29
A. PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan sebagai suatu proses, baik berupa pemindahan maupun penyempurnaan akan melibatkan dan mengikutsertakan bermacam-macam komponen dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Pendidikan dilakukan seumur hidup sejak usia dini sampai akhir hayat, pentingnya pendidikan diberikan pada anak usia dini terdapat di dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa: Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut PAUD, adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan TK merupakan salah satu bentuk pendidikan formal pendidikan anak usia dini, di dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 7 dijelaskan : Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia empat tahun sampai enam tahun. Pada masa TK, selain bermain sebagai bentuk kehidupan dalam kecakapan memperoleh keterampilannya, anak-anak juga sudah dapat menerima berbagai pengetahuan dalam pembelajaran secara akademis untuk persiapan mereka memasuki pendidikan dasar selanjutnya. Pada masa ini, anak-anak mengalami masa peka atau masa sensitif dalam menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensi yang

Proposal metode bercerita

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Proposal metode bercerita

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan sebagai suatu

proses, baik berupa pemindahan maupun penyempurnaan akan melibatkan dan mengikutsertakan

bermacam-macam komponen dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Pendidikan

dilakukan seumur hidup sejak usia dini sampai akhir hayat, pentingnya pendidikan diberikan pada

anak usia dini terdapat di dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Peraturan

Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa:

Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut PAUD, adalah suatu upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar

anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan TK merupakan salah satu bentuk pendidikan formal pendidikan anak usia dini, di

dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Peraturan Pemerintah tentang

Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 7 dijelaskan :

Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan

anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi

anak berusia empat tahun sampai enam tahun.

Pada masa TK, selain bermain sebagai bentuk kehidupan dalam kecakapan memperoleh

keterampilannya, anak-anak juga sudah dapat menerima berbagai pengetahuan dalam

pembelajaran secara akademis untuk persiapan mereka memasuki pendidikan dasar selanjutnya.

Pada masa ini, anak-anak mengalami masa peka atau masa sensitif dalam menerima berbagai

upaya pengembangan seluruh potensi yang dimilikinya. Masa peka merupakan masa terjadinya

pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon rangsangan yang diberikan oleh

lingkungan. Hal ini dinyatakan pula oleh Piere Duquet (Jasni, 2007) bahwa ‘a children who does

not draw is an anomally, and particulary so in the years between 6 an 0, which is outstandingly the

golden age of creative expression’. Pada rentang usia lahir sampai enam tahun, anak mulai peka

untuk menerima berbagai upaya perkembangan potensi yang dimilikinya.

Pembelajaran pendidikan di TK bertujuan membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan

sikap pengetahuan, keterampilan, daya cipta dan menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan

dasar dengan mengembangkan nilai-nilai agama (moral), fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial

emosi, dan seni. Bahasa sebagai salah satu aspek perkembangan yang harus dikembangkan pada

usia TK merupakan media komunikasi agar anak dapat menjadi bagian dari kelompok sosialnya.

Bahasa dapat berbentuk lisan, gambar, tulisan, isyarat, dan bilangan. Membaca merupakan bagian

dari perkembangan bahasa dapat diartikan menterjemahkan simbol atau gambar ke dalam suara

yang dikombinasikan dengan kata-kata, kata-kata disusun agar orang lain dapat memahaminya.

Anak yang menyukai gambar, huruf, buku cerita dari sejak awal perkembangannya akan

mempunyai keinginan membaca lebih besar karena mereka tahu bahwa membaca memberikan

informasi baru dan menyenangkan.

Page 2: Proposal metode bercerita

Mengembangkan aspek kemampuan membaca sejak dini (usia TK) sangatlah penting untuk

persiapan mereka secara akademis memasuki pendidikan dasar selanjutnya. Melalui gemar

membaca diharapkan anak-anak dapat membaca dengan baik sehingga mempunyai rasa

kebahasaan yang tinggi, berwawasan yang lebih luas keberagamannya dan mampu

mengembangkan pola berpikir kreatif dalam dirinya. Memberikan pembelajaran membaca pada

anak usia TK tetaplah melalui bermain karena bagi anak usia TK bermain adalah belajar dan

belajar adalah bermain.

Dumile Johanes Ndita, NSAD: 2004 (Jasni, 2007) melakukan penelitian mengenai metode

bercerita di Afrika Selatan karena mempunyai perbedaan ras yang sangat mencolok. Dumile

mengajarkan pendekatan metode bercerita kepada muridnya yang bertujuan untuk

mengilustrasikan bagaimana metode ini berfungsi bagi muridnya untuk mentransfer pengalaman

hidupnya ke dalam gambar. Seorang guru di sekolahnya akan memberikan informasi berupa cerita

yang mendasar tentang kebudayaan dalam suatu komunitas yang diberikan melalui metode

bercerita, sedangkan setiap murid akan menggambarkan dan menceritakan kembali arti gambar

yang sedang dibuatnya. Metode ini sangat berhasil dikenalkan di Afrika Selatan di mana murid

dan guru dapat menggambarkan berbagai cerita yang dialaminya dan digunakan untuk salah satu

komunikasi antar ras yang satu dengan lainnya. Dari penelitian Dumile dapat dilihat hubungan

antara bahasa kata atau cerita dengan metode bercerita dengan gambar. Gambar dapat

mengembangkan aspek bahasa dan menjadi salah satu media komunikasi.

Tuntutan pendidikan yang semakin tinggi cenderung mengacu pada ‘pemaksaan’ dalam

penerapan metode pembelajaran terhadap anak didik. Pendidikan awal di sekolah dasar mulai

menuntut agar anak-anak sudah dapat membaca, sehingga di TK pun banyak yang menjanjikan

lulusannya dapat membaca. Membaca pada anak di TK yang biasa disebut beginning-reading atau

membaca dini boleh saja dilakukan melalui metode yang tepat, setelah guru mengerti dan

memahami apa itu membaca dini. Pada kenyataannya, masih banyak guru TK yang mengajarkan

anak-anak membaca dengan cara memaksakan atau tidak mengikuti tahap perkembangan bahasa

anak. Anak-anak langsung dikenalkan dan ‘terpaksa’ mengingat huruf-huruf yang diajarkan dan

merangkai huruf-huruf tersebut menjadi kata ataupun kalimat yang tidak mereka pahami.

Mengajarkan membaca biasanya dengan cara konvensional (mengikuti cara pengajaran membaca

anak SD yang lama), setelah anak-anak dikenalkan dengan huruf-huruf, selanjutnya anak-anak

langsung diajarkan membaca kata atau kalimat, misalnya:

1. baju, cara membacanya:

b – a – j – u b a j u baju

2. saya makan nasi, cara membacanya:

s a y a saya

m a k a n makan

n a s i nasi

atau dengan cara:

1. Menempelkan beberap kartu kata di papan planel.

2. Guru mengajarkan secara langsung setiap kata dalam kartu kata.

3. Setiap anak diminta menyebutkan setiap kata pada kartu yang diberikan padanya.

Page 3: Proposal metode bercerita

Membaca bagi anak-anak TK bukanlah membaca huruf yang terangkai dan bermakna sehingga

menjadi kalimat utuh sesuai EYD (ejaan yang disempurnakan) seperti orang dewasa. Kemampuan

mengungkapkan secara lisan terhadap sebuah objek atau gambar (gambar ikan dibaca ikan,

gambar burung dibaca burung tanpa melihat dari jenis apa) atau yang biasa disebut membaca

gambar merupakan membaca bagi anak TK, karena bagi anak huruf pun merupakan gambar.

