49
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Secara umum, manusia dibekali lima alat indera untuk membantu mereka mengenali lingkungan, mengekspresikan pikiran, serta menjalankan berbagai kegiatan dalam keseharian. Melalui kelima indera itulah manusia dapat melihat, mendengar, mengenali bau, berbicara, dan merasa. Lalu, apa yang terjadi jika salah satu atau beberapa indera tersebut tidak bekerja? Dari bentuk fisik, penyandang tunarungu bisa jadi tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Mereka tidak memperlihatkan perbedaan yang kasat mata seperti penyandang tunadaksa. Perbedaan mereka terletak pada kemampuan komunikasi yang dipengaruhi kemampuan menangkap suara dan menyuarakan kata. Sayangnya, perbedaan ini membuat penyandang tunarungu kerap dipandang sebelah mata. Keterbatasannya dalam berkomunikasi membuat mereka sering diremehkan dalam lingkungan sosial. Padahal, pada hakekatnya semua manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengakuan. Begitu pula dengan hak mengembangkan potensi dan membuktikan diri. Sebagai komunitas penyandang tunarungu di Yogyakarta, Deaf Art Community (DAC) menjadi fasilitator bagi para tunarungu dalam mengasah potensi yang dimiliki. Menjadi kupu-kupu, itulah analogi yang menjadi filosofi DAC saat

Proses Pembelajaran Sekolah Semangat Tuli (SST) oleh Deaf Art Community (DAC)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pemahaman atas bahasa isyarat yang dinilai masih kurang ini menjadi dasar bagi dibukanya kelas isyarat di DAC. Jika bahasa isyarat sering kali menjadi hambatan bagi penyandang tunarungu untuk menjadi bagian dari masyarakat, DAC hadir untuk memberikan pengajaran bagi mereka yang tunarungu maupun tidak. Inilah salah satu hal yang merarik untuk dikaji dari DAC. Saat penyandang tunarungu atau disabilitas lain sering menjadi minoritas yang termarginalkan dalam masyarakat, mereka justru menunjukkan eksistensinya sebagai individu yang mandiri melalui Sekolah Semangat Tuli (SST). Pada posisi ini, penyandang tunarungu tidak lagi menjadi objek yang harus menuruti suprastruktur di atasnya. Mereka juga tidak menjadi individu minoritas yang berkekurangan. Mereka justru menjadi subjek otonom yang memiliki kelebihan dalam kemampuan bahasa (isyarat) dan menjadi pengajar. Dimana kelas terbuka bagi siapapun yang tertarik mempelajari bahasa isyarat tanpa harus mengeluarkan biaya.

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGSecara umum, manusia dibekali lima alat indera untuk membantu mereka mengenali lingkungan, mengekspresikan pikiran, serta menjalankan berbagai kegiatan dalam keseharian. Melalui kelima indera itulah manusia dapat melihat, mendengar, mengenali bau, berbicara, dan merasa. Lalu, apa yang terjadi jika salah satu atau beberapa indera tersebut tidak bekerja? Dari bentuk fisik, penyandang tunarungu bisa jadi tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Mereka tidak memperlihatkan perbedaan yang kasat mata seperti penyandang tunadaksa. Perbedaan mereka terletak pada kemampuan komunikasi yang dipengaruhi kemampuan menangkap suara dan menyuarakan kata. Sayangnya, perbedaan ini membuat penyandang tunarungu kerap dipandang sebelah mata. Keterbatasannya dalam berkomunikasi membuat mereka sering diremehkan dalam lingkungan sosial. Padahal, pada hakekatnya semua manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengakuan. Begitu pula dengan hak mengembangkan potensi dan membuktikan diri. Sebagai komunitas penyandang tunarungu di Yogyakarta, Deaf Art Community (DAC) menjadi fasilitator bagi para tunarungu dalam mengasah potensi yang dimiliki. Menjadi kupu-kupu, itulah analogi yang menjadi filosofi DAC saat ini. Berawal dari ulat bulu yang keberadaannya membuat banyak orang jijik, para anggota DAC berusaha bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah. Meskipun prosesnya sangat melelahkan dan membuat sang ulat tersiksa. Dalam praktiknya, anggota DAC bermetamorfosis menggunakan media seni. Dimana dalam perjalanannya, anggota komunitas ini telah menghasilkan berbagai karya berupa pantomim, teater, tari, Hip Hop, juga puisi isyarat. Pun berbagai kerajinan tangan seperti gantungan kunci, pigura, kaos, serta kotak tabungan. Dalam berkarya dan menjalani aktivitasnya, komunikasi yang digunakan anggota DAC adalah bahasa isyarat. Sebuah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual melalui gerak tubuh dan bibir. Tidak seperti cara komunikasi yang lazimnya menggunakan suara, penyandang tunarungu menangkap makna melalui kombinasi gerak tangan dan lengan, tubuh, serta ekspresi wajah. Di Indonesia, sistem bahasa isyarat yang umum digunakan adalah Berkenalan dengan Sistem Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Bisindo merupakan bahasa yang dikembangkan secara mandiri oleh penyandang tunarungu melalui Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin). Sedangakan SIBI adalah hasil buatan individu yang normal.Pemahaman atas bahasa isyarat yang dinilai masih kurang ini menjadi dasar bagi dibukanya kelas isyarat di DAC. Jika bahasa isyarat sering kali menjadi hambatan bagi penyandang tunarungu untuk menjadi bagian dari masyarakat, DAC hadir untuk memberikan pengajaran bagi mereka yang tunarungu maupun tidak. Inilah salah satu hal yang merarik untuk dikaji dari DAC. Saat penyandang tunarungu atau disabilitas lain sering menjadi minoritas yang termarginalkan dalam masyarakat, mereka justru menunjukkan eksistensinya sebagai individu yang mandiri melalui Sekolah Semangat Tuli (SST). Pada posisi ini, penyandang tunarungu tidak lagi menjadi objek yang harus menuruti suprastruktur di atasnya. Mereka juga tidak menjadi individu minoritas yang berkekurangan. Mereka justru menjadi subjek otonom yang memiliki kelebihan dalam kemampuan bahasa (isyarat) dan menjadi pengajar. Dimana kelas terbuka bagi siapapun yang tertarik mempelajari bahasa isyarat tanpa harus mengeluarkan biaya.

B. TUJUAN Untuk mengetahui program SST yang diselenggarakan oleh DAC Untuk mengetahui target peserta dalam program SST yang diselenggarakan DAC Untuk mengetahui proses interaksi antara pengajar dan peserta Untuk mengetahui metode dan proses pembelajaran yang digunakan SST Untuk memberikan ulasan mengenai SST sebagai praktik pendidikan kemasyarakatan.

C. MANFAAT Dapat mengetahui program SST yang diselenggarakan oleh DAC Dapat mengetahui target peserta dalam program SST yang diselenggarakan DAC Dapat mengetahui proses interaksi antara pengajar dan peserta Dapat mengetahui metode dan proses pembelajaran yang digunakan SST Dapat memberikan ulasan mengenai SST sebagai praktik pendidikan kemasyarakatan.

BAB IIPEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK Sejarah dan Latar belakang Berdirinya Deaf Art Community (DAC)Pada hakikatnya, semua orang memiliki hak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi serta mendapatkan informasi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, beragam cara pun dilakukan oleh manusia. Lazimnya, dalam berkomunikasi ada dua media yang digunakan, yakni audio (suara) dan visual (gambar). Tapi pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam menangkap kedua hal tersebut.Ketidakmampuan menangkap suara seperti apa yang dialami penyandang tunarungu sering membuat mereka mengalami diskriminasi, baik dalam pendidikan, pekerjaan, dll. Imbasnya, penyandang tunarungu kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam masyarakat. Kurangnya akses informasi serta ketiadaan sarana komunikasi universal yang bisa diakses bersama dan setara oleh teman-teman deaf (tunarungu) dan hearing person (individu yang bisa mendengar) menjadi alasannya. Oleh karenanya, Deaf Art Community (DAC) hadir sebagai wadah bagi para deaf dan hearing untuk berkumpul serta berkomunikasi menggunakan sign (bahasa isyarat). Harapannya, keduanya mampu bersinergi untuk mencapai sebuah tujuan yaitu menghilangkan keterbatassan komunikasi. Komunitas yang berdiri pasa 28 Desember 2004 ini berusaha menjadi tempat bagi deaf dan hearing person untuk saling belajar, berkreasi, dan berkarya. Dimana komunitas ini muncul atas prakarsa Komunitas Tunarungu Yogyakarta yang kala itu tergabung dalam komunitas Matahariku.

