Upload
bungsu-ndaq
View
240
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
filsafat ilmu
Citation preview
Masalah Ekonomi Desa
Oleh Yuli Afriyandi
Selasa, 25 September 2012
Fenomena meningkatnya arus urbanisasi, sedikit banyak akan berdampak negatif terhadap
ekonomi di desa jika tidak ditemukan langkah kebijakan yang bersifat solutif ke akar
permasalahannya. Operasi yustisi kependudukan (OYK) yang biasa digelar merupakan
langkah kebijakan yang bersifat sementara. Sehingga masih diharapkan suatu kebijakan yang
mampu mengatasi fenomena tahunan menyangkut permasalahan urbanisasi di negeri ini.
Seperti diketahui, meningkatnya arus urbanisasi pasca lebaran seakan sudah membudaya di
tengah masyarakat kita. Kota besar seperti Jakarta masih menjadi kota tujuan utama untuk
mewujudkan impian mencari penghidupan yang lebih baik dibandingkan dengan kehidupan
di desa. Terbukti, pendatang baru di Jakarta pasca lebaran mencapai 47.832 orang yang
berasal dari berbagai daerah.
Salah satu alasan klasik minat pendatang baru untuk menyambangi kota besar seperti Jakarta
adalah permasalahan ekonomi. Diasumsikan kota masih menjadi lumbung rejeki yang dapat
menyajikan kemapanan. Karena, 20 persen kegiatan ekonomi nasional terpusat di Jakarta,
sehingga celah untuk mencari pekerjaan yang diinginkan masih terbuka lebar.
Selain itu, permasalahan lainnya yakni program-program strategis seperti penanganan
masalah kemiskinan masih terpusat pada kota-kota besar, belum maksimal menyebar ke
daerah-daerah, apalagi pedesaan. Kenyataan ini telah dibuktikan dengan tingkat keberhasilan
program pengentasan kemiskinan. Bukti tersebut dapat kita lihat pada indeks penurunan
kemiskinan penduduk perkotaan yang lebih tinggi dari pada penduduk pedesaan yakni 0,09
juta orang bagi penduduk miskin perkotaan, dan 0,04 juta orang bagi penduduk pedesaan.
(Sumber BPS periode Maret - September 2011).
Ini, artinya keseriusan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan hingga pelosok pedesaan
masih dipertanyakan di samping menjadi salah satu bukti bahwa instabilitas ekonomi desa
masih menjadi salah satu akar permasalahan dari tingginya angka urbanisasi setiap tahun.
Faktor tingginya angka urbanisasi salah satunya adalah instabilitas ekonomi di desa. Desa
masih menjadi daerah "anak tiri" dalam kerangka program pembangunan nasional. Minimnya
fasilitas dan infrastruktur dalam berbagai aspek menjadi potret yang hingga saat ini masih
saja belum menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jika
dicermati, dana APBN yang dikirim ke daerah setiap tahun terus meningkat. Seperti pada
2012, dalam APBNP tercatat Rp 478,8 triliun dana yang ditransfer ke daerah dan meningkat
dalam RAPBN 2013 mencapai Rp 518,9 triliun.
Tentu dipertanyakan, dengan anggaran begitu banyak namun di sisi lain belum menunjukkan
perubahan yang berarti bagi penanganan instabilitas ekonomi di daerah khususnya desa.
Salah satu faktornya, adalah masih adanya program yang sifatnya permukaan (kulit luar) dan
bisa diistilahkan sebagai melempar ikan bukan melempar kail. Dibutuhkan program yang
sifatnya memberdayakan bukan program yang bakal menjerumuskan masyarakat pada
perilaku konsumtif.
Tetapi, upaya pemerintah dalam mewujudkan stabilitas ekonomi di desa patut diapresiasi.
Program teranyar pemerintah yang di rilis Mei 2011, yaitu program Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), di gadang-gadang mampu
menciptakan stabilitas ekonomi. Optimisme yang dibangun dari program ini adalah
percepatan pembangunan di wilayah daerah dengan mengerahkan kekuatan pusat dan daerah
untuk saling bahu-membahu dalam mendorong kemajuan suatu daerah dan pemerataan
ekonomi.
Namun, satu tahun berjalan program ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Selain itu
ada kelemahan dalam program MP3EI menurut Djasarmen Purba, seorang anggota Dewan
Perwakilan Daerah, daerah pemilihan Kepulauan Riau (dalam harian Sinar Harapan,
Jumat/24/8/ 2012) mengatakan bahwa program MP3EI tidak terintegrasi dengan program
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Daerah. Sehingga program
tersebut masih membutuhkan kajian lebih lanjut untuk mencapai hasil yang maksimal agar
cita-cita desa sebagai kekuatan ekonomi bisa diwujudkan.
Kekuatan Ekonomi
Iwan Fals dalam sebuah syair lagunya yang berjudul "Desa" dalam album manusia setengah
dewa menyebutkan, "Desa harus jadi kekuatan ekonomi, desa adalah kekuatan sejati, desa
adalah kenyataan, desa dan kota tak terpisahkan, tapi desa harus diutamakan".
Syair lagu Desa tersebut mungkin merupakan sebuah kebenaran yang harus diwujudkan.
Karena mayoritas penduduk desa bermata pencaharian petani, sehingga langkah untuk
membangun kekuatan ekonomi desa seyogyanya harus difokuskan pada sektor pertanian.
Sejalan dengan hal ini, dalam menjadikan sektor pertanian sebagai roda penggerak
pertumbuhan ekonomi maka komitmen untuk memperluas dan meningkatkan swasembada
pangan harus terus diasah. Jika hal ini telah menjadi prioritas utama, maka tentunya untuk
mewujudkan desa sebagai basis kekuatan ekonomi akan mendekati kenyataan. Sehingga
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan melalui sektor pertanian inipun dapat dicapai.
Tidak kalah pentingnya adalah potret desa sebagai simbol keterbelakangan dan
ketidakberdayaan dapat terkikis, serta terwujudnya stabilitas ekonomi di desa. Semoga. ***
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=312026 diakses tgl 26/11/2013 at 14:52
Masalah Masyarakat Perkotaan & Masyarakat Pedesaan
Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia.
Kota sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda dengan
pedesaan, sedangkan masyarakat kota adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya, dan juga merupakan suatu
kelompok terorganisasi yang tinggal secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat
interkomuniti yang tinggi.Permasalahan di kota adalah pengangguran, rawan pangan, rawan
moral dan lingkungan.
Sedangkan Desa adalah suatu perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik,
dan kultural yang terdapat di suatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal
balik dengan daerah lain, sedangkan masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan
perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga atau anggota
masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dicintai serta mempunyai
perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakat atau anggota masyarakat.
Permasalahan yang ada di kota antara lain :
1. konflik (pertengkaran),
2. kontroversi (pertentangan),
3. kompetisi (persaingan),
4. kegiatan pada masyarakat pedesaan, dan
5. sistem nilai budaya.
Kasu-kasus yang mencirikan kemiskinan di pedesaan adalah :
1. lemahnya posisi sumber daya alam,
2. lemahnya posisi sumber daya manusia di pedesaan,
3. kurangnya penguasaan teknologi,
4. lemahnya infrastruktur dan lemahnya aspek kelembagaan, termasuk budaya, sikap, dan
motivasi.
INTERAKSI DESA DAN KOTA
Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi.
1. Pola interaksi sosial pada masyarakat ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan.
2. Pola interaksi masyarakat pedesaan adalah dengan prinsip kerukunan, sedang masyarakat
perkotaan lebih ke motif ekonomi, politik, pendidikan, dan kadang hierarki.
3. Pola interaksi masyarakat pedesaan bersifat horisontal, sedangkan masyarakat perkotaan
vertikal.
4. Pola interaksi masyarakat kota adalah individual, sedangkan masyarakat desa adalah
kebersamaan.
5. Pola solidaritas sosial masyarakat pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan
kemasyarakatan, sedangkan masyarakat kota terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan
yang ada dalam masyarakat.
Pengaruh kota terhadap desa :
1. kota menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan desa
2. menyediakan tenaga kerja bidang jasa
3. memproduksi hasil pertanian desa
4. penyedia fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan, rekreasi
5. andil dalam terkikisnya budaya desa
Pengaruh desa terhadap kota :
1. penyedia tenaga kerja kasar
2. penyedia bahan-bahan kebutuhan kota
3. merupakan hinterland
4. penyedia ruang (space).
URBANISASI DAN PENANGGULANGANNYA
Urbanisasi adalah suatu proses perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Urbanisasi dilihat dari kacamata sosiolog menunjukkan tiga gejala sosial yaitu
urbanisasi itu sendiri, detribalisasi, dan stabilitas.
Ahli ekonomi melihat pada beralihnya corak mata pencaharian yang baru di kota yang
wujudnya subsistence urbanization sebagai pengganti corak sebelumnya yaitu subsistence
agriculture.
Ahli geografi melihatnya sebagai:
1. Perkembangan persentase penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan, baik secara
mondial, nasional, maupun regional.
2. Bertambahnya penduduk yang menjadi bermata pencaharian nonagraris di pedesaan.
3. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota.
4. Mekar atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota ke kawasan sekelilingnya.
5. Meluasnya pengaruh suasana perekonomian kota ke pedesaan.
6. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis, dan kultural kota ke pedesaan; dengan
perkataan lain meluasnya aneka nilai dan norma urban ke kawasan di luarnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi urbanisasi
Faktor pendorong :
1. timbulnya kemiskinan di kota
2. kegagalan panen
3. peraturan adat yang kuat
4. kurangnya sarana pendidikan pengembangan diri
5. perang antarkelompok
Faktor penarik :
1. di kota banyak pekerjaan
2. pekerjaan lebih sesuai pendidikan
3. mengangkat status sosial
4. pengembangan usaha di luar bidang pertanian
5. fasilitas pendidikan lebih banyak
6. modal lebih banyak
7. tingkat budaya lebih tinggi
Akibat urbanisasi :
1. berkurangnya tenaga kerja di desa
2. terbentuknya daerah suburban
3. terbentuknya pemukiman kumuh
4. meningkatnya tuna karya
Usaha penanggulangan urbanisasi :
- Lokal jangka pendek :
1. perbaikan perekonomian pedesaan
2. pembersihan pemukiman kumuh
3. penataan pemukiman kumuh
4. memperluas lapangan kerja
5. membuat dan melaksanakan proyek perkotaan
- Lokal jangka panjang
- Nasional jangka pendek
- Nasional jangka panjang
KONFLIK SOSIAL DAN INTEGRASI SOSIAL
- KONFLIK SOSIAL
Perspektif fungsionalisme melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang stabil dan selalu
mengandung keseimbangan.
Sebaliknya, teori konflik sebagai reaksi terhadap fungsionalisme pada tahun 1950-an dan
1960-an mengemukakan bahwa masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok yang bertikai
yang sering bertempur habis-habisan, bukannya sebagai keluarga besar yang bahagia.
- INTEGRASI SOSIAL
Integrasi sosial dikonsepkan sebagai suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan
sosial, ekonomi maupun politik.
Kelompok-kelompok sosial tersebut dapat terwujud atas dasar agama atau kepercayaan, suku,
ras, dan kelas.
Dalam konteks ini, integrasi tidak selamanya menghilangkan diferensiasi tetapi yang
terpenting adalah memelihara kesadaran untuk menjaga keseimbangan hubungan.
Pokok-pokok integrasi sosial menurut Dahrendoof (1986) adalah (a) Stabilitas, (b)
Fungsi koordinasi, (c) Konsensus, dan (d) Integrasi yang terstruktur dengan baik.
Sedangkan proses terjadinya integrasi sosial di masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam
tiga dimensi, yaitu (1) masyarakat dapat terintegrasi di atas kesepakatan sebagian besar
anggota terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan (2) masyarakat
dapat terintegrasi karena sebagian besar anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial
sekaligus (cross-cutting affiliations).
Melalui mekanisme demikian, konflik-konflik yang terjadi baik yang tampak maupun yang
laten, teredam oleh loyalitas ganda, dan (3) masyarakat dapat terintegrasi atas saling
ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi.
Akibat adanya perbedaan pemilikan dan penguasaan sumber ekonomi, seperti kaya,
menengah, dan miskin.
Ada dua macam mobilitas sosial yaitu vertikal dan horisontal.
Yang vertikal berhubungan dengan perpindahan posisi ke atas atau ke bawah, sedangkan
yang horisontal berhubungan dengan perpindahan dari satu bidang atau dimensi ke bidang
atau dimensi lainnya dalam kelas yang sama.
Pengendalian sosial (kontrol sosial) adalah kontrol yang bersifat psikologik dan nonfisik,
yaitu merupakan tekanan mental terhadap individu, sehingga individu akan bersikap dan
bertindak sesuai dengan penilaian kelompok, karena ia tinggal dalam kelompok.
Adapun hasil dari pengendalian sosial adalah (a) proses pembentukan kepribadian sesuai
dengan keinginan kelompok, dan (b) kelangsungan hidup atau kesatuan kelompok lebih.
- NEGARA HUKUM
Individu adalah orang seorang atau pribadi yang secara kodrati ingin hidup bersama dengan
individu lainnya.
Satu individu akan selalu membutuhkan individu lainnya.
Masyarakat adalah kumpulan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
Masyarakat tidak akan terbentuk tanpa ada individu-individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
Kumpulan individu tidaklah secara otomatis menjadi masyarakat hukum, misalnya para
penonton sepak bola, pembeli dan pedagang di pasar.
Walaupun sudah dapat disebut sebagai masyarakat tetapi masing-masing individu tidak diikat
oleh satu hukum tertentu yang mewajibkan mereka mengikuti aturan yang diciptakan
bersama oleh anggotanya.
Masyarakat hukum adalah masyarakat di mana para anggotanya diikat oleh satu norma atau
aturan hukum tertentu sebagai patokan untuk bersikap dan bertindak.
Misalnya masyarakat hukum adat, koperasi atau partai politik di mana masing-masing
anggotanya harus tunduk pada aturan yang sudah ditentukan dan jika tidak tunduk, maka
individu tersebut dapat dikenakan sanksi.
Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasikan oleh lembaga politik dan pemerintah yang sah, mempunyai kedaulatan
sehingga berhak menentukan tujuan nasional negaranya.
Lembaga politik dan pemerintah yang terorganisasikan tersebut dibentuk atas dasar kehendak
bersama dan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi agar dapat mencapai tujuan bersama
pula.
Negara hukum yaitu negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Hukum yang berlaku di negara tersebut haruslah hukum yang mencerminkan keadilan bagi
masyarakatnya dan bukan hukum yang hanya berpihak kepada masyarakat tertentu saja
sehingga kedudukan semua individu atau masyarakat sama di depan hukum.
http://yuliantidwisaputris.blogspot.com/2010/11/masalah-masyarakat-perkotaan-
masyarakat.html
Perbedaan Masalah – Masalah yang ada di Pedesaan dan Perkotaan
OKTOBER 18, 2012 BY KHOIRULIMAN
Dalam suatu wilayah negara dapat dibagi menjadi dua wilayah berdasarkan keberadaan
sarana , prasarana , kualitas pendidikan dan juga tingkat ekonomi yang ada di wilayah
tersebut . Dua wilayah tersebut biasa disebut Perkotaan dan Pedesaan. Wilayah Perkotaan
umumnya wilayah yang lebih maju dari segi laju ekonomi , kualitas pendidikan dan fasilitas
sosialnya sedangkan wilayah Pedesaan adalah sebuah wilayah yang masih dalam tahap
perkembangan ekonomi dan pembangunan sarana dan prasarana di daerah tersebut. Di setiap
daerah tersebut pasti memiliki masalah – masalah masing masing yang tentunya berbeda satu
sama lain.
Masalah sosial yang ada di Perkotaan :
1.Masalah Kemacetan .
Masalah kemacetan ini adalah sebuah masalah besar yang dialami berbagai kota besar di
dunia tidak hanya di Indonesia yaitu di Jakarta . Banyakanya jumlah kendaraan pribadi
menjadi penyebab utama kemacetan di kota-kota besar . selain itu juga faktor kurang
tertibnya pengendara menambah parah kemacetan dan kurangnya minat masyarakat terhada
transportasi umum yang telah disediakan yang menjadi masalah utama kurangnya minat
masyarakat terhadap transportasi umum adalah kenyamanan. Banyak yang menganggap
bahwa transportasi umum tidak aman dan juga tidak nyaman . ini juga karena faktor
pemerintah yang seolah cuek dengan masalah transportasi .
