14
Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 43 POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOTA: KOMPARASI KOTA BANDUNG DAN KOTA KOBE- JEPANG Puspa Mirani Kadir 1 Amaliatun Saleha 2 Nandang Rahmat 3 1 Japanese Department , Padjadjaran University, Indonesia 1 E-mail address: [email protected] 2 Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia 2 E-mail address: [email protected] 3 Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia E-mail address: [email protected] Abstract Communities in particular cities cannot survive without taking care of their members’ welfares. Therefore, the community’s social workers in several cities have made various efforts to overcome social problems such as the low levels of children's education and the problem of aging society. Some communities, particularly in urban areas, are founded to empower their people. One of urban cities in Indonesia which actively empower its people is Bandung. Relying on professional systems, Bandung strengthens the empowerment of local communities based on the values of togetherness, social moral/ethics, honesty, and mutual trust as well as highlighting its culture. This togetherness value is called in Indonesian as gotong royong. Similar idea has been used by a city in Japan, Kobe. Using a term called sougo fujo, it comprises the idea of togetherness to empower Japanese society. This research aims to compare the ideas of gotong royong and sougo fujo. By comparing social empowerment systems in developed countries like Japan, it will broaden the horizons of value orientation in our country. Similar to communities in Bandung, Kobe communities use their local wisdom to solve their social problems and empower their people. These ideas show that communities’ empowerment can be conducted by engaging the value of togetherness from their members. Key Words: empowerment, community, behavioral patterns, social value 1. Latar Belakang Kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat kota ditunjang dengan berbagai program pemerintah kota setempat dan komunitas masyarakat yang mendukung program tersebut. Salah satu program pemerintah Kotamadya Bandung dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya adalah Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan Wilayah (PIPPK). Program ini memiliki konsep desentralisasi yang menunjang pembangunan merata ke seluruh wilayah dan organisasi

Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 43

POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOTA:

KOMPARASI KOTA BANDUNG DAN KOTA KOBE- JEPANG

Puspa Mirani Kadir

1

Amaliatun Saleha2

Nandang Rahmat3

1 Japanese Department , Padjadjaran University, Indonesia

1E-mail address: [email protected]

2 Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia

2E-mail address: [email protected]

3Japanese Department, Padjadjaran University, Indonesia

E-mail address: [email protected]

Abstract

Communities in particular cities cannot survive without taking care of

their members’ welfares. Therefore, the community’s social workers in several

cities have made various efforts to overcome social problems such as the low

levels of children's education and the problem of aging society. Some communities,

particularly in urban areas, are founded to empower their people. One of urban

cities in Indonesia which actively empower its people is Bandung. Relying on

professional systems, Bandung strengthens the empowerment of local

communities based on the values of togetherness, social moral/ethics, honesty,

and mutual trust as well as highlighting its culture. This togetherness value is

called in Indonesian as gotong royong. Similar idea has been used by a city in

Japan, Kobe. Using a term called sougo fujo, it comprises the idea of togetherness

to empower Japanese society. This research aims to compare the ideas of gotong

royong and sougo fujo. By comparing social empowerment systems in developed

countries like Japan, it will broaden the horizons of value orientation in our

country. Similar to communities in Bandung, Kobe communities use their local

wisdom to solve their social problems and empower their people. These ideas

show that communities’ empowerment can be conducted by engaging the value of

togetherness from their members.

Key Words: empowerment, community, behavioral patterns, social value

1. Latar Belakang

Kesejahteraan dan

keberlangsungan hidup masyarakat

kota ditunjang dengan berbagai

program pemerintah kota setempat

dan komunitas masyarakat yang

mendukung program tersebut. Salah

satu program pemerintah Kotamadya

Bandung dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakatnya adalah

Program Inovasi Pembangunan dan

Pemberdayaan Wilayah (PIPPK).

Program ini memiliki konsep

desentralisasi yang menunjang

pembangunan merata ke seluruh

wilayah dan organisasi

Page 2: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 44

kemasyarakatan di Kota Bandung,

dan tujuannya mempercepat

perubahan di wilayah kota Bandung.

Selain bertujuan meningkatkan

pembangunan infrastruktur wilayah,

PIPPK juga mendukung

pemberdayaan masyarakat.

