42
PRINSIP DASAR PENGOBATAN PALIATIF TUGAS SUB BAGIAN UNIVERSITAS ANDALAS Oleh: Dewi Arita PPDS OBSTETRI GINEKOLOGI Pembimbing: Dr. H. Pelsi Sulaini, SpOG (K) BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Prinsip Dasar Pengobatan Paliatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

PRINSIP DASAR PENGOBATAN PALIATIF

TUGAS SUB BAGIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh:

Dewi Arita

PPDS OBSTETRI GINEKOLOGI

Pembimbing:

Dr. H. Pelsi Sulaini, SpOG (K)

BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK. UNAND / RSUP Dr. M. DJAMIL

PADANG

2011

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

BAB II NYERI............................................................................................................3

A. Penyebab Nyeri Kanker..................................................................................4

1. Faktor Jasmani...............................................................................................4

2. Faktor Kejiwaan..............................................................................................5

B. Jenis Nyeri Kanker.........................................................................................6

1 Nyeri nosiseptif...............................................................................................6

2 Nyeri Neurogenik............................................................................................6

3. Nyeri psikogenik.............................................................................................7

B. Sifat Nyeri Kanker...........................................................................................7

1. Akut................................................................................................................7

2. Kronik.............................................................................................................7

C. Derajat Nyeri Kanker......................................................................................7

BAB III PENGELOLAAN NYERI KANKER.................................................................8

A. Pedoman Umum............................................................................................8

1. Pengertian Nyeri Kanker................................................................................8

2. Petugas Kesehatan........................................................................................8

3. Penderita dan Keluarga..................................................................................9

4. Penilaian Nyeri...............................................................................................9

5. Reevaluasi....................................................................................................10

6. Obat Analgesik.............................................................................................11

B. Pedoman Khusus.........................................................................................13

1. Obat Analgesik.............................................................................................13

2. Terapi Non Farmakologis.............................................................................15

3. Pengobatan dengan Morfin..........................................................................15

4. Psikoterapi....................................................................................................20

C. Nutrisi pada Perawatan Paliatif....................................................................23

1. Nutrisi Enteral...............................................................................................25

2. Nutrisi Parenteral..........................................................................................25

D. Perawatan Paliatif di rumah..........................................................................25

i

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................27

ii

BAB I

PENDAHULUAN

Naluri manusia untuk mengurangi penderitaan sesama makluk sudah tampak

sejak awal kehidupan di dunia. Setelah itu, selama berabad-abad tampak pula

usaha-usaha penyembuhan penyakit-penyakit yang menyebabkan penderitaan,

sehingga terciptalah cara-cara penyembuhan dengan obat-obatan ataupun dengan

pembedahan. (DiSaia et al, 2002)

Hipokrates, pada abad ke-5 sebelum masehi dikenal sebagai seorang dokter

yang cemerlang pada zaman itu. Dia pula yang mnganjurkan cara pengobatan

epiema dengan menikam pisau diantara tulang rusuk. Sumpah Hipokrates menjadi

dasar dari sumpah jabatan dokter di Indonesia. (Hoskins et al, 2005)

Galen, pada abad ke-2 merupakan salah satu dokter yang paling

berpengaruh diantara dokter-dokter pada zamannya. Ia telah menulis karangan yang

jumlahnya lebih dari 300 dan menjadi referensi bagi para dokter selama hampir

1.400 tahun kemudian. (Hoskins et al, 2005)

Aesculapius, seorang Yunani kuno dikisahkan sebagai penyembuh yang

demikian pandai sehingga ia didewakan. Tongkatnya yang berbelit ular masih

menjadi lambang dokter sampai sekarang. (Hoskins et al, 2005)

Banyak penelitian telah dilakukan dan banyak pula penemuan diperoleh baik

dalam cara pengobatan maupun tehnologi kedokteran. Dengan demikian,

kemampuan diagnostik meningkat dan lebih banyak penyakit yang terobati. Namun,

belum banyak penyakit kanker yang dapat disembuhkan sekalipun sudah terlahir

berbagai disiplin dan subdisiplin yang mendalami bidangnya dalam lingkup yang

lebih sempit. (Hoskins et al, 2005)

Pada abad ke-16 ada penulis yang mengatakan bahwa tugas dokter adalah

to cure sometimes, to relieve often, to comfort always. (Rubin, 2004)

Kanker dengan segala permasalahannya semakin mendapat perhatian dari

para pakar di dunia, termasuk di Indonesia. Usaha-usaha pencegahan dan deteksi

dini telah banyak dilakukan. Namun, masih banyak kanker yang tidak tersembuhkan.

Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain jenis kanker dan stadiumnya. Yang

sembuh dapat tanpa meninggalkan cacat yang dapat menyebabkan gangguan

1

fungsional. Akan tetapi, tidak jarang yang dilakukan untuk menyembuhkan itu justru

akan meninggalkan cacat dan mengakibatkan gangguan fungsional sehingga

dibutuhkan tindakan-tindakan rehabilitatif. Perawatan paliatif dan bebas nyeri akan

bermanfaat, realistis dan manusiawi bagi mereka dengan vonis penyakit kanker

yang tidak mungkin disembuhkan. (Tejawinata et al, 1996)

Salah satu aspek dari perawatan paliatif adalah pengawasan nutrisi dan

psikoterapi, yang dilakukan pada pasien serta keluarganya. Cara pandang terhadap

diri sendiri seorang pasien berpengaruh pada keberhasilan perawatan secara

holistik. (Berek et al, 1994)

Gambar 1 : Variabel variable pembentuk ” persepsi diri ”

2

Spiritual Conflict

Values & Beliefs

Self-esteem

Health Profile

Behavioral Aspects

Relational Aspects

Spiritual Content

Contextual Apects

Common Variables That Effect Selfhood

penderitaan

nyeri

spiritual

kultural

sosial

psikologis

Penderitaan fisik

BAB II

NYERI

Dalam perjalanan penyakitnya, 45 – 100 % penderita mengalami nyeri yang

sedang sampai berat, dan 80 – 90 % rasa nyeri itu dapat ditanggulangi dengan

pengobatan yang sesuai dengan pedoman WHO. Data WHO menyebutkan bahwa

2/3 dari penderita kanker akan meninggal karena penyakitnya dan bahwa dalam

perjalanan 45 – 100% dari mereka akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat. (Tejawinata et al, 1996)

