Upload
phamdien
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS NORMATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) DAN
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIOANAL
BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)
DI WILAYAH KABUPATEN
BOGOR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH
INDRI SYAHFITRI
11140460000083
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ABSTRAK
Indri Syahfitri. NIM 11140460000083. ANALISIS NORMATIF UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO (LKM) DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIONAL
BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI WILAYAH KABUPATEN
BOGOR. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. Ix 89
halaman 47 halaman lampiran.
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari OJK Mei 2017 s/d Februari
2018, jumlah industri syariah yang tercatat sebanyak 18 unit dengan aset 71,12
Miliar, selanjutnya terlihat pada Februari 2018 jumlah industri syariah sebanyak
36 unit dengan aset 116 Miliar. Jika dianalisis dalam jangka waktu 10 bulan
LKMS memiliki perkembangan walau dirasa aset LKMS tidak sebanding dengan
banyaknya unit LKMS yang berdiri. Adapun peraturan terkait BMT sebagai
LKMS diantaranya Undang-Undang No No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2012 yang
selanjutnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya
dikembalikan lagi pada UU No 25 Tahun 1992, Undang-Undang No 21 Tahun
2011 tentang OJK, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dan peraturan lainnya yang tidak secara jelas disebutkan.
Studi ini menggunakan normatif analisis dengan jenis penelitian kualitatif,
sehingga adanya pengkajian terhadap unsur-unsur yang berhubungan melalui
aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data di lapangan dengan tujuan
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh UU No 1 Tahun 2013 tentang LKM
terhadap Operasional BMT di Kabupaten Bogor serta Urgensi dibentuknya UU
tersebut bagi Lembaga Keuangan Mikro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53 koperasi yang terhimpun dalam
puskopsyah 24 berjumlah aktif, yang terdiri dari13 berbentuk koperasi syariah dan
11 KSPPS (BMT) yang berdasarkan UU Perkoperasian No 25 Tahun 1992,
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 yang berisi tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, PERMEN No 11/Per/M.KUKM/XII/2017
yang berisi tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah oleh Koperasi. Para pemerhati memandang bahwa UU LKM hanya
memberikan peluang dan pilihan untuk BMT dalam hal memilih badan hukum
yang berkonsekuensi pada peraturan hukum yang bersangkutan di dalamnya.
Akan tetapi sampai dengan saat ini BMT tidak serta merta sepenuhnya sesuai
menurut UU LKM, secara operasional BMT mengikuti pola koperasi berdasarkan
Kewenangan Kementrian Koperasi. Adapun secara prinsip, kelembagaan dan
tujuan sudah sesuai dengan UU LKM.
Kata Kunci : Undang-Undang No 1 Tahun 2013, Operasional, BMT.
Pembimbing : A. M. Hasan Ali, MA
Nurul Handayani, M.Pd
Daftar Pustaka : 2000 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
melimpah curahkan nikmat rohani dan jasmani kepada kami semua. Shalawat dan
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad saw. dengan Rahmat
dan syafaatnya sampai dengan ini kami dapat menimba ilmu yang sangat
bermanfaat.
Dengan rahmat dan hidayah serta pertolongan dari Allah SWT,
Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah saya dalam bentuk
skripsi dengan Judul “Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Implikasi Hukum Terhadap Operasional
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Wilayah Kabupaten Bogor.”
Dalam menulis skripsi ini banyak sekali tantangan yang saya hadapi tapi
semua itu selesai sudah dengan banyak motivasi dan do‟a dari para pihak, untuk
itu perkenankan saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini:
1. Drs. Asep Saepudin Jahar, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. A.M.Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang dalam hal ini sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing I. Terimakasih atas bimbingan, bantuan dan waktunya yang
sangat berharga demi lancarnya penelitian ini.
3. Drs. Abdurrauf, Lc., Selaku Sekretaris Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjadi tauladan etika berpakaian dan
sopan santun mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Nurul Handayani, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II, yang senantiasa
memberikan motivasi, arahan dan saran-saran serta banyak meluangkan waktu
untuk mengoreksi tulisan saya agar lebih baik.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak menyalurkan ilmu pengetahuan secara teori ataupun praktik
selama saya menimba ilmu di Fakultas ini. Semoga menjadi amal ibadah yang
terus mengalirkankan banyak pahala. Terkhusus Ibu Yuke Rahmawati, yang
menjadi motivasi dalam hal pembelajaran selama ini, loyalitas kepada
vii
mahasiswa. Semoga selalu tetap berkarya dalam penelitian dan banyak
memberikan inspirasi bagi yang lainnya.
6. Drs. Hamid Farihi, M.A., dan Mohammad Mujibur Rohman, M.A., Selaku
penguji I dan II. Terimakasih telah mengarahkan saya dalam tulisan, setiap
coretan adalah bermakna bagi saya. Semoga setiap kata yang diucap
memberikan banyak faedah.
7. Kepada para Narasumber Pepi Januar Pelita, M.Pd dan Ridha Nugraha, M.E.I,
yang sudah sangat terbuka untuk memberikan informasi dan pelajaran kepada
saya dalam hal mengembangkan ilmu pengetahuan.
8. Yang tidak pernah saya lupakan, puji dan rasa syukur serta kasih sayang
kepada Kedua Orangtua “Ummi dan Bapak”. Semoga apa yang telah engkau
beri kepada anaknya. Allah gantikan menjadi pahala serta jalan yang mudah
untuk ke Surga.
9. Kepada Kakak saya Ida Handayani, terimakasih atas arahan serta dukungan
secara finansial demi terselesaikannya menimba ilmu di Kampus ini. Dan tak
lupa kepada adik Indra Syahputra dan Muhammad Hafidz Firdaus yang juga
selalu memberikan semangat dan do‟a.
10. Untuk teman sehidup Hera, Kk Deuis dan Kk Fitri. Terimakasih atas
pengertiannya selama dikosan. Dukungan dan do‟a senantiasa memberikan
keberkahan bagi kita.
11. Untuk teman-teman seperjuangan. Setiap kritik dan saran adalah bernilai bagi
saya, terimakasih atas do‟a dan dukungannya. Terutama kepada Anisaul K,
Devi Hunafa, Ana Mardiana, Evi Winengsih, Nuraila, Leli Laelatul, Lisatun,
Gina Alna, Nurjanah, Asri HF, Natasha, Inez Nurafifah, Firdaus, Hesty Adrea
dan Nisa Nurfhatia di Bogor sana serta Fathur Rahman sebagai editor dalam
skripsi ini. Untuk Muhammad Roihan, terimakasih banyak selalu membantu.
Teruntuk KKN 79 “Grenade” yang pernah berjuang bersama dalam rangka
pengabdian dan pemberdayaan kepada masyarakat, terimakasih banyak.
12. Teman Angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah, setiap langkah kita selama
ini menjadi nilai yang berharga dikemudian hari. Jangan Pernah Menyerah.
Semoga kita selalu diberkahi oleh Allah dan menggapai kesuksesan. Aamiin
Kepada semua pihak yang telah banyak terlibat dalam menyalurkan ilmu
pengetahuan, pengalaman serta dukungan dan do‟a. Saya ucapkan terimakasih
banyak dan Mohon Maaf jika dalam penelitian ini ada kesalahan ataupun ada
pihak yang dirugikan. Untuk itu kritik dan saran selalu terbuka untuk pembaca.
Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik kepada kaumnya yang
selalu memberikan bantuan kepada sesama. Aamiin
Jakarta, 7 Juni 2018
Indri Syahfitri
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 4
C. Batasan Masalah ...................................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
F. Sistematika Penelitian ............................................................................................. 6
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................... 10
A. Kerangka Teoritis dan Konseptual .......................................................................... 10
1. Hukum ............................................................................................................... 10
2. Undang-Undang ................................................................................................ 12
3. Lembaga Keuangan Mikro ................................................................................ 13
a. Macam-macam Lembaga Keuangan Mikro ................................................ 14
b. Landasan Teologis Keuangan Mikro Syariah ............................................. 15
4. Baitul Maal wat Tamwil dan Operasionalnya ................................................... 17
5. Karakteristik BMT sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat .............................. 18
6. Regulasi dan Bentuk Badan Hukum ................................................................. 19
a. Regulasi ....................................................................................................... 20
b. Badan Hukum ............................................................................................. 21
1) Koperasi ................................................................................................ 21
2) Perseroan Terbatas ................................................................................ 27
B. Kerangka Konseptual .............................................................................................. 31
ix
C. Literatur Review ...................................................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 37
A. Pendekatan Penelitian ............................................................................................. 37
B. Jenis Penelitian ........................................................................................................ 38
C. Data Penelitian ........................................................................................................ 40
D. Sumber Data ............................................................................................................ 40
E. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data .................................................................. 42
F. Subjek Penelitian ..................................................................................................... 44
G. Teknik Pengolahan Data ......................................................................................... 44
H. Metode Analisis Data .............................................................................................. 45
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI ........................................................... 46
A. Kelembagaan BMT ................................................................................................. 46
B. Landasan Operasional ............................................................................................. 51
1. Pendirian ........................................................................................................... 51
2. Perizinan ............................................................................................................ 52
3. Permodalan ........................................................................................................ 54
4. Kegiatan Usaha ................................................................................................. 55
C. Analisis Normatif Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dan Implikasi Hukum terhadap Operasional BMT di Wilayah
Kabupaten Bogor .................................................................................................... 58
1. Kebijakan Regulasi ........................................................................................... 58
2. Urgensi Penguatan Hukum ............................................................................... 68
BAB V PENUTUP ....................................................................................................... 81
A. Simpulan ................................................................................................................. 81
B. Rekomendasi ........................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 84
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1: Kerangka Konseptual .................................................................. 31
Bagan 4.1: Alur Operasional BMT ............................................................... 47
Bagan 4.2: Badan Pengelola BMT ................................................................ 48
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1: LKM di Wilayah Kabupaten Bogor .................................................. 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sangat erat kaitannya dengan
masyarakat tingkat bawah. Baitul Maal wat Tamwil hadir bagi masyarakat
yang mayoritas berlipat utang dan sulit untuk mencari kegiatan yang dapat
memproduktifkan. Ekonomi dan keuangan yang baik dapat membuka banyak
peluang cerah untuk kehidupan yang diharapkan dan bekal masa depan. Untuk
mengakses keuangan yang dapat menstabilkan perekonomian itu bukan
perkara mudah bila selalu berkaitan dengan keuangan dalam lingkup lembaga
besar, dimaksudkan adalah perbankan. Masyarakat pada umumnya tidak
bankable1 yang diharapkan dapat memproduktifkan usaha masyarakat dalam
bentuk nyata. Dalam prakteknya di Indonesia BMT berbentuk Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) atau koperasi yang mengelola dana milik
masyarakat dalam bentuk simpanan maupun pembiayaan.2 Dari sumber inilah
pembiayaan BMT berasal. Dana yang dipercayakan masyarakat kepada BMT
dalam bentuk simpanan kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat
yang membutuhkan dalam bentuk pinjaman. Pola kerja yang diambil BMT
pada akhirnya sama dengan pola kerja bank syariah yang menjadi lembaga
intermediasi. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat.3
BMT memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan lembaga
keuangan lain yang ada, karena selain memiliki misi komersial (Baitut
Tamwil) juga memiliki misi sosial (Baitul Maal), oleh karenanya BMT bisa
dikatakan sebagai jenis lembaga keuangan mikro baru dari yang telah ada
1 Bankable adalah suatu istilah yang umum di bidang perbankan yang artinya memenuhi
persyaratan bank. Pada waktu kita mengajukan permohonan kredit kepada bank, atau permohonan
pembiayaan kepada bank syariah. Bank akan menyampaikan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh calon nasabah. Diakses pada 18 Februari 2018 dari www.google.com.
2 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika
Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), h. 290.
3 Diakses pada 22 Maret 2018 dari https://www.academia.edu/5380514/Urgensi LPS
Bagi BMT sebagai Bentuk Perlindungan hukum
2
sebelumnya. Beberapa BMT mengambil bentuk badan hukum koperasi,
namun hal ini masih bersifat pilihan, bukan keharusan. BMT dapat didirikan
dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ataupun dapat juga
berbentuk badan hukum koperasi. Sebelum menjalankan usahanya, KSM
harus mendapatkan sertifikat dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK)4 dan PINBUK harus mendapatkan pengakuan dari Bank Indonesia
sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang
mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya
Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia (PHBK-BI).5
Perkembangan BMT saat ini mengikatkan pada beberapa peraturan dan
landasan hukum, diantaranya Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat, Undang-Undang No 13 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat,
dan Per.Kemenkop UKM. 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.
Adapun Undang-Undang terbaru yang mengatur BMT adalah Undang-
Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-
Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro harusnya dapat memperkuat operasional pada lembaga-
lembaga keuangan mikro baik yang konvensional maupun yang berbasis
syariah. Dalam operasionalnya bahwa lembaga membutuhkan perlindungan
hukum atas kegiatan simpan pinjam, pembiayaan baikpun yang lainnya.
Sehingga menjadi hal penting adanya Undang-Undang yang lahir sebagai
akibat dari berkembangnya lembaga keuangan mikro. Akan tetapi dengan
lahirnya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, menimbulkan hal baru
yang menyebabkan terjadinya ketimpangan (overlapping) antara peraturan
yang dilahirkan dari Undang-Undang tersebut yaitu UU No 1 Tahun 2013
4 Diakses pada 23 Maret 2018 dari http://www.icmi.or.id/lembaga/view/pinbuk
5 Novita Dewi Masyithoh, Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT), Jurnal Economica Volume V/ Edisi 2/Oktober 2014. h. 4.
3
dengan peraturan yang sudah lama melekat pada lembaga yang sudah
beroperasional yaitu UU No 25 Tahun 1992. Ketimbangan tersebut dari segi
pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Dalam hal ini Baitul Maal Wat
Tamwil merupakan salah satu lembaga keuangan mikro yang menggunakan
badan hukum Koperasi mayoritasnya, karena dari cara kerjanya dianggap
mirip. Sehingga gerak dan langkahnya tunduk patuh kepada Undang-Undang
Perkoperasian yaitu UU Nomor 25 tahun 1992 dan di bawah kewenangan
Kementrian Koperasi, tetapi dengan Undang-Undang LKM tersebut
kewenangannya berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan.
Berdasarkan penelitian I Gde Kajeng Baskara, bahwa sangat
diperlukannya peraturan dan legalitas untuk lebih memperkuat lagi lembaga
ini, di samping pada penglihatannya bahwa badan hukum yang digunakan
BMT ini sangat beragam.6 Menurut Fadhilah Murshid, pengaturan BMT
hanyalah sementara walaupun mayoritas dalam bentuk koperasi sampai
dengan adanya regulasi yang membahas spesifik tentang BMT ini dan
Pengaturan BMT dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro menurutnya telah memberikan kejelasan tentang
apa dan bagaimana seharusnya kelembagaan BMT, pedoman aspek syariah,
pengawasan, dan penjaminan simpanan nasabah, hanya saja dari regulasi
tersebut belum ada aturan lebih lanjut bagaimana mekanisme penjaminan
simpanan dalam lembaga keuangan mikro BMT.7
Berdasarkan latar belakang yang peneliti paparkan, maka peneliti ingin
mengkaji normatif Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, memandang
hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif sifatnya preskriptif, yaitu
bersifat menentukan apa yang salah dan apa yang benar.8
6 I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal Buletin Studi
Ekonomi, Vol. 18, 114 No. 2, Agustus 2013.
7 Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di
Indonesia,” Tesis UIN Sunan Kalijaga tahun 2017. 8 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta:
Kencana, 2013), Cet. 2, h. 2.
4
Dalam hal ini pemikiran peneliti akan dituangkan dalam penelitian yang
berjudul “ANALISIS NORMATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM)
DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIONAL BAITUL
MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR.”
B. Identifikasi Masalah
Penggunaan badan hukum Koperasi untuk BMT menunjukkan
diperlukannya perlindungan hukum untuk eksistensi BMT yang lebih kuat.
Dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi, pemerintah memberikan
perhatian terhadap lembaga keuangan dengan adanya Peraturan-Peraturan
seperti Undang-Undang LKM, Undang-Undang OJK, Permen. Tetapi
kebanyakan BMT memilih badan hukum Koperasi karena dirasa ada
kemiripan dari hal dan tata cara kerja yang berjalan selama ini. Permasalah ini
diangkat karena beberapa faktor:
1. Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro yang menyatakan bahwa BMT termasuk lembaga keuangan mikro.
2. BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang mayoritas
menggunakan badan hukum Koperasi sebagai landasan hukumnya.
3. Adanya tumpang tindih/ dualisme hukum dari pengaturan, pembinaan dan
pengawasan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
4. Adanya kekhawatiran BMT dalam pengawasan Kementrian Koperasi
berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan sehingga ruang lingkup BMT
menjadi lebih sempit.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan realisasi yang sudah dipaparkan di atas, maka peneliti
membatasi penelitian agar sesuai dengan konteks permasalahan yang
diangkat. Pada bagian ini disudutkan pada analisis normatif undang-undang
5
lembaga keuangan mikro dikaitkan dengan operasional BMT di wilayah
Kabupaten Bogor dengan keingintahuan seberapa besar Implikasi hukum
regulasi tersebut untuk BMT dan sudut pandang para pemerhati BMT
terhadap Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implikasi hukum Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro terhadap Operasional BMT di Wilayah
Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana Urgensi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro berdasarkan sudut pandang BMT Wilayah Kabupaten
Bogor?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah:
1. Ingin mengetahui seberapa besar akibat hukum yang dilahirkan UU LKM
No 1 Tahun 2013 terhadap Operasional BMT di Wilayah Kabupaten
Bogor.