Gambaran Lokasi DACTak hanya identik dengan sekolah formal, pendidikan bisa berlangsung di manapun dan kapanpun dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pendidikan informal atau nonformal adalah pendidikan mengenai Toeli Sign atau Bahasa Isyarat. Dilihat dari segi pemberdayaan, pendidikan ini menjadikan penyandang tungarungu sebagai pengajar baik bagi tunarungu lain atau hearing person. Pendidikan inilah yang kemudian dikenal sebagai Sekolah Semangat Tuli (SST) dan menjadi salah satu program yang diusung oleh DAC. Dengan adanya program ini, DAC dapat dikatakan sebagai sekolah karena menjadi sarana penyaluran pengetahuan mengenai tunarungu dan bahasa isyarat. Pun menjadi fasilitator bagi hearing person untuk memahami penyandang tunarungu melalui pendidikan isyarat. Sebab tak dapat dipungkiri, bahasa memiliki posisi sentral dalam proses interaksi yang terlembaga melalui komunikasi.Sebagai penggagas SST, selama ini kegiatan DAC bermula dari sebuah rumah di Jl. Langernahan Lor No 16A. Lokasi rumah tersebut ada di sisi Timur Alun-Alun Kidul. Basis kegiatan DAC tidaklah sulit ditemukan, demikian juga dengan akses jalannya. Bangunan tempat DAC beraktivitas adalah sebuah rumah gaya Belanda dengan jendela besar serta halaman depan luas yang ditumbuhi beberapa pepohonan rindang. Tempat ini berada di lingkungan yang sangat tenang. Dimana nyanyian-nyian tempo dulu yang bersumber dari salah satu rumah selalu mengiringi sore hari di tempat itu. Jika dianalogikan, lingkungan tersebut mirip dengan kompleks pusat studi UGM di Bulaksumur. Berbagai macam komunitas dan lembaga nonformal menjadikan daerah ini basis kegiatannya. Salah staunya adalah Floating Hotel Course yang mengambil tempat tepat di depan rumah DAC. Memasuki bangunan ini, ruang pertama dan paling depan memiliki fungsi sebagai ruang tamu. Di ruangan ini kita akan disambut oleh hasil karya penyandang tunarungu DAC seperti kaos, pin, stiker, rak buku, dll. Selain itu, ada pula sebuah meja kayu, dua sofa sedang dan tiga kursi kayu untuk memfasilitasi para tamu yang datang atau sekadar menunggu kelas isyarat. Tak hanya itu, menempel di dinding adalah dua buah rak masing-masing berfungsi untuk menaruh buku dan berbagai penghargaan yang telah diterima oleh DAC. Di samping ruang tamu, terdapat sebuah ruangan menyerupai kamar yang digunakan sebagai tempat berkumpul, kesekertariatan, dan tempat anggota DAC memproduksi karya seperti pin.Ruangan selanjutnya adalah ruang tengah yang biasa menjadi tempat bagi kelas SST. Ruangan ini kurang lebih berukuran 3 x 4 meter dan dapat menampung cukup banyak peserta kelas SST. Ketika belum dimulai, ruangan ini biasnaya dibiarkan kosong dan hanya berisi sebuah meja dan papan tulis (whiteboard) yang ditempel pada salah satu sisi tembok. Namun ketika kelas akan dimulai, anggota DAC akan menggelar tikar dan memasang sebuah layar yang disambungkan pada sebuah laptop sebagai alat penunjang pembelajaran di atas meja. Kelas ini terbuka bagi umum baik penyandang tunarungu maupun hearing person. Dalam satu kelas, tidak ada pembedaan antara deaf dan hearing. Semua belajar di satu ruangan yang sama tanpa ada sekat. Ketiadaan sekat ini membuat keduanya saling berinteraksi dan belajar memahami satu sama lain.

Metode Pengajaran SSTDalam praktiknya, pengajar SST merupakan penyandang tunarungu yang menjadi anggota DAC. Dimana tiap pengajar selalu digilir dan memiliki jadwalnya masing-masing Sama seperti guru pada umunya, para pengajar sebelumnya juga mendapatkan pelatihan mengenai materi yang akan diajarkan. Zakka, salah satu pengajar yeng berasal dari Kaliduren, Moyudan, Sleman in telah mengajar di SST sejak Desember 2013 lalu. Meski tergolong muda, siswa kelas dua SMSR ini tidak terlihat canggung meski mengajari orang yang lebih tua darinya. Menurutnya mengajar adalah panggilan dari hati sebab tak banyak orang menguasai bahasa isyarat dan bisa mengajarkannya.Zakka menceritakan bahwa ia belajar bahasa isyarat dari teman-teman sekolahnya ketika di SLB setingkat SD dan SMP. Meski demikian, diakuinya ada ada beberapa perbedaan antara bahasa isyarat yang diajarkan di SLB dan DAC. Dari seorang teman di SLB inilah ia kemudian mengenal DAC. Zakka pun menceritakan bahwa awalnya ia tertarik bergabung dengan DAC karena ingin belajar seni khusunya hip-hopsebelum membuka SST, basis kegiatan DAC lebih banyak melalui media seni seperti teater, dance, hip hop, dan puisi isyarat. Namun semakin berjalannya waktu, Zakka pun mulai tertarik untuk mengajar meski awalnya ia menolak karena takut. Berdasarkan penuturan Mada, salah satu volunteer, kelas SST yang terorganisir dimulai sejak Desember 2013 lalu. Sebelumnya, SST hanya berupa kelas belajar yang belum memiliki kurikulum atau materi khusus. Pengajar kala itu, Fani, sebelumnya hanya mengaar penyandang yunarungu yang lebih muda agar memahami bahasa isyarat. Tapi setelah terbuka untuk umum ternyata SST mendapat respon yang baik dari masyarakat dengan banyaknya orang yang mengikuti kelas. Lalu setelah Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu (Gerkatin) melakukan kerjasama dengan DAC, dibuatlah sebuah kurikulum tertentu yang memuat materi-materi apa saja yang akan diajarkan pada tiap pertemuan. Bahsa isyarat yang digunakan dalam kurikulum ini adalah Bahasa Isyarat Indonesia Yogyakarta. Sebab seperti hanya bahasa daerah, bahasa nasional, dan internasional, sign ternyata juga berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Hal ini terjadi karena kesepakatan komunitas tunarungu di satu wilayah dengan lainnya bisa jadi berbeda. Mada pun menyampaikan bahwa perbedaan itu selalu ada. Tapi biasanya teman-teman deaf bisa lebih cepat dan mudah memahami perbedaan bahasa tersebut karena persamaan yang mereka miliki.Pada pertemuan yang diadakan setiap Senin dan Kamis ini SST memiliki tema yang berbeda dan telah ditentukan sebelumnya. Dalam satu hari materi yang disampaikan sama antara sesi pertama (pukul 16.00-17.00) dan sesi kedua (17.00-18.00). Pada salah satu pertemuan, ketika tim datang hanya ada lima peserta yang mengikuti sesi pertama. Kelima peserta merupakan hearing person yang tertarik mempelajari bahasa isyarat. Menurut salah satu peserta, tidak biasanya kelas sepi seperti sore itu. Biasanya peserta bahkan bisa mencapai 30 orang dalam satu kali pertemuan. Pada sesi kedua, setidaknya peserta yang hadir lebih banyak dari sebelumnya, yakni 10 orang. Pada sesi ini, komposisi peserta lebih beragam dari sebelumnya. Jika sesi pertama kesemua peserta adalah mahasiswa, pada sesi kedua para pesetra terdiri dari mahasiswa, aktivis dan pekerja. Peserta SST selama ini datang silih berganti dan tidak tetap. Ada yang memang berniat belajar dan bertahan lama, tapi ada pula yang hanya mengikuti kelas sekali dua kali lalu menghilang. Bahkan tidak jarang mereka yang telah mengikuti sesi pertama ikut menyimak pelajaran sesi kedua. Metode belajar yang dipakai adalah dengan menunjukkan gambar melalui layar yang dilanjutkan dengan bahasa isyarat oleh para pengajar. Setelah materi dalam satu slide tersampaikan, pengajar akan menanyakan apakah para peserta sudah mengerti. Jika mengerti matei akan dilanjutan ke slide berikutnya, tapi jika tidak mereka akan mengulang pembahasan tersebut. Penggunaan layar dan laptop ini sebenarnya baru dilaksanakan sejak Desember 2013. Sebelum memiliki materi seperti saat ini, media pembelajaran masih menggunakan papan tulis putih (whiteborard) dimana peserta menyebutkan sendiri kata-kata yang ingin mereka pelajari. Pun SST juga pernah menggunakan proyektor agar lebih jelas karena banyaknya peserta yang mengikuti kelas. Meski demikian, mekanisme yang digunakan dalam pengajaran relatif sama. Dimana setelah materi selesai disampaikan pengajar akan memberikan sedikit rewiew dan membuat sebuah kalimat dari gambar-gambar tersebut. Setelah itu, pengajar akan meminta para peserta mengikuti gerakan atau kalimat yang ia buat dan meminta mereka mengulanginya di depan kelas. Dalam proses belajar ini, Zakka mengatakan bahwa ada beberapa kendala yang biasa ia hadapi. Kejadian yang paling sering terjadi adalah saat peserta mengaku sudah paham dengan apa yang diajarkan, mereka sering kali menolak saat diminta melakukan praktik di depan kelas. Hal ini diakui Zakka sudah sering terjadi dan tidak lagi menjadi maslaah besar baginya. Selain itu kehadiran peserta yang tidak menentu juga menjadi masalah lain sebab akan mempengaruhi pemahaman peserta atas materi yang disampaikan. Meski demikian, Zakka mengaku tetap bersemangat mengajar dan menambah pengalaman.

