38
LAPORAN KASUS VERTIGO DENGAN TYPHOID Anamnesis : Autoanamnesis Tanggal : 02 Juni 2015 Ruang : Mawar RSUD Ambarawa I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. LC Umur : 25 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status Perkawinan : Menikah Pekerjaan : Swasta Alamat : Karang Talun RT 3/1 Karang Kajen, Secang, Magelang Masuk RS : 01 Juni 2015, pukul 18.02 WIB II. DATA SUBYEKTIF 1

Presentasi Kasus Oksa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

p

Citation preview

Page 1: Presentasi Kasus Oksa

LAPORAN KASUS

VERTIGO DENGAN TYPHOID

Anamnesis       : Autoanamnesis

Tanggal           : 02 Juni 2015

Ruang              : Mawar RSUD Ambarawa

I. IDENTITAS PASIEN

Nama                     : Tn. LC

Umur                     : 25 tahun

Jenis Kelamin        : Laki-laki

Agama                   : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan               : Swasta

Alamat                  : Karang Talun RT 3/1 Karang Kajen, Secang, Magelang

Masuk RS             : 01 Juni 2015, pukul 18.02 WIB

II. DATA SUBYEKTIF

Keluhan Utama                   : Pusing berputar

1

Page 2: Presentasi Kasus Oksa

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan pusing berputar-putar sejak 2 minggu SMRS disertai demam, nyeri

di persendian dan mual muntah. Kemudian pasien berobat ke dokter umum. Dari dokter umum

pasien mendapatkan 3 macam obat. Menurut pasien keluhan demam membaik namun keluhan

pusing berputar tidak membaik. Keluhan ini tidak sampai mengganggu aktivitas sehingga pasien

masih tetap bekerja.

3 hari SMRS, pusing berputar terasa semakin memberat, menurut pasien keluhan tersebut

sampai membuat tidak dapat berdiri. Pusing dirasakan selama 5-15 menit. Pusing terjadi tiba-

tiba, tidak dipengaruhi rasa lelah maupun ketika istirahat. Pusing dirasa bertambah jika badan

berubah posisi dan membaik jika pasien berbaring dan menutup mata.

2 hari SMRS pasien kontrol ke poli saraf RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing

berputar-putar dan disarankan untuk dirawat inap namun pasien menolak. Pasien mendapatkan

obat betahistin tetapi keluhan tetap tidak berkurang. Pasien mengakui telinga kanannya

berdengung saat mengalami pusing berputar dan berhenti ketika pusing berputarnya membaik. .

Pasien mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 1 kali SMRS. Pada tanggal 01 juni 2015,

akhirnya pasien masuk ke rumah sakit melalui IGD dan di rawat.

Pasien menyangkal adanya penglihatan dobel dan kabur, nyeri telinga, penurunan

pendengaran, kejang, nyeri kepala, kelemahan anggota tubuh dan kesemutan/baal. Buang air

besar serta buang air kecil tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat gangguan telinga : disangkal. Pasien menyatakan tidak ada riwayat gangguan

telinga kanan maupun kiri.

Riwayat hipertensi: disangkal. Pusing berputar dirasakan hilang timbul selama ± 2

minggu ini.

Riwayat DM: disangkal

2

Page 3: Presentasi Kasus Oksa

Riwayat infeksi: Pasien mengatakan 5 bulan yang lalu sempat di rawat inap dengan

diagnosa demam typhoid.

Riwayat cedera kepala/leher: disangkal

Riwayat gangguan tidur: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Anamnesis Sistem

Sistem Serebrospinal            : Pusing berputar (+)

Sistem Kardiovaskular         : Tidak ada keluhan

Sistem Respirasi                   : Tidak ada keluhan

Sistem Gastrointestinal        : Mual, muntah 3 jam terakhir

Sistem Muskuloskeletal       : Tidak ada keluhan

Sistem Integumental            : Tidak ada keluhan

Sistem Urogenital                : Tidak ada keluhan

Resume Anamnesis

Seorang pasien usia 25 tahun, datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing

berputar-putar sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dirasakan memberat 3 hari SMRS yang

mengakibatkan pasien sulit beraktifitas, mengakibatkan pasien merasa tidak dapat berdiri. Pasien

3

Page 4: Presentasi Kasus Oksa

sudah berusaha untuk mengobati dengan pergi ke dokter namun keluhan pusing berputar masih

belum berkurang dan keluhan tidak membaik. Pasien hanya berbaring di tempat tidur untuk

mengurangi rasa pusing berputar. Pasien mengakui telinga kanannya berdengung saat mengalami

pusing berputar dan berhenti ketika pusing berputarnya membaik. Pasien menyangkal adanya

penglihatan dobel dan kabur, nyeri telinga, penurunan pendengaran, kejang, nyeri kepala,

kelemahan anggota tubuh dan kesemutan/baal. Buang air besar serta buang air kecil tidak ada

keluhan.

