Upload
vuongtram
View
277
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN ILMU RASM USMANI
MUSHAF STANDAR INDONESIA DAN MUSHAF MADINAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Miga Mutiara
NIM: 11140340000086
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Miga Mutiara, 11140340000086
“Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah.”
Penulisan rasm dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,
keduanya menggunakan rasm usmani. Meski demikian, dalam penulisannya,
terdapat perbedaan. Sehingga, tulisan ini hendak mengkaji kedua mushaf tersebut
yang berfokus pada Qs. al-Baqarah dan mengacu pada dua mazhab rasm, yakni
Abū ‘Amar al-Dānī dan Abū Dāwūd Sulaimān bin Najāh.
Penelitian ini ingin menjawab “Bagaimana perbedaan antara rasm usmani
pada Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah?” dan “Apa saja faktor
penyebab perbedaan antara rasm pada Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah?”
Penelitian ini menggunkan penelitian kualitatif. Langkah pertama yang
penulis lakukan yaitu penelitian kepustakaan (library research). Serta penulis juga
menggunakan internet research, untuk mencari bahan-bahan yang sulit
didapatkan. Adapun metode yang penulis gunakan yaitu metode dokumentasi.
Dokumentasi dalam penelitian ini dengan mencakup sumber-sumber tertulis
mengenai sejarah Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.
Kemudian dokumen yang telah didapatkan dianalisis, dibandingkan, dan
dipadukan (sintesis) membentuk hasil kajian yang sistematis dan utuh.
Kesimpulan dari penlitian ini, dibagi menjadi tiga kategori; Pertama,
persamaan rasm dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū Dāwūd terdapat
106 kata. Kedua, perbedaan rasm dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū
Dāwūd terdapat 134 kata. Ketiga, rasm mushaf yang tidak mengacu pada
keduanya namun pada imam lainnya, yakni 3 kata dan ketiganya mengacu pada
riwayat al-Balansī. Adapun faktor penyebab perbedaan pada Mushaf Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah, disebabkan perbedaan periwayatan ulama rasm
pada masing-masing mushaf, yakni Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd
Sulaimān. Keduanya memiliki perbedaan dalam menetapkan huruf (iṡbat), dan
membuang huruf (ḥażf). Dimana Abū ‘Amr al-Dānī yang cenderung
menggunakan kaidah penetapan huruf alif (iṡbat alif), sedangkan Abū Dawūd
lebih cenderung menggunakan membuang huruf alif (ḥażf alif).
Kata kunci: Rasm Usmani, Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Madinah.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang tiada henti memberikan
beribu anugerah dan rahmat-Nya. Serta rasa syukur atas segala nikmat-Nya
berupa kesehatan jasmani dan rohani, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir S1 ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, yang telah membimbing dan mendoakan umatnya tanpa lelah
dalam setiap langkah perjuangannya, semoga kelak di akhirat kita bisa berkumpul
dan berjumpa dengannya. Semoga untaian doa tetap tercurahkan kepada keluarga,
sahabat serta seluruh pengikutnya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis sebagai
tanda terimakasih penulis, yakni ayahanda Nurhaslison, dan Ibunda Irma Suryani
yang tidak pernah henti-hentinya memberikan dukungan, motivasi, kasih sayang
dan doa dalam sujud mereka. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan
kasih sayang-Nya kepada mereka. Tentunya selesainya skripsi ini tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak yang senantiasa membimbing dan mendoakan penulis.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Mansri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
beserta seluruh staf dekanat.
vi
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku sekertarisnya, beserta seluruh
civitas akademik fakultas.
4. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA selaku Dosen Pembimbing
Skripsi, Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA dan Bapak Dr. Eva Nugraha, M.
Ag selaku Dosen Penguji Proposal, dan Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku
Dosen Pembimbing Akademik, yang telah yang telah banyak memberikan
bimbingan arahan, kritikan, serta pelajaran kepada penulis.
5. Bapak Dr. Zainal Arifin Madzkur, SQ, MA beliau salah satu staf Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementrerian
Agama, yang telah memberi banyak arahan dan rujukan dalam skripsi penulis.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah menghantarkan kami menuju samudera ilmu pengetahuan.
7. Seluruh teman-teman terkhusus untuk al-Fatih al-Mahbub, yang saat ini sama-
sama berada ditanah perantauan, mereka merupakan keluarga, tempat berbagi
kisah dan berkeluh kesah bagi penulis.
8. Keluarga besar Pandorasquad menjadi wadah bagi penulis untuk menyalurkan
bakat dan hobi penulis.
9. Seluruh angkatan IAT 2014, teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata),
Keluarga besar KSE yang telah memberikan warna baru dalam kehidupan
penulis.
Akhirnya, penulis hanya bisa berterimakasih dan berdoa semoga amal ibadah,
dukungan, bimbingan, dan segenap perhatian serta motivasinya, senantiasa
vii
dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang Ia ridhoi dan sesuai dengan
harapan masing-masing.
Jakarta, 18 Desember 2018
Miga Mutiara
viii
PEDOMAN TRASLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku “Pedoman Akademik Program Standar 1 2017-2018 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.”
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
1. Padanan Aksara
Nama Arab Latin Keterangan
Alif ا - Tidak dilambangkan
Ba’ ب b Be
Ta’ ت t Te
Tsa’ ث ṡa Te dengan titik di atas dan a
Jim ج j Je
Ḥa’ ح ḥ Ha dengan titik di bawah
Kha’ خ kh Ka dan Ha
Dal د d De
Dzal ذ ż De dan zet
Ra’ ر r Er
Zai ز z Zet
Sin س s Es
Syin ش sy Es dan Ye
Ṣad ص ṣ Es dengan titik di bawah
ix
Ḍad ض ḍ De dengan titik di bawah
Ṭa ط ṭ Te dengan titik di bawah
Ẓa ظ ẓ Zet dengan titik di bawah
‘Ain ع ‘ Koma terbalik
Ghain غ gh Ge dan ha
Fa ف f Fa
Qaf ق q Qi
Kaf ك k Ka
Lam ل l El
Mim م m Em
Nun ن n En
Wau و w We
Ha’ ه h Ha
Hamzah ء ’ Apstrof
Ya’ ي y Ye
2. Vokal
Vokal dalam Bahasa Arab, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, dan
vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunngal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
x
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥaḥ ا
I Kasraḥ ا
U Ḍammaḥ ا
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ى ي
au i dan u ى و
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang lambangnya berupa
harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ى atau ا Ā A dengan garis di atas
ي Ī I dengan garis di atas
و Ū U dengan garis di atas
4. Kata Sandang
Kata sanadang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif
lam ma’rifah). Dalam pedoman translterasi ini, kata sandang ditansliterasikan
seperti biasa, al-, baik ketika a diikuti oleh huurf syamsiah maupun huruf
qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dhbungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:
xi
No. Kata Alih Aksara
al-Syamsu bukan as-syamsu الشمس .1
زلةالزل .2 al-Zalzalah bukan az-zalzalah
al-Bilād البلد .3
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:
Kata Alih Aksara
بن ا Rabbanā ر
و د Aduwwun‘ ع
ن ا Najjinā ن ج
Jika huruf ى ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (ى ), maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (ī). Contoh:
Alī (bukan ‘Alyy atau ‘Aly)‘ : علي
Arabī (bukan ‘Arabyy atau ‘Araby)‘ : عربي
6. Ta marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup
atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbūṭah itu transliterasinya dengan [h]. Contoh:
xii
No. Kata Arab Alih Aksara
ṭarīqah ط ر يق ة .1
ةاإلسالمية .2 ع ام al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah الج
ود .3 ج الو ة Waḥdat al-Wujūd وحد
7. Huruf Kapital
Walau sitem tulisan Arab tidak mengenal hurf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasakan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, dgunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Nila nama diri
didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awak nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak
pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul
referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:
Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi allażī bi Bakkata mubārakan
Wa mā Muḥammadan illā rasūl
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Al-Gazālī
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata keerja (fi‘l), kata benda (isim), maupun huruf (hurf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat
dalam Bahasa Arab;
xiii
Kata Arab Alih Aksara
األ ست اذ ه ب żahaba al-ustāżu ذ
صر ية الع ة ك ر al-ḥarakatu al-‘aṣriyyatu الح
هللاأ شه د إ ال إ ل ه أ نال asyhadu an lā ilāha illa Allāah
ك مهللا ث ر Yu’aṡirukum Allāh ي ؤ
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ........................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian...................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian.................................................................................... 10
E. Kajian Pustaka.......................................................................................... 11
F. Metodologi Penelitian .............................................................................. 16
G. Sistematika Penulisan............................................................................... 18
BAB II SEJARAH MUSHAF AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGAN RASM
‘UṠMĀNI .................................................................................................. 21
A. Sejarah Mushaf al-Qur’an......................................................................... 21
1. Periode Nabi Muḥammad Saw............................................................ 22
2. Periode Abu Bakar al-Ṣiddīq .............................................................. 23
3. Periode ‘Uṡmān bin ‘Affān ................................................................. 26
B. Perkembangan Rasm ‘Uṡmāni .................................................................. 31
1. Defenisi Rasm ‘Uṡmāni ...................................................................... 31
2. Sejarah dan Perkembangannya............................................................ 32
3. Macam-macam Rasm dalam Penulisan al-Qur’an ............................... 38
4. Kaidah-kaidah Rasm ‘Uṡmāni ............................................................ 40
5. Pola dan Kedudukan Menulis al-Qur’an dalam Rasm ‘Uṡmāni ........... 48
xv
BAB III KAJIAN MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA DAN MUSHAF
MADINAH................................................................................................ 52
A. Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia......................................................... 52
1. Defenisi Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia ...................................... 53
2. Latar Belakang Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia ........... 55
3. Lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia ........ 57
4. Ciri-ciri Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia....................... 63
5. Landasan Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia .................... 70
B. Mushaf Madinah ...................................................................................... 72
1. Defenisi Mushaf Madinah.................................................................... 72
2. Latar Belakang Penulisan Mushaf Madinah ......................................... 72
3. Lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Madinah........................ 74
4. Ciri-ciri Mushaf Madinah .................................................................... 75
5. Landasan Penulisan Mushaf Madinah .................................................. 79
BAB IV PERBANDINGAN MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA DAN
MUSHAF MADINAH DALAM PENGGUNAAN RASM...................... 81
A. Persamaan Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah ....................................................................................... 83
B. Perbedaan Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah ......................................................................................... 96
C. Faktor Penyebab Perbedaan Rasm Usmani Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah ................................................................ 108
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 110
A. Kesimpulan .............................................................................................. 110
B. Saran ........................................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 118
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perkembangan Tulisan al-Qur’an pada Masa Nabi hingga Masa Uṡmān bin
‘Affān......................................................................................................... 29
Tabel 2.2 Pembuangan Huruf ..................................................................................... 42
Tabel 2.3 Penambahan Huruf...................................................................................... 44
Tabel 2.4 Penulisan Hamzah....................................................................................... 45
Tabel 2.5 Penggantian Huruf ...................................................................................... 46
Tabel 2.6 Penyambungan Kata.................................................................................... 46
Tabel 2.7 Pemisahan Kata........................................................................................... 47
Tabel 2.8 Menulis Salah Satu Qira’at yang Memiliki Bacaan Lebih dari Satu ............. 48
Tabel 3.1 Beberapa Penulisan Rasm dalam MSI ......................................................... 65
Tabel4.1 Persamaan Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah......................................................................................... 83
Tabel 4.2 Perbedaan Rasm Usmani dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah .................................................................................................... 96
Tabel 4.3 Rasm yang tidak mengacu pada selain al-Syaikhāni .................................... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Ketika al-Qur’an diturunkan, kondisi
masyarakat pada umumnya belum pandai membaca dan menulis. Kemampuan
baca dan tulis di kalangan masyarakat Arab, khususnya pada awal masa Islam,
sangat rendah. Sehingga ada riwayat yang menyebutkan bahwa jumlah
masyarakat yang pandai menulis pada saat itu tidak lebih dari belasan orang. Hal
ini karena jarangnya alat tulis dan ketidakmampuan menulis yang menyebabkan
mereka lebih mengandalkan pada hafalan. 1
Atas dasar itulah, kecerdasan seseorang dikalangan masyarakat Arab pada
saat itu, dibuktikan dengan kekuatan hafalannya. Sebagaimana perkataan seorang
penyair, Zurrummah kepada seseorang yang melihatnya sedang menulis agar
tidak memberitahukannya kepada orang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya
kemampuan menulis di kalangan kami adalah sebuah aib.”2 Mereka disebut
“ummi” karena tidak dapat membaca dan menulis. Mereka juga dikenal sebagai
bangsa yang memiliki daya hafalan yang kuat serta mampu menghafal ratusan
1M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), h. 20. 2M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 72.
2
ribu syair, mengetahui hitungan dengan baik, dan hafal jalur pertalian nasab di
luar kepala.3
Hal senada juga dilakukan oleh para sahabat. Sebagian mereka belajar al-
Qur’an dari Nabi, berdasarkan hafalan dan tulisan. Walaupun kuatnya hafalan
para sahabat dan masyarakat saat itu, tidak berarti membuat Rasulullah Saw lupa
akan pentingnya baca-tulis. Hal ini terbukti pada saat turunnya wahyu. Beliau
secara rutin memanggil para penulis wahyu tersebut. “... Zaid bin Ṡābit
menceritakan, bahwa ia sering kali dipanggil diberi tugas penulisan wahyu
turun....”4
Berdasarkan dari kebiasaan Rasulullah Saw, dapat dikatakan bahwa pada
masa itu penulisan al-Qur’an sudah tersedia ke dalam bentuk tulisan, meskipun
masih tercecer dalam berbagai bentuk seperti di kulit binatang, pelepah kurma,
kepingan-kepingan tulang, kayu yang diletakkan dipunggung unta dan bebatuan.5
Namun, pada masa Nabi belum ada upaya untuk melakukan kodifikasi al-Qur’an.
Selain karena wahyu masih turun, juga belum adanya kebutuhan yang mendesak
untuk melakukan upaya tersebut.6
Sepeninggal Rasulullah Saw, Abū Bakar diangkat menjadi khalifah
menggantikannya. Pada masa ini terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-
orang murtad, seperti Musailamah al-Każżāb, memproklamasikan dirinya sebagai
3Enang Sudrajat, “Pentashihan Mushaf al-Qur’an di Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 6, no.
1 (2013): h. 60. 4M. Mustofa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, jilid 1.
Penerjemah Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 73. 5Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah: Kajian Atas Ilmu
Rasm,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2017),
h. 2. 6M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 28.
3
seorang Nabi baru.7 Saat itu, Abū Bakar mengambil inisiatif untuk melawan
pergolakan dengan mengirim pasukan ke beberapa suku yang menentang agar
kembali kepada Islam yang benar.8
Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah
besar sahabat qurra’ (penghafal al-Qur’an).9 Jumlah qurra’ yang meninggal
menurut suatu riwayat disebutkan mencapai 70 orang, dalam riwayat lain
dinyatakan 500 orang. Dari peristiwa itulah menggerakan hati ‘Umar bin al-
Khaṭṭāb untuk meminta kepada Khalifah Abū Bakar agar al-Qur’an dikumpulkan
dan ditulis dalam satu mushaf. Sebab, ‘Umar khawatir akan hilangnya al-Qur’an
jika hanya berpegang pada hafalan para sahabat saja.10
Pada awalnya, Abū Bakar menolak usulan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dengan
berkata, “Wahai ‘Umar, bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw?” Namun ‘Umar tetap bersikukuh dan menjawab,
“Demi Allah, hal ini (pengumpulan al-Qur’an) adalah baik.” Dan ‘Umar selalu
berusaha meyakinkan Abū Bakar dengan usulannya, hingga pada akhirnya Abū
Bakar menyetujui usulan tersebut dan menunjuk Zaid bin Ṡābit sebagai ketua tim
pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an. Setelah terkumpul, mushaf itu
berada di tangan Abū Bakar hingga ia wafat. 11
7M. M. al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an; Dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta:
Gema Insani, 2014), h. 35. 8Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani”, Jurnal Ṣuḥuf, vol. 5, no. 1 (2012): h. 4. 9Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, jilid, 1. Penerjemah Aunur Rafiq el-
Mazni (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 158. 10
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 28. 11
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 5.
4
Setelah wafatnya Abū Bakar, pemerintahan berpindah kepada ‘Umar bin
al-Khaṭṭāb. Pada periode inilah, mushaf zaman Khalifah Abū Bakar disalin dalam
lembaran (ṣaḥīfah). Setelah selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah,
istri Rasulullah Saw, untuk disimpan. Pertimbangannya, selain istri Rasulullah
Ḥafṣah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca dan menulis.12
Sepeninggal ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, jabatan khalifah dipegang oleh ‘Uṡmān
bin ‘Affān. Pada masa ini, Islam mengalami banyak perkembangan. Wilayah
Islam semakin luas, dan kebutuhan umat untuk mengkaji al-Qur’an juga semakin
meningkat. Para qurra’ ditugaskan ke berbagai daerah untuk menjadi imam dan
ulama di masing-masing daerah, dengan beragam versi qirā’at (bacaan) yang
dimiliki setiap imam.13
Menurut riwayat al-Bukhārī dari Anas bin Mālik, proses penyalinan
mushaf al-Qur’an di zaman ‘Uṡmān bin ‘Affān bermula ketika Hużaifah bin al-
Yamanī datang menemui ‘Uṡmān, setelah sebelumnya ikut berperang dengan
penduduk Syam dan Irak dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Ia merasa
cemas dengan pertengkaran yang terjadi diantara penduduk dari Syam dan Irak
mengenai qirā’ah al-Qur’an. Ḥużaifah berkata kepada ‘Uṡmān, “Wahai Amīrul-
Mu’minīn, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertengkar mengenai qirā’ah
al-Qur’an, sebagaimana yang terjadi kepada kaum Yahudi dan Nasrani.”
Selanjutnya, ‘Uṡmān mengirim utusan kepada Ḥafṣah dengan berpesan,
“Kirimkanlah kepada kami Ṣuḥuf (lembaran-lembaran al-Qur’an hasil kodifikasi
Abū Bakar), kami akan menyalinnya ke dalam beberapa mushaf, kemudian kami
12
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 29. 13
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 29.
5
akan kembalikan kepadamu.” Selanjutnya Ḥafṣah mengirimkan Ṣuḥuf kepada
‘Uṡmān, kemudian ‘Uṡmān memerintahkan kepada Zaid bin Ṡābit, Sa‘ad bin al-
‘Āṣ, ‘Abdullāh bin al-Zubair, dan ‘Abdurraḥmān bin Ḥāriṡ untuk menyalinnya ke
dalam beberapa mushaf. ‘Uṡmān berpesan kepada keempat orang dalam
kelompok itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Ṡābit mengenai al-
Qur’an, maka tulislah al-Qur’an dalam dialek Quraish, karena al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka.” “Selanjutnya mereka mengerjakan, sehingga
setelah menyalin ṣuḥuf tersebut ke dalam beberapa mushaf, ‘Uṡmān mengirim
mushaf yang telah mereka salin ke setiap daerah, dan ia memerintahkan agar
selain al-Qur’an (mushaf yang baru distandarkan) seluruhnya dibakar....”14
Setelah pengkodifikasian pada masa pemerintahan ‘Uṡmān, tidak lagi
muncul persoalan mengenai penulisan mushaf al-Qur’an. Seiring meluasnya
Islam, persoalan kembali muncul pada masa dinasti Bani Umayyah. Masalah
tersebut tidak lagi menyangkut penulisan al-Qur’an, namun justru hanya terkait
tanda diakritik al-Qur’an. Tepatnya pada masa Marwān ibn al-Ḥakam. Pada masa
itu, Marwān bermaksud meminta ṣuḥuf Abū Bakar yang disimpan oleh Ḥafṣah
binti ‘Umar untuk dimusnahkan dengan cara dibakar. Dia beralasan bahwa
Mushaf Usmaniyah sudah ada, dan dengan keberadaan ṣuḥuf itu, dikhawatirkan
belakangan akan memunculkan kembali perselisihan yang baru.15
Persoalan tentang al-Qur’an, tidak hanya pada pengkodifikasiannya namun
adanya perbedaan pandangan ulama terkait hukum penulisan al-Qur’an dengan
14
Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Riyāḍ: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥdīṡ,
1393 H/ 1973 M), h. 129. 15
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani:Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd (Jakarta:
Azzamedia, 2018), h. 40.
6
rasm usmani. Sebagian ulama berpendapat bahwa rasm mushaf bersifat tauqīfī
dengan alasan bahwa “...Para penulis wahyu merupakan para sahabat yang
ditunjuk dan dipercaya oleh Nabi, sehingga pola penulisannya bukan atas ijtihad
para sahabat. Hal ini dikarenakan, para sahabat tidak mungkin melakukan
kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan dengan Nabi.”16
Adapun pendapat yang kedua mengatakan bahwa rasm mushaf bukanlah
tauqīfī, melainkan ijtihādī atau sebuah bentuk tulisan yang disetujui oleh Khalifah
‘Uṡmān. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa rasm mushaf
bersifat istilāḥī, yakni mereka membolehkan menulis mushaf selain dengan rasm
‘Uṡmāni.17
Terlepas dari perbedaan diatas, seiring perkembangannya mushaf usmani
tersebar hampir ke seluruh kawasan seperti Basrah, Kuffah, Syam, Makkah,
Madinah dan selanjutnya masuk ke daerah timur seperti Turki, India, Persia,
hingga Afrika. Salah satu wilayah Timur Tengah yang menggunakan kaidah rasm
usmani dalam penulisan al-Qur’an adalah Kerajaan Saudi Arabia.18
Adapun di Indonesia, berdasarkan kesepakatan ulama dalam Musyawarah
Kerja (MUKER) Ulama Ahli al-Qur’an pada tahun 1984 M. Surat Keputusan
Menteri Agama No. 25 menetapkan adanya Mushaf Standar Indonesia (MSI)
memiliki tiga macam, yaitu: 1) Mushaf Standar Usmani untuk orang awas, 2)
Mushaf Bahriyah untuk penghafal al-Qur’an dan 3) Mushaf Braille untuk
16
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 94. 17
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal-Refleksi, vol. 13, no. 2 (April 2012): h. 277 -278. 18
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 7.
7
tunanetra. Keputusan ini sebagai pedoman dalam mentashih al-Qur’an serta para
penerbit di Indonesia.19
Peredaran mushaf al-Qur’an di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Terbukti dari adanya lembaga yang menangani persoalan
permushafan yaitu, Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Museum Bayt
al-Qur’an Jakarta.20
Salah satu penyebab peredaran mushaf terbitan luar negeri di Indonesia
adalah peran jamaah haji yang membawa al-Qur’an cetakan dari Madinah, dimana
dalam peredarannya tidak melalui tanda tashih dari LPMQ.21
Walaupun Mushaf
Standar Indonesia (MSI) dan Mushaf Madianh (MM) sama-sama menggunakan
rasm usmani, penulis menemukan adanya perbedaan antara Mushaf Standar
Indonesia dengan mushaf terbitan Madinah.
Salah satu contoh perbedaan rasm dalam Mushaf al-Qu’an Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah adalah pada kata 22.ابصارهم Dalam Mushaf Standar
Indonesia, tetap menggunakan huruf alif diantara huruf ṣad dan ra’. Sedangkan
dalam Mushaf Madinah, membuang huruf alif diantara huruf ṣad dan ra’, dan
memberikan tanda fathah berdiri.23
19
Muhammad Shohib dan Zainal Arifin Madzkur, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, jilid 1 (Jakarta: LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013), h. 12. 20
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 91 21
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 91 22
QS. al-Baqarah/2: 7. م وعلى يم ختم اهلل على ق لو بههم وعلى سعههه لم عذاب عظه م غهشاوة و أبصارههه 23
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23 Rabi’ul Akhir 1394 H., h.3. Dan Mushaf
Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-
Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H., h. 3.
8
Contoh lainnya seperti kata . صراط 24 Dalam Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, dengan tetap meletakkan huruf alif antara huruf ra’ dan ṭa. Sedangkan
dalam Mushaf Madinah, dengan membuang huruf alif antara huruf ra’ dan ṭa, dan
memberikan tanda fathah berdiri.25
Dari latar belakang diatas, penulis hendak mengkaji lebih dalam perbedaan
rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,
dengan judul Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar, penulis membatasi
penelitian ini hanya pada dua kajian; Pertama, studi kajian rasm usmani dalam
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa.
