Upload
ferdina-maria-ginting
View
222
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “Rhino Tonsil
Faringitis Kronis”.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh
karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun saya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Jakarta, 10 September 2014
Apriliya
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan proses
inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada mukosa
hidung. Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan 1,2 hidung yang jernih
dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan
pengobatan. Prevalensi terjadinya asma meningkat pada pasien yang menderita rinitis alergi.
Pasien rinitis alergi memiliki faktor risiko 3 kali lebih besar untuk berkembang menjadi asma
dibandingkan dengan orang yang sehat.
Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan
serangan infeksi yang berulang-ulan. Tonsillitis merupakan salah satu penyakit yang paling
umum ditemukan pada masa anak-anak. Angka kejadian tertinggi terutama antara anak-anak
dalam kelompok usia antara 5 sampai 10 tahun yang mana radang tersebut merupakan infeksi
dari berbagai jenis bakteri. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan
terutama terjadi pada kelompok usia muda.
Faringitis kadang juga disebut sebagai radang tenggorok. Faringitis-Viral (Faringitis
karena Virus) adalah peradangan pharynx (bagian tenggorokan antara amandel dan pangkal
tenggorokan) yang disebabkan oleh virus. Selain virus, bakteri juga dapat menyebabkan
perdadangan. Namun yang paling umum penyebab peradangan adalah virus. Ketika di
tenggorokan tidak ditemukan bakteri penyebab gejala, kemungkinan besar faringitis disebabkan
virus. Peradangan ini mengkibatkan sakit tenggorokan. Faringitis dapat terjadi sebagai bagian
dari infeksi virus yang juga melibatkan sistem organ lain, seperti paru-paru atau usus.
Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap
berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan
faringitis jarang terjadi, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Fisiologi Hidung
a. Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi
hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi
perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. 1
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi
sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang
membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral
hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka
(turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. 1
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal
nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori.
Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal
dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis teenage mesoderm yang
berasal dari daerah maksilaris.
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka
(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang
diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus
emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis
posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga
puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas
proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak
3
anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. 1
Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :
yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip) 4), ala nasi,5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago
septum. 1
Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi
dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior. 1
4
Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam
Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os
vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
5
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior
dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan
konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di
sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan
bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula
etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
6
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum.
Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian
bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas
oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di
antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa
nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat perdarahan dari a. ethmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung
a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. 1
7
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris. dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung. 1
b. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. 1,2
8
II. Anatomi faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang
dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm; bagian ini merupakan bagian
dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. 1.2
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. 1.2
Faring terdiri atas :
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius
spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum
dan muara tuba Eustachius. 1.2
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum. 1.2
9
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama
yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang –
kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi
epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang
–kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju
ke sinus piriformis dan ke esophagus. 1
Gambar : anatomi faring
Fungsi faring
Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara
dan artikulasi.
Fungsi menelan : terdapat 3 fase dalam fungsi menelan yaitu fase oral,fase faaringeal
dan fase esofagal. Fase oral bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada transport bolus makanan melalui faring, gerakan
10
disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada
waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses berbicara: pada saat bebicara dan menelan terjadi gerakan
terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain pendekatan antara palatum
mola kea rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan
mula-mula n. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. elevator veli palatine bersama-
sama m. konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring, m. levator palatine
menarik palatum mole keatas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. 1
RHINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 2
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam. 1
11
Gambar : Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL 5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
12
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1m(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 1
Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
13
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
•Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
•Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,coklat,
ikan dan udang.
•Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
•Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2.Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.
14
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala klinik yang tapak ialah
pada hidung dan mata (mata merah gatal disertai lakrimasi).
2.Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Penyebab paling sering ialah alergi inhalan, terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.