DISKUSI I

Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan pusing berputar, pusing berputar merupakan

gejala dari vertigo. Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar terasa seperti berputar

mengelilingi pasien, atau pasien merasa seperti berputar mengelilingi lingkungan sekitar.1

Keluhan yang sering disampaikan pasien beragam, misalnya puyeng, sempoyongan, mumet,

muter, pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa seperti melayang. Vertigo berasal dari bahasa

latin vertere yang artinya memutar, merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa

keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistem keseimbangan.1

Langkah-langkah sistematis manajemen pasien vertigo, antara lain:2

1. Memastikan keluhan

2. Memastikan jenis dan letak lesi

3. Mencari penyebab

4. Memantau terapi

1. Memastikan keluhan

Pasien dapat menyampaikan keluhan kepala dengan sebutan pusing. Untuk memudahkan

dan menghindarkan salah persepsi dari gangguan kepala lainnya adalah dengan menanyakan

pasien mengenai apa yang dirasakan pasien saat terjadinya serangan. Pastikan bahwa keluhan

yang dirasakan pasien benar-benar pusing berputar. Bukan nyeri kepala atau bingung.

4

Page 5: Presentasi Kasus Oksa

2. Memastikan jenis dan letak lesi

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan

tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik kanan dan kiri akan

diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut.

Semua rangsang yang diterima reseptor masing-masing sistem diintegrasikan di batang otak dan

serebellum, sehingga terjadi hubungan fungsional yang terpadu antara 3 sistem. Respons yang

muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di

samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika

fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak

fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan

informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping itu,

respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat

berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.3

Vertigo dapat timbul bila ada gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem

tersebut pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. Vertigo dibagi menjadi dua, vertigo

vestibular bila kelainan pada vestibular, dan vertigo non vestibular apabila terjadi pada visual dan

proprioseptif. Vertigo juga dibagi menjadi vertigo yang terjadi dengan letak lesi di perifer (labirin dan n.

Vestibularis) dan vertigo yang terjadi dengan letak lesi di sentral (batang otak hingga korteks).

  VERTIGO PERIFER VERTIGO SENTRAL

Letak lesi Labirin dan N. Vestibularis Batang otak hingga korteks

Sifat vertigo Rasa berputar (true vertigo)Melayang, hilang

keseimbangan

Serangan Episodik Kontinyu

Mual/muntah + –

Gangguan pendengaran

dan/atau tinitus+ / – –

Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan obyek visual

Gejala gangguan SSP – + (diplopia, parestesi, gejala

5

Page 6: Presentasi Kasus Oksa

fokal serebral)

Gejala Otonom + + –

Nistagmus Horizontal Vertikal

3. Mencari penyebab

Berbagai macam proses patologis dapat terjadi pada ketiga sistem somatosensorik,

vestibular, maupun visual, baik pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. 4

Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan

ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa yang dipersepsi oleh susunan

saraf pusat. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor

vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar,

yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah

proprioseptik.5

Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya adalah:

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi

kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai

reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum, dan proprioseptik, atau karena

ketidakseimbangan masukan sensoris dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut

menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa

nistagmus, ataksia, rasa melayang, berputar.

6

Page 7: Presentasi Kasus Oksa

3. Teori neural mismatch.

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori ini otak

mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan

gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan

saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi

mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik.

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi

perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistem simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang

jika sistem parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral.

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori serotonin (Lucat),

yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim

saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinaps.

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan

perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat.

Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin Releasing

Factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang

selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf

parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,

berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, kemudian berkembang menjadi

mual, muntah, dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf

parasimpatis.

