Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PEMALSUAN MEREK
(Kajian Hukum Positif dan Hukum Islam atas Putusan
Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
NUR RIZA SEPTIANI
111404500000044
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
iv
ABSTRAK
Nur Riza Septiani Nim 11140450000044. PERTANGGUNG
JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK
CARDINAL (Analisis Putusan Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst).
Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017M/
1438H.
Perlindungan terhadap merek sebelumnya telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis karena Undang-Undang sebelumnya dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dianggap masih terdapat
kekurangan. Pemalsuan merek dianggap salah satu perbuatan pidana
yang mana perbuatan tersebut merugikan orang lain dan pelaku yang
memalsukan merek tersebut harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut dengan memperhatikan beberapa unsur dari
pertanggungjawaban tersebut agar dapat dijatuhi pidana atau hukuman
atas perbuatannya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku
yang memalsukan merek pihak lain yang sudah terdaftar secara resmi
dalam kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif empiris dan
menggunakan pendekatan penelitian yaitu pendekatan kasus (approach
kasus), pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang
telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap
dalam hal ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst. Dan mengacu kepada perundang-undangan
yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
Hasil penelitian ini adalah seseorang akan dimintai
pertanggungjawaban apabila telah melakukan kesalahan yang dilarang
oleh aturan atau syara’ dan apabila telah memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana Hukum Islam tidak menjelaskan secara
rinci mengenai pemalsuan merek maka perbuatan tersebut dikenakan
hukuman ta’zir karena tidak termasuk dalam jarimah hudud dan dalam
hukum positif yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek
dan Indikasi Geografis dapat dikenakan hukuman pokok atau hukuman
tambahan .
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan, Merek
Pembimbing : Indra Rahmatullah,S.HI,M,H
Daftar Pustaka : Dari Tahun 1982 Sampai Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, Karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beriringan salam
penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK
CARDINAL (Analisis Putusan Nomor :
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst), disusun sebagai salah satu syarat
akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Djahar, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Dr.M.Nurul Irfan, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum
Pidana Islam dan Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris
Program Studi Hukum Pidana Islam, yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan dorongan kepada Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
vi
4. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H, sebagai dosen
pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu
memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif
pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan kepustakaan berupa buku dan literatur lainnya
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua
pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis selam masa
pendidikannya berlangsung.
7. Terimakasih kepada Ayahanda Abdul Muhit dan Umi
Salbiyah, yang tidak pernah lelah mendidik dan selalu
menjaga setiap harinya, terlebih dengan do’a dan selalu
memberikan penulis semangat yang tidak pernah putus hingga
selesainya skripsi ini.
8. Terimakasih untuk kakak Millah Maulidiyatul Hikmah dan
adik penulis Nadia Sevilla Azzahra yang terus menerus
menemani dan selalu memberikan semangat selama penulis
mengerjakan skripsi ini.
9. Rekan-rekan seperjuangan Hukum Pidana Islam angkatan
2014, yang telah menemani penulis selama proses belajar di
kelas maupun di luar kelas, terlebih untuk Agsel Siqitsa, Ijal
Syafawi, Imam Fahmi, Mujib, Khusnus , Fahri, Nopal, Encek,
Amin Hatuala, Adlan, Awang, serta Nabil, Fizkri, Defal dan
Elah yang selalu menemani di kampus.
10. Terimakasih juga untuk Mauriska, Harfina, Habibi, Abu Rizal
dan Fahmi Kurniawan yang telah memberikan semangat
kepada Penulis.
11. Terimakasih untuk Angga Tristhanaya Hadi, Bella Putri Dwi
Anggraeni, Zulisa Maulida, Rara Janah, Miftah dan Ocha yang
vii
selalu memberikan motivasi dan menemani penulis
mengerjakan skripsi ini hingga selesai.
12. Terimakasih untuk keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam
Jinayah Siyasah yang sudah mengijinkan saya berjuang dan
menikmati manisnya hasil dan paitnya proses, terlebih untuk
ka Fawwaz yang sudah membimbing penulis dalam berproses.
Semoga segala do’a, dukungan dan bantuan yang telah
diberikan menjadi lading pahala kelak di yaumul akhir, dan skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis pribadi serta kita semua, Amin Ya Robbal
Aalamin.
Jakarta, 23 Maret 2018 M
06 Rajab 1439 H
( NUR RIZA SEPTIANI)
viii
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………….........i
LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI.……………...…………..ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………..…………………...iii
ABSTRAK………………………………………..…………………...iv
KATA PENGANTAR……………………......……………………….v
DAFTAR ISI……......……………………………………………...…vi
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................8
D. Kajian Review Terdahulu ...................................................9
E. Metode Penelitian ..............................................................11
F. Sistematika Penulisan...…………………………………..13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG
JAWABAN PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana ..................................................14
B. Teori Pemidanaan ..............................................................18
C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana ..........................................25
D. Jenis-jenis Sanksi Pidana .................................................. 27
E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana ................31
F. Pertanggungjawaban Pidana ............................................. 35
BAB III MEREK SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Pengertian dan Sejarah Hak Merek .................................. 42
B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual ....................... 47
C. Merek Cardinal Sebagai Jenis Hak Kekayaan
Intelektual.......................................................................…52
ix
D. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum
Positif..................................................................................54
E. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum
Islam……......…….........................................................…57
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
JAKARTA PUSAT
A.Kronologi Perkara….......................................................... 69
` B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan Hakim .......................... 71
C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindah Pidana
Pemalsuan Merek ……..............................……………... 74
D. Analisis Putusan Hakim dalam Tinjauan Hukum Positif dan
Islam.................................................................................. 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 83
B. Saran ..................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….....................86
LAMPIRAN ………………………………………………………....92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Merek merupakan bagian paling penting dalam dunia
perdagangan diseluruh belahan dunia. Dengan merek, produk yang
dihasilkan oleh produsen kemudian dikenal oleh konsumen. Merek
merupakan tanda pengenal asal barang yang dihasilkan.1 Merek juga
merupakan salah satu bagian dari hak atas kekayaan intelektual
manusia yang sangat penting terutama dalam menjaga persaingan
yang sehat dalam perdagangan. Para pedagang menggunakan merek
untuk mempromosikan barang-barang dagangannya dan untuk
memperluas pemasaran. Bagi konsumen, merek diperlukan untuk
melakukan pilihan produk yang akan dibeli. Tidak dibayangkan
apabila suatu produk tidak memiliki merek, tentu produk yang
bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu,
suatu produk tersebut baik atau tidak, tentu akan memiliki merek.
