50
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “Rhino Tonsil Faringitis Kronis”. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun saya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Jakarta, 10 September 2014 Apriliya 1

prilitht

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.

Citation preview

Page 1: prilitht

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan

Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,

serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “Rhino Tonsil

Faringitis Kronis”.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh

karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat

membangun saya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan

makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua.

Jakarta, 10 September 2014

Apriliya

1

Page 2: prilitht

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan proses

inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada mukosa

hidung. Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan  1,2 hidung yang jernih

dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan

pengobatan. Prevalensi terjadinya asma meningkat pada pasien yang menderita rinitis alergi.

Pasien rinitis alergi memiliki faktor risiko   3 kali lebih besar untuk berkembang menjadi asma

dibandingkan dengan orang yang sehat.

Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan

serangan infeksi yang berulang-ulan. Tonsillitis merupakan salah satu penyakit yang paling

umum ditemukan pada masa anak-anak. Angka kejadian tertinggi terutama antara anak-anak

dalam kelompok usia antara 5 sampai 10 tahun yang mana radang tersebut merupakan infeksi

dari berbagai jenis bakteri. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan

terutama terjadi pada kelompok usia muda.

Faringitis kadang juga disebut sebagai radang tenggorok. Faringitis-Viral (Faringitis

karena Virus) adalah peradangan pharynx (bagian tenggorokan antara amandel dan pangkal

tenggorokan) yang disebabkan oleh virus. Selain virus, bakteri juga dapat menyebabkan

perdadangan. Namun yang paling umum penyebab peradangan adalah virus. Ketika di

tenggorokan tidak ditemukan bakteri penyebab gejala, kemungkinan besar faringitis disebabkan

virus. Peradangan ini mengkibatkan sakit tenggorokan. Faringitis dapat terjadi sebagai bagian

dari infeksi virus yang juga melibatkan sistem organ lain, seperti paru-paru atau usus.

Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap

berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan

faringitis jarang terjadi, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.

2

Page 3: prilitht

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Hidung

a. Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi

hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi

perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. 1

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi

sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang

membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral

hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka

(turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. 1

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional

anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang

terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal

nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori.

Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal

dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis teenage mesoderm yang

berasal dari daerah maksilaris.

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,

yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia

kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka

(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang

diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus

unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus

emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel

etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis

posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga

puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas

proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak

3

Page 4: prilitht

anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang

adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. 1

Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol

pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :

yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago

yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah

digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip) 4), ala nasi,5)

kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung

(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis

lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago

septum. 1

Anatomi hidung dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah

anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi

dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.

Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah

antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut

meatus superior. 1

4

Page 5: prilitht

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior

dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os

vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.

Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os

palatum.

Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus

frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung

dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari

5

Page 6: prilitht

permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan

kranial konka superior.

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka

inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior

dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang

didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan

konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang

tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan

massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di

sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas

belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat

bermuaranya sinus sfenoid.

Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan

bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal

sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang

menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.

Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan

dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula

etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-

sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus

6

Page 7: prilitht

frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium

tersendiri di depan infundibulum.

Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus

nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,

berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian

bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas

oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus

maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di

antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa

nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.

Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat perdarahan dari a. ethmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga

hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung

a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama

n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian

depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus

Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh

trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. 1

7

Page 8: prilitht

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui

ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

serabut-serabut sensoris. dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus

superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion

sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung. 1

b. Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara

(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius

(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang

berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,

proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. 1,2

8

Page 9: prilitht

II. Anatomi faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di

bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra

servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah

berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang

dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm; bagian ini merupakan bagian

dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,

fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. 1.2

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) Unsur-unsur

faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. 1.2

Faring terdiri atas :

Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum

mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur

penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang

disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional

hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba

Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius

spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum

dan muara tuba Eustachius. 1.2

Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah

vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,

tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan

foramen sekum. 1.2

9

Page 10: prilitht

Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah

laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama

yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang

dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada

tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang –

kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi

epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang

–kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,

epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk

melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju

ke sinus piriformis dan ke esophagus. 1

Gambar : anatomi faring

Fungsi faring

Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara

dan artikulasi.

