116
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada 27 th United Nations General Assembly Special Session negara- negara peserta menegaskan kembali dan mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai “A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, dokumen tersebut juga berisi hasil telaah terhadap kemajuan yang telah dicapai dan rencana aksi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sebagai pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC tahun 2001, setiap negara yang terlibat dan meratifikasinya perlu menyusun suatu program nasional bagi anak. Dokumen tentang program nasional tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada 4 bidang pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2001, yaitu promosi hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap perlakuan salah (abuse), eksploitasi, dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS). Dokumen ini berisi tentang Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI), yang mencakup keempat bidang tersebut, dan dengan masa pelaksanaan hingga tahun 2015. 1.2 LANDASAN PNBAI 2015 dikembangkan berlandaskan pada beberapa prinsip dan kebijakan yang telah dikembangkan sebelumnya. Pertama-tama, program ini dikembangkan dengan berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b dan 28c. 1

Profil Kesehatan Anak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Profil Kesehatan Anak

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada 27th United Nations General Assembly Special Session negara-negara peserta menegaskan kembali dan mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai “A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, dokumen tersebut juga berisi hasil telaah terhadap kemajuan yang telah dicapai dan rencana aksi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Sebagai pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC tahun 2001, setiap negara yang terlibat dan meratifikasinya perlu menyusun suatu program nasional bagi anak. Dokumen tentang program nasional tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada 4 bidang pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2001, yaitu promosi hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap perlakuan salah (abuse), eksploitasi, dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS). Dokumen ini berisi tentang Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI), yang mencakup keempat bidang tersebut, dan dengan masa pelaksanaan hingga tahun 2015.

1.2 LANDASAN

PNBAI 2015 dikembangkan berlandaskan pada beberapa prinsip dan kebijakan yang telah dikembangkan sebelumnya. Pertama-tama, program ini dikembangkan dengan berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b dan 28c.

Landasan kedua adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Undang-undang tersebut menegaskan hak-hak anak untuk memiliki tingkat kesehatan yang optimal, memperoleh pendidikan dan mendapatkan perlindungan. Ditegaskan pula tanggung jawab dan kewajiban orang tua dan/atau wali/pengasuh anak, keluarga, pemerintah dan masyarakat dalam pemenuhan hak-hak anak tersebut.

Penyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi Hak-hak Anak menekankan beberapa prinsip dasar dalam pemenuhan hak-hak anak, yaitu: non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Millenium Development Goals (MDG) merupakan salah satu rujukan dalam mengembangkan PNBAI. MDG menetapkan 8 tujuan utama, yaitu:

1

Page 2: Profil Kesehatan Anak

eradikasi kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan; penyelenggaraan pendidikan primer secara universal; promosi kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; penurunan kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain; pemastian kesinambungan lingkungan; dan pengembangan kemitraan global untuk pembangunan

Dalam deklarasi yang dicanangkan pada tahun 2001, WFC menekankan beberapa prinsip yang mendasari gerakan global untuk menciptakan dunia yang aman bagi anak. Prinsip-prinsip yang juga menjiwai PNBAI adalah: Mengutamakan (kepentingan) anak-anak (put the children first). Membasmi kemiskinan, berinvestasi untuk (kepentingan) anak-anak (eradicate

poverty: invest in children). Tidak seorang anak pun boleh ditinggalkan dan/atau tertinggal (leave no child

behind). Memberikan perhatian dan pengasuhan bagi semua anak (care for every child). Memberikan pendidikan bagi semua anak (educate every child). Melindungi anak-anak dari segala bahaya dan eksploitasi (protect children from

harm and exploitation). Melindungi anak-anak dari peperangan (protect children from war). Memberantas HIV/AIDS (combat HIV/AIDS). Mendengarkan anak-anak dan pastikan partisipasi mereka (listen to children and

ensure their participation). Melindungi bumi (sumberdaya alam) untuk (kepentingan) anak-anak (protect the

earth for children).

1.3 PRINSIP-PRINSIP DASAR

Batasan UsiaBerdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Anak Sebagai Modal DasarHasil Sensus Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa proporsi jumlah anak dan remaja berusia 0-14 tahun mencapai hampir 30 persen dari jumlah total penduduk, dan dengan menambahkan jumlah anak yang berusia antara 15-18, jumlah anak secara keseluruhan lebih dari 1/3 jumlah total penduduk Indonesia. Anak merupakan tumpuan masa depan bangsa. Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga kelak di kemudian hari mampu berkontribusi maksimal bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Di lain pihak, karena masih berusia muda, anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah, seperti kesehatan, pendidikan, hukum, ketenagakerjaan, dan lain-lain.

Penghapusan Ketidakadilan dan Pemenuhan HakKetidakadilan adalah salah satu faktor yang menghambat pencapaian pertumbuhan

2

Page 3: Profil Kesehatan Anak

dan perkembangan anak. Konvensi Hak-hak Anak dan berbagai instrumen internasional mengenai hak-hak asasi manusia telah menekankan perlunya dilakukan tiga pendekatan pokok dalam penghapusan ketidakadilan dan pemenuhan hak, yaitu: mengurangi dampak kemiskinan terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan

anak; mengurangi ketidaksetaraan gender dan mengurangi dampaknya terhadap

kelangsungan hidup dan perkembangan anak; dan menghapus diskriminasi.

3

Page 4: Profil Kesehatan Anak

BAB IIANALISIS SITUASI

2.1 KESEHATAN ANAK

Data terakhir yang diperoleh dari Susenas 2001 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 202.707.418 jiwa, dengan rasio laki-laki/perempuan yang hampir seimbang (1,003). Anak umur 0-4 tahun mencapai 5,8 persen dari total penduduk Indonesia, sedangkan anak umur sekolah 5-14 tahun mencapai 20,76 persen. Dengan proporsi penduduk berumur lebih dari 65 tahun sebesar 4,6 persen, komposisi ini menghasilkan angka beban tanggungan (dependency ratio) sebesar 52,44. Data kependudukan menunjukkan bahwa angka beban tanggungan dari tahun 1996 relatif tidak berubah banyak.

Walaupun proporsi anak umur 0-19 tahun dari seluruh penduduk Indonesia sejak tahun 1996 relatif tetap, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia jumlah anak Indonesia umur 0-19 tahun dari tahun 1996-2002 juga terus meningkat. Hal ini berarti bahwa populasi anak Indonesia yang harus diperhatikan dan diperjuangkan kesejahteraannya terus meningkat. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.

A. Kematian, Kesakitan, dan KecacatanSebagai indikator tingkat kesehatan anak, Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita telah mencapai perbaikan yang berarti, setidaknya sampai sebelum Indonesia ditimpa krisis multi-dimensi pada tahun 1997. AKB telah turun dari 68 per 1000 kelahiran hidup pada awal tahun 1990-an menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup pada pertengahan dekade (1992-1997). Begitu juga dengan Angka Kematian Balita, yang telah turun dari 97 menjadi 58 pada periode yang sama.

Di samping kemajuan yang cukup bermakna tersebut, tingkat kematian bayi dan balita di Indonesia masih yang tertinggi di antara negara-negara anggota Association of South-East Asian Nations (ASEAN). Masalah lain timbul dari besarnya variasi antarpropinsi, serta relatif besarnya perbedaan tingkat kematian antara daerah perkotaan dan pedesaan.

4

Page 5: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.1AKB, AKA, dan AKBA di Indonesia Menurut Tempat Tinggal

Hasil SUSENAS 1995, 1998 dan 2001Tempat tinggal SUSENAS 1995 SUSENAS 1998 SUSENAS 2001

Angka Kematian BayiPerkotaanPedesaanKota + Desa

456660

355449

395951

Angka Kematian AnakPerkotaanPedesaanKota + Desa

132622

81915

102117

Angka Kematian BalitaPerkotaanPedesaanKota + Desa

589081

427465

497868

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, 2002. Laporan Data SUSENAS 2001

Menurut Susenas 2001 penyebab utama kematian bayi kurang dari 1 tahun adalah kematian perinatal (36 persen), diikuti oleh pneumonia (28 persen), diare (9 persen), penyakit saluran cerna (4 persen), tetanus (3 persen), dan penyakit syaraf (3 persen).

Grafik-1: Penyebab utama kematian bayi kurang dari 1 tahun (Susenas 2001)

Lima penyebab kematian utama pada bayi baru lahir umur 0-28 hari adalah prematuritas disertai berat lahir rendah (29,2 persen), asfiksia lahir (27 persen), tetanus neonatorum (9,5 persen), masalah pemberian makan (9,5 persen), dan kelainan kongenital (7,3 persen). Sumber yang sama menunjukkan bahwa penyebab utama kematian balita usia 1-4 tahun adalah pneumonia (23 persen), diare (13 persen), penyakit syaraf (12 persen), tifus (11 persen) dan penyakit saluran cerna (6 persen). Keberhasilan program imunisasi telah menurunkan mortalitas akibat difteri, pertusis, dan campak dengan cukup tajam, yaitu dari 52,6 (SKRT 1996) menjadi 1,4 per 1000 penduduk (SKRT/Susenas 2001). Penyebab kematian anak umur 5-14 tahun adalah tifus (15 persen), kecelakaan (13 persen), neoplasma (11 persen), penyakit saluran cerna (9 persen), dan diare dan penyakit saluran nafas (masing-masing 8 persen). Sedangkan untuk anak umur lebih dari 15 tahun penyebab utama kematian adalah kecelakaan, tuberkulosis, dan komplikasi maternal (pada remaja perempuan).

5

Page 6: Profil Kesehatan Anak

Menurut SDKI 1997 prevalensi diare masih sekitar 10 persen, dan prevalensi pertusis sekitar 9 persen. Hasil Susenas 1998 menunjukkan bahwa lebih dari 1 persen bayi dan balita menderita campak dalam periode sebulan sebelum saat pengumpulan data dilakukan. Hasil menggembirakan dicapai dalam upaya eradikasi polio, karena sejak 1996 tidak lagi ditemukan kasus baru.

Angka kesakitan untuk penyakit campak pada anak umur kurang dari 1 tahun, 1-4 tahun dan 5-14 tahun mengalami penurunan yang bermakna yaitu berturut-turut dari 20,5 menjadi 9 per 10.000 penduduk, dari 18,4 menjadi 7,4 dan dari 8,4 menjadi 3,4. Demikian pula terjadi penurunan yang bermakna pada angka kesakitan untuk penyakit difteri dan pertusis.

Data terakhir yang diperoleh dari Susenas 2001 menunjukkan bahwa 49,1 persen bayi umur kurang dari 1 tahun (49,0 persen bayi laki-laki, 49,2 persen bayi perempuan), dan 54,8 persen balita umur 1-4 tahun (55,7 persen balita laki-laki, 54,0 persen balita perempuan) mengeluh sakit dalam sebulan terakhir sebelum saat pengumpulan data (kunjungan) dilakukan. Di antara anak umur 0-4 tahun tersebut ditemukan prevalensi panas sebesar 33,4 persen, batuk 28,7 persen, batuk dan nafas cepat 17,0 persen dan diare 11,4 persen. Prevalensi gejala-gejala penyakit tersebut di perkotaan dan pedesaan tidak terlalu berbeda.

Menurut SKRT 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun relatif sama. Penyakit yang paling sering terjadi adalah anemia (52,8 persen pada anak laki-laki, 49,2 persen pada anak perempuan), diikuti dengan penyakit periodontal (30,2 persen pada anak laki-laki, 33,6 persen pada anak perempuan), infeksi akut saluran nafas atas (29,2 persen pada anak laki-laki, 29,6 persen pada anak perempuan), gangguan telinga luar (23,3 persen pada anak laki-laki, 22,7 persen pada anak perempuan), dan tonsilitis kronik (10,5 persen pada anak laki-laki, 13,7 persen pada anak perempuan).

Menurut Susenas 2001 pada bayi umur kurang dari 1 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh 29,9 persen dan kelainan struktur organ 2,5 persen. Pada anak umur 1-4 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh adalah 31,6 persen dan kelainan struktur organ 3,3 persen. Pada anak umur 5-14 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh adalah 24,2 persen, kelainan struktur organ 3,6 persen dan kecacatan partisipasi dan aktivitas 9,6 persen. Secara keseluruhan 29,9 persen bayi umur kurang dari 1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4 tahun dan 30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis kecacatan atau lebih.

Jenis kecacatan fungsi tubuh yang paling banyak diderita anak-anak adalah kecacatan fungsi pencernaan, metabolisme dan endokrin dan fungsi kardiovaskuler, hematologi, imunologi dan pernafasan. Jenis kelainan struktur organ yang terbanyak diderita anak-anak adalah kelainan mata dan telinga. Sedangkan jenis kecacatan partisipasi dan aktivitas yang paling banyak diderita anak umur 5-14 tahun adalah kecacatan belajar dan menerapkan pengetahuan, dan kecacatan komunikasi.

Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data Susenas 2001 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan

6

Page 7: Profil Kesehatan Anak

yang berarti, malah cenderung stagnant. Dari hasil survai tahun 2001 tersebut diketahui bahwa penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan termasuk abortus (34,4 persen), diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari 4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1999. Case fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5 persen (1996) dan 0,8 persen (1999).

B. Status Gizi Dari berbagai sumber data yang tersedia dari tahun 1986 sampai 1999 prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR) berkisar antara 7-16 persen. Jika diperkirakan proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5 persen dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi dilahirkan dengan kondisi BBLR.

Data terakhir menurut SKRT 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pendek pada balita mencapai 34,3 persen dan pada anak usia sekolah 5-9 tahun sebesar 36 persen. Prevalensi kurus pada balita 16 persen, dan pada anak usia sekolah 0,5 persen. Prevalensi balita dengan gizi kurang/gizi buruk (underweight) 31 persen. Data ini menunjukkan adanya penurunan prevalensi gizi kurang dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1989. Namun demikian ditinjau dari jumlah penduduk dan proporsi balita, jumlah balita dengan gizi buruk pada tahun 2002 dapat dikatakan lebih tinggi daripada tahun 1989.

Selain itu, terlihat pula bahwa jumlah dan proporsi balita dengan gizi buruk cenderung meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2002. Hasil Susenas 2001 juga menunjukkan bahwa status gizi balita di desa lebih rendah daripada di kota, dan status gizi balita di Kawasan Timur Indonesia lebih rendah daripada di kawasan lain. Data ini menunjukkan bahwa secara umum krisis multi-dimensi di Indonesia juga menimbulkan dampak negatif terhadap status gizi balita.

Masalah gizi lain yang cukup penting adalah adalah defisiensi gizi mikro. Meskipun Indonesia sudah dinyatakan bebas dari xeroftalmia pada tahun 1992, balita di Indonesia berisiko untuk kembali mengalami xeroftalmia. Hal ini disebabkan proporsi balita dengan serum retinol <20g/100mL masih tinggi. Selain itu kebiasaan balita mengkonsumsi sayur dan buah berwarna masih belum membudaya.

Prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak usia sekolah telah menurun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 11,1 persen pada tahun 2003. Informasi untuk prevalensi anemia sangat terbatas. SKRT 1995 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 50,9 persen, prevalensi ini menurun menjadi 40,1 persen pada tahun 2001 (SKRT 2001). Anemia pada balita tahun 1995 (SKRT) adalah 35,7 persen pada laki-laki dan 45,2 persen pada perempuan. Prevalensi ini meningkat menurut SKRT 2001 yaitu menjadi 48,1 persen. Prevalensi anemia pada wanita usia subur 15-44 tahun menurun dari 39,5 persen (SKRT 1995) menjadi 27,9 persen (SKRT 2001).

Berdasarkan Susenas 1999 s/d 2003 yang melakukan pengukuran lingkar lengan atas, diketahui prevalensi resiko kurang energi kronis pada wanita usia 15-19 tahun adalah

7

Page 8: Profil Kesehatan Anak

41 persen pada tahun 1999 dan 35,1 persen pada tahun 2003. Menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) data Helen Keller Indonesia (HKI) di 9 propinsi menunjukkan prevalensi kurang pada wanita usia 15-19 tahun adalah 22,6 persen tahun 1999 dan 21,9 persen tahun 2001.

C. Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hidup SehatMenurut hasil Susenas 1998 cakupan air bersih mencapai 73 persen dan kepemilikan jamban saniter (jamban leher angsa) 38,9 persen. Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap sumber air bersih yang terlindung dalam kurun waktu 3 tahun tidak banyak berubah, yaitu hanya meningkat menjadi 75 persen (83 persen di Jawa-Bali, 59 persen di Sumatera, dan 60 persen di Kawasan Timur Indonesia), sementara penggunaan jamban saniter meningkat menjadi 61,6 persen.

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah pemberian ASI saja sampai bayi berumur 4-6 bulan. Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 65,1 persen (Susenas 1998) menjadi 49,2 persen (Susenas 2001). Sekitar 86 persen ibu menyusui bayinya sampai berumur 12-15 bulan, dan sekitar 66 persen menyusui sampai berumur 22-23 bulan. Proporsi bayi mendapatkan ASI eksklusif di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali dan Sumatera.

Susenas 2000 menunjukkan bahwa di antara penduduk yang mempunyai keluhan sakit hanya 36,6 persen yang berobat jalan ke sarana pelayanan kesehatan, sebesar 27,8 persen berobat ke Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, 30,55 persen ke dokter praktek, 14,54 persen ke rumah sakit, 14,37 persen ke petugas kesehatan lain, serta 3,5 persen ke dukun/tabib/sinshe. Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan terakhir ada sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Kondisi ini lebih rendah dari Susenas 1998 yang mencapai 62,2 persen. Di antara yang mengobati sendiri sekitar 85,2 persen menggunakan obat modern, 28,7 persen menggunakan obat tradisional, dan 8,5 persen menggunakan cara lainnya. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir 2 kali lipat, di mana pada tahun 1998 hanya mencapai 15 persen.

Posyandu adalah Pos Pelayanan Terpadu yang diselenggarakan oleh masyarakat di tingkat desa. Hasil Survai Potensi Desa (PODES) tahun 2000 menunjukkan bahwa 92 persen desa telah memiliki Posyandu. Di antara desa yang tidak memiliki Posyandu, 50 persen menyatakan mudah menjangkau Posyandu (di desa lain). Berdasarkan data tersebut secara keseluruhan 96 persen desa secara fisik memiliki aksesibilitas ke Posyandu relatif mudah. Namun demikian pemanfaatan Posyandu oleh balita belum seperti yang diharapkan. Pada Susenas 2001 ditemukan bahwa 40 persen balita dilaporkan dibawa ke Posyandu dalam 1 bulan terakhir dan sekitar 28 persen balita tidak pernah dibawa mengunjungi ke Posyandu. Jika ditinjau dari kelompok umurnya, yang terbanyak memanfaatkan Posyandu adalah bayi 0-11 bulan. Selanjutnya proporsi tersebut menurun seiring dengan meningkatnya umur anak. Fakta ini menunjukkan bahwa walaupun lebih dari 90 persen desa memiliki akses yang mudah ke Posyandu hanya 40 persen balita yang memanfaatkan pelayanan Posyandu.Di perkotaan lebih banyak yang tidak memanfaatkan Posyandu dibandingkan di pedesaan (30,6 persen vs. 25,7 persen).

Hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja (15-24 tahun) Indonesia tahun 2002-2003

8

Page 9: Profil Kesehatan Anak

menunjukkan bahwa 2,6 persen remaja perempuan dan 33,7 persen remaja laki-laki telah mencoba minuman beralkohol. Sedangkan untuk narkotik, zat adiksi dan psikotropika lainnya, survai ini menunjukkan bahwa 0,2 persen remaja perempuan dan 0,8 persen remaja laki-laki telah mencoba menggunakannya.

Kebudayaan merokok di Indonesia telah merambah segala kelompok usia, mulai dari anak-anak sampai usia lanjut. Di masyarakat banyak ditemui remaja belia yang menjadi pecandu rokok, dan sulit bagi mereka terlepas dari kebiasaan merokok. Di kalangan penduduk berusia di atas 10 tahun, 27,7 persen menyatakan merokok, dan 68 persen menyatakan bahwa mereka mulai merokok di bawah usia 20 tahun.

D. Pelayanan KesehatanDalam upaya meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan sampai dengan tahun 2000 telah dibangun sarana kesehatan berupa 7.277 Puskesmas (1.818 dengan rawat inap), 21.587 Puskesmas Pembantu, 5.084 Puskesmas Keliling, 935 rumah sakit umum (milik pemerintah, swasta, dan TNI) disertai penempatan tenaga kesehatan di berbagai sarana tersebut dan 54.120 bidan di desa. Namun demikian penampilan dan mutu pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan ibu dan anak, masih belum optimal. Lemahnya manajemen, belum mantapnya pelayanan rujukan dan kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional menyebabkan mutu pelayanan belum mencapai yang diharapkan. Selain itu penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Meskipun angka rata-rata kunjungan per hari di Puskesmas pada tahun 1996 sudah cukup tinggi (108 kunjungan per Puskesmas per hari), namun tidak sedikit Puskesmas yang kunjungan rata-ratanya per hari <10 orang.

Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas digalakkan sejak tahun 1994. Peningkatan mutu tersebut diarahkan pada upaya pelayanan kesehatan dasar yang memiliki daya ungkit besar dalam menurunkan AKB, AKI, dan tingkat morbiditas penyakit-penyakit utama sebagaimana diuraikan sebelumnya, yaitu pelayanan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, penanggulangan ISPA, pemberantasan diare, malaria, tuberkulosis paru dan vektor demam berdarah, penyuluhan kesehatan, dan upaya kesehatan sekolah.

Capaian pelayanan kesehatan ibu menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000 adalah sebagai berikut, cakupan K1 (pelayanan antenatal yang pertama kali) 79,56 persen dengan kisaran antara 50,4 persen (Propinsi Papua) dan 96,69 persen (Propinsi Bali). Cakupan K4 (pelayanan antenatal 4 kali) 66,03 persen dengan kisaran antara 35,6 persen (Propinsi Papua) dan 88,59 persen (Propinsi Bali).

Data Susenas 2001 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami peningkatan. Sebanyak 58,9 persen persalinan, penolong pertamanya adalah tenaga kesehatan (terdiri dari 8,4 persen dokter, 49,7 persen bidan dan 0,8 persen paramedis lain) dan 64 persen penolong terakhirnya adalah tenaga kesehatan (9,1 persen dokter, 53,8 persen bidan dan 1,1 persen paramedis lain). Pada Susenas 1998 sekitar 51,9 persen persalinan penolong terakhirnya adalah tenaga kesehatan, terdiri dari 8,3 persen dokter, 42,2 persen bidan dan 1,4 persen paramedis lain.

Pada Susenas 2001 cakupan KB Aktif menurun dari 55,4 persen (1998) menjadi 53,8 persen. Metode kontrasepsi yang dipergunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah suntik 25,8 persen, pil 13,4 persen, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) 6,4

9

Page 10: Profil Kesehatan Anak

persen dan susuk 4,8 persen.

Capaian pelayanan kesehatan anak adalah sebagai berikut: neonatal (bayi <1 bulan) adalah 64,08 persen dengan kisaran antara 35,89 persen (Propinsi Papua) dan 94,99 persen (Propinsi Bali). Data yang tersedia dari pencatatan program imunisasi pada tahun 2001 menunjukkan cakupan Hepatitis B-1 pada bayi umur 0-7 hari 3 persen, dan Hepatitis B-3 67,1 persen. Cakupan imunisasi BCG pada bayi 0-11 bulan mencapai 96,8 persen, DPT-3 90,6 persen, Polio-4 90,4 persen, campak 89,9 persen. Cakupan imunisasi DT pada murid kelas 1 SD mencapai 95 persen, imunisasi TT pada murid kelas 2-6 SD sebesar 94,6 persen, dan cakupan imunisasi TT lengkap (TT-2) pada ibu hamil mencapai 71,9 persen.

Capaian pelayanan gizi menurut Susenas 2001 adalah sebagai berikut: cakupan pemberian 90 tablet besi pada ibu hamil mencapai 61,2 persen. Cakupan pemberian kapsul yodium mencapai 44,5 persen pada ibu hamil, 55,4 persen pada ibu nifas, dan 83,3 persen pada anak SD. Pemberian vitamin A mencakup 55,75 persen bayi, 67,8 persen anak balita dan 40,27 persen ibu nifas.

Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1998 merupakan salah satu upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap derajat kesehatan anak-anak dari keluarga miskin. Sebanyak 12.985.128 keluarga miskin (gakin) dari 13.997.030 sasaran gakin telah memiliki Kartu Sehat (KS) dan sebanyak 6.815.501 gakin (48,7 persen) telah memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Sejauh ini bentuk pelayanan kesehatan bagi gakin difokuskan pada pelayanan kesehatan ibu (yaitu pelayanan kebidanan dasar, pertolongan persalinan dan pelayanan nifas) dan PMT Pemulihan pada anak umur 6-23 bulan dan ibu hamil dengan KEK.

