Upload
hoangkhanh
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN
SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN
HIDAYAT
(Analisis Bimbingan Konseling Islam)
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratanmencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
SRI HIDAYATI 1103110
FAKULTAS DA'WAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 5 (eksemplar)
Hal : Persetujuan Naskah
Usulan Skripsi
Kepada
Yth. Bapak Dekan Fakultas Da’wah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya,
maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari:
Nama : Sri Hidayati
NIM : 1103110
Jurusan : DAKWAH /BPI
Judul Skripsi : PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP
KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT
KAJIAN BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT
(Analisis Bimbingan Konseling Islam
Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas
perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Semarang, Desember 2009
Pembimbing,
Bidang Substansi Materi, Bidang Metodologi & Tatatulis,
Drs. H. Solihan, M.A g Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd.NIP. 19600601199403 1 002 NIP. 19680113199403 2 001
SKRIPSI
PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN
SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN
HIDAYAT
(Analisis Bimbingan Konseling Islam)
Disusun olehSri Hidayati
1103110
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal: 30 Juni 2010
dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua Dewan Penguji/Pembantu Dekan Anggota Penguji,
Drs. Ali Murtadho M.Pd Drs. H. Djasadi M.PdNIP. 19690818 199503 1 001 NIP. 19470805 196509 1 001
Sekretaris Dewan Penguji/Pembimbing,
Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd. Baidi Bukhori, S.Ag, M.SiNIP. 19680113 199403 2 001 NIP. 19730427 199603 1 001
Pembimbing,
Bidang Substansi Materi, Bidang Metodologi & Tatatulis,
Drs. H. Solihan, M.A g Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd.NIP. 19600601 199403 1 002 NIP. 19680113 199403 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan
daftar pustaka
Semarang, 09 Desember 2009 Tanda tangan,
SRI HIDAYATINIM: 1103110
MOTTO
) :(
Artinya: Di mana pun kamu berada, niscaya maut akan menemuikamu sekalipun kamu berlindung di balik tembok yangtinggi dan kokoh," (QS An-Nisa [4]:78).
PERSEMBAHAN
v Bapak dan ibuku tercinta (Bapak Karno dan Ibu Inasah), terimakasih atas
kasih sayang dan perhatian serta doanya sehingga dapat sukses dalam
hidup ini.
v Kakak dan adikku (Madenar, Rusbianto dan Catur Kurniawan), Yang
memotivasi dalam studi dan pembuatan skripsi.
v Mas Anto yang selalu memotivasi dalam studi dan pembuatan skripsi.
v Temen-temen (Anita, Dwik, Nadirin, Menik) semua kos Annisa, angkatan
2003 Jurusan BPI Fak.Dakwah, serta yang tak dapat kusebutkan satu
persatu seperjuangan dalam meraih cita dan asa.
Sri Hidayati
ABSTRAKSI
Realitas kematian adalah kepastian yang tidak bisa ditolaknya, setiaporang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidaksiap. Dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematiandi dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi, pengetahuan danpengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena risettentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak adaorang yang mati dapat hidup kembali.
Buku Komaruddin Hidayat yang berjudul: Psikologi Kematian:Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme menjelaskan, kematian adalahsesuatu yang indah, manakala manusia mampu menyelami lautan hakikatnyamembuat hidup semakin optimis. Perumusan masalah sebagai berikut:bagaimana pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadapkematian? Bagaimana kematian harus disikapi secara ideal menurutKomaruddin Hidayat? Upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapirasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingandan konseling Islam? Metode penulisan ini menggunakan jenis penelitiankualitatif. Sumber primernya adalah buku karya Komaruddin Hidayat yangberjudul: Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme.Sumber sekunder berupa karya Komaruddin Hidayat yang lain. Adapunpengambilan data, peneliti menggunakan kepustakaan (library research)primer maupun sekunder, sedangkan metode analisis yang digunakan adalahanalisis deskripsi.
Hasil dari pembahasan menunjukkan apabila memperhatikan pendapatKomaruddin Hidayat, maka tampaknya konsep yang dikemukakannya dapatmembantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian,tetapi juga berbicara tentang sedikit rahasianya, dan yang lebih penting lagimenuntut umat manusia menjemput maut dengan hati yang tenang. KonsepKomaruddin Hidayat telah meruntuhkan bayang-bayang kematian yang amatmenakutkan itu. Ternyata, seperti dijelaskan Komaruddin Hidayat ini,kematian adalah sesuatu yang indah. Menyelami lautan hakikatnya hidupmanusia semakin optimis. Menurut Komaruddin Hidayat, kematian harusdisikapi secara ideal. Menurutnya bagi mereka yang hati, pikiran, danperilakunya selalu merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan,kematian sama sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episodekehidupan duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhanyang selalu dicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalananmanusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian. Unggas(seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecuali denganmeninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelum menetas. Hidupduniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematian adalah tangga menujukeabadian, menuju hidup yang tanpa mati. Konsep Komaruddin Hidayat dapatdijadikan masukan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islamoleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika yangsedang dihadapi dan dialami para konseli atau klien.
KATA PENGANTARAssalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang
senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis
dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul PROBLEM RASA
TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT KAJIAN
BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT (Analisis Bimbingan Konseling Islam) .
Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat
Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat
serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak
perjuangannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan
dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu
terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut
dengan baik
2. Bapak Drs. H.M. Zain Yusuf, M.M., selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Solihan, M.A selaku dosen pembimbing I dan Dra. Maryatul
Qibtiyah, M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan
membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu,
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang
baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan
Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik.
6. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, adinda.
7. Temen-temenku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada
mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan
kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para
pembaca pada umumnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 9 Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
ABSTRAKSI............................................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR............................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................... …1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................. …7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... …7
1.4. Tinjauan Pustaka .................................................................. …8
1.5. Metode Penelitian ................................................................. ..12
1.6. Sistematika Penulisan .......................................................... ..14
BAB II: RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN BIMBINGAN
DAN KONSELING ISLAM
2.1. Kematian..............................................................................16
2.1.1. Pengertian Rasa Takut terhadap Mati..........................16
2.1.2. Teori tentang Kematian...............................................18
2.1.3. Dampak Mengingat Kematian.....................................21
2.2. Pengertian dan Metode Bimbingan Konseling Islam..............24
2.2.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam................24
2.2.2. Obyek Bimbingan dan Konseling Islam......................29
2.2.3. Metode Bimbingan dan Konseling Islam ....................31
2.2.4. Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling
Islam...........................................................................34
2.3. Bimbingan dan Konseling Islam dan Peranannya Mengatasi
Rasa Takut Mati……………………………. .............................35
BAB III: KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH
RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN MENJADI
OPTIMISME
3.1. Biografi Komaruddin Hidayat .................................................38
3.2. Konsep Komaruddin Hidayat tentang Mengubah Rasa
Takut terhadap Kematian Menjadi Optimisme ........................41
3.2.1. Rasa Takut terhadap Kematian .....................................41
3.2.2. Mensikapi Kematian.....................................................45
3.2.3. Upaya Menyikapi Rasa Takut dari Kematian ................51
BAB IV: ANALISIS KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG
MENGUBAH RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN
DITINJAU DARI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
4.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang Rasa Takut
Terhadap Kematian.................................................................60
4.2. Kematian Harus Disikapi Secara Ideal Menurut
Komaruddin Hidayat...............................................................65
4.3. Upaya yang Harus Dilakukan Untuk Menyikapi Rasa
Takut dari Kematian Menurut Komaruddin Hidayat
Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam.........................73
BAB V : PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...............................................................................85
5.2. Saran-Saran...............................................................................87
5.3. Penutup.....................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia demikian asyik dengan kehidupannya, sehingga ia lupa
bahwa dari hari ke hari dan saat ke saat makin mendekati maut. Kenyataan
yang tak tertolak, bahwa suatu ketika kehidupan itu akan sirna. Suatu
kepastian yang tak mungkin diingkari, besok atau lusa, sebulan atau setahun,
sepuluh atau beberapa puluh tahun lagi, tiap diri yang masih hidup akan mati.
Dalam tiap kelahiran tersimpul sekalian kematian. Lahir sebagai awal selalu
berujung pada maut sebagai akhir. Ini adalah hukum alam yang pasti
berlakunya (Gazalba, 1972: 11).
Kalau sudah sedemikian pastinya maut itu akan tiba, kenapa manusia
selalu lalai menghadapi kedatangannya. Karena selalu dalam keadaan
ketaksiapan, hampir selalu orang meninggal tanpa kesadaran. la tiba-tiba saja
mati, tanpa sebelumnya menyadari bahwa ia akan mati. Maut seolah-olah
menerkamnya dari belakang. Tanpa menyadari apa yang terjadi ia telah
berlalu. Kalaupun kesadaran itu ada, datangnya terlambat sekali. Ia menyadari
waktu ia telah diambang sakaratul maut. Sering pula orang telah memasuki
sakaratul maut, tanpa sebelumnya sadar melangkah ke situ. Kadang-kadang
pula tanpa sakaratul maut status hidup tiba-tiba saja sudah berubah menjadi
status mati. Betapa banyak kejadian seseorang tiba-tiba saja telah berhenti jadi
manusia, tanpa menduga peristiwa itu (Gazalba, 1972: 11).
Realitas kematian adalah kepastian yang tidak bisa ditolaknya, setiap
orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidak
siap. Dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematian
di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi, pengetahuan dan
pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena riset
tentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak ada
orang yang mati dapat hidup kembali (Asy'arie, 2002: 243).
Secara fisik barangkali riset kematian bisa dilakukan, melalui analisis
medik mengenai kematian manusia, yang ditandai oleh berhentinya detak
jantung, demikian juga sebab-sebab kematian yang mengakibatkan jantungnya
berhenti berdetak yang dialami oleh seseorang, sehingga kematian dapat
didefinisikan. Akan tetapi apakah kematian adalah akhir dari segala-galanya,
atau justru sebaliknya menjadi awal adanya kehidupan sesudah kematian dan
bagaimana kehidupan sesudah kematian itu, maka ilmu menghadapi batas-
batasnya sendiri, yang tidak mungkin menjangkaunya. Oleh karena itu, jika
saatnya kematian tiba tidak seorangpun yang bisa menundanya (Asy'arie,
2002: 244)
. Al-Qur'an 16:61 menegaskan:
) :(Artinya : Kalau sekiranya Allah menyiksa manusia karena kezaliman
mereka, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di bumisesuatu yang melata, tetapi Allah menangguhkan merekasampai waktu yang ditentukan. Maka jika telah datang ajal
mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pundan tidak akan dapat juga memajukannya. (QS. al-Nahl: 61).
Sumber satu-satunya yang maha tahu tentang rahasia apa yang
diikandung oleh mati ialah Tuhan. Tuhan itu Maha Mengetahui, Maha Kuasa,
hidup dan mati adalah ciptaanNya. Tuhan memberi keterangan tentang mati
dengan perantaraan ajaran agama. Tuhan mewahyukannya kepada Nabi
sebagai Rasul/UtusanNya. Nabi menghimpunkan wahyu-wahyu itu dalam
Kitab Suci. Kitab Suci yang memuat pokok-pokok ajaran agama itu
disampaikan oleh Nabi kepada ummat manusia (Usman, 1970: 148).
Di antara pikiran yang selalu menghantui manusia adalah pikiran
tentang kematian dan berakhirnya kehidupan. Setiap manusia akan bertanya
kepada dirinya. "Mengapa aku dilahirkan ke dunia? Dan mengapa aku harus
meninggalkannya? Apa yang menjadi tujuan dibangun dan dihancurkannya
semua ini? Bukankah perbuatan demikian merupakan kesia-siaan yang sama
sekali tidak berfaedah (Muthahhari, 1981: 165).
Ketakutan dan lari dari kematian merupakan salah satu sebab yang
telah mendorong lahirnya filsafat pesimisme. Para filosof pesimistis
menggambarkan kehidupan dan wujud ini sebagai sesuatu yang tidak memiliki
tujuan, tidak berfaedah dan kosong dari kebijakan. Pandangan seperti ini telah
membuat mereka gelisah dan bimbang, dan kadang-kadang menimbulkan
pikiran untuk bunuh diri. Mereka berpikir, kalau seandainya harus berpisah
dengan kehidupan ini, mengapa dilahirkan ke dunia ini? Sekarang, setelah
dilahirkan ke dunia ini tanpa kehendak manusia, maka manusia harus
melakukan sesuatu untuk menghentikan kesia-siaan ini, dan dengan
menghentikan segala kesia-siaan ini berarti telah melakukan sesuatu yang
sangat penting (Muthahhari, 1981: 166).
Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak
mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau
yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa
kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang
dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang
bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi
siksa Allah (Shihab, 2002: 43).
Sebagian dari penyebab takut di atas tidak memiliki dasar. Maut, pada
hakikatnya serupa dengan tidur, ia nyaman, kecuali jika ada faktor lain yang
menyebabkan tidak nyaman. Arah yang dituju pun jelas, manusia kembali
kepada Allah, yang rahmat-Nya melimpah bahkan mengalahkan amarah-Nya.
Kematian tidak mengakibatkan kepunahan. Kematian hanya mengakibatkan
tidak berfungsinya organ-organ tubuh, tidak ubahnya seperti seorang tukang
yang tidak menggunakan alat-alat profesinya (Shihab, 2002: 43)..
Takut mati karena kuatir menyangkut nasib keluarga, juga tidak perlu
terlalu dirisaukan. Sekian banyak anak yatim, setelah ditinggal ayah
bundanya, namun ia bisa hidup sejahtera. Takut yang berkaitan dengan ini
adalah takut yang berada dalam wilayah "mungkin". Yang merisaukan, dan
yang wajar ditakuti adalah takut pada siksa Allah setelah kematian, ketakutan
yang terjadi menjelang kematian, karena ketika itu sangat dikhawatirkan
jangan sampai segala upaya untuk menyingkirkan bahaya itu, tidak lagi dapat
dilakukan, bukan karena pintu taubat telah tertutup, tetapi belenggu kebiasaan
durhaka telah menyita seluruh kesadaran untuk bertaubat. Itulah takut yang
pada tempatnya.
Sehubungan dengan berbagai pandangan tersebut, Komaruddin
Hidayat (2006: 118) seorang guru besar Filsafat Agama, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2001 – sekarang), Direktur Program Pascasarjana UIN
Jakarta (2005 – sekarang) menyatakan:
Mengapa kematian begitu menakutkan sedangkan dunia sangat sayanguntuk ditinggalkan? Terdapat beberapa kemungkinan jawabanmuncul. Antara lain ialah, bagi sebagian orang yang merasadimanjakan oleh kenikmatan yang telah dipeluknya selama ini.Dengan demikian memasuki hari tua berarti memasuki fasepenyesalan sedangkan kematian adalah puncak kekalahan danpenderitaan. Jawaban lain, kematian ditakuti karena manusia tidaktahu apa yang akan terjadi setelah mati. Kalau saja seseorang bisamenghilangkan benih iman dan argumen filosofi akan adanyakeabadian jiwa, sangat bisa jadi orang tak akan takut mati. Bukankahsetelah kematian tidak ada kehidupan lagi? Tetapi persoalannya,manusia sulit untuk mengingkari kebenaran ajaran agama, rasakeadilan moral dan argumen filosofis bahwa keabadian jiwa dan hariperhitungan itu pasti terjadi. Alangkah absurd (tidak masuk akal) dannistanya pengorbanan para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaankalau saja setelah mati tidak ada perhitungan lanjut. Lalu apa bedanyaantara pejuang dan pecundang jika setelah itu tidak akan ada lagimahkamah pengadilan yang benar-benar adil? Jawaban lainnya lagiialah, orang takut mati karena seseorang merasa banyak dosanya, lebihbanyak amal kejahatannya ketimbang kebaikannya, sehingga takutakan imbalan siksa yang hendak diterimanya kelak.