Menara Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23 Rabi’ul Akhir 1394
H. Dan Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-
Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H.
Kedua, hanya pada aspek rasm usmaninya saja, bukan pada harakat dan tanda
diakritiknya.
24
QS. al-Baqarah/2: 142. ... ستقهيم راط م ى من يشآء إهل صه غرهب يهده
قل للهه املشرهق و امل 25
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus, h.21. Dan Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-Ḥaramain al-Syarīfaini
al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi tahun 1439 H., h. 22.
9
Adapun alasan penulis mengambil Mushaf Menara Kudus, karena mushaf
ini adalah mushaf yang disalin dari Mushaf Turki.Dan Mushaf Turki ini
didasarkan informasi bahwa mushaf ini kurang lebih 99% berasal dari teks al-
Qur’an Usmani. Karena mushaf asli yang distandarkan Khalifah ‘Uṡmān, dewasa
ini tidak akan ditemui sebab mushaf ini musnah bersama dengan terbunuhnya
Khalifah ‘Uṡmān dan jikapun ada itu duplikat orang-orang terdahulu.26
Dan
Mushaf terbitan Menara Kudus ini juga mushaf yang telah distandarkan oleh
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dengan tanda;
“Berdasarkan Laporan dari Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur’an Departemen Agama R.I. tanggal 16 Mei 1974, maka dengan ini
dinyatakan: al-Qur’an 30 Juz ukuran 3 cm x 12 cmx 15 cm ang diterbitkan
oleh Fa. “Menara” Kudus, telah selesai ditashih pada tanggal 16 Mei
1974 M / 23 Rabi’ul Akhir 1394 H. Dengan demikian al-Qur’an tersebut
dapat diterbitkan dari diedarkan kepada masyarakat.”27
Rasm usmani yang dimaksud disini adalah batang tubuh tulisan atau
huruf-huruf al-Qur’an yang ditulis dengan menafikan tanda titik dan diakritiknya.
Sebab, titik dan diakritik telah menjadi ilmu sendiri didalam kajian ilmu ḍabṭ28
.29
Sedangkan fokus kajiannya, terletak pada rasm yang terdapat dalam surah
al-Baqarah. Surah al-Baqarah adalah surah ke-2 dalam al-Qur’an. “…Surah ini
terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniah.
Surah ini dinamai al-Baqarah yang artinya sapi betina sebab di dalam surah ini
terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah Swt
26
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 10. 27
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama R.I., yang di terbitkan oleh Penerbit Fa. Menara
Qudus, pada halam terakhir mushaf sebelum lembaran asmā al-ḥusna. 28
Yaitu harakat, tanda baca atau tanda diakritik pada al-Qur’an. Untuk istilah di luar
pembahasan al-Qur’an biasanya lebih dikenal dengan sebutan syakl. Lihat Zainal Arifin Madzkur,
Perbedaan Rasm Usmani, h. 320. 29
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 16.
10
kepada Bani Israil (ayat 67-74).”30
Adapun alasan penulis mengambil surah ini
karena, merupakan surah dengan jumlah ayat terbanyak dan surah terpanjang
didalam al-Qur’an.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka ada beberapa
permasalahan yang penulis anggap dapat dijadikan kajian utama pada pembahasan
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana perbedaan antara rasm usmani dalam Mushaf Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah?
2. Apa saja faktor penyebab perbedaan antara rasm dalam Mushaf Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan antara rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab perbedaan antara rasm dalam Mushaf al-
Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
30
https://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah diakses pada tanggal 11 Desember
2018, pukul 13. 40 WIB.
11
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah ilmu
pengetahuan dalam bidang ‘Ulūm al-Qur’ān.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat
luar agar mengenal dan memahami bentuk penulisan (rasm) yang
digunakan dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai salah satu naskah akademik untuk memahami perbedaan rasm
usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.
b. Penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan kajian keilmuan dan
menggerakkan para peneliti-peneliti yang selanjutnya.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang rasm usmani pada dasarnya, bukan kajian pertama dalam
keilmuan al-Qur’an. Beberapa penelitian terdahulu yang telah membahas kajian
yang serupa, akan tetapi tidak menggunakan arah dan fokus pembahasan yang
sama dengan penulis. Diantara hasil tinjauan pustaka terkait mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, Mushaf Madinah, dan kajian ilmu rasm yang ditinjau dari
beberapa aspek, yang penulis temukan diantaranya sebagai berikut:
Eva Nugraha dalam skripsinya yang berjudul, Kaidah Rasm Utsmani Pada
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,31
dalam skripsi ini penulis menjelaskan
bahwa penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia merujuk pada kaidah rasm
usmani, namun jika dilihat pada penerapannya terdapat beberapa hal yang tidak
31
Eva Nugraha, “Kaidah Rasm Utsmani pada Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,”
(Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Bandung, 1995)
12
sesuai dengan apa yang dikaidahkan. Apalagi jika dibandingkan dengan mushaf
usmani terbitan dari luar negeri. Dari hasil kesimpulannya penulis menyebutkan
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, memang memakai rujukan kaidah rasm
ustmani pada sebagian ayat-ayatnya. Penggunaan kaidah rasm usmani penulis
menyebutkan dengan isitlah Kaffatan dan Kaffatan bil Istisna, namun pada
sebagian lainnya kaidah-kaidah rasm usmani tidak dipakai didalamnya penulis
menyebutnya dengan istilah Tarotan dan Tarotan bil Istisna wal Ikhtilaf.
Muhammad Mustafa al-A’zami dalam bukunya yang berjudul The History
of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation yang dialih bahasakan ke
dalam Bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai
Kompilasi32
yang diterjemahkan oleh Sohirin Solihin dan Ugi Suharto. Buku ini
mencakup pengenalan ringkas tentang al-Qur’an dari segi penulisan dan
sejarahnya. Buku ini juga sebagai bantahan bagi para orientalis yang mengkritik
tentang al-Qur’an dari berbagai dimensi pemikiran. Diantaranya, tudingan
terhadap perbedaan susunan surah-surah, sistem bacaan yang berbeda, kelainan
mushaf sahabat dengan mushaf usmani.
Asep Saefullah menulis dalam jurnalnya Aspek Rasm, Tanda Baca, dan
Kaligrafi pada Mushaf-mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal
jakarta,33
kesimpulan dalam tulisan ini bahwa dalam aspek rasm, mushaf-mushaf
kuno koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal pada umumnya menggunakan
rasm imla’i atau qiyasi. Rasm imla’i tampaknya menjadi gejala umum, sehingga
32
Muhammad Mustafa al-A’zami, The History The Qur’ānic text From Revelation to
Complication dialih bahasakan Sejarah Teks al-Qur’an dari wahyu sampai Kompilasi, jilid 1.
Penerjemah Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005) 33
Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca, dan Kaligrafi pada Mushaf-mushaf Kuno
Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal jakarta,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 1, no. 1 (2008): h. 87-
110.
13
hanya satu dua mushaf saja yang menggunakan rasm usmani. Ini menandakan
bahwa tradisi rasm usmani dalam tradisi penulisan mushaf di Indonesia masa lalu
bukanlah gejala umum. Oleh karena itu, perlu pendalaman lebih lanjut tentang
rasm imlai’i yang merupakan gejala umum dalam tradisi penulisan mushaf di
Indonesia.
Mustofa dalam jurnalnya menulis Pembakuan Qira’at Aṣim Riwayat Ḥafṣ
dalam Sejarah dan Jejaknya di Indonesia,34
dalam tulisan ini ia menjelaskan
bahwa terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pembakuan dan
penyebaran qira’at ‘Asim riwayat Hafs. Selain kualitas sanad dan kemudahan
qira’at, faktor lain yang turut menyebabkan meluasnya qira’at ‘Asim adalah
faktor kekuasaan. Jejak qira’at ini bisa dilihat melalui penerbitan al-Qur’an di
sejumlah negara, termasuk di Indonesia.
Enang Sudrajat menulis dalam jurnalnya yang berjudul Pentashihan
Mushaf al-Qur’an di Indonesia,35
dalam tulisannya penulis menjelaskan
bagaimana upaya dalam menjaga kesahihan Mushaf al-Qur’an khususnya di
Indonesia sendiri. Diantaranya penulis menyimpulkan ada beberapa upaya dalam
menjaganya, yaitu: pemerintah membentuk Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
untuk mentashih semua mushaf yang akan dicetak. Usaha lainnya dilakukan oleh
masyarakat muslim melalui pesantren, kajian, dan tahfiz al-Qur’an.
Abdul Hakim menulis dalam jurnalnya yang berjudul Perbandingan Rasm
Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan Mushaf Madianah Analisa
34
Mustofa, “Pembakuan Qira’at Aṣim Riwayat Ḥafṣ dalam Sejarah dan Jejaknya di
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 4, n. 2 (2011): h. 221-245. 35
Enang Sudrajat, “Pentashihan Mushaf al-Qur’an di Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 6, no.
1 (2013): h. 59-81.
14
Rasm Kata Berkaidah Ḥażf al-Ḥurūf ,36
tulisan ini secara garis besar
membandingkan Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan Mushaf
Madinah dengan fokus pada juz 7, juz 14 dan juz 24. Perbandingan dilakukan
pada kata yang mengandung kaidah ḥazf al-ḥuruf (membuang huruf). Kajian yang
bersifat deskriptif-analitik ini menemukan bahwa Mushaf Standar Usmani dalam
hal rasm memiliki kedekatan dengan Mushaf Pakistan dengan riwayat ad-Dānī,
sedangkan Mushaf Madinah merujuk pada riwayat Abū Dawūd.
Atifah Thoharoh dalam skripsinya yang berjudul, Mushaf al-Qur’an
Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm),37
dalam skripsi ini penulis membandingkan antara Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah dengan mengacu pada Mushaf Standar Usmani terbitan Turki.
Yang mana menurut penulis dari data yang didapatkan, mushaf Turki ini kurang
lebih 99% berasal dari teks al-Qur’an Usmani. Fokus kajian penulis membahas
rasm usmani yaitu dalam surah al-Qiyamah. Adapun dalam kesimpulannya,
penulis mengatakan bahwa Mushaf Madinah lebih mendekati dalam penulisan
rasm usmani dengan mushaf acuan.
Mungkin dalam judul penelitian, penulis dan judul skripsi ini memiliki
kesamaan namun, dalam fokus kajian tentu berbeda. Didalam skripsi ini, Atifah
ingin melihat diantara dua mushaf yaitu Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia dan Mushaf Madinah yang paling mendekati kepada mushaf usmani
dengan acuan kepada Mushaf Turki. Adapun dalam fokus kajian penelitannya,
36
Abdul Hakim, “Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan
Mushaf Madianah Analisa Rasm Kata Berkaidah Ḥażf al-Ḥurūf,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 10, no. 2
(Desember 2017): h. 371-386. 37
Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah: Kajian Atas Ilmu
Rasm,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negaeri Tulungagung,
2017)
15
Atifah membahas kepada rasm dan ḍabṭ (tanda diakritik). Sedangkan fokus kajian
penulis dalam penilitian ini hanya terfokus pada kajian rasm usmaninya saja. Dan
perbedaan lainnya, dalam fokus surah yang diambil Atifah yaitu al-Qur’an surah
al-Qiyamah ayat 1-40 sedangkan penulis mengambil contoh al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 1-286.
Adapun hasil dari penelitian Atifah menurut penulis tidak cukup kuat
untuk mengatakan Mushaf Madinah lebih Usmani dibandingkan dengan Mushaf
Standar Indonesia. Karena, contoh yang dijadikan fokus kajiaanya terlalu sedikit,
seharusnya Atifah mengambil beberapa contoh pada surah-surah yang lain.
Dalam hasil penelitiannya disebutkan perbedaan rasm usmani dan ḍabṭnya bahwa
Mushaf Madinah memiliki dua perbedaan kata dengan Mushaf Standar Usmani
sedangkan Mushaf Standar Indonesia memiliki enam perbedaan kata dengan
Mushaf Standar Usmani. Menurut penulis hasil yang dilakukan Atifah terlalu
sempit. Bisa jadi jika dibahas pada surah-surah yang lain, Mushaf Standar
Indonesia lebih banyak mengacu pada Mushaf Standar Usmani dibandingkan
Mushaf Madinah. Jika fokus Atifah ingin mencari mushaf mana yang lebih
usmani seharusnya Atifah membandingkan lebih banyak lagi surah-surah yang
lain. Sehingga hasilnya lebih nampak secara jelas dan signifikan manakah mushaf
yang lebih mendekati pada muhaf acuan.
Zainal Arifin Madzkur dalam bukunya yang berjudul Perbedaan Rasm
Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia
dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd. Penulis merupakan staf Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementrerian Agama.
Buku yang berasal dari penelitian disertasi ini ditulis dengan tujuan untuk
16
menemukan argumentasi ilmiah perbedaan penyalinan rasm usmani dalam
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam
perspektif dua mazhab rasm usmani yakni Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dawūd.
Dalam aspek penelitian Zainal Arifin hanya terfokus perbedaan penulisan rasm
usmani dalam al-Qur’an dalam bab ḥażf al-ḥurf yaitu membuang huruf. 38
Dalam penelitian ini penulis menjadikan buku Zainal Arifin diatas sebagai
data sekunder penulis. Adapun kesamaan penulis dengan penelitian Zainal Arifin
yaitu sama-sama membandingkan rasm usamani diantara Mushaf Standar
Indonesia dengan Mushaf Madinah. Namun dalam fokus kajian dengan penulis
tentu berbeda. Zainal Arifin membandingkan rasm usmani hanya terfokus pada
kaidah ḥażf alif saja. Sedangakan penulis ingin melihat pada semua kaidah rasm
usmani yaitu; ḥażf (membuang huruf), ziyādah (penambahan huruf), hamzah
(penulisan hamzah), al-badal (penggantian huruf), al-waṣl wal faṣl (menyambung
dan memisah kata). Adapun dalam fokus surah Zainal Arifin yaitu semua surah
didalam al-Qur’an 30 juz. Sedangkan fokus penulis hanya mengambil surah al-
Baqarah ayat 1-286.
Selain menulis di dalam buku Zainal Arifin Madzkur juga menulis di
dalam jurnalnya yang berjudul Legalisasi Rasm ‘Uthmānī dalam Penulisan al-
Qur’ān,39
jurnal ini membahas perdebatan tentang penggunaan rasm ‘Uthmānī
dalam menulis al-Qur’an. Membandingkan dan menganalisa pendapat dari tiga
mazhab. Penulis berpendapat bahwa perdebatan harus diakhiri, karena pada
38
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani: Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd (Jakarta:
Azzamedia, 2018) 39
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm ‘Uthmānī dalam Penulisan al-Qur’ān,” Jurnal
Ṣuḥuf, vol. 1, no. 2 (Desember 2012): h. 215-236.
17
prinsipnya, pembacaan Al-Qur'an tidak hanya mengacu pada tulisan teks, tetapi
juga pada jalur riwayatnya. Dalam jurnalnya yang lain Zainal Arifin Madzkur
juga menulis beberapa judul artikel yang menjadi kajian pustaka penulis,
diantaranya:
Mengenal Rasm Usmani Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani,40
sedangkan dalam tulisan ini penulis ingin melihat
kembali pembahasan tentang sejarah, kaidah dan hukum penulisan al-Qur’an
dengan rasm usmani. Misalnya dalam konteks kesesuaian penulisan (muwāfaqah
bil-maṣaḥif al-‘uṡmāniyah), pada hakikatnya, secara displin keilmuan rasm
usmani memiliki tiga kategori, yaitu sesuai secara utuh (muwāfaqah tasrīkhiyah),
secara perkiraan (muwāfaqah taqdīriyah), dan sesuai secara memungkinkan
(muwāfaqah ihtimāliyah). Dengan demikian tidak selalu sama persis. Judul
lainnya, Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia,41
pada tulisan ini penulis ingin menjawab sikap skeptis sebagian
kalangan tentang status rasm Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia dari aspek riwayat dan epistemologi keilmuannya.
Dari beberapa penulisan dan tinjauan pustaka di atas. Penulis belum
menemukan secara lebih mendetail tentang perbedaan penyalinan rasm usmani
dengan melihat kaidah rasm yang lainnya. Beberapa tulisan pada umumnya hanya
terfokus pada satu kaidah yaitu, dalam kaidah hażf al-ḥuruf (membuang huruf).
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan rasm usmani
40
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan al-
Qur’an dengan Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 5, no. 1 (2012): h. 1-18. 41
Zainal Arifin, “Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, v. 4, no. 1 (2013): h. 35-58.
18
Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah khususnya dalam surah al-
Baqarah.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Penelitan ini adalah penelitian kualitatif. Langkah pertama yang penulis
lakukan yaitu penelitian kepustakaan (library research). Dengan mengumpulkan
sumber-sumber primer dan sekunder dalam ilmu rasm usmani, studi ilmu-ilmu al-
Qur’an (‘ulūm al-Qur’an), Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, Mushaf Madinah
Saudi Arabia. Serta penulis juga menggunakan internet research, untuk mencari
bahan-bahan yang sulit didapatkan.
Sebagai Sumber data primer adalah; Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
terbitan oleh Penerbit Menara Qudus pada mushaf edisi revisi 16 Mei 1974 M/ 23
Rabi’ul Akhir 1394 H. Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Khādim al-
Ḥaramain al-Syarīfaini al-Malik Fahd liṭṭabā’t al-Muṣḥaf pada mushaf edisi
tahun 1439 H, dan al-Iṭqān fī ‘Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddīn al-Suyūṭī.
Adapun Sumber data sekundernya adalah; al-Muqni’ fī Ma’rifāti Marsum
Maṣāḥif Ahli al-Amṣār karya Abū ‘Amr ‘Uṡmān Ibn Sa‘īd al-Dānī, Mukhtaṣar al-
Tabyin li Hija’ al-Tanzil karya Abū Daud Sulaimān Ibn Najah, Perbedaan Rasm
Usmani Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia
dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Daūd karya Zainal Arifin Madzkur, dan buku-
buku lain, skripsi, thesis, jurnal, artikel dari penelitian terdahulu yang mengambil
fokus penelitian serupa.
19
2. Analisis Data
Adapun metode yang penulis gunakan untuk menganalisa data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Deskriptif-analisis
Yaitu sebuah metode bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan
yang berdsarkan data-data, dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu
penelitian, analisa dan klasfikasi. Selain menyajikan data, peneltian ini juga
menganalisis dan menginterpretasi sejumlah data.42
Dalam penelitian ini,
penulis bermaksud meneliti dan memaparkan data-data terkait Mushaf al-
Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah dalam kajian ilmu rasm.
b. Analisis Hitoris
Adapun dalam pendekatan historis yaitu untuk melihat kembali latar
belakang penulisan dan perkembangan mushaf al-Qur’an dari masa usman,
kemudian penyebarannya di wilayah Madinah hingga sampai di Indonesia.
c. Analisis Komparatif
Setelah penulis menganalisis data, selanjutnya yaitu membandingkan
penulisan rasmnya antara Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah. Adapun tujuannya yaitu, untuk mengetahui banyaknya perbedaan
rasm yang digunakan pada kedua mushaf tersebut.
3. Metode Pengumpulan Data
Secara umum metode pengumpulan data terbagi menjadi tiga, yaitu:
Observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun pada penelitian ini,
42
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 138-
139.
20
menggunakan metode dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian ini dengan
mencakup sumber-sumber tertulis mengenai sejarah Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah. Kemudian dokumen yang telah didapatkan
dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk hasil kajian yang
sistematis dan utuh. Jadi, teknik dokumentasi tidak hanya mengumpulkan data
dan menuliskannya atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang
sejumlah data yang searah dengan penelitian, melainkan menampilkan hasil
analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut.43
G. Sistematika Penulisan
Penulisan terhadap masalah pokok yang disebutkan di atas, dibagi menjadi
lima bab yang terdiri dari:
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan pembahasan tentang dua kajian mushaf yang dijadikan
sumber penelitian dalam skripsi ini yakni, Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah. Dalam bab ini berisi dua sub bab: Pertama, Mushaf al-
Qur’an Standar Indonesia yang mencakup pembahasan defenisi Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, latar belakang penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,
lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia, ciri-ciri Mushaf
al-Qur’an Standar Indonesia, dan landasan penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
43
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. 14 (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2010), h. 274-275.
21
Indonesia. Kedua, defenisi Mushaf Madinah yang berisi tentang pembahasan latar
belakang penulisan Mushaf Madinah, lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-
Qur’an Madinah, ciri-ciri Mushaf Madinah, dan landasan penulisan Mushaf
Madinah.
Bab III merupakan pembahasan perkembangan rasm usmani, yang terbagi
kepada lima sub bab: Pertama, defenisi rasm ‘uṡmāni. Kedua, sejarah dan
perkembangannya. Ketiga macam-macam rasm dalam penulisan al-Qur’an.
Keempat kaidah-kaidah rasm ‘uṡmāni. Kelima pola dan kedudukan menulis al-
Qur’an dalam rasm ‘uṡmāni.
Bab IV yang didalamnya akan dijelaskan perbandingan Mushaf Al-Qur’an
Standar Indonesia dan Mushaf Madinah dalam penulisan rasm. Adapun dalam bab
ini berisikan tiga sub bab diantaranya: Pertama, persamaan rasm usmani dalam
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah. Kedua, perbedaan
rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan Mushaf Madinah.
Ketiga, faktor penyebab perbedaan rasm usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah.
Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari
penulis terkait dengan hasil penelitian.
22
BAB II
KAJIAN MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA DAN
MUSHAF MADINAH
A. Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
Sebelum Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an berdiri pada tahun 1957.
Di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak
batu (litografi) Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, dan selesai
dicetak pada 29 Ramadhan 1264 (21 Agustus 1848).1
Sejak tahun 1933 sudah mulai beredar mushaf edisi cetak dengan tashih
al-Qur’an dengan beberapa tokoh yang dianggap memliki otoritas dalam
mentashih al-Qur’an. Mushaf tersebut adalah mushaf al-Qur’an cetakan Matba’ah
al-Islamiyah Bukittinggi tahun 1933 M, yang ditashih oleh Syaikh al-Rasuli dan
Haji Abdul Malik, dan mushaf al-Qu’an cetakan Abdullah bin Afif Cirebon tahun
1933 M, yang ditashih oleh Muhammad Usman dan Ahmad al-Badawi
Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.2
1Ali Akbar, “Pencetakan Mushaf al-Qur’an di Indonesia,” Jurnal-Ṣuḥuf, vol. 4, no. 2
(2011): h. 271. Bandingkan dengan Zainal Arifin, mushaf tertua yang diketaui sampai saat ini
berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya Jumad al-Awwal 993 H/ 1585 M. dan ada dua mushaf lagi
yang tersimpan di Belanda yang berasal dari Johor tahun 1606 M, dan sebuah mushaf tua di
Masjid Agung Banten yang diklaim ditulis pada tahun 1553 M, h. 97-98. Lihat Zainal Arifin
Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 98-99. 2Muhammad Shohib dan Zainal Arifin, ed., Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, volume 1 (Jakarta: LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013), h. 3.
23
“Seterusnya perkembangan permushafan al-Qur’an di Indonesia terus
berjalan alamiah, dengan dominasi mushaf model Khat Bombay3, Pakistan dan
Istanbul Turki (Bahriyah). Model-model cetakan inilah nantinya akan menjadi
salah satu bacaan baku penyusunan MSI....”4
1. Defenisi Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
Secara etimologi, istilah “Mushaf al-Qur’an Standar Usmani” dapat
dipahami dari kata “standar” yang dalam Kamus Besar Bahasa Inodensia berarti
patokan atau standar baku.5”... Hal ini juga dikuatkan dengan dokumen
terjemahan Arab-Inggris pada Muker Ulama ke-IX yang mengistilahkan sebagai
Muṣḥaf al-Mi‘yāri al-Indūnisī atau The Indonesian Standarized al-Qur’an.” 6
Selanjutnya istilah ini disebut MASU Indoensia adalah mushaf resmi/ standar
yang berlaku dan beredar d Indonesia.7
“Adapun secara terminologi, MASU diartikan sebagai mushaf al-Qur’an
yang dibakukan cara penulisannya, tanda baca (harakat)-nya, dan tanda waqaf-
nya, sesuai dengan hasil yang disepakati dalam Musyawarah Kerja (Muker)
3Adalah jenis khat al-Qur’an yang dinisbahkan pada model tulisan Bombay India. Bentuk
tulisan ini pada umumnya berbeda dengan khat kaligrafi naskhi yang lazim bagi para kaligrafer.
