Upload
rhandy-septianto
View
223
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI KASUS
APENDISITIS AKUT
Disusun oleh:
Avissa Mada Vashti (1111103000042)
Farah Nabilla Rahma (1111103000035)
Yofara Maulidia Muslihah (1111103000045)
Elsa Amelia Firdaus(1111103000097)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN EMERGENCY
RSUP FATMAWATI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. FH
No. RM : 01376149
Usia : 12 Tahun 8 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Tanggerang-Bnten
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis di IGD RSUP Fatmawati
pada tanggal 5 Maret 2015.
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan rasa nyeri di bagian perut kanan bawah yang memberat sejak
3 hari SMRS. Sebelumnya pasien sudah merasakan adanya nyeri di lokasi yang sama 2
minggu yang lalu. Nyeri dirasakan diawali dengan adanya nyeri ulu hati, mual, dan
muntah berisi air. Nafsu makan juga dirasakan menurun. Pasien juga mengalami
demam.Pasien sudah berobat ke klinik 2 kali, diberikan antibiotik, antinyeri, dan anti
mual. Nyeri sempat menghilang namun sekarang timbul lagi.Saat ini BAB cair dengan
frekuensi 3-4 kali sehari, berwarna kuning dan berbau seperti busuk. BAK dirasakan
nyeri.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya. Riwayat radang
usus buntu disangkal oleh pasien. Riwayat gastritis disangkal. Riwayat hipertensi dan
diabetes melitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus dalam keluarga disangkal pasien.
Riwayat Sosial
Pasien makan teratur 3 kali sehari. Jarang makan buah dan sayuran. Pasien tidak
merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 30 kg
TB : 145
Suhu : 36.1 ˚ C axila
Primary survey
a. Airway :bebas
b. Breathing : spontan, frekuensi napas 20 x/ menit
c. Circulation :
TD : 100/70mmHg
Nadi :72x/menit
CRT : <2detik
d. Dissability : GCS 15
Secondary Survey
Kepala : tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva pucat- ,sklera ikterik -/-,sekret -/-, pupil bulat isokor +/+,
RCL +/+ RCTL +/+
Telinga : Normotia +/+
Hidung : tidak ada kelainan
Leher : Trakea lurus di tengah,pembesaran tiroid -, KGB tidak membesar
Mulut : mukosa mulut lembab
PEMERIKSAAN JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI, 1cm lateral linea midclavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS VI 1 cm lateral linea midklavikula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III Linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1S2 reguler, Murmur (-), Gallop(-)
P EMERIKSAAN PARU
Inspeksi : Pergerakan dada simetris statis dinamis.
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus pada hemitoraks sama, massa (-)
Perkusi : Sonor padakedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : tampak datar, tidak ada massa.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : pada perabaan nyeri tekan McBurny +, massa -, rovsing sign +, Psoas
sign +, obturator sign -.
Perkusi : timpani, shifting dullness (–)
EKSTREMITAS
Akral hangat, CRT < 3 detik, edema -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
22/07/2015 02:03 dilakukan di RS. Sari Asih
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12 g/dl 12.3-18
Leukosit 17900 /ul 4500-11000
Hematokrit 36 ul 40-45
Trombosit 276 1000/ul 150-449
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-3
Netrofil 87 % 40-70
Limfosit 7 % 20-40
Monosit 6 % 4-8
Pemeriksaan Laboratorium (22.07.2015 11:33:31)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Urinalisa
Urobilinogen 0.2 E.U/dl <1
Albumin negatif Negatif
Berat Jenis 1.020 1.005-1.020
Birilubin negatif Negatif
Keton negatif Negatif
Nitrit negatif Negatif
PH 6.0 4.8-7.4
Leukosit Negatif Negatif
Darah/HB Trace Negatif
Glukosa urin/
Reduksi
Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih Jernih
Sedimen Urin
Epitel Positif
Leukosit 2-3 /LPB 0-5
Eritrosit 1-2 /LPB 0-2