Selanjutnya Komaruddin Hidayat (2006: 119) menegaskan:
Bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikatdan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekali tidakmenakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan duniawiberarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhan yang selaludicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalanan
manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian.Unggas (seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecualidengan meninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelummenetas. Hidup duniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematianadalah tangga menuju keabadian, menuju hidup yang tanpa mati
Kematian pada sebagian orang dianggap sebagai peristiwa yang
menakutkan karena peristiwa tersebut belum pernah dialaminya. Manusia
masih bertanya-tanya, adakah kehidupan selanjutnya lebih nyaman
dibandingkan dengan saat di dunia ini. Pertanyaan ini yang kerap memicu rasa
cemas dan mencekam ketika terbayang dengan kematian.
Problem akademiknya bahwa membahas soal kematian bisa
menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam
setiap jiwa manusia; yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan
tiba serta punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini.
Kesadaran ini lalu memunculkan sebuah protes berupa penolakan bahwa
setiap orang tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan
yang mendekatkan ke pintu kematian.
Adapun sebabnya penulis memilih tokoh Komaruddin Hidayat adalah
karena pandangan-pandangan kesufian Komaruddin Hidayat sudah banyak
dikenal, karena ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum.
Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olahraga tenis ini terletak pada
metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian
direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. inilah yang menyebabkan
ceramahnya begitu hidup dan memikat siapa saja yang mendengarkannya.
Bukan hanya ceramahnya, tulisan-tulisannya pun mengalir dan enak dibaca.
Mungkin karena tulisan-tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang
analisis ilmiah yang kaku (Handrianto, 2007: 119).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti termotivasi memilih judul::
Problem Rasa Takut terhadap Kematian dan Solusinya Menurut Komaruddin
Hidayat (Analisis Bimbingan Konseling Islam)
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap
kematian?
2. Bagaimana kematian harus disikapi secara ideal menurut Komaruddin
Hidayat?
3. Upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari
kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan
konseling Islam?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut
terhadap kematian
2. Untuk mendeskripsikan bahwa kematian harus disikapi secara ideal
menurut Komaruddin Hidayat?
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi
rasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari
bimbingan dan konseling Islam
Manfaat Penelitian sebagai berikut:
1. Secara teoritis, yaitu diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan guna memperluas wawasan, khususnya untuk Fakultas
Dakwah Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam
2. Secara praktis, yaitu dapat membangun mental yang sehat.
1.4. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan Penelitian di perpustakaan IAIN Walisongo, didapatkan
adanya skripsi yang judulnya hampir sama dengan penelitian ini, di antaranya:
Pertama, skripsi yang berjudul: Analisis Konsep M. Quraish Shihab
tentang Berpikir Kematian Dapat Mempertebal Akidah, disusun oleh Liana
Fuadah, tahun 2004 (Fakultas Ushuluddin). Pada intinya dalam skripsi
tersebut dijelaskan bahwa kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa yang
menduga atau menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti takut
menyangkut sesuatu yang bakal datang. la boleh jadi sangat besar dan
berbahaya, dan boleh jadi kecil dan remeh. Bisa jadi juga hal tersebut
merupakan keniscayaan, dan bisa juga ia berpotensi untuk terjadi dan tidak
terjadi, dalam arti ia berada dalam wilayah "mungkin". Di sisi lain, penyebab
terjadinya sesuatu yang ditakuti, boleh jadi diri yang bersangkutan sendiri,
boleh jadi juga pihak lain.
Semua hal yang ditakuti, yang sifatnya berpotensi "mungkin",
hendaknya tidak dipastikan terjadinya, sekaligus tidak perlu terlalu ditakuti.
Rasa takut hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan serta kadar
ancamannya. Optimisme hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia. Ini semua
jika penyebab yang ditakuti dari luar diri yang bersangkutan. Adapun bila
yang Anda takuti bersumber dari diri Anda sendiri, maka hendaknya sejak dini
penyebabnya dihindari. Selanjutnya, baik rasa takut yang bersumber dari diri
Anda maupun di luar Anda, maka Anda berkewajiban untuk berusaha sekuat
tenaga agar yang ditakuti itu tidak terjadi, dengan mengetahui tata cara
menghindarinya. Ada cara untuk menghindari jatuhnya apa yang ditakuti dari
Allah, yaitu dengan bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan ada juga
cara menghindari bila sumber yang ditakuti dari manusia.
Ketuaan, kelemahan dan kematian adalah keniscayaan. Anda tidak
perlu menakutinya. Kelemahan dan ketuaan merupakan konsekuensi dari
keinginan kita untuk bertahan lama di pentas bumi ini. Menurut M. Quraish
Shihab bahwa berpikir kematian dapat mempertebal akidah.
Kedua, skripsi yang disusun oleh Hasan Kurnia tahun 2002 berjudul:
Kematian dalam Perspektif Murthada Muthahhari (Tinjauan Akidah Islam)
(Fakultas Ushuluddin). Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa
takut dan lari dari kematian adalah salah satu karakteristik manusia. Binatang
tidak pernah berpikir tentang kematian. Binatang hanya memiliki naluri untuk
menghindar dari bahaya dan mempertahankan hidup yang dimilikinya. Adalah
jelas bahwa keinginan untuk tetap hidup dalam arti ingin mempertahankan
kehidupan yang dimiliki, mengharuskan adanya kemutlakan hidup. Tetapi
manusia, di samping semuanya itu, juga menghendaki kehidupan yang akan
datang dan abadi. Dengan kata lain, manusia memiliki cita-cita untuk bisa
tetap abadi. Hal demikian jelas merupakan karakteristik khusus manusia. Cita-
cita merupakan cabang dari konsepsi tentang masa depan, dan cita-cita
keabadian merupakan cabang dari konsepsi tentang keabadian. Pemikiran dan
konsepsi ini merupakan salah satu keistimewaan manusia.
Dengan demikian, ketakutan manusia terhadap kematian yang
membuat pikirannya terlibat tidak selamanya pada dirinya saja, adalah sesuatu
yang berbeda dari naluri menghindari bahaya yang tidak lain hanyalah reaksi
spontan dan tanpa dipikirkan, yang dilakukan setiap makhluk hidup saat
menghadapi bahaya yang mengancamnya. Bayi manusia pun, dan sebelum ia
memiliki cita-cita untuk tetap bertahan hidup dalam bentuk pikiran yang
matang, maka berdasarkan naluri menghindari bahaya, ia tidak mau
menjerumuskan diri dalam bahaya. Dengan demikian, lari dari kematian
merupakan sesuatu yang lahir dari keinginan untuk tetap abadi. Sepanjang kita
tidak menemukan adanya keinginan yang tidak bertujuan di alam ini, maka
keinginan ini sendiri bisa kita jadikan bukti bagi kekalnya manusia sesudah
mati.
Ketiga, skripsi yang berjudul Maut dalam Pandangan Sidi Gazalba
Relevansinya dengan Kesehatan Mental (Analisis Tasawuf Psikoterapi),
disusun Joni Irsyadi tahun 2005 (Fakultas Ushuluddin). Pada intinya
kesimpulan skripsi itu mengungkapkan bahwa tiap orang pasti akan mati dan
tiap-tiba yang mati pasti tidak hidup kembali, dapatlah dirumuskan sebagai
hukum alam. Yang mati itu bukanlah manusia saja. Tetapi juga hewan dan
tanaman. Hukum alam itu berlaku pula kepada kedua jenis makhluk hidup
tersebut. Pendeknya hukum itu berlaku pada tiap-tiap makhluk hidup yang
konkrit.
Semenjak manusia pertama sebagai makhluk yang memiliki akal, maut
itu telah jadi persoalan. Rahasia apakah yang dikandung oleh maut? Apa itu
maut? Bagaimana dan kemana sesudah itu? Setelah sejuta tahun pengalaman.
hidup, teka-teki teragung tetap tak terpecahkan oleh manusia. Hal ini tidak
mengherankan, karena mati memang bukanlah pengalaman hidup. la adalah
pengalaman diluar hidup. Pengetahuan manusia dewasa ini tak terkira
volumenya. Hal ini juga tidak mengherankan, karena jumlah pengetahuannya
dewasa ini adalah himpunan penemuan dan pendapatan paling kurang dari
15.500 generasi. Terutama perkembangan pengetahuan manusia 150 angkatan
terakhir ini, yang hidup dalam kurun sejarah, tak terkira hebatnya.
Pengetahuan itu telah menghujam kedalam peta bumi, dan telah melonjak
tinggi ke ruang angkasa. Lapisan-lapisan tanah telah diteliti, dari perut bumi
telah dikeluarkan bermacam khazanahnya. Bulan telah didatangi, planit
terdekat tengah di arah. Semua yang berada diluar diri telah atau tengah dikaji
manusia.
Mengingat tentang kematian ada hubungannya dengan kesehatan
mental. Apabila kematian disikapi dengan pasrah dan keimanan maka
menjelang kematian akan memposisikan seseorang berada dalam kondisi
mental yang sehat.
Dari uraian tersebut menunjukkan penelitian terdahulu berbeda dengan
penelitian saat ini. Perbedaan itu terletak pada tokoh yang menjadi fokus
kajian dan pendekatan yang digunakannya. Penelitian terdahulu menggunakan
pendekatan akidah dan tasawuf psikoterapi. Sedangkan penelitian yang
penulis susun saat ini menggunakan pendekatan dakwah dan bimbingan
konseling Islam.
1.5. Metodologi Penelitian
1.5.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini tidak menggunakan angka-angka statistik melainkan
hanya dalam bentuk kata atau kalimat (Moleong, 2006: 2). Dengan
demikian penulis hendak menggambarkan konsep pandangan
Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian.
b. Pendekatan Penelitian
Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka diperlukan
pendekatan dalam melakukan penelitian kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan psikologi agama dan kesehatan mental.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui upaya apa saja yang
harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut terhadap kematian
menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling
Islam.
1.5.2. Data dan Sumber Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan sumber data berupa: Psikologi Kematian karya
Komaruddin Hidayat. Untuk itu sebagai jenis datanya sebagai berikut:
a. Data Primer yaitu buku karya Komaruddin Hidayat yang berjudul:
Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme dan
wawancara dengan Komaruddin Hidayat
b. Data Sekunder yaitu buku-buku lain yang ada hubungannya dengan
tema skripsi ini.
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan penelitian
kepustakaan (library research). Pendekatan ini diaplikasikan dengan
cara menelaah buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama dan
bimbingan konseling Islam, terutama pada waktu membahas landasan
teori. Dengan demikian penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi.
Teknik dokumentasi diupayakan dengan memperhatikan tingkat
kebaharuan kepustakaan tersebut di antaranya: buku-buku, bulletin,
majalah, dan jurnal ilmiah.
1.5.4. Teknik Analisis Data
Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan analisis
deskripsi yaitu menggambarkan dan menguraikan upaya apa saja yang
harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari kematian menurut
Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam.
1.6. Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang
satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian
rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metoda
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tentang rasa takut terhadap kematian dan bimbingan
dan konseling Islam yang meliputi rasa takut terhadap kematian (pengertian
takut terhadap mati, teori tentang kematian, dampak mengingat kematian.
pengertian dan metode bimbingan dan konseling Islam (pengertian bimbingan
dan konseling Islam, obyek bimbingan dan konseling Islam, metode
bimbingan dan konseling Islam)
Bab ketiga berisi konsep Komaruddin Hidayat tentang mengubah rasa
takut terhadap kematian menjadi optimisme yang meliputi: Biografi
Komaruddin Hidayat, konsep Komaruddin Hidayat tentang mengubah rasa
takut terhadap kematian menjadi optimisme (rasa takut terhadap kematian,
mensikapi kematian, upaya menyikapi rasa takut dari kematian).
Bab keempat berisi analisis konsep Komaruddin Hidayat tentang
mengubah rasa takut terhadap kematian ditinjau dari bimbingan dan konseling
Islam.
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran
yang layak dikemukakan.
BAB II
RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN BIMBINGAN DAN
KONSELING ISLAM
2.1 Kematian
2.1.1. Pengertian Rasa Takut terhadap Mati
Takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang
dianggap mendatangkan bencana (Depdiknas, 2002: 1125). Mati
adalah sudah hilang nyawanya, tidak hidup lagi (Depdiknas, 2002:
723). Dengan demikian rasa takut terhadap kematian berarti suatu
perasaan mengerikan terhadap peristiwa terpisahnya ruh dari jasad.
Kematian pada hakikatnya adalah kehidupan baru dengan
aturan-aturan dan pengalaman-pengalaman baru Rakhmat (2006: 46).
Sejalan dengan itu, menurut Shihab (2002: 36) kematian adalah
bayang-bayang yang muncul dalam benak manusia yang mengancam
hidupnya, hidup kekasih, anak dan sanak keluarganya.
) :(
Artinya: "Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumimana dia akan mati. Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Luqman/31:34) (Depag RI, 1986: 658).
Sesungguhnya pikiran tentang kehidupan dan kematian
senantiasa ada di dalam hati, perasaan, dan perilaku setiap makhluk
hidup. Makhluk hidup akan selalu menyelidiki berbagai sebab
kehidupan yang menjamin keberadaan dan keberlangsungannya serta
berusaha melarikan diri dari kematian dan segala penyebabnya.
Perilaku seperti ini merupakan perilaku biologis dan naluriah yang
telah ditetapkan dalam unsur-unsur genetis pada setiap makhluk hidup
(Syarif, 2002: 215). Demikian sebagaimana telah diungkapkan oleh
ilmu pengetahuan sejak puluhan tahun saja, sesuai dengan firman-Nya;
) :(Artinya: Dialah Tuhan yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamuyang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagiMaha Pengampun. (QS. Mulk/67: 2) (Depaq RI,1986: 955).
Misteri kematian itu gelap-gulita, pantaslah tiap orang yangmemikirkannya menjadi takut. Apakah ini mungkin pula salahsatu sebab, maka orang enggan memikirkan soal maut? Tetapiyang jelas ialah, semenjak manusia pertama sampai sekarangmaut itu tetap menakutkan (Gazalba, 1972: 58).
Kematian adalah suatu peristiwa yang pasti, tidak satu jiwa pun
mampu menghindarinya. Kemana pun manusia menghindar, namun
kematian pasti akan dialami siapa pun. Al-Qur'an pun menggunakan
kalimat serupa, "Setiap seorang di antara mereka menginginkan
seandainya dia diberi umur seribu tahun...," (QS. Al-Baqarah [2]: 96).
Bahkan bukan hanya seribu tahun. Yang diinginkan adalah kekekalan
selama-lamanya. Keinginan itulah yang digunakan Iblis untuk menipu
Adam dan pasangannya sehingga mereka berdua memakan buah
pohon yang dinamai sang penggoda syajarat al-khuld (Pohon
Kekekalan) (QS Thaha (20): 120).
2.1.2. Teori tentang Kematian
Berbicara tentang kematian dibahas dalam salah satu cabang
filsafat yaitu eskatologi. Secara etimologis, eskatologi berasal dari
eschalos artinya "yang terakhir", "yang selanjutnya", "yang paling
jauh". Secara umum merupakan keyakinan yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat,
berakhirnya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain (Musa, 2002: 239).
Eskatologi adalah paham yang bercorak kefilsafatan yang
berusaha menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup
meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi, dan menekan
dorongan-dorongan darah dan daging tubuhnya, dengan
mengutamakan kepentingan kehidupan akhirat, serta mengikuti secara
total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi
sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental untuk
menyingkap kehidupan sesudah mati (Musa, 2002: 239).
Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh
terhadap pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama yang
berpandangan bahwa kematian adalah "netral" ("neutral" death), yaitu
tidak ada siksaan maupun pahala. Pandangan ini berkembang di Persia
kuno pada pertengahan millenium ketiga sebelum masehi, sedangkan
konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah "bermoral"
("moral" death), yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu
apakah mendapat siksa (hukuman) atau pahala. Pandangan ini muncul
pada pertengahan milenium kedua di Mesir yang kemudian
berkembang di Yunani (Musa, 2002: 243).
Membahas soal kematian bisa menimbulkan sebuah
pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia.
Yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan
punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini.
Kesadaran ini memunculkan sebuah protes berupa penolakan bahwa
masing-masing individu tidak mau mati. Setiap orang berusaha
menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. Jiwa
selalu mendambakan keabadian. Pemberontakan dan penolakan akan
kematian ini telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian.