Alergi inhalan utama ialah alergi dalam rumah dan alergi luar rumah. Allergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak dan disertai dengan gejala lain, isalnya urtikaria, gangguan
pencernaan.
berdasarkan rekomendasi dari WHO IniativeARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1.Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2.Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1.Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga,belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakr imasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
15
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila
terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif
2.Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test)atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 1
16
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
denganmeniadakan suatu jenis makanan. 1
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada
reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
tropikal.Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor.
17
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
c. Imunoterapi
- Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan .
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis:
inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil
dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal
TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.
Cincin waldayer teridiri dari susunan kelanjar limfa yang terdapat didalam rongga mulut yaitu
tonsil faringeal, tonsil palatine, tonsil lingual, tonsil tuba eustachius. Penyebaran infeksi melalui
udara, tangan dan ciuman. Dapat terjadi semua umur, terutama pada anak.
I. Tonsilitis akut
a. Tonsillitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab palig sering adalah Epstein barr virus. Haephillus influenza merupakan penyebab
tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga
mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan
pasien.
18
b. Tonsillitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan oleh kuman streptococcus B hemoliticus yang dikenal
sebagai strept throat, pneumokokus, streptococcus viridian dan streptococcus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk dendritus. Dendritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis dendritus ini
mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsillitis akut dengan
dendritus yang jelas disebut tonsillitis folikulalris. Bbila bercak-bercak dendritus ini menjadi
satu membentuk alur-alur, makan akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak dendritus ini juga
dapat melebar sehingga terbentuk semacam membrane semu (pseudomembran) yang
menutupi tonsil.
Gejala dan tanda: masa inkubasi 2-4 hari. Yang sering ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu yang tinggi, rasa lesu dan nyeri di sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan nyeri ditelinga. Rasa nyeri ditelinga merupakan nyeri alih melalui saraf
glosogfaringeus. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat
dendritus bentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.
II. Tonsillitis membranosa
Tonsillitis difteri
Penyebab kuman corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan
hidung disaluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Gejala dan tanda: dibagi
dalam 3 golongan: gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu badan
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan. Gejala local yang tampak tonsil membesar ditutupi bercak putih kotor yang semakin
lama semakin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Gejala akibat eksotoksin yang
dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensatio cordis, mengenai saraf cranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
19
III. Tonsillitis kronik
Tonsilitis merupakan keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang
umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, misalnya sinusitis, rhinitis,
infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Sedangkan Tonsilitis Kronis adalah peradangan
kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis
Patofisiologi
Terjadinya proses radang berulang disebabkan oleh rokok, beberapa jenis makanan,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak
adekuat. Proses keradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang
berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte
akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna
kekuning-kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga terjadi
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai
dengan pembesaran kelenjar submandibula.
Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, dirasakan
kering ditenggorok dan nafas berbau.
Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau tablet isap.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitum. Komplikasi jauh secara hematogen atau
limfogen dab dapat timbul endokarditis, arthtritis, nefritis, uveitis. Tonsilektomi dilakukan bila
terjadi infeksi berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
20
Indikasi Tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase. 1.3
FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40%),
bakteri (5-40%), alergi, trauma toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring
dan yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerunefritis akut
karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody. Bakteri ini
banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3
tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah. 1
I. Faringitis akut
b. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Gejala dan tanda: demam disertai rinorea, mual nyeri tenggorokan, sulit menelan.
21
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxcsahievirus dapat menimbulkan lesi
vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa makulopapular rash. Adenoid selain menimbulkan
gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr
Virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan oleh HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut dileher dan pasien tampat lemah. 1
Terapi : istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetik dan jika perlu
dan tablet isap.
c. Faringitis bakterial
Infeksi bakteri streptococcus B hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang
dewasa (15%), dan pada anak (30%). Gejala dan tanda: nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang-kadang disettai demam dengan suhu tinggi disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dn terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechie pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. Terapi: antibiotik diberikan bila diduga
penyebab faringitis akut ini grup A streptococcus B hemolitikus. Penicillin G benzatin
50.000 mg/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali sehari
selama 10 hari dan pada orang dewasa 3x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromicin 4 x 500
mg/hari. Kortikosteroid deksamethason 8-16 mg IM, 1x. Pada anak 0.08-0.3 mg/kgBB IM
1x. analgetik dan kumur air hangat.
d. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh dimukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda keluhan nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabaroud
dextrose. Terapi nistatin 100.000- 400.000 dua kali sehari dan analgetik.
e. Faringitis gonore
Hanya terdapat pada pasien yang kontak orogenital. Terai sefalosporin generasi ke 3
ceftriaxon 250 mg, IM.
22
II. Faringitis kronis
Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis atrofi. Faktor
predidposisi proses radang kronik difaring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh
rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain
penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala pasien mula-mula tenggorok
kering dan gatal dan akhirnya batuk dan bereak. Terapi local dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitrs argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatik
diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan diberikan obat batuk antitusif dan
ekspektoran.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi udara
pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Gejala dan tanda pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa faring kering. Terapi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan
untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut. 1
23
BAB III
STATUS PASIEN
KEPANITERAN KLINIK
ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA 2014
Nama : APRILIYA Tanda Tangan
Nim : 11.2012.269
Dr. Pembimbing/Penguji : dr. Riza, Rizaldi. Sp.THT-KL
___________________________________________________________________________
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : S1 Akuntansi
Alamat : Jakarta Agama : Islam
Status : Menikah
ANAMNESIS
Autoanamnesis Sabtu 09 September 2014, pukul 10.00 WIB di Klinik THT
Keluhan utama : Susah makan dan minum
Keluhan Tambahan : batuk pilek, demam, pusing, mual.
Riwayat penyakit sekarang:
Tiga bulan SMRS, pasien mengeluh batuk pilek disertai demam. Keluhan tersebut
dirasakan sering kambuhan. Kadang-kadang mengeluh pusing, ada mual tidak ada muntah.
Sebelumnya pasien sudah berobat ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberikan obat, namun
belum ada perbaikan.
Dua bulan SMRS, pasien mengeluh batuk-pileknya semakin bertambah masih disertai
demam. Pasien mengatakan bahwa susah makan dan minum suara sengau, dan sulit menelan.
24
Dan kadang terdapat lender yang sulit keluar. Ada mual namun tidak ada muntah. Hidung
tersumbat dan kadang-kadang terasa pusing. Pasien juga mengatakan sebelumnya pernah
berobat ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberi obat. Namun belum ada perbaikan.
Satu bulan SMRS, pasien mengatakan batuk pileknya berkurang, namun masih sulit
untuk makan dan minum serta sulit menelan, suara bertambah sengau. Dan kemudian
terdapat lender yang sulit keluar. Hidung tersumbat dan kadang-kadang dirasakan demam
dan pusing. Ada mual namun tidak muntah.
Satu minggu SMRS, pasien mengeluh sulit makan dan minum disertai sulit menelan.
Pasien juga mengatakan suaranya sengau, rasa gatal dan sulit untuk mengeluarkan lendir
dalam tenggorokkan. Hidung tersumbat dan kadang ada demam dan pusing, mual tapi tidak
muntah.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat alergi yaitu suami pasien, riwayat hipertensi dan diabetes dalam keluarga tidak
ada.
Riwayat sosial ekonomi:
- Cukup
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Status gizi : baik
Nadi : 84 x/menit
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu : 36.7 0C
Pernafasan : 22 x/menit
Kepala dan Leher
25
Kepala : Normosefali
Wajah : Simetris
Leher anterior : KGB tidak teraba membesar
Leher posterior : KGB tidak teraba membesar
PEMERIKSAAN OBYEKTIF/ FISIK
TELINGA
KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak Ada Tidak ada
Penarikan daun telinga Tidak Ada Tidak ada
Kelainan pre, infra,
retroaurikuler
Abses (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), benjolan (-)
Abses (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), benjolan (-)
Region Mastoid Abses (-), nyeri tekan (-) Abses (-), nyeri tekan (-)
Liang telinga sempit, furunkel (-), jaringan
granulasi (-), serumen (+), sekret
(-), darah (-), hiperemis (-),
edema (-).
sempit, furunkel (-), jaringan
granulasi (-), serumen (+), sekret
(-), darah (-), hiperemis (-),
edema (-).
