Upload
vuongtram
View
262
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kebahagiaan)
LAPORAN PENELITIAN
Disusun oleh:
Dr. Muskinul Fuad, M.Ag NIP. 197412262000031001
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2016
1
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian :Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an
(Tafsir Tematik Atas Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang
Kebahagiaan)
Jenis Penelitian : Individual
Bidang Ilmu : Bimbingan dan Konseling Islam
Nama Peneliti : Dr. Muskinul Fuad, M. Ag
Jangka Waktu Penelitian : 4 Bulan
Sumber Dana : DIPA IAIN Purwokerto Tahun 2016
Purwokerto, 1 September 2016 Peneliti
Dr. Muskinul Fuad, M. Ag NIP. 197412262000031001
Mengetahui: Drs. Amat Nuri, M. Pd.I NIP. 196307071992031007
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala limpahan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan bentuk upaya pencarian penulis atas wacana Psikologi Islami
yang berlandaskan nilai-nilai al-Qur’an. Hal ini merupakan bentuk konsen peneliti atas
agenda Islamisasi Psikologi dan Bimbingan Konseling yang semakin menggelinding di
Indonesia.
Akhir kata, penelitian ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan, sehingga
penulis berdo’a semoga ada orang lain yang akan memperbaikinya. Semoga karya ilmiah
yang sederhana ini dapat menjadi amal ibadah bagi penulis dan bagi semua orang yang
telah ikut terlibat di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Purwokerto, 1 September 2016
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….ii KATA PENGANTAR………………………………………………………………….iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………iv BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..5
A. Latar Belakang …………………………………………………………5 B. Rumusan Masalah………………………………………………………10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………11 D. Metode Penelitian………………………………………………………12
BAB II. MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN…………………………14
A. Makna Kebahagiaan……………………………………………………..14 B. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Kebahagiaan……………………….23
BAB III. MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN………………………32
A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………………………32 B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………..34 C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………….60
BAB IV. RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN…………………………….67
A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………………………….67 B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………..70 C. Sebua Perbandingan……………………………………………………..86
BAB V. PENUTUP…………………………………………………………………..89
A. Kesimpulan………………………………………………………………90 B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini telah terjadi perubahan paradigma dalam menilai keberhasilan
pembangunan sebuah negara. Apabila selama ini para pakar pembangunan hanya
mengacu pada model Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto
(PDB), maka sekarang mereka mulai melirik kepada model Gross National
Happiness (GNH) sebagai acuan keberhasilan pembangunan. Model GNP (PDB)
lebih mengukur kemajuan dan sukses pembangunan secara kuantitatif berdasarkan
rata-rata nilai pendapatan per kapita keluarga (rumah tangga) di suatu negara,
sementara model GNH tidak saja mengukur kesuksesan pembangunan secara
materi atau ukuran finansial seperti pendapatan, tetapi mengukur pula efek
psikologis dari pembangunan. 1
Model yang kedua (GNH) pertama kali dicetuskan di Bhutan. Bhutan
merupakan sebuah negara kecil di Asia Selatan yang dikenal pula dengan Druk Yul
(Negeri Naga Guntur). Awalnya, pada tahun 1970-an Raja ke IV Bhutan, Jigme
Singye Wangchuck, memiliki ide untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsanya.
Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi
pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan
bangsa. 2
1 http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan
2 Joko Tri Haryanto (2015). Paradigma Baru Pembangunan Nasional, dalam http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-pembangunan-nasional
5
Dalam model ini faktor non-ekonomi diberikan bobot penting setara
dengan aspek ekonomi sebagaimana sangat ditekankan oleh model PDB. Upaya
penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika The Centre for Bhutan
Studies (CBS) merumuskan indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan sebuah
bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak. Survei
pendahuluan dilakukan pada 2006 dan survei pertama kali untu mengukur Indeks
GHN dilakukan pada 2007. Kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi
variabel obyektif, subyektif, dan terbuka) ditanyakan kepada 950 orang di 12
daerah. Akan tetapi, sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil
survei tersebut cukup valid untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya
dilakukan pada 2010, dalam waktu sembilan bulan, dengan jumlah kuesioner yang
terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan.
Berdasarkan survei inilah kemudian GNH dijadikan momentum keberpihakan
Bhutan dalam pemenuhan aspek kebahagian hidup kepada masyarakatnya.3
Pergeseran paradigma ini sesungguhnya tidak terlepas dari wacana tentang
apakah uang atau pendapatan betul-betul dapat menciptakan kebahagiaan atau
tidak. Hal ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan ekonom maupun
psikolog. Yang cukup menarik untuk disimak adalah adanya istilah “Paradoks
Easterlin” yang digagas oleh Easterlin (1974). Dalam Paradoks Easterlin
diperkenalkan konsep titik jenuh. Gagasan ini meyakini bahwa pada awalnya,
besarnya penghasilan seseorang memang akan berpengaruh terhadap tingkat
kebahagiaannya. Logikanya, pendapatan yang mencukupi dapat mendukung
keterpenuhan kebutuhan dasar seseorang, sehingga membuatnya cukup untuk
3 Ibid.
6
mampu meraih kebahagiaan. Pada fase ini pendapatan berbanding lurus dengan
tingkat kebahagiaan. Namun, di suatu titik, relasi tersebut dapat mencapai titik
jenuh. Hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan menurun dan bahkan bisa
hilang sama sekali. Sebagai bukti empiris, Easterlin menemukan bahwa lonjakan
ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa,
selama tiga puluh tahun terakhir ini, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan
kebahagiaan masyarakatnya.4
Pada saat materialisme menjadi panglima, di mana kekayaan, jabatan, dan
ketenaran menjadi dewa yang diagung-agungkan, kematian bunuh diri seorang
aktor hebat peraih Oscar, Robin William, adalah sebuah tragedi kemanusiaan.
Kenyataan yang mengenaskan ini meniscayakan adanya sebuah redefinisi terhadap
ukuran kesuksesan dan kebahagiaan. Dua komponen yang selama ini dianggap
sebagai ukuran utama kesuksesan, yaitu kekayaan dan kekuasaan, perlu dilengkapi
dengan hal-hal yang lebih mendasar lagi. 5
Fakta ini diperkuat dengan laporan sebuah majalah bernama Men’s Health
yang pernah memasang iklan pada situs webnya sebagai berikut: “kami sedang
mencari orang yang hidup sempurna, tetapi tidak bahagia. Jika anda memiliki
pekerjaan besar, rumah besar yang penuh dengan barang mewah, tetapi anda
merasa tidak bahagia, dan sewaktu-waktu, malah menderita, kami ingin
mendengarnya dari Anda”. Setelah iklan ini muncul, majalah ini kemudian
menerima ratusan respon. Kesimpulannya, orang sukses yang tidak bahagia
ternyata saat ini bukan lagi sebagai sebuah anomali (pengecualian), tetapi sesuatu
4 https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-terhadap-kalangan-profesional-muda-di-indonesia/
5 Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014
7
yang normal atau biasa terjadi. Gejala ini disebut dengan Dysthymia, yang berarti
sebuah perasaan sedih yang kronis dan hilangnya energi kehidupan di tengah-
tengah kehidupan sukses dan tampak bahagia. 6
Gejala lain yang dapat ditangkap dari kehidupan modern adalah apa yang
disebut oleh para psikolog dengan istilah anxiety disorder. Seorang penderita
gejala ini biasanya memiliki ciri-ciri berikut ini: seringkali terganggu dengan detak
jantungnya, gampang terangsang dan tersiksa oeh gangguan yang kecil, memiliki
ketakutan tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, cemas dan putus asa secara terus-
menerus, merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga, sulit mengambil keputusan,
takut pada segala hal, merasa nervous dan tegang terus-menerus, tidak dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapinya, dan tertekan. Bersamaan dengan itu,
penderita gejala ini juga mengalami gangguan fisik seperti kesulitan kosentrasi,
keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak nafas, kepala pusing, dan
sebagainya.7
Menurut Bastaman, fenomena di atas merupakan sebuah gambaran yang
boleh jadi merepresentasikan sisi suram dari manusia yang hidup di abad ke-21
yang biasa disebut dengan Abad Kecemasan (The Age of Anxiety). Dikatakan
demikian, karena abad ini banyak ditandai oleh adanya krisis multi dimensi;
ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan, yang melanda dan menimbulkan
efek psikologis (kecemasan) pada seluruh masyarakat dunia. Semua krisis tersebut
sejatinya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jati diri
sebagai pribadi dan bangsa. Krisis identitas dan hilangnya jati diri dalam tatanan
6 Jalaluddin Rakhmat, (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hal. 25 7 Jalaluddin Rakhmat (1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan, Bandung:
Rosda, hal. 261
8
psikis berkaitan erat dengan tidak jelasnya nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman hidup. Akibatnya, banyak manusia mengalami penderitaan, karena gagal
dalam menggapai kehidupan yang bemakna dan berbahagia.8
Dalam bahasa Sayyed Hossein Nasr, manusia modern dikatakan tengah
mengalami apa yang disebut dengan kehampaan spiritual, krisis makna, kehilangan
legitimasi hidup, dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri.
Krisis eksistensial ini bermula dari pemberontakan manusia modern terhadap
Tuhan. Mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan
sebagaimana dijanjikan oleh renaisans, abad pencerahan, sekulerisme, saintisme,
dan teknologisme.9 Dengan kata lain, manusia modern di abad ke-21 ini dapat
dikatakan telah kehilangan visi spiritualnya. Ia memerlukan insight baru agar dapat
menemukan kembali visi spiritualnya.
Psikologi kontemporer (Barat) dapat dikatakan telah “gagal” menjawab
persoalan manusia modern tersebut. Psikologi, dalam pandangan Seligman,
seorang mantan Ketua Asosiasi Psikologi Amerika (APA), pada dasarnya
merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segala sudut pandang.
Ironisnya, pada 60 tahun terakhir ini psikologi hanya berorientasi pada penyakit
jiwa seperti phobia, stress, trauma, skizofrenia dan masih banyak lagi penyakit
kejiwaan lainnya. Menurutnya, selama 60 tahun terakhir ini, kajian tentang
berbagai penyakit (gangguan) psikologis menyimpulkan bahwa ada 14 macam
penyakit yang berhasil diobati, tetapi tidak sembuh total, dan terdapat dua macam
penyakit lainnya dapat diobati secara total. Fakta ini kemudian menimbulkan
8 H.D.(Bastaman, 1995), Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 56 atau Bastaman, H.D (2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 48
9 Haidar Bagir, (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, hal. 75
9
pertanyaan: “bagaimana caranya membuat orang menjadi sehat tanpa terhindar dari
penyakit atau gangguan mental?”. Dari pertanyaan inilah kemudian istilah
Psikologi Positif (Psikologi Kebahagiaan) itu muncul. 10
Psikologi Islami, sebagai madzhab psikologi yang mendasarkan pada nilai-
nilai Islam dalam memandang persoalan manusia, memiliki misi yang besar dan
mulia dalam mengantarkan manusia agar dapat menemukan kembali visi
spiritualnya, yaitu menggapai kehidupan yang bermakna menuju kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.Visi inilah yang akan membuat manusia dapat
menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Hanya saja, saat ini
kajian psikologi Islami belum banyak yang mengarah kepada masalah kebahagiaan
manusia. Berangkat dari kebutuhan tersebut, melalui penelitian ini, penulis
memandang perlu untuk melakukan sebuah konseptualisasi Psikologi Kebahagiaan
dengan cara menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan tema kebahagiaan.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari setting masalah di atas, maka pertanyaan besar yang akan
coba dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep psikologi kebahagiaan
menurut Al-Qur’an. Untuk menjawab pertanyaan utama ini, penulis perlu
menjawab beberapa aspek turunannya, yaitu meliputi makna dan hakikat
kebahagiaan menurut al-Qur’an, dimensi dan tingkatan kebahagiaan menurut al-
Qur’an, dan cara memperoleh kebahagiaan menurut al-Qur’an.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
10 Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016
10
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep Psikologi Kebahagiaan
menurut al-Qur’an dengan cara menggali ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, yang
mencakup makna kebahagiaan, hakikat kebahagiaan, dimensi dan tingkatan
kebahagiaan, dan petunjuk memperoleh kebahagiaan. Signifikansi penelitian ini
terletak pada kontribusi teoritisnya dalam mengkaji konsep-konsep kebahagiaan
dalam al-Qur’an. Hasil kajian ini kemudian bermuara pada upaya konseptalisasi
sebuah tinjauan psikologi kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an. Karya ini pada
akhirnya diharapkan dapat menjadi sebuah langkah pengembangan terhadap kajian
psikologi Islam dan sekaligus menyempurnakan apa yang telah diwacanakan oleh
para psikolog kebahagiaan yang bercorak humanistik-sekuler.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi para
pendidik, psikolog, konselor, dan agamawan dalam membimbing manusia
(individu) agar dapat menjalani hidup ini dengan penuh bahagia. Materi bimbingan
(dakwah) yang menekankan pada kebahagiaan dan kebermaknaan hidup
tampaknya perlu dijadikan mainstream dalam sebuah kegiatan bimbingan,
konseling, pengajian, training, dan sebagainya. Hal ini sangat relevan dengan
segala problem dan tantangan modernitas (globalisasi) yang kini dihadapi oleh
setiap individu. Hasil kajian ini dapat dijadikan pijakan sebagai sebuah materi
dakwah yang bersifat terapeutik dan sufistik. Model dakwah seperti inilah yang
tampaknya lebih diperlukan oleh masyarakat modern saat ini.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini bercorak kajian literatur. Artinya, sumber datanya berasal dari
bahan-bahan tertulis seputar topik yang dibahas. Penelitian ini menjadikan al-
Qur’an sebagai objek kajian, sehingga sumber rujukan utama dan pertamanya
11
adalah mushaf al-Qur’an, dengan fokus pada ayat-ayat yang berbicara tentang
kebahagiaan. Sumber lain yang digunakan dalam kajian ini adalah kitab-kitab tafsir
yang penulis anggap representatif. Sebagai dasar-dasar teoritik dan pisau analisis
dalam mengkaji, memaparkan, memilah, memilih, dan menjelaskan makna tersirat
(kontekstual) dalam ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip, penulis perlu melihat buku-
buku yang ditulis para pakar dalam hal yang ada relevansinya dengan tinjauan
kebahagiaan secara psikologis. Adapun sebagai dasar rujukan untuk analisis makna
kata dan term tertentu dari ayat-ayat al-Qur’an, penulis menggunakan beberapa
kitab mu’jam dan kamus, baik yang tersedia secara fisik maupun secara digital.
Secara metodologis, mengingat objek dalam penelitian ini adalah ayat-ayat
al-Qur’an, maka pendekatan yang digunakan di dalamnya adalah ilmu tafsir.
Dalam ilmu tafsir terdapat beberapa corak (metode) penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, yaitu tahlili, ijmali, maudhu’i, dan muqaran. 11 Dari keempat metode
tafsir ini, yang lebih sesuai untuk digunakan dalam kajian ini adalah metode tafsir
maudhu’i. Tafsir maudhu’i adalah sebuah metode penafsiran dengan cara mencari
jawaban langsung dari al-Qur’an tentang sebuah persoalan (tema) dengan jalan
menginventarisasi semua ayat yang terkait, kemudian menganalisisnya melalui
ilmu-ilmu bantu yang memuat teori-teori yang relevan dengan tema yang dibahas,
dalam hal ini psikologi, untuk melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur’an tentang
tema tersebut. Dengan demikian, metode tematis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bercorak psikologis. Selanjutnya, dengan dasar analisis secara holistik
dan komprehensif tersebut, penulis akan membuat kesimpulan (pesan moral) dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang dikaji melalui pendekatan deduktif (istinbath).12
11 Lihat Al-Farmawy (1977), al-Bidayah fi al-Maudhu’I, Kairo 12 Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung: Pustaka Setia, hal. 26-27
12
Secara mudahnya, cara kerja tafsir tematik (maudhu’i) dapat dilihat dari
piramida berikut ini:
Langkah-langkah Tafsir Tematik (maudhu’i)
Kesimpulan
Menyusun Kerangka
Identifikasi Ayat yang berhubungan dengan masalah
Penentuan Masalah atau Topik
13
BAB II MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN
A. Makna Kebahagiaan
Persoalan kebahagiaan telah lama menjadi tema pembahasan para
sastrawan, agamawan, dan para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata bahagia dan derivasinya dijelaskan secara teperinci. Kata “bahagia”, dalam
bentuk kata benda, diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram,
serta bebas dari segala yang menyusahkan. Makna ini dapat dipahami dari
ungkapan “bahagia dunia akhirat” atau “hidup penuh bahagia”. Dalam bentuk kata
benda lainnya, kebahagiaan, diartikan sebagai kesenangan, ketenteraman hidup
(lahir batin), keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir dan batin. Hal ini
dapat dipahami dari kalimat “Kehadiran bayi itu mendatangkan kebahagiaan di
rumah tangganya” atau “Saling pengertian antara suami-isteri akan membawa
kebahagiaan di rumah tangga”. Dalam bentuk kata sifat, berbahagia dapat
diartikan sebagai beruntung. Hal ini dapat dipahami dari kalimat “Saya betul-betul
merasa berbahagia, karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga”.
Dalam bentuk kata kerja, kata membahagiakan berarti menjadikan atau membuat
bahagia. Makna ini dapat dilihat dari kalimat “Ia berusaha keras membahagiakan
keluarganya”. Dapat pula diartikan sebagai “mendatangkan rasa bahagia”, jika
dilihat dari kalimat: “Kehadirannya sangat membahagiakan keluarganya”. Di luar
itu, kata bahagia dapat pula dikaitkan dengan kata “selamat”, misalnya dengan
kata-kata “selamat berbahagia”. Kata bahagia dalam ungkapan ini berarti sejahtera
14
atau sehat. Jika dikaitkan dengan kata taman (“taman bahagia”), maka dapat berarti
“tempat orang mendapat kebahagiaan”.13
Di luar bahasa Indonesia, kata bahagia dapat dijumpai dalam berbagai
bahasa seperti Inggris (Happiness), Jerman (Gluck), Latin (Felicitas), Yunani
(Eutychia, Eudaimonia), dan Arab (Falah, Sa’adah). Kata ini menunjukkan arti
sebagai berikut: kebahagiaan, keberuntungan, kesenangan, peluang baik, dan
kejadian yang baik. Dalam bahasa Cina (Xing Fu), kebahagiaan terdiri dari
gabungan kata “beruntung” dan “nasib baik”. Setiap orang, dengan berbagai
tingkatan usia dan latar belakang, memiliki gambaran yang berbeda-beda tentang
kebahagiaan.14 Jika ada sepuluh anak ditanya tentang apa itu kebahagiaan?, maka
jawabannya boleh jadi akan sangat berbeda-beda. Ada yang mengidentikkan orang
bahagia dengan orang yang tinggal di rumah besar dan mewah, mobil mengkilap,
pakaian yang indah, makanan yang lezat, memiliki isteri yang cantik, memiliki
tubuh yang indah, dan sebagainya. Ada pula yang menggambarkan kebahagiaan
dengan sebuah ungkapan menarik yang cukup populer di kalangan kaum remaja
dewasa ini, yaitu : “selagi muda foya-foya, tua kaya- raya, mati masuk sorga”.
Para filosof sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan kebahagiaan.