Bahkan tidak mustahil merek yang sudah dikenal luas oleh konsumen
karena mutu dan harganya, akan selalu diikuti, ditiru, dibajak, dan
bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen yang melakukan
persaingan curang. Pemalsuan yang dimaksud adalah perbuatan
mengubah atau meniru dengan menggunakan tipu muslihat sehingga
menyerupai asli.2
Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat
dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa
produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk
menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek yang
ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk, seringkali setelah
barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek
mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembelinya. Benda
1 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Jakarta : Kencana, 2016), h., 312.
2 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h,. 112.
2
materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya
benda immateril yang tak dapat memberikan apa pun secara fisik.
Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan
immateril. Ada suatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak
merek itu, jadi bukan seperti apa yang terlihat atau yang terjelma
dalam setiap produk. Yang terlihat atau yang terjelma itu adalah,
perwujudan dari hak merek itu sendiri yang ditempelkan pada produk
barang atau jasa.3
Begitu pentingnya suatu merek atau label dari suatu produk
tersebut, maka tidak sedikit terjadi tindak kejahatan pemalsuan merek
atau label baik dilakukan oleh seorang atau kelompok orang tertentu.
Ini dipicu oleh keinginan dari pelaku tindak kejahatan untuk
mendapatkan keuntungan yang berlebihan dimana pelaku kejahatan
menggunakan nama merek atau label terkenal yang bisa mendongkrak
nilai jual dari produk-produk yang dihasilkannya. Para pelaku usaha
mempunya banyak kepentingan dalam melindungi merek ketika
bersaing dipasar global. Persaingan usaha semakin kuat para pelaku
usaha wajib melindungi mereknya melalui pendaftaran merek
sehingga mereknya mempunyai perlindungan hukum terhadap
pelanggaran merek yang dapat merugikan pelaku usaha.Oleh sebab
itu, kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin
berkembang dengan pesatnya orang-orang yang melakukan peniruan.
Berbicara mengenai tindak pidana pemalsuan merek salah
satu kasus yang terkait adalah pemalsuan merek yang dilakukan oleh
Afrizal kelahiran Padang 36 tahun, selaku pemilik atau penanggung
jawab di Toko X-Four di Pasar Regional Tanah Abang Lantai III
Blok F2 LOS Bks Nomor : 177 Jakarta Pusat, dengan sengaja dan
tanpa hak telah menggunakan merek Cardinal pada celana yang
diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada pokoknya
3 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h,.329.
3
dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen Jaya sebagai
pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor Direktorat Jendral
Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham RI. Bahwa
merek Cardinal adalah milik PT. Multi Garmen Jaya untuk
diperdagangkan, maka akibat dari perbuatan Afrizal tersebut PT.
Multi Garmen Jaya mengalami kerugian kurang lebih Rp.
1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah).
Perbuatan tersebut dianggap telah merugikan produsen aslinya
karena perbuatan tersebut menyimpang dari Undang-Undang Nomor
dalam 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 100
ayat (1) setiap orang yang tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Pasal 100 ayat (2) setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan
merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/ atau diperdagangkan, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), kemudian dalam
Pasal 100 ayat (3) setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2), yang sejenis
barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan
hidup dan/atau kematian manusia dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).4
4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
4
Merek merupakan bagian dari hak atas intelektual, mengenai hak
merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam
konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis pada bagian menimbang butir a, yang
berbunyi:
“Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan
konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia,
peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat
penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang
sehat,berkeadilan,perlindungan konsumen, serta perlindungan
Usaha Mikro,Kecil,dan Menengah (UMKM) dan industri
dalam negeri.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tidak menyebutkan
bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual.
Sebuah karya yang didasarkan kepada olah pikir manusia, yang
kemudian terjelma dalam bentuk benda immateril. Suatu hal yang
perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak merek dalam
kerangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak
atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak atas
kekayaan intelektual lainnya. Pada merek ada unsur-unsur ciptaan,
misalnya desain logo, atau desain huruf. Ada hak cipta dalam bidang
seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang
seni itu yang dilindungi, tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda
pembeda.5
Pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk
tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), karena pemalsuan sendiri akan mengakibatkan
kerugian kepada seseorang atau pihak lain yang berkepentingan. Hal
inilah yang membuat kejahatan pemalsuan diatur dan termasuk suatu
5 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013),
h,. 330.
5
tindak pidana. Dalam KUHP Bab XI mengenai Pemalsuan Materai
dan Merek dapat dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dalam
Pasal 254 ayat (1) memalsu merek atau tanda yang asli dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-
olah merek atau tanda itu asli dan tidak palsu.
Pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dalam Pasal 255
ayat (2) barang siapa dengan maksud yang sama membubuhi merek
pada barang tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara
melawan hukum. pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dalam
Pasal 256 ayat (1) barang siapa yang membubuhi merek lain dalam
pasal 254-255 menurut ketentuan undang-undang harus atau boleh
dibubuhi pada barang atau bungkusnya secara palsu pada barang atau
bungkus tersebut, seolah-olah mereknya asli dan tidak palsu dan
dalam Pasal 257 barang siapa dengan sengaja memakai, menjual,
menawarkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukan ke
Indonesia, materai tanda atau merek yang tidak asli, dipalsu atau
dibikin secara melawan hukum atau benda- benda dimana merek itu
dibubuhkannya secara melawan hukum tidak dipalsu dan tidak dibikin
secara melawan hukum ataupun tidak dibubuhkan secara melawan
hukum pada benda itu maka diancam pidana dengan yang ditentukan
Pasal 253-256 menurut perbedaaan yang ditentukan dalam pasal itu.6
Islam melarang keras perbuatan memalsukan merek karena
merek menjadi hak milik seseorang dan dianggap sebagai harta yang
harus dijaga. Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah,
sedangkan manusia hanya menjadi perantara untuk memanfaatkan
harta. Namun manusia harus menjaga harta tersebut begitu juga
dengan merek yang merupakan suatu kekayaan intelektual sehingga
merek tersebut dalam Islam juga dianggap sebagai kekayaan atau
harta yang harus dilindungi dan tidak boleh dicuri oleh siapapun.
Karena harta merupakan sesuatu yang menyenangkan manusia dan
6 Bab XI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai Pemalsuan Materai dan Merek
6
mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Menurut
jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga
termasuk manfaat dari suatu benda.7Sebutan harta kekayaan menurut
para ulama juga mencangkup kekayaan intelektual, kerena
mendatangkan banyak manfaat dan memiliki suatu nilai. Maka
merekpun dapat dikategorikan sebagai harta kekayaan, sesuatu yang
asalnya belum merupakan harta apabila kemudian hari tampak
manfaatnya, ia akan menjadi harta selama memberikan manfaat secara
umum.
Dalam kasus sebagai salah satu contohnya adalah
kejahatannya dengan cara pemalsuan/peniruan merek Cardinal pada
celana yang diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada
pokoknya dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen
Jaya sebagai pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan
Ham RI sehingga pemilik merek asli mengalami kerugian yang sangat
besar karena pelaku pemalsuan merek tersebut menjual dengan harga
yang cukup murah, dan barang yang dijual kualitasnya rendah
sehingga omset penjualan dari merek Cardinal yang asli menurun dan
juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas merek
tersebut. Kemudian pelaku mendapat barang dagangan berupa celana
formal merek Cardinal dari seseorang sales yang tidak dikenal dengan
menjual barang tersebut dengan harga yang murah kemudian
terdakwa menjualnya kembali dan terdakwa mengetahui bahwa
barang yang dijual merupakan hasil dari pelanggaran merek.8
Dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut Pasal
94 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yaitu
diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun
7Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat,(Jakarta : Kencana, 2013), h,.17.
8 Putusan Pengadilan Nomor :734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst
7
hakim tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum hakim
menjatuhkan hukuman pidana kurungan selama enam bulan dan
menetapkan hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa
sesuai dengan Pasal 14 huruf a KUHP , kecuali sebelum lewat masa
percobaan 1 (satu) tahun terdakwa melakukan tidak pidana.Penjatuhan
pidana kurungan tersebut yang diberikan hakim tidak sesuai dengan
Pasal yang terdapat dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001
tentang merek tersebut dengan pertimbangan bahwa perbuatan
tersebut berpotensi merugikan orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan analisis lebih mendalam mengenai tindak pidana pemalsuan
merek untuk diangkat sebagai sebuah skripsi dengan judul :
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PEMALSUAN MEREK CARDINAL (Analisis Putusan Nomor:
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang pemalsuan
merek, terlebih pemalsuan merek jasa atau barang, agar tidak
melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis
membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, penulis merasa
perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini hanya membahas mengenai kasus pemalsuan
merek dalam hukum positif dan hukum islam serta
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana bagi
pelaku pemalsuan merek tersebut.
b. Hukum pidana positif yang penulis dimaksud adalah pasal-
pasal yang terkait kasus tersebut yang ada didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
8
perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang
Merek.
2. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi beberapa sub
masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research
question), yaitu :
a. Bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pemalsuan merek?
b. Bagaimana pandangan hakim terhadap perkara tindak pidana
pemalsuan merek dalam putusan nomor :
734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah :
a. Untuk menjelaskan pandangan hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam mengenai pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan merek.
b. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap perkara
tindak pidana pemalsuan merek dalam putusan nomor :
734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan
dalam mengetahui pandangan hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pemalsuan
9
merek, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan
pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya.
Manfaat kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat kepada penegak hukum dalam penerapan
hukum tentang tindak pidana pemalsuan merek.
D. Review Kajian Terdahulu
Penulis telah menemukan beberapa judul penelitian yang
sebelumnya pernah ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang
akan diteliti saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah ada
sebelumnya penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara
judul, pokok permasalahan serta sudut pandang dengan skripsi yang
akan diteliti. Sehingga,tidak ada unsur-unsur kesamaan dalam
penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang telah ada
sebagai berikut:
No Nama Judul Penelitian Hasil
Penelitian
1. Trezal
Mohammad
Kajian Hukum Pidana
Islam atas Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Tentang Perkara
Pemalsuan Merek
Islam melarang
perbuatan pemalsuan
merek dan pelaku
2. Clara Fenty
Zahara
Persamaan Merek Cardinal
Dengan Cardinar ( Analisis
Putusan MA.Nomor 892
K/Pdt.Sus/2012 dalam
kasus PT.Multi Garmenjaya
penulis berpendapat
tampaknya undang-
undang merek yang
melandaskan prinsip
dasar penolakan
10
dengan PT.Gisha Cahaya
Mandiri).
hukum terhadap
permintaan
pendaftaran merek
didasarkan pada
adanya persamaan
pada pokoknya
adalah tidak tegas
atau tidak
memberikan
kepastian hukum
3. Dwi Cahyo
Nugroho
Kajian Hukum Pidana
Islam Terhadap Putusan
Hakim Tentang Pemalsuan
Akta Oleh Notaris (Analisis
Putusan Mahkamah Agung
Nomor:1568K/Pid/2008)
jika dilihat dari
hukum pidana Islam
terdakwa dapat
dikenakan hukuman
ta‟zir atas perbuatan
pemalsuan akta
otentik berupa
hukuman penjara dan
kurungan
Berdasarkan pemaparan penulis di atas yang terkait dengan
hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan
pemalsuan merek mengasumsikan bahwa perbuatan ini sangat
merugikan pihak yang terkait dan sangat dilarang di dalam hukum
positif dan hukum Islam. Karena didalam hukum Islam Al-Qur‟an dan
Hadits tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai pemalsuan merek
tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
ini lebih dalam.