2.Kemiskinan
Status kota yang dapat diartikan sebagai wilayah yang laju ekonominya sudah berkembang
dengan cepat , namun bukan menjadi jaminan bahwa masyarakat yang tinggal disana adalah
masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi rendah .Masalah ini bisa terjadi karena
lapangan kerja yang terbatas sudah tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang tinggal
disana.
3.Emosi
Entah mengapa masyarakat kota terutama remajanya banyak dari mereka yang tempramental
dan mudah di provokasi . itu juga menyebabkan banyaknya kasus Tawuran antar pelajar
ataupun kelompok masyarakat yang belakangan ini sangat sering terjadi dan sudah memakan
banyak korban.
4.Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk juga menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi setiap pemimpin daerah
tersebut . kepadatan penduduk bisa disebabkan karena tingkat kelahiran yang tinggi dan
juga . arus Urbanisasi yang sangat tinggi . banyak dari masyarakat di desa yang menganggap
bahwa dengan mereka pergi kekota mereka akan mendapatkan pekerjaan . namun
kenyataanya ? mereka harus bersusah payah mencari uang hanya untuk makan . dan kotapun
semakin sesak . permasalahan ini juga cukup sulit di selesaikan karena persepsi yang sudah
melekat di masyarak di desa bahwa mencari kerja di kota mudah.
5.Gaya Hidup
Masyarakat perkotaan cenderung memiliki gaya hidup yang glamour dan menengah keatas.
Ini bisa terjadi karena tuntuan hidup yang ada diperkotaan menuntut mereka bergaya hidup
glamour. Tetapi tidak semua masyarakat kota yang memiliki penghasilan tinggi . ini juga
yang membuat tingkat kriminal di perkotaan tinggi karena kesenjangan sosial yang terlampau
jau
Masalah Sosial yang ada di Pedesaan:
1.Ekonomi
Masalah Ekonomi adalah salah satu Masalah Terbesar yang terjadi di pedesaan . Laju
Ekonomi yang tergolong lambat karena lapangan kerja di sektor Formal yang sangat sulit.
Banyak dari mereka yang hanya bekerja sebagai petani , nelayan ataupun sebagai peternak
dan tidak sedikit pula dari mereka yang menganggur. Tentu ini juga menjadi masalah yang
harus diperhatikan oleh pemerintah karena wilayah negara tersebut tidak hanya sebatas
daerah Perkotaan . tetapi juga ada daerah Pedesaan yang justru membutuhkan perhatian lebih
dari pemerintah.
2. Pendidikan
Kualitas Pendidikian di pedesaan menajadi masalah yang sangat penting . karena kualitas
pendidikan masih di bawah kualitas pendidikan di perkotaan. Ini karena sarana pendidikana
yang kurang dan juga tenaga pengajar yang kurang juga menjadi sebab kurang bagusnya
pendidikan di pedesaan. Dan ini juga menyebabkan kurang terserapnya Tenaga kerja
masyarakat pedesaan untuk lapangn pekerjaan yang formal.
3. Sarana dan Prasarana.
Ini adalah Masalah yang paling utama di pedesaan . minimnya sarana dan prasaran sudah
memunculkan banyak masalah besar lainya. Sarana dan prasarana seperti jalan yang memdai
,sekolah , Fasilitas kesehatan dan ada juga fasilitas listrik yang masih belum bisa diikmati
masyarakat pedesaan.
Namun dari semua kekurangan yang dimiliki pedesaan masih banyak sisi positif yang
dimiliki masyarakat pedesaan , seperti hubungan kekeluargaan antar masyarakat , Masyarakat
pedesan cenderung lebih taat kepada agama , Mereka juga masih memegang teguh adat
istiadat yang ada di daerah mereka masing-masing , mereka juga lebih kreatif dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitar mereka dengan cara yang wajar dan Merek
juga sangat ramah kepada pendatang yang berkunjug ke wilayah mereka.
Di setiap wilayah yaitu Pedesaan dan Perkotaan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing . namun dengan adanya persepsi dua wilayah , perkotaan dan pedesaan seharusnya
bukan menjadi perbedaan prioritas pemerintah untuk menjalankan kewajibanya untuk
membangun wilayah negara menjad lebih maju. Begitu juga seluruh masyarakat yang ada
diwilayah itu . Mereka seharusnya tidah membeda-bedakan berasal darimanakah orang itu.
Karena darimanapun orang tersebut mereka masih bagian dari wilayah tersebut
http://khoiruliman.wordpress.com/2012/10/18/perbedaan-masalah-masalah-yang-ada-di-
pedesaan-dan-perkotaan/
AKAR PENYEBAB DAN PERMASALAHAN KEMISKINAN PERDESAAN
A. Pengertian Kemiskinan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sekarang bernama Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dikembangkan sebagai media untuk
membangun kesadaran masyarakat dan semua pihak terhadap perubahan dan nafas
pembangunan. Gagasan awal dari PNPM Mandiri Perdesaanyaitu, dalam kondisi krisis dan
proses pemiskinan yang bekepanjangan ini belum adanya sistem perlindungan sosial yang
efektif, besarnya kelompok rentan (vulnerable) di tingkat perdesaan selalu meningkat dan
pada akomulasi tertentu sampai akan menghancurkan cadangan utama penyelamatan (safety
first) di masyarakat perdesaan (Scott, 1989:7).
Hancurnya sistem sosial, modal sosial seperti sarana prasarana, menurunnya tingkat
kualitas hidup, mandeknya sistem ekonomi kerakyatan, tak berfungsinya kelembagaan di
tingkat masyarakat perdesaan sebagai akar penyebab dari kemiskinan.
Secara umum Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan (2002) menyatakan
bahwa masyarakat miskin ditandai adanya ketidakberdayaan atau
ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: a) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need
deprivation); b) melakukan kegiatan yang tidak produktif (unproductiveness); c) tidak bisa
menjangkau akses sumber sosial dan ekonomi (inaccessability); d) menentukan nasibnya
sendiri dan senantiasa mendapatkan perlakukan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan
dan kecurigaan, serta sikap apatis dan vatalistik (vurnerability)dan; e) membebaskan diri dari
mental dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai martabat harga diri yang rendah (no
freedom for poor).
Pengertian Kemiskinan yang ekstrem menurut sebagian para ahli yaitu ditandai dalam
situasi kemiskinan ekstrem ada enam macam modal kapital: 1) Human Capital (modal
sumber daya manusia); 2) Business Capital (modal usaha / perdagangan); 3) Infrastructure
(prasarana / rangka dasar); 4) Nature Capital (modal sumber daya alam); 5) Public
Institusional Capital (lembaga-lembaga umum / publik) dan; 6) Knowledge Capital (modal
pengetahuan / penguasaan pengetahuan)
Sementara itu target Pengentasan Kemiskinan menurut Millenium Development Goals
(MDGs) pada tahun 2015, 191 negara anggota PBB berjanji untuk:
Menghapus kemiskinan absolut dan kelaparan sampai separuh dari jumlah yang ada saat ini.
Mencapai pendidikan dasar yang universal bagi semua anak perempuan dan laki-laki.
Mendorong kesetaraan jender di semua tingkat pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Menurunkan angka kematian bayi dan anak dari dua per tiganya dari jumlah saat ini
Meningkatkan kesehatan ibu dan mengurangi sampai tiga per empat jumlah anggka kematian
ibu hamil dan melahirkan
Memberantas HIV / AIDS dan penyakit-penyakit infeksi penyebab utama kematian.
Menjamin keberlanjutan lingkungan dengan memasukkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke dalam berbagai kebijakan dan program negara.
Membangun kemitraan global untuk pembangunan dengan mengembangkan sistem
perdagangan terbuka dan sistem keuangan berbasis hukum, teratur, dan tidak diskriminatif.
Pengertian Kemiskinan Menurut Biro Pusat Statistik (BPS)?
Terdapat ada 14 Variabel Penentu Kemiskinan yaitu:
1) Luas lantai per kapita
2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal
3) Jenis dinding tempat tinggal
4) Fasilitas buang air besar
5) Sumber air minum
6) Sumber penerangan rumahtangga
7) Bahan bakar untuk masak
8) Kemampuan membeli daging/ayam/susu per minggu
9) Frekwensi makan per hari
10) Kemampuan beli baju baru per tahun
11) Kemampuan untuk berobat di puskesmas / poliklinik
12) Lapangan pekerjaan kepala rumahtangga
13) Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga
14) Pemilikan asset
Terdapat Empat (4) Variabel Intervensi
1) Keberadaan balita
2) Keberadaan anak usia 7 – 18 tahun
3) Partisipasi WUS berstatus kawin dalam KB
4) Penerimaan kredit usaha
Menurut Combers (1983: 145) unsur-unsur kemiskinan terjalin erat dalam suatu mata
rantai dan ada sekitar dua puluh (20) pola kemungkinan hubungan kausal yang dalam
keadaan negatif membentuk semacam jaringan untuk menjebak orang dalam kemelaratan.
Perangkat tersebut berasal dari kemiskinan sebagai faktor utama yang berakibat ke dalam
kelemahan fisik, kerawanan, kerentanan, ketidakberdayaan dan terisolasinya dari akses yang
lebih luas.
Korten (1972: 15) menyebutnya sebagai akibat dari pemusatan kekayaan dan kekuasaan,
adanya sistem lingkungan yang rapuh dan adanya lembaga modern atau internasional yang
ternyata tidak tepat untuk untuk mengatasi kondisi dan tingkat kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Yujiro dan Kikuchi, (1987: 158) yang pernah melakukan penelitian
ekonomi desa di Indonesia yang ikut memperparah kemiskinan struktural mengemukakan
bahwa adanya perubahan secara dramatis(polarisasi) dalam sistem kelembagaan desa,
menjadi salah satu indikator bahwa permasalahan polarisasi tersebut menjadi ancaman
terbesar bagi daya kekebalan (resistensi) masyarakat perdesaan.
Berkaitan dengan berbagai persoalan kemiskinan tersebut dapat merumuskan bahwa
permasalahan kemiskinan disebabkan adanya: a) permasalahan finansial atau kebutuhan
masyarakat sebagai akibat langsung pada permasalahan ekonomi, sarana prasarana dan
kualitas hidup mereka; b) kemiskinan dilihat dari masalah struktural (kebijakan negara,
pemerintah pusat, daerah, pemerintah desa salah satunya tidak adanya informasi yang
transparan di tingkat masyarakat) yang berakibat langsung atau tidak langsung pada
masyarakat menjadi miskin; c) permasalahan mentalitas atau masalah sumber daya manusia
(tingkat pendidikan, pengalaman hidup, dan lain-lain); d) permasalahan tidak adanya
cadangan devisa (safety net) di tingkat masyarakat atau kelompok masyarakat. Misalkan tidak
mempunyai sawah, pekarangan, ternak, harta benda (emas atau perak) dan lain sebagainya;
dan e) permasalahan dari kerentanan usaha (kemiskinan potensial/ produktif) artinya mereka
menjadi tidak miskin apabila dimungkinkan adanya pinjaman usaha atau akses usaha.
Ada dua peran yang vital bagi program ini dalam memenuhi kebutuhan masyarakat miskin
dan sekaligus menyumbang kepada perkembangan sektor keuangan mikro di perdesaan: a)
perlunya prioritas pemberian kredit kepada masyarakat miskin (termasuk di dalamnya
perempuan) yang mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha yang menguntungkan
tetapi tidak memenuhi kredit dari lembaga keuangan; b) perlunya kemandirian dan
pengembangan lembaga keuangan mikro yang mampu memberikan pelayanan kredit bagi
golongan miskin secara sehat dan; pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Hal ini sejalan dengan pendapat Heilbroner (1994: 45-46) bahwa perlu adanya sikap baru
dalam kegiatan ekonomi di antaranya masyarakat yang berdasarkan status harus digantikan
dengan yang berdasarkan kerja. Tatanan masyarakat di mana orang dilahirkan untuk
menjalankan peranan tertentu dalam suatu masyarakat dengan masyarakat di mana orang
bebas untuk menjalankan peran yang diinginkan.
B. Akar Masalah dan Penyebab Kemiskinan di Perdesaan
Margono (1978 : 1-3) mengemukakan bahwa masalah perdesaan, ditinjau dari segi
pembangunan, adalah adanya kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang
diinginkan. Adanya suatu situasi baru yang diinginkan tetapi tidak tercapai juga
menimbulkan ada masalah.
Di dalam kegiatan pembangunan desa, masalah akan muncul secara terus menerus dan
dalam bentuk yang bermacam-macam. Penyebabnya, juga berbeda sehingga diperlukan
proses identifikasi masalah untuk menentukan mana yang prioritas, yang mudah dipecahkan
dan yang sulit dipecahkan
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa masalah rumit di desa ternyata mudah
dipecahkan oleh masyarakat, karena faktor penyebabnya secara dini sudah diketahui
masyarakat.
Sering terjadi ada kasus-kasus kecil yang sebenarnya penting untuk mendapat perhatian
tetapi masyarakat baru bertindak setelah keadaan semakin memburuk.
Dorodjatun (1994:1) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok masyarakat desa
terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut masalah struktur yang
menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah
individu dan pola pemilikan atas tanah.
Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka,
serta berlakunya upah yang rendah. Selain itu, meningkat pula jumlah kaum miskin di
kalangan petani atau masyarakat.
Sehingga pemerintah dari pemerintahan lokal sampai pusat perlu menyadari adalah
masalah yang mendasar yang menjadi pangkal problema pembangunan perdesaan yang perlu
mendapat perhatian, yaitu: a) pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi
pembangunan desa yang berlawanan yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas
dengan pola strategi perencanaan dari bawah; b) masyarakat desa menghadapi masalah
kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaktahuan; c) masalah kepemilikan tanah yang
semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang
mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi; d) potensi pembangunan
Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan konsisten, maka
pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang
multidimensi.
Sayangnya, telah terjadi dekadensi kehidupan ekonomi dan sosial budaya di perdesaan,
akibat kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi pada pemusatan pembangunan
industri di kota-kota yang menggunakan bahan baku impor.
Irawan dan Kartjono (1985:21) mengemukakan, di Indonesia masalah pokok perdesaan
adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Gambaran dari kemiskinan dan keterbelakangan
tersebut adalah: a) pendapatan mayoritas penduduk rendah; b) adanya kesenjangan antara
yang kaya dan yang miskin; dan c) kurangnya partisipasi masyarakat miskin dalam
pembangunan. Di samping dalam pembangunan pedsaan terdapat konsep “Pembangunan
Perdesaan Terpadu” (Intregrated Rural Development-IRD) dan pendekatan ini sangat populer
di negara berkembang.
Seperti yang dikemukakan Waterson (dalam Andrina Cs., 1991: 368) yang mengajukan 6
unsur yang harus ada dalam pendekatan IRD yaitu: a) pertanian padat karya; b) pekerjaan
umum skala kecil yang menyerap tenaga kerja; c) industri ringan berskala kecil yang di
bangun di dalam dan di sekitar daerah pertanian; d) swasembada lokal dan partisipasi dalam
pengambilan keputusan; e) pembangunan hirarki perkotaan yang mendukung pembangunan
perdesaan; dan f) kerangka kerja institusional yang tepat guna utuk kemandirian koordinasi
program multisektoral.
C. Stratifikasi dan Permasalahan Ekonomi Desa
Menurut Geertz (1989: 476) yang menyatakan bahwa sistem stratifikasisosial yang
mengubah dan mobilitas status yang cenderung melaksanakan adanya kontak di antara
individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak
terpisah.
Hayami dan Collier Cs. (1996: 166) telah melakukan penelitian bahwa
adanya polarisasi ekonomi perdesaan atau terjadinya proses kemiskinan disebabkan adanya
pergeseran desa ke kota (proses modernisasi) dan alih teknologi.
