8
Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 1 GERAKAN PROTES PETANI SURAKARTA SEBUAH REFLEKSI PERGOLAKAN AGRARIA DI JAWA 1 Ahmad Kosasih 2 Hudi Husin 3 Andri Kurnianto 1 Program Studi Pendidikan Sejarah, Unversitas Indraprasta PGRI, Jl. Nangka No.58C Jakarta 12530 2,3 Program Pascasarjana, Universitas Indraprasta PGRI, Jl. Nangka No.58C Jakarta 12530 e-mail: 1 [email protected], 2 [email protected], Abstrak. Makalah ini dititikan beratkan pada kajian tentang gerakan protes petani yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah. Reaksi protes tersebut dilihat sebagai sebuah gerakan sosial yang menentang politik-ekonomi Hindia Belanda terkait kebijakan reorganisasi industri perkebunan dan penataan administrasi kolonial di wilayah Surakarta. Makalah ini disusun dalam struktur naratif historis yang dimulai dengan melihat keberadaan kebijakan politik sosial-ekonomi pemerintah kolonial dan sikap penolakaannya di masyarakat di Surakarta. Selanjutnya, uraian dititikberatkan pada proses terjadi aksi perlawanan para petani, kondisi-kondisi sosial yang bergerak serta perubahan yang diakibatkan dari protes tersebut. Kata kunci: petani, gerakan sosial, sejarah surakarta 1. Pendahuluan Petani sebagai kajian dalam ilmu sejarah bukan objek baru tapi telah dirintis Sartono Kartodirdjo melalui disertasinya berjudul ”Pemberontakan Petani Banten 1888”, (Kartodirjo, 1984) dengan judul aslinya The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia” yang merupakan karya monumental dilanjutkan dengan karya ilmiah lainnya berjudul ”Protest Movement in Rural Java”. Disertasi Sartono Kartodirjo, dimana melalui analisis yang tajam terhadap peristiwa protes petani yang terjadi tahun 1888 di Banten, Sartono tidak saja memberikan perspektif baru dalam karya sejarah yaitu Indonesiasentris tapi mengintegrasikan kisah sejarah tersebut dalam analisis yang multidimensional, sehingga konstruksi terhadap peristiwa sejarah menjadi lebih mendalam karena menjangkau hal-hal lain yang tak dapat dilakukan kalau menggunakan cara konvensional. Analisis tersebut diaktualisasikan Sartono Kartodirdjo dengan meminjam teori dan konsep dari ilmu-ilmu sosial Tidak jauh berbeda dengan Suhartono Pranoto melalui penelitiannya berjudul ”Jawa: Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942”, (Pranoto, 2010) telah memberi pemahaman baru terhadap dinamika akar-rumput masyarakat pedesaan yang ternyata menyimpan sisi lain dari kultur petani, yaitu dibalik sikap asketis petani terhadap wilayah hidupnya, dan harmonisasi dalam hubungan kekerabatan masyarakat desa, ternyata dapat memunculkan beragam aksi kekerasan yang walaupun bersifat sporadis dan tentatif tapi telah mencerminkan suatu mentalitas tertentu dari masyarakat dan kebudayaan petani. Worldview masyarakat desa beserta dinamika petani-petaninya melalui penelitian Suhartono di rekonstruksi kalau pengertian keselarasan dan toleransi warga desa dalam lingkup agraris, hanya satu sisi dari dimensi lain masyarakat petani yaitu penentangan, pembangkangan dan kekerasan yang berwujud bandit. Bandit menjadi konsep sosial yang mengaffirmasi sisi lain atas kehidupan desa dan masyarakat petani yang identik dengan asketisme, keselarasan dan harmonisasi tersebut.