2. Ingin mengevaluasi hal yang dapat dikategorikan menimbulkan adanya
hambatan terhadap ketidakpatuhan BMT terhadap UU LKM No 1 Tahun
2013.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti: Penelitian ini dapat menambah tingkat wawasan dan
pengembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis.
Serta dapat memecahkan masalah apa yang ingin peneliti lakukan.
2. Bagi pembaca: Sebagai tolak ukur terhadap penelitian-penelitian
selanjutnya, maupun penilaian pelayanan yang berjalan saat ini di
Perguruan Tinggi, sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,
ekonomi mikro, dan aspek kesyariahan. Khususnya terkait dengan
regulasi, badan hukum dan lembaga keuangan mikro. Lebih khusus lagi
6
terkait dengan penerapan teori-teori hukum pada Lembaga Keuangan
Mikro Syariah.
3. Bagi Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT): Memberikan pemahaman
kepada para pengembang BMT agar menjadikan lembaga ini yang
bersinergi dan memiliki karakter ekonomi unik yang memahami kaidah-
kaidah hukum dalam hal regulasi yang menyangkut keberadaannya.
4. Bagi Pemerintah : Sebagai evaluasi dalam membentuk tatanan peraturan
yang dapat berlaku secara umum, memiliki keterkaitan dengan masyarakat
dan dapat dipertanggung jawabkan keberadaannya serta mampu menjawab
setiap permasalahan yang ada di masyarakat.
F. Sistematika Penelitian
Karya Ilmiah Skripsi ini disusun dengan sistematika yang dibagi menjadi 5
bab. Dari beberapa bab tersebut memiliki sub bab masing-masing yang secara
singkat menjelaskan masalah yang akan diteliti. Adapun selanjutnya, peneliti
menyusun bab berdasarkan urutan dan letak yang tiap-tiap sub bab dijelaskan
dengan memberikan pengertian dan makna yang tergantung dalam tulisan.
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah yang akan
peneliti bahas mengenai kedudukan BMT di Indonesia ditinjau
dari operasional BMT dan Implikasi Hukum Undang-Undang
Lembaga Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013. Sehingga peneliti
membatasi wilayah penelitian yang akan diteliti. Agar sesuai
dengan tujuan permasalahan yang akan dibahas, pada penelitian
ini berdasarkan Kajian Pustaka (library research) berdasarkan
sumber pertama dan beberapa kajian sebelumnya. Peneliti akan
menganalisis secara normatif Undang-Undang terkait lembaga
keuangan mikro dan dikaitan dengan seberapa besar pengaruh
(implikasi) terhadap operasional BMT di Wilayah Kabupaten
Bogor.
7
BAB II : LANDASAN TEORI
Oleh karena pendekatan masalah dilakukan secara yuridis
normatif, maka pada Bab II diuraikan secara teori dan dibentuk
dengan konsep yang sederhana mengenai masalah yang diteliti.
Sebagai bahan pertimbangan, peneliti menyajikan hasil
penelitian terdahulu (literatur review) agar membantu dari hal
pengumpulan data serta menghindari terjadinya plagiarisme9
karya tulis. Dalam kajian terdahulu peneliti menjelaskan secara
singkat maksud dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya
dengan mendeskripsikan makna dan metode yang dilakukan.
Adapun dengan hal lain, peneliti mencari aspek pembeda dari
penelitian-penelitian sebelumnya dengan memaparkan
penjelasan singkat mengenai pembahasan yang akan dilakukan
tentunya dengan tidak mengurangi dan mengunggulkan hasil
penelitian sebelumnya. Kajian terdahulu dapat dikatakan sebagai
tolak ukur dilahirkannya karya ilmiah selanjutnya, sebagai
bahan pertimbangan untuk membuat penelitian baru,
melengkapi kekurangan penelitan sebelumnya, baikpun
melanjutkan penelitiannya.
Ranah penelitian tentunya memiliki maksud dan posisi
yang diunggulkan untuk meyakinkan bahwa penelitian ini tidak
serta merta hanya sebagai objek pencarian data. Tetapi ada
tujuan yang penting dan harus diketahui oleh semua orang untuk
memberitahukan bahwa dalam kondisi dan ketentuan seperti
inilah keadaannya. Pada bab ini peneliti dapat menjelaskan
secara singkat hasil penelitian yang diperoleh dalam bentuk
9 Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan
karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan
dan pendapat sendiri. Diakses pada 22 April 2018 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme
8
narasi sejenis gambaran umum sebagai pengantar hasil yang di
dapat yang selanjutnya dijelaskan dalam bab IV.
BAB III : METODE PENELITIAN
Selanjutnya pada Bab III ini peneliti menguraikan metode
penelitian yang digunakan. Dalam penelitian hukum, ada
beberapa model metode penelitian yang dapat digunakan dalam
penelitian kita tentunya sesuai dengan kesesuaian antara
pembahasan dan alat yang tepat untuk digunakan dalam
melangsungkan penelitian. Metode penelitian berisikan
beberapa sub yang dijelaskan secara ringkas, diantaranya
pendekatan penelitian, jenis penelitian, data penelitian, sumber
data, metode dan teknik pengumpulan data, subjek-objek
penelitian, teknik pengolahan data, dan metode analisis data.
BAB IV : ANALISIS DAN INTERPRETASI
Dalam karya tulis ini menuangkan hasil penelitian yang
didapatkan dari beberapa sumber asli di mana peristiwa dan
dalam waktu tersebut terjadi. Hasil penelitian tersebut di
tuangkan dalam bentuk paragraf yang dinyatakan tidak ada
campuran opini peneliti tetapi berdasarkan analisa yang
didukung dengan data dan fakta yang ada, sehingga jelas
berdasarkan sumbernya. Dalam uraian ini juga bisa dijelaskan
beberapa teori sebagai bahan pengukuran dan pembanding
antara teori dengan praktek yang ada. Apakah hasil ini seimbang
atau menunjukkan adanya keberatan karena kebertolak
belakangan antara teori dengan kenyataan yang ada.
BAB V : PENUTUP
Pada Bab terakhir yaitu Bab V, peneliti memberikan
kesimpulan dari apa yang telah di dapatnya berdasarkan kajian
yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk pendapat dan opini
dengan segala dasar dan pertimbangan hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan. Selain itu, dalam bab ini peneliti dapat
9
merekomendasikan segala hal yang berkaitan dengan
pembahasan yang tentunya sebagai pendukung dan bahan yang
dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Hukum
a. Pengertian Hukum1
Dalam literatur-literatur hukum, dapat diketahui, belum ada
kesepakatan untuk suatu definisi hukum yang sama atau satu
definisi sebagaimana dinyatakan oleh prof. Mr. Dr. L.J. van
Apeldoorn dan Vant Kant, karena hubungan di antara anggota
masyarakat sangat beragam. Namun, ada beberapa definisi yang
diberikan oleh para sarjana yang bisa menjadi pedoman di dalam
memahami pengertian hukum. Berikut ini beberapa definisi yang
diberikan.
1) Prof. Dr. E. Utrecht, S.H., kurang lebih menyatakan bahwa
hukum adalah himpunan petunjuk hidup, berupa perintah dan
larangan dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh
anggota masyarakat, jika dilanggar akan melahirkan tindakan
dari pemerintah.
2) Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., L.L.M. Menyatakan
bahwa hukum adalah seluruh kaedah serta asas-asas yang
mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang
bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-
lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya
kaedah tersebut dalam lembaga.
3) J.C.T Simorangkir, S.H., mengemukakan bahwa hukum adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam massyarakat yang dibuat oleh
1 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013),
Cet. 1, h. 8.
11
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran atau
peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan.
4) Van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum adalah suatu
gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus
dan bentur-membentur dengan gejala-gejala yang lain dalam
masyarakat. Pendapat ini mirip dengan pendapat Prof.
Soedirman Kartohadiprojo yang menyatakan bahwa hukum
adalah pikiran atau anggapan orang tentang adil atau tidak
adil tentang hubungan-hubungan antarmanusia. Kedua guru
besar ini adalah ahli dibidang hukum adat serta sosiologi yang
senantiasa mengaitkan hukum dengan masyarakat.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat kesamaan unsur-unsur yang merupakan ciri-ciri hukum,
yaitu: peraturan tentang tingkah laku manusia atau masyarakat;
peraturan tersebut dibuat oleh lembaga resmi; peraturan tersebut
bersifat memaksa; serta adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran.
Dengan demikian, kita juga memperoleh pemahaman bahwa hukum
itu bercirikan adanya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh
setiap orang.
b. Sumber-Sumber Hukum Positif2
1) Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil, yaitu perasaan hukum atau
keyakinan hukum individu dan pendapat umum yang
menentukan isi dari hukum. Keyakinan hukum individu adalah
keyakinan mengenai patokan-patokan yang tetap mengenai
keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-
undang atau para pembentuk hukum dalam melaksanakan
tugasnya. Sedangkan pendapat umum adalah pendapat
2 Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2003), Cet. 1, 170 dan
174.
12
masyarakat mengenai hal-hal yang benar-benar hidup dalam
masyarakat dan diakui sebagai aturan atau petunjuk hidup yang
berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
2) Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil adalah tempat di mana dapat
ditemukan peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan
hukum positif itu timbul, dengan tidak mempersoalkan asal-
usul isi dari peraturan hukum itu.
Adapun yang termasuk sumber hukum formil antara lain
adalah sebagai berikut:
(a) Undang-Undang (Statute);
(b) Kebiasaan (Costum);
(c) Keputusan-keputusan Hakim (Yurisprudensi);
(d) Traktat; dan
(e) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin).
2. Undang-Undang
Undang-Undang adalah peraturan negara yang dibentuk oleh alat
perlengkapan negara yang berwenang dan mengikat masyarakat.3
Dalam pengertian lain, Undang-Undang merupakan peraturan
perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia,
yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti
ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.4
Undang-Undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintah,
yang menjamin tuntutan-tuntutan Negara berdasar atas hukum, dan
adanya kepastian dalam hukum.5 Undang-Undang merupakan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan
3 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Kencana, 2011), Cet. 6, h 13.
4 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h.
186.
5 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 25.
13
Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945).
Sesuai dengan tata urutan perundang-undangan di negara kita, yang
mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang adalah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) yang
ditetapkan oleh presiden dalam keadaan yang sangat mendesak. Perpu
tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
berikutnya.
Setiap undang-undang terdiri dari sebagai berikut.
a. Konsiderans
b. Diktum/amar
c. Penjelasan6
3. Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga yang dibentuk oleh UU LKM ialah lembaga keuangan
mikro (LKM). Secara esensi, LKM ialah lembaga keuangan khusus
yang didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, yang tidak
semata-mata mencari keuntungan. LKM harus berbentuk badan
hukum, yaitu koperasi atau perseroan terbatas. Jika bentuknya
perseroan terbatas, maka paling sedikit 60% sahamnya dimiliki oleh
pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Pemkab) atau badan usaha milik
desa/kelurahan. Sisa kepemilikan sahamnya dapat dimiliki oleh warga
negara Indonesia di dalam LKM berbentuk perseroan terbatas dibatasi
hanya 20%. LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian
atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha
asing. LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
6 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2005, h. 6.
14
Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah
desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.7
Sedangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah lembaga
keuangan mikro yang menggunakan prinsip-prinsip syariah dengan
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) guna mengawasi operasional
yang sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).8
Urgensi Lembaga Keuangan Mikro di tengah-tengah masyarakat
kita adalah karena kondisi perekonomian masyarakat kita yang
memang membutuhkannya. Ketika masyarakat miskin sulit untuk
menjangkau jasa pelayanan keuangan formal (perbankan), padahal
mereka sangat membutuhkan modal, media penyimpanan dana, media
pengiriman dana (transfer) dan asuransi. Maka keuangan mikro
menjadi suatu kebutuhan primer bagi mereka. Berdasarkan
pendapatnya atau tingkat kemampuan finansial, struktur masyarakat
indonesia akan membentuk piramida dari paling lemah hingga paling
kuat secara finansial. Di bagian paling atas piramida tersebut adalah
masyarakat yang memiliki kekuatan finansial, sedangkan di level
kedua di bawahnya merupakan masyarakat mampu yang terbatas dari
masalah finansial, sedangkan di level ketiga merupakan masyarakat
menengah yang tidak terganggu dengan masalah finansial. Umumnya
masalah finansial tumbuh berkembang di level keempat di mana
masyarakatnya merupakan masyarakat fakir miskin yang akan selalu
menghadapi maslaah finansial dari sejak lahir hingga maut
menjemput.9
a. Macam-macam Lembaga Keuangan Mikro
Dalam Bab XIII UU LKM No 1 Tahun 2013 menyebutkan
dalam Pasal 39 ayat 1 bahwa lembaga keuangan mikro diantaranya
7 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2013), h. 3.
8 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Bab IV Pasal 12
9 Ahmad Subagyo, Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2015), h. 5.
15
adalah Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan
Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga
lainnya yang dipersamakan dengan itu.10
Bahwa dalam pasal
tersebut BMT merupakan salah satu Lembaga Keuangan Mikro.
b. Landasan Teologis Keuangan Mikro Syariah
Perkembangan keuangan mikro Islam mengalami proses
perjalanan yang panjang sejak Muhammad Saw yang mewariskan
prinsip dan dasar keuangan Islam sebagaimana termaksud dalam
kitab suci Al-Qur‟an. Keteladanan Nabi Muhammad SAW
dilanjutkan oleh para sahabat dan dilanjutkan oleh pemikir muslim
dalam mengembangkan prinsip-prinsip dasar keuangan Islam, yang
kemudian dipraktikan oleh Pemerintahan Islam dalam menjalankan
kebijakan baik di bidang keuangan negara maupun keuangan
publik.
Beberapa prinsip dasar yang melandasi gerak dan ruang lingkup
kegiatan keuangan mikro Islam antara lain:11
1) Sumber hukum ekonomi Islam
Dalam melakukan aktivitas ekonomi Islam, telah
mendorong pemikir-pemikir ekonomi Islam, manusia memiliki
sumber hukum yang dijadikan pedoman, yang terdiri atas
sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber
hukum primer adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah; sedangkan
sumber hukum sekunder berupa Ijma’, Ijtihad, dan Qiyas.12
10 Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Bab XIII Pasal
39 Ayat 1
11
Ahmad Subagyo, Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 16.
12
Vejthzal Rivai, Ekonomi Syari’ah Konsep, Praktek, Dan Penguatan Kelembagaannya,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. 1, h. 5.
16
2) Landasan akidah (etika)
Akhlak dalam kajian ekonomi sering diartikan dengan
norma atau etika, Al-Tahanawi mendefinisikan etika adalah
ilmu tentang kemasyarakatan individu atau pengaturan rumah
tangga dan masyarakat.
Dalam kamus bahasa Arab, ilmu sosial dan kemasyarakatan
dapat juga dikatakan dengan muamalah.13
Adapun pengertian
muamalah menurut terminologi (istilah) fiqh muamalah
Abdullah al-Sattar Fathullah sebagaimana dikutip oleh Dr.
M.Cholil Nafis, mempunyai makna yang luas dengan merujuk
kepada hukum-hukum Allah dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan keduniaan.14
Sedangkan fiqh muamalah
dalam arti sempit menurut Muhammad Khudari Biek, baik
berupa Alquran maupun sunnah Nabi, yang berupa perkataan,
perbuatan, dan ketetapan.15
3) Mode transaksi (akad)
Secara etimologi, Al-‘Aqd, berarti perjanjian, perikatan, dan
permufakatan (al-ittifaq) (surah Al Ma-idah ayat 1).
QS. Al Ma-idah (5): 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
13 Kamus Besar Bahasa Arab
14
M. Chalil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011), h. 23.
15
M. Chalil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, h. 24.
17
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian
atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen
yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah Fiqih,
secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang
untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti
wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak,
seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.16
Dikatakan juga, suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu ditimbulkan suatu
perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan “perikatan.”17
Berdasarkan pengertian tersebut, maka perjanjian merupakan salah
satu sumber perikatan. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1233
KUH Perdata, terdapat 2 sumber perikatan, yaitu yang bersumber
dari perjanjian, dan yang berasal dari undang-undang.18
4. Baitul Maal wat Tamwil dan Operasionalnya
Secara harfiyah/lughowi, Baitulmaal berarti rumah dana, dan baitul
tamwil berarti rumah usaha. Baitulmal ini sudah ada sejak zaman
Rasulullah, berkembang pesat pada abad Pertengahan. Baitulmal
berfungsi sebagai pengumpulan dana untuk kepentingan sosial,
sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif
keuntungan (laba). Jadi, dalam baitul maal wa tamwil adalah lembaga
yang bergerak di bidang sosial, sekaligus juga bisnis yang mencari
keuntungan.19
Menurut Harun Nasution,20
baitul mal biasa diartikan
sebagai perbendaharaan (umum atau negara). Sementara menurut
Suhrawardi K.Lubis,21
menyatakan baitulmal dilihat dari segi fikih
16 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2015),
Cet. 5, h. 35.
