Presus Dermatitis Kontak Alergi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Presus dep.kulkel

Citation preview

BAB IIDERMATITIS KONTAK ALERGI

Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang merupakan respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi yang polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfk). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.21Dermatitis oleh Prof. Dr. Winsy F.Th. Warouw, SpKK(K) dibagi menjadi dua yakni berdasarkan asalnya :a.Eksogen:

1.Dermatitis kontak alergika (DKA), reaksi tipe IV

2.Dermatitis kontak iritasi (DKI)

b.Endogen:

1.Dermatitis atopik

2.Pompholix

3.Dermatitis exfoliativa

4.Dermatitis seboroik

5.Dermatitis numularis

6.Stasis dermatitis

Salah satu contoh dermatitis kontak iritan pada anak adalah diaper rash. Diaper rash paling banyak terjadi pada bayi. Prevalensi bervariasi dilaporkan dari 4-35% pada 2 tahun pertama kehidupan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Diaper rash dapat bermula pada periode neonatus segera setelah anak memakai popok. Insiden tertinggi pada umur 7-12 bulan, menurun sesuai umur.11Sedangkan pada dermatitis kontak alergika diadapatkan peningkatan kasus sesuai dengan usia, tingkat prevalensi dilaporkan berkisar antara 13,3-24,5%, tetapi tingkat sensitisasi tertinggi memiliki ditemukan pada anak usia 0-3 tahun.3,8B. Reaksi Hipersensitivitas

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.24Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. 24Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya. 24

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE ISel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya. 24Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga. 24Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen). 24Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat. 24Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen. 24Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. 24Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain. 24Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil. 24Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder). 24

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). 1. HistaminHistamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular. 24Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus. 24Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit. 242. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen). 24Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE. 243. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil. 24Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi. 241. Produk siklooksigenasePertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2). 24Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit). 24Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui. 242. Produk lipoksigenaseLeukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi. 24Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4. 24Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor) Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE. 24Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. 24SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGISelain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. 24Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen. 24Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. 24Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0. 24Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen. 24Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF. 24Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin). 24PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III) 24Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis. 24Sindrom klinik dan pengobatanBeberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah. 24Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringanPenyakitAntigen targetMekanismeManifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimunProtein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)Opsonisasi dan fagositosis eritrositHemolisis, anemia

Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)Opsonisasi dan fagositosis plateletPerdarahan

Pemfigus vulgarisProtein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interselulerVesikel kulit (bula)

Sindrom GoodpastureProtein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paruInflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akutAntigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardiumInflamasi, aktivasi makrofagArtritis, miokarditis

Miastenia gravisReseptor asetilkolinAntibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptorKelemahan otot, paralisis

Penyakit GravesReseptor hormon TSHStimulasi reseptor TSH diperantarai antibodiHipertiroidisme

Anemia pernisiosaFaktor intrinsik dari sel parietal gasterNetralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) Penyakit oleh kompleks imunPenyakitSpesifitas antibodiMekanismeManifestasi klinopatologi

Lupus eritematosus sistemikDNA, nukleoproteinInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosaAntigen permukaan virus hepatitis BInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcVaskulitis

Glomreulonefirtis post-streptokokusAntigen dinding sel streptokokusInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) Point of interestAntibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). 24Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.24Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.24PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T. 24Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar. 24Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs24Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan. 24

Sindrom klinik dan pengobatanBanyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T . 24Penyakit yang diperantarai sel TPenyakitSpesifitas sel T patogenikPenyakit pada manusiaContoh pada hewan

Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I)Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)Spesifisitas sel T belum ditegakkanTikus NOD, tikus BB, tikus transgenik

Artritis reumatoidAntigen yang tidak diketahui di sinovium sendiSpesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkanArtritis diinduksi kolagen

Ensefalomielitis alergi eksperimentalProtein mielin dasar, protein proteolipidPostulat : sklerosis multipelInduksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik

Penyakit inflamasi ususTidak diketahui, peran mikroba intestinalSpesifisitas sel T belum ditegakkanInduksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)C. Dermatitis Kontak Alergi

