Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
COVER JUDUL
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS
(Studi Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Luthfi Fauzi Ridlwan
NIM. 11140440000018
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H/ 2019 M
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji ke hadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
(Studi Putusan Pengadilan Agama Cibinong No. 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn)
Shalawat beserta salam akan selalu tercurah pada panutan semua manusia
yang membawa risalah-Nya yakni baginda Nabi Muhammad SAW., keluarga
beserta sahabatnya yang mulia yang selalu menemani beliau hingga akhir
hayatnya.
Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bimbingan, arahan, dukungan,
bantuan serta kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum;
2. Dr. Mesraini, S.H., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Ahmad Chaerul Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Hj. Hotnidah Nasution, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
meluangkan waktunya serta sabar dalam membimbing, mendidik,
memotivasi dan masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini;
5. Sri Hidayati, M.Ag., dosen penasihat akademik yang telah memberikan
arahan-arahan semasa studi;
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik, membimbing dan memberikan
v
ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis;
7. Yang teristimewa yaitu orang tua penulis Muhtar, S.Ag dan Titin Suryati
serta seluruh keluarga penulis yang selalu mendukung dan memotivasi
penulis dari masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini;
8. Nadia Rahmatunnisa,S.Pd yang selalu sabar dan mensupport penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini;
9. Fajri Ilhami, S.H, yang selalu bersama dan meluangkan waktu untuk
berbagi ilmu dari masa perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini;
10. Seluruh teman-teman mahasiswa Hukum Keluarga 2014 yanng telah
sama-sama berjuang dalam pendidikan di Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
11. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daar El-Hikam khususnya K.H.
Bahruddin S.Ag., yang tidak pernah lelah dalam mendidik dan
memberikan ilmunya kepada seluruh santri Daar El-Hikam;
12. Yang Teristimewa sahabat-sahabat dari Daar El-Hikam khususnya Zein
Yudha Utama, S.H, Mughni Labib, Kharisma Adam, Febrian Rizki,
Bukhori Muslim, Tatang Rohman, Mulhayat Pratama, Mufid, Arianto
Saipul Hak serta seluruh teman-teman di Daar El-Hikam khususnya
angkatan 2014 yang telah menemani penulis selama menimba ilmu di
Pondok Pesantren Daar El-Hikam;
13. Semua pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan yang
berlipat-lipat. Amiin
Penulis menyadari bahwa masih banyak perbaikan dalam skripsi ini,
maka dari itu kritik dan saran penulis harapkan dari para pembaca agar penulis
dapat memperbaikinya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semuanya.
Ciputat, 26 Agustus 2019
Muhammad Luthfi Fauzi Ridlwan
vi
ABSTRAK
Muhammad Luthfi Fauzi Ridlwan. NIM 11140440000018. Analisis
Pembatalan Perkawian Karena Pemalsuan Identitas(studi kasus No.
376/Pdt.G/2013/PA.Cbn. Program Studi Hukum Keluarga (Akhwal
Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. lx 65 halaman 5 halaman lampiran
Penelitian ini membahas tentang apa dasar pertimbangan Hakim dalam
memutus perkara, tinjauan hukum Islam dan juga tinjauan hukum postif pada
pertimbangan putusan Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn tentang pembatalan
perkawinan. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui dasar pertimbangan
hakim, tinjauan hukum Islam dan tinjauan hukum positif dalam perkara Nomor
376/Pdt.G/2013/PA.Cbn.
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Serta pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data-data yang dibutuhkan adalah
data primer berupa hasil wawancara dari pihak yang berrkaitan langsung dalam
permasalahan ini. Analisa data menggunakan metode kualitatif untuk
menganalisis data yang telah didapat dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini ialah bahwa yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perkara adalah karena tidak adanya izin dari istri pertama,
sedangkan pemalsuan identitas hanya menjadi fakta hukum yang terkuak selama
proses persidangan. Sedangkan dalam hukum Islam poligami yang dilakukan
tetap dianggap sah, karena pada dasarnya pihak-pihak yang melangsungkan
perkawinan sudah mengetahui tentang identitas masing-masing, hanya saja saat
menghadap ke KUA ada status yang ditutupi agar dapat dicatatkan. Sedangkan
menurut hukum positif perkawinan kedua Broto bin Lasiman dianggap tidak sah,
karena melanggar pasal 27 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Kata Kunci : Perkawinan, Pembatalan, Jakarta
Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.Ag
Daftar Pustaka : 1989-2014
vii
DAFTAR ISI
COVER JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
F. Kajian Studi Terdahulu ........................................................................................... 6
G. Metode Penelitian ................................................................................................... 8
H. Sistematika Pembahasan ....................................................................................... 12
BAB II KETENTUAN UMUM PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
PEMALSUAN IDENTITAS .......................................................................................... 14
A. Kerangka Teori ..................................................................................................... 14
1. Fungsi Teori ...................................................................................................... 14
2. Teori Terkait ..................................................................................................... 14
B. Pembatalan Perkawinan ........................................................................................ 17
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan .................................................................. 17
2. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam............................................... 18
3. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Positif ............................................. 25
C. Pemalsuan Identitas ................................................................................................. 30
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 376/Pdt.G/2013PA.Cbn ........................ 35
A. Deskripsi Putusan Nomor: 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ............................................ 35
1. Posisi Kasus ...................................................................................................... 35
2. Duduk Perkara .................................................................................................. 36
viii
3. Amar Putusan .................................................................................................... 39
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 41
A. Analisis Hukum Islam Tentang Pembatalan Perkawinan pada Perkara Nomor
376/Pdt.G/2013PA.Cbn ............................................................................................... 41
B. Analisis Peraturan di Indonesia Tentang Pembatalan Perkawinan pada Perkara
Nomor 376/Pdt.G/2013PA.Cbn ................................................................................... 46
C. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam Perkara Pembatalan
Perkawinan Nomor : 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ............................................................ 48
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 53
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 53
B. Saran-saran ............................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pernikahan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun menurut Kompilasi Hukum
Islam pasal 3 bahwa tujuan pernikahan adalah mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Dalam menjalin keluarga tidak
sedikit pernikahannya itu kandas yang dalam arti pernikahan itu bertentangan
dengan tujuannya itu sendiri.
Pada pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa apabila seseorang
yang telah terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dengan
perempuan lain, kecuali mendapat izin dari pengadilan. Adapun jika terjadinya
pemalsuan data, maka itu merupakan sebuah pelanggaran hukum yang dapat
merugikan salah satu pihak. Dengan adanya pemalsuan data tersebut dapat
mengakibatkan kehidupan rumah tangganya memburuk dan Allah tidak
menghendaki yang demikian.1
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan atas pihak yang telah
melakukan penipuan atau pemalsuan data. Pembatalan perkawinan merupakan
suatu putusan pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwasannya
perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut terdapat cacat demi hukum. Hal ini
dibuktikan dengan terpenuhinya persyaratan dan rukun nikah atau disebabkan
dilanggarnya ketentuan yang mengharamkan perkawinan.2
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 23 mengatakan bahwa yang dapat
mengajukan pembatalaan pernikahan adalah para keluarga dalam garis keturunan
1 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
h. 212 2 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2000), h.187
2
lurus keatas suami maupun istri, suami atau istri itu sendiri dan pejabat yang
berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan dan setiap orang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.3
Adapun yang berwenang memutuskan pembatalan perkawinan adalah pengadilan
agama yang membawahi tempat tinggal pasangan, agar tidak terjadinya
pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh instansi lain diluar pengadilan
agama.4
Mengajukan pembatalan perkawinan tentu ada alasan-alasan yang menjadi
penyebab adanya pembatalan perkawinan. Pasal 27 Undang- Undang No. 1 tahun
1974 menjelaskan bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan apabila:
1. Perkawinan dilaksanakan dibawah ancaman yang melanggar hukum
2. Terjadi salah satu sangka antara suami dan isteri pada waktu berlangsungnya
perkawinan
3. Suami atau isteri masih mempunyai ikatan perkawinan tanpa seizin dan
sepengetahuan pihak lainnya.
Begitu juga yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan jika:
1. Seorang suami poligami tanpa mendapaatkan izin dari Pengadilan Agama
2. Perempuan yang dikawini masih istri pria lain yang mafqud
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah
4. Perkawinan yang diabawah umur sebagaimana yang ditetapkan dalam
Undang Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 7
5. Perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali.
6. Perkawinan yang didasarkan paksaan.
Praktik pembatalan perkawinan banyak sekali terjadi, diantaranya terjadi
karena penipuan pemalsuan data. Diantaranya yaitu, pemalsuan status, pemalsuan
kewarganegaraan, pemalsuaan agama. Dan tak tertutup kemungkinan juga antara
pengantin yang sama jenis yang dikawinkan oleh pencatatan sipil menurut
3 Pasal 23 Undang- Undang Perkawinan No.1Tahun 1974 4 A. Mukhti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka
Pelajar 1996), h. 231
3
Wirjono Projodikoro yang sebenarnya sudah batal demi hukum. Akan tetapi
karena pelaksanaannya telah dilakukan dengan formalitas yuridis, maka untuk
menghilangkan legalitas yuridis ini haruslah tetap melalui pengadilan.5
Di Pengadilan Agama Cibinong terdapat sebuah putusan dengan nomor
perkara 376/Pdt.G/ 2013/PA. Cbn tentang pemabatalaan perkawinan. Adapun
putusan ini mengenai pembatalan perkawinan karena pemalsuan status oleh kedua
mempelai. Dalam perkara ini yang di gugat ada dua pihak. Pihak yang pertama
yaitu istri kedua dari suaminya, dan tergugat II yaitu pihak Kantor Urusan Agama.
Adapun alasan KUA dijadikan sebagai tergugat II yaitu karena KAU dianggap
lalai dalam melakukan pemeriksaan. Dan yang menjadi penggugat yaitu istri
pertama yang merasa dirinya dirugikan karena penipuan tersebut. Perkawinan
yang terjadi antara laki-laki dengan istri kedua diketahui oleh istri pertama pada
saat laki-laki (suami)nya tersebut meninggal dunia. Setelah meninggal itulah dia
mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.
Perkawinan putus disebabkan meninggalnya pasangan sebagaimana
disebutkan dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 sehingga perlu dipertanyakan
alasan Pengadilan Agama menerima perkara pembatalan perkawinan dimana
salah satu pasangannya sudah meninggal yang berarti secara otomatis perkawinan
sudah putus.
Dalam putusan tersebut terdapat pemalsuan yang dilakukan kedua
mempelai. Dimana seorang laki-laki yang sebenarnya berstatus suami orang dan
tidak memiliki surat izin poligami dari pengadilan agama, dan begitu juga
tergugat II yang sebenarnya berstatus janda cerai ternyata di daftar pemeriksaan
berstatus perawan.
Gugatan yang diajukan oleh penggugat dibantah oleh tergugat I,
bahwasannya dia tidak terima dengan gugatan ini, dan sedangkan tergugat II
membenarkan adanya penipuan status yang dilakukan oleh kedua mempelai
5 Hotnidah Nasution, Pembatalan Perkawinan Poligami di Pengadilan Agama(Tinjauan
dari Hukum Positif).Jurnal Cita Hukum, Vol 1 No. 1 Juni 2013, h.142
4
tersebut, maka tergugat II yaitu KUA menyerahkan sepenuhnya kepada
Pengadilan Agama.
Dalam putusannya, hakim mengabulkan gugatan penggugat. Adapun dasar
hakim mengabulkan yaitu bahwasanya dalam pelaksanaan pernikahan laki-laki
tersebut tidak mendapat izin dari isteri yang pertama sesuai dengan UU No 1
Tahun 1974 pasal 9 yaitu “Seseorang yang terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi6."