Dengan bertambah majunya usaha pengobatan penyakit kanker, maka

bertambahlah jumlah penderita dengan ketahanan hidup yang panjang; sehingga

bertambah banyak pulalah penderita nyeri yang membutuhkan pengobatan.Laporan

dari negara maju menunjukan bahwa pada saat ini 50 – 80% nyeri kanker tidak

mendapatkan pengelolaan yang adekuat. Data di RSUD Dr. Soetomo menunjukan

56% penderita kanker disertai rasa nyeri dan dari sejumlah penderita tersebut 83%

belum mendapat pengelolaan secara adekuat. (Tejawinata et al, 1996)

Gambar 2 . Bagan skematis faktor faktor yang berkaitan

dengan penderitaan yang dihadapi pasien

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang dihubungkan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak,

atau segala keadaan yang menunjukan adanya kerusakan jaringan. (Tejawinata et al, 1996)

3

A. Penyebab Nyeri Kanker

1. Faktor Jasmani

a. Akibat Tumor

Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai rasa nyeri

dan keadaan ini dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme keadaan sebagai

berikut : (Berek et al, 1994)

1) Infiltrasi tumor ke tulang.

2) Infiltrasi atau penekanan terhadap jaringan syaraf.

3) Pengaruh langsung terhadap organ yang terkena.

4) Pengaruh langsung terhadap jaringan lunak yang terkena.

5) Ulserasi jaringan

6) Peningkatan tekanan intrakranial.

b. Berhubungan dengan Tumor

Nyeri yang terjadi pada penderita kanker dan berhubungan dengan tumor

dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan sebagai berikut : (Berek et al, 1994)

1) Kejang otot.

2) Dekubitus.

3) Infeksi jamur Kandida.

4) Trombosis vena dalam.

5) Sembelit.

6) Sembab akibat sumbatan pembuluh Limfe.

7) Neuralgia pasca infeksi Harpes Zooster.

c. Akibat Pengobatan Tumor

Nyeri yang terjadi akibat pengobatan kanker dapat terjadi pada 20%,

penderita kanker yang disertai rasa nyeri dan dapat diterangkan melalui mekanisme

keadaan sebagai berikut : (Berek et al, 1994)

1) Akibat Pembedahan

a) Pasca bedah kanker serviks radikal

b) Pasca Histerektomi

c) Pasca Vulvektomi

d) Pasca Ovarektomi

4

2) Akibat Kemoterapi

a) Neuropati

b) Pseudorematik streoid (penghentian streoid mendadak)

c) Nekrosis tulang aseptik

d) Neuralgia pasca infeksi zooster

3) Akibat Radiasi

a) Fibrosis pleksus brakhialis

b) Fibrosis pleksus lumbosakral

c) Mielopati radiasi

d) Tumor saraf perifer akibat radiasi

d. Tidak langsung akibat tumor ataupun pengobatan nyeri yang tidak langsung

akibat tumor ataupun pengobatannya terjadi pada 10% penderita kanker yang

disertai rasa nyeri dan dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan sebagai

berikut:

a) Nyeri otot tulang

b) Sakit kepala atau migrain yang terjadi akibat ketegangan jaringan otot

c) Artritis

d) Nyeri akibat kelainan kardiovaskuler

e) Neuropati

2. Faktor Kejiwaan

a. Marah

Nyeri yang terjadi akibat rasa marah dapat diterangkan melalui keadaan berikut :

3) Marah pada sistim birokrasi yang menghambat

4) Marah pada teman yang tidak mau menjenguk

5) Marah pada prosedur diagnostik yang lama, dokter tak ada ditempat,

pengobatan yang dirasakan gagal tersebut.

b. Cemas

Nyeri yang terjadi akibat rasa cemas dapat diterangkan melalui keadaan –

keadaan sebagai berikut :

5

1) Takut pada rumah sakit, dokter, dan perawat.

2) Khawatir nasib keluarga

3) Takut sakit dan mati

4) Khawatir masalah finansial

5) Takut kehilangan masa depan dan sebagainya.

c. Depresi

Nyeri yang terjadi akibat depresi dapat diterangkan melalui keadaan-keadaan

sebagai berikut :

1) Kehilangan kedudukan sosial

2) Kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan harga diri

3) Kehilangan peran dalam keluarga

4) Lelah yang berkepanjangan dan insomnia

5) Tidak punya harapan

6) Bentuk badan abnormal

B. Jenis Nyeri Kanker

1. Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada aferen serta

saraf perifer. Nyeri terjadi akibat pengaruh Prostaglandin E2 sehingga nosiseptor

serat saraf perifer menjadi peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri. (Hoskins et al,

2005)

2. Nyeri Neurogenik

Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer,

kereusakan ini bisa terjadi akibat : (DiSaia et al, 2002)

a. Terpotongnya serat saraf misalnya saraf interkostal akibat mastektomi atau

torakotomi

b. Tekanan kronis pada saraf-saraf perifer misalnya invasi tumor yang menekan

pleksus brakhialis lumbosakralis.

3. Nyeri psikogenik

6

Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor non-fisik atau lazim disebut faktor

kejiwaan. Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri, terutama pada

kanker yang lanjut. Nyeri psikogenik dapat timbul akibat : (Berek et al, 1994)

a. Marah (anger)

b. Cemas (anxiety)

c. Depresi

B. Sifat Nyeri Kanker

1. Akut

Nyeri akut timbul secara mendadak dan segera lenyap apabila penyebabnya

hilang. Nyeri akut ditandai oleh : (DiSaia et al, 2002)

a. Aktivitas sistim saraf otonom berupa takikardia, hipertensi, hiperhidrosis,

midriasis dan pucat.

b. Terdapat perubahan pada wajah seperti menyeringai dan sebagainya.

2. Kronik

Nyeri kronis terjadi berkepanjangan hingga dapat berlangsung berbulan-

bulan, penyebabnya sulit dijelaskan dan gejala obyektif tidak jelas. (DiSaia et al, 2002)

C. Derajat Nyeri Kanker

Derajat nyeri kanker dapat digolongkan menjadi tiga ialah : (Rubin et al, 2004)

1. Ringan : tidak mengganggu kegiatan sehari-hari dan penderita dapat tidur.

2. Sedang : mengganggu kegiatan sehari-hari tetapi penderita dapat tidur.

3. Berat : mengganggu kegiatan sehari-hari dan penderita tidak dapat tidur.

7

BAB III

PENGELOLAAN NYERI KANKER

A. Pedoman Umum

1. Pengertian Nyeri Kanker

- Nyeri kanker merupakan keluhan subyektif

- Makin progresif pertumbuhan kanker makin hebat nyeri yang dapat ditimbulkan

- Makin kronis keadaan, nyeri kanker makin kabur penyebabnya.