Program ini diciptakan oleh

pemerintah kota Bandung atas dasar

pemikiran bahwa pembangunan

suatu daerah bukan hanya tanggung

jawab pemerintah, tetapi juga

membutuhkan sinergi dari

pemerintah, masyarakat dan tenaga

profesional. Pemerintah Kota

Bandung mengharapkan program ini

dapat membantu masyarakat di

wilayah kelurahan, kecamatan,

hingga wilayah pusat menjadi lebih

pintar, lebih sejahtera, lebih mandiri

dan bisa menolong diri mereka

sendiri.. Pada lampiran Peraturan

Walikota Bandung no 436 tahun

20151)

, dijelaskan bahwa bahwa

kegiatan PIPPK ini dilaksanakan

oleh pemerintah dan Lembaga

Kemasyarakatan (RW, PKK, Karang

Taruna, LPM) dalam Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD)

Kecamatan se-Kota Bandung.

Kegiatan PIPPK ini didasari oleh

beberapa prinsip dasar di antaranya

adalah sebagai berikut:

1. Bertumpu pada pembangunan

manusia, dalam arti

meningkatkan harkat dan

martabat manusia.

2. Berorientasi pada masyarakat

miskin.

3. Inovasi yaitu modifikasi

gagasan dalam pembangunan

berbasis pemberdayaan

masyarakat,

4. Masyarakat berpartisipasi

aktif dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengendalian,

monitoring dan evaluasi

kegiatan, serta

pertanggungjawaban.

5. Masyarakat diberikan

otonomi dalam pelaksanaan

kegiatan.

6. Kesetaraan dan keadilan

gender dalam kegiatan

PIPPK.

7. Kolaborasi masyarakat dan

keberlanjutan melalui PIPPK.

Upaya pemberdayaan dan

peningkatan kesejahteraan

masyarakat di Kota Bandung,

dirasakan sejak munculnya program

tersebut, dan upaya ini tidak saja

dilakukan oleh pemerintah kota

Page 3: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 45

Bandung, tetapi juga dilakukan oleh

komunitas masyarakat berdasarkan

kebutuhan dan potensi daerahnya

masing-masing2)

. Salah satu

komunitas masyarakat yang aktif

mendukung upaya pemberdayan

masyarakat di kota Bandung, adalah

GSSI (Generasi Semangat Selalu

Ikhlas). GSSI dibentuk oleh Tini

Martini Tapran, lulusan Jurusan

Fisika ITB sekaligus pemerhati

lingkungan di Kota Bandung sejak

tahun 2010. Kegiatannya diawali dari

4 kegiatan besar yaitu Penggerak

Kampung, GSSI Kids Club, Sekolah

Relawan, Buku untuk Sahabat. GSSI

berhasil menggerakkan dan

memberdayakan masyarakat

perumahan padat Kampung Cibunut,

khususnya wilayah RW 07,

Kelurahan Kebon Pisang, Kecamatan

Sumur Bandung. Wilayah padat di

pinggiran sungai Cibunut yang dulu

dikenal sebagai daerah pinggiran

sungai yang kumuh berhasil menjadi

kampung kreatif berwawasan

lingkungan yang bebas sampah dan

memiliki Kelompok Swadaya

Masyarakat bernama OH Darling

(Orang hebat Sadar Lingkungan).

Selain daerah Cibunut,

kegiatan pemberdayaan masyarakat

terlihat juga di Kecamatan Cibiru,

Kabupaten Bandung. Wilayah

Kecamatan Cibiru yang menjadi

studi kasus dalam penelitian ini

kegiatan Rukun Warga (RW) 06 dan

RW O7, Kelurahan Cipadung. Kedua

RW ini berada di sekitar Universitas

Islam Negeri Gunung Jati yang

banyak dihuni oleh para mahasiswa

dan akademisi. Menilik dari poin-

poin diatas, wilayah ini memiliki

potensi untuk pengembangan

pemberdayaan masyarakat yang

berbasis pendidikan.