Ada yang menggambarkan sebagaimana anak-anak di atas dan ada pula yang
melihat kebahagiaan jauh di atas itu. Menurut Aristoteles, manusia mampu melihat
kebahagiaan jauh di atas kesenangan-kesenangan fisik. Sebagian filosof lain,
misalnya kaum Hedonis dan Utilitarian, menetapkan kebahagiaan sebagai landasan
moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur sejauh mana tindakan itu membawa
orang pada kebahagiaan (lebih tepatnya kesenangan). Ada pula filosof yang
13 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5
14 Rakhmat (2008), Meraih…….hal .31
15
mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak berkaitan sama sekali dengan
kebahagiaan, karena boleh jadi ada tindakan yang membuat pelakunya bahagia
(senang), tetapi tidak bermoral, misalnya korupsi. Menurut kelompok ini,
perbuatan baik adalah tuntutan etis untuk menjalankan kewajiban, walaupun
membuat pelakunya menderita . 15
Bahkan, ada pula filosof yang menyatakan bahwa bahagia adalah sesuatu
yang tidak jelas (tidak ada batasnya). Bahagia dianggap khayalan belaka yang
tidak rasiona. Bukan hal yang aneh jika banyak orang ingin bahagia, tetapi tidak
mengetahui batasan bahagia itu sendiri, tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari
dalam hidup ini, atau mereka bingung ke mana dan bagaimana mencari
kebahagiaan. Mereka terpesona dengan masa yang telah lewat. Mereka ingin
kebahagiaan masa lalu hadir kembali, sebagaimana yang pernah mereka rasakan
bersama orangtua atau keluarga mereka dulu. Sementara dunia yang mereka hadapi
saat ini tampak semakin suram, banyak masalah, penuh krisis, dan tidak menentu.
Seolah mereka ingin lari dari realitas bahwa dalam hidup ini banyak kesulitan,
permasalahan, dan beban yang semakin berat.16
Demikianlah sebagian makna kebahagiaan yang telah dirumuskan para
filosof (sufi) yang boleh jadi masih berupa konsep yang abstrak. Untuk itu, tugas
para psikolog adalah bagaimana mengkongkritkan hal yang abstrak ini. Jika ada
seorang klien datang ke psikolog dan berkata: “Hari ini saya merasa bahagia”,
maka sang psikolog tentu akan bertanya lebih lanjut: “Mengapa anda merasa
bahagia?”. Salah satu jawaban yang mungkin akan diberikan seseorang adalah:
15 Ibid., hal. 46 16 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj.
Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 182
16
“Karena saya merasa puas dengan apa yang terjadi dengan hidup saya”.17
Demikian halnya dengan kehidupan seseorang, apakah bermakna atau tidak dapat
dinilai dari model pertanyaan dan jawaban di atas.
Dialog di atas mengindikasikan bahwa kebahagiaan hidup seseorang dapat
dinilai secara obyektif (objective happiness) dan subyektif (subjective happiness).
Secara obyektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan menggunakan standar
yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Jalaluddin Rakhmat
mencontohkan, misalnya ada seseorang bernama Fulan. Ia menghabiskan waktu
mudanya untuk berfoya-foya, termasuk dengan melakukan segala tindakan dosa.
Ia tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat bahagia. Benarkah ia bahagia?
Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia, karena pada hari akhirat kelak,
jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka. Dalam bahasa Tasawuf, si Fulan
ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj. Artinya ia
sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat (kesenangan) untuk melihat apakah
ia sadar atau tidak dengan nikmat yang didapatkannya. Menurut ukuran
(pembuktian) rasional, ia juga tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia pasti akan
kehilangan harta, kesehatan, dan kesenangannya. Secara subyektif, kita dapat
mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya kepadanya dengan singkat
apakah ia bahagia atau tidak.18
Pada dasarnya, setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam
hidupnya. Akan tetapi, kebahagiaan ini tidak akan terjadi begitu saja, namun
merupakan akibat sampingan dari keberhasilannya dalam memenuhi keinginannya
untuk hidup bermakna (will to meaning). Artinya, makna hidup adalah gerbang
menuju kebahagiaan. Mereka yang berhasil mencapainya akan mengalami hidup
17 Rakhmat, Meraih……hal. 48 18 Ibid.,hal 52
17
yang bermakna dan dirinya akan memperoleh kebahagiaan. Sebaliknya mereka
yang tidak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan,
kehampaan hidup, merasakan hidup yang tidak bermakna, dan akhirnya tidak
bahagia.19
Gangguan atau karakter kepribadian yang mungkin dimiliki seseorang
tergantung pada mampu (berhasil) atau tidaknya ia dalam menghayati hidupnya.
Ketidakberhasilan menemukan makna hidup biasanya akan menimbulkan
penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, bosan, dan merasa
tidak berarti. Jika hal ini berlarut-larut akan mengakibatkan gangguan neurosis
(noogenic neurosis) serta mengembangkan karakter totaliter dan konformis.
Berkaitan dengan penghayatan hidup tanpa makna ini, seorang Logoterapis akan
berpandangan bahwa kurang berfungsinya naluri dan intuisi, serta memudarnya
nilai tradisi dan agama pada orang-orang modern merupakan faktor yang
mendorong terjadinya hal itu.20
Berbeda dengan penghayatan hidup tanpa makna, mereka yang menghayati
hidup bermakna menunjukkan corak kepribadian penuh semangat dan bergairah
dalam menjalani kehidupannya. Pribadi yang hidupnya bermakna inilah yang
dianggap sebagai gambaran kepribadian ideal menurut Logoterapi. Makna hidup
adalah hal-hal yang dianggap sangat penting, berharga, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang, sehingga layak untuk dijadikan tujuan dalam kehidupan.
Jika hal ini berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang dapat merasakan
kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
19 Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 67 20 Ajit K Das (1998), Frankl and the Realm of Meaning, Journal of Humanistic Education and
Development. Falls Church: Jun 1998. Vol. 36, online: http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1372942081&sid=17&Fmt=3&clientId=83698&RQT=309&VName=PQD
18
Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri, dalam setiap keadaan
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, dalam kebahagiaan dan
penderitaan. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in sufferring) dan
“hikmah di balik musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam
penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Apabila hasrat ini
terpenuhi, maka seseorang akan mengalami atau merasakan kehidupan yang
berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya, jika hasrat ini tidak
terpenuhi, seseorang akan merasakan kehidupan yang tidak bermakna
(meaningles). Pengertian tentang makna hidup menunjukkan bahwa dalam hidup
terkandung pula tujuan hidup atau hal-hal yang perlu dicapai. Mengingat antara
makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka keduanya dapat
disamakan.21
Menurut Viktor Frankl, seorang pendiri Logoterapi, terdapat tiga bidang
kegiatan yang secara potensial dapat menjadi sumber makna hidup. Artinya
kegiatan itu mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang dapat
menemukan makna hidup di dalamnya. Ketiga hal tersebut adalah Creative Values
(nilai-nilai kreatif), Eksperiental Values (nilai-nilai penghayatan), dan Attitudinal
Values (nilai-nilai bersikap). Creative Values (nilai-nilai kreatif) meliputi kegiatan
berkarya seperti bekerja, menciptakan sesuatu, melaksanakan tugas, dan hal-hal
lain yang bermanfaat bagi umat manusia. Eksperiental Values (nilai-nilai
penghayatan) meliputi keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran,
kebajikan, keindahan, keimanan, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan
Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) meliputi sikap menerima terhadap sesuatu
(kejadian atau musibah) yang tidak dapat dielakkan lagi, dengan penuh ketabahan,
21 Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 92
19
kesabaran, dan keberanian. Kejadian itu bisa berupa sakit yang tidak kunjung
sembuh, kematian, dan sebagainya.
Terlepas dari definisi dan orientasi yang berbeda-beda di kalangan para
pemikir tersebut, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat tentang prinsip
kebahagiaan, yaitu:
1. Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan hidup setiap manusia di muka bumi
ini. Di tengah hiruk pikuk kegiatan manusia di dunia, ada “sesuatu” yang terus
di cari oleh manusia. Jika ia mendapatkan hal ini, maka ia akan seperti
mendapatkan seluruh isi dunia. Sebaliknya, jika manusia tidak memilikinya,
meskipun mungkin memiliki “segalanya”, maka ia seperti tidak memiliki apa-
apa. 22
2. Kebahagiaan adalah subyek primordial, bahkan perenial. Ia merupakan sifat
alamiah atau fitrah manusia. 23
3. Kebahagiaan lebih bersifat spiritual atau ruhaniah daripada material
(kebendaan). Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual, maka
segala tindakan dan aktifitas kehidupannya akan bermotivasikan atau berujung
pada hal-hal yang bersifat spiritual.24 Kebahagiaan merupakan pengalaman
eksistensial manusia.25
1. Kebahagiaan adalah keinginan manusia yang terakhir. Kebaikan (nilai)
lainnya dikejar demi meraih kebahagiaan.26 Kebahagiaan diraih tidak untuk
tujuan lainnya, kecuali kalau disebut istilah “ridlo Allah”.
22 Erbe Sentanu (2008), Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta : Elex Media Komputindo, hal. 23
23 Ibid 24 Priatno H. Martokoesoemo (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan, hal 36 25 Murtadha Muthahhari (2007). Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,
hal 102 26 Rakhmat (2008), Meraih……, hal.82
20
2. Kebahagiaan ada yang bersifat hakiki, ultimate, dan berjangka panjang (di
akhirat), serta ada pula yang bersifat praktis, periferal, dan berjangka
pendek (di dunia saja). Yang dicari manusia adalah kebahagiaan yang
hakiki, sejati, dan tak tergoyahkan. Yang dicari manusia bukan sekedar
kesenangan atau kenyamanan-kenyamanan hidup . 27
3. Kebahagiaan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai episode dan
sikap. Sebagai episode, kebahagiaan adalah kumpulan kejadian (keadaan)
yang memuaskan seseorang, sehingga ia ingin melanjutkan hidupnya.
Episode bahagia adalah kepuasan yang berasal dari apa dimiliki dan apa
yang dilakukan seseorang. Orang bahagia karena memiliki kendaraan,
rumah, uang (kekayaan material) atau hubungan baik, pengetahuan,
kehormatan (kekayaan non material). Orang juga akan merasa bahagia
karena bisa makan enak, menonton, berwisata (tindakan fisik) atau berpikir,
merenung, mengapresiasi keindahan alam (tindakan intelektual). Sebagai
sikap, kebahagiaan adalah makna rangkaian episode itu dari segi
keseluruhan hidup manusia. Jika kebahagiaan hanya dilihat dari beberapa
episode, tidak selalu tampak bahagia. Jika manusia dapat menilai seluruh
episode tersebut dari seluruh hidupnya dengan perasaan rela, maka ia akan
bahagia. 28
4. Kebahagiaan tidak mesti dicapai dengan menuruti segala keinginan yang
dimiliki manusia. Seseorang dapat saja berbahagia justru dengan
mengorbankan beberapa keinginan tertentu demi memilih keinginan yang
lain yang lebih penting. Misalnya, orang yang memiliki uang puluhan atau
ratusan juta akan berbahagia ketika ia mampu memilih untuk misalnya
27 Sentanu, Quantum Ikhlas…….hal 51 28 Rakhmat (2008), Meraih……, hal.93
21
tidak kawin lagi, tidak membeli mobil lagi, tidak berfoya-foya, tidak
membeli vila, dan sebagainya, tetapi ia lebih memilih untuk mengurus
anak-anak jalanan, anak yatim, dan sebagainya. Kata filosof, manusia
bergerak dari keinginan tahap pertama (first-order wants), menuju
keinginan yang mengatur (regulative wants), dan akhirnya sampai kepada
keinginan yang meliputi keseluruhan hidup (overall wants). 29
5. Kebahagiaan adalah kehidupan yang baik dan harus diraih seumur hidup.
Hidup seseorang tidak dapat dinilai bahagia atau tidak sampai ia meninggal
dunia (dalam bahasa Inggris: happy ending atau Arab: khusnul khotimah).
6. Kebahagiaan dapat dipahami secara obyektif dan subyektif. Secara
obyektif, pernyataan seseorang bahwa ia bahagia itu benar atau tidak dapat
diukur (dinilai) dengan sebuah standar. Standar ini dapat merujuk pada
aturan agama, sebagaimana dilakukan oleh Al-Ghazali dan Thomas
Aquinas, atau pada pembuktian yang menunjukkan bahwa pengakuan
kebahagiaan seseorang itu salah. Contohnya, si Jono memiliki uang banyak.
Ia banyak menghabiskan waktu untuk berpesta- pora (berfoya-foya). Ia
tidak pernah sakit dan mengaku sangat bahagia. Benarkah pernyataan si
Jono ini?. Menurut ukuran agama, Jono sesungguhnya tidak bahagia,
karena jika ia kemudian tidak segera menyadari kekeliruannya (bertobat)
dan mati, maka ia akan masuk neraka. Menurut ukuran rasional, ia juga
tidak bahagia, karena lama-kelamaan ia akan kehilangan hartanya,
kesehatannya, dan kesenangannya. Secara subyektif, ilmuwan dapat
mengukur kebahagiaan seseorang dengan cara menanyakan secara
29 Ibid., hal. 97
22
langsung kepada yang bersangkutan tentang perasaan-perasaannya, sedih
atau bahagia.30
7. Kebahagiaan adalah masalah proses. Artinya, upaya meraih kebahagiaan
adalah proses yang terus menerus untuk mengumpulkan semua kebaikan,
misalnya: kekayaan, kehormatan, kepandaian, kecantikan, persahabatan,
dan sebagainya, dalam rangka menyempurnakan fitrah kemanusiaan dan
memperkaya kehidupan.31
B. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Kebahagiaan
Studi mengenai konsep kebahagiaan telah banyak dilakukan melalui
berbagai perspektif. Masing-masing perspektif menyediakan berbagai penjelasan
yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri.
Perbedaan perspektif ini pada akhirnya akan memunculkan hasil yang berbeda pula
mengenai bagaimana kebahagiaan itu bisa dicapai. Para peneliti seringkali
menemukan kesulitan untuk merumuskan konsep mengenai kebahagiaan. Kata
”kebahagiaan” ini memiliki makna yang beragam. Seringkali makna dari
”kebahagiaan” (happiness) disamakan dengan ”baik” (the good) ataupun ”hidup
yang bagus” (the good life).
Namun demikian, beberapa peneliti mencoba untuk memaknai apa yang
sebenarnya dimaksud dengan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan konsep yang
luas, seperti emosi positif atau pengalaman yang menyenangkan, rendahnya mood
yang negatif, dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Seseorang dikatakan
memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup
mereka, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif.
Selain itu, kebahagiaan juga dapat timbul karena adanya keberhasilan individu
30 Ibid, hal 108 31 Ibid
23
dalam mencapai apa yang menjadi dambaannya, dapat mengolah kekuatan dan
keutamaan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat merasakan
sebuah keadaan yang menyenangkan.
Kebahagiaan paling tidak memiliki empat komponen utama, yaitu kepuasan
dalam hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya
perasaan yang positif, seperti mood dan emosi yang menyenangkan, dan ketiadaan
perasaan negatif, tidak mood, dan emosi yang tidak menyenangkan. Keempat
komponen utama ini, yaitu kepuasan hidup, kepuasan ranah kehidupan, perasaan
positif, dan tidak adanya perasaan negatif, memiliki korelasi antara satu dengan
yang lainnya. Namun, setiap komponen menyediakan informasi unik mengenai
kualitas subyektif kehidupan seseorang. Perasaan positif dan negatif termasuk ke
dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain kepuasan
termasuk kedalam komponen kognitif. Keempat komponen utama ini kemudian
dijelaskan ke dalam beberapa elemen khusus. Perasaan positif meliputi
kegembiraan, keriangaan hati, kesenangan, kebahagiaan hati, kebanggaan, dan
afeksi. Sedangkan perasaan negatif meliputi munculnya perasaan bersalah, malu,
kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri.
Kepuasan ini pun dikategorikan melalui kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup
pada masa lalu, dan kepuasan akan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan
muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya sendiri,
dan kelompoknya.32
Veenhoven mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseluruhan evaluasi
mengenai hidup termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu,
seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai
32 Rusdiyanti, Psikologi Positif……………….
24
ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat dicapai, dan sebagainya.
Selain itu, kebahagiaan juga dapat dikatakan sebagai pengalaman positif,
kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala tingkah laku manusia.
Kebahagiaan sendiri sering disamakan dengan istilah subjective well-being (SWB).
Istilah subjective well-being merupakan istilah ilmiah dari happiness
(kebahagiaan). Istilah ini lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan karena istilah
happiness telah diperdebatkan definisinya selama berabad-abad. Para ahli
mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan
berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk didalamnya mengenai kepuasan (baik
secara umum, maupun pada aspek spesifik), afeksi yang menyenangkan, dan
rendahnya tingkat afeksi yang tidak menyenangkan .
Hal tersebut akhirnya dijadikan sebagai komponenkomponen spesifik yang
dapat menentukan tingkat SWB seseorang. Komponen-komponen tersebut antara
lain: emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup
secara global, dan aspek-aspek kepuasan. Namun demikian ada pakar yang
memberikan kritik bahwa untuk menilai tingkat subjective well-being tidak cukup
dengan melihat masing-masing komponen. Dibutuhkan penilaian global mengenai
keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat perasaan, kepuasan
hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa kebanyakan orang dapat menilai dirinya sebagai orang yang bahagia atau
tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang lain sebagai
orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah istilah
mengenai kebahagiaan yang tidak sekedar menilai kebahagiaan seseorang dari
25
komponen-komponen subjective well-being. Para psikolog menyebutnya sebagai
subjective happiness. 33
Menurut Seligman, ada tiga cara yang dapat membuat orang bahagia,
yaitu: have a pleasant life, have a good life, dan have a meaningfull life.
Bagaimana caranya untuk dapat menimbulkan tiga hal tersebut dalam hidup setiap
manusia?. Psikologi positif mencari cara agar bagaimana manusia dapat hidup
dalam level-level atas rentang kebahagiaan, supaya terhindar dari berbagai macam
penyakit mental. Mencari sisi kekuatan dalam diri manusia untuk dapat
membackup kelemahan mereka. Di bawah ini adalah beberapa kajian dalam
psikologi positif secara global, sebagaimana ditulis oleh Rusdiyanti. 34
Pertama, gratitute. Aspek ini merupakan kemampuan untuk mensyukuri
hal-hal kecil yang diberikan Sang Pencipta. Sebagian orang lupa untuk melakukan
hal kecil seperti ini dan lebih banyak mengeluh jika menghadapi kenyataan yang
tidak sesuai dengan harapan atau rencana. Tidak jarang pula, manusia sering lupa
bersyukur jika sudah mendapat nikmat yang besar. Hal ini sesuai dengan
peringatan Allah dalam QS. Ibrahim: 7 berikut ini: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu”.
Kedua, forgiveness. Hal ini merupakan kemampuan untuk melepaskan
pikiran dan hati dari semua masa lalu yang menyakitkan atau semua perasaan
bersalah. Memaafkan tidak hanya berarti memaafkan orang telah berbuat salah,
tetapi memaafkan diri sendiri juga merupakan tindakan yang memerlukan
keberanian yang sangat besar agar tidak berorientasi pada masa lalu dan menata
masa depan. Fungsi dari memaafkan ini sebagai intropeksi bahwasanya tidak ada
33 Lihat Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com 34 Rusdiyanti, Psikologi Positif ………
26
yang sempurna. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, pernah disakiti dan
menyakiti. Manusia sering meminta kesabaran kepada Allah, namun doanya
dijawab oleh Allah dengan adanya sikap dan perlakuan orang lain yang tidak ia
sukai. Atas kejadian ini, ia harusnya dapat memahami apa maksud Allah dan
kemudian berusaha memaafkan, supaya perasaan benci tidak berkembang menjadi
dendam.