Peserta SST (Sekolah Semangat Tuli)Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peserta SST tidak pernah tetap dan berasal dari berbagai macam latar belakan. Salah satu peserta yang mengikuti kelas adalah Nurani. Mahasiswi semester VI Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNY ini telah cukup lama bergabung dengan SST. Ia menerangkan bahwa tujuannya mengikuti kelas ini adalah agar dapat berkomunikasi dengan penyandang tunarungu. Nurani memilih DAC karena kelasnya di kampus tidak mengajarkan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu. Meski di awal merasa kesulitan, ia tetap bertahan dan mulai bisa beradaptasi dengan penyandangan tunarungu. Sebelum bergabung dalam kelas ini, Nurani mendapatkan informasi mengenai DAC dari teman yang telah bergabung dengan kelas ini terlebih dulu. Nurani berharap melalui DAC ia akan mampu mengerti dan memahami apa yang dikomunikasikan oleh teman-teman deaf, sehingga ketika telah menjadi guru SLB ia bisa dekat dengan anak didik terutama penyandang tunarungu.Selain Nurani, ada pula Wisnu yang telah bergabung dengan DAC sebelum SST menjadi lebih terorganisir. Berbeda dengan Nurani, Wisnu telah bekerja dan tidak lagi menyandang status sebagai mahasiswa. Wisnu beralasan bahwa ia ingin mengajarkan bahasa isyarat pada penyandang tunarungu di sekitar lingkungan rumahnya. Selama hampir 8 bulan bergaung dengan DAC, selain bahasa Wisnu mengaku bisa mempelajari kebersamaan dari teman-teman deaf. Ia mengatakan bahwa tidak jarang diantara mereka terjalin komunikasi yang lebih intens seperti bercanda bersama dan saling curhat. Wisnu pun pernah beberapa kali hadir di acara pementasan DAC. Wisnu mengatakan, Apa yang menjadi kekurangan teman-teman deaf adalah mereka tidak mengerti maksud ucapan kita. Namun kendala bagi orang normal adalah tidak dapat mengerti bahasa yang mereka (deaf) gunakan. Alasan itulah yang seharusnya menjadi alasan hearing people untuk belajar sign.

B. TINJAUAN TEORITISDalam melihat fenomena DAC, teori yang dipilih adalah Teori Belajar Humanistik oleh Jurgen Habermas. Dimana proses belajar harus dimulai dari dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Secara sederhana, pendidikan yang memanusiakan manusia dapat diartikan sebagai proses mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri melalui mekanisme belajar mengajar. Oleh karenanya, teori ini bersifat holistik dan eklektik karena menggabungkan banyak perspektif untuk mencapai aktualisasi diri. Sebab seperti dikatakan Maslow, aktualisasi diri menempati posisi tertinggi dalam hierarki kebutuhan. Proses belajar ini menjadi mungkin apabila terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya, baik alam maupun sosial. Pada proses belajar mengajar, teori humanistic menekankan pada terjadinya self regulated learning. Dimana peserta harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar, mulai dari apa, kapan, dan bagaimana mekanisme belajar yang akan mereka lakukan. Habermas membagi tipe belajar menjadi tiga yaitu: Pembelajaran Teknis (Technical Learning) Proses belajar yang paling awal dimana individu diharapkan bisa mengenal dan berinteraksi dengan alam. Pada tingkatan ini individu diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam mengelola lingkungan alamnya. Pembelajaran Praktis (Practical Learning) Dalam proses belajar ini, yang menjadi titik tolak bukan lagi kemampuan individu berinteraksi dengan alam, melainkan lingkungan sosialnya. Meski fokus pada nilai-nilai yang lebih bersifat sosiologis dan psikologis, tidka berarti lingkungan alam menjadi terabaikan. Pembelajaran Emansipatoris (Emancipatory Learning) Proses ini menekankan pada upaya individu mencapai suatu pemahaman dan kesadaran atas perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, dalam memahami perubahan tersebut ilmu atas bahasa dan budaya menjadi sangat dibutuhkan. Habermas pun menganggap tahapan ini sebagai yang paling tinggi. Sebab transformasi kultural merupakan tujuan pendidikan yang tertinggi.

Selain menggunakan Teori Belajar Humanis, Experiential Learning Theory juga dianggap sebagai teori yang releven digunakan kaitannya dnegan isu yang diangkat. Dimana menurut teori ini belajar merupakan proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pandangan David Kolb ini menempatkan pengalaman pada posisi paling sentral sebab proses inilah yang pada akhirnya membentuk pengetahuan yang didapatkan oleh peserta. Kemunculan teori ini lantas memungkinkan terciptannya model pembelajaran yang lebih holistik atau utuh. Kolb pun membagi model pembelajaran berdasarkan pengalam menjadi empat tahap. 1. Tahap Pengalaman konkrit (Concrete Experience)Pada tahapan awal ini, individu mengalami sesuatu peristiwa sebagaimana adanya (hanya merasakan, melihat, dan menceritakan kembali peristiwa itu). Dimana dalam tahap ini seseorang belum memiliki kesadaran tentang hakikat sebuah peristiwa, apa yang sesungguhnya terjadi, dan mengapa hal itu terjadi.2. Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)Di tahap kedua ini sudah ada usaha observasi dari peserta yang terlihat dalam proses belajar. Mereka mulai berusaha memahami peristiwa yang dialami, mencari jawaban, melakukan refleksi, dan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kritis atas peristiwa tersebut.3. Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)Kemampuan mengabstraksi diharapkan telah dapat terlihat pada tahapan ini. Dimana dari abstraksi tersebut nantinya aka berkembang teori, konsep, ataupun prosedur atas hal yang menjadi objek perhatian. 4. Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)Pada tahapan terakhir ini, peserta telah memiliki upaya untuk terlibat aktif secara langsung dengan apa yang ia pelajari. Di tahapa ini pula lah segala teori, konsep, dan prosedur yang abstrak menemui praktiknya sehingga bisa menjadi sesuatu yang real dalam kehidupan nyata.

Kedua konsep atau teori tersebut menjadi relevan dalam membicarakan DAC sebab ada praktik-praktik humanis dan pengalaman dalam pengajaran yang dilakukan di kelas SST. Selan itu, melalui kedua teori ini nantinya akan terlihat bagaimana praktik-praktik humanisme ini berjalan dalam proses belajar yang dikembangkan oleh SST. Ketiadaan suprastruktur yang mengontrol segala proses belajar juga menjadi salah satu indikaor yang menjadikan pembelajaran ini bersifat lebih humanis daripada pendidikan sekolah formal pada umumnya. Sebab perlu dipahami bahwa belajar merupakan suatu perkembangan yang memiliki tiga fase dalam praktiknya, yakni pengumpulan pengetahuan, pemusatan pada bisnag tertentu, dan pemunculan minat dan tujuan dari objek yang menjadi perhatian. Oleh karenanya, pada dasarnya semua model pembelajaran bisa menjadi sebuah proses yang saling berkaitan dan terintegrasi satu sama lain.

