan

keluarganya tentang kewajiban dan tanggung

pasien dalam asuhan kesehatan pasien.

Adapun kriteria dari standar tersebut antara

lain.

Keselamatan pasien dalam pemberian

pelayanan dapat di tingkatkan dengan

keterlibatan pasien yang merupakan patner

dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah

sakit harus ada sistem dan mekanisme

mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam

asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut

di harapkan pasien dan keluarga dapat :

Page 67: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

78

1. Memberi informasi yang tepat, benar,

jelas, lengkap dan jujur.

2. Mengetahui kewajiban dan tanggung

jawab pasien dan keluarga.

3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan

untuk hal yang tidak dimengerti.

4. Memahami dan menerima konsekuensi

pelayanan kesehatan.

5. Mematuhi instruksi dan menghormati

peraturan rumah sakit.

6. Memperlihatkan sikap menghormati dan

tenggang rasa.

7. Memenuhi kewajiban finansial yang

disepakati.

c. Standar III. Keselamatan pasien dan

kesinambungan pelayanan. Rumah sakit

menjamin kesinambungan pelayanan

kesehatan dan menjamin koordinasi antar

tenaga dan antar unit pelayanan.

Adapun kriteria:

1. Adanya koordinasi yang baik dari

pelayanan kesehatan secara menyeluruh

mulai dari saat pasien masuk,

pemeriksaan, diagnosis, perencanaan

pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan

dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

2. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan

yang di sesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan kelayakan sumber daya secara

berkesinambungan sehingga pada seluruh

Page 68: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

79

tahap pelayanan transaksi antar unit

pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.

3. Adanya koordinasi pelayanan yang

mencakup peningkatan komunikasi untuk

memfasilitasi dukungan keluarga,

pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,

konsultasi dan rujukan, pelayanan

kesehatan primer dan tindak lanjut

lainnya.

4. Adanya komunikasi dan transfer

informasi antar profesi kesehatan

sehingga dapat tercapainya proses

koordinasi tanpa hambatan, aman dan

efektif.

d. Standar IV. Rumah sakit mesti mendesain

proses baru atau memperbaiki proses yang

ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja

melalui pengumpulan data, menganalisis

secara intensif KTD, dan melakukan

perubahan untuk meningkatkan kinerja serta

keselamatan pasien.

Kriteria dari standar IV adalah sebagai

berikut:

1. Setiap rumah sakit melakukan proses

perencanaan yang baik dengan mengacu

pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,

kebutuhan pasien-petugas pelayanan

kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik

bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain

yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai

Page 69: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

80

dengan ”Tujuh langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit”

2. Setiap rumah sakit melakukan

pengumpulan data kinerja antara lain

yang terkait dengan pelaporan insiden,

akreditasi, manajemen risiko, utilisasi,

mutu pelayanan dan keuangan.

3. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi

intensif terkait dengan semua KTD/KNC,

dan secara proaktif melakukan evaluasi

suatu proses kasus resiko tinggi bagi

pasien.

4. Setiap rumah sakit menggunakan semua

data dan informasi hasil analisis untuk

menentukan perubahan sistem yang di

perlukan agar kinerja dan keselamatan

pasien terjamin.

e. Standar V. Peran kepemimpinan dalam

meningkatkan keselamatan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai

berikut.

1. Terdapat tim antar disiplin untuk

mengelola program keselamatan pasien

guna meningkatkan mutu pelayanan

rumah sakit.

2. Tersedia program proaktif untuk

mengidentifikasi risiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden yang

mencakup jenis kejadian yang

memerlukan perhatian, mulai dari

Page 70: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

81

KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near

miss) sampai dengan KTD (Adverse

event)

3. Tersedianya mekanisme kerja untuk

menjamin bahwa semua komponen dari

rumah sakit terintegrasi serta

berpartisipasi dalam program

keselamatan pasien.

4. Tersedia prosedur yang cepat tanggap

terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah,

membatasi risiko pada orang lain dan

penyampaian informasi yang benar dan

jelas untuk keperluan analisis.

5. Tersedia mekanisme pelaporan baik

internal dan eksternal yang berkaitan

dengan insiden termasuk penyediaan

informasi yang benar dan jelas tentang

analisis akar masalah (RCA) kejadian

pada saat program keselamatan pasien

mulai di laksanakan.

6. Tersedia mekanisme untuk menangani

berbagai jenis insiden atau kegiatan

proaktif untuk memperkecil resiko

termasuk mekanisme untuk mendukung

staf dalam kaitan dengan kejadian yang

tidak diinginkan.

7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi

terbuka secara sukarela antar unit dan

antar pengelola pelayanan di dalam

Page 71: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

82

Rumah Sakit dengan pendekatan antar

disiplin.