Mengajar anak agar dapat memahami bahwa huruf merupakan simbol dan baru akan bermakna

setelah terangkai menjadi beberapa huruf, misalnya “m-a-m-a” akan bermakna menjadi sebutan

untuk ibunya setelah dirangkai utuh menjadi “mama”. Proses memberikan pemahaman itu

merupakan tantangan bagi guru karena walaupun tampak sederhana, ternyata guru dituntut

kembali untuk memahami apa hubungan antara bahasa kata (bahasa lisan) dengan bahasa gambar

di tengah maraknya metode-metode cepat membaca yang ternyata tidak sesuai untuk anak usia

TK.

KONSEP PEMAHAMAN MEMBACA DINI DAN KETERKAITANNYA DENGAN METODE

BERCERITA DENGAN GAMBAR

A. Perkembangan Bahasa Anak

1. Pengertian Bahasa

Bahasa sebagai salah satu aspek perkembangan yang harus dikembangkan pada usia TK

merupakan media komunikasi agar anak dapat menjadi bagian dari kelompok sosialnya. Bahasa

dapat berbentuk lisan, gambar, tulisan, isyarat, dan bilangan. Kemampuan berbahasa meliputi

kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bahasa menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia edisi ke-3 (2005: 88) adalah “sistem lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh

anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri”. Badudu

(Dhieni et al, 2005: 1.8) menyatakan bahwa bahasa adalah ‘alat penghubung atau komunikasi

antara anggota masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyatakan pikiran, perasaan,

dan keinginannya’. Sedangkan Bromley (Dhieni et al, 2005: 1.8) mendefinisikan bahasa sebagai

‘sistem simbol yang teratur untuk mentransfer sebagai ide maupun informasi yang terdiri dari

simbol-simbol visual maupun verbal’.

2. Perkembangan Bahasa Anak

Para pendidik sangatlah penting mengetahui bagaimana cara belajar berbahasa anak, hal ini

berkaitan dengan pembelajaran bahasa pada anak. Banyak para ahli berpendapat tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi berbahasa individu. Para ahli teori nativis menyatakan bahwa manusia

secara natural memiliki kemampuan untuk memahami bahasa dan komunikasi. Menurut Chomsky

(Berk, 2003) ‘… that regards language as a uniquely human accomplishment, etched into the

structure of the brain…all children have a language acquisition device’. Belajar bahasa tidak

dipengaruhi oleh intelegensi ataupun pengalaman individu, individu mempunyai alat penguasaan

bahasa. Pada teori kognitif, kajiannya bertolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan

kemampuan berperan aktif terhadap lingkungannya. Piaget (Berk, 2003) menyatakan, ‘…that

language is our most flexible means of mental representation. By detechting thought from action,

it permits far more adept thinking than was possible earlier’. Perkembangan bahasa terjadi pada

setiap tahap perkembangan, perkembangan anak secara umum dan perkembangan bahasa awal

anak berkaitan erat dengan berbagai kegiatan anak, objek dan kejadian yang dialami secara

Page 4: Proposal metode bercerita

langsung.

Clara dan Stern (Zulkifli, TT: 35) membagi-bagikan perkembangan bahasa menjadi empat masa,

di mana setiap masa setengah tahun lamanya:

a. Kalimat satu kata: satu tahun s.d satu tahun enam bulan.

Kata pertama yang diucapkan anak dimulai dari suara-suara raban, seperti yang kita dengar keluar

dari mulut bayi. Meraban merupakan permainan dengan tenggorokan, mulut, dan bibir, supaya

selaput suara menjadi lebih lembut. Pada masa ini anak cenderung mengucapkan pengulangan

suara (ta-ta, mi-mi, da-da). Kemudian anak terus belajar berbicara karena dirangsang oleh

“dorongan sewajarnya”, yaitu dorongan meniru suara-suara yang didengarnya (suara kucing

“meong-meong, maka bila anak melihat kucing, anak akan bersuara meong-meong). Anak

menghubung-hubungkan kata-kata raban dan tiruan itu dengan benda-benda lainnya sehingga

diperoleh nama-nama.

Sebagian besar dari kata-kata yang diucapkan anak itu belum dapat diartikan dalam arti

sebenarnya. Anak menggunakan kata-kata itu untuk menyatakan keinginan dan perasaannya

dengan satu-kata yang telah mempunyai arti sebagai satu kalimat (anak berkata “mama” sambil

menunjuk bola, maksudnya “mama ayo kita bermain bola”).

b. Masa memberi nama: satu setengah tahun s.d dua tahun.

Selama beberapa bulan, perkembangan bahasa ini seakan-akan terhenti karena anak memusatkan

perhatiannya untuk berjalan. Sesudah pertengahan tahun kedua, timbullah dorongan untuk

mengetahui nama-nama benda. Dalam masa ini anak menyadari bahwa setiap benda mempunyai

nama, sehingga anak mempunyai pertanyaan banyak sekali (apa ini? apa itu? siapa itu? kenapa?).

Kalimat yang semula terdiri dari sepatah kata itu semakin lama semakin bertambah sempurna.

Selanjutnya kalimat dua-kata, kalimat tiga-kata, sampai akhirnya anak dapat mengucapkan

kalimat sempurna.

Kadang-kadang ada gejala kesukaran berbicara, hal itu disebabkan kemajuan pikiran dan

perasaannya lebih cepat berkembang dari perkembangan bahasanya, ketika jumlah

perbendaharaan kata belum cukup untuk menyatakan kekayaan pikiran dan perasaannya. Untuk

mengatasi hal itu, anak melengkapi bahasanya dengan gerak tangan, muka dan sebagainya.

Setelah perkembangan bahasa mengalami kemajuan, pemakaian tanda-tanda itu menjadi

berkurang. Bagi anak, perkataan yang termudah adalah kata benda, disusul dengan kata kerja,

kemudian kata sifat. Kata sambung baru dikenal anak sesudah ia mencapai usai tiga tahun.

c. Masa kalimat tunggal: dua tahun s.d dua setengah tahun.

Bahasa dan bentuk kalimat semakin baik dan sempurna. Anak telah menggunakan kalimat

tunggal. Dalam masa ini anak menggunakan awalan dan akhiran yang membedakan bentuk dan

warna bahasanya, sehubungan dengan bentuk dan warna itu, anak memerlukan waktu untuk

mempelajarinya. Selanjutnya anak mulai mampu menyatakan pendapatnya tentang perbandingan

(lebih besar, lebih enak).

d. Masa kalimat majemuk: dua tahun enam bulan dan seterusnya.

Anak mengucapkan kalimat yang makin panjang dan makin bagus. Anak telah mulai menyatakan

pendapatnya dengan kalimat majemuk. Dalam hal ini, anak sering berbuat kesalahan namun tidak

berputus asa, semakin banyak pertanyaannya (menanyakan siapa, di mana, dari mana, bagaimana,

Page 5: Proposal metode bercerita

apa sebabnya). Lingkungan hidup turut mempengaruhi perkembangan bahasa, sehubungan dengan

hal itu, jangan menirukan bahasa anak yang salah diucapkan.