Protes Petani Solo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Protes Petani Solo

Citation preview

Page 1: Protes Petani Solo

Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590

1

GERAKAN PROTES PETANI SURAKARTA SEBUAH REFLEKSI PERGOLAKAN AGRARIA DI JAWA

1Ahmad Kosasih 2Hudi Husin 3Andri Kurnianto

1 Program Studi Pendidikan Sejarah, Unversitas Indraprasta PGRI, Jl. Nangka No.58C Jakarta 12530 2,3 Program Pascasarjana, Universitas Indraprasta PGRI, Jl. Nangka No.58C Jakarta 12530

e-mail:1 [email protected], 2 [email protected],

Abstrak. Makalah ini dititikan beratkan pada kajian tentang gerakan protes petani yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah. Reaksi protes tersebut dilihat sebagai sebuah gerakan sosial yang menentang politik-ekonomi Hindia Belanda terkait kebijakan reorganisasi industri perkebunan dan penataan administrasi kolonial di wilayah Surakarta. Makalah ini disusun dalam struktur naratif historis yang dimulai dengan melihat keberadaan kebijakan politik sosial-ekonomi pemerintah kolonial dan sikap penolakaannya di masyarakat di Surakarta. Selanjutnya, uraian dititikberatkan pada proses terjadi aksi perlawanan para petani, kondisi-kondisi sosial yang bergerak serta perubahan yang diakibatkan dari protes tersebut. Kata kunci: petani, gerakan sosial, sejarah surakarta

1. Pendahuluan

Petani sebagai kajian dalam ilmu sejarah bukan objek baru tapi telah dirintis Sartono Kartodirdjo melalui disertasinya berjudul ”Pemberontakan Petani Banten 1888”, (Kartodirjo, 1984) dengan judul aslinya The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia” yang merupakan karya monumental dilanjutkan dengan karya ilmiah lainnya berjudul ”Protest Movement in Rural Java”. Disertasi Sartono Kartodirjo, dimana melalui analisis yang tajam terhadap peristiwa protes petani yang terjadi tahun 1888 di Banten, Sartono tidak saja memberikan perspektif baru dalam karya sejarah yaitu Indonesiasentris tapi mengintegrasikan kisah sejarah tersebut dalam analisis yang multidimensional, sehingga konstruksi terhadap peristiwa sejarah menjadi lebih mendalam karena menjangkau hal-hal lain yang tak dapat dilakukan kalau menggunakan cara konvensional. Analisis tersebut diaktualisasikan Sartono Kartodirdjo dengan meminjam teori dan konsep dari ilmu-ilmu sosial

Tidak jauh berbeda dengan Suhartono Pranoto melalui penelitiannya berjudul ”Jawa: Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942”, (Pranoto, 2010) telah memberi pemahaman baru terhadap dinamika akar-rumput masyarakat pedesaan yang ternyata menyimpan sisi lain dari kultur petani, yaitu dibalik sikap asketis petani terhadap wilayah hidupnya, dan harmonisasi dalam hubungan kekerabatan masyarakat desa, ternyata dapat memunculkan beragam aksi kekerasan yang walaupun bersifat sporadis dan tentatif tapi telah mencerminkan suatu mentalitas tertentu dari masyarakat dan kebudayaan petani. Worldview masyarakat desa beserta dinamika petani-petaninya melalui penelitian Suhartono di rekonstruksi kalau pengertian keselarasan dan toleransi warga desa dalam lingkup agraris, hanya satu sisi dari dimensi lain masyarakat petani yaitu penentangan, pembangkangan dan kekerasan yang berwujud bandit. Bandit menjadi konsep sosial yang mengaffirmasi sisi lain atas kehidupan desa dan masyarakat petani yang identik dengan asketisme, keselarasan dan harmonisasi tersebut.

Page 2: Protes Petani Solo

2 | Ahmad Kosasih, et al.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Tulisan dalam makalah ini akan memfokuskan pada gerakan protes petani yang terjadi di Surakarta, dimana gerakan protes ini tidak saja menggambarkan suatu sikap petani terhadap kebijakan kolonial di Surakarta, tapi gerakan protes petani ini telah menjadi arena perebutan pengaruh dari beberapa organisasi pergerakan yang berkembang dan bersaing saat itu di Surakarta.