Fungsi menelan : terdapat 3 fase dalam fungsi menelan yaitu fase oral,fase faaringeal

dan fase esofagal. Fase oral bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini

disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada transport bolus makanan melalui faring, gerakan

10

Page 11: prilitht

disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada

waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus menuju lambung.

Fungsi faring dalam proses berbicara: pada saat bebicara dan menelan terjadi gerakan

terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain pendekatan antara palatum

mola kea rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan

mula-mula n. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. elevator veli palatine bersama-

sama m. konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring, m. levator palatine

menarik palatum mole keatas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. 1

RHINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi

adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 2

Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan

dapat berlangsung 24-48 jam. 1

11

Page 12: prilitht

Gambar : Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC

kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai

sitokin seperti IL-3, IL-4, IL 5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di

permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor

IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.

Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa

yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat

alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan

akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama

histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin

D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating

12

Page 13: prilitht

Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage

Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat

(RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan

sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1m(ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,netrofil,

basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,IL-4, IL-5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan

mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada

fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 1

Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran

sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung.

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang

tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

13

Page 14: prilitht

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

•Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya

debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

•Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,coklat,

ikan dan udang.

•Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin atau sengatan lebah.

•Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri

dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2.Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas

seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,

reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks

imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

14

Page 15: prilitht

Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1.Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).

Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala klinik yang tapak ialah

pada hidung dan mata (mata merah gatal disertai lakrimasi).

2.Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Penyebab paling sering ialah alergi inhalan, terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.

Alergi inhalan utama ialah alergi dalam rumah dan alergi luar rumah. Allergen ingestan sering

merupakan penyebab pada anak-anak dan disertai dengan gejala lain, isalnya urtikaria, gangguan

pencernaan.

berdasarkan rekomendasi dari WHO IniativeARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1.Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu.

2.Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4

minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1.Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,

bersantai, berolahraga,belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2.Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis rinitis alergi

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah

terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak

air mata keluar (lakr imasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan

15

Page 16: prilitht

utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala (hilang

timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor

genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan,

kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila

terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata

gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka

dinyatakan positif

2.Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.

Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi

bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh

punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,

berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga

dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung

tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang

berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE

total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila

tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno

Sorbent Test)atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 1

16

Page 17: prilitht

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial

untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti

tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi

dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu

lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan

setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang

denganmeniadakan suatu jenis makanan. 1

Penatalaksanaan rinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada

reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai

inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi

dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan

antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat

lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta

serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa

dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

tropikal.Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk

menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma

sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,

mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel

efektor.

17

Page 18: prilitht

b. Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi

berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor

asetat.

c. Imunoterapi

- Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan

hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya

berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan .

Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis:

inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil

dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal

TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.

Cincin waldayer teridiri dari susunan kelanjar limfa yang terdapat didalam rongga mulut yaitu

tonsil faringeal, tonsil palatine, tonsil lingual, tonsil tuba eustachius. Penyebaran infeksi melalui

udara, tangan dan ciuman. Dapat terjadi semua umur, terutama pada anak.

I. Tonsilitis akut

a. Tonsillitis viral

Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.

Penyebab palig sering adalah Epstein barr virus. Haephillus influenza merupakan penyebab

tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga

mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan

pasien.

18

Page 19: prilitht

b. Tonsillitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan oleh kuman streptococcus B hemoliticus yang dikenal

sebagai strept throat, pneumokokus, streptococcus viridian dan streptococcus piogenes.

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa

keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk dendritus. Dendritus ini merupakan

kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis dendritus ini

mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsillitis akut dengan

dendritus yang jelas disebut tonsillitis folikulalris. Bbila bercak-bercak dendritus ini menjadi

satu membentuk alur-alur, makan akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak dendritus ini juga

dapat melebar sehingga terbentuk semacam membrane semu (pseudomembran) yang

menutupi tonsil.