Dengan adanya perbedaan

potensi dan kebutuhan masyarakat di

setiap wilayahnya, kegiatan

pemberdayaan masyarakat di setiap

wilayah memiliki pola atau sistem

pemberdayaan masyarakat yang

berbeda karena tergantung dari

potensi masyarakat dan kebutuhan

daerahnya masing-masing.

Permasalahan yang berkaitan dengan

pola pemberdayaan ini akan menjadi

fokus permasalahan dalam penelitian

ini yang akan membahas secara

khusus pola pemberdayaan

masyarakat di Kecamatan Cibiru.

Sebagai pembanding, pola

pemberdayaan masyarakat

khususnya di kota Kobe mulai tahun

Page 4: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 46

2001 (Asahi Newspaper, November

2002 edisi pagi) akan dibandingkan.

Melalui artikel jurnal tersebut

diketahui bahwa kegiatan komunitas

masyarakat di Kobe dimulai dari

keinginan untuk memenuhi

kebutuhan ibu rumah tangga dan

orang tua yang bekerja, terlebih bagi

mereka yang ingin menitipkan anak-

anak dan menjemputnya kembali

untuk waktu yang singkat.

Koordinator komunitas tersebut

melakukan intermediasi antar

anggota yang ingin mendukung dan

anggota yang ingin berkecimpung di

dalamnya. Dalam proses

kegiatannya, komunitas masyarakat

Kobe tersebut bergantung pada

sistem pemprosesan profesional,

yang memberdayakan masyarakat

lokal dan bertumpu pada nilai-nilai

kebersamaan atau gotong royong

yang dalam bahasa Jepang disebut

sougo fujo.

2. Metodologi

Pemberdayaan masyarakat

perkotaan di Indonesia perlu ditinjau

dari komunitas yang bersemangat

untuk berpartisipasi, keberlanjutan

dan kemandirian sebagai nilai utama.

Tentu saja nilai utama ini adalah

orientasi nilai yang sesuai dengan

pembangunan seperti yang

disampaikan oleh Koentjaraningrat

(1983)3)

, bahwa apabila bangsa

Indonesia ingin maju seperti bangsa-

bangsa lain maka mereka harus

memiliki orientasi nilai yang:

- Berorientasi masa depan

- Berhasrat untuk

mengeksplorasi alam dan

lingkungan

- Menilai tinggi hasil karya

manusia

- Menilai tinggi usaha orang

yang dapat mencapai hasil,

sebisa mungkin atas usahanya

sendiri, percaya diri,

berdisiplin diri, dan berani

bertanggung jawab sendiri

Orientasi nilai-nilai di atas

dapat tercermin dalam masyarakat

Indonesia yang memiliki budaya

gotong royong yang lebih bersifat

instrinsik atau memiliki interaksi

sosial dengan latar belakang

kepentingan atau imbalan non

ekonomi.

Tajudin

(2013) mencermati prinsip

yang tergantung dalam gotong

royong jelas melekat aspek-aspek

yang terkandung dalam modal sosial.

Modal sosial secara konseptual

Page 5: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 47

bercirikan adanya kerelaan individu

untuk mengutamakan kepentingan

bersama. Modal sosial ini dapat

diartikan pula bagian-bagian dari

institusi sosial seperti kepercayaan,

norma (etika) dan jaringan yang

dapat meningkatkan efisiensi

masyarakat dengan memfasilitasi

tindakan-tindakan yang

terkoordinasi. Modal sosial juga

didefinisikan sebagai kemampuan

dan kapasitas yang muncul dari

kepercayaan umum di dalam sebuah

masyarakat atau bagian-bagian

tertentu dari masyarakat tersebut.

Komparasi pola

pemberdayaan masyarakat negara

yang sudah maju seperti Jepang,

akan menambah wawasan pada

orientasi nilai yang sedang

dikembangkan di negara sendiri.

Kota Kobe yang memiliki budaya

regional yang dijadikan kegiatan

regional untuk memecahkan masalah

dalam kehidupan. Organisasi

regional ini dapat lebih mandiri

selama dapat berpijak pada suatu

sistem yang tidak terbatas pada

pemberdayaan masyarakat saja

melainkan perlu organisasi yang

bergerak secara profesional untuk

kesejahteraan yang mendukung

kasus-kasus yang diprioritaskan pada

pengembangan kegiatan untuk

menciptakan lingkungan yang

nyaman.