Dampak dari dikabulkannya permohonan penggugat tentu sangat
berpengaruh terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan putusnya perkawinan,
seperti: hak waris, hak asuh anak dan harta bersama yang dimana tergugat 1 tidak
akan mendapatkan itu semua karena perkawinannya dianggap batal oleh
Pengadilan Agama. Lebih jauh, status anak yang dihasilkan dari pernikahan
dengan tergugat 1 menjadi patut dipertanyakan, karena dihasilkan dari pernikahan
yang dianggap batal oleh Pengadilan Agama, tentu ini menjadi kerugian besar
bagi anak tersebut karena tak bisa juga mewarisi dari ayah biologisnya karena
faktor hukum.
Hal ini menarik untuk diteliti, yaitu pertimbangan hakim yang
mengabulkan gugatan di Pengadilan Agama Cibinong nomor perkara 376/Pdt. G/
2013/PA. Cbn. Dimana salah satu alasan yang dicantumkan sebagai alasan
pengajuan gugatan pembatalan perkawinan adalah penipuan yang dilakukan oleh
pihak tergugat. Untuk itu, penulis mencoba mengangkat judul “Pembatalan
Perkawinan karena Pemalsuan Identitas (Studi Putusan Pengadilan Agama
Cibinong No 376/Pdt. G/ 2013/PA. Cbn.)
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditulis
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Adanya praktek perkawinan dengan pemalsuan data`
6 Pasal 9 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
5
2. Adanya dampak hukum perkawinan dengan pemalsuan data.
3. Adanya kerugian bagi pihak tertentu karena pembatalan perkawinan
4. Pembatalan perkawinan berpengaruh pada hak waris dan nasab anak.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru dan pelebaran secara meluas, penulis akan membatasi
permasalahan ini pada masalah pembatalan perkawinan, sebab dan akibatnya,
khususnya pada putusan Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn``
D. Rumusan Masalah
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka dirumuskan
permaslahan sebagai berikut:
1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Cibinong
Nomor : 376/Pdt. G/ 2013/PA. Cbn yang mengabulkan gugatan pembatalan
perkawinan dengan alasan pemalsuan identitas?
2. Bagaimana tinjauan Fuqoha terhadap pembatalan perkawinan karena
pemalsuan identitas dalam putusan Nomor : 376/Pdt. G/ 2013/PA. Cbn?
3. Bagaimana tinjauan perarutan di Indonesia terhadap pembatalan perkawinan
karena pemalsuan identitas dalam putusan Nomor : 376/Pdt. G/ 2013/PA.
Cbn?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa dasar pertimbangan hakim dalam putusan
Pengadilan Agama Cibinong Nomor : 376/Pdt. G/ 2013/PA. Cbn yang
6
mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan dengan alasan pemalsuan
status.
b. Untuk mengetahui bagaiamana Fuqoha terhadap pembatalan perkawinan
karena pemalsuan identitas pada putusan Nomor : 376/Pdt. G/ 2013/PA.
Cbn
c. Untuk mengetahui bagaiamana peraturan di Indonesia terhadap
pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas pada putusan Nomor
: 376/Pdt. G/ 2013/PA. Cbn
2. Manfaat
a. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan mengenai bidang
keilmuan hukum khususnya hukum perdata dalam lingkungan Peradilan
Agama khusunya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau
pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara serta Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum apabila ada masalah terkait dengan perkara
di atas.
F. Kajian Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian terdahulu menjadi
acuan antara lain.
No Judul Pembahasan Perbedaan
1 Analisis Hukum Islam
Terhadap Putusan
Pembatalan Perkawinan
Campuran dengan Alasan
Pemalsuan Status
Kewarganegaraan (studi
Dalam skripsi ini
hanya membahas
hukum Islam dan
Pandangan hakim
dalam memutus
perkara tersebut
Dalam skripsi ini
membahas
putusan tentang
pemalsuan
identitas
dilakukian oleh
7
kasus Pengadilan Agama
Blitar No. 2497/Pdt.
G/2014/PA. BL (Nur
Lailatul Farida, 2015)
Fakultas Hukum Universitas
Sunan Amperl Surabaya
pihak suami dan
istri kedua
2 Analisis hukum islam
terhadap pembatalan
perkawinan karena
pemalsuan identitas (studi
kasus putusan pengadilan
agama lamongan no. 0146/
Pdt.G/2010/ PA.
Lmg).(habib khoiri, 2011).
Fakultas hukum Universitas
Sunan Ampel Surabaya.
Skripsi ini
membahas
pandangan
hukum islam
terhadap
pembatalan
perkawinan
karena
pemalsuan
identitas
Skripsi ini
membahas
pandangan
hukum islam dan
hukum positif
terhadap
pembatalan
perkawinan
poligami dengan
alasan pemalsuan
status
perkawinan
3 Pembatalan perkawinan
karena pemalsuan
identitas(studi kasus PA
surakarta). (Husna nurhayati,
skripsi 2014). Fakultas
hukum universitas
muhammadiyah Surakarta
Dalam skripsi ini
membahas
tentang alasan
mempelai untuk
melakukan
pemalsuan
identitas dan
membahas
tentang
pertimbangan
Dalam skripsi
penulis
membahas
tentang
pandangan
hukum islam dan
hukum positif
tentang
pemalsuan
identitas dan
8
hakim dalam
mengabulkan
permohonan
tersebutr
pertimbangan
hakim dalam
memutus perkara
4 Akibat Hukum Pembatalan
Perkawinan Terhadap
Kedudukan Anak, Harta
Bersama dan Hak Asuh
Anak dari Perkawinan
Kedua Yang Dibatalkan
Oleh Istri Pertama (studi
kasus Putusan No.
1587/Pdt.G/2010/PA. Tgrs)
(Liusyanto,2012) Fakultas
Hukum Universitas
Tarumannagara.
Dalam skripsi ini
yang dibahas
adalah dampak
hukum dari
pembatalan
perkawinan
terhadap
kedudukan anak,
harta waris, dan
hak asuh anak
dari perkawinan
yang dibatalkan.
Dalam skripsi
penulis
membahas
tentang
pandangan
hukum islam dan
hukum positif
tentang
pemalsuan
identitas dan
pertimbangan
hakim dalam
memutus perkara
G. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang diapakai untuk memecahkan masalah
dan mencari jawaban atas pertanyaan penelitian dengan menganalisis data yang
didapatkan untuk kemudian diteliti dan disimpulkan untuk tujuan yang ingin
dicapai7. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian
ini diuraikan sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian normatif, dimana
penelitian ini menggnakan studi kasus normatif berupa produk hukum. Pokok
7 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada, 2014), 12
9
kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang
berlaku di masyarakat. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, sistematik hukum, taraf
sinkronisasi, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.8 Penulis menggunakan
jenis penelitian ini guna kesesuaian teori dengan metode penelitian yang
dibutuhkan penulis dalam penelitian ini.
b. Pendekatan Penelitian
Penelitian kasus pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas dalam
perkawinan poligami di Pengadilan Agama dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif. Penelitian berupa perundang-undangan yang
berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari perundang-undangan
tersebut, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori hukum, dan pendapat-
pendapat para sarjana terkemuka.9 Pendekatan yang penulis lakukan adalah
pendekatan yuridis yaitu cara mendekati masalah yang diteliti dengan
mendasarkan pada semua tata aturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia yang dikenal dengan hukum positif.
c. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari mana
data diperoleh10. Berdasarkan data yang akan dihimpuin diatas, maka sumber data
dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek
penelitiannya. Sunber data sekunder ada tiga11, yaitu:
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Peneltian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti.
2004),hlm 52. 9 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta:Granit, 2005), hlm. 92 . 10 Suharsini Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu PendekatanPraktek, (Jakarta. PT.
Rineka Cipta, 2002),129 11 Masruhan, Metode Penelitian Hukum, (Surabaya, Hilal Pustaka, 2013),97
10
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang mengikat. Bahan
hukum primer dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama
Cibinong Nomor 376/ Pdt.G/ 2013/ PA. Cbn tentang pembatalan
perkawinan poligami dengan alasan penipuan status perkawinan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain:
1) Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
2) Kompilasi Hukum Islam
3) Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq,
4) Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd
5) Al-fiqhul Islam wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili
6) Fiqh Munakahat karya H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani
7) Hukum perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin
3. Metode pengumpulan data
Dalam penelitian normatif ini, pengumpulan data dilakukan penulis
melalui dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari data yang terkait topik
penelitian yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
dan semacamnya. Sedangkan obyeknya adalah benda mati12. Dalam proses
penelitian, catatan, rekaman wawancara dengan informan dan buku-buku
yang digunakan untuk mencari data.
12 Suharsini Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu PendekatanPraktek, (Jakarta. PT.
Rineka Cipta, 2002),129
11
4. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan
analisis data sesuai dengan pendekatan yang dilakukan. Karena penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif, maka metode pengolahan data
dilakukan dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat terartur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan pemahaman
dann interpretasi data. Diantaranya melalui tahap:
a. Pemeriksaan Data (editing)
Editing adalah meneliti data-data yang telah diperoleh, teruutama dari
kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan, kejelasan makna, kesesuaian dan
relevansinya dengan data yang lain.13
b. Klasifikasi (classifyng)
Classifyng adalah proses pengelompokan semua data, baik yang
berasal dari hasil wawancara dengan subyek peneltian, pengamatan dan
pencatatan langsung di lapangan atau observasi. Seluruh data yang didapat
tersebut dibaca dan ditelaah secara mendalam, kemudian digolongkan sesuai
kebutuhan.14
c. Verifikasi (verifyng)
Verifyng adalah proses memeriksa data dan informasi yang telah
didapatdari lapangan agar validitas data dapat diakui dan digunakan dalam
penelitian.15
13 Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Metode Penelitian, (Jakarta; PT. Bumi Aksara,
2005), 85. 14 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya,
1993), 104 15 Nana Saudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan
Tinggi,(Bandung; Sinar Baru Argasindo, 2002), 84
12
d. Kesimpulan (concluding)
Selanjutnya adalah kesimpulan, yaitu langkah terakhir dalam proses
pengolahan data
5. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah
teknik deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif. Teknik deskriptif analitis
adalah metode yang menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga
diperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh16. Dalam hal ini
dengan mengemukakan putusan PA Cibinong, kemudian dikaitkan dengan
teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis sehingga
mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Sedangkan pola pikir
deduktif adalah metode berpikir yang diawali dengan mengemukakakn teori-
teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan perkara pembatalan
perkawinan dan aturan perundang-undangannya, untuk selanjutnya
dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap
putusan PA Cibinong tentang pembatalan perkawinan poligami dengan alasan
penipuan status perkawinan , kemudian ditarik kesimpulan.
H. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika penulisan
dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut dari sub-sub bab yang
terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian.
Bab II adalah Ketentuan Umum pembatalan perkawinan karena pemalsuan
idenntitas yang akan menguraikan tentang tinjauan umum tentang perkawinan,
16 Moh. Nazhir, Metode Penelitian,(Bogor:Ghalia Indonesia,2005),62
13
tinjauan umum tentang pemalsuan identitas, tinjauan umum tentang persyaratan
poligami, dan tinjauan umum tentang pembatalan perkarwinan.
Bab III adalah Diskripsi Putusan Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Bab IV adalah analisis yang berisi tentang analisis tinjauan Fuqoha dan
peraturan di Indonesia terhadap pertimbangan hukum yang digunakan dalam
memutus perkara Nomor 376/ Ptd.G/ 2013/ PA.Cbn tentang pembatalan
perkawinan pologami dengan alasan penipuan status perkawinan.