11
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian
kualitatif dan kuantitatif.9 Penelitian kualitatif berati tidak
membutuhkan populasi dan sample, penelitian kuantitatif berarti
menggunakan populasi dan sample dalam mengumpulkan data. 10
Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif
empiris. Dengan objek penelitian peraturan perundang-undangan yang
dikaitkan dengan teori-teori hukum. demikian juga hukum dalam
pelaksanaannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek
penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Studi Dokumentasi / pustaka library research, dan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat alat ini dipergunakan untuk
melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat
buku-buku dan undang-undang yang terkait dengan pokok masalah
yang akan diteliti.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan
kasus (approach kasus). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
9 Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1999)
Cet.1, h,.56. 10
Zainudin Alli, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h,. 98.
12
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap.11
4. Sumber Data
Data Primer yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan
jawaban terhadap masalah penelitian.12
Data primer tersebut berupa
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:734/Pid.B/2003/PN
Jkt.Pst dan Undang -Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
tahun 2001 tentang Merek. Serta data sekunder yaitu berupa data
tambahan yang menjadi acuan terhadap masalah penelitian ini berupa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Al-qur‟an dan Hadits
serta buku-buku lain yang terkait dengan penelitian penulis.
5. Teknik Analisis
Adapun cara yang digunakan dalam menganalisa datanya
adalah analisis kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan
secermat mungkin tentang hal yang diteliti dengan jalan
mengumpulkan data-data atau informasi berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti. Dalam hal ini materi pokoknya adalah tindak
pidana pemalsuan merek ditinjau hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman
pidana terhadap pelaku tindak pidana.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Media Publishing, 2007), h,.57.
12 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h,.158.
13
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari
sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan
dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok
penulisan serta memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini secara sistematis sebagai berikut:
Bab I memuat pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian
dan sistematika pembahasan.
Bab II berisi tentang pengertian tindak pidana pemalsuan
merek, dasar hukum tindak pidana pemalsuan merek, teori
pemidanaan, unsur-unsur tindak pidana, macam-macam sanksi
pidana, hal-hal yang menghapuskan tindak pidana, dan pertanggung
jawaban pidana.
Bab III berisi tentang pengertian hak merek, merek sebagai
hak kekayaan intelektual, pemalsuan merek dalam hukum positif dan
hukum Islam.
Bab IV berisi tentang kronologi perkara, dakwaan, tuntutan
dan putusan hakim, pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait
pertanggungjawaban pidana tindak pidana pemalsuan merek, dan
pandangan hakim dalam putusan nomor 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst
dalam tinjauan hukum positif dan hukum Islam.
Bab V bab ini merupakan penutup, berisi kesimpulan yang
berisikan urutan jawaban akhir dari permasalahan yang ada dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana
Hukum pidana merupakan salah satu kaidah atau norma
hukum yang berisi perintah atau larangan dan mengandung ancaman
sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya, maka dapat dipahami
bahwa hukum pidana merupakan salah satu hukum yang berlaku
disuatu negara seperti halnya Indonesia yang mengatur tindakan yang
dilarang dengan disertai sanksi. Hukum pidana di Indonesia
menggunakan hukum tertulis, dimana tindak pidana harus memenuhi
aturan hukum yang telah ada yaitu peraturan perundang-undangan.
Seperti yang dituangkan dalam asas dasar hukum pidana yaitu asas
legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang dikenal dalam
bahasa latin sebagai “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lege Poenali”. Artinya “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat
dihukum kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya”.13
Hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang
dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut dilanggar. Perbuatan-
perbuatan yang dilarang tesebut dikenal dengan sebutan tindak pidana
atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan istilah pidana
(straaf). Pidana sendiri didefinisikan sebagai hukuman berupa derita
atau nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pelaku
tindak pidana.14
13
Novita Candra Buana ,”Pertanggungjawaban Pidana yangMenganjurkan Tindak Pidana Pemalsuan Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001: CalyPutra.Vol.4 No.2,
(2015), h.,5. 14
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT. RajaGrafindo persada,2002), h.,1.
15
Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma
perilaku (behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat
terdapat norma-norma perilaku yang lain seperti norma kesopanan,
norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh
hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-
norma perilaku lainnya adalah bahwa norma hukum dapat dipaksakan
berlakunya oleh negara. Norma-norma hukum tersebut dipaksakan
berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman
kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin
melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota
masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang. Untuk menegakan norma hukum tersebut, negara memiliki
aparatur khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum
(legal enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak
hukumnya dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.15
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan
dan pelanggaran.
1. Kejahatan adalah perbuatan yang tidak hanya bertentangan
dengan perundang-undangan tetapi juga bertentangan dengan
nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku
pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa
pemidanaan contohnya mencuri, membunuh, berzina,
pemalsuan,dll.
2. Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan
perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak
berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tindak
menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam
berkendaraan dan sebagaimana.
15
H.Muchammad Ichsan, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY,2008), h.,.3.
16
Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan
peninggalan zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama
Wetboek van Straafrecht. KUHP merupakan lex generalis bagi
pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum
terkuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di
luar KUHP (lex spesialis).