Studi kasus yang dilakukan oleh Boeke (1959) dengan membagi ekonomi di Indonesia
(studi kasus di Jawa) menjadi tiga struktur ekonomi: a) struktur ekonomi modern,
mementingkan ekonomi yang berproduksi pertanian untuk kepentingan pasar internasioal dan
dikendalikan dengan sistem manajemen modern; b) struktur ekonomi pribumi yang
didasarkan tatanan desa komunal dengan solidaritas yang tinggi. Struktur ini bercirikan antara
lain ekonomi pribumi bukan ekonomi pasar seperti negara barat dan; c) struktur eknomi
perdagang perantara yang merkantilistik oleh pemerintah Belanda “diperuntukkan” dengan
bahasa sekarang “dijadangkan” bagi golongan keturunan yaitu Cina, Arab dan India.
Sehingga menurutnya ekonomi Indonesia menggunakan sistem ekonomi ganda yang
cenderung menciptakan ekonomi kerakyatan dan ekonomi kapitalistis.
Studi yang dilakukan Faisal Kasryno (1984: 302-304) tentang permasalahan perkreditan
dalam membangun pertanian ditemukan bahwa pada awalnya lembaga perkreditan sebagai
ikatan golongan kaya dan miskin serta merupakan bentuk tenggang rasa yang
dimanifestasikan dalam natura(barang). Tetapi setelah adanya peralihan pertanian dari
subsisten ke pertanian komersial perkreditan yang dipahami sebagai ikatan dan tenggang sara
lama-lama menjadi hubungan ekonomis. Dalam studi ini juga dikemukakan bahwa sektor
pertanian merupakan sektor utama dalam membangun ekonomi perdesaan, tetapi
pertumbuhan kredit perbankan hanya 28% pertahun yang lebih rendah dari sektor yang
lainnya.
Richard Goble (1976) mengemukakan bahwa struktur pembangunan di Indonesia terletak
pada administrasi yang cenderung ke arah birokrasi yang elitis yang dikendalikan dari pusat.
Akibatnya pembangunan di perdesaan menghasilkan pembangunan yang semu. Geertz (1963)
menyebutkan adanya struktur petani Jawa yang menurutnya petani Jawa masa depannya akan
terus mengalami kemiskinan struktural. Sehingga Boeke dan Geerrtz, begitu pesimis
mengenai peranan penduduk pribumi (perdesaan) di Indonesia, karena dasar sejarahnya
cukup menyakitkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Akatiga Bandung (1992) tentang “Gender, Marginalisasi
dan Industri Perdesaan” yang menunjukkan adanya prosesmarginalisasi dari pekerjaan
produktif perempuan hanya terbatas pada unit-unit usaha rumah tangga atau berskala kecil.
Jenis pekerjaan ini jarang diakui oleh orang lain sekalipun sumbangan mereka dari segi
produktivitas, jam kerja dan masukan-masukan riel ternyata mereka besar.
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Oey (1991: 16) dalam data Biro Pusat Strategi
(BPS) dalam “Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga” yang menyatakan
pembagian kerja rumah tangga menurut jenis kelamin merupakan gejala universal. Laki-laki
lebih cenderung tampil di tempat umum dan perempuan diberi tempat dalam rumah. Laki-
Laki bekerja mencapai (84% di kota dan 88% di desa) sementara perempuan hanya
separuhnya (47% di kota dan 51% di desa).
Mubyarto (1991) permasalahan tersebut dengan melakukan deregulasiekonomi dan
strategi pengembangan ekonomi rakyat beberapa yang dianjurkan adalah: a)
perlunya deregulasi bank dan masyarakat artinya bank penerima simpanan dan memudahkan
pinjaman kredit kepada masyarakat; b) perlunya mempersiapkan rakyat kecil memanfaatkan
jasa bank yang selama ini bank sebagai “penyedot dana masyarakat” dan bukan sebagai
“penyalur dana masyarakat” dan; c) perlunya kerjasama bank dalam membangun ekonomi
rakyat di perdesaan dengan melakukan pendirian badan-badan perkreditan rakyat formal dan
mengembangkan sistem masyarakat bawah.
Sritua Arief (1993:330) mengemukakan bahwa lembaga keuangan rakyat menciptakan
demokrasi ekonomi yang sebenarnya. Seperti dikemukakan Hatta telah terjadinya hubungan
ekonomi yang bersifat eksploitatif terhadap masyarakat (Sritua Arief, 1999: 131)
D. Permasalahan Penguatan Kelembagaan Perdesaan
Berbgai permasalahan pengembangan penguatan komunitas atau kelembagaan itu sendiri.
Seperti kita ketahui bahwa, bahwa prinsip-prinsip yang dipakai untuk mengembangkan
pendekatan dan strategi yang partisipatif sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas
dengan mempergunakan belum dilandasi pada landasan berfikir untuk mengembangkan
kreativitas semua stakeholders dalam upaya mengembangkan partisipasi dan aspirasi
masyarakat perdesaan.
Seperti adanya tatanan struktur pemerintahan formal sebenarnya telah ada tanda-tanda
yang mendukung masyarakat sipil. Pada aras pemerintah desa dibentuk adanya Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan perwakilan rakyat yang dipilih secara
demokratis sekarang telah dianulir menjadi perangkat kelembagaan desa. Belum adanya
inovasi dan fasilitasi dalam mendorong adanya kebebasan sistem kelembagaan lokal untuk
membentuk asosiasi sosial, perlindungan hukum, prakarya kemandirian dan pengembangan
dalam melaksanakan tatanan masyarakat sipil bagi semua warga masyarakat juga menjadi
masalah mendasar diperdesaan.
Disampin itu, juga ada masalah yang mempengaruhi tingkat partisipasi antara lain seperti
yang disimpulkan dan Ndraha (1982, 1987) adalah: a) adanya buta-huruf, sifat acuh,
kemiskinan dan kemunduran, rendahnya kualitas kepemimpinan lokal; b) lemahnya
partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi; c) lemahnya partisipasi karena
kegiatan tertentu dalam program pembangunan kurang cocok atau bertentangan dengan nilai
dan norma setempat; d) lemahnya partisipasi karena tidak memanfaatkan organisasi yang
sudah dikenal atau telah ada di tengah masyarakat dan; e) lemahnya partisipasi karena tidak
dapat memberikan manfaat secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
E. Lokalitas Kelembagaan Desa yang Perlu Diperhatikan
Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak hanya secara
ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat pengambilan
keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam “keterkaitan”
tersebut (level organisasi) tersebut berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai
suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat
institusi lokalitas dengan ciri-ciri oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan
ekonomi, dengan pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan.
Dikemukakan oleh Swamy (dalam Andrina Cs., 1991) bahwa tujuan dampak adanya
kelembagaan lokal adanya perbaikan akses servis bagi perumahan dan afektivitas rumah
sehat dan proverty antara perbandingan dengan dampak adanya askses kesehatan, pendidikan
dan modal fikologis.
Tingkat komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih
menunjuk kepada sistem administrasi atau teritorial yang lebih rendah. Tingkat kelompok,
sebagai kesatuan masyarakat yang mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu,
seperti lingkup pekerjaan, kekerabatan, gender dan sebagainya. Sedangkan lingkup organisasi
yang lebih kecil adalah rumah tangga. Organisasi ini tunduk pada pengaruh dari ketiga
tingkat operasional di atasnya. Lebih dari itu, beragam keterkaitan tersebut merupakan
representasi dari suatu “hubungan kelembagaan” antar seluruh stakeholders sistem
administrasi perdesaan.
Dalam konteks ini, konsep “lokalitas” atau “kelembagaan lokal” mengandung pengertian
pertama “ikatan sosial” yang berlandaskan teritorial di mana masyarakat di kawasan tersebut
hidup dalam suatu lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial”
berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) di mana hubungan antar anggotanya tidak permanen,
tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu. Ketika “ikatan
sosial” yang dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah
dari modal sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan
masyarakat.
Yustina dan Sudrajat et.al (2003: 208) mengatakan bahwa modal sosial merupakan
cerminan sejauh masyarakat yang terdiri dari individu-individu bersifat “unik” mampu
mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan transaksi sebagai wujud struktur sosial.
Modal sosial dapat berdegradasi dari yang paling lemah (enter) sampai yang paling
kuat (kental) yang dicirikan masyarakat dari loose structur sampai ke solid structur.
Uphoff (dalam Dasgupta Cs., 2002: 215) mengemukakan bahwa modal sosial lebih
dilihat bagian upaya pembelajaran analisis dan eksperimen partisipasi yaitu adanya inisiatif
dan tidak sekedar didasarkan pada bentuk luar tetapi lebih pada dimensi pengembangan
kemanusiaan yang di dalamnya termasuk masalah nilai, norma, kebudayaan, motivasi dan
solidaritas.
Sehingga secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan
pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok,
komunitas dan lokalitas. Seperti yang dikemukakan Hikam (dalam Sondakh et.al, 2002: 25)
bahwa permasalahan tersebut lebih menuju adanya tatanan masyarakat sipil yang sebenarnya
merupakan proses pergerakan demokrasi pada aras lokal yang melewati batas kekuasaan
negara dan batas-batas kelas yang didasarakan pada pemberdayaan masyarakat.
Adriansyah Samsura (2003) mengemukakan bahwa salah satu hal penting dalam proses
teknis ini adalah upaya pembangunan “institusi masyarakat” yang cukup legitimasi sebagai
wadah bagi masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan,
argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif
penyelesaian persoalan publik.
Oleh karena pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang dirancang guna
memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan miskin maka usaha untuk
memeratakan pendapatan dituntut adanya perbaikan kelembagaan (Juoro, 1985). Menurut
Soekartawi (1990), aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi
pertanian secara keseluruhan, tetapi juga segi ekonomi perdesaan.
Aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan
di perdesaan dikemukakan maju (Mosher, 1974). Dalam hubungannya dengan model
pembangunan perdesaan, Samonte (dalam Ndraha, 1987) berpendapat bahwa basis strategi
pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat untuk
terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara
langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama
pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya.
F. Strategi Pengembangan dan Pembangunan Perdesaan
Dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai masukan dan
keluaran.Proses partisipasi dapat diklasifikasikan menjadi enam tahapan, yaitu mulai dari
penerimaan informasi, pemberian tanggapan terhadap informasi, perencanaan, pelaksanaan,
penilaian dan akhirmya penerimaan kembali hasil pembangunan.
Conyers (1991) mengajukan tiga komponen pendekatan pengembangan masyarakat yaitu:
a) adanya penekanan yang diarahkan pada fungsi kemandirian, termasuk sumber-sumber dan
tenaga setempat serta kemampuan manajemen lokal; b) penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi-organsasi
lokal termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas masalah
administrasi atau suatu bentuk lembaga masyarakat dan; c) keyakinan umum mengenai
situasi dan arah perubahan sosial serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek khusus
dalam perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok berbagai program pembangunan
masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas-komunitas
tersebut.
Pendekatan pertama adalah menolong diri sendiri, di mana masyarakat di kawasan
perdesaan menjadi partisipan yang berarti dalam proses pembangunan dan melakukan kontrol
dalam kegiatan pengembangan. Pendamping menjadi fasilitator. Sedangkan komunitas
(petani) memegang tanggungjawab utama dalam : a) memutuskan apa yang menjadi
kebutuhannya; b) bagaimana memenuhi kebutuhan itu dan; c) mengerjakannya sendiri.
Kebutuhan tersebut menghendaki perlunya pemetaan sebaran desa-desa tertinggal di
kawasan perdesaan menurut unit-unit komunitas sosial ekonomi yang terikat dalam
suatu culture area, sehingga suatu komunitas sosial ekonomi merupakan: a) sejumlah desa
yang tergolong miskin; b) secara umum penduduknya bermata pencaharian di bidang
pertanian, dan yang lainnya tetapi masih berkaitan erat dan; c) terdapat dalam wilayah budaya
dan wilayah geografis yang sama.
Pola pengembangan kelembagaan terpadu dalam model komunitas dan bergerak dengan
kekuatan partisipasi profesional bagi semua strata sosial ekonomi akan lebih mendorong
pertumbuhan dan pemerataan secara bersama-sama. Apabila digunakan model pertumbuhan
Smelser yang mengacu pada diferensiasi struktural, maka kelembagaan ini dapat berperan
dalam mempersiapkan kerangka landasan untuk tahap-tahap pertumbuhan, mulai dari
modernisasi teknologi, komersialisasi pertanian, industrialisasi dan urbanisasi (Long, 1992).
Masyarakat harus dilihat sebagai Subjek dari proses secara keseluruhan. Sehingga proses
dari pelaksanaan kegiatan pelayanan dapat pengembangan masyarakat selalu
meletakkan community development dan community organizers sebagai landasan. Dalam
kerangka inilah pelayanan dapat pengembangan masyarakat yang berbasis masyarakat
mampu mendorong dari metode "doing for the community", menjadi "doing with the
community".Dikemukakan oleh Topatimasang et.al (2000: ix) bahwa seorang fasilitator
hanya berfungsi dan bertindak mengolah proses belajar masyarakat berdasarkan kebutuhan
dan pengalaman mereka sendiri atau pengalaman orang lain.
Kelompok atau komunitas yang sekedar “doing for” (masyarakat pasif, kurang kreatif dan
tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung) menjadi “doing
with”, (merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi)
mana kebutuhan yang sifatnyareal needs (melalui penggalian gagasan langsung di tingkat
kelompok masyarakat, felt needs (memprioritaskan) kebutuhan ketika terjadi persaingan
usulan di antarkelompok masyarakat) dan expected need (pilihan usulan yang bisa dengan
mudah dikerjakan, kesediaan swadaya dan pelestariannya).
Diharapkan program pelayanan masyarakat ini telah mengantarkan masyarakat menjadi
komunitas belajar (learned cummunity), masyarakat menjadi komunitas yang semakin
aktif (active society) dalam menolong dirinya sendiri (helping themselves). Dalam proses
inilah, usaha strategi pengembangan berbasis masyarakat dalam rangka untuk mengorganisir
masyarakat miskin di dalam akar rumput menjadi bagian penting dari menciptakan program
yang berkelanjutan. Berbagai unsur kelompok masyarakat (Community Based Organization/
CBOs) didorong dan difasilitasi terus menerus yang akirnya munculnya adanya pengurangan
angka kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia, peluang dan pilihan kerja serta adanya
peningkatan kualitas kelembagaan pelayanan itu sendiri.
http://kpmbwi.blogspot.com/2012/08/akar-penyebab-dan-permasalahan.html
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA
I. PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Pembangunan merupakan salah satu istilah yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-
hari, terutama bila hal itu terkait usaha memajukan kehidupan masyarakat. Masyarakat desa
sebagai bagian dari warga Negara juga tidak terlepas dari proses atau usaha dalam
memajukan kehidupannya baik melalui usaha perorangan maupun lewat program-program
yang dlaksanakan oleh pemerintah dalam upaya memajukan dan mensejahterakan masyarakat
sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Tujuan Pembangunan Nasional yaitu menciptakan
masyarakat Indonesia yang sejahtera di bergabai bidang kjehidupan.
Pembangunan yang sudah menjangkau desa-desa saat ini menyebabkan desa mengalami
perubahan yang cukup besar. Beberapa aspek perubahan ini bahkan belum pernah terjadi
sebelumnya sehingga telah mengubah wajah desa. Berbagai karakteristik yang ditemukan
pada desa-desa tradisional kini tidak ditemukan lagi melainkan digantikan dengan berbagai
kemajua teknologi yang terasa asing dan merupaan hal baru bagi masyarakat desa.
Masyarakat desa sebagai sebuah komunitas yang sedang mengalami perubahan karena
pembangunan tidaklah lepas dari masalah. Beberapa diantara masalah-masalah tersebut
adalah masalah lama yang belaum terselesaikan atau masalah baru yang muncul akibat
perubahan secara keseluruhan atau sebagai dampak negative dari pembangunan itu sendiri.
Sesuatu disebut masalah apabila terjadi keadaan di mana harapan atau cita-cita tidak
terpenuhi karena sesuatu hal atau apa yang diharapkan terjadi berbeda dengan kenyataan.