8. Tersedia sumber daya dan sistem

informasi yang dibutuhkan dalam

kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit

dan perbaikan Keselamatan Pasien,

termasuk evaluasi berkala terhadap

kecukupan sumber daya tersebut.

9. Tersedia sasaran terukur dan

pengumpulan informasi menggunakan

kriteria obyektif untuk mengevaluasi

efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit

dan keselamatan pasien, termasuk

rencana tindak lanjut dan

implementasinya.

f. Standar VI. Mendidik staf tentang

keselamatan pasien.

1. Rumah sakit memiliki proses

pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk

setiap jabatan mencakup keterkaiatan

jabatan dengan keselamatan pasien

secara jelas dan transparan.

2. Rumah sakit menyelenggarakan program

pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan

memelihara kompetensi staf serta

mendukung pendekatan interdisiplin

dalam pelayanan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai

berikut :

Page 72: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

83

1. Setiap rumah sakit harus memiliki

program pendidikan, pelatihan dan

orientasi bagi staf baru yang memuat

topik tentang keselamatan paien

sesuai dangan tugasnya masing-

masing.

2. Setiap rumah sakit harus

mengintegrasikan topik keselamatan

pasien dalam setiap kegiatan

inservice training dan memberi

pedoman yang jelas tentang

pelaporan insiden.

3. Setiap rumah sakit harus

menyelenggarakan training tentang

kerjasama kelompok guna

mendukung pendekatan interdisiplin

dan kolaboratif dalam rangka

melayani pasien.

g. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci

bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

1. Rumah sakit harus merencanakan dan

mendesain proses manajemen informasi

keselamatan pasien untuk memenuhi

kebutuhan informasi internal dan

eksternal

2. Transmisi data dan informasi harus tepat

waktu dan akurat.

Page 73: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

84

Kriteria dari standar ini adalah :

1. Rumah sakit perlu menyediakan

anggaran untuk merencanakan dan

mendesain proses manajemen untuk

memperoleh data dan informasi

tentang hal-hal terkait dengan

keselamatan pasien.

2. Tersedia mekanisme untuk

mengidentifikasi masalah dan kendala

komunikasi untuk merevisi

manajemen informasi yang ada.

Page 74: Preceptorship - eprints.umbjm.ac.id

85

2.10 Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah

ini.

Gambar. 2.1 Kerangka Teori

Metode Pelatihan:

a. On the job training

Instruksi

Rotasi

Magang

Pelatihan

jabatan

(Hasibuan, 2005

b. Off the job

training

Ceramah

Pelatihan

vestibule

Demonstrasi

Simulasi

Belajar

terprogram

(Ranupandoyo &

Husnan, 2003)

Fungsi ketenagaan

1. Rekrutmen

2. Wawancara

3. Seleksi

4. Penempatan

5. Orientasi

6. Penjadwalan

7. Pengembangan

( Marquis & Hustn 2010)

Pelatihan preceptorship:

a. Persiapan pertemuan

b. Pelaksanaan

c. Evaluasi

Kompetensi yang dimiliki

1. kemampuan berkomunikasi

secara baik dan benar

2. mampu menjadi model

peran professional,

3. berkeinginan memberikan

waktu yang cukup untuk

peserta didik

4. Preseptor mampu menjadi

pendengar yang baik dan

mampu menyelesaikan

masalah

5. kompeten dan percaya diri

dalam peran sebagai

preceptor

(AIPNI,2016)

Aspek Kepuasan perawat

1. Otonomi

2. Variasi

3. Identitas tugas

4. Pentingnya pekerjaan

5. Umpan balik

(Siagian,2009)

asumsi adaptasi Struart :

1. Memandang alam

dalam suatu hirarki

sosial

2. Menggunakan

pendekatan

biopsikososial yang

holistik pada praktik

asuhan keperawatan

3. Memandang

adaptasi/maladptasi

berbedadari sehat/sakit

4. Mengidentifikasi

empat tahap asuhan,

krisis, akut,

pemeliharaan

kesehatan dan promosi

kesehatan

5. Digunakan lintas

tatanan pelayanan dan

sepanjang rentang

asuhan

6. Didasarkan pada

standar asuhan

keperawatan (Hamid,

2016)

Proses adaptasi perawat

baru

1. Fase bulan madu

2. Fase shock

3. Fase pemulihan

4. Resolusi

(Marquis,2003)

Fungsi manajemen

1. Perencanaan 2. Pengorganisasian 3. Pengaturan staf 4. Pengarahan 5. pengendalian

(KemKes RI, 2018)

Karakteristik

Perawat: 1. Usia

2. Jenis Kelamin

3. Tingkat pendidikan

4. Masa Kerja

5. Konflik/stres

6. Strategi koping

7. Kemantapan diri

(self efficacy)

(Beecroft, Dorey dan

Wenten, 2008)