3. Pengembangan Kemampuan Bahasa Anak

Bahasa sebagai sarana kegiatan berkomunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam

kehidupan manusia sebagai ungkapan hasil pemikiran seseorang kepada orang lain agar dapat

dipahami. Depdiknas (2001: 105) fungsi pengembangan kemampuan berbahasa pada anak di TK:

a. Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

b. Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak.

c. Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak.

d. Sebagai alat untuk mengembangkan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain.

Bahasa dapat berupa bahasa lisan, yaitu bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat ucap

(organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasarnya. Sugono (Dhieni et al, 2005: 4.3) dan

bahasa tulisan, yaitu bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat tulis .

a. Kemampuan berbahasa lisan meliputi:

1) Kemampuan menyimak

Menyimak merupakan kegiatan mendengarkan dengan kesengajaan, perhatian, dan usaha

pemahaman akan sesuatu yang sedang disimak. Tarigan (Dhieni et al, 2005: 4.4) mempertegas

bahwa:

Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh

perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi

atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui

ujaran atau bahasa lisan.

2) Kemampuan berbicara

Berbicara merupakan proses dalam mengekspresikan keinginan atau menyampaikan informasi

melalui suara kepada orang lain, yang mempunyai unsur fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,

dan pragmatik bahasa.

b. Kemampuan berbahasa tulisan meliputi:

1) Kemampuan membaca

Membaca merupakan proses dalam memahami tulisan yang bermakna. Kridalaksana (Dhieni et al,

2005: 5.3) mengemukakan bahwa membaca adalah ‘keterampilan mengenal dan memahami

tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi wicara bermakna

dalam bentuk pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras’.

2) Kemampuan menulis

Menulis merupakan kegiatan penyampaian makna melalui kata-kata yang berbentuk simbol atau

huruf. Webster new.world dictionary (Dhieni et al, 2005: 5.3) menulis diartikan sebagai ‘suatu

kegiatan membuat pola atau menuliskan kata-kata, huruf-huruf, ataupun simbol-simbol pada suatu

permukaan dengan memotong, mengukir atau menandai dengan pena ataupun pensil’.

4. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kemampuan Bahasa Anak

Setelah mengetahui tentang perkembangan bahasa anak, ada beberapa prinsip yang harus

diperhatikan guru dan orang tua untuk mengetahui pengembangan dan kemampuan berbahasa

anak. Prinsip-prinsip pengembangan kemampuan bahasa anak sebagaimana tertera dalam

Page 6: Proposal metode bercerita

Depdiknas (2000: 14):

a. Pendidik lebih mengutamakan pengembangan penguasaan kosakata, kemampuan menyimak

dan berkomunikasi sebelum permainan membaca diberikan.

b. Mendeteksi atau melacak kemampuan awal anak dalam berbahasa. Prinsip ini dilakukan agar

pendidik dapat memperhatikan perkembangan bahasa anak secara individual. Hasil kegiatan ini

diharapkan dapat diperoleh kemampuan berbahasa anak serta mengelompokkan berdasarkan

kemampuan yang relatif sama.

c. Merencanakan kegiatan bermain dan alat permainan sederhana melalui kegiatan bercakap-

cakap, bercerita atau menyampaikan cerita (story telling), membacakan cerita (story reading) dan

bermain peran (role play).

d. Mengkomunikasikan kegiatan keberbahasaan anak pada orang tua termasuk kegiatan

permainan membaca permulaan.

e. Menentukan sarana permainan yang diambil dari lingkungan sekitar dan dikenal anak.

f. Menggunakan perpustakaan anak sebagai sarana yang dapat merangsang dan menumbuhkan

minat baca anak.

g. Menata lingkungan kelas dengan berbagai kosakata dan nama benda yang memungkinkan anak

melihat dan berkomunikasi tentang benda-benda itu.

h. Menggunakan gambar-gambar sederhana yang dikenal anak untuk mengenalkan berbagai

bentuk kata atau kalimat sederhana.

Sebelum anak diajarkan membaca, guru perlu mengetahui apakah anak telah siap diajarkan

membaca. Kesiapan anak membaca sangat diperlukan agar anak berhasil secara optimal dalam

membaca dini. Dhieni et al (2005: 9.3) mengemukakan bahwa tanda-tanda kesiapan anak

membaca untuk belajar membaca adalah:

a. Anak sudah dapat memahami bahasa lisan.

b. Anak sudah dapat mengucapkan kata-kata dengan jelas.

c. Anak sudah dapat mengingat kata-kata.

d. Anak sudah dapat mengucapkan bunyi huruf.

e. Anak sudah menunjukkan minat membaca.

f. Anak sudah dapat membedakan suara/bunyi dan objek-objek dengan baik.

B. Membaca dini

1. Pengertian Membaca Dini

Salah satu aspek yang dikembangkan dalam bahasa adalah keterampilan membaca. Potensi dasar

yang harus dimiliki anak ini tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas No.2 Tahun 1989 tentang

pendidikan nasional:

Sistem pendidikan nasional harus dapat memberikan pendidikan dasar bagi setiap warga negara

Republik Indonesia agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan membaca,

menulis, dan berhitung serta mempergunakan bahasa indonesia yang diperlukan oleh setiap warga

negara untuk berbangsa dan bernegara.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 (2005:

83) “membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau

hanya di hati)”. Membaca dini sebagai persiapan akademis bahasa anak usia TK, agar dapat

membaca kata-kata sederhana atau mengetahui dan memahami kata-kata bermakna untuk

Page 7: Proposal metode bercerita

persiapannya memasuki tingkat pendidikan selanjutnya. Masitoh (Endah S, 2007) ‘membaca juga

dapat diartikan menterjemahkan simbol atau gambar ke dalam suara yang dikombinasikan dengan

kata-kata, kata-kata disusun agar orang lain dapat memahaminya’.

Soutgate, 1972; Steinberg, 1982; Smith, 1990; Tampubolon, 1991; Hartati, 1999 (Ruspita, 2005)

membaca dini adalah ‘membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak prasekolah dan

merupakan usaha mempersiapkan anak memasuki pendidikan dasar’. Program ini menumpukan

perhatian pada perkataan-perkataan utuh dan bermakna dalam konteks pribadi anak-anak.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengajarkan membaca dini dipaparkan Steinberg

(Tampubolon, 1991. Enggal K, 2005) adalah:

a. Materi bacaan harus terdiri atas kata-kata, frase-frase dan kalimat-kalimat. Ini berarti bahwa

bacaan itu harus mempunyai makna yang dapat dipahami oleh anak. Bahan-bahan pembelajaran

harus berhubungan erat dengan pengalaman anak atau yang pernah dialaminya.

b. Membaca terutama didasarkan pada kemampuan memahami bahasa lisan, dengan adanya

kemampuan memahami, maka memahami makna dari tulisan juga dapat dilakukan dengan

mudah, kalau anak memahami makna “roti bakar”, “berenang” dalam bahasa lisan, akan mudah

baginya belajar membaca dengan bahan-bahan itu (gambar), kemampuan memahami bahasa lisan

adalah suatu dasar penting untuk belajar membaca dini.

c. Mengajarkan membaca bukan mengajarkan aspek-aspek kebahasaan seperti tata bahasa, oleh

karena itu bahan pembelajaran membaca dini haruslah yang berada dalam ruang lingkup

kemampuan bahasa dan berpikir anak.

d. Pengajaran membaca dini haruslah menyenangkan bagi anak, ini sesuai dengan sifat dan

perkembangan anak dimana anak suka bermain dan lekas merasa bosan.