Ketiga,well being. Hal ini adalah kondisi dimana seorang individu memiliki
sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan
sendiri, dapat mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur
lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan
membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan
mengembangkan diri.
Huffington menawarkan empat elemen kesuksesan, yaitu: kesehatan
lahiriah-batiniah (well-being), ketakjuban (wonder), kearifan (wisdom), dan sikap
memberi (giving). Dalam ukuran baru ini, sukses harus berbanding lurus dengan
kebahagiaan. Sukses haruslah sebangun dengan kebermaknaan hidup. Jadi,
persoalan setiap manusia adalah bagaimana menemukan kebahagiaan hidup yang
sesungguhnya dengan mengisinya dengan hal-hal yang bermakna.35
Semua yang ditawarkan para pengusung Psikologi Positif di atas
sesungguhnya sebuah resep untuk setiap manusia agar dapat mengubah pola pikir
yang terlalu berfokus pada hal ektrinsik, misalnya harta, jabatan, popularitas dan
lain sebagainya, menuju pola pikir yang lebih berfokus pada diri sendiri
(intrinsik), misalnya terkait dengan tujuan, makna, prinsip, dan kebahagiaan hidup.
35 Yuswohady, Ibid.
27
Intinya, manusia diajak untuk lebih memfokuskan pada kebermaknaan dan
kebahagiaan hidupnya.
Di kalangan para pemikir dan peminat kajian Psikologi Islam sendiri
terdapat beberapa studi yang mencoba mengkaji masalah kebahagiaan dilihat dari
perspektif Islam, antara lain sebagi berikut.
Pertama, Imam al-Ghazali: Kimiyau as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).
Menurut al-Ghazali, manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan.
Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan
bagian dari Yang Kekal, manusia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan
membumi, ruhnya mulia dan bersifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, manusia dapat
menyucikan dirinya dari nafsu jasmani, mencapai tingkatan tertinggi, meraih sifat-
sifat malakut, dan tidak menjadi budak nafsu. Ia temukan surganya dalam
perenungan tentang keindahan abadi dan tidak lagi memperdulikan kenikmatan
badani. Kimia ruhani yang mampu menghasilkan perubahan seperti ini, layaknya
kimia yang mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Kitab ini
ditulis untuk menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya. Dalam
kitab ini al-Ghazali menawarkan beberapa cara untuk menggapai kebahagiaan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah berpaling dari
dunia untuk menghadap kepada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri atas empat
elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan
tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang akhirat sebagaimana
adanya.36
Kedua, Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir
Kebahagiaan (2010). Dalam kedua buku ini, penulis berusaha memotivasi para
36 Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, terj. Oleh: Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman, hal. 5
28
pembacanya untuk melihat kebahagiaan dalam berbagai perspektif, baik agama
(Islam), filsafat, maupun psikologis. Dalam karya yang pertama, penulis banyak
menyimpulkan pokok-pokok pemikiran Martin Seligman sebagai bapak Psikologi
Positif (Kebahagiaan). Dalam karya yang kedua, meskipun berjudul “tafsir”,
penulis tidak menyajikan secara lengkap dan komprehensif bagaimana al-Qur’an
memandang persoalan kebahagiaan. Ia hanya menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an)
mengajak umatnya untuk senantiasa memilih hidup berbahagia. Namun demikian,
kedua buku inilah yang telah menginspirasi penulis untuk melakukan kajian lebih
lanjut bagaimana sesungguhnya konsep psikologi kebahagiaan menurut al-
Qur’an.37
Ketiga, Anhar: Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran
Tasauf Hamka (2011). Dalam karya ini, Anhar banyak menyajikan pikiran Hamka
terkait dengan tema kebahagiaan secara sufistik. Ia menyimpulkan bahwa, menurut
Hamka, kebahagiaan sejati diperoleh dengan membersihkan, memurnikan, dan
mempertajam akal. Jika akal semakin sempurna, indah, dan murni, maka semakin
sempurna pula kebahagiaan yang diperoleh. Puncak tertinggi yang dialami akal
adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), yaitu mengenal Allah dengan “sempurna”.
Capaian seperti ini adalah capaian paling indah dan paling berseri. Tahap puncak
inilah yang dimaksud Hamka sebagai kebahagiaan sejati.38
Keempat, Muhammad Thohir: Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar
Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan
Lebih Bahagia. Buku ini mengajak pembaca bukan saja untuk tahu dan memahami
cara meraih kebahagiaan hakiki melalui jiwa yang sehat, tetapi juga membahas
37 Lihat Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir Kebahagiaan (2010) 38 Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka, On Line
https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/, diakses 10 januari 2016
29
hubungan ilmu kedokteran, psikologi, dan Islam sebagai sumber dari berbagai
ilmu. Selain itu, penulis buku ini berusaha menuntun pembaca untuk menapaki
kehidupan yang indah, bersyukur, dan menyadari bahwa Allah telah mengajarkan
cara menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.39
Kelima, M. Sambas Wiradisuria: The Road to Happiness: Menggapai
Kebahagiaan. Buku ini berisi renungan pribadi penulisnya dalam menjalani
kehidupan dan menggapai kebahagiaan. Menurut penulis, cara menggapai
kebahagiaan adalah dengan membaca al-Qur’an sebaik-baiknya, meresapinya
dalam hati, mempelajari maknanya, melaksanakannya dalam kehidupan nyata, dan
menyampaikannya kepada orang lain. Pendekatan ini semacam ini agaknya
memang jarang dipraktekkan oleh umat Islam dewasa ini. Umat Islam masih
cenderung dibudayakan dengan menikmati lagu dan suara pembaca al-Qur’an,
bukan pada bagaimana memahami inti pesannya dan melaksanakannya dalam
kehidupan. Hal lain yang diprihatinan penulis dalam buku ini adalah kentalnya
orientasi ibadah pada ketentuan fiqhiyyah dan kurangnya penekanan pada rasa
cinta dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang menjadi konsen
penulis dalam mengantarkan para pembaca agar dapat menemukan kebahagiaan
hidup, yaitu denga cara mendalami ajaran Islam untuk muhasabah, mensyukuri
anugerah, dan meraih ridla-Nya, terutama pada bab sayap-sayap ma’rifatullah.40
Keenam, ‘Aidh al-Qarni: La Tahzan: Jangan Bersedih. Buku ini
merupakan buku motivasi terlaris di Timur Tengah. Dengan dilatarbelakangi oleh
hadirnya buku-buku ala Chicken Soup di dunia Barat yang sekuler, buku ini
membawa perspektif berbeda yang mengambil insiprasi sumber-sumber keislaman
39 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati, hal. 18-19
40 M. Sambas Wiradisuria (2011). The Road to Happiness: Menggapai Kebahagiaan. Depok: Khazanah Mimbar Plus. Hal. xxvii
30
dalam mengkaji masalah-masalah psikologis-aktual yang dihadapai manusia di
jaman modern ini dan menawarkan pendekatan psiko-spiritual dalam membantu
mereka menemukan kebahagiaan. Dengan bahasa yang mengalir dan lugas, penulis
buku ini seakan-akan keluar dari pakem buku-buku Arab-Klasik meskipun
membahas tema yang sama. Dengan mengutip syair- syair Arab dan kata-kata bijak
para ulama terkenal, buku ini menjadi oase baru dalam mewarnai tulisan-tulisan
yang bergenre self help islami.41
Dengan melihat berbagai karya di atas, penulis termotivasi untuk ikut
berpartisipasi dalam diskursus ini dengan melakukan kajian psikologi kebahagiaan
dalam perspektif al-Qur’an. Melalui upaya ilmiah ini penulis berharap dapat
mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji oleh para pengusung psikologi
positif (kebahagiaan), yaitu dalam dimensi normatif-religius, serta
mengembangkan lebih dalam dan komprehensif terhadap apa yang telah diinisiasi
oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Meraih Kebahagiaan” dan “Tafsir
Kebahagiaan”.
41Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press, hal vii.
31
BAB III MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN
A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an
Di dalam Kamus al-Munawwir ditemukan beberapa istilah Bahasa Arab
terkait dengan tema kebahagiaan. Di antaranya adalah kata فرحا - فرح, yang berarti
bahagia, senang, gembira, riang, girang, dan suka cita; مبسوط , yang berarti bahagia
dan senang; سعد - یسعد , yang berarti bahagia atau beruntung; سعید , yang bahagia,
diberkati, atau beruntung; yang berarti , فالح ,yang berarti berbahagialah ,طوبى ل
sukses, kemakmuran, kemenangan, dan kejayaan; dan افلح , yang berarti sukses,
berhasil, atau beruntung.P41F
42
Di dalam al-Qur’an sendiri, istilah dan makna kebahagiaan di antaranya
dapat ditangkap dari berbagai bentuk kata (kalimat) berikut ini: 43
:yaitu terdapat dalam QS. as-Syams: 9, al-A’la ,(sungguh berbahagia) قد افلح .1
14, Thaha: 64, dan al-Mu’minun: 1.
-yaitu terdapat dalam QS. al ,(orang-orang yang berbahagia/beruntung) مفلحون .2
Baqarah: 5, 189; ali Imran: 104, 130, 200; al-Maidah: 35, 90, 100; al-An’am:
21,135; al-A’raf: 8, 69,157; al-Anfaal: 45; at-Taubah: 88; Yunus: 17,69,77,23;
an-Nahl: 116; al Kahfi:20; Thaha: 69; al-Hajj: 77, al-Mu’minun: 102, 117; an-
Nur: 31, 51; al-Qashash: 67,82; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22;
al-Hasyr:9; al-Jum’ah: 10; dan at-Taghabun: 16.
yaitu terdapat dalam QS. Ar-Ra’du: 29 ,(berbahagia) طوبى .3
42 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5
43 Diringkas dari al-Wasi’ Ensiklopedi al-Qur’an ver. 1.0.0 dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5
32
.yaitu terdapat dalam QS. an-Nahl: 97 ,(kehidupan yang baik) حیاة طیبة .4
.yaitu terdapat dalam QS. Huud: 105, 108 ,(yang berbahagia) سعید ,سعدوا .5
:yaitu terdapat dalam QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du ,(kebaikan, yang baik) حسنة .6
6,22; an-Nahl: 30,41,122,125; an-Naml: 46,89; al-Qashash: 54, 84; al-Ahzab:
21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan al-Mumtahanah: 4,6.
فرح .7 (senang), yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am:
44; at-Taubah: 50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-
Mu’minun: 53; an-Naml: 36; al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir:
75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al-Hadiid: 23.
-yaitu terdapat dalam QS. al-A’raf: 96; Huud: 48, 73; an ,(keberkahan) بركة .8
Nahl: 127; dan adz-Dzariyaat: 39.
,yaitu terdapat dalam QS. al-Maidah: 16; al-An’am: 125 ,(keselamatan) سالم .9
127; al-A’raf: 46; at-Taubah: 74; Yunus:10, 25; Huud: 48,69; ar-Ra’du: 24;
Ibrahim: 23; Al-Hijr: 46, 52; an-Nahl: 32, Maryam: 33,47,62; Thaha: 47; al-
Anbiyaa: 69; al-Furqaan: 63,75; an-Naml: 59; al-Qashash: 55; al-Ahzab: 44;
Yaasiin: 58; as-Shaffat: 79, 109, 120, 130; az-Zumar: 22, 73; az-Zuhruf: 89;
al-Hujuurat: 17; Qaaf: 34; adz-Dzaariyyat: 25; al-Waaqi’ah: 91; al-Hasyr: 23;
as-Shaff: 7; dan al-Qadr: 5.
yaitu terdapat dalam QS. al-Baqarah; 248 ,(ketenangan/ketenteraman) سكینة .10
dan al-Fath: 4, 18.
;yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113 ,(yang tenang) مطمئنة .11
al-Anfaal: 10; ar-Ra’du: 28; an-Nahl: 112; dan al-Fajr: 27.
:yaitu terdapat dalam QS. Al-An’am: 125; an-Nahl: 106; Thaha ,(lapang) شرح .12
25; az-Zumar: 22, dan asy-Syarh: 1.
33
:yaitu terdapat dalam QS. an-Nisa: 13, 73; al-Maidah ,(keberuntungan) فوز .13
119; al-An’am: 16; at-Taubah: 72, 89, 100, 111; Yunus: 64; al-Ahzab: 71, ash-
Shaffat: 60; al-Ghaafir: 9; ad-Dukhan: 57; al-Fath: 5; al-Hadid: 12, ash-Shaff:
12; at-Taghabun: 9, dan al-Buruj: 11.
Di luar kata-kata di atas, makna bahagia dapat dipahami secara harfiah dari
kata al-insan (manusia) itu sendiri yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali..
Menurut Quraish Shihab, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Alaq: 3, 5 dan QS.
al-‘Ashr: 2, kata al-insan berasal dari akar kata yang berarti “jinak”, “harmonis”,
“gerak/dinamis“, “lupa”, dan “merasa bahagia/senang”. Ketiga arti ini
menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia: ia bergerak dan
dinamis, memiliki sifat lupa dan dapat melupakan kesalahan-kesalahan orang lain,
atau merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya, bahkan idealnya
selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-
makhluk lainnya. 44 Hal ini juga berarti bahwa manusia berpotensi untuk selalu
merasa senang, bahagia, dan membahagiakan orang lain. Itulah misi hidup manusia
di muka bumi ini.
B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an
1. Kehidupan yang baik ( حیاة طیبة )
Makna ini dapat dilihat dalam dua ayat berikut ini:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS. an-Nahl: 97).
44 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, hal. 87 dan 475
34
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra: 70). “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS. ar-Ra’du, 13: 29).
Dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab menjelaskan bahwa ungkapan
“kehidupan yang baik” di atas mengisyaratkan bahwa seseorang dapat
memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang berbeda dengan
kebanyakan orang. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kehidupan
yang baik itu bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi ia
adalah kehidupan yg diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam
menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, orang
yang memiliki kehidupan yang baik tidak merasakan takut yang mencekam
atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa
pilihan Allah adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran
yang menanti. Seorang yang durhaka, meskipun kaya, dia tidak akan pernah
merasa puas, selalu ingin menambah kekayaannya, sehingga selalu merasa
miskin dan diliputi kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan
lingkungannya. Dia tidak menikmati kehidupan yang baik. Kehidupan yg
baik juga dapat dipahami sebagai kehidupan di surga kelak, alam barzakh,
atau kehidupan yg diwarnai oleh qona’ah, yaitu rasa puas atas sesuatu (rizki)
yang halal.45
Dalam Tafsir al-Azhar, HAMKA menyatakan bahwa kehidupan yang baik
adalah anugerah Allah yang dijanjikan kepada orang yang beriman dan
45 M. Quraish Shihab (2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati ,Vol 7
35
beramal shalih di dunia ini. Ibnu Katsir mengartikan kehidupan yang baik
dengan ketenteraman jiwa, meskipun banyak menghadapi gangguan. Bagi
Ibnu Abbas, kehidupan yang baik adalah mendapatkan rizki yang halal lagi
baik dalam hidup di dunia ini. Menurut Ali bin Abi Thalib, kehidupan yang
baik adalah rasa tenang dan sabar menimpa berapapun dan apapun yang
diberikan Allah, dan tidak merasa gelisah. Sementara, Ali bin Abi Thalhah
dan Ibnu Abbas memaknai kehidupan yang baik dengan as-sa’adah atau rasa
bahagia. Satu riwayat dari ad-Dahhaak menyatakan bahwa kehidupan yang
baik ialah rizki yang halal, kelezatan dan kepuasan beribadah kepada Allah
dalam hidup, dan lapang dada. Menurut Ja’far as-Shadiq, kehidupan yang
baik adalah tumbuhnya ma’rifah atau pengenalan terhadap Allah di dalam
Jiwa. 46
Selanjutnya, HAMKA juga meriwayatkan bahwa menurut al-
Mahayami, kehidupan yang baik adalah ketika seorang mukmin merasa
berbahagia dengan amalnya di dunia ini, lebih daripada kesenangan orang
yang berharta dan berpangkat dengan harta dan pangkatnya, dan kebahagiaan
perasaannya itu tidak ditumbangkan oleh kesulitan hidupnya. Hal itu terjadi
karena yang bersangkutan merasa ridho menerima pembagian yang diberikan
Allah kepadanya, sehingga harta benda tidak terlalu dipentingkannya.
Sebaliknya, orang kafir, meskipun banyak harta, dia tidak pernah merasa
bahagia, malah tambah rakus dan takut bila hartanya akan habis. Sementara
itu, orang yang diberikan kehidupan yang baik di dunia ini akan juga diberi
46 Lihat Prof. Dr. HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar Jilid 5. Singapura: Pustaka Nasional.
36
ganjaran yang lebih baik di akhirat. Menurut al-Qasimi, kehidupan yang baik
adalah rasa sejuk (tenteram) dalam dada karena puas dan yakin, merasakan
manisnya iman, ingin menemui apa yang telah dijanjikan Allah dan ridha
menerima ketentuan (qadha) dari Tuhan. Selanjutnya, jiwanya dapat
melepaskan diri dari apa yang telah memperbudaknya selama ini, merasa
tenteram dengan satu Tuhan yang disembah, serta mengambil cahaya (nur)
dari rahasia wujud yang berdiri padanya, dan lain-lain kelebihan yang telah
ditentukan pada tempatnya masing-masing. Itulah kehidupan yang baik di
dunia, adapun kehidupan keakhirat akan lebih baik dan sempurna
ganjarannya.47
Kata HAMKA, semua penafsiran di atas tidak berlawanan, tetapi
saling melengkapi, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:
قد افلح من ھدي لالسالم وكان عیشھ كفافا وقنع بھ
“Sungguh bahagia orang yang telah ditunjukkan kepada Islam (menjdai muslim), mendapat rezeki sekedar cukup, dan menerima dengan senang apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Umar).
Intinya, kata Hamka, sesunggnya segala amal saleh yang dikerjakan
oleh manusia yang bersumber dari rasa iman tidaklah sepadan dengan pahala
dan ganjaran yang akan kita terima di akhirat kelak. Sesungguhnya, amal
yang dikerjakan manusia sangatlah sedikit, tetapi ganjaran yang ia terima
berlipat ganda. Umur manusia terbatas, sementara balasan terhadap amal
manusia tidak pernah habis dan selalu kekal.48
47 Ibid, 48 Ibid.
37
Itulah makna kebahagiaan dalam arti kehidupan yang baik yang merupakan
naluri spiritual yang khas manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Isra:
70. Artinya, pada dasarnya bahagia adalah fitrah bagi manusia. Bahagia sudah
seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut fitrahnya, manusia
diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk
yang paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya.
Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis
tentang manusia sempurna dalam bukunya, The Knowing Heart: A Sufi Path of
Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah refleksi dari
sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asma’ul
Husna). Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan
hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian
kebahagiaan yang sesungguhnya.49
2. Kebaikan ( حسنة )
Kebahagiaan dalam arti kebaikan atau yang baik ( dapat dipahami ( حسنة
dari QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du: 6,22; an-Nahl: 30,41,122; an-Naml: 46,89; al-
Qashash: 54, 84; al-Ahzab: 21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan
al-Mumtahanah: 4,6. Sebagai sampel, berikut ini adalah redaksi dari ayat yang
mengandung kata kebaikan ( حسنة ):
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dianiaya, pasti Kami akan menempatkan mereka di dunia pada tempat yang baik dan pasti pahala akhirat besar, jika mereka mengetahui. Mereka adalah orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal”(QS. an-Nahl: 41-42)
49 Erbe Sentanu, (2008). Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex Media Komputindo. hal. 26
38
Menurut Quraish Shihab, kata حسنة pada ayat di atas menyifati sesuatu yang
tidak disebut, yaitu tempat atau situasi. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami maksud dari kata ini. Ada yang berpendapat bahwa kata ini bermakna
Kota Madinah, ada pula yang memahaminya dalam arti rejeki, kemenangan, atau
nama harum lainnya. Makna-makna ini sebenarnya dapat digabung. Fakta sejarah
membuktikan bahwa tidak lama setelah Nabi Saw. dan para sahabat beliau
berhijrah ke Madinah, tercipta di sana suatu masyarakat islami yang aman,
sejahtera, dan dapat meraih kemenangan menghadapi lawan-lawan mereka.