Dengan demikian suatu masalah senantiasa memerlukan penyelesaian atau pemecahan
melaui upaya-upaya tertentu agar apa yang dicita-citakan itu tercapai. Disini ditemukan
bahwa tidak semua keadaan desa yang dicita-citakan itu terwujud dalam kehidupan sehari-
hari. Bahkan tidak sedikit desa-desa yang taraf perkembangannya masih sangat jauh dari cita-
cita masyarakat dan pemerintanya.Keadaan seperti ituah yang disebut masalah-masalah di
pedesaan.Masalah-masalah tersebut terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar desa, maupun
sebagai akibat dinamika atau perkembangan intern dari desa itu sendiri. Beberapa contoh
yang biasa digolongkan masalah pedesan tersbut adalah mash tingginya angka kemiskinan,
terbatasnya lapangan kerja yang renumeratif, masih redahnya tingkat pendidikan rat-rata
penduduk, munculnya pengangguran dan setegah pengangguran, pencemaran air dan udara
yang mulai merambah beberapa kawasan pedesaan, erosi, keterbatasan prasarana dan saran
pelayanan umum, dan ebagainya. Berikut akan dibahas secara terbatas beberapa di antara
masalah-masalah tersebut.
b. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan Penulis membatasi makalah ini pada rumusan masalah pada
masalah kemiskinan dan upaya pengentasannya.
c. Tujuan penulisan makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami lebih mendalam tentang Permasalahan Pembangunan Masarakat Desa yang
salah satunya adalah maslah kemiskinan
2. Mengetahui sebab-sebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat desa dan upaya untuk
mengatasiya
3. Salah Satu Tugas Mata kuliah Pembangunan Masyarakat Desa dan Kota pada Jurusan
Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Indonesia.
II. PEMBAHASAN
1. Masalah kemiskinan
Salah satu masalah penting yang banyak dihadapi masyarakat sepanjang sejarah adalah
kemiskinan. Kemiskinan ini sesungguhnya bisa digolongkan sebagai masalah social
ekonomi yang juga berkait erat dengan masalah lainya.
Sekalipun fenomena kemiskinan biasa kita jumpai sehari-hari, namun membuat suatu
rumusan tentang kemiskinan secara lengkap dan utuh bisa menjadi tidak mudah. Hal itu
berkaitan dengan banyaknya dimensi yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan masalah
ini. Salah satu yang dapat menyulitkan perumusan tentang apa sesungguhnya kemiskinan itu
adalah factor-faktor yang berkaitan dengan penilaian dan subjektivitas. Misalnya bila kepada
sejumlah orang yang mempunyai kondisi social ekonomi yang relative sama ditanyakan
tentang apakah mereka menilai diri mereka miskin atau tidak maka sangat mungkin jawaban
yang kita dapatkan bermacam-macam. Demikian pula sebuah komunitas yang hidup terasing
dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas, boleh jadi tidak pernah menganggap diri
mereka mskin. Demikian pula seorang yang mempunyai taraf hidup di bawah rata-rata di
perkotaan, sekalipun secara riil miskin, namun mereka sendiri tidaklah teralu mempersoalkan
masalah itu. Suparlan (1995) menyebutkan bahwa kesadaran akan kemiskinan yang dialami
baru terasa pada saat membandingkan kehidupan yang dijalani dengan kehidupan orang lain
yang tergolong mempunyai sifat kehidupan social dan ekonomi yang lebih tinggi.
Secara singkat, antropolog Parsodi Suparlan mendefenisikan kemiskina sebagai suatu standar
hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pad sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar yang umum berlaku dengan masyarakat
bersangkutan. Selanjutnya standar kehidupan yang rendah ini secar langsung tampak
pengaruhnya terhadap keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka
yang tergolong orang miskin.
Sementara itu Ellis (Effendi,1993) menyebutkan bahwa kemiskinan dapat diidentifikasi
menurut dimensi ekonomi, sosial , dan politik. Jadi suatu kekeliruaan menganggap seolah-
olah kemiskinan hanya menyangkut masalah ekonomi semata hingga dengan
penanggulangannya pun tidak dapat semata dengan pendekatan ekonomi.
Disamping itu banyak pengertian-pengertian dan batasan-batasan mengenai kemiskinan yang
dikatakan oleha para ahli seperti kemiskinan structural dan kebudayaan kemiskinandan lain-
lain, tetapi pada dasarnya kesemuanya itu telah memberikan gambaran bagi kita semua
bahwa kemiskinan merupakan situasi dimana seseorang atau sekumpulan orang mengalami
keterbatasan dan kekurangan baik secara ekonomi, social , politik, struktur dan budaya serta
semua bidang kehidupan lainnya.
2. Pengukuran Kemiskinan
Di Indonesi kini telah dikenal sejumlah cara bagaimana mengukur kemiskinan. Namun, disini
hanya akan dibahas 2 antanya, yaitu cara pernah dikembangkan oleh sajogyo dan yang
dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Menurut metode pengukuran Sajogyo, mereka
yang tergolong miskin di pedesaan adalah mereka yang tingkat pengeluaran konsumsi rumah
tangganya dalam satu tahun equivalen harga beras kurang dari 320 kg beras ; kurang dari 240
kg beras tergolong miskin sekali ; dan kurang dari 180 kg beras tergolong paling miskin.
Metode kdua dikembangkan oleh biro pusat statistic (BPS) berdasarkan ukuran objektif ilmu
gizi, berupa ukuran kecukupan kalori perorangan / hari. Batas yang ditetapkan adalah
kecukupan kalori 2100 kalori perorang/hari ditambah paket kebutuhan fisik bukan pangan
seperti sandang, papan, bahan bakar, dan sebagainya. Di Indonesia, criteria batas garis
kemiskinan ini sudah dilakukan sejak tahun 1976. Karena kenaikan harga barang-barag yang
dikonsumsi penduduk juga senantiasa terjadi maka peningkata batas garis kemiskinan yang
dihitung menurut rupiah juga senatiasa meningkat. Pada tahun 1976 misalnya, BPS
menghitung untuk di pedesaan batas garis kemiskinan yang ditetapkan adalah seseorang
harus mengeluarakan minimal Rp. 2.849,- . sehingga apabila dalam satu rumah tangga
terdapat 5 anggota rumah tangga maka setiap bulannya rumah tangga tersebut harus
mempunyai pengeluaraan minimal perbulan untuk tidak digolongkan miskin adalah : Rp.
2.849,- x 5 = Rp. 14.245,-
Pada tahun 1993, batas garis kemiskinan di daerah pedesaan mengalami kenaikan menjadi
Rp. 18.244,-
3. Upaya Pengentasan Kemiskinan
Seperti yang sudah diketahui bahwa kemiskinan disebabkan karena :
1. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan stengah pengangguran bagi tenaga tak terampil
2. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan.
3. Rendahnya upah tenaga kerja ( buruh dll.)
4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi social,
ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.
Dari sebab-sebab terjadinya kemiskinan baik secara peorangan maupun struktur maka upaya
yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan cara :
1. Membuka sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan bagi penduduk desa dan memberikan
pelatihan dan ketrampilan bagi pengangguran di desa untuk melakukan usaha produktif dan
mandiri yang dikoordinir oleh Balai Latihan Kerja dari Departeman Tenaga Kerja.
Disamping itu membuat program-rogram pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum
masyarakat lainnya yang direncanakan, dikelola dan diawasi sendiri oleh masyarakat serta
memberikan pengertian yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menghargai setiap
produk yang dihasilkan sendiri. (hasil usah produktif dan mandiri masyarakat)
2. Mengupayakan program pendidikan yang bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
desa dan melarang para orang tua untuk menjadikan anak-anaknya meninggalkan bangku
pendidikan untuk bekerja.
3. Mengupayakan kenaikan upah tenaga kerja (buruh) sesuai dengan UMR yang berlaku dan
sesuai jam kerja.
4. Memberikan pengertian bagi kepada masyarakat golongan berpenghasilan rendah untuk
keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama dan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan
organisasi social, ekonomi dan politiknya agar terlepas dari berbagai keterbelakangan dan
ketertinggalan dalam segala segi kehidupan dan berusaha untuk melakukan penyesuaian-
penyesuaian menuju status social yang lebih baik.
III. PENUTUP
Pemerintah memegng peranan penting dalam pembangunan. Di Negara berkembang peran
pemerintah lebih penting lagi terutama karena kebanyakn masyarakat masih harus dibangun
prakarsa dan kemampuannya untuk terlibat secara efektif dalam pembangunan. Tngkat
pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, system politik yang belum cukup
membangun dan member ruang cukup bagi penyaluran kemampuan masyarakat adalah
beberapa alas an masih lemahnya posisi masyarakat dalam pembangunan. Sementara itu
pemerintah dianggap memiliki sejumlah kemampuan seperti pengetahuan/keahlian,
kekuasaan, dana, teknologi dan sebagainya. Oleh karena itu dengan kemampuan yang
dimilikinya, pemerintah diharapkan mampu mengambil peran besar dalam pembangunan,
termasuk dalam menggerakan dan memberikan ruang bagi partisipasi dan perkembangan
masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan masyarakat desa dapt diupayakan
secara bersama-sama oleh pemerintah (dalam hal ini dadalh pemerintah desa)dan masyarakat
setempat. Sehingga masalah kemiskinan yang masih merupakan salah satu permasalah
penting di tingkat desa dapat ditangani secara bersama oleh pemerintah dan semua komponen
masyarakat yang ada di desa .
http://mollo-mutis.blogspot.com/2012/05/permasalahan-pembangunan-masyarakat.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Berbicara tentang pembangunan desa, selama ini sebagian diantara kita terlalu terpaku
pada pembangunan berskala besar (atau proyek pembangunan) di wilayah pedesaan. Padahal
pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada pembangunan
berskala “proyek” saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau cakupan yang lebih
luas. Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja berupa berbagai proses
pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan menggunakan sebagian atau seluruh
sumber daya (biaya, material, sumber daya manusia) bersumber dari pemerintah (pusat atau
daerah), selain itu dapat pula berupa sebagian atau seluruh sumber daya pembangunan
bersumber dari desa. Apa sesungguhnya pembangunan desa ?
Sesungguhnya, ada atau tidak ada bantuan pemerintah terhadap desa, denyut nadi
kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Masyarakat desa memiliki
kemandirian yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mengembangkan
potensi diri dan keluarganya, serta membangun sarana dan prasarana di desa. Namun
demikian, tanpa perhatian dan bantuan serta stimulan dari pihak-pihak luar desa dan
pemerintah proses pembangunan di desa berjalan dalam kecepatan yang relatif rendah.
Kondisi ini yang menyebabkan pembangunan di desa terkesan lamban dan cenderung
terbelakang.
Jika melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, terutama di era
orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan pembangunan yang
diprogramkan negara secara sentralistik. Dimana pembangunan desa dilakukan oleh
pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) maupun dengan dukungan
negara-negara maju dan organisasi-organisasi internasional. Pembangunan desa pada era orde
baru dikenal dengan sebutan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan
Desa (Bangdes). Kemudian di era reformasi peristilahan terkait pembangunan desa lebih
menonjol“Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)”. Dibalik semua itu, persoalan
peristilahan tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa permasalan yang dihadapi dalam pembangunan desa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetaui permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan desa.
BAB II
PEMBAHASAN
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM
PEMBANGUNAN DESA
Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah
sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya pembanguna di
Desa yaitu :
A. Masalah Sosial Budaya
1. Rendahnya tingkat pendidikan
Sarana pendidikan masyarakat di desa cenderung rendah. Masyarakat di desa
umumnya hanya berpendidikan SD, SMP dan SMA. Hal ini disebabkan karena masyarakat
belum mengetahui seberapa besar pentingnya pendidikan untuk dirinya. Apabila setelah
menyelesaikan pendidikan hingga SMA atau lebih buruk hanya sampai SD saja orang tua
akan menikahkan anak-anaknya sehingga masa depan pendidikan generasi penerus bangsa
menjadi terputus dan hal ini menyebabkan mereka hanya bergelut pada lingkar kemiskinan
karena minimnya pendidikan. Rendahnya pendidikan ini juga menjadi menjadi akar
permasalahan bahwa kurangnya inisiatif masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupan mereka. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar tetap
mempertahankan hidup tanpa memikirkan bagaimana nasib generasi penerus bangsa di masa
yang akan mendatang. Karena minimnya pendidikan masyarakat hal ini menyebabkan dari
seluruh penduduk desa hampir 95% penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu
masalah rendahnya pendidikan juga menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang
dilakukan oleh penyuluhan. Oleh karena itu masayarakat harus ditingkatkan kesadaran akan
pentingnya pendidikan dengan memperbaiki sarana pendidikan, mengadakan penyuluhan
pendidikan terhadap masyarakat agar tercipta generasi penerus yang memiliki pengetahuan
sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
2. Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan
Salah satu keterbelakangan yang dialami daerah pedesaan di Indonesia dapat dilihat dari
aspek pembangunan sarana dan prasarana. Beberapa sarana dan prasarana pokok dan penting
di daerah pedesaan, antara lain :
Prasarana dan sarana transportasi
Salah satu prasarana dan sarana pokok dan penting untuk membuka isolasi daerah
pedesaan dengan daerah lainnya adalah prasarana transportasi (seperti jalan raya, jembatan,
prasarana transportasi laut, danau, sungai dan udara), dan sarana transportasi (seperti mobil,
sepeda motor, kapal laut, perahu mesin, pesawat udara dan sebagainya). Ketersediaan
parasarana dan sarana transportasi yang memadai akan mendukung arus orang dan barang
yang keluar dan masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong peningkatan dinamika
masyarakat daerah pedesaan akan arus transportasi orang dan barang keluar dan masuk dari
dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana dan sarana transportasi yang memadai.
Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifulah Yusuf, dalam
seminar tentang “Strategi Pembangunan Desa” di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 12
September 2006, mengemukakan bahwa sekitar 45 persen atau sebanyak 32.379 Desa di
Indonesia termasuk dalam kategori Desa Tertinggal (Ken Yunita, 2006).
Salah satu penyebab daerah pedesaan masih terisolasi atau tertinggal adalah masih
minimnya prasarana dan sarana transportasi yang membuka akses daerah pedesaan dengan
daerah lainnya. Kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi terhadap
keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah pedesaan
menghasilkan jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual beli barang atau produk
antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil. Dalam kondisi prasarana dan sarana
transportasi yang minim, produk yang dihasilkan masyarakat daerah pedesaan sulit untuk
diangkut dan dipasarkan ke daerah lain. Jika dalam kondisi seperti itu, masyarakat daerah
pedesaan menghasilkan produk pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk
tersebut tidak dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di desa.
Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Kondisi
seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga masyarakat di daerah pedesaan.
Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong sebagian warga masyarakat di daerah pedesaan
untuk merantau atau berpindah ke daerah lain terutama daerah perkotaan yang dianggap lebih
menawarkan masa depan yang lebih baik.
Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai
Sebagian dari masyarakat di daerah pedesaan telah memiliki kesadaran untuk
mendidik anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan prasarana
pendidikan seperti lembaga pendidikan dan gedung sekolah di daerah pedesaan relatif
terbatas. Ketersediaan prasarana pendidikan di daerah pedesaan yang masih kurang memadai
dapat terlihat dari terbatasnya jumlah lembaga pendidikan serta kondisi fisik bangunan
sekolah yang kurang representatif (rusak, tidak terawat dengan baik, kekurangan jumlah
ruang kelas dan sebagainya). Selain itu, sarana pendidikan di daerah pedesaan juga sangat
terbatas seperti kurangnya ketersediaan buku-buku ajar, kondisi kursi dan meja belajar yang
seadanya, tidak tersedianya sarana belajar elektronik, tidak tersedianya alat peraga dan
sebagainya. Keterbatasan prasarana dan sarana pendidikan di daerah pedesaan mendorong
sebagian masyarakat daerah pedesaan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar desa
terutama ke daerah perkotaan. Hal ini turut mendorong laju migrasi penduduk dari daerah
pedesaan ke daerah perkotaan.
3. Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini dapat dilihat dari besarnya jumlah
penduduk yang masih mengandalkan penghasilannya serta menggantungkan harapan
hidupnya pada sektor pertanian. Dominasi sektor pertanian sebagai matapencaharian
penduduk dapat terlihat nyata di daerah pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang
tersedia di daerah pedesaan masih didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian. Kegiatan
usaha ekonomi produktif di daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam dan jumlahnya,
yang cenderung terpaku pada bidang pertanian (agribisnis). Aktivitas usaha dan
matapencaharian utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/
pemanfaatan sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya
dengan pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak ada, akan
tetapi masih sangat terbatas. Peluang usaha di sektor non-pertanian belum mendapat sentuhan
yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi ini mendorong sebagian
penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di luar desanya, sehingga mendorong
mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah pedesaan menuju daerah lain terutama daerah
perkotaan. Daerah perkotaan dianggap memiliki lebih banyak pilihan dan peluang untuk
bekerja dan berusaha.