Sedangkan Gray (Dalman, 1997; Budihasti, 1983; Reni Akbar-Hawadi, 2001: 36) menyebutkan

beberapa komponen membaca, yaitu:

a. Pengenalan kata-kata

Penekanannya pada pengenalan persamaan antara apa yang diucapkan dan apa yang ditulis

sebagai simbol atau decoding.

b. Pengertian

Selain mengenali simbol dan dapat mengucapkan, dalam membaca yang terpenting adalah

mengerti apa yang dibaca.

c. Reaksi

Diharapkan ada reaksi terhadap hal yang dibaca.

d. Penggabungan

Asimilasi ide-ide yang dihadapkan dari mereka dengan pengalaman si pembaca di masa lalu.

2. Tahapan Perkembangan Membaca Dini.

Berdasarkan beberapa penelitian dari Goodman, Harse et al, Smith, Taylor, Teale and sulzby

dalam Raines and Canad, 1990 (Dhieni et al, 2005: 3.15) tahapan perkembangan membaca dini

yaitu:

a. Tahap Fantasi (magical stage)

Pada tahapan ini anak sudah mulai belajar menggunakan buku, mulai berpikir bahwa buku itu

penting, melihat atau membolak-balikkan buku dan terkadang anak membawa-bawa buku

Page 8: Proposal metode bercerita

kesukaannya.

b. Tahap Pembentukan Konsep Diri (self concept stage)

Pada tahap ini anak mulai memandang dirinya sebagai pembaca dan mulai melibatkan diri dalam

kegiatan membaca, pura-pura membaca buku, memberi makna pada gambar atau pengalaman

sebelumnya dengan buku, menggunakan bahasa buku meskipun tidak cocok dengan tulisan.

c. Tahap Membaca Gambar (bridging reading stage)

Pada tahap ini anak menjadi sadar pada cetakan tampak serta dapat menemukan kata yang sudah

dikenal, dapat mengulang kembali cerita yang tertulis, dapat mengenal cetakan kata dari puisi atau

lagu yang dikenalkan serta sudah mengenal abjad.

d. Tahap Pengenalan Bacaan (take-off reader stage)

Pada tahap ini anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphoponic, semantic dan syntactic)

secara bersama-sama. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada

konteksnya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan serta membaca berbagai tanda

seperti kotak susu, pasta gigi atau papan iklan.

e. Tahap Membaca Lancar

Pada tahap ini anak dapat membaca berbagai jenis buku yang berbeda secara bebas. Menyusun

pengertian dari tanda, pengalaman dan isyarat yang dikenalnya, dapat membuat perkiraan bahan-

bahan bacaan. Bahan-bahan yang berhubungan secara langsung dengan pengalaman anak semakin

mudah dibaca.

Achir (Reni Akbar-Hawadi, 2001: 37) menerangkan secara jelas perkembangan minat membaca

pada anak, yaitu:

a. Usia 1-3 tahun

Pada usia 1-3 tahun anak cenderung merobek kertas untuk itu dianjurkan agar buku yang

digunakan adalah dari plastik atau bahan yang kain yang selain kuat, tidak mudah rusak juga

dapat dicuci, sedangkan untuk isi bacaannya disarankan yang setiap halamannnya hanya

mengandung satu macam benda berikut namanya. Benda dan namanya dalam format besar dengan

warna yang cerah.

Selain membeli, dapat juga membuat sendiri dengan memulai dari pengenalan nama anggota

keluarga. Caranya adalah menempelkan foto ukuran kartu pos dan menuliskan nama yang ada

dalam foto itu di sampingnya dengan memakai huruf besar semua.

Cara lain yang cukup efektif adalah melalui gambar-gambar iklan, baik yang ada di majalah

maupun di papan iklan di jalan-jalan. Biasanya, gambar iklan dibuat dengan huruf yang jelas dan

besar-besar serta memakai warna yang mencolok. Untuk itu pilihlah majalah atau koran yang

sudah tidak terpakai. Anak pasti senang, gembira serta antusias belajar mengenal huruf itu, ibu

atau ayah senantiasa ada di samping anak. Pemberian reward amat efektif dan paling dianjurkan

agar anak tetap terangsang bermain mencari huruf pada iklan-iklan tersebut ataupun buku yang

dimilikinya.

b. Usia 3-5 tahun

Buku untuk anak di atas usia tiga tahun sudah bisa dengan beberapa kata (kalimat) yang

merupakan gagasan. Namun, tetap dengan ilustrasi gambar yang menarik, warna yang ceria serta

format yang besar. Di sini bacaan sudah dapat memancing keterlibatan emosi anak dan mudah

Page 9: Proposal metode bercerita

dalam menemukannya dalam dunianya sehari-hari.

Usia 3-5 tahun anak sudah duduk di TK, pengalaman mereka relatif lebih banyak, demikian pula

penguasaan bahasa jauh lebih baik. Sebab itu, bacaan yang diberikan bisa agak panjang. Dengan

jangka konsentrasi yang sudah lebih panjang, jenis bacaan bagi anak pun lebih banyak memikat

gagasan yang sedikit kompleks.

Haruslah diingat pula bahwa anak sudah lebih kritis, sehingga kita juga harus lebih serius dan

hati-hati di dalam membacakan buku. Maksudnya, anak tidak bisa lagi menerima kita

menggunakan bahasa sehari-hari dengan kreativias kita sendiri. Sebaliknya, kita dituntut

membaca persis sesuai dengan bahasa dalam buku. Hal ini ada baiknya, sebab anak akan

mendengarkan langsung bahasa yang baik. Di samping itu, anak pun diperluas dan diperkaya kosa

katanya melalui buku tersebut. Jenis cerita yang digemari untuk anak adalah yang bersifat fancy.

Sebaiknya ukuran buku (formal) kurang lebih 21,0 x 29,7 cm.

c. Usia 5-7 tahun

Fokus perkembangan anak pada usia 5-7 tahun ada pada dunia akademis dan intelektual. Untuk

periode ini yang menonjol adalah banyaknya kata-kata, gagasan-gagasan, konsep-konsep yang

merupakan representasi dari hal-hal yang telah dialami dan disimpan secara mental, baik melalui

pengalaman atau yang diterima secara tidak langsung. Macam buku yang diberikan sudah bisa

dalam format 17,6 x 25,0 cm dengan isi cerita yang matang.

d. Usia 7-9 tahun

Perkembangan intelektual anak usia 7-9 tahun diarahkan pada bagaimana sekolah melihat sesuatu

itu penting sehingga kita berupaya menyelaraskan dengan apa yang dituntut oleh sekolah. Untuk

itu, buku-buku yang cocok pada anak juga merupakan sesuatu yang membantu pelajaran di

sekolahnya dalam lingkup sains dan teknologi, tentang ruang angkasa, hujan, angin, suara dan

sebagainya. Cerita-cerita yang merangsang imajinasi anak dan memberi kesan action juga

digemari pada usia ini. Format buku masih 17,6 x 25,0 cm di mana huruf tidak terlalu kecil dan

jarak satu huruf dengan huruf lainnya tidak terlalu dekat.