Capaian JPS-BK sampai dengan bulan Desember 2002 dari 884.071 ibu hamil (bumil) gakin, cakupan pelayanan antenatal mencapai 83,4 persen, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 72,2 persen, dan cakupan pelayanan ibu nifas 80,1 persen. Sebanyak 9,6 persen bumil gakin telah menerima pelayanan rujukan baik ke Puskesmas perawatan maupun ke rumah sakit.

Dari sasaran 135.498 bayi gakin berumur 6-11 bulan yang memperoleh Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan sebanyak 40,2 persen, dan dari 240.382 anak gakin berumur 12-23 bulan sebanyak 38,7 persen mendapat PMT Pemulihan. Dari 30.220 ibu hamil (bumil) dengan kekurangan energi kronik (KEK), yang memperoleh PMT Pemulihan adalah 56,2 persen. PMT Penyuluhan diberikan kepada 39,8 persen dari 413.375 anak berusia 24-59 bulan.

E. Pemberdayaan KeluargaPembangunan kesehatan juga dilaksanakan melalui pemberdayaan keluarga. Terkait dengan pelayanan kesehatan anak telah didirikan berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat, antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang mengintegrasikan 5 program, yaitu: (1) pemantauan pertumbuhan anak dan upaya perbaikan gizi; (2) pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pemantauan perkembangan anak; (3) pelayanan keluarga berencana; (4) imunisasi; dan (5) penanggulangan diare.

10

Page 11: Profil Kesehatan Anak

Sejalan dengan program pemerintah penempatan bidan di desa, masyarakat desa berpartisipasi dalam penyediaan dan pengembangan Pondok Bersalin Desa (Polindes). Adanya Polindes menyebabkan masyarakat memiliki aksesibilitas yang lebih baik terhadap pelayanan kebidanan dasar, persalinan, pelayanan ibu nifas, serta pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak pra-sekolah. Sampai saat ini telah didirikan 33.083 Polindes.

Untuk mempercepat tercapainya visi Indonesia Sehat 2010 pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pula dalam bentuk berbagai gerakan, misalnya Gerakan Sayang Ibu (GSI), Gerakan Anti Madat, Gerakan Peningkatan Penggunaan ASI, Gerakan Pita Putih (Safe Motherhood), Gerakan Pita Merah (HIV/AIDS), Rumah Sakit Sayang Bayi, Gebrak Malaria, Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis (Gerdunas TB), dan sebagainya.

2.2 PENDIDIKAN ANAK

Mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia dan hak ini dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945, seperti yang tertuang dalam pasal 28c ayat 2 “Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Selain itu, pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan manusia yang berkualitas, sehingga pemerintah harus memberikan perhatian penuh terhadap isu pendidikan anak.

Saat ini kondisi pendidikan terutama pendidikan anak masih belum memadai. Tingkat buta huruf terkecil terdapat di Propinsi DKI Jakarta (2 persen) berikutnya di Sulawesi Utara (3 persen), sedangkan yang tertinggi terdapat di Propinsi Papua (29 persen) berikutnya di Nusa Tenggara Barat (27 persen). Proses belajar mengajar yang dilakukan untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun menunjukkan lama pendidikan yang tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (9,7 tahun) berikutnya di D.I. Yogyakarta (7,9 tahun), sedangkan yang terendah di Propinsi Nusa Tenggara Barat (5,2 tahun) berikutnya di Papua dan Kalimantan Barat (5,6 tahun)

11

Page 12: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.2: Rata-rata indeks tingkat melek huruf dan lama pendidikan penduduk di beberapa propinsi di Indonesia (tahun 1999)

No Propinsi Melek huruf dewasa (%)

Rata-rata lama pendidikan

(tahun)1234567891011121314151617181920212223242526

JakartaYogyakartaKalimantan TimurRiauMalukuSulawesi UtaraKalimantan TengahSumatera UtaraSumatera BaratBaliJambiAcehBengkuluJawa TengahJawa BaratSumatera SelatanSulawesi SelatanLampungSulawesi TenggaraSulawesi TengahKalimantan SelatanJawa TimurKalimantan BaratNusa Tenggara TimurPapua (Irian Jaya)Nusa Tenggara Barat

9885949696979596958394939385929383928793938183817173

9.77.97.87.37.67.67.18.07.46.86.87.27.06.06.86.66.56.46.87.06.65.95.65.75.65.2

Sumber: UNDP, Bappenas dan BPS 2001

Pada tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa tingkat buta huruf terendah terdapat di Kota Jakarta Selatan (2,3 persen) berikutnya di Bengkalis (4,5 persen) dan yang tertinggi terdapat di Kab. Jaya Wijaya (64 persen) berikutnya di Sampang (45,1 persen).

Tabel 2.3: Rata-rata indeks pembangunan manusia di beberapa kab/kota di Indonesia (1999)

No. Kab/Kota Melek huruf dewasa (%) Rata-rata lama pendidikan (tahun) HDI Rank

12345678910

Jakarta SelatanSurakartaLuwuBengkalisBekasiMaluku TenggaraOgan Komering UluLombok TengahJaya WijayaSampang

97,792,992,095,587,696,391,564,436,054,9

10.08,87,17,06,86,76,24,32,62,5

1225674131132134287291292

Sumber: UNDP, Bappenas dan BPS 2001

A. Pendidikan Anak Usia Dini

Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah diatur Pendidikan Anak Usia Dini. Bab I, pasal 1, butir 14 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

12

Page 13: Profil Kesehatan Anak

Selanjutnya Pasal 28 mencantumkan bahwa: (1) pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal; (3) pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Pada tahun 2001 ditemukan bahwa dari sekitar 26,2 juta anak usia 0-6 tahun baru sekitar 7,3 juta anak (28 persen), yang telah memperoleh layanan pendidikan usia dini melalui berbagai program (Departemen Pendidikan Nasional, 2001). Dengan demikian masih ada 18,825,523 anak yang belum memperoleh layanan pendidikan usia dini dari berbagai layanan yang ada. Sedangkan khusus untuk kelompok anak usia 4-6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8 persen) anak yang belum terlayani oleh program pendidikan pra-sekolah. Jika dilihat potensi yang ada saat ini terdapat 244.567 BKB/Posyandu yang dapat mengintegrasikan pelaksanaan program pendidikan usia dini. Jika semua BKB/Posyandu tersebut dapat difungsikan secara optimal di dalam memberikan pelayanan pendidikan anak usia dini, maka diharapkan akan mampu menjangkau sebanyak 12 juta anak (45 persen) atau rata-rata 50 orang anak usia 0-6 tahun untuk setiap BKB/Posyandu.

Di antara program tersebut, hanya BKB yang tidak memberikan layanan langsung kepada anak melainkan kepada orang tua atau pengasuhnya sehingga sulit melacak berapa jumlah anak yang sudah terlayani. Berdasarkan data BKKBN tahun 2001, dari 244.567 kelompok BKB diperkirakan jumlah anak usia dini yang memperoleh layanan BKB sebanyak 2.526.204 anak, dengan asumsi di setiap keluarga peserta BKB terdapat satu orang anak yang mendapat layanan BKB/Posyandu.

Dilihat dari seluruh daerah, proporsi anak yang telah memperoleh layanan pendidikan antar propinsi cukup beragam. Proporsi layanan tertinggi berada di Propinsi D.I. Yogyakarta (55 persen) dan terendah di Propinsi NTT (12 persen), dengan rata-rata nasional 28 persen. Jika SD tidak diperhitungkan sebagai bentuk layanan pendidikan dini, maka angkanya akan lebih rendah dari pada angka tersebut. Belum lagi bila dilihat dari kualitas layanan, mengingat dari mereka yang sudah memperoleh akses, pada umumnya belum terlayani secara berkesinambungan. Idealnya setiap anak memperoleh layanan pendidikan secara berkesinambungan sejak anak itu dilahirkan, baik melalui pendidikan dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Mengingat masih banyaknya keluarga yang belum memahami bagaimana cara mendidik anak yang dapat membantu tumbuh-kembang anak secara lebih optimal, maka diperlukan intervensi melalui orangtuanya dalam bentuk program BKB atau sejenisnya. Sedangkan program layanan pendidikan yang diselenggarakan di luar lingkungan keluarga sudah banyak tersedia di masyarakat, baik dalam bentuk TPA, KB, TK, RA maupun bentuk sejenis lainnya.

13

Page 14: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.4: Jumlah anak Usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan pendidikan tahun 2001

No. Propinsi Juml anak 0-6 th

Jumlah anak yang memperoleh layanan pendidikan melaluiJml %

TerlayaniSD BKB TK RA KB TPA

1 Jabar + Banten 5,648,080 498,777 629,333 159,682 15,798 480 1,704 1,305,774 23%2 Jawa Timur 3,900,814 338,815 602,600 560,668 123,891 19,453 2,584 1,648,011 42%3 Jawa Tengah 3,634,847 420,648 408,183 299,539 125,070 2,058 336 1,255,834 35%4 Sumatra Utara 1,683,083 171,163 212,401 35,511 10,814 400 3,816 434,105 26%5 Aceh 566,553 45,798 163,905 20,301 4,500 251 1,219 235,974 42%6 Yogyakarta 273,825 33,744 47,484 62,722 7,051 264 324 151,589 55%7 Sulawesi Selatan 1,064,517 91,562 28,633 52,011 12,359 2800 156 187,521 18%8 Sumatra Barat 618,885 57,322 22,539 43,679 8,174 336 132 132,182 21%9 Jakarta 929,633 121,131 47,690 95,495 14,744 2,424 228 281,712 30%

10 Lampung 916,436 105,516 22,859 44,419 1,847 560 140 175,341 19%11 Kalimantan Timur 351,630 44,056 38,621 25,137 2,083 140 120 110.157 31%12 Sulut+Gorontalo 347,750 46,554 30,750 31,536 954 400 120 110,314 32%13 B a l I 369,157 42,903 25,937 41,958 1,750 160 720 113,428 31%14 R I a u 669,552 78,886 21,495 42,664 4,460 1,040 720 149,265 22%15 J a m b i 322,608 35,881 26,278 14,167 2,775 130 59 79,290 25%16 Bengkulu 201,598 25,411 35,306 8,383 1,880 144 65 71,189 35%17 Kalimantan Selatan 388,438 45,047 11,197 42,971 12,640 1,160 100 113,115 29%18 Sulawesi Tengah 320,756 32,965 15,020 21,103 3,683 450 120 73,341 23%19 Sumsel & Babel 982,503 120,718 32,351 31,536 11,937 1,672 1,091 199,305 20%20 Irian Jaya(Papua) 360,416 37,472 6,239 17,134 3,065 144 540 64,594 18%21 Sulawesi Tenggara 278,367 34,112 29,624 13,062 1,893 750 120 79,561 29%22 Kalimantan Tengah 235,447 25,067 3,946 13,846 2,861 260 120 46,100 20%23 Kalimantan Barat 527,733 64,095 22,941 14,353 1,823 313 444 103,969 20%24 NTT 660,615 40,568 15,277 22,704 1,485 320 120 80,474 12%25 N T B 564,943 45,578 12,271 27,611 *) 260 180 85,900 15%26 Maluku & Malut 354,577 37,473 13,325 7,530 557 280 30 59,195 17%

Jumlah/Total 26,172,763 2,641,262 2,526,205 1,749,722 378,094 36,649 15,308 7,347,240 28%

Sumber: SD (Depdiknas,00/01), BKB (BKKBN,00/01), TK (Depdiknas,01/02), RA (Depag,2000), TPA (Depdiknas 2001).*) belum ada

Kontribusi layanan tertinggi justru melalui SD sebanyak 2.6 juta anak (10 persen), padahal SD tidak dirancang untuk pendidikan bagi anak dini usia. Kontribusi tertinggi berikutnya melalui BKB 2,5 juta (9,6 persen), disusul TK 1,7 juta (6,7 persen), dan RA 0,4 juta (1,4 persen). Sedangkan TPA dan KB kontribusinya masih sangat kecil, yaitu 0,1 persen dan 0,06 persen. Dengan demikian masih sekitar 18,8 juta atau sekitar 72 persen anak usia 0-6 tahun belum memperoleh layanan pendidikan dari berbagai bentuk layanan tersebut.

Masih rendahnya layanan pendidikan anak usia dini saat ini antara lain disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan anak usia dini, jika dibandingkan dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan yang ada. Pada umumnya lembaga-lembaga tersebut terdapat di perkotaan, sedangkan sebagian besar anak usia dini yang membutuhkan pelayanan pendidikan dan perawatan berada di pedesaan. Berdasarkan Data (Susenas 2000) sebanyak 60 persen anak usia 0-6 tahun tinggal di pedesaan. Sedangkan program layanan yang ada

14

Page 15: Profil Kesehatan Anak

khususnya untuk TK, Kelompok Bermain (KB), dan Taman Penitipan Anak (TPA) sebagian besar terdapat di daerah perkotaaan.

Apabila ditinjau dari jumlah layanan program, proporsi terbesar adalah BKB/Posyandu 244,567 (80 persen). Proporsi menengah adalah TK 44,564 (14,6 persen) dan RA 11,560 (3,8 persen). Proporsi terkecil adalah TPA 1.789 (0,6 persen), dan KB 1.256 (0,3 persen). Sedangkan jika ditinjau dari ketersedian lembaga layanan tersebut di masing-masing propinsi keragamannya cukup tinggi, dari yang terendah sebanyak 873 buah berada di Kalimantan Timur, sampai yang tertinggi 75.003 buah terdapat di Jawa Timur. Keberadaan berbagai program layanan ini sedemikian beragamnya sehingga sekitar 60 persen dari seluruh program layanan yang ada terkumpul di empat propinsi yang memiliki penduduk terbesar, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan banyaknya populasi anak yang harus dilayani di propinsi tersebut (lihat tabel 2.5).

Selanjutnya bila dilihat dari rasio jumlah lembaga layanan dengan jumlah anak yang harus dilayani, tingkat ketersediaan layanan tertinggi terdapat di Kalimantan Timur (1:402) dan yang terendah terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam (1:33), sedangkan rerata nasional adalah 1:86. Hal ini berarti semua lembaga dapat memberikan layanan pendidikan kepada anak usia dini rata-rata sebanyak 86 anak untuk setiap lembaga dengan rentang perbedaan antar propinsi mulai 33 hingga 402 anak. Kenyataan tersebut menunjukkan terbatasnya lembaga yang melayani anak usia dini dan akan sangat menghambat kesempatan anak untuk dapat memperoleh layanan pendidikan.

Dari sisi gender data yang tersedia tidak cukup untuk keperluan analisis. Mengingat data gender yang ada hanya dimiliki pada layanan TK dan RA, maka kedua jenis data tersebut digunakan untuk memprediksi program layanan yang lain. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan proporsi anak perempuan yang telah memperoleh layanan pendidikan ternyata lebih besar dibanding dengan pria. Dengan demikian diduga tidak terdapat bias gender dalam pelayanan pendidikan bagi anak dini usia (lihat Tabel 2.6). Sedangkan perbedaan ketersediaan layanan antara kota dan desa baik untuk anak laki-laki maupun perempuan menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan layanan di kota lebih baik daripada di desa.

15

Page 16: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.5 Jumlah lembaga layanan anak usia 0-6 tahun tahun 2001

No. Propinsi Jumlah anak0-6 th

Jumlah Lembaga layanan Jumlah RASIO LAYANANBKB TK RA KB TPA

1 Jabar + Banten 5,648,080 60,927 4,288 1,221 20 142 66.598 1 : 852 Jawa Timur 3,900,814 58,339 12,151 3,924 546 43 75.003 1 : 523 Jawa Tengah 3,634,847 39,517 10,810 3,447 18 21 53.813 1 : 674 Sumatra Utara 1,683,083 20,563 433 121 65 66 21.248 1 : 795 Aceh 566,553 15,868 740 221 15 30 16.874 1 : 336 Yogyakarta 273,825 4,597 1,841 854 26 14 7.332 1 : 377 Sulawesi Selatan 1,064,517 2,868 1,274 242 102 269 4.755 1 : 223

8 Sumatera Barat 618,885 2,182 1,175 221 14 11 3.603 1 : 1719 Jakarta 929,633 4,617 1,574 375 101 19 6.686 1 : 139

10 Lampung 916,436 2,213 1,105 135 7 6 3.466 1 : 26411 Kalimantan Timur 351,630 382 417 30 41 3 873 1 : 40212 Sulut+Gorontalo 347,750 2,977 1,236 20 12 1 4.246 1 : 8213 B a l I 369,157 2,511 752 43 8 3 3.317 1 : 11114 R I a u 669,552 2,081 836 45 24 967 3.953 1 : 16915 J a m b I 322,608 2,544 354 61 14 3 2.976 1 : 10916 Bengkulu 201,598 3,418 229 33 13 4 3.697 1 : 5417 Kalimantan Selatan 388,438 3,739 1,035 245 29 100 5.148 1 : 75

18 Sulawesi Tengah 320,756 1,454 704 * 17 1 2.176 1 : 14719 Sumsel & Babel 982,503 3,132 645 132 39 14 3.962 1 : 24720 Irian Jaya(Papua) 360,416 604 317 * 29 26 976 1 : 36921 Sulawesi Tenggara 278,367 2,772 384 23 22 1 3.202 1 : 87

22 Kalimantan Tengah 235,447 1,084 456 54 7 4 1.605 1 : 14723 Kalimantan Barat 527,733 2,221 350 59 26 37 2.693 1 : 19624 NTT 660,615 1,479 609 37 35 1 2.161 1 : 30625 N T B 564,943 1,188 639 * 9 3 1.839 1 : 30726 Maluku & Malut 354,577 1,290 230 17 17 * 1.554 1 : 228

Jumlah/Total 26,172,763 244,567 44,564 11,560 1,256 1,789 303.736 1 : 86

Sumber: BKB (BKKBN, 00/01), TK (Depdiknas, 01/02), RA (Depag, 2000), TPA (Depdiknas 2002). *) belum ada data

Tabel 2.6 Proporsi anak laki-laki dan perempuan di TK & RAJenis kelamin Kota Desa Kota dan desaLaki-laki 14.1% 11.2% 11.7%Perempuan 14.6% 11.9% 13.0%

L+P 14.4% 11.0% 12.4%Sumber: Statistik Pendidikan/Susenas 2000

Berdasarkan data tersebut diatas, masih rendahnya angka partisipasi anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan pendidikan serta rendahnya mutu layanan yang diberikan selama ini, disebabkan adanya berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain:a. Masih terbatasnya jumlah lembaga layanan pendidikan dan perawatan bagi anak

usia dini. Pada umumnya lembaga-lembaga layanan tersebut berada di kota besar, sedangkan sasaran layanan hampir 60 persen berada di daerah pedesaan.

b. Masih rendahnya tingkat kesadaran orang tua dan masyarakat tentang pentingnya pemberian pendidikan dan perawatan kepada anak sejak usia dini.

c. Rendahnya tingkat sosial-ekonomi masyarakat/orang tua, terlebih-lebih sejak terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini, menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai pendidikan dan perawatan anaknya.

16

Page 17: Profil Kesehatan Anak

d. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemberian perawatan dan pendidikan kepada anak sejak usia dini.

e. Belum adanya program layanan yang terpadu yang dapat memberikan layanan seutuhnya bagi anak usia dini, yang mencakup layanan pendidikan, kesehatan, perawatan dan gizi.

f. Terbatasnya dukungan yang diberikan pemerintah guna mendukung pemerataan layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini.

g. Belum intensifnya kemitraan/jalinan kerjasama antara pemerintah dengan berbagai lembaga, instansi dan organisasi yang terkait dalam pembinaan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini.

B. Pendidikan DasarWajib belajar (Wajar) pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 direncanakan dituntaskan pada akhir tahun 2003/2004. Hal ini dimaksudkan agar bangsa Indonesia lebih siap untuk memasuki pasar global, baik pasar bebas AFTA (Asian Free Trade Area) tahun 2003 maupun APEC tahun 2010. Rencana penuntasan wajar ini tidak tercapai sebagai akibat dampak krisis nasional dan berbagai tantangan yang dihadapi antara lain:1. Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum pernah mendapatkan layanan pendidikan

masih tinggi (sekitar 4,2 juta), termasuk tamatan SD/MI yang tidak melanjutkan ke tingkat SLTP/MTs, sebesar 26 persen dari jumlah tamatan setiap tahunnya.

2. Angka putus sekolah pendidikan dasar amat tinggi. Pada tahun 2001/2002 terdapat sekitar 1.267.700 siswa pendidikan dasar (SD/MI dan SLTP/MTs.) yang putus sekolah. Jumlah ini terdiri dari 929.700 murid SD/MI dan 338.000 murid SLTP/MTs.

3. Tingginya angka mengulang siswa SD/MI (1,51 juta tahun 2000/2001), dibandingkan dengan angka mengulang siswa SLTP/MTs yang hanya mencapai 23,6 ribu pada tahun yang sama.

4. Rendahnya mutu pendidikan dasar (baik jalur sekolah maupun luar sekolah) yang diukur berdasarkan prestasi akademik siswa sebagai salah satu indikator mutu pendidikan.

Oleh karena berbagai kendala tersebut, maka target waktu penuntasan setidaknya diperpanjang minimal lima tahun, sehingga wajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat tuntas paling lambat tahun 2008/2009.

Pada tingkat sekolah dasar, satuan pendidikan pada jalur sekolah antara lain adalah SD reguler, SD Kecil, SD Pamong, SD Terpadu, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SD Luar Biasa (SD-LB), dan Pondok Pesantren Salafiah (Madrasah Diniyah Ula). Pada jalur luar sekolah satuan pendidikan yang setara SD adalah Kelompok Belajar (Kejar) Paket A.

Pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan dengan berbagai upaya telah mencapai tahap yang cukup berarti, namun masih jauh dari harapan. Hal itu dapat dilihat melalui berbagai indikator yang menggambarkan kondisi pendidikan dasar, antara lain pada aspek peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar, serta peningkatan mutu pendidikan di tingkat SD/MI dan SMP/MTs.

B.1 Peningkatan Akses dan Perluasan Kesempatan Belajar

17

Page 18: Profil Kesehatan Anak

Peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar dapat digambarkan melalui indikator: angka partisipasi, angka mengulang kelas, angka putus sekolah, angka kelulusan, angka melanjutkan, dan angka penyelesaian. Adapun peningkatan mutu pendidikan digambarkan melalui indikator: Nilai Ebtanas Murni/Ujian Akhir Nasional, rasio siswa-guru, rasio siswa-kelas, rasio kelas-ruang kelas, rasio laboratorium-sekolah, tingkat kelayakan mengajar guru, dan kondisi gedung sekolah. Berikut uraian singkat mengenai kondisi peningkatan akses berdasarkan beberapa indikator.

Angka Partisipasi. Pada tingkat sekolah dasar, angka partisipasi kasar (APK) pada tahun 2001/2002 mencapai 113,52 persen sedangkan angka partisipasi murni (APM) mencapai 94,31 persen. Namun demikian, terdapat 4,36 persen siswa berusia 7-12 tahun yang bersekolah di tingkat SMP/MTs dan SLB/SDLB, yang berarti masih terdapat 1,33 persen atau sekitar 338.912 anak usia 7-12 tahun yang belum terlayani oleh pendidikan SD/MI. Perbedaan yang cukup tinggi antara APK dan APM merupakan indikator cukup banyaknya anak usia di bawah 7 tahun yang masuk SD/MI dan anak yang umurnya 8 tahun atau lebih baru masuk SD/MI, sehingga mereka yang berusia di atas 12 tahun masih bersekolah di SD/MI. Kemungkinan kedua, banyak siswa mengulang kelas, sehingga sejumlah anak berusia lebih dari 12 tahun masih duduk di SD/MI. Data Depdiknas menunjukkan adanya 3.433.220 siswa baru SD/MI yang berusia di atas 7 tahun.

Mengingat jumlah SD/MI pada umumnya sudah mencukupi untuk menampung anak usia 7-12 tahun, maka masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum bersekolah diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) mereka tinggal di daerah terpencil atau terisolasi, sehingga mereka tidak dapat menjangkau SD/MI yang terdekat, (2) mereka tidak bersekolah karena alasan ekonomi, (3) mereka tinggal di masyarakat yang secara budaya belum menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting, (4) mereka sudah bekerja mencari nafkah untuk membantu orang tua, atau (5) mereka tinggal di daerah konflik.