Dengan demikian alur konstruksi terhadap Gerakan Protes Petani di Surakarta dalam makalah ini akan diuraikan secara struktural melalui pertama menjelaskan keberadaan kebijakan sosial-politik pemerintah kolonial di Surakarta beserta dinamika sosial-politik masyarakatnya; Kedua, menjelaskan hubungan sosial-politik antara kebijakan pemerintah kolonial dan masyarakat di Surakarta pada umumnya; dan Ketiga, menguraikan proses protes, kondisi-kondisi protes serta dampak protes pada umumnya bagi kebijakan pemerintah kolonial dan masyarakat di Surakarta saat gerakan protes petani Surakarta berhasil diredam. 2. Kebijakan pemerintah dan dinamika masyarakat Surakarta diawal

1900-an

Kebijakan-kebijakan yang di jalankan oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, khususnya di wilayah Surakarta bermuara kepada kebijakan tentang reorganisasi ekonomi kolonial. Reorganisasi merupakan sebuah upaya konsolidasi dan maksimalisasi proses pengawasan atas berjalannya ekonomi industri perkebunan dan mesin administrasi Hindia-Belanda di wilayah Surakarta. Pengawasan yang ketat terhadap berjalannya industrialisasi dan administrasi kolonial, diharapkan dapat memberikan masukan yang besar bagi investasi kapital yang telah ditanamkan, sehingga dapat meminimalisir segala bentuk pengeluaran yang dianggap tidak efektif dan efisien, dimana hal ini sejalan dengan semboyan ekspansi, efisiensi dalam menegakkan rust en orde. Menurut Shiraishi (1997: 25) Reorganisasi diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda pada 1912 dan selesai pada 1924. Kebijakan reorganisasi tersebut termanifestasi dalam empat tindakan, yakni : (1). Penghapusan sistem lungguh, (2). Pembentukan desa sebagai unit administrasi, (3). Pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani, dan (4) perbaikan aturan sewa tanah. Selain itu kebijakan Reorganisasi ini ditujukan untuk menghapus hubungan-hubungan feodal, tetapi tetap menghormati hak-hak perusahaan perkebunan yang yang sejak dahulu memperoleh hak menggunakan tanah dari pemerintahan Kasunanan atas dasar sewa-menyewa. Daerah awal di Surakarta seperti Prambanan, Bayat dan Klaten selesai menerapkan kebijakan reorganisasi pada tahun 1920 (Memori Serah Jabatan, 1921-1930: CCLVIII). Dalam memori serah jabatan tersebut, dijelaskan bahwa Daerah affediling Klaten ialah tempat terjadinya protes petani tembakau di desa tegalgondo, merupakan sebuah wilayah yang masuk kedalam blueprint ekspansi perkebunan di Surakarta.

Penghapusan sistem lungguh sudah dimulai sejak tahun 1918 di wilayah Kasunanan. Shiraishi (1997: 26) menjelaskan kalau banyak pemegang lungguh diberikan gaji dan upah dalam bentuk tunai sebagai ganti atas dihapusnya sistem lungguh, sementara itu disisi lain perkebunan dan petani harus membayar pajak dan sewa tanah kepada bendahara kerajaan. Dengan dihapusnya sistem lungguh berarti juga menghapus konsep kebekelan. Para bekel (Pranoto, 1991) dihapuskan dan kemudian diberikan bumi pituwas (seperempat bau tanah) sebagai suporting selama hidupnya,

Page 3: Protes Petani Solo

Gerakan Protes Petani Surakarta sebuah Refleksi Pergolakan Agraria di Jawa | 3

ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012

yang kemudian wajib dikembalikan setelah para bekel meninggal kepada kelurahan yang dibentuk sebagai kas kelurahan.