Pengembangan dan kemampuan membaca dapat dilaksanakan guru pada anak, bila anak telah

memiliki kesiapan membaca dini. Pee Tzu Pung (Mudayanti, 2006) menjelaskan bahwa perilaku

kesiapan membaca dini dapat diperlihatkan anak sebagai berikut:

a. Rasa ingin tahu tentang benda-benda di dalam lingkungan, manusia, proses dan sebagainya.

b. Mampu untuk menterjemahkan atau membaca gambar dengan mengidentifikasikannya dan

menggambarkannya.

c. Menyeluruh dalam pembelajaran anak.

d. Melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa percakapan khususnya dengan kalimat.

e. Memiliki kemampuan untuk membedakan persamaan dan perbedaan dalam dan suara secara

cukup baik untuk mencocokkan satu suara dengan yang lainnya.

f. Keinginan untuk belajar membaca.

g. Memiliki kematangan emosional yang cukup untuk dapat berkonsentrasi dan terus menerus

dalam suatu tugas.

h. Memiliki kepercayaan diri dan stabilitas emosi.

Page 10: Proposal metode bercerita

Sedangkan menurut Departement of School Education Victoria, 1992 (Mashitoh, 2004;

Mudayanti, 2006) belajar membaca adalah suatu perkembangan yang alami apabila anak:

a. Mempunyai banyak pengalaman menyenangkan dengan membaca.

b. Memahami bahwa ide-ide dan kejadian-kejadian penting yang direkam dalam cetakan.

c. Memahami orang lain dapat membagi pengalamannya melalui bahan cetak dan mereka dapat

berbagi pengalaman pada orang lain.

d. Senang dan menikmat ide-ide dari suatu teks dan bahasa yang mana ide-ide tersebut dapat

diekspresikan.

3. Keunggulan Membaca Dini

Memotivasi anak dalam kegiatan membaca dini mempunyai banyak keunggulan. Steinberg

(Dhieni et al, 2005: 5.2) mengemukakan bahwa setidaknya ada empat keuntungan mengajar anak

membaca dini dilihat dari proses belajar-mengajar:

a. Belajar membaca dini memenuhi rasa ingin tahu anak.

b. Situasi akrab dan informal di rumah dan di KB atau TK merupakan faktor yang kondusif bagi

anak untuk belajar.

c. Anak-anak yang berusia dini pada umumnya perasa dan mudah terkesan, serta dapat diatur.

d. Anak-anak yang berusia dini dapat mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat.

Hartati (Ruspita, 2005) juga mengemukakan pengenalan membaca dini memberikan banyak

keunggulan, diantaranya:

a. Memenuhi rasa ingin tahu anak.

b. Situasi akrab dan informal di rumah, di TK merupakan faktor yang kondusif bagi anak untuk

belajar.

c. Anak-anak yang berusia dini pada umumnya perasa, suka meniru, mudah terkesan serta mudah

diatur.

d. Anak-anak yang berusia dini dapat mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat.

e. Secara umum pembelajaran membaca dini akan mendatangkan dampak terhadap pendidikan

anak-anak dalam semua bidang pengetahuan, sehingga masyarakat akan mendapat faedah yang

besar dari usaha tersebut.

Leonhardt (Alwiyah A, 1997; Endah S, 2007) memberikan sepuluh alasan mengapa kita harus

menumbuhkan cinta baca kepada anak :

a. Anak-anak harus gemar membaca agar dapat membaca dengan baik.

b. Anak-anak yang gemar membaca akan mempunyai rasa kebahasaan yang lebih tinggi.

c. Membaca akan memberikan wawasan yang lebih luas keberagamannya yang membuat belajar

dalam segala hal lebih mudah.

d. Di SMU (sekolah menengah umum) hanya anak-anak yang gemar membacalah yang

mempunyai keterampilan bahasa untuk menjadi unggul dalam setiap bidang yang memerlukan

banyak membaca, seperti dalam tingkatan kemampuan memahami bahasa yang sulit, bahasa

asing, sejarah dan sains.

e. Kemampuan istimewa membaca kemungkinan dapat mengatasi rasa tidak percaya diri anak

terhadap kemampuan akademik mereka karena mereka akan mampu menyesuaikan pekerjaan

sekolah mereka dengan menyediakan sedikit waktu dan emosional mereka.

Page 11: Proposal metode bercerita

f. Kegemaran membaca akan memberikan beragam perspektif kepada anak.

g. Mambaca dapat membantu anak-anak untuk memiliki rasa kasih sayang.

h. Anak-anak yang gemar membaca dihadapkan pada suatu dunia yang penuh dengan

kemungkinan dan kesempatan.

i. Anak-anak yang gemar membaca akan mampu mengembangkan pola pikir kreatif dalam diri

mereka.

j. Kecintaan membaca adalah salah satu kebahagiaan dalam hidup.

C. Metode Bercerita dengan Gambar

1. Pengertian Metode Bercerita

Bercerita atau yang biasa disebut mendongeng, merupakan seni atau teknik budaya kuno untuk

menyampaikan suatu peristiwa yang dianggap penting, melalui kata-kata, imaji dan suara-suara

(Ismoerdijahwati K, 2007). Dongeng atau cerita telah ada dalam banyak kebudayaan dan daerah

sebagai hiburan, pendidikan, pelestarian kebudayaan dan menyimpan pengetahuan serta nilai-nilai

moral. Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain

dengan alat peraga atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan,

informasi atau hanya sebuah dongeng yang untuk didengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh

karena itu orang yang menyajikan cerita tersebut harus menyampaikannya dengan menarik

(Dhieni et al, 2005: 6.3). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 210) cerita adalah:

Tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa atau karangan yang

menuturkan perbuatan, pengalaman kebahagiaan atau penderitaan orang, kejadian tersebut

sungguh-sungguh atau rekaan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka cerita anak dapat didefinisikan “tuturan lisan, karya bentuk

tulis atau pementasan tentang suatu kejadian, peristiwa, dan sebagainya yang terjadi di seputar

dunia anak (Musfiroh et al, 2005: 59). Sedangkan Depdiknas (2004: 12) mendefinisikan bahwa

“metode bercerita adalah cara bertutur kata dalam penyampaian cerita atau memberikan

penjelasan kepada anak secara lisan”, dalam upaya memperkenalkan ataupun memberikan

keterangan hal baru pada anak.

2. Cerita yang Sesuai dengan Perkembangan Anak

Kegiatan bercerita memberikan nilai pembelajaran yang banyak bagi proses belajar dan

perkembangan anak serta dapat menumbuhkan minat dan kegemaran membaca, Jensen

(Solehuddin, 2000: 91) “membacakan cerita dengan nyaring kepada anak secara substansial dapat

berkontribusi terhadap pengetahuan cerita anak dan kesadarannya tentang membaca”. Solehuddin

(2000: 90):

Di samping dapat menciptakan suasana menyenangkan, bercerita dapat mengundang dan

merangsang proses kognisi, khususnya aktivitas berimajinasi, dapat mengembangkan kesiapan

dasar bagi perkembangan bahasa dan literacy, dapat menjadi sarana untuk belajar, serta dapat

berfungsi untuk membangun hubungan yang akrab.