7

Page 8: Presentasi Kasus Oksa

PENYEBAB

Vertigo Perifer Vertigo Sentral

·     BPPV

·     Labirinitis

·     Vestibular neuritis

·     Meniere’s Disease

·     Labyrinthie Ischemia

·     Trauma

·     Toxin

·   Vascular

·   Demyelinating

·   Neoplasm

Demam Typhoid

Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat demam 2 minggu sebelumnya, demam

biasanya diakibatkan oleh suatu infeksi. Infeksinya dapat disebabkan berbagai macam

mikroorganisme. Menurut keterengan pasien 5 bulan sebelumnya pasien pernah di rawat di RS

dengan diagnosa demam typhoid. Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah

penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam

yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran.6

Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel,

dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa

kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid

akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.6

8

Page 9: Presentasi Kasus Oksa

Patogenesis

Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian

melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan

limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-

organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke

dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid

usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat

mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang

dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh

kelainan pada usus.6

Gejala Klinis

Masa inkubasi Demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara tiba-

tiba atau berangsur angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit

kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Pada minggu pertama demam (suhu

berkisar 39-400C), nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare,

perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu kedua demam, bradikardi, lidah khas

berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.

Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam terutama

pada sore hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi,

kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian antipiretik, tidak ada

menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal :

bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak

kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada

permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi.6

9

Page 10: Presentasi Kasus Oksa

Patofisiologi Vertigo et causa

Thypoid

10

Infeksi typhoid

Mengeluarkan endotoksin

Rangsang Sel-sel peradangan

Rangsang aktivitas reseptor dopamine

2

Rangsang Chemoreseptor

Trigger Zone

Pusat muntah di otak

Mual dan muntah

Mediator kimiawi

Histamin Pirogen endogen

Meningkatkan thermostat

tubuh di hipotalamus

menjadi lebih tinggi dari

normal

demam

Reseptor histamine

yang menyebar di

central nervous system

Memodulasi aktivitas sel-sel nukleus vestibular

Nistagmus vertigo Gangguan keseimbangan

Page 11: Presentasi Kasus Oksa

Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara biakkan bakteri Salmonella spp dalam cairan

kandung empedu penderita. Pemeriksaan lain yaitu menguji sampel feses atau darah untuk

mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah

pada hari 14 pertama setelah terinfeksi.6 Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga

serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan

ditemukannya Salmonella.

Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan

semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari

menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis

positif dari infeksi aktif demam tifoid.6,7

Pemeriksaan berikutnya yang cukup membantu menegakkan diagnosis tifoid adalah IgM

Salmonela (Tubex TF). Pemeriksaan ini menghasilkan hasil positif di saat panas haru ke 4 atau

5, dan sebagian akan bertahan tetap positif sampai 35 hari atau ada yang sampai 2 bulan masih

positif.

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni

polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah

demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti

terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis

polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.

Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu

khas seperti di atas. Pada beberapa kasus yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya

mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak

semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.

Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang serta daya tahan tubuh.

Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan

oleh sistem pelindung tubuh manusia.6

11

Page 12: Presentasi Kasus Oksa

Penatalaksanaan

Management atau penatalaksanaan secara umum meliputi managemen medikamentosa,

managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan aspek penting dalam

pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,

yaitu: 7

1. Managemen Medikamentosa

A. Etiologik

Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau

kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga

adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali

pemberian, oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun.

Pada keadaan malnutrisi atau penyulit lain diberikan hingga 21 hari. Bilamana terdapat

indikasi kontra pemberian kloramfenikol

Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol ampisilin dengan dosis 200

mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum

obat, selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan kloramfenikol

Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,

oral/intravena selama 21 hari. Efeknya setara dengan kloramfenikol namun efek

penurunan demamnya lebih lambat.

Kotrimoksasol dengan dosis TMP 10 mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi dan S paratyphi A11

S.typhi S.paratyphi A

Ceftriaxon 92,6 100

Kloramfenikol 94,1 100

Tetrasiklin 100 100

Trimetoprim-Sulfametoksazol 100 100

Ciprofloksasin 100 100

12

Page 13: Presentasi Kasus Oksa

Levofloksasin 100 100

Pada kasus berat, dapat diberi sefalosporin generasi 3

Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2 kali sehari selama 5-7 hari,

maksimal 4 mg/hari.

Cefotaxim dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali pemberian.

Cefixim merupakan pilihan alternatif, terutama pada kasus leukosit < 2000/uL dengan

pemberian oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari.

