Upload
mulyati-nazaruddin-zuryani
View
214
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tt
Citation preview
BAB 15
KEBIJAKAN KRIMINALISASI KUMPUL KEBO DAN SANTET
DALAM KONSEP RUU KUHP
Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo dalam Konsep KUHP
“Kumpul Kebo merupakan istilah populer di masyarakat untuk menyebut perbuatan
hidup bersama diluar pernikahan yang sah.
Dalam KUHP yang berawal dari WvS (Wetboek van Strafrecht) zaman Hindia-
Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat di pidana.
Kumpul kebo ini kemudian dijadikan tindak pidana, yaitu sejak konsep tahun 1977
yang disusun oleh Tim Basaruddin, dkk. Dalam perkembangan konsep berikut sampai
dengan konsep 1989/1990 rumusan delik kumpul kebo pernah ditiadakan atau ditarik
kembali, namun kemudian dimasukkan kembali dalam konsep 1991/1992.
Akhir-akhir ini muncul pendapat pro dan kontra tentang kumpul kebo. Kritik dari
pandangan kontra antara lain, menyatakan bahwa di banyak negara masalah asusila
tidak pernah di persoalkan karena di negara memang tidak berhak untuk mengurusi
moral dan rasa kesusilaan. Sedangkan menurut pendapat yang pro, kumpul kebo
merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak ada
aturannya dan belum terjamah oleh hukum.
Dilihat dari pendekatan nilai, pembaruan hukum pidana merupakan peninjauan dan
penilaian kembali re-orientasi dan re-evaluasi pokok-pokok pikiran atau ide dasar.
Orientasi dinilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama dengan orientasi nilai
dari hukum pidana lama warisan penjajahan. Pembaharuan hukum pidana harus
ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi dengan kebijakan dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi dengan nilai.
Pembaruan hukum pidana nasional se-yogyanya dilatar belakangi dan berorientasi
pada ide-ide dasar Pancasila yang mengandung keseimbangan nilai/ ide/paradigma:
(a) moral religus (ketuhanan), (b) kemanusiaan (humanistis), (c) kebangsaan, (d)
demokrasi, dan (e) keadilan sosial.
Ide pembaruan hukum pidana dan penegakan hukum tertuang dan terlihat antara lain
di dalam:
1. Kesepakatan pertemuan ilmiah nasional antara lain dalam seminar hukum
nasional I/1963 ; IV/1979; VI/1995; VIII/2003 Simposium pembaruan hukum
pidana nasional 1980.
2. Kebijakan legislatif nasional UU no. 1 Drt. 1951 dan UU No. 14/1970 jo. Dan
yang saat ini sudah gianti dengan UU no. 4/2004
3. Laporan kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders” (antara lain Kongres V/1975; Kongres VI/1980; Kongres
VII/1985; Kongres VIII/1980)
Kebijakan pembangunan hukum nasional berarti sebagai sumber substansi penulis
yang dapat:
Memperkuat landasan budaya keagamaan yang sudah berkembang dalam
masyarakat.
Memfasilitasi perkembangan keberagaman dalam masyarakat dengan
kemajuan bangsa.
Mencegah konflik sosial antar umat beragama dan meningkatkan kerukunan
antar umat bangsa.
Pancasila pada hakikatnya mengandung nilai-nilai kesusilaan atau kesepakatan
nasional yang didalamnya mengandung nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang
didasari pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dilandaskan pad moralitas religius atau
Ketuhanan yang diwujudkan didalam UU No. I/1974 Tentang Perkawinan yang
menyatakan, bahwa:
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1).
Ini berarti, “kumpul kebo” bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan/kesepakatan
nasional itu dan wajar diangkat sebagai delik. Delik yang disebutkan dalam pasal $%
antara lain, melanggar pasal 10 ayat 3 (yaitu, melaksanakan perkawinan yang tidak
sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya, tidak dilakukan dihadapan petugas
pencatat dan tidak dihadiri oleh dua orang saksi).
Beberapa KUHP asing juga mengatur delik “kumpul kebo”, antara lain:
1) Pasal 193 KUHP Republik. Federal Yugoslavia 1951, yang mengaturnya sebagai
berikut:
1. Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan (“living in non-
matrimonial union”, identik dengan “kumpul kebo”, pen) dengan anak yang
telah mencapai usia 14 tahun dipidana pejara tidak kurang dari 3 bulan.
