Upload
muntasir-ld
View
165
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ppt
Citation preview
SIKAP MORAL DAN TINDAKAN RASIONAL PETANI(Sebuah Perdebatan Konseptual Antara Scott
dan Popkins)
Oleh
PERIBADI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALUOLEO
2012/2013
Kehidupan sosial ekonomi petani dengan berbagai problematikanya, senantisa
menjadi objek perdebatan menarik dan seolah takkan pernah berakhir di sepanjang pergulatan pemikiran para ahli dan penentu
kebijakan pembangunan pertanian.
(1332 – 1350 M)
Betapa tidak, tanah sebagai tempat mereka menabur benih berbagai jenis tanaman
dan tumbuhan sebagai sumber vital kehidupan baginya. Kini, telah dirampas
oleh kapitalisme agraris alias petani berdasi, hingga membuat nafas
kehidupan mereka tersumbat, karena kelaparan tanah (tunakisma).
(1469 – 1559)
(1789-1857)
Karena itu tidak mengherankan, jika aksi protes dari kaum tani mengemuka dan
meledak di seantero persada nusantara, yakni mulai dari Kedung Ombo,
Jenggarawa dan hingga merebak ke jazirah Sulawesi Tenggara.
Apakah sinyal-sinyal aksi dan reaksi ini dapat
menggugurkan pendekatan budaya yang dipelopori oleh Boeke, Geertz, dan
Scott di satu sisi, serta pada sisi lain
mengangkat kepiawaian aliran ekonomi neo-
klasik, terutama yang dipelopori oleh
Popkins?
Herbert Spencer
Menurut Scott, petani tradisional di Asia Tenggara selalu mendasarkan
tindakannya pada prinsip-prinsip moral “moral subsistensi”. Bukan atas prinsip-
prinsip rasional sebagaimana yang
dikenal dalam teori-teori ekonomi klasik dan neo-
klasik (Scott, 1985).
Pandangan Scott ini, tampaknya didukung oleh Boeke dan Geertz.
Menurut Boeke bahwa petani tradisional di Indonesia tidak
mempunyai rasionalitas ekonomi.
Sementara menurut Geertz, akibat dari tekanan penduduk yang terus
bertambah, maka sumber daya tanah semakin terbatas.
Namun demikian, menurut Geertz bahwa
masyarakat desa di Jawa tidak terbelah ke dalam golongan tuan tanah dan tunakisma,
melainkan tetap mempertahankan
homogenitas sosial ekonomi dengan cara berbagai kemiskinan yang disebut “shared
poverty”.
Lanjut Geertz, meskipun dari segi produksi terlihat mengalami kemajuan melalui intensifikasi. Akan tetapi bila
diukur dari segi perjumlah tidak tercipta secara nyata, sehingga petani hanya
berkembang secara involutif.
Jadi sesungguhnya, perdebatan tentang perubahan masyarakat desa terutama di Jawa bermula dari hasil penemuan Geertz di tahun
1950-an. Inti gagasannya: kebijakan politik ekonomi tanam paksa Pemerintah Belanda
telah menyebabkan terjadinya proses involusi dan shared of poverty.
Maksud Gertz, kebijakan Belanda tidak mengakibatkan masyarakat desa terbagi
menjadi lapisan kaya-miskin sebagaimana umumnya terjadi di semua
negara berkembang. Karena menurut Geertz, budaya komunitas pedesaan mengandung
potensi homogenitas sosial yang egaliter dan simetris (Wahono, 1994).
Akan tetapi, Popkins
membantah tersebut dengan
mengajukan antitesis dalam
menenangkan sikap petani sehubungan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi.
Pandangan Popkins yang diilhami oleh
pemikir ekonomi neo-klasik dan laizez faire seperti Theodore W.
Schultz sebagai seorang ahli ekonomi
pertanian, tampak realistis di tengah
kehidupan kita dewasa ini.
Menurut Schultz bahwa petani tradisional sangat responsif
terhadap kekuatan pasar yang bergerak setiap saat. Hal ini terlihat dalam pemanfaatan
peluang oleh para petani dan proses pengambilan
keputusan yang rasional dalam mengalokasikan
sumber daya, termasuk aksi gugatan yang sering kali
dilakukan di depan lembaga legislatif.
Demikian pula pandangan Collier yang juga sejalan dengan penganut teori ekonomi
radikal Marxis menandaskan bahwa revolusi hijau telah menciptakan proses evolusi, sehingga sistem kelembagaan egaliter
masyarakat desa menjadi semakin tertutup yang pada gilirannya dapat menimbulkan
kesenjangan dan polarisasi sosial di pedesaan.