Dengan berhijrah ke Madinah, lahirlah masyarakat Madani dan peradaban baru
yang mengubah wajah kemanusiaan.P49F
50
Selanjutnya, masih dalam surat yang sama Allah berfirman: “Dan kami
beri dia di dunia ini kebaikan, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-
orang yang shaleh” (QS an-Nahl: 122). HAMKA menjelaskan tentang kandungan
ayat ini dengan melihat anugerah (kebahagiaan) yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim
AS. Maksudnya adalah bahwa kebaikan dunia yang telah nyata diterima oleh
beliau adalah ketika beliau nyaris tidak mengharapkan lagi akan mendapatkan
keturunan (putera), karena usianya yang telah menua, maka kemudian beliau
memiliki putera (Ismail) pada usia 86 tahun. Kemudian pada usia 100 tahun beliau
memiliki anak kedua (Ishaq) dari isteri beliau yang diduga mandul, yaitu Sarah.
Kedua putera inilah yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar. Selain itu,
HAMKA melihat dari rizki yang diperoleh Ibrahim yang berlipat ganda di hari
tuanya. Sudah menjadi hal yang lumrah (umum) bahwa keturunan dan harta benda
adalah lambang kebaikan dunia dan kemegahannya. Sungguh sebuah keniscayaan,
jika orang yang telah berjuang demi Allah, sebagaimana Ibrahim yang telah
50 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Surat an-Nahl……hal. 232-233
39
mendapat gelar “Khalilullah”, akan mendapatkan tempat yang layak pula di
akhirat, bersama orang-orang shalih lain, yaitu para Nabi, Rasul, dan para
pengikutnya yang setia.51
Kata hasanah, yang berarti kebaikan dapat ditemukan pula dalam QS. ar-
Ra’du: 6 sebagai berikut:
“Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan (yang luas) bagi manusia sealipun mereka dzalim, dan sesunggunya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya.
Al-Maraghi menjelaskan makna hasanah dalam ayat di atas sebagai
balasan bagi orang yang beriman, yaitu berupa kemenangan dan keberuntungan di
dunia serta pahala di akhirat. Dalam konteks ayat di atas, kata hasanah ( (حسنة
merupakan lawan dari kata sayyiah ( yang berarti azab yang diancamkan (سیئة
kepada orang-orang kafir. Janji ini sesungguhnya telah disampaikan oleh Nabi
Saw. kepada kaum kafir agar mereka mau beriman, tetapi yang terjadi adalah
justru mereka minta (menantang) kepada Nabi untuk disegerakan azab buat
mereka. P51F
52
Sementara, dalam menjelaskan makna hasanah (kebaikan) dalam QS. at-
Taubah ayat 50, al-Maraghi mengartikannya sebagai sesuatu yang apabila tercapai
akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, kemenangan, dan
sebagainya. Intinya, kata al-Maraghi, kebaikan adalah segala hal yang membuat
manusia gembira, seperti kemenangan dan rampasan perang yang didapatkan oleh
umat Islam waktu Perang Badar. Hasanah dalam ayat ini dapat dipahami secara
51 HAMKA, Tafsir Al-Azhar….hal. 3984-3985 52 Ahmad Mustafa al-Maraghi (1994) Tafsir al-Maraghi , Semarang: Toha Putra, hal. 127
40
berpasangan dengan mushibah yang dapat diartikan sebagai kesusahan, kekalahan,
atau tercerai-berainya tentara umat Islam waktu Perang Uhud.53
Berangkat dari berbagai penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
makna hasanah adalah segala kebaikan yang menimbulkan rasa bahagia, yang
didapatkan manusia di dunia; berupa kemenangan, rizki, kejayaan, kesuksesan,
anak, harta benda, dan sebagainya, dan di akhirat sebagai balasan yang lebih kekal
yang sifatnya lebih ruhani. Kebaikan dunia dan akhirat inilah yang akan
didapatkan bagi orang-orang yang beriman dan berjuang di jalan Allah.
3. Bahagia atau beruntung ( فالح , سعادة , dan فوز )
Makna سعادة dapat disimpulkan dari redaksi kalimat yang terdapat dalam
dua ayat berikut ini:
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan dengan seijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia” (QS. Huud: 105) “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surge mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan-Mu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya” (QS. Huud: 108)
Istilah kebahagiaan ( dalam dua ayat di atas dapat dipahami (سعادة
dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata celaka (sengsara).
Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya,
kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam
antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan
kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara. Manusia akan selalu
berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan,
termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis. Tangisan adalah tanda
53 Ibid, hal. 227
41
kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti
kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan. Orang yang bahagia biasanya
menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya,
orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh
tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tahu jalan
hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah,
atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil. Orang yang
bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang
menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam
jiwanya tertanam akidah yang kuat, dan sadar bahwa segala sesuatu telah
diatur oleh Allah Swt. Orang bahagia adalah orang yang merasa aman,
tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani kehidupan, sebagaimana firman
Allah di bawah ini: 54
“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Sementara itu, makna kebahagiaan dalam arti فالح didapatkan dari beberapa
ayat dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut:
a. Dalam bentuk redaksi …. sebagaimana ,(…sungguh berbahagia) قد افلح
terdapat dalam: QS. as-Syams: 9, al-A’la: 14, Thaha: 64, dan al-
Mu’minun: 1,
b. Dalam bentuk redaksi ھم المفلحون atau من المفلحین (….merekalah orang-
orang yang berbahagia), sebagaimana terdapat dalam: QS. al-Baqarah:
5, Ali ‘Imran: 104; al-A’raf: 8, 157; at-Taubah: 88; al-Hajj: 77; an-Nuur:
54 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj. Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 171-181
42
51; al-Qashash: 67; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22; al-
Hasyr: 9; dan at-Taghabun: 16.
c. Dalam bentuk redaksi لعلكم تفلحون….. (….agar kalian berbahagia)
sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 189; Ali Imran: 130, 200;
al-Maidah: 35, 90, 100; al-A’raf: 69, al-Anfaal: 45, an-Nur: 31; al-
Jum’ah: 10.
d. Dalam bentuk redaksi tidak) .…الیفلحون atau لن تفلحون ,ال یفلح ...
berbahagia….), sebagaimana terdapat dalam QS. al-An’am: 21, 135;
Yunus: 17, 69, 77; an-Nahl: 116; al Kahfi: 20; Thaha: 69; al-Mu’minun:
117; al-Qashash: 82
Menurut Quraish Shihab, kata aflaha terambil dari kata falah yang
diartikan sebagai ”memperoleh yang dikehendaki”. Kata ini sering
diterjemahkan dengan “beruntung”, “berbahagia”, memperoleh kemenangan,
dan sejenisnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kata aflaha ditemukan
dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS.Thaha: 64,
yang merupakan ucapan Fir’aun ketika akan terjadi pertandingan sihir antara
Nabi Musa dan ahli-ahli sihirnya: 55
“Pasti memperoleh keberuntungan (kebahagiaan) siapa yg hari ini
lebih tinggi sihirnya” (QS. Thaha: 64).
Selain itu, lanjut Quraish, kata aflaha merupakan penegasan Allah
Swt. yang ditemukan pada surat al-a’la ayat 14, as-Syams ayat 9, dan al-
mu’minun ayat 1. Dalam al-Mu’minun ayat 1-9, dikemukakan sifat-sifat
orang-orang mukmin yang akan meraih al-falah (kemenangan). Sifat-sifat
tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman)
55 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim…… hal. 430
43
yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka),
sebagaimana ada di QS. Al-A’la. Upaya-upaya itu meliputi khusyu dalam
shalat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, menjaga
kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan
memelihara waktu shalat. Dalam QS. Al-a’raf 157 ditegaskan pula bahwa
orang-orang yang beriman kepada Nabi Saw., memuliakan, dan membela
beliau, termasuk orang-orang yang beruntung. Selain itu ditegaskan pula
dalam QS. Al-Qashahsh 67: “Adapun orang-orang yang bertaubat dan
beriman, serta mengerjakan amal saleh, maka semoga dia termasuk yang
beruntung”. Jadi, mengamalkan sifat (pekerjaan) di atas akan mengantarkan
seseorang memperoleh keberuntungan sekaligus menjadikan jiwanya suci dan
bersih. 56
Di sisi lain, ditemukan pula lima sifat atau perbuatan yang secara
tegas dinyatakan Qur’an sebagai faktor yang tidak akan membawa
keberuntungan (kebahagiaan), yaitu: penganiayaan (QS. 6: 21), kriminalitas
(QS. 10: 17), sihir (QS. 10: 77), kekufuran (QS. 23: 117), dan kebohongan
dengan mengatasnamakan Allah (QS. 10: 69). Penegasan al-Qur’an yang
berbicara tentang orang yang memperoleh keberuntungan cenderung dituntut
untuk melakukan sifat (pekerjaan) yang tidak ringan. Maka, sangat tidak
tepat jika tazakka dalam QS. Al-A’la 14-15 ditasirkan dengan sekedar zakat
fitrah dan Shalat ‘Id sebagaimana dipahami oleh sebagian mufassir. 57
Makna kebahagiaan dalam arti فوز (keberuntungan) di antaranya dapat
digali dari ayat berikut ini: “Sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu
adalah keberuntungan yang besar “ (QS. ad-Dukhaan: 57). Ayat ini adalah sebuah
56 Ibid, hal. 431 57 Ibid
44
rangkaian dari ayat-ayat sebelumnya yang menggambarkan keberuntungan besar
orang bertaqwa di akhirat yang selamat dari azab Allah dan banyak mendapat
kenikmatan di surga. Kenikmatan itu misalnya berupa tinggal di taman-taman dan
mata air, mengenakan pakaian dari sutera yang halus, dan duduk saling berhadapan
di tempat mereka sambil bergembira. Mereka juga dikawinkan dengan bidadari
yang bermata jeli, sehingga semakin lengkaplah kenikmatan tersebut. Mereka di
surga juga memiliki istana dan dapat meminta apapun yang mereka inginkan. Di
dalam surga mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman dan
kenikmatan itu tidak akan ada habisnya, karena tidak ada kematian di akhirat,
sebab mereka telah merasakan kematian di dunia. Itu adalah merupakan kebalikan
dari keyakinan orang musyrikin yang mengatakan bahwa “tidak ada kematian
selain kematian di dunia ini dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. Mereka
lupa bahwa di belakang kematian dunia ada surga dan neraka.58
Dengan melihat berbagai penafsiran di atas, maka makna kebahagiaan
dalam arti falah, sa’adah, dan fauz lebih bersifat umum, meliputi
kesenangan, kegembiraan, dan keberuntungan yang didapatkan oleh orang-
orang yang beriman, bertaqwa, beramal saleh, serta mengikuti petunjuk Allah
dengan cara mengikuti para rasul-Nya. Kebahagiaan ini berdimensi fisik,
psikis, dan spiritual, baik di dunia maupun di akhirat.
4. Ketenangan ( سكینة ) dan ketenteraman ( طمئننة )
Kebahagiaan dalam arti ketenteraman dan ketenangan dapat digali dari dua
lafadz di atas sebagaimana tersebar dalam ayat-ayat al-Qur’an. Lafadz سكینة
terdapat dalam QS. al-Baqarah; 248; at-Taubah: 26, 40; al-Fath: 4,5,18, dan 26,
sementara lafadz طمئننة terdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113; al-
58 Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani. hal. 281
45
Anfaal: 10; ar-Ra’du: 28; an-Nahl: 112; dan al-Fajr: 27. Dalam ayat-ayat ini
digambarkan kondisi jiwa yang tenang (tenteram).
Dua istilah di atas, yaitu ketenangan (sakinah) dan ketenteraman
(thuma’ninah), sering dipertukarkan penggunaannya. Akan tetapi, menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, dua istilah ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
a. Sakinah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai
dengan hilangnya rasa takut, sedangkan thuma’ninah merupakan
pengaruh yang timbul dari adanya sakinah. Ringkasnya, thuma’ninah
merupakan puncak dari sakinah.
b. Keberuntungan yang diperoleh karena sakinah seperti seseorang yang
berhadapan musuh. Artinya, ketika musuhnya sudah lari, maka hati yang
bersangkutan menjadi tenang. Sedangkan thuma’ninah seperti orang
yang masuk ke dalam benteng yang pintunya terbuka, sehingga dia
merasa aman dari musuh.
c. Thuma’ninah sifatnya lebih umum, karena ditunjang oleh ilmu,
pemberitaannya, keyakinan, dan dan keberuntungan. Sebagai contoh
misalnya, hati menjadi thuma’ninah karena bacaan al-Qur’an. Hal ini
terjadi karena ada rasa iman kepa al-Qur’an, mengetahuinya, dan
mendapat petunjuknya. Sementara, sakinah merupaka keteguhan hati
yang dapat mengusir rasa takut dan hilangnya kecemasan, seperti
keadaan pasukan Allah yang dapat membunuh musuh.59
Secara sufistik, sakinah (ketenangan) termasuk tempat persinggahan
pemberian dan bukan pencarian atau usaha. Artinya, sakinah adalah ketenangan
yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika mengalami keguncangan
59 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (2006). Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. Terj. Oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, hal. 345
46
dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu, dia tidak lagi
merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah
keyakinan, keimanan, dan keteguhan hatinya. Hal ini dapat dipahami saat Allah
mengabarkan ketenangan yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan kepada
orang-orang mukmin (para sahabat) ketika mereka mengalami kecemasan dan
kegelisahan, seperti saat hijrah, yaitu ketika beliau dan Abu Bakar bersembunyi di
dalam gua, sementara musuh ada di atas kepala. Apabila di antara mereka berdua
ada yang melihat ke bawah, tentu para musuh akan melihat mereka. Begitu pula
pada saat perang Hunain, karena pasukan muslim melarikan diri akibat
mendapatkan serangan musuh. Sebagian di antara mereka tidak memperdulikan
nasib sebagian yang lain. Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati
mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang
memaksakan syarat-syarat perjanjian yang harus diterima kaum muslimin.60
Menurut Sayyid Quthb, ketika menafsirkan QS al-Fath: 5, sakinah
merupakan istilah yang mengungkapkan, menggambarkan, dan menaungi. Apabila
sakinah diturunkan Allah ke dalam hati manusia, terjadilah ketenteraman,
ketenangan, keyakinan, kepercayaan, kekokohan, keteguhan, kepasrahan, dan
keridhoan. Dalam pembukaan surat ini Allah menurunkan berita kebahagiaan
untuk Rasulullah, yaitu berupa kemenangan yang nyata, ampunan yang
menyeluruh kenkmatan yang sempurna, hidayah yang kokoh, dan pertolongan
yang kuat. Akan tetapi, dalam ayat kelima ini Allah selanjutnya juga menjelaskan
nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kaum mukminin berupa kemenangan,
60 Ibid. hal. 341
47
sentuhan ketenteraman dalam hati mereka, dan nikmat lainnya yang tersimpan
untuk mereka di akhirat.61
Menurut Ibnu Taimiyyah, sakinah dapat dibedakan dalam tiga derajat.
Derajat pertama, yaitu sakinah kekhusyu’an saat melaksanakan pengabdian,
berupa memenuhi hak, mengagungkan, dan menghadirkan hati di hadapan Allah. 62
Sakinah model ini berarti ketenangan, kewibawaan, dan kekhusyu’an yang
diperoleh pelakunya karena berbuat kebajikan. Allah berfirman:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka)?” (QS. al-Hadid: 16)
Karena iman mengharuskan munculnya kekhusyu’an atau mengajak kepada
kekhusyu’an, maka Allah menyeru orang-orang yang beriman dari kedudukan
iman kepada kebajikan. Dengan kata lain, Allah berfirman: “Belumkah tiba
saatnya bagi mereka untuk mencapai kebajikan dengan iman?” Untuk
mewujudkannya hal ini orang yang beriman memerlukan kekhusu’an saat mereka
mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud memenuhi
hak dalam derajat ini adalah memenuhi hak pengabdian kepada Allah Swt., yaitu
saat seseorang memiliki rasa pengagungan dan hadirnya hati saat menyaksikan
Allah yang disembah, seakan-akan ia dapat melihat-Nya.
Derajat yang kedua, yaitu sakinah saat bermuamalah, dengan menghisab
diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah. Derajat inilah
yang biasa dimiliki oleh para sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam
bermuamalah dengan Allah dan makhluk, yang diperoleh dengan tiga hal, yaitu
menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah.
61 Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an…..hal. 385 62 Sebagaimana disarikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibid.
48
Menghisab diri adalah senantiasa menghitung diri dan bertanya terhadap diri
sendiri tentang kekurangan setiap amal yang dilakukannya di hadapan Allah,
sebagai bahan perbaikan. Lemah lembut terhadap makhluk adalah tidak
memperlakukan mereka, khususnya manusia, dengan kaku dan keras, karena hal
ini akan membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan hubungan dengan
Allah, dan membuang waktu. Sebaliknya, seorang mukmin yang memiliki sakinah
akan dapat berinteraksi dengan manusia secara lemah lembut.
Derajat sakinah yang ketiga adalah sakinah yang menguatkan keridhaan
terhadap bagian dirinya, mencegah dari omong kosong dan menempatkan orang
yang memilikinya pada batasan ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam
hati para nabi, wali, dan orang yang terpilih dari hamba-hamba Allah. Orang yang
memiliki sakinah jenis ini merasa ridha kepada bagian dirinya dan tidak menoleh
ke bagian orang lain. Orang yang memiliki sakinah tidak akan berkata bohong,
karena dusta hanya muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Ini adalah
anugerah yang paling agung yang dikaruniakan Allah hanya kepada para Rasul dan
orang-orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.63
Tentang thuma’ninah, dengan merujuk pada QS. al-Fajr: 27-30, Ibnu
Qayyim mengartikannya sebagai ketenteraman hati terhadap sesuatu, tidak cemas
dan gelisah. Di dalam atsar disebutkan bahwa “Kejujuran merupakan ketenteraman
dan kebohongan merupakan kebimbangan”. Allah menjadikan thuma’ninah di
dalam hati orang-orang beriman dan di dalam jiwa mereka, kemudian memberikan
kabar gembira, bahwa yang masuk sorga adalah orang-orang yang memiliki jiwa
yang tenteram (thuma’ninah). Ayat yang berbunyi: “Hai jiwa yang tenteram,
kembalilah kepada Tuhanmu”, merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali
63 Ibid, hal 343-344
49
kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma’ninah. Orang yang beriman
dianjurkan untuk membaca do’a ulama salaf, sebagai berikut: “Ya Allah
anugerahkanlah kepadaku jiwa yang thuma’ninah kepada-Mu”.