- Nyeri kanker sering mempunyai beberapa penyebab (“multi faktorial”).

- Penyebab, jenis, sifat dan derajat nyeri pada seseorang penderita dapat

berubah.

- Penderita yang tidak mengeluh tentang nyeri, tidak berarti “tidak ada nyeri “

- Nyeri kanker harus dikelola dengan benar hingga dapat dicapai keadaan bebas

nyeri. (Hoskins et al, 2005)

2. Petugas Kesehatan

- Memahami batasan penyebab jenis, sifat dan derajat nyeri kanker.

- Mendengarkan keluhan penderita secara seksama dengan penuh perhatian.

- Mempercayai setiap keluhan nyeri yang diungkapkan oleh penderita sebagai

bahan penilaian

- Bersedia meluangkan waktu untuk memberikan keterangan secara jelas namun

bijaksana mengenai segala segi nyeri kanker kepada penderita beserta

keluarga.

- Mampu dan bersedia mengelola nyeri kanker dengan pendekatan multi displiner.

- Memahami alternatif pengelolaan nyeri kanker.

- Memahami dasar-dasar umum pengelolaan nyeri kanker dengan menggunakan

obat-obat analgesik dan ajuvan.

- Menyadari kemungkinan timbulnya efek samping obat dan mampu

menanggulangi jika keadaan ini terjadi.

- Memahami alternatif tambahan pengelolaan nyeri kanker dengan cara :

Pembedahan, Radiasi, Kemoterapi, Hormonal, Rehabilitasi medik, Anestesi (Hoskins et al, 2005)

8

3. Penderita dan Keluarga

- memperoleh informasi mengenai masalah nyeri kanker yang diderita

- memperoleh informasi mengenai alternatif pengelolaan nyeri kanker, memahami

tujuan dan efek samping yang mungkin dialami serta bersedia memberikan

persetujuan tertulis (“Informed Concent”)

- keluarga penderita berperan serta aktif sebagai penunjang pelaksana terapi

- keluarga memerlukan penjelasan, bimbingan, serta bantuan agar penderita dan

keluarga dapat bersama-sama menghadapi kenyataan dengan tenang. (Hoskins et al,

2005)

Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti dan

meliputi hal-hal berikut : (Hoskins et al, 2005)

- Kanker tidak selalu menimbulkan rasa nyeri.

- Penyebab rasa nyeri

- Nyeri kanker dapat diatasi

- Obat-obatan mempunyai peranan penting dalam mengatasi nyeri kanker.

- Obat anti nyeri kanker dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama tanpa

pengurangan kasiat.

- Bila mana perlu dapat digunakan obat golongan opiat. Kemungkinan

ketergantungan terhadap obat ini pada pengobatan nyeri kanker dengan cara

yang benar tidak lazim terjadi.

- Hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan penderita dari keluarga

sangat penting agar tercapai hasil pengobatan yang optimal. Tanpa penjelasan

yang baik dapat terjadi ketegangan yang menyulitkan pengelolaan.

- Jangan memberikan informasi kepada keluarga tentang sesuatu yang karena

alasan tertentu tidak diberitahukan kepada penderita, sebab keadaan seperti ini

dapat menimbulkan kesenjangan hubungan antara penderita dengan keluarga.

4. Penilaian Nyeri

Untuk mendapatkan penilaian yang terpat perlu dikaji suatu hubungan baik

antara dokter dan penderita sehingga penderita memiliki kepercayaan dalam bahwa

9

dokter dapat menghilangkan nyeri yang dideritanya. Meskipun demikian anamnesa

dan pemeriksaan yang diteliti harus dilaksanakan. (Hoskins et al, 2005; Rubin, 2004)

- Percayalah laporan nyeri penderita karena nyeri adalah suatu fenomena yang

subyektif. Tanda-tanda obyektif dapat kita gunakan untuk mendapat suatu

penilaian nyeri lebih yang tepat; antara lain takikardia, berkeringat, pucat dan

menyeringai.

- persilahkan duduk, tenangkan dan dengarkan keluhan penderita, yakinkan dia

bahwa nyerinya dapat diobati.

- Riwayat nyeri : tanyakan lokasi, lama, dan frekuensi nyeri, apakah nyeri

menyebabkan tidur dan makan tidak enak, dan dapatkah menggerakkan

anggota tubuh dengan baik.

- obat-obatan : tanyakan macam analgesik yang pernah didapat, dosis, cara dan

lama pemberiannya pada skala nyeri

- Lakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang teliti.

- Telitilah faktor kejiwaan dan sosial yang dapat memperberat nyeri.

- Pemeriksaan laboratorium dan radiology; lakukanlah yang benar-benar

diperlukan dan menunjang terapi.

- Tentukan penyebab nyeri berdasarkan jenis, sifat dan derajat.

- Berikan pengobatan nyeri sementara sambil melengkapi pemeriksaan diagnosa.

5. Reevaluasi

Bila pemberian opiat kuat tetap tidak berhasil mengatasi keluhan nyeri, perlu

dilakukan evaluasi ulang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : (Berek et al,

1994)

- Apakah penyebab nyeri kanker sudah ditetapkan benar ?.

- Apakah timbul nyeri lain yang memerlukan terapi yang berbeda ?.

- Apakah pemberian analgesik sudah tepat ?

- Apakah prinsip dasar pengelolaan nyeri sudah dijalankan sesuai ketentuan ?.

- Apakah pemberian analgesik sudah sesuai prinsip “ step ladder”

- Apakah penderita patuh menggunakan obat ?

- Apakah anjuran analgesik sudah digunakan ?

- Apakah penderita dalam keadaan marah, cemas atau depresi ?

6. Obat Analgesik

10

Pemberian obat analgesik memiliki peran yang utama dalam penanggulangan

nyeri kanker. Dengan penggunaan analgesik yang tepat, penderita dapat terbebas

dari nyeri. (DiSaia et al, 2002)

a. Dasar Pengobatan Analgesik

- Mencegah timbulnya nyeri dan bukan menghilangkan nyeri yang telah ada,

sebab rasa takut akan nyeri dapat menaikan dosis analgesik. Karena itu

pemberian analgesik harus teratur, sesuai jadwal (“by the clock” dan bukan

“PRN”).

- Pilih obat yang tidak menurunkan kesadaran, sebab kemampuan penderita

untuk berkomunikasi dengan sekitarnya merupakan hal penting yang harus

dipertahankan selama mungkin.