Realisasi atas kebijakan Reorganisasi ini ternyata tidak sepenuhnya direspon positif oleh masyarakat, khususnya masyarakat petani yang berbasis didaerah pedesaan. Berbeda konteks sosial dengan masyarakat yang tinggal dikota dengan profesi sebagai pangreh praja (binnelandbestuur) yang banyak diisi kalangan priyayi dan bangsawan, serta para pengusaha/pedagang yang rata-rata dari Timur Asing (Arab atau Cina) tidak mempermasalahkan kebijakan tersebut.

Di pedesaan Surakarta, terutama desa-desa yang terkena kebijakan reorganisasi kelompok bekel yang tidak terakomodasi ke dalam mesin administrasi kolonial, memberikan reaksi tertentu terhadap kebijakan reorganisasi. Reaksi tersebut berbentuk tindakan-tindakan yang membuat keresahan desa seperti bertengkar dengan kepala desa maupun menjadi pengikut para bekel yang melawan unsur aparatur setempat. 3. Protes Petani dan Respon Pergerakan Politik

Pembukaan industri perkebunan dan perluasan mesin administrasi kolonial ke dalam wilayah Surakarta, membuat semakin menajam pergesekan antara konflik petani dengan pihak perkebunan dan pemerintah lokal setempat yang berfungsi untuk menjamin keberadaan dan operasionalisasi industri perkebunan di seluruh wilayah Surakarta. Maka tidaklah terlalu sulit untuk melihat dan memahami beberapa pergolakan sosial yang terjadi di wilayah Surakarta saat berjalannya kebijakan reorganisasi hingga selesai pelaksanaannya. Keadaan tersebut ditambah kompleks dengan keberadaan atas ketidakpuasan para bekel-bekel yang tidak dapat terakomodir dalam mesin administrasi (kelurahan) kolonial, hal inilah yang kemudian akan memberikan implikasi berupa reaksi berupa perlawanan-perlawanan terhadap perkebunan dan para pegawai administrasi Hindia-Belanda di Surakarta.

Reaksi dalam bentuk perlawanan dan protes di wilayah Surakarta secara umum bila dipahami bukan suatu hal yang tersusun secara disengaja atau terkonsepkan, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu hal yang koherensi dengan dijalankannya sistem sosial-ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Beberapa perlawanan baik dalam bentuk protes maupun pemogokan serta kriminalitas di wilayah Surakarta, bukanlah pula sebagai sebuah peristiwa yang terjadi secara sporadis dan tiba-tiba, akan tetapi merupakan akumulasi atas ungkapan ketidakpuasan atas realitas yang dihadapi dari kelompok yang mulai menyadari akan nasib serta keberadaannya melalui instrumentalisnya berupa pendidikan.

Adalah Insulinde sebagai satu-satunya organisasi pergerakan, yang memiliki pengaruh di Surakarta menjelang tahun 1919. Insulinde yang sejak awal memiliki program organisasi yang diarahkan untuk memperjuangkan Hindia untuk orang Hindia, khususnya perjuangan petani di Surakarta, memiliki kesempatan, dalam menyikapi keadaan dunia pertanian dan industri perkebunan di Surakarta yang sedang menurun tajam, sebagai efek dari diterapkannya kebijakan reorganisasi, khususnya pada ketentuan kerja wajib petani dan persoalan mengenai kasepan dan glidig (kompensasi uang sewa tanah yang diberikan oleh perusahaan kepada petani). Mengenai hal tersebut dijelaskan oleh McVey (2009: 66) kondisi-kondisi tersebut muncul akibat pemerintah melakukan sejumlah reformasi agraria, dimana reformasi ini berjalan lambat dan para petani tidak dapat menunggu lebih lama lagi, terutama masalah penggantian pajak langsung untuk kerja rodi yang memberatkan.