Membran timpani utuh, refleks cahaya (+),
hiperemis (-), edema (-)
Utuh, refleks cahaya (+),
Hiperemis(-), edema (-)
TES PENALA
KANAN KIRI
Rinne (+) (+)
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada Lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
HIDUNG
26
KANAN KIRI
Vestibulum Tampak bulu hidung
Sekret(+)
Furunkel (-)
Krusta (-)
Tampak bulu hidung
Sekret (+)
Furunkel (-)
Krusta(-)
Cavum nasi Lapang
Sekret (+)
Lapang
Sekret (+)
Konka inferior Hiperemis (-)
Edema (-)
Hipertrofi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Edema (-)
Hipertrofi (-)
Sekret (-)
Konka medius Tidak tampak
Sulit dinilai
Tidak tampak
Sulit dinilai
Meatus nasi medius Tidak tampak
Sulit dinilai
Tidak tampak
Sulit dinilai
Sinus frontalis
(nyeri tekan + nyeri ketuk)
Tidak ada Tidak ada
Sinus maksilaris
( nyeri tekan + nyeri ketuk)
Tidak ada Tidak ada
Septum nasi Simetris , tidak ada deviasi Simetris , tidak ada deviasi
RHINOPHARYNX
Koana : belum dapat dilakukan
Septum nasi posterior : belum dapat dilakukan
Muara tuba eustachius : belum dapat dilakukan
Tuba eustachius : belum dapat dilakukan
Torus tubarius : belum dapat dilakukan
Post nasal drip : belum dapat dilakukan
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Sinus frontalis kanan : belum dapat dilakukan
27
Sinus frontalis kiri : belum dapat dilakukan
Sinus maxillaris kanan : belum dapat dilakukan
Sinus maxillaris kiri : belum dapat dilakukan
TENGGOROK
FARING
Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata, granul (-), post nasal drip (-), lendir (+)
berwarna jernih.
Arcus : Hiperemis (+), simetris
Tonsil : T3-T3 , Tenang, hiperemis (+)
Uvula : Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-)
Gigi : tidak ada keluhan
Hasil endoskopi
LARING
Epiglotis : belum dapat dilakukan
Plica aryepiglotis : belum dapat dilakukan
Arytenoids : belum dapat dilakukan
Ventricular band : belum dapat dilakukan
Pita suara : belum dapat dilakukan
Rima glotis : belum dapat dilakukan
Sinus piriformis : belum dapat dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan cervical : tidak membesar, tidak ada nyeri tekan
28
RESUME
NY. D, usia 32 tahun, datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan susah makan dan
minum disertai sulit menelan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengatakan suaranya sengau,
rasa gatal dalam tenggorol dan sulit untuk mengeluarkan lendir dalam tenggorokkan. Hidung
tersumbat dan kadang ada demam dan pusing, mual tapi tidak muntah. Tiga bulan sebelumnya,
pasien mengeluh batuk pilek disertai demam. Keluhan tersebut dirasakan sering kambuhan.
Kadang-kadang mengeluh pusing, ada mual tidak ada muntah. Sebelumnya pasien sudah berobat
ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberikan obat, namun belum ada perbaikan. Riwayat alergi
dalam keluarga yaitu suami.