Di Jepang pada tahun 1960-

an, banyak orang tinggal di daerah

pedesaan. Di daerah pedesaan telah

tersimpan keterkaitan secara

geografis, dan memiliki fungsi

adanya bantuan timbal balik

berdasarkan kesadaran umum dan

perasaan yang sama di mana mereka

tinggal. Nilai-nilai tersebut tercermin

dari sebuah pertunjukan cerita Tsubo

Sakae yang berjudul Nijuu Shi No

Hitomi yang mengangkat cerita

tentang dunia yang mempertahankan

hubungan yang erat antara rasa

kebersamaan yang sama antar warga

dimana mereka berada (Takahashi,

2003, hal. 195).

Dalam masyarakat Jepang

modern, terutama mereka yang

tinggal di daerah perkotaan,

permasalahan yang berhubungan

dengan kesejahteraan masyarakat

seperti bagaimana menciptakan

kenyamanan bagi penduduk kota,

fasilitas kesehatan bagi lanjut usia,

dan perawatan anak-anak, perlu

dicarikan solusinya untuk

menciptakan lingkungan dengan

Page 6: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 48

kesadaran bersama masyarakat. Bagi

para pengguna layanan kesejahteraan

dan relawan, khususnya panti jompo,

fasilitas sosial merupakan satu-

satunya tempat untuk bersosialisasi

di daerah tersebut. Oleh karena itu,

kesejahteraan daerah memiliki posisi

penting dalam kehidupan

bermasyarakat dan suatu cara

hubungan dengan seluruh

komunitasnya (Takahashi, 2003, hal.

196).

Peranan bantuan

kesejahteraan sosial secara fleksibel

dilakukan sesuai dengan karakteristik

pengguna aktivitas yang dilakukan.

Peranan donor/penyumbang perlu

diklarifikasi berdasarkan analisis

konten kerja pada kegiatan konkrit.

Menurut Dubois dan Miley (1996),

faktor-faktor penentu dalam aktivitas

sosial ini dapat dipertimbangkan

menggunakan tiga level berbeda

sesuai dengan masing-masing

perannya. Peranan yang diperlukan

pada level tingkat mikro (individu,

keluarga,kelompok), pada level

tingkat menengah (status organisasi),

level makro (partisipasi masyarakat).

Berikut adalah peranan-peranan yang

diperlukan pada tiga level ini:

① Tingkat mikro

Di tingkat mikro, kegiatan

intervensi akan dilakukan

terhadap situasi yang melanggar

hak di mana pengguna didorong

untuk mampu dan memiliki

motivasi untuk memecahkan

masalah. Peran yang dimainkan

oleh para donor pada tingkat ini

adalah① konsultasi, ② kegiatan

kelompok, ③ penyesuaian

kontak, ④ perlindungan hak.

Tingkat fungsi kehidupan

sosial individu, keluarga, dan

kelompok kecil ditunjukkan pada

Tabel 1 "Faktor-faktor yang

menentukan di tingkat mikro" di

bawah ini. Tanggapan pada

tingkat ini tidak hanya kekuatan

individu, keluarga dan kelompok,

tetapi juga pengakuan manusia

terhadap kekuatan pengaruh

perkembangan masyarakat dan

lingkungan terhadap individu.

Tiga hal berikut memiliki

pengaruh besar pula pada gaya

komunikasi para pendonor.

Pertama, pentingnya memahami

posisi personal di pihak lain

secara fleksibel. Hal kedua

adalah fokus pada masalah yang

didiskusikan dengan menghindari

masalah yang tidak sesuai dengan

Page 7: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 49

keadaan. Hal ketiga adalah

memberikan informasi yang tepat

waktu. Poin-poin diatas juga

diperlukan untuk menilai

hubungan kepercayaan dengan

pihak lain dengan negosiasi yang

optimal.