Akses pendidikan pada tingkat SMP/MTs belum sebaik tingkat SD/MI. Pada tahun 2001/2002 dari 12.775.026 orang anak umur 13-15 tahun, baru 57,44 persen yang memperoleh akses ke pendidikan SMP/MTs. Namun jika dihitung dengan mereka yang masih duduk di SD/MI dan SLTA, maka angka partisipasi murni sekolah (APS) anak usia 13-15 tahun sudah mencapai 74,34 persen. Data ini menunjukkan bahwa anak usia 13-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP/MTs masih cukup tinggi (25,66 persen). Sementara itu APK SMP/MTs pada tahun 2002/2003 meningkat menjadi 77,44 persen, sehingga mengindikasikan banyak anak usia di luar 13-15 tahun yang masih bersekolah di SMP/MTs. Seperti halnya di SD/MI, terdapat sejumlah anak yang masuk SMP/MTs setelah umur di atas 12 tahun dan atau banyak anak mengulang kelas, sehingga masih duduk di SMP/MTs walaupun usianya melewati 15 tahun. Data selengkapnya tampak pada Tabel 2.7.

18

Page 19: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.7: Angka Partisipasi usia 7-15 tahun dalam 5 tahun terakhir

Sekolah Angka Partisipasi 1998 1999 2000 2001 2002

SD/MI APM 94,85 94,44 94,56 94,31 94,04APK 114,52 111,97 112,87 113,52 113,95APS 98,37 98,81 98,98 98,67 98,53

SMP/ APM 54,67 55,72 56,57 57,44 59,18MTs APK 70,43 71,67 72,35 73,80 77,44

APS 74,08 71,45 74,49 74,34 77,78Sumber: PDIP, Depdiknas 2003 dan BPS 2003.

Daya tampung untuk tingkat SMP/MTs memang masih kurang. Artinya, disamping anak-anak yang menghadapi 5 (lima) kendala sebagaimana pada tingkat SD/MI, masih banyak lulusan SD/MI yang belum dapat ditampung oleh SMP/MTs yang telah ada.

Angka Mengulang Kelas. Pada tahun 2001/2002 angka mengulang SD/MI sebesar 5,40 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/98 yang mencapai 6,13 persen. Sedangkan angka mengulang kelas SMP/MTs dapat dikatakan sangat rendah, yaitu 0,44 persen, 0,41 persen dan 0,05 persen untuk kelas I, II, dan III pada tahun yang sama. Tabel 2.8 menunjukkan data angka mengulang kelas SD/MI dan SMP/MTs untuk setiap propinsi. Tingginya angka mengulang kelas, khususnya di tingkat SD/MI perlu mendapatkan perhatian karena dua alasan. Pertama, angka mengulang kelas yang tinggi memberikan sumbangan yang cukup besar bagi tingkat penyelesaian sekolah. Kedua, angka mengulang kelas terutama pada kelas-kelas awal seringkali menjadi penyebab anak putus sekolah. Oleh karena itu, perlu upaya khusus untuk menurunkan angka mengulang kelas tersebut.

Data pada Tabel 2.8 menunjukkan bahwa kecilnya angka mengulang kelas di tingkat nasional seakan menyembunyikan kenyataan tentang tingginya tingkat mengulang kelas di propinsi-propinsi tertentu. Artinya secara nasional sudah cukup baik, tetapi ternyata masih banyak daerah yang memiliki angka mengulang kelas cukup tinggi. Angka mengulang kelas di SD/MI terendah 1,53 persen di Propinsi Jawa Barat dan tertinggi 14,19 persen di Propinsi Maluku.

19

Page 20: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.8: Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs per propinsitahun 2001/2002

Propinsi SD/MI SMP/MTs> 5,40% <= 5,40% > 0,30% <= 0,30%

DKI Jakarta 2,51 0,88Jawa Barat 1,53 0,04Banten 0,01Jawa Tengah 6,77 0,21DI Yogyakarta 2,79 0,14Jawa Timur 4,95 0,21N Aceh Darussalam 6,68 0,51Sumatera Utara 4,95 0,36Sumatera Barat 7,92 1,02Riau 6,12 0,46Jambi 6,62 0,65Sumatera Selatan 5,32 0,34Bangka Belitung 0,25Bengkulu 6,35 0,55Lampung 4,79 0,07Kalimantan Barat 10,57 0,88Kalimantan Tengah 8,25 0,19Kalimantan Selatan 10,13 0,46Kalimantan Timur 5,62 0,52Sulawesi Utara 5,21 0,24Gorontalo 8,52 0,17Sulawesi Tengah 8,52 0,03Sulawesi Selatan 6,61 0,33Sulawesi Tenggara 7,36 0,33Maluku 14,19 0,03Maluku Utara 12,04 0,01Bali 3,42 0,78Nusa Tenggara Barat 6,80 0,35Nusa Tenggara Timur 10,38 0,49Papua 10,04 0,27

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Angka Putus Sekolah. Di tingkat nasional, angka putus sekolah SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar 2,66 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/1998 sebesar 2,90 persen. Untuk tingkat SMP/MTs, angka putus sekolah pada tahun 2001/2002 sebesar 3,50 persen. Walaupun dalam bentuk persentase tampak kecil, angka absolut putus sekolah ternyata cukup besar, karena jumlah siswa SD/MI dan SMP/MTs sangat besar. Pada tahun 2001/2002 terdapat sekitar 926.843 orang siswa pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang putus sekolah (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Jumlah ini terdiri dari 638.056 siswa SD/MI dan 288.787 siswa SMP/MTs. Tabel 2.9 menunjukkan angka putus sekolah SD/MI per propinsi.

20

Page 21: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.9: Angka Putus Sekolah SD/MI dan SMP/MTs per propinsi tahun 2001/2002

Propinsi SD/MI SMP/MTs> 2,66% <= 2,66% > 3,50 <= 3,50

DKI Jakarta 1,57 1,45Jawa Barat 2,17 2,79Banten 0,91 3,66Jawa Tengah 1,38 1,99DI Yogyakarta 2,22 3,34Jawa Timur 1,34 3,33N Aceh Darussalam 4,21 4,95Sumatera Utara 1,37 4,60Sumatera Barat 3,64 4,73Riau 3,56 3,49Jambi 2,57 5,97Sumatera Selatan 2,81 3,95Bangka Belitung 6,80 4,95Bengkulu 2,90 7,79Lampung 4,65 2,49Kalimantan Barat 6,78 5,66Kalimantan Tengah 3,11 7,22Kalimantan Selatan 3,32 5,08Kalimantan Timur 2,73 5,68Sulawesi Utara 3,79 5,12Gorontalo 3,09 6,35Sulawesi Tengah 5,00 7,48Sulawesi Selatan 4,46 3,49Sulawesi Tenggara 3,28 6,25Maluku 6,20 9,02Maluku Utara 5,74 8,79Bali 2,14 1,88Nusa Tenggara Barat 3,21 2,92Nusa Tenggara Timur 5,42 3,43Papua 8,23 5,58

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Untuk tingkat SD/MI, angka putus sekolah terendah 0,91 persen di Banten dan tertinggi 8,23 persen di Papua. Angka putus sekolah SMP/MTs terendah adalah propinsi DKI Jakarta sebesar 1,45 persen dan angka tertinggi terjadi di Maluku, yaitu 9,02 persen.

Angka Kelulusan. Angka kelulusan ditunjukkan dengan perbandingan antara jumlah siswa yang lulus dengan siswa pada jenjang terakhir. Untuk SD angka kelulusan didapatkan dari perbandingan jumlah lulusan dengan jumlah siswa kelas 6, sedangkan untuk SMP/MTs dengan siswa kelas 3. Di tingkat nasional angka kelulusan untuk SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar 97,01 persen dan untuk SMP sebesar 95,00 persen. Angka kelulusan SD yang terendah terjadi di Propinsi Maluku sebesar 91,12 persen dan tertinggi di Propinsi Sulawesi Utara sebesar 99,08 persen. Angka kelulusan SMP/MTs terendah terjadi di Propinsi Maluku Utara sebesar 83,11 persen dan tertinggi di Propinsi Maluku sebesar 98,86 persen. Data selengkapnya tampak pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10: Angka Kelulusan Sekolah SD/MI dan SMP/MTs per propinsitahun 2001/2002

Propinsi SD/MI SMP>= 97,01% < 97,01% >= 95% < 95%

DKI Jakarta 98,22 96,89

21

Page 22: Profil Kesehatan Anak

Jawa Barat 96,35 97,05Banten 96,45 96,68Jawa Tengah 98,48 96,85DI Yogyakarta 96,02 96,67Jawa Timur 98,24 95,57Nanggroe Aceh Darussalam 92,35 97,40Sumatera Utara 98,42 95,14Sumatera Barat 98,37 97,53Riau 98,26 96,56Jambi 94,78 95,28Sumatera Selatan 98,62 93,65Bangka Belitung 97,93 93,83Bengkulu 99,06 95,06Lampung 98,88 96,35Kalimantan Barat 97,55 92,96Kalimantan Tengah 98,00 90,01Kalimantan Selatan 95,58 95,73Kalimantan Timur 98,12 93,50Sulawesi Utara 99,08 95,00Gorontalo 99,00 95,24Sulawesi Tengah 93,67 96,28Sulawesi Selatan 98,07 93,64Sulawesi Tenggara 99,05 95,26Maluku 91,12 98,86Maluku Utara 94,36 83,11Bali 98,60 93,40Nusa Tenggara Barat 98,48 96,78Nusa Tenggara Timur 92,10 95,62Papua 97,22 94,14

Sumber: Statistik SD dan SLTP, Tahun 2002, PDIP Depdiknas

Kelulusan sebenarnya terkait erat dengan mutu pembelajaran, karena anak dapat lulus jika daya serap mereka cukup bagus, sehingga lulus ujian akhir yang diikuti. Dengan demikian angka kelulusan sangat erat kaitannya dengan peningkatan mutu pembelajaran.

Angka Melanjutkan. Angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 1994/1995, angka melanjutkan ke SMP/MTs sebesar 66,84 persen dan pada tahun 2001/2002 meningkat menjadi 70,52 persen. Data rinci untuk setiap propinsi tampak pada Tabel 2.11.

22

Page 23: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.11: Angka Melanjutkan ke SMP/MTs per propinsi tahun 2001/2002

Propinsi Angka Melanjutkan>= 70,52% < 70,52%

DKI Jakarta 106,63Jawa Barat 61,31Banten 52,17Jawa Tengah 72,28DI Yogyakarta 95,97Jawa Timur 75,07Nanggroe Aceh Darussalam 75,28Sumatera Utara 76,44Sumatera Barat 69,39Riau 61,40Jambi 64,11Sumatera Selatan 66,73Bangka Belitung 72,41Bengkulu 71,54Lampung 68,62Kalimantan Barat 63,80Kalimantan Tengah 63,86Kalimantan Selatan 53,76Kalimantan Timur 74,28Sulawesi Utara 93,06Gorontalo 63,00Sulawesi Tengah 64,00Sulawesi Selatan 71,16Sulawesi Tenggara 76,64Maluku 69,08Maluku Utara 61,08Bali 89,18Nusa Tenggara Barat 59,51Nusa Tenggara Timur 76,17Papua 87,68Sumber : Statistik SMP, Tahun 2002, PDIP Depdiknas

Data tersebut menunjukkan masih ada 29,48 persen lulusan SD/MI yang belum melanjutkan ke tingkat SMP/MTs. Jika mereka tidak ditampung pada lembaga pendidikan alternatif lainnya (SMP Terbuka, Pondok Pesantren atau Paket B), maka pada tahun 2001/2002 saja terdapat 1.063.874 orang lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).

Data pada Tabel 2.11 menunjukkan ada 15 propinsi (50 persen) yang memiliki angka melanjutkan lebih tinggi dari angka nasional (70,52 persen) dengan angka tertinggi 106.63 persen di Propinsi DKI Jakarta dan terdapat 15 propinsi (50 persen) yang mempunyai angka melanjutkan yang lebih rendah dari angka nasional, dengan angka terendah 52,17 persen di Propinsi Banten.

Perlu dicermati angka melanjutkan Propinsi DKI Jakarta yang lebih dari 100 persen (106,63 persen). Hal ini terjadi karena adanya lulusan SD/MI dari propinsi lain khususnya Propinsi Jawa Barat dan Banten yang melanjutkan ke SMP/MTs di wilayah DKI. Data itu sekaligus menjelaskan mengapa angka melanjutkan pada propinsi Jawa Barat dan Banten rendah. Kasus yang sama juga terjadi antar kabupaten/kota dalam satu propinsi.

Angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs terkait dengan faktor: (a) apakah lulusan SD/MI dan orang tua mereka merasa pendidikan di SMP/MTs penting bagi mereka, (b) apakah di sekitarnya terdapat SMP/MTs yang dapat dijangkau dari tempat

23

Page 24: Profil Kesehatan Anak

tinggalnya, (c) apakah mereka tidak kesulitan mendapatkan biaya sekolah, dan (d) apakah mereka tidak terkendala oleh budaya setempat untuk melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Penyelesaian. Tingkat penyelesaian (graduation rates) pendidikan dasar disajikan dalam bentuk arus siswa pada pendidikan dasar (lihat Gambar-1). Dari arus siswa dapat diketahui proporsi siswa yang menyelesaikan satu siklus pendidikan tertentu. Proporsi siswa yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara implisit mengindikasikan tingkat kesuksesan pelaksanaan wajib belajar. Selain itu, dengan menggunakan data dari dua siklus sebagaimana disajikan pada Gambar-1, dapat diketahui kemajuan tingkat penyelesaian pendidikan dasar dalam kurun waktu yang berbeda. Analisis tentang tingkat penyelesaian pendidikan dasar dari dua sudut pandang tersebut disajikan sebagai berikut.

RENTANG WAKTU

SD/MI SMP/MTsI VI Lulus MB I II Lulus

Tahun 1982/83 –1990/9182/83 100%

87/88 68,8 65,488/89 42,3 42,8

90/91 34,6 32,1 Tahun 1992/93 – 2000/01

92/93 100%

97/98 75,1 71,8

98/99 51,2 51,3

00/01 48,8 45,6Gambar-1: Arus Siswa Pendidikan Dasar

Pertama, dari data arus siswa yang masuk SD tahun 1982/1983 dan yang masuk tahun 1992/1993, tampak adanya perbaikan tingkat penyelesaian pendidikan dasar pada kedua kurun waktu tersebut. Dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan angka penyelesaian pendidikan dasar sebesar 13,5 persen. Untuk siklus 1982/1983 sampai 1990/1991 tingkat penyelesaian pendidikan dasar hanya sebesar 32,1 persen. Artinya, dari seluruh siswa kelas I SD tahun 1982/1983 hanya diperoleh 32,1 persen lulusan SMP, 9 tahun kemudian. Untuk siklus 1992/1993 sampai 2000/2001 tingkat penyelesaian pendidikan dasar meningkat menjadi 45,6 persen.

Kedua, setiap siklus arus siswa, baik tahun 1982/1983 s.d. 1990/1991, maupun 1992/1993 s.d. 2000/2001, tampak adanya siswa yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dalam waktu 9 tahun. Dari seluruh siswa baru kelas I SD/MI pada tahun 1982/1983, hanya 32,1 persen yang berhasil menyelesaikan pendidikan (tamat)

24

Page 25: Profil Kesehatan Anak

SMP/MTs pada tahun 1990/1991. Artinya, 67,9 persen lainnya tidak atau belum dapat menyelesaikannya pada kurun waktu 9 tahun. Fenomena serupa terjadi pada siklus 1992/1993 s.d. 2000/2001. Hanya 45,6 persen siswa yang masuk SD/MI pada tahun 1992/1993 berhasil menyelesaikan pendidikan (lulus) SMP/MTs tepat waktu. Sementara itu, 54,4 persen siswa lainnya tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar tepat 9 tahun.

Adanya siswa yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar selama 9 tahun disebabkan oleh tiga kemungkinan. Pertama, adanya siswa yang mengulang kelas. Siswa yang mengulang kelas memerlukan waktu yang lebih lama dari 9 tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Kedua, adanya siswa putus sekolah, baik di tingkat SD/MI maupun di SMP/MTs. Kalau siswa putus sekolah ini tidak ditampung pada lembaga pendidikan alternatif lainnya, maka mereka ini tidak akan menyelesaikan pendidikan dasar. Ketiga, adanya lulusan SD/MI atau yang setara yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs atau yang setara. Kalau lulusan tersebut tidak ditampung di lembaga pendidikan apapun, termasuk pendidikan luar sekolah, maka mereka tidak akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Mereka yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar, terutama yang terjadi di tingkat SD/MI merupakan faktor potensial untuk menjadi warga buta aksara, yang akan menjadi beban sosial di kemudian hari.

Sementara itu, kalau kita cermati arus siswa dalam siklus 1982/1983 - 1990/1991 dan siklus 1992/1993 - 2000/2001 terdapat perbaikan tingkat penyelesaian pendidikan dasar, yang disebabkan adanya perbaikan angka mengulang kelas, angka putus sekolah, dan angka melanjutkan atau kombinasi dari ketiganya. Perbaikan-perbaikan tersebut antara lain merupakan dampak positif dari program Wajar 9 Tahun yang telah dilakukan selama ini. Namun demikian, harus disadari walaupun terdapat perbaikan yang cukup signifikan, angka mengulang dan angka putus sekolah, khususnya pada tingkat SD/MI masih tinggi, dan persentase lulusan SD/MI yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs masih relatif rendah.

B.2. Peningkatan Mutu PendidikanSalah satu indikator yang digunakan untuk mengukur mutu pendidikan adalah hasil Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Akhir Nasional (UAN)/Nilai Ebtanas Murni (NEM). Rata-rata NEM SD/MI tahun 1998/1999 adalah 5,99 yang berarti bahwa rata-rata siswa SD/MI hanya mampu menyerap 59,9 persen bahan ajar yang dipelajari. NEM tertinggi dicapai oleh DI Yogyakarta sebesar 6,74, sementara NEM terendah dimiliki oleh Kalimantan Barat sebesar 4,98.

Berdasarkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) SMP Negeri/Swasta tahun 2002/2003 diketahui rerata NUAN untuk seluruh mata pelajaran secara nasional relatif cukup tinggi, yaitu 5,93. Tingkat pencapaian NUAN ini dapat ditafsirkan bahwa secara rerata, lulusan SMP menguasai 59,30 persen dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai.

25

Page 26: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2. 12: Nilai Ebtanas Murni SD/MI per propinsi tahun 1998/1999

Propinsi Nilai Ebtanas Murni>= 5,99 < 5,99

DKI Jakarta 6,65Jawa Barat 6,49Banten -Jawa Tengah 6,56DI Yogyakarta 6,74Jawa Timur 6,25Nanggroe Aceh Darussalam 6,71Sumatera Utara - 5,67Sumatera Barat - 5,46Riau - 5,31Jambi 6,59 -Sumatera Selatan - 5,93Bangka Belitung - -Bengkulu 5,95 -Lampung - 5,39Kalimantan Barat - 4,98Kalimantan Tengah - 5,29Kalimantan Selatan - 5,92Kalimantan Timur - 5,92Sulawesi Utara 6,36 -Gorontalo - -Sulawesi Tengah - -Sulawesi Selatan 6,09 -Sulawesi Tenggara - 5,95Maluku - -Maluku Utara - -Bali 6,06 -Nusa Tenggara Barat 6,50 -Nusa Tenggara Timur - 5,91Papua - 5,16Sumber: Depdiknas, 1999

Dari tabel 2.13, rerata NUAN tertinggi sebesar 6,41 di Propinsi DI Yogyakarta dan terendah sebesar 4,23 di Propinsi Maluku. Rendahnya rerata NUAN secara nasional mengindikasikan perlunya peningkatan prioritas terhadap upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan di tingkat SMP.

26

Page 27: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.13: Rata-rata NUAN SMP per propinsi tahun 2002/2003

Propinsi NUAN>= 5,93 < 5,93

DKI Jakarta 6,22Jawa Barat 5,96Banten 5,93Jawa Tengah 5,93DI Yogyakarta 6,41Jawa Timur 6,31Nanggroe Aceh Darussalam 5,41Sumatera Utara 5,76Sumatera Barat 6,24Riau 5,11Jambi 5,78Sumatera Selatan 5,73Bangka Belitung 5,93Bengkulu - -Lampung 5,74Kalimantan Barat 5,56Kalimantan Tengah 5,51Kalimantan Selatan 5,56Kalimantan Timur 5,76Sulawesi Utara 5,53Gorontalo 5,53Sulawesi Tengah 5,74Sulawesi Selatan 6,30Sulawesi Tenggara 5,80Maluku 4,23Maluku Utara 6,00Bali 6,18Nusa Tenggara Barat - -Nusa Tenggara Timur 5,46Papua - -

Sumber: Depdiknas, September 2003

Data di atas masih bersifat sementara, karena masih ada 3 Propinsi yang belum melaporkan data NUAN-nya (NTB, Papua, dan Bengkulu). Selain itu, data tersebut belum digabungkan dengan hasil NUAN MTs. Apabila semua data telah digabungkan, ada kemungkinan rerata NUAN lebih rendah dari rerata NUAN yang telah diperoleh di atas. Rincian data NUAN per sekolah belum diperoleh, untuk dapat melihat berapa jumlah nominal sekolah yang berada di bawah rerata nasional. Namun demikian, gambaran tersebut dapat diperoleh dari hasil Ebtanas SMP pada tahun 2000/2001.

Berdasarkan hasil Ebtanas, SMP yang ada dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori: (a) kelompok baik sekali dengan NUAN > 7,5, (b) kelompok baik dengan NUAN antara 6,5 - 7,5, (c) kelompok sedang, dengan NUAN antara 5,5 - < 6,5, (d) kelompok kurang, dengan NUAN 4,5 - < 5,5, dan (e) kelompok kurang sekali, dengan NUAN di bawah 4,5. Data hasil Ebtanas tahun 2000/2001 menunjukkan, bahwa dari sebagian besar SMP yang berhasil dihimpun datanya, terdapat sebanyak 0,03 persen yang masuk kategori baik sekali, 2,14 persen sekolah masuk kategori baik, 21,95 persen sekolah masuk kategori sedang. Sementara itu, sekolah dengan kategori kurang sebesar 68,37 persen. Sisanya, 7,48 persen dari seluruh sekolah yang ada masuk ke dalam kategori kurang sekali.

27

Page 28: Profil Kesehatan Anak

Kalau NUAN dalam kategori sedang (5,51 sampai 6,50) ke atas dianggap mencerminkan hasil pendidikan yang bermutu, maka akses terhadap pendidikan yang bermutu pada tahun 2000/2001 masih sangat terbatas. Hanya 24,12 persen dari seluruh SMP yang ada masuk dalam kategori sedang ke atas. Artinya, upaya peningkatan mutu masih harus difokuskan kepada 75,88 persen dari sekolah yang ada. Jika pendidikan yang bermutu dicerminkan oleh kategori NUAN baik dan baik sekali, maka pada tahun 2000/2001, proporsi sekolah yang masuk dalam kelompok ini baru 2,17 persen. Data ini mengindikasikan bahwa akses terhadap pendidikan yang bermutu baru tersedia 2,17 persen dari sekolah yang ada.

Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas. Rasio siswa-guru merupakan indikator mutu input pendidikan, karena dengan rasio siswa-guru yang baik dapat diharapkan proses pendidikan berjalan baik pula. Idealnya perbandingan antara siswa dan guru tidak terlalu besar, sehingga jumlah siswa dalam setiap rombongan belajar tidak terlalu besar dan beban jam mengajar guru juga tidak terlalu banyak. Secara nasional rata-rata rasio siswa-guru adalah 22 dan rasio siswa-kelas adalah 26.

Dengan berpedoman dalam satu kelas terdapat 40 orang siswa, guru SD merupakan guru kelas dan setiap SD memiliki seorang guru olahraga dan seorang guru agama, serta seorang kepala sekolah, maka secara ideal rasio siswa-guru di SD sebesar 1:26. Dengan demikian secara nasional dan propinsi, rasio siswa-guru sudah mencukupi, bahkan melebihi. Masalah yang terjadi di lapangan adalah ketidakmerataan guru. Kecenderungannya di daerah perkotaan terjadi kelebihan guru, sementara di daerah pedesaan dan terpencil seringkali kekurangan guru. Hal itu diduga akibat terjadinya mutasi guru dari pedesaan ke kota secara sistematik.