Cerita bagi anak-anak harus sesuai dengan tahap perkembangan anak. Tampubolon (Dhieni, 2005:

6.9) “ isi cerita hendaknya sesuai dengan tingkatan pikiran dan pengalaman anak”. Bercerita

sesuai dengan perkembangan anak dalam konsep Development Appropriate Practice (DAP) dari

The National Association for The Education of Young Children (NAEYC), yaitu bercerita sesuai

Page 12: Proposal metode bercerita

dengan pedoman pendidikan anak (Musfiroh, et al, 2005: 3), cerita yang dimaksud mengandung

beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh para pendidik, yakni:

a. Memahami pengertian dan permasalahan seputar cerita dan bercerita.

Pada konsep ini, pendidik perlu memastikan apa pengertian bercerita, apa perbedaannya

mendongeng, serta bagaimana konsep penyajian bercerita yang mendukung perkembangan anak

dalam berbagai aspeknya.

b. Memahami asumsi dasar anggapan perkembangan anak.

Pendidik perlu menyadari bahwa anak berkembang menurut fase-fase tertentu. Anak usia 4-7

tahun berada pada fase praoprasional dengan ciri perkembangan yang berbeda dengan anak-anak

di atas usia itu.

c. Memahami arti dan tugas perkembangan anak.

Pada masa TK, anak-anak perlu diperkenalkan konsep baik buruk melalui contoh agar membantu

mereka mencapai tugas perkembangan moral usia tersebut.

d. Memahami domain dan teori perkembangan yang dianut.

Guru perlu mengetahui mengenai teori perkembangan dan meyakininya agar dalam praktik

bercerita (khususnya) dan pembelajaran (umumnya) tidak buta arah. Setiap teori perkembangan

memiliki karakteristik yang membedakannya dengan teori yang lain.

e. Memahami konsep belajar dan mengajar.

Pencerita perlu memahami bahwa anak belajar bukan melalui ceramah, tetapi melalui keaktifan

dan interaksi aktif anak dengan materi belajar. Melalui cerita, anak melibatkan diri secara aktif,

senang hati dan bermotivasi intrinsik untuk membangun konsep “baik-buruk”, “benar-salah”,

“tepat-tidak” yang tersaji dalam cerita.

f. Memahami konsep “sesuai perkembangan” dalam pedoman praktik pembelajaran atau

Development Appropriate Practic (DAP).

Pendidik perlu menyadari bahwa cerita seyogyanya disesuaikan dengan taraf perkembangan anak,

meliputi abilitas anak dalam berbahasa, berpikir, bersosial-emosi, motorik dan moral, tanpa

pemahaman ini cerita akan menjadi terlalu sulit (sehingga tidak dimengerti anak) atau terlalu

mudah (membosankan bagi anak).

3. Bentuk-Bentuk Metode Bercerita Untuk Anak

Pada pelaksanaannya metode bercerita dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Bercerita tanpa alat peraga

Di mana pada pelaksanaannya tanpa menggunakan alat peraga sebagai media bercerita dan guru

harus memperhatikan ekspresi wajah, gerak-gerik tubuh, dan suara guru harus dapat membantu

fantasi anak untuk mengkhayalkan hal-hal yang diceritakan guru.

b. Bercerita dengan alat peraga

Di mana pada pelaksanaannya menggunakan alat peraga sebagai media penjelas dari cerita yang

didengarkan anak, sehingga imajinasi anak terhadap suatu cerita tidak terlalu menyimpang dari

apa yang dimaksudkan oleh guru. Alat peraga yang digunakan dapat berupa:

1) Alat peraga langsung, yaitu menggunakan benda asli atau benda sebenarnya (misalnya: kelinci,

kembang, piring) agar anak dapat memahami isi cerita dan dapat melihat langsung ciri-ciri serta

kegunaan dari alat tersebut.

Page 13: Proposal metode bercerita

2) Alat peraga tak langsung, yaitu menggunakan benda-benda yang bukan alat sebenarnya.

Bercerita dengan alat peraga tak langsung dapat berupa:

a) Bercerita dengan benda-benda tiruan.

Guru menggunakan benda-benda tiruan sebagai alat peraga (misalnya: binatang tiruan, buah-

buahan tiruan, sayuran tiruan). Benda-benda tiruan tersebut hendaknya mempunyai proporsi

bentuk dan warna yang sesuai dengan aslinya.

b) Bercerita dengan menggunakan gambar-gambar.

Guru menggunakan gambar sebagai alat peraga dapat berupa gambar lepas, gambar dalam buku

atau gambar seri yang terdiri dari 2 sampai 6 gambar yang melukiskan jalannya cerita.

c) Bercerita dengan menggunakan papan flanel.

Guru menggunakan papan flanel untuk menempelkan potongan-potongan gambar yang akan

disajikan dalam suatu cerita.

d) Membacakan cerita.

Guru menggunakan buku cerita dengan tujuan agar minat anak terhadap buku semakin bertambah.

e) Sandiwara boneka.

Guru menggunakan berbagai macam boneka yang akan dipentaskan dalam suatu cerita.

4. Metode Bercerita dengan Gambar

Metode bercerita dengan gambar merupakan salah satu cara yang paling mendasar untuk berbagi

pengetahuan, pengalaman, dan membina hubungan interaksi dengan anak-anak. Pada usia anak-

anak, kemampuan bahasa kata (bahasa lisan) belum cukup dikuasainya, dan bahasa tulisan pun

masih dalam proses, tetapi anak sudah mempunyai kemampuan bahasa rupa (bahasa gambar).

Melalui seluruh kemampuan yang dimilikinya, yaitu perpaduan antara bahasa kata dan bahasa

gambar, anak jadi mengerti apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Hal ini disebabkan, oleh

anak apa yang dikatakan orang lain diimajinasikannya dengan apa yang diinginkan orang tersebut.

Depdiknas (2001: 18) mengungkapkan bahwa metode bercerita dengan gambar merupakan

“bentuk bercerita dengan alat peraga tak langsung yang menggunakan gambar-gambar sebagai

alat peraga dapat berupa gambar lepas, gambar dalam buku atau gambar seri yang terdiri dari 2

sampai 6 gambar yang melukiskan gambar ceritanya”.

5. Tujuan Metode Bercerita dengan Gambar

Pada usia 4-6 tahun, anak-anak mulai dapat menikmati sebuah cerita pada saat ia mengerti tentang

peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan mampu mengingat beberapa berita yang diterimanya. Hal

ini menurut Depdiknas (2005: 5) ditandai oleh berbagai kemampuan sebagai berikut:

a. Mampu menggunakan kata ganti saya dan berkomunikasi.

b. Memiliki berbagai perbendaharaan kata kerja, kata sifat, kata keadaan, kata tanya, dan kata

sambung.

c. Menunjukkan pengertian dan pemahaman tentang sesuatu.

d. Mampu mengungkapkan pikiran, perasaan dan tindakan dengan menggunakan kalimat

sederhana.

e. Mampu membaca dan mengungkapkan sesuatu melalui gambar.

Bercerita bagi anak usia dini bertujuan agar anak mampu mendengarkan dengan berkonsentrasi

dan mengekspresikan perasaannya terhadap apa yang diceritakan. Adapun tujuan diberikannya

Page 14: Proposal metode bercerita

metode bercerita menurut Depdiknas (Depdiknas, 2001: 19) yaitu :

a. Melatih daya tangkap anak.

b. Melatih daya pikir anak.

c. Melatih daya konsentrasi anak.

d. Membantu perkembangan fantasi atau imajinasi anak.

e. Menciptakan suasana menyenangkan dan akrab di dalam kelas.