Sebagaimana sakinah, thuma’ninah oleh Ibnu Qayyim dibedakan menjadi
tiga tingkatan, yaitu: 64
a. Thuma’ninah hati karena menyebut asma Allah Swt. Ini merupakan
thuma’ninah-nya orang yang takut yang beralih ke harapan, dari
kegelisahan ke hokum, dan dari cobaan ke pahala. Sifat thuma’ninah
jenis ini bisa dipahami dari rasa tenang yang muncul karena menyebut
nama Allah dan membaca kitab-Nya dan rasa tenteram yang dimiliki
oleh hati seorang hamba yang merasa takut akan siksa-Nya, kemudian
beralih ke rasa harap akan kasih sayang-Nya. Demikian halnya dengan
rasa tenteram seseorang karena mengikuti hukum-hukum agama yaitu
dengan mengikuti jalan yang lurus serta huku takdir, di mana Allah telah
berkehendak akan seperti apa dan bagaimana nasib seorang hamba
dengan takdir dan kekuasaan-Nya, atau rasa tenteram seorang hamba
yang awalnya gelisah karena mendapat berbagai cobaan dari Allah,
tetapi kemudian menjadi tenang karena yakin akan pahala atau pengganti
yang dijanjikan oleh Allah Swt.
b. Thuma’ninah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat
merindukan janji, dan saat berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh
menjadi thuma’ninah jika melihat tujuannya dan tidak ingin menengok
ke belakang. Ruh akan merindukan apa yang dijanjikan kepadanya. Ia
menjadi tenang dan tenteram karena yakin akan mendapatkan apa yang
64 Lihat Ibnu Qayyaim, Madarijussalikin….. hal. 345-346
50
dijanjikan kepadanya. Ruh juga menjadi thuma’ninah jika ia berpisah
denga hal-hal yang menjadi kebiasaannya, seperti orang yang lapar lalu
mendapatkan makanan, yang membuatnya menjadi tenteram.
c. Thuma’ninah karena menyaksikan kasih sayang Allah, kebersamaan
menuju kekekalan, dan kedudukan menuju cahaya azali. Derajat ini
terkait dengan kefanaan dan kekekalan yang akan dialami oleh Ruh.
Orang yang sampai kepada kesaksian kebersamaan dengan Allah akan
merasa tenteram karena kasih sayang Allah. Ia juga tenteram karena
yakin akan segala ketetapan Allah yang bersifat azali.
Berangkat dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kebahagiaan dalam arti sakinah (tenang) dan thuma’ninah (tenteram) adalah segala
balasan, anugerah, dan nikmat dari Allah yang lebih bernuansa psikologis
(emosi/perasaan), ruhaniyah (spiritual), dan ukhrowi, dari pada sekedar
kebahagiaan yang bersifat material, jasadiyah, dan duniawi. Setiap muslim akan
berusaha menggapai kebahagian jenis ini, karena merupakan puncak kebahagiaan
atau kebahagiaan yang sesungguhnya.
5. Kelapangan dan kegembiraan ( شرح dan فرح )
Makna kebahagiaan dalam kata شرح - نشرح (lapang, melapangkan) dapat
digali dari QS. al-Insyirah: 1. Menurut Quraish Shihab, kata ini berarti memperluas
atau melapangkan, baik secara material maupun immaterial. Apabila kata ini
dikaitkan dengan sesuatu yang material, maka ia berarti ‘memotong’ atau
‘membedah’, sedangkan jika dikaitkan dengan sesuatu yang non material, maka ia
berarti ‘membuka’, ‘memberi pemahaman’, atau ‘menganugerahkan ketenangan’.
Dengan memperhatikan konteks QS. al-Insyirah dan ayat-ayat lainnya, misanya
QS. az-Zumar: 22, al-An’am: 125, al-Hajj: 46, dan sebagainya, maka kata شرح
51
lebih tepat dipahami kaitannya dengan sesuatu yang immaterial. Makna
kelapangan dalam dalam ayat-ayat di atas lebih tepat dipahami sebagai kelapangan
dada yang dapat menghasilkan kemampuan menerima dan menemukan kebenaran,
hikmah dan kebijaksanaan, dan kesanggupan menampung bahkan memaafkan
kesalahan orang lain. 65
Makna kebahagiaan dalam bentuk kata فرح dapat ditemukan dalam
beberapa tempat, yaitu: QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am: 44; at-Taubah:
50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-Mu’minun: 53; an-Naml: 36;
al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir: 75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al-
Hadiid: 23. Kata ini, terutama dalam konteks QS Ghafir: 75 ( تفرحون ) , menurut ar-
Raghib al-Ashfahani, digunakan dalam arti keceriaan dan kegembiraan hati akibat
adanya kelezatan duniawi yang pada umumnya berupa kelezatan yang bersifat
jasmaniah. Sedang kata تمرحون berarti kegembiraan yang luar biasa. Pada
dasarnya, menurut Quraish Shihab, kegembiraan dan keceriaan tidaklah dilarang
agama, sehingga dalam ayat ini ada kata بغیر الحق (tanpa hak) , karena bisa saja
ada kegembiraan yang dibenarkan agama. Adapun تمرحون biasanya digunakan
dalam makna kegembiraan dalam hal kemaksiatan, sehingga kata بغیر الحق tidak
perlu digunakan.P65F
66
Berangkat dari penafsiran di atas, dengan melihat isyarat dari ayat-ayat
yang lain yang menggunakan kata fariha, maka dapat disimpulkan bahwa makna
kebahagiaan dalam kata ini bukanlah kebahagiaan yang obyektif dan pasti, tetapi
merupakan kebahagiaan bersifat yang relatif, subyektif, dan dan belum tentu
dibenarkan oleh agama. Artinya, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. at-Taubah:
65 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim……..hal.. 441-443 66 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 12……..hal.. 359
52
81, bisa saja ada orang (di jaman Nabi) yang merasa gembira tidak ikut berjuang
(berjihad) di bawah pimpinan Rasulullah atau melalaikan kewajiban agama.
Gembira model ini oleh HAMKA di katakan sebagai kegembiraan orang munafik
yang tidak sesuai dengan agama. 67 Dalam konteks sekarang, apabila banyak
dijumpai orang yang tidak beriman, tidak menjalankan ajara agama, atau
melanggar aturan-aturan, atau bermaksiat kepada Allah, tetapi mereka merasa
bahagia, gembira, senang, dan tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa perilakunya
akan membawa kesengsaraan di kemuadian hari. Maka, kebahagiaan yang
semacam ini bukanlah kebahagiaan yang diperintahkan (dimaksud) oleh al-Qur’an
untuk digapai oleh manusia. Sebaliknya, kebahagiaan yang seperti ini pada
dasarnya adalah kesengsaraan.
6. Keberkahan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian ( بركة dan سالم )
Kebahagiaan dalam arti keberkahan dapat dipahami dari QS. al-A’raf: 96;
Huud: 48, 73; an-Nahl: 127; dan adz-Dzariyaat: 39. Kata barakah, sebagaimana
yang terkandung dalam QS. al-A’raf: 96, oleh Quraish Shihab diartikan sebagai
aneka kebajikan ruhani dan jasmani, sesuatu yang mantap, kebajikan yang
melimpah beraneka ragam dan bersinambung. Kolam dalam Bahasa Arab dinamai
birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap di dalamnya
dan tidak tercecer ke mana-mana. Ayat ini mengandung makna bahwa keberkahan
Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material
dan tidak pula dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat lain yang
berbicara keberkahan Ilahi di atas memberi kesan bahwa keberkahan tersebut
merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan bumi melalui segala
penjurunya. Dari sini bisa dipahami bahwa segala penambahan yang tidak terukur
67 HAMKA,Tafsir al-Azhar Jilid 4…… hal. 3058
53
oleh indera disebut dengan berkah. Secara rinci makna barakah dapat dipahami
pula dari makna yang terkandung dalam QS. al-An’am: 92.68
Adanya keberkahan pada sesuatu berarti terdapat kebaikan yang menyertai
sesuatu tersebut. Misalnya, jika ada berkah dalam waktu yang diberikan Allah
kepada seseorang, maka akan banyak kebaikan yang terlaksana dalam waktu itu,
meskipun dalam waktu tersebut umumnya tidak banyak aktivitas yang dilakukan
olehnya. Keberkahan makanan adalah cukupnya makanan yang sedikit untuk
mengenyangkan orang banyak, meskipun pada umumnya makanan yang sedikit itu
tidak dapat dimakan oleh orang yang banyak. Dari kedua contoh ini, terlihat bahwa
keberkahan berbeda sesuai dengan fungsi sesuatu yang diberkahi. Keberkahan
pada makanan misalnya adalah dalam fungsinya mengenyangkan, menimbulkan
kesehatan, menolak penyakit, mendorong aktivitas positif, dan sebagainya. Hal ini
dapat terjadi bukan dengan sendirinya secara otomatis, tetapi karena ada karena
karunia Allah Swt. Karunia di sini bukan menafikkan adanya hukum sebab akibat
yang telah ditetapkan Allah, tetapi maksudnya bahwa Allah menganugerahkan
kepada siapa yang akan diberi keberkahan kemampuan untuk menggunakan dan
memanfaatkan huku-hukum tersebut seefisien dan semaksimal mungkin sehingga
keberkahan tersebut hadir. Dalam hal keberkahan makanan misalnya, Allah Swt.
menganugerahkan kemampuan kepada manusia yang akan diberi keberkahan
makanan berupa aneka sebab yang ada sehingga kondisi badannya sesuai dengan
makanan yang tersedia, misalnya kondisi makanan itu pun sesuai, sehingga tidak
kadaluarsa, hilang, atau dicuri orang. Intinya, keberkahan di sini bukan berarti
68 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.185
54
campur tangan Allah dalam bentuk membatalkan sebab-sebab yang dibutuhkan
untu lahirnya sesuatu.69
Terkait dengan tema kebahagiaan, dengan memperhatikan beberapa
penafsiran di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu indikator kebahagiaan
seorang manusia adalah bahwa apabila ia mampu mengisi hidupnya dengan
berbagai aktifitas kebaikan baik yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat,
maupun umat manusia secara umum. Aktivitas kebaikan di sini adalah segala sifat
dan amal perbuatan yang dapat dinikmati manfaatnya oleh banyak orang,
bermakna, dan membahagiakan dirinya. Itulah makna hidup yang berkah. Orang
yang bahagia adalah orang yang hidupnya berkah.
Kebahagiaan dalam arti salam (selamat, damai, atau sejahtera) dapat
dipahami sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apapun bentuknya,
lahir maupun batin. Sehingga, seseorang yang hidup dalam salam akan terbebas
dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Kata ini terulang di dalam
al-Qur’an sebanyak 42 kali dengan beberapa maksud di bawah ini: 70
a. Sebagai ucapan salam yang bertujuan untuk mendo’akan sebagaimana
tercantum dalam QS. adz-Dzariyat: 25 yang menceritakan kedatangan
malaikat kepada Nabi Ibrahim As.
b. Keadaan atau sifat sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-
Maidah: 16 yang menggambarkan keadaan atau sifat jalan yang
ditelusuri oleh orang-orang yang beriman.
c. Menggambarkan sikap mencari selamat dan damai, seperti firman Allah
dalam QS. al-Furqan: 63 yang memuji hamba-hamba-Nya yang selalu
69 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 4……., hal 189 70 Ibid, hal. 727-728
55
berusaha untuk mencari kedamaian saat menghadapi orang-orang “jahil”
di sekitarnya.
d. Sebagai sifat Allah Swt., sebagaimana tersurat dalam QS. al-Hasyr: 23.
Menurut Quraish Shihab, dalam konteks QS al-Qadr: 4, jika kata salam
dipahami sebagai do’a, maka ayat ini menginformasikan bahwa para malaikat itu
mendo’akan setiap orang yang menemuinya pada malam lailat al-qadr supaya
terbebas dari segala kekurangan lahir batin. Jika kata salam dipahami sebagai
keadaan, sifat, atau sikap, maka malam lailat al-qadr dipahami sebagai malam
yang penuh kedamaian yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang
menjumpainya, atau dapat pula dimaknai bahwa sikap para malaikat yang turun
pada malam ini adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang merasa
berbahagia mencari dan mendapatkannya.
Dalam ayat yang lain yang berbicara tentang makna salam, terdapat
beberapa ayat yang menggambarkan ucapan salam yang ditujukan kepada para
penghuni sorga kelak, yaitu di antaranya QS. Yunus: 10 dan ar-Ra’d: 24, atau
istilah dar as-salam (negeri yang penuh kedamaian) yang menggambarkan kondisi
kehidupan sorga, yaitu antara lain dalam QS. al-An’am: 125-127 dan Yunus: 25.
Kata salam, jika disifatkan kepada sesuatu maka berubah menjadi salim.
Kata ini sesungghnya memiliki akar yang sama dengan kata Islam, yang berasal
dari kata kerja salima, yang sama-sama bermakna selamat. Dalam al-Qur’an, yaitu
surat asy-Syu’ara: 89 dan surat al-Shaffat: 84, kata salim digandengkan dengan
kata qalb (hati). Secara bahasa, qalb salim bermakna hati yang selamat dari
penyakit atau kerusakan apapun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang
tidak mengenal selain Islam. Untuk memiliki hati yang selamat, manusia harus
menerapkan seluruh akhlak mu’min yang terkandung dalam al-Qur’an. Pada hari
56
akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali manusia yang datang denga
membawa hati yang selamat. Artinya, hati orang yang kafir tidak mungkin sampai
ke pantai kedamaian dan keselamatan di hari itu. Oleh karena itu, hati yang selamat
harus bersih dari kekafiran, kesyirikan, keraguan, dan kebimbangan. Hati yang
penuh kekakfiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak
dapat menjadi hati yang selamat.71
Jika dikatakan oleh seseotang yang kafir bahwa: “ Hatiku bersih karena aku
sangat mencintai manusia dan selalu berusaha menolong mereka”, maka ini adalah
pernyataan yang kosong, karena hatinya berisi kekafiran dan pengingkaran.
Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari Pemilik dan
Penguasa alam. Mencintai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan adalah sesuatu
yang penting dan baik. Akan tetapi, nilai-nilai kemanusiaan tesebut harus terlebih
dahulu dipahami secara benar, kemudian pemahaman ini harus berkesinambungan
dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini terkait dengan dengan iman. Tanpa
iman, segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kemuliaan hanyalah dusta,
sementara, dan tidak bernilai.72
Ringkas kata, hati yang selamat adalah tema yang sangat penting, karena al-
Qur’an memposisikan hal ini sebagai ganti dari harta dan anak-anak, sebagaimana
diisyaratkan dalam QS. asy-Syu’ara: 88-89. Nasib seorang manusia di akhirat
tergantung pada jawabannya atas pertanyaan berikut: Apakah ia hidup dalam
keadaan diridhai ?, Apakah ia mati dalam keadaan diridhai ?, Mampukah ia
dibangkitkan dalam keadaan yang diridhai ?, Mampukah ia menuju jalan
Muhammad ?, Dapatkah ia sampai ke Telaga Kautsar? Apakah Rasulullah Saw.
71 Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika, hal 257
72 Ibid, hal 259
57
dapat melihatmu dari kejauhan dan mengenalimu? Rasulullah menegaskan bahwa
pada Hari Kiamat beliau akan mengenali umatnya dan dapat membedakan mereka
di antara seluruh umat. Ketika ditanya bagaimana hal itu terjadi, beliau menjawab,
“Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalian mendatangiku
dengan wajah yang bersinar terang karena bekas wudlu” (HR. Bukhori dan
Muslim). Itulah salah salah satu manifestasi dan gambaran hati yang selamat. 73
Terlepas dari perbedaan makna ini, Ibnu Qayyim menyatakan pendapatnya
seputar kedamaian dan ketenteraman hati. Ia berkata bahwa Hati yang damai dan
tenteram akan mengantarkan pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan
kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat menuju amanat, riya’ kepada
ikhlas, lemah menjadi teguh, dan dari sombong menjadi tahu diri. 74 Inilah tanda
jiwa yang telah mencapai derajat kedamaian, sebuah puncak kebahagiaan manusia.
7. Limpahan Karunia (الفیض )
Selain makna kebahagiaan di atas, makna kebahagiaan dapat dipahami
pula dari kata الفیض (limpahan atau curahan karunia). Kata ini terdapat dalam
beerapa ayat al-Qur’an, misalnya QS. al-Baqarah: 199, 245, al-Maidah: 83, al-
A’raf: 50, at-Taubah: 92, Yunus: 61, Ibrahim: 4, Shad: 26, al-Ahqaf: 8, dan al-
Hadid: 11. Salah satu di antara yang dapat dibahas di sini adalah:
“ Dan penghuni neraka menyeru penghuni surge: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni sura) menjawab: “sesuangguhnya Allah telah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir” (QS. al-A’raf: 50)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-faidh hanya diperuntukkan untuk
para penghuni surga. Menurut Fethullah Gulen, istilah “limpahan karunia” (الفیض )
dapat dimaknai dengan kebahagiaan atau kenikmatan. Al-Faidh dalam kehidupan
73Ibid., hal. 262 74 Ibid, hal 728-729
58
duniawi adalah limpahan karunia Ilahi yang berkaitan dengan kehidupan hati dan
spiritual manusia. Adapun di akhirat, الفیض adalah kedudukan dan kemuliaan yang
diraih manusia, seperti masuk sorga, meraih ridha Allah, dan kehormatan melihat
keindahan-Nya. Kandungan makna dari istilah ini begitu sangat luas dan mustahil
bagi manusia untuk menjangkaunya secara tepat. Bisa saja terjadi bahwa berbagai
limpahan karunia mendatangi manusia dari semua sisi, sedangkan ia sendiri tidak
mengetahui dan merasakannya. Demikian pula, ketidakmampuan manusia
mengetahui dan merasakannya termasuk karunia Allah Swt. atasnya., karena
karunia terbaik-Nya adalah karunia yang tidak kita rasakan.P74F
75
Dari sisi ini, lanjut Gulen, dapat dikatakan bahwa terdapat limpahan
karunia Ilahi dan keberkatan pada semua ibadah yang dikerjakan manusia untuk
Allah Swt. Betapa tidak terbayang sama sekali bahwa ada manusia yang menuju
pintu-Nya lalu kembali dengan tangan kosong. Akan tetapi, manusia tidak boleh
mengaitkan ibadahnya dengan limpahan karunia Ilahi atau kenikmatan yang
didapatnya. Terkadang, shalat dilakukan saat seorang hamba sedang dalam kondisi
spiritual yang sedang lemah, yaitu saat jiwa dan hatinya sempit. Secara lahiriah,
shalat seperti ini dapat dikatakan payah, namun bisa saja shalatnya termasuk
shalatnya yang paling baik atau paling diterima, karena ia melakukan shalat dalam
kondisi lepas dari semua perasaan seraya tetap tidak lupa untuk menunjukkan
penghambaannya kepada Allah Swt. Ia senantiasa tetap berdiri di pintu-Nya dan
tidak pernah meninggalkannya, karena ia yakin bahwa Allah akan mengabulkan
segala doanya. Dengan kata lain, kondisi di mana seorang hamba tidak menerima
limpahan karunia Ilahi tidak membuat keikhlasannya lenyap. Inilah sebuah
penghambaan yang tulus dan murni.
75 Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin ……hal. 406-408
59
Dari sisi yang berbeda, Gulen menulis bahwa pencapaian kedudukan
spiritual tidak boleh menjadi tujuan ibadah seorang hamba. Junaid al-Baghdadi
berkomentar tentang orang-orang yang mengerjakan kewajiban ibadah demi
mendapatkan surga. Menurutnya, ibadah yang seperti ini adalah ibadah para hamba
surga, padahal surga tidak layak menjadi tujuan ibadah. Ibadah dikerjakan, karena
Allah memerintahkannya, atau dalam rangka meraih ridha-Nya. Artinya, sebab
hakiki ibadah adaah perintah Allah. Jadi, manusia mengerjakan berbagai kewajiban
ibadah karena Allah memerintahkannya kepada mereka. Jika ada di antara mereka
melakukan shalat kepada Allah, karena takut kepada neraka, maka orang itu adalah
hamba neraka. Bagimana mungkin ia dapat menjdi hamba Allah Swt.? Manusia
harus tetap melaksanakan shalat meskipun dalam kondisi iman (spiritual) yang
sedang menurun, yaitu ketika tidak mendapatkan limpahan karunia Ilahi. Tangisan
dan rintihan manusia, di samping menjadi sarana untuk mendapatkan limpahan
karunia Allah dan keberkahan, juga dapat menjadi sarana ujian dan cobaan.