1. Definisi

Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah epidermodermatitis yang subyektif memberi keluhan pruritus dan obyektif mempunyai efloresensi polimorfik disebabkan kontak ulang dengan bahan dan luar yang sebelumnya telah tersensitisasi.212. Epidemiologi

Kejadian dermatitis kontak alergi meningkat sesuai dengan usia, tingkat prevalensi dilaporkan berkisar antara 13,3-24,5%, tetapi tingkat sensitisasi tertinggi memiliki ditemukan pada anak usia 0-3 tahun.3,83. Etiologi

Pengetahuan tentang penyebab umum Dermatitis Kontak Alergi akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. menyebabkan Dermatitis Kontak Alergi adalah bahan kimia yang asing bagi tubuh. Bahan-bahan tersebut mempunyai berat molekul rendah (500-1000 dalton), dapat berdifusi melalui epidermis, berkaitan dengan protein jaringan, dan membentuk molekul yang beratnyalebih dari 5.000 dalton. Bahan-bahan tersebut antara lain: plastik,kosmetik, tanaman, krom, nikel, obat-obatan Alergen-alergen ini biasanya tidak menyebabkan perubahan kulit yang nyata pada kontak pertama, akan tetapi menyebabkan perubahan-perubahan yang spesifik setelah lima sampai tujuh hari atau lebih. Kontak yang lebih lama pada bagian tubuh yang sama atau pada bagian tubuh lainnya dengan alergen akan menyebabkan dermatitis. 3,8,22Kosmetik merupakan penyebab utama Dermatitis Kontak Alergi di awal masa bayi, hal ini disebabkan karena para ibu semakin sering menggunakan herbal atau produk lainnya yang mengandung bahan aktif yang tidak diklasifikasikan sebagai obat. 3,8,22Di masa early dan late infant, yang paling berperan dalam dermatitis kontak alergika adalah disebabkan oleh obat-obatan seperti antibiotik topika dan cortisones topika dan antiseptik dan desinfektan termasuk mercurochrome, thimerosal dan neomisin, yang sangat penting karena digunakan secara luas dan sering ditemukan dalam formulasi vaksin. 3,8,22Kontak dengan logam sering menyebabkan dermatitis kontak alergika pada usia sekolah dan remaja. Yang paling sering adalah nikel, krom, dan kobalt. Nikel sulfat adalah yang paling sering menjadi alergen karena terdapat diberbagai tempat seperti dalam perhiasan yang tak berharga, aksesoris pakaian yang terbuat dari logam, jam tangan, dan peralatan ortodonti. Tindikan pada teinga adalah penyebab utama terjadinya sensitisasi nikel sulfat. Minyak wangi yang mengandung benzyl-alkohol juga sering menyebabkan dermatitis kontak alergika. Sepatu kulit juga dilaporkan menjadi pemicu terjadinya dermatitis kontak alergika.

Peralatan Ortodonti yang terbuat dari baja stainless, krom-kobalt dan nikel-titanium dapat menyebabkan perioral dermatitis dan lesi mukosa oral3,8,22 4. Patogenesis

Tidak seperti Dermatitis Kontak iritan, Dermatitis Kontak alergi melibatkan mekanisme imunologis yang memerlukan fase sensitisasi awal yang diikuti oleh elisitasi fase yang menyebabkan lesi kulit. Sensitisasi ini dimulai ketika hapten menembus kulit, dimana dilakukan transformasi biokimiawi pertama kali oleh preoses enzimatic epidermis dan kemudian terkonjugasi dengan protein carrier untuk menjadi imunogenik. Antigen tersebut ditangkap oleh antigen precenting cell (APC), khususnya sel Langherans, diproses, diiikat untuk molekul MHC kelas II, dan terpapar pada permukaan sel. Pada titik ini, masuknya berbagai sitokin yang diproduksi oleh keratinosit dan APC, sel-sel Langherans bermigrasi menuju kelenjar getah bening locoregional, dimana efektor spesifik dan memori limfostik T berproliferasi dan membentuk koloni sebelum meninggalkan noduslimfatikus, kemudian memasuki aliran darah dan mencapai kulit. 16,20,21Pada akhir tahap ini, subjek peka terhadap hapten. Fase elisitasi dimulai dengan kontak baru dan, setelah telah menembus kulit, substansi mengalami perubahan kimia, dan dikenali serta diproses oleh sel Langherans. Selanjutnya, limfosit T spesifik mengenali, lalu bersama-sama dengan keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin yang memperkuat respon inflamasi dan menimbulkan kerusakan kulit cutaneus. 16,20,21Fase sensitasi awal