C. AGENDA MAGANGa. Jadwal: Kamis, 24 April 2014 Senin, 28 April 2014 Senin, 5 Mei 2014b. Proses:Tim sebelumnya menemui pembina untuk menanyakan kesediannya menjadi subjek dari riset ini. Setelah itu tim langsung pergi ke lapangan dan melakukan observasi atas kegiatan apa yang dilakukan oleh SST. Tim juga melakukan observasi partisipasn dengan menjadi bagian dari peserta kelas SST. Wawancara pun dilakukan dengan Mada (Volunteer), Zakka (Pengajar), Nurani (Peserta), dan Wisnu (Peserta) agar bisa mendapatkan hasil yang lebih objektif. c. Materi: Kamis, 24 April 2014 Barang-barang elektronik Senin, 28 April 2014 Olah raga Senin, 5 Mei 2014 Dunia Internasional

D. ANALISISSeperti telah sempat disinggung sebelumnya, proses pembelajaran yang terjadi di kelas SST ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bahasa isyarat (sign) pada hearing people. Dimana permasalahan atas moda komunikasi yang berbeda antara penyandang tunarungu dan tidak selama ini selalu menjadi kendala. Tunarungu selama ini sulit mengerti bahasa manusia pada umumnya karena mereka tidak memiliki kemampuan mendengar. Begitu pula individu normal tidak bisa mengerti dan memahami penyandang tunarungu karena tidak mengerti bahasa yang digunakan. Kemunculan SST ini pada satu sisi bisa dilihat sebagai model pendidikan yang humanis atau memanusiakan manusia. Sebab melalui proses ini deaf dan hearing sama-sama belajar untuk memahami satu sama lain. Seperti apa yang dikatakan teori humanistik, ada proses aktualisasi diri yang berusaha dicapai dalam hal ini. Jika biasanya peserta berusaha mengakualisasikan dirinnya melalui pendidikan atau proses belajar yang dialami, SST tidak hanya mengajak peserta tapi juga pengajar untuk sama-sama mengaktualisasikan diri mereka. Dengan kata lain, yang memiliki kebutuhan untuk menunjukkan diri dan mengukuhkan keberadaan mereka tidak hanya peserta, tapi juga pengajar yang notabene penyandang tunarungu.Merujuk pada tiga tipe belajar yang dikemukakan Habermas sebelumnya, mekanisme pembelajaran yang terjadi di SST lebih mengarah pada Pembelajaran Emansipatoris (Emancipatory Learning). Sebab seperti dijelaskan Habermas, proses ini menekankan pada upaya individu mencapai suatu pemahaman dan kesadaran atas perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dimana dalam memahami perubahan tersebut ilmu atas bahasa dan budaya menjadi sangat dibutuhkan. Dari tujuan pembentukannya, terlihat jelas bahwa SST muncul untuk mengubah atau menransformasi pemahaman individu atas penyandang tunarungu. Bahwa tunarungu juga memiliki potensi yang setara dengan orang lain dan sama-sama memiliki hak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi serta mendapatkan informasi. Oleh karenanya DAC memunculkan SST sebagai salah satu cara mengubah pemahaman tersebut. Dimana bahasa menajdi titik tolak atau gerbang untuk memahami dan menjadi bagian dari transformasi tersebut. Hasilnya, aktualisasi diri ini tidak hanya menjadi milik peserta, tapi juga pengajar. Sebab peserta memang memperoleh pengetahuan dan bisa mempraktikkan kemampuannya pada orang lain. Tapi di sisi lain, para penyandang tunarungu juga mampu mengaktualisasian dirinya lebih dari sebelumnya. Dimana akan semakin banyak orang yang mengerti bahasa mereka dan akan mempermudah mereka dalam berkomunikasi dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Pun nyatanya tidak hanya hearing yang belajar sign, tapi para anggota Dac juga berusaha belajar membaca bibir untuk memudahkan mereka berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Contoh nyata dari aktualisasi peserta ini adalah Nurani yang berharap akan mampu mengerti dan memahami apa yang dikomunikasikan oleh teman-teman deaf. Sehingga ia bisa dekat dengan anak didiknya ketik menjadi guru SLB kelak. Begitu pula dengan Wisnu yang berkeinginan membagi ilmu isyaratnya kepada penyandang tunarungu lain di lingkungan sekitar rumahnya. Dari proses belajar tersebut, berikut beberapa poin yang bisa dijadikan tolok ukur dari praktik humanisme yang ada di SST:1. Tujuan pembelajaran untuk mengajarkan bahasa isyarat agar hearing dapat berkomunikasi dengan deaf. Begitu pula dengan deaf yang belum mengerti sign bisa belajar di SST sehingga bisa berkomunikasi dengan sesamanya,2. Materi pembelajaran yang disiapkan melalui gambar dan tulisan singkat (satu sampai tiga kata),3. Kelas dimulai dengan materi yang umum ringan sebab tidak semua orang dapat menangkap sign dengan cepat. Pun ada pengulangan materi jika dinilai perlu,4. Topik pembelajaran berawal dari benda-benda yang sering ditumi dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahami,5. Penyampaian materi menggunakan media laptop dan LCD (layar),6. Pengajar mempraktikkan bahasa isyarat dari gambar tertentu yang kemudian diikuti oleh peserta,7. Pengajar mengajak peserta untuk memahami makna dari bahasa isyarat tersebut melalui contoh kalimat dan praktik peserta, 8. Pengajar berbagi pengalaman yang pernah didapat melalui cerita menggunakan sign, 9. Setelah proses belajar selesai peserta dapat beriteraksi langsung dengan penyandang tunarungu (proses belajar di luar kelas),10. Setiap pertemuan diawali dengan evaluasi materi pertemuan sebelumnya sebelum memasuki materi yang baru.

Selain itu, pengalaman juga sangat tercermin dalam proses belajar yang dilakukan di SST. Sebab sign merupakan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan. Para pengajar pun sebelumnya pernah belajar dan dilatih menggunakan bahasa isyarat. Begitu pula para mengajar ini pernah menemui perbedaan bahasa isyarat yang digunakan antara satu daerah dengan lainnya. Mereka pun memperoleh kosakata baru berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dari berinteraksi dengan sesamanya yang berbeda daerah. Pengalaman-pengalaman ini lantas ditransfer oleh para pengajar dalam proses belajar di dalam kelas. Adanya praktik langsung yang diadakan setiap pertemuan pun menjadi pengalaman bagi para peserta yang mengikuti kelas ini. Begitu pula saat mereka berusaha bercakap-cakap dengan anggota lain di luar jam pertemuan. Di sana akan ada lebih banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa didapatkan bila dibandinkan dengan pembelajaran di kelas saja. Ini seperti apa yang dikatakan David Kolb dengan pengetahuan sebagai perpaduan antara memahami dan mentrasformasi pengalaman.Melihat praktik pengajaran yang diterapkan SST, pengalaman terbukti memiliki peran sentral dalam proses belajar. Dalam hal ini pengalaman pengajar dalam mempraktikkan bahasa isyarat penting, sebab penerapan akan semakin mematangkan pemahaman. Berikut adalah contoh dari beberapa fase yang bisa ditemui di SST:1. Pengumpulan pengetahuan Pengetahuan didapat dari kelas pengajaran. Zakka (Pengajar): Ada banyak kegiatan belajar yang diusung oleh DAC, salah satunya adalah SST. Dimana dari kegiatan ini Zakka mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana cara mengajar. Mada (Peserta & Volunteer): Meski sempat ragu di tengah jalan dalam belajar bahasa isyarat, ia memutuskan untuk melanjutkan belajar karena banyak pengetahuan baru yang bisa ia dapatkan dari kelas tersebut. 2. Pemusatan perhatian pada bidang tertentu: Zakka (Pengajar): Beberapa anggota DAC mulai memfokuskan pada bidang-bidang tertentu, seperti memilih untuk mengajar pada kelas bahasa isyarat meski awaknya takut dan tidak percaya diri. Mada (Peserta & Volunteer): Seteah belajar sign mulai memutuskan untuk fokus dan terus membantu DAC. Sebab harus diakui bahwa para penyandang tunarungu membutuhkan keberadaan orang-orang yang memahami bahasanya sebab tidak banyak orang yang memiliki keahlian serupa. 3. Menaruh minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul minat dan tujuan hidup baru: Zakka (Pengajar): Meski awalnya tidak bersedia mengajar, ia akhirnya akhirnya menemukan dorongan untuk mengajar. Ketika sudah pernah merasakan pengalaman dalam mengajar, ia tidak lagi takut dan menikmati kegiatannya. Kini Zakka bahkan lebih senang mengajar sendirian ketimbang berdua dengan temannya. Mada (Peserta & Volunteer): Berawal dari DAC, Mada berniat untuk fokus ke dunia difabel. Ia saat ini juga sedang dalam proses mempelajari pengetahuan lain yang berhubungan dengan difabel.