2. Pidana yang sama juga dikenakan kepada orang tua atau wali yang
mengizinkan atau mendorong/membujuk anak di atas 14 tahun untuk kumpul
kebo dengan orang lain.
3. Apabila tindak pidana dalam ayat (2) dilakukan untuk keuntungan pribadi
maksimum pidana penjara berat 5 tahun.
4. Apabila perkawinan berlangsung penuntutan tidak dilakukan dan apabila
telah dilakukan penuntutan, penuntutan itu tidak dilanjutkan.
2) KUHP Singapura dan Malaysia
Dalam bab XX tentang “Offences Relating to Marriage”, ada pasal yang
mengancam pidana terhadap seorang laki-laki yang hidup bersama sebagai suami
istri (cohabitation) melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang
karena ditipu percaya bahwa (wanita itu) telah kawin secara sah dengan laki-laki
itu (Pasal 493).
Ketentuan seperti Pasal 493 Singapura dan Malaysia di atas, ada juga di dalam
KUHP Brunei, India, Burma (Myanmar) dan Kepulauan Fiji.
3) KUHP Brunei Darussalam
4) KUHP India
5) KUHP Burma (Myanmar)
6) KUHP Fiji
7) KUHP Cina
Menurut Pasal 42 KUHP Cina, lamanya pidana tahanan/kurungan (criminal
detention) berkisar dari minimal satu bulan sampai maksimal enam bulan.
8) KUHP Kanada
Menurut KUHP Kanada:
1. Poligami dijadikan tindak pidana dan diancam dengan pidana maksimal 5
tahun penjara
2. Menurut Pasal 293 (1), yang dimaksud dengan tindak pidana “poligami”
ialah setiap orang:
a. Yang melakukan atau ikut serta melakukan atau dengan cara apapun
menyetujui/menyepakati untuk melakukan atau ikut serta melakukan
setiap bentuk poligami; setiap bentuk hidup bersama sebagai suami istri
dengan lebih dari satu orang pada saat yang sama, apakah hal itu diakui
atau tidak oleh UU sebagai bentuk ikatan perkawinan.
b. Yang menyelenggarakan, membantu untuk melakukan upacara,
perjanjian, atau setuju untuk mendukung hubungan sebagaimana disebut
dalam poin (a)
3. Kumpul kebo termasuk delik poligami, artinya kumpul kebo yang dijadikan
tindak pidana bukan sekadar hidup bersama dengan orang lain, tetapi “hidup
bersama bagai suami istri dengan lebih dari satu orang pada saat yang sama.
4. Menurut pasal 293 (2) untuk adanya tindak pidana poligami ini tidak perlu
dibuktikan bahwa tersangka telah melakukan atau bermaksud melakukan
hubungan seksual.
9) KUHP Uzbekistan
Pasal 126 mengatur delik “Polygyny” yaitu “hidup bersama dengan sekurang-
kurangnya dua wanita dalam satu rumah tangga”.
Dari bahan-bahan perbandingan di atas terlihat, bahwa ternyata negara lain pun
mengatur masalah kumpul kebo dan bahkan lebih tegas atau lebih berat dibandingkan
dengan yang diatur dalam Konsep KUHP Indonesia, karena:
a. Seorang laki-laki yang hidup bersama (kumpul) dengan seorang wanita di luar
nikah, sudah dapat dipidana tanpa diperlukan syarat
terganggunya/tersinggungnya perasaan kesusilaan atau perasaan keagamaan dari
masyarakat/lingkungan setempat, sedangkan dalam konsep pernah dimasukkan
persyaratan seperti itu (kecuali dalam Konsep 1994, 1997/1998, dan 2004 sd
2008)
b. Kumpul kebo tidak dijadikan delik aduan, sedangkan dalam Konsep 2000 dan
2002 dijadikan delik aduan, yang pada mulanya tidak dijadikan delik aduan,
dalam perkembangan Konsep 2004 sd 2007 tidak dijadikan delik aduan.
c. Di Yugoslavia, yang dipidana tidak hanya yang melakukan kumpul kebo, tetapi
juga orang tua yang mengizinkan anak (perempuan) di atas 14 tahun untuk
kumpul kebo dengan orang lain
d. Ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan konsep.