hapten menembus kulit

transformasi biokimia nzymatic epidermis

terkonjugasi

protein carrier ( imunogenik.

Antigen precenting cell (APC) sel Langherans

diikat o/ molekul MHC kelas II

sel Langherans bermigrasi menuju kelenjar getah bening locoregional,Fase sensitasi

kontak baru

menembus kulit,

substansi mengalami perubahan kimia

limfosit T spesifik sel Langherhan keratinosit

sitokin

memperkuat respon inflamasi menimbulkan kerusakan kulit cutaneus.5. Gejala klinik

Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya konstan dan seringkali hebat (sangat gatal). Dermatitis Kontak Alergi biasanya ditandai dengan adanya lesi eksematosa berupa eritema, udem, vesikula dan terbentuknya papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas tingkat selular. Vesikel-vesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan jika pecah akan mengeluarkan cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. Mula-mula lesi hanya terbatas pada tempat kontak dengan alergen, sehingga corak dan distribusinya sering dapat meiiunjukkan kausanya, misalnya: mereka yang terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan shampo atau cat rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena wajahnya dapat curiga dengan cream, sabun, bedak dan berbagai jenis kosmetik lainnya yang mereka pakai. Pada kasus yang hebat, dermatitis menyebar luas ke seluruh tubuh.13,17Ciri khas Dermatitis Kontak Alergi adalah radang yang secara perlahan meluas, batas peradangan tidak jelas (difus), rasa sakit dan panas tidak sehebat pada Dermatitis Kontak Iritan. Perjalanan Dermatitis Kontak Alergi dapat akut, sub-akut, ataupun kronis. 13,17Dermatitis Kontak Alergi akut ditandai dengan erupsi eksematosa dengan eritem, udem, papula, vesikula dan biasanya bula, serta patch berbatas tegas, single, ataupun multiple dengan berbagai bentuk dan ukuran, akan tetapi umumnya diskoid. Erupsi umumnya dapat saling berpengaruh, sehingga daerah yang terkena dapat meluas. Intensitas dermatitis dapat memberat pada hari ke empat sampai hari ke tujuh, jika tidak diberi pengobatan dan sudah tidak ada kontak dengan alergen. Penyembuhan biasanya terjadi pada satu sampai dua minggu hingga satu bulan. 13,17Dermatitis sub-akut ditandai dengan eritem, udem yang minimal, vesikula dan krusta.

Dermatitis kronik tampak sebagai patch kering yang mengalami likhenifikasi dan berskuama serta fisura. Fase knonik sangat sulit dibedakan dengan Dermatitis Kontak Iritan, baik secara klinis maupun histopatologis, karena pada keduanya sama-sama ditemukan eritema, penebalan, deskuamasi, fisura dan gatal. 13,17