Pertama, sebut saja mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan
agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah mati itu ada dan untuk
memperoleh kebahagiaan yang abadi, seseorang yang religius
menjadikan kehidupan akhirat sebagai objek dan target paling tinggi.
Kehidupan dunia selayaknya dinikmati, tetapi bukan tujuan akhir dari
kehidupan. Apa pun yang dilakukan di dunia dimaksudkan sebagai
investasi kejayaan di akhirat (Hidayat, 2006: xvi).
Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin akan
adanya kehidupan setelah mati. Secara psikologis keduanya memiliki
kesamaan, yaitu spirit heroisme (kepahlawanan) yang mendambakan
keabadian hidup agar dirinya selalu dikenang sepanjang masa. Untuk
memenuhi keinginan ini, setiap orang ingin menyumbangkan suatu
yang besar dalam hidupnya, minimal untuk keluarganya. Syukur-
syukur pada bangsa dan dunia. Setiap orang berusaha untuk
meninggalkan warisan seperti halnya potret diri, karya tulis, kuburan,
dan ada yang membuat patung besar. Ini semua secara psikologis
menceritakan satu hal: bahwa setiap orang sesungguhnya menolak
kematian. Setiap orang ingin hidup abadi. Setiap orang ingin dikenang
sebagai pahlawan agar jiwanya tetap hidup (Hidayat, 2006: xvii).
Dalam pandangan mazhab religius, dorongan untuk hidup
abadi ini jika tidak disalurkan ke jalan yang benar, maka yang akan
menguat adalah sikap egoisme-nihilisme. Yang selalu dikejar adalah
bagaimana memperoleh self-glory yang berujung pada pesimisme dan
tragedi. Disebut pesimisme dan tragedi karena apa pun yang dikejar-
kejar selama hidupnya akhirnya akan berakhir dengan kefanaan. Apa
pun yang dibanggakan, sejak dari wajah tampan, ilmu pengetahuan,
harta, kedudukan, dan popularitas semuanya akan lenyap dan berpisah
selamanya ketika dipisahkan oleh maut. Oleh karena itu, dorongan dan
ambisi bawah sadar untuk menyangkal kematian bisa melahirkan dua
orientasi hidup yang berbeda. Bagi orang yang beriman, keabadian
hidup akan selalu dikaitkan dengan janji Tuhan akan balasan di akhirat
sehingga mendorong untuk selalu berbuat baik dan menjalani hidup
dengan optimis (Hidayat, 2006: xvii).
Sebaliknya, bagi yang mengingkari kehidupan akhirat
kenikmatan duniawi merupakan target puncak. Namun begitu, secara
garis besar, kelompok ini masih bisa dibedakan menjadi dua. Pertama,
meskipun tidak peduli dengan kehidupan akhirat mereka masih
berusaha meninggalkan nama baik agar dikenang sejarah. Banyak
dermawan yang membangun gedung-gedung untuk kepentingan sosial
agar namanya tidak pernah mati. Kedua, ada yang kemudian menjadi
pemuja kehidupan hedonistis mumpung masih hidup tanpa peduli
dengan pengadilan dan penilaian sejarah (Hidayat, 2006: xvii).
2.1.3. Dampak Mengingat Kematian
Dalam kehidupan di dunia, ternyata banyak orang memikirkan
tentang kehidupan dan amat sedikit untuk memikirkan kematian.
Mungkin karena membicarakan mati, selalu tidak mengenakkan
perasaan, bagaimana harus berpisah dan meninggalkan apa yang
dicintainya, anak, istri dan kekayaan yang dicintainya, apalagi kalau
hidupnya enak, rasanya ia ingin hidup abadi. Akan tetapi bagi orang
yang hidupnya amat susah, seringkali terjerumus dalam rasa putus asa,
sehingga mati dianggapnya sebagai jalan terakhir untuk melepaskan
dan mengakhiri suatu penderitaan. Padahal kematian bukan akhir dari
segala-galanya, karena di balik kematian manusia akan dihidupkan
kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya
ketika ia hidup di dunia, sebagai pengadilan yang dijamin keadilannya
oleh Tuhan sendiri, karena semua anggota tubuhnya akan menjadi
saksinya (Musa, 2002: 247).
Dengan demikian keterangan tersebut menjadi petunjuk,
mengingat kematian ada manfaatnya selama individu tidak salah
memahaminya. Mengingat kematian dapat menimbulkan gairah untuk
beramal baik dan menghindari segala maksiat. Sejalan dengan itu,
Imam Ghazali (2000: 358) menyatakan:
Ketahuilah, bahwa kematian itu sesuatu yang hebat dan tidakada yang lebih hebat darinya. Dalam mengingat kematianterdapat manfaat yang besar. Karena ia mempersempitkehidupan dunia dan membuat hati membencinya. Benci duniaadalah pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia adalahpangkal segala dosa. Bagi orang yang arif mengingat kematianakan mendapatkan dua faedah: Pertama, menjauhi dunia. Kedua,merindukan akhirat. Orang yang mencintai itu pasti merasakanrindu. Kerinduan pada hal-hal yang konkrit berartimenyempurnakan khayalan untuk mencapai pada penyaksian.Karena sesuatu yang dirindukan pasti terjangkau melaluikhayalan dan hilang dari pandangan.
Mati adalah satu kejadian yang paling berat, paling menakutkan
dan paling mengerikan. Satu kejadian yang pasti akan dihadapi dan
dialami oleh setiap manusia, satu kejadian yang tak dapat dihindari
dengan cara bagaimanapun juga. Para nabi dan rasul, jin dan malaikat
sekalipun tidak dapat menghindarkan diri dari mati. Bila mati
dikatakan satu peristiwa paling hebat yang pasti terjadi atas diri tiap-
tiap manusia, maka melupakan mati, atau tidak mengingat akan mati,
adalah benar-benar satu kebodohan, satu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan (Arifin, 1998: 77).
Mengingat satu peristiwa yang hebat yang pasti akan dialami
setiap manusia, bukanlah satu kebodohan, tetapi adalah merupakan
satu kesadaran, satu pengertian tentang diri dan hidup. Seorang
manusia yang 100% melupakan mati, sedang dia pasti akan mengalami
mati berarti dia telah melupakan jati dirinya. la adalah ibarat seorang
musafir yang akan menempuh satu daerah yang tak pernah dipelajari
dan dipikirkannya, dalam keadaan gelap gulita pula. Sudah pasti dia
tidak akan dapat melangkah satu langkahpun di alam yang gelap itu,
sudah pasti dia akan dihinggapi oleh perasaan getir dan takut, bingung
tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Begitulah keadaan roh seorang manusia yang sudah mati, yang
tak pernah mengingat-ingat akan mati, dan tak pernah mempelajari
masalah mati, atau keadaan sesudah mati. Dalam keadaan gelap gulita,
takut, getir dan bingung terus menerus, bukan dalam sehari dua hari,
tetapi terus menerus dalam masa berabad-abad sampai kiamat. Untuk
menghindarkan nasib yang demikian itulah, agama Islam
menganjurkan kepada kita manusia semasa hidup jangan lupa mati,
agar mempelajari pula hakikat mati itu, agar dapat menempuh mati
yang hebat itu dengan penuh pengertian dan kesadaran (Arifin, 1998:
77).
2.2 Pengertian dan Metode Bimbingan Konseling Islam
2.2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Gerakan bimbingan di Amerika Serikat dimulai dengan
bimbingan pekerjaan oleh Parsons. Gerakan ini berpengaruh besar
terhadap banyak negara, seperti Filipina, Malaysia, India, dan Indonesia
(Gunawan, 1987: 21). Karena itu perkembangan bimbingan dan
konseling di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di negara
asalnya Amerika Serikat. Bermula dari banyaknya pakar pendidikan
yang telah menamatkan studinya di negeri Paman Sam itu dan kembali
ke Indonesia dengan membawa konsep-konsep bimbingan dan
konseling yang baru. Hal itu terjadi sekitar tahun 60-an sehingga tidak
dapat dibantah bahwa para pakar pendidikan itu telah menggunakan
dasar-dasar pemikiran yang diambil dari pustaka Amerika Serikat
(Willis, 2004: 1)
Bimbingan dapat diartikan secara umum sebagai suatu bantuan
atau tuntunan. Namun menurut Jumhur dan Surya (1975: 25 ) bahwa
untuk sampai kepada pengertian yang sebenarnya harus diingat bahwa
tidak setiap bantuan atau tuntunan dapat diartikan sebagai guidance
(bimbingan). Atas dasar itu, berbagai batasan tentang bimbingan dapat
ditemui dalam buku-buku kepustakaan. Aneka macam batasan ini
disebabkan oleh perbedaan filsafat yang mendasari penulisan buku itu.
Sering pula perbedaan itu terjadi karena para penulis buku itu tidak
sama berat penekanannya pada aspek kemanusiaan tertentu yang
menjadi pusat perhatian pembahasan mereka masing-masing (Jumhur
dan Surya, 1975: 25 ).
Walaupun demikian, pada umumnya terdapat kesesuaian dalam
batasan-batasan itu. Kesesuaiannya ialah bimbingan (1) bukan
pemberian arah atau pengaturan kegiatan orang lain, (2) bukan
pemaksaan pandangan seseorang kepada orang lain, (3) bukan
pengambilan keputusan bagi orang lain, dan (4) bukan pemikulan beban
orang lain. Bukan empat hal yang baru disebutkan ini, melainkan
kebalikannya. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan oleh orang
yang berwewenang dan terlatih baik kepada perseorangan dari segala
umur untuk (1) mengatur kegiatannya sendiri, (2) mengembangkan
pandangannya sendiri, (3) mengambil keputusannya sendiri, dan (4)
menanggung bebannya sendiri. Demikianlah antara lain yang
dikemukakan oleh Grow sebagaimana dikutip Wijaya (1988: 88).
Menurut Natawidjaja (1972: 11) bimbingan adalah suatu proses
pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara terus-
menerus (continue) supaya individu tersebut dapat memahami dirinya,
sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai
dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan
hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti kepada
kehidupan masyarakat umumnya.
Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau
pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu
dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat
mencapai kesejahteraan hidupnya”
Dengan memperhatikan rumusan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan merupakan pemberian bantuan yang
diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di dalam
kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.
Dalam hubungannya dengan konseling, bahwa dalam berbagai
literatur diuraikan konseling dalam bermacam-macam pengertian.
Sebagian ahli memaknakan konseling dengan menekankan pada pribadi
klien, sementara yang lain menekankan pada pribadi konselor, serta
berbagai variasi definisi yang memiliki penekanan sendiri-sendiri.
Perbedaan ini terjadi karena setiap ahli memiliki latar belakang falsafah
yang berbeda (Latipun, 2005: 5)
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin
yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai
dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-
Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti
“menyerahkan” atau “menyampaikan” (Prayitno dan Amti, 2004: 99)
Konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah
(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi
klien. (Priyatno dan Amti, 1999: 93-94). Menurut Mappiare, (1996: 1)
konseling (counseling), kadang disebut penyuluhan karena keduanya
merupakan bentuk bantuan. Ia merupakan suatu proses pelayanan yang
melibatkan kemampuan profesional pada pemberi layanan. Ia sekurang-
kurangnya melibatkan pula orang kedua, penerima layanan, yaitu orang
yang sebelumnya merasa ataupun nyata-nyata tidak dapat berbuat
banyak dan setelah mendapat layanan menjadi dapat melakukan sesuatu.
Mengenai kedudukan dan hubungan antara bimbingan dan
konseling terdapat banyak pandangan, salah satunya memandang
konseling sebagai teknik bimbingan, sebagaimana dikemukakan oleh
Arthur J. Jones yang dikutip oleh Ahmadi dan Rohani (1991: 28), bahwa
konseling sebagai salah satu teknik dari bimbingan, sehingga dengan
pandangan ini maka pengertian bimbingan adalah lebih luas bila
dibandingkan dengan konseling , konseling merupakan bagian dari
bimbingan.
Dengan kata lain, konseling berada di dalam bimbingan.
Pendapat lain menyatakan: bimbingan terutama memusatkan diri pada
pencegahan munculnya masalah, sementara konseling memusatkan diri
pada pencegahan masalah yang dihadapi individu. Dalam pengertian
lain, bimbingan sifat atau fungsinya preventif, sementara konseling
bersifat kuratif atau korektif. Dengan demikian bimbingan dan konseling
berhadapan dengan obyek garapan yang sama, yaitu problem atau
masalah. Perbedaannya terletak pada titik berat perhatian dan perlakuan
terhadap masalah tersebut. Bimbingan titik beratnya pada pencegahan,
konseling menitik beratkan pemecahan masalah. Perbedaan selanjutnya,
masalah yang dihadapi atau digarap bimbingan merupakan masalah
yang ringan, sementara yang digarap konseling yang relatif berat
(Musnamar, 1992: 3 – 4) .
Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud
adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih
dahulu. Biasanya kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”,
penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996:
17). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Ali (1977: 2),
Islam mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah
syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dimaksud bimbingan
Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu
hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992:
5). Adapun konseling dalam Islam menurut Adz-Dzaky (2002: 189)
adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman
kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana
seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal
fikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat
menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan
benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-
Sunnah Rasulullah SAW. Menurut Musnamar (1992: 5) konseling
Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar
menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang
seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sedangkan
menurut Lubis (2007: 98) konseling Islami adalah layanan bantuan
konselor kepada klien/konseli untuk menumbuh-kembangkan
kemampuannya dalam memahami dan menyelesaikan masalah serta
mengantisipasi masa depan dengan memilih alternatif tindakan terbaik
demi mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat di bawah
naungan ridla dan kasih sayang Allah
2.2.2 Obyek Bimbingan dan Konseling Islam
Bimbingan dan konseling Islami berkaitan dengan masalah yang
dihadapi individu, yang mungkin dihadapi individu, atau yang sudah
dialami individu. Masalah itu sendiri, dapat muncul dari berbagai faktor
atau bidang kehidupan. Jika dirinci, dengan pengelompokan, masalah-
masalah itu dapat menyangkut bidang-bidang:
1. Pernikahan dan keluarga
Anak dilahirkan dan dibesarkan (umumnya) di lingkungan
keluarga, entah itu keluarga intinya (ayah dan ibunya sendiri), entah
itu keluarga lain, atau keluarga besar (sanak keluarga). Keluarga
lazimnya diikat oleh tali pernikahan. Pernikahan dan ikatan keluarga
di satu sisi merupakan manfaat, di sisi lain dapat mengandung
mudarat atau menimbulkan kekecewaan-kekecewaan. Dalam pada
itu pernikahan dan kekeluargaan sudah barang tentu tidak terlepas
dari lingkungannya (sosial maupun fisik) yang mau tidak mau
mempengaruhi kehidupan keluarga dan keadaan pernikahan. Karena
itulah maka bimbingan dan konseling Islami kerap kali amat
diperlukan untuk menangani bidang ini (Musnamar, 1992: 41).
2. Pendidikan
Semenjak lahir anak sudah belajar, belajar mengenal
lingkungannya. Dan manakala telah cukup usia, dalam sistem
kehidupan dewasa ini, anak belajar dalam lembaga formal (di
sekolah). Dalam belajar (pendidikan) pun kerapkali berbagai
masalah timbul, baik yang berkaitan dengan belajar itu sendiri
maupun lainnya. Problem-problem yang berkaitan dengan
pendidikan ini sedikit banyak juga memerlukan bantuan bimbingan
dan konseling Islami untuk menanganinya.
3. Sosial (kemasyarakatan)
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan
kehidupannya sedikit banyak tergantung pada orang lain. Kehidupan
kemasyarakatan (pergaulan) ini pun kerapkali menimbulkan masalah
bagi individu yang memerlukan penanganan bimbingan dan
konseling Islami (Musnamar, 1992: 41)
4. Pekerjaan (jabatan)
Untuk memenuhi hajat hidupnya, nafkah hidupnya, dan
sesuai dengan hakekatnya sebagai khalifah di muka bumi (pengelola
alam), manusia harus bekerja. Mencari pekerjaan yang sesuai dan
membawa manfaat besar, mengembangkan karier dalam pekerjaan,
dan sebagainya, kerapkali menimbulkan permasalahan pula,
bimbingan dan konseling Islami pun diperlukan untuk
menanganinya.