Bab V merupakan bab terakhir yang merupakan penutup, yang berisi
kesimpulan dan saran.Setelah bab penutup dilengkapi dengan daftar pustaka dan
dilengkapi pula dengan berbagai lampiran.
14
BAB II
KETENTUAN UMUM PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
PEMALSUAN IDENTITAS
A. Kerangka Teori
1. Fungsi Teori
Adapun kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal, sebagai
berikut:1
1. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistim klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-
definisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-
faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan
pada pengetahuan peneliti.
Adapun landasan teori dalam penelitian ini sangat dibutuhkan sebagai dasar
pertimbangan untuk dapat mengkaji, menganalisa, dan menemukan jawaban atas
tujuan penelitian ini.
2. Teori Terkait
a. Teori Keadilan Hukum
Definisi keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai, yang mana tujuannya
untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara manusia dengan memberikan
1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015), Cet. Ke-3.,
h. 121.
15
apa yang menajdi hak seseorang. Hukum juga disebut dengan justice yaitu
keadilan. Menurut Munir Fuady Justice itu adalah:2
a. Tidak memihak
b. Segala sesuatu layak atau adil
c. Prinsip umum tentang kelayakan dan keadilan dalam hal hukum yang
berlaku
Adapun menurut Aristoteles bahwa keadilan itu ada 2, yaitu keadilan
distributif dan korektif. Yang pertama keadilan distributif adalah
keseimbangan yang didapati dengan apa yang pantas untuk didapatkan. Yang
kedua keadilan korektif adalah keseimbangan antara yang diberikan dengan
apa yang diterima.3
Dalam melaksanakan putusan, terkadang hakim dianggap tidak adil
dalam memutus suatu perkara. Karena ada salah satu pihak yang tidak
menerima. Namun dalam prinsipnya, teori keadilanlah yang diutamakan oleh
hakim dalam memutus suatu kasus.
b. Teori Kemanfaatan Hukum
Aliran utilitarianisme mengatakan bahwa tujuan suatu hukum itu adalah
memberikan manfaat untuk orang lain. Adapun yang menentukan hukum itu
bermanfaat adalah, jikalau suatu hukum itu orang-orang bahagia dan tidak merasa
diberatkan. Jadi pada prinsipnya suatu hukum itu dibuat untuk menciptakan
kebahagiaan kepada masyarakat.
Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum itu menciptakan kebahagian,
dalam artian masyarakat mendapatkan kebahagian dan terbebas dari kesengsaraan.
Perasan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderita, tidak hanya
atas dasar kepentingan pribadi akan tetapi kepentingan bersama, sehingga hakikat
keadilan mencakuo semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi
kesejahteraan umat4
2 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Ghalia Indonesia: Bogor), 2010, h. 93 3 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Ghalia Indonesia: Bogor), 2010, h. 109 4 Amirudin dan Zzainudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada
),2004,h.24 ,
16
c. Teori Kepastian Hukum
Menurut Achmad Ali dalam Ahmad Rifai (2014) bahwa tujuan dari
hukum itu sangat beragam dan berbeda-beda menurut pendapat dari para ahli
hukum. Dari pendapat yang berbeda-beda tersebut jika disimpulkan maka akan
dapat diklasifikasikan bahwa adanya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini
berkembang yakni sebagai berikut:5
a. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.
b. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau
kebahagiaan masyarakat.
c. Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya
tujuan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.
Kepastian hukum yaitu adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat
umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi
hukumnya. Kepastian hukum bisa diartikan hal yang dapat ditentukan oleh
hukum dalam hal-hal yang konkret.6 Hukum bertugas menciptakan kepastian
hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Dalam Undang Undang No. 1 Tahun 1974 sangat menjaga hak hak setiap
masyarakat Indonesia dalam hal perkawinan. Untuk izin poligami dalam undang
undang no 1 tahun 1974 dikatakan bahwa siapa yang ingin poligami harus dapat
izin dari isteri pertama.
5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet. Ke-3., h. 129-130. 6 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya
dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, (Mei, 2014), h.,
219.
17
B. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pembatalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar batal yang berarti tidak sah lagi, tidak berlaku, sia-sia.7 Menurut bahasa
pembatalan perkawinan adalah pernyatan batal (urung, tidak jadi) dari kata dasar
batal yang tidak sah.8 Adapun dalam bahasa arab yaitu بطل – يبطل – بطلا yang
berarti batal, binasa, tidak sah.9 Yahya Harahap mengartikan pembatalan
perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan
perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (No legal force or declared
void). dan sesuatu yang dinyatakan No legal force maka keadaan itu dianggap
tidak pernah ada.10 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembatalan
perkawinan adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan,
dan dilangsungkan setelah perkawinan.11 Misalnya, terjadi kekhilafan yang
disadari setelah perkawinan dilangsungkan, atau ada syarat-syarat yang belum
terpenuhi saat perkawinan dilangsungkan, atau ada aturan yang dilanggar oleh
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, seperti salah satu pihak masih
berada dalam perkawinan lainnya, atau perkawinannya dicatatkan oleh pegawai
pencatat yang tidak sah, atau lain sebagainya. Perkawinan semacam ini dapat
dibatalkan oleh hakim, atau pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan agar perkawinan itu bisa dibatalkan, tetapi selama pembatalan ini belum
dilakukan maka perkawinan itu masih tetap sah.12
Pengertian pembatalan perkawinan menurut Amir Syarifuddin adalah
pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri
7 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet.
3,2006, hlm. 10 8 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 95 9 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, Cet. 25, 2002, hlm. 92 10 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, cetakan pertama (Medan: CV
Zahir Trading, 1975), hlm. 71 11 Mohammad Anggi, Pembatalan Perkawinan, www.blogspot.com, diakses pada
tangggal 11 januari 2019 12 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980), 27
18
atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan
yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.13
Dari beberapa definisi tentang pembatalan perkawinan diatas dapat
disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan ialah putusnya hubungan antara
suami dan istri karena tidak memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan,
pembatalan perkawinan dapat dinilai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
2. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam
Ada beberapa dasar hukum pembataln perkawinan yang dicantumkan
dalam Al-Qur’an dan Hadist-Hadist untuk perkawinan yang tidak memenuhi
rukun dan syarat. Antara lain:
Larangan nikah yang terkandung dalam surat An-Nisa ayat 22-23:
ولا تنكحوا ما نكح ءابآؤكم مّن النسّآء إلّا ما قد سلف إنهّ كان فاحشة ومقتا وسآء سبيلا
(٢٢)
Artinya : “Dan jangan lah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).14
وأمّهتكم التّى حرّمت عليكم امّهتكم وبناتكم وأخواتكم وعمّتكم وخلتكم وبنات الأخ وبنات الأخ
أرضعنكم وأخواتكم مّن الرّضعة وأمّهت نسآءكم وربئبكم التّى فى حجوركم مّن النسّآئكم التّى
دخلتم بهنّ فإن لمّ تكونوا دخلتم بهنّ فلا جناح عليكم وحلئل أبنآئكم الذّين من اصلبكم
(٢٢وأنتجمعوا بين الأختين الّا ما قد سلف إنّ اّللّ كان غفورا رّحيما )
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media,2004), hlm. 242. 14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra1989),
19
sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kau campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.15
Hadist Nabi yang disebutkan dalam Shahih Bukhori:
عن حثناء بنت حذام الأنصاريةّ رضي اّللّ عنها أنّ أباها زوّجها وهي ثيبّ ، فكرهت ذلك
فأتت رسول اّللّ عليه وسلمّ فردّ نكاحه
Dari Khansa binti hidzam al-Ansoriyyah ra: Bahwa ayahnya telah
mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai perkawinan
itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah SAW maka beliau
membatalkannya. (HR Bukhori)16
Hadist Rasulullah yang diriwayatkan ‘Aisyah ra:
ها فنكاحها باطل فأن دخل بها فلها المهر بما استحلّ من فرجها أيمّا امرأة نكحت بغير اذن وليّ
فأن اشتجر فالسّلطان وليّ من لاوليّ لها
Artinya: “Apabila seorang wanita menikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka baginya berhak
menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan
(memberi izin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi
perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali”.( Riwayat imam empat kecuali
an-Nasa’i).17
15 Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra,
1989), 120. 16 Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih Bukhari, ( Beirut: Daru Ibnu
Katsir,2002),1297 17 Imam Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, Al-Jam’ul Kabir , ( Beirut: Darul ‘Arabi Al-
Islami,1996),1557
20
Dalam syariat Islam pembatalan perkawinan itu disebut dengan fasakh.
Fasakh berasal dari bahasa Arab فسخ yang secara etimologi berarti merusak atau
membatalkan18.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh as-Sunnah, fasakh
berrati membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antar suami dan
istri19.
Adapun Muhammad Abu Zahrah berpendapat tentang fasakh ialah:
أمّا الفسخ فحقيقته أنهّ عارض يمنع بقاء النكّاح، او يكون تداركا لأمر اقترن بالأنشاء جعل
العقد غير اللازّم
Artinya: Adapun fasakh nikah itu sebenarnya adalah sesuatu yang
datang kemudian yan menghalangi kelangsungan nikah, sehingga menjadikan
akad itu tidak lazim20.
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh akad nikah
adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.21
Putus perkawinan disebabkan fasakh, berbeda dengan talak, yang berlangsung
hanyalah talak bain sughra; dalam arti suami tidak boleh kembali kepada istrinya
dalam bentuk rujuk, namun dapat mengawini bekas istrinya itu tanpa muhallil.
Beda lainnya dari talak adalah bahwa fasakh tidak mengurangi bilangan talak
yang dimiliki suami dalam arti dapat dilakukan berulang kali tanpa memerlukan
muhallil. Pada dasarnya fasakh itu dilakukan oleh hakim atas permintaan dari
suami atau dari istri. Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya
tanpa memerlukan hakim seperti antara suami istri ketahuan senasab atau
sepersusuan.22
18 Ahmad Azhar Bashir, Hukum Perkawinan Islam, ( Yogyakarta: UII Press,2000), 85 19 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz VII ( Bandung: PT Al-Ma’rif,t.th),124. 20 Muhammad Abu Zahra, Ahwal as-Shaksiyah, ( Beirut: Daar Al-Fikr Al-‘Arabi,
t.th),324. 21 Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
hlm. 73. 22 Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta:Prenada Media Kencana, 2010),
hlm.135
21
Mengenai sebab-sebab pembatalan perkawinan (fasakh), beberapa hal
yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh, yaitu sebagai
berikut :
a) Karena ada balak (penyakit belang kulit)
b) Karena gila
c) Karena penyakit kusta
d) Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain
e) Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat
maksud perkawinan (bersetubuh).
f) Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten (tidak hidup untuk jimak)
sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan
membatalkan kelangsungan perkawinan.23 Fasakh (batalnya perkawinan) karena
syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah apabila :
a) Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan nasab
atau persusuan
b) Waktu dikawinkan masih kecil dan tidak punya hak pilih, tetapi setelah
besar dia menyatakan pilihan untuk membatalkan perkawinan
c) Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada
penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan
perkawinan.