Tabel.1. Faktor yang menentukan kondisi tingkat mikro

Personal Keluarga/Kelompok

penghasilan skala prioritas komposisi kelompok

cara Hidup kondisi seimbang komunikasi

motivasi pembagian tugas pola hubungan

konsep diri nilai-nilai moral karakteristik

Kemampuan

mengatasi

masalah

dukungan timbal-

balik

fungsi fisik

fungsi intelek

② Tingkat menengah

Pada tingkat intervensi

ini, komunitas fokus kepada

status yayasan. Pendonor

melakukan kegiatan berdasarkan

kepada organisasi mereka. Ketika

keinginan pengguna dan

kepuasan kebutuhan terhalang,

organisasi akan menganalisis

faktor itu dan memperbaikinya.

Selain itu, yayasan pun

mendukung langkah-langkah

bimbingan, pengawasan

administratif ketika rekan-rekan

masih kurang berpengalaman

sebagai anggota organisasi atau

memberikan tanggapan yang

belum tepat. Pada level ini,

yayasan akan memerankan ⑤

peningkatan struktur organisasi,

⑥ visi yang super.

Page 8: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 50

Tabel. 2.Faktor yang menentukan keadaan tingkat menengah

Organisasi Yayasan

Tujuan organisasi

Budaya organisasi

Tahun kegiatan

Ciri/karakteristik anggota

Pola Pertukaran Pendapat

Peranan Pimpinan

Belakangan ini, kegiatan intervensi dari luar organisasi cukup menarik

perhatian. Ada bentuk

evaluasi pihak ketiga atau

intervensi organisasi yang

disebut ombudsman

kesejahteraan. Pihak ketiga

sebagai tenaga profesional

mengevaluasi kualitas layanan

kesehatan dan kesejahteraan dari

sudut pandang pengguna. Dalam

tingkat intervensi ini, hal-hal

yang berkaitan dengan yayasan

seperti yang ditunjukkan dalam

"Faktor yang menentukan

tingkat menengah" pada Tabel 2.

③ Peranan Donor di tingkat

makro

Para pendonor di level ini

mempromosikan partisipasi

warga dan memainkan peran

dalam membangun jaringan

antara organisasi dan yayasan

yang diperlukan untuk

berkolaborasi. Selain itu, untuk

berpartisipasi dalam komite

pengembangan kesejahteraan

dilakukan di unit kota, ada

peranan untuk melaksanakan

kegiatan melindungi

kepentingan pengguna potensial.

Pada level ini dapat

diikutsertakan dalam ⑦

Promosi partisipasi penduduk,

⑧ Kegiatan sosial, ⑨

Pengembangan sumber daya, ⑩

Formulasi kesejahteraan daerah.

Kegiatan intervensi ini

ditunjukkan dalam "faktor-faktor

yang menentukan keadaan

tingkat makro" pada (Tabel.3),

dimana kegiatan untuk

membayar pemerhati pada

bidang ciri khas warga setempat,

lingkungan setempat, kondisi

Page 9: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 51

pemeliharaan sistem kesehatan

dan kesejahteraan perlu

dilaksanakan. Hal ini akan

mengembangkan dan

meningkatkan lembaga dan

yayasan yang didirikan di unit

pemerintah daerah sebagai

sumber daya yang kuat. Akar

untuk "perbaikan" ini adalah

"konsolidasi" antar kelompok,

baik asosiasi lingkungan,

asosiasi yang mengatur diri

sendiri, maupun di distrik

perbelanjaan pada serikat

pekerja.

Sebagai contoh,

meskipun banyak penduduk

yang memiliki rasa sayang pada

daerahnya dan ingin menetap,

terkadang mereka tidak aktif

berpartisipasi dalam kegiatan

asosiasi lingkungan. Walaupun

mereka memiliki keinginan

untuk mengatasi masalah

masyarakat setempat, warga

tersebut tidak ikut berperan aktif.

Tabel .3.Faktor yang menentukan Tingkat Makro

KOMUNITAS

Tipe kehidupan masyarakat lokal

Tingkat pendapatan Penduduk

Kondisi tempat tinggal

Status Pemanfaatan Sarana Perjalanan

Bebas Halangan

Status Pengembangan Sumber Daya

Kesadaran Warga terhadap HAM

Partisipasi pada Administrasi masyarakat

Jaringan dukungan Timbal Balik

3. Hasil dan Pembahasan

Komparasi pola pemberdayaan

masyarakat negara yang sudah maju

seperti Jepang akan menambah

wawasan pada orientasi nilai yang

sedang dikembangkan di Indonesia.