Bentuk khat ini pada umumnya tebal-tebal dan gemuk, sehingga pembaca dengan penerangan
minim masih memungkinkan untuk membacanya. Lihat Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani,
h. 321. 4Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 103.
5Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 1375. 6Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indoneisa; Studi
Komparatif atas mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 4, no. 1 (2011): h. 3. 7Puslitbang Lektur Agama, “Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an IX”,
Jakarta: Departemen Agama, 1982-1983, h. 96 dan 104. Hal ini juga dikuatkan dengan dokumen
terjemahan Arab-Inggris pada Muker Ulama ke-IX yang mengistilahkannya sebagai Mushaf al-
Mi’yāri al-Indūnisī atau The Indonesian Standarized al-Qur’an. Zainal Arifin Madzkur,
“Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indoneisa; Studi Komparatif atas Mushaf Standar
Usmani 1983 dan 2002,” Jurnal Ṣuḥuf , h. 3.
24
Ulama Ahli al-Qur’an yang berlangsung sampai 9 kali, semenjak tahun 1974-
1983 dan dijadikan pedoman bagi al-Qur’an yang dterbitkan di Indonesia....”8
Merujuk beberapa dokumen hasil Muker I-IX, mushaf standar ini disebut
dengan beberapa nama, yaitu Mushaf Standar Usmani, al-Qur’an Mushafa
Standar Usmani, Mushaf al-Qur’an Standar, al-Qur’an Standar, dan juga Mushaf
Standar.9 Berdasarkan pada KMA. No. 25 Tahun 1984, Mushaf al-Qur’an Standar
memiliki tiga jenis mushaf, diantaranya; Mushaf Standar Usmani untuk orang
awas, Bahriah untuk para penghafal al-Qur’an, dan Braille bagi para tunanetra.10
Mushaf Standar Usmani Indonesia atau yang disebut dengan MASU
Indonesia merupakan al-Qur’an standar 30 juz, sebagaimana al-Qur’an yang
digunakan atau dibaca oleh umat Islam. Dalam sejarah penerbitan al-Qur’an
khususnya di Indonesia, mushaf ini memiliki rating tertinggi (sementara) dalam
cetak ulang banding dengan dua varian mushaf standar lainnya. Hal ini karena
posisi MASU Indonesia sebagai mushaf pegangan orang awam yang biasa
dimiliki kalangan umum.11
Adapun penelitian dalam skripsi ini, penulis menggunakan Mushaf al-
Qur’an Standar Usmani. Hal ini untuk mempermudah dalam penyebutan dan
membedakanya dengan mushaf standar lainnya yaitu Mushaf al-Qur’an Standar
Bahriyah dan Braile.
8Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indoneisa,” Jurnal Ṣuḥuf,
h.3. 9Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indoneisa,” Jurnal Ṣuḥuf,
h.4. 10
Muhammad Shohib dan Zainal Arifin, ed., Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, h. 12. 11
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu al-Qur’an, jilid 1 (Jakarta: Yayasan Masjid Taqwa,
2018), h. 265.
25
2. Latar Belakang Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Inodonesia
Secara umum, latar belakang penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
(MASU) Indonesia terbagi menjadi enam pokok masalah, yang akan melahirkan
mushaf standar, antara lain12
:
Pertama, Pedoman Pentashihan bagi Lajnah. Awal adanya penulisan
MASU Indonesia adalah sebagai pedoman pentashihan bagi Lajnah. Dalam
dokumentasi MUKER 1 tahun 1974, dinyatakan bahwa sejauh itu belum ada
pedoman yang dijadikan landasan bagi Lajnah setiap kali melakukan pentashihan
al-Qur’an. Hal ini dirasa sangat perlu memiliki pedoman kerja yang sifatnya
tertulis. Karena semenjak berdirinya, proses pentashihan dilakukan secara manual
dan struktur keanggotaan Lajnah selalu berganti.13
Kedua, adanya berbagai ragam tanda baca dalam al-Qur’an. Pada tahun
1970-an ragam mushaf al-Qur’an yang berkembang di Indonesia dapat dikatakan
masih minim. Menurut Badan Litbang Agama, pada waktu itu masih didominasi
oleh penerbit CV Alif Cirebon dan CV Salim Nabhan Surabaya, itupun tulisannya
mayoritas menggunakan model Bombay, Pakistan dan al-Qur’an Bhariyah
cetakan Istanuk Turki. Kemudia, munculah beberapa penerbit lain semisal PT al-
Ma’rif Bandung dan Tintamas Jakarta. Apabila di cermati adanya berbagai ragam
tanda baca yang berbeda satu dengan lainnya. hal ini tentu akan mempengaruhi
12
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3,
no. 2 (2005): h. 280. 13
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 281.
26
pembacaan al-Qur’an pada setiap induvidu. Sebab tidak semuanya dapat
memahami bacaan yang beragam tersebut. 14
Ketiga, kecenderungan masyarakat menggunakan satu model al-Qur’an.
Lajnah sering mengalami kesulitan mentashih, ketika menemukan beberapa
kesalahan yang disebabkan oleh teknik pencetakan yang sulit diperbaiki oleh
penerbitnya. Kesulitan ini disebabkan karena model tulisannya yang terlalu rapat,
huruf-hurufnya yang bertumpuk, dan beberapa penempatan tanda baca yang tidak
tepat.15
Keempat, beredarnya al-Qur’an Terbitan Luar Negeri di Indonesia. Sebab
al-Qur’an terbitan luar negeri memiliki ragam tersendiri dalam hal penggunaan
harakat dan tanda waqaf yang akan menyulitkan dan membingungkan para
pembaca awam. Oleh karena itu, diperlukan model penetapan yang konsisten
tentang harakat, tanda baca, dan tanda waqaf. 16
Kelima, variasi tanda baca al-Qur’an. Beberapa penerbit dalam
menerbitkan al-Qur’an memiliki tanda baca yang beragam dan bervariatif, baik itu
terbitan Timur Tengah maupun Indonesia.17
Keenam, tanda-tanda waqaf al-Qur’an. Hampir diseluruh mushaf baik luar
negeri maupun dalam negeri memiliki pola waqaf yang serupa, dalam hal ini
kaidah standarisi dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman. 18
14
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 281. 15
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 281. 16
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 282. 17
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 282. 18
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 282.
27
Berbagai alasan itulah yang menjadi alasan utama tersusunnya mushaf
standar yang ada di Indonesia. Hemat penulis memaknai latar belakang
terkonsepnya standarisi Mushaf Standar Indonesia ini adalah cara untuk
membantu dan memudahkan masyarakat dalam membaca al-Qur’an. Mayoritas
masyarakat awam yang kesulitan jika mengikuti ragam tanda baca, harakat dan
tanda waqaf versi mushaf Luar Negeri, termasuk Arab.
3. Lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia
Beraneka ragamnya penulisan, harakat, tanda baca dan tanda waqaf dalam
mushaf al-Qur’an yang tersebar di Indonesia termasuk mushaf luar yang ada di
Indonesia, hal ini membuat masyarakat awam bingung dalam pembacaan al-
Qur’an. Namun berbeda dengan sebagian masyarakat yang paham dengan kaidah,
tentu tidak terlalu mengkhawatirkan hal ini. Karena kondisi masyarakat dan letak
geografis Indonesia yang beragam latar belakang, tidak secara keseluruhan dapat
memahami ilmu tersebut.19
Untuk memenuhi keinginan masyarakat dan memelihara kesucian al-
Qur’an, terbentuklah sebuah lembaga resmi yang secara fungsional bertugas untuk
menjaga kemurnian mushaf al-Qur’an, yakni Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an
(LPMQ). Secara kelembagaan dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1959. Dan
lembaga ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. B.III/ 2-0/
7413, tanggal 1 Desember 1971. Pada perkembangan selanjutnya Lajnah berada
pada Unit Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama, yang dibentuk
berdasarkan Kepres RI No. 44 yang dijabarkan melalui Keputusan Menteri
19
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 104.
28
Agama No. 18 Tahun 1975. Pada masa ini Lajnah merupakan lembaga ad hoc
(organisasi) dan dikepalai secara ex officio (jabatan) oleh Kepala Puslitbang
Lektur Agama kemudian berubah menjadi Puslitbang Lektur Keagamaan pada
tahun 1982 hingga menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Lembaga Keagamaan pada tahun 200720
.21
“Secara teknis Lajnah, sebelum menjadi satuan kerja tersendiri dalam
melaksanakan tugas-tugasnya diatur oleh Peraturan-peraturan Menteri Agama.
Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1975 mengatur tentang pengawasan
terhadap penerbitan dan pemasukan al-Qur’an, yang ditetapkan oleh Menteri
Agama waktu itu, K.H. Muhammad Iljas. Kemudian, berdasarkan Peraturan
Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 1982 ditegaskan bahwa Lajnah adalah
lembaga pembantu Menteri Agama dalam bidang pentashihan mushaf al-Qur’an,
terjemah, tafsir, rekaman, dan penemuan elektronik lainya yang berkaitan dengan
al-Qur’an....”22
Selama berjalannya lembaga ini, Lajnah belum memiliki pedoman yang
dijadikan landasan setiap kali melakukan pentashihan al-Qur’an. Hal ini dirasa
sangat perlu memiliki pedoman kerja yang sifatnya tertulis. Karena selama kurun
waktu semenjak berdirinya, proses pentashihan dilakukan secara manual dan
struktur keanggotaan Lajnah selalu berganti. Sementara dokumentasi yang
20
Pada tahun 2007, berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Lajnah berubah menjadi
satuan kerja (satker) tersendiri di bawah Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Lihat
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,
jilid 2 (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, 2017), h. 4. 21
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 2. 22
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 3.
29
dihasilkan oleh anggota Lajnah sebelumnya saat menemukan kesalahan, tidak
terdokumentasi dengan baik. Sehingga terjadi pengulangan mencari rujukan, yang
sebenarnya dalam koreksi Lajnah sebelumnya telah terselesaikan. Adapun
pedoman (praktis) tersebut memuat aturan dan tata cara penulisan al-Qur’an
sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan al-Qur’an rasm usmani.23
Dalam mencapai tujuan tersebut Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an
mengumpulkan data-data, mengkaji, membahas, dan mendiskusikannya untuk
kemudian mengambil keputusan. Proses tersebut dilakukan melalui kegiatan
Musyawarah Kerja Ulama al-Qur’an yang diselenggrakan selama 9 kali sejak
1974/ 1975 hingga 1982/ 1983 untuk membahas pembakuan rasm, harakat, tanda-
tanda baca, dan tanda waqaf. Sementara itu, 6 kali Muker lainnya (Muker X pada
1984/ 1985 s.d. Muker XV pada 1988/ 1989) diselenggarakan untuk membahas
hal lain yang melengkapi penyusunan pedoman tersebut, seperti terjemahan,
tranliterasi Arab-Latin, tajwid dan lainnya.24
Kemudian hasil-hasil Muker Ulama tersebut dirumuskan sebagai pedoman
pola penulisan (rasm), harakat, tanda baca, dan tanda waqaf dalam mushaf yang
dihasilkan oleh para Ulama perserta Muker. Untuk melihat lebih detail butir-butir
hasil Muker Ulama, berikut ini adalah hasil-hasil yang dicapai dalam setiap
Muker, mulai dari Muker I s.d. IX25
:
Muker I, Ciawi, Bogor (5-9 Februari 1974/ 12-16 Muharam 1394 H), pada
Muker ini para peserta menyepakati tiga keputusan penting yang menjadi tonggak
23
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, h. 280. 24
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 8. 25
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 22-28.
30
sejarah standarisasi penerbitan Mushaf al-Qur’an Indonesia. Ketiganya adalah: a)
Al-Qur’an menurut bacaan Imam Ḥafṣ yang rasmnya sesuai dengan rasm al-
Qur’an yang terkenal dengan nama Bahriah cetakan Istanbul, dijadikan pedoman
penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia, dengan catatan apabila masih terdapat
kalimat-kalimat yang sulit dibaca, maka perlu dijelaskan dalam lampiran
tersendiri. b) Mushaf al-Qur’an tidak boleh ditulis selain dengan rasm Usmani,
kecuali dalam keadaan darurat. c) Naskah pedoman penulisan dan pentashihan
Mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Lembaga Lektur Keagamaan Departemen
Agama menurut rasm Usmani dijadikan pedoman dalam penulisan dan
pentashihan al-Qur’an di Indonesia. 26
Muker II, Cipayung, Bogor (21-24 Februari 1976 M/ 18-20 Safar 1396 H),
didalam Muker ini menyepakati empat keputusan penting, yakni a) Terkait tanda-
tanda baca al-Qur’an, b) Pedoman tanda baca a-Qur’an Awas dan al-Qur’an
Braille, c) Rekaman bacaan al-Qur’an, dan d) Ketentuan pentashihan al-Qur’an
cetak ulang. 27
Muker III, Jakarta (7-9 Februari 1977/ 18-20 Safar 1397 H), di dalam
Muker ini disepakati tiga keputusan penting, yakni a) Acuan penulisan al-Qur’an
Braille, b) Beberapa ketentuan tentang tanda baca, dan c) Kesepakatan
membentuk tim al-Qur’an Braille dari unsur Lajnah, Yaketunis Yogyakarta, dan
Wyata Guna Bandung. 28
26
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 22. 27
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 23. 28
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 24.
31
Muker IV, Ciawi, Bogor (15-17 Maret 1978/ Rabiul Akhir 1398 H), pada
Muker ini disepakati lima keputusan penting terkait penulisan Mushaf al-Qur’an
Braille Standar, diantaranya: a) Menerima (hasil) rumusan tim penulisan al-
Qur’an Braille yang telah dilaksanakan sampai dengan Juz X sebagai Standar al-
Qur’an Braille di Indonesia dengan catatan penyempurnaan dalam rumusan yang
lebih presentatif serta dilengkapi dengan pembuatan indeks, b) Penulisan al-
Qur’an Braille (standar) untuk juz berikutnya (XI-XXX) perlu dilanjutkan, c)
Membentuk tim penyusun al-Qur’an Braille dari unsur Lajnah, Yaketunis, dan
Lembaga Pendidikan dan Rehabilitasi Tunanetra Wyata Guna, d) Tim
menyempurnakan pedoman penulisan al-Qur’an Braille dan Penyusunan sejarah
dan perkembangan al-Qur’an Braille di Indonesia. 29
Muker V, Jakarta (5-6 Maret 1979/ 6-7 Rabiul Akhir 1399 H), pada Muker
ini disepakati tiga keputusan penting, yaitu a) Perkembangan terkait al-Qur’an
Braille. b) Pembahasan masalah tanda waqaf. c) Persoalan terjemah al-Qur’an. 30
Muker VI, Ciawi, Bogor (5-7 Januari 1980 M/ 16-18 Safar 1400 H), pada
Muker ini menyepakati dua keputusan penting, yakni a) Penyempurnaan tanda
waqaf. b) Hasil Penulisan al-Qur’an Braille. 31
Muker VII, Ciawi, Bogor (12-14 Januari 1981 M/ 5-7 Rabiul Awal 1401
H), Muker ini disepakati dua kesepakatan penting, yakni a) Perbaikan tulisan rasm
29
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 25. 30
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 25-26. 31
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 26.
32
usamani dan tanda baca pada al-Qur’an. b) Penyeragaman tulisan al-Qur’an
Braile.32
Muker VIII, Tugu, Bogor (22-24 Februari 1982 M/ 27-29 Rabiul Akhir
1402 H), dalam Muker ini disepakati dua keputusan penting, yakni: a) Menyetujui
draf pedoman penulisan al-Qur’an Braille sebagai pedoman penulisan al-Qur’an
Braille Standar. b) Menyempurnakan tanda-tanda baca dan dan cara penulisan Juz
1-30 al-Qur’an Braille sebagai dasar penulisan al-Qur’an Braille Standar. 33
Muker IX, Jakarta (18-20 Februari 1983 M/ 5-7 Jumadil Awal 1403 H),
dalam Muker ini menyepakati tiga keputusan penting, yakni: a) Menyetujui hasil
penulisan al-Qur’an Standar Usmani sebagai al-Qur’an Standar Indonesia. c)
Menugaskan Lajnah untuk meneliti dan mentashih secara cermat draf al-Qur’an
Standar Usmani untuk diterbitkan dan diluncurkan pada Muker X tahun 1984. c)
Melanjutkan penulisan al-Qur’an Bahriah sebagai al-Qur’an Standar bagi para
hufaz. 34
Dari rangkaian Muker Ulama inilah akhirnya umat muslim Indonesia
memiliki Mushaf al-Qur’an tersendiri yang telah disesuaikan dengan pemahaman
dan pengetahuan kebanyakan dari umat muslim di Indonesia.35
32
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 27. 33
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 27-28. 34
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, h. 28. 35
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal-Refleksi, vol. 13, no. 2 (April 2012): h. 37.
33
4. Ciri-Ciri Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
a. Ciri Fisik Mushaf
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia yang penulis teliti adalah Mushaf al-
Qur’an al-Karīm Penerbit Fa. Menara Kudus yang telah ditashih atau diteliti pada
tanggal 16 Mei 1974 M/ 23 Rabi’ul Akhir 1394 H. Mushaf ini bervolume 30 juz,
114 surat, dan 6.236 ayat.36
Satu juz berisi 10 lembar atau sama dengan 20
halaman bolak-balik.
Panjang mushaf yakni 15 cm, lebar 12 cm dan tebal 3 cm. Warna cover
(sampul) mushaf ini yaitu kuning emas dan memiliki sampul tebal. Tulisan yang
terdapat pada cover mushaf yaitu nama mushaf dan penerbit mushaf. Adapun
kertas yang digunakan kertas HVS berwarna putih.
Al-Qur’an ini merupakan al-Qur’an pojok, artinya pada setiap ayat tidak
ada yang terpotong kehalaman lain. Pojok awal kanan atas sebagai awal ayat, dan
pojok akhir kiri bawah sebagai akhir ayat. Hal ini salah satu cara untuk
36
Para Imam Qurra’ berbeda pendapat dalam mengitung jumlah ayat al-Qur’an. Terdapat
tujuh mazhab yang terkenal mengenai perhitungan jumlah ayat al-Qur’an, yaitu 1) al-Madanī al-
Awwal menyebutkan sebanyak 6217 atau 6214 ayat. 2) al-Madanī al-Akhir menyebutkan
sebanyak 6214 ayat. 3) Ahl Makkah menyebutkan 6210 ayat. 4) Ahl Basrah menghitungnya
sebanyak 6204 ayat. 5) Ahl Damaskus berpendapat sebanyak 6227 atau 6226 ayat. 6) al-Humushi
berpendapat sebanyak 6232 ayat. 7) Ahl Kufah menyebutkan 6236 ayat. Mushaf al-Qur’an yang
diterbitkan di Indonesia jumlah ayat al-Qur’an sebanyak 6236 ayat. Mushaf Standar Indonesia
mengikuti hitugan Kufiy, yaitu Imam ‘Asim (127/ 744), Imam Hamzah (156/ 772), Imam al-Kisa’i
(189/ 804), Khalaf al-Asyir (229/ 843), dan al-A’masy (148/ 765).
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/nuansa/article/download/20/20 diakses pada
tanggal 21 Desember, pukul 13.20 WIB. Lalu bagaimana dengan jumlah 6666 ayat? Angka ini
berasal dari keterangan Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H/ 1987 M) dalam kitabnya Nihatuz-
Zain fI Irsyadil-Mabtadīn. Menurut al-Bantani, bilangan ayat al-Qur’an ini 6666 ayat, yaitu 1000
ayat di dalamnya tentang perintah, 1000 ayat tentang larangan, 1000 ayat tentang janji, 1000 ayat
tentang ancaman, 1000 ayat tentang kisah-kisah dan kabar-kabar, 1000 ayat tentang ‘ibrah dan
tansil, 500 ayat tentang halal dan haram, 100 ayat tentang nasikh dan mansukh, dan 66 ayat tentang
doa, istigfar dan dzikir. Penulisan MSI Rasm Usmani, persentasi pada pelatihan “Pentashihan al-
Qur’an” yang diselengarakan oleh Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur’an dan tafsir dan
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama, pada hari Jumat 9 Maret 2018 di
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.
34
memudahkan bagi para pembaca dan penghafal al-Qur’an. Dan memilki 15 baris
setiap halaman.
b. Penulisan Rasm
Pada dasarnya penulisan al-Qur’an MSI mengacu pada al-Qur’an terbitan
Depag tahun 1960. Penulisan ini mengkaji tentang beberapa hal, seperti rasm,
tanda baca, dan lain-lain, hingga akhirnya menghasilkan mushaf standar
Indonesia.37
“Terkait rasm, hampir semua teks dalam Mushaf al-Qur’an Standar
Usmani mengacu pada kaidah rasm usmani sebagaimana yang tertulis dalam kitab
al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān karya al-Suyūṭī (w. 991 H). Sebagai catatan, pilihan
rasm dalam mushaf ini tidak melalui tarjīḥ al-riwāyāt sehingga dalam satu tempat
terkadang berkesesuaian dengan mazhab Abū ‘Amr al-Dānī (w. 448 H)38
dan di
tempat lain dengan Abū Dāwūd Sulaimān bin Najāḥ (w. 496 H)39
....” bahkan
terkadang tidak mengacu pada keduanya.40
Sebagaimana pada tabel dibawah;
37
Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 8. 38
Nama lengkapnya adalah Uṡmān Sa‘īd bin Uṡmān bin Sa‘īd bin ‘Umar al-Imām al-Ḥāfẓ
Abū ‘Amr. Pada masanya dikenal dengan nama Ibnu al-Ṣairafi, namun pada masa al-Ẓahabī (w.
748 H) lebih terkenal dengan nama Abū ‘Amr al-Dānī. Menurut al-Ẓahabī mengutip pendapat
Ibnu Bashwal menyebutkan, al-Dānī dikenal sebagai seorang pakar lintas disiplin ilmu; qira’āt al-
Qur’an baik dari aspek ṭariq (bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada imam di bawah tingkat
perawi) maupun riwayat (bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada imam qira’at murid dari imam
qira’at). Al-Dānī merupakan tokoh yang produktif. Banyak karyanya dalam disiplin ilmu
keislamaan yang sempat tercatat. Baik yang tercetak maupun tinggal riwayat. Diantara karyanya
yang terkenal dalam disiplin ilmu penulisan al-Qur’an adalah al-Muqni’ fī Ma’rifati Maṣāḥif ahl
al-Amṣār. Lihat Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani:Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd (Jakarta: Azzamedia,
2018), h. 82-83. 39
Nama lengkapnya adalah Sulaimān bin Najāh Abī al-Qāsim al-Umawī, ayahnya
merupakan mantan budak Khalifah al-Muayyad billah ibn al-Mustanṣir al-Andalūsī (Spanyol).
Tidak banyak riwayat yang menjelaskan tentang biografi murid al-Dānī ini, menurut Ibn Bashwāl,
Abū Dāwud merupakan salah satu muqri’ kenamaan yang dikenal mumpuni dalam ilmu qira’at
dan ṭariq- ṭariq-nya dan dikenal ṣīqah. Diantara karyanya adalah al-Bayān al-Jāmi’ li ‘Ulūm al-
35
Tabel 2.1 Beberapa Penulisan Rasm dalam MSI
No. Surah/Ayat al-Dānī Abū Dāwūd Standar Usmani
1. Qs. al-Fatihah: 4
Sesuai al-Dānī
dan Abū Dāwūd
2. Qs. al-Baqarah/2: 7
al-Dānī
3. Qs. al-Baqarah/2: 167
Abū Dāwūd
4. Qs. al-Baqarah/2: 158
Tidak
mengikuti
keduanya
c. Penulisan Harakat41
Dalam al-Qur’an Standar Indonesia, penulisan harakat dilakukan secara
penuh. Artinya, seiap huruf yang berbunyi diberi harakat sesuai dengan bunyinya,
termasuk harakat sukun untuk mad ṭabi’i. Adapun harakat-harakat yang
digunakan adalah fathah, kasrah, ḍammah, fathatain, kasratain, dammatain.