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang
dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada
peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang
abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum
pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat
ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Jadi,
berdasarkan pendapat di atas, pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana senantiasa merupakan suatu
perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan
sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan
sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang
yang melakukan atau orang menimbulkan kejadian tersebut.16
Sedangkan dalam Islam hukum pidana mempunyai pengertian
sendiri, dimana hukum pidana tersebut berisi ketentuan-ketentuan
tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman
sanksinya apabila perbuatan itu dilanggar. Jadi pada prinsipnya
hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan pidana.
Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat
didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana
16
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h.,62.
17
(jarimah) dan sanksi („uqubah).17
Jarimah menurut bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak
baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan,
kebenaran dan jalan yang sesuai dengan agama.
Perbuatan yang dilarang adakalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan
yang diperintahkan. Sedangkan suatu perbuatan baru dianggap
sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan
diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu
tidak ada larangannya dalam syara‟ maka perbuatan tersebut
hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah Qaidah ushul mengatakan :
ِِ اَألَطْلُ فِى اْألَشْيَاءِ اْإلِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْم
“ Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil
yang melarangnya ( memakruhkannya atau
mengharamkannya)” (Imam As Suyuti)
Jika pengelompokkan hukum-hukum Islam sebagaimana
dikemukakan diatas, bahwa hukum pidana itu termasuk bagian dari
hukum Islam (syari‟at Islam) yang dipelajari dalam ilmu fiqih (Fiqih
Jinayah). Jadi dengan demikian bisa dikatakan di sini bahwa hukum
pidana Islam itu adalah hukum Islam yang berkaitan dengan masalah
pidana, atau dengan kata lain hukum pidana Islam adalah hukum yang
berkaitan dengan tindak pidana dan sanksinya menurut syari‟at Islam.
Membicarakan tujuan hukum pidana Islam tidak dapat
dilepaskan dari membicarakan tujuan syari‟ah Islam secara umum,
karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam.
Syari‟at Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah
kepidanaan mempunyai tujuan umum, yaitu mendatangkan mashlahat
kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.
17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika : Jakarta,2004),h.,.9
18
Syari‟ah Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan
lima hal-hal mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima hal itu
adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek harta benda, dan
aspek keturunan. Lima hal ini merupakan perkara yang sangat penting
dalam pandangan Islam bagi umat manusia.18
B. Teori Pemidanaan
Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar
hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat
menentangnya. Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi
pada setiap tempat dan waktu. Dengan demikian, kejahatan bukan saja
masalah bagi suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang berskala
lokal maupun nasional, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi
oleh seluruh masyarakat di dunia pada masa lalu, sekarang dan pada
masa yang akan datang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan
sebagai a universal phenomenon.19
Penggunaan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan
dilakukan melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan huskum pidana
merupakan persoalan yang lazim dilakukan oleh banyak negara.
Namun, tidak berarti persoalan tersebut sebagai suatu hal yang dapat
dilakukan tanpa pertimbangan yang mendasar. Istilah pidana
merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukan sanksi dalam
hukum pidana.20
18
H.Muchammad Ichsan dan M.Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta : Lab Hukum FHUMY,2008) ,h.,.19. 19
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana,
(Semarang: Ananta, 1994), h,.2. 20
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks
Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h,. 23.
19
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dikelompokkan
dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien), teori tujuan atau teori relatif (preventie
theory), teori gabungan (vereningings theorien).
1. Teori Pembalasan (Teori Absolut / Retributif)
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana
mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana.21
Teori
absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan kesalahan atas
kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan
terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena
pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori
ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Sebagai
imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.22
Teori ini
menjelaskan setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh
tidak tanpa adanya tawar menawar. Artinya seseorang mendapat
pidana karena telah melakukan kejahatan. Maka pemberian pidana
disini ditunjukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang
telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenarannya terletak pada
adanya kejahatan itu sendiri.23
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak
tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena
melakukan kejahatan tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul
dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat
mungkin akan dirugikan atau tidak. Pembalasan sebagai alasan untuk
21
S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni
Petehaem, 1996),h.,58. 22
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h,.105. 23
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), h,. 23.
20
memidanakan suatu kejahatan, penjatuhan pidana pada dasarnya
penderitaan pada penjahat itu dibenarkan karena penjahat telah
membuat penderitaan bagi orang lain.24
Teori pembalasan di dalam hukum pidana Islam adalah qisash,
secara etimologi qisash berasal dari kata َّقََظًظا –يُقَضُّ –قَض yang
berarti ُتَتَبََّعه mengikuti, menelusuri jejak atau langkah. Adapun qisash
secara terminologi yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum)
kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku
tersebut kepada korban.25
Qisash juga diartikan dengan menjatuhkan
sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak
pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh
dibalas dengan anggota tubuh. Menurut istilah syara‟, qisash adalah
,yang artinya memberikan balasan kepada pelaku ُمَجاَزاةُالَجانِى بِِمْثِل فِْعلِهsesuai dengan perbuatannya.
26 Jadi, didalam hukum Islam pada
hukuman qisash menerapkan teori pembalasan juga.
Ciri pokok atau karakteristik teori absolut/retributif, yaitu27
:
a. Tujuan pidana adalah tujuan utama untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
d. Pidana disesuaikan dengan dengan kesalahan pelaku pidana;
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang
murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.
24
Dwidja Priyanto, Asas Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h., 90. 25
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 4. 26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), h,. 149. 27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,( Jakarta : PT Raja Grafindo,2010), h.,
162.
21
2. Teori Tujuan ( Teori Relatif/Preventie theory)
Teori relatif dapat disebut juga dengan teori utilitarian. Secara
umum teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari pidana bukanlah
sekedar pembalasan, akan tetapi mewujudkan ketertiban pada
masyarakat. Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan atas kesalahan si pelaku tetapi sebagai
sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan
pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat akibat dari kejahatan itu.
Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu tujuan
hukuman adalah untuk (prevensi) kejahatan. Jadi, dasar pembenaran
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan
supaya orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan pidana pada teori
relatif ini adalah untuk mencegah agar ketertiban di masyarakat tetap
kondusif dan tidak terganggu.28
Menurut Leonard teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah
dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk
mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau
cenderung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib
masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat itu
diperlukan pidana. Pidana bukanlah hanya sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi
hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
28
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h,. 107.
22
Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan dan supaya orang jangan melakukan
kejahatan maka teori ini disebut teori tujuan/utilitarian theory.
Dalam hukum pidana dilihat aspek tujuannya, teori
pemidanaan relatif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) Prevensi Umum (generale preventie)
2) Prevensi Khusus (speciale preventie)
Ernst Utrech mengemukakan bahwa prevensi umum
mempunyai tujuan untuk menghindari orang melakukan pelanggaran
(tindak pidana) sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan
menghindarkan supaya pelaku tindak pidana tidak melanggar (tindak
pidana). Perbedaan prevensi umum dan prevensi khusus adalah
prevensi umum lebih menekankan bahwa tujuan dari pidana adalah
mempertahankan ketertiban pada masyarakat lainnya tidak akan
melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus lebih
menekankan bahwa tujuan dari pidana itu dimaksudkan agar pelaku
pidana tidak mengulangi perbuatannya kembali. Dalam konteks ini,
pidana difungsikan sebagai alat atau sarana untuk mendidik dan
memperbaiki pelaku pidana supaya menjadi masyarakat yang baik.
Didalam hukum pidana Islam juga terdapat teori tujuan atau
teori relatif yaitu dalam sanksi ta‟zir, ta‟zir merupakan bentuk masdar
dari kata يُْعِزرُ –َعَزَر yang secara etimologis berarti ُدُّ َواالَمْنع yaitu الرَّmenolak atau mencegah.
29 Tujuan dan syarat sanksi ta‟zir diantaranya
sebagai berikut :
a. Preventif (pencegahan) yang ditujukan kepada orang lain
yang belum melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.
b. Represif (membuat pelaku jera) yang dimaksudkan agar
pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian
hari.
29
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 136.
23
c. Kuratif (islāh) ta‟zir mampu membawa perbaikan perilaku
terpidana dikemudian hari.
d. Edukatif (pendidikan), ta‟zir diharapkan dapat mengubah
pola hidupnya ke arah yang lebih baik.
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif/ utilitarian,yaitu:30
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa)
yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat
untuk pencegahan kejahatan;
3. Teori Gabungan/Integratif (verenigings theorien)
Teori gabungan memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif
(tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori
gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan
itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori
gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif, gabungan
kedua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi penjahat.31
30
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana,(Bandung : Alumni,1992),
h., 12. 31
Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidanaa (kajian kebijakan kriminalisasi),
(Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h., 163.
24
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,
yaitu;
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, akan tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat;
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan
yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana.
c. Teori gabungan yang menganggap harus ada keseimbangan
antara kedua hal diatas.
Dengan demikian, pidana juga merupakan perlindungan
terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar
hukum. pidana juga mengandung hal-hal lain yaitu pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah
suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima
kembali dalam masyarakat.32
Melihat dari tujuan pemidanaan tersebut bahwa tujuan
pemidanaan sangat penting karena hakim harus merenungkan dalam
aspek pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut
dengan memperhatikan bukan hanya rasa keadilan dalam masyarakat,
melainkan harus mempu menganalisis hubungan timbal balik antara
pelaku dan korban.33
32
Muladi dan Barda Nawawi,Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana ,(Bandung : Alumni,1992),
h., 14. 33
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h,. 45.
25
C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana,
maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan
beberapa unsur-unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari
larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan
lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
dilanggar.
Simon menyebutkan dalam bukunya Ismu Gunadi dan Jonaedi
Efendi bahwa adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak
pidana (strafbaar feit). Unsur objektif diantaranya perbuatan orang,
akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu.34
Sedangkan unsur subjektif yaitu orang
yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (dollus atau
culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini
dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Ketika seorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu harus
terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses
peradilan. Dalam praktik peradilan, yang pertama kali dilakukan
hakim ketika memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya
adalah orang yang dihadapkan kepadanya memang terbukti
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.
34
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana,( Jakarta: Kencana, 2015), h,. 39.
26
Setelah hal itu terbukti, hakim kemudian membuktikan ada tidaknya
kesalahan pada diri orang itu.35
Berdasarkan uraian di atas bahwa unsur-unsur perbuatan
pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perbuatan
yang dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu,
unsur-unsur perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Simons yang
mengikuti pandangan Moeljanto dan Roeslan Saleh dalam bukunya
Mahrus Ali mengenai perbuatan pidana sehingga unsur-unsurnya pun
harus konsisten dengan pandangan kedua ahli hukum pidana itu.
Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa
hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif
maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan
yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul
tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya
yang formil maupun materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan
tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang
oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal
yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum
pidana yang ada dalam undang-undang.36
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek
kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. al-rukn al-syar‟i atau unsur formil, bahwa seseorang dapat
dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku
tindak pidana.37
35
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.110. 36
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,(Malang: Press,2008), h,.117.
37 M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah,2015), h,. 2.
27
2. al-rukn al-madi atau unsur materil, bahwa seseorang dapat
dijatuhi pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah
jarimah.
3. al-rukn al-adabi atau unsur moril, bahwa seseorang dapat
dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau
sedang berada di bawah ancaman.
D. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang
keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan
sanksi tindakan. Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar,
landasan filosofis yang melatarbelakanginya dan tujuannya. Sanksi
pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di
dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan
bersalah melakukan perbuatan pidana.38
Hukum itu mengerikan karena adanya hukuman, hukum itu
menakutkan karena orang yang melakukan suatu perbuatan yang
dianggap suatu tindak pidana akan dincam dengan hukum. Hukuman
adalah ancaman yang bersifat penderitaan karena hukuman itu
dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi hukum
pidana.39
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-
jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP,
kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang.40
Jenis-jenisnya
dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
terdari dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda.Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan
38 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h,. 78.