Sebagai contoh adalah Kota Kobe

yang memiliki budaya lokal yang

dijadikan acuan untuk memecahkan

masalah dalam kehidupan.

Organisasi lokal yang didirikan atas

dasar kebijakan lokal dapat lebih

Page 10: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 52

mandiri selama mereka berpijak pada

suatu sistem yang tidak terbatas pada

pemberdayaan masyarakat semata

tetapi juga prinsip-prinsip

profesional berlandaskan

kesejahteraan bersama demi

mendukung kasus-kasus yang

diprioritaskan pada pengembangan

kegiatan untuk menciptakan

lingkungan yang nyaman.

Pada tahun 1960-an di Jepang,

banyak orang tinggal di daerah

pedesaan yang memiliki keterkaitan

secara geografis dengan daerah

pedesaan dan memiliki fungsi

bantuan timbal balik berdasarkan

kesadaran umum dan perasaan yang

sama di mana mereka tinggal. Salah

satu refleksi dari poin-poin diatas

adalah sebuah cerita yang berasal

dari daerah Azushima. Cerita Tsubo

Sakae yang berjudul Nijuu Shi No

Hitomi. Cerita ini berkisah tentang

sekelompok masyarakat yang

mempertahankan hubungan yang erat

dan rasa kebersamaan antar warga

(Takahashi, 2003, hal. 195)5)

.

Hubungan masyarakat di

lingkungan perkotaan di Jepang perlu

berfokus pada kesejahteraan

masyarakat demi menciptakan

lingkungan yang memiliki kesadaran

bersama yang tinggi. Beberapa

permasalahan seperti bagaimana

orang dapat hidup nyaman, fasilitas

kesejahteraan sosial untuk orang tua

dan perawatan anak-anak perlu

dipertimbangkan. Bagi pengguna

layanan kesejahteraan dan relawan,

khususnya mereka yang beraktivitas

di sekitar panti jompo, fasilitas sosial

bisa menjadi satu-satunya tempat

untuk bersosialisasi di daerah

tersebut. Kesejahteraan daerah

memiliki posisi penting dalam

kehidupan bermasyarakat dan

menjadi cara untuk menjalin

hubungan dengan seluruh

komunitasnya (Takahashi, 2003, hal.

196).

Partisipasi masyarakat dalam

pembangunan pada dasarnya dapat

terlihat perencanaan, pengambilan

keputusan untuk pelaksanaan hingga

pengawasan nilai-nilai hasil

pembangunan dan pemeliharaan

hasil-hasil yang telah dicapai.

Selanjutnya partisipasi yang

diberikan oleh masyarakat perkotaan

sebagian besar adalah partisipasi

tenaga. Peranan tenaga profesional

dalam menjelaskan arah dan tujuan

pembangunan sangat penting

sehingga dalam pelaksanaannya

Page 11: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 53

selalu mendapat dukungan

sepenuhnya dari masyarakat lokal.

Perbaikan kondisi dan

peningkatan taraf hidup masyarakat

dapat menggerakkan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan.

Oleh karena itu, pelaksanaan suatu

kegiatan harus disesuaikan dengan

kebutuhan masyarakat yang nyata

sehingga dapat dijadikan stimulasi

untuk masyarakat, berfungsi sebagai

pendorong timbulnya jawaban untuk

motivasi masyarakat, dan

pembangkit sikap yang dikehendaki

secara berkelanjutan.

Mengacu pada tingginya

tingkat kesadaran dan sikap

masyarakat terhadap pembangunan,

perubahan menuju pada arah

kemajuan dan tingkat kesejahteraan

masyarakat menjadi landasan

pembangunan berikutnya demi

mencapai hasil-hasil pembangunan

yang tinggi. Dana yang digunakan

dalam pelaksanaan pembangunan

terhadap program/proyek

pembangunanpun adalah dana

swadaya murni masyarakat.