5. Keagamaan
Manusia merupakan makhluk religius. Akan tetapi dalam
perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari hakekatnya tersebut.
Bahkan dalam kehidupan keagamaan pun kerapkali muncul pula
berbagai masalah yang menimpa dan menyulitkan individu. Hal ini
memerlukan penanganan bimbingan dan konseling Islami. Sudah
barang tentu masih banyak bidang yang digarap bimbingan dan
konseling Islami di samping apa yang tersebut di atas. (Faqih, 2001:
45).
2.2.3 Metode Bimbingan dan Konseling Islam
Dalam pengertian letterlijk, metode adalah jalan yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan, karena kata metode berasal dari
meta yang berarti melalui dan hodos berarti jalan (M. Arifin, 1994: 43).
Metode lazim diartikan sebagai jarak untuk mendekati masalah sehingga
diperoleh hasil yang memuaskan, sementara teknik merupakan
penerapan metode tersebut dalam praktek. Dalam pembicaraan ini akan
terlihat bimbingan dan konseling sebagai proses komunikasi.
Karenanya, berbeda sedikit dari bahasan-bahasan dalam berbagai buku
tentang bimbingan dan konseling, metode bimbingan dan konseling
Islam ini akan diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi tersebut.
Metode bimbingan dan konseling Islam berbeda halnya dengan
metode dakwah. Metode dakwah meliputi : metode ceramah, metode
tanya jawab, metode debat, metode percakapan antar pribadi, metode
demonstrasi, metode dakwah Rasulullah SAW, pendidikan agama dan
mengunjungi rumah (silaturrahmi) (Syukir, 1983: 104).
Demikian pula bimbingan dan konseling Islam bila
diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi, pengelompokannya
menjadi: metode komunikasi langsung atau disingkat metode langsung
dan metode komunikasi tidak langsung atau metode tidak langsung.
1. Metode langsung
Metode langsung (metode komunikasi langsung) adalah
metode di mana pembimbing melakukan komunikasi langsung
(bertatap muka) dengan orang yang dibimbingnya. Metode ini dapat
dirinci lagi menjadi: (Musnamar, 1992: 49)
a. Metode individual
Pembimbing dalam hal ini melakukan komunikasi langsung
secara individual dengan pihak yang dibimbingnya. Hal ini
dapat dilakukan dengan mempergunakan teknik:
1) Percakapan pribadi, yakni pembimbing melakukan dialog
langsung tatap muka dengan pihak yang dibimbing;
2) Kunjungan ke rumah (home visit), yakni pembimbing
mengadakan dialog dengan kliennya tetapi dilaksanakan di
rumah klien sekaligus untuk mengamati keadaan rumah
klien dan lingkungannya;
3) Kunjungan dan observasi kerja yakni pembimbing/konseling
jabatan melakukan percakapan individual sekaligus
mengamati kerja klien dan lingkungannya.
b. Metode kelompok
Pembimbing melakukan komunikasi langsung dengan klien
dalam kelompok. Hal ini menurut Faqih (2001: 54). dapat
dilakukan dengan teknik-teknik:
1) Diskusi kelompok, yakni pembimbing melaksanakanbimbingan dengan cara mengadakan diskusi dengan/bersamakelompok klien yang mempunyai masalah yang sama.
2). Karya wisata, yakni bimbingan kelompok yang dilakukansecara langsung dengan mempergunakan ajang karya wisatasebagai forumnya.
3). Sosiodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukandengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegahtimbulnya masalah (psikologis) (Musnamar, 1992: 49-51).
4). Psikodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukandengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegahtimbulnya masalah (psikologis).
5). Group teaching, yakni pemberian bimbingan/konselingdengan memberikan materi bimbingan/konseling tertentu(ceramah) kepada kelompok yang telah disiapkan. Di dalambimbingan pendidikan, metode kelompok ini dilakukan pulasecara klasikal, karena sekolah umumnya mempunyai kelas-kelas belajar.
2. Metode tidak langsung
Metode tidak langsung (metode komunikasi tidak langsung)
adalah metode bimbingan/konseling yang dilakukan melalui media
komunikasi massa. Hal ini dapat dilakukan secara individual
maupun kelompok, bahkan massal (Musnamar, 1992: 49-51).
2.2.4 Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Secara garis besar atau secara umum tujuan Bimbingan dan
Konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu
mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan,
hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang
dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling,
baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai
manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya
sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan
unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai
makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial,
dan sebagai makhluk berbudaya.
Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia
bisa seperti yang tidak dikehendaki yaitu menjadi manusia seutuhnya.
Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau
problem, yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya
(ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah,
lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia.
Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu agar bisa
hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena
itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu jangan
sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain
membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan
pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena
berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan
kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri,
maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang
dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu
fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi konseling sebagai
bagian sekaligus teknik bimbingan.(Musnamar, 1992: 33-34)
2.3 Bimbingan dan Konseling Islam dan Peranannya Mengatasi Rasa Takut
Mati
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992:
5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu
aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang
klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan
dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan
kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan dan konseling Islam dapat
dijadikan salah satu upaya untuk menyikapi rasa takut dari kematian.
Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak
mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau
yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa
kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang
dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang
bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi
siksa Allah (Shihab, 2002: 43).
Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling Islam
bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun
akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) konseling
Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari
kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditegaskan, konsep
kematian bermaksud agar manusia tidak merasa takut secara berlebihan dalam
menghadapi kematian. Apabila ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam
bahwa bimbingan dan konseling Islam dapat memberi bantuan kepada
individu berupa nasihat agar individu yang bersangkutan menerima suatu
kenyataan bahwa kematian merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan
manusia tak kuasa menolaknya. Bimbingan dan konseling Islam dapat
menjelaskan pada individu bahwa agar tidak ada rasa takut menghadapi
kematian maka individu harus beribadah sebagai bekal di akhirat. Selain itu
harus sering bertobat, beramal kebaikan dan menghindari setiap maksiat.
Bantuan ini dapat menenangkan individu dan keyakinan bahwa kematian
tidak harus ditakuti.
Bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya
untuk mengubah rasa takut terhadap kematian. Rasa takut dari kematian tidak
lepas dari kesalahan dan kekeliruan manusia dalam menghayati makna hidup,
peran dan fungsi hidup di dunia. Dari sini tampak rasa takut terhadap
kematian adalah sebagai akibat pelanggaran manusia terhadap petunjuk Allah
Swt.
Rasa takut adalah suatu keadaan dimana seseorang jiwannya tercekam
oleh kegelisahan yang menyangkut rohani. Solusinya adalah pembersihan diri
dari dosa. Metode bimbingannya adalah secara individual, langsung dan
dialogis. Jika dikaitkan antara rasa takut dengan bimbingan dan konseling
maka bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan sarana untuk
menghilangkan rasa takut.
BAB III
KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH RASA
TAKUT TERHADAP KEMATIAN MENJADI OPTIMISME
3.1 Biografi Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat lahir di Muntilan, Pabelan, Magelang, 18
Oktober 1953, menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta, 2006-2010 dan Ketua
Panitia Pengawas Pemilu 2004. Pendidikannya mulai dari Ponpes Pabelan,
Magelang (1969), Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta (1981), Master
and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara,
Turki (1995), Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary,
Conecricut, AS, selama satu semester (1997), International Visitor Program
(IVP) ke AS (2002). Adapun pengalaman kerja Komaruddin Hidayat
diantaranya sebagai berikut: Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (2001-
sekarang), Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000), Associate
Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga, Colsultant (1999-sekarang),
dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (2000-sekarang), Dosen Pasca Sarjana
Universitas Gajah Mada (2003-sekarang), Advisory Board Member of
Common Ground Indonesia (2001-sekarang), Ketua Panitia Pengawas Pemilu
Pusat (2003-2004), Chairman pada Indonesia Procurement Watch (2002-
sekarang), Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (2001-sekarang), Dewan
Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (2004-sekarang), Direktur Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2005-sekarang), Anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan Rl (2005-sekarang), Ketua Panitia
Pengawas Pemilu pada tahun 2004, Rektor UIN Jakarta pada tahun 2006-2010
(Handrianto, 2007: 117).
Adapun karya-karya Komaruddin Hidayat sebagai berikut:
• Memahami Bahasa Agama (1996)
• Masa Depan Agama (1995)
Tragedi Raja Midas (1998)
• Tuhan Begitu Dekat (2000)
• Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002)
• Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003)
• Psikologi Kematian (2005) (Handrianto, 2007: 118).
Komaruddin Hidayat adalah nama yang tidak asing lagi di dunia
dakwah Islam, khususnya dakwah dengan pendekatan sufistik. Sejak
menyelesaikan S3-nya dalam bidang filsafat di Universitas Ankara, Turki
pada 1990, pria yang biasa dipanggil Mas Komar ini bergabung dengan
Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Dari Paramadina inilah ia mulai
mengguratkan namanya sebagai cendekiawan Muslim yang cukup
diperhitungkan (Handrianto, 2007: 118).
Memulai karirnya sebagai dosen dan kemudian Direktur Eksekutif
Paramadina, ia lalu dipercaya menjadi Ketua Yayasan yang didirikan
cendekiawan Nurcholish Madjid tersebut. Sejak Januari 2005, Komaruddin
Hidayat resmi diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciri pandangan kesufiannya sudah banyak dikenal, lantaran ia
termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah
tasawuf pria penggemar olah raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang
dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam
kehidupan aktual saat ini. Inilah yang menyebabkan ceramahnya begitu hidup
dan memikat siapa saja yang mendengarkannya. Bukan hanya ceramahnya,
tulisan-tulisannya pun mengalir dan enak dibaca. Mungkin karena tulisan-
tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku
(www.hidayatullah.com, diakses 5 Oktober 2009).
Tentang kepiawaannya dalam menulis, Komaruddin mengaku karena
memang sejak remaja (di pesantren) sudah membiasakan diri berlatih menulis.
Bekal keterampilan menulis itu ia asah terus hingga kuliah. Ketika menjadi
mahasiswa sampai lulus S1, ia pernah menjadi wartawan majalah Panji
Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Komaruddin Hidayat adalah orang
yang percaya bahwa masa kecil seseorang menentukan akan menjadi apa
orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung karena sejak kecil orangtuanya
telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai 'benar'
(www.hidayatullah.com, diakses 5 Oktober 2009).
Komaruddin Hidayat lahir di Magelang Jawa Tengah pada 18 Oktober
1953 di lingkungan keluarga yang taat beragama. Dari namanya saja tampak
bahwa keluarganya adalah keluarga santri. Begitu juga riwayat pendidikannya.
la lulus pesantren Pabelan, Magelang pada 1969; kemudian melanjutkan ke
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus
sarjana S1 pada 1981. Cendekiawan Prof. DR. M. Dawam Rahardjo pernah
menilai Komaruddin Hidayat sebagai cendekiawan yang unik, lantaran
penguasaannya pada bidang kajian Bahasa Agama, suatu bidang yang jarang
digeluti orang lain. Keahliannya di bidang bahasa agama ini dituangkannya
dalam sebuah buku berjudul Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik, yang diterbitkan Paramadina pada 1996 (www.hidayatullah.com
diakses 5 Oktober 2009).
3.2 Konsep Komaruddin Hidayat tentang Mengubah Rasa Takut terhadap
Kematian Menjadi Optimisme
3.2.1. Rasa Takut terhadap Kematian
Hidayat dalam bukunya yang berjudul: Agama Masa Depan:
Perspektif Filsafat Perennial menyatakan, wacana tentang agama dan
kehidupan beragama selalu akan muncul baik dalam forum ilmiah maupun
percakapan populer (Hidayat, 2003: 151). Demikian masalah kematian telah
memnjadi perdebatan para ahli khususnya dalam menyikapi adanya
sebagian orang yang selalu dirundung rasa takut terhadap datang nya
kematian.
Seorang arif berpetuah, "Biarkanlah orang tertawa ketika engkau
keluar dari rahim ibumu dan memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis.
Tetapi buatlah mereka menangis sedangkan engkau tertawa ketika engkau
mengakhiri hidupmu di dunia ini, tatkala ajal menjemputmu." Mengapa dan
bagaimana mengakhiri hidup dengan suka cita? Karena kematian bukanlah
akhir dari kehidupan, melainkan garis transisi, maka bagi mereka yang
ketika hidupnya telah banyak berbuat kebaikan, kematian adalah pintu
gerbang untuk memasuki kehidupan baru yang lebih indah, sebuah
kebahagiaan yang sejati. Ibarat anak sekolah, lewat kematian, sesungguhnya
arwah dari orang-orang yang hidupnya penuh kesalehan akan dinaikkan
kelasnya (Hidayat, 2006: 115).
Semua fase-fase kehidupan merupakan rangkaian skenario Tuhan
agar hamba-hamba-Nya bisa mengenyam makna kebebasan dan perjuangan
yang dari sana seseorang akan mengenyam suka dan duka atau makna
kebahagiaan sejati. Tuhan selalu berjanji untuk melipat-gandakan imbalan
bagi mereka yang berbuat baik, sedangkan jika seorang hamba berbuat dosa,
maka siksanya hanya sebesar yang dilakukannya. Artinya, kasih dan
ampunan Tuhan jauh melebihi kemurkaan-Nya. Seorang sufi pernah
menasihati muridnya, "Tuhan adalah Maha Pengampun. Karena kemahaan-
Nya maka ampunan Tuhan selalu memanggil-manggil dan mengejar setiap
pendosa untuk dibersihkan semua dosa-dosanya. Hanya saja mereka yang
buta dan tuli mata hatinya malah mengelak dari kejaran rahmat dan
ampunan llahi." Demikianlah, seperti difirmankan oleh Tuhan sendiri,
Tuhan sekali-kali tidak akan menyakiti hamba-hamba-Nya, melainkan
manusia sendiri yang berbuat aniaya atas dirinya. "Kasih-Ku akan
mensalahkan kemarahan-Ku," sabda Allah dalam Al-Qur'an (Hidayat, 2006:
116).
Tidak ada misteri yang selalu mengguncang akal dan batin manusia
kecuali misteri kematian. Bagi kaum eksistensialisme-ateisme, kematian
adalah suatu derita dan musuh bebuyutan manusia yang terlalu tangguh
untuk dikalahkan. Bahkan mereka merasa kalah serta putus asa
menghadapinya. Prestasi akal-budi manusia yang telah melahirkan
peradaban iptek supercanggih tetap tidak mampu menelusuri jejak malaikat
maut. Sejak zaman dulu orang telah meyakini adanya keabadian jiwa, tetapi
pengetahuan manusia tidak ada artinya ketika dihadapkan pada misteri
kematian dan alam arwah. Jangankan untuk mengetahui perjalanan ruh
selepas dari tubuhnya, ketika seseorang masih hidup saja pengetahuan
tentang ruhnya sendiri tetap terbungkus misteri (Hidayat, 2006: 116).
Tanpa disadari, keyakinan bahwa setiap saat bisa dijemput kematian
memiliki pengaruh yang amat besar bagi kehidupan seseorang. Begitu pun
keyakinan adanya kelanjutan hidup setelah kematian. Dengan harapan untuk
memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak, maka raja-raja Mesir kuno
membangun piramid dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit
agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga. Sementara raja-raja
Tiongkok ketika meninggal dan jasadnya dikubur, berbagai perhiasan yang
paling disukai disertakannya ke dalam sebuah bangunan yang kokoh dan
megah karena yakin bahwa kematian adalah sebuah transisi untuk
memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan abadi. Dalam pada itu
Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa
menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi dari amal
kebaikannya (Hidayat, 2006: 117).