Gejala dan tanda: masa inkubasi 2-4 hari. Yang sering ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri

waktu menelan, demam dengan suhu yang tinggi, rasa lesu dan nyeri di sendi-sendi, tidak

nafsu makan dan nyeri ditelinga. Rasa nyeri ditelinga merupakan nyeri alih melalui saraf

glosogfaringeus. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat

dendritus bentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.

II. Tonsillitis membranosa

Tonsillitis difteri

Penyebab kuman corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan

hidung disaluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Gejala dan tanda: dibagi

dalam 3 golongan: gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu badan

subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri

menelan. Gejala local yang tampak tonsil membesar ditutupi bercak putih kotor yang semakin

lama semakin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Gejala akibat eksotoksin yang

dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada

jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensatio cordis, mengenai saraf cranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan

albuminuria.

19

Page 20: prilitht

III. Tonsillitis kronik

Tonsilitis merupakan keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang

umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, misalnya sinusitis, rhinitis,

infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Sedangkan Tonsilitis Kronis adalah peradangan

kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis

Patofisiologi

Terjadinya proses radang berulang disebabkan oleh rokok, beberapa jenis makanan,

higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak

adekuat. Proses keradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang

berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan

jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte

akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang

mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna

kekuning-kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga terjadi

perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai

dengan pembesaran kelenjar submandibula.

Gejala dan tanda

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus

melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, dirasakan

kering ditenggorok dan nafas berbau.

Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau tablet isap.

Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis

kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitum. Komplikasi jauh secara hematogen atau

limfogen dab dapat timbul endokarditis, arthtritis, nefritis, uveitis. Tonsilektomi dilakukan bila

terjadi infeksi berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

20

Page 21: prilitht

Indikasi Tonsilektomi

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut

a)   Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal

b)   Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

c)   Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

d)   Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif

a)   Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat

b)    Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik

c)    Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase. 1.3

FARINGITIS

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40%),

bakteri (5-40%), alergi, trauma toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring

dan yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerunefritis akut

karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody. Bakteri ini

banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3

tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah. 1

I. Faringitis akut

b. Faringitis viral

Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan

faringitis. Gejala dan tanda: demam disertai rinorea, mual nyeri tenggorokan, sulit menelan.

21

Page 22: prilitht

Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan

cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxcsahievirus dapat menimbulkan lesi

vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa makulopapular rash. Adenoid selain menimbulkan

gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr

Virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.

Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal dan

hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan oleh HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri

tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,

terdapat eksudat, limfadenopati akut dileher dan pasien tampat lemah. 1

Terapi : istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetik dan jika perlu

dan tablet isap.

c. Faringitis bakterial

Infeksi bakteri streptococcus B hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang

dewasa (15%), dan pada anak (30%). Gejala dan tanda: nyeri kepala yang hebat, muntah,

kadang-kadang disettai demam dengan suhu tinggi disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak

tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dn terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa

hari kemudian timbul bercak petechie pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior

membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. Terapi: antibiotik diberikan bila diduga

penyebab faringitis akut ini grup A streptococcus B hemolitikus. Penicillin G benzatin

50.000 mg/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali sehari

selama 10 hari dan pada orang dewasa 3x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromicin 4 x 500

mg/hari. Kortikosteroid deksamethason 8-16 mg IM, 1x. Pada anak 0.08-0.3 mg/kgBB IM

1x. analgetik dan kumur air hangat.

d. Faringitis fungal

Candida dapat tumbuh dimukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda keluhan nyeri

tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan

mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabaroud

dextrose. Terapi nistatin 100.000- 400.000 dua kali sehari dan analgetik.

e. Faringitis gonore

Hanya terdapat pada pasien yang kontak orogenital. Terai sefalosporin generasi ke 3

ceftriaxon 250 mg, IM.