Komunitas Generasi

Semangat Selalu Ikhlas ini berjalan

sesuai dengan kebutuhan masyarakat

sekeliling dan tetap dipertahankan

berdasarkan pada manajemen yang

seimbang yakni menggunakan modal

sosial yang disebut gotong royong.

Selain itu, kekuatan individu yang

menjadi motor penggerak

(leadership) juga memiliki peranan

penting. Penggerak komunitas ini

adalah semangat bahwa siapapun

bisa menjadi agen perubahan bagi

masyarakat di sekitarnya ketika

mereka memilih untuk peduli dan

menggunakan seluruh potensi dan

kekuatan yang ada di dalam dirinya

untuk mewujudkan perubahan sosial.

Kegiatan Komunitas GSSI

dapat dikategorikan ke dalam

kegiatan kerjasama pada level mikro.

Hal ini dapat terlihat dengan

kerjasama yang terjalin dalam

mewujudkan program-programnya

dengan menggunakan pendekatan

personal. Tini, menemukan

permasalahan sampah di daerah

tersebut, melakukan pendekatan

personal kepada warga Cibunut,

khususnya kepada warga RW O7 dan

Karang Taruna di area tersebut, dan

berhasil menggerakkan warga

Cibunut untuk menyadari

permasalahan ini dan kemudian

termotivasi untuk menciptakan

lingkungan yang bebas sampah. Pada

Page 12: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 54

awal kegiatan, donor pada program

pemberdayaan masyarakat di daerah

Cibunut berasal dari ikatan alumni

sekolah almamater Tini dan sebuah

perusahaan. Namun sekarang warga

Cibunut memiliki bank sampah yang

dapat memberdayakan daerahnya

sendiri. Bahkan daerah ini sudah

menjadi daerah contoh bagi mereka

yang ingin membangun kawasan

yang ramah lingkungan atau zero-

waste.

Masyarakat menemukan

permasalahan dalam kehidupannya

dan berusaha bertindak untuk

menyelesaikannya. Hal tersebut

terjadi di masyarakat Kota Kobe

yang mengalami perubahan

penduduk setelah gempa bumi Besar

Hanshin. Hampir 40% penduduk

Kota Kobe adalah penduduk baru

yang pindah setelah terjadinya

bencana. Perubahan ini

menyebabkan permintaan akan

penitipan anak yang menjadi latar

belakang kegiatan kerjasama

masyarakat yang mendukung

pengasuhan anak dilakukan hanya

pada masyarakat sekitar.

Kesadaran akan

permasalahan yang ada di sekitar

tempat kita hidup dapat dilakukan

dengan melakukan pemetaan sosial

di wilayah sekitar. Hal ini dilakukan

oleh warga RW 06 dan 07 Kelurahan

Cipadung, Kecamatan Cibiru.

Mereka menyadari bahwa walaupun

tempat tinggal mereka banyak

ditinggali oleh mahasiswa dan

akademisi, bukan berarti semua

warganya adalah keluarga mampu.

Di area ini masih banyak warga

miskin yang belum memiliki

kesempatan untuk bersekolah atau

meningkatkan kompetensi dalam

dirinya sendiri. Oleh karena itu,

warga di kedua RW ini memiliki

kepedulian untuk memajukan warga

yang kurang mampu tersebut.

Warga kedua RW ini

berusaha untuk mendata jumlah

keluarga miskin di daerah mereka.

Kemudian warga bekerjasama

dengan DKM mesjid, madrasah, para

akademisi serta mahasiswa yang

tinggal di area ini untuk melakukan

suatu kegiatan sosial yang dapat

meningkatkan kompetensi kaum

dhuafa. Untuk melakukan

programnya, mereka mendapat

modal dana yang terkumpul melalui

kotak amal mesjid. Setelah dana

yang dibutuhkan cukup, warga mulai

melakukan salah satu programnya

Page 13: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 55

yaitu Program Pengajaran Tiga

Bahasa (P3B-Bahasa Inggris, Bahasa

Arab, dan Bahasa Jepang). Dana

digunakan untuk membeli

perlengkapan kelas dan materi

pembelajaran. Kegiatan yang

berorientasi pendidikan ini

dilakukan di Mesjid Al-Huda yang

berada di wilayah RW 06 dan 07.