Page 4: Protes Petani Solo

4 | Ahmad Kosasih, et al.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Masuknya H. Miscbah seorang tokoh radikal Serikat Islam ke Insulinde Maret 1918, memberi warna baru dalam pergerakan Insulinde Surakarta. Selain H. Miscbah mendorong anggota-anggota radikal Serikat Islam untuk pindah ke Insulinde, melalui Vergadering bulan Desember 1918 telah memberi jalan bagi H. Misbach untuk memimpin aktivitas propaganda Insulinde, selain mandat mendirikan kring-kring Insulinde diseluruh wilayah Surakarta dan mengeluarkan kartu anggota (Shiraishi, 1997: 196). Berkaitan dengan propaganda Insulinde, maka situasi sosial-ekonomi Surakarta menjadi bahan yang menguntungkan H. Miscbah dalam membangun opini politis kepada massa tani. Terlebih-lebih H. Misbach seorang redaktur dari surat kabar Islam Bergerak dan Medan Moeslimin yang dikelolanya bersama H. Fachrudin, yang tidak lain adalah murid dari H. Achmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah (Shiraishi, 1997; 190; Hiqmah, 2008: 4).

Propaganda yang dijalankan melalui surat kabar Medan Moeslimin dan Islam Begerak, ide-ide serta gagasan dari Insulinde dapat ditransformasikan kepada penduduk Surakarta. Selain itu aktivitas propaganda Insulinde juga dilakukan dengan tabligh-tabligh yang diadakan oleh H. Misbach dibawah organisasi asuhannya yakni SATV. Melalui Tabligh yang diadakan H. Misbach pembangunan opini tentang situasi Surakarta langsung dilakukan dengan massa tani, sekaligus mengorganisir mereka untuk membentuk kring-kring Insulinde di wilayah terkecil desa, diseluruh wilayah Surakarta.

Propaganda dan pembentukan opini Insulinde ini juga dilakukan oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo sebagai sekretaris pusat Insulinde dengan memainkan peran di Volksraad. Melalui pidato-pidatonya didepan sidang-sidang Volksraad Dr. Tjipto Mangunkusumo menyerang dan mengkritik pemerintah kolonial, terhadap keadaan kaum tani di Jawa, khusus-nya wilayah Surakarta, tempat berlangsungnya kebijakan reorganisasi (Shiraishi, 1997: 213).

Tesis Dr. Tjipto dan H. Misbach mengenai perlunya masyarakat Surakarta, khususnya kaum tani dan kromo untuk melakukan perlawanan terhadap situasi dan kesewenang-wenangan yang dialaminya dari ekploitasi kapitalisme perkebunan dan pemerintah Hindia-Belanda beserta para pegawai pemerintahan, membuat akhirnya terjadi sebuah protes besar yang dilakukan oleh para petani dengan dipimpin kring-kring Insulinde di sebagian besar wilayah perkebunan Surakarta pada 1919. Bagaimana protes tersebut berjalan secara prosesual dan bagaimana pula Insulinde berhasil melakukan pengorganisasian massa petani tersebut untuk dapat melakukan aksi protesnya merupakan hal yang harus diungkap pula pada uraian bagian ini. 4. Jalannya Aksi Protes, Kondisi dan Dampak Protes Petani di Surakarta

Agustus 1918 masyarakat di desa Pucangsawit, Dukuh, Pojok di Sukoharjo, Gulon dan Calamadu masih berada dalam wilayah Kasunanan dan Mangkunegaraan, melakukan aksi mogok petani yang menuntut dinaikannya upah glidig, karena upah yang diberikan perkebunan sudah tak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidup petani, karena naiknya harga bahan-bahan pokok. Akan tetapi aksi-aksi mogok ini berlangsung dalam skala yang kecil dan dapat dipadamkan setelah perkebunan menuruti tuntutan para petani (Islam Bergerak, Agustus 1918, September 1918, Oktober, 1918 dan November 1918).