39 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2015), h,. 65.
40 Pasal 103 KUHP
28
hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok
dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.41
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Pidana mati adalah satu-satunya bentuk hukuman yang
menjadi diskursus masyarakat. Sebab hukuman mati merampas
kehidupan seseorang, padahal hak hidup adalah salah satu hak yang
dijamin oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pidana mati
dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah
memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang
sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk
menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu
dengan hukuman mati.42
b. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang,
yaitu dengan menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga
pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar
masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta
menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman
penjara minimun 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat(2))
KUHP, dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang
ditentukan dalam Pasal 12 (3) KUHP.
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan hakikatnya lebih ringan dari pada pidana
penjara dalam hal penentuan masa hukuman kepada seseorang. Hal ini
sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana pidana
kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana
penjara. Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang
41
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.195. 42
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h,. 23.
29
urutannya lebih tinggi memiliki hukuman yang lebih berat
dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di bawahnya.
d. Pidana Denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran
terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan
culpa,pidana denda sering dijadikan sebagai alternatif dari pidana
kurungan. Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang
telah diputuskan maka konsekuensi yang harus diterimanya adalah ia
harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat
(2) KUHP sebagai pengganti dari pidana denda).
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu, meliputi pencabutan hak-hak
kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak
ketenagakerjaan.
b. Perampasan barang-barang tertentu, berupa barang-barang
yang didapat dari hasil kejahatan dan barang-barang yang
dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
c. Pengumuman Putusan Hakim, di dalam Pasal 43 KUHP
ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini aturan
umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
Dalam hukum pidana Islam terdapat jarimah atau tindah
pidana yang terdapat uqubah atau hukuman bagi pelaku tindak pidana.
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman dilihat dari
pertalian antara satu hukuman dengan hukuman lainnya adalah
sebagai berikut :
30
1. Hukuman Pokok („Uqubah Ashliyah),yaitu hukuman yang
ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman
yang asli, seperti jarimah qisash untuk pembunuhan, atau
hukuman potong tangan untuk pencurian.
2. Hukuman Pengganti(„Uqubah Badaliyah),yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak
dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti diyat sebagai
pengganti hukuman qisash.
3. Hukuman Tambahan („Uqubah Taba‟iyah),yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri
seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan
pembunuhan terhadap keluarganya.
4. Hukuman Pelengkap („Uqubah Takmiliyah),yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri
dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya
dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan
pencuri yang telah dipotongnya ke leher.
Kemudian penggolongan hukuman ditinjau dari tempat dilakukannya
hukuman, yaitu :
a. Hukuman badan, yaitu dijatuhkan atas badan seperti hukuman
mati,dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang bukan
badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu dikenakan terhadap harta seseorang seperti
diyat, denda dan perampasan harta.
31
E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana
1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana
Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-
undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan
dalam bukunya Eva Achjani Zulfa bahwa sifat umum tersebut
membuka kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya
pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan bahwa
dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah. Para
pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan
tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk
meniadakan pemidanaan bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau
keadaan tertentu ini untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang.
kondisi-kondisi atau keadaan tertentu ini merupakan suatu kondisi
atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan
sebagai tindak pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri
seseorang pelaku tindak pidana.43
Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama
ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan
pelaku yang telah memenuhi rumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi
tidak dipidana. Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah
memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam
peraturan hukum pidana. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang dapat
menyebabkan pelaku tindak pidana atau dikecualikan dari penjatuhan
sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan
penghapusan pidana ini, adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi
43
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h,. 45.
32
rumusan delik untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan
yang diberikan undang-undang kepada hakim.44
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan
penghapusan pidana, akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian
yang jelas tentang makna alasan penghapusan pidana tersebut.
Menurut doktrin alasan penghapusan pidana dapat dibagi menjadi dua
yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Mengenai dasar penghapusan pidana, KUHP merumuskan
beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana,
sebagai berikut:
a. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab.
b. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa.
c. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.
d. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-
undang.
e. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.
Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan
pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain mengakibatkan
kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak
pidana terdapat alasan penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini
pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat
dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat
tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-
hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat
diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat
berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu.45
44
M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h,. 27. 45
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana, 2006), h,.118.
33
2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang
menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal
dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau
dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari
pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya
alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang
sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf
berdampak pada pemaafan perbuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum.46
Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si
pelaku tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar
yaitu alasan pemaaf (schuiduitsluitingsgronden) yang bersifat
subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap
batin sebelum atau pada saat akan berbuat, kemudian alasan pembenar
(rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat pada
perbuatannya atau hal-hal yang diluar batin si pelaku.47
Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan
penghapus kesalahan atau pemaaf antara lain, daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (nooodweer
ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang
didasari oleh i‟tikad baik.
Pertama, daya paksa (overmacht). Dalam KUHP daya paksa
diatur di dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak pidana.
Secara teoretis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta
dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada
umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh
46
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.181. 47
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas,(Jakarta: PT Raja Grafindo,
2009), h,. 18.
34
orang lain, sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang
kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang
layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan memaksa
tersebut akan mengadakan perlawanan dalam vis compulsiva yang
terjadi adalah paksaan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa
secara mutlak, tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.48
Kategori daya paksa sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa
psikis atau vis compulsiva terbagi menjadi dua yaitu daya paksa dalam
arti sempit (overmacht in enge zin) dan keadaan darurat
(noodtoestand). Pengertian daya paksa dalam arti sempit adalah
sumber datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang
dipaksa, sehingga orang tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kemauan orang yang memaksanya itu. Sedangkan dalam
keadaan darurat orang yang terkena daya paksa itu sebenarnya masih
memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan
dilakukan.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses)
diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan
seperlunya itu haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu
kegoncangan jiwa yang demikian hebat, yang bukan semata-mata
disebabkan karena adanya perasaan takut atau ketidaktahuan tentang
apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan oleh hal-
hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan. Dengan demikian,
pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana
yang dilakukan sebagai pembelaan pada seseorang mengalami suatu
serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari
ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot
serangan atau ancaman serangan itu sendiri.49
48
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h,.182. 49
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1984), h,.475.