Rasio siswa-kelas juga sudah melebihi standar. Jika standarnya 1:40, berarti siswa-kelas di semua propinsi kurang dari standar tersebut. Bahkan untuk beberapa daerah tertentu rasio tersebut sudah demikian kecil akibat menurunnya populasi anak usia 7 – 12 tahun. Oleh karena itu sejak tahun-tahun terakhir telah terjadi penyatuan (merger) antara beberapa SD.

28

Page 29: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.14: Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas SD/MI per propinsi

Propinsi Siswa/Guru Siswa/Kelas<= 22 > 22 <= 26 > 26

DKI Jakarta 24 33Jawa Barat 29 30Banten 33 32Jawa Tengah 22 27DI Yogyakarta 16 21Jawa Timur 20 24N Aceh Darussalam 23 27Sumatera Utara 22 27Sumatera Barat 21 23Riau 23 27Jambi 20 23Sumatera Selatan 21 26Bangka Belitung 20 23Bengkulu 21 26Lampung 22 30Kalimantan Barat 23 26Kalimantan Tengah 15 19Kalimantan Selatan 17 21Kalimantan Timur 20 25Sulawesi Utara 12 17Gorontalo 21 27Sulawesi Tengah 21 23Sulawesi Selatan 21 24Sulawesi Tenggara 23 24Maluku 22 18Maluku Utara 23 21Bali 17 21Nusa Tenggara Barat 26 29Nusa Tenggara Timur 20 25Papua 20 22

Sumber: Statistik Sekolah Dasar, 2002, PDIP Depdiknas

Di tingkat SMP, rasio siswa-guru menunjukkan angka lebih kecil, yakni secara nasional sebesar 16. Hal ini dapat dipahami karena jumlah guru di SMP adalah guru mata pelajaran, sehingga penyediaan tenaga guru berdasarkan kepada kebutuhan mata pelajaran yang diberikan pada tingkat SMP. Namun apabila data SMP dan MTs digabung seluruh propinsi maka rasio siswa guru secara nasional menjadi 14,31. Sementara itu rasio siswa-kelas secara nasional sebesar 1:39. Data secara rinci untuk masing-masing propinsi tampak pada Tabel 2.15.

Dilihat data secara nasional, rasio siswa-kelas memang masih cukup besar. Masih ada 6 propinsi yang rasio siswa-kelas di atas 40 orang. Mengingat ketidakmerataan distribusi siswa per sekolah, dapat dipastikan masih banyak SMP/MTs yang mempunyai rasio siswa-kelas lebih besar dari 40, sehingga masih diperlukan penambahan ruang kelas baru.

Tabel 2.15: Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas SMP per propinsiPropinsi Siswa/Guru Siswa/Kelas

29

Page 30: Profil Kesehatan Anak

<= 16 > 16 <= 39 > 39DKI Jakarta 15 38Jawa Barat 19 43Banten 18 42Jawa Tengah 18 41DI Yogyakarta 11 43Jawa Timur 15 41N Aceh Darussalam 14 36Sumatera Utara 16 41Sumatera Barat 14 38Riau 15 38Jambi 14 39Sumatera Selatan 17 39Bangka Belitung 16 35Bengkulu 16 35Lampung 14 40Kalimantan Barat 15 38Kalimantan Tengah 12 35Kalimantan Selatan 12 33Kalimantan Timur 15 37Sulawesi Utara 12 30Gorontalo 13 37Sulawesi Tengah 13 37Sulawesi Selatan 14 37Sulawesi Tenggara 15 34Maluku 13 30Maluku Utara 14 36Bali 14 39Nusa Tenggara Barat 17 40Nusa Tenggara Timur 15 38Papua 14 35

Sumber: Statistik SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Rasio ideal untuk siswa-guru di SMP/MTs tidak mudah dirumuskan. Namun jika digunakan pedoman siswa per kelas 40 orang, jumlah jam mengajar guru per minggu 24 jam pelajaran, jumlah jam pelajaran per minggu 40 jam pelajaran, maka secara umum rasio siswa-guru yang ideal sebesar 1:24. Dengan demikian data pada Tabel 2.15 menunjukkan rasio siswa-guru telah memenuhi batas ideal. Namun seperti halnya di SD masalah yang terjadi adalah ketidakmerataan distribusi guru. Di SMP/MTs perkotaan banyak terjadi kelebihan guru, sementara di SMP/MTs pedesaan terjadi kekurangan guru. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa di samping penambahan guru, perlu upaya pemerataan guru untuk mengurangi kelebihan di satu daerah dan kekurangan di daerah lainnya.

Rasio Kelas-Ruang Kelas dan Laboratorium-Sekolah. Rasio kelas atau rombongan belajar-ruang kelas dapat digunakan untuk melihat, seberapa banyak sekolah yang melaksanakan double shift (kelas pagi dan kelas siang/petang). Tabel 2.16 menunjukkan rasio rombongan belajar-ruang kelas pada jenjang SD/MI. Secara nasional rasio rombongan belajar-ruang kelas sebesar 1,09. Artinya, rata-rata terdapat sekitar 9 persen SD/MI mempunyai pola double shift dalam penyelenggaraan pendidikannya.

Tabel 2.16: Rasio Kelas-Ruang Kelas di SD/MI per propinsi

Propinsi Kelas/Ruang Kelas<= 1,00 > 1,00

30

Page 31: Profil Kesehatan Anak

DKI Jakarta 1,38Jawa Barat 1,12Banten 1,14Jawa Tengah 1,04DI Yogyakarta 1,00Jawa Timur 1,06N Aceh Darussalam 1,17Sumatera Utara 1,05Sumatera Barat 1,07Riau 1,16Jambi 1,18Sumatera Selatan 1,12Bangka Belitung 1,03Bengkulu 1,07Lampung 1,07Kalimantan Barat 1,15Kalimantan Tengah 1,17Kalimantan Selatan 1,10Kalimantan Timur 1,08Sulawesi Utara 1,03Gorontalo 1,03Sulawesi Tengah 1,02Sulawesi Selatan 1,08Sulawesi Tenggara 1,10Maluku 1,14Maluku Utara 1,18Bali 0,97Nusa Tenggara Barat 1,25Nusa Tenggara Timur 1,03Papua 1,11

Sumber: Statistik Sekolah Dasar, 2002, PDIP Depdiknas

Untuk tingkat SMP rasio kelas-ruang kelas secara nasional sebesar 1,04 dan rincian untuk setiap propinsi tampak pada Tabel 2.17. Data tersebut menunjukkan masih terdapat rata-rata 4 persen sekolah yang melaksanakan double shift. Dari 30 propinsi hanya 10 propinsi yang rasionya lebih kecil atau sama dengan 1,0. Mengingat double shift tidak ideal dalam pembelajaran, maka di masa datang masih diperlukan penambahan ruang kelas, sehingga rasio rombongan belajar-ruang kelas sama dengan 1,0.

Data pada Tabel 2.17 juga menunjukkan rasio laboratorium-sekolah di tingkat SMP secara nasional sebesar 68,31 persen. Artinya dari 100 sekolah, hanya 68 sekolah memiliki laboratorium, baik lab IPA, lab Bahasa, atau lab IPS. Propinsi DI Yogyakarta memiliki persentase yang tertinggi, yakni hampir semua sekolah (98,41 persen) mempunyai laboratorium, sementara Maluku Utara hanya 11,35 persen. Data pada tabel tersebut menunjukkan secara nasional bahwa SMP/MTs memang masih banyak yang belum memiliki laboratorium dan ada beberapa propinsi yang masih sangat kekurangan.

Tabel 2.17: Rasio Kelas-Ruang Kelas dan Lab-Sekolah SMP per propinsi

Propinsi Kelas/Ruang Kelas Lab/Sekolah<= 1,00 > 1,00 <= 68,31% > 68,31%

DKI Jakarta 1,12 97,84Jawa Barat 1,22 55,79Banten 1,21 54,45Jawa Tengah 1,02 69,58

31

Page 32: Profil Kesehatan Anak

Propinsi Kelas/Ruang Kelas Lab/Sekolah<= 1,00 > 1,00 <= 68,31% > 68,31%

DI Yogyakarta 0,95 98,41Jawa Timur 1,01 72,14N Aceh Darussalam 0,98 67,94Sumatera Utara 0,98 66,92Sumatera Barat 1,09 94,27Riau 1,06 71,46Jambi 0,96 69,30Sumatera Selatan 1,04 67,41Bangka Belitung 0,99 69,84Bengkulu 1,02 89,50Lampung 1,03 46,83Kalimantan Barat 1,01 60,32Kalimantan Tengah 1,01 44,65Kalimantan Selatan 0,99 92,10Kalimantan Timur 1,00 73,13Sulawesi Utara 1,01 53,89Gorontalo 1,00 76,83Sulawesi Tengah 0,98 55,29Sulawesi Selatan 1,00 86,60Sulawesi Tenggara 1,07 71,37Maluku 1,06 47,30Maluku Utara 1,01 11,35Bali 1,05 83,61Nusa Tenggara Barat 1,33 85,93Nusa Tenggara Timur 1,05 49,91Papua 1,02 48,72

Sumber: Statistik SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Kelayakan Mengajar Guru. Guru mempunyai peran strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan, sehingga diperlukan kelayakan untuk mengajar pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kelayakan mengajar guru, dapat dilihat berdasarkan kualifikasi pendidikan dan kesesuaian mengajar dengan latar belakang pendidikannya. Tabel 2.18 berikut menunjukkan kualifikasi pendidikan guru SD dan SMP tiap propinsi. Dengan berdasarkan kualifikasi pendidikan guru SD minimal D2, nampak bahwa hanya sekitar 49,5 persen guru SD yang dapat dianggap layak mengajar. Pada tingkat SMP, dengan berdasarkan kualifikasi pendidikan guru minimal D3, hanya sekitar 66,3 persen guru yang dapat dianggap layak mengajar.

32

Page 33: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.18: Persentase kualifikasi guru SD dan SMP per propinsi

Propinsi Guru SD (%) Guru SMP (%)< D2 >= D2 < D3 >= D3

DKI Jakarta 22.49 77.51 32.02 67.98Jawa Barat 29.73 70.27 26.67 73.33Banten 32.35 67.65 26.84 73.16Jawa Tengah 37.43 62.57 31.22 68.78DI Yogyakarta 38.30 61.70 34.88 65.12Jawa Timur 35.88 64.12 19.65 80.35N Aceh Darussalam 69.76 30.24 44.92 55.08Sumatera Utara 72.07 27.93 40.73 59.27Sumatera Barat 51.31 48.69 34.28 65.72Riau 61.66 38.34 32.95 67.05Jambi 60.19 39.81 43.91 56.09Sumatera Selatan 67.45 32.55 38.71 61.29Bangka Belitung 57.75 42.25 38.65 61.35Bengkulu 53.69 46.31 34.77 65.23Lampung 67.73 32.27 40.56 59.44Kalimantan Barat 73.96 26.04 54.42 45.58Kalimantan Tengah 68.22 31.78 34.65 65.35Kalimantan Selatan 55.86 44.14 37.49 62.51Kalimantan Timur 64.79 35.21 47.83 52.17Sulawesi Utara 77.94 22.06 49.92 50.08Gorontalo 78.50 21.50 47.78 52.22Sulawesi Tengah 72.77 27.23 50.30 49.70Sulawesi Selatan 64.79 35.21 45.88 54.12Sulawesi Tenggara 71.47 28.53 41.07 58.93Maluku 65.63 34.37 37.83 62.17Maluku Utara 83.50 16.50 25.20 74.80Bali 46.53 53.47 35.76 64.24Nusa Tenggara Barat 63.56 36.44 22.49 77.51Nusa Tenggara Timur 74.39 25.61 51.67 48.33Papua 76.26 23.74 50.88 49.12Rata-rata Nasional 50,51 49,49 33,67 66,33

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Perlu diperhatikan bahwa pengiriman guru mengikuti pendidikan kualifikasi ke kampus menyebabkan sekolah kekurangan guru, sehingga proses belajar mengajar bisa terganggu. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi dalam upaya perbaikan kualifikasi guru adalah bagaimana caranya agar guru dapat mengikuti program kualifikasi, dan proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar.

Kondisi Gedung Sekolah. Kondisi gedung sekolah dan ruang kelas dapat mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan, jika dilihat dari fungsi dan kegunaan gedung dan ruang kelas. Tabel 2.19 berikut menunjukkan kondisi ruang yang ada di tiap Propinsi.

33

Page 34: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.19: Kondisi ruang kelas per propinsiPropinsi SD/MI SMP/MTs

RusakBerat(%)

RusakRingan

(%)

Baik(%)

RusakBerat(%)

RusakRingan

(%)

Baik(%)

DKI Jakarta 4.48 14.64 80.88 2.26 9.76 87.98

Jawa Barat 32.40 36.45 31.15 5.20 10.92 83.88 Banten 25.74 28.25 46.00 4.93 10.59 84.48 Jawa Tengah 18.94 38.37 42.69 1.49 7.76 90.74 DI Yogyakarta 14.13 40.70 45.17 2.38 8.40 89.21 Jawa Timur 17.55 36.87 45.58 1.96 6.37 91.67 N Aceh Darussalam 23.25 34.91 41.84 4.21 10.93 84.86 Sumatera Utara 20.22 38.64 41.14 3.74 9.65 86.61 Sumatera Barat 18.24 38.88 42.89 4.47 10.99 84.54 Riau 30.54 28.62 40.84 0.92 4.20 94.88 Jambi 22.26 25.61 52.12 3.48 9.14 87.38 Sumatera Selatan 21.74 33.17 45.09 1.90 6.50 91.60 Bangka Belitung 13.26 29.93 56.81 1.95 6.56 91.50 Bengkulu 31.56 35.66 32.78 6.61 14.08 79.32 Lampung 28.70 45.60 25.70 2.86 8.83 88.31 Kalimantan Barat 28.39 33.32 38.29 2.87 9.67 87.46 Kalimantan Tengah 30.92 31.47 37.61 1.83 3.48 94.69 Kalimantan Selatan 27.52 33.18 39.30 3.40 11.01 85.58 Kalimantan Timur 22.31 36.00 41.70 3.42 9.29 87.29 Sulawesi Utara 17.16 33.04 49.79 7.23 17.40 75.37 Gorontalo 21.86 32.95 45.19 7.54 12.87 79.59 Sulawesi Tengah 34.03 33.00 32.97 3.53 6.85 89.62 Sulawesi Selatan 19.69 31.52 48.78 4.08 11.08 84.83 Sulawesi Tenggara 31.99 33.12 34.89 3.74 9.01 87.25 Maluku 36.24 30.98 32.78 9.57 13.74 76.69 Maluku Utara 38.07 29.50 32.43 9.46 18.72 71.82 Bali 20.08 35.33 44.59 4.79 10.33 84.88 NusaTenggara Barat 16.64 32.97 50.39 1.68 9.63 88.69 NusaTenggara Timur 36.68 29.37 33.96 7.40 11.94 80.66 Papua 23.42 25.49 51.09 9.47 8.38 82.15 Rata-rata Nasional 24.27 32.92 42.82 4.28

9.94 85.78

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Data di atas menunjukkan bahwa hanya terdapat sekitar 42,8 persen SD/MI yang berada dalam kondisi baik, selebihnya 24,27 persen rusak berat dan 32,92 persen rusak ringan. Untuk gedung sekolah SMP, sebagian besar, yaitu sekitar 85,8 persen berada dalam kondisi baik. Sisanya, sekitar 4,28 persen rusak berat dan 9,94 persen rusak ringan. Kerusakan gedung tersebut berpengaruh terhadap proses belajar mengajar dan akhirnya berpengaruh pada mutu pendidikan. Kondisi gedung sekolah yang tidak aman dan tidak nyaman baik bagi siswa maupun guru, dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi. Hal ini kemudian dapat berakibat pada penurunan prestasi siswa dan penurunan performansi mengajar guru.

B.3. Akses Pendidikan Bagi Anak Perempuan dan Berkelainan

Akses Pendidikan bagi Anak Perempuan. Secara nasional, akses terhadap pendidikan dasar pada umumnya menunjukkan adanya tingkat keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Pada tahun 1999/2000, APK siswa perempuan pada SD/MI sebesar 94,20 persen sedangkan pada SMP/MTs sebesar 70,88 persen. Angka ini

34

Page 35: Profil Kesehatan Anak

hanya sedikit berbeda dengan siswa laki-laki yang mencapai angka 98,82 persen pada tingkat SD/MI dan 72,66 persen pada SMP/MTs.

Tabel 2.20: APK siswa perempuan di SD/MI per propinsi tahun 1999/2000

No PropinsiAPK

>94.20 <94.201 DKI Jakarta 88.002 Jawa barat 93.503 Jawa tengah 96.704 DI Yogyakarta 97.605 Jawa Timur 97.706 N Aceh Dar. 98.807 Sumatra utara 93.008 Sumatra Barat 92.709 Riau 99.7010 Jambi 94.2011 Sumatra Selatan 90.9012 Bengkulu 95.0013 Lampung 91.0014 Kalimantan Barat 90.1015 Kalimantan Tengah 97.3016 Kalimantan Selatan 96.4017 Kalimantan Timur 87.9018 Sulawesi Utara 94.5019 Sulawesi Tengah 91.1020 Sulawesi Selatan 95.0021 Sulawesi Tenggara 98.8022 Maluku 93.6023 B a l I 96.6024 NTB 99.2025 NTT 83.8026 Irian Jaya 73.90

Jumlah propinsi 14 12Sumber: Internasionalisasi Informasi Pendidikan Nasional, PDIP Depdiknas, 2001

Sedangkan bila dilihat dari jumlah siswa, terdapat 48,33 persen siswa perempuan pada tingkat SD/MI. Perkembangan antar-tahun menunjukkan angka yang stabil dengan kenaikan yang kurang berarti, yaitu sebesar 48,26 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 48,33 persen pada tahun 1999/2000. Demikian pula dengan siswa SMP/MTs, persentase siswa perempuan menunjukkan kenaikan walaupun masih relatif kecil, yaitu dari 46,52 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 48,22 persen pada tahun 1999/2000. Dengan demikian tidak terjadi kesenjangan yang tinggi antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam memperoleh layanan pendidikan dasar.

Kalau dilakukan analisis pada tingkat propinsi, maka terdapat 12 propinsi yang tingkat partisipasi perempuan umur 7-12 tahun di bawah rerata nasional dan 14 propinsi lainnya lebih tinggi. Angka tertinggi sebesar 99,70 persen di Propinsi Riau dan terendah sebesar 73,90 persen di Propinsi Papua. Khusus untuk Papua, akses bagi anak perempuan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan akses anak laki-laki yang sudah mencapai 91,40 persen, untuk itu perlu upaya khusus untuk mendorong anak perempuan di sana untuk masuk ke Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kasus seperti Papua sebenarnya masih terjadi di daerah tertentu dan itu banyak terkait dengan masalah budaya.

35

Page 36: Profil Kesehatan Anak

Akses Pendidikan bagi Anak Berkelainan. Pada tahun 2000/2001 terdapat 1.287 lembaga Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang terdiri dari Sekolah luar Biasa (SLB), SD Luar Biasa (SD LB) dan Sekolah Terpadu. Dari jumlah itu, hanya 32,56 persen milik pemerintah. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan bagi anak berkelainan diselenggarakan oleh swasta. Adapun jumlah anak berkelainan yang mendapat pelayanan dari ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut sebanyak 49.647 orang anak.

Dari 875 buah SLB yang ada di Indonesia, 52 sekolah khusus bagi tuna netra, 106 sekolah khusus untuk tuna rungu, 15 sekolah khusus bagi tuna grahita, 12 sekolah khusus bagi tuna laras, 5 sekolah khusus bagi ganda, dan 517 sekolah melayani anak dengan berbagai kekurangan.

Perkembangan jumlah siswa SLB dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 menunjukkan peningkatan. Jumlah siswa pada periode tersebut masing-masing adalah 36.849 orang, 37.460 orang, dan 38.827 orang. Sedangkan perkembangan jumlah siswa SDLB dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 sebesar 9.090 orang, 9.621 orang, dan 9.868 orang. Perkembangan jumlah siswa Sekolah Terpadu dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 memiliki kecenderungan yang agak berbeda dengan dua jenis sekolah yang lain, dan lebih cenderung berfluktuasi, dengan jumlah 961 orang, 922 orang, dan 952 orang.

Tabel 2.21: Sekolah dan Siswa Luar BiasaNegeri Swasta Jumlah

Sekolah 419 868 1.287 SLB 38 837 875 SD LB 228 0 228 Sekolah Terpadu 153 31 184Siswa 13.904 35.743 49.647 SLB 3.162 35.665 38.827 SD LB 9.868 0 9.868 Sekolah Terpadu 874 78 952

Sumber: Statistik Pendidikan Luar Biasa, Tahun 2001, Depdiknas

Peningkatan jumlah siwa SLB, SD LB maupun Sekolah Terpadu menunjukkan indikator bahwa orangtua mau menyekolahkan anak-anak mereka yang menyandang kelainan. Hal itu merupakan suatu kemajuan sehingga sekolah seperti itu perlu dikembangkan, sebagai bentuk layanan pendidikan bagi semua anak, sekaligus pemenuhan hak asasi bagi semua anak.

2.3. PERLINDUNGAN ANAK

Indonesia tidak sendirian dalam upaya untuk melindungi anak-anak. Dalam Konvensi Hak-hak Anak berlaku prinsip universal mengenai non-diskriminasi. Telah disepakati bahwa anak di mana pun berada harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terlepas dari perbedaan latar belakang nasionalitas, budaya, politik kedua orangtuanya, agama atau kepercayaan, sosial ekonomi, atau jenis kelaminnya. Kebijakan negara yang baik adalah memastikan bahwa setiap anak

36

Page 37: Profil Kesehatan Anak

adalah potensi yang konstruktif dan mencegah terjadinya gangguan terhadap mereka sehingga berubah menjadi sumber masalah dan biaya tinggi.

Semua anak membutuhkan perhatian khusus karena mereka tidak dapat mandiri selama bertahun-tahun. Jumlah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus cukup besar, walau data yang sistematis belum tersedia. Analisis situasi dalam dokumen ini akan menunjukkan besaran masalah dan tantangan yang dihadapi.

Untuk menyelenggarakan perlindungan bagi anak, PNBAI mengacu pada pendekatan yang berbasis pada hak-hak asasi manusia. Dalam perencanaan perlindungan ini terlebih dahulu diakui bahwa hak-hak anak adalah hak-hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Konstitusi dan UU No. 23 Tahun 2002.

UUD 1945 dalam amandemen kedua pasal 28b (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada amandemen pasal 28c (2) juga dinyatakan bahwa “setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…” Mandat konsitusi ini diterjemahkan ke dalam UU No. 23 Tahun 2002 yang keseluruhannya mengakui hak-hak anak sebagaimana yang disepakati oleh masyarakat internasional melalui ratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak (KHA), mengatur mekanisme perlindungan anak, serta mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang merugikan anak. Dalam “Menimbang” UU No. 23 Tahun 2002 butir c dikatakan bahwa “anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan”.

Di Indonesia, jenis-jenis kondisi dan situasi anak yang sangat menonjol untuk ditangani segera, sejalan dengan sasaran/target dari World Fit for Children maupun Millenium Development Goals adalah:

Pekerja anak. Pekerja anak di Indonesia sudah dijumpai sejak dulu, karena secara tradisi anak diharapkan membantu orang tua di ladang atau usaha keluarga lainnya. Munculnya pekerja anak merupakan permasalahan sosial yang cukup memprihatinkan, terlebih lagi karena pekerjaan sebagian dari mereka merupakan pekerjaan yang terburuk bagi anak. Berdasarkan data BPS tahun 2000 jumlah anak umur 10-14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa dan jumlah angkatan kerjanya meliputi anak yang sedang bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Persentase angkatan kerja anak umur 10-14 tahun terhadap jumlah anak umur 10-14 tahun sebesar 5,96 persen. Jika dilihat lebih jauh, persentase anak yang bekerja lebih tinggi daripada yang mencari pekerjaan. Pada tahun 2000 persentase anak yang bekerja 5,60 persen dan yang mencari pekerjaan hanya 0,36 persen dari jumlah anak umur 10-14 tahun. Sebenarnya pada dekade terakhir, anak umur 10-14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998/1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekwensi kondisi krisis yang menimpa Indonesia. Persentase pekerja anak umur 10-14 tahun yang memiliki jam kerja normal dalam 1 minggu (35 jam/minggu) sekitar 16,89 persen. Kebanyakan dari mereka bekerja lebih dari 35 jam/minggu, bahkan kenyataannya ada yang bekerja lebih dari 40 jam/minggu. Pada dekade ke depan, diharapkan jumlah anak umur 10-14 tahun yang bekerja menurun dan proporsi pekerja anak umur 10-14 tahun dengan jam kerja 35 jam/minggu atau jam kerja kurang dari 4-5 jam/hari semakin berkurang.