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-Lain Negatif Negatif
22-07-2015 (20:35:18)
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12.3 g/dl 11.8-15
Leukosit 12.3 ribu/ul 4.5-13.5
Hematokrit 38 % 33-45
Trombosit 276 1000/ul 150-449
Eritrosit 4.90 Juta/ul 4.40-5.90
VER 78.3 fl 80-100
HER 25.0 pg 16-34
KHER 31.9 g/dl 32-36
RDW 14.2 % 11.5-14.5
Hemostasis
APTT 37.2 detik 28-37.9
Kontrol APTT 30.7 detik -
PT 13 detik 12.7-16.1
Kontrol PT 13.6 Detik -
INR 0.94 Detik -
Kimia Klinik
Fungsi Hati
SGOT 31 U/l 0-34
SGPT 13 u/L 0-40
Fungsi Ginjal
Ureum darah 19 mg/dl 0-48
Kreatinin darah 0.5 Mg/dl 0.0-0.9
Elektrolit darah
Natrium 131 mmol/l 135-147
Kalium 3.71 Mmol/l 3.10-5.10
Klorida 101 Mmol/l 95-108
E. RESUME
Pasien Tn.TA 21 tahun datang ke RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri perut
bagian kanan bawah sejak 3 hari SMRS. 2 minggu sebelumnya pasien mengalami hal
yang sama yang didahului nyeri ulu hati, mual, dan muntah. Pasien diberi obat dari klinik
berupa antibiotik, antinyeri, dan obat anti mual. Nyeri sempat menghilang kemudian
muncul kembali 3 hari yang lalu. Saat ini BAB pasien cair 3-4 kali sehari. BAK pasien
dirasakan nyeri.Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120 / 80 mmHg,
HR 104x/menit, RR 20x/menit, Suhu 37,80C. Pada pemeriksaan fisik abdomen
didapatkan nyeri tekan McBurny+, Psoas sign +, Rovsing sign+. Dari hasil laboratorium
didapatkan leukositosis dan anemia.
F. Diagnosis
Appendisitis akut
G. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
Puasa sebelum operasi
Medikamentosa
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam
Cefotaxim 3x500 mg (iv)
Paracetamol 3x500 mg (iv)
Anti emetik = Omeprazole 2 x 40 mg inj
Puasa sebelum operasi
Operatif
Appendektomi cito
H. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungtionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung dimana bentuk lumennya menyempit
pada bagian proksimal dan melebar pada bagian distal, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm) dengan panjang rata-rata apendiks adalah 8-10 cm (berkisar 2-20 cm)
dan berpangkal di sekum. Apendiks muncul selama bulan kelima masa gestasi dan
beberapa folikel limfoid tersebar di mukosanya.Folikel limfoid tersebut meningkat
jumlahnya ketika individu berusia 8-20 tahun.Lapisan otot apendiks terbagi menjadi dua,
bagian luar berbentuk longitudinal sedangkan bagian dalamnya berbentuk sirkular,
diantara kedua lapisan otot tersebut terdapat lapisan submukosa yang terdiri dari jaringan
limfoepitelial.Lapisan mukosanya terdiri dari epitel kolumnar dengan beberapa kelenjar
dan sel argentaffin neuroendokrin.
Bentuk anatomis apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada bagian proksimal
dan menyempit pada bagian distal.Keadaan ini dapat menjadi sebab rendahnya insidensi
apendisitis pada bayi. Pada bayi dan anak, dinding apendiks masih belum sempurna oleh
karena lumen apendiks yang masih tipis dan omentum yang belum
berkembang.Sedangkan pada lansia, lumen apendiks umumnya tidak dapat ditemukan
karena lumen apendiks seringkali sudah tertutup sepenuhnya.
Sebagian besar yaitu sekitar 65%, letak apendiks di intraperitoneal yang
memungkinkan apendiks bergerak dengan ruang gerak yang bergantung pada panjang
mesoapendiks. Selain itu, letak apendiks ada yang di retroperitoneal yaitu dibelakang
sekum, dibelakang kolon asenden, atau di tepi lateral kolon asenden. Letak apendiks
tersebut akan menentukan gejala klinis yang timbul pada apendisitis.
Gambar 2.1 Letak
Sumber : Harold Ellis, 2006
Persarafanpada jaringan apendiks yaitu persarafan parasimpatis yang berasal dari
cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis
dan persarafan simpatis yang berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu, nyeri
visceral pada apendisitis diawali nyeri di periumbilikal atau di epigastrium.
Gambar 2.2 Suplai
Darah Pada Jaringan Apendiks
Sumber : Harold Ellis, 2006.