Di atas adalah beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana pengetahuan itu berkaitan erat dengan pengalaman. Bahwa impresi yang didapatkan dari pengalaman pertama akan merembet dan menentukan pilihan rasional seseorang dalam memperlakukan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Pengalaman-pengalaman tersebut nantinya akan mempengaruhi nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi dan menjadi keyakinan dari individu tersebut.

Selain proses pembelajaran, ada beberapa fungsi yang bisa didapatkan dari pembelajaran di SST ini, diantaranya: Fungsi SosialisasiPendidikan yang dilaksanakan Sekolah Semangat Tuli membuka proses interaksi antara pengajar yang tuna rungu dengan peserta yang tuna rungu maupun peserta yang normal. Sosialisasi yang terjadi yakni mengajarkan komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sosialisasi ini memunculkan komunikasi dua arah yang mentransfer pengetahuan, mengenalkan kebudayaan melalui bahasa isyarat. Fungsi Pengembangan Pribadi dan Sosial Dalam kehidupan masyarakat, teman-teman deaf masih dipandang sebelah mata. Adanya stigma tersebut membuat kaum deaf merasa rendah diri. Bahkan terkadang beberapa dari mereka terasingkan dari lingkungan sosialnya. Hadirnya komunitas DAC yang memberikan sarana pendidikan nonformal, membuat kaum deaf dapat mengembangkan dirinya. Mereka dapat mengaktualisasikan diri melalui media seni yang ada di DAC ini. Selain itu dengan adanya banyak kegiatan eksternal pada komunitas ini membuat teman deaf dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat luas. Disinilah mereka dapat mengembangkan kepercayaan dirinya dan dapat memiliki semnagat untuk berkarya. Keberanian mereka untuk muncul di kehidupan masyarakat dengan pengembangan pribadi yang telah dilakukan perlahan akan mengubah pandangan masa terhadap kaum deaf ini. Status sosial mereka akan lebih diakui dan mulai dipertimbangkan ketika mereka berani untuk muncul dalam masyarakat. Hal ini akan berpengaruh pula pada perubahan stigma-stigma yang ada dan pada akhirnya membuat kaum deaf tidak dipandang sebelah mata. Fungsi Perubahan sosialPengajaran mengenai bahasa isyarat pada kelas Sekolah Semangat Tuli (SST) juga memberikan perubahan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi masyarakat yang mulaya tidak paham menegani apa itu tuna rungu dan bagaimana memahami mereka dapat belajar dalam komunitas DAC. Secara tidak langsung telah memeberikan perubahan khususnya proses interaksi dalam masyarakat walaupun belum berperngaruh penuh, karena masih banyak masyarakat yang belum memahami tunarungu. Fungsi Kontrol Sosial Pendidikan yang ada dalam komunitas ini memberikan kontrol sosial terhadap anggota komunitas maupun peserta yang mengikuti kelas Sekolah Semangat Tuli (SST). Bagi anggota komunitas, adanya pendidikan yang berlangsung membuat anggota komunitas terjaga dalam stigma-stigma yang hadir dalam masyarakat. Sedangkan bagi peserta yang mengikuti kelas, setidaknya melatih peserta untuk saling menghargai dan memahami satu sama lain. Termasuk bagaimana peserta normal memahami teman-teman dead dengan bahasa isyarat yang digunakan dan tingkah laku mereka. Sikap ini juga menjaga seseorang untuk tidak mencela dan merendahkan kaum deaf. Fungsi Seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerjaFungsi ini hanya dapat dilihat bagi anggota komunitas serta bagi pengajar dalam kelas. Sekolah Semangat Tuli (SST). Bagi anggota komunitas, DAC telah memberikan pendidikan nonformal mengenai latihan dalam bidang kesenian sebagai bentuk aktualisasi diri. Dari sini mereka mampu menghasilkan produk-produk kreatif yang bernilai jual, seperti memproduksi baju, lemari, pin, stiker serta berjualan makanan kecil saat kelas Sekolah Semangat Tuli (SST) berlangsung. Awalnya mereka akan dibimbing dengan interpretator, namun setelah mereka mulai mahir mereka akan dilepas untuk mengelola usahanya secara mandiri. Sedangkan, bagi pengajar, pendidikan akan memberikan latihan dan mengembangkan skill mereka dalam mengajar dan berinteraksi dengan orang normal. Sehingga, harapannya mereka akan mampu bersaing dengan orang-orang normal di pasar kerja nantinya ketika sudah terbiasa berinteraksi dengan orang normal. Mengembangkan dan memantapkan hubungan sosialBagi pengajar akan mengembangkan hubungan sosialnya dengan individu yang lain. Karena ketika mereka mengajar, mereka akan bertemu dengan peserta yang berbeda-beda dan akan terjadi interkasi yang berlanjut menjadi hubungan sosial. Hubungan sosial itu pun dapat berlanjut di luar kelas pembelajaran. Oleh sebab itu maka muncul hubungan yang lebih dari sekedar pengajar dan peserta didik, namun dapat menciptakan hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan dalam, seperti persahabatan, pertemanan dan saudara.

BAB IIIKESIMPULAN

Proses belajar yang dilakukan oleh DAC melalui SST telah memraktekkan berbagai macam fungsi praktek pendidikan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ada nilai-nilai sosialisasi yang terlembaga dalam praktek pengajaran ini. Begitu pula dengan fungsi pengembangan pribadi dan sosial; perubahan sosial; kontrol sosial; seleksi, pelatihan dan pengembangan tenaga kerja; serta mengembangkan dan menerapkan hubungan sosial. Mekanisme pengajaran yang dilakukan pun dapat dikategorikan mengikuti pola belajar humanis dan eksperimential atau melalui pengalaman. Sebab SST muncul sebagai usaha memanusiakan penyandang tunarungu sebagai manusia yang menjadi bagian dari masyarakatnya. Pengalaman pun memiliki peran penting dalam kelas ini sebab sign dipelajari dengan melakukan praktik berkomunikasi langsung dengan para anggota DAC sebagai penyandang tunarungu. Selain itu, pada aktivitas lain yang dilakukan oleh DAC seperti latihan kesenian dan produksi kerajinan pun mempraktekkan proses belajar yang humanis dan berbasis pengalaman. Dimana para anggota DAC mengabstraksi sendiri subjek apa yang ingin mereka pelajari. Pun mereka juga mengeluarkan ide mengenai event Difabel for Cancer untuk menunjukkan kepedulian mereka kepada sesama. Bahwa meskipun menjadi penyandang tunarungu mereka tetap ingin berbagi dengan sesamanya yang lebih membutuhkan bantuan. Proses belajar yang dilakukan pun berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik melalui orang lain ataupun dirinya sendiri. Misalnya saja untuk kegiatan dance, mereka mempelajari gerakan-gerakan tersebut dari media-media seperti youtube untuk mengenal gerakan-gerakan tari. Pun mereka pernah belajar pada salah sati mahasiswa ISI yang sempat melakukan penelitian di DAC. Dari proses ini, terlihat bagaimana DAC berusaha membuat iklim belajar yang tidak mandatori atau dipaksakan. Para peserta dibebaskan memakai mekanisme apapun yang mereka rasa nyaman untuk mengembangkan kemampuan yang mereka miliki tanpa harus terikat dengan tuntutan-tuntutan yang selama ini dibebankan pada peserta sekolah formal, nilai misalnya.