- Kombinasi obat hanya untuk meningkatkan efek analgesik atau mengurangi sfsk

samping obat.

- Tidak dibenarkan menggunakan plasebo untuk menilai nyeri.

- Dosis ditentukan secara individual. Pada usia lanjut dan anak perlu disesuaikan.

- Pemberian sedapat mungkin secara oral. Jika tidak mungkin dapat perrektal.

Hindari pemberian parenteral, kecuali dalam keadaan terpaksa. Biasanya

menjelang ajal terpaksa diberikan perenteral.

- Menggunakan cara “Analgesic Ladder” sesuai pedoman WHO. (Hoskins et al, 2005)

b. Langkah-langkah pengobatan Analgesik (“Analgesic Ladder”).

Berikut analgesik non opiat dengan dosis penuh. Bila nyeri masih ada, secara

bertahap dosis dinaikkan sampai dosis maksimal, ditambah ajuvan analgesik, opiat

lemah. Di bawah ini digambarkan skema “Analgesic Ladder” untuk penanggulangan

nyeri kanker. (Tejawinata et al, 1996)

11

NYERI KANKER

KejiwaanJasmani

Neurogenik Nonseptik

Cramp like Shooting

Antidepresan trisiklik

AntiKonvolusi

psikoterapipsikofarma

R S B

ANO

+OpiatkuatANO

+Opiatlemah

ANO

PERTIMBANGKAN *Ajuvan

•Penanggulangan ESO opiat* Pengobatan non farmakologis

EVALUASI

Berhasil Tidak Berhasil

*Reevaluasi*Konsultasi*Rujuk

NYERI KANKER

KejiwaanJasmani

Neurogenik Nonseptik

Cramp like Shooting

Antidepresan trisiklik

AntiKonvolusi

psikoterapipsikofarma

R S B

ANO

+OpiatkuatANO

+Opiatlemah

ANO

PERTIMBANGKAN *Ajuvan

•Penanggulangan ESO opiat* Pengobatan non farmakologis

EVALUASI

Berhasil Tidak Berhasil

*Reevaluasi*Konsultasi*Rujuk

Keterangan : R = ringan, S = sedang, B = berat, ANO = analgesik non opiat, ESO =

efek samping obat

12

Gambar 3 : Analgesic Ladder WHO

c. Cara Lain

- Perlu revaluasi konsultasi, atau merujuk bila nyeri kanker tidak berhasil di atasi.

- Perlu disadari bahwa dalam usaha pengelolaan kasus-kasus tertentu memiliki

keterbatasan dan perlu kebijaksanaan.

B. Pedoman Khusus

1. Obat Analgesik

Analgesik yang digunakan untuk pengobatan nyeri kanker : (DiSaia et al, 2002)

a. Golongan non opiat

b. Golongan opiat

c. Golongan ajuvan

a. Obat Analgesik ajuvan

- Antidepresant trisiklik misalnya : Amitripilin, Imipramin, Desipramin dapat

meningkatkan khasiat analgesik dari obat analgesik pada terapi nyeri akibat

kerusakan atau penekanan saraf. Dosis : 25 – 150 mg per hari, terbagi dalam

tiga dosis atau satu dosis malam hari.

- Antihistamin mis : Hydroxzine.

Mempunyai efek antihistamin, juga mempunyai efek analgesik, anti muntah

dan sedatif. Dapat memperbesar efek analgesik opiat.

- Kafein : dapat meningkatkan efek analgesik dari asam asetil atau opiat.

13

Non opioid± Adjuvant

Pain persistingOr increasing

Pain persistingOr increasing

Opioid for mild to moderate pain + non opioid

±Adjuvant

Opioid for mod. to severe pain ± non opioid ± adjuvant

FreedomFrom cancer pain

WHO three-step analgesic ladder

PAIN

- Streoid : dapat mengurangi nyeri pada infiltrasi tumor dalam saraf dan tulang.

Juga dapat mengurangi nyeri akibat tekanan intrakranial yang meningkat.

Dapat menaikan berat badan dan menimbulkan perasaan nyaman yang biasa

digunakan ialah dexamethasone 4 – 16 mg atau prednison 20 – 80 mg per

hari.

- Phenothiazine, mis : mathotrimeprazine, chlorpromazine, dan

prochlorpherazine dapat mencegah rasa mual akibat opiat.

Mathotrimeprazine mempunyai efek analgesik, kurang menimbulkan

obstipasi, kurang mengadakan depresi pernafasan. Obat ini dapat digunakan

untuk mengobati nyeri kanker pada penderita yang mengalami toleransi

terhadap opiat.

- Antikonvulsan antara lain phenytoin, carbamazepine, clonazepan, sodium

valproate. Dapat menghilangkan rasa nyeri deaferentasi yang bersifat

menusuk, misalnya pada neuralgia trigeminal, neuralgia post herpetik atau

neuralgia pasca trauma. Dosis carbamazepine dimulai dengan dosis 100 mg

sehari, ditingkatkan pelan-pelan sampai 400 – 800 mg, terbagi atas 2 – 4

dosis sehari. Phenytoin ; 200 – 500 mg terbagi atas 2 dosis sehari. (Tejawinata et

al, 1996)

b. Obat untuk mengatasi Efek samping Opiat

- Antiemetik : digunakan untuk mengatasi efek samping opiat. Prochloperasin 10

– 25 mg p.o atau (per rektal) 4 kali sehari. Trietilperasin 10 mg p.o atau p.r 3

kali sehari. Metoklopramid 10 mg p.o 4 kali sehari. Haloperidol 0.5 – 2 mg p.o 3

kali sehari.

- Laksansia : untuk konstipasi yang merupakan efek samping yang lazim pada

penggunaan opiat. Preparat yang digunakan adalah : Milk of magnesia 20 – 60

ml tiap 4 jam. Senna, Metamuci, Bisakodil 10 – 15 mg p.r atau laktulosi 30 –

60.

- Stimulansia : efek samping mengantuk tidak selalu terjadi, dan sering hanya

sementara (terjadi toleransi). Bila perlu untuk mengatasi problem ini dapat

diberikan Amfetamin.

14

2. Terapi Non Farmakologis

Rehabilitasi medik, radioterapi, kemoterapi, terapi hormonal. Tindakan

anestesi dan bedah. (Rubin, 2004)

3. Pengobatan dengan Morfin

Dalam penanggulangan nyeri kanker ini, pemakaian obat-obatan sering

menjadi pilihan utama, adapun pilihan lain seperti radiasi, blok syaraf atau

pembedahan, haruslah dipertimbangkan dengan seksama. Untuk semua ini

pendekatan secara komprehensip hendaknya mengacu pada permasalahan bio-

psiko-sosial penderita.