17
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), Cet. 19, h. 1.
18
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1233
19
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 353.
20
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 114.
21
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, h. 114.
18
adalah “Suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk mengurusi
kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan
soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan
masalah pengeluaran dan lain-lain.” Menurut Arief Budiharjo,22
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah “Kelompok swadaya
masyarakat yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif
dan investasi dengan sistem bagi hasil untuk meningkatkan kualitas
ekonomi pengusaha kecil-bawah dalam pengentasan kemiskinan”.
Sedangkan operasionalnya berdasarkan Prinsip syariah, yaitu:
terhindar dari maisir (perjudian), terhindar dari gharar (penipuan),
terhindari dari risywah (suap), terhindar dari riba (bunga).23
5. Karakteristik BMT sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat
BMT pada saat ini berada di bawah pembinaan Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT
merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan
prinsip syariah. Koperasi Baitul Tamwil yang dikembangkan oleh
Baitulmal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang
diikuti oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk
koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau
sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.24
Hal yang menarik untuk dicermati adalah fatwa fenomena
pendirian dan pengembangan BMT, ternyata tidak hanya dibatasi oleh
pertimbangan ekonomis. Ada gairah untuk mendasari seluruh aktivitas
BMT dengan nilai-nilai Islam, sesuai dengan penyebutan diri yang
mengandung konotasi Islami. Selain itu, sebagian BMT memang lahir
22 Arief Budiharjo, “Pengenalan BMT”, Makalah Disajikan Dalam Seminar Tentang
BMT, Bandung: Mess Jabar, 2003.
23
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), Cet. 1, h. 321.
24
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 289.
19
dan berkembang dari komunitas keislaman, seperti jamaah masjid,
jamaah pengajian, pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, atau
sejenisnya.25
Ada yang berasal dari kesepakatan dalam forum
silaturahmi atau forum ilmiah yang sedang membicarakan masalah
keuangan ilmiah, ekonomi Islam, atau pemberdayaan ekonomi umat.
Ada pula yang diinisiasi oleh individu atau perseorangan yang berniat
membantu orang lain, khususnya yang seiman. Pendek kata, hampir
selalu ada keterkaitan BMT dengan Islam sebagai suatu ajaran ataupun
dengan kepedulian pada kehidupan ekonomi umat Islam.26
Menurut Muhammad Husaini dan Faisal Badroen, sebagaimana
dikutip oleh A.Kadir, ialah:27
“(a) agar setiap muslim memahami
bagaimana bertransaksi agar tidak terjerumus dalam jurang keharaman
atau syubhat hanya karena ketidaktahuan; (b) agar setiap muslim tidak
melakukan aktivitas yang haram dan merugikan orang lain.”
Dalam hal pengembangan BMT, secara internal terdapat beberapa
permasalahan yang mengarah pada tujuan utama BMT itu sendiri
terutama pada dana ZIS , yakni nasabah tidak mempunyai inisiatif
untuk melaksanakan pemberian ZIS secara „sukarela‟ kepada lembaga
pemberi pembiayaannya. Kondisi ini dikhawatirkan menimbulkan efek
negatif yang bersifat conuter productive terhadap usaha yang dikelola
nasabah. Karena sebagian besar nasabah BMT adalah pedagang kecil-
bawah yang justru harus dibantu secara permodalan untuk
meningkatkan derajat kesejahteraan ekonominya.28
6. Regulasi dan Bentuk Badan Hukum
a. Regulasi
25 Awalil Rizky, Bmt: Fakta Dan Prospek Baitul Mal Wa At-Tamwil,
(Yogyakarta:Ucypress, 2007), h. 4-5.
26
Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
UKM di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 84.
27
A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 1,
h.1.
28
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 30.
20
Menurut Kamus Hukum, “pada hakikatnya regulasi
merupakan pengaturan; menetapkan peraturan-peraturan yang
mempunyai kekuatan undang-undang.”29
Regulasi menentukan
kepastian hukum, dalam pembentukan badan hukum.
Menyaksikan wacana kepastian hukum yang diklaim oleh para
yuris melalui doktrin legisme dan legalitas, ternyata ada sebuah
kunci yang amat penting untuk direfleksikan secara kritis di sini,
yakni; legalitas itu sendiri. Mengapa demikian? Karena, di dalam
legalitas, secara konseptual, ditemukan ciri-ciri atau unsur-unsur
yang mewakili seluruh pemikiran atau gagasan mengenai
kepastian hukum, penegakan hukum, legisme dan teori kontrak
sosial, serta gagasan politik dan kekuasaan, sebagaimana
dijabarkan oleh Michael Jefferson berikut ini, mengenai sejumlah
syarat dan konsekuensi yang ada dalam prinsip dan metode
legalitas, bahwa:30
“(a) laws must not be vague; (b) the legislature must not create
offences to cover wrongdoings retrospectively; (c) the judiciary
must not create new offences; and perhaps (d) criminal statutes
should be strictly construed.”
[terjemahan]: (a) hukum tidak boleh samar; (b) badan legislatif
dilarang menciptakan hukum yang berlaku secara retroaktif; (c)
badan yudikatif dilarang menciptakan delik baru; (d) kitab hukum
pidana harus ditafsirkan secara ketat.
Keempatnya dengan demikian menuntut, demi pencapaian
kepastian hukum, hukum itu tidak boleh dirumuskan secara samar,
legislatif hendaknya dibatasi kekuasaannya untuk menerapkan
hukum secara retroaktif, lalu badan yudikatif juga dibatasi
kekuasaannya untuk menciptakan delik baru dan penafsiran dalam
29 Diakses Pada 10 Maret 2018 dari http://rebanas.com/kamus/hukum/regulasi.
30
E. Femando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 153. Lihat Dalam Michael Jefferson, Criminal Law, (London: Pitman
Publishing, 1992), h. 3.
21
hukum pidana itu hanya bisa dilakukan secara terbatas. Jika
keempatnya terpenuhi, niscaya kepastian hukum dapat dicapai.31
b. Badan Hukum
Dikaitkan dengan badan hukum tersebut (rechtspersoon)
adalah pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia.
Dan sebagai subyek hukum yang tidak berjiwa, maka badan
hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan
keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan
lain sebagainya.32
Menurut Sri Soedewi Masjchoen,33
mengatakan bahwa badan
hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama
bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1) berwujud
himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan
tertentu, dan dikenal dengan yayasan.
Selanjutnya lebih jelas Salim HS, mengatakan bahwa badan
hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan
(arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan
kewajiban.34
Teori-teori mengenai badan hukum tersebut mencoba untuk
menerangkan suatu gejala hukum, yaitu adanya suatu organisasi
yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana subjek hukum
orang. Di satu pihak, hanya oranglah yang dapat menyatakan
kehendaknya, tetapi di lain pihak dibutuhkan suatu bentuk kerja
sama yang mempunyai hak dan kewajiban seperti dimiliki oleh
orang. Dengan demikian, dari berbagai teori mengenai badan
31 E. Fernando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum, h. 154.
32
H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: P.T.
Alumni, 2006), Cet. 1, h. 51.
33
Sri Soedewi, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 2000), Cet. 5, h.
23.
34
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),
Cet. 1, h. 23.
22
hukum dapat dibagai menjadi dua kelompok teori, yaitu sebagai
berikut.
Pertama: mereka menganggap bahwa badan hukum itu sebagai
wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri
seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan
orang atau manusia;
Kedua: mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai
wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya
berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat
kesalahan, maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang
berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.35
Pembagian Badan-badan Hukum. Menurut Pasal 1653 BW
badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam yaitu:36
1) Badan hukum yang diadakan oleh Pemerintah/kekuasaan
umum, misalnya Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Bank-bank
yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.
2) Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah/kekuasaan umum,
misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-
organisasi agama dan sebagainya.
3) Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan,
seperti PT, Koperasi dan lain sebagainya.
Berikut ini dijelaskan beberapa bentuk badan hukum
lembaga keuangan mikro diantaranya yaitu Koperasi dan Perseroan
Terbatas:
(1) Koperasi
a) Definisi Koperasi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 1992 Koperasi adalah badan usaha yang
35 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan
Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), Cet. 2, h. 22.
36
Bugerlijk Wetbook Pasal 1653
23
beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan.37
Sebelumnya, Koperasi
diatur dalam suatu perundang-undangan tersendiri dengan
Stb. 1927 No. 91 kemudian Stb. 1949 No. 179 pada jaman
Nederland Indie. Sesudah Indonesia merdeka digunakan
UU Koperasi Tahun 1958 No. 79 yang kemudian diganti
dengan UU Koperasi No. 14 Tahun 1965 dan selanjutnya
pada Tahun 1967 diganti dengan UU Koperasi No. 12
Tahun 1967 dan terakhir dengan UU No 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.38
yang sebelumnya sempat diganti
menjadi UU No 17 Tahun 2012 yang selanjutnya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan dikembalikan
kembali pada UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
sampai dengan saat ini.
b) Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
dasar 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.39
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian Nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur
berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.40
37 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Bab I Pasal 1 Ayat 1
38
Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan Hukum,
(Bandung: Pt Refika Aditama, 2006), h. 23.
39
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Bab II Pasal 2
40
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Bab II Pasal 3
24
c) Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan41
Koperasi telah lama dianggap sebagai soko guru
ekonomi nasional, karena koperasi dianggap sebagai basis
kekuatan ekonomi rakyat. Koperasi yang dianggap sebagai
anak kandung dan tulang punggung ekonomi kerakyatan
justru hidupnya timbul tenggelam, sekalipun pemerintah
telah berjuang keras untuk menghidupkan dan
memberdayakan kopersi di tengah-tengah masyarakat.42
Tokoh yang paling dikenal sebagai pelekat konsep
dasar koperasi di Indonesia adalah Mohd. Hatta, yaitu wakil
presiden Indonesia yang pertama. Hatta dikenal begitu
tajam mengkritik perekonomian model kapitalis. Tulisan
Hatta telah termuat di berbagai media pada masa itu, efek
dari tulisan ini telah membuat pihak Belanda marah besar.
Namun semangat nasionalisme Hatta tetap menyala
sehingga ia tetap terus menyampaikan pemikirannya
tersebut.
Karena pemikirannya, Hatta pernah ditangkap
Belanda pada September 1927 dengan tuduhan “menghasut
terhadap pemerintah”.43
Pasca pengkapan Hatta oleh Belanda ternyata telah
menimbulkan sikap protes yang tinggi dari kalangan
intelektual dan politisi partai serta organisasi Islam dan
nasionalis pada masa itu. Hatta dibebaskan pengadilan pada
tanggal 22 Maret 1928.44
Perjuangan dan rasa nasionalisme
41 Irham Fahmi, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Teori Dan Aplikasi, (Bandung:
Alfabeta, 2014), h. 170.
42
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2005), h. 269.
43
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta”. Surat Kabar Kompas, 11 Agustus
2012.
44
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
25
Hatta sangat tinggi terutama dalam menentang model
ekonomi kapitalis.
Pada 1934, ia menulis buku Krisis Ekonomi dan
Kapitalisme untuk mengabarkan dampak krisis terhadap
kaum buruh, tani, pedagang kecil, dan perekonomian rakyat
secara umum, dilengkapi tinjauan sejarah mendalam atas
krisis yang terjadi sepanjang sejarah kapitalisme.45
Ada
yang menarik dari pemikiran Hatta yang bisa kita petik
pada saat sekarang ini. Dalam pemikiran Hatta, usaha-
usaha yang besar harus diselenggarkan oleh negara
(BUMN), terutama terkait dengan public utilities,
menguasai hajat hidup orang banyak, atau cabang-cabang
ekonomi strategis.46
Adapun jenis usaha kecil dan sedang
dikerjakan oleh koperasi, dimana koperasi diselenggarakan
oleh rakyat kecil yang bermodal kecil.47
Namun bukan
berarti Hatta kemudian anti terhadap usaha swasta.48
Menurut Hatta, diantara sektor-sektor atau cabang ekonomi
yang dikerjakan oleh negara dengan koperasi itu masih
terdapat wilayah ekonomi yang luas yang bisa digarap
swasta.49
Dari sini bisa kita tangkap jika Hatta adalah tokoh
ekonom yang begitu peduli kepada ekonomi rakyat. Bagi
Hatta pemerintah mutlak harus berperan dalam siasat dan
perencanaan ekonomi.50
Peranan pemerintah dalam hal ini
diperlukan untuk mengarahkan perekonomian nasional
menuju kemakmuran masyarakat luas secara kolektif,
45 Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
46
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
47
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
48
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
49
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”
50
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, (Jakarta:
Granit, 2004), h. 178.
26
bukan kemakmuran orang seorang.51
Sebagai seorang
ekonom Hatta mamahami khasanah kekayaan teori
ekonomi, yang tidak bisa dipilih semuanya jika tidak sesuai
dengan kenyataan dan harapan pemakainya.52
Dalam Alinea III Penjelasan Umum UU No. 25
Tahun 1992 dikemukakan bahwa pembangunan koperasi
perlu diarahkan sehingga semakin berperan dalam
perekonomian nasional. Pengembangannya diarahkan agar
koperasi benar-benar menerapkan prinsip koperasi dan
kaidah usaha ekonomi. Dengan demikian, koperasi akan
menjadi organisasi ekonomi yang mantap, demokratis,
otonom, partisipatif, dan berwatak sosial. Pembinaan
koperasi pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong
agar koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan
utama dalam kehidupan ekonomi rakyat.53
Ideologi kerakyatan adalah ideologi pembangunan.
Pembangunan juga merupakan kegiatan seluruh masyarakat
yang bisa menumbuhkan ikatan yang lebih mendalam
daripada hanya ikatan kebutuhan materi. Kegiatan
pembangunan merupakan ikatan batin karena memberikan
arti pada kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Dengan
ideologi kerakyatan kita tidak memerlukan musuh atau
ancaman dari luar terhadap kedaulatan kita untuk memberi
ikatan batin kepada masyarakat.
Pembangunan akan jauh lebih positif dan memberi
makna jika ditekankan pada pembangunan manusianya dan
bersifat multidimensional. Selain dimensi ekonomi, harus
ada dimensi politik, sosial, dan budaya. Kekhawatiran
51 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, h. 178.
52
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, h. 179.
53
H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan Dan Kepailitan, (Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 128.
27
bahwa membarengkan dimensi-dimensi tersebut
menimbulkan persaingan akan keperluan dana dan daya
untuk berbagai macam pembangunan adalah penglihatan
yang keliru. Dimensi-dimensi tersebut justru akan saling
mendorong kearah penguatan kemajuan. Bukannya akan
saling menghambat, tetapi dimensi tersebut secara
bersamaan akan membangun sinergi, sehingga secara
keseluruhan akan merupakan sesuatu kekuatan yang lebih
besar.54
d) Pengawasan
Koperasi diawasi oleh Kementrian Perkoperasian,
sebagaimana dalam pasal 38 undang-undang perkoperasian
“Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dan
Rapat Anggota, pengawas bertanggung jawab kepada rapat
anggota, persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat
sebagai anggota pengawas ditetapkan dalam anggaran
dasar.”55
(2) Perseroan Terbatas (PT)
a) Definisi Perseroan Terbatas
Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.56
Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendirian Perseroan
54 Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004), Cet. 1, h. 27.
55
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Bab VI Pasal 38
56
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (PT) Bab I Pasal 1
28
Terbatas didasarkan atas adanya suatu perjanjian antara
mereka (para pihak) yang mendirikannya. Perjanjian untuk
mendirikan suatu Perseroan Terbatas dapat dilakukan oleh
2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.57
b) Landasan, Asas, dan Tujuan PT
Tujuan tertentu dari suatu PT dapat diketahui di dalam
anggaran dasarnya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
ayat (1) huruf b UUPT, yang bunyinya sebagai berikut.
“Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan”
Bahkan, dari namanya dapat diketahui bahwa
pemakaian nama perseroan dapat mencerminkan tujuan
pokok dari perseroan, misalnya PT Bank Pembangunan
Indonesia (PT Bapindo). Dilihat dari namanya sudah dapat
diketahui bahwa PT Bapindo bergerak di bidang perbankan.
Tujuan perseroan bukan merupakan tujuan/ kepentingan
pribadi dari satu atau beberapa orang perseronya dan
perjuangan untuk mencapai tujuan itu dilakukan oleh orang
perseronya yang disebut direksi. Jadi, jelas bahwa unsur
mempunyai tujuan tertenru yang terdapat dalam badan
hukum dipunyai juga oleh perseroan terbatas.58
c) Karakteristik Perseroan Terbatas (PT)
Untuk dapat disebut sebagai perseroan terbatas, suatu
badan usaha harus mempunyai ciri-ciri, antara lain harus
mempunyai kekayaan sendiri, ada pemegang saham sebagai
pemasok modal yang tanggung jawabnya tidak melebihi
dari nilai saham yang diambilnya (modal yang disetor) dan
57 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan
Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 49.