Pada jaringan apendiks, arteri apendiks terdapat di dalam lipatan mesenterika, yang
merupakan cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan berdekatan dengan dinding
apendiks. Suplai darah apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika terjadi sumbatan pada arteri tersebut, misalnya karena trombosis
pada infeksi, apendiks dapat menjadi gangrene. Drainase vena apendiks melalui vena
ileokolika dan vena kolik kanan ke vena portal, dan drainase limfatik apendiks terjadi
melalui nodus ileokolika sepanjang perjalanan mesenterika arteri superior ke kelenjar
celiac dan cisterna chyli.
Dalam sehari mukus yang dihasilkan jaringan apendiks sekitar 1-2 mL.Pada
keadaan normal, mukus tersebut mengalir ke dalam lumen dan menuju sekum.Aliran
mukus yang terhambat pada muara apendiks berperan pada patogenesis apendisitis.
GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) mensekresikan IgA pada jaringan
apendiks, dimana IgA sangat efektif sebagai proteksi terhadap infeksi. Namun, sistem
imun tubuh tidak terlalu dipengaruhi dengan pengangkatan jaringan apendiks karena
jumlah jaringan limfoid pada apendiks hanya sebagian kecil dari jumlah jaringan limfoid
yang ada di sepanjang saluran cerna dan seluruh tubuh.
2.1.2. Apendisitis Akut
2.1.2.1. Epidemiologi
Insidensi apendisitis akut kian menurun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir ini.
Penurunan ini terjadi karena semakin meningkatnya konsumsi makanan berserat pada
penduduk dalam menu makanan sehari-harinya. Setiap tahunnya di Amerika Serikat,
dilaporkan sebanyak 250.000 kasus yang mewakili 1 juta pasien. Sejak akhir tahun 1940,
insiden apendisitis akut terus menurun dan kejadian tahunan saat ini adalah 10 kasus per
100.000 penduduk. Apendisitis terjadi pada 7% dari penduduk AS, dengan kejadian 1,1
kasus per 1000 orang per tahun. Sedangkan di negara Asia dan Afrika, kejadian
apendisitis akut lebih rendah karena letak geografinya dan penduduknya yang memiliki
kebiasaan untuk memakan makanan berserat. Di Indonesia, apendisitis menempati urutan
tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya.
Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok usia, mulai dari bayi, anak,
remaja, dewasa, hingga lansia. Menurut buku ajar ilmu bedah, insidensi tertinggi
apendisitis akut terjadi pada kelompok usia dewasa yaitu usia 20-30 tahun dan akan
berkurang pada usia selanjutnya.
Untuk pasien anak, apendisitis akut sering terjadi pada rentang usia 6-10 tahun
dan 50-85% kasus apendisitis akut pada anak baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Tingginya kejadian perforasi apendiks pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang
belum sempurna dimana lumen apendiks masih tipis, omentum belum berkembang, dan
daya tahan tubuh yang belum sempurna dapat membuat proses perforasi berlangsung
cepat. Selain itu, pasien anak biasanya kurang mampu untuk menggambarkan rasa nyeri
yang timbul sehingga memperlambat waktu untuk diagnosis. Keadaan ini juga dapat
terjadi pada pasien lansia dimana dilaporkan kejadian perforasi apendiks sekitar 60%. Hal
ini disebabkan oleh karena pada pasien lansia telah terjadi perubahan anatomi apendiks
yaitu lumen apendiks menyempit, terjadi arteriosklerosis sehingga sering menimbulkan
gejala yang tidak spesifik dan keterlambatan diagnosis.
Berdasarkan jenis kelamin, kejadian apendisitis akut umumnya sama antara laki-
laki dan perempuan. Namun, pada laki-laki dewasa usia 20-30 tahun insidensi apendisitis
akut lebih tinggi yaitu 1.4 kali lebih besar.Rasio perbandingannya antara laki-laki dan
perempuan adala 3:2. Sedangkan menurut buku ajar patologi, rasio kejadian apendisitis
akut antara laki-laki dan perempuan yaitu 1.5 : 1.1,5Angka mortalitas apendisitis secara
keseluruhan 0,2-0,8% yang disebabkan oleh komplikasi pada intervensi bedah dan
keterlambatan diagnostik. Pada pasien anak, angka mortalitasnya 0,1%-1%, pada pasien
dengan usia lebih dari 70 tahun, angka mortalitasnya diatas 20%, hal ini terjadi terutama
karena keterlambatan diagnostik dan terapi.