22

Page 23: prilitht

II. Faringitis kronis

Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis atrofi. Faktor

predidposisi proses radang kronik difaring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh

rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain

penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena

hidungnya tersumbat.

a. Faringitis kronik hiperplastik

pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan

tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala pasien mula-mula tenggorok

kering dan gatal dan akhirnya batuk dan bereak. Terapi local dengan melakukan kaustik faring

dengan memakai zat kimia larutan nitrs argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatik

diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan diberikan obat batuk antitusif dan

ekspektoran.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi udara

pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta

infeksi pada faring. Gejala dan tanda pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal serta mulut

berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila

diangkat tampak mukosa faring kering. Terapi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan

untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut. 1

23

Page 24: prilitht

BAB III

STATUS PASIEN

KEPANITERAN KLINIK

ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA 2014

Nama : APRILIYA Tanda Tangan

Nim : 11.2012.269

Dr. Pembimbing/Penguji : dr. Riza, Rizaldi. Sp.THT-KL

___________________________________________________________________________

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D Umur : 32 tahun

Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : S1 Akuntansi

Alamat : Jakarta Agama : Islam

Status : Menikah

ANAMNESIS

Autoanamnesis Sabtu 09 September 2014, pukul 10.00 WIB di Klinik THT

Keluhan utama : Susah makan dan minum

Keluhan Tambahan : batuk pilek, demam, pusing, mual.

Riwayat penyakit sekarang:

Tiga bulan SMRS, pasien mengeluh batuk pilek disertai demam. Keluhan tersebut

dirasakan sering kambuhan. Kadang-kadang mengeluh pusing, ada mual tidak ada muntah.

Sebelumnya pasien sudah berobat ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberikan obat, namun

belum ada perbaikan.

Dua bulan SMRS, pasien mengeluh batuk-pileknya semakin bertambah masih disertai

demam. Pasien mengatakan bahwa susah makan dan minum suara sengau, dan sulit menelan.

24

Page 25: prilitht

Dan kadang terdapat lender yang sulit keluar. Ada mual namun tidak ada muntah. Hidung

tersumbat dan kadang-kadang terasa pusing. Pasien juga mengatakan sebelumnya pernah

berobat ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberi obat. Namun belum ada perbaikan.

Satu bulan SMRS, pasien mengatakan batuk pileknya berkurang, namun masih sulit

untuk makan dan minum serta sulit menelan, suara bertambah sengau. Dan kemudian

terdapat lender yang sulit keluar. Hidung tersumbat dan kadang-kadang dirasakan demam

dan pusing. Ada mual namun tidak muntah.

Satu minggu SMRS, pasien mengeluh sulit makan dan minum disertai sulit menelan.

Pasien juga mengatakan suaranya sengau, rasa gatal dan sulit untuk mengeluarkan lendir

dalam tenggorokkan. Hidung tersumbat dan kadang ada demam dan pusing, mual tapi tidak

muntah.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga:

- Riwayat alergi yaitu suami pasien, riwayat hipertensi dan diabetes dalam keluarga tidak

ada.

Riwayat sosial ekonomi:

- Cukup

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kompos mentis

Status gizi : baik

Nadi : 84 x/menit

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Suhu : 36.7 0C

Pernafasan : 22 x/menit

Kepala dan Leher

25

Page 26: prilitht

Kepala : Normosefali

Wajah : Simetris

Leher anterior : KGB tidak teraba membesar

Leher posterior : KGB tidak teraba membesar

PEMERIKSAAN OBYEKTIF/ FISIK

TELINGA

KANAN KIRI

Bentuk daun telinga Normotia Normotia

Kelainan congenital Tidak ada Tidak ada

Radang, tumor Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan tragus Tidak Ada Tidak ada

Penarikan daun telinga Tidak Ada Tidak ada

Kelainan pre, infra,

retroaurikuler

Abses (-), hiperemis (-), nyeri

tekan (-), benjolan (-)

Abses (-), hiperemis (-), nyeri

tekan (-), benjolan (-)

Region Mastoid Abses (-), nyeri tekan (-) Abses (-), nyeri tekan (-)

Liang telinga sempit, furunkel (-), jaringan

granulasi (-), serumen (+), sekret

(-), darah (-), hiperemis (-),

edema (-).

sempit, furunkel (-), jaringan

granulasi (-), serumen (+), sekret

(-), darah (-), hiperemis (-),

edema (-).