58
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan
Terbatas, h. 24.
29
harus ada pengurus yang terorganisir guna mewakili
perseroan dalam menjalankan aktivitasnya dalam lalu lintas
hukum, baik di luar maupun di dalam Pengadilan dan tidak
bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan-
perikatan yang dibuat oleh perseroan terbatas. Ini berarti
bahwa badan usaha yang disebut perseroan terbatas harus
menjadikan dirinya sebagai badan hukum, sebagai subjek
hukum yang berdiri sendiri yang mampu mendukung hak
dan kewajiban sebagaimana halnya dengan orang, yang
mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta
kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para
pengurusnya.59
d) Pengawasan
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas
kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada
umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.
(2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
(3) Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota
atau lebih.
(4) Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu)
orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota
Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri,
melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
(5) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan
menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat,
59 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan
Terbatas, h. 20.
30
Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang
kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib
mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.60
60 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Bab VII Pasal 108
31
B. Kerangka Konseptual
Bagan 2.1: Kerangka Konseptual
Peraturan terkait BMT
1. UU No. 1 Th. 2013 ttg
LKM
Peraturan terkait
UKM/Koperasi/KJKS/KSP
PS
1. UU No. 25 ttg Kop. &
UKM;
2. Per. Kemenkop-UKM.
11/Per/M.KUKM/XII/2
018 ttg Pelaksanaan
Keg. Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi
Peraturan terkait lainnya
1. Undang-Undang No 21
Th 2011 ttg OJK
Peraturan terkait lainnya
1. UU No 13 Th 2017 ttg
Organisasi Masyarakat
Peraturan terkait lainnya
1. Fatwa DSN MUI
Kondisi riil BMT di
Kabupaten Bogor
a. Kualitas
b. Kuantitas
terus berkembang
Pangsa Pasar menjadi fokus
BMT dalam hal pembiayaan
yang dapat menjangkau
kalangan luas.
Kebijakan & Regulasi
PINBUK sebagai
lembaga pengembang
Lembaga Keuangan
Mikro yang untuk
pembangunan sosial
ekonomi bangsa yang
terintegrasi dan tidak
bertentangan dengan
kaidah syariah dan agama
apapun.
Perkembangan BMT tidak
diikuti dengan pengaturan
hukum yang jelas, faktanya
saat ini mayoritas BMT
memilih badan hukum
Koperasi. Adapun UU LKM
No 1 tahun 2013 tidak secara
mengikat sebagai rujukan
operasional BMT saat ini.
Al-Qur‟an dan Sunnah
Pancasila & UUD 1945 Pasal 27 & 33
Tolak Ukur dan Cikal Bakal
BMT merupakan LKM
berbasis Syariah yang
memiliki fungsi bisnis dan
sosial untuk ekonomi
kerakyatan.
Eksistensi
PINBUK
Badan Hukum
Analisis
Normatif UU No
1 Th 2013 ttg
LKM &
Implikasi
Hukum terhadap
Operasional
BMT di Wilayah
Kabupaten
Bogor
PT
Koperasi
OJK
Kemenkop
32
C. Literatur Review
Literatur review merupakan bagian penting dalam proses
penelitian. Proses ini dimulai dengan menggali sumber data penelitian
sebelumnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas,
selanjutnya peneliti akan menganalisis mengenai perbedaan dan
persamaan dari penelitian yang sudah ada dengan tujuan agar tidak ada
pembahasan yang sama yang saling bertentangan. Literature review atau
kajian pustaka dapat diambil dari berbagai jenis penelitian seperti jurnal
penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan hasil penelitian, makalah dan
lain sebagainya. Oleh karena itu di bawah ini merupakan literature review
yang dapat peneliti simpulkan beserta aspek pembeda dengan penelitian
sebelumnya yang disajikan dalam bentuk paragraf. Diantaranya yaitu:61
Berdasarkan hasil penelitian Muh Ridwan (2011) menjelaskan bahwa
belum ada peraturan yang spesifik untuk BMT sehingga operasional BMT
menggunakan peraturan yang sangat beragam walaupun secara mayoritas
dalam bentuk Koperasi. Diharapkan bahwa adanya peraturan yang dapat
mengakomodir BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah (Neni,
2011).62
Konsekuensi Perubahan Bentuk BMT menjadi Badan Hukum
KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) yang dilakukan di Fanshob,
Kab.Bojonegoro, Jawa Timur banyak berkembang lembaga keuangan
mikro dengan mengatasnamakan BMT, demi mendapatkan kepastian
hukum BMT merubah statusnya menjadi Koperasi sehingga BMT harus
mengikuti peraturan Perkoperasian, tetapi pada kenyataannya BMT
banyak melakukan pelanggaran/ tidak sepenuhnya memenuhi fungsi
61
Muhammad Ridwan, Dikutip Dari Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Proposal,
Skripsi, Tesis, Dan Mempersiapkan Diri Menjadi Peneliti Artikel Ilmiah) Bahrudin Nur Tanjung
Dan Ardial, Ed. 1 Cet. 5, (Jakarta: Kencana, 2010).
62
Neni Sri Imaniyati, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi.” Prosiding Snapp2011: Sosial, Ekonomi, Dan Humaniora Issn 2089-
3590. Vol 2, No.1, Th, 2011.
33
berdasarkan fungsi koperasi alasannya karena untuk mempertahankan ciri
khas dari BMT sendiri (Noer azizah, 2013).63
Berkaitan dengan beberapa peneitian tersebut, bahwa pada bagian ini
peneliti akan menggali cara BMT di Wilayah Kab. Bogor yang pada
penerapan prinsipnya berdasarkan undang-undang Perkoperasian dengan
tanpa menghilangkan ciri khas dari BMT. Hal lain yang berkaitan dengan
hal tersebut adalah bagaimana alasan BMT mengesampingkan regulasi
yang nyatanya lebih memberikan peluang bagi status badan hukum BMT
walaupun tidak spesifik sepenuhnya dapat diterapkan yaitu UU LKM No 1
Tahun 2013.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Staf Ahli Menteri Koperasi
dan UKM bahwa, “UU LKM tersebut nampaknya tidak serta merta
membawa angin segar bagi para stakeholder, karena disana sini ada hal
yang belum seirama dengan keinginan awal sebagaimana dalam kajian
akademis RUU LKM atau bisa juga karena belum terbiasa dengan
substansi pengaturan baru tersebut. Tulisan tersebut merupakan
rangkuman dari studi pustaka, hasil observasi lapangan, ungkapan
pengalaman sendiri serta hasil interaksi dengan para pelaku LKM dan
instansi terkait selama ini. Dari telaahan ini terungkap adanya proses yang
panjang dalam pembentukan UU LKM, perbedaan pengertian baru tentang
LKM, terdapat kemungkinan moral hazard, peluang politisasi LKM,
tantangan pada mekanisme pengawasan LKM, adanya puluhan ribu LKM
yang bertransformasi menjadi koperasi (Pariaman Sinaga, 2014).”64
Dalam Penelitian lain yang mengangkat status badan hukum dan
pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil sebelum dan sesudah adanya UU
LKM dengan metode optik rechtdogmatiek empiric. Peneiti menemukan
hasil bahwa BMT menggunakan badan hukum Yayasan, KSM, dan
63
Noer Azizah Fitriyanti, “Konsekuensi Yuridis Perubahan Bentuk Bmt (Baitul Maal
Wat Tamwil) Menjadi Badan Hukum Kjks (Koperasi Jasa Keuangan Syariah)” (Studi Di Koperasi
Syariah Fanshob Karya, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur) . Artikel Ilmiah Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan Universitas Brawijaya.
64
Pariaman Sinaga, “Beberapa Catatan Kritis Tentang Lembaga Keuangan Mikro Versi
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.” Jurnal Infokop Volume 24 No 1-Oktober 2014.
34
Koperasi sebeum lahirnya UU LKM No 1 tahun 2013, hal tersebut
membuat pertanyaan bagaimana selanjutnya peraturan dan pengawasan
setelah lahir UU LKM No 1 Tahun 2013. Namun kompetensi dalam UU
tersebut belum diatur untuk peraturan pelaksanaannya, maka peneliti
menyarankan kepada pemerintah untuk membuat peraturan
pelaksanaannya (Dewi Masyitoh, 2014).65
Berkaitan dengan hal itu, dalam penelitian yang sama menyajikan
hasil terkait problem dualisme hukum yang terjadi dalam pengaturan
Lembaga Keuangan Mikro Syariah beserta alternatif pemecahannya.
Bahwa dualisme tersebut berada pada pengaturan, pembinaan dan
pengawasan antara Kementrian Koperasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Sehingga dari hal tersebut menimbukan inkonsistensi peraturan bagi
LKMS. Peneliti menggunakan dogmatis untuk mencari solusi sinkronisasi
hukum (Muhtarom, 2016).66
Dalam Penelitian selanjutnya (Nourma Dewi, 2017) membahas
pengaturan BMT dalam sistem perekonomian Indonesia. Keberagaman
badan hukum yang menjadi landasan BMT disebabkan BMT memiliki
karakter yang berbeda dibanding dengan LKM lainnya dan jenis badan
hukum yang digunakan oeh BMT dapat berupa Koperasi atau Perseroan
Terbatas, sehingga peraturan yang digunakannya pun beragam diantaranya
UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Kajian ini
mengangkat regulasi apa yang dapat digunakan untuk BMT sebagai badan
usaha yang memiliki sifat bisnis komersial untuk masyarakat tingkat
bawah dan sebagai lembaga yang memiliki nilai sosial seperti
65 Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif UU No 1 Tahun 2013 Tentang Lkm Atas
Status Badan Hukum Dan Pengawasannya Bmt”. Jurnal Economica, Vol. V/Edisi 2/Okt/2014.
66
Muhammad Muhtarom, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro
Syariah Di Indonesia”. Jurnal Studi Islam, Vol.17 No.1, Juni 2016.
35
menghimpun dana zakat, infaq, sedekah yang disalurkan kepada
masyarakat.67
Menurut Mursid (2017) dalam kajian tesisnya UU LKM hanya
memberikan peluang bagi BMT untuk memilih badan hukum Koperasi
atau PT. Menurutnya perlu dipertimbangkan dan pengkajian ulang
terhadap ketentuan kewajiban LKM bertransformasi menjadi Bank jika
melakukan kegiatan usaha melampaui daerah kabupaten atau kota.68
Keberagaman badan hukum dapat diartikan karena tidak adanya
kepastian hukum yang melekat, seperti kajian yang dilakukan oleh
Solikhat, dkk (2015) pelaksanaan badan usaha koperasi maupun
prakoperasi sebelum berlakunya undang-undang lembaga keuangan mikro
di Eks Karesidenan Surakart, mereka merumuskan bentuk badan usaha
ideal untuk dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dalam
pengelolaan BMT berdasarkan undang-undang lembaga keuangan mikro
di Eks Karesidenan Surakarta. Penelitian ini membahas hal pelaksanaan
BMT dengan badan hukum Koperasi beserta peraturannya, dan aspek
hukum yang dilahirkan UU LKM No 1 Tahun 2013 atas status badan
hukum BMT di Eks Karesidenan.69
Kepastian hukum dapat menentukan badan hukum apa yang baik
untuk digunakan, seperti yang dilakukan oleh Budi Heryanto (2017)
mengenai tingkat kegunaan badan hukum dan pemahaman tekhnologi
informasi dalam menjalankan usaha pada UMKM sektor Jasa di kelurahan
Pojok, Mojoroto, Kota Kediri.70
67 Nourna Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil Dalam Sistem
Perekonomian Di Indonesia”. Jurnal Serambi Hukum Vol.II No.01 Februari-Juli 2017, ISSN :
1693-0819, E-ISSN : 2549-5275.
68
Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil Di Indonesia”. Tesis
UIN Sunan Kalijaga 2017. 69
Solikhah, dkk.“Bentuk Badan Usaha Ideal Untuk Dapat Dipertanggungjawabkan
Secara Hukum Dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Berdasarkan Undang-Undang
Lembaga Keuangan Mikro Di Eks Karesidenan Surakarta,” Jurnal Yustisia. Vol. 4 No. 3
September – Desember 2015.
70 Budi Heryanto, “Pemetaan Kepemilikan Badan Hukum Dan Tingkat Penggunaan
Teknologi Informasi Pada UMKM” (Studi Pada Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto - Kota
Kediri). Jurnal Ekonika I. Vol. 2. No. 2, September 2017 I 182-197.
36
Dari penelitian-penelitian tersebut bahwa peneliti menjelaskan
perkembangan Baitul Maal wat Tamwil yang begitu pesat di Indonesia,
dengan strategi pengembangan yang memiliki konsep berbeda-beda
dengan dinaungi dasar hukum dan pengawasan BMT menjadi salah satu
lembaga keuangan mikro yang dapat diakui oleh masyarakat. Tetapi
sampai dengan saat ini belum ada peraturan yang spesifik untuk lembaga
keuangan mikro model BMT yang memiliki karakter khas yang berbeda
dengan koperasi pada umumnya. Oleh karena itu, penelitian-penelitian
tersebut memberikan gambaran bahwa pentingnya status dan kedudukan
hukum pada BMT sangat dibutuhkan mengingat masyarakat yang sudah
percaya dengan mendukung dan ikut bergabung dalam operasional BMT.
Penelitian ini menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh peneliti, legal
formal yang ada saat ini tidak sepenuhnya mewakili operasional BMT
yang sudah berjalan pesat, akan tetapi hanya memberikan peluang untuk
mengembangkan dan memilih badan hukum sebagai landasan operasional
BMT ataupun lembaga keuangan mikro lainnya. Melihat hal tersebut,
peneliti ingin menganalisis lebih lanjut dengan penelitian normatif
terhadap UU LKM sebagai produk hukum yang memberikan ketentuan
khusus untuk lembaga keuangan mikro.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah metode yang digunakan dalam aktivitas ilmiah
untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Empat kunci utama
dalam pelaksanaan penelitian adalah: (1) cara ilmiah, (2) data, (3) tujuan, dan (4)
kegiatan. Cara ilmiah berarti rasional, empiris, dan sistematis; rasional berarti
masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran manusia; empiris berarti dapat
diamati oleh indra manusia; sistematis artinya, proses yang digunakan dalam
penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.1
Peran metode penelitian sangat menentukan dalam upaya menghimpun data
yang diperlukan dalam penelitian, dengan kata lain metode penelitian akan
memberikan petunjuk dalam pelaksanaan atau petunjuk bagaimana penelitian ini
dilakukan.2 Dalam metode penelitian ini dijelaskan mengenai cara, prosedur atau
proses penelitian yang meliputi:
A. Pendekatan penelitian
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).3 Dalam analisis normatif
melibatkan masalah etika, pertimbangan nilai (value judgement) dan moral.4
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah:
“Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan
1 Dadang Kuswana, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h. 13.
2 J Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 23.
3 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 3, h. 34.
4 Romli Atmasasmita dan Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), Cet. 1, h. 25.
38
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi”5
Dalam penjelasan lain, pendekatan normatif adalah studi Islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud
legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan
sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung
dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang
sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul
fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang
berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah
termasuk pendekatan normatif.6 Dalam penelitian hukum normatif hukum
yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi,
perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan
penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-
undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum. Sehingga dapat
kita simpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan yang
luas.7
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian kepustakaan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka8. Dalam penelitian ini juga
dapat dikatakan dengan yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.9 Hukum Positif, yang merupakan objek Teori Hukum Murni, adalah
sebuah peraturan yang dengannya tingkah laku manusia diatur dengan sebuah
5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana, 2005), h. 35.
6 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, ( Jogjakarta: academia, 2010), h.190.
7 Diakses pada 10 Desember 2017 dari Idtesis.com.
8 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), h. 13. 9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), Cet.3, h. 295.
39
cara yang spesifik. Regulasi tersebut disempurnakan dengan provisi yang
menetapkan bagaimana orang harus berperilaku. Provisi semacam itu itu
disebut norma-norma, yang dapat muncul baik melalui kebiasaan, seperti
norma-norma hukum kebiasaan, atau dapat juga tercipta melalui tindakan-
tindakan secara sadar dari organ-organ tertentu yang bertujuan menciptakan
hukum, seperti tindakan para legislator dalam kapasitasnya sebagai pembuat
hukum.
Norma-norma legal mungkin saja mempunyai karakter yang bersifat
general ataupun individual. Mereka mungkin saja sebelumnya mengatur,
dengan cara yang abstrak, kasus-kasus yang tak terhitung jumlah, seperti pada
norma bahwa jika seseorang mencuri maka dia akan dihukum oleh
pengadilan; atau dapat juga berhubungan dengan satu kasus tunggal, seperti
yang terjadi pada keputusan yudisial yang menetapkan bahwa A harus
menjalani hukuman penjara selama 6 (enam) bulan karena dia mencuri seekor
huda dari B. Yurisprudensi melihat hukum sebagai sebuah sistem norma
general dan individual. Dalam Yurisprudensi ini fakta-fakta dipandang hanya
sepanjang mereka membentuk konten norma-norma legal.