2.1.2.2 Etiologi
Apendisitis akut umumnya terjadi karena adanya infeksi bakteri.Ada berbagai
keadaan yang berperan sebagai faktor pencetusnya.Lumen apendiks yang tersumbat
merupakan faktor pencetus terjadinya apendisitis akut.Keadaan yang dapat membuat
sumbatan pada lumen apendiks yaitu hiperplasia jaringan limfe, adanya fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris pada jaringan apendiks.Selain itu, erosi pada mukosa
apendiks akibat parasit seperti E.histolytica diduga dapat pula menimbulkan peradangan
pada apendiks.
Studi epidemiologi menyatakan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah
serat dapat menimbulkan kejadian konstipasi yang berpengaruh terhadap kejadian
apendisitis. Tekanan intrasekal akan meningkat karena adanya konstipasi yang dapat
berakibat timbulnya obstruksi fungsional pada jaringan apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal pada kolon.
a. Obstruksi Lumen Apendiks
Obstruksi lumen apendiks adalah penyebab utama apendisitis akut. Obstruksi
lumen akan menstimulus sekresi mukus pada mukosa apendiks. Hal tersebut
akanmeningkatkan tekanan dalam lumen dimana tekanannya melebihi tekanan pada
submukosa venula dan limfatik sehingga menyebabkan distensi jaringan
apendiks.Keadaan itu membuat semakin meningkatkan tekanan pada dinding apendiks
dan dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi dan limfatik sehingga dapat terjadi
iskemia pada mukosa apendiks dan berakhir dengan nekrosis jaringan.Dalam keadaan
normal, kapasitas lumen apendiks sekitar 0,1 mL dan jaringan apendiks dapat
menghasilkan sekitar 1-2 mL mukus perhari. Adanya obstruksi pada lumen apendiks
akan meningkatkan produksi mukus sekitar 0,5 mL, yang akan meningkatkan tekanan
intraluminal sehingga menstimulus serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada abdomen di bawah epigastrium.
Apendiks yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Ketika tekanan intraluminal meningkat, maka akan mengganggu
aliran limfatik sehingga terjadi edema yang lebih hebat. Hal tersebut semakin
meningkatkan tekanan intraluminal apendiks dan menyebabkan gangguan aliran
vaskularisasi apendiks sehingga dapat terjadi iskemia jaringan intraluminal apendiks,
infark, dan gangrene.Setelah itu bakteri dapat melakukan invasi ke dinding apendiks.
Invasi bakteri akan menstimulasi pelepasan mediator inflamasi. Dan ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding apendiks terhubung dengan peritoneum parietal,
serabut saraf somatik akan teraktivasi sehingga terasa nyeri lokal pada titik McBurney.
b. Peran Flora Normal Pada Kolon
Jaringan apendiks yang meradang memiliki flora yang berbeda dengan flora
normal apendiks pada umumnya, dimana 60% cairan aspirasi dari apendisitis ditemukan
bakteri jenis anaerob, sedangkan pada cairan aspirasi apendiks normal hanya ditemukan
sekitar 25%. Hal ini terjadi ketika ada obstruksi pada lumen apendiks dapat
meningkatkan tekanan intraluminal dan menganggu aliran darah serta limfatik sehingga
pertahanan mukosa terganggu dan terjadi iskemia pada jaringan intraluminal apendiks
yang memudahkan bakteri untuk invasi ke mukosa apendiks.
Apendisitis merupakan penyakit infeksi dengan polimikrobial. Dalam beberapa
studi dilaporkan bahwa terdapat 14 mikroorganisme yang berbeda yang ditemukan pada
pasien apendisitis perforata. Bakteri yang umumnya terdapat di jaringan apendiks normal,
apendisitis akut, dan apendisitis perforata adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis.