Kuinolon baik diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan pemberiannya pada anak-

anak.

Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan

antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

Penggunaan Glukokortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan kesadaran

(delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg IV,

selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian.

DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosa klinik : pusing berputar onset akut berulang, mual, dan muntah

Diagnosa topik : organ vestibuler, organ non-vestibuler

Diagnosa etiologik : Central : -vaskulogenik

-hemodinamik

Perifer : -otogenik

-infeksi

13

Page 14: Presentasi Kasus Oksa

DATA OBYEKTIF

Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis (tanggal 02 Juni 2015)

Tekanan darah          : 120/80 mmHg

Denyut nadi              : 73 x/menit

Pernapasan                : 20 x/menit

Suhu                          : 36 oC

Keadaan umum         : baik

Kesadaran                 : GCS E4V5M6

Kepala                       : mesocephal

Mata : edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/, pupil isokor 3 mm,

RCL +/+, RCTL +/+, refleks kornea +/+, tes nistagmus -.

Telinga : OD à bentuk normal, lubang lapang, serumen -, MT intak, OS à bentuk normal,

lubang lapang, serumen -, MT intak

Mulut : Lidah Coated Tongue

Leher                        : simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi

trakhea, tidak terdapat pembesaran KGB, kaku kuduk -, meningeal sign -.

Thorax                      : Cor dan pulmo dalam batas normal.

Abdomen                 : Supel, datar, BU meningkat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas : Edema -, sianosis -, CRT < 2”, parese (-), plegi (-)

14

Page 15: Presentasi Kasus Oksa

STATUS NEUROLOGIS

Sikap tubuh   : normal

Gerakan abnormal    : –

NERVUS KRANIALIS

N I (Olfaktorius)                              Kanan                     Kiri

Daya Penghidu                               N                            N

N II (Optikus)

Daya penglihatan                           N                            N

Pengenalan warna                          N                            N

Medan penglihatan                         N                            N

N III (Okulomotorius)

Ptosis                                               –                              –

Gerakan bola mata ke

Superior                                    N                            N

Inferior                                     N                            N

Medial                                      N                            N

Ukuran pupil                               3 mm                      3 mm

Bentuk pupil                                bulat                       bulat15

Page 16: Presentasi Kasus Oksa

Reflek cahaya langsung                  +                             +

Reflek kornea                                 +                             +

N IV (Troklearis)                                 

Gerak bola mata ke lateral bawah  N                            N

Diplopia                                           –                              –

Strabismus                                       –                              –

N V (Trigeminus)     

Menggigit                                       N                            N

Membuka mulut                             N                            N

N VI ( Abdusens)

Gerakan mata ke lateral                  N                            N

N VII (Facialis)                                     

Kerutan kulit dahi                          N                            N

Kedipan mata                                 N                            N

Mengerutkan dahi                          N                            N

Mengerutkan alis                            N                            N

Menutup mata                                N                            N

Lipatan nasolabial                          N                            N

Sudut mulut                                   N                            N16

Page 17: Presentasi Kasus Oksa

Meringis                                         N                            N

Menggembungkan pipi                   N                            N

Lakrimasi                                     +                          +

N VIII (Akustikus)

Mendengar suara                            +                             +

Mendengar detik arloji                   +                             +

N IX (Glosofaringeus)

Daya kecap lidah 1/3 belakang       +                             +

Reflek muntah                                +                             +

Sengau                                             –                              –

Tersedak                                          –                              –

N X (Vagus)

Denyut nadi                            73x/ menit              73x/menit

Bersuara                                          +                             +

Menelan                                          +                             +

N XI (Asesorius)

Memalingkan kepala                       +                             +

Sikap bahu                                      N                            N

Mengangkat bahu                           N                            N17

Page 18: Presentasi Kasus Oksa

Trofi otot bahu                           eutrofi                    eutrofi

N XII (Hipoglosus)

Sikap lidah                                     N                            N

Tremor lidah                                    –                              –

Menjulurkan lidah                           +                             +

Trofi otot lidah                           eutrofi                    eutrofi      

ANGGOTA GERAK

Gerakan B B Kekuatan 5/5/5/5 5/5/5/5 Tonus + +

B B 5/5/5/5 5/5/5/5 + +

Refleks Fisiologis + + Refleks Patologis - - Trofi eutrofi eutrofi

+ + - - eutrofi eutrofi

Clonus -/-

Sensibilitas      : dalam batas normal

Vegetatif         : dalam batas normal

Pemeriksaan tambahan

Romberg test: +

Nistagmus: +

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin :

Hemoglobin : 15,5 Limfosit : 1,8

18

Page 19: Presentasi Kasus Oksa

Leukosit : 6400

Eritrosit : 5,15 jt

Hematokrit : 46,2%

Trombosit : 262.000

Monosit : 0,1

Eosinofil : 0,1

Basofil : 0,0

Neutrofil : 4,4 Kimia darah:

Kolesterol : 159

Trigliserida : 82

HDL : 37

LDL : 105,6

Asam Urat : 5,85

Ureum : 29,45

Kreatinin : 0,85

Anti Salmonella IgM : 7 (positif kuat)

Rontgen servikal AP/Lateral/Obliq :

o Alignment lordotik

o Tak tampak kompresi

o Tak tampak penyempitan foramen intervertebralis

DISKUSI II

Pada pemeriksaan bagian kepala, di bagian lidah terdapat tanda khas berupa coated

tongue salah satu ciri dari infeksi typhoid. Coated tongue adalah lapisan berwarna putih, kuning,

atau kecoklatan di atas permukaan lidah yang disebabkan oleh adanya akumulasi dari bakteri,

debris makanan, leukosit dari poket periodontal dan deskuamasi sel epitel. Selain itu pada pasien

ditemukan adanya nyeri tekan di bagian perut yang mengarah terhadap suatu proses patologis

pada organ dalam perut. Pada kasus ini khususnya ke infeksi saluran pencernaan.

Untuk menegakan diagnosis vertigo diambil dari pemeriksaan fisik, melaui pemeriksaan

fisik kita dapat membedakan adanya proses patologis di perifer atau di sentral. Pada pasien

dilakukan pemeriksaan Romberg’s Test:

19

Page 20: Presentasi Kasus Oksa

\

Romberg’s Test

Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih dapat

berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memiliki instabilitas yang parah dan sering

kali tidak dapat berjalan. Walaupun Romberg’s sign konsisten dengan masalah vestibular atau

propioseptif, hal ini tidak dapat digunakan dalam mendiagnosis vertigo. Pada sebuah studi,

hanya 19% sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang

lebih serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada vertigo) misalnya drug related vertigo,

seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event3.

Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka

kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa

penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara

tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang

menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.

Sedangkan pada kelainan serebellum badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka

maupun pada mata tertutup. Pada pasien ini hanya bergoyang menjauhi garis tengah saat mata

tertutup.

Pada pemeriksaan motorik didapatkan sistem motorik masih dalam batas normal, fungsi

vegetatif masih dalam batas normal sehingga vertigo sentral dapat dihilangkan. Hal ini

memungkinkan bahwa vertigo yang terjadi bersifat otogenik.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, darah rutin dalam batas normal, kimia darah

dalam batas normal, namun ditemukan tes Tubex untuk salmonella positif kuat. Igm untuk

salmonella yang positif kuat ini membuktikan bahwa pada pasien memang sedang terjadi infeksi

oleh salmonella typhosa. Akan tetapi dalam kasus ini mungkin gejala klinis nya tidak terlalu

muncul. Pada pemeriksaan x-foto cervical tidak ditemukan adanya kelainan artinya kita dapat

mengesampingkan penyebab vertigo yang di akibatkan gangguan saraf di leher.

20

Page 21: Presentasi Kasus Oksa

DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis klinik          : vertigo akut, mual, muntah, riwayat febris

Diagnosis topik           : organ vestibularis, chemoreseptor trigger zone

Diagnosis etiologik     : vertigo vestibular perifer et causa infeksi typhoid

PENATALAKSANAAN

Pada pasien ini diberikan terapi:

Piracetam 2 x 3 gr

Ranitidin 2 x 1 amp

Meticobalamin 1 x 1 amp

Clobazam 2 x 5 mg

Betahistin 3 x 1 tab

Ceftriaxone 2 x 1 gr

Paracetamol 3 x 500 mg (KP)

DISKUSI III

Piracetam

Berperan untuk meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktivitas adenylat siklae

yang merupakan kunci metabolisme energi, meningkatkan sintesis dan pertukaran cytochrome

21

Page 22: Presentasi Kasus Oksa

B5 yang merupakan komponen kunci dalam transport elektron. Piracetam digunakan untuk

memperbaiki defisit neurologis.