Sebagai contoh: yurisprudensi menganggap pengetahuan tentang prosedur
yang digunakan untuk menciptakan norma-norma legal, untuk prosedur ini
ditentukan oleh norma-norma dari konstitusi; dari delik, karena ia
didefinisikan oleh norma sebagai sebuah persyaratan dari sanksi; dari sanksi,
yang diatur oleh sebuah norma legal sebagai sebuah konsekuensi dari sebuah
delik. Hanya saja norma-norma provisi tentang bagaimana individu harus
berperilaku adalah obyek-obyek yurisprudensi, tidak pernah sebagai perilaku
aktual dari para individu.10
Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoretis dari permasalahan
penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang
bersifat “trial and error”. Aktivitas ini merupakan tahapan yang amat penting.
Bahkan dapat dikatakan, bahwa studi kepustakaan merupakan separuh dari
10Terjemahan oleh Nurulita Yusron. Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif,
(Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. 2, h. 317-318.
40
keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri, Six hours in library save six
mounths in field or laburatory.11
C. Data Penelitian
Data penelitian ini berdasarkan data kualitatif yaitu data yang berupa kata-
kata atau pernyataan-pernyataan. Dapat pula diartikan sebagai data kategorik,
karena memang biasanya berupa kategori atau pengelompokan-
pengelompokan berdasarkan nama atau inisial tertentu.12
D. Sumber Data
Adapun sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini untuk
mendukung informasi atau data yang digunakan dalam penelitian, penelitian
yang dilakukan peneliti adalah penelitian kepustakaan maka hal ini
menyangkut sumber data sekunder/ pustaka hukum dilihat dari kekuatan
mengikatnya.
1. Sumber Primer
a. Norma Dasar
b. Peraturan Dasar
c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
d. Undang-Undang
e. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
f. Peraturan Pemerintah
g. Peraturan Presiden
h. Peraturan Daerah
i. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan
j. Yurisprudensi
k. Traktat
l. Peraturan dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), Cet. 6, h. 112. 12
Diakses pada 7 Desember 2017 dari http://www.statistikian.com
41
Sumber primer yang digunakan peneliti diperoleh langsung dari
subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam
hal ini sumber utama adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Peraturan Menteri No.16/ Per/ M.KUKM /IX/ 2015 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah
Oleh Koperasi dan Peraturan terbarunya No. 11/Per/ M.KUKM/ XII/
2017.
2. Sumber Sekunder (secondary sources)
Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang
berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Contoh:
Rancangan Undang-undang, laporan penelitian, artikel ilmiah, buku,
makalah berbagai pertemuan ilmiah, laporan penelitian, skripsi, tesis dan
disertasi.
3. Sumber Tersier (tertierary sources)
Bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Contoh: abstrak, almanak,
bibliografi, buku pegangan, buku petunjuk, buku tahunan, indeks artikel,
kamus, penerbitan pemerintah, sumber biografi, sumber geografi, dan
timbangan buku.13
Dalam referensi lain, dijelaskan sumber tersier merupakan bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Seperti kamus hukum, encyclopedia,
dan lain-lain.14
Bahan ini menjadi penting karena mendukung dalam
proses analisis hukumnya. Misalnya, dalam penelitian mengenai hukum
13 Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, (Jakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. 1, h. 30-31. 14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), Cet.3, h. 296.
42
perusahaan, akan lebih baik orang juga belajar mengenai buku manajemen
perusahaan, standarisasi laporan keuangan dan program kepemimpinan.15
E. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data
Data sekunder dalam penelitian hukum lazim dikumpukan melalui studi
kepustakaan atau library research. Studi kepustakaan dapat dipahami sebagai
studi kepustakaan dalam arti sempit dan dalam arti luas.
1. Studi Kepustakaan dalam arti sempit
Studi Kepustakaan dalam arti sempit adalah pengumpuan data
sekunder di perpustakaan. Studi kepustakaan dalam arti sempit ini meliputi
kegiatan pengumpulan bahan bacaan, baik buku, jurnal, makalah, laporan
penelitian, majalah, dan surat kabar.
2. Studi Kepustakaan dalam Arti Luas
Studi Kepustakaan dalam Arti Luas adalah kegiatan pengumpulan
data sekunder yang tidak hanya diperpustakaan-perpustakaan resmi,
melainkan juga meliputi pengumpulan bahan hukum, pengumpulan
dokumen, dan pengumpulan data sekunder lainnya di kepustakaan-
kepustakaan pribadi dan tempat-tempat penyimpanan bahan-bahan dan
keterangan yang dicari atau langsung memintanya dari orang yang
menyimpan data sekunder yang diperlukan.16
Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat di
lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang akan
diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode:
1. Pengumpulan Dokumen
Dokumen yang harus dikumpulkan dalam penelitian hukum
mencakup dokumen resmi dan tidak resmi, dokumen rahasia dan tidak
rahasia, dokumen nasional dan dokumen internasional, serta dokumen asli
15 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 3, h. 43. 16
Tommy Hendra Purwaka, Metodoogi Peneitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya, 2007), h. 77.
43
dan dokumen salinan atau dokumen fotokopi. Dokumen resmi adalah
dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan dokumen tidak
resmi adalah dokumen yang dikeluarkan oleh instansi-instansi non
pemerintah. Dokumen rahasia adalah dokumen yang tidak dipublikasikan.
Dokumen rahasia juga lazim disebut dokumen terbatas, yaitu dokumen
yang hanya boleh dilihat oleh orang-orang tertentu saja, misanya
pembukuan perusahaan. Dokumen tidak rahasia atau dokumen yang
dipublikasikan adalah dokumen yang terbuka atau dapat diketahui oleh
publik. Dokumen nasional adalah dokumen yang dikeluarkan oleh
instansi-instansi yan berdomisili di wilayah nasional suatu negara, dalam
hal ini Indonesia. Dokumen Internasional adalah dokumen yang berisi
masalah antar negara atau masalah antar subjek hukum internasional.
Dokumen asli adalah dokumen yang memiliki ciri-ciri keaslian suatu
dokumen, seperti tanda tangan asli, cap basah, kop surat spesifik dan jenis
kertas tertentu. Dokumen tidak asli adalah dokumen yang tidak difotokopi
atau yang disalin.17
Peneliti mengamati dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang
berhubungan dengan Kajian Normatif terhadap Undang-Undang dan
landasan Operasional Baitul Maal Wat Tamwil yang kemudian beroperasi
diwilayah Kabupaten Bogor.
Dokumen yang di dapatkan adalah berupa arsip sebagai berikut:
Draft Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, beberapa pasal dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, serta peraturan lainnya yang menyangkut operasional
BMT.
2. Metode Interview/Wawancara
Sebagai bahan penguat dalam penelitian pustaka, peneliti
melakukan penelitian dengan metode wawancara. Wawancara adalah
teknik penelitian yang paling sosiologis dari semua teknis-teknis
penelitian sosial. Ini karena bentuknya yang berasal dari interaksi verbal
17
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Peneitian Hukum, h. 78.
44
antara peneliti dan responden.18
Wawancara dilakukan dengan alasan
mencari pendapat pakar yang berkaitan dengan Operasional obyek
penelitian yang dikaji oleh peneliti.
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu interaktif antara
interviewer19
dengan interviewee20
agar mendapatkan informasi yang
akurat, jelas dan langsung. Kegiatan Wawancara ini dilakukan di BMT
Khairu Ummah yang beralamat di Jl Raya Leuwiliang Bogor, yang
dinarasumberi oleh Bapak Pepi Januar Pelita sebagai Ketua Puskopsyah
Kabupaten Bogor. Yang selanjutnya, wawancara dilakukan dengan
Sekretaris PINBUK Jakarta, yang dilaksanakan dikediamannya di Jl
Cemara No 52 Bogor Utara.
F. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian peneliti adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan
peraturan terkait lainnya serta Implikasi Hukum terhadap operasional BMT di
Wilayah Kabupaten Bogor.
G. Teknik Pengolahan Data
Dari hasil pengumpulan data penelitian, peneliti akan mengolah data
berdasarkan data penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk mengerti atau
memahami gejala yang diteliti. Tahap pengolahannya berdasarkan
pemeriksaan, inventarisasi (list) koding-klasifikasi-kuantifikasi hasil secara
terbatas, apabila lebih dari 25 responden.21
Dalam penelitian ini tidak
menggunakan banyak responden sebagai sumber, tetapi hanya melibatkan satu
responden tunggal yang merupakan pemerhati BMT pada wilayah penelitian.
18
James A. Black dan Dean J. Champion, Methodes and Issues in Social Research, terj.
E. Koswara, Dira Salam, dan Alfin Ruzhendi, (Bandung: Reflika Aditama, 2009), Cet.4, h.305.
19
Interviewer adalah orang yang mencari data (pewawancara)
20
Interviewee adalah pihak yang dimintai data/ sumber (yang di wawancarai) 21
Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, h. 65.
45
H. Metode Analisis Data
Proses selanjutnya setelah pengolahan data adalah analisis. Tujuan analisis
data ini adalah untuk menyederhanakan, sehingga mudah ditafsirkan. Analisis
yang digunakan disini adalah analisis non statistika sesuai dengan data
kualitatif. Kegiatan analisis dengan cara ini dilakukan dengan membaca data
yang telah diolah.22
Analisis yang digunakan oleh peneliti sesuai dengan tema
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, terdiri dari:
1. Menarik asas-asas hukum.
2. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan.
3. Menilai taraf sinkhronisasi peraturan perundang-undangan.
4. Perbandingan hukum.
5. Sejarah Hukum.23
22
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, h. 88-85.
23
Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, h. 68.
46
BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI
A. Kelembagaan BMT
Hadirnya lembaga Keuangan Mikro, merupakan sebuah
keberhasilan para praktisi ekonomi kerakyatan yang menunjukan
keperdulian terhadap masyarakat dalam membentuk ekonomi yang setara,
adil dan dapat dijangkau oleh kalangan bawah. LKM tidak hanya sebagai
lembaga intermediate antara nasabah dengan lembaga seperti pada
lembaga keuangan Bank. LKM melakukan pengawasan, pembinaan dan
monitoring kepada para mitranya demi memperkuat ukhuwah dan
terpenuhinya kepercayaan mitra kepada lembaga. Melihat hal tersebut,
salah satu LKM yang eksistensinya luas di kalangan masyarakat muslim
khususnya adalah Baitul Maal Wat Tamwil atau kependekan dari nama
BMT.
Dalam istilah lain BMT adalah kependekan dari Badan Usaha
Mandiri Terpadu atau, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang
beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.1 BMT merupakan suatu
lembaga yang mempunyai dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil.
Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak, dan sedekah.
Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana
komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil
dengan berlandaskan syariat Islam. Lembaga ini didirikan dengan maksud
untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh
pelayanan bank syariah atau BPR syariah. Prinsip operasionalnya
didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual beli, ijarah, dan titipan (wadi’ah).
Karena itu, meskipun mirip dengan bank syariah, bahkan boleh dikata
1 Andri Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.
2, h. 451.
47
menjadi cikal bakal dari bank syariah, BMT memiliki pangsa pasar
tersendiri, yaitu masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan
serta pelaku usaha yang mengalami hambatan “psikologis” bila
berhubungan dengan pihak bank.2 Cara kerja dan perputaran dana BMT
secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 4.1: Alur Operasional BMT
Dari gambaran pola peraturan dana BMT di atas, sesungguhnya
lebih didominasi pada pola operasional bisnis (Tamwil). Sementara untuk
aspek pengelolaan ZISnya (Maal) tidak nampak.3 Hal ini dikritisi oleh Dr.
2 Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Syariah Tinjauan Teoritis
dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 1, h. 362.
3 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2013), Cet. 1, h. 28.
Penggalangan
Dana (Funding) Operasional BMT PenyaluranDana
(Financing)
Modal Dasar:
Simpanan Pokok
Khusus
Simpanan Pokok
Simpanan Wajib
SHU
dibagikan
Mudharabah
Pembiayaan total
bagi hasil
SHU
Bagi
Hasil
Bonus
Margin
Infak
Pool Pendapatan
Simpanan Sukarela
Titipan
Simp. Wadiah
Amanah/ZIS
Simp. Wadiah
Dhamanah
Simpanan Sukarela
Bagi Hasil
Simpanan
Mudharabah biasa
Simp. Pendidikan
Simp. Haji
Simp. Umroh
Simp. Kurban, dll
Simp. Berjangka
(1,3,6,12 bulan)
Qard al-Hasan
Pinjaman
Kebajikan
Bagi
Hasil Musyarakah
Pembiayaan
bersama bagi
hasil
BBA
Kepemilikan
barang angsuran
Biaya Operasional
Musyarakah
Pembiayaan
bersama bagi
hasil
48
Yusuf Qardhawi (Makhalul Ilmi, 2002) yang menyatakan bahwa yang
disebut Baitul Maal adalah lembaga yang berorientasi pada sosial-
keagamaan yang kegiatan utamanya menampung harta masyarakat dari
berbagai sumber termasuk (terutama) zakat, dan menyalurkannya untuk
tujuan mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa. Adapun Baitul Maal
Kontemporer saat ini memiliki cakupan kegiatan lebih sempit, yakni
sebatas menghimpun dana zakat, infak dan sedekah. Oleh karenanya perlu
ditegaskan bahwa, untuk bisa disebut BMT, sebuah lembaga keuangan de
facto harus memiliki dua unit usaha sekaligus dalam bidang pengelolaan
ZIS dan perbankan syariah. Bila salah satunya tidak ada, maka bukanlah
yang demikian disebut BMT tetapi Baitul Maal atau Baitul Tamwil saja.
Pengingkaran terhadap prinsip ini dapat berakibat fatal berimplikasi serius
secara negatif terhadap keutuhan jati diri BMT sebagai lembaga keuangan
mikro syariah.
Terkait dengan badan pengelolaan BMT yang merupakan sebuah
badan yang mengelola organisasi dan perusahaan BMT. Badan Pengelola
ini biasanya memiliki struktur organisasi tersendiri. Yang paling sederhana
misalnya sebagai berikut:4
Bagan 4.2: Badan Pengelola BMT
Koperasi syariah mulai diperbincangkan banyak orang ketika
menyikapi semaraknya pertumbuhan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di
Indonesia. Baitul Maal Wat Tamwil yang dikenal dengan sebutan BMT
Bina Insan Kamil tahun 1992 di Jakarta, ternyata mampu memberi warna
bagi perekonomian kalangan akar rumput yakni para pengusaha gurem.
4 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 29.
Kasir/ Layanan Nasabah Pembukuan Pembiayaan
Direktur/ Ketua
49
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998
menyebutkan bahwa segala kegiatan dalam bentuk penghimpunan dana
masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan dalam bentuk kredit
harus berbentuk Bank.5 Maka muncullah beberapa LPSM (Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang memayungi KSM BMT.
LPSM tersebut antara lain: P3UK sebagai penggagas awal, PINBUK dan
FES Dompet Dhuafa Republika. BMT yang memiliki basis kegiatan
ekonomi rakyat dengan falsafah yang sama yaitu dari anggota oleh
anggota untuk anggota maka berdasarkan Undang-Undang RI nomor 25
Tahun 1992 tersebut berhak menggunakan badan hukum koperasi.
Pada tahun 1994 berdiri sebuah forum komunikasi (FORKOM)
BMT se-Jabotabek yang bernaggotakan BMT-BMT di Jakarta, Bogor,
Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Forum komunikasi BMT se-Jabotabek
tersebut sejak tahun 1995 dalam setiap pertemuan bulanannya, berupaya
menggagas sebuah payung hukum bagi anggotanya. Maka tercetuslah ide
pendirian BMT dengan badan hukum koperasi, kendati badan hukum
koperasi karyawan yayasan.6
Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu
disebabkan BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat
dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
Menurut Undang-Undang, pihak yang berhak menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat, baik dioperasikan dengan cara Konvensional maupun dengan
prinsip syariah (bagi hasil). Namun demikian, kalau BMT dengan badan
hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi
5 Republik Indonesia, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbakan Pasal 1
Ayat 2 6 Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer,
(Bogor: Al Azhar Freshzone Publishing, 2015), Cet. 2, h. 5.
50
syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada
pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah) dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.7
Dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian menyatakan bahwa Koperasi dapat berbentuk
Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder. Koperasi Sekunder, menurut
Penjelasan dari undang-undang tersebut, adalah meliputi semua koperasi
yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi Primer dan/ atau
Koperasi Sekunder. Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan
efisiensi, Koperasi sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun
berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal koperasi mendirikan Koperasi
Sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal
sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun
penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.8
Jika dilihat kembali ketentuan Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No
12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Koperasi berserta penjelasannya,
maka dapat diketahui adanya empati tingkatan organisasi yang didasarkan
atau disesuaikan dengan tingkat daerah administratif pemerintahan. Empat
tingkatan koperasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Induk Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) gabungan
koperasi yang berbadan hukum. Induk koperasi ini daerah kerjanya
adalah Ibukota Negara Republik Indonesia (tingkat Nasional).
2. Gabungan Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) Pusat
Koperasi yang berbadan hukum. Gabungan Koperasi ini daerah
kerjanya adalah Daerah Tingkat 1 (tingkat Propinsi).