Penggunaan harakat fathah, kasrah, dan ḍammah ditulis sebagaimana mestinya
tanpa ada perubahan. Sedangkan penulisan harakat tanwin menggunakan lambang
yang sama (di tulis ganda dengan posisi sejajar) untuk semua huruf tanpa melihat
hukum tajwid yang akan mempengaruhinya. Artinya dalam penulisan MASU
Indonesia harakat tanwin tidak mengalami perubahan bentuk dalam keadaan
Qur’an dan al-Tabyīn li Hija’ al-Tanzīl dalam bidang rasm usmani, meninggal di Valencia pada
tanggal 16 Ramadhan 496 H/ 1102 M. Lihat Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 84-85. 40
Model penulisan mushaf yang secara konsisten mengacu pada salah satu mazhab ini di
antaranya Mushaf Madinah yang mengikuti mazhab Abū Dāwūd dan Mushaf al-Jamahiriyah
Libya yang mengikuti mazhab Abū ‘Amar al-Dānī. Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI,
Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, h. 12. 41
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, vol. 5, no. 1 (2007): h. 130-133. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf
Standar Indonesia dan Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2017), h. 99-100.
36
bagaimanapun. Hal ini berbeda dengan mushaf al-Qur’an cetakan Saudi Arabia
misalkan, harakat tanwin mengalami perubahan bentuk dalam keadaan
bagaimanapun menyesuaikan pada hukum-hukum tajwid yang mempengaruhinya.
Selain harakat-harakat tersebut, terdapat dua harakat lagi yang lazim
ditemui pada Mushaf Indonesia, yaitu harakat ḍammah terbalik dan fathah berdiri.
Hukum penempatan ḍammah terbalik terdapat pada “ha dhamir” atau pada kata-
kata tertentu pada mad tabi’i yang tidak menggunakan waw sukun. Contohnya,
. Adapun harakat fathah, kasrah berdiri, selain terdapat pada “ha dhamir” juga
terdapat pada huruf-huruf yang dibaca panjang mad tabi’i yang tidak menggunkan
alif atau ya’ sukun. Contohnya , . Khusus mengenai “ha dhamir” dibaca
panjang baik ketika berharakat ḍammah maupun kasrah (menggunakan harakat
ḍammah terbalik dan kasrah berdiri). Hal ini berlaku apabila:
a) Sebelumnya tidak berharkat sukun
b) Sebelumnya tidak dibaca panjang (mad)
Contohnya: 42
d. Penulisan alif qata’ dan alif waṣl43
Dalam Mushaf al-Qur’an Standar alif qata’ tidak dibedakan dengan alif
waṣl. Hukum penulisan keduanya adalah dengan menuliskan huruf alif saja tanpa
ada tambahan-tambahan lain, seperti penambahan hamzah diatas atau dibawah
42
QS. al-Baqarah/2: 64. ن اخلسرينثم ت وليتمم نتمم م م ورحتمه لكم من ب عد ذلك فضلم اهلل عليكم 43
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 136-137. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
2017), h. 101.
37
alif, untuk alif qata’ atau penambahan huruf ṣad ( ص ) diatas alif untuk alif waṣl.
Adapun untuk membedakan keduannya adalah dengan memberinya harakat atau
sebaliknya. Alif qata’ sealalu berharkat sesuai dengan bacaanya, sedangkan alif
waṣl hanya dibubuhi harkat ketika berada di awal ayat dan waqaf tam atau di
tengah ayat setelah waqaf tam.
e. Penulisan Hamzah44
Penulisan hamzah pada dasarnya ditempatkan pada tempat atau huruf yang
sesuai dengan bunyinya, kecuali pada tempat-tempat tertentu yang menurut
kaidah rasm tidak menuruti kaidah tersebut, apabila:
1) Hamzah berharkat fathah atau selalu sukun dan sebelumnya berharkat
fathah, maka hamzah tersebut diletakkan diatas alif.
2) Hamzah berharkat kasrah, sukun, dan huruf-huruf sebelumnya berharkat
kasrah, maka hamzah tersebut diletakkan diatas nabrah ya’ tanpa titik.
3) Hamzah berharkat ḍammah, sukun, dan huruf sebelumnya berharkat
ḍammah, maka hamzah tersebut diletakkan diatas waw.
f. Nun Silah (nun waṣl) 45
Nun silah adalah nun kecil yang diletakkan dibawah alif waṣl, yang
berfungsi untuk menyambungkan bunyi nun sukun pada harakat tanwin dengan
harkat sukun pada kata sesudahnya.
44
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 127 – 149. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung, 2017), h. 101-102. 45
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 140. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
2017), h. 102.
38
g. Ṣifr (bulatan) 46
Ṣifr adalah tanda berbentuk bulatan yang diletakkan diatas alif za’idah.
Bentuk alif ṣifr ada dua macam, yaitu ṣifr mustadir (ṣifr bulatan) dan ṣifr mustatir
(ṣifr lonjong). Ṣifr mustadir diletakkan diatas alif za’idah yang tidak berpengaruh
terhadap bacaan, baik ketika waṣl maupun ketika waqaf. Sedangkan ṣifr mustatir
diletakkan diatas alif za’idah yang berpengaruh terhadap bacaan ketika waqaf.
h. Tanda-tanda Waqaf 47
Didalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia waqaf yang ditetapkan
berperan dalam penulisan mushaf ada enam, yaitu ال, صلى, قلى, ج, م , ...- ... . Semua
tanda waqaftersebut berpengruh pada pemberian harkat dan tanda-tanda tajwid
pada huruf-huruf yang sebelum atau sesudahnya. Adapun ke-6 tersebut antara lain
dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, antara lain:
قلى, ج, م (1 tanda-tanda ini berpengaruh pada pemberiian harakat atau
tanda-tanada tajwid berikut ini:
a) Alif Waṣl
Setiap alif waṣl setelah tanda-tanda waqaf tam (berhenti dengan
sempurna), diberi harakat fathah. Karena setiap pembaca yang berhenti
pada tanda waqaf tersebut, boleh melanjutkan bacaanya dengan ayat
46
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 141. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
2017), h. 102. 47
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 142-145. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
2017), h. 102-103.
39
selanjutnya tanpa harus mengulang lagi kebelakang. Maka, untuk
membantu memudahkan pembaca, alif yang terdapat setelah tanda
waqaf tersebut dibubuhi tanda fathah.
b) Tanda-tanda tajwid
Huruf-hururf yang mengandung hukum tajwid, yang berada
setelah atau sebelum tanda waqaf tersebut, maka tidak dicantumkan
tanda-tanda tajwidnya.
ال, صلى (2
a) Alif Waṣl
yang terletak setelah tanda waqaf ال, صلى (ghairu tam), maka
tidak diberi harakat. Karena pada hakikatnya pembaca tidak
diperkenankan untuk berhenti pada tanda waqaf tersebut. Alif waṣl yang
terletak setelah tanda waqaf tersebut tidak dibubuhi harakat untuk
mendorong pembaca agar tidak berhenti di tempat tersebut.
b) Tanda-tanda tajwid
Huruf-huruf yang mengandung hukum-hukum tajwid, yang
berada setelah atau sebelum tanda waqaf tersebut, maka dicantumkan
tanda-tanda tajwidnya.
3) Tanda Waqaf Mu’annaqah (؞ - ؞)48
48
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalm al-Qur’an Standar Indonesia,”
Jurnal Lektur Keagamaan, h. 127 – 149. Dan lihat Atifah Thoharoh, “Mushaf Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah,” (S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung, 2017), h. 104.
40
Adalah suatu tanda waqaf diamana pembaca hanya dibolehkan
berhenti pada salah satu dari kedua tanda tersebut. Selain itu, pembaca juga
boleh tidak berhenti sama sekali pada kedua tanda tersebut. Hukum pada
tanda waqaf ini berbeda dari dua tanda waqaf sebelumnya. Pada tanda
waqaf ini, alif waṣl tidak diberi harakat, dan semua bacaan yang
mengandung hukum-hukum tajwid tidak dicantumkan tanda-tanda
tajwidnya.
5. Landasan Penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
Dalam penulisan Mushaf al-Qur’an Standar digunakan berbagai kitab
rujukan, diantaranya49
:
a. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Jalaluddīn al-Suyūṭī, Beirut: Dār al-Fikr,
tahun 1977.
b. Laṭa’if al-Bayān fī Rasm al-Qur’ān, Muhammad Ahmad Abu Zitihar,
Mesir, Muhammad Ali Ṣubaih wa Auladih, t.t.
c. Manahil al-‘Irfan, Muhamad Abdul ‘Ażim al-Zarqani, Mesir, Isa al-Babi
al-Halabi, Juz I, t.t.
d. Jami’ul Bayan fī Ma’rifat Rasm al-Qur’ān, Sayyid Adli Ismail Handawi,
Riyadh, Darul Furqan, tahun 1410 H.
e. Mushaf al-Qur’an terbitan tahun 1960.
f. Mushaf al-Qur’an (Ayat-ayat pojok) terbitan Menara Kudus.
g. Mushaf al-Qur’an terbitan Mesir, Saudia Arabia, Pakistan dan Bombay.
49
E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal Lektur, h. 295.
41
Gambaran secara umum MASU Indonesia terbitan Menara Kudus
42
B. Mushaf Madinah
1. Defenisi Mushaf Madinah
“Mushaf Madinah adalah mushaf al-Qur’an yang diterbitkan secara resmi
oleh Mujamma’ al-Malik al-Fadl pada tahun 1982 dan atas inisiasi Raja Fahd bin
‘Abd al-‘Azīz Āli Su‘ūd setelah mendirikan Mujamma’....”50
Dalam konteks permushafan al-Qur’an modern, MM menjadi salah satu
mushaf al-Qur’an yang cukup mendominasi di dunia Islam. Sejauh ini belum ada
satupun negara dengan penghasilan percetakan mushafnya melebihi kemampuan
lembaga percetakan al-Qur’an di Saudi Arabia. Selain MM, terdapat beberapa
mushaf yang mengacu sumber yang sama, seperti mushaf-mushaf yang
diterbitkan oleh; al-Qāhirah, Oman, dan Kuwait, namun peredarannya tidak
semasif MM.51
2. Latar Belakang Penulisan Mushaf Madinah
Muhshaf ini adalah produk kontemporer (mu‘ṣir) yang baru dibentuk pada
tahun 1982 oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Azīz
al-Su’ud. Pada tahun-tahun sebelumnya, mushaf yang berkembang di Saudi
Arabia adalah model Bahriyah Turki. Ide penyalinan awal mushaf ini,
berdasarkan surat perintah Raja Saudi No. 1540/ 8 yang meminta Mujamma’
Khādim al-Ḥaramain al-Sharīfain al-Malik al-Fahd li al-Ṭibā‘ah al-Muṣḥaf agar
dapat mencetak mushaf al-Qur’an. Demikian pula, penamaan hasil riset Lajnah
50
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 110. 51
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 111.
43
Muraja’ah Mushaf Madinah al-Nabawiyah (semacam lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur’an) dengan nama “Mushaf al-Madīnah al-Nabawiyah”.52
Sejarah singkat MM dapat dilihat dari upaya Raja Saudi pasca pendirian
Mujamma’ Malik Fahd pada tahun 1982, yang berkeinginan dapat mencetak dan
menertbitkan mushaf al-Qur’an secara mandiri. Upaya ini kemudian dilanjutkan
oleh Kementerian Haji dan Waqaf dan Direktur Mujamma’ Malik Fahd dengan
melakukan MoU antara Rektor Universitas Islam Madinah dan sekjen Mujamma’.
Setelah diterbitkan SK. Rektor Universitas Madinah No. 799 pada tanggal 20/ 04/
1404 H/ 1983 M. terkait tim Lajnah yang akan bertugas. Tim ini diketahui oleh
Dekan Kulliyat al-Qur’ān al-Karīm wa al-Dirāasah al-Islāmiyah (Fakultas al-
Qur’an dan Studi Keislaman) Universitas Islam Madinah, yang waktu itu dijabat
oleh ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Faṭṭāḥ al-Qāri’ ini akhirnya dapat merampungkan
tugasnya setahun kemudian, tepatnya pada bulan Jumada al-‘Ulā tahun 1405 H/
1984 M. dan dicetak perdana pada tanggal 3 Ramadhan di tahun yang sama.53
Proses penyusunan MM boleh dikatakan sangatlah singkat, berbeda
dengan penyusunan MSI yang membutuhkan 9 kali sidang Muker, Mushaf
52
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 111. 53
Muṣḥaf Madīnah al-Nabawiyyah, bab Qarar al-Lajnah, Madinah: Mujamma’ Malik
Fahd li al-Ṭibā‘h al-Muṣḥaf, 1405 H/ 1944 M, h. Lam-mim. Lihat Zainal Arifin Madzkur,
Perbedaan Rasm Usmani, h. 113. Bandingkan dengan tulisan Ahmad Baha’ bin Mokhtar
memaparkan bahwa Mushaf Madinah yang terkenal saat ini, pertama kali ditulis oleh seorang
penulis mushaf yang terkenal di dunia, yaitu Abu Marwan ‘Usman bin ‘Abduh bin Husain bin
Taha. Beliau terkenal dengan nama ‘Usman Taha, ia lahir pada tahun 1934 di Halb, Syria. Beliau
telah dilantik menjadi penulis mushaf di Mujamma’ pada tahun 1988. Sebelumnya ia pernah
menulis mushaf yang pertama di Kemeterian Waqaf Syria pada tahun 1970, tulisan mushaf
tersebut diambil dari empat riwayat yaitu riwayat Hafs, Warsy, al-Duri dan Qalun. Jenis khat yang
digunakan oleh ‘Usman Taha dalam penulisan mushaf Madinah riwayat Hafs dikenal dengan khat
Naskh. Khat ini mulai diperkenalkan oleh al-wazir ibn Muqlah (w. 328 H). Kemudian diperbaiki
oleh Hamad Allah al-Amasi dariTurki dan beberapa orang pakar khat Turki seperti Mustafa
Afandi yang datang pasca Hamad Allah al-Amasi. Lihat Ahmad Baha’ bin Mokhtar, “Hadhf dan
Ithbat al-Alif dalam Ilmu Rasm Usmani Kajian terhadap Tiga Mushaf Terpilih,” (Tesis Jurusan al-
Qur’an dan Hadis, Akdemi Pengajian Islam Universitas Malaya: Kuala Lumpur, 2015), h. 68.
44
Madinah hanya membutuhkan waktu satu tahun. Melihat singkatnya waktu
penyusunannya, besar kemungkinan tim penyusun mushaf ini melakukan
reproduksi “salinan” dari Mushaf edisi Mesir 1923 M atau yang lebih sering
disebut mushaf edisi Raja Fuad I.54
3. Lahirnya Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Madinah
Percetakan Mushaf Madinah dikenal sebagai Mujamma’ al-Malik Fahd.
Mujamma’ adalah sebuah kompleks percetaan mushaf yang terbesar di dunia,
yang terleta di Barat Laut kota Madinah, Arab Saudi, yang bertugas mencetak al-
Qur’an dan terjemahannya ke dalam berbagai bahasa. Percetakan ini merupakan
salah satu upaya pemerintah Arab Saudi untuk membantu agama Islam dan kaum
muslim di seluruh dunia. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa upaya
percetakan ini bukanlah merupakan sebuah proyek, melainkan murni sebagai
bentuk pengabdian kepada umat.55
Komplek Percetakan al-Qur’an Raja Fahd berada dibawah naungan
Kementerian Urusan Islam, Waqaf, Dakwah dan Bimbingan Arab Saudi. Raja
Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz meletakkan batu pertama pembangunan komplek
Mujamma’ tepatnya pada 16 Muharram 1403 H atau 2 November 1982, dan
membuka secara resmi pada 06 Safar 1405 h atau 30 Oktober 1984. Mujamma’
telah memproduksi rata-rata 10 juta salinan mushaf al-Qur’an setiap tahunnya,
dan mendistribusikan mushaf tersebut keseluruh benua. Selain mencetak mushaf
al-Qur’an, pada saat yang sama juga mencetak lebih dari 160 terjemah sejumlah
54
Adanya pertanyaan mengapa MM mengadopsi mushaf al-Qur’an edisi Mesir 1923 M?,
adapun menurut Subḥī al-Ṣālih mushaf edisi Mesir merupakan mushaf pertama yang dapat
diterima keberadaanya oleh mayoritas negara-negara Muslim. Lihat Arifin Madzkur, Perbedaan
Rasm Usmani, h. 114. 55
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 119.
45
193 juta copy. Tidak hanya itu, komplek Mujamma’ juga terdapat studi dan
penelitian yang berkelanjutan untuk membantu percetakan al-Qur’an dan hadis
serta mengupayakan untuk terus menggunakan teknik percetakan yang paling
moderen. Seiring perkembangannya, usaha percetakan ini selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya.56
4. Ciri-ciri Mushaf Madinah
Mushaf Madinah dikatakan dalam pengantar penerbit Mujamma’ Malik
Fahd sebagi mushaf berasm Usmani sebagaimana rentetan jalur sanad hingga
sampai kepada perawi akhir. Maka dapat dikatakan ini sebagai mushaf berstandar
Usmani yang didaulat di wilayah Madinah. Adapun secara umum, ciri-ciri Mushaf
Madinah antara lain:
1. Ciri fisik mushaf
Mushaf Madinah yang penulis teliti adalah Mushaf al-Qur’an a-Karīm
penerbit Mujamma’ al-Malik al-Fahd pada tahun 1439 H. Mushaf ini bervolume
30 juz, 114 surat, dan 6.236 ayat. (Bilangan ini diambil dari riwayat Abū ‘Abd al-
Raḥman ‘Abd al-Allah bin Habib al-Sulami dari ‘Ali bin Abī Ṭālib).57
Panjang mushaf yakni 21.5 cm, lebar 14 cm dan tebal 2.5 cm. Warna
cover (sampul) mushaf ini yaitu hijau tua dan memiliki sampul tebal. Tulisan
yang terdapat pada cover mushaf yaitu nama mushaf dan penerbit mushaf.
Adapun kertas yang digunakan kertas HVS berwarna putih.
56
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 120. 57
Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ Malik Fahd, tahun 1439 H
46
Satu juz berisi 10 lembar atau sama dengan 20 halaman bolak-balik,
kecuali ada satu juz yang berjumlah 21 halaman yakni pada juz 30 yang
berjumlah 23 halaman.
Al-Qur’an Madinah ini merupakan al-Qur’an pojok, artinya pada setiap
ayat tidak ada yang terpotong kehalaman lain. Pojok awal kanan atas sebagai awal
ayat, dan pojok akhir kiri bawah sebagai akhir ayat. Hal ini salah satu cara untuk
memudahkan bagi para pembaca dan penghafal al-Qur’an.
2. Penulisan hamzah Qata’
Hamzah Khata’ adalah hamzah yang selalu dibaca, baik di awal, di tengah
maupun di akhir kata atau kalimat. Contoh: . Penulisan hamzah selalu
dibubuhkan dimanapun posisinya. Baik ia sebagai fathah, kasrah, maupun
ḍammah.58
3. Penulisan hamzah waṣl59
Hamzah waṣl adalah hamzah yang kondisional, artinya ia boleh dibaca
juga boleh tidak dibaca. Pada mushaf ini, berlaku kaidah tidak dianjurkan
membaca jika hamzah tersebut berada ditengah. Namun, jika keberadaannya di
awal ayat, maka dianjurkan untuk membacanya. Contoh: .
Pada awal ayat diatas alif terdapat potongan kepala ص, yang berarti
berlaku hukum waṣl. Hal ini diartikan sebagai perintah, jadi posisinya ia tetap
58Maftuh Basthul Birri, Mari Memaknai al-Qur’an Rasm Usmani (RU): Kajian Tulisan
al-Qur’an dan Pembangkit Generasinya (Kediri: Madrasah Murottilil Qur’anil Karim Pon. Pes.
Lirboyo Kediri, 2009), h. 108. Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar
Indonesia,” h. 120. 59
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 121.
47
harus dibaca. Namun, apabila ia berada di tengah, maka lebih baik tidak dibaca.
Adapun apabila posisinya di tengah alif tidaklah bersimbol potongan kepala ص,
melainkan berdiri sendiri tanpa simbol.
4. Penulisan lafaz Allah
Dalam mushaf Madinah, penulisan lafadh ditulis dengan menggunakan
fathah biasa, bukan fathah berdiri.
5. Penulisan huruf ya’ ganda60
Dalam mushaf al-Qur’an, penulisan ya’ berganda memiliki perbedaan
antara mushaf satu dengan yang lainnya. Adapun dalam Mushaf Madinah,
penulisan ya’ berganda seperti dalam QS. al-Qiyamah: 40 ئى ya’ kedua pada , يم
kata tersebut ditulis kecil dengan litekkan diatas diantara dua ya’, karena terdapat
dua ya’ berhimpitan yang berharakat hidup, maka ya’ yang depan dikecilkan, dan
ya’ belakang tetap pada posisinya.
6. Huruf mad 61
Penulisan huruf mad pada Mushaf Madinah ditulis polos tanpa dibubuhi
tanda harakat sukun. Contoh: تعملمون. Kaidah ini akan berbeda pula penerapannya
jika huruf mad yang dimaksudkan tersebut menghasilkan bunyi, seperti pada kata
Huruf mad (waw sukun) pada huruf tersebut dibubuhi sukun, cara .ويوم
membacanya yakni dengan menambahkan huruf “w” pada saat memantulkan waw
sukunnya.
60
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 125. 61
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 125.
48
7. Penulisan fathah berdiri 62
Dalam Mushaf Madinah penulisan fathah berdiri berimplikasi pada
panjang pendeknya pembacaan. Versi ini dalam Mushaf Madinah berlaku satu
ketukan, adapun pada mushaf Indonesia berlaku pembacaan dua ketukan.
Contoh:
8. Penulisan tanda sukun 63
Penambahan tanda sukun pada Mushaf Madinah tidak berlaku pada
semua huruf mati. Huruf mati yang diberi sukun hanya huruf yang terbaca iżhar
(jelas). Adapun jika dibaca idgham sempurna, maka harus dikosongkan dari
penambahan sukun dan huruf berikutnya harus dibaca tasydid. Berbeda pula
pada hukum bacaan ikhfa’, huruf yang mati tetap tidak disukunkan. Tetapi huruf
setelahnya juga tidak ditambahi tanda tasydid.
9. Tanda Waqaf 64
Berdasarkan rekomendasi lembaga Lajnah al-‘Alamiyah Madinah al-
Nabawiyah, Mushaf Madinah memiliki lima rumusan tanda waqaf. Adapun
tanda waqaf tersebut, antara lain: صلى, قلى, ج, م ,. :- :.
Rumus yang digunakan untuk waqaf lazim = م
Rumus waqaf jaiz = قلى /ج
62
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 125. 63
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 126. 64
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 126.
49
. :- :. = Rumus untuk menunjukkan tempat waqaf pada salah satu tanda. Jika
berhenti pada tanda waqaf awal, maka untuk tanda waqaf (titik tiga)
berikutnya berlaku hukum waṣl.
5. Landasan Penulisan Mushaf Madinah
Adapun penulisan rasm Mushaf Madinah lebih merujuk pada kitab-kitab
induk yang masyhur, diantaranya65
:
a. al-Muqni’ fī Ma’rifah Marsum Masahif Ahl al-Amsar karya Abu ‘Amru
‘Usman Ibn Sa‘id al-Dani
b. Mukhtasar al-Tabyin fī Hija’ a;-Tanzil karya Abu Dawud bin Sulaiman
bin Najah.
c. al-Muḥkam fī Nuqṭ al-Maṣāḥif karyaa Abu ‘Amru ‘Usman Ibn Sa‘id al-
Dani.
d. al-Ṭirāz ‘Alā Ḍabṭ karya Imam al-Tanasi.
e. Laṭa’if al-Bayān fī Rasm al-Qur’an.
65
Atifah Thoharoh, “Mushaf Madinah dan Mushaf Standar Indonesia,” h. 128.
50
Gambaran secara umum Mushaf Madinah Saudi Arabia terbitan Mujamma’
Malik Khādim al-Ḥaramain al-syarīfaini al-Malik al-Fahd
51
BAB III
PERKEMBANGAN RASM ‘UṠMĀNI
A. Perkembangan Rasm ‘Uṡmāni
1. Defenisi Rasm ‘Uṡmāni
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, yang berarti menggambar atau
melukis. Adapun istilah rasm dalam ‘ulūm al-Qur’ān diartikan sebagai pola
penulisan al-Qur’an yang digunakan ‘Uṡmān dan para sahabatnya ketika menulis
dan membukukan al-Qur’an.1
Zainal Arifin Madzkur dalam jurnalnya mengungkapkan definisi rasm
secara etimologi, rasm berarti األثر yang bermakna bekas, peninggalan. Dalam
bahasa Arab rasm memiliki beberapa sinonim, seperti الز ب ور ,الرسم ,اخلط dan السطر
yang semuanya memiliki arti sama, yaitu ‘tulisan’. Usmani, dengan yā’ nisbah
dalam disiplin bahasa Arab adalah penisbatan terhadap nama khalifah ketiga,
‘Uṡmān bin ‘Affān. Dengan demikian, menurut bahasa, rasm usmani dapat
dimaknai sebagai bekas penulisan al-Qur’an yang polanya pernah dibakukan pada
masa Khalifah ‘Uṡmān bin ‘Affān.2
Adapun secara terminologi diantaranya diartikan sebagai cara penulisan
al-Qur’an yang telah disetujui oleh ‘Uṡmān bin ‘Affān pada waktu penulisan
1M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 30.
2Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 3.
52
mushaf.3 Mannā’ al-Qaṭṭān menyebutkan bahwa rasm usmani merupakan pola
penulisan al-Qur’an yang lebih menitik beratkan pada metode (ṭarīqah) tertentu
yang digunakan pada waktu kodifikasi mushaf pada zaman Khalifah ‘Uṡmān bin
‘Affān yang dipercayakan kepada Zaid bin Ṡābit.4
Rasm tersebut dinisbatkan kepada Khalifah ‘Uṡmān bin ‘Affān karena ia
yang menetapkan pola penulisan al-Qur’an yang dilakukan Zaid bin Ṡābit,
‘Abdullāh bin Zubair, Sa‘ad bin al-‘Āṣ dan ‘Abdullāh bin ‘Abdurraḥmān bin al-
Ḥāriṡ bin Hisyām.5 Adapun yang dijadikan rujukan oleh ‘Uṡmān adalah ṣuḥuf
Abū Bakar, yang merupakan hasil pengumpulan dari naskah-naskah para penulis
wahyu Rasulullah Saw.6
2. Sejarah dan Perkembangannya
Sejarah mencatat bahwa pengetahuan tulis menulis pada masa pra-Islam,
telah tersebar luas dikalangan penduduk Makkah dan Madinah. Perkembangan
bentuk tulisan Arab ketika itu masih tanpa harakat (syakl) dan titik (i’jam).
Teori dari kalangan sarjana Barat menyebutkan bahwa, tulisan Arab
berasal dari tulisan Nabthi (Nabatean)7 yang ditransformasikan ke dalam karakter
tulisan Arab pada abad ke-4 atau ke-5. Menurut Taufik Adnan Amal, proses
transformasi ini kemungkinannya berlangsung di Madyan atau di kerajaan
Gassanid (Gasaniyah). Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan awal
3Departemen Agama RI Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Puslitbang Letur
Agama, h. 10. 4Mannā Khalil’ al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ‘Ulūmil Qur‘ān, h. 146.
5Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 3.
6Mannā Khalil’ al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ‘Ulūmil Qur‘ān, h. 146.
7Theodor Noldeke, pada tahun 1865 mengakui bahwa skrip Nabataenlah yang pertama
mempengaruhi perkembangan skrip Arab Kūfi. Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm
‘Usmani, h. 129.
53
tulisan ini adalah pengaruh perniagaan, hingga akhirnya menyebar ke wilayah
Arab Utara dan Selatan. Bahkan pada permulaan abad ke-6, tulisan tersebut telah
mencapai daerah Siria Utara dan sebagian wilayah yang menggunakan bahasa
Arab, khususnya Makkah dan Madinah.8
Berbeda dengan sarjana Barat, sejarawan Arab berpendapat bahwa tulisan
Arab berasal dari Hirah (sebuah kota dekat Babilonia) dan Anbar (sebuah kota di
Efrat). Hal ini sesuai kisah bahwa tulisan Arab sampai ke Makkah melalui Ḥarb
Ibn Umayyah ibn ‘Abd al-Syams yang dipelajarinya dari orang-orang yang
dijumpainya dalam perjalanan. Sedangkan pendapat dari Ibn al-Nadhim
mengemukakan suatu riwayat Ibnu ‘Abbās yang menyebutkan bahwa orang
pertama yang menulis aksara Arab berasal dari suku Bawlan yang mendiami
Anbar.9
Dalam perkembangan tulisan Arab terdapat dua jenis tulisan Arab,
pertama adalah khat Kufi, yang dinisbatkan mengikuti kota Kufah, yaitu tempat
berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara tersebut.
Adapun bentuk tulisan ini dikatakan tulisan yang paling mirip dengan tulisan
8Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Alvabet: 2005), h.
147. 9Disebutkan bahwa mereka adalah Abu Jad, Hawwas, Huṭṭi, Kalamun, Sa’fad dan
Qurusa’at (nama raja-raja Madyan pada masa Nabi Syu’aib). Lihat Taufik Adnan Amal,
Rekontruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Alvabet: 2005), h. 147. Bandingkan dengan
riwayat yang dinukil oleh Ibnu Faris dalam kitab Fiqhul Lughah, h. 7, yang dipaparkan oleh al-
Suyūṭi, bahwa Ibnu Asytah meriwayatkan dalam kitab al-Masohif mengatakan, “Yang pertama
menulis Bahasa Arab, Suryani dan semua kitab-kitab adalah Adam as. sebelum meninggal 300
tahun yang lalu. Dia menuliskan pada suatu tanah yang dibakarnya. Maka, ketika terjadi banjir
besar setiap kaum menemukan tulisan itu kemudian mereka menulisnya kembali. Adapun yang
mengatakan bahwa yang menemukan tulisan Arab adalah Ismail. Bahkan dia yang membuat setiap
kata dengan lafadz dan maknanya, dan menjadikannya sebagai satu buah tulisan, seperti sesuatu
yang saling menyambung tanpa dipisah pada masing-masing hurufnya. Kemudian dipisahkan oleh
anak-anaknya. Lihat Jalāluddīn al-Suyūṭī, Samudera ‘Ulumul Qur’an (al-Itqān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān) jilid 1. Penerjemah Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), h.
215.
54
orang-orang Hirah (Hiri) yang bersumber dari tulisan Suryani (Siriak).
Penggunaan khat Kufi ketika itu untuk menyalin tulisan al-Qur’an. Kedua adalah
khat Naskhi, yang bersumber dari tulisan Nabthi (Nabathean). Khat ini biasanya
digunakan dalam surat-menyurat.10
Pada abad ke-7 Masehi–pada masa Rasulullah Saw, tulisan yang
digunakan hanya terdiri atas simbol dasar. Seluruh huruf biasanya dituliskan
dengan cara yang sederhana dengan bentuk garis lurus tanpa titik dan baris.
Keadaan seperti ini berlangsung hingga pada masa khalifah, penulisan al-Qur’an
masih dalam bentuk yang sama belum ada penambahan apapun.11
Bahkan pada masa Khalifah ‘Uṡmān, mushaf masih diseragamkan dalam
satu bacaan, belum adanya harakat dan tanda baca. Hal ini dikarenakan pada masa
itu, masyarakat masih mengandalkan pada hafalan. Namun berbeda dengan
masyarakat awam, tentu akan mengalami kesusahan dan adanya kemungkinan
kesalahan dalam membaca al-Qur’an. Seperti diketahui, pada masa permulaan
Islam mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf
Usmani tidak seperti yang dikenal saat ini yang dilengkapi dengan tanda-tanda
baca.12
Sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ى) dan ba’ (ب). Demikian
pula antara sin (س) dan syin (ش), antara ṭa’ (ط) dan ẓa’ (ظ), antara jim (ج), ḥa
dan seterusnya. Meski demikian, para sahabat belum ,(خ) ’dan kha (ح)
10
Atifah Thoharoh, “Mushaf Stabdar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 52. 11
Atifah Thoharoh, “Mushaf Stabdar Indonesia dan Mushaf Madinah,” h. 53. 12
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm ‘Usmani, h. 48–49.
55
menemukan kesulitan membacanya, karena mereka masih mengandalkan
hafalan.13
Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam meluas ke wilayah-wilayah
non Arab, seperti Persia di sebelah Timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa
wilayah lainnya. Masalah ini mulai disadari oleh pemimpin dunia Islam ketika
Ziyād bin Samiyyah menjabat Gubernur Bashrah pada masa Mu‘āwwiyah bin Abī
Sufyān (661-680 M). Ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Dualī membuatkan
tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-
Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.14
Adanya kekhawatiran salah baca inilah kemudian yang menggerakkan
Ziyād, Gubernur Basrah memerintahkan Abu al-Aswad al-Dualī untuk
memberikan tanda baca pada al-Qur’an. Al-Suyūṭi dalam al-Itqān menyebutkan
bahwa yang memerintahkan al-Dualī bukanlah Ziyād, melainkan ‘Abd Malik bin
al-Marwān pada masa kekhalifahan Mu‘āwwiyah bin Abī Sufyān.15
Pada waktu itu, Abu al-Aswad al-Dualī tidak langsung menerima
permintaan tersebut karena bertentangan dengan masa Nabi. Terlebih dalam hal
ini adanya penambahan simbol bacaan al-Qur’an yang tidak dilakukan masa
13
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 97. 14
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 97. 15
Atifah Thoharoh, Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah, h. 54. Hal senada
juga diungkapkan oleh Zainal Arifin yang memaparkan bahwa tanda diakritik diawali dengan
harakat berbentuk titik (naqt al-i’rāb) atas jasa Abu al-Aswad al-Dualī atas perintah Gubernur
Basrah Ziyad (berkuasa pada tahun 45-53 H/ 666-673 M) pada masa kekhalifahan Mu’awwiyah,
disusul kemudian titik huruf (naqqt al-I’jam) atas jasa besar Naṣr bin ‘Aṣim (w. 90 H/ 709 M) dan
Yaḥyā bin Ya’mar (w. sebelum 90 H) pada masa ‘Abd al-Malik bin Marwān (w. 86 H/ 705 M).
karena membingungkan, sebab keduanya sama-sama dengan tanda titik, kemudian disempurnakan
oleh Khalil bin Aḥmad (w. 170 Hl 786 M) titik harakat yang kita kenal sekarang. Lihat Zainal
Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 49
56
sebelumnya. Namun di kemudian hari ia pernah mendengar seseorang membaca
bacaan yang salah, sebagaimana dalam firman-Nya:
شركنيورس ول ه أنالل بريءمنامل
“Bahwa Allah dan Rasulnya memutuskan hubungan dengan kaum
musyrikin” (QS. al-Taubah/9: 3)
Pada potongan ayat tersebut dibaca dengan رس وله, sehingga itu mengubah
artinya, “Bahwa Allah memutuskan hubungan dari kaum musyrikin dan dari
Rasul-Nya.” Mendengar bacaan ini, al-Dualī sangat terkejut dan beberapa hari
kemudian ia pergi ke Basrah untuk menemui Ziyād dan berkata: “Aku bersedia
memenuhi permintaan anda.” Semenjak peristiwa itulah ia mulai bekerja dengan
giat dan dengan ijtihadnya ia meletakkan tanda baca pada rasm al-Qur’an.16
Rasm al-Qur’ān mengalami perkembangan yang sangat pesat pada
beberapa periode berikutnya. Khalifah ‘Abd Malik bin al-Marwān memerintahkan
al-Hajjāj bin Yūsuf al-Ṡaqafī untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an
(naqth al-Qur’an17
). Ia memberikan tugas itu kepada Naṣr bin ‘Āṣim al-Laitṡi18
dan Yaḥyā bin Ya’mar,19
keduanya adalah murid al-Dualī. Kedua orang inilah
16
Al-Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, h. 117-118. 17
Ilmu naqth ini dibagi menjadi dua, (1) naqt al-I’rāb yang berarti titik untuk
menandakan baris huruf, seperti baris fathah, kasrah dan ḍammah, (2) naqt al-I’jām yaitu berarti
titik yang menandakan jenis huruf, seperti titik pada huruf ba’, ta’ dan tsa’. Lihat Zainal Arifin,
“Harakat dan Tanda Baca Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dalam Perspektif Ilmu Dabt,”
Jurnal Ṣuḥuf, vol. 7, no. 1 (Juni 2014): h. 6. 18
Salah sseorang ahli qira’at di Bashrah, belajar dari Abul-Aswad ad-Duali dan Yahya bin
Ya’mar. Abu ‘Amr bin al-‘Ala belajar dari Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi, wafat tahun 89 H. 19
Ia adalah Yahya bin Ya’mar, bermukim di Bashrah sekitar tahun 45 H. Separuh
umumnya dihabiskan untuk hidup di Irak kemudian pindah ke Khurasan. Ia sangat simpati kepada
‘Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya. Menurut riwayat ia belajar hadis-hadis dari Ibnu ‘Abbas
dan Ibnu ‘Umar, sedangkan Qatadah belajar dari Yahya bin Ya’mar. Beliau wafat pada tahun 129
57
yang memberikan tanda titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai
kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas
huruf dal د maka menjadi huruf dzal ذ, penambahan titik yang bervariasi pada
sejumlah huruf dasar ب maka menjadi huruf ث ت, ب, dan huruf dasar ح
menjad خ ح, ج, dan ر dibedakan dengan س ز, dibedakan dengan ص ش,
dibedakan dengan ط ض, dibedakan dengan ع ظ, dibedakan dengan ف ع,
dibedakan dengan ق.20
Dalam perkembangan selanjutnya, semakin besar perhatian orang kepada
usaha penulisan al-Qur’an. al-Khalīl21
adalah sebagai penyempurna teori naqt
(titik bulat) ke dalam benuk huruf kecil atau yang belakangan dikenal sebagai
harakat seperti yang berlaku hingga sekarang. Al-Khalīl memberikan kreasi-kreasi
baru dalam ilmu dabt/ syakl yakni dengan merumuskan syiddah dengan kepala
sin, sukun dengan kepala kha’, dan lain-lain.22
Dari pola penulisan tersebut
akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti
pola Kūfi, Maghribi, Nagsh, dan lain-lain.23
H. Dan ia pernah menjabat sebagai Qadhi (hakim) di sebuah kota terkenal dengan nama Muruw,
dan di kota itulah ia wafat. Lihat al-Subhi al-Salih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, h. 117. 20
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 98. 21
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Raḥman al-Khalīl bin Aḥmad bin ‘Amr bin Tamīm
al-Farāhīdī al-Azdī, dan dikenal dengan nama panggilan Abu ‘Abdurrahman. Ia adalah seorang
ahli bahasa Arab dan Sastrawan. Wafat pada tahun 175 H. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Al-
Khalil_bin_Ahmad_al-Farahidi diakses pada tanggal 30 Oktober 2018, pukul 10.31 WIB. 22
Zainal Arifin, “Harakat dan Tanda Baca Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dalam
Perspektif Ilmu Dabt,” Jurnal Ṣuḥuf , h. 7. 23
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 98.
58
3. Macam-macam Rasm dalam Penulisan al-Qur’an
Melihat dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat Arab, maka rasm
dibagi menjadi 3 macam24
:
a. Rasm Qiyāsī
Rasm Qiyāsī yaitu menuliskan kalimat sesuai dengan ucapannya dengan
memperhatikan waktu memulai dan berhenti pada kalimat tersebut. Kecuali nama
huruf hija’iyyah, seperti huruf (ق) tidak ditulis (قاف) tapi dengan (ق) saja.25
Menurut al-Suyūṭī Rasm Qiyāsī diartikan sebagai “...Penulisan kata
berdasarkan huruf hijaiyah, bukan nama hurufnya dengan tetap memperhatikan
waktu memulai (ibtida’) dan berhentinya (waqf). Misalnya, ص ن, ق, dan ج.
Kata-kata tersebut qiyas-nya adalah: جيم,صاد,نون,قاف ....”26
Contoh dari Rasm Qiyāsī adalah lafaz (انا) ditulis dengan (انا) walaupun
jika dilanjutkan alifnya hilang seperti (انانذير). Begitu juga dengan hamzah wasal
seperti (احلق tetap harus ditulis, walaupun tidak diucapkan pada waktu ia (جاء
24
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 50. 25
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama Puslitbang Lektur Agama, 1998/ 1999), h. 9. 26
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 50.
59
berada di tengah kalimat, sebab jika dimulai dari awal kalimat maka diucapkan
27.(احلق جاء)
b. Rasm ‘Arūḍī28
Rasm ‘Arūḍī ialah cara menuliskan kalimat-kalimat Arab disesuaikan
dengan wazan (timbangan) dalam sya’ir-sya’ir Arab. Hal itu dilakukan untuk
mengetahui “Baḥr” (nama macam sya’ir) dari sya’ir tersebut.
Contohnya seperti potongan sepotong Sya’ir Imri’il Qais yang seharusnya
berbunyi; ارخىسدوله karena harus menyesuaikan dengan wazan ,وليلكموجالبحر
baḥr ṭawīl yang berbunyi; عيلني مفا عيلنيفعولون مفا فعولون kemudian berubah
menjadi: وليلنكموجالبحرأرخىسدوهلو.
c. Rasm ‘Uṡmānī
Rasm ‘Uṡmānī ialah cara penulisan kalimat-kalimat al-Qur’an yang telah
disetujui oleh Sahabat ‘Uṡmān bin ‘Affān pada waktu penulisan mushaf dan Rasm
‘Uṡmānī ini memiliki spesifikasi berbeda dengan rasm sebelumnya. Adanya
perbedaan ini menjadikan Rasm ‘Uṡmānī menjadi bagian dari salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm ‘Uṡmānī.29
27
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, volume 1 (Jakarta : Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, Puslitbang Lektur Agama, 1999), h. 9. 28
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, h. 10. 29
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, h. 10.
60
Rasm ‘Uṡmānī ini memiliki kaidah-kaidah dalam penulisannya, al-Suyūṭī
membagi kaidah tersebut ke dalam 6 kaidah.30
Yaitu membuang huruf (al-Ḥażf),
menambah huruf (al-Ziyādah), penulisan hamzah (al-Hamz), penggantian huruf
(al-Badl), menyambung dan memisahkan tulisan (al-Faṣl wa al-Waṣl), dan
menulis salah satu kalimat yang memiliki bacaan lebih dari satu bacaan (fīma fīhi
Qira’atāni fakitabati ‘alā Iḥdāhumā).
4. Kaidah-kaidah Rasm ‘Uṡmāni
“Upaya merumuskan kaidah rasm usmani sebenarnya sudah dimulai sejak
masa sebelum al-Dānī, tepatnya pada masa Abil-‘Abbās Aḥmad bin ‘Ammār al-
Mahdawī (w. 440 H/ 1048 M) dalam kitabnya Hija’ Maṡāḥifīl-Amṣār. Dalam
pengantarnya ia memformulasikan delapan kaidah ilmu rasm yang terdiri dari; (1)
pembahasan penulisan ha’ dan ta’ terkait bentuknya sebagai ta’ ta’niṡ, (2)
pembahasan tentang al-Maqṭū’ dan mauṡūl, (3) pembahasan tentang żawātul-ya’
dan wau, (4) pembahasan tentang hamzah, (5) pembahasn tentang ḥażf dan
ziyādah, (6) pembahasan tentang bertemunya dua hamzah, (7) pembahasan
tentang alif waṣal, dan (8) pembahasan tentang huruf-huruf yang diperselisihkan
dalam mushaf penduduk Hijaz, Irak, dan Syam....”31
Namun upaya rumusan belakangan yang lebih banyak diterima dan diikuti
oleh para pemerhati ilmu rasm usmani adalah formulasi yang disusun oleh al-
30
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2 (Bairut-Libanon: Dār al-Kitab
al-‘Ilmiyyah), h. 329. 31
Zainal Arifin Madzkur, “Mengenal Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 55.
61
Suyūṭī (w. 911 H/ 1505 M) yang membakukan kaidah rasm usmani menjadi enam
pokok,32
diantara kaidah-kaidahnya yaitu:
a. al-Ḥażf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
al- Ḥażf dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar ḥażf yang berarti
membuang atau menghilangkan (sesuatu). Adapun dalam ilmu rasm, istilah ḥażf
berarti menggugurkan salah satu dari lima huruf hiyaiyyah yaitu alif, wau, ya’,
lam, dan nun dengan ketentuannya masing-masing.33
Misalnya, diantara syarat
membuang alif adalah jika alif tersebut berada pada 5 keadaan sebagai berikut;
jama’ mużakar sālim, mu’annaṡ sālim. Alif taṡniyah dan ‘ajamiyah.34
Pembagian
istilah ḥażf huruf sendiri terbagi menjadi tiga macam35
:
1) Ḥażf Isyārah adalah membuang huruf dengan tujuan mengisyaratkan adanya
bacaan lain.
2) Ḥażf Ikhtisar adalah membuang huruf dengan tujuan untuk meringkas tulisan,
sebab seringnya kata tersebut terulang dalam al-Qur’an. Seperti membuang
alif dari setiap jama’ mużakar sālim jika setelah alifnya bukan hamzah atau
tasydid. Contoh: الصدقني, احلفظني .العلمني,
32
Para pendukung enam kaidah penulisan rasm ‘Usmani selain al-Suyūṭī antara lain: al-Qastalanī,
al-Ḍabbā‘, Muḥammad ‘Aqīb al-Junkī, dan Muḥammad Ḥabīb Allāh al-Shinqiṭī, ‘Abd al-Karīm
Ibrahīm Ṣālih, daur al-Azhar al-Sharīf fī Khidmah al-Muṣḥaf al-Sharīf. Zainal Arifin Madzkur,
Perbedaan Rasm Usmani, h. 54. 33
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, h. 18. 34
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 55. 35
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, h. 18.
62
3) Ḥażf Iqtiṣar adalah membuang huruf pada kalimat tertentu saja. Seperti
membuang huruf alif pada kata امليعد (QS. al-Anfal: 42) hanya dalam ayat ini
saja. Sedangkan امليعاد pada tempat lain ditulis dengan alif.
Adapun huruf-huruf yang di buang dalam penulisan rasm usmani ada 5,
yaitu alif, wau, ya’, lam dan nun. Diantaranya:
1) Ḥażf al-ḥuruf (pembuangan huruf)36
Tabel 3.1 Pembuangan huruf
No. Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
يعبادى ياعبادى .1Menghilangkan huruf alif
setelah huruf ya’ nida’
(panggilan)
هاؤآلء هؤآلء .2Menghilangkan huruf alif
setelah huruf ha’ tanbih (untuk
peringatan)
Menghilangkan huruf alif pada أجنينكم أجنيناكم .3
dhamir nā
Menghilangkan huruf lam خلف خالف .4
Menghilangkan salah satu dari الضللة الضاللة .5
dua huruf lam
Menghilangkan huruf alif pada رجلن رجالن .6
semua musanna.
الصلحون الصاحلون .7Menghilangkan huruf alif
semua jama’ tashih baik
mudzakar ataupun mu’annas
36
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 147.
63
اله االه .8
Menghilangkan huruf alif dari
lafazh jalalah. Dan termasuk “
-dan cabang ” لكن “ ” أولئك
cabang yang empat seperti الل,
سبحن,الرمحن,إله diamanapun
tempatnya. Kecuali: “ ق لس بحان
37” رب
ابرهيم ابراهيم .9Membuang alif pada nama
yang lebih dari tiga huruf, dan
إمسعيل,ميكئيل
Menghilangkan huruf alif dari ثلث ثالث .10
isim ‘Adad
املسكني املساكني .11Menghilangkan huruf alif dari
setiap jama’ menurut wazan
مفاعيل
باغ باغى .12
Menghilangkan huruf ya’
apabila terletak pada isim
manqush yang dibaca tanwin,
baik yang dibaca rafa’ atau
jar.
Menghilangkan huruf ya’ dari يرب يرب .13
mutakallimin Wahdah.38
Menghilangkan huruf wau فانفأ وا فانفأ ووا .14
apabila bergandengan.39
37
QS. al-Isrā’/17: 93. Pada ayat ini kata س بحان tidak di ḥażf karena dapat menimbulkan
perbedaan makna. 38
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal-Refleksi, vol. 13, no. 2 (April 2012): h. 19.
64
اليل الليل .15
Menghilangkan huruf lam
yang dibaca idgham. Kecuali
للا ,اللهم,اللعنة dan cabang-
cabangnya, اللهب,اللطيفاللومة,
40اللهو,اللغو,الالت,اللمم
2) al-Ziyādah al-ḥuruf (penambahan huruf)
al-Ziyādah al-ḥuruf adalah memberi tambahan huruf dalam suatu kata,
namun tidak mempengaruhi bacaannya baik ketika waṣal maupun waqaf. Adapun
penambahan huruf-huruf dalam disiplin ilmu rasm ada tiga, yaitu: huruf alif, ya’
dan waw.41
Contohnya42
lihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Penambahan huruf
No. Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
Menambahkan alif setelah مالقوارهبم مالقورهبم .1
huruf wau
الباباولوا اولوالباب .2
Menambahkan ya’ setelah نبائ نباء .3
huruf hamzah
Menambahkan wau setelah ساوريكم ساريكم .4
huruf hamzah
39
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal-Refleksi, h. 19. 40
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 149. 41
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 151. 42
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 56.