Gambar 4 . Skema perkembangan pengobatan nyeri

a. Reseptor Opioid

Didalam tubuh terdapat 3 reseptor opioid, yaitu resptor µ (mu), ҳ (kappa) dan

δ (delta), kesemuanya tersebar diberbagai area otak, terutama di substansi abu-abu

“periaquaductal” dan disepanjang sumsum tulang belakang. Ketiganya punya ciri-ciri

khusus tetapi punya satu kesamaan, yaitu bila resptor-reseptor ini terangsang,

kesemuanya akan memberikan fungsi analgesi. (Tejawinata et al, 1996)

15

History of Pain Control: The Nineteenth Century

Opium synthesized

Morphine produced in

Germany

Morphine produced

in US

Ether anesthesia

in US

Chloroform anesthesiain Britain

Inventionof hollow

needle

“Morphinehabit” emerges

“Heroin”producedby Bayer

1804 1820 1830 1846 1848 1855 1870 1898

Aspirin produced

1899

Source: Meldrum, ML. A capsule history of pain management. JAMA. 2003;290:2470-2475.

Tabel.I. Tanggapan aktivasi reseptor opioid

Reseptor Tanggapan aktivasi

µ (mu) Analgesik, depresi pernafasan, miosis, euphoria, motilitas

saluran cerna

ҳ (kappa) Analgesik, depresi pernafasan, miosis, efek

psikotomimetik (disforia, halusinasi)

δ (delta) Analgesik

Obat-obat yang mampu berikatan dengan reseptor sel dan menimbulkan

aktivasi fisiologi disebut obat “agonis”, sedangkan obat-obat yang tidak mempunyai

pengaruh instrinsik tetapi dapat mengganggu aktivitas obat”agonis” disebut obat

“antagonis”. Obat-obat antagonis ini ada yang bekerja menghalangi aktivitas obat

agonis secara kompetitif pada resptor sel, ada pula yang menghambat aktivitas di

tempat lain. (Tejawinata et al, 1996)

Tabel.II. Contoh beberapa obat agonis dan agonis-antagonis

Agonis Campuran Agonis-Antagonis

Morfin Pentazokin

Hydro morfin Nalbufin

Metadon Butorfanol

Morfin yang dimurnikan dari getah papaver somniverum telah lama

diketahui mempunyai sifat penghalau rasa sakit yang luar biasa. (Tejawinata et al, 1996)

b. Prinsip penggunaan obat opioid pada nyeri kanker kronis: (Tejawinata et al, 1996)

- Gunakan obat agonis murni pada terapi awal

- Jangan mencampur obat agonis dengan campuran obat agonis-antagonis

- Jangan mencampur dua obat agonis

- Jangan tetap memberikan obat opioid lemah bila nyeri reda

- Sedapat mungkin menggunakan obat oral

- Pemberian “round the clock”

- Jangan memberikan kalau tidak perlu (p.r.n)

- Dosis titrasi pada individu

16

- Memakai obat-obat ajuvan

- Menyadari bahwa pengobatan opioid hanya merupakan satu bagian dari

perawatan total

Pendapat yang sering salah baik dari pihak dokter maupun penderita, sering

menyebabkan penggunaan morfin untuk pengobatan memberikan hasil yang tidak

memadai, sehingga terjadi kegagalan dalam mengontrol nyeri kanker. Berbagai

pendapat salah tersebut antara lain: (Hoskins et al, 2005; Tejawinata et al, 1996)

1) Morfin menyebabkan depresi pernafasan

Depresi pernafasan pada pemakaian morfin secara klinis dengan dosis optimal

sangatlah jarang terjadi. Apabila dosis morfin ditritasi dengan seksama untuk

setiap penderita, akan menjadikan morfin sebagai analgesik kuat yang aman,

sekalipun pada penderita kanker jalan nafas. Depresi pernafasan dapat terjadi

pada pemakaian morfin dosis tinggi secara mendadak.

2) Morfin menyebabkan adiksi

Ketergantungan obat tidak akan timbul jika morfin digunakan secara menetap

pada dosis tertentu sesuai dengan dosis penderitanya. Apabila penderita kanker

tidak memerlukan morfin lagi guna mengontrol nyerinya, penurunan dosis secara

bertahap tidak akan menyebabkan “ withdrawl symptoms”.

3) Morfin memberikan toleransi yang cepat

Seringkali dokter maupun penderita enggan memberikan morfn karena takut obat

menjadi tidak punya pengaruh setelah berapa lama. Pada kebanyakan kasus,

akan terjadi peningkatan dosis pemakaian sampai batas tertentu, kemudian dosis

akan menetap. Hal tersebut bukan karena disebabkan toleransi terhadap obat,

melainkan akibat meluasnya proses penyakit kanker.

4) Morfin menyebabkan eforia

Bila pemakaian morfin secara benar, morfin dan narkotik lain tidak merangsang

eforia. Redanya rasa nyeri sering membawa perasaan lebih baik, namun

keadaan ini tidak bisa dikatakan eforia.

c. Pemakaian morfin oral

17

Pemakaian morfin hendaknyandicadangkan untuk kasus nyeri terminal,

sebelumnya nyeri kanker ringan atau sedang dapat dicoba dengan obat analgesik

non-opioid atau opioid lemah sesuai dengan langkah berjenjang dari WHO. (Tejakusuma et

al, 1996) Morfin oral diberikan apabila: (DiSaia et al, 2002)

- Nyeri sedang atau berat yang tidak reda dengan opioid ringan ( Codein 6 x 60

mg )

- Nyeri yang tdk reda dengan opioid kuat lainnya ( mis: oksikodon)

- Mengganti obat morfin atau meperidin parenteral

Bentuk kemasan morfin, morfin oral ini ada dalam 3 formula: (Tejawinata et al, 1996)

- Morfin hidroklorida elixir (MOS sirup), kemasan konsentrasi 1 mg/ml dan 5

mg/ml

- Morfin sulfat tablet (immediate release), kemasan dosis 15 mg dan 30 mg

- Morfin controlled release tablet, kemasan dosis antara 10 – 200 mg

Dosis awal pemakaian, dosis awal pemakaian tergantung kepada: (Tejawinata et al, 1996)

- Total pemakaian obat analgesik perhari sebelumnya

- Berat dan seringnya “breakthrough pain”