3. Pusat Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 5 (lima) Koperasi
Primer yang berbadan hukum. Pusat Koperasi ini daerah kerjanya
adalah Daerah Tingkat II (tingkat Kabupaten).
7 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 30.
8 Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal
15
51
4. Koperasi Primer, terdiri dari sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang
yang telah memenuhi syarat keanggotaan sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang.
Dengan tingkatan organisasi koperasi seperti tersebut, maka
koperasi tingkat atas mempunyai kewajiban memberi bimbingan dan pula
mempunyai wewenang untuk mengadakan pemeriksaan pada koperasi
tingkat bawah, dengan tanpa mengurangi hak koperasi tingkat bawah.9
B. Landasan Operasional
1. Pendirian
Setiap pendirian BMT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:10
a. Didirikan minimal oleh 20 orang
b. Memiliki Visi dan Misi bagi pemberdayaan ekonomi umat yang
beroperasi dengan prinsip-prinsip muamalah sesuai syariah Islam.
c. Kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Penghimpunan dana simpanan berdasarkan syariah.
2) Pembiayaan usaha pola syariah berdasarkan syariah.
3) Pengelolaan dana titipan zakat, infaq, sedekah, dan dana
simpanan lainnya. Usaha-usahalain yang halal sesuai syariah.
d. Modal awal minimal Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
e. Pengurus/ pengelola memiliki wawasan dan pengalaman atau
pernah mengikuti pelatihan BMT dan/atau pernah magang di
BMT.
f. Pengurus/pengelola berpendidikan Diploma atau SLTA dan
berakhlak mulia
g. Harus melibatkan tokoh masyarakat setempat
h. Memiliki DPS (Dewan Pengawas Syariah)
i. Berbadan hukum
9 R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, 59-60.
10
Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal wat Tamwil, (Bandung: Pustaka Setia,
2003), Cet. 1, h. 339-342.
52
j. Mempunyai tata tertib
k. Ada rekomendasi PINBUK
Berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian No 25 Tahun 1992
Pembentukan Koperasi dilakukan dengan kata pendirian yang memuat
Anggaran Dasar.11
Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
memuat sekurang-kurangnya:
a. Daftar nama pendiri;
b. Nama dan tempat kedudukan;
c. Maksud dan tujuan serta bidang usaha;
d. Ketentuan mengenai keanggotaan;
e. Ketentuan mengenai Rapat Anggota;
f. Ketentuan mengenai pengelolaan;
g. Ketentuan mengenai permodalan;
h. Ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya;
i. Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;
j. Ketentuan mengenai sanksi.12
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi
persyaratan:
a. Bentuk badan hukum;
b. Permodalan; dan
c. Mendapat izin usaha yang tata caranya diatur dalam UU LKM13
2. Perizinan
Berdasarkan Undang-Undang LKM No 1 Tahun 2013, sebelum
menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari
11
Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal
7 Ayat 1 12
Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal
8 13
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 4
53
Otoritas Jasa Keuangan.14
Untuk memperoleh izin usaha, LKM harus
dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan; dan
d. Kelayakan rencana kerja.15
Perizinan Usaha LKM dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Permohonan Izin Usaha LKM Baru, bagi LKM yang berdiri sejak
Undang-Undang LKM berlaku (berdiri sejak tanggal 8 Januari
2015).
b. Permohonan Izin Usaha LKM Melalui Pengukuhan, bagi LKM
yang telah berdiri dan beroperasi sebelum Undang-Undang LKM
berlaku (telah berdiri dan beroperasi sebelum tanggal 8 Januari
2015).16
Jika melihat pada hal tersebut, seharusnya LKM untuk
mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan baik lembaga tersebut
telah berdiri sebelum Undang-Undang itu berlaku baikpun yang akan
dan atau telah beroperasi setelah Undang-Undang ini diberlakukan.
Untuk LKM model BMT sendiri, sebelum terlebih dahulu
memiliki perizinan ke Kementrian Koperasi maka selanjutnya BMT
harus mendaftarkan diri ke OJK untuk diakui keberadaannya.
Sehingga BMT sebagai lembaga keuangan dapat lebih dipercaya
secara legal.
14
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 9 Ayat 1 15
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 9 Ayat 2 16
Diakses pada 12 Apil 2018 dari http://www.ojk.go.id
54
3. Permodalan
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Lembaga
Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013 Sumber permodalan LKM
disesuaikan dengan badan hukumnya.17
Berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, pada BMT yang berbadan hukum Koperasi, maka
sumber permodalannya yaitu:
a. Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
b. Modal sendri dapat berasal dari:
1) Simpanan Pokok;
2) Simpanan Wajib;
3) Dana Cadangan;
4) Hibah.
c. Modal Pinjaman dapat berasal dari:
1) Anggota;
2) Koperasi lainnya dan/atau anggotanya;
3) Bank dan lembaga keuangan lainnya ;
4) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
5) Sumber lain yang sah.18
Sedangkan Ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.19
Untuk LKM bentuk BMT,
sumber Modal dapat diperoleh dari:20
a. Simpanan pokok anggota yang dilakukan hanya sekali sebagai
tanda keikutsertaan sebagai anggota.
17
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 7 Ayat 1 18
Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal
41 19
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 7 Ayat 2 20
Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wat Tamwil, (Bandung: Pustaka Setia,
2003), Cet.1, h.28.
55
b. Simpanan wajib pokok yang dilakukan oleh anggota secara
periodik sesuai dengan kesepakatan dalam jumlah yang sama
setiap kai menyimpan.
c. Simpanan sukarela anggota yang dilakukan oleh anggota secara
sukarela tanpa ada batasan jumlah dan waktu.21
4. Kegiatan Usaha
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan
usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau
Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha.22
Sebagai Bait al-Maal, beberapa bagian dari kegiatan BMT
dijalankan tanpa orientasi mencari keuntungan. BMT berfungsi
sebagai pengemban amanah, serupa dengan amil zakat, menyalurkan
bantuan dana secara langsung kepada pihak yang berhak dan
membutuhkan. Sumber dana kebanyakan berasal dari zakat, infak, dan
sedekah, serta dari bagian laba BMT yang disisihkan untuk tujuan ini.
Adapun bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan cukup
beragam. Ada yang murni bersifat hibah, dan ada pula yang
merupakan pinjaman bergulir tanpa dibebani biaya dalam
pengembaliannya. Hibah sering berupa bantuan langsung untuk
kebutuhan hidup yang mendesak atau darurat, dan bagi mereka yang
memang sangat membutuhkan, diantaranya adalah: bantuan berobat,
biaya sekolah, sumbangan bagi korban bencana, dan lain-lain yang
serupa. Yang bersifat pinjaman bergulir biasa diberikan sebagai modal
produktif untuk melakukan usaha. Pada umumnya, dalam kaitan
21
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), Cet. 1, h. 324. 22
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 11
56
dengan pinjaman bergulir, BMT tidak sekadar memberi bantuan dana,
melainkan juga memberi berbagai bantuan teknis. Bantuan teknis
tersebut dapat berupa pelatihan, konsultasi, bantuan manajemen, dan
bantuan pemasaran.23
Sebagai Bait at-Tamwil, BMT terutama berfungsi sebagai suatu
lembaga keuangan syariah yang melakukan upaya penghimpunan dana
penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang
paling mendasar dan yang sering digunakan adalah sistem bagi hasil
yang adil, baik dalam hal penghimpunan maupun penyaluran dana.
Sampai sejauh ini, kebanyakan BMT berupaya menjalankan fungsi
keuangan syariah tersebut secara profesional dan patuh kepada
syariah.24
Pola BMT selain sebagai lembaga yang berbasis bisnis, BMT
melebarkan sayapnya dengan fungsi-fungsi sosial dalam hal
pemberdayaan masyarakat yang berjalan bersamaan diiringi dengan
penerapan-penerapan prinsip syariah. Pemberdayaan yang dilakukan
BMT sebagai hal utama yang dapat menumbuhkan perekonomian
rakyat yang berbasis non riba, menyentuh kalangan bawah dan
mengemansipasi pebisnis mula yang dapat melakukan perubahan pada
tatanan kebutuhan rumah tangga. Sehingga BMT mampu menyentuh
masyarakat dibanding dengan lembaga keuangan Perbankan.
Pada dasarnya BMT dan Perbankan memiliki tujuan dan fungsi
yang sama, sebagai penghimpun dana dan penyalur pembiayaan
masyarakat dengan tujuan dapat memproduktifkan. Perbedaannya
BMT memiliki pangsa pasar dalam lingkup mikro, tetapi hal tersebut
tentunya berkaitan dengan usaha bank sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang dapat melakukan
kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang,
23
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawati Pers, 2009), h. 85. 24
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawati Pers, 2009), h. 86.
57
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi,
serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.25
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan penyaluran Pinjaman
atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM dilaksanakan
setara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.26
Berdasarkan cara operasionalnya BMT melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang digunakan oleh BMT
tentunya wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.27
Prinsip syariah sebagai dasar operasional BMT yang terhindar dari
maisir (perjudian), gharar (penipuan), risywah (suap), dan riba
(bunga).28
Dalam beberapa peraturan yang BMT terkait di dalamnya, bahkan
Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang
selama ini sebagai landasan operasional dan Undang-Undang Otoritas
Jasa Keuangan tidak mengatur secara fokus berdasarkan prinsip
syariah yang merupakan pola utama dibentuknya sebuah lembaga
keuangan mikro BMT. Bahkan Undang-Undang lembaga Keuangan
Mikro No 1 Tahun 2013 tidak menjelaskan peraturan syariah secara
rinci melalui pengaturan pelaksanaannya, hanya saja menyebutkan
bahwa Dewan Pengawas Syariah merupakan acuan dalam kegiatan
yang berbasis syariah. Adapun hal tersebut diatur dalam Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
25
Republik Indonesia, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 7 26
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 12 Ayat 1 27
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 12 Ayat 2 28
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 99.
58
Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang selanjutnya
disempurnakan oleh Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia No.11/Per/M.KUKM/XII/2017 dalam
Berita Negara tertanggal 12 Januari 2018 tentang Pelaksanaan Kegitan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Dari demikian peraturan yang berkaitan dengan BMT tidak
menyentuh prinsip secara spesifik terhadap peraturan pelaksanaan
yang berbasis syariah, maka operasional BMT dimungkinkan akan
mengalami distorsi.
C. Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Implikasi Hukum Terhadap
Operasional Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Wilayah Kabupaten
Bogor.
1. Kebijakan Regulasi
Berbicara payung hukum maka konsekuensinya adalah bagaimana
lembaga itu tunduk patuh kepada regulasi dan menjalankan sesuai
yang disebutkan dalam peraturan-peraturan terkait. Mengenai BMT
pada Wilayah Penelitian Kabuaten Bogor, dimana Bogor merupakan
salah satu kota yang tercatat dalam histori dimana lembaga
pengembang Dompet Dhuafa melakukan Diklat (pendidikan dan
pelatihan) BMT pada kedua kalinya, menjadi pusat perhatian peneliti
untuk menarik kembali fokus kajian saat ini. BMT pada Wilayah
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang terhimpun dalam Koperasi
Sekunder Pusat Koperasi Syariah (Puskopsyah) yang berkegiatan
dalam lingkup Kabupaten.
Secara umum BMT di Wilayah Kabupaten Bogor memilih badan
hukum koperasi karena pada hakikatnya jati diri koperasi sudah
melekat pada jiwa BMT. Fungsi BMT sebagai upaya akomodasi
pemerintah melakukan pembenahan sebagaimana dalam Undang-
Undang No 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
59
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi
Undang-Undang.29
BMT sebagai lembaga yang melakukan kegiatan pembiayaan tidak
lepas dari peraturan yang harus dirujuknya. Pembiayaan dalam
menjalankan kegiatannya dilaksanakan oleh perusahaan pembiayaan.
Menurut Pasal 1 angka (5) Keppres No. 61 Tahun 1988 yang dimaksud
dengan perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan
lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk
melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan. Perusahaan pembiayaan dimaksud, menurut Pasal 3 ayat
(2) Keppres No. 61 Tahun 1988 berbentuk Perseroan Terbatas atau
Koperasi. Dengan demikian, untuk dapat menjalankan usaha di bidang
pembiayaan maka perusahaan pembiayaan harus berbentuk badan
hukum baik berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi.30
BMT yang menggunakan badan hukum Koperasi maka tunduk
pada peraturan:
1. Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka beberapa
pasal di dalamnya berkaitan. Diantaranya:
Pasal 44 Ayat 1: Koperasi dapat menghimpun dana dan
menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan
untuk;
a. Anggota Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
Pasal 18 Ayat 1: Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah
setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan
hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
29
Wawancara dengan Pepi Januar Pelita, M.Pd., sebagai Ketua Pusat Koperasi Syariah
Kabupaten Bogor. Dilakukan pada Selasa, 13 Maret 2018 Pukul 14.30 WIB di BMT Khairu
Ummah Bogor
30
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, h. 4.
60
Pasal 17 Ayat 1: Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus
pengguna jasa Koperasi.
Pasal 9: Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta
pendiriannya disahkan oleh pemerintah.
Pada peraturan Koperasi tersebut, sesungguhnya jelas tidak
menyatakan keberadaan BMT ataupun lembaga keuangan mikro
lainnya. Dalam menjunjung perekonomian kerakyatan yang
berasaskan pancasila, sewajarnya BMT mengadopsi pola kerja
Koperasi sebagai lembaga ekonomi kerakyatan yang adil dan
merata. Tetapi pada faktanya, BMT tidak sepenuhnya menjalankan
amanah yang ada dalam Undang-Undang perkoperasian, dengan
alasan BMT memiliki karakter yang berbeda dengan Koperasi pada
umumnya. Salah satu yang menjadi perbedaan adalah, dari
keanggotaan. Dalam berkoperasi secara umum, bagi setiap orang
yang mengeluarkan biaya simpanan pokok dan simpanan wajib
maka dapat dikatakan sebagai anggota. Tetapi dalam BMT,
anggota BMT merupakan pengurus dan struktur keanggotaan
lainnya, sedangkan pihak luar dikatakan dengan mitra apabila
pihak tersebut hanya melakukan kegiatan menabung saja tanpa
membayar iuran pokok dan wajib.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa BMT lebih bersifat
terbuka untuk masyarakat. Tetapi Koperasi hanya diperuntukkan
untuk anggota saja.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3591).
3. Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi.
61
Dari peraturan tersebut, tidak secara jelas menyatakan
adanya BMT. Penegasan tersebut lebih kepada kegiatan simpan
pinjam dan pembiayaan berbasis syariah. Pola BMT pada dasarnya
sudah sesuai dengan KSPPS sehingga banyak BMT pada saat ini
menyatakan dirinya dengan nama “BMT KSPPS X”
Beberapa jumlah Koperasi aktif yang ada di Kabupaten
Bogor, dengan sesuai dengan akta yang dikeluarkan oleh Notaris
pembuat akta.
NO.
Nama
Lembaga
Anggota
Puskopsyah
Pengurus Alamat dan Badan Hukum
1
BMT Kspps
Khairu
Ummah Aktif
Pepi Januar
Pelita
Leuwiliang
111060/BH/PMD/KWK.10/XI
I-1997
2
BMT Kspps
Al-Hijrah Aktif
Melly
Supiati
Sentul,
518/43/BH/KPTS/KANKOP/2
006
3
BMT Kspps
Berkah
Mandiri
Sejahtera Aktif
Asep
Junjunan
Cisarua,
518/314/BH/KPST/
DISKOPERINDAG
4
BMT
Ksppsi
Umar Bin
Abdul Azis Aktif Erwin
Leuwisadeng,
518/100/BH/KPTS/KKUKM/2
008
5
BMT
Ksppsi
Khlasul
Ummah Aktif
Ghousul
Ahmad
Pamijahan,
*badan hukum tidak terakses
6 BMT Kspps Aktif Dudin Cibungbulang,
62
Khidmatul
Ummah
Fahrudin No.