2.1.2.3. Patologi
Peradangan pada jaringan apendiks diawali pada bagian mukosa, kemudian
mengenai seluruh lapisan dinding apendiks. Proteksi dari tubuh dalam membatasi
terjadinya proses peradangan tersebut yaitu adanya omentum, usus halus, atau adneksa
yang menutupi apendiks sehingga terbentuk massa periapendikuler.Sementara itu, dalam
waktu 24-48 jam pertama, peradangan apendiks sudah dapat mengenai seluruh lapisan
dinding apendiks, dimana dapat terjadi nekrosis jaringan yang dapat membentuk abses
sehingga dapat terjadi perforasi pada tahap selanjutnya.Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.Apendiks yang pernah mengalami peradangan tidak
akan kembali ke bentuk normal atau sembuh sempurna melainkan membentuk jaringan
parut yang melekat dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan ini dapat menimbulkan
keluhan nyeri berulang di regio abdomen kanan bawah.Jika terjadi peradangan akut
kembali pada jaringan apendiks tersebut maka dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.
2.1.2.4. Gambaran Klinis
Nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah
epigastrium atau di periumbilikus adalah gejala klasik dari apendisitis yang dapat disertai
dengan keluhan mual dan muntah. Selain itu, nafsu makan pada penderita apendisitis akut
akan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan migrasi ke titik McBurney yaitu pada
kuadran kanan bawah abdomen, dimana nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Rasa nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen bisa tidak begitu jelas apabila letak apendiks di retrosekal retroperitoneal, rasa
nyeri lebih dirasa kearah abdomen sisi kanan dan timbul ketika sedang berjalan karena
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Bila apendiks terletak di rongga pelvis, peradangan pada apendiks dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis
meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat. Bila jaringan apendiks melekat
pada vesica urinaria, peradangan pada apendiks dapat menimbulkan stimulus terhadap
dinding vesica urinaria sehingga untuk gejalanya terjadi peningkatan frekuensi urinasi.
Pada bayi dan anak, gejala apendisitis akut tidak spesifik karena bayi dan anak
kurang mampu menggambarkan rasa nyeri yang dialaminya. Gejala awalnya biasanya
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Beberapa jam kemudian, anak
akan muntah dan menjadi lemah dan letargik. Hal ini menyebabkan insidensi apendisitis
perforasi tinggi pada usia bayi dan anak yaitu sekitar 80-90%.
2.1.2.5. Pemeriksaan
Tabel 2.1. Gambaran Klinis Apendisitis Akut
Gambaran Klinis Apendisitis Akut
Tanda awal
- Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai
mual dan anoreksia
Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda
rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney
- Nyeri tekan
- Nyeri lepas
- Defans muscular
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
- Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing sign)
- Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign)
- Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti
napas dalam, berjalan, batuk, mengedan
Sumber :Sjamsuhidayat, 2011
Pada pemeriksaan fisik untuk pasien apendisitis akut, umumnya terjadi
peningkatan suhu sekitar 37.5-38.50C, bila suhu lebih tinggi, kemungkinan sudah terjadi
perforasi.Tidak ditemukan gambaran spesifik pada pemeriksaan inspeksi
abdomen.Ditemukan adanya nyeri tekan pada regio iliaka kanan, disertai nyeri lepas pada
pemeriksaan palpasi abdomen.Selain itu, ditemukan adanya defans muskular yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Ditemukan juga tanda Rovsing
yaitu ketika abdomen sebelah kiri bawah ditekan, akan dirasakan nyeri diabdomen
sebelah kanan bagian bawah. Pada pemeriksaan auskultasi abdomen, umumnya bising
usus normal, tetapi bisa saja hilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis
generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata.Pada apendisitis pelvika, nyeri
dapat dirasakan saat pemeriksaan colok dubur. Namun, bila peradangan apendiks
menempel pada otot psoas mayor, maka akan ditemukan rasa nyeri pada uji psoas. Uji
psoas dilakukan dengan memberi stimulus pada otot psoas melalui hiperekstensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.Selain
itu, bila apendisitis bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan dinding
panggul minor, dapat dirasakan nyeri saat dilakukan uji obturator yaitu melalui gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang.
2.1.3. Skor Alvarado
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana untuk mendiagnosis apendisitis
akut pada usia dewasa. Sistem skoring ini dibuat oleh Alfredo Alvarado pada tahun 1986
untuk mendiagnosis pasien apendisitis pada penelitian kohort terhadap 305 pasien suspek
apendisitis di Nazareth Hospital, Philadelphia, United States of America. Sistem skoring
ini didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda, dan dua temuan laboratorium sederhana yang
sering didapatkan pada pasien apendisitis akut.