Membran timpani utuh, refleks cahaya (+),

hiperemis (-), edema (-)

Utuh, refleks cahaya (+),

Hiperemis(-), edema (-)

TES PENALA

KANAN KIRI

Rinne (+) (+)

Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada Lateralisasi

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

HIDUNG

26

Page 27: prilitht

KANAN KIRI

Vestibulum Tampak bulu hidung

Sekret(+)

Furunkel (-)

Krusta (-)

Tampak bulu hidung

Sekret (+)

Furunkel (-)

Krusta(-)

Cavum nasi Lapang

Sekret (+)

Lapang

Sekret (+)

Konka inferior Hiperemis (-)

Edema (-)

Hipertrofi (-)

Sekret (-)

Hiperemis (-)

Edema (-)

Hipertrofi (-)

Sekret (-)

Konka medius Tidak tampak

Sulit dinilai

Tidak tampak

Sulit dinilai

Meatus nasi medius Tidak tampak

Sulit dinilai

Tidak tampak

Sulit dinilai

Sinus frontalis

(nyeri tekan + nyeri ketuk)

Tidak ada Tidak ada

Sinus maksilaris

( nyeri tekan + nyeri ketuk)

Tidak ada Tidak ada

Septum nasi Simetris , tidak ada deviasi Simetris , tidak ada deviasi

RHINOPHARYNX

Koana : belum dapat dilakukan

Septum nasi posterior : belum dapat dilakukan

Muara tuba eustachius : belum dapat dilakukan

Tuba eustachius : belum dapat dilakukan

Torus tubarius : belum dapat dilakukan

Post nasal drip : belum dapat dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

Sinus frontalis kanan : belum dapat dilakukan

27

Page 28: prilitht

Sinus frontalis kiri : belum dapat dilakukan

Sinus maxillaris kanan : belum dapat dilakukan

Sinus maxillaris kiri : belum dapat dilakukan

TENGGOROK

FARING

Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata, granul (-), post nasal drip (-), lendir (+)

berwarna jernih.

Arcus : Hiperemis (+), simetris

Tonsil : T3-T3 , Tenang, hiperemis (+)

Uvula : Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-)

Gigi : tidak ada keluhan

Hasil endoskopi

LARING

Epiglotis : belum dapat dilakukan

Plica aryepiglotis : belum dapat dilakukan

Arytenoids : belum dapat dilakukan

Ventricular band : belum dapat dilakukan

Pita suara : belum dapat dilakukan

Rima glotis : belum dapat dilakukan

Sinus piriformis : belum dapat dilakukan

Kelenjar limfe submandibula dan cervical : tidak membesar, tidak ada nyeri tekan

28

Page 29: prilitht

RESUME

NY. D, usia 32 tahun, datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan susah makan dan

minum disertai sulit menelan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengatakan suaranya sengau,

rasa gatal dalam tenggorol dan sulit untuk mengeluarkan lendir dalam tenggorokkan. Hidung

tersumbat dan kadang ada demam dan pusing, mual tapi tidak muntah. Tiga bulan sebelumnya,

pasien mengeluh batuk pilek disertai demam. Keluhan tersebut dirasakan sering kambuhan.

Kadang-kadang mengeluh pusing, ada mual tidak ada muntah. Sebelumnya pasien sudah berobat

ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberikan obat, namun belum ada perbaikan. Riwayat alergi

dalam keluarga yaitu suami.

Pada pemeriksaan didapatkan: Hidung : vestibulum nasi : terdapat bulu hidung dan secret

berwarna jernih. Cavum nasi : lapang terdapat secret berwarna jernih. Faring : Dinding faring :

Hiperemis (-), mukosa rata, granul (-), post nasal drip (-), lendir (+) berwarna jernih, Arcus:

Hiperemis (+), simetris, Tonsil: T3-T3 , Tenang, hiperemis (+), Uvula: Bentuk normal, di garis

median, hiperemis (-), Gigi: tidak ada keluhan.