Pendekatan yang dilakukan

warga RW 06 dan 07 kepada

kelompok non sejahtera dilakukan

secara personal dengan mendatangi

keluarga miskin dan mengajak

mereka untuk datang ke P3B secara

gratis. Kegiatan ini dimulai sejak

Agustus 2017 dan terus berlangsung

hingga saat ini. Untuk rencana

kedepan, warga kedua RW ini akan

mendirikan yayasan untuk

memperluas kegiatan sosial mereka.

Yayasan ini didirikan untuk

membangun jaringan bersama warga

melalui kegiatan untuk memecahkan

kesulitan hidup di sekitarnya. Oleh

karena itu kegiatan regional untuk

memecahkan masalah oleh warga

harus ditetapkan sebagai bagian

pencerminan budaya regional.

Kegiatan kerjasama yang

dilakukan di area Cibiru tersebut

dapat dikategorikan sebagai

kerjasama yang berada pada level

tingkat mikro. Hal ini dapat dilihat

dari jenis kerjasama yang memiliki

peran donor pada tingkat ini

konsultasi, kegiatan kelompok,

penyesuaian kontak, belum diatur

dalam suatu organisasi tertentu.

Donor dihimpun langsung dari

masyarakat melalui kotak amal

mesjid, bukan dari pendonor tetap di

luar warga. Selain itu, pemecahan

masalah dilakukan dengan

pendekatan personal dengan tujuan

memotivasi warga miskin untuk

meningkatkan harkat dan martabat

mereka dengan memberikan modal

kemampuan berbahasa asing, yang

diharapkan dapat membantu masa

depan putra-putrinya di kemudian

hari, bukan memberikan dana begitu

saja kepada mereka.

4. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang

membandingkan kegiatan

pemberdayaan masyarakat di

Bandung dan Kobe, kegiatan

pemberdayaan masyarakat, baik di

Kobe dan Bandung didasarkan pada

permasalahan yang muncul di

daerahnya masing-masing.

Kemudian para warga bekerjasama

untuk mengatasi masalah tersebut.

Page 14: Puspa Mirani Kadir Amaliatun Saleha Nandang Rahmat

Jurnal Makna Volume 3, No. 2 September 2018 56

Berdasarkan pendekatan dan donor

yang dari kegiatan pemberdayaan

masyarakat di kedua kota, dapat

diketahui bahwa di Kobe, kerjasama

dilakukan pada level menengah atau

makro karena kegiatan dilakukan

atas kerjasama organisasi yang

profesional. Sedangkan di Bandung

khususnya di daerah Cibiru, masih

dilakukan pada level mikro. Pola

pemberdayaan masyarakat di daerah

Cibiru, dilakukan pada awalnya

dengan pemetaan sosial, yaitu

dengan pendataan kaum non

sejahtera di wilayah sekitar. Setelah

pendataan, warga bekerjasama untuk

melakukan kegiatan yang bermanfaat

bagi kaum non sejahtera. Karena

warga di daerah RW 06 dan RW 07

Kelurahan Cipadung, Cibiru cukup

banyak yang berada di lingkungan

pendidikan, program awal mereka

adalah pemberian pelatihan bahasa

secara gratis. Setelah program

berjalan dengan respon yang positif,

warga pun mulai mengembangkan

kerjasamanya dengan membuat

yayasan.

Daftar Pustaka

Dubois, B and Milley, K. K. (1996).

Social Work an Empowering

Profession. Pearson.

Kirst-Ashman, K and Crafton H.H, Jr.

(1997) Practice with Organizations

and Communities. Nelson-Hall

Publishers.

Koentjaraningrat. (1983).

Kebudayaan dan Mentalitas

Pembangunan. Jakarta: Penerbit

Gramedia.

Tajudin N. E. (2013). Budaya

Gotong-Royong Masyarakat dalam

Perubahan Sosial saat ini, Jurnal

Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1.

Takahashi. (2003). Chiiki Enjo

Gijutsu Kenkyuu no Kihon Tekina

Wakugumi: Tokyo Kasei Gakuin

Daigaku Kiyou Dai 43 Go, Jinbun-

Shakai Kagakukei