07/BH/KDK.105/VIII/1998
7
Kspps
Baytul
Ikhtiar Aktif Latif Afendi
Loji,
518/169/BH/KPTS/KUKM/20
08
8
BMT Kspps
Tadbiirul
Ummah Aktif Syamsiah
Dramaga,
05/BH/KDK.105/VIII/1998
9
Koperasi
Darul Falah Aktif Yusif
Ciampea,
09/A/Koppontren-DF/IV/2007
10
KSPPS
Mitra
Anggota
Siraa
Drs Ahmad
Jamili
Ciampea,
518/61/BH/KPTS/DISKOPERI
NDAG/II/2010
11
Koperasi
Darul
Muttaqin Aktif Tari
Parung,
*badan hukum tidak terakses
12
BMT Kspps
Mitra Usaha Aktif
Ahmad
Jamili
Pamijahan,
*badan hukum tidak terakses
13
Koperasi
Baiturrahm
an Aktif Ibnu Thoriq
Bojong Gede,
*badan hukum tidak terakses
14
BMT Kspps
Sejahtera
Bangsaku Aktif
Aziz Moh
Abduh
Sentul,
*badan hukum tidak terakses
15
BMT Kspps
An-Nisa Aktif
Mustofa
Idris
Cileungsi,
518/242/BH/KPTS/DISKOPE
RINDAG/VII/2012
16
BMT Kspps
Swadaya Aktif H. Sulaeman
Kalapa Nunggal ,
518/65/BH/KPTS/Kankop/200
63
Pribumi 6
17
BMT Kspps
Berkah
Bersama Aktif Aang Kinan
Sindang Barang,
65/BH/XIII.5/KANKOP/2014
18
BMT Kspps
Ibadurrahm
an Aktif
H. Ridha
Nugraha
Ciawi,
*badan hukum tidak terakses
19
BMT Kspps
Syahid Aktif
Buchori
Muslim
Gn. Menyan,
*badan hukum tidak terakses
20
BMT Kspps
X Aktif
Diskop
UKM
*badan hukum tidak terakses
21
BMT Kspps
X Aktif
Diskop
UKM
*badan hukum tidak terakses
22
BMT Kspps
X Aktif
Diskop
UKM
*badan hukum tidak terakses
23
BMT El-
Umma Aktif
*badan hukum tidak terakses
24
KSPPS
Amanah
Ummah
Tidak
bergabung
Leuwiliang,
*badan hukum tidak terakses
25
KSPPS
Aisyah
Tidak
bergabung
Ciampea,
*badan hukum tidak terakses
26
KSPPS
Attaawun
Tidak
bergabung
Jasinga,
*badan hukum tidak terakses
27
Khoiru
Ummah
(KUC)
Tidak
bergabung
Cibinong
*badan hukum tidak terakses
28
KSPS Nur
Aisyiah
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
64
29
KSPPS
Sejahtera
Bersama
Syariah
Tidak
bergabung
Gunung Puti,
*badan hukum tidak terakses
30
KSPPS Bill
Barkah
Tidak
bergabung
Ciomas,
*badan hukum tidak terakses
31
KOPP
PPIQ
Tidak
bergabung
Ciomas,
*badan hukum tidak terakses
32
Kopkar
Capsulgel
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
33
Kopkar
Winner
Tidak
bergabung
Klapanunggal,
*badan hukum tidak terakses
34
Kopkar
Bina Estate
Sejahtera
Tidak
bergabung
Citeureup,
*badan hukum tidak terakses
35
Kopkar PT
Ricky
Tidak
bergabung
Jonggol,
*badan hukum tidak terakses
36
Kopkar
RST
Dompet
Dhuafa
Tidak
bergabung
Parung,
*badan hukum tidak terakses
37 KOPP BA
Tidak
bergabung
Tenjo,
*badan hukum tidak terakses
38
KOPP Al
Mukhlisin
Tidak
bergabung
Parung,
*badan hukum tidak terakses
39
Kopkar PT
Sri
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
65
40
Kopkar
Dirgantara
Tidak
bergabung
Kemang,
*badan hukum tidak terakses
41
Kopkar
Primavera
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
42
KO KAR
Indo Karlo
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
43
Elang
Perdana
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
44 Adi Wira
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
45
KSPPS Al-
Hijrah
Tidak
bergabung
Babakan Madang,
*badan hukum tidak terakses
46
KOP
Baiturrahm
an
Tidak
bergabung
Cisarua,
*badan hukum tidak terakses
47
KOPP Al
Musthafawi
yah
Tidak
bergabung
Cisarua,
*badan hukum tidak terakses
48
Koperasi La
Rooiba
Tidak
bergabung
Cibinong,
*badan hukum tidak terakses
49
Berkah
Berjamaah
(212)
Tidak
bergabung
Bojong Gede,
*badan hukum tidak terakses
50
KPRI P
Dan K Suka
Makmur
Tidak
bergabung
Suka Makmur,
*badan hukum tidak terakses
51 Madania
Tidak
bergabung
Kemang,
*badan hukum tidak terakses
52 Citra Indah Tidak Jonggol,
66
Lestari bergabung *badan hukum tidak terakses
53
Bina Insan
Mandiri
Tidak
bergabung
Citeureup,
*badan hukum tidak terakses
Tabel 4.1: LKM di Wilayah Kabupaten Bogor
Sumber : Lapangan Berdasarkan Data Peserta Penyuluhan Koperasi Syariah
Dari tabel di atas menunjukkan 53 jumlah Lembaga
Keuangan Mikro di Wilayah Kabupaten Bogor termasuk
BMT/KSPPS berjumlah 24 yang tergabung dalam Puskopsyah. 24
KSPPS dapat dikatakan aktif, menurut Pepi Januar (2018), bahwa
BMT dikatakan tidak aktif apabila tidak melaksanakan aktivitas
usaha sebagaimana yang tercantum dalam ADR. Misalnya pada
jasa konsumen dan produsen, ketika tidak ada kegiatan maka sudah
dipastikan koperasi itu tidak aktif, secara legal masih ada karena
yang memiliki kewenangan menonaktifkan adalah Kementrian
Koperasi dengan mencabut izin pendiriannya. Dalam hal
Puskopsyah memberikan jumlah koperasi aktif disetiap tingkatan
yang kemudian diberikan kepada Kemenkop. Selanjutnya,
kemenkop mengadakan kunjungan ke lapangan untuk melihat,
memeriksa operasional secara real.
Kemudian yang kedua, BMT dikatakan tidak aktif apabila
koperasi itu masih beroperasi tetapi tidak pernah megikuti rapat
akhir tahun (RAT). Sehingga ketika RAT tidak dilakukan, maka
memang tidak ada laporan yang dijadikan pegangan untuk
puskopsyah. RAT biasanya dilakukan setiap awal tahun pada bulan
pertama.
Pasca Keluarnya regulasi No 11/Per/M.KUKM/XII/2017
Tentang Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi, BMT di Wilayah Kabupaten Bogor mengubah namanya
menjadi KSPPS. Sehingga secara tidak langsung BMT sudah
mematenkan badan hukumnya sendiri yaitu Koperasi seiringan
67
dengan regulasi yang sesuai dengan operasionalnya. KSPPS
biasanya digunakan bagi BMT yang sudah mengikuti Perubahan
Anggaran Dasar (PAD).
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan operasionalnya BMT mengguakan beberapa
akad yang ada dalam Fatwa DSN MUI.
a. Fatwa No 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh) dan Fatwa No Fatwa No 08/DSN-
MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
b. Fatwa No 09/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.
c. Fatwa No 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah, No
05/DSN-MUI/IV/2000 Tenang Jual Beli Salam, No 06/DSN-
MUI/IV/2000 Tenang Jual Beli Istishna, dan No 73/DSN-
MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah.
d. Fatwa No19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qard atau dengan
pemeliharaan jaminan dalam bentuk Fatwa No 25/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn.
Dalam Pola BMT yang memiliki asas nilai-nilai sosial, ditunjukkan
dengan adanya pelaksanaan pengolaan Zakat, Infaq, Sedekah. Pada hal
itu tentunya merujuk Pada Permen No 11/Per/M.KUKM/XII/2017
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi.
Dalam merujuk peraturan tersebut, sebetulnya tidak spesifik
mengatakan bahwa BMT merupakan Lembaga kewenangan
pemerintah yang dapat mengelola zakat masyarakat (UPZ), karena
dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan sebagaimana dikatakan
dalam Pasal 6 UU No 23 Tahun 2011 bahwa BAZNAS merupakan
lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional.
68
Tetapi dalam rangka untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat, BMT sebagai badan hukum yang selain
berkegiatan bisnis, BMT memiliki kemampuan dalam rangka
menumbuhkan nilai-nilai sosial, salah satunya yaitu dalam pengelolaan
dan pendistribusian zakat.
2. Urgensi Penguatan Hukum
Bank Indonesia melalui Program Proyek Hubungan Bank dengan
Kelompok Swadaya Masyarakat (PHB-KSM) dari program tersebut
lahirlah inisiatif untuk BMT dapat berpayung hukum.
Bicara regulasi, keberadaan Undang-Undang LKM No 1 Tahun
2103 tidak serta merta menyentuh operasional BMT yang sudah sekian
lama mengoperasikan kegiatannya di Indonesia khususnya di
Kabupaten Bogor. Namun melihat pada historis BMT, tidak banyak
para pemerhati mengaitkan dengan regulasi tersebut karena dianggap
tidak terlalu bersentuhan. Menelusuri kembali sejarah BMT, para
peneliti tidak menjadikan regulasi tersebut sebagai bagian yg berkaitan
erat dengan perkembangan BMT. Kelompok Swadaya Masyarakat
merupakan salah satu pencetus pola Program Hubungan Bank dan
KSM (PHBK), mereka menginisiasi BMT yang awalnya tidak
memiliki paying hukum, sehingga KSM pada saat itu menginisiasi
serta didukung dengan adanya Undang-Undang No 7 mengharuskan
penghimpunan dana harus berbentuk bank, maka atas hal tersebut
BMT menjalankannya., ketika BMT menjalankan aturan itu maka
kemudian ada Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat yg
dinamakan LSM LPSM sebagai lembaga yang menaunginya,
diantaranya PINBUK, Forum Ekonomi Syariah, Muamalat Institut,
Dompet Dhuafa Republika. Jadi dapat disimpulkan, dalam referen
yang pemerhati dapatkan, Undang-Undang LKM tidak dikaitkan
dengan keberadaan BMT sampai dengan saat ini.
Adapun menurut pemerhati, Pepi Januar Pelita mengenai Undang-
Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
69
Pemerintah memberikan keluasan kepada BMT untuk memilih, sejauh
ini jarang sekali ada yg mengangkat jika dikaitkan.
Undang-Undang No 1 Tahun 2013 pada penglihatannya hanya
bersifat opsional tidak mandatoring. Karena dalam ketentuannya BMT
ataupun LKM lainnya yang disebutkan dalam pasal peralihan, bahwa
BMT dapat memilih badan hukumnya Koperasi atau Perseroan
Terbatas. Melihat hal itu, regulasi tidak sepenuhnya memberikan
kepastian hukum dimana tidak ada konsistensi pada peraturannya.
Menurut pendapat Ridha Nugraha (Sekretaris PINBUK),31
bahwa
secara kesesuaian UU LKM No 1 Tahun 2013 sudah menjawab
permasalahan bahwa BMT tidak dikatakan bank gelap, melainkan
lembaga keuangan mikro yang ada di masyarakat di bawah
kewenangan kementrian koperasi atau OJK apabila BMT tersebut
mendaftarkan dirinya. Menurutnya, bahwa badan hukum yang
digunakan oleh BMT di Wilayah Kabupaten Bogor adalah Koperasi
dan sesuai dengan regulasi ayng dikeluarkan pemerintah. Itu
merupakan sebuah pilihan, tetapi disini dibedakan ada BMT yang
mendaftarkan diri ke Kemenkop saja ada BMT yang mendaftarkan diri
ke OJK. Konsekuensi penamaan dan tanggung jawab menjadi berbeda.
Saat BMT hanya mendaftarkan diri ke Kemenkop maka BMT tersebut
berbentuk Koperasi dengan nama BMT/KSPPS dan diawasi oleh
Kemenkop, tetapi apabila BMT lanjut mendaftarkan dirinya ke OJK
maka BMT tersebut LKM berbentuk Koperasi dengan nama
KSPPS/BMT dan diawasi oleh OJK. Untuk izin operasionalnya
menjadi dua pilihan, ke Kementrian Koperasi atau Otoritas Jasa
Keuangan sedangkan untuk badan hukumnya adalah Koperasi.
Menurut pendapat peneliti, pemerintah dalam hal ini lebih bijak
dalam memberikan ketentuan untuk lembaga keuangan mikro.
Kebijakan tersebut memperlihatkan bahwa apabila mampu mendirikan
31
Wawancara dengan Ridha Nugraha, M.SI., sebagai Sekretaris Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil Bogor. Dilakukan pada Sabtu, 19 Mei 2018 Pukul 13.45 WIB di Rumah kediamannya
di Jl Cemara Blok E5, No.9, Bantarjati, Bogor Utara, Kota Bogor
70
perusahaan dengan modal yang maksimal maka bentuk badan hukum
yang digunakan adalah PT dan pemerintah 60% dapat berkontribusi di
dalamnya. Berbeda halnya dengan koperasi, penataannya lebih
diarahkan oleh masyarakat sehingga pemerintah tidak ada campur
tangan dengan keanggotaan baikpun kementrian koperasi hanya
sebagai pengawas kelembagaan. Melihat hal ini, pemerintah
sebetulnya sudah bijak dalam membuat regulasi tetapi mengapa LKM
khususnya BMT merasa bahwa regulasi ini tidak bersentuhan dengan
kelembagaan dan operasional.
Pentingnya penguatan hukum memberikan ketegasan dalam
merespon perkembangan, dan pemahaman masyarakat agar tidak
ambigu terhadap peraturan yang mengakibatkan beda pendapat. Dalam
hal ini, penguatan hukum juga berfungsi sebagai pemberi sanksi yang
tegas dalam penyelesaian sengketa sebagai wujud efektifitas
dijalankannya yang menjadi penting untuk diterapkan.
Diperkirakan apabila BMT diperhatikan lebih serius, maka
ekonomi rakyat dapat terpenuhi dengan baik dengan perputaran
keuangan yang bagus. Berdasarkan data yang diperoleh dari OJK per-
Mei 2017, jumlah industri syariah yang tercatat di OJK sebanyak 18
unit dengan aset 71,12 Miliar, selanjutnya terlihat pada Februari 2018
jumlah industri syariah sebanyak 36 unit dengan aset 116 Miliar. Jika
dianalisis dalam jangka waktu 10 bulan BMT memiliki perkembangan
walau dirasa asset BMT tidak sebanding dengan banyaknya unit BMT
yang berdiri. Artinya masih harus banyak diperhatikan dari segi
permodalan atau sumber daya manusia yang memadai.
Beberapa regulasi yang sedikit banyak menyinggung dan
mendukung pola BMT dapat diartikan bahwa BMT sebagai lembaga
keuangan yang memiliki posisi di masyarakat, alangkah lebih
bagusnya hal ini dikuatkan dengan regulasi yang maksimal. Beberapa
problem yang dijadikan isu oleh pada pemerhati dan para peneliti
keuangan mikro, bahwa pentingnya sebuah regulasi untuk kepastian
71
hukum yang dapat melindungi segenap masyarakat yang andil dan
berkontribusi dalam pemerataan ekonomi kerakyatan model BMT.
Beberapa regulasi yang mendukung mengingat bahwa BMT memiliki
kebutuhan untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
Dalam pembentukan regulasi berdasarkan pertimbangan untuk
mendukung perekonomian yang tangguh, berdaya dan mandiri dan
mengikuti perkembangan lembaga keuangan, namun untuk BMT
dirasa dipandang bukan hanya dari aspek pengelolaan dana masyarakat
tetapi ada pola unik yang membuat BMT sedikit sulit
menyeimbangkan regulasi mana yang paling bijak untuk diterapkan
sebagai pola dasar operasional dan kelembagaan.
Sebagai regulasi baru yang dibuat oleh pemerintah tahun 2013,
didukung dengan kewenangan lain yang mendukung pola pengawasan
yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Saat ini pengaturan BMT diatur oleh 2
Undang-Undang yang berkaitan, diantaranya:
1. Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Dalam menumbuhkan perekonomian yang stabil, merata dan
transparan. Perlu adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif
serta didukung dengan peraturan-peraturan yang dapat mendukung
perkembangan perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Demi
mewujudkan hal tersebut, tentu haruslah dibentuk sebuah peraturan
untuk penataan yang lebih baik.
Berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang
OJK, terdapat 71 Pasal yang menjadi Landasan dibentuknya
Undang-Undang ini. Beberapa Pasal yang berkaitan dengan
keberadaan BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro syariah,
adalah sebagai berikut:
Pasal 1 Ayat 1: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya
disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
72
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pasal 1 Ayat 4: Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya.
Pasal 1 Ayat 9: Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.
Pasal 4: OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan:
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Pasal 5: OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan.
Pasal 6: OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
d. Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Pasal 9: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a.
menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan;
73
Beberapa ketentuan tersebut, menunjukkan kewenangan OJK
sebagai independensi yang memiliki kewenangan untuk mengatur
pelaksanaan kegiatan keuangan baik itu bank maupun lembaga
keuangan non bank. Berkaitan dengan hal itu, dikaitkan dengan
ketentuan peralihan pada Pasal 39 Undang-Undang No 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, bahwa BMT merupakan
bagian dari LKM di bawah pengawasan OJK, dengan begitu
sepatutnya harus tunduk pada peraturan ini. Tentunya dalam
Undang-Undang LKM memberikan kewenangan kepada OJK
sebagai Lembaga Independent yang dapat mengatur, membina dan
mengawasi dalam sektor lembaga keuangan.
Menurut hemat peneliti, BMT dapat dikategorikan sebagai
lembaga pembiayaan. Dimana lembaga pembiayaan merupakan
badan usaha yang memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan
konsumen. Atau secara tegas merupakan lembaga keuangan
lainnya.
Walau pada dasarnya Undang-Undang OJK tidak menegaskan
secara rinci mengenai Lembaga Keuangan Mikro atau BMT, tetapi
peraturan ini secara ekspilit dapat digunakan sebagai tolak ukur
dalam beberapa ketentuan operasional BMT maupun LKM
lainnya. Maka BMT sudah sepatuhnya berdasarkan pada peraturan
ini.
2. Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro
Pasal 1 Ketentuan umum:
Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah
lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
74
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-
mata mencari keuntungan.
Pasal 3
LKM bertujuan untuk:
a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan
produktivitas masyarakat; dan
c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat; terutama masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah.
Pasal 5
(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a adalah:
a. Koperasi; atau
b. Perseroan Terbatas.
(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia; dan/atau
b. Koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 12
(1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan
Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah.
75
(2) Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa
syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis
Ulama Indonesia.
Pasal 13
(1) Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), LKM wajib
membentuk dewan pengawas syariah. (2) Dewan pengawas syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat
dan saran kepada direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan
LKM agar sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 27
LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:
a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 30
LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. Laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau
b. Laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 33
(1) Setiap LKM yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 27, Pasal 29 ayat (1), dan
Pasal 30
dikenai sanksi administratif berupa:
76
a. Denda uang;
b. Peringatan tertulis;
c. Pembekuan kegiatan usaha;
d. Pemberhentian direksi atau pengurus LKM dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat
Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan; atau
e. Pencabutan izin usaha.
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD),
Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil
(KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya
Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP),
Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah
(BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
Apabila dianalisis lebih lanjut, jika melihat pada regulasi yang
mengatur kegiatan BMT, belum sepenuhnya dapat mengakomodir
keberadaan BMT sebagai lembaga keuangan di tengah masyarakat
yang mampu merubah perekonomian masyarakat menengah menjadi
real. Hal ini dikarenakan, BMT berbeda halnya dengan koperasi
secara umum. BMT memiliki fungsi lain, yaitu misi sosial yang belum
tentu dapat diaplikasikan dalam kegiatan koperasi yang pada
umumnya. Selain itu, BMT memiliki karakter yang tidak dapat
disamakan dengan bentuk koperasi, secara falsafah memang
berdasarkan pancasila tetapi secara prinsip lain mengedepankan asas
77
kekeluargaan dan musyawarah, BMT juga menerapkan prinsip-prinsip
syariah yang dalam regulasi belum sepenuhnya dijelaskan.
Eksistensi BMT sebenarnya telah diakomodir dalam Undang-
Undang No 17 Tahun 2011 Tentang Koperasi, di mana dalam undang-
undang tersebut disebutkan adanya pengelolaan koperasi dengan
menggunakan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 87
Ayat (3), bahwa “Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip
ekonomi syariah”, selanjutnya dalam Pasal 87 Ayat (4), bahwa
“Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.32
Setelah dibatalkannya Undang-Undang No 17 Tahun
2012 tentang Koperasi oleh Mahkamah Konstitusi, yang dalam
pengaturannya terdapat aturan tentang Koperasi berprinsip syariah dan
dikembalikan lagi kepada Undang-Undang No 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian, yang dalam pengaturannya tidak
menyinggung sama sekali prinsip syariah. Mengakibatkan BMT
seperti tidak lagi ada harapan dan mengecewakan. Walau pada
kenyataannya dibatalkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017
dianggap bersifat Korporasi dan menghilangkan asas kekeluargaan
dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi, selain itu UU
tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.33
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang LKM, badan hukum
yang data digunakan oleh Lembaga Keuangan Mikro adalah Koperasi
dan Perseron Terbatas. Apabila Koperasi, maka tunduk pada Undang-
Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian di bawah
pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM, sedangkan apabila
memili badan hukum Perseroan Terbatas, maka tunduk pada Undang-
32
Novita Dewi Masyithoh, Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT), “Jurnal Economica” Volume V/Edisi 2/Oktober 2014.h.27 33
Diakses pada 27 April 2018 dari http://hukumonline.com
78
Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas di bawah
Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang kemudian harus tunduk ada
Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang OJK.
Dua pilihan badan hukum antara Koperasi dan Perseroan Terbatas
memiliki sifat yang berbeda. Dimana secara umum Koperasi
berprinsip kerakyatan dan mengamalkan nilai-nilai luhur pancasila
sebagaimana yang dimanatkan dalam UUD 1945 pasal 27 “segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu
dengan tidak ada kecualinya” dan Pasal 33 Ayat 1 “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas dasar
kekeluargaan”; Ayat 3 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sedang untuk
Perseroan Terbatas lebih bersifat korporasi, dimana melihat pada
permodalannya 60% dikuasai oleh Pemerintah sebagaimana dalam
ayat 1 huruf b Undang-Undang PT. Sisa kepemilikannya sebagaimana
dalam ayat 2 dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan
Koperasi.
Jika PT digunakan sebagai badan hukum LKM atau BMT, maka
tidak ada kesesuaian antara prinsip yang bersifat kerakyatan dengan
pola kerja yang memberatkan masyarakat sendiri. Selain minimnya
permodalan yang dimiliki tentu cara koordinasi antara pemerintah
dengan lembaga dalam rangka memberikan anggaran khusus untuk
LKM.
Dari Banyak hal yang mendorong lahirnya BMT ini, ada yang
berpendapat bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
hidup serta berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya
pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan dipengaruhi dari
aspek syiar Islam, melainkan juga dipengaruhi oleh ekonomi
masyarakat. Sebagaimana di riwayatkan oleh Rasulullah SAW
79
“Kefakiran itu mendekati kekufuran”, maka keberadan BMT
diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat.34
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuagan Mikro. Dari 42 pasal yang tercantum dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 2013, bahwa BMT disebutkan dalam Pasal 39 “Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),
Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-
lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi
sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
berlaku”.
Berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro No 1
Tahun 2013 pasal 5 ayat 1 mengenai status badan hukum. Bahwa,
BMT dapat memilih badan hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas.
Dalam hal BMT memilih badan hukum Koperasi, maka BMT harus
berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian di bawah pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM.
Jika, BMT memilih badan hukum Perseroan Terbatas (PT), maka
BMT harus berdasarkan pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas di bawah Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan.
Dalam memilih badan hukum, nyatanya BMT lebih dominan pada
badan hukum Koperasi. Karena, melihat pada historis BMT sendiri
sebagai lembaga yang menaungi masyarakat bawah, yang pada saat
itu tidak boleh bertentangan dengan falsafah pancasila dan Undang-
34 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 97.
80
Undang Dasar 1945, maka Koperasilah yang paling tepat untuk
diterapkan sebagai badan hukum bagi lembaga keuangan mikro BMT.
Masih belum ketatnya peraturan untuk LKM baik Koperasi dan
Koperasi Syariah atau BMT, memberikan ruang ketidakpastian hukum
untuk menjalankan amanat Undnag-Undang. Bagaimana mungkin
LKM menjalankan kegiatan berdasarkan regulasi yang belum ada
aturan pelaksanaannya. Sehingga sampai dengan saat ini, BMT di
Kabupaten Bogor mayoritas menggunakan badan hukum Koperasi di
bawah naungan Kementrian Perkoperasian dan UKM.
81
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Ragam regulasi yang digunakan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam
mengoperasikan kegiatannya menunjukkan kepatuhan BMT sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang memiliki eksistensi dalam pengembangan
ekonomi kerakyatan dengan pengelolaan berdasarkan prinsip syariah. Melalui
beberapa aspek dan pola pengembangan dapat diakui bahwa BMT mengikuti
perkembangan hukum dan tidak lepas dari peraturan-peraturan yang mengikat
dan mendukung perkembangannya. Terkait dengan hal itu, Implikasi hukum
terhadap operasional BMT dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bahwa operasional Lembaga Keuangan Mikro, dalam hal ini BMT diatur
oleh beberapa Undang-Undang diantaranya Undang-Undang No 25 Tahun
1992 tentang Perkopersian, Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro. Adapun terkait regulasi lainnya, Undang-
Undang No 21 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang
No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Menteri no
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, dan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
2. Pengaturan BMT dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, sebetulnya memberikan kejelasan bagi
operasional BMT untuk dapat memilih status badan hukum. Dalam
ketentuannya diberikan pilihan, berdasarkan badan hukum Koperasi atau
Perseroan Terbatas.
3. Pasca berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, setelah 2 tahun dibentuk regulasinya pada tahun 2013.
Operasional BMT sebagai LKMS berdasarkan badan hukum yang
digunakan mengacu pada dua pilihan yaitu Koperasi atau Perseroan
82
Terbatas. Dimana konsekuensinya berbeda, jika badan hukumnya
Koperasi maka tunduk pada Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian di bawah pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM.
Sedangkan, jika memilih badan hukum Perseroan Terbatas (PT) maka
tunduk pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang perseroan
Terbatas di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
4. Urgensi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, sebagai acuan utama LKM dibentuk pasca berlakunya Undnag-
Undang tersebut eksistensi BMT menimbulkan permasalahan baru,
walaupun dalam kasus belum terjadi tetapi dikhawatirkan suatu saat nanti
berkaibat negatif pada perkembangan BMT. Dalam pengembangan usaha
ditentukan larangan melebihi satu wilayah kabupaten/kota, kecuali BMT
bertransformasi menjadi bank yang secara otomatis berstatus hukum PT.
Selanjutnya dalam hal pengawasan, terjadinya dualisme hukum antara
kewenangan Kemenkop dengan OJK.
5. Beberapa peraturan terkait BMT yang dilahirkan oleh Pemerintah, tidak
sepenuhnya menjawab kebimbangan BMT. BMT saat ini hanya sebagai
lembaga keuangan yang berorientasi profit seperti halnya bank dan
lembaga keuangan lainnya. Sedangkan, nilai sosial yang terkandung dalam
BMT tidak sama sekali diwakili salah satu regulasi yang berkaitan, hanya
saja BMT menyeimbangi antara pola kegiatan yang digunakan dengan
regulasi yang ada.
6. Secara tegas dalam UU No 1 Tahun 2013 tidak menjelaskan peraturan
pelaksanaan, sehingga Operasional Lembaga Keuangan Mikro baik
Konvensional ataupun Syariah (BMT) mengalami keambiguan yang
menyebabkan tidak efektifnya peraturan tersebut untuk digunakan.
B. REKOMENDASI
Peraturan yang mengaitkan adanya BMT menunjukkan keperdulian
pemerintah terhadap lembaga keuangan mikro baik yang bersifat konvensional
baikpun berbasis syariah, tetapi hal tersebut tidak tuntas mengingat tidak
83
semua orang memahami kaidah dari karakter BMT sendiri. Untuk itu
diharapkan pemerintah mampu membentuk para perancang perundang-
undangan dari aspek sumber daya manusia terlebih dahulu, karena sebagai
pengusung kemampuan dalam memahami aspek kesyariahan.
Untuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT), ditunjukkan kepada
pengurus dan pemerhati diharapkan agar lebih membuka diri lagi kepada
masyarakat luas akan keberadaan BMT dan makna BMT itu sendiri sehingga
menghindari pemahaman bahwa lembaga yang menyentuh umat dianggap
illegal. Jika para pemerhati merasa bahwa regulasi tersebut tidak sesuai
harusnya mengajukan lebih lanjut atau dengan menguji undang-undang
kepada Mahkamah Konstitusi jika merasa dirugikan, karena dikhawatirkan
lembaga yang bagus dari segi pola dan pemberdayaan masyarakat jika dirubah
dengan regulasi yang tentunya tidak sesuai mengakibatkan efek negatif pada
perkembangan masyarakat khususnya pemberdayaan masyarakat kecil.
84
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdurrahman, Hafidz dan Yahya Abdurrahman. Bisnis dan Muamalah
Kontemporer. Bogor: Al Azhar Freshzone Publishing, 2015.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum.
Jakarta: Kencana, 2013.
Al-Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah-Suatu Kajian Teoritis
Praktis. Jakarta: Pustaka Setia, 2012.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran Lkm
Dan Ukm Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM
dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawati Pers, 2009.
Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab. Hukum Islam Dinamika
Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2008.
Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2015.
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya Di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005.
Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno. Hukum Perusahaan Dan Kepailitan. Jakarta:
Erlangga, 2012.
Atmasasmita, Romli dan Kodrat Wibowo. Analisis Ekonomi Mikro tentang
Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Azis, M. Amin. Kegigihan Sang Perintis. Jakarta: MAA Institute, 2007.
Black, James A. dan Dean J. Champion, Methodes and Issues in Social Research.
Penerjemah E. Koswara, Dira Salam, dan Alfin Ruzhendi. Bandung:
Reflika Aditama, 2009.
Budiarto, Agus. Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan
Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Dwiyatmi, Sri Harini. Pengantar Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia,
2013.
85
Fajar, Mukti ND dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Fahmi, Irham. Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Teori Dan Aplikasi.
Bandung: Alfabeta, 2014.
Hadhikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum Koperasi Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002.
Hasanuddin. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Uin Jakarta Press, 2003.
HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika,
2001.
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana,
2013.
Huda, Nurul dan Mohammad Heykal. Lembaga Keuangan Syariah Tinjauan
Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2010.
Huda, Nurul Dkk. Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah.
Jakarta: Kencana, 2012.
Ibrahim, Johannes. Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan
Hukum. Bandung: Pt Refika Aditama, 2006.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kadir, A. Hukum Bisnis Syariah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2005.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif. Penerjemah Nurulita Yusron.
Bandung: Nusa Media, 2009.
Kuswana, Dadang. Metode Penelitian Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Mamudji, Sri dkk. Metode Penelitian dan Penelitian Hukum. Jakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
86
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta:Kencana, 2012.
Manullang, E. Femando M. Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum. (Jakarta:
Kencana, 2016.
Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Nafis, M. Chalil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: UI Press, 2011.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Jogjakarta: academia, 2010.
Noor, J. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana, 2011.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodoogi Peneitian Hukum. Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2007.
Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan.
Jakarta: Granit, 2004.
Rahmawati, Yuke. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2013.
Ridwan, Ahmad Hasan. Manajemen Baitul Mal wat Tamwil. Bandung: Pustaka
Setia, 2003.
Ridwan, Muhammad. Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis,
Dan Mempersiapkan Diri Menjadi Peneliti Artikel Ilmiah). Jakarta:
Kencana, 2010.
Rivai, H. Veithzal. Ekonomi Syari’ah Konsep, Praktek & Penguatan
Kelembagaannya. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Rizky, Awalil. BMT: Fakta Dan Prospek Baitul Mal Wa At-Tamwil.
Yogyakarta:Ucypress, 2007.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana, 2011.
Subagyo, Ahmad. Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2002.
87
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
Sumawinata, Sarbini. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003.
Soedewi, Sri. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Press, 2011.
Soemitro, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana, 2010.
Syahrani, H. Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT
Alumni, 2006.
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Artikel dan Jurnal Ilmiah:
Arief Budiharjo, “Pengenalan BMT”, Makalah Disajikan Dalam Seminar Tentang
BMT, Bandung: Mess Jabar, 2003.
Baskara, I Gede Kajeng. “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal
Buletin Studi Ekonomi, Volume 18, 114 Nomor 2, Agustus, (2013).
Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta”. Surat Kabar Kompas, 11
Agustus 2012.
Fitriyanti, Noer Azizah. “Konsekuensi Yuridis Perubahan Bentuk Bmt (Baitul
Maal Wat Tamwil) Menjadi Badan Hukum Kjks (Koperasi Jasa Keuangan
Syariah)” (Studi Di Koperasi Syariah Fanshob Karya, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur). Artikel Ilmiah Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan Universitas Brawijaya.
Heryanto, Budi. “Pemetaan Kepemilikan Badan Hukum Dan Tingkat Penggunaan
Teknologi Informasi Pada UMKM” (Studi Pada Kelurahan Pojok
Kecamatan Mojoroto - Kota Kediri). Jurnal Ekonika. Volume 2, Nomor 2,
September, (2017).
88
Imaniyati, Neni Sri “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi.” Prosiding Snapp2011: Sosial, Ekonomi,
Dan Humaniora. ISSN 2089-3590. Volume 2, Nomor 1, (2011).
Masyithoh, Novita Dewi. “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum
Dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)”. Jurnal Economica.
Volume V, Edisi 2, Oktober, (2014).
Muhtarom, Muhammad. “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan
Mikro Syariah Di Indonesia”. Jurnal Studi Islam. Volume 17, Nomor 1,
Juni, (2016).
Mursid, Fadillah “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di
Indonesia”. Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2017.
Nourna Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil Dalam Sistem
Perekonomian Di Indonesia”. Jurnal Serambi Hukum Volume II, Nomor
01, Februari-Juli, (2017).
Sinaga, Pariaman. “Beberapa Catatan Kritis Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Versi Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.” Jurnal Infokop.
Volume 24, No 1, Oktober, (2014).
Solikhah, dkk. “Bentuk Badan Usaha Ideal Untuk Dapat Dipertanggungjawabkan
Secara Hukum Dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt)
Berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Di Eks
Karesidenan Surakarta”. Yustisia. Volume 4, Nomor 3, September –
Desember, (2015).
Peraturan Perundang-undangan:
Bugerlijk Wetbook
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Undnang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
89
Internet dan Ensiklopedi:
www.google.com
www.wikepedia.org
www.rebanas.com
www.statistikian.com
www.ojk.go.id
www.depkop.go.id
www.pinbuk.id
www.nu.or.id
www.academia.edu
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Besar Bahasa Arab