BAB IVLAMPIRAN

A. DOKUMENTASI FOTO KEGIATAN

Foto 1 : Hasil Kerajinan Anggota DAC

Foto 2 : Pin buatan DAC yang dijualFoto 3 : Simbol Huruf

Foto 4 : Kegiatan kelas pembelajaran dengan pembina DAC

Foto 5 : Kegiatan Bioskop Kecil (Bioscil), menonton film dokumenter

Foto 6: Proses Kegiatan Belajar Kelas SST

Foto 7: Proses Kegiatan Belajar Kelas SST

Foto 8: Proses Kegiatan Belajar Kelas SST

B. TRANSKRIP WAWANCARAa. Transkrip Mbak Mada (Volunteer DAC)Dian: Mbak Mada udah berapa lama mbak di DAC ini?Mada: Udah setahun ini. Dian: Bisa ceritakan nggak mbak awalnya DAC ini terbentuknya gimana?Mada: Oh, kalau untuk itu aa brosurnya, sebentar ya saya ambilkan. Dian: Oh, jadi di DAC ini selain ada Sekolah Semangat Tuli (SST) ada DAC Goes To School juga ya mbak?Mada: Kalau DAC Goes To School itu sebenernya bukan ke sekolah-sekolah kayak SD, SMP, atau SMA gitu. Jadi ini tu kayak sosialisasi ke kampus-kampus tentang bahasa isyarat. Tergantung kampusnya. Kadang kalau mereka mengadakan acara dan mengundang DAC, DAC biasanya datang. Dian: Sebenarnya kalau Sekolah Semangat Tulinya itu ada dari kapan sih mbak?Mada: Ini ada dari 2012. Kalau nggak salah nih ya, ada dari 1 April 2012. Dian: Berarti baru ya ini itungannya SST?Mada: Kalau Sekolah Tulinya memang baru, tapi kalau untuk komunitasnya itu sudah lama. Dari 2004 berarti hampir 10 tahun dia. Di tahun 2004 dulu namanya Matahariku terus berubah tahun 2007 kalau nggak salah jadi Deaf Art Community (DAC). Dian: Tadi kan aku baca ada brosur yang mengajak mereka untuk menjadi guru, jadi sebenernya temen-temen di sini itu memang sengaja diajari untuk mengajar dan jadi seorang guru? Mada: Oh, itu beda, kalau itu bukan ngajar di sini mbak. Yang ngajar di sini ya teman-teman dari sini (dari DAC). Kalau brosur ini memang ada lagi dari acara lain. Harapannya itu nanti lebih besar, itu kan cakupannya nasional. Ini juga baru diadakan di Jogja dan Jakarta. Itu ada foundernya sendiri. Tapi kalau yang ngajar di sini ini itu emang anak-anak DAC.Dian: Sebenernya waktu masuk sini temen-temen DAC ini apakah mereka sebelumnya sudah bisa bahasa isyarat atau belajar dulu di sini?Mada: Ini nanyanya mau sama aku atau langsung tanya aja sama mereka?Dian: Sama mbak dulu aja deh. Mada: Kalau aku sih tidak semua yang datang ke sini bisa isyarat, tergantung mereka. Biasanya mereka yang dateng ke sini karena tertarik ikut, ingin ikut pentas misalnya ada pantomim, ada dance, ada puisi isyarat, macem-macem itu kan. Mereka tertarik ke sini akhirnya awalnya dulu kan bergeraknya di seni, untuk pentas-pentas itu, jadi bukan untuk fokus di kelas isyarat itu bukan. Jadi sejak 2012 itu ada Sekolah Semangat Tuli akhirnya itumembuat program membuka kelas isyarat biasanya dulu itu ngajarnya dari yang senior ngajari tuna rungu yang muda-muda. Tapi ternyata sekarang itu dibuka untuk umum banyak yang tertarik. Jadinya sampaisekarang programnya terus berjalan. Dian: Jadi sebelum mereka mengajar emang dilatih dulu untuk mengajar gitu?Mada: Kalau yang sekarang memang gitu. Kalau dulu itu memang ada kesepkaan. Jadi bahasa isyarat Jogja yang biasa mereka pakai itu yang diajarkan ke yang muda-muda. Tapi sejak bulan Desember itu kan sudah mulai terorganisir. Kalau dulu kkan memang masih belum banyak peminatnya. Nah sejak Desember itu lebih dimantapkan lagi, jadi sudah ada materinya dan bahasa isarat yang digunakan itu seperti ini, seperti ini, seperti ini. Kalau dulu itu masih belum terorganisir, jadi masih besok mau apa nih, apa nih, apa nih, gitu. Jadi masih rapat-rapat gitu. Tapi kalau dari bulan Desember itu sudah mulai terorganisir, sudah ada materinya. Dian: Desember 2013?Mada: Desember 2013 kemarin. Dian: Iya, tadi di dalem juga ada tulisannya pertemuan segini sampai segini gitu ya. Mada: Iya, itu kan makanya lebih terorganisir mbak. Sebenernya itu dimulai itungannya dari Desember. Sebenarnya sebelum Desember sudah banyak tapi tidak didokumentasikan, maksudnya belum ada jadwalnya. Eh, jadwalnya sudah ada dulu Senin sama Jumat, tapi dulu pengajarnya juga bukan mereka, tapi Fani dulu. Itupun materinya masih belum ada, belum terjadwal. Kalau dulu itu kamu besok mau bahas apa, ayok. Jadi kalau yang sekarang kayak lebih tertata. Dian: Eem, jadi kayak sudah ada kurikulumnya sendiri?Mada: Iya, kayak semacam kurikulum.Dian: Nah, tadi mbak kan bilang kalau bahasa isyarat yang digunakan adalah yang lokal Jogja. Jadi sebenernya bahasa isyarat itu tidak hanya satu?Mada: Sampai sekarang yang digunakan memang bahasa isyarat Indonesia Jogjakatya. Karena memang bahasa isyarat internasional itu beda. Kalau misal contoh itu kita ada bahasa daerah, ada juga bahasa Indonesia, ada juga bahasa negara lain, ada juga bahasa kesepakatan internesainal, bahasa Inggris, misalnya gitu. Sama kayak mereka, jadi misalkan mereka pake bahasa isyarat Indonesia Jogjakata, itu yang mereka ajarkan di sini. Karena itu bahasa yang kesepakatan temen-temen tunarungu di Jogja dan juga yang biasa mereka pakai. Itu kan akan mudah karena bahasa mereka sehari-hari untuk komunikasi gitu loh. Jadi akan lebih mudah untuk temen-temen sharing informasi sesama tunarungu sesama Jogja. Ntar kalau udah ke Solo, udah ke Jakarta itu bahasanya bisa berbeda. Tapi mereka akan tetep paham karena mereka kan sesama tunarungu. Biasanya kan masih ada gerakan yang sama. Dian: Mbak Mada ini kan udah setahun ini di sini. Nah itu awal mulanya karena memang niat untuk jadi volunteer atau karena ikut kelas ini akhirnya tertarik buat jadi volunteer?Mada: Jadi kalau dulu itu kan jaman aku skripsi kan, sekarang udah lulus. Itu dulu pas jaman skripsi kan emang udah gak banyak kegiatan, jadi pengen cari kegiatan apa gitu. Terus ada temenku share di twitter, ada videonya, ada profilnya, dan tertarik pas ada pentas. Awalnya cuman ngobrol aja tapi terus ternyata ada kelas bahasa isyarat gratis, jadi kan tertarik. Aku dateng ke sini dulu awalnya sendirian. Maksudnya jadi dari Fani, senior itu ngajar bahasa isyarat sama anak kecil, bukan anak kecil sih, muda muda atau junior tunarungu gitu. Jadi ngerasa aneh sendiri gitu kan, normal sendiri gitu kan soalnya. Terus akhirnya dulu sempet aduh gimana nih, gak nyambung. Tapi ternyata asik kok sama mereka, ikut pentas mereka, terus ngobrol sama mereka ternyata asik terus akhirnya sampai sekarang akhirnya tetep di sini. Soalnya kalau aku pikir saat kita sudah bisa berkomunikasi dengan mereka, kenapa gak kita lanjutkan. Karena kan gak semua orang bisa dan mau nggak mau sebenernya mereka membutuhkan kita kan. Apalagi kita yang sudah bisa bahasa isysrat akan lebih mudah diterima mereka, kalau informasi kita juga bisa sharing. Karena kalau aku mau cerita sebenernya dulu itu Babe juga cerita kalau banyak banget orang yang dateng ke sini, terus tertarik ke sini. Tapi ya belajar terus pergi. Udah tahu tunarungu itu sebenernya oh gini, oh gitu, oh bahasanya gitu, oh budayanya gitu, ya udah mereka berlalu begitu aja. Kalau aku nyebutnya gini, banyak orang yang tertarik sama DAC, tapi nggak banyak orang yang mau serius. Kalau sekarang kebetulan ingin fokus di dunia difabel, jadi nggak Cuma tunarungu aja. Awalnya memang dari tunarungu, pengennya belajar lagi banyak hal. Karena di sekolah biasa kan nggak ada juga ya.Dian: Tadi kan bilang kalau misalkan pentas-pentas gitu sering ikut, jadi kayak jadi interpreter yang biasanya ada di depan gitu. Mada: Iya pernah. Di sini kan volunteer-nya kan banyak. Nggak banyak sih kalau dibilang banyak. Kadang ada dulu siapa, terus siapa, terus sekarang kalau memang mereka ada kebiatan lain ya aku, tapi kalau misalkan aku nggak bisa ya ganti siapa. Ada sekita lima orang lah yang seusia sama aku, tapi yang sekarang-sekarang ini memang aku. Karlin: Nah, kalau pengajar-pengajarnya itu memang gantian atau gimana?Mada: Kalau setiap sesi itu per harinya memang sama yang ngajar. Misalkan ini kan hari Senin, sesi satu dan sesi dua itu sama yang ngajar karena kan memang jadwalnya mereka. Tapi kalau dulu itu kan rame, ini lagi sepi mbak. Kalau bulan-bulan lalu itu bisa sampe yang ngajar dua orang sebenernya, jadwalnya harusnya per sesi itu dua orang. Total yang ngajar itu empat orang, misal hari ini dua, besok Kamis dua. Cuman ini memang pas lagi sepi, mungkin karena hujan lan tadi. Ini juga yang ngajar juga cuman satu karena ngelihat yang dateng cuma sedikit jadi lebih baik fokus satu aja, soalnya kan pengajarnya kan juga pada kuliah. Jadi kalau misalkan pas mereka nggak bisa terpaksa satu orang atau siapa lah yang lagi dateng di sini. Rata-rata yang ngajar di sini memang kuliah, tapi kalau yang Zakka ini masih sekolah, kelas 2 SMK. Karlin: Kalau sekarang ini kayak kita di dalem tadi media pembelajarannya udah pake LCD. Tapi kan tadi di belakang kayaknya ada papan tulis juga, jadi apakah papan tulis itu pernah dipakai? Maksudnya gimana gitu sebenernya media pembelajarannya?Mada: Iya kayak tadi aku bilang mulai Desember ini kan mulai terorganisir. Jadi memang mulai Desember ini udah mulai pakai proyektor sih, jadi lebih besar. Jadi di tembok sana itu, soalnya kan dikasih gambar, jadi biar jelas. Tapi itu karena kemarin ada beberapa program yang berhenti, tapi ternyata peminatnya masih banyak jadi kita lanjutkan tapi pake LCD (layar). Kalau sebelumnya, pas bulan sebelum Desember itu memang pakek papan tulis. Itu ya dulu yang ngajar Fani, anak sini, jadi mereka nulis bukan gambar. Misalnya gini, temen-temen yang dateng maunya belajar kata-kata apa nih? Misalnya tas, baju, jilbab, sepatu, kursi, nanti apa nanti Fani ngajarin. Kalau udah nanti terus dibikin kalimat terus maju. Sebenernya masih sama tapi lebih siap karena sudah ada materi dan LCD-nya. Karlin: Jadi memang lebih jelas ya?Mada: Iya, karena memang sebenarnya butuh gambar. Dian: Ini berarti tempatnya memang terpisah dari saat teman-teman belajar seni kayak misalya dance, teater gitu . Mada: Sebenernya tetap di sinilatihannya. Misalkan kalau mau pentas gitu ya mereka latihannya di sini. Kalau dulu itu sebenernya ada jadwal latihan capoeira itu di depan, cuman karena udah masuk musim hujan jadinya berhenti. Karena kalau di dalem itu kurang akses gitu loh. Jadi untuk sementara berhenti. Besok juga sebenernya ada latihan jimbe hari rabu. Mereka mau pentas dance latihannya ya di dalem, di tengah situ. Tapi kalau misalkan pentasnya besar kayak kemarin pantomim yang kumpul sama komunitas yang lain itu di TBY. Soalnya itu kan gabung sama komunitas lain, sama temen-temen lainnya. Dian: Kalau untuk craft ini juga mereka sendiri yang bikin?Mada: Iya, jadi kalau ini (baju) mereka gunting sendiri. Jadi bahannya mereka gunting sendiri terus desainnya mereka yang buat terus disablon sendiri, kayak gitu. Saya nggak pernah lihat sih. Tapi terus ada yang lain kayak stiker, pin, gelas, terus yang lain-lain itu memang mereka bikin sendiri. Cuman memang sekarang agak kurnag apa ya, kayak kurang diurus kan soalnya mereka udah kuliah, ngurusin kelas bahasa isyarat, banyak seminar, advokasi, dll. Tapi mereka yang utamanya itu program untuk peduli sesama gitu ya. Jaditema besarnya itu Difabel for Cancer. Jadi difabelnya kan tuna rungu nih. Mereka itu membuat acara amal gima caranya mereka bisa membantu penyandang kanker. Jadi mereka itu difabel tapi mereka mau bantu sesama. Nah, kalau dulu itu caranya setiap pentas ada volunteer yang kayak bawa apa gitu buat yang mau nyumbang. Nah hasil sumbangnnya ini akan disumbangkan semuanya ke yayasan kanker. Tapi kalau sekarang programnya sudah diganti. Jadi mereka bikin ini (pin), ini dibikin mereka sendiri. Jadi program besarnya itu ini. Mereka cetak sendiri, mereka bikin desainnya sendiri, terus apa namanya, nanti hasil penjualannya seratus persen akan disumbangkan ke yayasan kanker, Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja (YKAKJ). Kita kerjasama sama YKAKJ itu alhamdulillah sudah terkumpul uang sampai belasan juta hanya dari pin yang mereka buat. Itu baisanya setiap pentas itu nanti ada yang memperkenalkan program kita itu salah satunya ini. Itu untuk menumbuhkan kepedulian dari temen-temen difabel. Jadi dulu itu ada inisiatif kayak gini ini aku udah ngerasa kalah banget. Ini dari mereka sendiri, idenya dari mereka sendiri, yang bikin mereka sendiri, itu ada alatnya di sana, desain sendiri. Jadi kita cuman nanya, kamu pengennya gimana, gini gini, gini gini, gitu. Daripada uang pentas dikasihin gitu kan rasanya gimana gitu, lebih mulia kan kalau bentuknya seperti ini. Dian: Tadi mbak kan bilang kalau temen-temen DAC lagi sibuk dan banyak kegiatan. Jadi kalau misalkan mekanismenya memang mereka sendiri yang dateng ke sini, maksudnya DAC memang tidak mencari orang?Mada: Nggak, mreka justru akan mencari kita. Karena coba deh kita pikir, kalua kita minoritas, kita pasti akan mencari sesama kita kan, ya contohnya itu Rini, yang ada di sana (menunjuk Rini yang jaga makanan di dekat pintu). Di baru aktif sekitar satu dua bulan ini di sini. Awalnya dulu dia itu kerja, terus dia pengen daftar kerja itu dia datengnya ke sini. Karena di sini tempat yang dia bilang gini, di sini itu tempat yang bisa membuat dia dipahami, ngobrol, nggak banyak lo orang yang bisa bahasa isyarat kan, dan bisa tanya gimana sih caranya daftar kerja, bikin surat, dll. Ya udah kita bantu bikin dan sebelum pulang dia bilang terima kasih ke semuanya, dia bilang dia terharu, dan dia senang ada di sini. Itu salah satunya, dan yang lain juga rata-rata seperti itu. Karena kalau mereka pulang ke rumah pun hambatan komunikasi itu yang bikin mereka mungkin nggak nyaman dan saat berkumpul di sini mereka nyaman. Jadi akan kembali lagi pasti. Dian: Oia, kemarin itu aku denger kalau teman-teman itu buat dancenya bikin sendiri, belajar sendiri gerakan-gerakannya, itu emang kayak gitu ya mbak?Mada: Kalau yang dance itu sebenarnya tidak murni 100 % mereka bikin sendiri. Tapi mereka dapet inspirasi gerakan dari youtube juga. Terus dulu juga pernah ada yang magang di sini, bukan magang sih, penelitian di sini, dan ternyata dia bisa nge-dance kan anak ISI, jadi ajarin dong ajarin, gitu. Otomatis mereka dapet inspirasi dari mana-mana, dari youtube, atau orang mereka lihat terus mereka bikin. Biasanya kalau mau latiha aja eh tambah ini ya, tambah ini tambah itu, gitu.