Dalam perspektif sosiologi agraria,
manusia Indonesia yang kebanyakan lapar tanah, karena telah dimiskinkan dan ditindas oleh kaum banditisme pertanahan, sehingga banyak petani kehilangan tanah, dan
bahkan cenderung menjadi budak dari orang-orang yang kenyang tanah.
Ketika pemerintah Orde Baru melancarkan revolusi hijau ke daerah pedesaan Jawa,
penganut teori ekonomi radika Marxis cenderung mengklaim bahwa ekonomi
berskala dalam teknologi modern merupakan penyebab utama terciptanya
polarisasi.
Meskipun ada sebagian ahli yang kemudian menyebutkan bahwa kesenjangan di
pedesaan bukan disebabkan oleh teknologi, karena teknologi bersifat netral. Akan tetapi
ikhwal itu adalah disebabkan oleh persebaran teknologi yang kurang maju
sehingga kurang cepat mengejar pertumbuhan penduduk yang terjadi.
Selain itu, dinamika ekonomi sosial desa yang menjurus ke pelapisan (kalau tidak ingin disebut polarisasi),
adalah bukan karena sekedar hadirnya revolusi teknologi biologi dan kimiawi, tetapi
juga dikondisikan oleh tingginya lonjakan jumlah
penduduk serta menyusupnya sistem kapitalis di pedesaan.
Karena itu menurut Wahono (1994) bahwa
diskusi mengenai pertumbuhan dan pemerataan hanya dapat dimengerti
lebih kaya bila digelar dalam alur pencarian jawab akan dinamika
ekonomi sosial.
Dan hal itu hanya dapat dijawab dalam struktur pelapisan masyarakat antara
mereka yang dapat dikatan patron (Baca: konglomerat) sebagai orang yang hidupnya melampaui garis kecukupan dengan mereka yang dikatakan clien (Baca: konglomelarat)
sebagai orang yang hidupnya di bawah kecukupan.
Kalau kita mencoba mengadaptasi kerangka teori
dualisme ekonomi sosial Boeke, tampak terlihat gejala dan
realitas: (1) Pranata ekonomi sosial yang dualistis telah terjadi di tengah pedesaan Jawa akibat semakin merajalelanya unsur-
unsur sistem ekonomi kapitalis dalam bentuk meningkatnya
komersialisasi dan penggunaan teknologi tinggi dari proses
revolusi hijau;
(2) Pranata dualistis tersebut memisahkan perilaku ekonomi
sosial, di satu kutub petani berlahan luas dengan motivasi pemaksimalan
hasil panen padi dan penanaman modal lewat pembelian tanah dan
sumber daya pendidikan anak, dan di lain kutub dari petani berlahan sempit atau tunakisma dengan motivasi pertahanan hidup dan
pengambalian modal pinjaman guna membiayai ongkos produksi dan
kebutuhan sosial
(3) Dengan hadirnya tekanan penduduk atas tanah dan
ekonomi politik makro yang memberat ke pendulum modal,
maka pranata dualistis yang telah didorong kelahirannya oleh revolusi hijau dalam praktek, di
satu pihak meningkatkan perolehan ekonomis petani
berlahan luas, tetapi di lain pihak memperkecil perolehan
ekonomis petani berlahan sempit atau tunkisma
(4) Mekanisme demikian pada gilirannya
menggeser petani berlahan sempit ke
sektor dan sub sektor non-sawah yang lebih
sedikit hasilnya dengan sekaligus
menggandakannya ke sektor kaitan yang lebih memberikan peluang,
meningkatkan proporsi kerja wanita dan anak untuk mencari nafkah,
menggantikan semangat hubungan
keadatan dan kemasyarakatan sekitar tanah dan tenaga dari pemerataan patron-clien keperhitungan
untung rugi,
menaikkan migrasi sekuler maupun permanen,
melemahkan kerajinan rumah tangga,
memunculkan perantara dan agen ekonomi desa,
memperburuk defisit ekonomi rumah tangga
alias meningkatkan utang, meredam potensi resistensi
keseharian dan menggembosi lembaga-lembaga inisiatif lokal.
Pertanyaan yang pasti menggelitik….
kemana nyasarnya homogenitas dan solidaritas
itu ? Karena menurut Amalauddin (1987) bahwa struktur dan kelembagaan
sosial masyarakat masih ada dan masih cukup memiliki
kekuatan untuk membendung kecenderungan terjadinya
polarisasi.
Jika memang masih ada….
Maka tentu saja urgent untuk direvitalisasi, dan atas dasar
itulah sehingga saya terdorong menyoal rencana disertasi
REVITALISASI DAN REKONSTRUKSI PRANATA
DAN KELEMBAGAAN SOSIAL PEDESAAN
Hehehehehe.......
TERIMA KASIHSEMOGA BERMANFAAT !!
Wassalaamu ‘Alaikum
Warahmatullahi Wabarakaatuh