Dermatitis kontak alergi6. Anamnesis

Anamnesis berperan sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, karena sangat menentukan terapi maupun follow-up-nya, yaitu untuk sedapat mungkin mencegah kekambuhan. Pada anamnesis perlu ditanyakan pekerjaan, hobi, riwayat kontak dengan kontaktan atau objek personal, misalnya tentang pemakaian kosmetik, pakaian baru, pemakaian jam tangan atau perhiasan. Selain itu, perlu ditanyakan juga perihal riwayat atopi serta pengobatan yang pernah diberikan, baik oleh dokter maupun yang dilakukan sendiri.217. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ritema, udema,papula dan vesikulayang jika pecah akan membentuk dermatitis yang basah. Lokasi lesi biasanya pada tempat kontak, tidak berbatas tegas, dan pada penderita yang sensitif dapat meluas. Dalam membantu penegakan diagnosis dikenal istilah regional diagnosis. Bagian-bagian tubuh tertentu sangat mudah tersensitisasi dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya, misalnya: kelopak mata, leher dan genital, sedangkan pada bagian tubuh yang kulitnya tebal agak sulit terjadi Dermatitis Kontak Alergi, seperti telapak tangan, telapak kaki dan kulit kepala. Bila terjadi kontak pada daerah itu, maka daerah yang berbatasan yang kulitnya tipislah yang mengalami dermatitis.

Kelopak mata sangat mudah bereaksi terhadap pemakaian kosmetik (maskara), obat (tetes mata), air borne alergen (hairspray, debu, serbuk sari) atau terhadap alergen yang terbawa oleh jari tangan (cat kuku). Untuk leher, penyebab umum Dermatitis Kontak Alergi adalah kosmetik, parfum, perhiasan (kalung) yang mengandung nikel yang menyebabkan coin shape dermatitis. Dermatitis dan air borne allergen dan photo sensitizer akan berbatas tegas atau menggambarkan segi tiga di fossa supra sternal. Untuk daerah genital, baik pada laki-laki maupun perempuan akan bereaksi terhadap alergen dengan tanda utama udemdan gatal. Sensitizing-agent dapat dibawa ke genital ofeh tangan. Benda-benda dari karet, seperti kondom, pesarium, pakaian sertaobat-obat topikal merupakan causative agent yang sering ditemukan. Bagian-bagian tubuh lain yang juga sering merupakan tempat terjadinya dermatitis, walaupun kurang sensitif (reaktif), adalah, pertama, lengan dan tangan; hampir 2/3 kasus dermatitis melibatkan tangan. Pada kasus dermatitis karena pekerjaan. erupsi pertama muncul di tangan, kemudian menyebar ke lengan bawah. Cairan biasanya berefek di interdigital space; housewives contact dermatitis biasanya muncul di bawah cincin kawin. Pada pekerja yang menggunakan karet pelindung, dermatitis biasanya muncul pada sisi atas karet pelindung.Ke dua, muka; daerah yang paling sering terkena setelah lengan dan tangan. Biasanya dipengaruhi oleh pemakaian kosmetik atau obat. Juga oleh respon terhadap suatu kontak dan daerah sekitarnya, terutama dan kelopak mata. Ke tiga, bibir dan daerah perioral; biasanya disebabkan oleh lipstick dan bermanifestasi bibir kering dan pecah. Ke empat, paha dan tungkai bawah; clothing dermatitis dapat mempengaruhi bagian dalam dan bagian belakang paha, biasanya dimulai dan tepi bawah rok dan nyata pada fossa poplitea. Ke lima kaki; kaus kaki merupakan penyebab paling banyak dermatitis pada kaki.

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan patch test (uji tempel) dan test DMG (dimetilglioksim). Patch test bertujuan untuk mencani tahu dan membuktikan penyebab Dermatitis Kontak Alergi. Untuk itu perlu adanya hubungan antara riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan. Ada tiga jenis patch test yang dilaksanakan, yaitu patch test tertutup, patch test terbuka, dan photo patch test. Biasanya, yang dimaksud dengan patch test adalah patch test tertutup.20-2Indikasi test ini adalah Dermatitis Kontak Alergi yang penyebabnya belum jelas atau masih dicurigai. Kontra indikasi test ini adalah dermatitis yang masih aktif. 20-2Teknik patch test yang dilakukan adalah bahan yang ditest ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup selama dua hari. Setelah dua hari, penutup dilepas dan dibiarkan selama 15 sampai 25 menit, lalu dibaca kelainan-kelainan yang ada. Pada tempat itu mungkin terjadi eritema, udema, papula, vesikula, dan kadang-kadang bisa terjadi bula dan nekrosis. 20-2Test DMG (percobaan bercorak dimetilglioksim) ditemukan oleh Fleigl. Cara test ini adalah: beberapa tetes dan 1% larutan alkohol dan DMG ditambah dengan beberapa tetes larutan amonia. Larutan ini diteteskan pada logam dan kulit akan menghasilkan warna strawberry red dan garam yang tidak larut jika ada logam nikel. Test ini berguna khusus untuk mengetahui apakah penyebab dermatitis itu logam yang mengandung nikel20-29. Terapi