Upaya untuk mendorong dan melepaskan daerah pedesaan dari berbagai
ketertinggalan atau keterbelakangan, maka pembangunan desa dalam aspek fisik perlu
mendapat perhatian serius dari pemerintah dan komponen masyarakat lainnya. Pembangunan
desa dalam aspek fisik, selanjutnya dalam tulisan ini disebut Pembangunan Desa, merupakan
upaya pembangunan sarana, prasarana dan manusia di daerah pedesaan yang merupakan
kebutuhan masyarakat daerah pedesaan dalam mendukung aktivitas dan kehidupan
masyarakat pedesaan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa betapa daerah pedesaan memerlukan
adanya ketersediaan prasarana dan sarana fisik dalam hidup dan kehidupan masyarakat desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
dimaksud dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak untuk mengurus kepentingan
daerahnya sendiri (dalam istilah modern disebut “hak otonomi”). Hak otonomi sifatnya
sangat luas. Hampir semua hal yang menyangkut urusan di desa. Hanya saja tingkat materi
dan cara pelaksanaan atau pengerjaannya masih sangat sederhana, termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan pembangunan desa.
Bercermin dari masa lalu, di era orde baru pemerintahan bersifat sangat sentralistik
yang mengusung konsep filosofi keseragaman. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
pembangunan diseragamkan, diatur dan dikendalikan dari pusat. Sementara bangsa Indonesia
terdiri dari beragam suku bangsa, lebih dari 70.000 buah desa dengan karakter, budaya dan
tradisi yang berbeda satu sama lain. Konsep keseragaman yang diusung dan dipaksakan pada
masa lalu, kini sudah tidak tepat lagi. Oleh karenanya, konsep pembangunan desa ke depan
tidak dapat dilakukan dengan pola keseragaman.Seiring dengan perubahan paradigma
pemerintahan sentralistik ke paradigma pemerintahan desentralistik, maka seyogyanya
pembangunan desa lebih mengedepankan konsep keanekaragaman dalam kesatuan dan
bukan konsepkeseragaman. Pembangunan desa dengan konsep keanekaragam dalam
kesatuan, diharapkan mampu mendorong dinamika pembangunan desa yang berbasis budaya
dan karakteristik lokal yang pada akhirnya akan memperkaya keragaman nuansa etnik dalam
pembangunan bangsa. Masyarakat dan pemerintah desa diberi kekeluasaan untuk
memperkaya warna dan model pembangunan desanya dengan kekayaan etnik yang mereka
miliki. Upaya tersebut diharpakan akan menumbuhkan dan memupuk partisipasi aktif dan
rasa tanggung jawab masyarakat dalam membangun desa.
Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pembangunan desa ditempatkan pada
posisi yang tepat. Pemerintah diharapkan berperan dalam memberi motivasi, stimulus,
fasilitasi, pembinaan, pengawasan dan hal-hal yang bersifat bantuan terhadap pembanguan
desa. Untuk kepentingan dan tujuan tertentu, intervensi pemerintah terhadap pembangunan
desa dapat saja dilakukan setelah melalui kajian dan pertimbangan yang matang dan
komprehensif. Intervensi yang dimaksudkan di sini adalah turut campur secara aktif dan
bertanggungjawab pemerintah dalam proses pembangunan desa, seperti membuka
keterisolasian desa (karena ketiadaan biaya, desa tidak mampu melepaskan diri dari
keterisolasian), membangun fasilitas jalan, jembatan, gedung sekolah, puskesmas dan
sebagainya. Meskipun pemerintah melakukan intervensi terhadap proses pembangunan
fasilitas tertentu di daerah pedesaan, pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi setempat,
jangan sampai pemerintah mengabaikan keberadaan masyarakat setempat, dan masyarakat
jangan sampai hanya diposisikan sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat
diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan hanya sebatas
membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses pembangunan desa
memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan bertalian dengan banyak pihak
dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah pedesaan. Proses pembangunan desa
dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya
pada semua tahapan pembangunan desa ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat
daerah pedesaan.
Bertolak dari konsep dan praktik pembangunan desa pada masa lalu yang bersifat
sentralistik. Potensi masyarakat lokal seringkali dikesampingkan oleh pelaksana di lapangan.
Hal ini yang menyebabkan hasil pembangunan yang telah dilakukan tidak memberikan
dampak dan manfaat yang luas bagi masyarakat. Seringkali terjadi kerusakan bahkan hancur
sebelum usia pakainya habis. Karena tidak muncul kepedulian dan rasa tanggung jawab pada
masyarakat dalam memelihara atau menjaga prasarana dan sarana yang telah dibangun oleh
pemerintah. Meskipun sesungguhnya prasarana dan sarana yang dibangun oleh pemerintah
ditujukan untuk kepentingan masyarakat di daerah pedesaan itu sendiri.
Sebaliknya, jika suatu proyek pembangunan prasarana dan sarana yang muncul dari
masyarakat daerah pedesaan, direncanakan, dan dilaksanakan secara bersama oleh
masyarakat daerah pedesaan, maka kepedulian dan rasa memiliki dari masyarakat sangat
tinggi. Masyarakat secara sadar dan tanpa pamrih turut berpartisipasi aktif untuk
mensukseskan pembangunan tersebut. Hal ini berdampak pula pada munculnya rasa
tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga keberlangsungan pembangunan dan hasil
pembangunannya.
Oleh karena itu, perlu diingat bahwa pembangunan desa dalam aspek pembangunan
fisik, pembangunan prasarana dan sarana di daerah pedesaan semestinya menempatkan
penduduk atau masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan
menunjukkan bahwa masyarakat daerah pedesaan berperan sebagai pelaku pembangunan.
Sudah semestinya masyarakat sebagai pelaku pembangunan mengambil posisi untuk
berperan secara aktif dalam proses pembangunan. Peran aktif masyarakat dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk keterlibatan atau pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan,
apakah pada tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan atau pada semua
tahap proses pembangunan tersebut. Di masa mendatang pola pembangunan yang
mengedepankan peran masyarakat lebih didorong untuk menjadi ujung tombak dalam
pembangunan desa. Pola bottom-up planning mungkin menjadi salah satu alternatif yang
mengedepan. Pemerintah menempatkan diri sebagai motivator dan fasilitator aktif (tentunya
tidak berpangku tangan hanya menunggu dari masyarakat). Pemerintah memotivasi
masyarakat untuk membangun daerahnya seraya pemerintah menyiapkan bantuan prasarana,
sarana dan dana yang dibutuhkan. Pemerintah juga dapat melemparkan ide-ide pembangunan
desa kepada masyarakat. Namun dalam tahap berikutnya masyarakat dilibatkan dalam
menentukan keputusan mengenai apa yang akan dibangun, membuat dan menyusun rencana
pembangunan, dalam pelaksanaan pembangunan sampai pada pemeliharaan hasil
pembangunan.
Berkaitan dengan manusia (penduduk daerah pedesaan) sebagai subjek pembangunan,
maka dituntut berbagai hal terhadap kapasitas dan kualitas manusia itu sendiri. Salah satu
tuntutan peran sebagai subjek (pelaku) pembangunan yang semestinya dapat dan mampu
dipenuhi oleh masyarakat di daerah pedesaan adalah kemampuan menciptakan atau daya
cipta. Soedjatmoko (1995) mengemukakan bahwa pengembangan (pemekaran) daya cipta
suatu bangsa bukan saja suatu kemampuan serta kejadian individual, melainkan juga suatu
proses sosial yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial pula. Maksudnya adalah adanya
lembaga dan kebijaksanaan yang diperlukan untuk mencapai perkembangan daya cipta dalam
pembangunan masyarakat.
Bahwasanya untuk lebih menggerakkan dan memacu pembangunan desa secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna, maka yang pertama dan utama perlu dibangun adalah
manusia sebagai pelaku dan calon pelaku pembangunan itu sendiri. Kritik bagi model
pembangunan kita selama ini adalah bangsa kita lebih cenderung mengedepankan
pembangunan fisik daripada pembangunan manusianya.
Soedjatmoko (1995) mengemukakan bahwa pada pembangunan ekonomi ada
kecenderungan mengaggap esensi pertumbuhan ekonomi ialah besarnya penanaman modal
untuk keperluan produksi. Ini dianggap faktor paling menentukan untuk mencapai suatu
tingkat ekonomi yang lebih tinggi.
Peneropongan teoritis, lebih berkisar pada soal penentuan besar kecilnya penanaman
modal yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih pesat. Penanaman
modal dipandang lebih menentukan daripada cacah jiwanya., sehingga kurang mendapat
perhatian dan berjalan sendiri. Kalaupun faktor seperti pendidikan, stabilitas politik dan
faktor sosial lainnya turut ditinjau, peninjauan itupun tetap berporos pada investasi modal.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka ke depan kita perlu menata ulang format
pembangunan desa. Bangsa ini harus memilah, memilih dan menata secara lebih arif. Tidak
mungkin lagi membuat kebijakan pembangunan yang seragam untuk semua desa. Akan
tetapi, kita perlu secara arif dan bijaksana melihat desa per desa dari berbagai aspek. Bagi
desa yang sudah memiliki manusia (penduduk) yang berkualitas, maka perlu didorong dan
distimulir untuk memacu percepatan pembangunan desa dalam semua aspek. Sebaliknya, jika
suatu desa yang belum memiliki kualitas dan kuantitas manusia yang mumpuni, maka perlu
didorong untuk lebih mengedepankan pembangunan manusianya, seperti pendidikan,
pembimbingan, pelatihan dan sebagainya. Pembangunan manusia dalam konteks
pengembangan daya cipta. Daya cipta dalam perspektif yang luas, termasuk melakukan
pembaharuan dan penemuan atas berbagai hal terkait kehidupan manusia seperti menambah
dan mengembangkan berbagai macam alat (instrument) dan cara (metode/teknik) yang
berguna dalam menunjang atau mendukung kehidupan masyarakat di daerah pedesaan atau
masyarakat luas.
4. Rendahnya Kesadaran Petani terhadap adopsi inovasi pertanian
Karena minimnya pendidikan masyarakat hal ini menyebabkan penduduk desa hampir
95% penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu masalah rendahnya pendidikan
juga menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang dilakukan oleh penyuluhan. Dalam
mengelola pertanian mereka hanya menggunakan cara-cara yang mereka terapkan selama ini
secara turun temurun tanpa ada pembaharuan atau inovasi yang dilakukan untuk
meningkatkan hasil tani mereka.
B. Masalah ekonomi
1. Keterbelakangan perekonomian
Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu fenomenal dan pantastis.
Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat perekonomian
berjalan lamban dan hampir tidak menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan
didominasi oleh aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan
cenderung monoton pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian
tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya). Kalaupun
ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih relatif sangat terbatas.
Aktivitas perekonomian yang ditekuni masyarakat di daerah pedesaan tersebut sangat
rentan terhadap terjadinya instabilitas harga. Pada waktu dan musim tertentu produk
(terutama produk pertanian) yang berasal dari daerah pedesaan dapat mencapai harga yang
begitu tinggi dan pantastik.
Namun pada waktu dan musim yang lain, harga produk pertanian yang berasal dari
daerah pedesaan dapat anjlok ke level harga yang sangat rendah. Begitu rendahnya harga
produk pertanian menyebabkan para petani di daerah pedesaan enggan untuk memanen hasil
pertaniannya, karena biaya panen lebih besar dibandingkan dengan harga jual produknya.
Kondisi seperti ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi petani.
Kondisi seperti ini hampir selalu terjadi sampai saat ini. Namun demikian, suatu ironi
bagi pemerintah, karena belum dapat memberikan solusi tepat. Masih segar dalam ingatan
kita, pada tahun 2010, cabai mencapai harga di atas Rp.100.000,- per kilogram dan
merupakan harga tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi berbalik terjadi pada bulan-bulan di
awal tahun 2011, dimana harga cabai mengalami penurunan secara drastis. Beberapa daerah
harga cabai mencapai di bawah Rp. 10.000,- per kilogram. Kasus yang mirip terjadi beberapa
tahun sebelumnya, petani tomat mengalami masa-masa pahit. Harga buah tomat sangat
rendah, sehingga biaya produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual hasil panen
tomat. Petani enggan memanen tomatnya dan lebih memilih untuk membiarkan buah tomat
membusuk di kebun atau melakukan pemusnahan tanaman tomat dan menggantikan dengan
tanaman lain yang berbeda. Kejadian serupa pada produk pertanian lainnya seringkali terjadi
dan menerpa kehidupan para petani di daerah pedesaan.
Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas bermatapencaharian sebagai
petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan memiliki lahan pertanian yang
memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang
disebut dengan istilah petani gurem. Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah
pedesaan yang malah tidak memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus
sebagai petani penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para
petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menyewa lahan
pertanian milik orang lain. Petani penggarap adalah para petani yang tidak memiliki lahan
pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap lahan pertanian milik orang lain
dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan
pertanian garapan milik sendiri melainkan bekerja sebagai buruh yang menggarap lahan
pertanian milik orang lain dengan memperoleh upah atas pekerjaannya.
2. Tidak tersedianya permodalan untuk petani dan Harga pupuk yang lumayan tinggi
Permodalan untuk kelompok tani Karya Baru belum mendapatkan dana bantuan
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Sebagai contoh penyuluhan yang
dilakukan adalah penerapan pemupukan yang berimbang terhadap tanaman padi. Petani
umumnya ingin menerapkan pemupukan yang berimbang tersebut namun petani terkendala
permodalan sehingga dalam mengadopsi suatu inovasi petani mengalami kesulitan karena
harga pupuk mahal. Namun menyikapi hal tersebut pemerintah menjalankan pupuk
bersubsidi untuk anggota kelompok tani. Walaupun pupuk dari pemerintah telah disubsidi
namun tetap saja mereka terkadang ada yang tidak sanggup membeli pupuk bersubsidi
tersebut. Pembelian pupuk bersubsidi oleh anggota kelompok tani tidak dikenakan batasan
jadi petani dapat membeli pupuk berdasarkan kemampuan petani dalam membeli pupuk
tersebut. Hendaknya pupuk dapat diberikan kredit kepada petani berupa dana bantuan seperti
program PUAP agar mereka dapat membeli pupuk sehingga petani dapat melakukan
pemupukan yang berimbang pada tanaman padi mereka.
Selain itu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
berupa pembuatan jalan usaha tani. Pembuatan jalan usaha tani ini ditujukan untu
memudahkan petani menuju lahan tani mereka serta jalan ini memudahkan pengangkutan
hasil panen para petani sehingga lebih mudah untuk sampai kerumah masyarakat.
Dalam semua jenis pembangunan yang dilaksanakan di pedesaan yang pelu diingat
dan digaris bawahi yaitu pemerintah seharusnya tidak hanya membantu permodalan namun
juga memberdayakan masyarakat agar dapat membatu masyarakat agar dapat mengelola
sumberdaya yang ada secara optimum.
C. Masalah Geografis
1. Prediksi terhadap iklim yang sulit
Varietas tanaman padi yang ditanam merupakan jenis varietas lokal walaupun kadang
bisa juga membudidayakan padi unggul namun bila musim memungkinkan. Masalah geografi
yang terjadi seperti air, banyak para petani yang mengeluh dengan adanya banjir kiriman dari
daerah pegunungan yang menyebabkan petani gagal panen. Banjir yang datang umumnya
menggenangi tanaman padi yang hanya berumur masih muda sehingga tanaman padi muda
ini tidak dapat bertahan sehingga busuk dan mati. Dari hal tersebut bahwa petani terus
mengalami kerugian karen banyaknya bibit tanaman yang terbuang padahal untuk dapat
menanam padi petani harus menyemai benih padi yang sudah direndam selama 20 hari
barulah bibit dapat ditanam. Namun apabila banjir kiriman yang terjadi menggenangi
tanaman yang sudah berumur cukup lama umumnya tanaman padi masih bisa bertahan hidup
karena tanaman padi sudah mempunyai anakan yang cukup banyak serta tanaman padi
tersebut sudah cukup tinggi. Pada sawah yang lebih tinggi umumnya tanaman padi bisa
bertahan hidup bila dibandingkan dengan tanaman padi di daerah sawah bawahan. Solusi
untuk permasalah banjir ini yaitu seperti pembuatan irigasi agar dapat menyalurkan air dari
sungai agar tidak meluap langsung ke areal persawahan. Namun walaupun rencana ini pernah
di ajukan dalam musrembang rencana ini belum dapat dilaksanakan karena memakan biaya
yang jumlah sangat pantastis sehingga pemerintah kabupaten belum sanggup membangunkan
irigasi yang dikehandaki oleh masyarakat. Namun selain pembuatan irigasi solusi yang lain
adalah pembersihan areal sungai-sungai yang mengalami pendangkalan akibat samapah.