6. Manfaat Bercerita dengan Gambar

Kegiatan bercerita selain membantu perkembangan bahasa anak, juga dapat membangun

hubungan yang erat antara guru dan anak. Melalui bercerita, guru berinteraksi secara akrab dan

penuh kasih sayang dengan anak-anak. Penelitian Ferguson (Solehuddin, 2000: 92) pun

menunjukkan bahwa anak-anak yang dibacakan kepada mereka cerita-cerita semasa di TK

memperoleh skor lebih tinggi dalam tes keterampilan membaca daripada anak-anak lainnya.

Beberapa manfaat metode bercerita dengan gambar bagi anak TK (Dhieni et al, 2005: 6.6) :

a. Melatih daya serap atau daya tangkap anak TK, artinya anak usia TK dapat dirangsang, untuk

mampu memahami isi atau ide-ide pokok dalam cerita secara keseluruhan.

b. Melatih daya pikir anak TK, untuk terlatih memahami proses cerita, mempelajari hubungan

bagian-bagian dalam cerita termasuk hubungan-hubungan sebab-akibatnya.

c. Melatih daya konsentrasi anak TK, untuk memusatkan perhatiannya kepada keseluruhan cerita,

karena dengan pemusatan perhatian tersebut anak dapat melihat hubungan bagian-bagian cerita

sekaligus menangkap ide pokok dalam cerita.

d. Mengembangkan daya imajinasi anak, artinya dengan bercerita anak dengan daya imajinasinya

dapat membayangkan atau menggambarkan suatu situasi yang berada di luar jangkauan inderanya

bahkan yang mungkin jauh dari lingkungan sekitarnya, ini berarti membantu mengembangkan

wawasan anak.

e. Menciptakan situasi yang menggembirakan serta mengembangkan suasana hubungan yang

akrab sesuai dengan tahap perkembangannya, anak usia TK senang mendengarkan cerita terutama

apabila gurunya menyajikannya dengan menarik.

f. Membantu perkembangan bahasa anak dalam berkomunikasi secara efektif dan efesien

sehingga proses percakapan menjadi komunikatif.

7. Tehnik Bercerita dengan Gambar

Kegiatan bercerita dengan gambar dapat menggunakan gambar lepas atau 1 gambar atau gambar

seri terdiri 2-4 gambar yang meluruskan jalan cerita dengan ukuran tertentu dan tehnik sebagai

berikut (Dhieni et al, 2005: 6.28):

a. Kegiatan bercerita dengan gambar lepas atau 1 gambar.

1) Ketentuan kegiatan bercerita dengan gambar lepas atau 1 gambar:

a) Judul cerita singkat dan menarik bagi anak didik.

b) Cerita singkat dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang ada di lingkungan anak.

c) Menggunakan gaya bahasa anak.

d) Gambar dibuat dalam ukuran 1 karton 60×60 cm.

e) Gambar menggambarkan tokoh yang sedang bereaksi, merupakan hal yang menarik dari satu

cerita.

Page 15: Proposal metode bercerita

f) Gambar dibuat sesuai dengan tahap perkembangan anak.

g) Gambar diberi warna yang menarik dan tidak mengaburkan imajinasi anak.

h) Isi cerita ditulis pada bagian belakang gambar.

2) Langkah-langkah pelaksanaan:

a) Anak mengatur posisi duduknya.

b) Anak memperhatikan guru menyiapkan alat peraga.

c) Anak termotivasi mendengarkan cerita.

d) Anak diberi kesempatan memberi judul cerita.

e) Anak melengkapi judul cerita dari anak.

f) Anak mendengarkan cerita guru sambil memperhatikan gambar yang guru perlihatkan.

g) Setelah selesai bercerita, anak memberikan kesimpulan isi cerita.

h) Guru melengkapi kesimpulan tentang isi cerita dari anak.

3) Evaluasi:

Setelah selesai bercerita, guru bertanya tentang isi cerita, tokoh dalam cerita, isi gambar dan

memberi kesempatan pada satu atau dua orang anak untuk menceritakan kembali cerita tersebut.

b. Kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 2 gambar.

1) ketentuan kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 2 gambar:

a) Judul cerita singkat dan menarik bagi anak didik.

b) Ada cover cerita.

c) Menggunakan gaya bahasa anak.

d) Cerita singkat dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan, sosialisasi dan lingkungan anak.

e) Isi cerita kesatu dan kedua berkaitan.

f) Gambar dibuat pada karton, berukuran 50×30 cm, sebanyak 2 lembar, antara gambar kesatu dan

kedua diberi lakban/benang agar mudah pada saat membalikkan gambar.

g) Gambar diberi warna yang menarik dan tidak mengaburkan imajinasi anak.

h) Gambar 1 menggambarkan situasi tokoh sedang bereaksi awal suatu cerita.

i) Gambar 2 menggambarkan situasi tokoh sedang bereaksi di akhir cerita.

j) Isi cerita ditulis pada bagian belakang cover.

2) Langkah-langkah pelaksanaan:

a) Dengan bimbingan guru, anak mengatur posisi duduknya.

b) Anak memperhatikan guru pada saat menyiapkan alat peraga.

c) Anak termotivasi untuk mendengarkan cerita guru.

d) Anak diberi kesempatan memberikan judul cerita.

e) Guru memberi tahu judul cerita.

f) Guru bercerita sambil memegang gambar dan memperlihatkannya pada anak didik.

g) Setelah selesai bercerita, guru memberikan kesimpulan.

3) evaluasi:

Setelah selesai bercerita, guru bertanya tentang isi cerita, tokoh dalam cerita, isi gambar dan

memberi kesempatan pada satu atau dua orang anak untuk menceritakan kembali cerita tersebut.

c. Kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 3 gambar.

1) ketentuan kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 3 gambar:

Page 16: Proposal metode bercerita

a) Judul cerita singkat dan menarik bagi anak didik.

b) Ada cover cerita.

c) Menggunakan gaya bahasa anak.

d) Cerita singkat dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan, sosialisasi dan lingkungan anak.

e) Isi berurutan dan berkaitan dari gambar kesatu sampai dengan ketiga.

f) Gambar dibuat pada karton berukuran 30×25 cm sebanyak 3 lembar, antara gambar ke-1, ke-2,

ke-3 diberi lakban agar mudah pada saat membalikkan gambar.

g) Gambar diberi warna yang menarik dan tidak mengaburkan imajinasi anak

h) Gambar kesatu menggambarkan situasi tokoh yang sedang bereaksi, di awal cerita.

i) Gambar kedua menggambarkan situasi tokoh di tengah cerita.

j) Gambar ketiga adalah gambar akhir sebuah cerita.

k) Isi cerita dapat ditulis pada bagian belakang cover.

2) langkah-langkah pelaksanaan:

a) Dengan bimbingan guru, anak mengatur posisi duduknya.

b) Anak memperhatikan guru pada saat menyiapkan alat peraga.

c) Anak termotivasi untuk mendengarkan cerita guru.

d) Anak diberi kesempatan memberikan judul cerita.

e) Anak mendengarkan cerita guru dan memperhatikan gambar yang diperlihatkan oleh guru.

f) Anak mendengarkan guru bercerita secara berurutan sesuai gambar yang dipegang ke-1, ke-2,

dan ke-3 pada saat cerita gambar kesatu gambar kedua dan ketiga tidak diperlihatkan, begitupun

ketika bercerita ke-2 gambar ke-1 tidak diperlihatkan.

g) Setelah selesai bercerita seluruh gambar dari ke-1 sampai dengan ke-3 diperlihatkan kepada

anak.

h) Anak diberi kesempatan untuk memberi kesimpulan isi cerita.

i) Guru melengkapi kesimpulan cerita anak.