Doktrin ini secara ekspresif dan dramatis menurut Hidayat
diperagakan dalam seremoni ibadah haji yang semuanya mengenakan kain
ihram. Rangkaian ibadah haji itu memberikan pesan kuat pada seluruh
manusia bahwa pada akhirnya dunia ini suatu saat, mau tidak mau, siap
tidak siap, pasti akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi
kelanjutan perjalanan hidup kecuali amal kebaikan yang telah terekam
dalam disket ruhani yang nantinya akan di-print-out di akhirat kelak. Yang
menarik, keyakinan semacam ini tidak saja ditemukan di kalangan
agamawan melainkan juga di kalangan filosof serta memperoleh dukungan
ilmiah seperti yang secara panjang lebar dikemukakan oleh Frank J. Tipler
dalam bukunya The Physics of Immortality (1994). Maka, mengutip orang
bijak, tersenyumlah engkau ketika Malaikat Maut menjemputmu meskipun
keluarga yang engkau tinggalkan akan menangis. Sebaliknya, alangkah
malangnya jika engkau hadapi kehadiran maut dengan tangis penuh
ketakutan sementara orang-orang di sekitarmu tersenyum gembira karena
merasa risih akan keberadaanmu di tengah mereka (Hidayat, 2006: 117).
Mengapa kematian begitu menakutkan sedangkan dunia sangat
sayang untuk ditinggalkan? Menurut Hidayat:
Terdapat beberapa kemungkinan jawaban muncul. Antara lain ialah,bagi sebagian orang yang merasa dimanjakan oleh kenikmatan yangtelah dipeluknya selama ini. Dengan demikian memasuki hari tuaberarti memasuki fase penyesalan sedangkan kematian adalahpuncak kekalahan dan penderitaan. Jawaban lain, kematian ditakutikarena manusia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Kalausaja seseorang bisa menghilangkan benih iman dan argumen filosofiakan adanya keabadian jiwa, sangat bisa jadi orang tak akan takutmati. Bukankah setelah kematian tidak ada kehidupan lagi? Tetapipersoalannya, manusia sulit untuk mengingkari kebenaran ajaran
agama, rasa keadilan moral dan argumen filosofis bahwa keabadianjiwa dan hari perhitungan itu pasti terjadi. Alangkah tidak masukakal dan nistanya pengorbanan para pejuang kemanusiaan dankemerdekaan kalau saja setelah mati tidak ada perhitungan lanjut.Lalu apa bedanya antara pejuang dan pecundang jika setelah itutidak akan ada lagi mahkamah pengadilan yang benar-benar adil?Jawaban lainnya lagi ialah, orang takut mati karena seseorangmerasa banyak dosanya, lebih banyak amal kejahatannya ketimbangkebaikannya, sehingga takut akan imbalan siksa yang hendakditerimanya kelak (Hidayat, 2006: 118).
3.2.2. Mensikapi Kematian
Menurut Hidayat:
Bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasaterikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekalitidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupanduniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada Tuhanyang selalu dicintai dan dirindukan. Dunia adalah amanat danrahmat llahi. Meyakini bahwa dunia adalah amanat llahi, makaprestasi apa pun yang diraih, entah harta ataupun kedudukan,semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamahTuhan. Jangankan harta duniawi, nyawa yang merupakan sumberkehidupan itu sendiri akhirnya akan kembali ke asalnya. Karena itu,melupakan bahwa dunia ini adalah amanat dan rahmat Tuhan akanmembuat seseorang berpandangan nihilistik dan pesimis sertanegatif terhadap hidup dan kehidupan. Seseorang akan mudahmerasa takut memasuki hari tua, hari pensiun, dan lebih jauh lagitakut membayangkan dan menghadapi kematian karena semua ituakan dipandangnya sebagai hari-hari yang penuh derita (Hidayat,2006: 120).
Siapkah seseorang jika maut sewaktu-waktu menghampiri dan
menjemput? Siap tidak siap, suka tidak suka, tegas Al-Quran, bayangan itu
pasti terjadi dan seseorang tidak mampu mengelak sekalipun berlindung di
balik tembok yang kokoh. Keyakinan dan konsep kematian tidak pernah
hilang dari kesadaran manusia baik secara individual mau kelompok. Justru
karena umur manusia di dunia terbatas, maka hidup lalu menjadi sangat
berharga. Sadar akan keterbatasan umur manusia, maka setiap peristiwa
kematian selalu mengungkapkan pesan pada manusia bahwa dunia ini
anugerah yang harus disyukuri, tetapi sekali-kali jangan dijadikan berhala
yang dipuja-puja dan jangan sampai melupakan peta dan agenda perjalanan
kita yang masih jauh lagi (Hidayat, 2006: 121).
Drama perintah Tuhan pada Ibrahim untuk menyembelih Ismail
(versi iman Kristen adalah Ishaq), menurut Hidayat sesungguhnya
mengungkapkan pesan yang amat dalam bahwa manusia boleh saja
mencintai dunia (disimbolkan pada anak), tetapi jangan sampai cinta dunia
itu memalingkan seseorang dari cintanya pada Tuhan, Pemilik semesta
alam. Jika memang Allah menghendaki, anak yang menjadi pujaan hati itu
oleh Ibrahim siap untuk disembelih. Terbukti bahwa cinta Ibrahim pada
Tuhan melebihi cintanya pada kenikmatan duniawi, dan ternyata dalam dada
Ibrahim tak ada yang dipertaruhkan kecuali Allah, maka Allah akhirnya
memberikan pada Ibrahim kenikmatan yang berlipat ganda. Ismail
bukannya disembelih, melainkan digantikan dengan kambing dan dari
keturunan Ishaq dan Ismail itu lahir sekian banyak pemimpin dunia
pengubah sejarah, termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, dan Muhammad
Rasulullah (Hidayat, 2006: 121).
Dengan mengutip pendapat Sigmund Freud, Hidayat menjelaskan
bahwa setiap orang dalam bawah sadarnya menyimpan kerinduan yang
dalam akan pengalaman indah yang hilang, yaitu ketenangan hidup dalam
alam rahim sang ibu. Sedemikian dalamnya kerinduan itu sehingga
meninggalkan beban kejiwaan yang amat berat yang tak bisa dihapuskan.
Sebagai gantinya, tanpa disadari, seseorang selalu menciptakan substitusi
(pengganti) dan kompensasi dengan cara membangun imajinatif ke depan,
berupa bayangan surga. Menurut teori Freud, secara psikologis, gagasan
mengenai Tuhan dan surga itu semata ciptaan manusia itu untuk
meringankan beban psikis yang bersifat laten (tersembunyi) (Hidayat, 2006:
123).
Jadi, gagasan tentang surga dan Tuhan muncul karena kondisi jiwa
yang tidak sehat. Bagi orang beriman tentu saja teori ini dibantah. Namun
demikian, menurut Hidayat jika Freud berbicara sebatas gejala kejiwaan,
maka sampai batas tertentu argumentasinya bisa dipahami secara
proporsional. Di kalangan sufi paham kerinduan akan masa lalu yang indah
yang juga sangat populer, namun lebih jauh dari teori Freud, pengalaman
indah yang dirindukan kembali itu adalah suasana surgawi ketika ruh belum
bersatu dengan jasmani. Dalam pada itu Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa
sebelum turun ke alam jasmani, ruh pernah mengadakan perjanjian
primordial (mendasar) dengan Tuhan untuk selalu mengingat dan mencintai-
Nya dan sekali-kali tidak akan menyembah kecuali pada-Nya. Itulah
sebabnya, menurut kalangan sufi, kerinduan akan Tuhan itu sedikit terobati
dan hati menjadi tenang ketika seseorang berdoa dan merasakan keintiman
dengan Tuhan. Tak ada suasana batin yang paling tenang dan
membahagiakan kecuali perasaan intim dan rasa saling mencinta antara
sesama mukmin dan dengan Tuhan Sang Kekasih. Sebaliknya, perbuatan
maksiat adalah pengingkaran dari ikatan kasih Tuhan dan akibatnya nurani
seseorang akan gelisah karena terganggunya ikatan kasih dengan Tuhan.
Situasi demikian ini disebut kufur, dekat sekali dengan kata cover dalam
bahasa Inggris. Yaitu tertutupnya jalur dan pancaran kasih Tuhan pada hati
hamba-Nya akibat manusia sendiri yang berpaling (Hidayat, 2006: 123).
Luka akibat kerinduan pada kenikmatan ruhani yang hilang bisa juga
terlupakan sejenak ketika manusia memperoleh kenikmatan fisik dan psikis
yang ditawarkan oleh kenikmatan duniawi. Tetapi, kata Freud pengalaman
hidup menunjukkan bahwa perjalanan seseorang selalu diiringi oleh
rangkaian kekecewaan akibat perpisahan dan kehilangan dari orang dan
objek yang paling dicintai. Dimulai dari masa kanak-kanak, sang bayi sudah
ditimpa kekecewaan akibat dipisah dari susuan sang ibu. Kekecewaan itu
disusul oleh serangkaian kekecewaan yang lain yang paling tragis adalah
ketika ditinggal mati oleh orang terdekat. Namun demikian, justru dengan
pengalaman pahit itu pribadi seseorang bisa tumbuh menjadi kuat dan akan
memperoleh makna hidup. Bahwa berbagai objek dan orang yang paling
dicintai suatu saat pasti akan sirna dan lepas. Kalau begitu, apa yang paling
bermakna dari semua yang kita miliki? (Hidayat, 2006: 124).
Dari sudut pandang agama semua yang dimiliki manusia hanyalah
berfungsi sebagai fasilitas instrumental untuk sesuatu yang lebih maknawi.
Dalam terminologi agama, yaitu kualitas iman yang kemudian
teraktualisasikan ke dalam amal saleh. Jadi ketika seseorang memiliki
semua fasilitas instrumental, sejak dari harta, jabatan, dan bahkan ilmu,
kalau tidak membuahkan amal kebajikan bagi sesama manusia sebagai
aktualisasi rasa syukur dan pengabdian pada Tuhan, maka sesungguhnya
telah tertipu oleh pandangan hidup yang berskala pendek atau duniawi.
Dalam bahasa Arab, dunia artinya pendek dan rendah, sedangkan ukhrawi
artinya realitas yang berada di seberang yang melampaui batas-batas
kekinian dan kedisinian. Hal ini berkait erat dengan makna dan konsep pada
kualitas dan produktivitas seseorang dalam memanfaatkan fasilitas waktu,
bukan panjangnya usia, yaitu seberapa jauh seseorang memproduksi
kemakmuran. Jika kemakmuran itu bersifat imateri, semisal seni, ilmu
pengetahuan dan peradaban, maka dalam terminologi Islam produk itu
disebut 'umran. Sedangkan bangunan fisik sebagai simbol dan monumen
kemakmuran disebut imarah (Hidayat, 2006: 125).
Dengan begitu, panjang dan pendeknya umur seseorang akan diukur
oleh kualitas iman dan amal salehnya. Sekalipun orang telah meninggal jika
ia mewariskan ilmu dan amal yang berdaya guna secara langsung bagi
masyarakat yang ditinggalkan, maka orang itu masih berumur, masih hidup
amalnya atau populer disebut 'amal jariyah. Sebaliknya seseorang yang
merasa panjang usianya, banyak ilmu dan hartanya, tetapi jika tidak disertai
iman dan amal kebajikan untuk sesama, maka ia mengalami kebangkrutan
dalam umurnya. Visi dan ayunan langkah hidupnya yang tidak mampu
menembus alam ukhrawi, telah menempatkan dirinya terkurung oleh
tembok duniawi yang lingkupnya amat pendek dan sempit. Salah satu
bentuk kebangkrutan umur, ialah godaan oleh kenikmatan sesaat. Akan
tetapi mendatangkan penyesalan jangka panjang. Contoh yang paling riil
dari bentuk kebangkrutan umur sehingga memalingkan diri dari uluran kasih
Tuhan adalah mereka yang mabuk harta dan kekuasaan sebagaimana anak
remaja yang mabuk harta (Hidayat, 2006: 126).
Dalam hidup ini tak ada orang yang tidak takut kehilangan. Bawah
sadar seseorang yang menyimpan rangkaian kenangan pahit masa lalu
menuntut kompensasi dan substitusi. Bagi sementara orang, bisa jadi
kompensasi itu diproyeksikan dalam limpahan materi, jabatan, kekuasaan,
dan popularitas. Ketika kesemuanya telah berada di tangan, terdapat
kekuatan bawah sadar yang memberikan dorongan untuk memeluknya erat-
erat karena kenangan pahit masa lalu yang tidak lagi disadari akibat
kehilangan obyek yang dicintai. Kekuatan bawah sadar itu bekerja sangat
efektif dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Ironisnya, kompensasi
kenikmatan duniawi yang diharapkan sebagai penawar neurosis (gangguan
jiwa) yang diderita dalam bawah sadarnya, kadang kala malah melipat-
gandakan neurosisnya. Orang yang dilanda perasaan takut kehilangan bisa
berperilaku aneh-aneh yang semuanya menunjukkan kepribadian yang tidak
matang dan jiwa yang tidak sehat. Bisa kalap, rakus, pelit, egois, dan
semacamnya (Hidayat, 2006: 126).
Bahkan sejarah mencatat, banyak tragedi sosial-politik yang
memakan banyak korban manusia dan harta semata karena ulah seseorang
atau kelompok yang takut kehilangan kekuasaan yang telah lama
dipeluknya. Namun ada juga fenomena lain, karena seseorang menyadari
benar betapa sempitnya usia manusia dan kesempatan berbuat baik, maka
kesempatan yang ada dimanfaatkan secara optimal beramal saleh maupun
menebus dosa dan kesalahan masa lalu (Hidayat, 2006: 127).
3.2.3. Upaya Menyikapi Rasa Takut dari Kematian
Menurut Hidayat jangan mengira bahwa meninggal mendadak tanpa
sakit itu merupakan kematian paling baik dan menyenangkan. Hidayat
memberi contoh bahwa ia mempunyai seorang teman yang amat baik,
sukses dalam karir di kantor dan sukses dalam membina rumah tangga. Ke
mana pun dia pergi dan bertemu teman ataupun keluarga selalu saja mampu
menciptakan suasana menjadi hidup penuh gelak tawa. Hal itu ia temui dan
rasakan sendiri berulang kali. Menurut Hidayat orang itu tinggal di kawasan
elite Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekali-sekali rumahnya dijadikan
tempat diskusi keislaman, dihadiri oleh teman-teman sekantor serta tetangga
(Hidayat, 2006: 128).
Suatu hari menurut Hidayat bahwa ia memperoleh berita bahwa
teman tadi meninggal dengan mendadak di rumahnya, sementara anak dan
istrinya sedang bepergian. Semua keluarga sepakat bahwa sebelumnya tak
ada tanda-tanda dan isyarat sedikit pun kalau suami ataupun ayahnya akan
meninggal, mengingat badannya sehat, karirnya di kantor berjalan mulus,
dan hubungan sosial dengan teman-temannya juga sangat baik (Hidayat,
2006: 128).
Bagaimana respons keluarga yang ditinggalkan? Yang pertama
dirasakan istri adalah sebuah duka dan penyesalan yang amat berat. Dia
merasakan dan memandang suaminya amat baik, tetapi mengapa ketika
pergi untuk selamanya tidak sempat melihat dan melepasnya, sedangkan
setiap pagi mau ke kantor saja istrinya selalu menyiapkan sarapan dan
kemudian melepaskan sampai halaman rumah. Itu sudah berjalan puluhan
tahun (Hidayat, 2006: 129).
Dalam pengakuannya, Hidayat belum sempat meminta maaf dan
menyampaikan terima kasih atas kebaikannya selama ini. Ia ingin sekali
membalas kebaikannya, paling tidak ketika sakit Hidayat ingin merawat dan
melayaninya. Tetapi semua itu hanya bayangan dan kesedihan yang
akhirnya didapatkan," tuturnya sambil terisak. Sepekan kemudian Hidayat
ketemu, biji matanya bagaikan hendak keluar karena tak sanggup menahan
duka dan tangis, bahkan air matanya pun telah kering. "Kalau tahu memang
sudah tiba ajalnya, saya ingin suami saya sakit dahulu barang sehari atau
tiga hari agar saya dan semua keluarga bisa berkumpul, saling memaafkan
dan mendoakan bersama," katanya (Hidayat, 2006: 129).