37

Page 38: Profil Kesehatan Anak

Dilihat dari jenis pekerjaan, pekerja anak antara lain terdapat di bidang pertanian (72,01 persen), industri manufaktur (11,62 persen), jasa (16,37 persen).

Data terakhir Susenas 2001 memperlihatkan tentang anak umur 5-14 tahun yang termasuk kategori bekerja pada tabel berikut:

Tabel 2.22: Persentase penduduk umur 5-14 tahun yang bekerja menurut tipe daerah, jenis kelamin, dan status pekerjaan.

Daerah tempat tinggal/Jenis kelamin

Persentase Penduduk (5-14

tahun) yang bekerja(%)

Usaha sendiri

(%)

Usaha rumah tangga sendiri

(%)

Bekerja pada orang/pihak lain dengan

dibayar(%)

Bekerja pada orang/pihak

lain tidak dibayar

(%)PerkotaanLaki-lakiPerempuanLaki-laki + Perempuan

2,052,152,10

14,916,89

10,89

61,9066,0964,00

22,3824,8123,59

4,284,284,28

Perdesaan Laki-lakiPerempuanLaki-laki + Perempuan

6,404,315,39

8,297,087,83

81,5182,0381,71

9,009,239,08

4,294,344,31

Perkotaan + Perdesaan Laki-lakiPerempuanLaki-laki + Perempuan

4,693,454,09

9,437,048,45

78,1478,0678,11

11,2913,1012,03

4,294,324,30

Sumber: Susenas 2001, BPS.

Berdasarkan data tabel 2.22, anak yang bekerja lebih banyak berada di perdesaan daripada di perkotaan. Namun secara kategori status pekerjaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, persentase terbesar adalah anak bekerja/usaha di rumah sendiri. Perlu diteliti lebih mendalam mengenai bentuk-bentuk pekerjaan dan kondisi kerja anak yang bekerja/usaha di rumah sendiri, sejauh kondisi tersebut mengganggu proses tumbuh kembang anak. Yang perlu juga dipantau adalah kategori anak yang bekerja pada orang/pihak lain namun tidak dibayar. Kondisi ini mencerminkan eksploitasi ekonomi terhadap anak. Baik di perkotaan maupun di perdesaan sekitar 4 persen anak laki-laki dan perempuan mengalami eksploitasi untuk bekerja namun tidak diberikan upah.

Dilihat dari jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak umur 5-14 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

38

Page 39: Profil Kesehatan Anak

Tabel 2.23: Persentase penduduk umur 5-14 tahun yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut tipe daerah, jenis kelamin dan jenis pekerjaan utama Tahun 2001

Daerah tempat tinggal/ Jenis kelamin Asongan Pedagang di

tempat tetap Memulung Sektor industri kecil/RT

Sektor industri besar/sedang

Sektor pertanian

Sektor angkutan Sektor jasa Lain-lain

PerkotaanLaki-lakiPerempuanLaki-laki+Perempuan

8,454,596,52

25,5837,6231,62

0,360,170,27

13,0915,7814,44

0,745,132,94

26,049,66

17,83

1,130,120,62

7,9412,9610,46

16,6613,9615,31

Perdesaan Laki-lakiPerempuanLaki-laki+Perempuan

2,332,952,57

7,5114,9210,37

0,410,370,39

4,248,785,99

0,611,150,82

70,5454,4064,31

0,570,050,37

1,962,202,05

11,8315,1713,12

Perkotaan+PerdesaanLaki-lakiPerempuanLaki-laki+Perempuan

3,383,363,37

10,6120,5614,69

0,400,320,37

5,7610,527,71

0,632,141,25

62,9043,2754,86

0,660,070,42

2,984,883,76

12,6614,8713,57

Sumber: Susenas 2001, BPS.

39

Page 40: Profil Kesehatan Anak

Berdasarkan data tabel 2.23, persentase terbesar adalah anak yang bekerja di sektor pertanian dan di daerah perdesaan. Jumlah anak yang bekerja sebagai pemulung persentasenya kecil (0,37 persen), namun hal ini tetap harus menjadi perhatian pemerintah, karena pekerjaan pemulung termasuk dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang berdampak buruk terutama terhadap kesehatan anak. Dengan arus urbanisasi yang terus meningkat, dikuatirkan jumlah anak yang bekerja di sektor pertanian di perdesaan akan sulit ditekan, sebab sumberdaya manusia produktif (usia 15 ke atas) akan semakin berkurang jumlahnya di daerah perdesaan.

Walau bagaimanapun, berbagai jenis pekerjaan tersebut, dapat mengganggu pendidikan dan wajib belajar anak serta dapat mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak. Idealnya pada umur tersebut, mereka sekolah dan tidak terbebani dengan pekerjaan mencari nafkah. Kondisi ini, antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, orang tua menganggur dan kemiskinan yang akhirnya mendorong anak terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

Meskipun belum memiliki gambaran yang jelas mengenai besarnya permasalahan anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut, namun diyakini bahwa keberadaan pekerja anak dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk akan berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental dan sosial serta akan memperpanjang rantai kemiskinan saja.

Berbagai penyebab terjadinya pekerja anak (Indikator dan Profil KPA, 2002 ), antara lain: Adanya persepsi orang tua dan masyarakat bahwa anak yang bekerja tidak buruk

dan merupakan bagian dari sosialisasi dan tanggung jawab anak untuk membantu pendapatan keluarga.

Kemiskinan, gaya hidup konsumerisme, tekanan kelompok sebaya serta drop-out sekolah mendorong anak untuk mencari keuntungan material dengan terpaksa bekerja.

Kondisi krisis ekonomi juga mendorong anak untuk terjun bekerja bersaing dengan orang dewasa.

Lemahnya penegakan hukum di bidang pengawasan umur minimum untuk bekerja dan kondisi pekerjaan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 138 dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999 yang menetapkan tentang batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Dalam undang-undang tersebut dilampirkan Deklarasi Pemerintah Indonesia bahwa batas usia minimum untuk bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Di samping itu, telah diratifikasi Konvensi ILO No. 182 dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang larangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Harus diakui bahwa pola penanganan pekerja anak masih bersifat represif dan kuratif. Program yang ada belum menyentuh aspek preventif dan belum komprehensif. Dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, pemerintah melalui Keppres. No. 12 Tahun 2001 telah membentuk Komite Aksi Nasional dan dengan Keppres No. 59 Tahun 2002 ditetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam rencana aksi

40

Page 41: Profil Kesehatan Anak

tersebut, prioritas tahap pertama dalam 5 tahun ke depan adalah penghapusan pekerjaaan yang banyak melibatkan anak sebagai pekerja di anjungan lepas pantai (jermal), pelacuran anak, perdagangan narkoba, pekerjaan di tambang, pembantu rumah tangga (PRT), dan industri alas kaki (sepatu), melalui ketersediaan model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut.

Anak yang dieksploitasi untuk tujuan seksual komersial. Walaupun belum jelas berapa jumlah anak yang eksploitasi untuk tujuan seksual komersial, namun data yang terkumpul hingga saat ini mengindikasikan bahwa sejumlah anak telah diperdagangkan untuk dilacurkan, bahkan lintas negara. Dilaporkan bahwa tahun 2003 terdapat 125 kasus perdagangan wanita dan anak, 14 orang di antaranya adalah anak berusia antara 14-18 tahun yang merupakan korban pelacuran di Malaysia.

Pemetaan yang dilakukan oleh Hull dkk. (1997) dan Farid (1999) mengindikasikan jumlah anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30 persen dari total prostitusi yakni sekitar 40.000 - 70.000 atau bahkan lebih adalah anak berumur di bawah 18 tahun. Mereka beresiko tinggi untuk tertular penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Diperkirakan jumlah anak yang dilacurkan dan berada di kompleks pelacuran, panti pijat dll. sekitar 21.000 anak. Angka tersebut bisa mencapai 5-10 kali lebih besar jika ditambah pelacur anak yang mangkal di jalan, café, plaza, bar, restoran dan hotel. Perekrutan anak untuk tujuan seksual komersial biasanya terjadi dengan menggunakan penipuan atau alasan palsu untuk bekerja di kota.

Berbagai penyebab masalah eksploitasi seksual komersial terhadap anak (ESKA), antara lain: Kemiskinan, urbanisasi, pendidikan rendah, tidak ada alternatif pekerjaan,

perkawinan umur muda dan perceraian, dan kekerasan seksual pada masa anak-anak.

Adanya kesempatan kerja dengan penghasilan tinggi di kota, gaya hidup konsumtif dan kehidupan di kota menjadi faktor penarik (pull factors).

Bias gender menyebabkan anak perempuan drop out dari sekolah ketimbang anak laki-laki sehingga menyempitkan pilihan pekerjaan bagi anak perempuan, yang akhirnya dapat menjadi faktor pendorong (push factors) memasuki pekerjaan seksual komersial dan trafiking anak

Persepsi masyakat tentang seksualitas dan status perempuan serta pelacuran adalah perbuatan amoral dan tidak selayaknya dibicarakan pada ruang publik menyebabkan masalah ini tersembunyi, luput dari wacana publik.

Negara berkewajiban melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual dengan mengambil langkah-langkah yang layak baik bilateral maupun multilateral untuk mencegah dan menghapus kegiatan eksploitasi seksual anak untuk tujuan komersial maupun eksploitasi anak dalam pertunjukan dan perbuatan yang bersifat pornografi dan pornoaksi. Berbagai instrumen internasional dalam memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial telah disetujui oleh pemerintah dan dalam penyusunan rencana aksi nasional merujuk kepada kesepakatan yang tertuang dalam instrumen internasional tersebut antara lain: Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No. 36

Tahun 1990 Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm tahun 1996

41

Page 42: Profil Kesehatan Anak

Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasific melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Tahun 2001

Komitmen Global Yokohama tahun 2001 Konvensi ILO No. 182 telah diratifikasi oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2000

tentang pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Phornography ditanda tangani pada tanggal 24 September 2001.

Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children supplementing to the UN Convention against Transnational Organized Crime ditandatangani pada tanggal 12 Desember 2002.

Selain itu, berbagai instrumen hukum nasional yang menjadi dasar penyusunan yakni Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah melalui Keppres No. 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak yakni kejahatan yang melanggar hak asasi anak, merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan serta merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Ada lima bidang yang akan digarap dalam memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak yaitu koordinasi dan kerjasama, pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. Kondisi yang ingin dicapai yakni memberikan perlindungan kepada setiap anak dari eksploitasi seksual komersial, mengurangi jumlah anak yang rawan terhadap eksploitasi seksual komersial serta mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap permasalahan eksploitasi seksual komersial anak. (RAN-PESKA 2002, Indikator dan Profil KPA 2002, data Departemen Sosial, 2000).

Anak yang diperdagangkan (trafiking anak). Fakta yang ada menunjukkan korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, bekerja pada tempat-tempat kasar dengan upah yang rendah seperti di perkebunan, jermal, PRT, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, pengemis jalanan, selain sebagai pelacur.

Data BPS tahun 1999 (Indikator Kesejahteraan Anak, 2000) menunjukkan ada sebanyak 1.341.712 PRT di Indonesia, dengan 310.378 PRT (atau sebanyak 23 persen) adalah anak umur 10-18 tahun dengan perempuan sebanyak (93 persen) sedangkan laki-laki sebanyak (7 persen). Walaupun tidak semua PRT bermasalah, dalam beberapa kasus kondisi kerja yang ada dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Meskipun data yang ada sangat minim, namun laporan media massa sering menunjukkan adanya kekerasan fisik dan seksual yang dialami oleh PRT dan biasanya pelaku atau majikan tidak tersentuh oleh hukum.

Perekrutan anak untuk bekerja di jermal merupakan jenis perdagangan anak lainnya. Kebanyakan anak di jermal bekerja siang dan malam tanpa istirahat untuk menurunkan dan mengangkat jala, memilih dan mengasinkan ikan serta memperbaiki jala. Kajian oleh ILO/IPEC (2001) menunjukan ada 140 jermal dan 28 tangkul (mini jermal) dengan rata-rata 3 anak umur dibawah 18 tahun pada setiap jermal.

42

Page 43: Profil Kesehatan Anak

Jenis-jenis perekrutan lainnya yakni untuk dijadikan pengemis, pemulung di tempat-tempat pembuangan sampah. Anak–anak tersebut menghabiskan waktunya untuk bekerja di jalan dan tempat pembuangan sampah dengan mengumpulkan bahan-bahan atau sampah yang dapat di daur ulang. Menurut data kepolisian, sejumlah bayi diperdagangkan ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Berdasarkan laporan Trafficking in Persons Report (Juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bekerja sama dengan ESCAP (Economy Social Commission on Asia Pacific) telah menempatkan Indonesia pada peringkat Tier III. Negara yang dikategorikan Tier III adalah negara yang memiliki korban perdagangan orang dalam jumlah besar, sebagai wilayah pengirim perdagangan orang, pemerintahnya belum menerapkan standar minimum dan melakukan usaha-usaha yang berarti dalam mencegah dan menanggulangi trafiking.

Berbagai faktor yang berhubungan dengan trafiking anak yaitu: Kondisi keluarga karena pendidikan rendah, kemiskinan, keterbatasan kesempatan

dan gaya hidup konsumtif Nilai tradisional yang menganggap anak merupakan hak milik yang dapat

diperlakukan sekehendak orang tua selain adanya bias gender dan status perempuan yang dianggap masih rendah di kalangan masyarakat.

Jangkauan pencatatan akta kelahiran yang masih rendah yang memungkinkan terjadinya pemalsuan umur dan identitas lainnya.

Perkawinan usia muda beresiko tinggi bagi seorang perempuan, terlebih jika diikuti dengan kehamilan dan perceraian.

Migrasi terutama pekerja migran. Kekerasan terhadap perempuan dan anak mengakibatkan mereka meninggalkan

rumah kemudian menjadi korban trafiking dan bekerja di tempat-tempat yang beresiko tinggi.

Konflik sosial dan bersenjata yang terjadi dalam 5 tahun terakhir di Indonesia, diperkirakan turut menyumbang terjadinya kasus-kasus perdagangan anak.

Pemerintah Indonesia telah menyetujui berbagai kesepakatan dan instrumen internasional di bidang trafiking seperti yang telah diuraikan pada perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial. Pada tahun 1998 Indonesia menyepakati Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women and the Asian Regional Initiative Against Trafficking (ARIAT) yang merupakan rencana aksi regional dalam memerangi dan mencegah trafiking perempuan dan anak.

Selain itu, amanat TAP MPR No. X/MPR/2001 menugaskan kepada eksekutif untuk melakukan upaya-upaya sebagai berikut : Meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1949 tentang Larangan Perdagangan

Perempuan (Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others )

Membentuk badan/lembaga atau gugus tugas untuk memberantas perdagangan perempuan dan anak

Pemerintah melalui Keppres No. 88 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak serta menetapkan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafiking. Bidang garapan yang

43

Page 44: Profil Kesehatan Anak

akan diimplementasikan yakni perlindungan dengan mewujudkan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku trafiking, pencegahan segala bentuk trafiking, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban trafiking serta mewujudkan kerjasama dan koordinasi dalam penanggulangan trafiking.

Pengungsi Anak dan Anak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Latar belakang pengungsi anak di Indonesia beragam sekali, dari jenis pengungsi internal (internally displaced person) sampai kepada pengungsi lintas batas negara (refugee). Ada yang disebabkan oleh International Armed Conflict (eks-Propinsi Timor Timur), konflik komunal dan sosial (Propinsi Maluku, Propinsi Kalimantan Barat, Kota Poso), konflik separatis (Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam, Propinsi Papua) serta migrasi lintas batas (TKI). Data yang dikumpulkan oleh Kantor Bakornas PBP (Mei 2002) menunjukkan terdapat sebanyak 1.245.874 jiwa pengungsi di seluruh Indonesia, diperkirakan 38-43 persen pengungsi adalah anak-anak. Data Departemen Sosial (2001) menunjukkan korban konflik komunal/sosial sekitar 400.000 adalah anak-anak tersebar di 24 propinsi di Indonesia. Khusus pengungsi Aceh per 29 Juli 2003, Departemen Sosial mencatat sebanyak 30.814 jiwa, dan 30 persen di antaranya adalah anak-anak.

Berbagai upaya kemanusiaan untuk mengatasi pengungsi anak (Internally Displaced Children) telah dilakukan pemerintah bersama-sama LSM, para relawan dan lembaga-lembaga donor internasional meliputi upaya-upaya pencegahan, tanggap darurat/ penyelamatan, penampungan, pemulangan, pemberdayaan dan pemukiman kembali ke daerah asal, relokasi atau bertransmigrasi ke wilayah lain. Permasalahan yang dijumpai dalam penanganan pengungsi, di samping terbatasnya tenaga lapangan, juga dikarenakan lemahnya koordinasi dan kerjasama antara instansi terkait dengan pemerintah daerah yang telah otonom, lembaga non pemerintah dan lembaga donor internasional.

Anak tanpa akta kelahiran. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah memberikan pengakuan legal terhadap hak anak atas suatu nama, status kewarganegaraan, mengetahui dan sejauh mungkin diasuh oleh kedua orang tuanya. Selain itu, Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa identitas anak yang menyangkut nama, jenis kelamin, tanggal lahir, hubungan orang tua, kewarganegaraan harus diberikan sejak lahir dan dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatannya menjadi tanggung jawab pemerintah dan harus diberikan paling lambat 30 hari sejak diajukan permohonan. Diperkirakan hanya sekitar 50-69 persen anak tercatat saat lahir dari sekitar 78 juta anak (umur 0-18 tahun). (Unicef, Progress of Nations 1998).

Hasil kajian menunjukkan sangat besar variasi jangkauan antara desa dan kota yaitu sekitar 20-30 persen. Pencatatan kelahiran yang rendah, jangkauan pelayanan yang terbatas tidak membudaya di kalangan masyarakat terutama di daerah terpencil, menjadikan kendala bagi pencatatan kelahiran oleh orang tua, selain faktor biaya, jarak dan ketidaktahuan manfaat serta kegunaan akta kelahiran. Kajian yang dilakukan oleh Plan Internasional (1998) terhadap anak asuhnya sebanyak 400 anak umur (0-18 tahun) mengindikasikan sebagai berikut: hanya 28 persen yang tercatat sedangkan 72 persen tidak tercatat kelahirannya dari yang tercatat hanya 80 persen yang dapat menunjukkan akta kelahiran, 20

44

Page 45: Profil Kesehatan Anak

persen akta kelahiran berada atau disimpan di tempat lain tingkat pencatatan kelahiran di kota (43 persen) lebih baik dibandingkan di desa

(36 persen) hanya 29 persen yang melakukan pencatatan kelahiran dalam tempo 60 hari,

sisanya 71 persen diatas tempo 60 hari kerja. di antara yang tidak tercatat kelahirannya karena ketidak tahuan bahwa akta

kelahiran dibutuhkan (37 persen), dengan alasan mahal biayanya (26 persen), tidak tahu prosedur (14 persen), sisanya alasan lain-lain.

dari 10 persen responden pada saat validasi hanya 21 persen saudara kandungnya yang tercatat kelahirannya, sementara itu 12 persen di antara ibunya dan 11 persen diantara ayahnya yang tercatat kelahirannya.

Data terakhir tentang kepemilikan akta kelahiran ditunjukkan oleh Susenas 2001 seperti tabel berikut:

Tabel 2.24: Persentase anak umur (0-4 tahun) menurut kepemilikan akta kelahiran dan daerah tempat tinggal Tahun 2001.

Kepemilikan akta kelahiran Perkotaan (%) Perdesaan (%) Perkotaan + Perdesaan (%)Punya, dapat ditunjukkan 39,86 14,67 25,07Punya,tidak dapat ditunjukkan 18,30 11,84 14,50Tidak punya 41,18 72,04 59,30Tidak tahu 0,66 1,45 1,13Total 100,00 100,00 100,00

Sumber: Susenas 2001, BPS.

Pentingnya memiliki akta kelahiran mengingat akta kelahiran merupakan: pengakuan pertama negara atas keberadaan dan status hukum seorang anak alat dan data dasar bagi pemerintah untuk perencanaan menyusun anggaran

nasional dalam memenuhi hak-hak anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya bagi anak.

fasilitas dalam memasuki pendidikan dasar 9 tahun untuk mendukung pelaksanaan umur minimum mengikuti sekolah

mencegah pemalsuan umur dan lebih lanjut mencegah perkawinan di bawah umur 16 tahun, kekerasan seksual dan trafiking anak

perlindungan anak dari pelanggaran yang terjadi pada sistem peradilan anak

Menurut studi (Farid, 1999), faktor-faktor di balik rendahnya pencatatan kelahiran di Indonesia, antara lain adalah: Hambatan struktural berupa sistim pencatatan teritorial dalam bentuk Keterangan

Surat Kelahiran (KSK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) versus sistim pencatatan kelahiran dalam bentuk Akta Kelahiran, ternyata manfaat KTP yang ekstensif dibandingkan Akta Kelahiran membuat penduduk tidak menyadari arti penting pencatatan kelahiran, sebaliknya semua orang menyatakan KTP sangat diperlukan.

Masih digunakannya Surat Keterangan Kenal Lahir (SKKL) dan Surat Kelahiran Desa/Kelurahan. Dahulu SKKL dikeluarkan sebagai pengganti Akta Kelahiran sedangkan Surat Kelahiran Desa/Kelurahan dikeluarkan sebagai syarat untuk melakukan pencatatan kelahiran, namun ternyata dapat dipakai sebagai pengganti Akta Kelahiran. Meskipun SKKL telah berkurang, namun kedua surat keterangan tersebut ikut menurunkan permintaan Akta Kelahiran dan rendahnya tingkat pencatatan kelahiran.

Faktor-faktor penawaran seperti kehilangan manfaat, kepedulian negara, kendala

45

Page 46: Profil Kesehatan Anak

anggaran dan birokrasi yang tidak bersahabat serta hambatan struktural lainnya. Faktor sosio-budaya seperti suku asli, budaya khusus, dan lain-lain. Faktor-faktor permintaan seperti tidak mengetahui manfaat, tingkat pengetahuan,

hambatan geografis, biaya dan administratif. Hal ini, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.25: Persentase anak umur 0-4 tahun yang tidak mempunyai akta kelahiran menurut alasan tidak memiliki dan daerah tempat tinggal

Alasan Perkotaan (%) Perdesaan (%) Perkotaan + Perdesaan (%)Biaya mahal/tidak ada biaya 28,42 22,18 23,97Perjalanan jauh 3,44 9,82 7,99Tidak tahu kalau harus dicatat 12,52 17,83 16,31Tidak tahu cara mengurus 14,16 22,82 20,34Tidak merasa perlu 14,16 22,82 20,34Lainnya 40,29 26,92 30,74Tidak tahu 4,73 7,98 7,05

Sumber: Susenas 2001, BPS.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memperluas jangkauan pencatatan kelahiran adalah: perlunya legislasi di tingkat nasional yang mencerminkan semangat serta prinsip

HAM dan hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam hal ini perlu perubahan paradigma bahwa pencatatan kelahiran adalah hak penduduk bukan kewajiban penduduk, sehingga setiap penduduk berkeinginan untuk memilikinya. Di lain pihak, pemerintah sebagai penyelenggara, berkewajiban memenuhi hak penduduk untuk mendapatkan akte kelahiran, sehingga penduduk tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan haknya (Farid 1999).

mengkaji ulang dan melakukan amandemen Undang-undang yang relevan dengan masalah pencatatan kelahiran seperti misalnya Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

mengurangi kendala struktural, administratif, politis dan anggaran. memperluas jangkauan pelayanan dengan melibatkan RS, Klinik Bersalin dan

para dokter serta bidan agar mendorong para orang tua untuk segera mencatatkan kelahiran anak mereka dan meminta RS, Klinik Bersalin, dokter dan bidan menyediakan pelayanan pengurusan pencatatan kelahiran sebagai bagian dari pelayanan persalinan yang mereka lakukan.

selain itu perlu kampanye publik dan sosialisasi tentang arti dan manfaat pencatatan kelahiran yang dituangkan ke dalam akta kelahiran kepada masyarakat secara luas.

menggalang kerjasama dan bantuan lembaga-lembaga internasional agar segera tercapai Universal Birth Registration di Indonesia.