b. Transkrip Zakka (Pengajar SST)Peserta didik dari DAC ini memang tidak hanya dari kalangan tuna rungu, namun justru sebagian besar murid adalah orang normal. Walaupun demikian untuk tenaga pengajar sendiri, menurut Mada, salah seorang relawan di DAC, adalah dari orang-orang tuna rungu sendiri.Salah satu pengajara tersebut adalah Zakka, asal Kali Duren, Moyodah, Sleman. Siswa kelas dua SMSR ini telah mulai mengajar sejak Desember tahun 2013 lalu. Walaupun tergolong masih berusia muda ia tidak canggung dalam mengajar orang yang lebih dewasa darinya. Sebab menurutnya mengajar adalah panggilan dari hati. Sebab tak banyak orang yang dapat menggunakan bahasa isyarat terlebih untuk mengajarkan.Ia sendiri mulai belajar bahasa isyarat dari teman-teman sekolahnya ketika di SLB setingkat SMP. Namun ada beberapa perbedaan antara bahasa isyarat teman SLB nya dengan bahasa isyarat yang diajarkan di DAC. Ia pun mengetahui DAC juga dari teman sekolahnya tersebut. Ia sendiri awalnya tertarik bergabung dengan DAC adalah karena ingin belajar seni khusunya tarian hip-hop. Namun semakin berjalannya waktu ia pun mulai tertarik untun mengajar bahasa isyarat. Walaupun awalnya ia sempat menolak sebab ada orang normal yang menurutnya lebih bisa mengajar.Pada mulanya DAC tidak bergerak dalam pengajaran bahasa isyarat seperti sekarang ini. Namun lebih pada kesenian bagi penyandang tunarungu. Kelas bahasa isyarat sendiri baru dimulai sejak desember 2013 lalu. Kelas pengajaran dimulai dari Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu (Gerkatin) dengan guru bernama Fani. Dari sinilah kelas mengajar bahasa isyarat mulai ada. Awalnya sangat banyak peminat kelas ini, namun beberapa waktu terakhir murid dari kelas ini mulai menurun.Untuk fasilitas mengajar pertama kali menggunakan papan tulis. Yakni, pengajar bertanya hal apa yang ingin dipelajari dan ditulis di papan tulis. Kemudian mulai diajarkan bagaimana bahasa isyarat yang mewakili kata-kata tersebut. Kemudian karena jumlah peserta yang meningkat mulai menggunakan proyektor agar semua peserta dapat melihat materi atau gambar yang disampaikan. Untuk sekarang ini menggunakan fasilitas laptop dan layar LCD sebagai alat pengajaran. Materi pun lebih siap dibandingkan sebelumnya saat masih menggunakan papan tulis.Bentuk pengajarannya adalah pada layar LCD menampilkan gambar-gambar yang kemudian dipraktekkan bahasa isyaratnya oleh pengajar yang kemudian diikuti oleh peserta. Kelas berlangsung secara rileks tanpa materi yang memberatkan. Pada setiap bagian akan dilakukan pengulangan oleh pengajar untuk memastikan peserta memahami hal yang disampaika. Pada akhir kelas biasanya pengajar membuat serangkaian cerita yang kemudian harus dipraktekkan di depan kelas. Namun hal ini tidak semua peserta atau murid bersedia untuk maju kedepan mepraktekkan walaupun mengaku sudah paham dan bisa. Menurut Zakka hal ini merupakan salah satu kendala dalam proses pengajara. Walupun demikian ia tidak terlalu memikirkan hal tersebut, sebab masih ada beberapa peserta yang bersedia untuk maju kedepan. Menurutnya hal ini bukanlah masalah besar dalam proses kelas bahasa isyarat ini. Selain itu kehadiran peserta yang tidak menentu juga merupakan salah satu permasalahan pemahaman peserta tas materi yang disampaikan. Walaupun demikian ia tetap bersemangat mengajar, untuk menambah pengalaman dan bergrak atas suara hatinya.