Tanggal 23 Februari 1919 dikelurahan Nglungge terjadi aksi mogok dan protes (Di Nglungge terdapat kring Insulinde, yang didirikan pada 16 Februari 1919) yang dilakukan para kuli kenceng yang menuntut pertama pengurangan kerja wajib untuk ronda dan patrol bagi desa dan negara; kerja wajib memelihara jalanan umum harus

Page 5: Protes Petani Solo

Gerakan Protes Petani Surakarta sebuah Refleksi Pergolakan Agraria di Jawa | 5

ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012

dibayar, dan pejabat desa diminta melakukan kerja wajib. Tuntutan tersebut tidak direspon oleh penguasa, karena memang di daerah Nglungge tidak terdapat perkebunan. Akan tetapi di awal April 1919, Asisten Residen memperingatkan Nyonya Vogel dan H. Misbach bahwa pemogokan di Nglungge itu ialah aksi illegal (Siharishi, 1997: 213).

Pemogokan para petani yang menolak kerja wajib, ternyata merambah dan diikuti oleh pemogokan yang dilakukan oleh para petani yang berada di perkebunan Tegalgondo tempat kring Insulinde berdiri di Karang Duren dan Klaseman, pada 10 April 1919.

Sekitar 170 kuli kenceng mogok, mereka menolak kerja wajib bagi perkebunan, menuntut naiknya glidig dan menyatakan bahwa mereka adalah anggota Insulinde. Kemudian pada tanggal 16 April 1919, kuli kenceng desa Tempel mengadakan aksi mogok, dengan tuntutan yang sama seperti mogok yang terjadi di perkebunan Tegalgondo. Dua aksi tersebut berlanjut pada pertemuan dan rapat Insulinde kring Karang Duren, yang kemudian melahirkan keputusan berupa seruan agar seluruh petani anggota Insulinde kring Karang Duren mengikuti contoh Dimoro (Klaseman) untuk mogok, maka 90 orang kuli kenceng desa Karang Duren mengadakan aksi mogok (Shiraishi, 1997: 214).

Aksi mogok tersebut kemudian direspon secara cepat baik oleh pihak perkebunan, maupun dengan pihak pemerintah. Menghadapi aksi mogok ini pihak perkebunan menggunakan pendekatan yang lunak, yaitu dengan mengusulkan pembentukan prapat, sebuah lembaga tradisional yang dibentuk guna menengahi konflik berkaitan dengan pertanahan. Maka masing-masing dua orang perwakilan dari petani dan dari pihak perkebunan bertemu. Pada pertemuan ini diputuskan bahwa perkebunan setuju untuk menaikkan upah sejumlah 30 sen untuk kerja delapan jam sehari sebagai dasar perhitungan glidig. Kenaikan tersebut merupakan kenaikan sebesar 50 persen dari standar glidig pada saat itu (Shiraishi, 1997: 215).

Selain permintaan kenaikan glidig yang disetujui oleh pihak perkebunan, pemimpin kring Klaseman pun menyetujui usulan pihak perkebunan yang akan membuat prapat sebagai lembaga formal untuk menyelesaikan perselisihan antara pihak petani dan perkebunan. Hal tersebut segera dilaksanakan pada tanggal 18 April 1919, pihak manajer perkebunan meminta Asisten Residen mengutus controleur dan regent polisi datang ke Dimoro untuk membentuk prapat secara resmi.

Akan tetapi situasi berubah pada 19 April 1919 tepatnya di Nglungge, pejabat desa gagal untuk mempengaruhi petani agar melanjutkan kerja wajib. Segera setelah kegagalan tersebut, penguasa menciduk pak Ngabid, dan enam pimpinan kring lainnya ditahan, dengan tuduhan mengadakan aksi-aksi illegal, dan membiarkan administrasi desa merebut hak mereka atas tanah komunal. Segera setelah kejadian tersebut pada tanggal 23 April 19191, H. Misbach tampil memimpin rapat tertutup secara formal beserta seluruh pimpinan kring Insulinde dan pengurus Insulinde Surakarta lainnya. Pada rapat tersebut, H. Misbach melarang polisi tidak boleh hadir, dan boleh hadir jika dibutuhkan (Shiraishi, 1997: 216).