Anak korban kekerasan (fisik dan/mental) dan perlakuan salah (Child Abuse). Data yang akurat belum tersedia karena tidak banyak kasus-kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan. masalah ini dianggap masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Jumlah kasus yang tercatat dalam laporan kepolisian untuk tahun 2002 adalah 239 kasus dan tahun 2003 sebanyak 326 kasus. Sebagian besar kasus tidak dapat diproses lebih lanjut secara hukum, karena bukti yang kurang memadai atau pengaduan dicabut kembali oleh pelapor. Laporan Komisi Nasional-

46

Page 47: Profil Kesehatan Anak

Perlindungan Anak (Komnas-PA) mencatat sekitar 871 anak yang mengalami tindak kekerasan dan 80 persen menimpa anak di bawah umur 15 tahun. Bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak Indonesia ini meliputi fisik, emosional, sosial dan seksual. Banyak kasus tidak terpublikasikan, sehingga belum ada data lengkap tentang hal ini. Namun berdasarkan pemantauan terhadap 13 media cetak selama tahun 1994 s/d 1997, YKAI melaporkan 538 kasus perlakuan salah secara seksual, 80 kasus perlakuan salah secara fisik, 63 kasus penelantaran, dan 5 kasus perlakukan salah secara emosional. Pelaku child abuse ini umumnya adalah orang yang dikenal anak (66 persen), termasuk orangtuanya sendiri (7,2 persen).

Yang termasuk paling rentan terhadap tindakan kekerasan baik fisik, mental, dan seksual adalah anak jalanan. Umumnya anak jalanan mengalami kekerasan, bahkan di tempat-tempat umum, seperti pemukulan, perkosaan, kehamilan tanpa suami, ditolak masyarakat.

Anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza). Jumlah kasus anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) cenderung meningkat dan semakin parah. Pada tahun 1995-1996 rawat inap kelompok umur remaja dan dibawah 15 tahun mencapai 2 persen dan 3 persen sedang rawat jalan berturut-turut sebanyak 8,8 persen dan 12,6 persen, namun sampai akhir tahun 2000 kelompok umur 20-24 tahun semakin dominan (Indikator dan Profil KPA 2002). YKAI mengestimasi pecandu napza di Indonesia telah mencapai 1,5 juta orang dan di Jakarta saja diperkirakan sekitar 130.000 orang, sebagian besar pecandu berumur di bawah 18 tahun. Angka sebenarnya diperkirakan 3 juta dengan jumlah pecandu anak di bawah 18 tahun mendekati 500.000-1.500.000 anak. Anak korban penyalahgunaan napza banyak di dominasi kelompok umur remaja bahkan kelompok umur yang amat muda yaitu di bawah 15 tahun. Hal ini, dilatar belakangi kondisi kepribadian yang masih labil dan pengaruh lingkungan dimana remaja tinggal dan bersosialisasi.

Penggunaan narkoba suntik saat ini, cenderung meningkat dan beresiko menularkan berbagai penyakit melalui jarum suntik yang digunakan secara bersama-sama seperti Hepatitis dengan prevalensi sekitar 60-80 persen dan HIV dengan prevalensi sekitar 40-60 persen. Penelitian yang dilakukan di sebuah klinik ketergantungan obat di Jakarta menunjukkan 543 (75 persen) pecandu adalah pengguna narkoba suntikan dan 71 persen diantaranya telah menyuntik selama 1-4 tahun. Survai lain di dua kelurahan di Jakarta tahun 1990 menunjukkan bahwa 60-70 persen dari remaja (di bawah 18 tahun) merupakan pengguna narkoba dan 60 persen dari pengguna tersebut adalah pengguna narkoba suntikan (Syamsurizal Jauzi, 1999).

Pemerintah melalui Keppres. No. 17 Tahun 2002 telah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bertugas melaksanakan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalah gunaaan dan peredaran gelap napza. Kemudian melalui Inpres No. 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif Lainnya telah memerintahkan kepada instansi terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran narkotika gelap dengan melakukan koordinasi dengan Badan Narkotika Nasional di tingkat nasional maupun daerah. Dari sisi legislasi yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, kurang memberikan

47

Page 48: Profil Kesehatan Anak

perlindungan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Anak yang menggunakan dan mengedarkan narkotika dan psikotropika dapat dikenai sanksi sebagai offenders.

Masalah penyalahgunaan napza tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan formalistik hukum, kecaman sosial ataupun agama, melainkan diperlukan penegakan hukum dan sanksi hukum yang tegas dan berat bagi para produsen, pengedar dan pelaku (traffickers).

Anak jalanan. Krisis ekonomi telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin meningkat yang menyebabkan peningkatan jumlah kelompok rentan termasuk anak telantar dan anak jalanan. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 anak dan sekitar 48 persen adalah anak-anak yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan data dari Departemen Sosial mencatat bahwa 60 persen putus sekolah dan 80 persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan terinfeksi PMS serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan sangat sulit mengakses pelayanan pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, dan perlindungan hukum. Selain itu, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat karena alasan melanggar ketenteraman dan ketertiban.

Penanganan anak jalanan telah dilakukan oleh pemerintah sejak terjadinya krisis ekonomi berlangsung melalui rumah singgah dalam skema jaring pengaman sosial (Social Safety Net). Pelayanan yang diberikan melalui rumah singgah antara lain upaya penyelamatan anak jalanan, pelayanan dasar seperti pemberian makanan tambahan (PMT), beasiswa, registrasi, tutorial, latihan keterampilan, reunifikasi keluarga, bimbingan kewirausahaan, dan penyuluhan sosial. Penanganan anak jalanan perlu dilanjutkan mengingat anak jalanan sangat rawan, hak-haknya tidak tidak terpenuhi, sangat rentan terhadap eksploitasi, perlakuan salah, penelantaran, dan diskriminasi. Anak jalanan berada dalam situasi yang buruk untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Dalam kondisi yang sudah parah anak jalanan cenderung melakukan tindak kriminal yang dapat berakibat pada timbulnya gangguan keamanan yang lebih luas, karena anak jalanan sering berada dalam lingkungan pelaku kejahatan kota.

Dari kajian dampak pelayanan program jaring perlindungan sosial di 4 kota besar (Yashinta 2001) terungkap bahwa alasan anak bekerja di jalan karena membantu pekerjaan orang tua (71 persen), dipaksa membantu orang tua (6 persen), menambah biaya sekolah (15 persen) sedangkan alasan jajan, ingin hidup bebas, dapat teman dll. (11 persen). Alasan ekonomi keluarga kelihatannya menjadi pendorong utama anak bekerja di jalan. Akibat kondisi anak demikian, maka 13 persen anak jalanan mengalami putus sekolah. Anak dalam usia sekolah, seharusnya tidak dibebani pekerjaan, selain untuk menimba ilmu pengetahuan di sekolah. Bagi anak yang turun ke jalan untuk membantu orang tua, pada umumnya seluruh penghasilan diberikan kepada orang tuanya. Anak tersebut menjadi aset ekonomi keluarga dan ketergantungan ekonomi keluarga akan mempersulit upaya-upaya menarik anak dari

48

Page 49: Profil Kesehatan Anak

jalanan dan mengembalikan mereka ke rumah dan ke dunia anak-anak.

Kajian juga memperlihatkan berbagai manfaat yang diterima anak jalanan dan orang tuanya selama pelaksanaan program tersebut (1998-2000). Terungkap bahwa populasi anak jalanan berkurang (16 persen), kelangsungan pendidikan anak terpelihara (68 persen), adanya altenatif pekerjaan selain di jalan (8 persen), berkembangnya usaha ekonomi orang tua anak jalanan (52 persen) dan anak terhindar dari tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran, serta penurunan tindak kejahatan oleh anak jalanan (94 persen).

Anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, tercatat jumlah “anak didik” di LAPAS Anak sebanyak 3.722 anak (Depkeh & HAM, Agustus 2002). Di Indonesia anak mempunyai tanggung jawab hukum pada umur 8 tahun sedangkan Beijing rules menetapkan 12 tahun.

Statistik kriminal BPS memperlihatkan adanya penurunan jumlah narapidana anak dari tahun 1995 s/d 1997 secara berturut-turut sebagai berikut 5.234 anak, 4.479 anak dan 4.079 anak. Kasus terbanyak anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah pencurian (60 persen) dan perkelahian (13 persen).

Sebagian besar dari narapidana anak dijatuhi hukuman kurang dari 1 tahun dengan prosentase berturut-turut sebagai berikut 90 persen (1995), 87,6 persen (1996), 88,5 persen (1997). Tidak ada narapidana anak yang dihukum seumur hidup dan sebagian hakim lebih memilih memberikan putusan hukuman penjara dari pada hukuman kurungan pengganti denda.

Beijing rules menetapkan bahwa hukuman penjara sebagai upaya terakhir. Kondisi di atas, tidak berarti materi hukum, prosedur hukum dan aparat hukum yang ada telah harmonis dengan berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan anak seperti Konvensi Hak-hak Anak pasal 37 & 40, UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Ryardh Guidelines), UN Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) dan UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived their Liberty, di mana Indonesia turut menyetujui.

Jumlah anak yang bermasalah dengan hukum yang terdapat dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara seluruh Indonesia sampai bulan Mei 2003 adalah sebagaimana rincian berikut:

Tabel 2.26: Distribusi Jenis Anak Dalam Lapas dan Rutan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2003

No. Jenis anak dalam Lapas dan Rutan Jumlah Total1 Anak di Lapas L P

a. Napi Anak 1.874 95 1.969b. Anak Negara 101 2 103c. Anak sipil 3 - 3Jumlah anak di Lapas 1.978 97 2.075

2 Anak di Rutan 894 35 929TOTAL 2.872 132 3.004

Sumber: Dep.Kehakiman dan HAM (Mei, 2003)

Yang menjadi permasalahan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak

49

Page 50: Profil Kesehatan Anak

yang bermasalah dengan hukum di Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan adalah:1. Tidak semua propinsi memiliki Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan anak.1. Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan Anak belum mempunyai sarana dan

prasarana yang memadai sebagai tempat pembinaan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.

2. Dengan adanya over kapasitas penghuni LP dan Rutan dewasa, khusus pada kota-kota kadang-kadang terjadi penghuni LP dewasa dititipkan pada LP anak.

Anak yang berkonflik dengan hukum, menurut BPS, setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan anak-anak di bawah usia 16 tahun. Tahun 1994 terdapat 9.442 perkara, dan menurun pada tahun 1995 (4.724 perkara). Dari seluruh anak yang ditangkap sekitar separuhnya diajukan ke pengadilan dan 83 persen dari mereka kemudian dipenjarakan. Anak yang berkonflik dengan hukum meliputi juga Anak Nakal, yang menurut pengertian Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hingga tahun 2002, jumlah Anak Nakal yang dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial sebanyak 193.155 (Departemen Sosial, 2002). Sesungguhnya anak yang berkonflik dengan hukum merupakan bagian dari anak yang membutuhkan perlindungan khusus

Situasi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Upaya kearah pemberian perlindungan terhadap anak yang memerlukan perlindungan khusus telah dimulai ketika pada tanggal 23 Juli 1997 bertepatan dengan Hari Anak Nasional Presiden RI mencanangkan Gerakan Nasional Perlindungan Anak (GNPA). Anak yang mengalami perlakuan salah (abuse) seperti kekerasan dalam rumah tangga memerlukan perlindungan khusus sebab lingkungannya telah menjadi tidak aman bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Sebagai tindak lanjut pencanangan GNPA, pada tahun itu juga telah diundangkan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Pusat dan pada tingkat propinsi di Indonesia. Undang-undang tentang Pengadilan Anak merupakan bentuk komitmen Pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang mengalami konflik dengan hukum, sementara LPA dimaksudkan sebagai lembaga non pemerintah yang memberikan advokasi, perlindungan dan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi anak.

Dengan nomenklatur yang berbeda-beda saat ini teleh terbentuk LPA/institusi Perlindungan Anak di seluruh Propinsi di Indonesia. Upaya lain yang sudah dilakukan adalah membangun rumah/panti perlindungan, trauma center, Lembaga Pemasyarakatan Anak, Panti Rehabilitasi Sosial dan sebagainya.

Yang juga termasuk dalam kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus adalah anak berusia di bawah 5 tahun yang membutuhkan orang tua pengganti, yang terpisah dari orang tuanya, serta anak terlantar, dan anak korban bencana alam. Hingga bulan Agustus 2003, tercatat 1.115 anak yang membutuhkan orang tua pengganti, baik yang diadopsi melalui prosedur domestic adoption (863), maupun inter country adoption (252). Namun demikian diperkirakan masih terdapat pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan, di antaranya sebagaimana

50

Page 51: Profil Kesehatan Anak

diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983, yang selanjutnya melahirkan praktrek-praktek adopsi ilegal. Anak yang terpisah dari orang tuanya dapat disebabkan oleh terpisah saat mengungsi, orang tua meninggal, penculikan, dititipkan pada keluarga lain atau organisasi seperti panti, pesantren, gereja, dan lain-lain. Untuk kasus Timor Timur, sekitar 1.009 kasus masih dalam proses, dan 2.131 anak telah bersatu kembali dengan orang tuanya (Statistik UNHCR, Desember 2002). Anak korban bencana alam pun perlu mendapatkan perlindungan khusus sebab proses tumbuh kembangnya terganggu dengan adanya peristiwa bencana alam tersebut.

Anak dari kelompok minoritas. Anak-anak dari kelompok minoritas baik suku bangsa, agama, dan bahasa berhak bermasyarakat dengan anggota lain dari kelompoknya, serta dijamin haknya untuk menikmati kebudayaannya, melaksanakan agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Pada umumnya anak-anak yang berada dalam kelompok komunitas adat terpencil (KAT) belum tersentuh pelayanan pendidikan dasar, kesehatan, kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial lainnya. Tingkat kesejahteraan keluarga KAT umumnya termasuk kategori sangat miskin. Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat terasing.

Diperkirakan dari 233.858 KK atau 939.432 orang merupakan bagian dari KAT, dan 30 persen atau sekitar 282.000 diantaranya adalah anak-anak (Departemen Sosial, 2002).

Bagi anak-anak di daerah terpencil, kepada orang tua mereka dibangunkan pemukiman baru dengan fasilitas sosial yang memadai sehingga dapat lebih menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak. Di pemukiman ini anak-anak dapat mengikuti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses informasi/hiburan dan transportasi umum. Sampai dengan tahun 2002, anak-anak dari KAT yang telah memperoleh pelayanan sosial di pemukiman baru sebanyak 120.000 anak.

Anak penyandang cacat. Data menunjukkan bahwa anak penyandang cacat sebanyak 358.738 anak (Departemen Sosial, 2002). Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap deteksi dini kecacatan dan kehamilan yang tidak diinginkan merupakan permasalahan yang kerap muncul pada anak penyandang cacat. Penyandang cacat anak umur (0-4 tahun) sebanyak 0,01 persen atau sekitar 57-58 anak umur (0-4 tahun) dari setiap 10.000 penduduk. Penyebab kecacatan dibawa sejak lahir sebanyak 34,9 persen dan akibat kecelakaan dan bencana alam sebanyak 15,2 persen. Jenis kecacatan yang banyak terjadi yaitu cacat tubuh (35,8 persen), cacat netra (17 persen), cacat rungu (14,27 persen), cacat mental (12,15 persen) dan lain-lain kurang dari 7 persen (RIP KPA 2001). Kebijakan dan pelayanan bagi penyandang cacat meliputi upaya-upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi melibatkan berbagai sektor terkait antara lain pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Secara keseluruhan, dari isu-isu yang disebutkan di atas, dapat ditarik dua kesimpulan: pertama, anak-anak Indonesia rentan terhadap berbagai perlakuan salah seperti kekerasan fisik dan/atau mental, eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, dan diskriminasi; dan kedua, perlakuan salah terhadap anak dapat dilakukan oleh orang perorang, keluarga, masyarakat bahkan oleh negara sekalipun.

Partisipasi Anak. Suara anak masih belum menjadi pertimbangan pemerintah.

51

Page 52: Profil Kesehatan Anak

Wadah-wadah yang dapat mendengar dan menyuarakan pendapat dan harapan anak masih sangat sedikit, sehingga partisipasi anak dalam berbagai proses pembangunan pun sangat rendah. Hal ini turut menghambat pencapaian kesejahteraan dan perlindungan anak.

Penyebab masalah anak yang memerlukan perlindungan dari perlakuan salah pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:a. Penyebab makro. Penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah,

seperti di bidang pembangunan sosio-ekonomi yang kurang tepat menyebabkan adanya kesenjangan pembangunan antarwilayah, antarsektor, antarkelompok masyarakat, dan lain-lain dengan akibat terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan antarwilayah dan kelompok masyarakat serta terjadi kemiskinan struktural, rendahnya kebijakan peduli anak dari sektor di tiap tingkatan Di samping itu, masih ada undang-undang yang perlu disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak, dan masih belum ada peraturan pemerintah untuk menerapkannya.

b. Penyebab meso. Penyebab yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosio-budaya masyarakat seperti ketidaksetaraan dan keadilan gender pada masyarakat patrilineal dan feodal. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender ini turut menentukan peranan dan kedudukan anak perempuan yang tidak setara dan adil dengan anak laki-laki terutama dalam keluarga miskin. Selain itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan selain memperburuk permasalahan anak juga telah menurunkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan, yang kemudian berdampak pada menurunnya kemampuan pemerintah dalam membiayai upaya-upaya perlindungan anak.

c. Penyebab mikro. Penyebab yang berkaitan dengan diri anak dan keluarganya seperti anak lari dari keluarga, anak ingin berpetualang, gaya hidup konsumerisme, kesulitan keuangan keluarga, kesulitan berhubungan dengan keluarga dan tetangga, rendahnya pendidikan dan keterampilan, degradasi moral, buta huruf, disfungsi keluarga, penelantaran, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar anak, ditolak orang tua, salah pengasuhan, kekerasan di rumah, terpisah dari orang tua, dan keterbatasan kemampuan orang tua merawat anak. Selain itu, meningkatnya perceraian merupakan salah satu faktor pendorong anak terjerumus kepada penyalahgunaan napza, anak turun ke jalan, perdagangan anak, dan eksploitasi seksual komersial anak/pelacuran.

2.4 Penanggulangan HIV/AIDS

Pada dasarnya besarnya masalah PMS yang sebenarnya di Indonesia sukar diketahui karena sekitar 30 – 50 persen penderita PMS tidak berobat. Demikian pula, sekitar 50-70 persen penderita PMS tidak berobat ke sarana kesehatan. Di samping itu, sekitar 70 persen perempuan dan sekitar 30 persen laki-laki terinfeksi Chlamydia dan 80 persen perempuan dan 10 persen laki-laki yang terinfeksi Gonorrhoea tidak menunjukkan gejala penyakit Chlamydia dan Gonorrhoea.

Hasil sero survai dari tahun 1993 hingga 1997 menunjukkan bahwa pada kelompok perilaku risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks di daerah lokalisasi pelacuran, media prevalensi syphilis menunjukkan kisaran angka prevalensi pada waria cukup tinggi yaitu antara 25 – 75 persen. Angka prevalensi Gonorrhoea pada kelompok perilaku

52

Page 53: Profil Kesehatan Anak

risiko tinggi menunjukkan angka 3–30 persen, sedangkan pada kelompok masyarakat umum, hasil pemeriksaan pada wanita pengunjung klinik KIA dan KB menunjukan angka 0,3 – 2,7 persen.

Angka Chlamydia sangat terbatas akan tetapi penyakit ini merupakan PMS terpenting pada kelompok perilaku risiko tinggi dan pada masyarakat umum. Data dari Jakarta, Surabaya dan Manado tahun 1993 – 1997 menunjukkan angka 8 – 10,3 persen pada masyarakat umum dan pada 3 – 30 persen pada kelompok perilaku risiko tinggi. Di Indonesia, AIDS untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Jumlah tersebut akan meningkat terus apalagi bila tidak diambil langkah-langkah yang konkrit untuk mengatasinya. Sampai pertengahan dekade 1990-an penularan HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual yang berisiko, tetapi bukti akhir-akhir ini menunjukkan penularan melalui penyalahgunaan napza suntik semakin meningkat terutama pada usia remaja. Hampir semua propinsi di Indonesia melaporkan adanya HIV/AIDS dan paling sedikit terdapat tiga kantong epidemi dimana prevalensi HIV/AIDS sangat tinggi, yakni di Propinsi Papua (Kabupaten Merauke), DKI Jakarta dan Propinsi Riau (Pulau Batam dan Karimun).

Jumlah sebenarnya orang yang terjangkit HIV/AIDS di Indonesia sangat sulit diukur dan masih belum diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Perkiraan jumlah infeksi HIV dan kecenderungannya dapat diamati melalui sistem surveilans HIV/AIDS yang diselenggarakan secara nasional. Jumlah infeksi HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan oleh propinsi sampai dengan Desember 2003 masing-masing 2.720 dan 1.371. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Estimasi yang dibuat pada tahun 2002 diperkirakan terdapat sekitar 90.000 – 130.000 orang yang positif terinfeksi HIV. Menurut penelitian empiris, kondisi positif terinfeksi HIV dapat berubah menjadi positif AIDS dalam kurun waktu 8 tahun. Dengan demikian, pada tahun 2010 nanti diperkirakan akan terdapat sekitar 90.000 – 130.000 penderita AIDS. Cara penularan HIV adalah melalui hubungan seks berisiko, penggunaan jarum suntik dan alat medis yang tercemar virus, transfusi darah dan transmisi dari ibu HIV positif kepada bayinya serta penularan melalui transplantasi jaringan tubuh yang terinfeksi HIV.

Angka kesakitan HIV di Indonesia secara nasional masih tergolong “low prevalence country” tetapi keadaan sebenarnya pada beberapa propinsi sudah mengarah kepada “concentrated level epidemic” artinya pada kelompok tertentu prevalensi HIV sudah mencapai 5 persen bahkan melebihi 5 persen paling tidak dalam 2 kali survai berurutan. Pemahaman tentang epidemi HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti dengan menyimak hasil pengamatan atau surveilans terhadap HIV/AIDS di antara kelompok penduduk dengan risiko terinfeksi yang berbeda-beda seperti: penjaja seks, narapidana, penyalahguna napza suntik, darah donor, ibu hamil dan lain sebagainya. Cara penularan yang dilaporkan terutama adalah melalui hubungan seksual (60 persen), 50,6 persen diantaranya melalui hubungan seks heteroseksual dan 9,4 persen melalui hubungan seks homoseksual. Sejak tahun 1999 penularan melalui penyalahgunaan napza suntik meningkat secara drastis dan menempati urutan kedua (26,26 persen) sesudah transmisi secara heteroseks.

Hasil surveilans prevalensi infeksi HIV pada wanita penjaja seks (WPS) bervariasi antar propinsi dan antar kabupaten dengan kisaran prevalensi antara 0 – 26,5 persen.

53

Page 54: Profil Kesehatan Anak

Di beberapa tempat seperti di propinsi Riau dan Papua prevalensi berkisar antara 6 – 26,5 persen. Tingkat infeksi di antara penyalahguna napza suntik lebih tinggi misalnya di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali yang berkisar antara 24,5 - 53 persen. Studi prevalensi pada ibu hamil di salah satu tempat di propinsi Riau pada tahun 1998/1999 menunjukkan bahwa 0,35 persen ibu hamil telah terinfeksi HIV, sedangkan di propinsi Papua sebesar 0,25 persen. Di Jakarta Utara melalui program voluntary counselling and testing (VCT) pada tahun 2000 diketahui bahwa prevalensi HIV pada ibu hamil adalah 1,5 persen, dan pada tahun 2001 adalah 2,7 persen. Hal ini menunjukkan telah terjadinya penularan pada masyarakat umum melalui populasi perantara (bridging population).

Di Indonesia anak yang terkena HIV/AIDS masih rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kasus AIDS yang dilaporkan ditemukan pada kelompok 0 – 4 tahun sebanyak 12 kasus (1,53 persen), kelompok umur 5 – 14 tahun sebanyak 4 kasus (0,3 persen), dan kelompok umur 15 – 19 tahun sebanyak 78 kasus (5,69 persen). Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya oleh karena itu perlu diperkuat sistem survailans di setiap tingkat administrasi pemerintahan.

Meskipun jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan pada kelompok anak masih rendah, namun anak sangat rentan tertular HIV/AIDS antara lain karena kelompok anak tersebut sudah mulai aktif secara seksual, penyalahgunaan narkotika suntik (napza suntik), kekerasan seks, dan rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi termasuk HIV/AIDS.

Kecenderungan ini dapat dilihat antara lain dengan meningkatnya anak terlantar, anak jalanan, anak nakal yang keseluruhannya berjumlah sekitar 3 juta orang. Sementara itu jumlah Wanita Tuna Susila yang dilaporkan berjumlah 73.037 orang diantaranya usia dibawah 18 tahun.

