18
QANAAH Pengertian qana’ah dan ikhtiyar serta hubungan keduanya Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik- baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Abdullah bin Amru r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya”. (H.R.Muslim) Orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah. “Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya“. (Q.S. Huud: 6) Setiap orang menginginkan ketentraman hidup. Ketentraman hidup hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia sekecil dan sebesar apa pun yang dimilikinya. Qana’ah dan syukur adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.

Qanaah Dan Toleransi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

qanaah dan toleransi

Citation preview

QANAAH

Pengertian qanaah dan ikhtiyar serta hubungan keduanya

Qanaah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qanaah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qanaah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak.

Abdullah bin Amru r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim)

Orang yang memiliki sifat Qanaah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.

Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya. (Q.S. Huud: 6)

Setiap orang menginginkan ketentraman hidup. Ketentraman hidup hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia sekecil dan sebesar apa pun yang dimilikinya. Qanaah dan syukur adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qanaah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qanaah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.

Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qanaah tidak berarti fatalis dan menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang hidup qanaah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qanaah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.

Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanaah menyikapinya sebagai ibadah yang mulia di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, dan mengurangi timbangan. Ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun, ia tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, akhir rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi tiga hal: menjadi kotoran, barang usang atau bernilai pahala di hadapan Allah. Karenanya, ia pun lebih mementingkan seruan Rabbnya.

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kamu sekalian untuk melakukan shalat di Hari Jumuah, bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu sekalian mengetahuinya, (QS al-Jumuah: 9).

Namun, jika sampai pada keadaan demikian, ia tidak lantas terbius pada kenikmatan berkhalwat dengan Allah seraya melupakan dunia. Ia menyadari, masih ada aturan Allah yang mewajibkannya untuk beraktivitas kembali. Allah berfirman.

Dan apabila telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu sekalian beruntung, (QS al-Jumuah: 10).

Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qanaah ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk ia nikmati sendiri, namun benar-benar didasarkan pada ibadah. Orang-orang qanaah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, Allah lebih mencintai Mukmin yang kuat dibanding Mukmin yang lemah.

Kekayaan dunia yang ia cari, bukan dijadikan sarana memyombongkan diri. Tapi, dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak jatuh pada jurang kefakiran. Hartanya ia gunakan untuk menyantuni orang lain dan agar tidak membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat, kefakiran dapat mendekatkan diri pada kekufuran.

Niat orang-orang qanaah ketika mencari harta juga didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmu ia dan keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah.

Di tengah ancaman badai musibah yang kini terus mendera, sungguh sikap qanaah dan syukur amat penting. Orang yang mampu bersikap qanaah akan meletakkan harta dan dunia di tangan, bukan di hati. Ia akan berprinsip bahwa kekayaannya semata titipan Allah. Jika suatu saat diambil, ia takkan merasa rugi. Toh, semua yang dimilikinya adalah titipan. Prinsip inilah yang mampu membuat jiwa tentram dan nyaman meski gelombang petaka datang menerpa.

Dalil-Dalil Qanaah

# Dalil2:

*

"Dunia ini dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali." (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

* Peringatan tentang hakekat dunia juga disebutkan oleh Abul-Ala', dia berkata: "Aku pernah bermimpi melihat seorang wanita tua renta yang badannya ditempeli dengan berbagai macam perhiasan. Sementara orang-orang berkerumun di sekelilingnya dalam keadaan terpesona, memandang ke arahnya, Aku bertanya, "Siapa engkau ini?" Wanita tua itu menjawab, "Apakah engkau tidak mengenalku?" "Tidak," jawabku "Aku adalah dunia," jawabnya. "Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu," kataku. Dia berkata, "Kalau memang engkau ingin terlindung dari kejahatanku, maka bencilah dirham (uang)."

*

"Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya." (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)

* "Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian." (Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy)

# Keutamaan Qana'ah:

Sesungguhnya di dalam qana'ah itu ada kemuliaan dan ketentraman hati karena sudah merasa tercukupi, ada kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang syubhat dan yang melebihi kebutuhan pokoknya, yang semua itu akan mendatangkan pahala di akhirat.