DIAGNOSIS KERJA

Rhino tonsilfaringitis kronis

PROGNOSIS

Ad bonam

29

Page 30: prilitht

30

Page 31: prilitht

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

31

Page 32: prilitht

Untuk tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

- Infeksi bakteri streptococcus B hemolitikus grup A, merupakan penyebab faringitis akut pada

orang dewasa dan pada anak, maka terapi yang dapat diberikan misalnya antibiotik golongan

Penicillin G benzatin misalnya amoksisilin dan ampisilin, dan golongan makrolid misalnya

eritomisin. Golongan kortikosteroid misalnya deksamethason, prednisone, metilprednisolon.

- obat kumur atau tablet isap untuk hygiene mulut

- jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran atau mukolitik

Untuk Rhinitis Alergi Persisten Ringan, dapat diberikan:

- Antihistamin oral atau topical, antihistamin AH-1, misalnya golongan etanolamin,

etilendiamin, propilamin, piperazin, dan fenotiazin. Antihistamin AH2, yang termasuk

misalnya aztemizol feksofenadin, lain-lain loratadin dan cetirizine.

- Antihistamin dikombinasi dengan dekongestan oral misalnya (pseudoefedrin, efedrin,

fenilpropanolamin) atau kortikosteroid tropical misalnya (beklometosa, budesonid, flusolid,

flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).

32

Page 33: prilitht

PEMBAHASAN

33

Page 34: prilitht

Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara

ditegakkan diagnosis kerja tonsilifaringitis kronis dan rhinitis alergi persisten ringan. Hasil

ananesis yang mendukung adalah berupa pasien mengeluh nyeri tenggorokkam disertai nyeri

menelan pada saat makan dan minum sampai tidak nafsu makan. Pasien juga mengatakan

kadang-kadang batuk kering serta ada rasa gatal dan seperti ada yang mengganjal dalam

tenggorokkan. Keluhan ini sering dirasakan oleh pasien berulang kali dan sering kambuhan.

Pasien mengatakan sulit untuk mengeluarkan lendir dan nafasnya berbau. Selain itu juga, pasien

mengatakan suaranya bertambah sengau, tidur terganggua dan susah untuk bernafas. riwayat

alergi dalam keluarga disangkal. Pasien juga mengeluh batuk pilek, serta bersin-bersin jika

terkena udara dingin dan debu dan hidung tersumbat sejak 3 bulan yang lalu. Hidung dan mata

terasa gatal dan kadang keluar air mata. Keluhan ini sering dirasakan pasien setiap hari namun

tidak mengganggu aktifitas dan pekerjaan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan hidung terdapat sekret berwarna jernih. Cavum nasi:

lapang terdapat secret berwarna jernih. Faring : Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata,

granul (+), post nasal drip (-), lendir (+) berwarna jernih, Arcus: Hiperemis (+), simetris, Tonsil:

T3-T3 , hiperemis (-), kripta (+), detritus (-). Uvula : bentuk normal, girasis median, hiperemis (-).

Rencana pengobatan pada pasien ini diberikan antibiotic golongan penicillin G misalnya

amoksisilin, ampicilin. Golongan makrolid misalnya eitromisin, obat kumur atau tablet isap

untuk hygiene mulut. Dan jika diperlukan obat batuk ekspektoran atau mukolitik untuk

tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut. Dan diberikan antihistamin dengan kombinasi

decongestan oral serta kortikosteroid topical untuk mengurangi rhinitis alergi persisten ringan.

Daftar pustaka

34

Page 35: prilitht

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Ratna RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007. Hlm.

2. Adam, Boies, Highler. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.

3. Tonsillitis kronik. diunduh tanggal 10 september 2014.

kunsantori.wordpress.com/kedokteran/tht/infeksi/tonsilitis-kronis/.

35