- Umur, berat badan dab kurusnya penderita

Biasanya dosis awal pemakaian dimulai dengan 6 x 10 mg, bila penderita

sebelumnya telah mendapat obat opioid lemah seperti codein, maka dosis awal

dapat diberikan 6 x 5 mg. Pada orang tua biasanya dimulai dengan dosis 6 x 2,5 – 5

mg. Sedang pada anak-anak dibawah 5 tahun menerima dosis awal 1/4 – 1/3 dosis

orang dewasa dan anak umur 5 – 12 tahun 1/3 – ½ dosis dewasa. (Tejawinata et al, 1996)

Apabila dengan dosis awal, nyeri muncul kembali sebelum 4 jam, maka dosis

berikutnya dinaikkan 50% - 100%. Bila dosis awal meredakan nyerinya, tetapi

penderita mengantuk terus, maka dosis berikutnya diturunkan 50 – 25%. Demikian

seterusnya sampai mendapat dosis yang optimal untuk meredakan nyeri. (Tejawinata et al,

1996)

Biasanya nyeri penderita kanker dapat terkontrol dengan dosis 6 x 5 – 30 mg.

Namun ada beberapa penderita memerlukan dosis lebih tinggi, bahkan ada yang

sampai 6 x 150-200 mg. (Tejawinata et al, 1996)

18

d. Efek samping pemakaian morfin

1) Konstipasi

Pengaruh morfin dapat menurunkan peristaltic usus dan mengurangi sekresi

cairan, pada penderita kanker dimana kurang minum, kurang gerakan dan diet yang

terganggu, akan menyokong terjadinya komplikasi konstipasi. Untuk itu perlu

ditanyakan kebiasaan buang air besar penderita, serta diawasi dan dicatat tiap hari.

Guna mencegah konstipasi penderita dianjurkan minum banyak, sari buah, buah-

buahan segar, atau menambahkan menu makanan dengan bekatul. Pada

pemakaian morfin dosis tinggi, dapat pula diberikan obat perangsang peristaltic

seperti PriColace. (Tejawinata et al, 1996)

Apabila terjadi konstipasi, perlu diberikan obat pencahar seperti gliserin atau

bisacodyl (Dulcolax). Bila masih kurang efektif, dapat diberikan enema fosfat dan

atau larutan sabun. Obat pencahar dosis tinggi harus dihindari, terutama pada

penderita yang berisiko terjadi dehidrasi. Perbaiki kedudukan toilet atau “slipper

pans” agar waktu penderita buang air besar terasa lebih nyaman. (Tejawinata et al, 1996)

2) Mual / Muntah

Pada permulaan pemberian opioid kuat, sebagian kecil penderita merasa mual

atau muntah, hal ini disebabkan oleh rangsangan morfin pada” Chemoreceptor

trigger zone” di daerah medulla, untuk ini dapat diberikan obat Proclhorperazine 3 x

5-10 mg atau Haloperidol 2 x 0,5 -1 mg. Dapat pula disebabkan karena bendungan

lambung akibat terganggunyan peristaltic usus, bila hal ini terjadi dapat diberikan

Metoclopramid 4 x 10 mg. Selain itu mual/muntah dapat pula disebabkan oleh

rangsangan vestibular, untuk ini diberikan Dimenhydrinat 4 x 100 mg atau

antihistamin yang lain. (Tejawinata et al, 1996)

3) Retensi urine

Morfin dapat menyebabkan kontraksi sfingter kandung kemih, meningkatkan

tonus otot detrussor dan menekan sensor pusat dan kandung kemih. Kedaan ini

biasanya terjadi pada pendrita usia lanjut. Apabila hal ini terjadi, dapat dibantu

dengan pemasangan kateter dan “ bladder training”. (Tejawinata et al, 1996)

4. Psikoterapi

19

Psikoterapi menurut Hollender adalah salah satu bentuk terapi dimana

diperlukan interaksi antara si sakit dan yang merawat (therapist) sehingga akan

terjadi tukar pikiran yang dirangsang berdasarkan kebutuhan penderita, dan terapis

dengan dasar empati yang besar dapat menangkap, mengingat dan

menginterpretasikan”pesan-pesan” dan secara berhati-hati merubah perasaan,

pikiran dan tingkah laku penderita. (DiSaia et al, 2002)

Perawatan paliatif adalah perawatan paripurna yang bertujuan meningkatkan

kualitas hidup semaksimal mungkin dan mempersiapkan penderita untuk

menghadapi kematian dalam iman.Dalam penanganan terminal, psikoterapi tidak

saja ditujukan bagi penderita, tetapi juga keluarga bahkan team medis yang merawat

penderita. (DiSaia et al, 2002)

a. Psikoterapi pada penderita

Banyak penderita yang tidak tahu bahwa ia mengidap penyakit yang tidak

dapat disembuhkan lagi, dan dalam perawatan terminal justru memberitahukan

bahwa ia dalam kondisi terminal adalah yang tersukar. Perlu pengkajian yang

seksama melalui kerja sama yang baik dengan keluarga apakah diperlukan

pemberitahuan tentang kondisi terminal tersebut atau tidak. (DiSaia et al, 2002)

Sebetulnya setiap penderita mempunyai hak untuk mengetahui keadaan yang

sebenarnya agar ia dapat menentukan apa-apa yang ingin dilakukannya terakhir

kali. Sebaiknya mereka yang berjiwa matang harus diberitahu. Ciri-ciri berjiwa

matang antara lain selalu berpikiran positif, emosi relative stabil, memutuskan

sesuatu setelah menelaah data-data yang obyektif, dapat memilah persoalan-

persoalan yang tumpang tindih dengan memberi skala prioritas dan terakhir

antisipatif. Dilema berikutnya yang muncul adalah siapa yang akan diberi tahu

terlebih dahulu penderita atau keluarga?. Salah satu penyebab dilemma ini adalah

sumpah dokter yang harus menyimpan rahasia seputar penyakit penderita. Oleh

karena itu sebaiknya psikoterapi individual untuk meningkatkan pengetahuan

penderita dan memancing sejauh mana penderita mengetahui tentang penyakitnya

dan dimana tahap kematian ia berada harus diutamakan dan kemudian sejauh mana

ketergantungan dan peran penderita dalam tatanan keluarganya, bila diketahui

bahwa penderita sangat tergantung pada keluarga dan ia tidak tahu (denial) tentang

penyakitnya yang parah maka sebaiknya keluarga yang diberi tahu dahulu dan

20

itupun harus hati-hati. Sebaiknya dengan saksi atau pernyataan tertulis bahwa

rahasia jabatan dibuka demi si sakit. (DiSaia et al, 2002)