Penelitian di Armed Forces Hospital, Saudi Arabia tahun 2001-2002 pada 125
pasien suspek apendisitis menghasilkan sensitifitas skor Alvarado 53.8% dan spesifisitas
80% untuk semua pasien, pada pasien wanita sensitifitas skor Alvarado 48% dan
spesifisitas 62.5% sedangkan untuk pasien laki-laki sensitifitas skor Alvarado 54.6% dan
spesifisitas 100%.
Tabel 2.2. Skor Alvarado
Characteristics Score
3 Symptoms
Migration of pain to the right lower quadrant
1
Nausea and vomiting 1Anorexia 13 signsTenderness in right iliac fossa 2
Rebound tenderness in right iliac fossa 1Elevated temperature 12 Laboratory findingLeukocytosis 2Shift to left of neutrophils 1Total 10
Sumber :Tamanna Zikrullah, 2012
Sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sistem skoring sederhana ini
dapat menentukan tindakan selanjutnya pada pasien apendisitis akut.
Menurut kepustakaan, skor Alvaradodapat menurunkan kejadian apendisitis
perforasi, menurunkan angka mortalitas dalam 2 tahun terakhir ini, dan dapat
menurunkan nilai negatif apendektomi.Nilai negatif apendektomi merupakan persentase
ditemukannya gambaran jaringan apendiks normal pada pemeriksaan patologi anatomi
pasca apendektomi.Pada studi sebelumnya di Mandeville Regional Hospital tahun 2010
melaporkan bahwa nilai persentase negatif apendektomi 15-40% dan sistem skoring
Alvarado dapat menurunkan nilai negatif apendektomi dari 35.8% menjadi 30.2%
dimanaskor 8-9 memiliki akurasi cukup tinggi sebesar 71-94% karena sesuai dengan
hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Tabel 2.3. Manajemen Apendisitis Akut Berdasarkan Skor Alvarado
Skor Alvarado Manajemen
0-3 Pasien boleh dipulangkan, tidak dilakukan operasi
apendektomi, dan segera kembali ke dokter jika
tidak ada perbaikan dari gejala.
4-6 Observasi selama 12 jam dan setelah 12 jam dinilai
kembali skor Alvaradonya, jika skor tetap 4-6
dengan gejala yang sama tidak ada perbaikan
makadilakukan apendektomi.
7-9 Untuk pasien anak dan laki-laki segera apendektomi,
sedangkan untuk pasien perempuan dilakukan
pemeriksaan laparoskopi terlebih dahulu kemudian
apendektomi.
Sumber : Michael, 2000.
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis ringan (10.000-20.000/uL) dengan peningkatan jumlah neutrophil.
Leukositosis tinggi didapatkan apabila sudah terjadi perforasi dan gangrene. Urinalisa
dapat dilakukan untuk membedakan dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada
appendicitis akut didapatkan ketonuria. Pada perempuan perlu diperiksa tes kehamilan
bila dicurigai kehamilan ektopik
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan dengan menepuan diameter anteroposterior
apendiks yang lebih besar dari 7 mm, penebalan dinding, struktur lumen yang tidak dapat
di kompresi (lesi target), atau adanya apendikolit.
2.1.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi terhadap jaringan apendiks sering digunakan
sebagai gold standar dalam uji diagnositik apendisitis akut, karena memiliki sensitifitas
paling baik diantara pemeriksaan lain.
Bila terjadi peradangan akut pada apendiks dalam pemeriksaan patologi anatomi
pada seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propia apendiks ditemukan adanya
sedikit eksudat, tampak adanya bendungan pada pembuluh subserosa, terdapat infiltrasi
neutrofilik perivaskular ringan, dan terjadi perubahan warna pada membrane serosa
menjadi merah, granular, dan suram. Jika sudah terjadi apendisitis supuratif akut pada
pemeriksaan patologi anatomi akan ditemukan eksudat neutrofilik yang menghasilkan
reaksi fibrinopurulen di atas serosa, abses di dinding usus, disertai ulserasi dan fokus
nekrosis di mukosa. Bila keadaan apendiks kian memburuk, pada stadium selanjutnya
yaitu apendisitis gangrenosa akutakan ditemukan daerah ulkus hijau hemoragik di
mukosa dan nekrosis gangrene hijau tua di seluruh lapisan dinding apendiks.