Dari laporan pasif sejak tahun 1996 s/d 2000 diketahui pula terdapat 26 orang ibu hamil positif HIV dari propinsi: DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau. Dilaporkan pula terdapat 13 bayi tertular HIV.

Berbagai Upaya yang telah dilakukanBerbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia antara lain: KIE, promosi perilaku seksual aman, penyediaan darah transfusi yang aman dari HIV, pemasaran kondom, pemeriksaan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS), Surveilans HIV/STS, surveilans AIDS, layanan VCT yang masih terbatas pada RS tertentu dan NGO, pelatihan bagi petugas kesehatan serta lintas sektor (Universal precaution, VCT), pengobatan dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang masih terbatas, dan penelitian perilaku pada kelompok risiko tinggi.

Kegiatan yang sedang dilaksanakan pada saat ini adalah uji coba Survai Surveilans Perilaku (SSP) di 13 propinsi, pengembangan modul survai surveilans perilaku, pemeriksaan dan pengobatan IMS, surveilans HIV/AIDS & IMS, pelatihan bagi petugas kesehatan, uji coba mengurangi dampak buruk akibat IDU/Harm Reduction di DKI dan Bali, uji coba kondom 100 persen dan uji coba Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) di Papua.

54

Page 55: Profil Kesehatan Anak

BAB IIIVISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

Visi:

Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.

Formulasi visi tersebut melingkupi beberapa hal strategis, yaitu:1. Kesepakatan Indonesia dalam dunia internasional seperti tertuang dalam dokumen

A World Fit for Children2. Mempertimbangkan 4 (empat) kata kunci yang termuat dalam dokumen Konvensi

Hak-hak Anak, yaitu survive, growth, protection, dan participation.

Misi:

1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata, dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular termasuk HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat.

2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.

3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.

Tujuan yang dirumuskan tidak terlepas dari tujuan pembangunan nasional yang telah dirumuskan dalam GBHN 1999-2004 dan PROPENAS yaitu pembangunan sumberdaya manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Selain itu, perumusan tujuan juga tidak keluar dari kerangka kebijakan Perencanaan Jangka Menengah (PJM) dan Perencanaan Jangka Panjang (PJP) pembangunan Indonesia.

3.1. KESEHATAN ANAK

Tujuan Kesehatan Anak1. Menurunkan angka kematian neonatal, bayi, dan balita2. Meningkatkan kesehatan ibu3. Meningkatkan kesehatan neonatal bayi, balita dan remaja4. Meningkatkan status gizi, memasyarakatkan keluarga sadar gizi (kadarzi),

menurunkan prevalensi BBLR5. Promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak dan remaja6. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan penyakit lainnya yang

terkait dengan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

55

Page 56: Profil Kesehatan Anak

7. Meningkatkan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan menjamin kesinambungan lingkungan hidup yang sehat bagi kelangsungan hidup dan tumbuhkembang anak

Sasaran yang hendak dicapai untuk Kesehatan Anak1. Menurunnya AKB dan AKBA pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi 2001

a. Menurunnya angka kematian bayi menjadi 17 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015, terutama difokuskan pada upaya menurunkan angka kematian neonatal.

b. Menurunnya angka kematian balita menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

c. Menurunnya angka kematian karena pneumonia dari 5 menjadi 2 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010.

d. Menurunnya angka kematian akibat diare diantara balita dari 2,5 menjadi 1 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010.

e. Menurunnya angka kematian akibat campak pada tahun 2005 menjadi 1/2 dari keadaan pada tahun 2001.

f. Eliminasi tetanus neonatorum pada tahun 2005.g. Menurunnya angka kesakitan malaria menjadi 1 per 1000 penduduk dan angka

kematian karena malaria sebanyak 75 persen serta menjamin 60 persen penduduk di daerah berisiko malaria – terutama anak dan wanita – menggunakan kelambu yang mengandung insektisida.

h. Meningkatnya angka kesembuhan penderita TBC dengan BTA positif menjadi 85 pada tahun 2010.

i. Desa/kelurahan mencapai Universal Child Immunization (UCI) 100 persen pada tahun 2010.

j. Menurunnya kasus Acute Flacid Paralysis (AFP) yang ditemukan per 100.000 penduduk 15 tahun menjadi 1

k. Meningkatnya cakupan kunjungan neonatus menjadi 90 persen dan cakupan kunjungan bayi menjadi 90 persen pada tahun 2010.

l. Meningkatnya cakupan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang ditangani menjadi 100 persen.

m. Neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen.n. Meningkatnya cakupan manajemen terpadu pada balita sakit pneumonia,

diare, malaria, campak, DBD, infeksi telinga, gizi kurang, menjadi 100 persen pada tahun 2010.

2. Menurunnya AKI pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001.a. Menurunnya AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.b. Meningkatnya kunjungan ibu hamil K4 (pelayanan antenatal yang keempat

kali) menjadi 95 persen pada tahun 2010.c. Meningkatnya pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang

memiliki kompetensi kebidanan menjadi 90 persen pada tahun 2010.d. Cakupan ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk 100 persen pada tahun 2010.e. Meningkatnya penanganan kasus komplikasi obstetrik menjadi > 20 persen

pada tahun 2010.f. Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk

menangani rujukan ibu hamil dan neonatus mencapai 80 persen tahun 2010.g. Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen pada

tahun 2010.h. Ibu hamil yang mendapat 90 tablet Fe mencapai 90 persen pada tahun 2010.

56

Page 57: Profil Kesehatan Anak

i. Menurunnya prevalensi anemia gizi pada ibu hamil (kadar hemoglobin < 8 gr persen) menjadi 20 persen dan anemia pada wanita usia subur menjadi 15 persen pada tahun 2010.

j. Menurunnya angka kehamilan yang tidak diinginkan dari 17,1 persen menjadi 11 persen pada tahun 2010.

k. Meningkatnya kabupaten/kota yang mempunyai sedikitnya 4 puskesmas Pondok Obstetrict Neonatal Emergency Desa (PONED) menjadi 60 persen pada tahun 2010.

l. Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan Pondok Obstetrict Neonatal Emergency Kecamatan (PONEK).

3. Menurunnya masalah kurang gizi pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001.

a. Menurunnya persentase balita gizi kurang dari 27,2 persen menjadi 20 persen pada tahun 2010.

b. Meningkatnya persentase balita yang dipantau kenaikan berat badannya dari 40 persen menjadi 70 persen pada tahun 2010.

c. Meningkatnya pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dari 13,9 persen menjadi 30 persen pada tahun 2010.

d. Meningkatnya pemberian ASI disertai makanan pendamping ASI pada anak umur 6 bulan sampai 2 tahun menjadi 80 persen pada tahun 2010

e. Menurunnya prevalensi BBLR menjadi < 5 persen pada tahun 2010.f. Cakupan balita mendapat kapsul Vitamin A 2 kali pertahun 90 persen pada

tahun 2010.g. Menurunnya total goitre rate menjadi 13 persen pada tahun 2010.h. Menurunnya prevalensi anemia pada balita dari 35 persen menjadi 16 persen

pada tahun 2010.i. Menurunnya prevalensi balita pendek dan sangat pendek dari 36 persen

menjadi10,3 persen pada tahun 2015.

4. Menurunnya proporsi rumah tangga yang tidak memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih yang terjangkau pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari proporsi pada tahun 2001.a. Meningkatnya cakupan air bersih dari 73,5 persen menjadi 91,2 persen pada

tahun 2015b. Meningkatnya cakupan jamban saniter dari 93 persen menjadi 97,7 persen

pada tahun 2015

5. Penyelenggaraan program nasional perkembangan anak usia dini (early child development).a. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bagi balita dan anak pra-sekolah

menjadi 80 persen pada tahun 2010.b. Meningkatnya balita yang naik berat badannya menjadi 80 persen pada tahun

2010.c. Meningkatnya cakupan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak

balita dan prasekolah menjadi 90 persen pada tahun 2010.d. Sedikitnya 80 persen balita memiliki Buku KIA pada tahun 2010.e. Pelayanan gangguan jiwa pada anak di sarana pelayanan kesehatan umum

mencapai 15 persen pada tahun 2010.f. Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk

57

Page 58: Profil Kesehatan Anak

pelayanan rujukan kesehatan dan tumbuh kembang anak.g. Cakupan posyandu purnama yang menyelenggarakan kegiatan

perkembangan anak dini usia sedikitnya 40 persen.

6. Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja.a. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh

tenaga kesehatan atau tenaga terlatih/Guru UKS/Dokter Kecil 100 persen pada tahun 2010

b. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan remaja 80 persen pada tahun 2010.

7. Penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi.a. Cakupan KB aktif menjadi 70 persen pada tahun 2010.b. Meningkatnya cakupan kasus efek samping/komplikasi KB 100 persen pada

tahun 2010.c. Sedikitnya 80 persen Puskesmas memberikan pelayanan kesehatan

reproduksi (PKRE dan PKRK) pada tahun 2010.

3.2. PENDIDIKAN ANAK

Tujuan Pendidikan Anak

1. Mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan tahap perkembangannya, agar memiliki kesiapan memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.

2. Membekali anak dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar memiliki kemampuan untuk kehidupan di masa depan.

Sasaran yang hendak dicapai untuk Pendidikan Anak1. Sampai 2015, paling tidak 75 persen anak usia 0-6 tahun menerima pelayanan

perawatan dan pendidikan.2. 80 persen dari orang tua terlibat aktif dalam perawatan dan pendidikan anak usia

dini.3. Pembangunan Pusat Perkembangan Anak Usia Dini pada setiap sub-kabupaten.4. Peningkatan jumlah institusi perawatan dan pendidikan anak usia dini.5. Sampai tahun 2008/2009 angka partisipasi kasar mencapai 95 persen pada

jenjang SLTP/MTs.6. Tercapainya kesetaraan gender pada tingkat pendidikan dasar, khususnya yang

berkaitan dengan aspek-aspek seperti akses terhadap pendidikan, kualitas belajar termasuk isi kurikulum, dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan lanjut.

7. Peningkatan pada semua aspek yang mendukung kualitas dari pendidikan dasar, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan individu, fasilitas dan media pendidikan, serta hasil belajar siswa.

8. Penyediaan satu macam atau lebih kecakapan vokasional bagi siswa yang berpartisipasi dalam pendidikan dasar, sehingga mereka dapat mengatasi kehidupan keseharian mereka di dalam masyarakat.

9. Tujuan-tujuan yang dicanangkan dalam Konvensi Dakar diperkirakan akan dicapai sebelum 2015.

58

Page 59: Profil Kesehatan Anak

3.3. PERLINDUNGAN ANAK

Tujuan Perlindungan AnakTujuan umum perlindungan bagi anak-anak adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi anak. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai adalah:1. Menjamin perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak

patut, termasuk tindak kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi.2. Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan dan pendampingan

bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan terlindungi dari tindak diskriminatif.

3. Mengakui dan menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.

Sasaran yang hendak dicapai untuk Perlindungan Anak

1. Terlaksananya sosialisasi hak-hak anak di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, baik di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik keluarga, masyarakat, maupun dunia usaha.

2. Terjaminnya hak-hak anak dalam situasi darurat meliputi pengungsian dan konflik bersenjata, serta anak dalam kondisi tereksploitasi baik eksploitasi ekonomi maupun non-ekonomi.

3. Tercapainya perlindungan hukum yang ramah anak, baik pada elemen pemerintah (polisi dan jaksa), yudikatif (hakim), pengacara, dan lembaga perlindungan hukum non-pemerintah.

4. Terselenggaranya upaya-upaya pelayanan kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari eksploitasi media massa dan labelisasi, re-integrasi, penyediaan sarana dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan pemudahan aksesibilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak.

5. Terjadinya peningkatan kepemilikan akte kelahiran bagi anak.6. Tersedianya wadah bagi anak-anak dari Komunitas Adat Terpencil dan

Kelompok Minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.

3.4. PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Tujuan Penanggulangan HIV/AIDS1. Menyediakan atau menyebarluaskan informasi pencegahan infeksi HIV pada bayi,

anak dan remaja2. Menyediakan perawatan, akses terhadap pengobatan dan dukungan pada anak

dengan HIV/AIDS3. Meningkatkan peran serta keluarga, remaja, masyarakat dalam penanggulangan

HIV/AIDS pada bayi, anak dan remaja.4. Meningkatkan kemitraan antara pemerintah, swasta, LSM dan organisasi

masyarakat, profesional dan lembaga internasional dalam merespon Program Nasional bagi Anak Indonesia dalam penanggulangan HIV/AIDS

5. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah yang bersinergi dalam

59

Page 60: Profil Kesehatan Anak

penanggulangan HIV/AIDS pada bayi, anak dan remaja.

Sasaran yang dicapai hendak dicapai untuk Penanggulangan HIV/AIDS1. Remaja dan pemuda yang memperoleh KIE untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap dan perilaku positif dalam mencegah penularan HIV meningkat berturut-turut dari 50 persen pada tahun 2005, 70 persen tahun 2010 dan 90 persen tahun 2015.

2. Orang mampu melindungi dirinya dari penularan IMS dan HIV/AIDS meningkat berturut-turut dari 50 persen tahun 2005, 70 persen tahun 2010 dan 90 persen tahun 2015.

3. Keluarga yang mempunyai anak dan remaja mendapat informasi penanggulangan HIV/AIDS meningkat berturut-turut dari 50 persen tahun 2005, 70 persen tahun 2010 dan 90 persen tahun 2015.

4. 95 persen darah donor, produk darah dan jaringan transplantasi bebas dari pencemaran HIV/AIDS.

5. 80 persen ibu hamil yang datang ke klinik ante-natal care mendapat informasi dan konseling dan pelayanan pencegahan HIV, termasuk PMTCT.

6. 100 persen ODHA yang datang ke sarana kesehatan memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan mulai tahun 2005.

60

Page 61: Profil Kesehatan Anak

BAB IVKEBIJAKAN DAN STRATEGI

Untuk mencapai visi dan misi yang telah dirumuskan diatas, maka disusunlah kebijakan-kebijakan dasar, sebagai berikut:1. Mewujudkan anak yang sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal melalui

pemberdayaan masyarakat, peningkatan kerjasama lintas sektor, perbaikan lingkungan, peningkatan kualitas serta jangkauan upaya kesehatan, peningkatan sumberdaya, pembiayaan dan manajemen kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

2. Mewujudkan anak yang cerdas-ceria dan berakhlak mulia melalui upaya perluasan aksesibilitas dan peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan, dan partisipasi masyarakat

3. Mewujudkan perlindungan dan partisipasi aktif anak melalui perbaikan mutu pranata sosial termasuk hukum, pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan terutama bagi anak yang berada dalam keadaan darurat/sulit, dan jejaring kerja internasional sampai dengan lokal.

Strategi untuk mencapai visi dan misi tersebut adalah:1. Penegakan hukum secara komprehensif dalam upaya perlindungan terhadap anak.2. Pemberdayaan keluarga, orang tua, dan wali anak serta masyarakat dan dunia

usaha secara keseluruhan.3. Kerjasama lintas sektor dan kemitraan internasional, regional, dan lokal.4. Penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan sosial bagi anak yang relevan,

komprehensif, terintegrasi, merata, bermutu dan dapat dijangkau.5. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender.6. Memberi kesempatan dan mendorong anak untuk berpartisipasi dalam upaya

pemenuhan hak-hak anak.7. Upaya mendekatkan anak dengan lingkungan dan budayanya.

4.1. KESEHATAN ANAK

Persoalan Strategis dalam Kesehatan AnakUraian situasi kesehatan anak pada Bab II menggambarkan hal-hal strategis dalam pembangunan kesehatan anak sebagai berikut: (1) status kesehatan dan gizi anak cenderung membaik dalam dekade terakhir, walaupun krisis sosial ekonomi memperlambat perbaikan tersebut; (2) kondisi perbaikan status kesehatan dan gizi anak tersebut berkaitan langsung dengan peningkatan upaya kesehatan dan sumberdaya kesehatan serta berbagai faktor di luar sektor kesehatan, seperti kerjasama dan dukungan lintas sektor, perbaikan lingkungan hidup, tingkat sosial ekonomi, perilaku individual, keluarga dan masyarakat, termasuk di dalamnya faktor budaya, geografis, dan perbedaan kemampuan daerah; dan (3) keterlibatan aktif dan kemandirian keluarga, dukungan masyarakat serta kemitraan dengan swasta.

61

Page 62: Profil Kesehatan Anak

Adapun isu strategis dalam kesehatan anak adalah; (1) masih tingginya angka kematian bayi terutama komponen neonatal, angka kematian balita dan angka kematian ibu. Selain itu kesenjangan angka kematian bayi, balita, dan ibu antardesa dan antarkota serta antarpropinsi di Indonesia masih besar dan sangat bervariasi; (2) masih tingginya prevalensi gizi kurang pada balita dan kesenjangan antardesa dan antarkota; (3) masih tingginya angka kesakitan karena penyakit-penyakit menular seperti campak, tetanus neonatorum, pneumonia, diare, tuberculosis, malaria, demam berdarah dengue, dan infeksi parasit perut; (4) terbatasnya ketersediaan sarana sanitasi dasar; (5) kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan serta gangguan perilaku pada anak dan remaja, korban kekerasan terhadap anak; (6) terbatasnya akses anak termasuk remaja terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu baik ditingkat pelayanan dasar maupun rujukan.

Berbagai isu strategis tersebut mengarahkan fokus pembangunan kesehatan di masa mendatang pada: (1) peningkatan kesehatan ibu dan neonatal, (2) peningkatan status gizi, terutama pada balita, (3) pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, (4) pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan, (5) penurunan ancaman lingkungan, (6) peningkatan kesehatan bayi, balita dan remaja, dan (7) promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak dan remaja.

Kebijakan Kesehatan AnakKebijakan PNBAI Bidang Kesehatan mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan dalan rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang meliputi; (1) pemantapan kerjasama lintas sektor dalam rangka optimalisasi hasil pembangunan berwawasan kesehatan untuk mendukung upaya-upaya terkait kesehatan anak Indonesia; (2) peningkatan perilaku, kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta dalam upaya kesehatan bagi anak melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan pendidikan kesehatan; (3) peningkatan kesehatan lingkungan dalam rangka mewujudkan lingkungan sehat sehingga anak Indonesia dapat hidup sehat terhindar dari penyakit serta dapat tumbuh dan berkembang secara optimal; (4) peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan status kesehatan dan gizi anak yang meliputi aspek pencegahan dan pengurangan morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), dan kecacatan (disabilitas dan handicapped) melalui upaya promosi hidup sehat, pencegahan dan pemberantahan penyakit menular serta pengobatan penyakit dan rehabilitasi; (5) peningkatan sumberdaya kesehatan untuk mendukung PNBAI bidang kesehatan yang meliputi pengembangan tenaga kesehatan yang ahli, trampil dan professional; pembiayaan kesehatan/ jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat; perbekalan kesehatan; pengadaan dan produksi bahan baku obat; (6) peningkatan kebijakan dan pembangunan kesehatan terutama melalui peningkatan secara strategis antara sektor kesehatan dan sektor lain yang terkait dengan PNBAI, dan antara berbagai program kesehatan terkait PNBAI serta antara pelaku dalam pembangunan kesehatan; (7) peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, makanan, dan alat kesehatan; (8) peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dalam rangka menunjang upaya kesehatan bagi anak Indonesia.

Strategi Kesehatan Anak1. Peningkatan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk

62

Page 63: Profil Kesehatan Anak

pelayanan, pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.2. Peningkatan kerjasama lintas sektor termasuk dengan dukungan lembaga

eksekutif dan legislatif di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota.3. Pemberdayaan keluarga, orang tua dan/atau wali anak.4. Pemberdayaan masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, dan kemitraan

swasta.5. Penelitian dan pengembangan untuk mendukung program kesehatan dan

kesejahteraan anak.

4.2. PENDIDIKAN ANAK

Persoalan Strategis dalam Pendidikan AnakBetapapun pendidikan anak usia dini telah menjadi komitmen nasional, namun masih banyak tantangan yang kita hadapi di lapangan. Berbagai tantangan tersebut diantaranya adalah: (1) masih rendahnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan anak usia dini; (2) masih terbatasnya lembaga layanan pendidikan bagi anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang masih di bawah usia empat tahun; (3) sangat terpencarnya keberadaan anak-anak usia dini yang harus dilayani, terutama yang ada di daerah-daerah yang sulit dijangkau karena kendala geografis dan transportasi; (4) masih relatif terbatasnya dukungan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap pendidikan anak usia dini; (5) masih sangat terbatasnya tenaga pendidik dan kependidikan pada pendidikan anak usia dini, baik secara kualitas maupun kuantitas; (6) belum adanya sistem yang menjamin keterpaduan dalam penanganan anak usia dini yang bersifat holistik; dan (7) masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus untuk pendidikan anak usia dini serta terbatasnya penelitian di bidang pendidikan dini.

Selain itu, pendidikan dasar 9 tahun masih menghadapi tantangan-tantangan lama, seperti aksesibilitas, efisiensi internal, dan perbaikan mutu proses belajar-mengajar. Persoalan jumlah fasilitas belajar dan besarnya biaya di luar biaya administrasi sekolah seperti seragam, sepatu, dan buku pelajaran serta transportasi merupakan kendala yang amat serius dan perlu dicari jalan keluarnya segera. Tingkat literasi orang dewasa jelas merupakan sarana sosial yang sangat penting untuk mempertahankan anak di sekolah. Oleh karena itu, program keaksaraan fungsional perlu dikembangkan terus. Kualitas guru juga merupakan tantangan yang perlu dijawab segera. Investasi yang memadai untuk menunjang isu-isu besar ini akan membantu penyelesaian persoalan-persoalan mendasar di dalam penyelanggaraan pendidikan dasar sembilan tahun.Kebijakan Pendidikan AnakKebijakan yang perlu diambil untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut adalah: 1. Pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi pembangunan pendidikan melalui

penyusunan kewenangan wajib dari setiap tingkatan pemerintahan sampai ke tingkat kabupaten, pengelolaan sumberdaya (personel, pembiayaan, dll.) yang efisien, dan pengembangan kelembagaan.

2. Peningkatan akses terhadap perawatan dan pendidikan usia dini, serta pendidikan dasar, khususnya di daerah perdesaan, daerah terpencil dan terisolir, terutama daerah di luar Pulau Jawa.

3. Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dasar, perawatan dan pendidikan usia dini melalui partisipasi masyarakat, organisasi masyarakat, dan dunia usaha.

63

Page 64: Profil Kesehatan Anak

4. Peningkatan akses terhadap pendidikan dasar 9 tahun, khususnya bagi anak-anak yang kebutuhannya belum terpenuhi.

5. Peningkatan kualitas proses belajar mengajar serta memperlengkapi anak dengan kecakapan hidup yang diperlukan.

6. Peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar sehingga setiap anak memiliki kompetensi dasar yang dapat digunakan untuk hidup dalam bermasyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

7. Peningkatan efisiensi manajemen pendayagunaan sumber daya pendidikan agar semua lembaga pendidikan dapat melaksanakan fungsinya secara lebih efesien dan efektif.

Strategi Pendidikan Anak 1. Pemberdayaan otoritas lokal/daerah sebagai faktor penting dalam pembangunan

pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar. 2. Pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengembangan

pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar. 3. Pemanfaatan dan optimalisasi prasarana dan sarana yang tersedia untuk

mendukung pelaksanaan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.4. Mobilisasi sumberdaya, khususnya masyarakat dan dunia usaha untuk

berkontribusi menyediakan prasarana, pendidikan dan pelatihan bagi guru, dan bahan belajar yang diperlukan.

5. Peningkatan sosialisasi pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar melalui berbagai media yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat.

6. Peningkatan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan tenaga pendidik anak usia dini dan pendidikan dasar.

7. Pengembangan sistem monitoring kualitas pendidikan. 8. Pengintegrasian layanan pendidikan anak dengan layanan kesehatan dan

peningkatan gizi secara holistik.9. Perbaikan sistem dan kualitas data/informasi mengenai pendidikan anak usia dini

dan pendidikan dasar.10. Pengembangan pusat-pusat rujukan pendidikan anak usia dini dan pendidikan

dasar di semua wilayah, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Pendidikan Anak yang diselenggarakan masyarakat dan unit-unit pelaksana teknis.

4.3. PERLINDUNGAN ANAKPersoalan strategis dalam Perlindungan AnakTindakan pencegahan dan intervensi dini perlindungan anak sangat diperlukan bagi anak yang berisiko dilanggar hak-haknya. Persoalan strategis yang perlu segera diupayakan penanggulangannya adalah: rendahnya perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum; rendahnya upaya pencegahan terhadap tindak pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking, diskriminatif, dan kekerasan terhadap anak; terus meningkatnya jumlah pekerja anak; masih terabaikannya perlindungan bagi pengungsi anak; dan masih rendahnya jumlah anak yang memiliki akte kelahiran.