Psikoterapi untuk sisakit bertujuan untuk menerima kenyataan bahwa ajal

mendekat dan merubah cita-cita/ tujuan hidup ke hal-hal yang positif dan mudah

dijangkau dalam waktu dekat. Beberapa senter yang pernah meneliti penderita

terminal mendapatkan keluhan-keluhan sebagai berikut: (DiSaia et al, 2002)

Takut menghadapi kematian sendirian

Takut sebelum mati kesakitan

Takut bentuk tubuh berubah, rusak atau berbau, dsb

Takut keluarga tidak mencintai

Takut tentang apa-apa yang akan terjadi setelah mati

Takut dihukum Tuhan karena banyak dosa

Takut dikubur

Takut sepeninggalnya, anak-anak terbengkalai

Tampak disini rasa takut mendominasi suasana hati (mood), keluhan

subyektif mengenai rasa sakit dan kerusakan tubuh dan takut rejeksi keluarga. Oleh

karena itu reassurance (jaminan kembali) bahwa team medis akan berusaha

semaksimal mungkin mengatasi gengguan fisik selain selalu berada dekat adalah

hal yang penting untuk diutarakan. Bila ketenangan sudah diperoleh maka

selanjutnya diupayakan agar ada jaminan keluarga untuk tetap mencintai dan selalu

berada ditempat bila dibutuhkan. Jadi penting diketahui bahwa sebelum atau

bersamaan dengan psikoterapi si sakit, keluargapun harus mendapat psikoterapi

juga. (DiSaia et al, 2002)

Seorang yang memberikan psikoterapi harus dapat menangkap pesan-pesan

yang dikomunikasikan penderita. Oleh karena itu mengetahui latar belakang

kehidupan penderita seperti tingkat pendidikan, budaya dan sifat-sifat sebelum sakit

memudahkan terapis untuk membaca apa yang tersirat dari pembicaraan dengan

penderita. Kesimpulan tidak adapat diambil dari satu kali pertemuan, apalagi

penderita terminal sudah menunjukkan tanda-tanda depresi atau penurunan

kesadaran / apatis. Adakalanya bantuan alat-alat audio visual termasuk coretan-

coretan dan gambar-gambar sangat diperlukan. Setelah interaksi terjalin baik

barulah pembicaraan mengenai tujuan hidup dan perubahan-perubahannya dapat

dilakukan. (DiSaia et al, 2002)

21

b. Psikoterapi pada keluarga

Tujuan memberikan psikoterapi ini adalah: (DiSaia et al, 2002)

Membuat keluarga menerima kenyataan bahwa penderita tidak lama lagi akan

pergi untuk selamanya

Mengatur kekompakkan keluarga agar penderita selalu merasa tetap di

lingkungan keluarga yang mencintainya

Memberi keputusan yang baik bagi penderita tanpa merugikan kehidupan

keluarga pada masa yang akan datang

Membantu perencanaan pasca kematian/ fase duka cita

Melatih keluarga melihat kenyataan yang buruk sangatlah sukar. Untuk itu

penting menyeleksi siapa “key person” dalam keluarga. Dalam kehidupan emosionil

yang sangat terganggu adakalanya penalaran tidak begitu baik. Oleh karena itu “ the

key person” pada umumnya adalah mereka yang emosinya sangat stabil dan dapat

merupakan penentu keluarga tersebut. Seleksi berikutnya adalah mencari anggota

keluarga yang selalu dikambinghitamkan sebagai penyebab sakit atau bertambah

parahnya si sakit. Suatu contoh seorang remaja yang nakal dituduh sebagi

penyebab sakit ibunya dll, hal ini perlu mendapat perhatian dalam psikoterapi

terhadap keluarga. Hal yang sangat penting diberitahukan bahwa penderita

mengharapkan kasih saying terakhir, takut dengan rasa kesendirian dan bantuan

moril pada saat menghadapi nyeri dan kerusakan fisik. (DiSaia et al, 2002)

Kematian anggota keluarga yang tidak dipersiapkan akan membawa dampak

besar antara lain perasaan bersalah, saling menyalahkan bahkan tidak jarang

rebutan warisan dll. Lama berkabung dimana emosi tidak stabil dapat berlangsung

2-3 tahun. Selama keadaan ini perubahan perilaku dapat terjadi dan yang ditakuti

adalah sifat buruk yang menetap dengan gangguan belajar pada anak-anak. (DiSaia et al,

2002)

c. Psikoterapi pada team medis

Banyak anggota team medis yang beranggapan bahwa dirinya gagal

bilamana pasien yangdirawatnya menemui kematiaannya. Anggapan ini harus

dihilangkan bila merawat penderita paliatif. Satu hal lagi adalah

terjadinya”anniversary depression” yaitu depresi yang berulang kembali bila yang

22

merawat mengungatkannya atau pernah melukai hatinya. Gejolak emosi seperti ini

pada umumnya melemahkan pertahanan jiwa dan membuat anggota team tidak

tepat dalam mengambil keputusan, mudah tersinggung yang menyebabkan

ketidakkompakkan team dan tidak terampil lagi dalam tindakan-tindakannya. Terapis

disini bertindak sebagai “Bumper” atau “katalisator” atau sekedar “pendengar yang

budiman”. Tujuan terapis adalah mematangkan kepribadian anggota, menenangkan

kembali gejolak emosi dan memperbaiki interaksi yang terganggu demi perawatan

penderita. (Tejawinata et al, 1996)

Seleksi masuknya anggota baru dalam team perawatan terminal juga harus

berhati-hati sebab idea-idea dari si pendatang baru acapkali menyebabkan

keretakkan akibat persepsi yang salah. Tugas terapis harus menyatukan persepsi.