65
3) al-Hamzah (penulisan hamzah)43
Penulisan hamzah dalam rasm usmani ada empat macam pola, yaitu; a)
terkadang ditulis dalam bentuk alif, b) terkadang ditulis dalam bentuk huruf waw,
c) terkadang ditulis dalam bentuk huruf ya’, dan d) terkadang tanpa bentuk (ḥażf
ṣūrah), sebagaimana dalam contoh tabel:
Tabel 3.3 Penulisan hamzah
No. Rasm Imlai Rasm Usmani Keterangan
1. Penulisan hamzah dalam شطئه شطاه
bentuk ya’
2. Penulisan hamzah dengan الرؤيا الرءيا
bentuk waw
4) al-Badl al-ḥuruf (penggantian huruf)44
Penggantian huruf dalam disiplin rasm usmani menyangkut beberapa
ketentuan. Adakalanya mengganti alif dengan huruf waw, alif diganti dengan
huruf ya’, huruf waw diganti dengan alif, nun taukid khafifah boleh diganti
dengan nun, boleh juga dengan alif, serta ta’ ta’nith diganti dengan huruf ha’.
Sebagaimana dalam contoh:
Tabel 3.4 Penggantian Huruf
No. Rasm Imlai Rasm Usmani Keterangan
1. الصلوة الصالة
Alif diganti dengan huruf
waw 2.
احليوة احلياة
43
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 57. 44
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 58.
66
5) al-Faṣl wa al-Waṣl (pemisahan kata dan penyambungan kata)45
Yaitu menyambungkan suatu lafadz dengan lafadz lain yang semestinya
dipisahkan, dan sebaliknya yang semestinya digabung, justru dipisahkan.
Contohnya:
1) Kata yang disambung
Tabel 3.5 Penyambungan Kata
No. Rasm Imlai Rasm Usmani Keterangan
1. اال أنال
Penulisan ‘an disambung
dengan lā. Kecuali: QS. al-
A’rāf/7: 105 dan 109, QS.
Hūd/11: 14 dan 26, QS. al-
Hajj/22: 26, QS. YāSīn/36:
60, QS. ad-Dukhān/44: 19,
QS. al-Mumtaḥanah/60: 12,
QS. al-Qalam/68: 24.
2. مما منما
Penulisan mīn disambung
dengan mā. Kecuali: QS. al-
Nisā’/4: 25, QS. al-
Munāfiqūn/63: 10, QS. al-
Rūm/30: 28.
3. عما عنما
Penulisan mīn disambung
dengan mā. Kecuali:
عنمان ه وا -
4. إما إنما
Penulisan in disambung
dengan mā. Kecuali dalam
surat ar-Ra’du:
إنمان ري نك -
5. عمن عنمن
Penulisan ‘an disambung
dengan man. Kecuali dalam
surat an-Nur:
يصرف ه عنمن -
6. Dalam keseluruhan al-Qur’an فيما يفما
penyaalinan kata ini disalin
45
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 155.
67
tersambung (فيما ), kecuali:
QS. al-Baqarah/2: 240, QS.
al-Māidah/5: 48, QS. al-
An’ām/6: 145, QS. al-
Anbiyā’/21: 102, QS. al-
Nūr/24: 14, QS. al-
Syu’arā’/26: 146, QS. al-
Rūm/30: 28, QS. al-
Zumar/39: 46 dan 30, QS. al-
Wāqi’ah/56: 61.
2) Kata yang dipisah
Tabel 3.6 Pemisahan Kata
No. Rasm Imlai Rasm Usamni Keterangan
1. Penulisan aina dipisah أينما أينما
dengan mā.
2. فانل فال
Dalam keseluruhan al-Qur’an
penyalinan kata ini disalin
dengan terpisah ) فانل (, kecuali pada surat Hud ayat
1446
:
يستجيب والك مفال -
3. بئسما بئسما
Dalam keseluruhan
al-Qur’an penyalinan kata
(ما بئس) , kecuali pada tiga
tempat: QS. al-Baqarah/2: 90,
QS. al-Baqarah/2: 93, QS. al-
A’rāf/7: 150.
6) Fīmā fihi qirā’atāni fakutiba ‘alā iḥdāhumā (Menulis salah satu qira’at
yang memiliki bacaan lebih dari satu)47
Penulisan dalam kaidah ini, disepakati oleh para pakar studi ilmu-ilmu al-
Qur’an, bahwa bila terdapat kalimat-kalimat yang memiliki macam qira’ah
46
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 53. 47
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 156.
68
berbeda, maka boleh dituliskan dengan salah satunya.48
Adapun penggunaan
qira’ah yang dimaksud al-Suyūṭī bukan qira’ah shaẓah.49
Sebagaimana dalam
contoh pada tabel dibawah50
:
Tabel 3.7 Menulis salah satu qira’at yang memiliki bacaan lebih dari satu
No. Qira’ah Qālun dari
Nāfi’
Qira’ah Ḥafṣ dari
‘Āṣim Keterangan
1. Karena keduanya qira’ah وسارعوا سارعوا
mutawātir maka ditulis,
dengan dua versi, sesuai
dengan qira’atnya. 2.
ووصى واوصى
5. Pola dan Kedudukan Menulis al-Qur’an dalam Rasm ‘Uṡmāni
Kedudukan rasm ‘uṡmānī diperselisihkan para ulama, apakah pola
penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi) atau hanya ijtihad
dikalangan sahabat. Pola penulisan al-Qur’an secara umum (ijma’ jumhūr) tidak
pernah lepas dari keberadaan rasm usmani. Setidaknya pendapat inilah yang
banyak diikuti mayoritas umat Islam, bahwa salah satu syarat pokok bacaan al-
Qur’an yang benar adalah kesesuaian bacaan dengan (muwāfaqah) Maṣāhif
‘Uṡmāniyah, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan memiliki sanad yang
bersambung sampai Rasulullah Saw.51
Dalam diskursus ‘Ulūm al-Qur’ān, khususnya tentang pola penulisan al-
Qur’an (rasm al-Muṣḥaf), selalu ditemukan perbedaan dalam hukum penulisan al-
Qur’an dengan rasm ‘uṡmānī. Dimana terdapat tiga pendpat tentang persoalan ini:
48
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 58. 49
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz 2, h. 156. 50
Zainal Arifin, Perbedaan Rasm Usmani, h. 59. 51
Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani,” h. 14.
69
Pertama, menyatakan bahwa rasm mushaf itu bersifaft tauqīfī. Penulisan mushaf
tidak diperbolehkan melainkan memakai rasm ‘uṡmānī.52
Sebagaimana
“...Pandangan yang dikemukakan oleh ibnu Mubārak dan gurunya ‘Abd al-‘Azīz
al-Ḍabbāg yang mengomentari pandangan al-Bāqillānī tentang hukum penulisan
al-Qur’an dengan rasm ‘uṡmānī. Menurut keduanya, rasm ‘uṡmānī adalah tauqīfī
yang diterima oleh para penulis wahyu secara taken for granted dari Nabi Saw
sehingga wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya secara mutlak....”53
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola penulisan rasm ‘uṡmānī berisfat
tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang
ditunjuk dan dipercaya Nabi Saw bahwa pola penulisan tersebut bukan merupakan
ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan
(ijma’) dalam hal-hal bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.54
“Tokoh-tokoh ulama yang banyak dimasukkan dalam deretan pendapat
tauqifī menurut Salim Muḥaisin antara lain adalah: Mālik bin Anas (w. 179 H/795
M), yahyā al-Naisabūrī (w. 226 H/ 840 M), Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H/ 854
M), Abū ‘Amr al-Dānī (w. 444 H/ 1051 M), ‘Ali bin Muḥammad al-Sakhawī (w.
643 H/ 1244 M), Ibrāhīm bin ‘Umar al-Ja’birī (w. 732 H/ 1331 M) dan Aḥmad
bin al-Husain al-baihaqi (w. 450 H/ 1056 M)....”55
Kedua, bahwa pola penulisan di dalam rasm usmani tidak bersifat tauqīfi,
tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai
52
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Jurnal Refleksi, h. 277. 53
Zainal Arifin, “Kajian Ilmu Rasm Usmani: dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 6, no. 1 (2013): h. 38. 54
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 5, h. 94. 55
Zainal Arifin, “Legalisasi Rasm Usmani dalam Penulisan al-Qur’an,” Journal of Qur’ān
and Ḥadīth Studies, h. 222.
70
ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan menulis al-Qur’an,
tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang
menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model
penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal
al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya.
Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau
kedalam pola-pola baru.”56
Sebagaimana pandangann yang dikemukakan oleh al-Bāqillānī (w. 403 H/
1013 M) dan ibnu Khaldūn (w. 808 H/ 1405 M). keduanya memandang bahwa
rasm usmani tidaklah tauqīfī tetapi murni ijtihādi (iṣṭilāhī) dari para sahabat Nabi
Saw. pada masa ‘Uṡmān, sehingga pola penulisan al-Qur’an bebas dengan skrip
manapun yang memudahkan tanpa ada keharusan yang mengikat.57
Ketiga, Adapun yang dikenal sebagai sosok yang mencoba menengahi
perbedaan dengan mencoba mengakomodasi keduanya adalah Badruddin al-
Zarkasyī (w. 794 H/ 1391 M) dan ‘Izzuddin bin ‘Abdissalām. Mereka terkenal
dengan dengan teorinya yang lebih mengedepankan kemaslahatan umat (teori
maṣlaḥah).58
Dan rasm usmani bukanlah sesuatu yang tauqīfī “murni”.
Keranannya, penulisan al-Qur’an dapat dengan huruf manapun yang memudahkan
masyarakat awam.59
56
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 95. 57
Zainal Arifim, “Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 39. 58
Zainal Arifin, “Diskursus Ke-tauqīfī-an Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, vol. 3, no. 1
(2010): h. 60. 59
Zainal Arifin, “Diskursus Ke-tauqīfī-an Rasm Usmani,” Jurnal Ṣuḥuf, h. 54.
71
Berkaitan dengan ketiga pendapat diatas, al-Qaṭṭān lebih condong pada
pendapat yang kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara al-Qur’an
dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan
menulis al-Qur’an sesuai masanya, maka akan banyak bermunculan al-Qur’an
model-model baru. Selain itu, al-Qattan juga menegaskan bahwa perbedaan khat
pada mushaf-mushaf yang ada merupakan hal lain, lebih tepatnya berkaitan
dengan huruf dan cara penulisan huruf.60
60
Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 217.
72
BAB IV
PERBANDINGAN MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR
INDONESIA DAN MUSHAF MADINAH DALAM
PENGGUNAAN RASM
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia ditulis dengan rasm usmani dan terbentuk dari rangkaian Musyawarah
Kerja Ulama al-Qur’an oleh Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Kementerian
Agama pada tahun 1974-1983. Sementara Mushaf Madinah ditulis dengan rasm
usmani yang mengacu pada mazhab al-Dānī dan Abū Dāwūd, jika terjadi perbedaan
penulisan al-Qur’an pada keduanya, maka memilih (tarjīḥ) riwayat Abū Dāwūd.
Dan terkadang juga mengacu pada pendapat selain dari dua imam tersebut.1
Dalam perkembangan disiplin ilmu rasm usmani, dikenal dengan adanya
istilah tarjīḥ al-riwāyat, yakni upaya memilih salah satu pendapat ulama yang
dipandang lebih kuat diantara beberapa pendapat yang ada. “...sebagaimana dalam
disiplin hadis terdapat terminologi al-shaikhāni (dua guru besar) yaitu Imam al-
Bukhārī dan Imam Muslim. Maka dalam ilmu rasm usmani yang dimaksudkan
adalah Abū ‘Amar Sa‘īd bin ‘Uṡmān al-Dānī (w. 444 H/ 1052 M) dan Abū Dāwūd
Sulaimān bin Najāḥ (w. 496 H/ 1102 M).2
Sehingga, pada bab ini penulis akan menganalisis perbedaan dan
1Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 22.
2Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama Puslitbang Lektur Agama, 1998/ 1999), h. 15.
73
persamaan MSI dan MM, ditinjau dari penulisan rasm dan riwayat; khusunya
dalam QS. al-Baqarah: 1-286 dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū
Dāwūd. Selain itu, masing-masing akan dibagi menjadi tiga kategori; Pertama,
persamaan rasm dengan mengacu pada riwayat syaikhan. Kedua, perbedaan rasm
dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū Dāwūd. Ketiga, faktor penyebab
perbedaan pada masing-masing mushaf.
Al-Suyūṭi telah menyebutkan bahwa kaidah-kaidah penulisan rasm usmani,
terbagi 6 kaidah; membuang huruf (ḥażf), penambahan huruf (ziyādah), penulisan
hamzah, pergantian huruf (al-Badal), menyambung dan memisah kata (al-waṣl wal
faṣl), terdapat dua qiro’ah lalu ditulis dengan salah satunya. “Dalam satu mushaf,
tidak mungkin hanya ditulis atau disalin dengan riwayat satu imam saja, tanpa
menyertakan riwayat imam lainnya. Bahkan, antara al-syaikhani dari keduanya
pun sering terjadi perbedaan pendapat...”3
Berikut analisa penulis tentang perbedaan rasm usmani antara MSI dan
MM dalam QS. al-Baqarah, dimana MSI lebih cenderung menggunakan riwayat
al-Dānī dan MM lebih lebih cenderung menggunakan riwayat Abū Dāwūd. Hasil
analisa penilitian ini mengacu pada al-Muqni’ fī Ma’rifati Marsūm Maṣāḥif Ahl al-
Amṣār4 dan Mukhtaṣar al-Tabyīn li Hijā’ al-Tanzīl.
5
Adapun penjelasannya dapat dilihat di bawah ini sebagai berikut:
A. Persamaan Rasm Usmani dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dan
3Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 202.
4Abū ‘Amr ‘Uṡmān ibn Sa‘īd al-Dānī taḥqīq Nurah bin Ḥasan bin Fahd al-Ḥumaid, al-
Muqni’ fī Ma’rifati Marsūm Maṣāḥif Ahl al-Amṣār (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah:
Dār al-Tadmuriyah, 2010 M/ 1431 H). 5Abū Dāwud Sulaimān bin Najāḥ editor: Aḥmad bin Aḥmad bin Mu‘ammar Shirshāl,
Mukhtaṣar al-Tabyīn li Hijā’ al-Tanzīl, Juz 2 (Saudi Arabia: Mujamma’ Malik Fahd li Ṭiba‘ah al-
Muṣḥaf, 2002 M/ 1423H).
74
Mushaf Madinah
Tabel 4.1 Persamaan Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah
No. Surah MSI MM Keterangan Kaidah
1 2: 2
MSI dan MM ḥażf
alif 6
ḥażf alif
2 2: 2
MSI dan MM ḥażf
alif 7
ḥażf alif
3 2: 3
MSI dan MM sama-
sama di sambung
(mauṣūl) 8
al-faṣl wa
al-waṣl
4 2: 3
MSI dan MM disalin
dengan wau al-badl
5 2: 5
MSI dan MM ḥażf
alif 9
ḥażf alif
6 2: 6
MSI dan MM ḥażf
alif 10
ḥażf alif
7 2: 6
MSI dan MM iṡbat
alif 11
iṡbat alif
8 2: 9
MSI dan MM ḥażf
alif 12
ḥażf alif
6Al-Dānī dan Abū Dāwud tanpa alif setelah huruf żal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
223. Abū Dāwūd, Mukhtaṣar, v. 2, h. 61. 7Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud ḥażf alif diseluruh tempat, kecuali pada 4 tempat
yaitu: Qs. ar-Ra’d/13: 38, Qs. al-Hijr/15: 4, Qs. al-Kahfi/18: 27, dan Qs. an-Naml/27: 1 dengan
iṡbat alif. Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 46. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 250. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 61. 8Semua perawi menulisnya dengan disambung, dari huruf jār من dengan ما mauṣūl
sebagai majrurnya. Kecuali pada tiga tempat yakni; Qs. an-Nisā’: 25, Qs. al-Rūm: 27, dan Qs. Al-
Munāfiqūn: 10. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 73. 9Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 224. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 75.
10Ḥażf alif dari kalimat yang didalamnya terhimpun 2 atau 3 alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 273. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 86. 11
Iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 285. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 12
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud tanpa alif antara kha dan dal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 171. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 91.
75
9 2: 9
MSI dan MM ḥażf
alif 13
ḥażf alif
10 2: 9
MSI dan MM iṡbat
alif 14
iṡbat alif
11 2: 12
MSI dan MM ḥażf
alif 15
ḥażf alif
12 2: 14
MSI dan MM ḥażf
alif 16
ḥażf alif
13 2: 16
MSI dan MM ḥażf
alif 17
ḥażf alif
14 2: 16
MSI dan MM iṡbat
alif 18
iṡbat alif
15 2: 17
MSI dan MM ḥażf
alif 19
ḥażf alif
16 2: 23
MSI dan MM iṡbat
alif 20
iṡbat alif
17 2: 25
MSI dan MM ḥażf
alif 21
ḥażf alif
18 2: 26
MSI dan MM ḥażf
ya’ 22
ḥażf alif
13
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd tanpa alif antara kha dan dal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 171. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 91. 14
Iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 286. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 15
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 224. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 94. 16
Abū Dāwūd ḥażf alif yang berupa jama’. Sedangkan lafaz شيطن (mufrad) ḥażf alif oleh
seluruh perawi. Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 46. Abū ‘Amr
al-Dānī, al-Muqni’, h. 237. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, Juz 2, h. 120. 17
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 234. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 98. 18
iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 285. Abū Dāwud, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 19
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 20
iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 286. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 21
Seluruh perawi ḥażf alif pada lafaz ini. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 244. Abū
Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 107. 22
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan menulisnya dengan satu ya’. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 380. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 108.
76
19 2: 26
MSI dan MM ḥażf
ya’ 23
ḥażf alif
20 2: 27
MSI dan MM ḥażf
ya’ 24
ḥażf alif
21 2: 28
MSI dan MM ijma’
ya’ 25
ijma’ ya’
22 2: 31
MSI dan MM ḥażf
alif 26
ḥażf alif
23 2: 39
MSI dan MM iṡbat
ya’27
iṡbat ya’
24 2: 29
MSI dan MM ḥażf
alif 28
ḥażf alif
25 2: 31
MSI dan MM ḥażf
alif 29
ḥażf alif
26 2: 32
MSI dan MM ḥażf
alif 30
ḥażf alif
23
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 263. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 24
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 25
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 380. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 110. 26
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud ḥażf alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 225. Abū
Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 115. 27
Kesepakatan dari syaikhān dengan iṡbat ya’, Abū Dāwūd berkata: Asal dari kata ini 3
ya’, yang pertama yaitu sakin, yang kedua kasrah, dan yang ketiga adalah berbentuk hamzah.
Dihażfkan ya’ sukun pertama, dan ya’ ketiga yang berbentuk hamzah karena ia tidak
membutuhkannya, dan ya’ yang berharkat kasrah iṡbat. kemudia ya’ sakin pertama diidghamkan
kepada ya’ yang berharkat kasrah sehingga hanya ada satu ya’. Sedangkan yang di tengah tidak
ada ada perubahan meskipun digabungkan dengan yang lain. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
384. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 220. 28
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif. Abū Dāwūd mengatakan; Bahwa
kata مسوت dengan ḥażf dua alif sebelum wau dan setelahnya dalam kata ini. Kecuali dalam Qs.
Fuṣilat/ 41: 12 dengan iṡbat alif setelah huruf wau. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 245.
Abū Dāwud, al-Mukhtasar, Juz 2, h. 111. 29
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif. Dengan huruf wau setelah huruf
hā, dengan hamzah ḍammah, dan tanpa alif diantara keduanya, dan dia adalah dua kalimat yang
menjadi satu kata yang ringkas. Dalam kata ini meng-ḥażf dua alif tanbīh dan alif أوالء ) ). Abū
‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 279. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, Juz 2, h. 117. 30
Seluruh perawi dengan meng-ḥażf alif pada semua tempat, kecuali dalam Qs. al-
Isra’/17: 93 (قل سبحان ريب) boleh dengan ḥażf atau iṡbat alif. Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum
Penulisan dan Pentashihan, h. 46. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 226. Abū Dāwud, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 203.
77
27 2: 33
MSI dan MM
dengan satu alif 31
iṡbat alif
28 2: 34
MSI dan MM ḥażf
alif 32
ḥażf alif
29 2: 36
MSI dan MM ḥażf
alif 33
ḥażf alif
30 2: 39
MSI dan MM ḥażf
alif 34
ḥażf alif
31 2: 43
MSI dan MM disalin
dengan waw al-badl
32 2: 46
MSI dan MM iṡbat
alif 35
iṡbat alif
33 2: 49
MSI dan MM iṡbat
alif 36
iṡbat alif
34 2: 51
MSI dan MM ḥażf
alif 37
ḥażf alif
35 2: 55
MSI dan MM ḥażf
alif 38
ḥażf alif
36 2: 55
MSI dan MM ḥażf
alif 39
ḥażf alif
37 2: 58
MSI dan MM ḥażf
alif 40
ḥażf alif
31
Ditulis dengan satu alif antara ya’ dan dal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 279. Abū
Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 118. 32
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 33
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 237. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 34
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif setelah ḥa untuk setiap kata ini. Mazmur
Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 46. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
242. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 124. 35
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif dari setiap jama’ mużakar salim.
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 289. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 81. 36
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 358. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 37
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 192. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 138. 38
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 171. Abū
Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 284. 39
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 172. Lihat juga Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h.
141. 40
Terdiri dari lima huruf tanpa huruf alif sebelum dan sesudahnya. Abū ‘Amr al al-Dānī,
al-Muqni’, h. 213. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 142.
78
38 2: 61
MSI dan MM iṡbat
alif 41
iṡbat alif
39 2: 61
MSI dan MM ḥażf
ya’ 42
ḥażf ya’
40 2: 62
MSI dan MM ḥażf
alif 43
ḥażf alif
41 2: 63
MSI dan MM ḥażf
alif 44
ḥażf alif
42 2: 65
MSI dan MM iṡbat
alif 45
iṡbat alif
43 2: 70
MSI dan MM ḥażf
alif 46
ḥażf alif
44 2: 71
MSI dan MM ḥażf
alif 47
ḥażf alif
45 2: 80
MSI dan MM
dengan satu alif 48
iṡbat alif
46 2: 81
MSI dan MM ḥażf
alif 49
ḥażf alif
47 2: 83
MSI dan MM ḥażf
alif 50
ḥażf alif
41
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 340. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 149. 42
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf salah satu huruf ya’ untuk meringkas,
dan iṡbat ya’ yang asal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 378. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h.
150. 43
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 243. Abū
Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 154. 44
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif setelah huruf nun karena. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 229. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 73. 45
Iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 286. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 46
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif, tanpa alif antara syin dan ba. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 172. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 141. 47
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif. Abū Dāwūd berkata: dan dia ḥażf
alif antara lam dan nun. Dan seperti ini semuanya didalam al-Qur’an. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 244. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 161. 48
Ditulis dengan satu alif dia adalah alif istifhām (pertanyaan), dan ḥażf alif waṣal. Abū
‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 293. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 169. 49
Tanpa alif sebelum huruf ṭa, al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif pada tempat ini
saja. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 173. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 171.
79
48 2: 83
MSI dan MM ḥażf
alif 51
ḥażf alif
49 2: 85
MSI dan MM ḥażf
alif 52
ḥażf alif
50 2: 85
MSI dan MM ḥażf
alif 53
ḥażf alif
51 2: 85
MSI dan MM ḥażf
alif 54
ḥażf alif
52 2: 85
MSI dan MM ḥażf
alif 55
ḥażf alif
53 2: 85
MSI dan MM disalin
dengan waw al-badal
54 2: 87
MSI dan MM iṡbat
alif 56
iṡbat alif
55 2: 98
MSI dan MM ḥażf
alif 57
ḥażf alif
56 2: 99
MSI dan MM ḥażf
alif 58
ḥażf alif
57 2: 100
MSI dan MM ḥażf
alif 59
ḥażf alif
58 2: 102
MSI dan MM ḥażf
alif 60
ḥażf alif
50
Seluruh perawi ḥażf alif pada kata ini di semua tempat. Mazmur Sya’roni, Pedoman
Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 49. al-Dānī, al-Muqni’, h. 238. Lihat Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 173. 51
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 243. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 112. 52
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
173. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 176. 53
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif yaitu antara sin dan ra. Adapun alif
setelah ra adalah alif ta’niṡ. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 173. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v.