Pada pemeriksaan didapatkan: Hidung : vestibulum nasi : terdapat bulu hidung dan secret
berwarna jernih. Cavum nasi : lapang terdapat secret berwarna jernih. Faring : Dinding faring :
Hiperemis (-), mukosa rata, granul (-), post nasal drip (-), lendir (+) berwarna jernih, Arcus:
Hiperemis (+), simetris, Tonsil: T3-T3 , Tenang, hiperemis (+), Uvula: Bentuk normal, di garis
median, hiperemis (-), Gigi: tidak ada keluhan.
DIAGNOSIS KERJA
Rhino tonsilfaringitis kronis
PROGNOSIS
Ad bonam
29
30
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
31
Untuk tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
- Infeksi bakteri streptococcus B hemolitikus grup A, merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa dan pada anak, maka terapi yang dapat diberikan misalnya antibiotik golongan
Penicillin G benzatin misalnya amoksisilin dan ampisilin, dan golongan makrolid misalnya
eritomisin. Golongan kortikosteroid misalnya deksamethason, prednisone, metilprednisolon.
- obat kumur atau tablet isap untuk hygiene mulut
- jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran atau mukolitik
Untuk Rhinitis Alergi Persisten Ringan, dapat diberikan:
- Antihistamin oral atau topical, antihistamin AH-1, misalnya golongan etanolamin,
etilendiamin, propilamin, piperazin, dan fenotiazin. Antihistamin AH2, yang termasuk
misalnya aztemizol feksofenadin, lain-lain loratadin dan cetirizine.
- Antihistamin dikombinasi dengan dekongestan oral misalnya (pseudoefedrin, efedrin,
fenilpropanolamin) atau kortikosteroid tropical misalnya (beklometosa, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
32
PEMBAHASAN
33
Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara
ditegakkan diagnosis kerja tonsilifaringitis kronis dan rhinitis alergi persisten ringan. Hasil
ananesis yang mendukung adalah berupa pasien mengeluh nyeri tenggorokkam disertai nyeri
menelan pada saat makan dan minum sampai tidak nafsu makan. Pasien juga mengatakan
kadang-kadang batuk kering serta ada rasa gatal dan seperti ada yang mengganjal dalam
tenggorokkan. Keluhan ini sering dirasakan oleh pasien berulang kali dan sering kambuhan.
Pasien mengatakan sulit untuk mengeluarkan lendir dan nafasnya berbau. Selain itu juga, pasien
mengatakan suaranya bertambah sengau, tidur terganggua dan susah untuk bernafas. riwayat
alergi dalam keluarga disangkal. Pasien juga mengeluh batuk pilek, serta bersin-bersin jika
terkena udara dingin dan debu dan hidung tersumbat sejak 3 bulan yang lalu. Hidung dan mata
terasa gatal dan kadang keluar air mata. Keluhan ini sering dirasakan pasien setiap hari namun
tidak mengganggu aktifitas dan pekerjaan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hidung terdapat sekret berwarna jernih. Cavum nasi:
lapang terdapat secret berwarna jernih. Faring : Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata,
granul (+), post nasal drip (-), lendir (+) berwarna jernih, Arcus: Hiperemis (+), simetris, Tonsil:
T3-T3 , hiperemis (-), kripta (+), detritus (-). Uvula : bentuk normal, girasis median, hiperemis (-).
Rencana pengobatan pada pasien ini diberikan antibiotic golongan penicillin G misalnya
amoksisilin, ampicilin. Golongan makrolid misalnya eitromisin, obat kumur atau tablet isap
untuk hygiene mulut. Dan jika diperlukan obat batuk ekspektoran atau mukolitik untuk
tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut. Dan diberikan antihistamin dengan kombinasi
decongestan oral serta kortikosteroid topical untuk mengurangi rhinitis alergi persisten ringan.
Daftar pustaka
34
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Ratna RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007. Hlm.
2. Adam, Boies, Highler. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.
3. Tonsillitis kronik. diunduh tanggal 10 september 2014.
kunsantori.wordpress.com/kedokteran/tht/infeksi/tonsilitis-kronis/.
35