Sesudah pertemuan tersebut, maka aksi mogok dilakukan kembali oleh para kuli kenceng di areal perkebunan tembakau. Para pemimpin kring melakuka sabotase terhadap keberadaan prapat, dan pemogokan mulai menyebar kembali ke desa lainnya, seperti diantaranya: kring Karang Duren yang dipimpin oleh H. Bakri dan kring Klaseman yang dipimpin oleh Wongsosoediro mengadakan pertemuan di Kagokan, yang menyerukan mogok petani di Kagokan. Aksi ini diikuti oleh petani yang berada di Wironangan pada 25 April 1919. Puncaknya ialah ketika di awal bulan Mei ketika

Page 6: Protes Petani Solo

6 | Ahmad Kosasih, et al.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

petani yang berasal dari 17 desa, berjumlah lebih dari 20.000 orang mengadakan mogok di perkebunan Tegalgondo dan menuntut kenaikan glidig.

Menghadapi aksi mogok ini, penguasa tidak melakukan pendekatan secara lunak, melainkan dengan cara penangkapan. Penangkapan pertama dilakukan kepada Wongsosoediro dan H. Bakri, kemudian terjadi penangkapan secara besar-besaran, lebih dari 80 orang termasuk seluruh pemimpin-pemimpin kring Karang Duren, Klaseman, Tempel, Sraten, Wironangan, dan Kagokan ditangkap pada 7 mei. Segera setelah kejadian tersebut, Residen A.J.W. Harloff mengadakan sidang darurat dengan Asisten Residen Boyolali dan Klaten, kontroleur urusan pertanian dan regent polisi untuk membahas langkah-langkah tepat guna mengakhiri pemogokan. Setelah sidang darurat tersebut, penguasa kemudian menangkap H. Misbach, Darsosasmito dan Gatoet Sastrodihardjo (Shiraishi, 1997: 217; Islam Bergerak, 20 mei 1919).

Penangkapan yang dilakukan terhadap H. Misbach, ternyata direspon secara cepat oleh beberapa organisasi lainnya, hal ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas dan mengingat bahwa H. Misbach adalah seorang tokoh pergerakan di Surakarta yang cukup disegani, karenanya untuk menghindari bentrok yang lebih besar antara petani dan penguasa maka organisasi seperti Harsoloemakso dan seorang H. Achmad Dahlan mengirimkan surat dan permohonan kepada pihak penguasa untuk menangguhkan penahan terhadap H. Misbach (Islam Bergerak, 20 mei 1919). Selain respon yang diberikan oleh organisasi diluar Insulinde, kita juga akan melihat apa yang dilakukan oleh para pengurus Insulinde, ditengah rencana untuk mengubah Insulinde menjadi sebuah partai politik NIP-SH (Nationaal Indische Partij - Sarekat Hindia).

Penangkapan dan pembuangan mereka kemudian memberikan perubahan struktur masyarakat desa, mobilitas secara vertical kemudian terbuka bagi para penduduk desa untuk menggantikan posisi dan peran mereka di masyarakat. Sebagai contoh ialah ketika H. Misbach ditangkap pada tahun 1920, kendali atas surat kabar Islam Bergerak, kemudian sepenuhnya berada ditangan Fachrudin, bersama H. Soedjak seorang angota Muhammadiyah dan murid dari KH. Dahlan.

Setelah aksi-aksi protes petani ini dapat diredam maka terjadi beberapa perubahan yang terjadi di Surakarta.

4.1 Perubahan Kebijakan Terhadap Desa

Aksi-aksi mogok dan protes yang berlangsung di wilayah Surakarta, dianggap oleh pemerintahan kolonial sebagai perubahan diluar kendali dan yang diperkirakan oleh kelompok kaum Etisi dalam menilai perubahan masyarakat pribumi. Maka dari itu terjadi perubahan secara mendasar dalam arahan politik kolonial, dimana kelompok konservatif mulai berkuasa dan menggantikan posisi para kum Etisi. Gubernur Jendral Van Limburg Stirum digantikan oleh Dirck Fock sebagai Gubernur Jendral (Shiraishi, 1997: 297).