Perawatan terminal adalah perawatan yang sangat menguras tenaga, fikiran,

ketahanan mental. Oleh karena itu perlu dijajagi apakah anggota team “mampu” dan

“mau” merawat penderita. (Tejawinata et al, 1996)

C. Nutrisi pada Perawatan Paliatif.

Nutrisi makanan mempunyai arti yang sangat luas. Untuk orang sehat, tujuan

dari makan yang ingin segera dicapai adalah untuk mencegah lapar. Selain itu

makan bisa untuk interaksi sosial dan memberi nutrisi.Pada orang sakit, peranan

makan yang bermacam-macam ini bisa menjadi kabur. Nafsu makan sering

menurun, kenikmatan makanan dan aspek sosial sering terganggu dan kebutuhan

nutrisi bisa berubah. Sehingga timbul konsep makanan yang digunakan sebagai

terapi. (Tejawinata et al, 1996)

Disisi lain, cachexia merupakan komplikasi yang sering pada penderita

kanker. Ini terjadi pada 2/3 yang meninggal pada kanker lanjut. Karena pengaruh

yang sangat kuat akibat malnutrisi pada penderita kanker, banyak yang mencoba

mengembalikan sindroma ini dengan cara pemberian nutrisi, baik enternal maupun

parenteral secara agresif. Sayangnya, cara ini ternyata tidak menunjukan perbaikan

dalam insidens, beratnya penyakit, dan kelangsungan hidup penderita secara

keseluruhan. (Tejawinata et al, 1996)

Peranan diet yang cocok dalam perawatan paliatif didasarkan atas dua fakta, yaitu: (Tejawinata et al, 1996)

4. Pada kanker dan penyakit-penyakit degeneratif lain, diet bisa membantu

mengembalikan gejala-gejala, tetapi tidak bisa mengobati penyakit dasarnya.

23

5. Diet merupakan elemen yang penting dalam mempertahankan kesehatan dan

kesejateran. Perbaikan kondisi umum dapat dicapai dengan perbaikan dalam

diet.

Perawatan nutrisi berpangkal pada factor-faktor tersebut, dimana makanan atau

staus nutrisi dapat mempengaruhi kesehatan: (Tejawinata et al, 1996)

- Menghilangkan effek akibat kurang nutrisi.

- Menghilangkan problema makan dan gangguan-gangguan gastrointestinal.

- Meningkatkan kenikmatan makanan.

Makanan bisa mempunai aspek positif maupun negatif terhadap kualitas hidup,

tergantung bagaimana ia diperlakukan. Penderita dan orang-orang yang

merawatnya perlu konsultasi/komunikasi, untuk mengatur apa yang dapat dicapai

dengan diet pada stadium tersebut. (Tejawinata et al, 1996)

Pada kenyataanya, jarang terjadi defisiensi salah satu bahan gizi. Yang paling

sering kekurangan nutrisi secara keseluruhan, akibat pemasukan semua makanan

yang kurang. Kekurangan energi dan protein ini makin lama akan menyebabkan

berat badan menurun, lesu, otot-otot lemah dan penyembuhan luka lebih lama. (Tejawinata et al, 1996)

Terjadi penumpukan cairan/edema akibat protein darah yang rendah. Pada

penyakit yang sudah lanjut, masalah ini tidak selalu bisa kembali seperti sediakala

bila diberi makanan yang cukup. Ini oleh karena adanya gangguan metabolisme. (Tejawinata et al, 1996)

Nutrisi yang kurang dalam waktu lama (berbulan-bulan) akan menyebabkan

defisiensi vitamin B, vitamin C, zat besi dan zinc, dengan tanda-tanda klinis :

anemia, bibir pecah-pecah, lidah bengkak, gusi berdarah, penyembuhan luka lebih

lama, dsb. (Tejawinata et al, 1996)

1. Nutrisi Enteral

Nutrisi enteral dengan pipa lambung (Naso Gastric Tube) adalah alternatif

pilihan pertama rute oral pada penderita dengan fungsi usus yang masih baik.Cara

ini lebih mudah disbanding parenteral, dan dapat dengan mudah dikerjakan di

rumah. Resiko pneumonia karena aspirasi dapat dikurangi dengan monitoring

pengosongan isi lambung yang lama dengan lebih sering menghisap/aspirasi isi

24

lambung. Sedangkan resiko diare dikurangi dengan pengenceran larutan yang

hipertonis pada hari-hari pertama. (Tejawinata et al, 1996)

Nutrisi enteral berguna pada penderita dengan kanker lanjut didaerah kepala-

leher, kanker oesophagus, yang tidak dapat menelan, tetapi masih mempunyai

nafsu makan dan kondisinya baik. (Tejawinata et al, 1996)

2. Nutrisi Parenteral

Angka kejadian komplikasi mencapai 15% dan perlu biaya besar. Selain itu

memerlukan perawatan intra vena, sterilitas dan larutas khusus.Cara ini tidak

dilakukan pada perawatan aliatif, karena tidak praktis dan tidak nyaman untuk

penderita, juga tidak menunjukkan perbaikan dalam kelangsungan hidup penderita. (Tejawinata et al, 1996)

D. Perawatan Paliatif di rumah

Perawatan paliatif dapat dilakukan di rumah sakit,  hospice dan di rumah

penderita. Perawatan paliatif dirumah mempunyai keuntungan bagi penderita dan

keluarganya dalam berbagi aspek yaitu , kemyamanan, kebebasan, kekeluargaan,

rasa aman, otonomi, dekat dengan anggota keluarga dan teman dan kesempatan

bagi keluarga untuk ikut terlibat dalam perawatan. (Tejawinata et al, 1996)

Tim perawatan paliatif di rumah meliputi : (Tejawinata et al, 1996)

- Tenaga Medis : dokter, perawat, bidan yang melakukan pemeriksaan,

penilaian keadaan penderita, memberikan pengobatan dan atau melakukan

perawatan medis.

- Pekerja Sosial : sebagai individu atau anggota lembaga swadaya masyarakat,

membantu dalam pengadaan kebutuhan mental, spiritual dan materi bagi

penderita dan keluarganya.

- Relawan : sebagai individu atau anggota lembaga swadaya masyarakat,

membantu perawatan penderita dan administrasi.

Dalam perawatan paliatif di rumah tim paliatif dapat memberikan pendidikan

pada anggota keluarga sampai batas tertentu untuk dapat membantu perawatan

penderita. (Tejawinata et al, 1996)

25

26

DAFTAR PUSTAKA

Hoskins W.J. ett all. Principles and Practice of Gynecology Oncology Forth Edition.

Lippincott ,Williams and Wilkins. Philadelphia. 2005.

Tejawinata N.R H. Soebadi R.D, Adi S. ( editor ). Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan. Majalah Paliatif Kanker. Vol 2. Edisi khusus, Mei 1996.

Rubin S.C. Chemotherapy of Gynecologic Cancers. Second Edition. Lippincot

William & Wilkins. Philadelphia. 2004.

Berek J.S, Hacker N.F.Practical Gynecologic Oncology. Second Edition. Williams

and Wilkins. Baltimore.1994

DiSaia P.J, Much D.G. Clinical Gynecology Oncology. Sixth Edition. Mosby, Inc. St

Louis Missouri. 2002.

27