Dengan membersihkan areal sungai yang mengalami pendangkalan maka diharapkan laju
jalannya air tidak meluap ke areal persawahan.
Pindahnya penduduk daerah pedesaan ke daerah perkotaan didorong oleh kondisi
ketertinggalan daerah pedesaan dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai faktor internal
daerah pedesaan yang mendorong penduduk dari daerah pedesaan untuk berhijrah atau
pindah ke daerah perkotaan, antara lain.
2. Keadaan tanah
Di Indonesia mempunyai tingkat kesuburan tanah yang berbeda disetiap wilayah.
Tingkat kesuburan tanah juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa, desa yang
mempunyai keadaan tanah yang subur cenderung akan mempengaruhi hasil tani yang akan
dihasilkan. Semakin baik dan banyak hasil tani yang dihasilkan oleh desa tersebut maka akan
sangat mempengaruhi dari pendapatan masayarakat itu sendiri. Semakin besar pendapatan
masyarakat maka pertumbuhan ekonomi didesa tersebut akan semakin baik.
3. Letak wilayah
Letak wilayah desa juga sangat mempengaruhi dari pembangunan desa itu sendiri.
Desa yang yang letak wilayahnya lebih strategis yang dalam hal ini dekat dengan peradaban
kota akan berbeda dengan desa yang letaknya sulit dijangkau. Desa yang letaknya sulit
dijangkau akan cenderung akan mengalami pembangunan ekonomi yang lambat. Hal ini
disebabkan karena sulitnya akses pemerintah dan dunia luar untuk menjangkaunya. Jadi letak
desa yang strategis juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah
sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya pembanguna di
Desa yaitu : Masalah Sosial Budaya, masalah ekonomi dan masalah geografis. Masalah
sosial budaya terdiri dari Rendahnya tingkat pendidikan,Minimnya sarana dan prasarana di
pedesaan yaitu Prasarana dan sarana transportasi, Prasarana dan sarana pendidikan yang
kurang memadai ,Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan Rendahnya Kesadaran
Petani terhadap adopsi inovasi pertanian.
Masalah ekonimi terdiri dari Keterbelakangan perekonomian dan Tidak tersedianya
permodalan untuk petani dan Harga pupuk yang lumayan tinggi. Selain itu masalah
geografisnya yaitu prediksi terhadap iklim yang sulit, keadaan tanah dan letak wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ir. Ali Hanapiah Muhi,MP Fenomena pembangunan desa. Institut Pemerintahan Dalam
Negeri, Jatinangor, Jawa Barat, 2011 (Ebook diakses 14 oktober 2012)
http://endanghas.wordpress.com/2010/01/16/masalah-ekonomi-sosial-budaya-danfisik/ (online).
Diakses 14 Oktober 2012
http://dedelasmawati.blogspot.com/2012/11/my-risset-masalah-yang-dihadapi-dalam.html
Stratifikasi dan Permasalahan Ekonomi Desa
Menurut Geertz (1989: 476) yang menyatakan bahwa sistemstratifikasi sosial yang
mengubah dan mobilitas status yang cenderung melaksanakan adanya kontak di antara
individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak
terpisah.
Hayami dan Collier Cs. (1996: 166) telah melakukan penelitian bahwa
adanya polarisasi ekonomi perdesaan atau terjadinya proses kemiskinandisebabkan adanya
pergeseran desa ke kota (proses modernisasi) dan alih teknologi.
Studi kasus yang dilakukan oleh Boeke (1959) dengan membagi ekonomi di Indonesia
(studi kasus di Jawa) menjadi tiga struktur ekonomi: a) struktur ekonomi modern,
mementingkan ekonomi yang berproduksi pertanian untuk kepentingan pasar internasioal dan
dikendalikan dengan sistem manajemen modern; b) struktur ekonomi pribumi yang
didasarkan tatanan desa komunal dengan solidaritas yang tinggi. Struktur ini bercirikan antara
lain ekonomi pribumi bukan ekonomi pasar seperti negara barat dan; c) struktur eknomi
perdagang perantara yangmerkantilistik oleh pemerintah Belanda “diperuntukkan” dengan
bahasa sekarang “dijadangkan” bagi golongan keturunan yaitu Cina, Arab dan India.
Sehingga menurutnya ekonomi Indonesia menggunakan sistem ekonomi ganda yang
cenderung menciptakan ekonomi kerakyatan dan ekonomi kapitalistis.
Studi yang dilakukan Faisal Kasryno (1984: 302-304) tentangpermasalahan
perkreditan dalam membangun pertanian ditemukan bahwa pada awalnya lembaga
perkreditan sebagai ikatan golongan kaya dan miskin serta merupakan bentuk tenggang rasa
yang dimanifestasikan dalam natura (barang). Tetapi setelah adanya peralihan pertanian dari
subsisten ke pertanian komersial perkreditan yang dipahami sebagai ikatan dan tenggang sara
lama-lama menjadi hubungan ekonomis. Dalam studi ini juga dikemukakan bahwa sektor
pertanian merupakan sektor utama dalam membangun ekonomi perdesaan, tetapi
pertumbuhan kredit perbankan hanya 28% pertahun yang lebih rendah dari sektor yang
lainnya.
Richard Goble (1976) mengemukakan bahwa struktur pembangunan diIndonesia terletak
pada administrasi yang cenderung ke arah birokrasi yang elitis yang dikendalikan dari pusat.
Akibatnya pembangunan di perdesaan menghasilkan pembangunan yang semu. Geertz (1963)
menyebutkan adanya struktur petani Jawa yang menurutnya petani Jawa masa depannya akan
terus mengalami kemiskinan struktural. Sehingga Boeke dan Geerrtz, begitu pesimis
mengenai peranan penduduk pribumi (perdesaan) di Indonesia, karena dasar sejarahnya
cukup menyakitkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Akatiga Bandung (1992) tentang “Gender, Marginalisasi
dan Industri Perdesaan” yang menunjukkan adanya prosesmarginalisasi dari pekerjaan
produktif perempuan hanya terbatas pada unit-unit usaha rumah tangga atau berskala kecil.
Jenis pekerjaan ini jarang diakui oleh orang lain sekalipun sumbangan mereka dari segi
produktivitas, jam kerja dan masukan-masukan riel ternyata mereka besar.
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Oey (1991: 16) dalam data Biro Pusat Strategi
(BPS) dalam “Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga” yang menyatakan
pembagian kerja rumah tangga menurut jenis kelamin merupakan gejala universal. Laki-laki
lebih cenderung tampil di tempat umum dan perempuan diberi tempat dalam rumah. Laki-
Laki bekerja mencapai (84% di kota dan 88% di desa) sementara perempuan hanya
separuhnya (47% di kota dan 51% di desa).
Mubyarto (1991) permasalahan tersebut dengan melakukan deregulasiekonomi dan
strategi pengembangan ekonomi rakyat beberapa yang dianjurkan adalah: a)
perlunya deregulasi bank dan masyarakat artinya bank penerima simpanan dan memudahkan
pinjaman kredit kepada masyarakat; b) perlunya mempersiapkan rakyat kecil memanfaatkan
jasa bank yang selama ini bank sebagai “penyedot dana masyarakat” dan bukan sebagai
“penyalur dana masyarakat” dan; c) perlunya kerjasama bank dalam membangun ekonomi
rakyat di perdesaan dengan melakukan pendirian badan-badan perkreditan rakyat formal dan
mengembangkan sistem masyarakat bawah.
Sritua Arief (1993:330) mengemukakan bahwa lembaga keuangan rakyat menciptakan
demokrasi ekonomi yang sebenarnya. Seperti dikemukakan Hatta telah terjadinya hubungan
ekonomi yang bersifat eksploitatif terhadap masyarakat (Sritua Arief, 1999: 131)
http://www.bintan-s.web.id/2011/03/stratifikasi-dan-permasalahan-ekonomi.html
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI
MASYARAKAT PEDESAAN
7052012
Abstrak
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum dan adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang
berisikan kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Kebudayaan itu bersifat spesifik sebab aspek ini menggambarkan pola kehidupan. Setiap
kesatuan masyarakat pola kehidupannya berbeda. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok
merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. Keterikatan ini menyebabkan kebudayaan
memiliki pengaruh bagi setiap perilaku masyarakat. Dalam makalah ini, saya akan
menganalisis pengaruh-pengaruh kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat pedesaan
terutama kehidupan ekonominya serta bagaimana dampak-dampak yang timbulkan akibat
pengaruh itu. Makalah ini menggunakan metode data sekunder dimana data-data untuk
menyusun makalah ini didapat dari literatur seperti buku, jurnal, dan internet.
Kata Kunci: kebudayaan, masyarakat, pengaruh, perilaku, kehidupan ekonomi.
KATA PENGANTAR
Kebudayaan yang dikembangkan oleh setiap kelompok masyarakat senantiasa akan mencari
dan membentuk nilai-nilai dan norma-norma yang fungsional untuk dirinya sehingga
menghasilkan wujud yang sangat beraneka ragam antar kelompok masyarakat. Kebudayaan
dapat diidentifikasikan sebagai sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi masyarakat yang hidup di dalamnya. Oleh
karena itu, kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi setiap kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Akibat
keterkaitan itu, seringkali kebudayaan yang tidak sesuai dapat menjadi faktor penyebab
kemiskinan.
Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan
rahmay-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih pada pihak-pihak yang baik secara langsung atau pun tidak langsung telah
membantu proses penulisan makalah yang berjudul “Pengaruh Kebudayaan terhadap
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan” dari awal hingga akhir.
Secara garis besar, makalah ini akan membahas pengaruh kebudayaan terhadap kehidupan
ekonomi masyarakat pedesaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis ucapkan maaf jika makalah ini
belumlah sempurna. Penulis sadar, masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Desember 2011
Anggita Widasari I34100023
Daftar Isi
Abstrak…………………………………………………………………………………………
………. i
Kata
Pengantar……………………………………………………………………………………….
ii
Daftar Isi
……………………………………………………………………………………………… iii
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………
… 1
KEBUDAYAAN
Kebudayaan……………………………………………………………………………………
…….. 2
Pengaruh Kebudayaan terhadap Kehidupan Ekonomi………………………………… 2
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT
PEDESAAN
Pengaruh Kebudayaan terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan… 4
SIMPULAN……………………………………………………………………………………
……. 6
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………. 7
Pendahuluan
Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan
mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu.
Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena
kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia. Menurut E. B. Taylor, kebudayaan
merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat,
sehingga kebudayaan mancakup seluruh hal yang diperoleh atau dipelajari manusia sebagai
anggota masyarakat meliputi seluruh pola pikir, merasakan dan bertindak. Sedangkan
menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa kebudayaan adalah
semua hasil karya kemampuan menghasilkan teknologi dan kebudayaan materi), rasa
(kemampuan jiwa manusia dalam mewujudkan norma dan sistem nilai lainnya), cipta
(kemampuan mental dan pikiran untuk menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan)
masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan wujud abstrak dari sebuah kebudayaan. Sebuah
sistem nilai budaya yang hidup di masyarakat dapat mempengaruhi tindakan orang-orang
yang terikat dengan budaya itu sendiri. Masyarakat adalah orang atau manusia yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, kebudayaan memiliki pengaruh yang kuat bagi setiap tindak tanduk
masyarakat yang hidup didalamnya. Akibat pengaruh ini, seringkali terjadi masalah
didalamnya. Salah satunya adalah masalah ekonomi. Kebudayaan yang tidak sesuai bisa saja
menjadi salah satu penyebab kemiskinan di masyarakat.
Saya akan menganalisis pengaruh kebudayaan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat
pedesaan serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Adapun tujuan penulisan
antara lain mengkaji bagaimana pengaruh kebudayaan terhadap kehidupan ekonomi
masyarakat pedesaan serta menganalisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
kebudayaan memiliki pengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian,
terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut
ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan. Kata
“kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak
kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal”. Ralph Linton, seorang ahli antropologi yang
terkemuka, mengemukakan bahwa kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of
life suatu masyarakat (Linton 1936). Way of life dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan
dengan bagaimana cara orang untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih luas dari
itu. Dijabarkan secara lebih rinci, way of life mencakup way of thinking (cara berfikir,
bercipta), way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat,
berkarya). Hampir bersamaan dengan pendapat ini, Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi mendefinisikan kebudayaaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat
(1964: 113).
Pengaruh Kebudayaan terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan
Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan
segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal
pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi
khalifah di muka bumi ini. Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi,
perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki
oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan antara manusia
dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah
produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya
dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus
hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya. Kebudayaan mempunyai fungsi yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi
masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan
lainnya di dalam masyarakat itu sendiri tidak selalu baik baginya. Selain itu, manusia dan
masyarakat memerlukan kepuasan, baik di bidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan-
kebutuhan masyarakat tersebut di atas untuk sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan yang
bersumber pada masyarakat itu sendiri.
“… masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain,
sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi
pegangan masyarakat tersebut …” (Horton dan Hunt 1987).
Pengertian kebudayaan memang sangat luas. Hampir tidak ada segala sesuatu yang
berada di sekitar kita ini yang tak tercakup atau tak terjamah oleh konsep kebudayaan.
Kebudayaan mencakup aspek materiil maupun non-materiil. Kebudayaan dapat bersifat
kompleks sekali, namun juga dapat bersifat bersahaja, sesuai dengan tingkat perkembangan
masyarakatnya. Batasan yang dikemukakan oleh Horton dan Hunt di atas lebih berkaitan
dengan aspek kebudayaan non-materiil, lebih melihat kebudayaan sebagai sistem nilai dan
norma.
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Kebudayaan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena semua aspek dalam kehidupan
masyarakat dapat dikatakan sebagai wujud dari kebudayaan, misalnya gagasan atau pikiran
manusia , aktivitas manusia, atau karya yang dihasilkan manusia. Segala sesuatu yang
terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu.
Kadiah-kaidah kebudayaan berarti peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang
harus dilakukan dalam suatu keadaan tertentu. Peraturan bertujuan membawa suatu
keserasian dan memerhatikan hal-hal yang bersangkut-paut dengan keadaan lahiriah maupun
batiniah. Dengan demikian, maka kaidah sebagai bagian dari kebudayaan mencakup tujuan
kebudayaan maupun cara-cara yang dianggap baik untuk untuk mencapai tujutan tersebut.
Kaidah-kaidah kebudayaan mencakup bidang yang luas sekali. Berlakunya kaidah dalam
suatu kelompok manusia tergantung pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang
seseorang bagaimana harus berlaku. Artinya, sampai berapa jauh kaidah-kaidah tersebut
dapat diterima oleh anggota kelompok, sebagai petunjuk prilaku yang pantas. Apabila
manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga telah dapat
hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai, timbullah keinginan manusia
untuk menciptakan sesuatu untuk menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain,
yang juga merupakan fungsi kebudayaan. Dengan demikian, fungsi kebudayaan sangat besar
bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antarmanusia
dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.
Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia. Walaupun hal
itu jarang disadari oleh manusia sendiri, namun tak mungkin seseorang mengetahui dan
meyakini seluruh unsur kebudayaannya. Betapa sulitnya bagi seorang individu untuk
menguasai seluruh unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh masyarakat sehingga
seolah-olah kebudayaan dapat dipelajari secara terpisah dari manusia yang menjadi
pendukungnya.