Metilcobalamin

Merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan dalam reaksi

transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12

lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.

Methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin

bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin

pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan

mecobalamin mempercepat sintesis Lesitin, suatu komponen utama dari selubung

mielin.Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel saraf.

Clobazam

Merupakan golongan benzodiazepin yang bekerja berdasarkan potensial inhibisi neuron

dengan GABA sebagai mediator. Clobazam memiliki efek antikonvulsi, ansiolitik, sedatif, dan

relaksasi otot.

Betahistin

Mengurangi vertigo dengan memperlebar sphincter prekapiler sehingga meningkatkan

aliran darah pada telinga bagian dalam. Betahistin juga memperbaiki sirkulasi serebral dan

meningkatkan sirkulasi serebral dan meningkatkan aliran darah arteri karotis interna.

Ceftriaxone

Ceftriaxone merpakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan

waktu paruh eliminiasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif.

Ceftriaxone juga stabil terhadap enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri.

Ranitidin

22

Page 23: Presentasi Kasus Oksa

Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat

lain. Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin

pada reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.

Paracetamol

Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi

prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol

menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan

Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.

Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang

menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai

sedang.

PROGNOSIS

Death              : dubia ad bonam

Disease            : dubia ad bonam

Disability         : dubia ad bonam

Discomfort      : dubia ad bonam

Dissatisfaction : dubia ad bonam

Distitution       : dubia ad bonam

23

Page 24: Presentasi Kasus Oksa

FOLLOW UP

TGL S O A P

01/06/15

Pasien merasa

jauh lebih enak,

tapi masih sulit

tidur

KU: tampak sakit

sedang

Kes: CM

TD: 110/70

N: 68 x/m

S: 36,4oC

Vertigo–   Betahistin 3 x 1

–   Ondansetron 3 x 1

02/06/15

Pasien merasa

pusing kembali

pada sore hari.

Telinga agak

berdenging

KU: tampak sakit

sedang

Kes: CM

TD: 120/80

N: 74 x/m

S: 36,5oC

Vertigo

–     Inj. Piracetam 2 x 3 gr

–     Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

–     Inj. Mecobalamin 1 x 1

–     Clobazam 2 x 1

–     Betahistin 3 x 1

–     Ceftriaxone 2 x 1 gr

03/06/15 Pasien masih

merasa pusing,

telinga

KU: tampak sakit

sedang

Vertigo –     Inj. Piracetam 2 x 3 gr

24

Page 25: Presentasi Kasus Oksa

berdenging,

merasa mual

Kes: CM

TD: 155/104

N: 80 x/m

S: 36,5oC

–     Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

–     Inj. Mecobalamin 1 x 1

–     Clobazam 2 x 1

–     Betahistin 3 x 1

–     Ceftriaxone 2 x 1 gr

04/06/15Keluhan

membaik

KU: tampak sakit

sedang

Kes: CM

TD: 110/80

N: 80 x/m

S: 36,5oC

Vertigo

–     Inj. Piracetam 2 x 3 gr

–     Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

–     Inj. Mecobalamin 1 x 1

–     Clobazam 2 x 1

–     Betahistin 3 x 1

–     Ceftriaxone 2 x 1 gr

05/06/15Tidak ada

keluhan

KU: tampak sakit

sedang

Kes: CM

TD: 120/80

N: 80 x/m

S: 36,5oC

Vertigo

–     Inj. Piracetam 2 x 3 gr

–     Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

–     Inj. Mecobalamin 1 x 1

–     Clobazam 2 x 1

–     Betahistin 3 x 1

–     Ceftriaxone 2 x 1 gr

 

25

Page 26: Presentasi Kasus Oksa

DAFTAR PUSTAKA

1. 2004. Vertigo: aspek neurologi. Bogor: Cermin Dunia Kedokteran.

2. Longo, D.L., kasper, D.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L. & Loscalzo, J. 2011.

Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill.

3. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness

and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)

4. Luxon, L. M. 2004. Evaluation and Management of The Dizzy Patient. Journal

Neurology and Neurophysiology. 75 (4) p 45-52.

5. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family

Physician March 15,2005:71:6.

6. Widodo, D., Demam tifoid buku ajar penyakit dalam 2009, jakarta: Interna publising

7. WHO, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003, Geneva:

Department of Vaccines and Biologicals.

26