Demikianlah, singkat cerita sungguh tidak mudah bagi istri dan
keluarga tadi untuk menghilangkan duka akibat merasa tidak diberi
kesempatan untuk saling memaafkan, mendoakan dan membalas kebaikan
budinya sebelum berpisah untuk selamanya. Di sisi lain mungkin saja
keluarga merasa lega karena sang ayah atau suami meninggal dengan mulus
tanpa didahului penderitaan. Tetapi, ibarat seseorang mau bepergian, lebih
enak kenangannya kalau anggota keluarga diajak untuk ikut membuat
persiapan dan kemudian melepaskan. Bukankah peristiwa kematian tak
ubahnya seperti orang mau bepergian? Beberapa teman dekat dari almarhum
bercerita kepada Hidayat, kondisi istri yang ditinggalkan sungguh sangat
mengundang iba. Sangat berat untuk mengembalikan kondisi jiwanya agar
merelakan suaminya yang telah meninggal karena yang tergores adalah
sebuah luka dan penyesalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk saling
maaf memaafkan dan mengurusnya ketika sakit menjelang wafatnya
(Hidayat, 2006: 129).
Di saat seseorang sakit dan sudah memiliki insting akan datangnya
kematian, Rasulullah mengajarkan agar dia senantiasa berprasangka baik
pada Tuhan. Apa pun yang terjadi, termasuk sakit yang dideritanya,
hendaknya disikapi sebagai anugerah Tuhan agar seseorang semakin
khusyuk dan benar-benar pasrah pada-Nya. Sakit menjelang kematian
adalah tali penghubung seseorang dengan Tuhan-Nya jika yang
bersangkutan senantiasa pasrah, berdoa, mohon ampun, dan selalu
bersangka baik pada-Nya. Rasulullah bersabda, jika seseorang sakit
menjelang kematian lalu dia mensikapinya dengan penuh kepasrahan dan
kesabaran, maka dosa-dosanya akan berguguran bagaikan seseorang yang
mandi sehingga kotoran yang melekat pada badan akan lepas. Doa yang
diajarkan pada kita adalah: Ya Allah, ringankanlah dan mudahkanlah urusan
kami di saat sakaratul maut, dan tolonglah kami untuk bisa mengakhiri
hidup dengan husnul-khatimah (akhir yang bagus) (Hidayat, 2006: 130).
Oleh karena itu, ajaran Islam melarang praktik mercy killing, yaitu
mengakhiri hidup dengan bunuh diri melalui obat akibat tidak tahan
menanggung penyakit yang menimpanya. Percaya atau tidak, beberapa
orang yang pernah mengalami Near Death Experience atau mati suri
bercerita bahwa ruhnya sangat menderita di alam kubur. Alam kubur
menolak kehadirannya karena dianggap pendatang illegal, sementara pulang
kembali ke bumi tidak bisa karena telah dinyatakan mati, pintunya telah
tertutup (Hidayat, 2006: 131).
Menurut Hidayat dalam psikologi dikenal istilah insting kematian
(death instinct). Yaitu seseorang memiliki firasat akan datangnya kematian
dalam waktu dekat. Fenomena ini sering kali dijumpai dalam masyarakat.
Namun firasat ini biasanya baru disadari setelah kematian tiba. Banyak
ragam cerita dan kesaksian seputar firasat kematian ini yang bisa dihimpun.
Misalnya, belum lama ini menurut Hidayat dirinya mempunyai keponakan,
Muhtadin namanya, meninggal mendadak karena terkena sengatan listrik
waktu kerja bakti desa memotong bambu yang mengganggu kabel listrik.
Kematian yang begitu mendadak tentu saja membuat semua keluarga kaget
dan sangat berat menerima kenyataan itu (Hidayat, 2006: 132).
Belief it or not, percaya gak percaya, seminggu sebelum kejadian itu
perilaku dan ucapan Muhtadin sudah menunjukkan keanehan. Dia sudah
menyerahkan semua pekerjaan di kantornya, layaknya orang yang serah
terima jabatan. Juga kepada istrinya sudah berpesan andaikan anaknya
menjadi yatim, agar diasuh dengan baik-baik. Kepada keluarga dia
mengatakan dalam waktu dekat ini ingin pergi berjihad dan silaturahim
dengan sesama saudara dan teman-teman dekatnya. Ternyata tak lebih dari
sepuluh hari kemudian, Muhtadin menemui ajalnya dengan perantaraan
tersengat listrik ketika kerja bakti desa. Apa yang dia kemukakan
sebelumnya ternyata jadi kenyataan. Keluarga kaget dan teringat akan
firasat yang sudah diceritakan sebelum meninggal (Hidayat, 2006: 133).
Ketika Hidayat bertanya pada ayah-ibunya, perlukah saya urus ke
PLN untuk ikut bertanggung jawab karena lengah tidak mematikan salah
satu aliran listriknya, keduanya menjawab: kematian itu sudah merupakan
ketentuan Allah. Terkena listrik itu hanya sekadar penyebab lahiriahnya
saja. Setiap orang mesti rida menerima takdir llahi, tak perlu menuntut siapa
pun agar almarhum tenang di akhirat. manusia mesti bersyukur, yang
dicabut hanya nyawanya, tetapi bukan imannya (Hidayat, 2006: 133).
Cerita semacam itu menurut Hidayat banyak beredar dalam
masyarakat. Ada orang yang sebelum meninggal telah mempersiapkan
segala keperluannya, bagaikan seseorang mau bepergian jauh ataupun mau
memiliki hajat besar. Utang-utangnya dilunasi, bersilaturahim minta maaf
pada teman-teman lamanya, membersihkan rumah dan halamannya karena,
katanya, akan ada tamu berdatangan. Ada lagi yang firasatnya berupa mimpi
berjumpa saudara-saudaranya yang telah meninggal (Hidayat, 2006: 133).
.Demikianlah, cerita nyata ini bisa diperpanjang karena masyarakat
banyak menyaksikan dan merekam seputar insting kematian dengan segala
ragam peristiwa yang aneh, dan semua itu baru disadari setelah seseorang
meninggal. Pertanyaan yang sering muncul, bagaimana manusia memahami
fenomena ini? Mengapa seseorang sering berperilaku aneh sebelum
meninggal? Adakah itu tanda-tanda husnul-khatimah (akhir yang baik)
sebagai isyarat kebahagiaan akhirat telah menanti? (Hidayat, 2006: 134)..
Dalam sebuah riwayat disebutkan, orang yang saleh dan
memperoleh husnul-khatimah adalah mereka yang hati dan bibirnya selalu
berzikir mengingat Allah ketika sakaratul maut sampai datangnya malaikat
Izrail menjemput ruhnya. Tanda-tanda lain adalah wajahnya tampak tenang,
bagaikan seseorang tertidur, tidak menunjukkan rasa takut dan tertekan.
Bahkan sisa senyumnya terlihat di wajahnya, tanda saling sapa antara
dirinya dengan Izrail yang datang menjemput, bagaikan calon pengantin
wanita yang dijemput untuk dinikahkan dengan calon suaminya yang sudah
lama dirindukan (Hidayat, 2006: 134).
Cerita lain yang menarik direnungkan, seringkali terdapat
keterkaitan tempat dan penyebab kematian seseorang dengan doa yang
selalu dipanjatkan pada Allah di kala sehat dan jauh sebelum kematian tiba.
Misalnya, salah seorang dosen, Hafidz Dasuki, jauh-jauh sebelum ajal tiba,
kata istrinya, ingin sekali kalau meninggal disalatkan oleh para santri yang
banyak. Rupanya doanya terkabul, almarhum meninggal di Pesantren
Gontor Ponorogo yang sangat dicintai dan dibanggakan (Hidayat, 2006:
134).
Menurut Hidayat membahas soal ruh dan peristiwa kematian
memang banyak menyisakan misteri yang sulit diterangkan secara ilmiah.
Al-Quran memperingatkan, hakikat ruh itu urusan Allah, manusia hanya
mampu menangkap efek kehadirannya, tetapi bukan hakikatnya. Karena ruh
tidak mati, dan ruh bukan benda materi, maka sangat mungkin ruh manusia
mampu berkomunikasi dengan makhluk yang serupa, yaitu malaikat. Hanya
saja kepekaan dan kemampuan berkomunikasi dengan malaikat ini tidak
dimiliki atau tidak terjadi pada semua orang, Namun sekedar bahan analisis
bisa memperhatikan fenomena anak kecil ataupun hewan yang belum atau
tidak dibebani oleh endapan emosi dan pikiran negatif, mereka mampu
melihat dan berkomunikasi dengan dunia lain, yang orang tua sulit
memahami (Hidayat, 2006: 135).
Coba saja amati perilaku hewan yang sering bermain di kuburan, ada
kalanya hewan itu lari ketakutan dan berteriak dengan bahasa mereka. Di
duga kuat hewan itu melihat dunia ruh yang menakutkan mereka. Sebagian
pekerja penggali kubur biasanya juga telah memiliki rekaman pengalaman
dan firasat kalau akan kedatangan calon mayat. Mereka memiliki tanda yang
beraneka ragam. Ada yang mendengar suara keranda memanggil-manggil,
ada burung-burung yang ramai berkicau di sekitar kuburan, dan sekian tanda
lain yang familiar dengan mereka. Tentu saja semua firasat dan insting tadi
tidak bisa dijadikan formula pasti, tetapi sekadar dugaan (Hidayat, 2006:
135).
Pada anak kecil ketajaman dan kemampuan jiwanya untuk
berkomunikasi dengan dunia gaib juga sering dijumpai. Misalnya, bayi yang
sering tersenyum dan tertawa gembira, seakan sedang bermain-main dengan
teman-temannya, padahal orangtua tidak melihat ada orang lain. Bahkan ada
anak yang asyik sendiri main di halaman rumah. Ketika ditanya oleh
orangtuanya, katanya sedang bermain dengan teman-temannya yang sangat
baik. Cerita semacam ini juga sering ditemui dalam masyarakat. Orangtua
mengatakan, mereka sedang bermain dengan para malaikat (Hidayat, 2006:
136).
Kepekaan ruhani untuk berkomunikasi dengan malaikat semakin
tumpul ketika seseorang telah menginjak dewasa. Tetapi ada pribadi-pribadi
tertentu yang dianugerahi kemampuan berkomunikasi dengan penghuni
alam ruhani. Cerita yang paling sahih adalah ketika Rasulullah melakukan
isra dan mi'raj. Lalu ada pula orang-orang yang pernah mengalami Near
Death Experience atau mati suri yang kemudian bercerita melihat alam
kubur dan berjumpa dengan para arwah yang telah lebih dahulu
meninggalkan dunia. Dalam ajaran Islam kematian itu selalu diingatkan
setiap saat, terutama menjelang tidur. Jika hati senantiasa ingat Allah dan
ingat kematian sebagai jalan kedekatan pada-Nya, maka apa pun yang
dilakukan dan di mana pun berada, di setiap saat dan tempat sesungguhnya
manusia tengah menapaki batu bata menuju kematian. Bagaimana penyebab
kematian akan dipengaruhi doa dan pilihan jalur yang ditempuh manusia.
Maka berdoalah dan pesanlah pada Tuhan, jalan apa dan di mana untuk
bertemu Izrail, pasti Allah mendengarkan permohonan setiap hamba-Nya
(Hidayat, 2006: 136).
Menurut Hidayat yang sesungguhnya bermanfaat untuk direnungkan
dan diambil hikmahnya adalah berbagai isyarat yang terjadi ketika
seseorang menunaikan ibadah haji atau umrah. Begitu banyak peristiwa-
peristiwa unik yang merupakan isyarat Allah, namun sering kali kita tidak
memahaminya. Misalnya saja, seorang teman yang kebetulan sedang
menjabat sebagai direktur sebuah bank pergi haji. Di sana, berulang kali ke
mana pun pergi selalu saja menginjak kotoran manusia. Anehnya lagi,
ketika membuka kopornya di kamar hotel ditemukan bau kotoran manusia.
Demikianlah, setelah pulang ke tanah air, tak lama kemudian yang
bersangkutan masuk tahanan karena terbukti korupsi. Dia tersadar, rupanya
sewaktu haji kotoran manusia itu isyarat dari Allah bahwa harta yang
dihimpun selama ini tidak halal, tetapi dia tidak segera bertobat
menyelesaikan semua urusannya sehingga ujungnya masuk tahanan
(Hidayat, 2006: 137).
Sekali lagi menurut Hidayat, sangat banyak berbagai isyarat
kehidupan yang nalar kita sering kali menganggap remeh, namun manusia
baru tersadar dan menyesal ketika semua telah berlalu dan kita tidak
mengambil hikmah yang terkandung (Hidayat, 2006: 137).
BAB IV
ANALISIS KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH
RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DITINJAU DARI
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
4.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang Rasa Takut terhadap
Kematian
Adanya peristiwa kematian pada sebagian orang dianggap sebagai
peristiwa yang menakutkan karena peristiwa tersebut belum pernah
dialaminya. Manusia masih bertanya-tanya, adakah kehidupan selanjutnya
lebih nyaman dibandingkan dengan saat di dunia ini. Pertanyaan ini yang
kerap memicu rasa cemas dan mencekam ketika terbayang dengan kematian.
Rasa cemas dan ketakutan ini dapat dijadikan masukan dalam
mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga
dapat menjadi solusi terhadap problematika rasa takut terhadap kematian.
Menurut Hidayat, membahas soal kematian bisa menimbulkan sebuah
pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia. Yaitu
kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan punahlah semua yang
dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini lalu memunculkan
sebuah protes berupa penolakan bahwa masing-masing kita tidak mau mati.
Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu
kematian. Jiwa kita selalu mendambakan dan Pengantar Wacana
membayangkan keabadian. Pemberontakan dan penolakan akan kematian ini
telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, sebut saja mazhab
religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa
keabadian setelah mad itu ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi,
seseorang yang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai objek dan
target paling tinggi. Kehidupan dunia selayaknya dinikmati, tetapi bukan
tujuan akhir dari kehidupan. Apa pun yang dilakukan di dunia dimaksudkan
sebagai investasi kejayaan di akhirat (Hidayat, 2006: xvi).
Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin akan adanya
kehidupan setelah mati. Namun secara psikologis keduanya memiliki
kesamaan, yaitu spirit heroisme yang mendambakan keabadian hidup agar
dirinya selalu dikenang sepanjang masa. Untuk memenuhi keinginan ini,
setiap orang ingin menyumbangkan suatu yang besar dalam hidupnya,
minimal untuk keluarganya. Syukur-syukur pada bangsa dan dunia. Maka
setiap orang berusaha untuk meninggalkan warisan seperti halnya potret diri,
karya tulis, kuburan, dan ada yang membuat patung besar. Ini semua secara
psikologis menceritakan satu hal: bahwa setiap orang sesungguhnya menolak
kematian. Setiap orang ingin hidup abadi. Setiap orang ingin dikenang sebagai
pahlawan agar jiwanya tetap hidup.
Dalam pandangan mazhab religius, dorongan untuk hidup abadi ini
jika tidak disalurkan ke jalan yang benar, maka yang akan menguat adalah
sikap egoisme-nihilisme. Yang selalu dikejar adalah bagaimana memperoleh
self-glory yang berujung pada pesimisme dan tragedi. Disebut pesimisme dan
tragedi karena apa pun yang dikejar-kejar selama hidupnya akhirnya akan
berakhir dengan kefanaan. Apa pun yang dibanggakan, sejak dari wajah
tampan, ilmu pengetahuan, harta, kedudukan, dan popularitas semuanya akan
lenyap dan berpisah selamanya ketika dipisahkan oleh maut. Oleh karena itu,
dorongan dan ambisi bawah sadar untuk menyangkal kematian bisa
melahirkan dua orientasi hidup yang berbeda. Bagi orang yang beriman,
keabadian hidup akan selalu dikaitkan dengan janji Tuhan akan balasan di
akhirat sehingga mendorong untuk selalu berbuat baik dan menjalani hidup
dengan optimis.