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI
MASYARAKAT PEDESAAN
Pengaruh Kebudayaan terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Artinya kemiskinan merupakan
masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Semua negara di dunia ini
sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat
kesejahteraan dan peradaban.
Kemisikinan cultural merupakan kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan
kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural yang
menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis
di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan
tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008).
Dari analisis faktor kemiskinan oleh masyarakat, muncul bahwa biaya ritual yang tinggi
menjadi penyebab kemiskinan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan ritual itu, mereka harus
merelakan diri untuk meminjam uang atau berhutang kepada renternir walaupun dengan
jumlah bunga yang cukup besar. Berikut adalah contoh kasus bahwa kebudayaan dapat
menyebabkan kemiskinan.
Ritual Banjar-Banjar Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat,
NTB
Kekompakkan dalam gotong royong tampak jelas manakala ada hajatan-hajatan dan
musibah yang menimpa salah satu anggota Banjar. Ada dua upacara adat dalam ritual besar
untuk menjalankan apa yang disebut sebagai bagian dari Adat Krama (adat perkawinan) dan
Adat Gama (upacara adat yang berkaitan dengan agama). Upacara-upacara ini disebut Gawe
yang dibagi menjadi Gawe Ala dan Gawe Ayu.
Gawe Ala adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara kemiskinan
yang membutuhkan pembiayaan tidak sedikit mulai dari rangkaian acara penguburan,
selamatan nyusur tana-7, malam tahlilan, upcara hari ke-7, hari ke-9, hari ke-40, hari ke-100,
nekolang hingga hari ke-1000 atau menyonyang (mengakhiri semua urusan dengan yang
meninggal).
Gawe Ayu adalah upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan upacara hidup
(terkadang disebut Gawe Urip). Upacara-upacara ini seperti upacara cukur rambut, asah gigi,
sunatan, pesta perkawinan dan lain-lain.
Dalam proses ritual atau acara-acara adat dan hajatan di kampung-kampung tidak
sedikit biaya yang dibutuhkan. Karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat adat Desa
Bentek adalah dalam pelaksanaan acara begawe atau tasyakuran harus mengundang seluruh
anggota Banjar dan jumlahnya cukup banyak dan yang dijamu dengan aneka raggam
makanan mulai dari jenis tradisional hingga jenis kue modern. Pada acara ini pos pembiayaan
yang punya hajatan sangat tinggi mulai dari persiapan acara dimana warga Banjar tempat
tinggalnya dan keseluruhan warga Banjar yang bekerja ini dijamu untuk makan siang dan
malam harinya.
Budaya Nyumbang di Jawa
Bagi masyarakat Jawa tentu tidak asing dengan budaya nyumbang. Budaya ini sudah begitu
akrab di telinga kita. Nyumbang biasanya dilakukan dengan membantu kerabat, tetangga,
teman, saudara yang sedang punya hajat, entah itu hajat melahirkan, mantu (mantenan),
sunatan, maupun kematian. Bentuk sumbangan bisa berwujud uang, barang, tenaga maupun
pikiran.
Semula nyumbang sebagai sesuatu yang bernilai agung, wujud solidaritas sosial masyarakat
guna mengurangi beban warga yang sedang hajatan. Ketika ada tetangga, rekan atau kerabat
yang sedang punya hajat, masyarakat sekitar secara suka rela membantunya, sehingga warga
yang hajatan tidak terlalu terbebani. Masyarakat Jawa warna budayanya sangat kental.
Hampir setiap tahapan kehidupan bisa dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan,
sejak lahir, sunatan, hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pascakematian. Jika perayaan
ritual ini semua ditanggung sendirian, akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Seiring perjalanan waktu, tradisi nyumbang ikut mengalami pergeseran nilai. Tradisi yang
semula bernilai solidaritas sosial tinggi ini pada akhirnya mengalami proses
kapitalisasi. Nyumbang yang awalnya kental dengan nuansa solidaritas organis,
solidaritas berdasarkan ketulusan, telah berubah menuju solidaritas mekanis, solidaritas
berdasarkan untung rugi. Penyelenggaraan hajatan tidak lagi semata-mata wujud akan
ketaatan kepada tradisi, namun kepentingan-kepentingan ekonomi ikut bermain. Tradisi
nyumbang sudah bergeser dari orientasi sakral menuju kepentingan uang.
Dari dua contoh kasus diatas, dapat kita bayangkan betapa besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk acara-acara semacam itu, belum lagi mereka harus memotong hewan
kurban. Satu ekor sapi saja bisa dikatakan tidak cukup dalam prosesi adat itu, minimal dua
ekor sapi untuk dipergunakan dalam acara tersebut yang akan disuguhkan kepada semu
undangan yang hadir. Menariknya lagi, ketika akan dilaksanankan acara hajatan semacam itu,
tidak mengenal apakah orang tersebut kaya atau miskin, kondisi acaranya berbeda,
suguhannya pun juga tidak jauh berbeda. Orang kaya memotong kerbau, orang miskin pun
memotong kerbau. Inilah kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat danterjadi secara
turun-temurun. Bahkan untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela untuk
meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga. Sehingga
biaya ritual tinggi menjadi sebuah kebiasaan turun temurun, yang berdampak pada tingkat
ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan.
Ritual sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konteks adat, budaya rasa syukur tidak cukup hanya dengan lisan, namun perlu diwujudkan
dalam bentuk upacara ritual dan kalimat syukur itu diucapkan berbarengan dengan acara
ritual.
Tidak sebanding dengan nilai kepuasan bathin yang sulit diukur, nilai negative yang
ditimbulkan oleh acara adalah sebagai sebuah pemborosan, yang menyebabkan kemiskinan
yang berdampak pada :
Timbulnya hutang
Hidup dalam pas-pasan tanpa memperhatikan gizi makanan karena sebagian penghasilan
disimpan untuk persiapan hajatan
Menggadaikan hak miliknya untuk kepentingan ritual
Budaya gengsi
SIMPULAN
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Segala sesuatu yang
terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu.
Kebudayaan merupakan perangkat peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang
harus dilakukan oleh masyarakat yang hidup di dalamnya dalam suatu keadaan tertentu.
Namun terkadang karena keterikatan ini, timbul adanya suatu ketimpangan. Ketimpangan ini
terjadi akibat kebudayaan yang tidak sesuai dimana ketidaksesuaian ini menjadi masalah
terutama masalah ekonomi di suatu masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain, kebudayaan
ini bisa disebut sebagai salah satu faktor kemiskinan yang terjadi di suatu masyarakat
pedesaan.
Masalah seperti ini memang sangat sulit dan membutuhkan waktu untuk
mengatasinya. Karena kebudayaan yang telah mengakar pada suatu masyarakat tertentu sulit
untuk dirubah bahkan dihilangkan. Untuk itu, diperlukan cara untuk meminimalisir
kebudayaan yang tidak sesuai serta mencari alternatif agar unsur yang tidak sesuai tersebut
tidak tetap tumbuh dalam kebudayaan sehingga tidak menyebabkan kemisikinan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Jurnal antropologi dan konsep kebudayaan. [Internet] [diunduh 10 November
2011]. Dapat diunduh dari: http://www.papuaweb.org
Anonim. 2010. Kemiskinan budaya .[Internet] [diunduh 7 Desember 2011]. Dapat diunduh
dari: http://www.antaranews.com
Lason. 2008. Makalah pengentasan kemiskinan. [Internet]. [diunduh 10 November 2011].
Dapat diunduh dari: http://www.lasonearth.com
Raharjo. 2004.Pengantar sosiologi pedesaan dan pertanian. Yogyakarta[ID]: Gadjah Mada
University Press.
Rahmatullah. 2008. Kemiskinan kultural buah dari kemiskinan structural .[Internet] [diunduh
10 November 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.banten-institute.org
Ranjabar J. 2006. Sistem sosial budaya indonesia. Bogor[ID]: Ghalia Indonesia.
Soekanto S. 2009. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta[ID]: Rajawali Pers.
http://anggitawidasari.wordpress.com/2012/05/07/pengaruh-kebudayaan-terhadap-kehidupan-
ekonomi-masyarakat-pedesaan/
PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Memperhatikan kondisi dan
situasi pada saat ini, begitu banyak terdengar iklan politik yang begitu syahdu dan sangat
memabukan bagi orang awam saparti saya ini. Mereka begitu lantang dalam meneriakan
sebagai pengayon masyarakat yang berlagak sebagi malaikat penyelamat dalam mengatasi
problem ekonomi yang sedang di hadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Jargon ekonomi merupakan makanan empuk bagi para calon presiden dan wakil presiden
dalam meyakinkan mayarakat untuk memilih mereka pada saat nanti hari pencoblosan. Dari
sekian banyak potesi ekonomi mereka saling berlomba menyuguhkan Jargon Ekonomi
kerakyatan dan seolah-oleh mereka yakin akan bisa mewujudkan janji manis yang selama ini
di beberkan.
Apakah mereka sadar atau tidak, bahwa selama ini perekonomian Indonesia banyak
dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian masyarakat pedesaan yang merupakan basis
masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya dewasa ini, masyarakat pedesaan seolah-olah
tidak bisa berperan dalam membangun perekonomiaan Indonesia dan tenggelam dalam
bayang-bayang ketidakjelasan arah pembangunan pemerintah dalam menguatkan peran
pedesaan sebagai basis ekonomi kerakyatan. bahkan semenjak krisi moneter menghantam
Indonesia tahun 1997 peran pemerintah terhadap kegiatan perekonomian pedesaan kurang
sebab mereka lebih memprioritaskan wilayah perkotaan. Bimbingan dan penyuluhan dirasa
kurang dan sama sekali tidak ada, lebih-lebih untuk pedesaan terpencil yang jauh dari ibukota
kabupaten atauibukota kecamatan serta akses transfortasi yang sulit terjangkau oleh
kendaraan.
Jumlah desa di Indonesia berjumlah ribuan dengan tekstur dan karakter Sumber Daya
Manusia serta Sumber Dalam Alam berbeda yang merupakan potensi untuk mengembangkan
ekonomi kerakyatan yang berbasiskan pertanian, peternakan, perikanan, usaha kecil dan
menengah.
Oleh karena itu, pemerintah yang akan datang harus jeli dan konsisten dalam menggali,
memberdayakan serta mengembankan potensi ekonomi pedesaan sehingga tercipta sebuah
dinamika perekonomian yang benar-benar pro rakyat. Walaupun selama ini pemerintah terus-
terusan memberikan bantuan untuk masyarakat di pedesaan namun ada banyak beberapa hal
yang kurang diperhatiakan dan dijalankan pemerintah.
Dalam memberdayakan ekonomi pedesaan maka diperlukan kebijakan, strategi dan system
ekonomi yang berpihak kepada rakyat serta didesain secara sistematis. Salah satu kebijakan
dan strategi yaitu menganut system pembangunan yang beroreintasi kerakyatanyang berpihak
pada kepentingan rakyat, tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi pertumbuhan hanya akan
berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat itu
sendiri, baik berupa produktivitas rakyat maupun sumber daya yang berkembang melalui
penguatan ekonomi rakyat.
Maka untuk membangun pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan yang berbasis Ekonomi
pedesaan pemerintah harus :
1. Membangun kembali jaringan penyuluhan dan pembinaan yang benar-benar berkelanjutan,
terorganisir serta tepat sasaran.
2. Membangun lahan pertanian,perikanan, peternakan, usaha kecil dan menengah sesuai
dengan karakteristik desa tersebut.
3. Membangun dan memperbaiki saluran irigasi dengan memampaatkan alam sekitar dan
tidak merusak lingkungan.
4. Membangun jaringan pemasaran hasil produk dengan memberdayakan koperasi secara
mandiri dan professional.
Mewujudkan tujuan itu, pemberdayaan dan pembangunan harus di tunjang dengan
melaksanakan program organisasi, manajemen, keuangan, permodalan dan pengembangan
usaha menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya dan juga meninjau serta menata kembali
langkah-langkah peningkatan tersebut sebagai jalan menuju visi masa depan yang lebih baik.
Didalam menjalankan Pemberdayaan Ekonomi pedesaan, mempunyai tujuan yang harus
dicapai yaitu mensejahterakan masyarakat pedesaan serta untuk tetap berdiri eksis di tengah
gempuran ekonomi kapitalis dan neoliberalis. Salah satu contohnya yaitu pengembangan
usaha yang efesien, mandiri dan handal melalui kegiatan produksi, perdagangan, pelayanan
jasa dan transaksi lainnya.
Namun itu semua harus di dukung oleh stockholder yang benar-benar konsisten tidak
memandang suku, agam,dan ras, di samping itu juga, masyarakat harus bisa menjalankan
yang sesuai dengan yang telah di programkan pemerintah dengan kemauan yang ihlas daan
menginginkan perubahan terhadap kehidupan perekonomian yang sejahtera.
http://agrabintanewsa.blogspot.com/2011/10/pembangunan-ekonomi-pedesaan.html
Masalah Agraria dan Kemiskinan di Pedesaan
Share
Tweet
Jutaan orang yang mendiami daerah pedesaan memiliki seribu satu
masalah dalam kehidupan. Masalah pertama dan paling utama yang ingin kita tunjukkan di sini
adalah masalah mendapatkan pekerjaan. Penyediaan pekerjaan layak bagi masyarakat miskin
pedesaan sepanjang tahun -- entah mungkin dari tanah pertanian atau dari jenis pekerjaan lain --
merupakan hal yang paling menonjol yang dihadapi dalam kehidupan pedesaan. Kita tahu bahwa
pendistribusian tanah adalah hal yang penting, tetapi ini bukanlah masalah utama. Karena
mengingat jumlah minimum tanah yang harus dialokasikan untuk sebuah keluarga -- untuk bisa
bertahan hidup dan memenuhi biaya lain -- ada kelangkaan lahan yang dibutuhkan untuk
distribusi di antara seluruh penduduk desa di Indonesia hari ini. Artinya penyelesaian masalah
pedesaan saat ini adalah bukan dengan hanya melakukan tugas mendistribusikan tanah kepada
massa pedesaan tetapi juga mengakhiri kemiskinan dari buruh tani, petani tak bertanah dan
miskin di desa-desa. Ini tidak berarti bahwa dengan menyatakan ini kita mengabaikan kebutuhan
atau mencoba untuk meremehkan pentingnya mendukung gerakan petani yang menyerukan
pemulihan dan pendistribusian tanah di antara buruh tani, petani tak bertanah dan miskin.
Pada tahun 1963, dengan penduduk kurang lebih 66 juta jiwa, diperkirakan tanah untuk
menghidupi keluarga petani, sekitar 1 bau atau sekitar 0,71 hektar. Seiring dengan meningkatnya
populasi penduduk dan meningkatnya harga, kebutuhan akan tanahpun meningkat, diiringi
dengan meningkatnya jumlah pekerjaan yang dibutuhkan. Apa yang terjadi kemudian ketika
mereka tidak mampu mendapatkan pekerjaan di desa? Mereka harus meninggalkan desa dan
pindah ke kota, berkerumun untuk mencari pekerjaan sebagai buruh. Dengan demikian,
mendistribusikan tanah tidak dapat dengan sendirinya menyelamatkan petani.
Kita akan menganalisa lebih jauh permasalahan ini, bahwa mendistribusikan tanah tidak pula
menyelesaikan masalah dari buruh tani, petani tak bertanah dan miskin. Pertama, seperti tersebut
di atas, melaksanakan tugas distribusi tanah tidak akan membuat tanah tersedia bagi semua buruh
tani, petani tak bertanah, dan miskin. Kedua, mereka mendapatkan tanah tetapi mereka tidak bisa
terus berpegang terhadap tanah yang dimilikinya. Karena, seperti yang kita tahu, anggota setiap
keluarga terus meningkat dalam jumlah, tetapi tanah tidak tumbuh dalam ukuran. Katakanlah, Si
A adalah seorang petani dan Si A sudah mendapatkan 1 hektar tanah. Mungkin sebagian dari kita
berpikir bisa mengelola rumah tangga dengan ini. Namun keluarga Si A mempunyai lima anak,
atau bila sesuai norma yang ditentukan oleh pemerintah, maka Si A memiliki katakanlah dua
anak. Setelah menikah, setiap anak kebagian hanya 0.5 hektar, dan seterusnya setelah mereka
punya anak juga.