Adapun fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad diantaranya :
a) Salah seorang murtad dan tidak mau diajak kembali kepada Islam
b) Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan hubungan
suami istri
c) Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu
pulihnya kehidupan ekonomi si suami.24
23 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2008),
hlm.141. 24 Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2010),
hlm.134
22
Di samping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:
a) Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan
jodohnya, umpamanya budak dengan orang merdeka, orang pezina dengan
orang terpelihara, dan sebagainya.
b) Suami tidak mampu memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan
belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
c) Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya yang diketahui oleh beberapa
orang saksi yang dapat dipercaya. Artinya, suami sudah benar-benar tidak
mampu lagi memberi nafkah, sekalipun itu pakaian yang sederhana dan
tempat tinggal, atau ia tidak mampu membayar maharnya sebelum
mencampuri istrinya.25
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas dan
dibenarkan oleh syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan
pengadilan, misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau
saudara sesusuan.26 Tetapi fasakh yang memerlukan keputusan pengadilan ialah
yang disebabkan oleh hal-hal yang kurang jelas, seperti fasakh yang terjadi karena
istri musyrik (bukan ahli kitab) menolak masuk islam atau Agama Ahli Kitab,
padahal suaminya telah masuk islam, untuk meyakinkan apakah istri benar-benar
menolak atau tidak diperlukan keputusan pengadilan. Misalnya lagi perkawinan
antara laki-laki dan perempuan ternyata perkawinan dengan orang lain ataudalam
masa iddah talak laki-laki lain. Sejak diketahuinya hal ini, perkawinan mereka
dibatalkan sebab tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah. Ahirnya diketahui
bahwa perempuan itu masih mempunyai hubungan.
Pembatalan perkawinan atau fasakh dalam islam merupakan putusnya
hubungan ikatan perkawinan antara suami dan istri setelah diketahui tidak
terpenuhinya syarat sah dalam melakukan perkawinan baik diketahui sebelum
perkawinan maupun setelah terjadinya suatu perkawinan. Fasakh dilakukan oleh
hakim atas permintaan suami tanpa menunggu persetujuan istrinya, karena suami
merasa tertipu bahwa istrinya yang pernah mengatakan masih gadis ternyata
25 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), hlm.198-201 26 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), hlm. 202
23
sudah bukan gadis lagi. Istrinya yang dulu tampak berambut indah, ternyata
setelah kawin diketahui rambutnya palsu. Secara garis besar suami kemudian
menjumpai bahwa pada istrinya terdapat hal-hal yang tidak mungkin
mendatangkan ketentraman dan pergaulan baik dalam hidup perkawinan yang
semula tidak diketahuinya dapat mengadukan kepada pengadilan untuk minta
difasakh perkawinannya.
Fasakh dengan keputusan pengadilan dapat juga diminta oleh istri dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
a) Suami sakit gila
b) Suami menderita sakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh
seperti penyakit lepra.
c) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan
hubungan kelamin karena impotent atau terpotong kemaluannya.
d) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah
terhadap istri.
e) Istri merasa tertipu, baik mengenai nasab, keturunan, kekayaan atau
kedudukan suami
f) Suami mafqud, hilang tanpa berita dimana tempatnya dan apakah
masih hidup atau telah meninggal dunia dalam waktu cukup lama
(misalnya empat tahun).27
Fasakh dapat diminta oleh dua belah pihak suami dan istri. Misalnya anak-
anak yang dikawinkan walinya, setelah mereka baligh mempunyai hak khiyar,
apakah akan melangsungkan perkawinan ataukah akan minta fasakh. Hak khiyar
ini sebenarnya tidak harus diajukan bersama antara suami dan istri, tetapi dapat
pula diajukan oleh salah satunya. Khiyar ini diberikan kepada mereka agar sejalan
dengan prinsip perkawinan dalam Islam, yaitu dilakukan dengan sukarela antara
kedua belah pihak bersangkutan.28
27 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm. 86. 28 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm.87
24
Adapun hikmah dibolehkannya fasakh itu adalah memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang menempuh hidup
berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan hal-hal yang
tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan yaitu kehidupan
sakinah, mawaddah,warakhmah dan atau perkawinan itu akan merusak hubungan
antara keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun
kenyataannya telah terjadi, hal-hal yang memungkinkan keluar dari kemelut itu
adalah perceraian.
Selain fasakh ada istilah lain yang juga sering dipakai dalam bahasa Arab
yaitu fasid. Menurut bahasa fasid berarti rusak29
Didalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah istilah fasid disebutkan
yaitu :
كاح الفاسد هو ما احتلّ شرط من شروطه والنكّاح الباطل هو ما احتلّ ركن من اركنه الن
والنكّاح الفاسد والباطل حكمها واحد.
“Nikah fasid adalah nikah yang ridak memnuhi salah satu dari syarat-
syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu
rukunnya, hukun nikah fasid dan nikah bathil adalah sama, yaitu tidak sah.”30
Menurut Abdul Shomad suatu perkawinan dapat batal atau fasid, apabila
perkawinan tersebut melanggar larangan yang bersifat abadi yakni yang berkaitan
dengan hukum agama, maka pembatalannya bersifat abadi, namun apabila
perkawinannya melanggar larangan yang bersifat sementara yakni yang
adakalanya berkaitan dengan hukum agama, maka pembatalannya bersifat
sementara.31
Di Pengadilan Agama para hakim tidak membedakan antara istilah fasid
dan batal, agar ada kesatuan bahasa hukum diantara para hakim. Jika tidak ada
kesatuan bahasa hukum maka dapat menimbulkan kerancuan dan dapat
29 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Peogresif, 1997), 92. 30 ‘Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV
,(Beirut Libanon: Dar Kitam Al-‘Ilmiyah, 1999), 188. 31 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2012), hlm. 266.
25
menghambat proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Jadi para hakim
merujuk itilah tersebut pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 22 yaitu
dengan menggunakan istilah batal.
3. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Positif
Pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 termuat dalam Bab IV pada Pasal 22 sampai
dengan pasal 28, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaannya ( PP No. 9
Tahun 1975) dalam Bab VI Pasal 37 dan 38, serta diatur pula dalam Kompilasi
Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)) Bab XI Pasal 70 sampai
dengan Pasal 76.
Pasal 22 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan
bahwa, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 22 ini
disebutkan pengertian ‘’dapat’’ pada Pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak
batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menentukan lain.32
Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan
perkawinan di Indonesia, pasal 27 ayat 2 Undang-undang Perkawinan telah
menjelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami atau istri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau istri.33
Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila tidak terpenuhi dua unsur,
yaitu:
32 O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta:RajaGrafindo,
2001), hlm. 93 33 Pasal 27 ayat (2), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
26
1) Tidak Terpenuhinya Rukun Pernikahan
Rukun merupakan sesuatu yang harus ada, dan dapat menentukansah atau
tidaknya suatu ibadah dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu34.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwasannya rukun pernikahan itu
harus ada:
a) Calon suami
b) Calon isteri
c) Wali nikah
d) Dua orang saksi
e) Ijab dan Kabul
2) Tidak Terpenuhinya Syarat Pernikahan
Syarat merupakan sesuatu yang harus dilaksakan, sesuatu yang harus ada,
dan dapat menentukansah atau tidaknya suatu ibadah dan sesuatu itu akan tetapi
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam
syarat pernikahan antara lain:35
a) Syarat sighat
a. Orang yang berakad harus mengerti makna lafadz sighat
b. Lafadz sighat harus jelas,
b) Syarat wali
a. Laki-laki
b. Mempunyai hubungan nasab
c. Baligh
d. Berakal
e. Adil
f. Bisa belihat
g. Seagama
h. Bisa melihat
c) Syarat calon suami
34 Tihami dan Sohari Sahrami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 12 35 Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),
hlm. 67
27
a. Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon istri
b. Tidak dipaksa
c. Jelas tentu orangnya
d. Mengetahui atau mengenal calon istrinya
d) Syarat calon istri
a. Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon suami
b. Jelas atau tentu orangnya
c. Tidak ada halangan menikah
d. Tidak sedang berada dalam perkawinan lain
e. Tidak sedang dalam masa iddah
e) Syarat saksi
a. Merdeka
b. Dua orang laki-laki
c. Adil
d. Tidak buta dan bisu
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 perkawainan batal apabila:36
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat istri, sekalipun salah satu dari
keempat istri tersebut sedang dalam masa iddah talak raj’i
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dilia’nya
3. Seseorang menikahi bekas istri yang telah ditalak tiga kali olehnya,
kecuali, bekas istri tersebut pernah dinikahi oleh pria lain yang kemudia
bercerai lagi setelah melakukan hubungan suami-istri dan sudah selesai
masa iddahnya.
4. Perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang memiliki hubungan
darah semenda dan sesusuan sanpai pada derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undan-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu;
a. Berhubungan darah dalam garis keturuna lurus keatas atau
kebawah,
36 Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam.
28
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,
yaitu antara saudara, seseorang dengan saudara orangtua
dan antara seseorang dengan saudara neneknya,
c. Berhubungan semenda yaitu, mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu atau ayah tiri,
d. Berhubungan sesusuan yaitu, orangtua sesusuan, anak
sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum islam pasal 71, perkawinan dapat
dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa adanya izin dari
Pengadilan Agama yang artinya suami tersebut telah melanggar ketentuan yang
sudah ditetapkan, perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi istri laki-laki
lain yang mafqud, perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah,
perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan yang sudah ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan yang
dilangsungkan tanpa wali yang berhak, dan perkawinan yang dilangsungkan
dibawah ancaman atau dengan paksaan.37
Sementara pasal 72 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan
Agama yaitu suami atau istri apabila perkawinan yang dilangsungkannya berada
dalam ancaman yang melanggar hukum, selain karna ancaman yang melanggar
hukum, suami atau istri pun dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Apabila ancaman telah berhenti atau tentang salah sangka itu menyadari
dan menerima keadaannya, maka dalam jangka waktu enam (6) bulan setelah itu
masih hidup bersama sebagai suami dan istri serta tidak menggunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka hak tersebut
gugur.38
37 Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam. 38 Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam.
29
Dalam hal adanya pengajuan pembatalan perkawinan oleh pihak yang
berhak mengajukan pembatalan perkawinan dan permohonan itu dikabulkan oleh
Pengadilan Agama, perkawinan itu batal setelah putusan Pengadilan Agama
tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan. Akan tetapi keputusan pembatalan itu tidak berlaku surut terhadap:
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum tetap.39
Adapun akibat hukum dari pembataln perkawinan adalah batalnya
perkawinan. Artinya dengan adanya putusan pengadilan, perkawinan yang telah
dilangsungkan dianggap tidak pernah terjadi dan tidak memberikan akibat hukum
seperti perceraian. Namun juga mengubah seluruh hal yang menjadi bagian dalam
perkawinan seperti hak waris, hak asuh anak dan harta bersama.
Akibat hukum dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 yang bunyinya sebagai berikut :
1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya
perkawinan.
2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
b. Suami atau istri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 76 KHI menyebutkan bahwa ‘’batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya’’. Dalam
39 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Mandar Maju: 1997), hlm.27-28
30
Perundang-Undangan di Indonesia, kasus pembatalan perkawinan karena tidak
terpenuhinya syarat rukunnya, maka harus mendapatkan putusan Pengadilan dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini karena kasus pembatalan
perkawinan adalah berkaitan dengan perkara perdata, dimana hakim akan
memprosesnya jika telah ada laporan atau gugatan dari pihak-pihak yang
berkepentingan.
C. Pemalsuan Identitas
Pengertian tentang ‘’pemalsuan’’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah berasal dari kata ‘’palsu’’ yang berarti tidak sahnya suatu ijazah, surat
keterangan, uang dan sebagainya, jadi pemalsuan adalah proses, cara atau
perbuatan memalsu, dan pemalsu adalah orang yang memalsu.40 Perbuatan
pemalsuan sesungguhnya baru dikenal di dalam suatu masyarakat yang sudah
maju, dimana data-data tertentu dipergunakan untuk membuat jalan pintas dalam
kegiatan sehari-hari. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran
norma yaitu kebenaran atau kepercayaan dan ketertiban masyarakat.