35
Noodweer ekses diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang
menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.Pasal ini
menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses perbuatan seseorang
hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang
serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang
disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan
hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh
kegoncangan jiwa yang hebat. Hal demikian inilah yang
menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf.
F. Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian perbuatan pidana sebagaimana yang telah
dipaparkan pada sub bab sebelumnya bahwa istilah tersebut tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjukan
kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi
pidana, sebagaimana telah diancamkan? ini tergantung dari persoalan
apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan?
Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Menurut Moeljatno, orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia
tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan
perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.50
Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara
beragam, kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana
karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain
50
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 153.
36
jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.51
Orang dapat
dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya,
yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat
padahal maupun mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut,
dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
Pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah
merupakan kelanjutan dari hukum perbuatan pidana. Jika orang telah
melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab
masih harus masih dilihat apakah orang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Jika ternyata tidak dapat
dibuktikan kesalahannya, maka berlakulah asas Gen Straf Zonder
Schuld yang artinya tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dengan
demikian bahwa untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus
memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan).52
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat
dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat padahal mampu mengetahui makna jelek perbuatan
tersebut, dan karena itu harus menghindari untuk melakukan
perbuatan demikian. Jika begitu, tentunya perbuatan tersebut memang
sengaja dilakukan dan celaannya berupa kenapa melakukan perbuatan
yang dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat.53
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut
sebagai “toereken baarheid” atau “criminal responsibilty”,criminal
liability. Telah diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana
51
Ruslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994),
h,.77. 52
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap pasal 44 KUHP),”dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,198), h,. 78. 53
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 157.
37
dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau
terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)
yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan
dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus nyata bahwa
tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa
mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
Artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari tindakan
yang dilakukan tersebut.
Seseorang dimintai pertanggungjawaban karena adanya
kesalahan, dalam pengertian kesalahan yaitu keadaan batin si pembuat
(kemampuan bertanggung-jawab) hubungan batin si pembuat dengan
perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan dan
tidak adanya alasan penghapusan kesalahan (alasan pemaaf).
Sebagaimana telah disinggung, bahwa prinsip pertanggungjawaban
pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang secara
tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Salah satu
syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana
adanya kemampuan bertanggungjawab. Artinya manakala orang itu
dianggap mampu bertanggungjawab.54
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Simon dalam buku Muladi bahwa
pertanggungjawaban adalah strafbaar feit atau suatu perbuatan yang
oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Oleh karena itu, strafbaar feit atau criminal act berpendapat,
bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut
pembuat delik yang meliputi :
54
Tongkat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,(Malang: UMM Press, 2012), h,. 202.
38
1. Kemampuan bertanggung jawab;
2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;
3. Tidak ada alasan pemaaf; 55
Sementara itu, menurut Sutrisna dalam bukunya Zainal Abidin
Farid bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus
ada dua unsur yaitu :
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang
baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum.
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.56
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
petindak jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi
unsur-unsurnya yang telah ditentukan didalam undang-undang. Dilihat
dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-tindakan
tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak
ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya
seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung
jawab pidanakan. Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara
umum tersimpulkan dalam BAB III buku ke-I dan terdapat pula secara
tersebar dalam pasal-pasal Undang-undang.57
Seseorang mampu bertanggungjawab apabila:
a. Keadaan jiwa
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot dll)
55
Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Kencana, 2010), h,.65. 56
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h,.266. 57
S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni Petehaem, 1996),
h,. 244.
39
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah, melindur
dalam perkataan lain dia dalam keadaan standar.
b. Kemampuan jiwa
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut apakah
akan dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang
tersebut mengetahui maksud dan akibat perbuatannya itu.58
Hukum
Islam sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan
berkembang, dalam masyarakat memberikan pengertian tentang
pertanggung-jawaban pidana, dimana seseorang dikatakan mampu
bertanggungjawab :
a. Adanya perbuatan yang dilarang.
b. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, artinya ada
pilihan dari pelaku untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan
perbuatan tersebut.
c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan.59
Berdasarkan uraian tersebut sekilas bahwa tidak ada perbedaan
jauh antara konsep hukum pidana di Indonesia dengan konsep hukum
Islam mengenai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban
pidana dalam Islam (syari‟at) adalah pembebanan seseorang dengan
akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya
(Unsur Objektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut
58
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta:PT Bulan Bintang, 1967),h,.121. 59
A.Dzajuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam,(Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1967), h,. 165.
40
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subjektif).60
Pembebanan tersebut dikenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah
telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam
arti perbuatan yang dilarang secara syar‟i, baik dilarang melakukan
atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan
itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang
timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang
lain secara paksa (dipaksakan).
Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka
pertanggungjawaban itu ada pada seseorang yang melakukan
perbuatan pidana (kejahatan). Jika sebaliknya maka tidak ada
perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak
yang belum mencapai umur baligh atau orang yang dipaksakan untuk
melakukan perbuatan kejahatan yang mengakibatkan terancam
jiwanya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf.
Hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang
semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah baligh.
Seperti dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang
dipaksa.
“106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia
beriman (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang
60
Ahmad Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967), h,. 154.
41
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar.”
Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala
perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan terlarang (criminal
conduct) yang mencangkup unsur-unsur dari kejahatan tersebut.
Tanpa unsur tersebut pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan
karena pertanggungjawaban mensyaratkan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam,
bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya
seseorang tidak mempertanggungjawabankan selain apa yang telah
dilakukannya. Oleh kar