Dengan diaturnya masalah kumpul kebo di berbagai KUHP negara lain, berarti negara
lain juga mengurusi masalah moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Jadi, tidak benar
adanya pendapat seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, bahwa dibanyak negara
masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena negara tidak berhak mengurusi moral
dan rasa kesusilaan masyarakat.
Sistem hukum pidana substantif (KUHP) secara politik pada hakikatnya merupakan
ciri simbolis dari ekspresi/pernyataan kesatuan nasional, dan secara moral merupakan
perwujudan/manifestasi penilaian masyarakat terhadap nilai-nilai sentral yang
mengikat dan membatasi perilaku anggota masyarakat. Di Indonesia sistem
hukumnya dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang
Maha Esa yang mengandung di dalamnya nilai-nilai/paradigma moral religius.
Kebijakan Kriminalisasi Masalah Santet dalam Konsep RUU KUHP
Yang dimasukkan/diatur dalam Konsep KUHP, bukan “delik santet” tetapi “delik
yang berhubungan dengan masalah santet”, khususnya yang berkaitan dengan
“penawaran bantuan jasa/sarana dari seseorang yang mengaku mempunyai keahlian
supranatural untuk melakukan suatu kejahatan/tindak pidana”.
Adapun alasan/ latar belakang pemikiran/pertimbangan Konsep KUHP mengatur
masalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian, kajian tesis/disertasi dan masukan dari berbagai
seminar, masalh persantetan merupakan salah satu fenomena dan sekaligus
problema sosial yang ada di dalam masyarakat, karena praktik persantetan sangat
meresahkan dan sangat dicela.
2. Sebagai bentuk respons terhadap fenomena, realita, dan problem sosial itu,
konsep berusaha untuk mengaturkannya dalam ketentuan-ketentuan RUU KUHP.
Terlebih dalam KUHP yang saat ini berlaku, ada juga perbuatan-perbuatan yang
berhubungan dengan hal gaib yang dijadikan tindak pidana, yaitu:
1) Perbuatan untuk menyatakan peruntungan/nasib seseorang, mengadakan
peramalan atau penafsiran mimpi (Pasal 545)
2) Menjual, menawarkan, menyerahkan, membagiakan atau mempunyai
persediaan untuk dijual/dibagikan, jimat-jimat atau benda-benda yang
dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib (Pasal 546)
3) Saksi di persidangan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti (Pasal
547)
Kalau menurut KUHP yang sekarang berlaku, perbuatan menjadi tukang
ramal nasib/mimpi dan memakai jimat saja di ancam pidana, maka praktik
persantetan tentunya lebih layak untuk di-kriminalisasi-kan.
3. Disamping itu, di dalam KUHP yang sekarang berlaku ada delik umum tentang
“penawaran bantuan untuk melakukan tindak pidana” (Pasal 162)
4. Jadi diadakannya perumusan Pasal 292 dimaksudkan untuk memperluas untuk
memperluas jangkauan Pasal 162 KUHP kepada bentuk bantuan yang lebih
khusus dan dijadikan sebagai delik yang berdiri sendiri. Dengan demikian,
dirumuskannya pasal 292 Konsep, disamping untuk memperluas jangkauan Pasal
162 KUHP, juga dimaksudkan untuk memperluas atau menambah jenis-jenis
delik pembantuan yang lebih khusus dan berdiri sendiri sebagaimana tersebar
dalam beberapa pasal KUHP, antara lain:
a. Pasal 333 (4): memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang
melawan hukum;
b. Pasal 394 : dokter/bidan yang melakukan atau membantu melakukan
delik-delik abortus provocatus;
c. Pasal 415 :menolong/membantu seorang pejabat yang menggelapkan
uang atau surat berharga
d. Pasal 417 : menolong/ membantu seorang pejabat yang menggelapkan,
menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang-
barang bukti.
RESUME KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TENTANG
KEBIJAKAN KRIMINALISASI KUMPUL KEBO DAN SANTET
DALAM KONSEP RUU KUHP
Oleh:
AGUNG SAPUTRA
502012326
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2014