Pemalsuan identitas merupakan suatu tindakan kejahatan yaitu penipuan.
Perbuatan tersebut dikatakan suatu penipuan apabila ia memberikan gambaran
tentang suatu objek seakan-akan gambaran itu adalah otentik atau asli namun
sebenarnya objek tersebut telah dimanipulasi sehingga terlihat asli padahal
sebenarnya palsu.
Didalam KUHP kejahatan tersebut dinamakan penipuan dan bisa dijadikan
delik perkara yaitu pada pasal 378 KUHP yang menyebutkan bahwa “ Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun”.41 Lebih rinci lagi diatur dalam pasal 263 ayat 1 tentang
40 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 817 41 Pasal 378 KUHP tentang pemalsuan identitas
31
pemalsuan identitas yaitu: “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan
surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, sesuatu perjanjian atau sesuatu
pembebasan hutang atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi suatu
perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka
kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum
karena pemalsuan surat dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”42
Pemalsuan identitas yang dimaksud dalam skripsi ini ialah terkait identitas
para pihak dalam perkawinan, dimana identitas tersebut merupakan syarat materiil
dalam perkawinan, agar perkawinan tersebut dapat dicatatkan di Kantor Urusan
Agama setempat sehingga perkawinannya dianggap sah secara hukum.
Pentingnya status hukum terkait identitas dalam perkawinan ini dijelaskan
didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut PP
No. 9 Tahun 1975, menyatakan bahwa pemberitahuan memuat nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila
salah satu keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya
terdahulu, sehingga seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus jelas
status hukumnya.43
Terkait pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam pasal 2 ayat 2
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan disini terkait dengan identitas para pihak yaitu berupa tanda
pengenal, dari tanda pengenal tersebut dapat diketahui tentang status seseorang
sesungguhnya. Pemalsuan identitas berarti melakukan perubahan-perubahan tanpa
hak terhadap tanda pengenal yang seolah-olah tanda pengenal tersebut asli namun
sebenarnya palsu karena tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
pemerintah dan tidak sesuai dengan keadan sesungguhnya pihak tersebut.
42 Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan identitas 43 Peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan .
32
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui
jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan yang
disebut hukum perkawinan. Hukum Islam juga menetapkan untuk kesejahteraan
umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, kesejahteraan
perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan. Keluarga terbentuk
melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi
yang telah mempunyai kemampuan.44 Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan
pertalian yang kokoh yang tak mungkin putus dan diputuskannyalah ikatan akad
nikah atau ijab qabul perkawinan.45
Sebaliknya, apabila perkawinan yang dibangun atas dasar penipuan akan
berakhir dengan perceraian, atau setidaknya menjadi perkawinan yang gagal.
Sebab, wanita atau laki-laki yang ditipu akan merasa dizalimi dan ditipu sehingga
membenci pasangan hidupnya, dia juga merasakan kegagalan dan tertekan (stres)
dengan terjadinya perkawinan itu sehingga mencela pasangan hidupnya dan tidak
mempercayainya lagi karena telah menipunya. Penipuan banyak terjadi dalam
sifat-sifat yang samar, seperti aib dan penyakit yang tidak tampak, ada juga
penipuan yang memalsukan identitasnya dalam perkawinan.46
Adapun beberapa surat yang sering dipalsukan guna mempermudah niat
pemalsu antara lain:
1. Akta Kelahiran, merupakan suatu bentuk akta yang wujudnya berupa
selembar kertas yang diterbitkan oleh kantor catatan sipil yang berisi
informasi mengenai identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal
lahir, nama orang tua, dan tandatangan pejabat yang berwenang.47
44 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.13 45 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm.31 46 Fuad Muhammad Khair Ash-Shalih, Sukses Menikah Dan Berumah Tangga,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 121 47 Veronika Dian, Mengurus Surat-Surat Kependudukan (idntitas diri), (Jakarta Selatan:
Transmedia Pustaka), hlm.14
33
2. Kartu Tanda Penduduk atau KTP, merupakan jenis identitas diri yang diakui
di Indonesia bagi penduduk yang dianggap sudah dewasa, yaitu berumur 17
tahun atau sudah menikah.48
3. Kartu Keluarga, merupakan kartu identitas keluarga yang memuat data
tentang susunan, hubungan dan jumlah anggota keluarga. Dan juga sebagai
persyaratan pernikahan.49
Dalam pelaksanaan perkawinan, setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan, diwajibkan dilakukan pemeriksaan kehendak nikah itu oleh Pegawai
Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan, apabila terdapat
halangan perkawinan atau belum terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka
hal itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kedua orang tua.50
Pegawai Pencatat Nikah atau P3N yang menerima pemberitahuan hasil
pemeriksaan kehendak nikah memeriksa lagi calon suami, calon istri, dan wali
nikah tentang ada atau tidaknya halangan perkawinan itu dilangsungkan baik
karena halangan melanggar hukum Munakahat atau karena melanggar Peraturan
tentang perkawinan. Maka di dalam pemeriksaan diperlukan pula penelitian
terhadap kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, dan
identitas calon mempelai seperti identitas status, usia dan agama.51
Meskipun sudah dilakukan proses secara ketat oleh P3N tetap saja pelaku
pemalsu identitas bisa mengakali hal tersebut untuk tujuannya sendiri.
Pemalsuan identitas dalam perkawinan itu tidak hanya sebatas pada
pemalsuan usia dan status saja, tetapi pemalsuan Akta Nikah juga termasuk
kedalamnya, karena dalam melangsungkan suatu perkawinan, suami dan istri
masing-masing diberikan ‘’kutipan akta perkawinan’’. Kutipan akta perkawinan
adalah bukti otentik bagi masing-masing yang bersangkutan, karena ia dibuat oleh
pegawai umum. Perlu diketahui bahwa pemerintah melarang adanya akta
48 Veronika Dian, Mengurus Surat-Surat Kependudukan (idntitas diri), (Jakarta Selatan:
Transmedia Pustaka), hlm.30 49 Veronika Dian, Mengurus Surat-Surat Kependudukan (idntitas diri), (Jakarta Selatan:
Transmedia Pustak a), hlm.37 50 Wasman, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 65 51 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 170
34
perkawinan yang tidak sah, misalnya surat-surat kawin khusus yang dikeluarkan
oleh aliran kepercayaan.52
52 Wasman, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 67
35
BAB III
DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 376/Pdt.G/2013PA.Cbn
A. Deskripsi Putusan Nomor: 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
1. Posisi Kasus
Perkara Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ialah perkara pembatalan
perkawinan poligami yang didalamnya ada unsur pemalsuan identitas yang
dilakukan pihak Tergugat I dengan almarhum Broto bin Lasiman agar
perkawinannya dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur.
Adapun Sri Sugiarti binti Harto Suwarno selaku Penggugat merupakan
istri sah almarhum Broto bin Lasiman yang beralamat di Griya Persada Blok J
No.19 Rt 06/04 Kelrahan Karang Asem Barat, Kecamatan Citeureup, Kabupaten
Bogor, yang dalam keterangannya memberikan Surat Kuasa Khusus pada tanggal
12 Februari kepada Nendi Heriyadi, S.Ag.,S.H., Karmin SH.MH., Hasanudin,SH.,
sebagai Advokat dan konsultan hukum yang beralamat di Graha Cibinong Blok
E.1 No. 12 Jalan Raya Bogor KM.43 Cibinong, Kabupaten Bogor yang kemudian
menjadi Kuasa Hukum Sri Sugiarti binti Harto Suwarno.1
Sedangkan Rini Indriyati binti Wijianto sebagai Tergugat I merupakan
Istri kedua almarhum yang digugat perkawinannya kepada Pengadilan Agama
Cibinong oleh Penggugat yang beralamat di Perum Permata Cibinong Blok C No.
8 Rt 007/009 Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor yang
memberikan Surat Kuasa Khusus kepada Junaidi SH., Billy Adama Fisyer SH dan
Samuel Kikilatery, SH. Sebagai Advokat dan konsultan hukum yang beralamat di
Taman Permata Palem Blok G No. 59, Kelurahan Girimekar, Kecamatan
Cibinong Kabupaten Bogor yang selanjutnya ditugaskan sebagai Kuasa Hukum
Tergugat I
1 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
36
Selain menggugat Rini Indriyati, Penggugat juga menggugat Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur, yang beralamat di Jalan Riau
No. 5 Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor yang kemudiamn ditetapkan sebagai
Tergugat II.
Penggugat dengan surat gugatannya yang bertanggal 14 Februari 2013
mengajukan gugatan pembatalan perkawinan antara almarhum suaminya Broto
bin Lasiman dengan Rini Indriyati kepada Pengadilan Agama Cibinong yang
diregister dengan Nomor perkara 376/Pdt.G/2013Pa.Cbn yang terdaftar dalam
Kepaniteraan pada tanggal 15 Februari 2013.2
2. Duduk Perkara
Dalam Hukum acara dikenal dengan adanya kewenangan peradilan
agama, yaitu kewenangan absolute dan kewenangan relatif. Pada perkara
nomor376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ini yang berwenang mengadili adalah Pengadilan
Agama Cibinong karena para pihak berada di wilayah yuridiksi Pengadilan
Agama Cibinong. Dan juga karena para pihak beragama Islam sesuai dengan yang
tercantum dalam pasal 2 dan 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.
Perkawinan yang dilaksanakan tanpa memenuhi syarat dan rukun maka
dinyatakan tidak sah dan bisa dibatalkan.3 Untuk proses pembatalan pernikahan
bisa diajukan ke Pengadilan dan diputus di Pengadilan serta berkekuatan hukum
tetap.
Dalam perkara pembatalan pernikahan dengan Nomor
376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ini, Penggugat menjelaskan fakta-fakta yang terjadi
yaitu:4
2 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn 3 Ahmad Khairul Umam, “Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami
dalam Perspektif Hukum Islam” (Jakarta: skripsi Universitas Syarif Hidayatyllah Jakarta,2017),
hlm. 58 4 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
37
a. Penggugat yaitu Sri Sugiarti telah melangsungkan perkawinan dengan
Broto bin Lasiman pada tanggal 17 Agustus 1981 di Wanasari yang
dicatatkan di Kantor Urusan Agama Wanasari Kabupaten Klaten Jawa
Tengah dengan Nomor Registrasi 248/18/1981.
b. Dari perkawinan tersebut antara Penggugat dengan Broto bin lasiman
telah dikaruniai satu orang anak yang bernama Eko Purwanto, laki-laki
yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1982 yang dibuktikan dengan Akta
Kelahiran yang dilampirkan dalam bukti-bukti yang di berikan.
c. Suami penggugat yaitu Broto bin Lasiman meninggal dunia pada
tanggal 19 Januari 2013 di Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong dengan
yang di buktikan dengan Surat Keterangan Kematian Nomor
474.3/03/II/2013
d. Pada saat Broto bin Lasiman akan di makamkan datanglah seorang
perempuan bernama Rini Indrianti yang kemudian diketahui sebagai
Tergugat I menyatakan dirinya adalah istri alrmarhum dan satu-satunya
ahli waris dari Broto bin Lasiman.