Pengobatan dilakukan dengan cara menghilangkan atau menghindari zat-zat penyebab terjadinya dermatitis kontak. 20-2Untuk mencegah infeksi dan menghindari iritasi, daerah yang terkena harus dibersihkan secara teratur dengan air dan sabun yang lembut. Lepuhan tidak boleh dipecahkan. Verban kering juga bisa mencegah terjadinya infeksi. 20-2Krim atau salep corticosteroid biasanya bisa meringankan gejala-gejala dermatitis kontak yang ringan. Tablet corticosteroid kadang digunakan pada kasus yang berat. Pada keadaan tertentu pemberian antihistamin bisa meringankan gatal-gatal. 20-2DAFTAR PUSTAKA1. Freedberg I.M Eisen .fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 6th Ed.Mcgraw-Hill Profesional , New York.2003.

2. Hayakawa , R,2000.contact dermatitis , NagoyaJ.Med.Scl 63.83-90.Nagoya

3. English J.:Current concept in contact dermatitis. Br J Dermatol 145: 527 (2001)

4. Harris J.M.: Environmental associations with eczema in early life. Br J Dermatol 144: 527 (2001)

5. Hywel C. Atopic Dermatitis, new england journal medicine. 2005; 352 : 22

6. Jayakar T. Understanding Atopic dermatitis and its management in Children. e-Journal of the Indian Society of Teledermatology. 2007;Vol I, No.1

7. Alberta L, Susan M, Sweeney, Wiss K, Diaper Dye Dermatitis. Pediatrics. 2005;116: 450-2

8. Pigatto P. Martelli A. Marsili C. Fiocchi A. Contact dermatitis in children. Italian Journal of Pediatrics. 2010; 36:2

9. Mortz C. Andersen K. Allergic contact dermatitis in children adolescents. Contact Dermatitis. 1991;41: 12130

10. Mersch . Diaper Rash. . 2008 . Available from: URL:http://www.medicinet.com/diaper_rash/article.htm

11. Kazzi AA. Pediatrics Diaper Rash. 2006. Avalaible from: URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic374.htm

12. Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Textbook of Dermatology. London : Blackwen Scientific Publications; 1992.p.396-7,399-400

13. Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF, et al. Dermatology in General Medicine Fourth Edition Volume II. New york : McGraw-Hill;1993.p.2958

14. Mayo Foundation for Medical Education and Research. 2006. Available from URL:http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS/00069.html

15. American Academy of Pediatrics. Diaper Rash. 2007. Available from: URL: http://www.aap.org/publiced/BR_DiaperRash.htm

16. Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology 3nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Company; 1985.p.487

17. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Indonesia: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UH; 2003. p.360,2

18. Scheinfeld SN. Candida Cutaneous. 2008. Available from: URL:http://www.emedicine.com/derm/topic67.htm

19. Habif TP. Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th ed. London: Mosby; 2004.p.25

20. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology Volume one. London: Mosby;2003.p.1186

21. Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M., Aisah S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kedua, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993

22. Arnold HL., Odom RB., James WD., Andrews Dissease of Skin, 8th ed, London : WB Sauders Co., 1990, 89-114

23. Larsen WG, Allergic Contact Dermatitis, In : Moschella SL., Hurley HJ, Dermatology, 3rd ed, London : WB Sauders Co., 1992, 391-400

24. Akib A, Munasir Z, Kurniati N., Buku Ajar : Alergi Imunologi Anak, Edisi kedua, Jakarta, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008