Alhasil, manusia tidak dapat menetapkan penilaiannya secara pasti di hadapan
Allah.76
C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an
1. Kebahagiaan dunia dan akhirat
Dengan melihat istilah yang digunakan Qur’an, kebahagiaan terbagi
menjadi kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Salah satu do’a yang
sangat populer di kalangan umat Islam yang selalu diajarkan dan dibaca
adalah berbunyi: ربنا اتنافى الدنیا حسنة وفى اال خرة حسنة وقنا عذاب النا ر (”Ya Tuhan
kami berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan
76 Ibid
60
(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”). Do’a ini
mengajarkan kepada setiap pengamalnya (pembacanya) untuk senantiasa
mengingat pentingnya hidup sukses (bahagia) di dunia dan akhirat.
Kebahagiaan dunia bersifat jangka pendek (sementara), sedangkan
kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan jangka panjang (abadi). Dalam
bentuk kata sifat, Ar-Raghib al-Asfahany membagi kebahagiaan menjadi
duniawi dan ukhrawi. Duniawi misalnya mencakup usia yang panjang,
kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa
kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan dan
pengetahuan tanpa kebodohan. 77
QS. adh-Dhuha: 4 menyatakan bahwa ”Dan sesungguhnya yang akhir
itu lebih baik bagi kamu daripada permulaan”. Ayat ini sering ditafsirkan
dengan pernyataan bahwa sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik
daripada akhirat. Dunia berasal dari kata danaa yang artinya sesuatu yang
dekat. Dunia adalah kehidupan yang sebentar dan sesaat. Artinya, bahwa
apapun yang terjadi di dunia ini sifatnya sebentar. Dia hanyalah permainan
dan panggung sawindara. Demikian jika melihat isyarat dalam QS. al-
’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan
senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Faktanya, tidak sedikit manusia yang tertipu oleh gemerlap dunia.
Mereka memfokuskan perhatiannya (hidupnya) kepada materi sebagai
tumpuan. Sebagaimana dikutip oleh Aam Amiruddin, Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
77 Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbah….., hal.
61
”Andaikata manusia memiliki dua lembah harta, tentu ia menginginkan yang ketiga, dan tidak ada yang dapat mngenyangkan perutnya kecuali tanah (kematian). Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau bertaubat”.78 Supaya tidak tertipu dengan dunia, manusia harus menjadikan dunia
ini sebagai alat yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan akhirat. Ia
boleh menikmati dunia, tetapi tetap harus berada pada koridor kebenaran atau
rambu-rambu Allah. Dunia sesunngguhnya adalah tempat beramal, berkarya,
berprestasi, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ketakwaaan, dalam rangka
keselamatan dan kebahagiaan akhirat. Itulah pandangan hidup seorang
muslim.
2. Kebahagiaan Fisik dan Non-Fisik
Kebahagiaan dunia yang dialami oleh manusia sesungguhnya meliputi
berbagai kenikmatan fisikal, material, psikologis, sosial, dan spiritual, sementara
kebahagiaan yang ada di akhirat, karena belum dialami, lebih tepat dikatakan
hanya bersifat spiritual. Kenikmatan yang bersifat fisikal-material misalnya
kenikmatan yang diperoleh karena pemenuhan kebutuhan makan, minum, sandang,
dan papan, termasuk seksual. Kenikmatan seksual dapat dikategorikan pula sebagai
kenikmatan psikologis, jika diliputi perasaan cinta, kasih, dan sayang. Hal ini dapat
dipahami dari QS. ar-Ruum: 21. Termasuk ke dalam kenikmatan (kebahagiaan)
yang bersifat psikologis yaitu kenikmatan yang didapatkan karena aktivitas
membaca, berpikir, dan merenung. Termasuk ke dalam kenikmatan secara
psikologis-spiritual misalnya kenikmatan saat melaksanakan beribadah, berdo’a,
dzikir, dan sedekah. Termasuk dalam kenikmatan spiritual (ruhani) adalah
keislaman dan keimanan seseorang.
78 HR. Bukhari. Juz IV, hal. 119. Lihat Aam Amiruddin (2008). Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Juz Amma Jilid 1. Bandung: Khazanah Intelektual, hal. 292
62
Para psikolog (ahli kesehatan mental) yang tidak sekuler sepakat bahwa
kebahagiaan manusia minimal harus dilandasi empat pilar pokok, yaitu:79
Pertama, fisik yang sehat, bebas dari penyakit, serta berfungsinyaa seluruh
organ tubuh dengan baik, sehingga dikenal adanya ungkapan bahwa akal yang
sehat terletak pada tubuh yang sehat”. Artinya terdapat hubungan timbal balik
antara kesehatan jiwa dan kesehatan fisik. Dari sini dipahami bahwa kebahagiaan
seseorang di antaranya ditentukan oleh bagaimana dia mngembangkan potensi
fisiknya dan menjaganya dari berbagai gangguan, menjaga pola makan,
berolahraga, istirahat yang cukup, dan beraktivitas secara seimbang.
Kedua, rasa percaya diri yang baik serta berupaya mengarahkan diri pada
aktivitas yang positif dan kontruktif, memelihara diri dari berbagai penyimpangan,
memenuhi kebutuhan secara proporsional, sadar akan tanggungjawab diri,
meningkatkan kualitas hidup, baik secara material maupun non material. Dalam
konteks ini, kebahagiaan terletak pada aktivitas, kesungguhan, dan kegigihan,
bukan pada kemalasan dan banyaknya waktu luang. Orang yang ingin bahagia
harus memiliki kegiatan (aktivitas) yang positif, bermakna, dan bermanfaat, serta
menjauhkan diri dari aktivitas yang negatif. Ia juga memiliki target hidup tertentu
yang benar dan bermakna, bukan sibuk dengan kesenangan yang menyimpang, dan
tidak terjebak pada orientasi kehidupan dunia yang semu.
Ketiga, kecintaan terhadap orang lain dan motivasi yang kuat untuk
membahagiakan mereka. Kebahagiaan yang sesungguhnya bukan terletak pada
pementingan diri (egoisme), tetapi justru dengan melakukan kebaikan kepada
orang lain. Seseorang yang memiliki karakteristik pribadi seprti ini berpegang
teguh pada nilai-nilai pengorbanan, mengutamakan orang lain (itsar),
79 Lihat Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, hal. 287
63
mengembangkan kasih sayang dan penghargaan dengan sesama manusia. Seorang
psikolog bernama William Glesser mengatakan bahwa rasa cinta kepada orang lain
merupakan inti kebahagiaan. Hal ini senada dengan pendapat Abdul Aziz al-Qushi,
yang menyatakan bahwa kebahagiaan seorang individu akan selalu terkait dengan
seberapa luas cakupan masyarakat yang dibahagiakannya. Seorang yang bahagia
dapat dipastikan memiliki kepribadian yang kuat, kematangan sosial, kestabilan
emosional, dan perilakunya tidak bertentangan dengan orang banyak.
Keempat, keimanan. Artinya, orang yang bahagia adalah yang beragama
dan taat menjalankan ajaran-ajarannya, karena agama menjadikan manusia lebih
bernilai dan memuaskan. Bagi seorang muslim, iman adalah penggerak utama
dalam kehidupan. Dengan keimanan dan kepasrahan total kepada Allah Swt.,
seorang muslim akan menggapai kebahagiaan yang sessungguhnya. Ia tidak pernah
merasa gelisah, guncang, atau panik, karena ia yakin bahwa Allah telah mengatur
segala urusannya.Kecintaan dan ketaatan kepada Allah secara sempurna akan
membimbing hidup seorang muslim agar selalu berada pada jalan yang benar.
3. Kebahagiaan semu dan sejati.
Mengacu pada poin satu dan dunia, kebahagiaan dapat dibedakan menjadi
kebahagiaan yang semu, artifisial, atau instrumental dan kebahagiaan yang bersifat
ultimate (pokok), sejati, inti, atau yang sebenarnya. Hal ini merupakan bahasan
lanjutan dari pembagian kebahagiaan dunia dan akhirat. Kenikmatan (kebahagiaan)
yang diarasakan di dunia ini pada dasarnya merupakan kebahagiaan yang bersifat
periferal jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkan oleh manusia di
alam akhirat yang bersifat abadi. Demikian isyarat yang dapat dipahami dari
QS. al-’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini
64
melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Alam dunia hanyalah salah satu terminal yang manusia lewati. Banyak ayat
dan hadits yang menerangkan hakikat tersebut. Manusia datang dari alam arwah ke
rahim ibu. Dari rahim ibu menuju kehidupan dunia. Setelah melawati masa kanak-
kanak, remaja, dewasa, dan lansia, ia pindah ke alam kubur dan alam barzakh. Dari
sana ia menuju kebangkitan. Dari kebangkitan menuju kehidupan abadi. Manusia
melewati seluruh tahapan tersebut. Ia berada dalam kehidupan dunia ini hanya
beberapa saat saja, jika dibandingkan keberadaannya di akhirat.80 Hal ini
menegaskan bahwa kehidupan ini sesungguhnya seperti fatamorgana (semu)
dilihat dari waktu berlangsungnya. Rasulullah menggambarkan kehidupan dunia
seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia melanjutkan
perjalannya.81
Dunia dalam pandangan ahli hakikat adalah tumpukan kotoran dan
kepalsuan seperti tumpukan sampah. Di dunia ini Allah mencampur kebaikan
dengan kejahatan, keindahan dengan keburukan. Di dunia ini banyak hal yang
harus dijauhi dan hindari oleh setiap manusia. Ia diminta untuk dapat memilih yang
baik dan indah di tengah tumpukan sampah tersebut. Ia harus dapat menemukan
permata di balik kotoran yang bernama dunia. Dunia ini tidak memberi kepada
seseorang sepotong kue manis kecuali disertai dengan sejumlah tamparan. Inilah
sisi permainan dan tipuan yang disambut oleh para penghamba dunia, padahal
inilah sisi buruk dunia yang harus dihindari oleh manusia. Di satu sisi, seorang
manusia-muslim punya misi untuk bisa membangun keseimbangan antara dunia
80 Fethullah Gulen, Islam….. Hal. 299 81 Mengacu pada hadits: “Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanya seperti seorang
musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya” (HR .Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)
65
yang fana dan akhirat yang kekal. Rasulullah tidak meninggalkan dunia dan tidak
memisahkan diri dari manusia, namun pada saat yang sama beliau memisahkan diri
dari manusia. Beliau bersabda:
”Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan buruk mereka mendapatkan pahala lebih besar daripada mukmin yang bergaul denga manusia dan tidak sabar atas tindakan buruk mereka”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah tidak pernah memikirkan dunia, meskipun dunia telah
mendatangi beliau dan berada di bawah kaki beliau. Beliau tidak pernah berpikir
untuk bersenang-senang dengan dunia. Beliau meninggalkan dunia sebagaimana
beliau datang ke dunia. Ketika datang ke dunia, beliau dibungkus sehelai kain dan
ketika meninggalkan dunia, beliau juga dibungkus sehelai kain. Sepanjang
hidupnya yang mulia, beliau berusaha membangun peradaban yang seimbang dan
mendirikan dunia yang imbang di dunia dan di akhirat. Beliau telah menyerahkan
diri kepada Allah Swt, sehingga beliau hidup dengan tenang seraya berusaha
mendapatkan ridha Allah Swt. dan menyelamatkan umat manusia. Kesucian jiwa
beliau tidak ternodai oleh nafsu dan kenikmatan dunia.82 Itulah posisi muslim ideal
di tengah kehidupan dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang sesungguhnya atau yang
sejati adalah keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seorang muslim.
82 Ibid. hal 306-307
66
BAB IV RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN
A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an
Al-Qur’an senantiasa mengajak manusia untuk dapat menggapai
kebahagiaan. Hal ini dapat dipahami dari khitab (perintah/ajakan) yang terkandung
dalam berbagai ayat di bawah ini:
1. Perintah Allah untuk mencari Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Dalam QS. al-Qashash: 77 Allah berfirman:
“ Dan carilah- pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu- negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan” Pesan ayat di atas dipahami secara berbeda oleh para ulama. Ada yang
memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa pesan ayat ini
adalah anjuran untuk meninggalkan kenikmatan (kesenangan) duniawi dengan
membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian.
Ada pula yang memahaminya sebagai tuntunan untuk menyeimbangkan
kepentingan (kebahagiaan) dunia dan akhirat. Penganut pendapat ini tidak jarang
mengemukakan riwayat yang menyatakan bahwa”Bekerjalah untuk duniawi
seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok. Atas beberapa pandangan ini Quraish Shihab
memberi beberapa catatan penting agar umat Islam tidak terjerumus dalam
kekeliruan sebagai berikut: 83
Pertama, dalam pandangan al-Qur’an, hidup (kebahagiaan) duniawi dan
ukhrowi adalah satu kesatuan. Artinya, dunia adalah tempat menananm dan akhirat
83 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 10……., hal 407
67
adalah tempat memanen. Apa yang ditanam manusia di bumi (dunia) ini akan
memperoleh buahnya di akhirat. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal
akhirat. Apabila hal ini mau digunakan, maka perkataan yang paling tepat adalah
bahwa “semua amal dapat menjadi amal dunia, meskipun berupa shalat dan
sedekah, jika dilakukan secara tidak tulus (niatnya)”. Sebaliknya, “semua amal
dapat menjadi amal akhirat jika disertai dengan keimanan dan ketulusan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, meskipun amal itu berupa pemenuhan naluri
seksual. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Melalui kemaluan kamu (hubungan
seksual) terdapat sedekah” (HR. Muslim).
Kedua, ayat di atas menekankan pentingnya untuk mengarahkan pandangan
(orientasi hidup) kepada akhirat sebagai tujuan dan menjadikan dunia sebagai
sarana mencapai tujuan. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ayat di atas: fii
maa aataaka Allah…, sehingga semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam
kehidupan ini, maka semakin terbuka kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan
akhirat, selama itu diperoleh da digunakan sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Hal
ini juga berarti bahwa ayat ini menggarisbawahi petingnya dunia, tetapi bukan
karena sebagai tujuan, namun sebagai sarana (alat) untuk mencapai tujuan.
Ketiga, ayat di atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika
berbicara kebahagiaan akhirat, bahkan menekankannya dengan perintah untuk
bersungguh-sungguh dan sekuat tenaga dalam berupaya meraihnya. Sementara,
perintah menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif, yaitu “jangan
lupakan’. Ini memberi kesan adanya perbedaan di antara keduanya dan ini harus
diakui bahwa keduanya memang berbeda. Allah berulang kali menekankan hakikat
ini dalam berbagai ayat, misalnya QS. at-Taubah: 38: “ Apakah kamu puas dengan
kehidupan dunia (di banding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”.
68
Dari sini, Quraish Shihab sekali lagi ingin menekankan bahwa dalam
pandangan al-Qur’an, kehidupan dunia tidaklah seimbang dengan kehidupan
akhirat. Oleh karena itu, manusia semestinya lebih mengorientasikan hidupanya
kepada akhirat, sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanyalah sarana
yang dapat mengantar kepada kehidupan akhirat. Jika ayat ini dipadukan dengan
kandungan QS Hud: 61, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa manusia
sesungguhnya diajak untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan cara membangun,
mengembangkan, memakmurkan, dan memanfaatkan bumi atau mengisi kehidupan
dunia ini dengan secara sebaik-baiknya. Artinya kebahagiaan akhirat diperoleh
dengan menggapai kebahagiaan dunia.
2. Perintah al-Qur’an kepada manusia (orang beriman) untuk bertaqwa supaya mereka berbahagia
Hal ini terkandung dalam QS. al-Baqarah: 189:”………..bertaqwalah
kalian semua agar kalian berbahagia”. Di samping ayat ini, terdapat pula ayat-
ayat yang berakhir dengan kata la’allakum tuflihuun, yaitu: QS. 3:130, 3:200, 5:35,
5:90, 5:100, 7:69, 8:45, 22:77, 24:31, 62:10. Melalui ayat- ayat ini, Al Qur’an
menegaskan bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar manusia dapat hidup
bahagia. Di samping itu, Al Qur’an juga merinci perbuatan yang dapat membawa
manusia kepada kebahagiaan. Dalam lafal adzan terdapat dua kata yang selalu
beriringan: hayya ala al-shalaah (mari kita tunaikan sholat) dan hayya ala al-
falaah (mari meraih kebahagiaan)
Selain ayat-ayat di atas, Al Qur’an sering menyebut istilah aflaha untuk
menggambarkan kebahagiaan. Pada empat ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. 20:64, 23:1,
87:14, 91:9, kata aflaha selalu diawali dengan kata qad, sehingga berbunyi qad
aflaha. Kamus-kamus Arab merinci makna aflaha sebagai berikut : kemakmuran,
keberhasilan, keberuntngan, kegembiraan, kesenangan, pencapaian apa yang
69
diinginkan (dicari), ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan. Intinya manusia
merindukan segala sesuatu yang dengannya manusia berada dalam keadaan
bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman,
kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-
menerus, dan keberlanjutan. Semua makna ini sesungguhnya merupakan
komponen-komponen dari kebahagiaan.84 Komponen-komponen kebahagiaan ini
tidak akan berarti apa-apa (menjadi sia-sia) jika tidak digandengkan dengan sikap
bertaqwa. Artinya kebahagiaan, atau lebih tepatnya kesuksesan atau kesenangan
yang ada di dunia bisa saja diperoleh oleh orang-orang yang tidak bertaqwa, tetapi
hal ini ibarat angka 0 (nol) yang berjajar, yang tidak ada artinya jika tanpa ada
angka satu. Angka satu ini adalah ketaqwaan. Dengan ketakwaan, maka seorang
muslim diharapkan akan dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati atau hakiki.
3. Allah mengajak manusia kepada Daar as-Salam (Negeri Kedamaian)
Hal ini diisyaratkan dalam QS. Yunus: 25 sebagai berikut: “Allah mengajak
kepada negeri kedamaian dan membimbing siapapun yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus”. Ayat ini tidak salah jika dipahami bahwa Allah sesungguhnya
mengajak setiap manusia untuk menuju kebahagiaan dalam arti suasana yang
penuh kedamaian. Inilah misi Islam yang dibawa oleh para Nabi di muka bumi ini.
Semua manusia diajak untuk berislam, karena di dalam Islam akan ditemukan
suasana kedamaian, baik di muka bumi maupun di akhirat kelak.
Dari sudut pendekatan etimologis, menurut Nurcholish Madjid, kata Daar
as-Salam sangat kuat keterkaitannya dengan ajaran tentang Islam. Sebagai
mashdar dari kata aslama, perkataan islam memiliki arti “mencari kedamaian”,
“berdamai”, dan dari semua makna ini dihasilkan pengertian “tunduk”,
84 Rakhmat (2010), Tafsir…….hal.
70
“menyerah”, dan “pasrah”. Maka agama yang benar disebut “Islam” karena
mengajarkan sikap berdamai dan mencari kedamaian melalui sikap menyerah,
pasrah, dan tunduk-patuh kepada Allah secara tulus. Sikap ini bukanlah hanya
pilihan hidup yang benar untuk manusia, sebagai makhluk yang bebas memilih
karena memiliki akal-pikiran, tetapi merupakan pola wujud seluruh alam raya
beserta isinya. Oleh karena itu, apabila manusia diajak untuk berislam, yaitu
memilih sikap hidup tunduk, menyerah, dan pasrah kepada Allah, maka hal itu
tidak lain agar manusia dapat mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud
alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap ini tidak saja kedamaian dengan Tuhan, diri
sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk di alam raya ini.