e. Setelah kejadian itu, Penggugat mencari informasi dan ternyata
penggugat mendapati bahwa Rini Indrianti terbukti telah menikah dengan
almarhum suaminya Broto bin Lasiman, yang dibuktikan dengan Nomor
buku Nikah 662/71/IX/ 2002
f. Didalam buku nikah tersebut, terbukti ada pemalsuan status Broto bin
Lasiman dan Rini Indriatri dimana status keduanya tidak sesuai dengan
kenyataannya
g. Jika ingin melangsungkan perkawinan dengan Rini indriyati seharusnya
Broto bin Lasiman terlebih dulu meminta izin untuk berpoligami kepada
Penggugat karena jelas masih terikat perkawinan dengan Penggugat.
h. Dalam perkara ini Tergugat I telah melanggar pasal 3, 9 15, dan 24
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9 tahun 1975
tentang Poligami
i. Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogot atau Tergugat II pun telah lalai
karena mencatatkan perkawinan almarhum Broto bin Lasiman dengan
38
Rini Indriati, dengan ini Tergugat II telah melanggar pasal 9, 16 dan 20
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
j. Dengan adanya perkawinan antara almarhum Broto dan Rini Indriyati,
Penggugat merasa dirugikan karena selain tidak mengijinkan almarhum
untyk berpoligami, juga hak Penggugat menjadi tidak dapat terpenuhi.5
Dengan dalil-dalil yang diatas, Penggugat memohon setidaknya ada 5 butir
tuntutan Penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama Cibinong yang memeriksa
perkara ini dan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
a. Dan mengabulkan gugatan Penggugat Seluruhnya;
b. Memutuskan dan menyatakan cacat hukum dan tidak sahnya
perkawinan antara Tergugat I dan Broto bin Lasiman
c. Menyatakan buku nikah yang mengikat; bernomor 662/71/IX/2002
yang diterbitka Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur tidak
memiliki kekuatan hukum;
d. Memerintahkan Kepala KUA Kecamatan Bogor Timur untuk mencoret
pernikahan Tergugat I dengan Broto bin Lasiman tersebut dari buku
daftar register pernikahan di KUA Kecamatan Bogor Timur
e. Menetapkan biaya perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Dalam perkara ini Kepala Kantor Urusan Agama sebagai Tergugat II
mengakui ada kejanggalan dalam perkawinan antara Tergugat I dan Broto bin
Lasiman, selain itu Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur juga
mengakui telah melakukan kelalaian dalam memeriksa calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan tersebut sehingga selanjutnya Kepala KUA
Kecamatan Bogor Timur menyerahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Agama
Cibinong untuk menyelesaikan perkara ini.
Sedangkan Tergugat I dalam Jawabannya mengatakan bahwa ia
menyangkal menyatakan sebagai satu-satunya ahli waris dari almarhum Broto bin
5 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
39
Lasiman pada saat jenazah almarhum akan dishalatkan`Tergugat I hanya
mengatakan bahwa ia merupakan istri almarhum Broto bin Lasiman, selebihnya
Tergugat I tidak mengetahui adanya perbedaan status dalam Surat Keterangan
Untuk Nikah dengan Kutipan Akta Nikah, Tergugat hanya diminta menyerahkan
dokumen-dokumen persyaratan untuk melangsungkan perkawinan yang
selebihnya almarhum Broto bin Lasiman yang mengurusnya.
Berdsarkan jawaban Tergugat I dan Tergugat II Penggugat mengajukan
Replik yang pada dasarnya tetap pada gugatannya tersebut, dan tetap menyatakan
bahwa dalam proses perkawinan Tergugat I dan Broto bin Lasiman terdapat surat-
surat yang dipalsukan atau tidak sesuai dengan kenyataan waktu itu.
Berdasarkan Replik Penggugat tersebut, Tergugat I menyatakan keberatan
yang dituangkan dalam Dupliknya yang meyatakan keberatan dengan gugatan
Penggugat. Meskipun Tergugat I mengakui bahwa alm Broto bin Lasiman telah
menikah sebelumnya dengan Penggugat namun seharusnya Penggugat
menanyakan ijin Poligami kepada Broto bin Lasiman saat masih hidup.
Sedangkan sekarang beliau sudah meninggal, tidak masuk akal apabila
membatalkannya, apalagi dengan sudah adanya anak hasil perkawinan Tergugat I
dengan Broto bin Lasiman.6
3. Amar Putusan
a. Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
b. Menyatakan perkawinan Broto bin Lasiman dengan Tergugat I yang
dilangsungkan pada tanggal 22 September 2002 cacat hukum;
c. Membatalkan Perkawinan Broto Bin Lasiman dengan Tergugat I (Rini
Indriyanti Binti Wijayanto) yang dilangsungkan pada tanggal 22
September 2002;
6 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
40
d. Menyatakan Kutipan Akta Nikah No. 662/71/IX/2002 yang diterbitkan
oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor timur tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat;
e. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor
Timur untuk mencoret pernnikahan Tergugat I dengan Broto Bin
Lasiman tersebut dari buku daftar register pernikahan di Kantor Uurusan
Agama Kecamatan Bogor Timur;
f. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaaya perkara ini
sebanyak Rp 891.9000,-(delapan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
Perkara ini diputus di Cibinong dalam Permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Cibinong pada hari Senin tanggal 16 September 2013 M,
bertepatan dengan tanggal 10 Zulkaidaha 1434 H. Oleh Drs. H.M. Hasany Nasir,
S.H. MH., sebagai Ketua Majelis, Dra. Isti’anah, MH dan Drs. H. Jarkasih, MH,
sebagai Hakim Anggota.7
7 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
41
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN
A. Analisis Hukum Islam Tentang Pembatalan Perkawinan pada Perkara
Nomor 376/Pdt.G/2013PA.Cbn
وان خفتم الاِّ تقسطوا في اليتامي فانكحوا ما طاب لكم من النسّاء مثني وثلاث ورباع فإن
الاّ تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الاّ تعولواخفتم
“Dan jika kamu takut tidak adan dapat berlaku adil terhdap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua,tiga atau empat.1Kemudian jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil, maka(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekay kepada tidak berbuat aniaya”
Ayat diatas meskipun menggunakan kata perintah tetapi tidak menunjukan
kewajiban dalam berpoligami, itu karena sebagian dari ayat itu pun memalingkan
perintah yang pertama, yaitu dengan syarat adil yang juga tercantum dalam ayat
tersebut. Sehingga hukum asal dari poligami ialah hanya sebatas Mubah dan tidak
sampai pada wajib.
Sesuai dengan kaidah fiqh
الأصل في الأمر للوجوب ولا تدلّ على غيره الاّ بقرينة
Yang artinya : asal dalam perintah adalah menunjukan arti wajib, dan
tidak menunjukan arti lain kecuali ada qarinah.
Ayat diatas merupakan dalil utama yang memperbolehkan seorang lelaki
untuk memiliki lebih dari satu orang istri meskipun banyak ikhtilaf dan tafsir yang
berbeda dalam memahami ayat tersebut.
1 QS An-Nisa ayat 3
42
Dengan dalil diatas beberapa ulama berpendapat bahwa poligami
merupakan hak istri dan tidak ada kewajiban untuk meminta izin istri
terdahulunya. Oleh karenanya izin istri pertama tidak bisa dijadikan dalil dalam
membatalkan suatu pernikahan. Karena membatalkan artinya menganggap
pernikahan itu tidak pernah ada dan sesuatu yang berada selama rentang waktu
pernikahan tersebut dianggap tidak ada pula seperti anak-anak hasil dari
pernikahan tersebut. Sebelum itu harus kita pahami dulu perbedaan antara
pemisahan pernikahan dan pembatalan perkawinan.
Pertama, perpisahan adalah talak bukannya fasakh dalam pernikahan yang
diperselisihkan antara berbagai madzhab fiqih, dan ini adalah perselisihan
pendapat yang terkenal. Contohnya, hukum seorang perempuan yang
mengawinkan dirinya sendiri. pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tengah
melakukan ihram ibadah haji atau umrah.
Kedua, karena kategori hal itu sebagai sebab yang mewajibkan terjadinya
perpisahan, jika karena berdasarkan syariat bukan karena keinginan pasangan
suami-istri perpisahan ini adalah fasakh. Contohnya pernikahan dengan
perempuan yang haram untuk dinikahi karena hubungan susuan atau pernikahan
yang dilakukan pada masa iddah.2
Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili ada beberapa bentuk pembatalan
perkawinan diantaranya:
1. Pembataln perkawinan akibat kerusakan akad semenjak dari asalnya, seperti
akad perkawinan yang dilangsungkan tanpa saksi, dan kawin dengan saudara
perempuan.
2. Pembatalan perkawinan akibat persetubuhan yang terjadi antara salah satu
suami-istri dengan orang tua atau keturunan pihak lain dalam bentuk yang
membuat hubungan perbesanan.
3. Pembatalan perkawinan akibat kemurtadan.
4. Pembatalan perkawinan akibat pilihan istri yang menjadi merdeka.
2 Wahbah az-zuhaili, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, Daarul Fikr:Damaskus, 2007
43
5. Pembatalan akibat kepemilikan salah satu suami-istri terhadap yang lain.3
Jika sebabnya adalah kehendak suami-istri, contohnya penolakan akibat
adanya cacat, maka pemisahan ini adalah talak.4
Lebih singkatnya perbedaan antara perceraian dan pembatalan perkawinan
adalah hasl akhir keduanya berbeda, dimana bila perceraian pernikahannya
dianggap sah dan legal. Sedangkan pembatalan perkawinan, pernikahan
sebelumnya dianggap tidak pernah ada.
Adapun izin istri terdahulu bukan merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh laki-laki yang ingin berpoligami. Mayoritas ulama syafiiyyah berpendapat
bahwa poligami merupakan hak laki-laki dan tidak ada kewajiban laki-laki untuk
meminta izin istri terdahuluketika ingin berpoligami. Namun sebagian ulama
mewajibkan untuk memberitahu istri terdahulunya jika ingin poligami, perlu
dipahami bahwa memberitahu dan memberi iizin memiliki dampak hukum yang
berbeda karena dengan memberitahu meskipun tanpa izin istri tetdahulu poligami
tetap dapat dilaksanakan kaerena kewajiban memberitahu sudah dilaksanakan
oleh laki-laki.
Lain halnya apabila pada perkawinan pertama perempuan yang menikah
meminta syarat pada laki-laki untuk tidak beristri lagi. Hal itu bisa menjadikan
izin istri pertama sebagai syarat untuk berpoligami. Bahkan istri dapat
membatalkan perkawinan nya apabila syarat tersebut dilanggar kecuali, jika istri
membatalkan syarat tersebut setelah perkawinan tersebut berlangsung.5
Menurut Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah syarat yang disebutkan ketika
akad nikah berlangsung lebih mengikat daripada syarat dalam akad jual-beli,
sewa-menyewa atau akad-akad lainnya. Karenanya, kewajiban menepati syarat
tersebut lebih ditegaskan dan ditekankan.
3 Wahbah az-zuhaili, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, Daarul Fikr:Damaskus, 2007, hlm 317 4 Wahbah az-zuhaili, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, Daarul Fikr:Damaskus, 2007 5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Dar Fath Lil i’lmi al-Arabiy: 2008 hlm.353
44
Pendapat tersebut berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Muslim:
إنّ احقّ الشروط ان توفوا به ما استحللتم به الفروج
“sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah
yang berkaitan dengan penghalalan kemaluan bagi kalian (pernikahan)”
HR.Bukhori dan Muslim
Dari hadist diatas jelaslah bahwa syarat tersebut harus dipenuhi jika
memang diberikan saat perkawinan, dan harus dijalankan oleh suami yang
disyaratkan baginya.