Gambar 2.3. Apendisitis Akut*
Untuk diagnosis apendisitis akut, gambaran histopatologi yaitu adanya infiltrasi
neutrofilik pada mukosa, submukosa, dan muskularis propia apendiks. Dalam studinya,
Humes menggolongkan 3 terminologi mengenai gambaran jaringan apendiks berdasarkan
hasil pemeriksaan patologi anatomi, yang pertama simple apendicitis yang berarti
adanya inflamasi pada jaringan apendiks tanpa disertai gangren, perforasi dan abses, yang
kedua complicated appendicitisyaitu ditemukan gangrenosa apendiks atau perforasi
apendiks atau abses periapendikular, dan yang terakhir negative appendicectomy artinya
jaringan apendiks yang ditemukan berupa jaringan normal. Selain itu, terdapat beberapa
penyakit yang memiliki gambaran klinis mirip dengan apendisitis akut, diantaranya
adalah limfadenitis mesenterium setelah infeksi virus sistemik, gastroenteritis dengan
adenitis mesenterium, penyakit radang pelvis dengan keterlibatan tuba falopi dan
ovarium, ruptur ovarium saat ovulasi, kehamilan ektopik, dan divertikulitis Meckel.
*Apendiks yang meradang (bawah) tampak merah, membengkak, dan ditutupi oleh eksudat fibrinosa. Sebagai pembanding, apendiks normal (atas).
Sumber : Kumar Vinay, 2007
2.1.5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dapat dilihat berdasarkan usia:
Bayi: stenosis pylorus, obstruksi usus
Anak: intrusepsi, diverticulitis Meckel, gastroenteritis akut, limfadenitis
mesenteric, inflammatory bowel disease.
Dewasa: pieonefritis, colitis, diverticulitis pankreatitis,
Perempuan usia subur: pelvic inflammatory disease (PID), abses tubo-ovarium,
rupture kista ovarium, kehamilan ektopik.
2.1.6. Tatalaksana
1. Pre-operatif
Observasi ketat, tirah baring, dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spectrum luas dan
analgesic dapat diberikan. Pada perforasi appendiks perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi
2. Operatif
Apendiktomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah atau insisi oblik (Mc Arthur Burney). Pada diagnosis belum jelas,
dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah.
Laparoskopi : teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi lebih kecil
3. Pasca-Operatif
Observasi tanda vital,dibaringkan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.
PAda operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga usus
kembali normal. Secara bertahap pasien diberkan minum, makanan saring, makanan
lunak, dan makanan biasa.
2.1.7. Komplikasi
Perforasi usus, peritonitis umum, abses apendiks, tromboflebitis supuratif system
portal, abses subfrenikus, sepsis dan obstruksi usus.
2.1.8.Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan. Tingkat mortalitas sekitar 0,2-0,8% dan disebabkan komplikasi penyakit
pada intervensi bedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Apendiks. In:
Riwanto I, editor. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-dejong. Ed 3. Jakarta: EGC;
2010.
2. Craig S. Appendicitis [Internet]. Medscape; 2012 [updated 2012 Oct 26; cited 2013
Aug 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/773895-
overview#showall.
3. Ellis H. The appendix. In: Sugden M, editor. Clinical anatomy applied anatomy for
students and junior doctor. 11th ed. Oxford: Blackwell Publishing; 2006. p.80-81.
4. Norton J, Barie PS, Bollinger RR, Chang AE, Lowry S, Mulvihill SJ, et al. Surgery
basic science and clinical evidence. 2nd ed. New York: Springer Science & Business
Media; 2009. p. 994-96
5. Jaffe BM, Berger DH. The appendix in schwartz's principle of surgery. 9th ed. New
York: McGraw Hill Companies Inc; 2009. p. 1073.
6. Keyzer C, Geve PA. Clinical presentation of acute appendicitis. In: Humes DJ,
Simpson J, editor. Imaging of acute apendicitis in adults and children. New York:
Springer Science & Business Media; 2011. p.17.
7. Olakolu S, Llyold C, Day G, Wellington P. Diagnosis of acute appendicitis at
mandeville regional hospital clinical judgment versus alvarado score. Int J Emerg
Surg 2010; 27(1):1-5.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Apendisitis akut. In: Hartanto H, editor. Buku ajar
patologi robbins. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007. h. 660-61.
9. Humes DJ, Simpson J. Acute appendicitis. Br Med J 2006; 333: 530-34.