# Doa:

"Ya Allah, jadikanlah aku merasa qona'ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, dan berikanlah berkah kepadaku di dalamnya, dan jadikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan lebih baik."

Qanaah dalam kehidupan

Qanaah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan. Qanaah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qanaah akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial.

Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW: Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. ( H.R.Bukhari dan Muslim)

Karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qanaah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Disamping itu Qanaah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah. Berkenaan dengan Qanaah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini.

Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : Saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah memberikan haknya yang diberikan Alah padanya. (H.R.Bukhari dan Muslim )

Qanaah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qanaah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qanaah sudah membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.

Qanaah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap. (H.R.Thabrani)

Kiat-kiat menjadi qanaah

Meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qanaah. Berikut ini beberapa kiat menuju qanaah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikan nya. Di antaranya yaitu:

1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wataala.

Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wataala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu. Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.

2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.

Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di antaranya, Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya. (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wataala yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.

3. Memikirkan Ayat-ayat al-Quran yang Agung.

Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). Amir bin Abdi Qais pernah berkata, Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Fathiir:2)

Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. (QS.Yunus:107)

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6)

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. ath-Thalaq:7)

4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki

Di antara hikmah Allah subhanahu wataala menentu kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf:32)

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS.Al anam 165)

5. Banyak Memohon Qanaah kepada Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling qanaah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wataala agar diberikan qanaah, beliau bedoa,

Ya Allah berikan aku sikap qanaah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik. (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dan karena saking qanaahnya, beliau tidak meminta kepada Allah subhanahu wataala kecuali sekedar cukup untuk kehidu pan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi)

6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian

Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti. Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qanaah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.

7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia

Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah. (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?

8. Membaca Kehidupan Salaf

Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qanaah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.

9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta

Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.

Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.

10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.

Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).

TOLERANSI

Pengertian Toleransi

Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995). Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Demikianlah yang bisa kita simpulkan dari celotehan para tokoh budaya, tokoh sosial politik dan tokoh agama diberbagai negeri, khususnya di Indonesia . Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.

Kata tolerasi dalam bahasa Belanda adalah "tolerantie", dan kata kerjanya adalah "toleran". Sedangkan dalam bahasa Inggeris, adalah "toleration" dan kata kerjanya adalah "tolerate".

Toleran mengandung pengertian: ber-sikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesamanya. (Drs Sulchan Yasin, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hal 389)

Indrawan WS. menjelaskan pengertian toleran adalah menghargai paham yang ber-beda dari paham yang dianutnya sendiri. Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri. (Kamus Ilmiyah Populer, 1999 : 144)

Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefini-sikan toleransi: "sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercaya-an, kebiasaan, kelaku-an dsb.) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi aga-ma (ideologi, ras, dan sebagainya).

Dalam bahasa Arab toleransi biasa disebut "ikhtimal, tasamuh" yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha - yasmuhu - samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma) (kamus Al Muna-wir hal 702). Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghor-mati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haq bil bathil, mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang dila-kukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah tole-ransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh Islam.

Harus kita bedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah mem-benarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk Syirik.

Dalil Toleransi

Dalam Islam tole-ransi bukanlah fata-morgana atau bersifat semu. Tapi memiliki dasar yang kuat dan tempat yang utama. Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an yang bermuatan toleransi.

1. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) Sesungguhnya .... (Qs. 2. 256)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ter-sebut menjelaskan: Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang se-mua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan seseorang untuk ma-suk ke dalamnya. Orang yang mendapat hida-yah, terbuka, lapang dadanya, dan terang ma-ta hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pen-dengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.

Ibnu Abbas mengatakan "ayat laa ikraha fid din" diturunkan berkenaan dengan seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat tersebut.

Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwa-yatkan telah berkata bapakku dari Amr bin Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, "Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: laa ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin." (Ibnu Katsir I/383)

2. Qs. Al-Mumtahanah 8-9

Menurut Abdullah Wasi'an (kristolog), maksud ayat ini adalah, orang Islam boleh bergaul dengan orang-orang non Islam dalam masalah dunia, yakni seperti: perdagangan, perjanjian jual beli, dan lain-lain. Tetapi dalam urusan aqidah sangat dilarang.

Pada muqaddimah tulisan ini telah disampaikan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melarang Asma binti Abu Bakar berbuat baik kepada ibunya yang kafir

3. Qs Al-Kafirun 1-7

"Bagimu dien (agama)mu dan bagiku dien (agama) ku

Ayat ini jelas sekali mengandung unsur toleransi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan ayat ini ketika ada ajakan untuk mengadakan penyembahan bersama dengan orang-orang jahiliyyah. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menolaknya dengan menyampaikan ayat ini kepada kaum kafir Quraisy.

4. Asy-Syura ayat 15

bagi kami amal-amal kami bagimu amal-amal kamu.

Ayat ini pun menunjukkan bahwa Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan hidup berdampingan secara damai dalam kehidupan sehari-hari. Maka dengan prinsip ini semua berhak hidup tanpa menyebabkan tekanan atau perkosaan terhadap hak-hak orang lain. Yang diharapkan Islam dari golongan lain hanyalah menjauhkan dari permusuhan, dan tidak ada hasutan, gangguan atau tantangan terhadap jalan kehidupan Islam.

Harapan Islam ini ternyata tidak selama-nya terwujud, bahkan yang terjadi sering ditemukan adanya pemaksaan atau sikap intoleransi dari luar Islam. Sebagai bukti kita saksikan di daerah-daerah minoritas muslim, yang berlaku bukan toleransi tapi teroransi. Umat Islam banyak diintimidasi dan dianak-tirikan bahkan dibantai.

Contoh intoleransi adalah ungkapan pa-ra peneliti Barat, misalnya, Gladstone (man-tan Perdana Menteri Inggeris) berpendapat bahwa selama Al-Qur'an ini berada di tangan umat Islam tidak mungkin Eropa akan me-nguasai dunia timur. Begitu juga sikap Guber-nur Militer Perancis di Aljazair saat peringat-an 100 tahun penjajahan Peraancis di Aljazair, ia mengatakan: kami tidak akan memenang-kan perjuangan Aljazair, selama mereka (bangsa Aljazair) membaca Al-Qur'an dan berbicara bahasa Arab. Kami harus dapat melepaskan bahasa Arab dari lidah mereka".

Pernyataan Gladstone dan Gubernur Militer Perancis itu jelas-jelas merupakan si-kap intoleransi. Begitu pula yang terjadi di Ambon dan Halmahera, sikap memaksakan kehendak dari orang-orang Nasrani sangat jelas. Hal ini diakui oleh para tawanan nasrani yang tertangkap muslimin. Mereka mengata-kan, "ingin menjadikan Ambon dan Halma-hera itu kristen semua", perilaku seperti ini membuktikan bahwa toleransi yang sering diungkap oleh mereka adalah semu. Karena pada dasarnya mereka tidak punya pijakan yang jelas dalam hal ini sebagaimana Islam. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip tole-ransi yang rahmatan lil 'alamin, sedang mereka bertindak sebaliknya. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang memiliki sikap toleran. Kebanyakan di antara mereka bukan sikap toleran yang dimiliki tapi sikap teroransi. Hal ini sebagai bukti kebenaran nash Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah ayat 120.

Toleransi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam

Dikisahkan oleh Ibnul Ishak dalam "sirahnya" dan juga Ibnul Qoyyim dalam "Zaadul Ma'ad" adalah ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang. Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berbagai masalah agama.

Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata "Biarkanlah mereka !" maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni.

Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada "kese-pakatan" karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah "anak Tuhan" dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hari.

Kesimpulan

Berdasar uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa toleransi menurut Islam adalah :

1. Menghargai dan menghormati keyakinan orang lain (agama lain) untuk melaksana-kan keyakinan tersebut, dengan tetap men-jaga prinsip-prinsip tauhid bahwa hanya Islam yang benar.