2, h. 178. 54
Ḥażf alif pada tempat ini saja. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 173. Sedangkan Abū
Dāwūd ḥażf alif di seluruh tempat. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, Juz 2, h. 178. Bandingkan dengan
Mazmur Sya’roni dimana seluruh perawi dengan ḥażf alif. Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum
Penulisan dan Pentashihan, h. 49. 55
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif di semua tempat. Mazmur
Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 50. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
236. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 179. 56
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif waṣal. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 298. Abū Dāwūd al-Mukhtasar, v. 2, h. 179. 57
Ḥażf alif semuanya didalam al-Qur’an. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 214. Abū
Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 186. 58
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 265. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 59
Al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif pada tempat ini. Namun Abū Dāwūd ḥażf alif
pada kata ini diseluruh tempat. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 174. al-Mukhtasar, v. 3, h. 610.
80
59 2: 102
MSI dan MM ḥażf
alif 61
ḥażf alif
60 2: 102
MSI dan MM sama-
sama dipisah
(maqtū’)
al-faṣl wa
al-waṣl
61 2: 103
MSI dan MM iṡbat
alif 62
iṡbat alif
62 2: 111
MSI dan MM ḥażf
alif 63
ḥażf alif
63 2: 114
MSI dan MM ḥażf
alif 64
ḥażf alif
64 2: 119
MSI dan MM ḥażf
alif 65
ḥażf alif
65 2: 124
MSI dan MM ḥażf
alif 66
ḥażf alif
66 2: 124
MSI dan MM ḥażf
alif 67
ḥażf alif
67 2: 125
MSI dan MM ḥażf
alif 68
ḥażf alif
68 2: 133
MSI dan MM ḥażf
alif 69
ḥażf alif
69 2: 140
MSI dan MM ḥażf
alif 70
ḥażf alif
60
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 258. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 3, h. 112. 61
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 62
iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 286. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 63
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 243. Abū Dāwūd al-Mukhtasar, v. 2, h. 465. 64
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 237. Abū Dāwūd al-Mukhtasar, v. 2, h. 299. 65
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan ḥażf alif yaitu setelah nun, yang mana dia
adalah dhamir jama’ mutakallim. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 229. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 73. 66
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 187. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 67
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 258. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 113. 68
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 258. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 112. 69
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 258. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 113. 70
Ḥażf alif dari kata yang didalamnya terhimpun 2 atau 3 alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 273. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 86.
81
70 2: 151
MSI dan MM ḥażf
alif 71
ḥażf alif
71 2: 153
MSI dan MM ḥażf
alif 72
ḥażf alif
72 2: 159
MSI dan MM ḥażf
alif 73
ḥażf alif
73 2: 163
MSI dan MM ḥażf
alif 74
ḥażf alif
74 2: 164
MSI dan MM ḥażf
alif 75
ḥażf alif
75 2: 164
MSI dan MM iṡbat
alif 76
ḥażf alif
76 2: 173
MSI dan MM iṡbat
ya’ 77
iṡbat ya’
77 2: 173
MSI dan MM iṡbat
ya’ 78
iṡbat ya’
78 2: 184
MSI dan MM ḥażf
alif 79
ḥażf alif
79 2: 186
MSI dan MM iṡbat
ya’ 80
iṡbat ya’
80 2: 186
MSI dan MM iṡbat iṡbat ya’
71
Ḥażf setiap lafaz ini kecuali pada dua tempat yaitu; Qs. Yunus: 21 dan 15. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 250. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 651. 72
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 263. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 73
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 293. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h.232. 74
Abū ‘Amr Al-Dānī, al-Muqni’, h. 226. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 212. 75
Abū ‘Amr Al-Dānī dan Abū Dāwud dengan ḥażf alif. Abū Dāwud mengatakan bahwa
tanpa alif antara ya’ dan ḥa ada di 5 tempat yaitu; disini, dalam surat Ibrāhīm, al-Kaḥfi, al-Furqān,
dan al-Syu’arā. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 174. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 234. 76
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h.
359. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 77
Ḥażf ya’ dari isim manqus munawwan (isim yang pada akhirnya terdapat ya’ lazimah)
baik marfu’atau majrur. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 324. 78
Ḥażf ya’ dari isim manqus munawwan (isim yang pada akhirnya terdapat ya’ lazimah)
baik marfu’atau majrur. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 324. 79
Tanpa alif antar sin dan kaf, dan seperti itu seluruhnya didalam al-Qur’an tanpa ada
yang berselisih dengannya. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 174. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v.
2, h. 247. 80
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 300. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 241.
82
ya’ 81
81 2: 196
MSI dan MM ḥażf
alif 82
ḥażf alif
82 2: 196
MSI dan MM iṡbat
alif 83
iṡbat alif
83 2: 202
MSI dan MM iṡbat
alif 84
iṡbat alif
84 2: 207
MSI dan MM iṡbat
alif 85
iṡbat alif
85 2: 223
MSI dan MM ḥażf
alif 86
ḥażf alif
86 2: 226
MSI dan MM ḥażf
alif 87
ḥażf alif
87 2: 229
MSI dan MM ḥażf
alif 88
ḥażf alif
88 2: 237
MSI dan MM iṡbat
alif 89
iṡbat alif
89 2: 245
MSI dan MM ḥażf
alif 90
ḥażf alif
90 2: 247
MSI dan MM iṡbat
alif 91
iṡbat alif
81
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 300. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 241. 82
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 241. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 286. 83
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 358. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 84
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 358. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 85
Sepakat syaikhān dengan iṡbaṭ ya’. Abū Dāwūd berkata, para ulama rasm menulisnya
dengan “مرضات اهلل” dengan ta’ setelah alif seperti apa yang telah tertulis. Dan asalnya “ مرضوة”
dengan berharkat wau dan fathah sebelumya, maka diganti wau menjadi alif “مرضات”. Abū ‘Amr
al-Dānī, al-Muqni’, h. 403. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 263. 86
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 239. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 135. 87
Ḥażf alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 284. 88
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 89
Iṡbat alif setelah wau jama’. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 287. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 80. 90
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 174. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 293. 91
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 260. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 113.
83
91 2: 249
MSI dan MM ḥażf
alif 92
ḥażf alif
92 2: 216
MSI dan MM iṡbat
alif 93
iṡbat alif
93 2: 251
MSI dan MM ḥażf
alif 94
ḥażf alif
94 2: 251
MSI dan MM iṡbat
alif 95
iṡbat alif
95 2: 251
MSI dan MM iṡbat
alif 96
iṡbat alif
96 2: 254
MSI dan MM ḥażf
alif 97
ḥażf alif
97 2: 258
MSI dan MM ḥażf
ya’ 98
ḥażf alif
98 2: 259
MSI dan MM iṡbat
alif 99
iṡbat alif
99 2: 261
MSI dan MM ḥażf
alif 100
ḥażf alif
100 2: 269
MSI dan MM iṡbat
ya’ 101
iṡbat ya’
92
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 351. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 298. 93
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 178. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 293. 94
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd ḥażf alif dan seluruh perawi dengan ḥażf alif.
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 53. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 176. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 299. 95
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif dan seluruh perawi dengan iṡbat
alif. Dan dengan satu wau setelah alif, tidak boleh ḥażf alif dari rasm ini. Abū ‘Amr al-Dānī, al-
Muqni’, h. 176. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 299. 96
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 260. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 113. 97
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 98
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud dengan menulisnya dengan satu ya’. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 380. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 108. 99
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif. Abū Dāwūd berkata; iṡbat alif
antara mim dan ya’. Dan semua perawi sepakat seperti itu, dan tidak ada yang berselisih padanya.
al-Dānī, al-Muqni’, h. 351. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 302. 100
Dalam kata ini Abū ‘Amr al-Dānī berselisih, bisa saja dengan iṡbat ataupun ḥażf alif.
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 175. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 293. 101
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat ya’ apabila bertemu dengan sukun
pada kata lain. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 369. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 158.
84
101 2: 271
MSI dan MM
dengan satu ya’ 102
102 2: 275
MSI dan MM
dengan waw dan
iṡbat alif 103
al-badl
dan iṡbat
alif
103 2: 276
MSI dan MM iṡbat
alif 104
iṡbat alif
104 2: 276
MSI dan MM iṡbat
ya’ 105
iṡbat ya’
105 2: 282
MSI dan MM iṡbat
alif 106
iṡbat alif
106 2: 283
MSI dan MM ḥażf
alif 107
ḥażf alif
Dari pemaparan tabel diatas, yakni analisis persamaan yang telah
disepakati penulisan rasmnya dengan riwayat Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū
Dāwūd, terdapat 106 kata. Adapun kata-kata yang telah disepakati penulisan
rasmnya oleh para perawi rasm, yakni;
Menurut al-‘Uqaili, rumusan kata-kata pokok yang disepakati oleh para
perawi rasm usmani sebagaimana didalam bukunya Marsūm Khaṭ al-Muṣḥaf
dalam bab umum (al-Kullī) yaitu penulisan kata احليوة, الزكوة, الصلوة semuanya disalin
102
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 383. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 170. 103
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat alif. Semua kata ini didalam al-
Qur’an dengan huruf wau setelah huruf ba, dan alif setelahnya tanpa alif sebelumnya. Namun
terdapat pengecualian kata ribā yang tetap ditulis dengan alif yang terdapat dalam Qs. al-Rūm/30:
39. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 352. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 315. 104
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 300. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 316. 105
Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd dengan iṡbat ya’ apabila bertemu dengan sukun
pada kata lain. Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 370. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 158. 106
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 271. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321. 107
Diseluruh al-Qur’an semuanya dengan rasm tanpa alif antara ha dan nun. Abū ‘Amr al-
Dānī, al-Muqni’, h. 176. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 322.
85
dengan واو (tidak dengan alif sebagaimana kaidah gramatikal Bahasa Arab
konvensional), menurutnya selama kata-kata tersebut tidak di-iḍāfah-kan. Jika dia
iḍāfah maka bentuk واو kembali ke huruf aslinya, yaitu alif. Seperti حياتنا, صالتكم .
Namun pada MSI atau MM keduanya tidak berbeda dalam penulisan.108
Setiap kata اولئك, اولت, اويل, اولوا semuanya disalin dengan menambahkan
huruf واو. dan seperti itu juga pada kata الذي, يتال, الئ, اليل masing-masing ditulis
dengan menggunakan satu الم. Dan penulisan kata ابن harus menggunakan alif,
baik dia menjadi ṣifat atau khabar.109
Penulisan nama atau yang disebut dengan ‘Ajamiyah. ‘Ajamiyah yang
dimaksud dalam disiplin rasm usmani adalah nama-nama yang bukan Arab (non
Arab). Untuk memberlakukan ḥażf alif pada isim a’jamiyah harus memenuhi 4
syarat; Pertama, isim ‘ajam dikecualikan pada kata منارق Qs. al-Ghashiyah/15,
kedua, lebih dari tiga huruf, ketiga, alif harus berada di ujung atau di akhir, dan
banyak dipergunakan dalam al-Qur’an dibeberapa tempat.
Dan terdapat 21 nama, terbagi 2 macam:
1. Nama yang banyak digunakan, ada 9 nama; 112إسحق¸ 111إمسعيل¸ 110ابرهيم ¸
إسرءيل ¸ داود¸ سليمن¸ لقمن¸ هرون¸ عمرن . 113
108
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 173. Lihat Ismā‘īl bin Zāfir bin
‘Abdullāh al-‘Uqailī, Marsūm Khaṭ al-Muṣḥaf (Qatar: Wazārah al-Auqāf wa al-Shu‘ūn al-
Islāmiyah, 1430 H/ 2009 M), v. 1, h. 63. 109
Ismā‘īl bin Zāfir bin ‘Abdullāh al-‘Uqailī, Marsūm Khaṭ al-Muṣḥaf , h. 63-64. Contoh
ṣifat dalam Qs. Al-Ma’idah: 17, ابن مرمي املسيح . Dan khabar dalam Qs. al-Taubah: 30, ابن اهلل زيزع .
Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 74. 110
Qs. al-Baqarah: 124/ 2: 125/ 2: 133.
86
2. Nama yang tidak banyak digunakan ada 12 nama; يأجوج و ¸ جالوت¸ طالوت
بابل¸إل ياسني¸ إلياس¸ مهن¸ قرون¸ مروت¸ هروت¸ ميكل¸ مأجوج .
Dari nama-nama tersebut yang banyak digunakan عمرن¸ إسحق¸ إمسعيل¸ ابرهيم ¸
¸سليمن¸ لقمن¸ هرون maka di-ḥażf kan alifnya sesuai kesepakatan. Adapun إسرءيل¸114
Abū ‘Amr al-Dānī iṣbat alif, Abū Dāwud menghazfnya, dan ¸داود 115 dengan iṣbat
alif sesuai Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud.
Untuk penulisan kata ابرهيم yang diulang sebanyak 15 kali didalam surah
al-Baqarah/2: 124, 125 (dua kali), 126, 127, 130, 132, 133, 135, 136, 140, 285
(tiga kali), dan 260 menurut al-Dānī berdasarkan mushaf Irak dan Syam disalin
dengan tanpa huruf ya’ (ابرهم).116
Sedangkan penulisan kata yang jarang disebutkan: 117يأجوج و مأجوج
جالوت ¸118طالوت pada empat lafaz ini dengan iṣbat alif.
Kata بابل¸ قرون¸ 119مروت¸ هروت didalam al-Qur’an penulisannya
diperselisihkan, yang lebih masyhur, Abū ‘Amr al-Dānī dengan iṣbat alif, dan
111
Qs. al-Baqarah: 125. 112
Qs. al-Baqarah: 133. 113
Qs. Ali-Imran 163/ Qs. al-Baqarah: 102. 114
Al-Dānī berkata: “Oleh karena itu kata إسرءيل, dengan menggunakan alif masih banyak
terdapat di dalam al-Qur’an, dan aku juga melihat disebagaian al-Qur’an Madinah dan Iraq,
dengan alif, masih banyak yang iṡbat alif.” al-Dānī, al-Muqni’, h. 262. 115
Qs. al-Baqarah:251. 116
al-Dānī, al-Muqni’, h. 254-255. 117
Qs. al-Baqarah:247. 118
Qs. al-Baqarah:251.
87
Abū Dāwud memilih ḥażf alif. Adapun kata إلياسني¸ إلياس , Abū ‘Amr al-Dānī dan
Abū Dāwud diam tidak berkomentar.
Dan ḥażf alif pada jama’ salim, baik jama’ mużakar salim atau jama’
mu’anaṡ salim, contoh jama’ mużakar salim;120
, الكفرين121
122 الظلمون,
123124الشيطني,
الصربين,125126.الكفرون الفسقني,
Contoh jama’ mu’anaṡ salim;127
128,بينت
129,الظلمت130.بكلمت
Penulisan كاتب dalam surat al-Baqarah ayat 282 terdapat tiga kata yang
sama namun, Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud berpendapat berbeda;131
1. Abū ‘Amr al-Dānī iṣbat alif dan Abū Dāwud diam tidak
berkomentar.
2. Abū ‘Amr al-Dānī iṣbat alif dan Abū Dāwud diam
tidak berkomentar.
119
Qs. al-Baqarah:102. 120
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264. Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 121
Qs. al-Baqarah: 34. 122
Qs. al-Baqarah: 229. 123
Qs. al-Baqarah: 102. 124
Qs. al-Baqarah: 153. 125
Qs. al-Baqarah: 26. 126
Qs. al-Baqarah: 253. 127
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 264-265. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 30. 128
Qs. al-Baqarah: 99. 129
Qs. al-Baqarah: 257. 130
Qs. al-Baqarah: 124. 131
Abū ‘Amr al-Dānī, al-Muqni’, h. 271. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321.
88
3. Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud sepakat dengan
alif antara كاف dan تاء, dan tidak ada yang berselisih pada kata ini.
4. Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwud dengan iṣbat alif atau ḥażf
alif antara كاف dan تاء. Adapun kata ini dalam al-Qur’an berbeda-beda,
para sahabat ada yang menulisnya dengan alif dan adapula tanpa alif.
B. Perbedaan Rasm Usmani dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah
Berikut ini analisis perbedaan penulisan rasm usmani antara MSI dan MM,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini;
Tabel 4.2 Perbedaan Rasm Usmani dalam Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah
No. Surah MSI MM
Mazhab
Kaidah Al-Dānī
Abū
Dāwud
1. 2: 7
ḥażf 132 ابصرهم ابصارهم
2. 2: 7
ḥażf 133 غشوة غشاوة
3. 2: 15
ḥażf 134 طغينهم طغياهنم
4. 2: 16
ḥażf 135 جترهتم جتارهتم
132
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 133
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 89. 134
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 97. 135
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 99.
89
5. 2: 19
ḥażf 136 اصبعهم اصابعهم
6. 2: 19
ḥażf 137 الصوق الصواق
7. 2: 20
ḥażf 138 ابصرهم ابصارهم
8. 2: 20
ḥażf 139 ابصرهم ابصارهم
9. 2: 22
ḥażf 140 فرشا فراشا
10. 2: 22
ḥażf 141 الثمرت الثمرات
11. 2: 25
ḥażf 142 متشبها متشاهبا
12. 2: 25
ḥażf 143 ازوج ازواج
13. 2: 27
ḥażf 144 ميثقه ميثاقه
14. 2: 28
ḥażf 145 اموتا امواتا
15. 2: 28
ḥażf 146 فاحيكم فاحياكم
16. 2: 36
ḥażf 147 ومتع ومتاع
17. 2: 40
ḥażf 148 وايي واياي
18. 2: 40
ḥażf 149 اسرءيل اسراءيل
136
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 99. 137
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 99. 138
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 100. 139
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 100. 140
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 102. 141
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 104. 142
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 107. 143
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 108. 144
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 109. 145
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 109. 146
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 110. 147
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 148
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 125. 149
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 124.
90
19. 2: 42
ḥażf 150 بالبطل بالباطل
20. 2: 43
ḥażf 151 الركعني الركعني
21. 2: 48
ḥażf 152 شفعة شفاعة
22. 2: 62
ḥażf 153 الصبئني الصابئني
23. 2: 62
ḥażf 154 صلحا صاحلا
24. 2: 63
ḥażf 155ميثقكم ميثاقكم
25. 2: 65
ḥażf 156 خسئني خسئني
26. 2: 66
ḥażf 157 نكال نكاال
27. 2: 69
ḥażf 158 النظرين الناظرين
28. 2: 72
ḥażf 159 فادرءمت فادرءمت
29. 2: 75
ḥażf 160 كلم كالم
30. 2: 81
ḥażf 161 احطت احاطت
31. 2: 83
ḥażf 162ميثق ميثاق
32. 2: 83
ḥażf 163 بالولدين بالوالدين
150
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 134. 151
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 134. 152
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 135. 153
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 154. 154
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 155. 155
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 155. 156
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 156. 157
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 156. 158
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 157. 159
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 163. 160
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 164. 161
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 171. 162
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 172. 163
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 172.
91
33. 2: 84
ḥażf 164ميثقكم ميثاقكم
34. 2: 84
ḥażf 165 ديركم دياركم
35. 2: 85
ḥażf 166 ديرهم ديارهم
36. 2: 85
ḥażf 167 والعدون والعدوان
37. 2: 85
ḥażf 168 بغفل بغافل
38. 2: 93
ḥażf 169ميثقكم ميثاقكم
39. 2: 93
ḥażf 170 امينكم اميانكم
40. 2: 102
ḥażf 171 هروت هاروت
41. 2: 102
ḥażf 172 ومروت وماروت
42. 2: 102
ḥażf 173 خلق خالق
43. 2: 102
ḥażf 174 يعلمان يعلمن
44. 2: 108
ḥażf 175 باالمين باالميان
45. 2: 111
ḥażf 176 برهنكم برهانكم
164
Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 174. 165
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 174. 166
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 174. 167
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 177. 168
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 179. 169
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 184. 170
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 184. 171
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 188. 172
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 188. 173
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 190. 174
Abū ‘Amar al-Dānī dan Abū Dāwūd berselisih disini. Abū Dāwūd memilih iṡbat alif
dan al-Dānī memilih untuk ḥażf alif. Abū ‘Amar al-Dānī, muqni’, h. 382. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 170. 175
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 196. 176
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 196.
92
46. 2: 115
ḥażf 177 وسع واسع
47. 2: 116
ḥażf 178 قنتون قنتون
48. 2: 118
ḥażf 179 تشبهت تشاهبت
49. 2: 123
ḥażf 180 ثفعة ثفاعة
50. 2: 139
ḥażf 181 اعملنا اعمالنا
51. 2: 139
ḥażf 182 اعملكم اعمالكم
52. 2: 140
ḥażf 183 شهدة شهادة
53. 2: 140
ḥażf 184بغفل بغافل
54. 2: 142
ḥażf 185 صرط صراط
55. 2: 143
ḥażf 186 امينكم اميانكم
56. 2: 144
ḥażf 187بغفل بغافل
57. 2: 149
ḥażf 188بغفل بغافل
58. 2: 154
ḥażf 189 اموت اموات
59. 2: 155
ḥażf 190 االمول االموال
177
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 201. 178
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 202. 179
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 204. 180
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 205. 181
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 182
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 183
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 184
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 185
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 214. 186
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 184. 187
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 188
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 213. 189
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 226. 190
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 227.
93
60. 2: 156
ḥażf 191 اصبتهم اصابتهم
61. 2: 164
ḥażf 192 اختلف اختالف
62. 2: 167
ḥażf خبرجني خبارجني
63. 2: 177
ḥażf عهدوا عاهدوا
64. 2: 178
ḥażf 193 باحسن باحسان
65. 2: 179
ḥażf 194 االلبب االلباب
66. 2: 180
ḥażf 195 للولدين للوالدين
67. 2: 187
ḥażf 196 بشرو باشرو
68. 2: 187
ḥażf 197 تبشرو تباشرو
69. 2: 187
ḥażf 198عكفون عكفون
70. 2: 188
ḥażf 199 امولكم اموالكم
71. 2: 188
ḥażf 200 االمول االموال
72. 2: 188
ḥażf 201بالبطل بالباطل
73. 2: 189
ḥażf 202 موقيت مواقيت
74. 2: 189
ḥażf 203 ابوهبا ابواهبا
191
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 227. 192
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 234. 193
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 244. 194
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 244. 195
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 245. 196
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 250. 197
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 250. 198
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 250. 199
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 227. 200
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 227. 201
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 251. 202
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 251. 203
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 251.
94
75. 2: 190
ḥażf 204 وقتلوا وقاتلوا
76. 2: 190
اتلونكمقي تلونكمقي 205 ḥażf
77. 2: 191
همفاتلو ت مهفتلو ت 206 ḥażf
78. 2: 193
ḥażf 207 عدون عدوان
79. 2: 197
ḥażf 208 االلبب االلباب
80. 2: 198
ḥażf 209 عرفت عرفت
81. 2: 200
ḥażf 210 منسككم مناسككم
82. 2: 200
ḥażf 211 خلق خالق
83. 2: 211
ḥażf 212 اسرءيل اسراءيل
84. 2: 213
ḥażf 213 وحدة واحدة
85. 2: 213
ḥażf 214صرط صراط
86. 2: 215
ḥażf 215 فللولدين فللوالدين
87. 2: 217
ḥażf 216يقتلوانكم يقاتلوانكم
88. 2: 217
ḥażf 217انستطعوا انستطاعوا
204
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 252. 205
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 252. 206
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 252. 207
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 252. 208
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 256. 209
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 256. 210
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 256. 211
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 258. 212
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 124. 213
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 265. 214
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 265. 215
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 266. 216
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 267. 217
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 267.
95
89. 2: 217
ḥażf 218اعملهم اعماهلم
90. 2: 218
ḥażf 219 وجهدو وجاهدو
91. 2: 219
ḥażf 220 ومنفع ومنافع
92. 2: 222
ḥażf 221التوبني التوابني
93. 2: 224
ḥażf 222 المينكم الميانكم
94. 2: 255
ḥażf 223 امينكم اميانكم
95. 2: 228
ḥażf 224 اصلحا اصالحا
96. 2: 229
ḥażf 225 الطلق الطالق
97. 2: 229
ḥażf 226 مرتن مرتان
98. 2: 229
ḥażf 227 باحسن باحسان
99. 2: 232
ḥażf 228 ازوجهن ازواجهن
100. 2: 232
ḥażf 229 ترضوا تراضوا
101. 2: 233
ḥażf 230 والولدت والولدت
102. 2: 233
ḥażf 231 اولدهن اوالدهن
218
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 267. 219
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 268. 220
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 279. 221
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 279. 222
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 285. 223
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 285. 224
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 286. 225
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 285. 226
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 286. 227
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 287. 228
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288. 229
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288. 230
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288. 231
Abū Dāwud, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288.