c. Transkrip Nurani dan Wisnu (Peserta) Nurani, Mahasiswa Semester 6 Pendidikan Luar Biasa UNY1. Alasan mengapa tertarik bergabung dengan DAC?Alasan utama bergabung dengan DAC ini, karena saya kuliah di jurusan PLB yang seharusnya memiliki bekal bahasa isyarat. Untuk bahasa isyarat, memang tidak ada mata kuliah khusus di kampus, yang ada hanyalah mata kuliah komunikasi total. Oleh sebab itu saya bergabung dengan DAC ini agar saya dapat belajar bahasa isyarat yang tidak diajarkan di kampus dan dapat digunakan untuk kedepannya.

2. Darimana mendapat informasi DAC?Informasinya di dapat dari teman-teman yang kebetulan bergabung di DAC sebelum program kelas bahasa isyarat ini diadakan.

3. Sejak kapan bergabung di DAC?Sudah cukup lama mbak, dulu sempat ada teman saya yang tuna rungu juga ikut kelas ini, namanya Vivi, kadang ke sini kadang tidak. Dia ikut ini karena dulu dia sekolah di Malang dan di Malang menggunakan komunikasi total, jadi dia tidak bisa menggunakan bahasa isyarat.

4. Bagaimana metode pengajarannya?Kalau metode pengajarannya, tadi mungkin mbak juga udah lihat sendiri ya, jadi memang pengajarnya dari tuna rungu itu sendiri, tetapi mereka memang sudah terbiasa berkomunikasi dengan orang normal. Pengajaran di bagi menjadi 3 sesi, sesi pertama memberi pemaparan materi melalui gambar-gambar yang ditampilkan di layar kaca. Sesi kedua, praktek langsung oleh peserta didik dengan dipandu oleh pengajar. Sesi terakhir adalah praktek mandiri oleh peserta didik. Mayoritas pengajar di DAC ini dipegang oleh para penyandang tuna rungu, namun mereka tetap pandai dalam menyampaikan materi.

5. Apa kendala yang diahadapi?Kalau saya sih, kadang ada isyarat baru yang belum dimengerti, tapi langsung teratasi dengan aku langsung bertanya. Kalau untuk pengajar tidak ada masalah.

6. Apa harapan ke depan?Harapan pribadi, kalau ketemu temen-temen tuna rungu bisa ngerti dengan apa yang mereka komunikasikan, paham mereka bicara apa.

7. Apa yang telah di dapatkan selama belajar di DAC?Ya, kenal bahasa isyarat dan teman-teman yang masih peduli dengan tuna rungu.

8. Apa yang akan dilakukan setelah selesai dari DAC?Bisa jadi guru yang bisa paham dan dekat dengan anak didik, salah satu caranya dengan mengerti bahasa isyarat.

Dadang / Wisnu, sudah bekerja1. Alasan mengapa tertarik bergabung dengan DAC?Alasan saya bergabung di DAC ini agar saya dapat berbahasa isyarat dan dapat mengajarkan kepada penyandang tuna rungu di daerah sekitar temoat tinggal saya.

2. Darimana mendapat informasi DAC?Dari teman yang aktif juga di sini.

3. Sejak kapan bergabung di DAC?jadi saya di sini justru sebelum ada kelas bahasa isyarat ini. Awalnya saya melalui Gerkati itu, dulu hanya yang ingin belajar ya belajar sendiri bersama mereka setiap hari senin dan jumat, hanya berdua aja. Jadi awal mula kelas ini ya bulan Desember 2013. Semenjak itu mulai ada kelas rutin, yang kadang saya punya teman yang ganti-ganti, kadang dateng kadang nggak, ada lagi baru dan begitu seterusnya.

4. Apa kendala yang diahadapi?Kendala justru ketika teman-teman tuna rungu menggunakan bahasa isyarat yang saya nggak tahu, saya juga harus bertanya kembali ke teman-teman seperti kamu ngomong apa, itu bahasa isyarat apa. Bahasa isyarat itu harus sabar tapi basicnya sih mempelajari huruf. Kadang ketika zakka berbicara dengan teman-teman lain saya yang nggak tahu mereka ngomong apa.Kendala lain, mungkin bahasa isyarat yang diajarkan di Yogyakarta memang berbeda dengan daerah lain, jadi perlu penyesuaian-penyesuaian.

5. Apa harapan ke depan?Harapannya sih disini terus, belajar terus dan nggak akan berhenti dari DAC. Harapan yang kedua bahasa isyarat memiliki keseragaman di Indonesia. Yang ada sekarang memang masih berbeda-beda, oleh sebab itu harapannya ke depan dapat sama, sehingga tidak memunculkan kebingungan.

6. Apa yang telah di dapatkan selama belajar di DAC?Yang di dapatkan selain materinya sisi kebersamaan teman-teman disini. Tidak jarang diantara kami curhat, bercanda bersama, bergurau, melakukan acara apa, hadir di acara pementasan. Selain itu pelajaran yang dapat diambil adalah bagaimana sikap kita seharusnya bisa saling memahami, maaf memang apa yang menjadi kekurangan mereka ya mereka tidak mengerti apa yang kita maksudkan, namun kendala bagi orang normal adalah kita tidak dapat mengerti bahasa mereka, oleh sebab itu belajar mereka.

7. Apa yang akan dilakukan setelah selesai dari DAC?Memberikan pengajaran bagi penyandang tuna rungu di sekitar tempat tinggalnya.