Sebaliknya menurut Hidayat, bagi yang mengingkari kehidupan akhirat
kenikmatan duniawi merupakan target puncak. Namun begitu, secara garis
besar, kelompok ini masih bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, meskipun
tidak peduli dengan kehidupan akhirat mereka masih berusaha meninggalkan
nama baik agar dikenang sejarah. Banyak dermawan yang membangun
gedung-gedung untuk kepentingan sosial agar namanya tidak pernah mati.
Kedua, ada yang kemudian menjadi pemuja kehidupan hedonistis mumpung
masih hidup tanpa peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah (Hidayat,
2006: xvii).
Apabila memperhatikan pendapat Komaruddin Hidayat, maka
tampaknya konsep yang dikemukakannya dapat membantu pembacanya bukan
saja untuk memahami psikologi kematian, tetapi juga berbicara tentang sedikit
rahasianya, dan yang lebih penting lagi menuntut umat manusia menjemput
maut dengan hati yang tenang.
Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak
mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau
yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa
kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang
dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang
bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi
siksa Allah.
Sebagian dari penyebab takut di atas tidak memiliki dasar. Maut, pada
hakikatnya serupa dengan tidur, ia nyaman, kecuali jika ada faktor lain yang
menyebabkan tidak nyaman. Arah yang dituju pun jelas. Kita kembali kepada
Allah, yang rahmat-Nya melimpah bahkan mengalahkan amarah-Nya.
Kematian tidak mengakibatkan kepunahan. Kematian hanya mengakibatkan
tidak berfungsinya organ-organ tubuh, tidak ubahnya seperti seorang tukang
yang tidak menggunakan alat-alat profesinya.
Takut mati karena kuatir menyangkut nasib keluarga, juga tidak perlu
terlalu dirisaukan. Sekian banyak anak yatim, setelah ditinggal ayah
bundanya, yang hidup sejahtera. Takut yang berkaitan dengan ini adalah takut
yang berada dalam wilayah "mungkin".
Yang merisaukan, dan yang wajar ditakuti adalah takut pada siksa
Allah setelah kematian, ketakutan yang terjadi menjelang kematian, karena
ketika itu sangat dikhawatirkan jangan sampai segala upaya untuk
menyingkirkan bahaya itu, tidak lagi dapat dilakukan, bukan karena pintu
taubat telah tertutup, tetapi belenggu kebiasaan durhaka telah menyita seluruh
kesadaran untuk bertaubat. Itulah takut yang pada tempatnya. Semoga kita
terlindungi oleh-Nya.
Ada seorang sahabat Nabi yang sebelum masuk Islam ia hidup serba
berkecukupan. Setelah masuk Islam, dagangnya mengalami kerugian terus-
menerus. Maka yang disalahkan adalah Islamnya. Lalu datanglah ia kepada
Rasulullah Saw, "Ya Rasulullah, sudah hilang hartaku, sakit pula tubuhku."
Nabi menjawab, "Ti'dak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit
dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba,
maka diberi-Nya ujian dan kesabaran menghadapinya." Kesabaran
menghadapi musibah itulah at-tamhish. Musibahnya datang dari Allah.
Selain taubat, yang datang dari kita dan dapat membersihkan dosa,
adalah perbuatan baik seperti bersedekah, mendatangkan kebahagiaan pada
orang lain, berkhidmat memenuhi keperluan manusia, melakukan berbagai
ibadah seperti haji, puasa, dan zikir.
Namun tidak semua dosa bisa dihapuskan dengan ibadah-ibadah di
atas. Malah yang paling malang, banyak ibadah terhapus karena dosa-dosa
yang dilakukan. Dosa-dosa yang menghapuskan ibadah adalah dosa-dosa
sosial. Misalnya, zikir itu bisa menghapus dosa, tetapi riya akan membatalkan
seluruh amal zikir itu. Menggerutu dan memaki-maki dapat menghapuskan
pahala sedekah (AI-Baqarah [2]: 264); berkata kotor, menyakiti hati, dan
berdusta menghapuskan ibadah haji (AI-Baqarah [2]: 197); mengeraskan suara
di depan Rasulullah Saw (atau ketika sabdanya disampaikan) menghapus
seluruh amal kita (AI-Hujurat [49]: 2). "Kedengkian menghapuskan amal
seperti api menghabiskan kayu bakar". Menyakiti tetangga dengan lidah
menghapuskan pahala puasa dan shalat malam menurut beberapa hadis yang
kita kenal.
Ada orang yang ketika maut menjemputnya, masih banyak dosa-dosa
yang belum terhapus, baik oleh taubat maupun musibah. Umumnya orang
yang ahli maksiat itu sehat-sehat. Mereka tidak mendapat musibah.
Dagangnya untung terus. Kalau berbuat salah, pengadilan pun tak sanggup
menuntutnya. Musibah-musibah jarang menimpanya. Sakit yang
menghapuskan dosa, juga tak dialaminya. Haji pun jarang dilakukannya dan
seterusnya. Maka saat kembali, di pintu kerajaan Tuhan itu, seperti anak kecil
tadi, masih penuh kotoran dan debu. Pendeknya mereka membutuhkan proses
penyucian lagi. Maka kematian itu termasuk juga proses penyucian. Imam AI-
Hadi mengibaratkan kematian dengan kamar mandi. Saat menghadapi orang
yang takut kematian, ia berkata, "Apakah kamu enggan masuk ke kamar
mandi untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di tubuhmu?"
4.2. Kematian Harus Disikapi Secara Ideal Menurut Komaruddin Hidayat
Konsep Komaruddin Hidayat telah meruntuhkan bayang-bayang
kematian yang amat menakutkan itu. Ternyata, seperti dijelaskan Komaruddin
Hidayat ini, kematian adalah sesuatu yang indah. Menyelami lautan
hakikatnya hidup manusia semakin optimis.
Konsep Komaruddin Hidayat ini sejalan dengan keterangan para pakar,
di antaranya:
Menurut Syarif, 2002: 215-216) seandainya pikiran tentang kematian
dan kehidupan tidak menciptakan problem perilaku, psikologis, dan filosofis
apa pun pada seluruh makhluk hidup yang telah dikendalikan Allah, maka
kehidupan dan kematian memiliki sejumlah makna yang beragam bagi
manusia yang berakal, karena ia diberikan kebebasan untuk memilih; tidak
sebagaimana makhluk-makhluk lainnya.
Naluri manusia untuk mencintai kehidupan dan kekekalan serta
pemeliharaanya tidak jarang memunculkan penyakit takut mati pada manusia
yang berakal. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling utama dan paling
sulit baginya. Berbagai aliran filsafat, psikologi, atau materialisme yang
mencoba menjelaskan makna kehidupan dan mengusahakan obat yang
menyembuhkan bagi penyakit takut mati dan semisalnya telah gagal dalam
menemukan penyelesaian yang memuaskan. Hanya Islam yang mampu
memberikan penyelesaian yang logis dan menyembuhkan bagi penyakit itu
melalui undang-undangnya, yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi yang mulia.
Menurut Musa Asy'arie (2002: 240) dorongan munculnya kehidupan
asketik, didasarkan pada penghayatan atas adanya realitas kematian,
ketidakpastian kehidupan dan adanya pertanggungjawaban kehidupan sesudah
kematian di dunia ini. Pengalaman kehidupan seseorang selalu mengalami
pasang surut kegagalan dan kesuksesan silih berganti, banyak kejadian yang
dialami, bahkan dijalaninya dalam kehidupan ini, tanpa pernah ia
merencanakannya terlebih dahulu, sementara apa yang sudah dirancang dan
dicita-citakannya sejak kecil, bahkan tidak tercapai, gagal total.
Dalam kaitan ini, pengalaman iman mengajarkan tentang adanya
realitas perkasa yang penuh dengan kegaiban, yang sesungguhnya sangat
menentukan dalam kehidupan manusia. Hari-hari silih berganti tanpa dapat
diprediksi secara pasti, dan melalui kepasrahan total yang penuh dengan
landasan ketulusan hati, seringkali justru menghadirkan kekuatan dahsyat,
seakan-akan orang itu menyerap kekuatan perkasa yang penuh kegaiban,
sehingga oleh kesadaran imannya, membuat hidupnya tak pernah putus asa,
selalu berusaha, dan pada ujung-ujungnya ia kembali lagi kepada kepasrahan
total. Suatu ritme kehidupan yang penuh kesederhanaan yang cerdas.
Memang nampak sikap asketik tersebut, seperti berlawanan dengan
rasio, tetapi sesungguhnya sikap hidup asketik itu lahir dari penglihatan batin
yang sangat tajam, bersih dan bercahaya, sehingga semakin jelas cahaya
hakikat kehidupan itu terlihat, maka akan menjadi semakin tidak menariknya
kepentingan-kepentingan duniawi itu, apalagi, oleh dorongan-dorongan darah
daging tubuh yang sebentar saja akan hancur.
Akhirnya hanya iman yang bisa mengatasi berbagai kemelut dan
kompleksitasnya kehidupan ini, karena ilmu dan teknologi yang canggih
sekalipun tidak berdaya menghadapi kepentingan-kepentingan duniawi,
apalagi oleh kuatnya dorongan-dorongan daging darah tubuhnya. Bahkan
bukan hanya tidak berdaya saja, tetapi ilmu dan teknologi jatuh di bawah
kekuasaan kepentingan-kepentingan duniawi. Kegelisahan, keragu-raguan,
kecurigaan hanya akan hilang oleh iman. Iman sesungguhnya mengandung
elemen kecerdasan yang menghantarkan kemampuan intelek manusia
memasuki wacana gaib, menyatu dalam spiritualitas Ilahi yang Maha Indah,
menakjubkan dan menawarkan kerinduan yang dalam, untuk bertemu kembali
dengan cahaya Ilahi.
Sesungguhnya perjalanan hidup asketik adalah perjalanan hijrah, yaitu
hijrah mental, dari sikap mental yang cenderung kepada wacana keduniaan
berpindah ke wacana keakhiratan, yang dijalaninya secara bersungguh-
sungguh, karena merupakan jalan lurus menuju kepada Allah yang
sesungguhnya. Al-Qur'an surat al-Anfal/8:74 mengatakan:
) :(Artinya: Dan orang-orang yang beriman, yang berhijrah, yang
bersungguh-sungguh pada jalan Allah, orang-orang yangmemberikan tempat perlindungan dan pertolongan, merelaiitulah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, merekamemperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (QS. al-Anfal/8:74) (Depaq RI, 1986: 265).
Iman yang cerdas dapat mengambil makna simbolik yang ditampilkan
oleh realitas gaib yang seringkali sangat membingungkan orang-orang yang
gelisah hatinya karena redupnya pancaran cahaya kecerdasan iman. Iman yang
cerdas dapat mengenali secara langsung dengan melompati analisis rasional
terhadap makna-makna simbolik dibalik suatu realitas multi dimensi yang
kelihatannya saling bertentangan. Al-Qur'an surat Ali Imran/3:7 mengatakan:
) :(Artinya: Dialah yang menurunkan-'Kitab kepadamu, di antaranya ada
ayat-ayat yang terang maknanya, itulah induk Kitab, danyang lain tidak terang maknanya. Maka orang-orang yanghatinya cenderung kepada kesesatan, maka merekamengikuti ayat-ayat yang tidak terang maknanya untukmenimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahaltidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Danorang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami berimandengannya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidakdapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yangmempunyai kecerdasan hati (QS. Ali Imran: 7) (Depaq RI,1986: 75).
Jika pada saat kelahirannya, seseorang secara individual tidak berdaya
dan tidak dapat menentukan apa saja yang berkaitan dengan kelahirannya,
maka demikian pula yang terjadi dengan kematian yang sudah pasti terjadi itu,
seseorang secara individual tidak tahu di bumi mana akan mengalami
kematian, dan dengan cara bagaimana, ketika waktunya sudah tiba/ di
manapun kematian akan menjemputnya. Al-Qur'an QS. Luqman/31:34
mengatakan:
) :(Artinya: Sesungguhnya Allah di sisi-Nya ilmu kiamat, dan Dia
menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalamrahim, dan tidak ada seorang pun mengetahui apa yangdikerjakan besok dan tidak ada seorangpun mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah MahaMengetahui dan Maha Teliti (QS. Luqman: 34) (Depaq RI,1986: 658).
.
Dalam konsep filsafat Islam, rahasia kematian dan kehidupan ada di
tangan Tuhan, bukan di tangan manusia, manusia tidak lebih sekadar
menerima kenyataan keduanya tanpa persetujuannya terlebih dahulu, suka
atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa, menghidupkan dan mematikan
adalah bagian dari kehendak-Nya dan bagi manusia itu sebagai ujian untuk
berkarya lebih baik. Al-Qur'an QS. Mulk/67:1-2 mengatakan:
} {
) : -(Artinya: Maha suci yang di tangan-Nya semua kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakankematian dan kehidupan, untuk menguji kamu siapa yanglebih baik amal perbuatannya, dan Dia Maha Perkasa lagiMaha Pengampun. (QS. Mulk: 1-2) (Depaq RI, 1986: 955).
Sesungguhnya kehidupan dan kematian adalah pasangan-pasangan
tunggal yang tidak bisa saling meniadakan, seperti pasangan siang dan malam/
penderitaan dan kebahagiaan, kebenaran dan kesalahan, kesuksesan dan
kegagalan, dan bagi iman yang cerdas, dapat memahaminya sebagai
penampakan tanda-tanda kebesaran Ilahi yang harus disyukuri. Syukur
diwujudkan tidak dengan cara bersukaria menghadapi kesuksesan dan
kebahagiaan atau sebaliknya bersedih hati menghadapi kegagalan dan
penderitaan, tetapi pada upaya melakukan peningkatan kualitas batinnya untuk
menghadapi sesuatu yang akan datang yang mungkin lebih besar lagi. Al-
Qur'an QS. an-Naml/27:40 mengatakan:
) :(Artinya: Berkata seorang yang baginya ilmu kitab; Aku akan
mendatangkan kepadamu sebelum matamu berkedip. Makatatkala Sulaiman melihatnya berada di hadapannya, diaberkata : Ini adalah karunia Tuhanku untuk mengujiku,apakah aku bersyukur atau ingkar, dan siapa yang bersyukurmaka untuk dirinya, dan siapa yang ingkar, makasesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia (QS.an-Naml/27:40) (Depaq RI, 1986: 595).
Oleh karena itu, bagi iman yang cerdas, datangnya kematian tak
pernah lagi merisaukannya, karena melalui kematian ia akan naik kelas yang
lebih tinggi lagi, untuk memperoleh kehidupan lain yang lebih baik lagi,
kematian adalah terminal-terminal panjang menuju Tuhan, dan ia sudah
belajar menghadapinya berkali-kali dalam kehidupan kesehariannya di dunia,
melalui fenomena kematian-kematian kecil yang mulai meggerogoti satuan-
satuan anggota, tubuhnya, sejak mulai rontoknya rambut tanggalnya gigi,
kurangnya penglihatan dan pendengaran, yang dapat menumbuhkan wawasan
tajam batinnya untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik lagi.
Sehingga orang yang wawasan batinnya mengalami kebutaan, maka
sesungguhnya ia hidup dalam kematian, hidup dalam kegelapan.
Dalam kehidupan di dunia, ternyata banyak orang memikirkan tentang
kehidupan dan amat sedikit untuk memikirkan kematian. Mungkin karena
membicarakan mati, selalu tidak mengenakkan perasaan, bagaimana harus
berpisah dan meninggalkan apa yang dicintainya, anak, istri dan kekayaan
yang dicintainya, apalagi kalau hidupnya enak, rasanya ia ingin hidup abadi.
Akan tetapi bagi orang yang hidupnya amat susah, seringkali terjerumus
dalam rasa putus asa, sehingga mati dianggapnya sebagai jalan terakhir untuk
melepaskan dan mengakhiri suatu penderitaan. Padahal kematian bukan akhir
dari segala-galanya, karena di balik kematian manusia akan dihidupkan
kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya ketika ia
hidup di dunia, sebagai pengadilan yang dijamin keadilannya oleh Tuhan
sendiri, karena semua anggota tubuhnya akan menjadi saksinya.
Kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa yang menduga atau
menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti takut menyangkut
sesuatu yang bakal datang. la boleh jadi sangat besar dan berbahaya, dan boleh
jadi kecil dan remeh. Bisa jadi juga hal tersebut merupakan keniscayaan, dan
bisa juga ia berpotensi untuk terjadi dan tidak terjadi, dalam arti ia berada
dalam wilayah "mungkin". Di sisi lain, penyebab terjadinya sesuatu yang
ditakuti, boleh jadi diri yang bersangkutan sendiri, boleh jadi juga pihak lain.
Semua hal yang ditakuti, yang sifatnya berpotensi "mungkin",
hendaknya tidak dipastikan terjadinya, sekaligus tidak perlu terlalu ditakuti.
Rasa takut hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan serta kadar
ancamannya. Optimisme hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia. Ini semua
jika penyebab yang ditakuti dari luar diri yang bersangkutan. Adapun bila
yang Anda takuti bersumber dari diri Anda sendiri, maka hendaknya sejak dini
penyebabnya dihindari. Selanjutnya, baik rasa takut yang bersumber dari diri
Anda maupun di luar Anda, maka Anda berkewajiban untuk berusaha sekuat
tenaga agar yang ditakuti itu tidak terjadi, dengan mengetahui tata cara
menghindarinya. Ada cara untuk menghindari jatuhnya apa yang ditakuti dari
Allah, yaitu dengan bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan ada juga
cara menghindari bila sumber yang ditakuti dari manusia.
Ketuaan, kelemahan dan kematian adalah keniscayaan. Anda tidak
perlu menakutinya. Kelemahan dan ketuaan merupakan konsekuensi dari
keinginan kita untuk bertahan lama di pentas bumi ini.
4.3.Upaya yang Harus Dilakukan untuk Menyikapi Rasa Takut dari
Kematian Menurut Komaruddin Hidayat Ditinjau dari Bimbingan dan
Konseling Islam
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992:
5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu
aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang
klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan
dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan
kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan dan konseling Islam dapat
dijadikan salah satu upaya untuk menyikapi rasa takut dari kematian.
Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak
mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau
yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa
kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang
dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang
bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi
siksa Allah (Shihab, 2002: 43).
Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling Islam
bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun
akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) konseling
Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari
kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditegaskan, konsep
Komaruddin Hidayat bermaksud agar manusia tidak merasa takut secara
berlebihan dalam menghadapi kematian. Apabila ditinjau dari bimbingan dan
konseling Islam bahwa bimbingan dan konseling Islam dapat memberi
bantuan kepada individu berupa nasihat agar individu yang bersangkutan
menerima suatu kenyataan bahwa kematian merupakan peristiwa yang pasti
terjadi dan manusia tak kuasa menolaknya. Bimbingan dan konseling Islam
dapat menjelaskan pada individu bahwa agar tidak ada rasa takut menghadapi
kematian maka individu harus beribadah sebagai bekal di akhirat. Selain itu
harus sering bertobat, beramal kebaikan dan menghindari setiap maksiat.
Bantuan ini dapat menenangkan individu dan keyakinan bahwa kematian tidak
harus ditakuti.
Bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya untuk
mengubah rasa takut terhadap kematian. Rasa takut dari kematian tidak lepas
dari kesalahan dan kekeliruan manusia dalam menghayati makna hidup, peran
dan fungsi hidup di dunia. Dari sini tampak rasa takut terhadap kematian
adalah sebagai akibat pelanggaran manusia terhadap petunjuk Allah Swt.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling Islam
bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun
akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) bimbingan dan
konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar
menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang
seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Melihat pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya
peristiwa rasa ketakutan manusia terhadap kematian dapat dijadikan masukan
dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor
sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika kematian yang harus
dihadapi dan dialami.
Bimbingan dan konseling Islam dapat mengupayakan agar seseorang
tidak takut menghadapi kematian, karena itu upaya mengubah rasa takut
terhadap kematian adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi bimbingan Islam,
yaitu
Secara garis besar atau secara umum tujuan bimbingan Islam itu dapat
dirumuskan sebagai membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Bimbingan sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui
dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan di sini adalah
orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang perorangan maupun
kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan
diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang
selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau
kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu,
makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya.
Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa
seperti yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain yang bersangkutan
berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya
kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang
menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak
merasa bahagia. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu
agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat.
Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Bimbingan berusaha membantu jangan sampai individu menghadapi
atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan
salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga
terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu
memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini
merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi
konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.(Musnamar, 1992: 33-
34)
Dengan memperhatikan tujuan umum dan khusus bimbingan Islam
tersebut, dapatlah dirumuskan fungsi (kelompok tugas atau kegiatan sejenis)
dari bimbingan itu sebagai berikut:
1. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya.
2. Fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan
masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.
3. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan
kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik
(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
4. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu
memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar
tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya
menjadi sebab munculnya masalah baginya (Rahim, 2001: 37-41).
Untuk mencapai tujuan seperti disebutkan di muka, dan sejalan
dengan fungsi-fungsi bimbingan Islam tersebut, maka bimbingan Islam
melakukan kegiatan yang dalam garis besarnya dapat disebutkan sebagai
berikut:
1. Membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami keadaan
dirinya sesuai dengan hakekatnya, atau memahami kembali keadaan
dirinya, sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak
mengenal atau tidak menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan Islam mengingatkan
kembali individu akan fitrahnya.
):(Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepadaagama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telahmenciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak adaperubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar Rum,30: 30).
Fitrah Allah dimaksudkan bahwa manusia itu membawa fitrah
ketauhidan, yakni mengetahui Allah SWT Yang Maha Esa, mengakui
dirinya sebagai ciptaan-Nya, yang harus tunduk dan patuh pada
ketentuan dan petunjuk-Nya. Manusia ciptaan Allah yang dibekali
berbagai hal dan kemampuan, termasuk naluri beragama tauhid (agama
Islam). Mengenal fitrah berarti sekaligus memahami dirinya yang
memiliki berbagai potensi dan kelemahan, memahami dirinya sebagai
makhluk Tuhan atau makhluk religius, makhluk individu, makhluk
sosial dan juga makhluk pengelola alam semesta atau makhluk
berbudaya. Dengan mengenal dirinya sendiri atau mengenal fitrahnya
itu individu akan lebih mudah mencegah timbulnya masalah,
memecahkan masalah, dan menjaga berbagai kemungkinan timbulnya
kembali masalah (Musnamar, 1992: 35).
2. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya,
segi-segi baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai
sesuatu yang memang telah ditetapkan Allah (nasib atau taqdir), tetapi
juga menyadari bahwa manusia diwajibkan untuk berikhtiar, kelemahan
yang ada pada dirinya bukan untuk terus menerus disesali, dan kekuatan
atau kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (Rahim, 2001:
39). Dalam satu kalimat singkat dapatlah dikatakan sebagai membantu
individu tawakal atau berserah diri kepada Allah. Dengan tawakal atau
berserah diri kepada Allah berarti meyakini bahwa nasib baik buruk
dirinya itu ada hikmahnya yang bisa jadi manusia tidak tahu.
...
):(
Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baikbagimu dan boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu,padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Baqarah, 2 :216).
):(Artinya: (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan
diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, makabaginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak adakekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) merekabersedih hati. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 112).
):(
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yangdapat mengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidakmemberi pertolongan), siapakah gerangan yang dapatmenolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena ituhendaklah kepada Allah sajalah orang-orang mukminbertawakkal. (Q.S. Ali lmran, 3 :160).
} {
) :-(Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh
sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal,yaitu yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya(Q..S. Al-Ankabut, 29: 58- 59).
3. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang
dihadapi saat ini. Kerap kali masalah yang dihadapi individu tidak
dipahami si individu itu sendiri, atau individu tidak merasakan atau
tidak menyadari bahwa dirinya sedang menghadapi masalah, tertimpa
masalah. Bimbingan dan konseling Islam membantu individu
merumuskan masalah yang dihadapinya dan membantunya
mendiagnosis masalah yang sedang dihadapinya itu. Masalah bisa
timbul dari bermacam faktor. Bimbingan dan konseling Islam
membantu individu melihat faktor-faktor penyebab timbulnya masalah
tersebut.
} {):-(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antaraisteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuhbagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, danjika kamu memaafkan dan tak memarahi sertamengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah MahaPengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnyahartamu, dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dandisisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S.At Tagabun,64:14-15).
) :(
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaankepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kudapilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulahkesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempatkembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran, 3 :14).
) :(Artinya: Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan. (Q.S. Al-Fajr.89:20).
Sumber masalah demikian banyaknya antara lain disebutkan dalam
firman-firman Tuhan tersebut, yakni tidak selaras antara dunia dan akhirat,
antara kebutuhan keduniaan dengan mental spiritual (ukhrawi). Dengan
memahami keadaan yang dihadapi dan memahami sumber masalah,
individu akan dapat lebih mudah mengatasi masalahnya (Rahim, 2001: 41).
Dalam konteksnya dengan penerapan bimbingan Islam dalam upaya
dakwah mengubah rasa takut terhadap kematian bahwa bimbingan Islam
sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian
atau definisinya. Berdasarkan hal itu maka bimbingan Islam mempunyai
fungsi preventif, kuratif atau korektif, preservatif dan developmental.
Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
konselor memberi nasihat atau petunjuk kepada konseli tentang peristiwa
kematian yang harus dihadapi dan tidak perlu takut. Bersamaan dengan itu
bimbingan Islam memiliki fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu
individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.
Masalah yang dipecahkan yaitu bisa saja berupa penerangan tentang
bagaimana agar aktivitas yang dilakukan konseli tidak menibimbulkan dosa,
maksiat dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Fungsi ini dapat membantu
individu menyadari akan kekeliruannya selama ini sehingga individu bisa
menginsyafi kesalahannya. Karena itu bimbingan Islam mempunyai fungsi
preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang
semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan
kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
Bimbingan yang telah diberikan menunjukkan fungsi developmental
atau pengembangan; yakni membantu individu memelihara dan
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau
menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab
munculnya masalah baginya. Hal ini berarti individu yang sudah menyadari
arti pentingnya alam sesudah kematian akan mendorong untuk beramal
saleh.
Melihat pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa konsep
Komaruddin Hidayat dapat dijadikan masukan dalam mengembangkan
bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi
solusi terhadap problematika yang sedang dihadapi dan dialami para konseli
atau klien. Sehubungan dengan itu, menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling
dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan
pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal
bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal
pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi
problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri
yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Ralph Linton (1978: 78) dalam bukunya The Study of Man menyatakan
bahwa "all man are born equal" (seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan
sama) bersamaan dengan itu, manusia pasti mengalami kematian. Sesuatu hal
yang tidak bisa dihindari manusia adalah kematian. Berdasarkan hal itu maka
Imam al-Ghazali (1969: 230) dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan
bahwa kematian adalah sebuah proses pendahuluan dimana manusia harus
mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya. Bagi yang amalnya
baik tentu saja menjemput kematian merupakan sesuatu hal yang diterima
secara ikhlas, namun bagi manusia yang selalu berbuat dosa tanpa melakukan
tobat akan mengalami kesengsaraan yang sulit digambarkan dalam pandangan
duniawi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab satu sampai dengan bab empat
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian
dapat ditegaskan bahwa apabila memperhatikan pendapat Komaruddin
Hidayat, maka tampaknya konsep yang dikemukakannya dapat
membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi
kematian, tetapi juga berbicara tentang sedikit rahasianya, dan yang
lebih penting lagi menuntut umat manusia menjemput maut dengan
hati yang tenang. Konsep Komaruddin Hidayat telah meruntuhkan
bayang-bayang kematian yang amat menakutkan itu. Ternyata, seperti
dijelaskan Komaruddin Hidayat ini, kematian adalah sesuatu yang
indah. Menyelami lautan hakikatnya hidup manusia semakin optimis.
5.1.2. Menurut Komaruddin Hidayat, kematian harus disikapi secara ideal.
Menurutnya bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu
merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama
sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan
duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhan yang
selalu dicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalanan
manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian.
Unggas (seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecuali
dengan meninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelum
menetas. Hidup duniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematian adalah
tangga menuju keabadian, menuju hidup yang tanpa mati
5.1.3. Konsep Komaruddin Hidayat dapat dijadikan masukan dalam
mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor
sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika yang sedang
dihadapi dan dialami para konseli atau klien. Sehubungan dengan itu,
menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu
aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada
individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana
seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal
pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat
menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik
dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah Rasulullah SAW. Solusinya ditinjau dari fungsi bimbingan
yang bersifat preventif yaitu bimbingan dan konseling Islam
hendaknya dapat menjelaskan tentang apa arti hidup, dan hendak
kemana akhir kehidupan manusia. Selain itu perlu pula dijelaskan
tentang hakikat makna kematian yaitu bahwa setiap manusia pasti akan
mengalami kematian. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak bisa
ditolak. Atas dasar itu perlu bagi manusia mengadakan pembersihan
diri dari semua dosa. Diosa yang dimaksud bisa kecil maupun dosa
besar, nmelalui pembersihan diri maka manusia tidak lagi ada rasa
takut dengan kematian.
5.2 Saran-saran
Dengan memperhatikan konsep Komaruddin Hidayat tentang problem
rasa takut terhadap kematian dan solusinya, maka hendaknya konsep
Komaruddin Hidayat dikaji dan dikembangkan lebih jauh karena relevan
dengan perkembangan manusia saat ini yang makin memerlukan bimbingan
rohani menuju tercapainya manusia sempurna agar dapat mengembangkan
potensi insaniahnya secara harmonis.
5.3 Penutup
Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah
Swt yang dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis hingga
dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat
disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi
materinya jauh dari kata sempurna.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran. 2002. Konseling dan Psikoterapi IslamPenerapan Metode Sufistik, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Ahmadi, Abu dan Ahmad Rohani. 1991. Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Ghazali, Imam. 2000. 40 Prinsip Dasar Agama. Jakarta: Pustaka Amani.
Ali, Maulana Muhammad, 1977. Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT IchtiarBaru Van Hoeve.
Arifin, Bey. 1998. Hidup Sebelum Mati. Jakarta: Kinanda.
Arifin. 1978. Pokok-Pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama(di Sekolah dan Luar Sekolah), Jakarta: Bulan Bintang
-------. 1994. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama. Cet 5,Jakarta: PT.Golden Trayon Press.
-------. 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara
Arkoun, Mohammad, 1996. Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI bekerjasamadengan Pustaka Pelajar.
Asy'arie, Musa. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta:LESFI.
Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2000. Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia.
Faqih, Aunur Rahim. 2002. Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Yogyakarta:UII Press.
Gazalba, Sidi. 1972. Maut Batas Kebudayaan dan Agama. Indonesia: Tintamas.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Press,
Hidayat, Komaruddin. 2006. Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan MenjadiOptimisme, Jakarta: Mizan Publika.
Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
-------. 1996. Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT Raja GravindoPersada.
Moelong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya.
Musnamar, Thohari, (eds), 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Bimbingandan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press.
Muthahhari, Murtadha. 1981. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Terj.Agus Efendi, Bandung: Mizan anggota IKAPI.
Natawidjaja, Rochman. 1972. Bimbingan Pendidikan dalam SekolahPembangunan. Semarang: IKIP Semarang.
Prayitno, Erman Amti, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: PTRineka Cipta.
Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Memaknai Kematian. Jakarta: Pustaka Iman.
Shihab, Quraish. 2002. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt.Jakarta: Lentera Hati.
Syarif, Adnan. 2002. Psikologi Qurani, Bandung: Pustaka Hidayah.
Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al Ikhlas
Usman, Ali. 1970. Manusia Menurut Islam Melalui Empat Alam, Bandung:DUA.R
Walgito, Bimo, 1989, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: AndiOffset
Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: CVAlfabeta.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1986. Al-Qur'an danTerjemahnya. Jakarta: Depaq RI.