Gubernur Jendral D. Fock dikenal sebagai seorang ahli kolonial partai liberal, yang memang terbukti sangat liberal dalam tindakannya yang sewenang-wenang untuk menekan aktivitas pergerakan. Kebijakan mengenai penanganan terhadap kaum pergerakan ini, juga berlaku di Surakarta, dimana aturan mengenai izin berkumpul tetap tidak diberikan, kekuatan aparat keamanan dalam hal ini kepolisian semakin ditingkatkan untuk menangani aktivitas-aktivitas kaum pergerakan yang menggangu dan mengancam kelangsungan rust en orde (Shiraishi, 1997: 283-284).

Page 7: Protes Petani Solo

Gerakan Protes Petani Surakarta sebuah Refleksi Pergolakan Agraria di Jawa | 7

ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012

4.2 Perubahan Struktur Masyarakat

Berkaitan dengan perubahan secara sturktural pada masyarakat pedesaan, khususnya di wilayah Surakarta, terjadi perubahan yang sangat mencolok, dimana terjadi perubahan terhadap para penduduk desa. Para pemimpin-pemimpin kring-kring Insulinde, sebelum masa penangkapan dan pembuangan merupakan tokoh-tokoh masyarakat desa. Mereka adalah para Haji, para mantan bekel yang masih memiliki pengaruh di masyarakat desa. 5. Kesimpulan

Kebijakan pemerintah kolonial memasuki awal abad ke-20 terkait upaya reorganisasi ditujukan untuk mengkonsolidasikan dan memaksimalisasi proses pengawasan ekonomi industri perkebunan dan mesin administrasi Hindia Belanda sampai ke tingkat aparatur desa. Pelaksanaan kebijakan itu tidak saja berdampak pada proses politik-ekonomi kolonial, tetapi, berpengaruh juga pada kehidupan sosial-politik pribumi. Khusus di wilayah Surakarta, reaksi atas kebijakan itu didorong oleh ketidakpuasan para bekel yang tidak terakomodir dalam mesin administrasi kolonial. Di tambah dengan adanya propaganda yang menolak terjadinya modernisasi ekonomi, dimana perubahan sistim ekonomi terutama pada aspek industri perkebunan menghilangkan hubungan-hubungan tradisional masyarakat petani.

6. Daftar Pustaka

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). (1978), Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan) ANRI.

Hiqmah, Noor. (2008), H.M. Misbach Kisah Haji Merah. Komunitas Bambu. Jakarta Islam Bergerak, 1919-1920. Surat kabar yang terbit di Surakarta, dibawah pengawasan H. Misbach dari SATV dan Fachrudin dari Muhammadiyah. surat kabar ini terbit setiap tanggal 1, 10 dan 20 setiap bulannya. Surat kabar ini juga diterbitkan bertujuan untuk membahas soal-soal keagamaan, kemajuan Islam dan keadaan hidup para petani.

Kartodirjo, Sartono. (1984), Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya – Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Grafiti

McVey, Ruth,T. (2010), Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu. Jakarta.

Pranoto, Suhartono (1991), Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 192. Yogyakarta: Tiara Wacana

____________ (2010), Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Graha Ilmu

Shiraishi, Takashi. (1997), Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti. Jakarta.

Page 8: Protes Petani Solo

8 | Ahmad Kosasih, et al.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

7. Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih yang pertama penulis sampaikan kepada jajaran pimpinan LPPM UNINDRA yang telah memberikan kesempatan penulis untuk bisa menyelesaikan kegiatan penelitian hinggan selesai, serta arahan untuk kemudian penulis dapat menyajikan dalam format artikel yang siap diseminarkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada LPPM Universitas Islam Bandung yang bersedia menerima dan mengevaluasi karya ilmiah ini, sehingga layak untuk dipresentasikan dan dimuat dalam prosiding terpilih.