96
103. 2: 233
ḥażf 232 ولدة والدة
104. 2: 234
ḥażf 233ازوجا ازواجا
105. 2: 236
ḥażf 234 متعا متاعا
106. 2: 238
ḥażf 235حفظوا حافظوا
107. 2: 240
ḥażf 236ازوجا ازواجا
108. 2: 240
ḥażf 237 متعا متاعا
109. 2: 240
ḥażf 238ألزوجهم ألزواجهم
110. 2: 241
ḥażf 239 متع متاع
111. 2: 243
ḥażf 240 متع متاع
112. 2: 243
ḥażf 241 ديرهم ديارهم
113. 2: 243
ḥażf 242 احيهم احياهم
114. 2: 244
ḥażf 243 وقتلوا وقاتلوا
115. 2: 246
ḥażf 244 نقتل نقاتل
116. 2: 246
ḥażf 245 تقتلوا تقاتلوا
232
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288. 233
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 291. 234
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 290. 235
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 290. 236
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 291. 237
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 290. 238
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 291. 239
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 240
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 241
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 292. 242
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 292. 243
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 293. 244
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 295. 245
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 295.
97
117. 2: 246
ḥażf 246 نقتل نقاتل
118. 2: 246
ḥażf 247 ديرنا ديارنا
119. 2: 247
ḥażf 248 وسع واسع
120. 2: 254
ḥażf 249 ثفعة ثفاعة
121. 2: 256
ḥażf 250 بالطغوت بالطاغوت
122. 2: 257
ḥażf 251 الطغوت الطاغوت
123. 2: 261
ḥażf 252 وسع واسع
124. 2: 261
ḥażf 253 اموهلم امواهلم
125. 2: 262
ḥażf 254 اموهلم امواهلم
126. 2: 265
ḥażf 255 اموهلم امواهلم
127. 2: 268
ḥażf 256 وسع واسع
128. 2: 269
ḥażf 257 االلبب االلباب
129. 2: 274
ḥażf 258 اموهلم امواهلم
130. 2: 279 ḥażf 259 امولكم اموالكم
246
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 295. 247
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 295. 248
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 296. 249
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 205. 250
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 300. 251
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 300. 252
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 201. 253
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 305. 254
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 305. 255
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 305. 256
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 201. 257
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 244. 258
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 305. 259
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 319.
98
131. 2: 282
ḥażf 260وامراتن وامراتن
132. 2: 282
ḥażf 261 للشهدة للشهادة
133. 2: 282
ḥażf 262 جترة جتارة
134. 2: 283
ḥażf 263 امنته امانته
Dalam uraian tabel diatas, bahwa penulis menemukan penyalinan rasm
dalam MSI yang sama dengan mazhab al-Dānī terdapat 128 kata dari 134 kata.
Sedangkan yang berselisih terdapat 6 kata yang terdiri dari 4 kata pada jama’
mużakar sālim, yaitu dalam ayat 43, 65, 116, dan ayat 187, dan 2 kata pada jama’
muannaṡ sālim, yaitu dalam ayat 233 dan ayat 198.
Penulisan rasm usamani jama’ mużakar sālim memiliki 3 persyaratan
riwayat yaitu; Pertama ḥażf alif (membuang), alif pada jama’ mużakar sālim,
mislnya dalam Qs. al-Fātiḥah/1: 2 العلمين alif setelah huruf ‘ain dibuang dengan
dua syarat: jika terulang dalam al-Qur’an minimal dua kali dan setelah alif tidak
terdapat tashdīd atau hamzah. 264
Kedua iṡbāt alif (menetapkan), jika alif pada jama’ mużakar sālim terdapat
tasydīd yang bersambung langsung, seperti pada Qs. al-Fātiḥah/1: 7, Qs. al-
Baqarah/2: 102, Qs. al-Ṣaffāt/ 37: 165, dan Qs. al-Hijr/ 15: 56. Namun jika tidak
langsung, maka terjadi perbedaan pendapat. Abū Dawud tetap iṡbāt, dan yang
lainnya menyatakan ḥażf. Ketiga iṡbāt alif lebih populer, jika setelah alif pada
260
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 320. 261
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321. 262
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321. 263
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321. 264
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 202.
99
jama’ mużakar sālim berupa hamzah langsung, seperti Qs. al-Baqarah/2: 114 dan
125, Qs. al-A’rāf/7: 4 dan Qs. al-Hajj/ 22: 26. Namun jika hamzah-nya tidak
langsung, maka alifnya tetap dibuang (ḥażf), seperti Qs. Yūsuf/12: 91, Qs. al-
Qaṣaṣ/28: 8, Qs. al-Hāqqah/69: 37, Qs. al-Baqarah/2: 65, Qs. al-A’rāf/7: 116, Qs.
al-Taubah/9: 112.265
Adapun penulisan rasm usmani jama’ muannaṡ sālim dengan dua
persyaratan diantaranya: Pertama ḥażf (membuang) dengan syarat memiliki satu
alif dan banyak terulang dalam al-Qur’an, seperti Qs. al-Baqarah/2: 19 (dua kali)
dan 198, Qs. al-An‘ām/6: 87 dan Qs. al-Ṭalāq/65: 4. Walaupun demikian, terdapat
pengecualian pada beberapa tempat yang tidak mengalami pengulangan. Seperti
Qs. al-Baqarah/2: 167, Qs. an-Nisā’/4: 4, Qs. al-An‘ām/6: 93, Qs. al-Taubah:9:
99, al-Ra‘d: 6 dan 11, Qs. al-Nūr/24: 60, Qs. Fāṭir/35: 8, dan Qs. al-Zumar/39: 67
menurut Abū Dawud semuang dengan ḥażf alif.266
Kedua jama’ muannaṡ sālim memiliki dua alif, menurut para perawi rasm
usmani kedua alifnya dibuang dengan dua syarat; kata tersebut terulang dalam al-
Qur’an dan setelah alif bukan tasydīd atau hamzah. 267
Adapun MSI yang sama dengan mazhab Abū Dawūd terdapat 5 kata dan
yang tidak sama terdapat 129 kata dari 134 kata.
Sedangkan MM yang sama dengan mazhab al-Dānī terdapat 6 kata dan
yang tidak sama terdapat 128 kata dari 134 kata. Dan MM yang sama dengan
265
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 203-204. 266
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 205. Abū Dāwūd, al-Mukhtasar,
v. 2, h. 34. 267
Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h. 206.
100
mazhab Abū Dawūd terdapat 130 dari 134 kata dan yang tidak sama terdapat 4
kata.
Dalam hasil penelitian ini penulis memiliki persamaan dengan disertasi
Zainal Arifin dengan judul “Perbedaan Rasm Usmani antara Mushaf Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū
Dawūd.” Fokus kajiannya yaitu perbedaan rasm usmani pada kaidah al-ḥażf al-
ḥuruf. Adapun kaitannya dengan hasil dari penelitian penulis, bahwa perbedaan
rasm usmani diantara Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah banyak
terletak pada kaidah al-ḥażf al-ḥuruf dibandingakan dengan kaidah-kaidah yang
lainnya. Namun ada perbedaan hasil yang penulis temukan dengan disertasi
Zainal Arifin. Perbedaan rasm dalam MSI dan MM yang ditemukan Zainal Arifin
dalam surah al-Baqarah ada 114 kata. Sedangkan perbedaan rasm dalam MSI dan
MM yang penulis temukan dalam surah al-Baqarah ada 134 kata. Jadi, ada 20 kata
yang tidak dituliskan oleh Zainal Arifin dalam disertasinya. Adapun kata-kata
tersebut dapat dilhat pada tabel dibawah:
Tabel 4.3 Perbedaan Rasm dengan Zainal Arifin
No. Surah MSI MM Mazhab
Kaidah Al-Dānī Abū Dāwud
1. 2: 16
ḥażf 268 جترهتم جتارهتم
2. 2: 40
ḥażf 269 وايي واياي
3. 2: 40
ḥażf 270 اسرءيل اسراءيل
268
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 99. 269
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 125. 270
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 124.
101
4. 2: 42
ḥażf 271 بالبطل بالباطل
5. 2: 62
ḥażf 272 صلحا صاحلا
6. 2: 66
ḥażf 273 نكال نكاال
7. 2: 81
ḥażf 274 احطت احاطت
8. 2: 83
ḥażf 275 بالولدين بالوالدين
9. 2: 93
ḥażf 276ميثقكم ميثاقكم
10. 2: 102
ḥażf 277 خلق خالق
11. 2: 102
ḥażf 278 يعلمان يعلمن
12. 2: 217
ḥażf 279انستطعوا انستطاعوا
13. 2: 228
ḥażf 280 اصلحا اصالحا
14. 2: 229
ḥażf 281 الطلق الطالق
15. 2: 229
ḥażf 282 مرتن مرتان
16. 2: 229
ḥażf 283 باحسن باحسان
271
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 134. 272
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 155. 273
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 156. 274
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 171. 275
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 172. 276
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 184. 277
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 190. 278
Abū ‘Amar al-Dānī dan Abū Dāwūd berselisih disini. Abū Dāwūd memilih iṡbat alif
dan al-Dānī memilih untuk ḥażf alif. Abū ‘Amar al-Dānī, muqni’, h. 382. Abū Dāwūd, al-
Mukhtasar, v. 2, h. 170. 279
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 267. 280
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 286. 281
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 285. 282
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 286. 283
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 287.
102
17. 2: 232
ḥażf 284 ترضوا تراضوا
18. 2: 240
ḥażf 285 متعا متاعا
19. 2: 241
ḥażf 286 متع متاع
20. 2: 283
ḥażf 287 امنته امانته
Selain persamaan dan perbedaan rasm menurut al-Dānī dan Abū Dāwud,
penulis juga menemukan beberapa kata yang tidak mengacu pada al-Dānī dan
Abū Dāwud. Berikut ini lafaz yang mengacu pada selain keduanya dapat dilihat
pada tabel dibawah;
Tabel 4.4 Rasm yang tidak mengacu pada selain al-Syaikhāni
No. Surah MSI MM Keterangan Riwayat
1. 2: 158
MSI dan MM iṡbat
alif 288
al-
Balansi289
2. 2: 57
MSI dan MM iṡbat
alif 290
al-Balansi
284
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 288. 285
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 290. 286
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 120. 287
Abū Dāwūd, al-Mukhtasar, v. 2, h. 321. 288
Abū Dāwūd tidak pernah memberi komentar demikian. Dengan demikian, MSI atau
MM mengacu pada riwayat al-Balansi. Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm Usmani, h.
296. 289
Nama aslinya ‘Alī ibn Muḥammad al-Murādī, Abū al-Ḥasan al-Andalusī al-Balansī. Ia
berasal dari penduduk Balansi (kota yang terkenal di Andalus, yaitu bagian timurnya Tadmir dan
timurnya Cordoba), dan ia terkenal dengan nama tersebut (al-Balansi). Imam al-Balansi adalah
orang Arab yang berasal dari Murādi, dan kabilah Murādi termasuk diantara kabilah-kabilah Arab
yang telah menaklukkan Andalusia dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Al-Balansi lahir
pada masa Ḥakam ibn Tūmrt atau sebelumnya, Ibn Tūmart memerintah pada tahun 515 H. Dan
wafat pada tahun 567 H. Yazīd bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥman al-‘Ammār, Imām al-Balansī
(567 H) wa Juhūduhu fī ‘Ilmi al-Rasm (Kulliyatu al-Da’wah wa Uṣūl al-Dīn, al-Mamlakah al-
‘Arabiyah al-Su‘ūdiyyah, 1436-1437 H), h.76-105. 290
Tidak ada satupun keterangan yang menyatakan bahwa ḥażf alif (الغمم) pada keduanya.
Pada kenyataannya, ahl al-mashriq (merujuk pada negara-negara yang berada di bagian timur
103
3. 83
MSI dan MM iṡbat
alif 291
al-Balansi
Dari pemaparan tabel diatas, yang tidak mengacu pada Abū ‘Amar al-Dānī
dan Abū Dāwūd yakni 3 kata dan ketiganya mengacu pada al-Balansi.
C. Faktor Penyebab Perbedaan
Dari pembahasan yang sebelumnya diketahui bahwa penulisan rasm pada
masing-masing mushaf memiliki sisi perbedaan yang signifikan. Perbedaan yang
paling tampak yaitu pada rasm ditemukan beberapa lafadz yang berbeda
penulisannya antara Mushaf Standar Indonesia dengan Mushaf Madinah. Menurut
penulis sejauh ini, yang menjadi salah satu sebabnya perbedaan diantara kedua
mushaf ini adalah karena riwayat ulama rasm pada masing-masing mushaf, yaitu
antara Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dāwūd Sulaimān. Keduanya memiliki
perbedaan dalam menetapkan huruf (iṡbat), dan membuang huruf (ḥażf). Dalam
telaah penulis bahwa Abū ‘Amr al-Dānī yang cenderung menggunakan kaidah
penetapan huruf alif (iṡbat alif), sedangkan Abū Dāwūd lebih cenderung
menggunakan membuang huruf alif (ḥażf alif).
Jazirah Arab) menyalinnya dengan iṡbat alif. Sementara al-Balansi merumuskannya untuk ḥażf alif
pada kata tersebut dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, MSI ataupun MM mengacu pada riwayat al-
Balansi bukan al-Dānī maupun Abū Dāwūd. Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan Rasm
Usmani, h. 295. Bandingkan dengan Mazmur Sya’roni, Abū Dāwūd ḥażf alif kecuali pada dua
tempat yaitu; Qs. al-Baqarah/ 2: 210 dan Qs. al-Furqan/ 25: 25. Mazmur Sya’roni, Pedoman
Umum Penulisan dan Pentashihan, h. 48. 291
Pada lafaz ini Abū Dāwūd tidak memberi komentar apapun. walaupun ahl al-mashriq
menuliskannya dengan iṡbat alif pada ayat tersebut dan ḥażf pada selainnya. Sementara ahl al-
maghrib ḥażf pada keseluruhannya dengan mengacu pada riwayat al-Balansi. Namun, MSI dan
MM keduanya menuliskan dengan iṡbat alif. dengan demikian MSI ataupun MM mengacu pada
riwayat al-Balansi bukan al-Dānī maupun Abū Dāwūd. Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedaan
Rasm Usmani, h. 296-297.
104
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan;
Pertama, analisis rasm mushaf khusus pada Qs. al-Baqarah ayat 1-286
dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah, dibagi menjadi tiga
kategori;
a) Persamaan rasm dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū
Dāwud. Dari analisis ini, terdapat 106 kata yang sesuai dengan
syaikhānī.
b) Perbedaan rasm dengan mengacu pada riwayat al-Dānī dan Abū
Dāwud. Dari analisis ini, terdapat 134 kata. Jika diuraikan; dalam MSI
yang sama dengan mazhab al-Dānī terdapat 128 kata dari 134 kata.
Sedangkan yang berselisih terdapat 6 kata. Adapun MSI yang sama
dengan mazhab Abū Dawūd terdapat 5 kata dan yang tidak sama
terdapat 129 kata dari 134 kata. Sedangkan MM yang sama dengan
mazhab al-Dānī terdapat 6 kata dan yang tidak sama terdapat 128 kata
dari 134 kata. Dan MM yang sama dengan mazhab Abū Dawūd
terdapat 130 kata 134 kata dan yang tidak sama terdapat 4 kata dari.
c) Rasm mushaf yang tidak mengacu pada keduanya namun pada imam
lainnya, yakni 3 lafaz dan ketiganya mengacu pada al-Balansi.
105
Dalam pnelitian ini memiliki persamaan dengan disertasi Zainal Arifin
yaitu, Perbedaan Rasm Usmani:Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan Abū Dawūd.
Sama-sama memiliki perbedaan rasm usmani diantara Mushaf Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah terletak pada kaidah al-ḥażf al-ḥuruf. Namun
ada perbedaan hasil yang penulis temukan dari hasil disertasi Zainal Arifin.
Perbedaan rasm dalam MSI dan MM yang ditemukan Zainal Arifin dalam
surah al-Baqarah ada 114 kata. Sedangkan perbedaan rasm dalam MSI dan
MM yang penulis temukan dalam surah al-Baqarah ada 134 kata. Yaitu
diantaranya; Qs. al-Baqarah/2: 16, 40, 40, 42, 62, 66, 81, 83, 93, 102, 102,
217, 228, 229, 229, 229, 232, 240, 241, dan 283.
Kedua, faktor penyebab perbedaan pada Mushaf Standar Indonesia
dan Mushaf Madinah, disebabkan perbedaan periwayatan ulama rasm pada
masing-masing mushaf, yaitu antara Abū ‘Amr al-Dānī dan Abū Dawūd
Sulaimān. Keduanya memiliki perbedaan dalam menetapkan huruf (iṡbat),
dan membuang huruf (ḥażf). Dimana Abū ‘Amr al-Dānī yang cenderung
menggunakan kaidah penetapan huruf alif (iṡbat alif), sedangkan Abū Dawūd
lebih cenderung menggunakan membuang huruf alif (ḥażf alif).
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa pembahasan tentang kajian rasm usmani ini
masih banyak pembahasan yang masih perlu untuk dikaji kembali dari pemaparan
106
yang penulis sajikan. Sehingga kajian ini tidak cukup hanya berhenti sampai
disini, tetapi mengharapkan pengembangan lebih lanjut. Dan kemungkinan masih
terdapat beberapa perbedaan atau persamaan penulisan rasm usmani dalam surah
al-Baqarah ini yang terlewatkan dari pengamatan penulis. Oleh karenanya, penulis
berharap untuk peneliti yang selanjutnya dapat menggalinya lebih dalam.
107
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Ammār, Yazīd bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥman, Imām al-Balansī (567
H) wa Juhūduhu fī ‘Ilmi al-Rasm (Kulliyatu al-Da’wah wa Uṣūl al-Dīn, al-
Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su‘ūdiyyah, 1436-1437 H).
Anshori. ‘Ulūm al-Qur’ān: Kiadah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta:
Rajawali Press, 2013.
Anshori. “Studi Komparasi antara Qira’at Nafi Riwayat Qalun dengan Qira’at
‘Ashim Riwayat Hafash (Kajian QS. al-Shafat/ 37 – Q.S. Qaf/ 50).” Jurnal
Qiro’ah v. 3, no. 1 (Desember 2010): h. 305-326.
Akbar, Ali. “Pencetakan Mushaf al-Qur’an di Indonesia.” Jurnal-Ṣuḥuf, v. 4, no. 2
(2011): h. 271-287.
Amal, Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005.
Al-A’zami, Muhammad Mustofa. Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai
Kompilasi. terj. Sohirin Solihin, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Al-Dānī, Abū ‘Amr ‘Uṡmān Ibn Sa‘īd. al-Muqni’ fī Ma’rifāti Marsum Maṣāḥif
Ahli al-Amṣār. Riyaḍ: Dār al-Tadmuriya, 1431 H/ 2010 M.
Al-Ḥumaid, Abū ‘Amr ‘Uṡmān ibn Sa‘īd al-Dānī taḥqīq Nurah bin Ḥasan bin
Fahd al-Muqni’ fī Ma’rifati Marsūm Maṣāḥif Ahl al-Amṣār. Al-Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah: Dār al-Tadmuriyah, 2010.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2010.
108
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia. Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an. cet. 2,
2017.
Bin Mokhtar, Ahmad Baha’. “Hadhf dan Ithbat al-Alif dalam Ilmu Rasm Usmani
Kajian terhadap Tiga Mushaf Terpilih.” Tesis Jurusan al-Qur’an dan Hadis,
Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya: Kuala Lumpur, 2015.
Hakim, Abdul. “Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan,
dan Mushaf Madianah Analisa Rasm Kata Berkaidah Ḥażf al-Ḥurūf.”
Jurnal Ṣuḥuf, v. 10, no. 2 (Desember 2017): h. 371-394.
https://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah diakses pada tanggal 11
Desember 2018, pukul 13. 40 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Hajjaj_bin_Yusuf diakses pada tanggal 30
Oktober 2018, pukul 09.30 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Khalil_bin_Ahmad_al-Farahidi diakses pada
tanggal 30 Oktober 2018, pukul 10.31 WIB.
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/nuansa/article/download/20/20
diakses pada tanggal 21 Desember, pukul 13.20 WIB.
Ibn Najah, Abū Daud Sulaimān. Mukhtaṣar al-Tabyin Hajai al-Tanzil. Madinah
al-Munawwarah: Mujamma’ Malik li Ṭaba’ati al-Muṣḥaf al-Syarif, 1421 H.
Madzkur, Zainal Arifin. Perbedaan Rasm Usmani:Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia dan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam Perspektif al-Dānī dan
Abū Dawūd. Jakarta: Azzamedia, 2018.
109
Madzkur, Zainal Arifin. “Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah, dan Hukum
Penulisan al-Qur’an dengan Rasm Usmani.” Jurnal Ṣuḥuf, v. 5, no. 1
(2012): h. 1-18.
_______. “Legalisasi Rasm ‘Uthmānī dalam Penulisan al-Qur’ān.” Jurnal Ṣuḥuf,
v. 1, no. 2 (Desember 2017): h. 215-236.
_______. “Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia.” Jurnal Ṣuḥuf, v. 6, no. 1 (2013): h. 35-58.
_______. “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indoneisa; Studi
Komparatif atas mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002.” Jurnal Ṣuḥuf, v.
4, no. 1 (2011): h. 1-22.
_______. Khazanah Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Yayasan Masjid Taqwa, 2018.
_______. “Harakat dan Tanda Baca Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia dalam
Perspektif Ilmu Ḍabṭ.” Jurnal-Ṣuḥuf, v. 7, no. 1 (Juni 2014): h. 1-23.
Mustofa, “Pembakuan Qira’at Aṣim Riwayat Ḥafṣ dalam Sejarah dan Jejaknya di
Indonesia.” Jurnal Ṣuḥuf, v. 4, no. 2 (2011): h. 221-245.
Nugraha, Eva. “Kaidah Rasm Utsmani pada Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia,” Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Bandung, 1995.
_______.“Konsep al-Nabī al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm.”
Jurnal-Refleksi, v. 13, no. 2 (April 2012): h. 263-287.
Proyek Penelitian Keagamaan, Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984-1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. terj. Aunur Rafiq el-Mazni.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar. cet. 1, 2005.
_______. Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Riyaāḍ: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥdīṡ, 1393.
110
Saefullah, Asep. “Aspek Rasm, Tanda Baca, dan Kaligrafi pada Mushaf-mushaf
Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal jakarta.” Jurnal Ṣuḥuf, v.
1, no. 1 (2008): h. 87-110.
Shohib, Muhammad dan Madzkur, Zainal Arifin. Sejarah Penulisan Mushaf al-
Qur’an Standar Indonesia. Jakarta: LPMA Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama Republik Indonesia. v. 1, 2013.
Shihab, Muhammad Quraish. Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2013.
Shihab, Muhammad Quraish. Mukjizat al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Al-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj.Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Sudrajat, Enang. “Pentashihan Mushaf al-Qur’an di Indonesia.” Jurnal Ṣuḥuf, v.
6, no. 1 (2013): h. 59-81.
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.
Al-Suyūṭī, Jalaluddīn. al-Iṭqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, bagian 76 fī Marsum al-Khaṭ
wa ādāb Kitabatah. Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 2010.
_______. Samudera ‘Ulumul Qur’an (al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. terj. Farikh
Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi. Surabaya: Bina Ilmu, t.t.
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.
Sya’roni, Mazmur. Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-
Qur’an dengan Rasm Usmani, dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an dengan
Rasm Usmani. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, Puslitbang Lektur Agama, 1999.
111
_______. “Prinsip-prinsip Penulisan dalam al-Qur’an Standar Indonesia.” Jurnal
Lektur Keagamaan. v. 5, no. 1 (2007): h. 127-149.
Thoharoh, Atifah. “Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah: Kajian Atas
Ilmu Rasm.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2017.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Yunardi, E. Badri. “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia.” Jurnal-Lektur,
v. 3, no. 2 (2005): h. 279-300.