Sedangkan beberapa ulama mengharamkan poligami dengan beberapa
alasan, seperti Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun
1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhamamad Abduh
mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan
berlaku tidak adil.6
Selain itu, jika kita kaitkan dengan syarat-syarat nikah yang antara lain:
a. Keduanya jelas keberadaannya dan jelas identitasnya
b. Keduanya sama-sama beragama Islam (tentang perkawina dengan
agama lain dijelaskan tersendiri)
c. Tidak adanya halangan melakukan perkawinan
d. Keduanya sudah layak melangsungkan perkawinan.7
Jika dikaitkan antara perkara ini dengan pemalsuan identitas maka poin 1
dapat menimbulkan beberapa pendapat, diantaranya ada yang mengaggap bahwa
perkawinan ini tidak memenuhi syarat pertama, namun ada juga yang berpendapat
bahwa para mempelai sudah memenuhi syarat, karena kejelasan yang
dicantumkan diartikan keduanya saling mengetahui identitas para pihak. Dalam
perkara ini para pihak sudah mengetahui statusnya masing-masing dan tidak ada
6 Muhammad Abduh, Al Manar, juz IV hlm.350 7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010) hlm 89
45
halangan untuk menikah, namun yang dilanggar adalah karena memberikan
informasi status yang berbeda pada KUA yang dalam syarat perkawinan tidak ada
kaitannya sama sekali. Sehingga calon mempelai dianggap sudah memenuhi
syarat melangsungkan perkawinan.
Kaitannya dengan perkara No.376/Pdt.G/2013/Pa.Cbn ialah bahwa yang
menjadi dalil utama hakim ialah karena tidak adanya izin isteri pertama dalam
perkawinan alm. Broto dan Tegugat I sedangkan mayoritas ulama berpendapat
izin istri pertama bukanlah syarat untuk berpoligami kecuali jika menjadi syarat
perkawinan dengan penggugat terdahulu. Sedangkan dalam perkara ini tidak ada
keterangan yang menyebutkan adanya syarat perkawinan yang berkaitan dengan
perkawinan lain stelah perkawinannya dengan penggugat.
MUI memberikan Fatwa yang tertuang dalam fatwa No. 17 tahun 2013
tentang beristri lebih dari empat dalam waktu bersamaan. Dalam poin kedua
disebutkan bahwa pernikahan dengan istri pertama sampai keempat dilaksanakan
dengan ketentuan rukun dan syarat, maka pernikahan tersebut dianggap sah dan
memiliki akibat hukum pernikahan. Dengan itu selayaknya pernikahan Tergugat I
dapat dianggap sah karena sudah memenuhi syarat dan rukun berdasarkan
syariah.8
Selain itu, dampak dari dikabulkannya gugatan penggugat sepenuhnya
berdampak pada terlanggarnya Maqosid As-Syariah yaitu:
1. Hifdz ad-Diin (memelihara Agama)
2. Hifdz an-Nafs (Memelihara Jiwa)
3. Hifdz Al’Aql ( Memelihara Akal)
4. Hifdz an-Nasb ( Memelihara Keturunan )
5. Hifdz al-Maal (Memelihara Harta)
Pembatalan perkawinan berdampak pada anak-anak hasil perkawinan
tersebut, karena jika perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, maka
8 Fatwa MUI No 17 Tahun 2013
46
kedudukan anak menjadi tidak dapat nasab dari ayahnya dan hanya bernasab pada
ibunya. Selain itu juga pembatalan perkawinan membuat anak dan ayah tidak
dapat saling mewarisi itu pun melanggar Maqasid as-Syariah. Sehingga banyak
sekali kerugian bagi Tergugat I dengan pembatalan perkawinan tersebut, ditambah
dengan meninggalnya alm. Broto Tergugat I tak bisa lagi dapat meminta bantuan
khususnya terkait kebutuhan hidup sehari-hari.
Oleh karena itu keputusan Pengadilan Agama Cibinong untuk
mengabulkan gugatan Penggugat sepenuhnya kurang sesuai dengan tinjauan
fuqoha karena pada dasarnya izin poligami bukan merupakan syarat untuk
berpoligami, melainkan berlaku adil lah yang menjadi syarat utama
dibolehkannya poligami.
B. Analisis Peraturan di Indonesia Tentang Pembatalan Perkawinan pada
Perkara Nomor 376/Pdt.G/2013PA.Cbn
Dalam hal perkawinan di Indonesia telah diatur dengan terperinci oleh
hukum Islam dan Negara. Adapun pedoman yang dipakai di Negara Indonesia
adalah UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU No.1974
pasal 2 (ayat 1) dijelaskan bahwa pernikahan yang sah adalah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Segala yang
berhubungan tentang pernikahan, tentu ini menjadi pedoman baginya.
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menjelaskan mengenai syarat-syarat
perkwinan bagi warga negara Indonesia. Adapun syarat perkawinan dijelaskan
dalam Bab II pasal 6,7,8,9,10,11,12 tentang syarat-syarat perkawinan. Salah satu
syarat dalam pasal 9 dijelaskan bahwasannya seseorang yang masih terkait dengan
perkawinan dengan orang lain, jika ingin menikah lagi harus mendapatkan izin
poligami dari isteri sah yang pertama. Setelah adanya izin poligami dari isteri sah,
tidak serta merta seorang laki-laki langsung bisa menikah, akan tetapi harus
diputuskan di depan majelis hakim di Pengadilan.9
9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
47
Dengan adanya aturan izin poligami ini, mayoritas masyarakat tentu lebih
meyakini aturan agama Islam khususnya fikih klasik, sehingga mengesampingkan
aturan formal bernegara. Oleh sebab itu banyak masyarakat yang menggunakan
jalan pintas. Adapun salah satu jalan pintas yang digunakan oleh masyarakat
adalah dengan cara memalsukan data ataupun status. Adapun pemalsuan data ini
dilakukan karena tidak adanya izin untuk melakukan poligami oleh isteri sah.
Tentu pernikahan yang seperti ini bisa batal demi hukum karena ada salah satu
syarat yang tidak bisa dipenuhi.
Perkawinan bisa dibatalakan oleh Pengadilan apabila salah satu syarat
tidak dipenuhi. Dalam perkara Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Isteri pertama
bertindak sebagai (Penggugat), Isteri kedua bertindak sebagai (Tergugat I) dan
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur bertindak sebagai (Tergugat II).
Sedangkan suami dari kedua isteri telah meninggal dunia.
Pembatalan perkawinan diarahkan kepada kepastian hukum dan ketertiban
dengan jalan pihak berwenang dalam hal ini Pengadilan Agama.10
Pihak yang yang mengajukan Pembatalan Perkawinan tidak terbatas pada
Istri saja, nanum juga boleh diajaukan oleh orang tua. Putusan yang dijatuhkan
oleh Hakim dalam perkara ini adalah, membatalkan perkawinan antara Alm Broto
Bin Lasiman dengan Rini Indriyanti Binti Wijianto. Putusan yang dijatuhkan oleh
hakim berlandaskan pada UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 9 dan 24 jo Kompilasi
Hukum Islam huruf a, maka sudah tepat jika perkawinan antara Alm Broto dan
Rini Indriyanti dibatalkan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan ini batal demi
hukum.
Berdasarkan paparan diatas keputusan Pengadilan Agama Cibinong untuk
mengabulkan gugatan Penggugat selurhnya sudah sesuai dengan Pewraturan yang
ada di Indonesia. Yaitu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
juga Kompilasi Hukum Islam.
10 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acar Pengadilan Agama,
(Jakarta:Sinar Grafika,2009) hlm.43
48
C. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam Perkara Pembatalan
Perkawinan Nomor : 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Dalam Putusan Peraturan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/
032/SK/IV/2006 tertanggal 4 April 2006 bahwasannya dalam perkara pembatalan
perkawinan tidak adanya mediasi. Adapun alasannya adalah karena pokok
sengketa dalam perkara ini adalah perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan
UU. Namun begitu, hakim pengadilan Agama Cibinog tetap menganjurkan untuk
dilakukannya mediasi namun tidak berhasil.11
Dalam gugatannya, Pengguat mengajukan 11 dalil-dalil gugatannya. Atas
Gugatan yang diajukan oleh Penggugat tersebut, Isteri kedua (Tergugat I)
mengajukan jawaban, yang pertama, Bahwa tidak benar Tergugat 1 menyatakan
bahwa dirinya merupakan satu- satunya ahli waris Broto Bin Lasiman, Yang
kedua, Bahwa Tergugat 1 tidak mengetahui adanya perbedaan status perawan di
dalam surat keterangan untuk menikah, yang ketiga bahwa Tergugat 1 hanya
menyerahkan segala persyaratan perkawinan kepada Broto Bin Lasiman, yang
keempat Tergugat 1 membenarkan bahwa mereka pernah tinggal bersama Broto
Bin Lasiman di Kelurahan Katulampa RT 03/03. Dan yang terakhir (Tergugat 1)
tidak mengetahui adanya perbedaan status Broto di surat keterangan untuk
menikah.
Sementara itu, Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur (Tergugat
2) mengakui secara murni dalil-dalil gugatan Penggugat. Bahwa telah tercatatnya
perkawinan antara Broto Bin Lasiman dengan Rini Indriyati dengan nomor Akta
Nikah, 662/71/IX/2002 di Kantor Urusan Agama Bogor Timur.12
(Tergugat II) juga mengakui adanya perbedaan status Rini Indriyanti
dalam daftar pemeriksaan nikah, yang mana (Tergugat 1) berstatus Perawan,
sedangkan berstatus janda cerai. Begitu juga dengan Alm Broto yang harusnya
berstatus Suami sah, namun di daftar pemeriksaan nikah berstatus Jejaka.
11 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn 12 Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
49
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bogor Timur (Tergugat 2) selaku pihak
yang bertanggung jawab besar, karena merekalah yang mengeluarkan akta nikah
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim.
Dalam menguatkan argumennya, selain bukti dokumen, Penggugat juga
menghadirkan masing-masing. Kesaksian saksi membenarkan bahwa telah
terjadinya perkawinan antara Broto dengan Sri Sugiarti Binti Harto Suwarno
(Penggugat).
Begitu juga dengan Tergugat 1, dia juga menghadirkan beberapa orang
saksi, yang mana kesaksiannya juga membenarkan telah terjadinya pekawinan
antara Alm Broto Bin Lasiman dengan Rini Indriayti Binti Wijianto (Tergugat 1)
Setelah pemeriksaan bukti dokumen dan saksi, terbukti bahwa Broto Bin
Lasiman dan Rini Indriyanti Binti Wijianto telah memalsukan statusnya ketika
pemeriksaan di Kantor Urusan Agam (KUA) Kecamatan Bogor Timur.
Berdasarkan pasal 9 dan 24 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Kompilasi Hukum Islam
Pasal 71 huruf (a). perkawinan ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap, dan
dinyatakan cacat demi hukum.
Hakim yang mengadili perkara No. 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn ini,
dinyatakan telah tepat dalam mengambil keputusan, karena mereka memutus
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Dalam pasal 9 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa seseorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada
pasal 3 dan pasal 4.13 Dalam pasal 24 juga dikatakan bahwa barang siapa karena
perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan dapat megajukan pembatalan perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 dan pasal 4. Dalam
kompilasi hukum islam pasal 71 (a) juga menjelaskan bahwa pembatalan
perkawinan bisa dilakukan apabilan tidak ada izin dari Pengadilan Agama.
Dengan fakta-fakta yang dijelaskan diatas, ada salah satu syarat yang
dilanggar oleh Para pihak, dan juga majelis hakim berpendapat Perkawinan ini
13 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
50
telah melangar UU No 1 Tahun 1974 pasal 9 dan pasal 24, dan Kompilasi Hukum
Islam Pasal 71 (a).