Inilah maksud ayat yang sering dikutip yaitu QS. Ali Imran: 83-85. 85
B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan
Secara umum, sesuai dengan makna harfiah dan definisi Islam yang
dikemukakan para ulama, maka barang siapa berislam maka sesungguhnya ia
diajak untuk mendapatkan petunjuk untuk memperolah kebahagiaan, kedamaian,
kesejahteraan dan keselamatan. Manusia yang mengikuti petunjuk Allah dijamin
tidak akan diliputi kekhawatiran dan kesedihan (QS. al-Baqarah: 38). Islam
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup para pemeluknya di
dunia dan akhirat kelak. Ia memiliki satu sendi utama yang esensial, yaitu
berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya dalam segala aspek
kehidupan manusia.86
85 Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat, hal. 217-218
86 M. Quraish Shihab (1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, hal.33
71
Hubungan Islam dan kebahagiaan, dalam arti kelapangan, dapat digali dari
QS. al-An’am: 125. Islam dalam ayat ini dapat dipahami sebagai penyerahan diri
secara penuh kepada Allah Swt dan ia menghasilkan nur (cahaya) kepada
pemeluknya untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang utama dan
yang tidak utama, yang baik dan yang tidak. Menurut hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud, tanda-tanda masuknya cahaya tersebut ke dalam hati
seseorang tercermin dalam sikapnya menjauhkan diri dari dunia, dalam arti tidak
menjadikan kehidupan dunia yang memperdaya sebagai tumpuan perhatian, tetapi
cenderung untuk menjadikan kehidupan akhirat yang abadi sebagai orientasi hidup,
mempersiapkan diri menghadapi kematian, sebelum terlambat.
Itulah visi spiritual Islam yang selalu ditegaskan Allah dalam berbagai ayat
al-Qur’an. Pesan utama Islam adalah mengajak manusia ke jalan Allah demi
meraih kebahagiaan yang sejati. Secara kategoris Islam meliputi aspek akidah,
ibadah, dan akhlak, atau dalam bahasa lain Islam berarti iman, islam, dan ihsan.
Barang siapa menerapkan Islam dengan segala dimensinya, maka niscaya ia akan
menggapai kebahagiaan. Namun demikian, di bawah ini perlu diketengahkan
beberapa contoh petunjuk (resep) al-Qur’an tentang hal-hal spesifik yang akan
mendatangkan kebahagiaan pada manusia.
1. Beriman dan beramal saleh
Ayat-ayat Qur’an yang berbicara tentang dua kata ini (iman dan amal saleh)
tidak sedikit jumlahnya, misalnya QS. al-’Ashr: 1-3, al-Qashash: 67, at-Tin: 6, dan
an-Nahl: 97, dan QS. Yunus: 9. Dengan melihat hubungan antara iman, amal
saleh, dan kehidupan yang baik dalam ayat-ayat ini, maka selanjutnya dapat
dipahami apa dan bagaimana sesungguhnya kehidupan yang baik itu menurut
al-Qur’an. Hidup yang baik adalah hidup yang didalamnya seseorang dapat
72
memelihara iman dan mengisinya dengan amal saleh. Jalaluddin Rakhmat
mencontohkan bahwa walaupun seseorang hidup di rumah yang sederhana,
tetapi ia dapat mempertahankan imannya di tengah guncangan dan godaan
hidup, maka al-Qur’an menganggap bahwa itu adalah kehidupan yang baik.
Misalnya, ada orang yang taat beragama, rajin pergi ke masjid, dan rajin
shalat malam, kemudian Allah memberikan nikmat yang besar, misalnya
jabatan dan kekayaan, atau diberi kesibukan yang menyibukkan dirinya
sehingga ia tidak sempat lagi pergi ke masjid dan tidak sempat lagi
melakukan shalat malam. Bahkan, ia tidak tahan lagi memelihara iman yang
ada di dalam hatinya. Menurut al-Qur’an, kehidupan yang seperti itu adalah
kehidupan yang paling merugikan, karena, meskipun hidupnya gemerlapan,
ia telah kehilangan iman sama sekali. 87
Tentang keterkaitan iman dan amal saleh, dalam memahami QS.
Yunus: 9-10, Quraish Shihab menulis bahwa sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan membuktikan kebenaran iman mereka dengan mengerjakan
amal-amal saleh, sebagaimana dituntunkan oleh agama, maka Tuhan
Pemelihara dan Pembimbing mereka selalu member petunjuk secara terus
menerus kepada mereka menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrowi, karena
iman mereka yang telah bersemai dalam jiwa mereka dan mendorong mereka
agar selalu mawas diri dan inga,t bahwa di tempat tinggal mereka kelak di
negeri akhirat akan mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh
kenikmatan yang tiada tara.88
87 Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-‘Ashr: 1-3. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda, hal. 279
88 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 6……., hal. 27
73
Jadi, hidup yang baik menurut Islam adalah hidup yang sanggup
mempertahankan iman dan sanggup mengisinya dengan amal saleh. Orang
yang saleh adalah bukan orang yang paling panjang sujudnya, bukan orang
yang paling sering naik haji, tetapi orang yang paling bermanfaatnya kepada
orang lain. Ilmunya bisa dinikmati oleh banyak orang, sedekah harta yang
diberikannya terus mengalir meskipun dirinya telah meninggal dunia, dan
anak yang dibinanya tumbuh menjadi anak shaleh yang mendo’akannya.89
Khusus tentang iman kepada Allah, dalam arti mengenal, mengakui,
mempercayai, meyakini, dan mengesakan-Nya, al-Qur’an menjadikannya sebagai
sumber dari segala sumber kebahagiaan bagi umat manusia. Hal ini karena kata
iman memiliki keterkaitan dengan adanya rasa aman dan ketenteraman dalam hati
seorang muslim. Jadi, orang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi hidupnya
diliputi rasa khawatir dan kegalauan, maka yang bersangkutan layak untuk
dipertanyakan keimanannya. Dalam QS. Fushshilat: 30 Allah berfirman:
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ’Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa bersedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”
Ayat di atas sangat terkait dengan ayat- ayat berikut: ”Tidak ada
ketakutan dan kecemasan bagi mereka” (QS. al-Baqarah: 38) dan ”Janganlah
kamu cemas (sedih), sesungguhnya Allah bersama kita”. Dalam ayat-ayat ini
terdapat korelasi antara rasa takut (khawatir) dan sedih. Artinya, seseorang
dapat saja merasa takut dengan masa yang akan datang, misalnya soal rezeki,
jodoh, datangnya kematian, atau yang lainnya, sehingga kemudian menjadi
bersedih hati. Dalam ayat di atas Allah menjelaskan tentang orang-orang yang
89 Ibid.
74
tidak bersedih karena ditimpa bencana, sehingga Allah menurunkan malaikat
untuk menghibur mereka, menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan di akhirat
kelak, sebagaimana diuraikan dalam QS. Fushshilat: 30 di atas. Dari rangkaian
ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah menjamin bahwa orang-orang
beriman tidak akan merasa takut dan tidak pula bersedih dan Allah
memantapkan jiwa mereka dengan perkataan yang pasti di dunia dan akhirat,
sehingga mereka tidak cemas dan sedih.90
Terkait dengan ini, sangat menarik apabila fenomena kehidupan
masyarakat Barat (modern) ditelisik secara mendalam. Mereka adalah
masyarakat yang saat ini boleh dikatakan terdepan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Harta dan uang telah menjadi ukuran kebahagiaan, sehingga
semuanya berlomba mengejar harta, mobil dengan berbagai merek, rumah, dan
lainnya. Siklus kehidupan mereka berputar sedemikian rupa selama 24 jam
sehari. Pada pagi hari ribuan manusia bangun dari peraduannya, kemudian
berangkat menuju tempat kerja masing-masing, ada yang di kantor, kampus,
atau pabrik, dengan mengendarai mobil, naik kereta, motor, dan sebagainya.
Mereka bekerja dengan disiplin, profesional, dan saling bekerja sama dalam
mencari keuntungan, sebagai sebuah team-work dalam sebuah perusahaan atau
lembaga bisnis. Pada sore harinya mereka kembali ke rumah masing-masing,
kemudian membaca koran, mendengarkan radio, membuka gadget, menonton
televisi, main play station, nonton film di bioskop atau di rumah mereka
sendiri, serta tempat hiburan lainnya. Setelah larut malam mereka pergi tidur
dan beristirahat. Esoknya mereka bangun kembali dan menjalani rutinitas
sebagaimana biasanya. Begitulah ritme kehidupan manusia modern di jaman ini.
90 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan ……., hal. 204.
75
Semuanya berusaha menikmati kehidupan tanpa berpikir atau bertanya tentang
arti hidup. Semua telah diatur sedemikian rupa semenjak seseorang terlahir dari
perut ibunya sampai akhirnya meninggal dunia. 91
Dalam budaya modern, setiap orang umumnya bekerja selama lima hari
perpekan dengan jam kerja delapan jam perhari. Dia bertanggungjawab dalam
sebuah pekerjaan yang telah ditentukan, duduk di alat produksi dan
memperhatika jalannya alat tersebut. Dia bergabung dalam sebuah tim untuk
menghasilkan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak tahu, karena ia hanya ditugasi
untuk mengawasi saja. Sore atau malam hari dia kembali pulang dengan rasa
lelah, walaupun tidak melakukan sesuatu yang berat atau menguras tenaga.
Hasil dari semua itu adalah bahwa kemajuan industri hanya melahirkan
orang-orang yang cemas dalam segala hal dan cenderung individualis. Padahal,
kehidupan modern telah menawarkan kepada mereka beraneka macam jaminan
seperti asuransi jiwa, pendidikan, keluarga, rumah, mobil, pekerjaan,
kebakaran, kesehatan, dan jaminan hari tua. Setiap orang memiliki rasa cemas
yang tidak beralasan, cemas dengan masa depan, khawatir di PHK. Jaminan
ekonomi ternyata tidak otomatis melahirkan ketenangan jiwa. Kehidupan
manusia modern yang gersang, teralienasi, tidak bisa menyesuaikan diri, bosan,
dan hampa telah menyebabkan adanya jiwa-jiwa manusia yang kerdil. Saat
mereka ditimpa musibah, maka mereka tidak akan mampu bersabar menanggng
beban berat yang dihadapi, bahkan lebih memilih lari dari permasalahan,
misalnya mengkonsumsi minuman keras, narkoba, bunuh diri, dan sebagainya.
Mereka tidak mengenal dan menyadari bahwa mereka membutuhkan
keimanan kepada Allah Swt. Mereka hidup secara sekuler, materialistik, dan
91 Ibid.
76
ateistik, sehingga hidup mereka hanya diorientasikan sampai mati saja.
Terpenuhinya kebutuhan materi seperti makan, minun, tidur, dan seks tidaklah
membuat seseorang menjadi bahagia, karena di luar itu ia membutuhkan
sesuatu, yaitu pemenuhan kebutuhan jiwa. Atas problem masyarakat modern
seperti ini, al-Qur’an selalu relevan untuk dijadikan pijakan dan resep untuk
menghilangkan kesedihan dan kecemasan, untuk menggapai kebahagiaan. Salah
satu yang perlu dicatat adalah bahwa keimanan yang kokoh kepada Allah
merupakan fondasi (dasar) untuk meraih ketenangan jiwa, sementara jauh dari
jalan-Nya akan menyebabkan kecemasan dalam jiwa. Setiap orang beriman
dianjurkan oleh Allah untuk kembali kepada Allah, meminta pertolongan
kepada-Nya, dengan disertai sikap sabar. Dengan sikap sabar dalam
menghadapi bencana dan kesusahan, maka ia akan mendapat pahala dari Allah
Swt., sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Baqarah: 155-157 sebagai berikut:
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ’Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendaptkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Keimanan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis,
sehingga mengantarnya hidup tenang, bahagia, dan dapat berkonsentrasi dalam
pekerjaannya. Oleh sebab itu, keimanan kepada Allah Swt. Selalu ditekankan
dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rizki. Beberapa ayat al-
Qur’an menyatakan bahwa Allah adalah Penjamin Rizki manusia, misalnya
dapat dilihat dari QS. Huud: 6 berikut ini: ”Tidak ada satu binatang melatapun
di dunia ini kecuali Allah yang menjamin rezeki-Nya”. Hal ini bukan berarti
bahwa manusia diajak untuk menanti kedatangan rezeki tanpa berusaha, tetapi
77
bertujuan agar manusia yang beriman untuk selalu percaya diri,
mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin apabila rezeki yang
diharapkan beum kunjung tiba.92
Keimanan kepada Allah, kata Sayyid Quthub dalam memahami QS. al-
A’raf: 96, adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik
alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran pengetahuan manusia, serta dinamisme
organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan dalam bidang rasa menyangkut
hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses
dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah Swt. Adalah pendorong yang
sangat kuat. Ia menghimpun semua potensi manusia dan mengarahkannya ke
satu tujuan seraya memberinya kebebasan untuk meraih dukungan kekuatan
Allah, dan melakukan aktivitas sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu membangun
dunia ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan penganiayaan,
serta meningkatkan dan mngembangkan kualitas hidup. Semua ini merupakan
faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan
kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan terhadap hawa nafsu dan
penghambaan diri kepada manusia. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa hanya
manusia yang bebas dan hanya tunduk kepada Allah sematalah yang mampu
menjadi khalifah di bumi, yaitu sebuah kekhalifahan yang lurus, sinambung,
dan terus meningkat, jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi hamba-
hamba hawa nafsu dan manusia lainnya. 93
2. Bertaqwa
92 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.182-183 93 Ibid
78
Selain pentingnya keterkaitan antara iman dan amal saleh dan kehidupan
yang baik (kebahagiaan), sebagaimana telah diuraikan di atas, kebahagiaan
dalam arti keberkahan sangat terkait pula dengan ketakwaan. Hal ini dapat
dipahami dari isyarat yang ada dalam QS. al-A’raf: 96.
Dalam memahami ayat ini, Quraish Shihab menyatakan bahwa
ketakwaan penduduk sebuah negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam
kebajikan dan tolong menolong, dalam mengelola bumi serta menikamtinya
secara bersama-sama. Semakin kuat kerja sama dan semakin tenang jiwa di
antara mereka, makan semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini.
Sebaliknya, mempersekutukan Allah menjadikan perhatian tertuju kepada
sekian sumber yang berbeda-beda dan hal ini mengakibatkan jiwa tidak tenang
(bahagia), sehingga berujung pada tidak konsentrasinya manusia dalam
berusaha dan bekerja. Di sisi lain, kedurhakaan mengakibatkan kekacauan dan
permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada upaya meraih
kesejahteraan, tetapi mengarah kepada upaya membentengi diri dari ancaman
sesama. Demikianah. Allah melimpahkan keberkahan bagi yang beriman dan
bertaqwa, serta menghalanginya bagi yang kafir dan durhaka.94
Menurut Sayyid Quthub, ketakwaan kepada Allah adalah kesadaran
yang bertanggungjawab yang memelihara manusia dari kecerobohan,
ketidakadilan, dan keangkuhan. Ia merupakan pendorong gerak dan hidup. Ia
yang mengarahkan kegiatan manusia dengan hati-hati, sehingga tidak bertindak
sewenang-wenang, tidak ceroboh, dan tidak melampaui batas kegiatan yang
bermanfaat. Dalam konteks hubungan antara keimanan, ketakwaan, dan
keberkahan (kebahagiaan), Sayyid Quthub, sebagaimana dikutip oleh Quraish
94 Ibid.
79
Shihab, berkomentar tentang ayat ini dan ayat sebelumnya, bahwa di hadapan
teks ini kita berhenti menghadapi salah satu hakikat keagamaan, sekaligus
merupakan hakikat kehidupan umat manusia dan hakikat alam raya. Kita
berhenti di hadapan satu faktor dari sekian faktor yang mempengaruhi sejarah
umat manusia, kendati hal ini diabaikan oleh filsafat manusia secara total. 95
Thabathaba’i, kutip Qurais Shihab, dalam memahami QS. al-A’raf: 96 di
atas mengatakan bahwa alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya bagaikan satu badan yang saling
terkait, dalam rasa sakit atau sehatnya. Demikian pula dalam pelaksanaan
kegiatan dan kewajibannya. Semua saling mempengaruhi dan akhirnya
bermuara kembali kepada Allah Swt. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi
dengan baik, maka akan nampak dampak negatifnya pada bagian yang lainnya.
Itulah sunnatullah yang berlaku di alam raya ini. Demikian halnya dengan
kehidupan manusia.
Manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang telah ditetapkan Allah
bagi ”hukum kebahagiannya” akan berdampak pada kehidupan manusia lainnya
dan juga alam semesta ini. Penyimpangan yang dilakukannya akan
mengakibatkan kondisi lingkungan di alam raya ini terganggu, termasuk
manusia yang tinggal di dalamnya. Apabila hal ini terjadi, maka akan lahir krisis
dalam kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam interaksi sosial mereka,
seprti krisis moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman, bahkan lebih dari itu
bisa pula berakibat pada terjadinya musibah dan bencana alam, seperti
”keengganan langit menurunkan hujan atau bumi dalam menumbuhkan
tetumbuhan”, banjir dan airbah, gempa bumi dan benana alam lainnya.
95 Ibid
80
Semua itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah untuk memperingatkan
manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus. Apabila manusia enggan
kembali ke jalan yang lurus, maka di sanalah hati mereka dikunci dan ketika itu
mereka menduga bahwa kehidupan manusia adalah hanya kehidupan material
yang penuh dengan krisis, dan bahwa misi kehidupan mereka di dunia ini
hanyalah untuk menguasai dan menundukkan alam ini. Manusia yang ini
memiliki prinsip (pandangan) hidup seperti ini hanya sibuk untuk selalu
berusaha kuat dengan tenaga dan pikirannya untuk menciptakan ilmu dan
teknologi yang dapat menghindarkan diri mereka dari bencana alam. Mereka
menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan-Nya.96
Paradigma seperti inilah yang sampai hari ini dimiliki oleh manusia
berperadaban Barat-Modern yang saat ini sedang menguasai kehidupan umat
manusia.
3. Berdzikir dan berdo’a
Ayat al-Qur’an yang sering dikutip untuk menjelaskan keterkaitan dzikir
dan kebahagiaan (ketenteraman) adalah QS. ar-Ra’d: 28, yang berbunyi:
الذین امنواوتطمئن قلوبھم بذكر هللا االبذكرهللا تطمئن القلوب
”Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram” .
Menurut Murtadha Muthahhari, lafadz ’alaa dalam ayat di atas, yang
arti asalnya adalah tidakkah, merupakan huruf tanbih (kata tanya yang
berfungsi mengingatkan) yang digunakan untuk memberi ketegasan.
Dzikrillah adalah jar-majrur yang berkaitan dengan lafadz tathmainnul-qulub
96 Ibid, hal. 185
81
(hati menjadi tenteram) yang disebut pertama. Dengan demikian,
didahulukannya kalimat tathmainnu menunjukkan pengertian pembatasan.