Kebijakan Perlindungan AnakUntuk mencapai visi dan misi yang telah dirumuskan dan dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan strategis dalam perlindungan anak, maka kebijakan perlindungan anak adalah:

64

Page 65: Profil Kesehatan Anak

1. Penguatan sistem pelayanan kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari eksploitasi media massa dan labelisasi, re-integrasi, penyediaan sarana dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan pemudahan aksesibilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak.

2. Perwujudan perlindungan hukum yang optimal bagi anak.3. Peningkatan ketahanan dan responsivitas keluarga dan masyarakat yang dapat

melindungi anak dari segala bentuk perlakuan salah termasuk pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking, kekerasan, dan diskriminasi.

4. Pembentukan mekanisme partisipasi anak dalam pembangunan yang mencerminkan pemikiran dan harapan anak.

Strategi Perlindungan Anak:1. Penegakan hukum secara komprehensif dalam upaya perlindungan terhadap anak.2. Peningkatan upaya penegakan hukum dan pemantauan berbasis masyarakat.3. Kerjasama lintas sektor dan kemitraan internasional, regional dan lokal.4. Revitalisasi institusi-institusi yang berkaitan langsung dengan penanganan

masalah-masalah perlindungan anak.5. Pemberdayaan keluarga, orang tua dan wali anak serta masyarakat secara

keseluruhan.6. Penyediaan pelayanan bagi anak yang relevan, komprehensif, terintegrasi,

merata, bermutu dan dapat dijangkau.7. Peningkatan kesetaraan gender.8. Pendekatan perlindungan anak melalui partisipasi anak.9. Pengembangan sistem informasi mengenai perlindungan anak.

4.3. PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Persoalan strategis dalam Penanggulangan HIV/AIDSUraian situasi HIV/AIDS dan anak menggambarkan persoalan strategis, sebagai berikut: (1) terdapat kebutuhan yang mendesak untuk intensifikasi sistem surveilens penyakit di semua jenjang pemerintahan dalam rangka mendeteksi keberadaan penyakit dan penanggulangannya; (2) diperlukan upaya pengembangan organisasi dan sistem yang mendukung upaya penderita HIV/AIDS dan keluarga untuk penyembuhan termasuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur dan sumberdaya manusia.

Dasar- dasar kebijakan:a. Penanggulangan HIV/AIDS merupakan upaya terpadu dari peningkatan perilaku

hidup sehat (promotif), pencegahan penyakit HIV/AIDS (preventif), serta pengobatan dan perawatan (kuratif) dan dukungan hidup (support) terhadap pengidap HIV/AIDS. Upaya preventif dan promotif merupakan upaya prioritas yang diselenggarakan secara berimbang dengan upaya kuratif dan dukungan terhadap pengidap HIV/AIDS.

b. Penanggulangan HIV/AIDS didasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Para pengidap HIV/AIDS memiliki hak asasi sebagai manusia dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang diperlukan serta hidup layak sebagai anggota masyarakat lainnya.

65

Page 66: Profil Kesehatan Anak

c. Penanggulangan HIV/AIDS merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pemberantasan kemiskinan serta pembangunan kesehatan yang dalam penyelenggaraannya senantiasa menghormati atau mendasarkan kepada nilai-nilai budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

d. Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat, sektor swasta dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi internasional. Masyarakat termasuk LSM merupakan pelaku utama dalam pelaksanaan penanggulangan sedangkan pemerintah berkewajiban memberdayakan masyarakat serta memberikan bantuan arahan, bimbingan dan menciptakan suasana yang menunjang.

e. Pemerintah berkewajiban untuk memimpin dan memberi arah penanggulangan HIV/AIDS (leadership) dengan menetapkan komitmen politik (political commitment), memberikan prioritas kepada penanggulangan HIV/AIDS, dan memobilisasi sumber daya. Pemerintah berkewajiban menciptakan suasana kondusif guna mencegah timbulnya stigmatisasi, penyangkalan (denial), dan praktek diskriminasi karena HIV/AIDS .

f. Kerjasama internasional melalui badan-badan PBB, organisasi regional, lembaga penyandang dana dan LSM internasional perlu ditingkatkan guna memperoleh: i) manfaat dari mobilisasi sumberdaya internasional; ii) menerapkan pengalaman dalam menurunkan prevalensi HIV/AIDS dari negara lain; dan iii) meningkatkan kerjasama penanggulangan penyakit di daerah perbatasan.

Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS1. Perbaikan suasana/lingkungan yang kondusif guna memudahkan

diselenggarakannya upaya pencegahan, pengobatan serta perawatan yang komprehensif terhadap pengidap HIV/AIDS.

2. Peningkatan kerjasama lintas sektor dengan melibatkan organisasi-organisasi LSM, organisasi profesi, masyarakat bisnis, media masa, pemuka agama, keluarga dan para ODHA.

3. Pencegahan merupakan prioritas upaya penanggulangan yang diintegrasikan dengan perawatan, dukungan dan pengobatan.

4. Pemberdayaan masyarakat, keluarga dan anak khususnya anak perempuan.5. Pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya.6. Peningkatan akses obat ARV (Anti Retro Viral) yang murah dan dapat dijangkau.7. Pengintegrasian pendidikan pencegahan HIV/AIDS ke dalam kurikulum baik

ekstra maupun intra kurikuler.

Strategi Penanggulangan HIV/AIDS1. Penggalangan komitmen politik yang tinggi.2. Pengembangan dan penerapan strategi nasional multipihak dalam upaya

penanggulangan HIV/AIDS.3. Pengintegrasian kegiatan pencegahan dengan kegiatan pelayanan, dukungan dan

pengobatan.4. Pengintegrasian program VCT bagi ibu hamil yang berisiko.5. Peningkatan akses terhadap pelayanan, dukungan dan pengobatan6. Pengembangan program perawatan, pengobatan dan dukungan bagi ODHA pada

program community/family based care penanggulangan HIV/AIDS 7. Peningkatan keadilan dan kesetaraan gender8. Sosialisasi hak asasi dalam penyediaan pelayanan dan pengobatan ODHA

66

Page 67: Profil Kesehatan Anak

BAB VKEGIATAN-KEGIATAN POKOK

Program Nasional bagi Anak Indonesia memuat sejumlah kegiatan-kegiatan pokok baik di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, maupun penanggulangan HIV/AIDS. Perumusan kegiatan-kegiatan pokok ini dilakukan dengan mengacu pada Repenas Transisi Tahun 2005, kerangka pikir Perencanaan Jangka Menengah (PJM) untuk tahun 2006-2010 dan Perencanaan Jangka Panjang (PJP) 2025.

Secara umum, fokus kegiatan-kegiatan pokok adalah sebagai berikut:1. Memastikan adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berpihak

pada kepentingan anak sebagai bagian dari penguatan sistem hukum dan melaksanakan upaya sosialisasi peraturan perundangan tersebut ke segala lapisan masyarakat.

2. Melakukan advokasi kepada lembaga-lembaga legislatif, unit-unit perencana, tenaga profesional, sektor-sektor terkait dan pihak swasta agar senantiasa mengutamakan program nasional bagi anak dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.

3. Mengembangkan peran dan partisipasi kelembagaan masyarakat, termasuk sektor media informasi, swasta dan LSM, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kemandirian keluarga, pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dengan swasta dalam program nasional bagi anak

4. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang peran dan status perempuan dan keluarga bagi kesehatan anak; bahaya, penanggulangan dan dampak HIV/AIDS; pendidikan anak, permasalahan penundaan usia perkawinan, masalah kesehatan reproduksi dan jiwa anak dan remaja,

5. Memberikan pelayanan yang bermutu dalam bidang kesehatan, pendidikan, sosial, perlindungan dan pengembangan anak yang menjangkau segala lapisan masyarakat termasuk anak-anak yang berasal dari daerah terpencil, anak-anak daerah kumuh, anak-anak jalanan, dan kelompok anak-anak lain yang masih belum terjangkau pelayanan sosial dasar.

Adapun kegiatan-kegiatan pokok per bidang dijabarkan sebagai berikut:

5.1. KESEHATAN ANAK

1. Meningkatkan upaya kesehatan ibu, neonatal, bayi, balita, anak pra sekolah dan usia sekolah serta remaja yang mencakup aspek promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi, termasuk upaya pembinaan perkembangan anak usia dini dan kesehatan reproduksi. Upaya kesehatan tersebut diatas mencakup pelayanan kesehatan, pembiayaan, sumberdaya, dan manajemen kesehatan.- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan maternal: pertolongan persalinan oleh

tenaga kesehatan, pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar dan komprehensif.

- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan balita dan anak pra-sekolah yang mencakup pelayanan neonatal esensial, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), deteksi dini dan stimulasi perkembangan pada anak.

- Menyelenggarakan usaha kesehatan sekolah dan pelayanan kesehatan remaja.- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan reproduksi esensial.

67

Page 68: Profil Kesehatan Anak

2. Melakukan perbaikan gizi berupa pemantauan dan promosi pertumbuhan balita, pendidikan gizi, suplemen zat gizi (vit A, Fe, Yod), pelayanan gizi (tatalaksana gizi buruk) dan fortifikasi bahan makanan.- Melakukan penanggulangan anemia gizi pada ibu hamil, wanita usia subur dan

balita.- Meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI.- Melakukan penanggulangan gizi kurang termasuk pemantauan pertumbuhan

anak, pemberian makanan tambahan (PMT) dan survei kewaspadaan pangan dan gizi.

- Menyediakan suplementasi vitamin A, yodium, zat besi.3. Melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi.

- Melakukan pencegahan dan pemberantasan ISPA, diare, malaria, dan tuberkulosis.

- Melakukan eliminasi tetanus neonatorum.- Melakukan imunisasi untuk 7 macam antigen termasuk upaya Eradikasi Polio

dan Reduksi Campak. 4. Menyediakan pelayanan kesehatan jiwa anak dan remaja, termasuk gangguan

perkembangan anak, serta pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza.

5. Menyediakan air bersih dan jamban saniter.6. Melakukan promosi perilaku hidup bersih dan sehat, promosi kelangsungan hidup

dan tumbuh kembang anak, pencegahan kecelakaan dan cedera pada anak7. Peningkatan kerjasama lintas sektor termasuk lembaga eksekutif dan legistlatif di

semua tingkatan administrasi. - Melakukan advokasi kepada lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, unit-

unit perencana, dan sektor-sektor terkait agar senantiasa mengutamakan program kesehatan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.

- Memastikan adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan kesehatan, utamanya kesehatan anak (healthy public policy).

- Memastikan dukungan lintas sektor dalam penyelenggaraan upaya peningkatan derajat kesehatan anak.

8. Melakukan pemberdayaan keluarga. - Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu, suami (ayah), wali anak

dan pengasuh anak dalam perawatan dan pengasuhan anak dini usia (0-6 tahun).

- Meningkatkan perilaku mencari pertolongan kesehatan (health seeking care) secara tepat waktu ke tenaga profesional.

9. Melakukan pemberdayaan masyarakat. - Meningkatkan upaya kesehatan berbasis masyarakat antara lain melalui

revitalisasi Posyandu, pemanfaatan Polindes.- Melaksanakan berbagai pelatihan bagi kader, tokoh masyarakat dan tenaga

sukarela lainnya dalam rangka mengaktifkan berbagai kegiatan kesehatan berbasis masyarakat.

- Mengembangkan kewaspadaan dan kesiagaan masyarakat dalam menanggulangi berbagai masalah kesehatan ibu dan anak.

- Mengembangkan peran aktif LSM, organisasi profesi dan swasta, organisasi pemuda, Saka Bakti Husada, dan sebagainya, dalam upaya peningkatan derajat kesehatan anak.

10. Melakukan penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi kesehatan, metode

68

Page 69: Profil Kesehatan Anak

pengelolaan pelayanan kesehatan yang efisien, prinsip perencanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ramah anak, serta pengembangan sistem informasi kesehatan dan manajemen kesehatan.

11. Mengkaji dan menyerasikan peraturan perundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan khususnya kesehatan anak.

5.2. PENDIDIKAN ANAK1. Menyediakan dan meningkatkan pemanfaatan berbagai prasarana dan sarana

pelayanan perawatan (care) dan pendidikan anak usia dini.2. Melakukan kajian dan pengembangan kebijakan dan model layanan perawatan

dan pendidikan anak usia dini, termasuk rintisan program TK Kecil, TK alternatif, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pendidikan terpadu Posyandu, Pusat PAUD.

3. Melakukan sosialisasi dan promosi mengenai pentingnya perawatan dan pendidikan untuk anak usia dini kepada orangtua, masyarakat, lembaga keagamaan, dan dunia usaha dalam rangka menumbuhkan kepedulian terhadap perawatan dan pendidikan anak usia dini dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan perawatan pendidikan anak usia dini.

4. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, dan dunia usaha mengenai pentingnya perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga keagamaan, dan dunia usaha terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan anak usia dini.

5. Mengembangkan pedoman, kurikulum, dan bahan ajar bagi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.

6. Meningkatkan keterampilan manajemen penyelenggaraan anak usia dini. 7. Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan jumlah dan kualitas tenaga

pendidik anak usia dini.8. Meningkatkan jaringan kerja antara penyelenggara perawatan dan pendidikan

anak usia dini. 9. Melakukan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan anak usia

dini.10. Menyediakan dan meningkatkan mutu prasarana dan sarana pendidikan termasuk

tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan lainnya secara memadai termasuk bagi daerah yang terpencil dan terisolasi.

11. Mengembangkan kurikulum yang mengacu pada standar nasional pendidikan, mengembangkan bahan ajar yang disesuaikan dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengembangkan model-model pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan dasar.

12. Memudahkan akses terhadap pendidikan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, anak dari daerah terpencil, daerah kumuh, anak jalanan, dan kelompok anak lainnya yang masih sulit menjangkau pelayanan pendidikan dasar. baik melalui beasiswa maupun bentuk-bentuk kemudahan lainnya.

13. Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan untuk anak usia 7 – 15 tahun kepada masyarakat dan orangtua, dalam rangka menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan dasar anak dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar.

14. Mengembangkan kebijakan pembangunan pendidikan dasar serta melakukan perencanaan, pemeriksanaan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan

69

Page 70: Profil Kesehatan Anak

pembangunan pendidikan dasar sejalan dengan pengembangan dan penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas.

15. Melakukan upaya penarikan kembali anak yang putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikan dasar, dan upaya pemantapan pendidikan dasar dalam rangka mengurangi angka mengulang kelas dan angka putus sekolah.

16. Meningkatkan mutu pendidikan dasar baik formal, informal, maupun non-formal, termasuk sekolah terbuka, sekolah terpadu, pendidikan pesantren salafiyah, pendidikan luar sekolah, dan lain-lain.

17. Melakukan upaya perbaikan rasio buku:siswa dan siswa:guru dalam rangka mengoptimalkan penyerapan ilmu.

18. Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan jumlah, kualitas, dan profesionalisme tenaga kependidikan, khususnya guru agar memenuhi standar kualifikasi nasional, bahkan internasional.

19. Meningkatkan manajemen pendidikan sekolah dasar baik melalui peningkatan kapasitas manajemen pengelola sekolah, maupun pembentukan dan pemberdayaan Dewan Pendidikan, serta perbaikan sistem administrasi dan manajemen sekolah.

20. Membangun dukungan dan komitmen bersama antara pemerintah pusat dan daerah dalam menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun.

21. Melakukan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan dasar.

5.3. PERLINDUNGAN ANAK1. Melakukan penyerasian kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang

berkaitan dengan peningkatan perlindungan bagi anak di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah. Diperlukan adanya kebijakan nasional yang komprehensif dan integral sebagai payung dalam penanganan masalah-masalah perlindungan anak.

2. Melakukan penyerasian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak dan terutama hak terhadap perlindungan, termasuk hak pengasuhan dan perwalian.

3. Melakukan kampanye, advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi, serta konseling mengenai anti perlakuan salah terhadap anak, termasuk pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking, kekerasan, dan diskriminasi secara nasional maupun lokal.

4. Melakukan sosialisasi dan advokasi kepada lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dari sektor terkait, dan tenaga profesional agar senantiasa mengutamakan program nasional bagi anak dalam rangka pemenuhan hak-hak anak. Hal ini perlu dilakukan agar tertanam kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya pemenuhan hak-hak anak.

5. Mengembangkan pelayanan, perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi bagi anak korban perlakuan salah terutama penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan. Oleh karena itu akses terhadap pelayanan publik yang terjangkau secara adil dan merata bagi anak-anak tersebut baik yang bersifat pencegahan, remedial maupun pemulihan dan reintegrasi sosial/keluarga menjadi sangat penting.

6. Memberdayakan keluarga pekerja anak dan melakukan penindakan hukum yang tegas terhadap pihak yang mempekerjakan anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

7. Mengembangkan mekanisme perlindungan bagi anak dalam kondisi khusus seperti pengungsian, konflik bersenjata, dan konflik sosial.

70

Page 71: Profil Kesehatan Anak

8. Meningkatkan upaya-upaya penyediaan akte kelahiran bagi setiap anak, termasuk anak dari komunitas terpencil, daerah pengungsian, dan anak tanpa orang tua.

9. Mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak, termasuk peningkatan upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, trafiking dan perlakuan salah lainnya. Dengan demikian diperlukan adanya reformasi hukum, peningkatan dan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan

10. Melakukan peningkatan kemampuan (capacity building) bagi petugas pelayanan, aparatur penegak hukum, dan pekerja sosial (orsos dan LSM) agar mampu melaksanakan upaya pelayanan dan perlindungan yang ramah anak.

11. Mengembangkan sistem data dan informasi khusus anak di tingkat nasional dan daerah, menyusun data profil anak, serta mengintegrasikan data ke dalam survai dan sensus nasional.

12. Membentuk wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam berbagai proses pembangunan.

13. Meningkatkan peran aktif keluarga dan masyarakat termasuk mengembangkan jaringan kerja antara pemerintah, LSM, dan dunia usaha, termasuk media informasi, dalam mendukung upaya-upaya perlindungan bagi anak terhadap segala bentuk perlakuan salah, termasuk upaya perwujudan lingkungan yang aman bagi anak.

14. Meningkatkan kelembagaan dan infrastruktur yang jelas dan mapan khusus untuk penanganan masalah-masalah perlindungan anak, termasuk bagi anak penyandang cacat.

5.4. PENANGGULANGAN HIV/AIDS1. Melakukan advokasi mengenai penanggulangan HIV/AIDS pada pengambil

kebijakan dan pembentuk opini baik di tiap tingkat administrasi pemerintahan.2. Meningkatkan kerjasama antara pemerintah dengan dunia usaha (pabrik farmasi)

untuk penyediaan obat Anti Retro Viral (ARV) murah dan terjangkau.3. Meningkatkan pengetahuan siswa, warga belajar maupun mahasiswa mengenai

bahaya HIV/AIDS (merupakan bagian dari Life Skill Education).4. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para tenaga pendidik, guna

mendukung pelaksanaan tugas sebagai ujung tombak pencegahan HIV/AIDS (merupakan bagian dari Life Skill Education).

5. Melakukan promosi dan KIE peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja dan keluarganya dalam penanggulangan HIV/AIDS melalui broadcasting (media elektronik, cetak, tradisional) dan narrow casting (kelompok keluarga/seminar dan Komunikasi Inter-Personal/Konseling (KIP/K)

6. Melakukan promosi perilaku seksual aman.7. Menyediakan darah transfusi yang aman (screening seluruh darah donor).8. Mengurangi dampak buruk (harm reduction) akibat napza suntik.9. Menyediakan layanan VCT bagi mereka yang berisiko.10. Melaksanakan pengobatan dalam rangka pencegahan penularan infeksi HIV dari

ibu kepada bayinya (PMTCT).11. Meningkatkan pelayanan, dukungan, dan pengobatan ODHA.12. Meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi.13. Melakukan pelatihan bagi petugas kesehatan khusus mengenai penanggulangan

kasus HIV/AIDS.

71

Page 72: Profil Kesehatan Anak

14. Meningkatkan kerjasama lintas sektor antara instansi pemerintah terkait dan LSM terkait dalam penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif.

15. Menggalang kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS lintas region.

16. Memperkuat perawatan keluarga dan masyarakat termasuk yang disediakan oleh sektor informal dan pelayanan kesehatan baik medis, paliatif dan psiko-sosial dan monitor pengobatan ODHA termasuk anak.

17. Menyerasikan peraturan perundangan agar dapat menjamin perlindungan hukum atas perlakuan diskriminasi terhadap ODHA.

72

Page 73: Profil Kesehatan Anak

BAB VIPENUTUP

Program Nasional bagi Anak Indonesia 2015 merupakan dokumen yang disusun secara bersama-sama oleh lintas Departemen/Lembaga Pemerintah dengan masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sangat diperlukan sebagai pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteraan, perlindungan, dan kemaslahatan anak. Ada 4 bidang pokok yang mendapat perhatian khusus dalam PNBAI 2015 ini, yaitu promosi hidup sehat (promoting health lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan (protecting againts abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/ AIDS (combating HIV/AIDS).

Dalam pelaksanaan PNBAI perlu diperhatikan keterpaduan dan sinkronisasi kebijakan dan kegiatan pemerintah pusat (antarinstansi), propinsi, dan kabupaten/kota, dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlu pula ditingkatkan partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan komunitas pendidikan dalam mewujudkan dunia yang layak bagi anak.

Pendanaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dengan memperhatikan kebijakan dan strategi dalam Bab IV dan kegiatan-kegiatan pokok dalam Bab V serta diutamakan untuk pengembangan sarana dan prasarana pelayanan bagi anak, pengembangan kelembagaan, serta pengembangan SDM dan teknologi. Keterbatasan kemampuan fiskal pemerintah dalam melakukan investasi dan pelayanan bagi anak memerlukan mobilisasi dana baik dengan meningkatkan peran serta masyarakat maupun kerjasama dengan lembaga internasional.

73

Page 74: Profil Kesehatan Anak

DAFTAR PUSTAKA

Adimiharja, K. Prof. Dr. MA, Harry Hikmat, Ir., 2001, Modul Latihan PRA, Humaniora Utama Press, Bandung.

UNICEF, 2002, A World Fit for Children, New York.

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, 2002, Survai Kesehatan Nasional 2001. Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan. Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2002, Survai Kesehatan Nasional 2001. Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta

Badan Pusat Statistik, 2001, Susenas 2001, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2000, Indikator Kesejahteraan Anak 2000, Jakarta.

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2002, Bulletin Anak, Jakarta.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2000, Profil Kesehatan Indonesia 2000, Jakarta.

Departemen Kesehatan, 1999, Indonesia Sehat 2010, Jakarta.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Jakarta.

Farid, M., 1999, Pencatatan Kelahiran Upaya Meningkatkan Hak Pertama Anak - Nama dan Kewarganegaraan - di Indonesia, Jakarta.

Hikmat Harry, Ir. Msi., 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung.

--------------------------, 2001, Strategi Meningkatkan Investasi Bidang Kesejahteraan Anak dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta.

--------------------------, 2001, Kewajiban Negara Dalam Pemenuhan Hak Anak, Jakarta.

--------------------------, 2001, Dampak Pelayanan Program Jaring Perlindungan Sosial melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak Jalanan, Jakarta.

Irwanto, Ph.D, M. Farid, Jeffry Anwar, 1998, Ringkasan Analisa Situasi Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta.

Irwanto, Ph.D, Fentiny Nugroho, Johanna Debora Imelda, 2001, Perdagangan Anak di Indonesia, ILO/IPEC Jakarta.

Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

74

Page 75: Profil Kesehatan Anak

Indonesia, Departemen Kesehatan dan World Health Organization, 2001, Penilaian Situasi Kesehatan Anak Usia Sekolah termasuk Remaja di Indonesia. Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Indikator dan Profil Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, Jakarta.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2001, Rencana Induk Pembangunan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (RIP-KPA), Jakarta.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak, Jakarta.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, 2001, 5th East Asia and Pacific Ministerial Consultation on Shaping the Future Agenda for Children. Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, 2001, National Report on Follow-up to the World Summit for Children (1990-2000).

Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, The Situation of Children and Women in Indonesia 2000, 2000, Jakarta.

Plan International, Terre des homes Netherands, 2000, Laporan Seminar Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus, Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta.

World Health Organization (2001). Strategic Directions for Improving the Health and Development of Children and Adolescents.

75