3) Evaluasi:

Setelah selesai bercerita, guru bertanya tentang isi cerita, tokoh dalam cerita, isi gambar dan

memberi kesempatan pada satu atau dua orang anak untuk menceritakan kembali cerita tersebut.

d. Kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 4 gambar.

1) ketentuan kegiatan bercerita dengan gambar menggunakan 4 gambar:

a) Judul cerita singkat dan menarik bagi anak didik.

b) Ada cover cerita.

c) Menggunakan gaya bahasa anak.

d) Cerita singkat dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan, sosialisasi dan lingkungan anak.

e) Isi berurutan dan berkaitan dari gambar kesatu sampai dengan keempat.

f) Gambar dibuat pada karton berukuran 30×25 cm sebanyak 4 lembar, antara gambar ke-1, ke-2,

ke-3 dan ke-4 diberi lakban agar mudah pada saat membalikkan gambar.

g) Gambar diberi warna yang menarik dan tidak mengaburkan imajinasi anak.

h) Gambar kesatu menggambarkan situasi tokoh yang sedang bereaksi pada awal suatu cerita.

i) Gambar kedua menggambarkan situasi tokoh dalam cerita sedang bereaksi pada proses isi

cerita.

Page 17: Proposal metode bercerita

j) Gambar ketiga menggambarkan situasi tokoh dalam cerita yang menunjukkan ke akhir cerita.

k) Gambar keempat menggambarkan situasi tokoh dalam akhir cerita.

l) Isi cerita ditulis pada bagian belakang cover.

2) Langkah-langkah pelaksanaan:

a) Dengan bimbingan guru, anak mengatur posisi duduknya.

b) Anak memperhatikan guru pada saat menyiapkan alat peraga.

c) Anak termotivasi untuk mendengarkan cerita guru.

d) Anak diberi kesempatan memberikan judul cerita.

e) Anak mendengarkan cerita guru dan memperhatikan gambar yang diperlihatkan oleh guru.

f) Anak mendengarkan guru bercerita secara berurutan sesuai gambar yang dipegang ke-1, ke-2,

ke-3 dan ke-4 pada saat cerita gambar kesatu gambar ke-1 dan ke-3 tidak diperlihatkan, begitupun

ketika bercerita ke-2 gambar ke-1 tidak diperlihatkan.

g) Setelah selesai bercerita seluruh gambar dari ke-1 sampai dengan ke-4 diperlihatkan kepada

anak.

h) Anak diberi kesempatan untuk memberi kesimpulan isi cerita.

i) Guru melengkapi kesimpulan cerita anak.

3) Evaluasi:

Setelah selesai bercerita, guru bertanya tentang isi cerita, tokoh dalam cerita, isi gambar dan

memberi kesempatan pada satu atau dua orang anak untuk menceritakan kembali cerita tersebut.

8. Metode Bercerita dengan Gambar dan Kaitannya dengan Peningkatan Membaca Dini

Bahasa gambar dan bahasa kata mempunyai hubungan yang erat bagi perkembangan membaca

dini anak, Tabrani (2005: 36-37) mengungkapkan bagaimana hubungan gambar dan kata:

…metode bercerita dengan gambar dari gambar-gambar itu jelas pesannya hingga tidak mudah

disalahtafsirkan dan tradisi dapat dipertahankan untuk waktu yang sangat lama dan hanya sedikit

mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan manusia prasejarah yang menciptakan metode

bercerita dengan gambar gambar prasejarah hingga memungkinkan terjadinya komunikasi dengan

metode bercerita dengan gambar itu memiliki kemampuan berfikir abstrak dengan gambar

khususnya imaji konkrit indera lainnya umumnya: raba-rasa-gerak-dengar-rupa- dan sebagainya.

Kemudian berkembang tercipta lagi tulisan yang bermula sebagai pictograph gambar yang

disederhanakan menjadi tulisan yang terus berkembang .

Berpikir bukan hanya dengan bahasa kata, tetapi juga dengan bahasa rupa (bahasa gambar), kedua

kegiatan ini sebenarnya sekaligus bercerita atau membaca melalui bahasa rupa (gambar) dan

bahasa kata (tulisan). Membacakan cerita yang menarik pada anak akan membuat anak menjadi

tahu bahwa dalam cerita atau bacaan itu ada sesuatu hal yang menarik baginya, sehingga anak

ingin lebih mengetahui sendiri apa yang terdapat dalam cerita tersebut. Hal ini sama artinya

dengan menumbuhkan minat membaca anak dan meningkatkan kegemaran membacanya semakin

baik. Ferguson (Solehuddin, 2000: 91) dalam penelitiannya pada tahun 1979 menunjukkan bahwa

anak-anak yang dibacakan kepada mereka cerita-cerita semasa di TK, memperoleh skor lebih

tinggi dalam tes keterampilan membaca daripada anak-anak yang berpartisipasi dalam aktivitas

baca-tulis awal lainnya.

Page 18: Proposal metode bercerita

A. Rekomendasi

Berdasarkan penulisan ini, ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan atau saran untuk

dijadikan bahan pertimbangan serta masukan bagi pihak yang akan menerapkan metode bercerita

dengan gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK antara lain:

1. Bagi guru:

a. Sesuai dengan hasil penelitian, hendaknya guru dapat menerapkan metode bercerita dengan

gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini, hal.

b. Meningkatkan kegiatan belajar mengajar melalui metode bercerita dengan gambar.

c. Menyediakan buku-buku bergambar yang dapat menarik perhatian anak untuk membacanya.

d. Menceritakan buku bergambar sambil menerangkan tulisan sederhana yang terdapat dalam

buku.

e. Memotivasi anak dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak melalui metode

bercerita dengan gambar.

2. Bagi lembaga TK:

a. Memfasilitasi media pembelajaran bagi guru dalam penggunaan metode bercerita dengan

gambar.

b. Memotivasi dan memberikan pelatihan-pelatihan bercerita dengan gambar, agar guru dalam

meningkatkan kemampuan membaca dini anak melalui metode bercerita dengan gambar dapat

dilakukan dengan tepat dan benar.

c. Menyediakan perpustakaan kelas dengan buku-buku bergambar yang beragam dan dapat

menarik perhatian anak untuk membacanya.

3. Bagi orang tua dan pemerhati pendidikan:

a. Mengembangkan aspek perkembangan bahasa anak terutama membaca dini melalui metode

bercerita dengan gambar.

b. Mengefektifkan manfaat metode bercerita dengan gambar untuk menstimulasi aspek

perkembangan bahasa anak usia dini.

c. Memperbanyak penggunaan buku bergambar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini

anak.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti yang akan datang hendaknya dapat mengkaji dan menelaah metode bercerita secara

lebih luas, baik dilihat dari isi cerita, media yang digunakan, maupun penyampaiannya agar

penerapan metode bercerita dengan gambar semakin tepat dan sempurna untuk dunia pendidikan

taman kanak-kanak.