Meskipun petani menerima, katakanlah 1 bau, yang dapat memecahkan masalah hidup mereka,
tidak lantas mereka terus bertahan. Jika anak dari keluarga tidak memiliki pekerjaan lain dan
petani tidak dapat menambah lebih banyak lahan miliknya -- tentunya dengan bersaing dengan
petani-petani lainnya -- ia akan terpaksa menggadaikan tanahnya pada saat-saat sulit: sakit,
upacara pernikahan, dan lain-lain. Lalu ia pun akan bergabung dengan barisan petani tak
bertanah. Ini adalah kejadian yang tak terelakkan dalam ekonomi kapitalis pedesaan di negara
terbelakang seperti kita.
Perkotaan pun sudah penuh dengan barikade-barikade pengangguran. Angka penganguran dan
semi-bekerja melonjak. Di bawah kapitalisme, setiap upaya mekanisasi pertanian, yaitu
memodernisasi pertanian dengan traktor dan mesin, akan melemparkan jutaan orang di desa-desa
keluar dari pekerjaan dengan sekali pukul. Dengan masalah pengangguran yang sudah begitu
parah, kapitalisme tidak dapat melakukan tugas modernisasi pertanian tanpa menciptakan gejolak
ekonomi dan sosial yang besar. Oleh karena itu, dengan tatanan sistem ekonomi kapitalis dan
mesin negaranya yang ada hari ini, jalan ini tidak dapat mengarah pada solusi dari permasalahan.
Dari sudut ini dapat dilihat bahwa penyelesaian tugas revolusi agraria di negara kita terikat kuat
dengan tugas mencapai revolusi sosialis.
Dengan berbekal hanya medistribusikan tanah saja, penderitaan di dalam kehidupan pedesaan
tidak dapat berakhir dan petani tidak dapat bertahan hidup. Kecuali ada kepastian kerja untuk
setiap individu dari keluarga petani miskin di desa. Menyediakan lapangan kerja adalah masalah
dasar yang dihadapi kehidupan pedesaan hari ini. Jadi, tidak diragukan lagi, distribusi tanah
secara merata merupakan masalah penting dari gerakan petani tapi bukan masalah yang pokok.
Dan isu penting dari gerakan petani adalah bagaimana mengembangkan ekonomi pedesaaan
melalui mekanisasi dan modernisasi pertanian serta berdampingan membuka jalan menuju
industrialisasi dalam rangka memberikan pekerjaan kepada setiap insan di pedesaan.
Sekarang pertanyaannya adalah: bagaimana memberikan pekerjaan kepada setiap individu di
desa? Siapa yang akan dan dapat menyediakan ini? Satu-satunya cara untuk menciptakan
lapangan pekerjaan adalah dengan membuka jalan menuju industrialisasi yang berkelanjutan.
Pabrik-pabrik dapat dibangun dan pengembangan industri bisa berjalan tanpa hambatan. Dengan
kata lain, bila jalan menuju industrialisasi skala-penuh bisa dibuka, maka upaya bersama bisa
terus berjalan dalam ekonomi pertanian untuk mekanisasi dan modernisasi. Industri pendukung
dan pembantu dalam ekonomi pertanian bisa mulai berkembang di daerah pedesaan, dan
membuat pertumbuhan yang cepat dalam produksi pertanian dan menyerap pengangguran di
desa. Penampilan desa secara radikal akan berubah. Namun kita tahu bahwa industrialisasi dan
penyediaan lapangan pekerjaan tidak dapat terlaksanakan dalam batasan kapitalisme. Bila di
pekotaan saja, yang merupakan pusat dari ekonomi kapitalis, lapangan pekerjaan yang memadai
tidak dapat disediakan, apalagi di pedesaan. Belum lagi krisis ekonomi dunia baru-baru ini telah
menghancurkan ratusan juta lapangan pekerjaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dalam situasi ini, kebutuhan negara terbelakang seperti kita adalah untuk melakukan
industrialisasi dengan inisiatif yang selalu baru sehingga dapat menyerap tenaga pengangguran.
Sekarang, industrialisasi kita berjalan dengan motifnya mendapatkan keuntungan maksimum atas
dasar hubungan produksi kapitalis, dan berdiri sebagai hambatan utama kemajuan masyarakat.
Oleh karena itu, selama sistem ini tidak dihapus, kita tidak dapat menyelesaikan tugas revolusi
agraria -- yang berarti memodernisasi pertanian dan menyediakan lapangan kerja untuk penduduk
pedesaan secara menyeluruh. Untuk menyelesaikan masalah dasar dari kehidupan pedesaan dan
mewujudkan pembangunan industri secara sosialis, kita perlu mengakhiri sistem ekonomi saat
ini, yakni sistem kapitalis. Kekuasaan buruh dan tani harus didirikan dan mengganti sistem
kapitalis dengan sistem sosialisme.
Tetapi di antara gerakan kiri Indonesia, ada yang mengatakan bahwa perjuangan utama di
Indonesia hari ini adalah menentang kapital monopoli dan feodalisme. Mari kita menelisik lebih
jauh apa yang dimaksud anti kapital monopoli dan feodalisme dalam perjuanganya di negara
kapitalis Indonesia sekarang.
Kapitalisme secara keseluruhan hidup dari ekploitasi rakyat pekerja. Gerakan kiri di Indonesia
yang menentang kapital monopoli dan feodalisme menempatkan tanggung jawab ekploitasi kelas
kapitalis secara keseluruhan ini pada segelintir kapitalis monopoli. Alih-alih berdiri mengambil
sikap menggulingkan negara kapitalis secara keseluruhan, mereka menyembunyikan karakter dari
eksploitasi kapitalis itu sendiri. Kapitalisme monopoli hanyalah bentuk dari kapitalisme itu
sendiri. Ia adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Jika mereka-mereka ini tidak
memiliki program revolusi sosialis, maka semua tugas mereka memerangi kapital monopoli
adalah slogan kosong. Mereka mencoba melindungi kelas borjuis secara keseluruhan dari rakyat
pekerja dengan menggeser tanggungjawab dari semua kelakuan buruk dari borjuasi secara
keseluruhan ke pundak beberapa kapitalis monopoli.
Sedikit refleksi juga mengungkapkan bahwa slogan dari pihak anti feodalisme tidak lebih dari
sebuah slogan kosong. Apapun bentuk kapitalisme di negara kita, bagaimanapun
keterbelakangannya, kapitalisme adalah fitur utama dan ekploitasi kapitalis dilakukan baik di
dalam pertanian maupun industri. Sekarang marilah kita melihat lebih jauh sifat-sifat ekonomi
pertanian di negara kita. Dari pembahasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa hampir lebih
dari separuh dari penduduk pedesaan telah berkurang ke tingkat petani tak bertanah dan buruh
tani. Secara bertahap mereka kehilangan lahannya, sementara sebagian besar tanah di negara ini
telah terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Di sisi lain sebagian besar masyarakat pedesaan
bergeser ke tingkat proletariat pedesaan. Ini adalah hukum yang tidak terelakkan dari
perkonomian kapitalis.
Kita tahu bahwa negara kita menjalankan ekonomi kapitalis yang menjadi akar dari eksploitasi.
Entah di perkotaan ataupun di pedesaan, produksi dilakukan atas dasar hubungan produksi
kapitalis, yakni di satu pihak adalah pemilik modal (atau pemilik alat produksi) dan di lain pihak
adalah buruh yang bekerja untuk upah. Dalam kata lain, kerja-upahan. Di pedesaan, kita juga
melihat hubungan kerja-upahan antara buruh tani dan pemilik lahan, baik itu lahan perorangan
maupun lahan agrobisnis.
Mari sekarang kita periksa karakter ekonomi pedesaan. Apakah karakter ekonomi pedesaan hari
ini feodal, pemilik tanah menghasilkan sebagian besar untuk konsumsi mereka sendiri dan untuk
memenuhi kebutuhan hidup lainnya, dan mereka menjual sebagian dari produk ini di pasar lokal
sesuai hukum dari pasar lokal? Atau, apakah pemilik lahan menghasilkan produk menurut
tuntutan pasar nasional dan dunia? Selain itu, apakah harga hasil pertanian di desa tetap dalam
hukum pasar lokal, atau komoditas pertanian berubah menjadi komoditas pasar nasional dan
dunia hari ini?
Coba nyalakan televisi, Anda dapat mengetahui bahwa hasil pertanian hari ini dikendalikan oleh
pasar saham, pasar grosir, dan pasar modal. Para pemilik tanah menjual produk mereka di pasar-
pasar raksasa ini, sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh mereka. Jadi, hari ini tanah juga
berubah menjadi sarana investasi modal selayaknya seperti pabrik.
Oleh karena itu, semua ini – terkonsentrasinya sebagian besar tanah di tangan segelintir orang,
penurunan sebagian besar orang desa ke tingkat proletar, transformasi negeri ini ke dalam alat
investasi modal, produksi pertanian terjadi atas dasar kerja-upahan dan transformasi hasil
pertanian menjadi komoditas pasar nasional dan dunia – menunjukkan bahwa ekonomi pertanian
Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya kapitalis. Namun, kapitalisme Indonesia mundur dan
terbelakang. Kaum kapitalis Indonesia tidak mandiri dan tidak progresif. Elit penguasa mabuk
kebiasaan feodal. Namun, ada yang menyangkal bahwa ekonomi pertanian negara kita adalah
ekonomi kapitalis. Mereka yang mengucapkan itu kurang mengerti bahwa kapitalisme membuat
terobosan terhadap ekonomi pertanian di negara terbelakang.
Pada abad ke-18, ketika kapitalisme progresif, revolusi dunia berada pada tahap revolusi borjuis
(kapitalis). Kapitalisme membuat langkah melalui perjuangan tanpa kompromi melawan
feodalisme. Transformasi revolusioner produksi dan industrialisasi dalam skala luas berlangsung
atas dasar hubungan kapitalis. Kapitalisme membuat terobosan ke pertanian dengan mekanisasi
untuk pasokan bahan baku, untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi dan menciptakan kerja
surplus dari mayoritas rakyat desa untuk diserap ke dalam industri. Tetapi di era sekarang, ketika
kapitalisme secara intensif menghadapi krisis, banyak industri yang terpaksa tutup karena kalah
bersaing. Ini menyebabkan kembalinya momok pengangguran. Kapitalisme dan mesin negaranya
tidak dapat menyelamatkan situasi ini. Itulah sebabnya, di bawah sistem kapitalisme, modernisasi
sistem pertanian besar-besaran tidak dapat terwujud. Ini yang dinamakan “konspirasi” kapitalis
yang memaksa jutaan orang pedesaan dalam keadaan kelaparan.
Kapitalisme di negara kita dibesarkan di atas kompromi dengan feodalisme. Karena itu, kita
menjadi negara terbelakang, mabuk feodal dalam kebiasaan dan praktek yang masih bertahan
sebagai pencampuran hubungan dasar kapitalis dan ekploitasi dalam proses produksi pertanian.
Sama seperti kotoran bercampur emas. Dalam situasi ini, orang yang menganjurkan memukul
sisa-sisa feodal, adalah mereka yang memohon untuk eksploitasi kapitalis, tidak peduli mereka
menggunakan retorika melawan borjuasi. Kita harus memahami masalah ini dengan jelas. Kita
harus menyadari bahwa, musuh utama dari perjuangan revolusioner kaum buruh, petani dan
elemen tertindas lainya adalah kaum borjuis.
Dari setiap sudut kita menemukan bahwa dari tiga masalah dalam kehidupan petani, salah
satunya adalah penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelebihan penduduk yang jumlahnya
bertambah setiap hari. Masalah lain juga menyangkut memodernisasi dan mekanisasi pertanian.
Dan solusi atas kedua masalah dasar ini tak terpisahkan dan terkait erat dengan revolusi industri
yang membuka pintu untuk pengembangan industri tanpa hambatan. Dan kemajuan industri tanpa
hambatan hanya dapat dicapai ketika kita dapat terbebas dari hubungan produksi kapitalis,
menggulingkan sistem kapitalisme dan negaranya dengan kekuatan revolusi sosialis.
Jadi, demi kemajuan untuk mengakhiri penderitaan buruh tani dan petani miskin, serta
menghilangkan kegelapan dari kehidupan pedesaan, modernisasi dan mekanisasi pertanian adalah
kebutuhan. Tetapi dalam situasi saat ini, hal ini tidak dapat dicapai di bawah sistem kapitalisme.
Jika dicoba, bagian yang sangat luas dari buruh tani dan tani miskin akan terlempar menganggur
dalam sekali pukul. Oleh sebab itu, demi kelangsungan hidup dan kepentingan buruh tani, petani
tak bertanah, petani miskin, semua harus bersatu tanpa ditunda lagi dan bergabung dengan
proletariat industri untuk terlibat dalam menyelesaikan tugas revolusi sosialis. Mereka harus
mempersiapkan diri untuk menggantikan kapitalisme, karena dengan menggulingkannya akan
menjamin kemajuan industri tanpa hambatan. Modernisasi dan mekanisasi pertanian akan
dimungkinkan, yang lalu akan menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelangkaan pekerjaan di
pedesaan.
http://www.militanindonesia.org/analisa-politik/17-akhir/8283-masalah-agraria-dan-
kemiskinan-di-pedesaan.html
Prof Dr Maryunani SE MS: Penguatan Perekonomian Desa
Dikirim oleh prasetya1 pada 22 October 2007 | Komentar : 0 | Dilihat : 1313
MaryunaniDi tengah maraknya pembangunan ekonomi di seluruh dunia, kemiskinan dan
pengangguran masih terjadi di banyak tempat. Karenanya, tinjauan teoritis dan praktis
pembangunan ekonomi harus mengarah langsung kepada masyarakat sebagai indikator utama
kemajuan pembangunan ekonomi.
Demikian Prof Maryunani dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu ekonomi
pembangunan, yang disampaikannya di hadapan Senat Universitas Brawijaya pada Senin 22
Oktober 2007 di Gedung Widyaloka. Maryunani dikukuhkan sebagai guru besar Universitas
Brawijaya dari Fakultas Ekonomi.
Dalam orasinya yang berjudul ?Sentuhan Pembangunan Ekonomi dalam Penguatan
Perekonomian Desa di Indonesia?, Maryunani lebih lanjut mengungkapkan, kemajuan
pemba-ngunan seringkali dibarengi dengan memburuknya ketimpangan kesejah-teraan.
Sehingga laju pertumbuhan dan pendapatan nasional perlu diimbangi oleh perhatian yang
lebih mementingkan aspek distribusinya.
Meningkatnya pendapatan rata-rata di Indonesia sebagai dampak pembangunan yang
berlangsung selama ini, ternyata belum mampu memperbaiki tingkat hidup penduduk miskin
baik di perkotaan maupun pedesaan. Permasalahan itu terjadi akibat pemahaman mengenai
pembangunan ekonomi oleh para pelaksana pembangunan yang tidak relevan dengan
masalah hidup yang dialami masyarakat miskin. Akibatnya, strategi dan program
pembangunan ekonomi yang digunakan tidak sesuai dengan kenyataan hidup dan
kepentingan rakyat miskin. Sehingga, pembangunan harus mencakup berbagai sisi kehidupan
dan melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Pada akhir orasinya Maryunani menandaskan, selama masa pemba-ngunan dipandang
sebagai persoalan teknis semata yang segala permasa-lahannya dapat diselesaikan secara
ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif, akan menyebabkan pemba-ngunan hanya
menyentuh permukaan saja (trickle down effects), menyentuh permasalahan yang dapat
dihitung saja dan biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi tertentu saja.
Bahwa pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusia. Karena
pembangunan prasarana dan sarana, dilakukan hanya sebatas untuk menunjang kegiatan
manusia dalam pembangunan. Jika bermaksud menghindari persoalan kemiskinan,
kesenjangan ekonomi dan kerusakan lingkungan, sudah saatnya kita melakukan
pembangunan berencana untuk perekonomian desa. Percepatan pembangunan ekonomi
pedesaan terutama yang berada di kantong daerah tertinggal, harus segera menjadi prioritas
dan diprioritaskan. [nik]
http://prasetya.ub.ac.id/berita/Prof-Dr-Maryunani-SE-MS-Penguatan-Perekonomian-Desa-
7885-id.html