2. Kita diperbolehkan berbuat baik kepada mereka dalam urusan duniawi, selama me-reka tidak memerangi / memusuhi Islam dan tidak mengusir kita dari negeri kita.

3. Unsur-unsur yang harus dipahami dalam mewujudkan toleransi (tasamuh) ini adalah:

a. Mengakui hak setiap orang.

b. Menghormati keyakinan orang lain

c. Lapang dada menerima perbedaan

d. Saling pengertian

e. Kesadaran dan kejujuran

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19)

Sinkretisme mengandung talbisul haq bil bathil (mencampurkan yang haq dengan yang bathil). Sedangkan toleransi tetap memegang prinsip al-furqon bainal haq wal bathil (me-milah/memisahkan antara haq dan bathil). Toleransi yang disalahpahami seringkali men-dorong pelakunya pada alam sinkretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih do-minan dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama.

Sampai batas ini, toleransi masih bisa dibawa kepada pengertian syariah islamiyah. Tetapi setelah itu berkembanglah pengertian toleransi bergeser semakin menjauh dari batasan-batasan islam, sehingga cenderung mengarah kepada sinkretisme agama-agama berpijak dengan prinsip yang berbunyi semua agama sama baiknya. Prinsip ini menolak kemutlakan doktrin agama yang menyatakan bahwa kebenaran hanya ada didalam islam. Kalaupun ada perbedaan antara kelompok islam dengan kelompok non muslim, maka segere dikatakan bahwa perkara agama, adalah perkara yang sangat pribadi sehingga dalam rangka kebebasan, setiap orang merasa berhak berpendapat tentang agama ini, mana yang diyakini sebagai kebenaran (lihat definisi toleransi dalam kamus filsafat, Lorens Bagus, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Th. 1996, halaman 1111-1112).

Dalam kerangka berfikir yang demikian inilah muncul berbagi wacana (konsepsi) agama dalam apa yang dinamakan dialog bebas konflik (lihat antara lain buku yang diterbitkan oleh pustaka al-hidayah yg berjudul Atas Nama Agama, berisi berbagai artikel para tokoh intelektual tentang toleransi). Para tokoh ilmuwan dari berbagai agama rupanya sedang bersusah payah merubah status agama yang diopinikan sebagai sumber konflik, kemudian dirubah menjadi sumber kerukunan dan persatuan dengan cara menyingkirkan doktrin kemutlakan kebenaran bagi masing-masing agama kemudian diganti dengan wawasan kenisbian kebenran untuk mencari titik temu semua agama, khusunya tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang dinyatakan sebagai agama-agama besar (lihat antara lain Tiga Agama Satu Tuhan, kumpulan naskah beberapa pemikir, editor : George Bush dan Benjamin J. Hubbard, penerbit mizan).

Semua upaya tersebut tidak lepas dari orbit gerakan zionisme yahudi yang ingin mengkebiri peranan agama Allah di masyarakat manusia dan menawarkan alternatif pengganti yaitu sekularisme yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian lengkaplah jaringan-jaringan persengkokolan zionisme yang semuanya diatas namakan dalam rangka toleransi beragama dalam bentuk :

1. Teror fisik dan mental menjadikan issue toleransi beragama sebagai faith acomply sosial, politik terhadap umat islam.

2. Penggiringan opini lengkap dengan sekularisasi agama dan sekularisme politik, sosial, dan ekonomi serta budaya, guna menyingkirkan peranan islam dari segenap kehidupan.

Allah Subhanallah Wa Taala memperingatkan:

Mereka (orang-orang kafir itu) menghendaki untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, dan Allah terus menyempurnakan cahaya (agamaNya) walaupun orang-orang kafir tidak suka. (Ash-Shaf: 8)

Kelompok

1. Restiti Sugiarti

( 25 )

2. Siti Rohmania

( 31 )

3. Verawati

( 34 )

Kelas: IX G