Namun pada putusan ini, penulis sempat bertanya kenapa hakim yang
memutus dan mengadili pembatalan perkawinan ini, karena penulis berpikir
bahwasannya perkawinan ini telah putus tanpa diajukannya ke Pengadilan, karena
almarhum Broto bin Lasiman telah meninggal dunia, berdasarkan pasal 113
Kompilasi Hukum Islam putusan dapat putus karena kematian, perceraian dan
kematian.
Kemudian hakim Pengadilan Agama Cibinong Firis Berlian menjelaskan
bahwasannya walaupun salah satu pihak meninggal dunia, pihak yang dirugikan
tetap bisa mengajukan gugatan pembatalan perkawinan. Karena ini berdampak
pada akibat hukumnya. Jika tidak dilakukan pembatalan perkawinan, bisa muncul
sengketa gono gini, dan juga waris, dimana akan ada ahli waris di pihak Tergugat
yang kedudukan anaknya menjadi ahli waris alm. Broto, namun karena
perkawinannya dibatalkan maka kedudukan anak Tergugat I hanya terikat
keperdataan dengan Tergugat dan tidak terikat dengan alm. Broto sesuai dengan
pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sama hal nya
dengan tujuan gugat pada kasus ini, yang mana alasannya adalah untuk waris.
Selain itu juga perkawinan antara alm. Broto bin lasiman dan Tergugagt I terjadi
sebelum Broto bin Lasiman meninggal yang artinya kejadian hukumnya tetap
ada.atau bisa juga perkara ini doproses sesuai dengan asas berlaku surut.14
Dalam kompilasi Hukum Islam juga telah dijelaskan bahwa pernikahan
bisa batal jika salah satu syarat dan rukun tidak dipenuhi,sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 71 (a), (e) dan (f).
Menurut salah satu hakim ibu Firis Berian tujuan pemalsuan data dalam
perkara ini adalah supaya melangsungkan perkawinan antara suami pemohon
dengan penggugat (1) di depan pejabat pencatatan perkawinan. Berdasarkan
ketentuan yang ada pada kompilasi hukum islam, hal ini bisa batal demi hukum.15
14 Wawancara dengan Hakim Firiz Berlian Pengadilan Agama Cibinong 15 Wawancara dengan Hakim Firiz Berlian Pengadilan Agama Cibinong
51
Jika kita lihat dari sudut pandang hukum pidana, Tergugat bisa terjerat
dalam pasal penipuan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 263 ayat 1 “Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu
hak, sesuatu perjanjian atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh
dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat
mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum karena pemalsuan surat, dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”
Begitupun yang diutarakan oleh hakim Ibu Firis Berlian dengan pasal ini
Penggugat dapat menggugat Tergugat ke Pengadilan Negeri, karena sudah jelas
Tergugat memalsukan identitas status perkawinannya untuk mendapatkan hak
tanpa adanya izin dari istri sah yang berarti tergugat telah melanggar pasal
tersebut. Kemudian Ibu Firis Berlian menjelaskan karena ini bukan merupakan
kewenanga absolut Pengadilan Agama maka jalan keluarnya adalah diselesaikan
satu persatu dimana kasus pemalsuan identitas nya diajukan kepada Pengadilan
Negri setelah Pengadilan Agama memutus perkara ini.16
Namun dalam perkara ini, pemalsuan identitas yang dilakukan alm. Broto
tidak dijadikan sebagai dalil utama dalam memutus perkara oleh hakim,
melainkan hanya sebagai dalil untuk membuktikan bahwa perkawinan antara alm.
Broto dan Tergugat I tidak dilandasi dengan di izin Pengadilan dan Penggugat.
Serta pengakuan KUA yang mengakui adanya kelalaian dalam administrasi
pencatatan nikah Tergugat I dan alm. Broto menjadi dasar keyakinan hakim dalam
memutus perkara ini.17
Menurut hemat penulis, azas kepastian hukum yang menjadi landasan oleh
hakim dalam memutus perkara. Karena memang hakim melihat hukum yang ada
di Undang-undang perkawinan. Penulis melihat bahwa hakim tidak melihat azas
keadilan hukum, karena hakim tidak mempertimbangkan anak dari perkawinan
16 Wawancara dengan Hakim Firiz Berlian Pengadilan Agama Cibinong 17 Wawancara dengan Hakim Firiz Berlian Pengadilan Agama Cibinong
52
siri antara mantan suami dengan tergugat 1. Adapun dalam Islam anak tersebut
adalah anak yang sah, yang mana anak dari tergugat satu juga mendapatkan hak
waris dari almarhum bapaknya. Akan tetapi dengan adanya putusan pengadilan
tersebut hak nya hilang, karena perkawinan antara tergugat satu dengan mantan
suami dianggap tidak ada.
Adapun dalam perkara ini, tergugat satu juga tidak mengetahui bahwa
mantan suami telah menikah dengan Penggugat. Tentu ini bukan menjadi
kesalahan juga bagi tergugat satu. Hemat penulis, belum ada keadilan oleh hakim
dalam memutus perkara ini. Adapun disini hakim semata-mata melihat hukum
dan perundang undangan yang berlaku
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai bagian akhir dari penyusunan skripsi yang berjudul “Pembatalan
Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas ( Studi Putusan Nomor
376/Pdt.G/2013/PA.Cbn), penyusun mencoba membuat kesimpulan dan saran
yang sudah dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Semoga
kesimpilan dan saran yang dihasilkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan secara umum untuk ilmu hukum, dan lebih khusus untuk
masyarakat.
1. Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
berdasarkan tidak adanya izin dari istri pertama, dan hanya menjadikan
pemalsuan identitas status sebagai dalil bahwa istri pertama tidak
memberikan suami izin untuk poligami yang tercantum dalam posita
gugatan penggugat serta diakui oleh Tergugat I maupun Tergugat II bahwa
saat melangsungkan perkawinan memang ada kejanggalan yang terjadi.
2. Dari tinjauan Fuqoha perkawinannya tetap sah, apabila telah memenuhi
syarat dan rukunhya. Diantara salah satu syarat itu tercantum kejelasan
identitasnya. Yang artinya para calon mempelai sudah tahu dan saling
terbuka dengan statusnya masing-masing. Dalam kasus ini para pihak
seharusnya sudah memenuhi syarat karena identitas yang diganti hanya di
depan KUA dan para pihak sebenarnya sudah mengetahui tentang
identitasnya masing-masing. Namun setelah berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawainan perkawinan tersebut harus
mengikuti ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan,
sebab ia merupakan hukum positif yang berlaku bagi warga negara
Indonesia
3. Menurut peraturan di Indonesia perkawinan poligami ini dianggap tidak
sah, karena melanggar pasal 27 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
54
tentan Perkawinan yang menyebutkan bahwa jika pada saat perkawinan
dilangsungkan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri maka
dari suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
B. Saran-saran
Sesuai dengan harapan penulis agar pikiran –pikiran dalam skripsi ini
dapat bermanfaat bagi ilmu hukum umumnya dan khususnya untuk masyarakat,
kiranya penulis dapat meberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perkawinan merupakan salah satu Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang
sangat dianjurkan juga ibadah yang pahalanya sangat besar. Maka
sejatinya pernikahan harus dilakukan dengan niat karena Allah SWT, agar
terciptanya perkawinan yang sakinah, mawadah warohmah alangkah lebih
baik apabila ada laki-laki yang mampu dan ingin poligami haruslah dengan
prosedur yang sudah ditetapkan. Karena apabila perkawinan didasari
dengan kebohongan maka tidak akan pernah ada keharmonisan dalam
mengarungi bahtera rumah tangga.
2. Bagi pengadilan agama, seharusnya tidak mengabaikan bukti bahwa suami
dalam perkara ini sudah mampu dan memenuhi syarat untuk berpoligami
yang terbukti karena perkara ini muncul paska suami tersebut meninggal,
yang memberikan indikator bahwa suami dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami yang adil bagi kedua istrinya dan dapat
menciptakan keharmonisan, kendatipun tanpa sepengetahuan istri pertma.
Karena menurut Tinjauan Fiqh poligami merupakan Hak suami dan tidak
ada kewajiban suami untuk mendapatkan izin istri pertama terlebih dahulu.
Kendatipun demikian keputusan Pengadilan Agana sudah tepat karena
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
3. Bagi akademisi, seharusnya dapat memberikan solusi juga pencerahan
kepada masyarakat tentang bagaimana sebenarnya prosedur poligami yang
ada di Indonesia itu, sehingga dapat mencegah kasus seperti ini terjadi lagi
agar tidak ada lagi yang dirugikan khususnya wanita yang bersangkutan.
55
4. Bagi KUA harus lebih ketat lagi dalam memeriksa berkas calon mempelai
sehingga dapat mencegah para pihak yang ingin “bermain” demi
memudahkan urusannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta:Granit. 2005
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2014
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut
Libanon: Dar Kitam Al-‘Ilmiyah. 1999.
Aminuddin dan Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia. 1999
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu PendekatanPraktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta. 2002
Arto A Mukhti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Jakarta:
Pustaka Pelajar 1996
Ash-Shalih, Fuad Muhammad Khair, Sukses Menikah Dan Berumah Tangga.
Bandung: Pustaka Setia. 2006
Bashir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.2000
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. 2000
Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra.
1989
Dian, Veronika. Mengurus Surat-Surat Kependudukan (idntitas diri. Jakarta
Selatan: Transmedia Pustaka.
Eoh, O.S. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek.
Jakarta:RajaGrafindo. 2001
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2008
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Kencana.
2008.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2000
Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975.
Medan: CV Zahir Trading, 1975
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2007
Masruhan, Metode Penelitian Hukum. Surabaya. Hilal Pustaka.2013
Muhammad, Imam bin ‘Isa at-Tirmidzi. Al-Jam’ul Kabir. Beirut: Darul ‘Arabi
Al-Islami.1996
Muhammad, Imam bin Isma’il Al-Bukhari. Shahih Bukhari. Beirut: Daru Ibnu
Katsir. 2002
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.
1974
Munawwir A.W. Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Peogresif. 1997
Munawwir, Ahmad Warson,. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka. 2002
Nasution, Bahder Johan. Hukum Perdata Islam. Mandar Maju. 1997
Nata, Abuddin. Metode Studi Islam, cet IV Jakarta:Grafind Persada. 2001
Nazhir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.2005
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2006
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Bandung: PT Al-Ma’rif,th.
Sahrami, Sohari dan Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta:Rajawali Pers. 2010
Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat. Jakarta: RajaGrafindo 2010
Shomad. Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2012.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 1980
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:Prenada Media Kencana.
2010
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media.
2004
Wasman. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Teras. 2011
Zahrah, Muhammad Abu. Ahwal as-Shaksiyah. Beirut: Daar Al-Fikr Al-‘Arabi,
t.th
2. Skripsi
Umam, Ahmad Khairul. Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin
Poligami dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Skripsi Universitas
Syarif Hidayatyllah Jakarta. 2017
3. Jurnal dan Lain-lain
Anggi, Mohammad. Pembatalan Perkawinan, www.blogsopt.com, diakses pada
tangggal 11 januari 2019
Nasution, Hotnidah. Pembatalan Perkawinan Poligami di Pengadilan Agama(
Tinjauan dari Hukum Positif.Jurnal Cita Hokum, Vol 1 No. 1 Juni 2013
Putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 376/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Undang- Undang Perkawinan No.1Tahun 1974
Peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Kompilasi Hukum Islam.
KUHP
LAMPIRAN