Artinya, pengertiannya terbatas pada al itu saja. Maka, ayat di atas
mengandung arti bahwa yang dapat memberikan ketenteraman kepada
manusia adalah mengingat Allah, dan bahwa mencapai sesuatu yang
didinginkan belum tentu mendatangkan ketenteraman (kebahagiaan) hakiki.
Ketenteraman yang diperoleh hanyalah ketenteraman temporal, yang dapat ia
rasakan selama ia menganggap dirinya telah mencapai tujuan hakiki. Akan
tetapi, setelah meneiliti secara cermat dengan fitrahnya, ia baru tahu bahwa
apa yang dierolehnya itu bukanlah tujuan hakiki. Akibatnya, ia pun mengalami
kejenuhan. Satu-satunya hakikat, yang jika sesorang memperolehnya, ia tidak
akan mengalami kejenuhan adalah Allah, yaitu ketika ia sampai pada hakikat
”bertemu” dengan Allah dan mencapai tauhid.97
Selain dengan berdzikir, Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya
beberapa do’a yang berisi permohonan kepada Allah untuk diberi
kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, kesehatan, kesejahteraan, dan terbebas
dari segala kesusahan, kesedihan, dan segala permasalahn hidup, sebagaimana
di bawah ini:
a. اني اعوذ بك من الھم والحزن والعجز والكسل والجبن والبخل اللھم
وضلع الدین وغلبة الرجال
”Ya Allah ssesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan
dan keesedihan, kondisi lemah (tidak berdaya) dan kemalasan, perasaan
takut dan sifat bakhil, serta utang yang berat dan penindasan orang lain
(HR. Bukhari).
97 Murtadha Muthahhari (2008). Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jati Diri Manusia, Jakarta: Lentera, 266-267.
82
b. ربنا اتنا فى الدنیا حسنة وفى اال خرة حسنة وقنا عذاب النا ر ”Ya Tuhan
kami berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan
(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”.
c. اللھم عافني فى بدني اللھم عافني فى سمعي اللھم عافني فى بصري
” Ya Allah, berikan kesejahteraan kepadaku di badanku, berikan
kesehatan di pendengaranku, dan berikan kesehatan di penglihatanku”
Terkait dengan do’a dan dzikir, ada sebuah bacaan populer di kalangan
sebagian besar umat Islam yang diyakini sangat bermanfaat untuk kebahagiaan
manusia, yaitu shalawat. Menurut Rima Olivia, shalawat bisa mendatangkan
perubahan mood bagi para pengamalnya. Pembacaannya secara repetitif
(berulang-ulang) membuat jeda dengan tekanan pikiran yang dialami
seseorang, sehingga ia tidak terkuasai mood. Dalam mood yang lebih mampu
dikendalikan, kesejahteraan emosi (emotional well-being) lebih mudah
tercapai. Kesejahteraan emosi adalah kemampuan untuk memahami nilai
emosinya dan menggunakannya untuk melangkah pada tahap kehidupan
berikutnya dalam arah yang lebih positif. Kesejahteraan emosi melibatkan
pula pengenalan dan peralihan dari ”membenahi yang salah atau kelemahan”
untuk fokus pada bertindak berdasarkan kekuatan, lebih mampu menguasai
emosi, memiliki kapasitas lebih besar untuk menikmati hidup dan fokus pada
prioritas pribadi yang penting. Menurut para pelaku (pengamal) shalawat,
beberapa manfaat psikologis yang nyata yang dirasakan adalah meliputi
kebahagiaan, ketenangan, jalan keluar, mampu mengatasi masalah, menjadi
lebih kreatif, lebih damai, dan menjadi lebih spiritual. 98
98 Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka.Hal. 24-25
83
4. Tazkiyyah (penyucian diri)
Untuk menggapai kebahagiaan, Allah menegaskan pentingnya langkah
tazkiyyah (penyucian diri) yang perlu dilakukan oleh setiap manusia.
Seabagaimana telah diungkapkan sebelunya, hal ini dapat dipahami dari
kandungan makna qad aflaha dan tazakkaa atau zakkaa QS. asy-Syams: 9-10,
dan al-A’la: 14, dan terkait pula dengan al-Mu’minun: 1-11. Qurais Shihab
menjelaskan bahwa tazakkaa lebih tepat dipahami sebagai perbuatan
menyucikan diri (tazkiyah), atau yang lebih tepat lagi adalah penyucian diri
dan peningkatan diri, bukan zakat fitrah sebagaimana dipahami oleh sebagian
ulama. Dalam memahami QS. asy-Syams: 9-10 di atas, al-Biqa’i menulis
bahwa penyucian adalah upaya yang sungguh-sungguh manusia agar matahari
kalbunya tidak mengalami gerhana, dan bulannya pun tidak demikian. Ia harus
berusaha agar siangnya tidak keruh dan tidak pula malamnya. Cara untuk
meraih hal ini adalah dengan memperhatikan hal-hal spiritual yang serupa
dengan hal-hal yang secara material digunakan Allah untuk bersumpah dalam
ayat-ayat sebelumnya. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah
tuntunan kenabian. Artinya, semua yang berkaitan dengan kenabian adalah
cahaya benderang serta kesucian yang mantap. Dhuha, yaitu cahaya matahari
saat sepenggalahan naik adalah risalah kenabian itu, bulannya adalah
kewaliannya. Siang adalah ’irfan (pengetahuan suci), malamnya adalah
ketiadaan ketenangan akibat terabaikannya dzikir dan tidak adanya perhatian
terhadap tuntutnan Ilahi serta berpalingnya diri dari menerima tuntunan
kenabian dan kewalian Allah Swt. Kewalian yang dimaksud adalah tuntunan
para ulama yang mengamalkan tuntunan Allah, karena merekalah pada
84
hakikatnya wali-wali Allah., karena kalau bukan mereka, siapa lagi?. Inilah
makna tazkiyah dalam ayat ini. 99
Dalam tinjauan psikologis, ayat ini dan ayat sebelumnya daam QS. as-
Syams di atas, sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa manusia yang telah
memiliki potensi (fitrah) kebaikan dan keburukan masih dituntut untuk dapat
meningkatkan kualitas jiwanya, menyucikan, serta mengembangkan potensi
kebaikan, dalam rangka mengalahkan potensi keburukan yang ada dalam
dirinya. Inilah orang yang akan bahagia (bernutung). 100Sebaliknya, orang
yang mengabaikan, menyesatkan, dan melemahkan potensi baik, dan malah
menumbuhkan potensi yang buruk, maka ia termasuk golongan yang rugi atau
celaka.
5. Lain-lain.
Di luar beberapa hal di atas, terdapat bebeerapa hal lain dalam al-
Qur’an yang terkait dengan perolehan kebahagiaan. Banyaknya ayat-ayat al-
Qur’an yang berbicara tentang kebahagiaan tampaknya mengindikasikan
bahwa tema ini sesuai dengan sifat dasar manusia yang senantiasa mencari dan
mendambakannya. Itulah yang sesungguhnya juga menjadi tujuan hidup
manusia. Setiap orang ingin selalu bahagia atau dapat meraih kebahagiaan.
Apapun aktivitas dan kesibukan manusia pada dasarnya akan bermuara pada
pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan di sini tentu saja seharusnya bukan
sekedar kesenangan atau kepuasan lahiriah yang bersifat jangka pendek dan
sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah, hakiki, lestari, dan
jangka panjang (dunia-akhirat). Kebahagiaan seperti ini sesungguhnya dapat
dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun kita, baik yang
99 Quraish Shihab, Tafsir al_Mishbah…Vol 15., hal. 301 100Rif’at Syauqi Nawawi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah, Hal 29
85
kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan kebahagiaan yang
sejati. Termasuk halnya dalam hal beragama, beriman dan menjalankan ajaran
agama, sesungguhnya juga dalam rangka menggapai kebahagiaan.
Bukankah setiap hari, paling tidak sebanyak 10 kali, umat muslim
diseluruh dunia selalu diajak oleh muadzin di seluruh dunia dengan ucapan
Hayya alal falaah…..yang artinya “ marilah meraih kebahagaiaan. Panggilan
suara muazzin ini sudah cukup menjadi bukti bahwa agama Islam memanggil
umatnya setiap saat untuk meraih kebahagiaan.101 Demikian pula, jika
seorang muslim membaca Al-Qur’an, maka akan banyak ia temukan ayat-ayat
yang diakhiri dengan kata-kata la’allakum tuflihuuna, yang artinya “supaya
kalian berbahagia”, misalnya dalam surat Al Baqarah, ayat 189, Allah
berfirman :”….Bertaqwalah kepada Allah agar kalian berbahagia”.
Kemudian dalam surat Al-Maidah, ayat 35 Allah juga berfirman : “Wahai
orang-orang beriman! Bertaqwalah kepada Allah. Carilah jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Berjuanglah di jalan Allah agar kalian
berbahagia. Begitu pula halnya dengan firman Allah dalam Q.S Al-Hajj ayat
77: “ Wahai orang-orang beriman ! Ruku’lah dan sujudlah. Beribadahlah
kepada Tuhanmu, serta berbuatlah kebaikan agar kalian berbahagia”.
Contoh-contoh ayat di atas dan ayat-ayat lain menunjukkan bahwa
tujuan akhir dari semua perintah Allah pada dasarnya adalah agar kita manusia
dapat meraih kebahagiaan. Al Qur’an juga menunjukkan kepada kita
perbuatan-perbuatan apa saja yang bisa membawa kita menuju kebahagiaan.
Kita melakukan ibadah shalat, puasa, berzakat, bersedekah, berhaji, berzikir,
bertaubat, dan sebagainya, adalah dalam rangka mencapai kebahagiaan. Jadi
101 Rakhmat (2008). Tafsir Kebahagiaan……hal 7
86
semua ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya bukan untuk Allah, tetapi
untuk kepentingan kita sendiri, demi kebahagiaan manusia sendiri. Demikian
pula mengapa Allah menyuruh manusia untuk menjauhi larangan-larangan-
Nya; seperti minum-minuman keras, narkoba, berjudi, berzina, memfitnah,
korupsi, dan sebagainya, maka itu semua sebenarnya bertujuan agar mereka
bisa hidup berbahagia, tidak sengsara pada akhirnya.
Ibnu Sa’di merangkum berbagai aspek dalam ajaran Islam yang dapat
dijadikan “petunjuk operasional” bagi setiap muslim agar hidupnya sukss dan
bahagia. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesuksesan
hidup manusia bersandar pada prinsip-prinsip berikut ini: 102
1. Faktor terpenting dan paling utama yang menentukan kebahagiaan
dan kesuksesan manusia adalah iman kepada Allah SWT dan amal
saleh, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 97.
2. Berbuat baik kepada sesama makhluk, baik dengan perkataan
maupun tindakan. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa orang
yang bahagia cenderung akan berbuat baik. Manusia diajak terlebih
dahulu untuk berbahagia, kemudian diajak untuk mempertahankan
kebahagiaan itu dengan berbuat baik . Artinya, manusia hanya dapat
membahagiakan orang lain, jika kita telah berhasil membahagiakan
diri.
3. Menekuni satu pekerjaan tertentu atau ilmu tertentu yang
bermanfaat, membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang
102 Lihat Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-Najihah, terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka, hal. 65
87
bermanfaat, dan berusaha mewujudkan kebahagiaan dan kesuksesan
yang diinginkan.
4. Memusatkan konsentrasi pada pekerjaan yang dilakukan hari ini dan
tidak terganggu dengan hal-hal yang akan dilakukan pada masa
yang akan datang, serta membersihkan pikiran dari kesedihan atas
perbuatan yang dilakukan pada masa lalu.
5. Memperbanyak dzikir kepada Allah, sesuai firman Allah dalam Q.S.
Ar-Ra’du ayat 28: “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati ini menjadi tenteram”
6. Selalu mengingat seluruh nikmat yang telah dikaruniakan Allah baik
yang tampak maupun tidak.
7. Berusaha menghilangkan faktor-faktor yang dapat mendatangkan
kesedihan dan berusaha mengambil tindakan yang akan
mendatangkan kebahagiaan.
8. Berusaha meningkatkan kekuatan hati dan menjauhkannya dari
khayalan atau angan-angan yang disebabkan oleh pikiran yang
kotor.
9. Memprioritaskan pekerjaan yang terpenting dan bermanfaat.
C. Sebuah Perbandingan
Yang dimaksud dengan perbandingan di sini adalah perbandingan antara
perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam (Qur’ani) tentang kabahagiaan. Para
psikolog dan filosof tampaknya masih terus berbeda pendapat seputar esensi
kebahagiaan dan metode untuk memperolehnya. Artinya, tinjauan yang
88
dikemukakan oleh para psikolog kontemporer sangat bersifat subyektif, relatif, dan
cenderung mendekati masalah kebahagiaan manusia secara spekulatif. Sedangkan
al-Qur’an membahas masalah kebahagiaaan manusia tidak hanya secara subyektif,
tetapi juga secara obyektif. Artinya betul-betul memberi pilihan-pilihan terhadap
manusia secara jelas dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam
mengarungi kehidupan.
Dalam kajian psikologi modern, pembahasan tentang bagaimana metode
mencapai kebahagiaan lebih mendapatkan perhatian daripada upaya memahami
esensi kebahagiaan itu sendiri. Sementara, al-Qur’an menunjukkan kepada para
pembacanya tentang esensi kebahagiaan, tingkatan kebahagiaan, mengajak mereka
untuk memilih bahagia, sifat-sifat orang yang bahagia, dan bagaimana caranya
untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidup.
Adanya perbedaan sudut pandang di atas, maka hal ini semakin
mempertegas bahwa psikologi yang berakar nilai-nilai sekularisme di Barat,
meskipun memasukkan nilai spiritualitas dalam diskursus kebahagiaan manusia
tidaklah memberikan sebuah panduan hidup yang relatif mantap kepada manusia
dalam menggapai kebahagiaan hidupnya. Di sinilah letak kebutuhan kajian-kajian
psikologis yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani menempati relevansinya. Qur’an
tidak hanya mengkaji aspek-aspek psikolgis manusia secara ”apa adanya”, tetapi
juga ”bagaimana seharusnya”. Qur’an mendampingi manusia untuk menapaki
setiap relung-relung kehidupannya, dari dunia sampai akhirat.
89
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan beberapa pandangan al-Qur’an tentang makna,
tingkatan, ajakan, dan petunjuk menuju kebahagiaan yang telah diuraikan secara
panjang lebar, maka dapat disimpulkan beberapa prinsip penting yang harus digaris
bawahi berikut ini:
1. Tema kebahagiaan sesungguhnya selalu relevan dengan sifat dasar manusia
yang senantiasa mencari dan mendambakan hidup yang bahagia. Hal ini karena
setiap manusia pada dasarnya ingin selalu bahagia atau dapat meraih
kebahagiaan. Apapun aktivitas dan kesibukan manusia, pada dasarnya akan
bermuara pada pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan di sini tentu saja
seharusnya bukan sekedar kesenangan atau kepuasan lahiriah yang bersifat
jangka pendek dan sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah,
hakiki, lestari, dan jangka panjang (dunia-akhirat). Kebahagiaan seperti ini
sesungguhnya dapat dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun
manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan
kebahagiaan yang sejati. Dengan beragama, beriman dan bertakwa,
sesungguhnya manusia diajak untuk menempuh jalan kebahagiaan.
2. Kebahagiaan sesungguhnya bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri dan
bukan dari luar. Pencapaian kebahagiaan bukan dengan mengejar-ngejar
kenikmatan materi (duniawi) yang posisnya jauh di bawah kenikmatan ruhani
(spiritual). Kenikmatan ruhanilah yang dapat menumbuhkan ketenangan,
kelapangan, dan kedamaian dalam hidup.
90
3. Islam adalah sumber kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Hal ini karena Islam merupakan jalan hidup terbaik dan agama yang
memperhatikan keseimbangan internal dan eksternal manusia. Islam juga
mengajak kepada pengembangan fisik, jiwa, dan ruh sekaligus dan mengatur
semua aspek kehidupan manusia, yang berlandaskan konsep tauhid.
4. Kebahagiaan tidak dapat ditunggu atau terjadi secara kebetulan, tetapi hal itu
merupakan buah dari usaha yang kuat dan terus-menerus dalam
mengembangkan seluruh aspek manusia, yaitu fisik, psikis, dan ruh, serta
membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.
5. Kajan ini semakin mempertegas bahwa psikologi yang berakar nilai-nilai
sekularisme di Barat, meskipun memasukkan nilai spiritualitas dalam wacana
kebahagiaan manusia tidaklah memberikan sebuah panduan hidup yang relatif
mantap kepada manusia dalam menggapai kebahagiaan hidupnya. Di sinilah
letak kebutuhan kajian-kajian psikologis yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani
menempati relevansinya.
B. Rekomendasi
Apa yang dihasilkan kajian ini tampaknya masih perlu disempurnakan, dengan
sumber-sumber yang lebih luas dan berbobot. Meskipun Al-Qur’an banyak
menawarkan berbagai tinjauan tentang masalah kebahagiaan manusia, bukan berarti
bahwa itu sudah taken for granted bagi manusia awam, sebagaimana buku-buku
bergenre self help. Artinya, masih diperlukan pemahaman dan kajian yang
mendalam tentang ayat-ayat nafsani (psikologis), khususnya tema kebahagiaan, yang
kemudian disusun dalam bentuk buku motivasi atau apapun namanya, yang
bermanfaat buat masyarakat muslim awam dalam menjalani kehidupannya. Semoga
91
kajian ini menjadi salah satu inspirasi buat para peminat kajian psikologi Islami
dalam mengkaji persoalan-persoalan psikologis dalam perspektif al-Qur’an,
92
DAFTAR PUSTAKA
Aam Amiruddin (2008). Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Juz Amma Jilid 1. Bandung: Khazanah Intelektual
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, dalam
Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5
Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press Al-Wasi’ Ensiklopedi al-Qur’an ver. 1.0.0 dalam Maktabah Al- Kubra: Media
Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5 Al-Farmawy (1977). al-Bidayah fi al-Maudhu’I, Kairo Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim (2006). Madarijus Salikin: Pendakian Menuju
Allah. Terj. Oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan
Abadi, terj. Oleh: Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa (1994) Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra Al-Qu’ayyid, Ibrahim Hamd (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-
Najihah, terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka
Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka. dalam https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/
Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung:
Pustaka Setia Bagir, Haidar (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan Bastaman, H.D. & Fuat N.S. : 1995, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar ---------------------(2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna
Hidup dan Meraih Hidup Bermakna , Jakarta : Rajawali Pers. Gulen, M. Fethullah (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab
Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar. Singapura: Pustaka Nasional.
93
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan
https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-
terhadap-kalangan-profesional-muda-di-indonesia/ Joko Tri Haryanto dalam
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-pembangunan-nasional
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media
Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki
Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati
Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com Martokoesoemo, Priatno H. (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan Muthahhari, Murtadha (2007), Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama,
Bandung : Mizan ------------(2008), Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia,
Jakarta : Penerbit Lentera Nawawi, Rif’at Syauqi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat Rakhmat, Jalaluddin (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung : Simbiosa
Rekatama Media ---------- (2010), Tafsir Kebahagiaan, Bandung: Serambi ---------- (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda
----------(1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan,
Bandung; Rosda Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan
meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka
Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016
Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani
94
Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani.
Shihab, M. Quraish (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-
surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah.
------------(2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-
Qur’an, Jakarta: Lentera Hati -------------(1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan
Sentanu, Erbe (2008), Quantum Ikhlas : Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati,
Jakarta : Elex Media Komputindo Wiradisuria. M. Sambas (2011). The Road to Happiness: Menggapai
Kebahagiaan. Depok: Khazanah Mimbar Plus
Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014
95